content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
“Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.” Kulipat lagi surat yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba. Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini, setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya. Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti. Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami. Siapa pun yang melihat bisa membacanya. Suatu malam, waktu itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik. Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah, mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja. Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan. Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis. Waktu aku keluar dari rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja. Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara sungguh-sungguh. Menurut Ichiro, Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian, ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu, jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara terus-menerus. Salju kian menderas. Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan; sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini aku ingin berlama-lama berada dalam salju. Memasuki pelataran kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri, melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya. Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro. Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya sangat terkenal di negeri perantauanku. Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan. Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti. Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan wajah serius. “Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa. Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti. Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku melayang ke peristiwa itu. “Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya. Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah hati dan perasaan kami sendiri. “Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai. Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan, keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya. “Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara keras. Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan. Kehidupan tak pernah mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah, tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh! Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!” kata Nagayama panjang lebar. Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam. Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku. Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu. Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa. Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu saja membuatku kaget bukan main. Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang. Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!” Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil membakar Si Gendon sampai mati? Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima, mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya, berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat resah oleh ulahnya?” Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku! Tokyo, Oktober 2002 Catatan: 1. apaato: apartemen sederhana 2. ikkodate: rumah yang berdiri sendiri 3. jyooryokujyu: pohon segala musim 4. osyogatsu: tahun baru 5. taiso : gerak badan 6. tatami: tikarala Jepang asmudjo jono irianto
""Surat Keramik""
Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah. Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar. Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu. Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi. Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi. “Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan. “Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon. “Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik. “Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.” “Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.” “Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?” “Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.” “Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?” “Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.” Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang. Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh. Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar. “Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari. “Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi. “Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa. “Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional. “Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya. “Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar. Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama. Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun. “Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi. “Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.” “Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi. “Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu. Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam. Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik. Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking. Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.” “….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah. “Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…” “Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.” “Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…” Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?” “Mungkin begitu.” “Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.” “Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.” “Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!” Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.” Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan. Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa. Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa. Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu. Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya. Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik. “Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya. “Kamu jadi ke Jakarta, Luh?” “Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…” “Jadi pembantu?” “Jadi pelayan toko.” Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur… Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002 Putu suta wijaya
""Bunga Jepun""
Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut. Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif tiga bulan. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan kini ia akan menjadikannya Hadiah Utama Toto (gelap) Singapura, di kisaran empat angka, per lima puluh ribu tombok. Kemungkinan cuma sepersepuluh ribu,” kata Nasir, serius. Khairan tersenyum dan mengiyakan dengan sungguhsungguh. “Pokoknya kamu tenang-tenang saja, Sad,” kata Nasir. “Kamu duduk-duduklah, megang surat-suratnya-sementara itu masih bisa dipakai ngojek sama Sitol, dengan setoran biasa.” Setengah berbisik, menghindarkan pendengaran Khairan, “Dan sementara itu kamu pun bisa aman-aman saja ngeloni Saimah. Beres! Bapaknya pasti meneng. Lha wong kowe melu mbandari …” Khairan menatap, curiga, “Apa? Ngomong apa?” Nasir memberi isyarat telunjuk di mulut. “Sudah sana!” katanya sambil mendorong Arsad pelan menegakkan sepeda motor. Melangkah. Melemparkan kunci kontak ke arah Nasir. Jalan ke pintu belakang warung. Menyelinap dan masuk kamar yang pengap dan remang. Saimah menyusul dari depan. Menyibak tirai pudar dan merangkul Arsad dari belakang, Arsad menangkap dan meremas dua belahan pantat yang bagai punuk dan tanpa berlapiskan celana dalam. Saimah menjerit artifisial sambil mendorong Arsad ke arah pembaringan yang berantakan, dengan payudara yang berdenyut. Radio menyerukan dangdut. Itu hari keduapuluh delapan berada di luar rumah. Dan mungkin tepat pada hari yang keseratus satu, Arsad mengenal Suimah. Perkenalan tidak disengaja sebenarnya. Ia membolos bersama Taberi. Menghindar dari sekolah, menjauh dari keramaian, dan menyuruh di pangkalan ojek di mulut jalan ke Perumahan Ganda Mekar. Abai bergabung dengan banyak orang-para pengojek, preman dan pemabuk, dan utamanya pemalas yang hanya omong dan terus omong sambil berjudi. Motornya dipakai ngojek sembarang orang, dan karenanya mendapat duit buat modal ngombe atau ngepil. Mungkin cuma memesan kopi, makan jajan, dan makan diawali dan ditutup oleh merokok di warung Khairan. Terkadang Arsad hanya nongkrong, bermalasan di warung itu, berbincang dengan istri Khairan, atau menggoda Saimah. Itulah awalnya, Saimah makin genit, orangtuanya semakin permisif, dan Arsad pun menikmati hari-hari manis, dengan semena-mena merangkul, menggerayangi dan menciumi Saimah. Orang-orang mendelik. Tapi, Khairan-setengah preman karena istrinya yang sebenarnya membanting tulang menyambung hidup-lembut menenangkan mereka. “Biarlah,” katanya, “Toh kita tahu ia berduit dan orangtuanya sugih.” Orang-orang tersentak. Khairan menenangkan. “Kita ini orang dagang,” katanya. “Dan mempunyai anak perawan bermakna mempunyai barang dagangan. Berharap, siapa tahu akan mendapat jodoh lelaki yang genah. Nakal sedikit kayak si Arsad lumayanlah, biar bisa kompak dengan mertua. Ya kan?” Orang-orang pada tertawa. Terlebih karena Arsad semakin sering membawa Topi Miring, yang diedarkan berkeliling di antara orang yang berbual atau main kartu. Berjoget dengan tape dan terbahak-bahak. Sepanjang waktu. Lantas mereka pun mulai memanggil Arsad dengan sebutan bos. Sekaligus itu membuat Arsad semakin butuh duit untuk menyenangkan banyak orang. Utamanya Saimah, yang melingkar manja tanpa celana dalam dan bra-meski masih memakai rok terusan longgar. Dan Arsad pun semakin jarang pulang sekaligus semakin jarang masuk sekolah, karenanya semakin tidak mempunyai duit. Sekali-empat puluh hari lalu -menyelinap ke rumah ketika orangtuanya masih di kantor, dan menjebol lemari untuk mengambil perhiasan. Memberikan sebagian kepada Saimah, dan menjual sisanya. Khairan-matanya berkilau-cepat-cepat mengundang tetangga dan menikahkan Arsad dengan Saimah dalam perkawinan siri. Dan disusul pesta mabuk semalam suntuk. Orang-orang kampung menggeleng-gelengkan kepala. Pak RT tak berdaya, bahkan untuk sekedar mengusik keasyikan mereka. Mungkin karena lega karena kini Arsad resmi jadi suami Saimah. Ia menganjurkan agar Khairan mau mengurusnya ke KUA agar semakin kukuh. Khairan cuma tertawa. Ibunya Saimah lembut mengangguk. Saimah tersenyum dan terus tersenyum. Menemani Arsad mabuk lalu menyeretnya ke kamar meski tak lagi ada bulan madu. Siklus haid Saimah sudah telat seminggu. Dua minggu kemudian Arsad benar-benar bangkrut. Cemberut dan makin sering marah. Khairan bungkam. Istrinya mulai menyindir. Arsad semakin sebel kepada Saimah-dan yang direcoki balas memaki. Arsad pun menyuruh Nasir untuk menjualkan sepeda motornya. Akan tetapi, Nasir malah memunculkan gagasan yang sangat kontroversial. Menjadikan sepeda motor itu modal untuk hadiah tombokan Toto (gelap) Singapura. “Seminggu bisa empat kali,” katanya. Khairan tersenyum. Itulah awalnya Arsad pun jadi orang yang berpenghasilan. Dan Saimah makin manja, sedangkan Ibu Mertuanya sukarela menyervis. Surga telah kembali. Hari itu-seperti biasa-Nasir akan berkeliling dengan sepeda motor Arsad. Ia seorang sales yang gigih, ia seorang sales yang agresif, dan karena itu ia mampu mencukupi Arsad dan dirinya sendiri. Membawa tas pinggang, memboncengkan si Krowak atau Brewok sebagai pengawal pribadi, dan berkeliling ke mana saja. Akan tetapi, terkadang orang masih datang untuk tombok nomor di warung Khairan. Duyunan orang yang menyetor keberuntungan, pikir Khairan-yang punya dukun kuat sehingga selalu yakin tebakan mereka tidak akan tembus. Meski begitu, selalu, menjelang momen bukaan Arsad memilih mabuk dan tidur agar tidak disentakkan oleh fakta ada yang tembus dan sepeda motornya melayang. Hal yang tidak gampang meski telah dibantu minuman, pil, dan rayuan Saimah. Hari itu-setelah sarapan nasi goreng, telur dadar setengah matang, dan minum Topi Miring-Nasir memboncengkan Krowak. Menyulut rokok, mblesar-kan gas, meraung saat membuat belokan besar dari jalan hancur arah Perumahan ke jalan utama. Belokan liar itu, penyelonongan itu, memakan marka jalan meski mereka cuma mencari jalur kiri. Pada saat yang sama, dari hadapan, melaju di kelempangan jalan yang lengang seusai jam mengantor, sebuah Station Wagon-dengan bemper depan tambahan dari pipa baja. Dan alur arah lajunya sepeda motor Arsa, yang dikemudikan Nasir, meliuk-liuk, tertekuk-tekuk pendek, bergetar karena tangan si pengendaranya goyah oleh kaget dan mabuk. Tetapi kecepatan sepeda motor itu, akselerasi pertamanya, tak bisa diturunkan. Sedangkan kecepatan Station Wagon itu tetap tinggi meski telah dicoba direm dan dibanting ke kiri. Berderit direm dan dicoba dibanting ke kiri, tetapi kemudian diluruskan lagi ke kanan ke kelurusan karena di tepi jalan itu berjajar kios-kios-bahkan sebuah Angkot berwarna kuning sedang parkir sambil kernetnya, ada di tengah jalan, menyeru ke seberang. Bunyi tumbukan dan jeritan orang-orang menghias siang itu. Kemudian teriakan memaki dan derap orang berlari memburu. Sebagian menolong Nasir, yang lainnya memburu supir Station Wagon itu. Serentak menghajarnya-bus dalam kondisi setengah mabok yang belum sirna. Menggulingkan kendaraannya dan menghajarnya sampai kacanya remuk dan body-nya penyok. Mungkin akan segera dibakar-dan sopirnya mati-kalau tak kebetulan muncul patroli. PJR yang dengan sigap meletuskan pistol. Lalu lintas sigap diatur. Ambulan menyusul datang setelah pasukan pengaman bantuan didatangkan untuk melokalisasi masalah dan menenangkan warga. Akan tetapi, itu sudah amat terlambat karena si korban spontan diangkut dengan kendaraan yang lewat dan mau mengantarkannya ke RS. Nasir mati. Kaki, tangan, dan sisi rusuk kanannya remuk. Krowak tertolong, tetapi kaki kanannya diamputasi sedang tangan kanannya hancur tepat di sikut dibiarkan utuh-tergantung lumpuh. Sopir Station Wagon geger otak ringan. Kendaraannya diperbaiki dengan biaya asuransi. Sedangkan motor Arsad jadi sumber masalah. Arsad dipaksa Ayahnya untuk pulang, dan diungsikan ke Panarukan-dipondokkan. Sepeda motornya dituntut dikembalikan utuh kepada keluarga Nasir dan utamanya Khairan. Ia marah ketika mengetahui kalau sepeda motor itu telah berkali-kali dijadikan barang taruhan judi Toto (gelap) Singapur. Ia menuntut. Tetapi Khairan tidak kalah sengit menuntut. Menyatakan bahwa Arsad itu suaminya Saimah sehingga Arsad itu harus bertanggung jawab sebagai suami-dengan menafkahi Saimah. “Tapi aku tak pernah mengawinkannya!” “Ya! Betul! Karena aku yang mengawinkannya.” “Sembarangan! Kalau tahu aku tidak akan sudi menyetujuinya-kamu dengan anakmu yang menyebabkan ia mutung sekolah, mencuri perhiasan ibunya, dan…” “Betul! Tapi, apakah aku harus menunggu izin Bapak, sementara mereka telah bablas? Anak saya itu, belum pernah pacaran, sudah meteng. Halim! Halim!” “Terus? Terus?” “Balikkan ia ke kondisi asal. Utuhkan lagi. Bisa apa ’ndak?” Kadang Arsad mengirim uang belanja untuk Saimah. Mengeluh tak bisa ke luar dari Pondok. “Aku tidak betah. Aku seperti masuk penjara,” tulisnya. Saimah menangis. Khairan menelan ludah. Kembali mendatangi orangtua Arsad dan minta agar mereka tidak memutuskan tali kasih antara Arsad dan Saimah. Menghiba-hiba sambil lembut mengingatkan anaknya Arsad yang dikandung Saimah. Tetapi kedua orangtua Arsad cuma bungkam. Dua kali lagi Khairan mengiba-iba, tapi tidak pernah dilayani. Dipantati bahkan. Karena itu, Khairan, istrinya, dan Saimah tiba pada kesepakatan kontroversial: Akan membungkus si bayi dan langsung menyerahkannya-pada kesempatan pertama-kepada orangtua Arsad. “Nih,” kalimatnya. “Hasil karya anakmu. Lebih jos ketimbang sepeda motor yang remuk itu!” Dan memang begitu. Dua hari setelah persalinan, dengan mobil carteran, dengan dikawal Brewok, Dominik, dan Yudiono-yang setengah mabuk-, mereka langsung mendatanginya. Segera, tanpa mampir dulu, dari rumah Bidan. Berparkir di halaman. Mengawal Saimah yang menggendong bayi-diam-diam Khairan menyelipkan celurit-dan langsung ke ruang keluarga lewat pintu ruang tamu yang terbuka di rembang petang. Lantang meneriakkan salam sambil menyelonong. Ibunya Arsad terpekik. Khairan mendelik dan membentakkannya. Ayahnya Arsad bergegas dari kamar. Kedua lelaki itu liar bertatapan. Si bayi santun disodorkan oleh Saimah, tapi liar ditepiskan sehingga Saimah terdorong ke kursi. Khairan loncat mencabut celurit dan membabatkannya kepada bapaknya Arsad-sekitar delapanpuluh kali. Ibunya Arsad berteriak-teriak. Tetangga berdatangan, tapi mereka pada mundur (surut) ketakutan melihat amuk Khairan. Menyisih ketika Khairan melemparkan celurit pada cacahan bersimbah darah tubuh bapaknya Arsyad. Dan dengan mobil itu juga, bersama si bayi-yang lantas diberi nama Caca Handika-, Khairan melapor ke Polisi. Catatan: Tombok, “tombokan”: Memasang nomor judi dengan membayar uang taruhan. Ngeloni: Meniduri Meneng: Diam, membisu tanda setuju Kowe melu mbandari: Kamu ikut menjadi bandar Sugih: Kaya, berharta Genah: Enak dipandang, artinya orang baik-baik Topi Miring: Merek minuman lokal beralkohol Mblesar: memainkan gas sehingga mesin meraung-raung Dipondokkan: Dimasukkan ke pesantren untuk belajar dan sekalian tinggal di sana. Mutung: Berhenti di tengah jalan Meteng: Mengandung, hamil Jos: Langsung jadi sempurna, instan Celurit: Senjata mirip sabit, khas Madura, meski tak selalu milik orang Madura.
""Senja Merah Khairan""
Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya. Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo. “Negara memerlukan tanahmu,” kata Camat. “Jangan jual mahal.” “Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.” “Ini demi pembangunan, lho.” Pada waktu itu kata “pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut mark up). “Coba tanda tangani kuitansi ini,” pinta Camat. “Lha kok besar betul,” katanya. “Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.” Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia tidak lulus. Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (“Kader” artinya juru kampanye). Sutarjo yang juga sudah mendengar soal “tidak bersih lingkungan” menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?” “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”) “Gampang saja,” katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandraguna. Sutarjo merasa lega. Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar [“jer basuki mawa beya”] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya, lhadalah! “Haram, syirik,” teriaknya. Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr. Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya. “Itu kesalahan,” komentarnya. Lho! Ia seperti disambar petir. Kata penasihat, “Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur kemudian.” Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu. Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa. Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun. “Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu], pukul [anu sampai anu]….” Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa. Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan memulai dengan, “Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih ’Padi’.” Atau, “Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar ’Senapan’.” Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh. Perintahnya pada seorang kader, “Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai ’Senapan’ mencopot gambar-gambar itu. Buatlah ’Padi’ banyak-banyak, tempel di tembok-tembok, tiang listrik, dan pohon.” Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin memenangkan pilihan. Pesaingnya, “Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius). Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa “Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara. Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis. “Padi” yakin menang karena dia selalu ada di tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan pener. “Senapan” juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru. Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu, tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan, “Senapan” tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata “Padi” kalah telak. Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya. “Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria. ’Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri tahu.” Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur, dan petrus. “Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.” Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya. “Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya. “Pokoknya bukan itu semua.” Sutarjo suka menghibur diri. “Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada.” Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri. Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades. Ia yakin benar, “Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.” Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. “Begitu saja kok repot. Kalah dan menang dalam politik itu lumrah,” komentar sang penasihat. “Saya pikirnya dulu.” Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: “Padi” dan “Senapan”. Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD, bahkan takziyah. Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, “Eureka!” Penasihat menemui cakades gagal kita. “Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.” “O, ya?” Mukanya jadi cerah, byar! “Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika untuk hadir dan memberi sambutan.” Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya. Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang “Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa). “Sukses!” kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo. “Sukses!” kata Danramil waktu pamitan. “Sukses!” kata Kapolsek. Hati Sutarjo seperti diiris-iris. Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat. “Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?” “Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng. Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian melongo. Yogyakarta, 1 Maret 2003
""Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi""
Tujuh hari setelah Mama mangkat, musyawarah memutuskan Kiai Genggong sebagai pengganti Mama. Sebagian keluarga memang ada yang kurang sreg. Menurut mereka, Kiai Sabar atau Kiai Behbar lebih pantas memimpin Pesantren Gupitan. Pasalnya, Kiai Genggong agak nyeleneh–waktu kecil suka berkelahi, semasa remaja sering kebut-kebutan, menjelang dewasa berkali-kali menampar orang, dan kini suka hidup menyendiri. Hanya sebagian keluarga, sejumlah warga Gupitan juga merasa risau dengan terpilihnya Kiai Genggong. Kelembutan dan kewibawaan Mama berbeda sekali dengan watak keras Kiai Genggong. Tapi semua sudah diputus, lagi pula sebelum meninggal Mama berwasiat demikian. Kiai Sabar dan Kiai Behbar sendiri mengakui adik merekalah yang paling layak memimpin pesantren itu. Mulailah Kiai Genggong memimpin pesantren. Tiap Senin pagi dan Kamis malam, orang-orang menuju pesantrennya, berduyun bagai domba putih yang akan dimandikan. Mereka menyimak pengajian kiai muda itu. Pada awalnya kegiatan berlangsung seperti di zaman Mama meski kecemasan terus bergayut dalam diri jemaah kalau-kalau watak keras Kiai Genggong muncul tak terduga. Benar saja, seperti gempa longsor di Gunung Gede, tiba-tiba pesantren guncang. Kecemasan itu terbukti. Suatu hari, tanpa alasan jelas, Kiai Genggong menampar Jamhuri, pedagang kambing. Jamhuri tidak melawan. Ia segera meninggalkan pesantren agar pengajian terus berjalan. Namun, pada hari lain, peristiwa terjadi lagi, kali ini Mustofa yang kena. Juga tak melawan. Berikutnya Mang Yusuf, Kang Baban, Wak Jana, dan entah siapa lagi. Sejak peristiwa itu, jemaah Kiai Genggong berkurang. Hanya beberapa puluh saja yang bertahan. Kiai Sabar dan Kiai Behbar tidak bertindak apa-apa. Mereka menghormati wasiat Mama. Mereka mencintai ayah mereka dan ayah mereka sangat menyayangi Kiai Genggong. Sewaktu pengajian tinggal hanya dihadiri pencinta keras kepala, Kiai Genggong tetap tegar seperti pohon mahoni sepanjang jalan menuju pesantren. Suasana memang agak lengang, seperti Gupitan malam-malam. Hanya kemersik daunan gugur atau bunyi jangkrik dan suara kodok, selebihnya gema kata-kata Kiai Genggong. Setahun sejak Kiai Genggong menampar beberapa jemaah, pesantren memang mirip kuburan. Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar. Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama. Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas. Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus. Seiring dengan banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu gilinding itu diangkat ke tempat semula. Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya de- ngan mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda. Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh jemaah shalat di tikar itu. Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut. Kiai Genggong makin termasyhur setelah beredar desas-desus bahwa orang-orang yang dulu pernah ditamparnya kini sudah pada menjadi kaya. Jamhuri bukan Jamhuri lagi. Ia telah jadi haji, punya sawah berhektar-herktar, dan domba beribu-ribu. Juga Mustofa, Haji Mustofa, kini punya angkot 15, ojek 35, dan 2 penggilingan padi. Masyarakat mengingat-ingat lagi nama yang dulu ditampar Kiai Genggong dan setiap ingat sebuah nama selalu saja orang itu memang telah menjadi kaya. Diam-diam masyarakat yakin tamparan Kiai Genggong memang bertuah. Itu sebabnya orang makin berbondong mendatangi Pesantren Gupitan. Kali ini mereka justru berharap ditampar Kiai Genggong. Kisah kesaktian tamparan menyebar ke berbagai kota. Ada yang percaya, ada yang ragu, ada pula yang menganggapnya sekadar dongeng. Namun, apa pun tanggapan mereka, yang jelas mereka berusaha datang ke Gupitan. Dan diam-diam di hati mereka tumbuh harapan siapa tahu ditampar Kiai Genggong. Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong. Berkali-kali Bung Hamid dan Bung Jamal datang ke Gupitan. Bahkan pada kedatangan ketiga, strategi dibicarakan matang. Intinya, Bung Hamid dan Bung Jamal sepakat mengusahakan bagaimana caranya agar telapak tangan Kiai Genggong mendarat di muka mereka. Mereka berjanji kalau salah seorang ditampar, kekayaan yang kelak diperoleh akan dibagi dua. Itu sebabnya, dana keberangkatan ke Gupitan ditanggung bersama. Bung Hamid dan Bung Jamal bukan tipe orang gampang putus asa. Dibuatlah strategi lain ketika sudah berkali-kali ke Gupitan be- lum juga tamparan berkhasiat itu mendarat di muka mereka. Kali ini mereka mengajak anak buahnya ke Gupitan. Anak buahnya diinstruk- sikan berusaha maksimal agar ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal menegaskan kalau ada yang kena tampar dan ke- lak jadi kaya, sebagian kekayaan itu harus di- serahkan ke kas partai dan ke saham perusahaan. Itu sebabnya, seluruh dana ke Gupit- an ditanggung Bung Hamid dan Bung Jamal. Tapi Tuhan itu Zat yang sulit dibaca, berkali- kali ke sana masih tak terjadi apa-apa juga. Padahal pada kedatangan kesembilan, bukan hanya 100 anak buah yang dibawa, tapi 500 sampai kemudian 1.000 pada kedatangan kesepuluh. Tuhan sebenarnya maha pengasih dan hidup selalu bervariasi. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Entah bagaimana mulanya, Bung Hamid dan Bung Jamal tiba-tiba kenal dengan Mang Cecep. Rupanya Mang Cecep menyarankan Bung Hamid dan Bung Jamal mendatangi dulu seorang dukun. Wak Makbul nama dukun itu. Dan atas saran Wak Makbul, Bung Hamid dan Bung Jamal membeli 7 ekor kerbau, 70 ekor kambing, dan 700 ekor ayam untuk disedekahkan kepada sebanyak-banyaknya fakir miskin di sekitar tempat tinggal Wak Makbul. Tak ada masalah bagi Bung Hamid dan Bung Jamal, yang penting bisa bertemu dan lalu ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal nyaris setiap minggu, Senin pagi atau Kamis malam, datang ke Gupitan karena-menurut petunjuk Wak Makbul-suatu hari secara tak terduga mereka akan langsung ditampar Kiai Genggong. Tapi ingat, harus sabar, serahkan semuanya kepada Tuhan, begitu pesan Wak Makbul. Beberapa bulan berlalu, tak ada hasil. Malah terasa semakin mustahil mendapatkan anugerah tamparan itu. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali menemui Mang Cecep, tetapi apa daya Wak Makbul sudah dibunuh orang-orang bertopeng karena dicurigai sebagai dukun teluh. Tapi bukan Bung Hamid dan Bung Jamal kalau tak penasaran. Meski tabungan sudah menipis, perusahaan terancam pailit, partai digugat massa, utang ke bank bertambah, Bung Hamid dan Bung Jamal terus mencari akal agar bisa ditampar Kiai Genggong. Dan pada suatu hari berkenalanlah Bung Hamid dan Bung Jamal dengan Om Sarjono, kepala keamanan di lokasi parkir pesantren. Perkenalan tak terduga sebenarnya, ketika Bung Hamid dan Bung Jamal hampir koit dikeroyok massa gara-gara mobil mereka menyerempet pedagang yang berjejer sepanjang jalan menuju pesantren. Om Sarjono-lah yang menyelamatkannya dari amarah massa yang sudah siap menguyurkan bensin untuk membakar mobil itu. Lewat Om Sarjono inilah akhirnya Bung Hamid dan Bung Jamal bisa bertemu malam-malam dengan Kiai Genggong. Om Sarjono, kata orang, memang teman kebut-kebutan Kiai Genggong dulu ketika muda. Om Sarjono ini jugalah yang suka menyelesaikan urusan bila sepeda motor Genggong bermasalah dengan polisi. Dan inilah yang terjadi malam itu: Malam yang dingin. Harum bunga-bunga padi di sawah, deru daun-daun mahoni, angker rimbun beringin, kelepak pelepah palma yang jatuh, dan desah rumpun bambu di sudut pesantren mengiringi gairah-gelisah Bung Hamid dan Bung Jamal. Aku harus kembali kaya, gumam mereka. Partai boleh bubar, perusahaan boleh bangkrut, tapi aku harus tetap kaya! Begitu tekad mereka. Dan kini sebentar lagi akan berhadapan dengan Kiai Genggong. Suara kodok di selokan mengguncang-guncang gairah-gelisah mereka. Begitu Kiai Genggong tiba di amben, duduk di tikar berlapis karpet buatan Turki, sepasang matanya langsung menyerbu muka Bung Hamid dan Bung Jamal. Seperti ada pasir longsor di dada mereka, tapi mereka berusaha menguasai detak jantung dan irama aliran darah. “Assalamualaikum…” sapa mereka terbata-bata. Tapi anehnya Kiai Genggong justru menggerakkan badan hingga menghadap ke bilik kiri. Deg, jantung Bung Hamid dan Bung Jamal seakan copot. Tapi mereka segera ingat cita-cita. Mereka menggeser duduknya ke sebelah kiri dan kemudian berhadapan kembali dengan Kiai. Mereka kembali ucapkan salam. Deg, darah di jantung mereka serasa berhenti. Kiai Genggong kembali menggerakkan tubuhnya ke tempat semula. Bung Hamid dan Bung Jamal bersitatap, tapi tak ada kata yang terloncat. Mereka gelisah dan seperti akan lenyap segala gairah. Tapi mereka teguh pada cita-cita. Mereka menggeser kembali tubuh mereka hingga tepat berhadapan dengan Kiai. Kembali mengucap salam. Dan deg, seperti ada gada menonjok dada mereka. Kiai Genggong membalik tubuhnya, kali ini ke arah kanan. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali bertatapan seperti dua kucing menunggu pemilik rumah lengah saat menje- mur ikan. Tapi cita-cita setia memandu mere- ka. Mereka geser tempat duduk ke arah kanan hingga bisa sedikit menatap wajah Kiai. Mereka dengan pelan kembali mengucap salam. Tetapi lagi-lagi deg, sebongkah batu seakan mengimpit tubuh mereka. Kiai kembali menggeser tubuhnya ke tempat semula. Lurus menatap kejauhan depan rumahnya yang berseberangan dengan pesantren. Tapi Bung Hamid dan Bung Jamal tak mau menyerah. Mereka kembali ke tempat semula dan mengucap salam. “Waalaikum salam…” jawab Kiai sambil terus komat-kamit. Plong, paru-paru Bung Hamid dan Bung Jamal seperti dibasuh angin Gupitan yang segar dan sejuk itu. Benar-benar eksentrik kiai ini, kata mereka dalam hati. Mereka merapikan posisi duduk, kemudian Kiai bertanya. “Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!” “Pertama-tama.…” “Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!” “Kami ingin bersilaturahmi.…” “Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?” “Kami… ehm… ingin belajar.…” “Niat yang mulia.…” “Maksud kami…, kami… punya masalah.” “Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak. “Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…” “Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…” “Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….” “Bacalah kitab suci dan….” “Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…” “Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.” “Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas. “Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal. “Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam. “Kami banyak kehilangan harta….” “Carilah kembali dengan jalan yang benar.” “Kami ingin kembali kaya.” “Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.” “Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas. “Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak. Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!” Kiai Genggong benar-benar meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak, “Tamparlah kami, tamparlah Kiai!” Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka, tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!” “Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!” “Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…” Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!” Malam itu-karena Bung Hamid dan Bung Jamal belum siuman-Om Sarjono terpaksa memanggul tubuh mereka keluar dari kompleks pesantren sambil bergumam, “Untung saya bertindak cepat. Kalau tidak, tulang kalian bisa remuk, kulit muka kalian bisa hangus!” Cianjur-Serang, 2002 Keterangan mama = panggilan untuk kiai sepuh gilinding = stoom, alat berat untuk meratakan aspal haolan = ulang tahun wafatnya seseorang teluh = sejenis santet koit = mati teh, atuh = kata-kata penegas nuhun = terima kasih Dyan Anggaeni
""Kiai Genggong""
Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga, kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki, ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya. “Tak apa-apa. Sebaiknya begitulah.” “Sudah seharusnya?” “Ya. Tak perlu dicari sebab dan alasannya. Yang pasti sudah terjadi. Entah dengan lelaki siapa pun, aku tak peduli.” “Ayah tak cemburu? Sebagai laki-laki ayah tak menuntut, tak merasa kalah?” “Pertanyaanmu bagus. Tetapi, memang, sudah sebaiknya.” Ia tercekat, mengulum ludah. Memandang hamparan ladang tembakau, selintas masih dilihatnya para pemetik tembakau mengenakan mantel anti-air hujan. Ayahnya meluruskan kaki di meja beranda. Ia memutuskan diri untuk berkuda, meninggalkan ayahnya. Begitu hampir setiap hari, waktu berjalan dingin. Di daerah S, ayahnya dikenal sebagai juragan, orang kaya yang memiliki ladang tembakau cukup luas. Hampir semua pekerja yang merawat ladang tembakau itu adalah warga daerah S sendiri, yang merasa cocok bekerja untuk ayahnya. Orang-orang yang bekerja pada ayahnya hanya ingin mengabdi, ayahnya sendiri tipe orang yang bisa menghargai siapa pun. Itulah yang membuat warga daerah S selalu tunduk, bahkan ada yang tak segan berjalan munduk-munduk, berjalan sangat sopan dan hati-hati jika di depan ayahnya. Pada setiap sore, ayahnya akan selalu menghibur diri, menginginkan kegundahannya bisa bebas dengan berkuda. Sengaja ayahnya berkuda sendirian, mengelilingi keluasan ladang tembakau. Sengaja ayahnya menghirup udara sesegar dan sebanyak mungkin, tak mau merasa tertekan. Kalau pada suatu sore sang ayah berpapasan dengan sang anak yang kebetulan juga sedang berkuda, maka sang anak akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Ternyata, benarlah, antara ayah dan anak tak perlu menganggap ada yang istimewa, ayah dan anak cukup hanya bertegur sapa ringan, tak perlu menampakkan kasih sayang berlebihan. Bahkan, kalau tegur sapa itu sudah dilakukan berkali-kali, terhitung berkali-kali dalam satu minggu, misalnya, bukankah yang kemudian muncul justru rasa bosan? Karenanya, ia memutuskan, jika bertegur sapa cukup jika dinilai penting, dan terlebih lagi kalau memang mau, jika berkehendak. Jika tak berkehendak, apalah yang bisa dipaksakan? Berkuda dan mengelilingi ladang tembakau yang luas. Dua hal itulah yang memberikan jaminan kebebasan. Siapa pun yang menempuhnya pasti merasa lapang dada. Kawasan tanah dataran tinggi mampu memberikan kenyamanan, terutama bagi orang yang memilih hidup untuk frustrasi, seperti ayahnya. Kadang-kadang, ia sengaja memandang ayahnya dari kejauhan, melihat kemungkinan bahwa ayahnya akan mengisi waktu luang sebagai alasan frustrasi. Hal wajar yang selayaknya diterima laki-laki, tak perlu memberontak, lebih baik dibikin abadi. Kadang-kadang, dari kejauhan itulah ia melihat ayahnya berkuda dengan tatapan mata kosong, seperti seorang pangeran yang tak lagi punya wibawa. Kuda yang ditungganginya lumayan gagah, namun kekosongan matanya bisa sebagai bukti bahwa sang ayah adalah laki-laki yang harus rela menghancurkan kelelakiannya. Entah sudah berapa kali putaran dalam sekali jalan ia melihat ayahnya mengelilingi ladang tembakau, entah berapa waktu lagi yang dibutuhkan ayahnya untuk sekadar menghibur diri. Hari berpilin, berubah, berganti. Pagi, siang, sore, malam, seperti piranha beku yang tak sanggup menjelaskan makna. Waktu menjadi bernilai kosong. Ayahnya masih berkuda. Rumah seperti terkuburkan, serta-merta. Kalau ada yang sedikit istimewa dalam ruang tamu hanyalah sebiji foto keluarga yang bertengger di dinding. Ia, ayah, dan ibunya, tersenyum. Tak masam. Kejenakaan yang tersisa, kebahagiaan yang memancar dari senyuman. Sampai kapan pun, ketiga orang dalam foto itu akan terus tersenyum. Siapa pun yang memandangnya akan ikut merasakan bahagia. Foto yang akan bergoyang ringan ketika ditiup angin dari arah ladang tembakau, melewati beranda, melewati jendela, ngungun di ketiga wajah yang tersenyum. Ia sendiri hanya mengenakan celana pendek, buntek, sementara ayah dan ibunya mengenakan busana Jawa, sempurna dengan belangkon. Ia kerap membayangkan, ibunya akan bergumul dengan entah siapa, tepat di depan mata kepalanya sendiri. Atau, ia akan melihat bersama-sama dengan ayahnya? Pasti, dengan perasaan ikhlas. Wajarlah. Sampai suatu kesempatan, dalam rutinitas hari-hari yang memuncak beku, ia jumpai ayahnya yang gantung diri, tepat di tengah ruang tamu, menghadap foto keluarga yang tersenyum. Tak mesti menjulurkan lidah, tak mesti membelalakkan mata, ayahnya mati. Ia memastikan ibunya akan biasa-biasa saja melihatnya, justru dengan ringan akan menurunkan mayat suaminya dari tali gantungan, pun menguburkannya sendiri. Ia tahu, ketika ia melihat ayahnya dalam keadaan gantung diri, ibunya masih bergumul dengan entah siapa di gudang belakang rumah, dekat kandang kuda. Kerap ia tergoda, sekali waktu ingin membakar tumpukan jerami yang ada di pinggir-pinggir dinding papan kayu, di luar gudang. Biarlah ibunya mati saat tengah bergumul. Namun, hal itu urung ia lakukan. Ia menggagalkannya sendiri. Ia memang akan terus merasakan suasana rumah semakin membusuk, tanpa ada alasan dan jawaban atas pertanyaan. Ia justru sangat bersyukur ayahnya memilih gantung diri dengan semangat yang penuh tawa. Ia kasihan melihat ayahnya menghibur diri dengan berkuda, mengelilingi ladang tembakau, setiap sore. Yogyakarta, 2001 Wiediantoro
""Rumah yang Dikuburkan""
Kabar gembira datang pagi hari. Selasa, 19 Agustus 1997. Di hadapan lebih dari 500 undangan yang memenuhi Aula Serbaguna RW 18, Kelurahan Pondok Petir, pinggir selatan ibukota, telah dinikahkan secara resmi Ir Gulian Putra Ariandaru, M.A, 29 tahun, dengan Arsih, 22 tahun. Senyum itu. Misteri. Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu, salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah. Perempuan-perempuan Picasso yang merambati gelap dengan cahayanya. Namanya Arsih. Kujumpai pertama, kedua, dan ketiga kalinya selalu di pertengahan pertunjukan wayang kulit. Ketika punakawan muncul hanya untuk menihilkan awal dan akhir cerita. Suara tawanya, entah kenapa, mengejutkan dan membuatku segera berpaling ke arahnya. Suara itu mengembang dan mengambang seperti langkah tak berjejak dan memaksaku tersenyum. “Itu, Arsih. Anak Yu Katiyem.” Sudri, informan dalam kerja risetku, menyahut cepat pertanyaanku. “Baru 20 tahun,” sambungnya. Entah dengan maksud apa. Pertemuan kelima di panggung dangdut. Kami berkenalan. Bapaknya petani palawija, ibunya membuka kios gado-gado. Aku meraih master enam bulan kemudian. Tiga tahun berikutnya, kami, aku dan Arsih, hampir memiliki anak. Kandungannya lemah, ia gugur hanya karena Arsih bersepeda ke pasar. Dia? Ah, biasa saja. Anak kota. Gayanya. Bajunya selalu putih, mentereng. Jadi, kelihatannya bersih terus. Ngomongnya juga di-sopan-sopanin. Biar lancar kerjaannya. Kerjaannya apa sih? Nyatet melulu, kayak juru tulis kelurahan. Aku tahu dia sering melirik aku. Sejak wayang Petruk Dadi Ratu-nya kiai Sumprit, dalang edan itu. Kenalan? Aku dipaksa Mbakyu Tumi. Kan ndak ada ruginya, kata Mbakyu. Mauku, mau mbok dan bapakku, kawin di kampung. Cara kawin di kota, aku gak ngerti. Gak kerasa. Tapi, sudahlah. Mas Guli memang baik. Aku mau apa saja dikasih. Kebetulan, kata Mbakyu Tumi. Porotin saja, katanya. Aku gak mau. Bukan ndak setuju, tapi males saja. Tapi, Mas Guli jarang di rumah. Temanku pembantu. Lebih dari teman. Seperti saudara. Lebih dekat dari Mas Guli sendiri. Aku nonton video porno, diajak Yu Ti, pembantu. Juga gambar-gambar asli. Asli bener. Aku kok jadi pusing. Gak tahan. Minum pil dan tidur. Mimpi ndak? tanya Yu Ti. Enggak tuh. Enak gak tidurnya? Biasa saja, tuh. Mau nonton lagi? Enggak dulu. Tak bikinin jamu, ya? Buat apa, Yu? Perempuan tiga puluhan itu tersenyum. Ke dapur, membuat jamu. Tidak kuminum sampai esoknya. Ini jamu siapa, kata Mas Guli saat datang agak malam. Yu Ti, kataku gugup. Bibir Mas monyong. Dia lihat agak lama gelas jamu itu. Lalu, pergi mandi. Lebih tiga tahun perkawinan, kami belum sukses memproduksi anak. Dia sudah lima kali keguguran. Dokter bilang, sudah sulit sekali. Dan aku tak menunggu mukjizat. Aku tak percaya keajaiban, terutama kalau berhubungan denganku. Usaha keras, hanya itu prinsip hidupku. Begitu aku bekerja. Entah untuk apa. Karier? Uang? Gengsi? Rasanya bukan. Sekadar kewajiban. Termasuk, utamanya, kewajiban memenuhi hajat dan keinginan istriku. Arsih tidak banya minta, melalui mulutnya. Tapi, lewat sudut mata dan sikap tubuhnya. Aku harus mengerti apa yang ia mau. Selendang biru, tempat tidur baru, piring makan, penyejuk udara, kiriman tambahan orangtuanya, modal dagang mbakyunya, atau sandal jepit dari Jepang, katanya. Entah dari mana ia tahu itu semua. Hampir sebagian besar permintaannya tak terpakai. Dia tetap Arsih. Daster kembang, rambut digulung atau kepang, dan radio wayang kulit. Juga tentu televisi, melulu dua program: India dan dangdut. Stasiun teve seperti setia meladeninya. Bicara? Hampir seluruh topik adalah keluarga dan tetangganya di desa. Jangan bicara soal pekerjaan, film Dustin Hoffman terbaru, atau roman Vikram Seth yang membuat silau pikiranku. Buku? Satu hal yang, baginya, tak lebih penting dari satu ons bawang putih. Aku masih terpukau oleh senyumnya. Begitu purba. Seperti waktu berlalu tanpa bekas, masa lalu, hidup senantiasa, hingga di masa nanti. Untuknya, aku harus pandai mencari pergelaran wayang kulit di seantero ibu kota. Atau, sesekali ke Wayang Orang Bharata. Tapi, Arsih tak begitu suka yang terakhir ini. Ia memang berpendirian. Tegas bahkan. Aku betul menyukainya. Aku betul tidak menyukainya ketika pendirian itu tak dapat didiskusikan lagi. Ia boleh diam, seperti mengalah. Tapi tidak sama sekali. Ia menyimpannya sebagai dendam. Untuk diledakkan di saat yang baginya tepat. Dan saat itu tiba. Bom waktunya meledak! Mas Guli, gantian ya kamu di bawah. Cuma itu yang kuminta. Kenapa lalu dia uring-uringan. Sampai pagi tidak tidur. Sampai malam datang lagi, ia tak kerja. Duduk di kebun merokok dan ngopi tiada habisnya. Ada apa? Aku mau arisan dan undangan majelis taklim. Ada yang jual ehmm…apa itu, gelas kristal! Bagus dan keren, katanya. Pergi saja! Katanya pendek waktu aku minta izin. Ada apa sih, Mas? Tanyaku ketika pulang, menjelang 10 malam. Dia malah pergi tidur. Aku mau minta lagi agar ia mau di bawah. Tapi, kudengar ia mendengkur keras. Bohongan, aku tahu. Ada apa sih? Sengaja bikin aku kesel? Ada apa, Mas? Mas Guli mengecapkan bibirnya seperti ngigau. Dan dengkur lagi. Bohong lagi. Kenapa sih? Apa-apaan? Dari siapa kau mempelajari itu? Tak ada jawaban. Ini keistimewaan lain Arsih. Tutup rapat rahasia hati atau pikirannya. Berbalik habis denganku. Semangatku membagi info dan pengetahuan, berbagi hati dan pikiran. Dan Arsih tidak menunduk. Ia tentang mataku dalam bisu. Ia bukan saja merokok, pergi ke kafe, atau mampir ke kabin karaoke, tapi juga membuat kelompok-entah apa namanya-dengan beberapa ibu muda, bahkan yang datang jauh dari kompleks perumahan kami. Aku memergokinya. Ketika semua sudah lebih setahun berlangsung. Kamu juga minum bir? Ndak. Aku tak tahu, ia jujur atau kembali berahasia. Itu mungkin belum seberapa. Bagiku. Dimulai dengan permintaan aneh agar aku mau bermain di bawah, Arsih melanjutkan dengan beberapa permintaan lain. Dan imajinasiku tak dapat menjangkaunya. Aku yang nungging atau Mas saja? Tanyanya suatu kali. Aku tak mengerti. Dan terasa sangat tolol di depannya. Ia tersenyum. Aku membuang bantal. Senyumnya hilang. Pintu kubanting. Dua malam berikutnya, aku tidur di sofa. Apa-apan ini ? Dari siapa ia mempelajarinya ? AKU mau pulang saja, Mas ! Mas Guli memandangku. Seolah aku ini kethek sirkus. Wong mau pulang saja, kok susah. Ditanya ini ditanya itu. Aku gak ngerti pertanyaannya. Katanya apa ? Aku tidak memahami dia, aku keblinger, aku membawa karepku dhewe, aku…wah banyak lagi. Gak aku jawab. Wong gak ngerti. Kasihan juga Mas Guli lamalama. Ia capek ngomongi aku. Mukanya pucat dan masam. Aku bikinkan ia air jeruk dingin. Dia minum sambil geleng kepala. Aku pulang saja ya, Mas? kataku lagi. Dia menghela napas. Panjang sekali. Kenapa? Tanyanya. Dia ulang lagi. Ya, mau pulang saja. Masak gak boleh tho, Mas. Sudah lebih setahun aku memang belum pulang. Lebaran cuma ngirimi bingkisan dan uang ke desa. Mas Guli banyak kerjaan. Jujurnya, aku juga mulai bosan dengan teman-temanku, ibu-ibu sekompleks. Dengan Yu Ti. Dengan Romi, kucingku. Dengan Mas Guli. Aku gak tahu, harus bagaimana. Aku ini kenapa. Aku mau pulang, Mas ! Suamiku membanting pintu. Keluar. Jadi, diizinkan ya, Mas?! Tak ada suara. Aku pun berkemas. Arsih pulang seminggu, aku sakit. Keras, bahkan. Sekonyong kolesterol dan asam uratku meningkat drastis. Aku harus opname, seminggu kemudian, karena mulai ada gangguan jantung. Arsih sudah datang dan langsung mendampingiku, 24 jam di rumah sakit. Aku sangat tertolong. Aku pandang wajahnya dengan seluruh rasa sayang yang paling mungkin dalam imajinasiku. Dan aku tak pandai untuk itu. Arsih tersenyum. Sama seperti dulu, pertama kulihat dia. Tak ada perubahan. Tiga tahun perkawinan, untuknya, seolah waktu bermain yang lepas begitu saja. Tapi, cukuplah senyum itu untukku. Namun, ternyata tak cukup untuk penyakitku. Sebulan keluar dari rumah sakit, aku malah terkena stroke ringan. Aku mulai panik. Melulu karena pekerjaan yang tak tergarap. Perusahaan tak ikut mengeluh. Tapi, gosip miring mulai mampir di telingaku. Arsih tetap rajin seperti biasa. Dua bulan setelah stroke, aku sudah mulai lancar menggerakkan anggota tubuh. Di tempat tidur, Arsih datang dan bertanya ringan sekali: sudah bisa belum, Mas? Baju tidurnya oranye tipis. Aku mau tertawa, mungkin juga teriak. Tak bisa keduanya. Besoknya kuterima uang cukup besar dari perusahaan. Bukan santunan. Pensiun dini. Arsih memberi selamat dan bilang, mobil Karimun Bu Wondo, temannya, lucu dan asyik ya Mas. Maksudmu kita ganti Starlet lama kita? Dia tak menjawab. Wajahnya menunduk kecil dengan posisi miring, bibir senyum di sudut, seperti serbuk sari mengintai dan menghisap kumbang yang mendekatinya. Aku sakit, Sih, kataku. Dan Karimun baru datang seminggu kemudian. Sudah setengah tahun Mas Guli tak berdaya. Uang sih masih ada. Cukup untuk makan dan kebutuhan beli baju atau vcd baru. Tapi, aku tak bisa lagi mengajaknya pergi. Jalan-jalan di Mal Bintaro kesukaanku, nonton wayang kulit di hotel atau gelanggang remaja, bakar ikan di gunung, atau cuma sekadar makan nasi uduk pagipagi di Kampung Betawi. Mas Guli seperti bisu. Diam saja di kamarnya. Baca, baca, baca. Nulis, nulis, nulis. Kalau ditanya, jawabnya sepatah saja. Dia memang masih sakit. Tapi anunya kan gak sakit, tho. Aku mau, pengin banget. Mas Guli seperti patung ukiran kalau diminta. Kaku membesi. Kalau lelaki sudah membesi begitu berarti tak lagi bernafsu. Apa…aku sudah gak merangsang lagi? Sering kuladeni tubuh bugilku di kamar mandi. Sehat. Seksi, kata Manto, tetangga sebelah, kata Juri, tukang kebun, kata Dani, teman Mas Guli. Lalu? Seksi, kataku. Aku suka tubuhku sendiri. Cermin kamar mandi kini jadi temanku. Aku melihatnya, jadi nafsu. Aku merabanya, jadi mau. Aku menciumnya, tak keburu. Ahhh…… Mas Guli masih bergelimang buku. Dani temannya datang dan melirikku. Lengkap setahun sudah aku tak disentuh. Tabungan tipis. Aku mulai utang untuk lipenstip dan fondesyen. Suamiku bisu. BISA jadi aku sengaja. Sakitku bertambah berat, memang keinginan bawah sadarku. Ketika segala cara rasional jadi invalid untuk mendapatkan penyelesaian masalah, biarkan intuisi purba yang bekerja. Mungkin emosi ada gunanya. Sesungguhnya badanku baik, tapi dapat kubuat lumpuh. Dengan kursi roda kulaksanakan semua kegiatan. Sendiri. Mang Juri kupecat dan kebun mengganas dengan serangga dan ular satu-dua. Yu Ti bersih rumah dan cuci-cuci. Arsih memasak dan mengelola uang. Sekarang tak ada lagi yang ia kelola. Apa yang akan dia perbuat? Pulang? Tidak. Ia mulai jual segala barang bahkan tanpa permisiku. Aku tertawa dalam hati. Sampai mana? Berulang kali ia hendak marah dan membentak, demi melihat kelumpuhanku, ia diam. Pergi setengah hari. Entah ke mana. Bagiku, surga adalah saat ia tak ada. Masihkah ada surga? Betulkah aku menyimpan harapan? Sedang mimpi pun aku tak lagi bisa. Arsih, di mana tempatnya ia kini? Bahkan senyumnya pun tak kuingin (setahun sudah ia tak tersenyum). Kecuali saat ia keluar dari kamar mandi. Wajahnya bersih dan terang. Air memberinya bahagia. Serius jika aku sirik dan cemburu pada air bak mandi. Selebihnya: muak! Aku mau cerai. Aku tak berani. Aku mau ia pergi. Mulutku tak kuasa mengusirnya. Aku mau ia diam saat malam di tempat tidur. Mulutnya tak henti mengeluh. Bahkan membentak. Aku tampar. Pertama kalinya. Ia diam. Sungguh terdiam. Aku mau bunuh diri. Tak bisa. Sudah kucoba beberapa kali. Tak enak. Bagaimana bunuh diri yang enak? Dengan pistol di mulut, seperti film-film di teve? Tak ada yang minjami. Pil tidur? Apotek curiga. Apa aku benar mau bunuh diri? Tak tahu. Aku tak tahu apa yang aku mau. Mas Guli tidur di kursi roda, aku lebih banyak di sofa. Aku makan cah kangkung kesukaannya, dia minta jajan warung. Aku ingatkan kewajiban suaminya, pipiku dihajar. Entah kali berapa sudah. Sekali aku gak tahan, kulempar ia dengan piring. Kepalanya bocor. Ia pergi ke puskesmas sendiri. Dengan kursi roda. Aku menangis setengah hari. Dan tidur di kuburan dekat rumah. Maaf? Minta maaf? Siapa yang harus memulainya? Dan untuk apa? Apa yang harus dimaafkan dari lelaki yang 24 jam menatapmu dengan benci? Yang menyebut seluruh keluargamu dengan caci maki? Yang menggapai dirimu dengan jijik hingga di ujung jari? Maaf? Aku serius gak ngerti arti kata itu. Yang kutahu, sejak sebulan terakhir ini, aku menyimpan satu hal yang menentukan, di hatiku, di mataku, di bibirku, di balik bajuku. Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun mengasingkan diri. Kata-kata jadi seperangkap jala yang menyergap semua mimpi kita. Dan emosi yang tersisa hanya berguna ketika kau selesai dengan upacara buang air kecil dan air besarmu. Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuperbuat dengan rumah tangga ini. Mestinya ia segera selesai. Terutama ketika kudapatkan ia menumpahkan seluruh perbendaharaan makiannya di lembar-lembar kertas, yang ia simpan seperti pusaka. Juga ketika ia menuang air ludahnya pada cangkir teh yang hendak kuminum. Termasuk juga saat ia mengatakan, perceraian tak perlu karena aku punya penyelesaian tersendiri. Satu-satunya pendapat yang sama ada dalam pikiranku. Dan itu harus terjadi. Hanya karena peristiwa kecil, mungkin. Di kamar mandi. Tidak sengaja aku masuk kamar mandi, yang kebetulan tak terkunci, dan kutemukan ia terengahengah hebat karena onani. Di hadapannya cermin dan sebuah foto ditempel selotip. Aku terdiam. Menatapnya dingin. Ia pun menatapku. Tidak diam. Tidak dingin. Panas sekali. Tubuhnya bergetar. Tangannya kian cepat bergerak. Hingga akhirnya….Cuaahhh!! Kami sama-sama muntah. Hanya dua hari setelah itu. Kami tidur bersama lagi. Pertama setelah setahun setengah. Tentu tidak berdekatan. Ia di ujung utara, aku sebaliknya. Sejak menit pertama, kami tak bicara. Hingga ia mendengkur, aku pun. Hingga malam terlampau larut, aku tercenung. Di luar hening, malam tak suara. Bahkan pun kepak serangga malam tak terdengar. Sepi seperti menari. Hingga hari hampir tiba di tepi. Aku merasa waktuku tiba kini. Mataku terbuka. Bibir mengeras. Kepalanku menggenggam kuat. Aku menarik nafas panjang. Dan sekonyong…aku berbalik. Menancapkan sesuatu di genggamanku, tepat di dada manusia di sampingku. Aaacchhh…. Sesuatu yang tipis dan dingin terasa di dadaku, melesak dalam sekali. Dingin. Dingin sekali. Aku memandangnya. Begitu pun ia. Kami tersenyum. Untuk kali pertama. Sepi datang lagi. Dan menari. Hari pun menepi. Kabar duka datang senja hari. Kamis, 23 September 2002. Sepasang suami istri ditemukan bunuh diri. Di dada mereka tertancap sebilah belati. Namun satu tangan mereka menggenggam erat jari-jari. Jakarta, 2003
""Sepi Pun Menari di Tepi Hari""
(Penjudi Togel dan Warisannya) Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena. Dia mulai berangan- angan jadi kaya dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menggoda hidup Huripto. Kata-kata tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. Dia tak pernah menyesal bahwa sebagian dari keuntungan yang dia petik dari gerobak rokoknya telah terbang ke kantong bandar judi. Huripto selalu berpandangan positif. Dia beranggapan uangnya yang lenyap ditarik bandar merupakan sumbangan yang akan memperbesar kebahagiaan teman-temannya yang beruntung. Jalan pikiran dan ketulusan hati seperti itu terutama muncul ketika saban minggu dia membeli lembar-lembar Undian Harapan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial. Dia bukannya tak tahu, sebagaimana yang dikatakan berbagai laporan koran, bahwa uang undian itu bukannya mengalir untuk membantu penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Sekalipun dia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat tingkah laku pejabat yang korup. Hanya saja dengan gampang dia bisa berdamai dengan kekesalannya. Yang penting buatnya kesempatan bertaruh selalu terbuka. Menang atau kalah soal belakangan. Dan yang paling utama adalah bahwa dengan secarik kertas taruhan, dia bisa berangan-angan. Dia punya kredo sendiri: Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa. Angan-angan membuat hatinya sejuk tenteram. Dia merasa regangan sarafnya menjadi kendur. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang meninggal disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan dia yakin ketenteraman yang ditawarkan oleh angan-angan yang dipersembahkan kertas judilah yang membuat pembuluh darah jantungnya tetap lentur walaupun tubuhnya gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dari ambang batas normal, jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yang membuai. Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. Dia berpantang berjudi dengan teman sendiri. Lawan-lawannya dalam perjudian haruslah pihak yang tidak dia kenal, mereka yang ingin membangun kekuasaan dengan uang. Baginya tak ada lagi pekerjaan yang lebih hina daripada hidup di atas nasib buruk handai tolannya sendiri. Di tepi jalan, sepelemparan batu dari jalan tol yang melayang di atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas wajahnya dengan karton bekas pembungkus rokok, menyedot kreteknya dalam-dalam, dan meningkahi kepulan asapnya dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang membawa nikmat yang sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dari kakinya yang terus dia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar dia menghela napas. Beberapa saat kemudian, dia menghentikan kibasan karton di tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yang dia buat di situ beberapa jam yang lalu. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dengan angka tiga. Tiga! Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu seperti menampilkan satu sketsa yang acak-acakan, yang melukiskan sekawanan besar burung terbang menutup langit, dengan balon-balon awan tercecer di sana-sini. Dia menyedot kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya supaya tegak lurus, bukan miring sebagaimana biasanya orang yang kalah berjudi. Pengecer rokok merangkap penjudi yang tekun itu lantas bangkit dan meninggalkan gerobaknya menuju ke gang yang terbentang di belakang. Sesiang seperti itu, tentu belum ada yang berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi penglaris bagi agen togel yang menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang itu. Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya kuat-kuat sampai lumat. Dia ambil bolpen dan dengan mantap dia memasang 3033. Seluruh kekayaan dalam bentuk uang tunai yang dimiliki penjudi bujangan yang sudah bangkotan itu, dia tumpahkan untuk nomor itu. Dia tidak khawatir kalau akan kalah lagi karena stok rokok dan barang dagangan yang lain masih cukup. Dia juga menutup taisen maupun kemungkinan keluarnya “angka setan” dari nomor itu. Dan dia kepung angka itu dengan memasang semua kemungkinan yang bisa muncul dari angka yang dia simpulkan dari tanda-tanda alam yang dia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah datang dari mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak rokoknya. Dan yang muncul sebagai pembeli paling awal adalah tiga anak kecil yang baru dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara di jalan tol yang membentang di atas, tiga truk yang bertabrakan tadi malam masih belum juga disingkirkan. Dia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka 3, yang bersimbol angsa, juga berarti kematian, kekosongan. Maka tafsir perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0. Biasanya dia luangkan waktu barang sebentar untuk memperbincangkan angka-angka taruhan dengan penjual kertas togel atau para petaruh yang lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. Dia langsung meninggalkan meja togel dan kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak pernah dia melihat orang memasang sebesar taruhan Huripto yang menjadi penglarisnya siang itu. Dia mengikuti pelanggan yang selalu bernasib buruk itu dengan mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang. Bertambah tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi muncul dan berkerumun di meja togel yang terletak di gang sempit itu. Semua melirik, menatap, memelototi, menafsir rupa-rupa kode yang terhampar di meja. Penjual togel berupaya membuka pembicaraan dengan menyampaikan keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yang begitu besar. Sejak meja togel dia gelar di situ, tak pernah ada orang yang bertaruh sebanyak itu. Tetapi, cerita pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dengan nasib yang apes. Menjadi pemasok rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang pun yang mau meletakkan taruhan pada 3, dalam variasi angka yang bagaimanapun. Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua band. Dia tak perlu datang ke agen hanya untuk mengetahui nomor yang keluar. Cukup menyetel stasiun radio tertentu. Sebagai seorang penjudi yang tekun, maka jarum penunjuk pemancar radionya tak pernah bergeser dari stasiun radio itu. Angan-angannya melayang ke Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin dia tidak mudik. Panen bawang berhasil, tapi harganya anjlok habis-habisan, sampai-sampai para petani membuang hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap pemerintah yang tidak punya perhatian terhadap petani. Tahun ini dia sudah mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena seluruh sanak famili dalam garis keturunannya sudah tiada. Melawan gerah, dia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok yang penuh coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu meninabobokan matanya hingga terpejam. Dia tak pernah menyetel jam weker untuk membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah terbiasanya, bawah sadarnyalah yang akan menyentakkan matanya, persis beberapa menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping menyimak radio. Renowo, agen togel di gang sempit itu, mendadak melompat keluar dari ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yang bertabur kode. Cepat seperti tupai, dia meloncat ke jalan. “Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol dia! Bandar jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” dia melompat-lompat seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu dan berlari-lari kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yang bertempat tinggal di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dari jendela dan pintu rumah, ingin melihat apa yang terjadi dengan agen togel itu. “Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh gila).” Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak. Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dalam gerobak, kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan, menutupi jidatnya. Ada sesuatu, seperti ujung pojok kertas menyembul dari bawah kupiah itu. Sudut mulutnya tampak menahan cairan yang mau muncrat. Perlahan, radio yang terletak dekat ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya lurus melonjor. Perasaan suka cita agen togel yang kesurupan itu jadi tertahan ketika dia sadar bahwa orang yang dia sapa, yang mestinya gembira bukan main karena telah memenangi taruhan dalam jumlah yang belum pernah dia dengar, cuma tergolek kaku. “Pak…, Pak Ripto…,” dia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang diajak bicara cuma diam. Dia raba dan goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak menyahut. Dia tetap menyenderkan kepala ke dinding. “Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dengan cepat berubah menjadi pucat. Lekas dia menarik anggota tubuhnya dari gerobak rokok itu. Lantas dia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati! Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” dia berlari-lari dari ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar gembira dan kemalangan dalam sekali tarikan napas. Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga manusia tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yang menunggu di ujung gang. Ketua rukun tetangga di lingkungan daerah padat itu menjorokkan kepalanya ke dalam gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. Dia maju lebih menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yang membikin gempar itu. Pembuluh darah itu juga diam. Dia menyingkapkan baju dari tubuh tukang rokok yang diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa saat ke dada warganya yang tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti. “Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. Dia memungut kupiah Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, dan memberikannya kepada Renowo. “Apakah dia tahu nomor yang dia pasang mengena?” “Saya yakin. Ya…, ya, dia tahu dia menang. Pak RT lihat sendiri tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dalam kupiahnya. Biasanya kertas togel dia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo. “Syukurlah. Saya kira dia tak tahan menerima kemenangan ini. Jantungnya, gulanya….” Ketua rukun tetangga memutuskan untuk mengeluarkan jasad Huripto dari gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dengan senang hati menyediakan rumahnya sebagai rumah duka. Segala perangkat togel dengan cepat disingkirkan dan sekat di dalam rumahnya dijebol untuk memberikan ruang kepada Huripto dan para pelayat. Jasad penjudi yang gigih itu diletakkan dengan terhormat di tengah ruang dan ditutupi dengan selendang batik, sebelum disembahyangkan. “Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yang datang duduk mengerubung. “Bersediakah kamu menguruskan uang almarhum?” Agen togel itu kelihatan agak gentar. Dia tak pernah melihat uang sebanyak yang “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum. “Saya siap. Tetapi, harus dibantu teman-teman. Uangnya terlalu banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya. “Tak masalah, banyak yang mau menolong. Saya juga bersedia. Tetapi, soalnya mau diapakan uang sebanyak itu?” Ke arah pelayat yang duduk berkerumun, dia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yang pernah mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berkeinginan, atau pernah mengatakan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila dia meninggal?” Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak ragu-ragu, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau dia punya uang banyak dia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya, Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-minta kepada para penumpang bus, truk, atau yang lain, apalagi dengan cara mempersempit jalan di pantai utara Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.” “Ingat. Uang hasil togel memang tak masalah kalau disalurkan untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah uang judi boleh disumbangkan untuk masjid?! Saya hanya ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yang dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi. Renowo memberanikan diri berbicara dan katanya, “Yang penjudi kan orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?” Tak ada tanggapan. Ketua rukun tetangga yang memimpin pertemuan juga tak bersuara. Sementara itu, angka togel Huripto dan jumlah uang yang dimenangkannya secepat listrik tersebar sampai ke pojok-pojok kota yang jauh. Sudah tentu banyak yang berangan-angan ketiban nasib serupa dia. Tetapi, banyak pula yang mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu sebagai jalan mudah untuk memperoleh uang. Seorang berbaju hijau agak luntur, setelah mengucapkan salam, langsung masuk ke gelanggang, menempel bahu ketua rukun tetangga. Orang itu membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin pertemuan. Ketua rukun tetangga kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yang tak rela dia lakukan, tapi harus dia perbuat. Dia merogoh kantong, menempelkan tangannya kepada orang yang baru masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi. “Apakah dia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke Mekkah, atau apa?” pemimpin pertemuan melanjutkan. Hadirin saling memandang. “Mana mungkin uang judi dibuat naik haji. Saya ngerti, cita-cita Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dengan diganti oleh teman-teman dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dari pojok seseorang mengutarakan pikiran. “Saya pernah dengar dia ingin berbuat baik dengan membiayai mereka yang sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus suara dari dekat pintu. “Yang berkaitan dengan haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada yang pernah mendengar cita-cita, keinginan, atawa kehendak Huripto yang lain?” “Dia sayang pada anak-anak. Semua kita mengetahui itu. Anak kecil saya sering dia persenin permen, anak-anak remaja dia belikan bola. Dia juga suka memberikan uang jajan kepada anak-anak yang dia sayangi. Jadi, saya kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk anak-anak.” “Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.” Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul pintu. Mereka datang bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk dan merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru bicara geng berbaju loreng ini juga membisikkan kata-kata yang kelihatannya diterima dengan sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, dia berupaya untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip dia memindahkan isi genggamannya kepada tamu itu. Seperti kucing yang diusir dengan makanan, tiga sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam. Setelah orang berbaju loreng itu, muncul pula kelompok berbaju loreng yang lain dengan warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tidak mengenakkan kelihatannya adalah ketika beberapa orang yang berbadan tegap, berkaus ketat, yang sebentar-sebentar memegangi sesuatu yang terselip di pinggang mereka, memasuki gelanggang yang sedang berkabung. Ketua rukun tetangga mulai gerah dengan tamu-tamu yang sama sekali tidak bisa menghormati Huripto yang diam terbaring di tengah ruang. Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke sekeliling. “Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yang datang menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka yang hidup dengan menguntit, lantas menowel, dan tanpa malu meminta uang kepada orang-orang yang baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok bisa mengganti uang yang sudah saya keluarkan. Tapi, kita harus hentikan ini sampai di sini saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yang sudah mati masih mau diperas. Saya kira perkabungan langsung saja kita sudahi setelah sembahyang jenazah. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yang akan membawa almarhum ke Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yang mengganggu. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto langsung ke pangkalan mobil jenazah. Dari sana ke Brebes.” Seperti mau berbicara kepada Huripto yang sudah terbaring diam untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya, karena telah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh, mengumpat orang-orang yang saya kira memang pantas dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa lama kau menunggu sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat kami tergesa-gesa, kelimpungan dalam mengenang menghormatimu. Maafkan.” Di jalan raya yang membentang di pantai utara Jawa, mobil jenazah yang membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan bahkan ratusan motor yang mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik dari orang yang sekarang terbaring dengan tenang di dalam keranda yang mereka kuntiti. Di dalam mobil jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan almarhum, yang sejak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dengan suara yang sengaja ditahan supaya tidak mengganggu ketenteraman Huripto, masih belum juga menemukan ilham akan dikemanakan uang dari penjudi yang terbaring berbedung kafan di dalam keranda yang membujur di depan mereka.
""3033""
Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam sepuluh malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh tubuhnya (dokter itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya). “Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini resepnya.” “Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline, dokter apa bisa hilang dalam berapa jam lagi?” “Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok saja mengetiknya.” “Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh! Saya mengejar deadline untuk berita besok!” Dokter Bambang tersenyum. Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu dengan Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya). Pertemuan berikutnya, begitu dicari-cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama mendesaknya berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir-akhir ini memang sering dibicarakan, bukan saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah membicarakan, “Saya kira ada banyak lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak kamu pilih salah satu dari mereka?” “Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?” “Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal, apakah tidak ingin serius dengannya?” Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.” Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama pacaran dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami tidak suka kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang memilihkan. Kau tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki-lakimu, dia bakal menjadi suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang Kemal kelihatan bisa sabar kepadamu.” Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum menikah dan masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki-lakimu akan menikah persoalannya tidak jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika orang melihatmu dengan mata penuh kasihan, karena adik laki-lakimu menikah lebih dahulu.” “Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir berteriak. Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai larut malam! Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan lelaki itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan pernah suka lelaki yang dominan terhadap perempuan mana pun). Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan baik-baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus bapaknya. MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang-kadang mengherankan Dini, dia sering melihat suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya gelisah. Pernah ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat. Dini menghormati privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami-istri, masih butuh ruang pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing-masing. Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat-lompat, tetapi tetap dengan interes yang sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain sebagai wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam wacana. Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari kotanya. Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan rasanya, aku punya ikatan emosional dengan pasienku.” Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya sebagai wartawati juga sering berada di luar kota. Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan sejak mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk praktik di luar kota. Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela-sela jas-lab: baju perempuan berikut alat-alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun, yang dilakukan Dini ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan Bambang. Yang pasti, Bambang sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu semodel apa perempuan yang bisa merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya! Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di sebuh kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang bermimpi? Yang memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan kemayunya, tertawa bahagia bersama beberapa teman se-gengnya! Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu dirinya dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun strategi untuk mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia akan mencari potensi yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah bagian yang indah dalam dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih dahsyat dari itu. Bisa jadi, Bambang seorang biseks yang mencintai laki-laki lain. Bambang menangkap kesedihan itu dan berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya tidak pernah ingin menyakiti istriku.” Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi! Sebab yang terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju perempuannya, dia kelihatan begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat binar-binar kebahagiaan. Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis-habisan. Dini kepingin segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu bahagia tersebar di mana-mana dan tiba-tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan Bambang untuk membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki-laki, sedang kita adalah perempuan.” Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama ini, sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti layaknya setiap persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan mereka berdua sebagai simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang begitu salah dan dahsyat di balik itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit baginya untuk berbicara kepada siapa pun, juga pada mamanya (Padahal, dia selalu menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga keanehan-keanehan Bambang). Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang, padahal masalah ini tidak sesederhana itu. Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi jujur lagi! Sekalipun berulang-ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak manusia dan pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.” “Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti ketemu adik perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera menyukai kamu.” “Sebagai adik perempuanmu?” Bambang menganggukkan kepalanya. Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang-ulang, “Kamu penipu kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini sungguh menjijikkan dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku denganmu.” Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya kepingin menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku segera menikahimu sebagai laki-laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa sebenarnya diriku sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki-laki.” Bambang menangis. Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik-baik. Sebelum Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka mengantarmu kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang suka kasar kepadamu.” Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga demi aku, kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.” Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas. Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang. Dini, yang saya sayangi, Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa menerima aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita sampai dia dewasa. O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu menceritakan semua tentang kita…. Dini yang baik, Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi kau. Mudah-mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan. Beberapa tahun yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa harga dirimu terbanting dan kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa. My dearest, Dini. Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang diriku sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa diterima seutuh-utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan tentu saja aku akan tetap menyayangi anak perempuanku. Salamku. Kadang-kadang Bambang masih mengirim e-mail kepadanya dan setiap menerima surat Bambang dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan Bambang (yang disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati dirinya. Dan mencari tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk Dini dan anaknya (Dini selalu sedih membaca e-mail-nya). Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah dengan Kemal! Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir! Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini! Malang, Januari-Mei 2003
""Kabar dari Bambang""
Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh. Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu. Benar dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal dari tulang, daging, atau rambut. “Bukankah ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu. “Benar. Abu jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.” “Waktu ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut. “Usiaku sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.” “Kamu sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan inspiratif, lho!” usul Agni. “Wah, apakah itu di tepi Kalimas?” Pesawat melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri? Kuputar kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan hidangan. Tiba di Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms, termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku. Aku tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi, kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di Kalimas. “Kenapa harus di Kalimas?” tanya Banu. “Karena ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.” “Bagaimana perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman. Air mataku benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu. Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya. “Aku sangat kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.” “Aku turut berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni. “Karena tak ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar dari ingatan itu.” “Mana lebih dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu. “Ketika ibu hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.” “Jam berapa kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman. Adakah aku dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai. “Biarkan air yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai, atau hanyut ke arah kerajaan laut.” “Pamanmu mungkin seorang penyair,” komentar Agni. “Ia yang menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.” “Hidupmu, dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu. “Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.” Keluar dari ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan. “Kita makan soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang. “Boleh. Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?” “Tak jauh dari sini.” Kami naik Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah setiap hari macet seperti ini?” “Ini karena kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa. “Ah, ini hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.” “Sepagi ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.” Kusisir kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu. Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu. Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun menemui ibumu.” “Mungkin pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan mata?” tanya Ery. Aku tak ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio. “Ia pemuja Dewi Kwan Im?” tanya Hilman. “Mungkin. Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.” O, jadi ini yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva, tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya. Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang. “Habis ini kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery. Aku hanya mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda. Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung. “Jangan lupa beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan. “Kukira sore nanti. Ketika matahari mulai surup.” Boleh jadi, pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.” Setiap kali mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas gunting sensor. “Apakah kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni. Gagasan itu bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius. “Apakah kamu menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling bijak adalah menjawab sekenanya. “Dua juta delapan ratus enam puluh empat butir.” “Apakah roh ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu. Aku mencoba mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku, tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!” Hardikan ibu betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur. Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat. Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa. Aku terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat. “Kukira sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery. “Baiklah, kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.” Hari mulai redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras. Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku, dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah. Aku berdoa. Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu. Karena yang kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….” Suara derit rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke tubuhku! Ah, aku lupa mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya! Jakarta, 9 Februari 2003
""Abu Jenazah Ayah""
Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang. Ah lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu. “Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini “…dan kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.” “Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?” “Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita… zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu. “Wong dokter kok, enggak optimis.” “Biar dokter, wong aku juga manusia… kaya’ kamu.” Timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doo Little-yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu. Karena itu pulalah kadang- kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia yang lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku-atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri-entah apa maksudnya. Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian-kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi… kepalanya ternyata babi! Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku-ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil. Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku-dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya. Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. “Ya, kan, Mas… dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja. “Memang babi, kok.” Jawabku serius. “Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi…” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. “Orang kok sirik terus sama penampilan orang lain…” tambahnya enteng saja. “Siapa yang…” aku tak melanjutkan ucapanku, percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan. Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai lagi apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain. “Kita ke dokter mata, yuk.” Ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku. “Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?” “Ya, enggak, tapi… paling tidak, kita kan jadi tahu… kenapa sih, mata kamu enggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel. Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu, karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang enggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan enggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian. “Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara Dik Tony membuyarkan lamunanku. Aku menjawabnya dengan tersenyum saja. “Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku. “Oh, enggak. Enggak sulit, kok, cuma akunya yang lagi enggak mood.” Kilahku sambil menyalakan rokok. Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu. Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. “Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!” “Titik dua, atau titik-koma?” tangkisku sekenanya. “Dasar copywriter!” Aku cuma mengepulkan asap rokokku saja menanggapi kemarahannya yang enggak jelas itu. Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses. Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat-lihat potret-potret, patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda: “Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai. Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. “Zems. Selamat tinggal bau naga!” Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap! Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami. Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske-sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja “memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya… tapi, ah… seekor naga? Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahuinya. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, namun tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan. Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajahnya yang penuh duka-cita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku. Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis. “Kenapa?” “Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?” Aku mengangguk. “Aku baru pinjam VCD dari Enggar… nonton yuk.” “Film apa?” “Dragon Heart.” Aku terdiam. Apa maksudnya? “Yang ini, naganya bisa ngomong… suaranya Sean Connery… keren, lho…” Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film. “Aku mau nonton,” kataku lembut, “…tapi, kamu harus percaya padaku….” “Apa?” “Aku memang melihat manusia berkepala naga….” Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku. “Aku percaya, kok… Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga… kata orang di sana tenang sekali….” “Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga….” “Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu. Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua. Pinang, 982
""Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…""
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun. Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga. “Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka. Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria. Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu. Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan. Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam. Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur. Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.” Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.” “Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.” “Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.” “Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.” “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” “Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.” Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial, tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka. Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting. Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan lambaian terkulai. Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?” “Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit. Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik. “Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki. “Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita. Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang. “Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki. Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik jadi hari baik untuk nikah.” Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi itu. “Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki. Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.” Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!” “Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.” “O ya?” Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama. “Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca. “Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?” Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.” Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.” Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan. Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita itu. “Peluk daku,” pinta si wanita. “Ah, sejak tadi kupeluk dikau.” “Lebih erat lagi. Ciummm…!” Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu semakin ke tepi tebing. Hening. “Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita. “Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.” “Kalau begitu, mari…!” “Ayo…!” Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai menutup mata dan telinganya. “Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!” “Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki. “Ciummm…!” Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh, tanpa batas. Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir. Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa. Jimbaran, Juli 2003
""Hari Baik""
Ibu saya baru saja menebar bunga kembang telon di kuburan Tini yang sudah tidak jelas pusaranya. Kelopak-kelopak bunga mawar, kenanga dan kembang gading dengan pasti ditaburkan, dan dengan elok dikomposisikan. Bunga merah dikumpulkan merah, bunga kuning dikumpulkan kuning. Indah. Padahal tadinya, Ibu ragu-ragu, apakah benar itu kuburan Tini yang ia cari. Karena kompleks pemakaman kecil di dusun Kebalen di kecamatan Rogojampi itu sudah lama tidak terurus. Beberapa belas tahun silam konon tanahnya pernah ambles, dan berusaha diuruk lagi. Bahkan kabarnya, sudah terjadi penumpukan jenazah di kuburan yang sama, karena banyak orang yang meninggal tak menemukan tempat pemakaman baru. Kabar kepastian tempat makam Tini datang beberapa tahun lalu. Kepastian ini berawal ketika ada dealer sepeda motor dari Surabaya berhasrat membeli tanah pekuburan tersebut untuk dibanguni gedung yang difungsikan sebagai gudang motor dan suku cadang. Namun, masyarakat sekitar kompleks pemakaman menolak niat itu dengan menyebar berbagai gosip mistik. Di antaranya informasi bahwa mereka sering melihat sesosok arwah menyembul dari pekuburannya di malam-malam tertentu. Arwah itu berjalan melayang, dan kemudian berdiri di bawah pohon sawo di pintulingkung kecilpekuburan itu. Ia menteng kelek seperti berjaga-jaga agar makam tidak diganggu orang. Entah benar atau tidak, arwah tersebut adalah wanita berkebaya yang menyerupai Tini. Seorang tua di desa itu merasa pernah melihatnya dengan jelas. Dan, ia percaya betul dengan matanya. Apalagi ia mengaku kenal dengan Tini, wanita yang seumur-umur berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Dan orang tua itu berkata, ketika sekeping bulan sudah jatuh di ufuk sebelum dini hari, arwah Tini kembali ke tanah kediamannya, atau masuk ke pekuburannya. Dari orang tua inilah Ibuku percaya bahwa itulah pusara Tini. Prahara di hutan jati Ibu saya bercerita betapa sebagai pembantu rumah tangga Tini sudah menjadi bagian dari keluarga. “Mbok Tini sudah ikut Engkong, sejak Mami berusia tujuh tahun,” kata Ibu. Dalam perjalanan pulang dari kuburan, Ibu saya bercerita mengenai pembantu yang sangat disayanginya itu. Tini pergi dari desanya, pedalaman kota Lasem pada awal tahun 1930-an. Tak jelas benar apa perkara yang menyebabkan Tini pergi dari sana. Konon lantaran pada waktu itu sekompi serdadu Belanda masuk ke Lasem dalam rangka mencari lahan-lahan yang menghasilkan kayu jati. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Dalam kaitan dengan proyek tersebut Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Suami Tini tercatat sebagai lelaki yang harus bekerja melakukan penebangan besar-besaran itu. Namun, suami Tini menolak. Sejumlah tentara Belanda agaknya merasa tersinggung, dan setiap penolakan dianggap sebagai awal pemberontakan. Keluarga Tini pun dianggap sebagai buron dan rumahnya dibikin porak poranda. Prahara di hutan jati pun terjadilah. Tini oleh suaminya disembunyikan di rumah kakaknya untuk kemudian dilarikan ke luar desa. Dan suami Tini, dengan seorang anak lelakinya yang masih balita, memisahkan diri serta bersembunyi di suatu tempat, di selisik hutan jati yang dalam dan gelap. Dalam melangkahi waktu, mungkin Tini pernah berencana banyak tentang sesuatu. Namun, garis nasib sering merancang hal ihwal terlebih dahulu. Karenanya, setelah berdiam sejenak di rumah kakaknya, dan setelah tak tahu lagi nasib suami dan anaknya, Tini diperkenalkan kepada seseorang yang biasa mencarikan pekerjaan untuk wanita yang sebatangkara. Dari sini ia mencoba kehidupan yang mungkin dirasa aneh. Tini di Rogojampi Syahdan di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Lim Len Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Liem Len Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. Tuan Lim melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia yang bernama Sindudarsono Sudjojono untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro . Apa yang dipikirkan Lim Len Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Tini terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong saya. Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Lim itu. Di rumah itulah Tini bekerja. Tini tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Tini memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik dekat sepen. YANG letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat situ. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. Hal lain menyebabkan bahagia situ adalah karena, seperti dituturkannya, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika menderita sakit, diminta kamar saya. dengan serta-merta memasang tikar kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu. Bahkan, kemudian bertahun-tahun, karena Ibu saya ingin ia meninggalkannya. Dan, Tini tak pernah sedikit pun menolak. Tini bertemu utusan Brosot Tahun berbilang, sampai Engkong meninggal. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Dan Ibu saya akhirnya ketemu jodoh, menikah dengan seorang lelaki tinggi besar, berwibawa, aktivis sosial, yang kemudian saya sebut sebagai ayah saya. Karena merasa mubazir bila menempati rumah terlalu besar, Ibu dan Ayah mencari rumah yang lebih kecil. Dan Tini dengan setia ikut serta sebagai pembantu rumah tangga. Pada suatu hari, Ibu saya bertanya kepada Tini, apakah tak ada kabar sama sekali tentang suami dan anaknya. Ia menjawab, tidak. Apakah ia tidak ingin kawin lagi. Ia menjawab, belum. Bahkan, Ibu saya menawari, apabila ia ketemu jodoh di Rogojampi, Ibu bersedia menjadi wali, dan siap untuk membuat pestanya. Gandrung Banyuwangi atau angklung carok akan mengisi keramaian perhelatannya. Bahkan, seorang anak Ibu yang jadi pelukis, Tan Khing Hoo namanya, akan mengabadikan mempelai dalam kanvas dan cat penuh warna. Namun, Tini belum ingin kawin lagi. Ia berkata bahwa sebelum tahu dengan pasti nasib suaminya, dan belum bertemu dengan anaknya, dirinya tak akan memutuskan apa-apa. Meskipun jauh hari ia mendengar kabar bahwa suaminya telah mati dan anaknya pergi ke medan kehidupan yang jauh, jauh, jauh entah di mana. Berpuluh tahun kemudian, sekonyong-konyong datang seorang pemuda ke Rogojampi. Ia mencari seorang wanita. Usianya sekitar 55 tahun, berwajah lumayan cantik, kulitnya agak hitam dan bagus. Suaranya jernih dan termasuk suka tertawa. Alisnya tebal dengan mata yang bersinar seperti milik pilemsetar Miss Rukiah. Wanita ini diinformasikan sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan desanya, di Utara Lasem. Dan wanita itu bernama Tini. Pemuda itu datang dari Lasem, dan mengaku diutus seorang lelaki bernama Brosot untuk mencari ibunya. Tini sesenggukan mendengar kabar bahwa anaknya, Brosot, ternyata masih sehat-sehat saja dan masih ingat kepadanya. Dan ia lebih bersyukur ketika tahu bahwa anaknya masih tinggal di daerah Lasem. Setidaknya kabar gembira tentang anaknya ini menutup kesedihannya yang mendalam, yang berkait dengan suaminya, yang dikabarkan sudah benar-benar tiada. Tini memohon kepada Ibu agar diizinkan pergi menuju Lasem. Tentu saja Ibu mengizinkan dengan penuh bahagia. Ibu berkata, apabila Tini kerasan hidup di Lasem bersama anaknya, ya, tak usah kembali ke Rogojampi. Setelah Ibu memberikan seluruh gaji yang dititipkan, Tini mohon pamit. Ibu dan Tini berpelukan dengan disaksikan Ayah dan sejumlah anaknya. (Sayang saya tak sempat ikut melihatnya). Di Lasem Tini bertemu Brosot. Tini yakin benar itu adalah Brosot, walaupun tiada surat atau identifikasi satu pun yang bisa dipakai sebagai bukti. Oleh karena itu, uang yang dibawanya dari Rogojampi ia belikan sepasang sapi, dua pasang kambing, tujuh bebek serta seekor pejantan. Ia beli tanah beberapa ratus meter persegi untuk pemeliharaan dan pembiakan hewan-hewan itu. Hati Tini berseri-seri menghadapi kehidupan yang baru. Tapi belum seratus hari Tini tinggal bersama anaknya, perasaan tidak kerasan sudah mulai menganggu. Hidupnya merasa disia-siakan. Ia merasa tidak dihargai sebagai Ibu. Brosot sering tidak ada di rumah, dan menganggap rindu-rindu Ibunya bagai tidak ada sentuhannya, bagai tak pernah ada serta tiada gunanya. Namun, Tini tetap sangat menyayangi anaknya, dan tak pernah sekalipun menggugat perilaku Brosot yang sangat mengecewakan itu. Tini lalu memutuskan untuk balik ke Rogojampi. Dan sebelum pergi ia berkata. “Setahun lagi Ibu balik, Nak. Ibu akan selalu rindu kepadamu”. Tini dan “Tabik-tabik Noni” Setahun kali ini, sungguh terasa bagai sepuluh tahun bagi Tini. Brosot dan segenap hewan ternak pemberiannya seperti terus memanggil-manggil. Dan Rogojampi yang pernah memeluk kehidupannya selama berberapa windu, setiap kali seperti membujuknya untuk pulang lagi ke Lasem. Ia ingin mencium kening anaknya. Ia ingin melihat bagaimana sapi-sapi, kambing-kambing serta bebek-bebek berkembang biak dan memberikan kehidupan yang bagus kepada anaknya. Ketika kerinduan itu sudah tiada terbilang, ia pun berpamitan kepada Ibu. Kali ini dengan isak tangis yang sangat mendalam, karena Tini bilang ia tidak akan balik lagi ke Rogojampi. Ia akan hidup bersama anaknya di Lasem, sampai hayat dikandung badan. Ibu juga terharu. Namun, Tini mungkin tersadar bahwa perpisahan itu tidak perlu dimasukkan benar dalam ceruk-ceruk perasaan. Dan lucu, mungkin sambil berusaha menghibur-hibur, ia lalu menyanyikan lagu Tabik-tabik Noni atawa Baboe Maoe Poelang. Lagu yang katanya sering ia dengar di Jaarbeurs, atau pasar malam tahunan zaman Belanda, ketika ia sering mengantar Ibu dan kakak-kakak Ibu dulu. Tabik-tabik Noni, Baboe maoe poelang Poelang ke tana moela, si Baboe soeda toea Kaloe Baboe mati, djangan kasi boenga Kirim aermata, si Baboe soeda trima. Caca marica oe oe… cacamarica oe oe… Cacamarica, si Baboe soeda toea… Syair tersebut dinyanyikan seperti lagu “Mana di mana, anak kambing saya…”. Ibu tersenyum mendengar lagu itu. Tini juga.Ibu kemudianmengantar Tinisampai dipertelon>jmp -2008m<>kern199m<>h 6024m,0<>w6024m<5>jmp 0m<>kern200m<>h 8333m,0<>w8333m<, dan menghilang di selinapan pintu bus yang mengangkutnya ke kampung halaman. Namun, siklus perjalanan hidup Tini semakin sempit saja. Belum seminggu ia sudah muncul lagi di hadapan Ibu, di Rogojampi. Wajahnya kusut. Setelah ia menaruh sepuluh kue lepat sebagai buah tangan dari Lasem, dan sambil menyeret kopor kulitnya yang lusuh ke kamar yang masih saja disediakan oleh Ibu, Tini mengomel. “Brosot sudah tak ada di kampung. Sapi, kambing, bebek, semua sudah tidak ada. Orang kampung juga tidak tahu dia ke mana. Dia minggat dari kampung. Minggat. Ada yang bilang Brosot jadi pedagang sepeda motor di Surabaya! Apa iya Brosot…. Brosot! Aku kok tidak percaya….” Tini menangis dengan suara yang dalam teredam. Sejak itu, Tini menjadi sakit-sakitan. Meski dirinya memaksa diri bekerja, namun ia tidak mau makan. Badannya kurus tak kepalang. Kondisi kesehatannya terus merosot. Ia sering mengigau dan linglung. Nama Brosot setiap kali disebutnya dengan lirih, dengan rasa derita yang sulit diterjemahkan.. Sampai akhirnya sang waktu menutup pintu. Tini meninggal dengan ditunggui Ibu. Sebagai penutup “Tahun ini, berarti tahun ke-30 kematian Mbok Tini. Rasanya belum lama”, kata saya kepada Ibu di sebuah pematang kering yang kami lewati. Ibu tak menyahut. Di kerut pipinya yang sangat tua terlihat setitik air mata. (Untuk mendiang Mbok Tini dan Mbok Barina, pembantu keluarga saya)
""Tabik dari Tini""
Setiap kali aku menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya. Aku tidak ingin tahu namanya. Aku tidak ingin tahu cerita tentangnya. Aku sungguh tidak ingin menambah teror yang sudah merayap di tengkukku hanya lantaran sepasang matanya. Orang-orang di kampung ini pun sepertinya tidak memasukkan orang pemilik sepasang mata yang misterius itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang bercerita tentangnya. Ia tidak ada pada setiap hajatan dan upacara kematian. Ia tidak ada di warung kopi dan pos ronda. Ia mungkin juga tidak tercatat sebagai warga kampung ini, tidak direcoki oleh kewajiban membayar berbagai pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah rumah dan punya dua ekor sapi-dan aku sangat yakin dia tidak pernah ikut pemilu. Tapi bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Bukan karena aku sudah merasa terteror dengan sepasang matanya. Tapi aku sekarang tinggal tepat di depan rumahnya! Aku datang kurang lebih empat bulan yang lalu di kampung ini untuk keperluan penelitian. Dan, oleh seorang kenalan kemudian aku mendapatkan sebuah rumah kecil yang bisa kutempati dengan biaya yang sangat murah. Rumah kecil tepat di depan rumah sepasang mata yang penuh dengan teror itu. Pada malam ketiga setelah kedatanganku, aku bertemu dengannya. Tiga hari dan dua malam setelah kedatanganku kuhabiskan dengan menata dan membersihkan rumah yang kutinggali. Malamnya tentu saja aku sangat lalah dan kupakai untuk istirahat. Baru pada malam ketiga, aku keluar untuk bersilaturahmi dengan tetangga kiri-kanan. Tapi aku urung mengetuk pintu rumah di depan rumah yang kutinggal karena gelap tidak berlampu. Aku berpikir untuk mengunjunginya besok pagi saja. Dan kemudian aku menuju ke rumah kenalanku satu-satunya, lalu kami berdua pergi ke sebuah warung kopi yang cukup ramai. Di sana kenalanku bertambah banyak, apalagi setelah saling bersulang arak. Saat aku pulang, dengan kepala yang begitu berat, aku melihatnya. Saat itu, ketika aku hendak membuka pintu rumahku, aku merasa ada yang mengawasiku. Lalu aku menoleh ke belakang, namun tidak kudapati siapa pun. Gelap ada di mana-mana. Hanya beberapa kelip lampu yang menerobos dari dinding kayu tetangga kiri-kananku, dan lampu redup yang menyala di pagar rumah yang kutinggali. Dan, ketika aku hendak melangkah masuk, aku tetap merasa ada yang mengawasiku. Lalu kuputuskan untuk keluar lagi, dan kuedarkan pandangku sekalipun segalanya tampak lamur karena bersloki-sloki arak. Dan kudapati sepasang mata itu. Aku mendapatinya dari pendar lampu di dekat pagar rumahku. Awalnya aku tidak yakin bahwa itu sepasang mata. Tapi memang kutangkap bayang-bayang tubuh yang sedang berdiri di pintu rumahnya yang gelap. Dan kemudian baru kuyakini bahwa itu sepasang mata. Aku mencoba tersenyum dan ingin menghampirinya. Tapi entah kenapa, langkah kakiku seperti tertahan. Sepasang mata orang itu seperti menjelma menjadi tembok kokoh yang menahanku untuk maju mendekatinya. Sepasang mata seperti bolam susu yang kotor karena debu, sepasang mata yang usai dari badai, sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena. Aku hanya bisa membalikkan tubuh, menutup pintu. Senyum yang kulemparkan bukan hanya sia-sia, senyum yang kulemparkan balik dengan kekuatan ganda melabrakku penuh beda rasa. Aku pikir, aku bukan seorang penakut. Tapi begitu kututup pintu, menguncinya, aku merasa tatap mata orang itu masih terus lekat di tubuhku, seperti mengintaiku dari balik dinding-dinding kayu, dari lubang ventilasi, bahkan ketika aku mencoba tidur, aku merasa sepasang matanya terus menyorotku dari segala benda yang mencipta ruang-ruang gelapnya; dari lubang kunci, dari sela-sela buku, dari atap dan di bawah dipan yang kutiduri. Aku baru saja tidur ketika hari mulai pagi. Dan semenjak itu, aku hanya bisa tidur ketika sudah ada sinar matahari. Aku sudah mencobanya dengan mengganti bolam di kamarku dengan yang lebih terang, dan aku mencoba tidur dengan lampu yang menyala terang itu. Tapi sungguh sia-sia. Aku justru merasa seperti ada di sebuah akuarium, dan sepasang mata itu terus melihatku dengan begitu leluasa. Di siang hari, aku merasa tak ada gangguan dengan sepasang mata itu. Siang hari, ketika aku bangun dari tidur yang kumulai di pagi hari, aku bisa mendapati rumah di depan sebuah rumah yang biasa saja. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon buah- buahan. Di sampingnya agak jarak, aku melihat sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Di sekeliling kandang itu tumbuh subur pohon-pohon pisang dan sayur-sayur. Aku melihat laki- laki itu pulang pada senja hari dengan sekeranjang penuh rumput di atas kepalanya, cangkul dan sabit, juga lintingan rokok besar di tangannya. Tapi sepasang mata yang penuh teror itu selalu tak bisa terlihat. Aku pikir mungkin karena ada topi lusuh yang bertengger di kepalanya, juga keranjang penuh rumput yang di sana-sini rumputnya jatuh di kepala dan punggungnya. Tapi kemudian aku benar-benar menyerah. Dari berbagai arah, berkali-kali pada saat bertemu dengannya di siang hari, aku tetap tak bisa melihat sepasang matanya. Aku ingin menantang tatapan matanya di siang hari. Mata yang membuat malam-malamku menjadi resah dan menakutkan. Ia dan sepasang matanya berkuasa padaku di malam hari. Pernah pada niat yang begitu bulat, kukerahkan dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk menemaninya di malam hari. Tapi sekali lagi entah karena apa, aku hanya bisa sampai pada pagar hidup rumahnya. Rumah yang masih tetap gelap. Aku melewatinya berkali-kali dengan perasaan tak menentu. Akhirnya kuputuskan untuk menemui kenalan-kenalanku di warung kopi sambil minum arak, berusaha melupakan kebulatan tekatku yang tidak menghasilkan apa-apa. Dan peristiwa yang makin memojokkanku datang di malam itu. Aku merasa ingin kencing, lalu aku keluar dari warung menuju arah jalan yang agak sepi untuk kencing. Sebetulnya begitu keluar dari warung, aku merasa malam segera menyambutku dengan tusukan sepasang mata yang ada di mana-mana, ada di balik setiap gelap. Tapi aku mencoba tidak peduli, juga karena aku memang harus kencing. Namun tiba-tiba langkahku terhenti, di dekat sebuah satu tiang listrik, yang lampunya di sekitarnya menyala redup, aku melihat sosok itu. Dan aku menatap matanya dengan cukup jelas saat itu. Mata yang seperti selesai namun maih menyimpan sisa badai. Aku gemetar. Tubuhku dingin namun mengeluarkan keringat. Suaraku seperti hilang, dan aku seperti tak punya napas. Seluruh kulit di tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri. Aku hampir dihabisi oleh ketakutan yang terkutuk. Lalu kulihat kemudian ia pergi, melenggang dengan langkah-langkah pendek dan nyala api dari tangannya. Api lintingan rokok yang besar. Beberapa saat kemudian, aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Segera aku diburu oleh rasa marah yang sangat pada diriku, dan balik ke warung kopi, minum bersloki-sloki arak, lalu kupinjam parang dari pemilik warung. Beberapa orang agak heran, tapi kemudian aku bisa berdalih. Dengan tubuh yang menahan marah aku melangkah menuju rumahnya. Aku masukkan parang di balik jaketku, setelah aku sadar betapa memalukannya diriku. Apa salahnya padaku? Kenapa aku bisa begitu terganggu dan ketakutan? Tapi aku tetap melangkah menuju rumahnya. Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya, paling tidak berkenalan, dan aku ingin memastikan bahwa sepasang mata itu sesungguhnya tidak penuh dengan teror. Tapi jika kemudian memang marabahaya yang ditawarkannya, aku meraba gagang parang di balik jaketku, seperti meraba kemungkinanku untuk mempertahankan diri. Dan kudapati ia di depan pintu rumahnya, masih dengan nyala rokok yang jika dihisap menjadi bertambah nyalanya, dan sepasang matanya semakin terlihat mengerikan. Aku tetap hanya bisa tertegun di pagar hidup rumahnya. Kami berdua hanya dibatasi dengan pagar hidup pohon beluntas setinggi perutku , dan beberapa meter kemudian tubuhnya bersandar pada salah satu sisi pintu yang terbuka, seperti menungguku. Aku habis kata dan keberanian. Aku tetap mendapati sepasang matanya sebagai teror menakutkan. Sangat menakutkan. Aku berbalik arah, dan seiring dengan pengaruh arak yang merayap turun, aku semakin dirundung takut yang menyesakkan. Sampai pagi tiba. Sebulan sekali, aku ke kota untuk berkonsultasi dengan peneliti seniorku. Dan pada saat yang agak jauh dari kampung itu, dari sepasang mata itu, aku bisa berpikir dengan agak jernih. Itu sepasang mata orang yang telah mati, mata yang keruh. Tapi kenapa di tubuh yang tegap dan hidup bisa memiliki mata orang yang telah mati? Dan mengapa itu hanya terjadi di malam hari? Atau baiklah, aku tidak bisa mengatakan itu hanya terjadi di malam hari, sebab aku tidak pernah melihat matanya di siang hari. Tapi menurutku pertanyaan itu bisa kuganti dengan: mengapa aku merasa ada sepasang matanya yang menakutkan itu, hanya menerorku di malam hari? Mungkin banyak orang akan menjawab, mereka mengira aku takut hantu dan sejenisnya, yang selalu hadir di malam hari. Itulah masalahnya. Aku tidak pernah percaya hantu, dan malam hari bukan sesuatu yang selama ini menakutkan. Aku hanya takut pada dua hal selama ini: kecoa dan ulat bulu. Lalu sesungguhnya apa yang menakutkanku, sehingga aku harus tidak nyaman tidur, tidak leluasa berpergian ketika malam, dan beberapa kali gemetar tak karuan ketika bertatapan mata dengan bertemu dengan orang itu? Dan lalu muncul keinginan-keinginan untuk tahu siapa pemilik sepasang mata itu. Tapi setiap kali aku balik lagi ke kampung itu, segala keingintahuanku tiba-tiba lenyap, bahkan aku tidak ingin mengerti dan tahu apa-apa tentang orang tersebut. Tiba-tiba aku seperti berada dalam sebuah situasi dimana pemilik sepasang mata yang menerorku itu tidak pernah ada di kampung itu. Tidak pernah ada orang yang membicarakannya, menyebut namanya. Dan aku merasa bahwa memang sepasang mata yang seperti orang yang telah mati itu memang hanya untukku dan itu hanya ada di malam hari. Selalu saja, jika aku ada di kampung itu, aku selalu merasa seperti tidak perlu dan tidak butuh semacam latar belakang dan cerita tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin menambah derajat ketakutanku. Biarlah dia hadir dengan sorot matanya ketika malam. Toh aku tidak selamanya ada di sana. Tapi pada saat jauh dari kampung dan orang itu, selalu saja aku dirundung tanya dengan begitu saja. Umur laki-laki itu kira-kira seumur dengan pamanku, lima tahun lebih muda dari ayahku. Tubuhnya gempal berisi dengan kulit yang agak gelap terbakar matahari. Tidak pernah kulihat beralas kaki. Selalu melangkah dalam langkah-langkah pendek dan mantap. Benar-benar tubuh orang hidup. Tapi sepasang matanya…. Suatu saat, dalam sebuah perjalanan balik menuju ke kampung itu, aku berhenti di kota kecil. Dari kota itu ke kampung yang hendak kutuju masih berkisar satu setengah jam masuk ke dalam bebukitan penuh ladang naik angkutan yang sehari paling hanya ada tiga atau empat kali dalam sehari. Aku berhenti untuk berbelanja beberapa kebutuhanku yang lupa kubeli. Selesai berbelanja, sambil menunggu angkutan, aku masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Begitu masuk, entah mengapa, perhatianku langsung tertuju pada seseorang berbaju dan bercelana hitam, baju dan celana yang komprang dan warna hitamnya mulai pudar. Aku duduk di sampingnya. Kuperhatikan lagi orang di sampingku. Cukup tua. Kutangkap keriput di wajahnya. Hampir semua kumisnya berwarna putih. Ia memakai ikat kepala dari kain. Diam. Asyik dengan rokok dan secangkir kopinya yang hampir tandas. Ia menoleh padaku, melempar senyum. “Mau ke Dalam, Anak?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya, memberiku tempat agak leluasa. Aku mengangguk. ‘Dalam’ adalah istilah untuk menyebut daerah yang kutuju. Lalu aku memesan kopi dan makan. “Saya juga mau ke sana.” Aku merasa agak lega. Setidaknya aku merasa ada teman menuju satu tujuan. Sebab kadang-kadang memang tidak ada angkutan yang pasti ke sana. Aku berharap, dalam hari yang masih siang seperti itu, masih ada sisa angkutan ke Dalam. “Bapak berasal dari sana?” “Dulu. Tapi sudah lama saya keluar dari sana.” Aku meneruskan makan, dan berharap tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya enggan di jawab. Ia nampak masih asyik dengan kopi dan rokoknya. Sudah beberapa saat kami berdua menunggu. Tapi angkutan menuju Dalam tak juga muncul. Lalu kami putuskan untuk menunggu tepat di jalan menuju Dalam, siapa tahu ada mobil maupun truk yang lewat dan kami bisa numpang. Hari berangkat menuju sore. Di sebuah rumah-rumahan yang mungkin bekas warung makan sederhana, kami menunggu. Kami tidak banyak bercakap. Laki-laki itu lebih sering memunggungiku, menebarkan pandangnya ke lanskap, ke arah Dalam, yang dari jauh terlihat hanya sebagai bebukitan. “Waktu aku kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau.” Laki-laki itu berucap, tapi tidak seperti ditujukan padaku, sedangkan ia masih juga memunggungiku. “Bapak pernah tinggal di sana?” “Hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana. Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa, jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa yang baru, dan membawa pergi apa-apa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi.” Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, dan kulihat wajah yang mengeruh. Murung. “Mau tidak mau kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah, hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka. Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan. Mereka menjaga hutan seperti menjaga barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka mendiamkannya, bahkan ada yang diam-diam dari mereka sengaja melindungi dan membantu menjualnya.” Ia berhenti sejenak, melinting rokok dalam ukuran besar, mengingatkanku pada orang bermata teror. “Mereka bilang akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bolong. Diam-diam di antara mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat dan besar. Kami berubah dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orang- orang mereka. Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya, tapi mendapatkan hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena. Rumah-rumah kami digeledah, atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata dan menangkapi kami. Harus tetap ada yang dianggap mencuri, sekalipun hasil terbesarnya ada pada mereka sendiri.” Orang tua itu membalikkan tubuhnya lagi, memandang Dalam dari kejauhan. Senja mulai jatuh. “Sekarang, hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat, pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan, dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukit-bukit itu juga akan rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan batu.” Aku terperanjat seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu di daerah Dalam. Senja beranjak gelap. Orang tua itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba aku merasa gemetar. Aku mencari-cari sesuatu, dan pandangku berhenti pada sepasang matanya. Sepasang mata itu! *
""Sisa Badai di Sepasang Mata""
Pertama kali aku bertemu Nancy Goodhead adalah ketika pesawat Iraqi Airways, maskapai penerbangan Irak, yang kami tumpangi baru saja mau meninggalkan bandar udara Alia di Amman, Yordania. Waktu itu Desember 1990, beberapa bulan sesudah tentara Irak menyerbu Kuwait, dan kemudian pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat sudah mencanangkan serangan ke Irak. Ribuan orang, termasuk para diplomat dan pekerja asing, meninggalkan Irak untuk menghindari perang. Namun, di bawah bayang-bayang serangan Amerika dan sekutunya, sejumlah orang justru mau masuk ke Irak. Salah satunya adalah aku, sebagai anggota organisasi perdamaian, yang berkepentingan untuk mencegah perang. Mereka yang memilih masuk ke Irak, umumnya hanyalah warga Irak sendiri, petugas PBB, jurnalis, atau aktivis perdamaian dan kemanusiaan. Dalam antrean, ketika mau memasuki pesawat, kopor Nancy-yang waktu itu belum kukenal-jatuh. Aku membantu mengambilkannya. “Terima kasih,” ujarnya, sambil tersenyum ramah. Ia mengenakan jeans biru, sweater merah jambu, dan jaket kulit hitam. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna kecoklatan. Kutaksir, umur perempuan ini sekitar 32 tahun. “Apakah Anda datang ke Irak, juga sebagai anggota kelompok perdamaian?” ia bertanya. “Ya. Saya dari Indonesia. Saya tergabung dalam Gulf Peace Team, organisasi perdamaian yang berbasis di London dan didirikan oleh Yusuf Islam. Anda tentu tahu, dulu ketika masih menjadi musisi dunia, namanya Cat Stevens,” sahutku. “Ah, ya. Tentu saja. Salah satu lagunya sangat saya sukai. Judulnya, kalau tak salah Morning Has Broken, bukan?” tuturnya. “Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Nancy. Saya tergabung dalam organisasi perdamaian The Coalition for World Peace and Friendship. Ini organisasi Amerika, saya juga orang Amerika. Tetapi, kami menentang perang, sama seperti Anda.” Ternyata kami dapat tempat duduk bersebelahan di pesawat. Maka, sepanjang penerbangan dari Amman ke Baghdad, ibukota Irak, kami mengobrol tentang banyak hal. Nancy mengaku berasal dari Ohio. Ia pernah menikah, tanpa dikaruniai anak, kemudian bercerai. Ia sudah bergabung dengan organisasi perdamaian dalam beberapa bulan terakhir, sesudah berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan perangkat lunak komputer. Pekerjaan tersebut sebetulnya cocok dengan bidang ilmunya, sebagai lulusan Jurusan Teknologi Informasi di Columbus State University. Nancy berhenti dari pekerjaannya, dengan alasan, “ingin mencari pekerjaan baru yang lebih banyak berinteraksi dengan manusia lain.” Sambil menunggu memperoleh pekerjaan lain, ia ikut aktif di organisasi perdamaian. Menurut Nancy, krisis Irak ini menyentuh perasaannya untuk terlibat lebih dalam, dengan terjun langsung dalam aksi menentang perang. Tak terasa pesawat kami sampai di Bandara Internasional Saddam, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Baghdad. Kabut tipis ditambah udara yang dingin-waktu itu memang sedang musim dingin di Irak-menambah murung suasana. Menurut rencana, kami para aktivis perdamaian akan segera menggelar demo antiperang di Baghdad, dalam dua-tiga hari mendatang. Dan sebagai puncaknya, kami akan mengadakan kemah perdamaian di perbatasan Irak-Arab Saudi. Ini merupakan aksi simbolis karena para aktivis merelakan diri menjadi “perisai manusia” di antara posisi dua kubu yang mau berperang. Di wilayah Arab Saudi, saat itu telah bercokol puluhan ribu pasukan multinasional yang dipimpin Amerika. “Ah, selamat datang! Selamat datang di Irak. Mohon maaf atas penyambutan kami yang apa adanya ini,” sambut seorang pria Irak kepada kami, rombongan aktivis perdamaian. Tubuhnya tinggi, dan terkesan atletis. Ia kelihatan tampan, dengan kumis dan alisnya yang tebal. Namun, yang paling mengesankan bagiku adalah sorot matanya yang bening dan polos. Kelihatannya tidak pas dengan postur tubuhnya yang lebih garang. “Perkenalkan, nama saya Saeed Mursheed al-Majeed. Saya adalah staf dari Departemen Luar Negeri Irak. Saya ditugaskan menjadi pemandu Anda, sekaligus melayani berbagai kebutuhan Anda selama di Irak ini. Mari ikut saya. Mobil sudah menunggu,” ujarnya. Ada sederetan mobil sedan dan van yang sudah menunggu kami. Aku, Nancy, dan Saeed kebetulan mendapat mobil yang sama. Nancy dan Saeed duduk di kursi depan, aku di belakang. Bersamaku di kursi belakang, aktivis perdamaian asal Jepang, Miyuki Nakajima, dan aktivis asal India, Prabha Jagannatan. Mobil kami meluncur memasuki kota Baghdad, menyusuri pinggiran Sungai Tigris yang lebar dan indah itu. Jalan yang kami lalui lebar dan mulus. Benar-benar infrastruktur perkotaan yang bagus, yang dibangun dengan uang minyak. Baghdad adalah kota tua. Di masa kejayaannya, ketika Paris dan London masih desa kecil yang tak dikenal, dan Christopher Columbus belum menginjakkan kakinya di benua liar yang sekarang bernama Amerika, Baghdad sudah menjadi kota metropolitan yang makmur. Kami menuju ke tempat penginapan sementara di Baghdad, sebelum berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi. Orang terlihat di jalan-jalan. Denyut kehidupan di kota seribu satu malam ini seolah berjalan normal. Namun ketidaknormalan akan terasa, jika kita melihat ke atas. Di beberapa atap gedung kulihat moncong- moncong ZSU-23, senjata anti-serangan udara buatan Rusia, kaliber 23 mm. Senjata-senjata ini menengadah ke langit, seolah-olah tak sabar menyongsong datangnya pesawat-pesawat musuh. Saeed termasuk pria menyenangkan. Sepanjang perjalanan, ia cepat akrab dengan para tamunya, terutama dengan Nancy. Saeed bercerita tentang macam-macam hal, mulai dari desa asalnya, kuliahnya, karirnya, dan keterlibatannya di tugas ini. Salah satu hal yang ikut mendorong karirnya di Departemen Luar Negeri adalah asal kelahirannya di Desa Tikrit, yang juga tempat kelahiran Presiden Irak Saddam Hussein. Sejauh informasi yang kudengar, Saddam memang menjadikan orang-orang dari kampung halamannya sebagai basis pendukung yang setia. Sebagaimana layaknya pemuda Irak lain, yang berdedikasi pada karir, Saeed juga jadi anggota Partai Ba’ath. Partai berideologi campuran sosialisme dan nasionalisme Arab ini adalah partai yang berkuasa di Irak. Jadi, Saeed memang di jalur karir yang tepat. Sayangnya, lulusan Jurusan Sosiologi Universitas Baghdad ini belum menikah, meski umurnya kuduga sudah 35 tahun. Katanya sambil tertawa, “Belum menemukan calon pendamping yang cocok.” “Apakah calon pendamping Anda harus orang Irak? Atau orang Arab?” cetus Nancy. “Oh, tidak. Saya bilang, pendamping yang cocok. Artinya, bisa orang dari mana saja,” sahut Saeed. Lalu ia melanjutkan, setengah menggoda, “Mengapa Anda bertanya begitu? Apakah Anda punya calon untuk saya?” Nancy tersenyum. “Pertanyaan itu belum bisa saya jawab sekarang.” Begitulah, sejak awal perkenalan Nancy dan Saeed, aku sudah melihat tanda-tanda ke arahnya mendekatnya hubungan antara mereka. Proses ini pun berlanjut. Sore itu, ketika kami sudah tiba di penginapan dan bersiap untuk perjalanan ke perbatasan besoknya, aku beberapa kali memergoki Nancy dan Saeed sedang mengobrol berdua. Pada malam harinya, aku, Miyuki dan Prabha mengisi waktu dengan berjalan-jalan di pinggiran Sungai Tigris. Di sebuah restoran ikan bakar di pinggir sungai, kami sekali lagi bertemu Saeed dan Nancy. Keduanya menyapa kami dengan ramah, dan mengajak kami bergabung. Kami pun bergabung, dan jadilah malam itu malam yang akrab untuk kami semua. Sambil menyantap ikan bakar, di bawah kerlap-kerlip bintang di langit kota Baghdad, untuk sesaat kami lupa bahwa perang siap pecah kapan saja. Saeed dan Nancy berasal dari dua negara yang sedang berperang. Tetapi, hubungan antara mereka adalah sesuatu yang kupikir lebih mendasar, hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini soal perasaan, soal kebutuhan manusia. Tidak ada hubungannya dengan politik antarnegara. Setidaknya itulah yang kulihat waktu itu. Aura Baghdad, kota kuno yang pernah menjadi pusat kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini, tampaknya memberi romantisme tersendiri. Hari berikutnya, karena kebersamaan dalam kegiatan kelompok perdamaian, aku makin akrab dengan rekan-rekan lain di kelompok ini, termasuk tentunya dengan Nancy dan Saeed, yang sebetulnya bukan anggota tim perdamaian. Kami melakukan aksi unjuk rasa anti-perang di Baghdad, bersama kelompok pelajar sekolah menengah Irak. Lalu malam harinya, ada acara meditasi bersama untuk perdamaian, yang dipimpin Yunichiro Miyazawa, seorang pendeta Shinto dari Jepang. Esok paginya, kami berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi, untuk mendirikan kemah perdamaian. Namun, kami hanya sempat seminggu tinggal di situ, karena Pemerintah Irak lalu memulangkan kami semua ke Baghdad. Alasannya, perang tampaknya akan segera pecah. Pemerintah Irak khawatir kami akan menjadi korban, dan Pemerintah Baghdad tak ingin disalahkan karena hal-hal tersebut. Tiga hari kemudian, perang memang betul-betul pecah. Malam itu langit kota Baghdad memerah. Sejumlah gedung pemerintahan meledak dan terbakar, ketika bom-bom dari pesawat koalisi pimpinan Amerika mulai berjatuhan. Suara sirene tanda bahaya meraung- raung, diselingi rentetan tembakan dari artileri dan senjata anti-serangan udara Irak. Misi perdamaian kami gagal. Aku memutuskan pulang ke Indonesia karena praktis tak ada lagi yang bisa kulakukan. Prabha dan Miyuki jua punya pikiran serupa. Sedangkan Nancy mengatakan, masih akan tinggal beberapa hari lagi di Baghdad. Ia tak mengatakan alasannya, tapi kuduga karena ia tak ingin cepat-cepat berpisah dari Saeed. Esoknya, aku, Miyuki dan Prabha pulang dengan jalan darat ke Amman, Yordania, karena semua penerbangan ke dan dari Irak sudah ditutup. Saeed dan Nancy mengantar kami sampai taksi yang kami carter. Sebelum berpisah, kami berjanji untuk tetap saling kontak. Saeed dan Nancy melambai, ketika taksi kami melaju meninggalkan tempat penginapan. Aku tak banyak mendengar kabar lagi tentang Saeed dan Nancy sesudah itu. Tetapi, kemudian kudengar kabar dari Miyuki, yang sering mengirim e-mail kepadaku bahwa setahun sesudah berakhirnya Perang Teluk, persisnya tahun 1992, Nancy dan Saeed menikah di Baghdad. Saeed tetap bekerja di Deplu Irak. Karirnya makin menanjak. Sedangkan Nancy kemudian bekerja di sebuah badan PBB, yang mengurusi program bantuan pangan untuk Irak. Aku baru bertemu Saeed lagi tahun 1999. Ia sedang mengunjungi Kedutaan Besar Irak di Jakarta dalam suatu tugas dari kantornya. Saeed meneleponku dan kami pun bertemu di sebuah restoran makanan Arab di Jalan Raden Saleh. Sambil menyantap kebab, kami mengobrol tentang masa lalu, ketika perang tahun 1991. Tetapi, yang lebih ingin kuketahui adalah kabar tentang Nancy, istri Saeed sekarang. “Aku minta maaf, Rio, tidak memberi kabar padamu tentang pernikahan kami waktu itu. Semua berlangsung begitu cepat, dan aksesku keluar juga sangat sempit. Untunglah, Nancy masih menjaga kontak dengan Miyuki sehingga kaupun akhirnya tahu tentang pernikahan kami,” tutur Saeed. Ia tampak sedikit lebih tua, tapi senyumnya masih ramah seperti Saeed yang kukenal dulu. Namun, senyumnya kali ini tidak betul-betul lepas, seperti ada yang mengganjal. Dari obrolan berikutnya, aku membaca keprihatinan Saeed. Ini berkait dengan Nancy. Selama ini tidak ada persoalan serius di antara mereka, kecuali satu: soal anak. Nancy tidak mau atau belum mau punya anak. Menurut penuturan Saeed, alasan yang dikeluarkan Nancy macam-macam. Mulai dari kesibukan di karir dan pekerjaan, yang membuatnya terlalu lelah dan tak punya waktu mengurus anak, serta berbagai alasan lain. Alasan ini tak bisa dipahami Saeed. Malah bisa dikatakan, sejak awal menjalin hubungan, ia tidak pernah memperkirakan masalah ini akan muncul di antara mereka. Sebaliknya, dari sisi Saeed, sebagai seorang pria Arab yang sudah berkeluarga, masalah anak dan keturunan ini sangat penting. Ia mengaku tetap mencintai Nancy, tetapi soal anak ini merenggangkan hubungan mereka. Saeed masih berusaha mempertahankan perkawinan ini, dengan harapan cepat atau lambat Nancy akan berubah pikiran. “Itulah, Rio. Sayang, aku tak bisa tinggal lama di Jakarta. Kontaklah aku kalau kau mau ke Baghdad. Meskipun Irak masih menderita akibat embargo PBB, kondisi Baghdad sekarang sudah lebih baik. Berbagai kerusakan akibat pemboman Amerika tahun 1991 sudah diperbaiki. Kita akan makan ikan bakar di pinggir sungai Tigris, seperti dulu lagi,” ujarnya. Itulah ucapan Saeed terakhir yang kuingat, sebelum ia pulang kembali ke negerinya. Sesudah itu, karena kesibukan masing-masing, aku jarang berkontak lagi dengan Saeed. Sekali dua kali, aku menerima kiriman surat atau kartu posnya. Aku tak pernah membayangkan, kenangan akan Nancy dan Saeed akan muncul lagi justru dalam situasi yang sangat buruk, setelah Amerika dan Inggris mengagresi Irak, Maret 2003. Ketika televisi menayangkan gambar gedung-gedung kota Baghdad, yang hancur dan terbakar, akibat dibombardir secara membabi-buta oleh mesin militer canggih Amerika, aku hanya bisa bertanya: Di mana Saeed dan Nancy? Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka selamat? Aku sempat bertanya ke Kedutaan Irak di Jakarta, tetapi pejabat di sana hanya bisa angkat bahu, karena kontak dengan pemerintah di Baghdad sudah terputus. Bahkan, apakah masih ada pemerintahan yang efektif di Baghdad, juga tanda tanya besar. Secara tak terduga, kabar tentang Nancy dan Saeed justru kuperoleh dari Ahmad Walid, temanku dan reporter Trans TV yang bertugas meliput agresi Amerika-Inggris di Irak. Ahmad mengenalku, sejak secara intensif meliput gerakan antiperang dan beberapa kali mewawancaraiku. “Mas Rio yang baik,” begitu awal pesan e-mail yang dikirimkan Ahmad untukku. “Ketika meliput di Baghdad, saya sempat bertemu seorang pejabat Deplu Irak. Namanya Saeed Mursheed al-Majeed. Ketika ia tahu saya jurnalis dari Indonesia, ia langsung bertanya, apakah saya kenal Mas Rio. Ia sangat gembira, ketika saya katakan bahwa saya berteman dengan Anda. Maka, ia minta izin, menulis pesan pribadi buat Mas Rio. Untuk menjaga hubungan baik, saya membolehkannya meminjam notebook saya, buat menulis surat. Surat itu saya sampaikan ke Mas Rio, dalam attachment file di bawah ini.” Kubuka attachment file dalam e-mail Ahmad itu. Dan kukenali baris-baris kalimat yang ditulis Saeed. Aku merasa napasku jadi sesak. “Rio, aku tak tahu, dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku harus mengalami semua ini. Mungkin kau juga memantau berita tentang perang di Irak, bahwa 10 hari lalu, televisi Irak menayangkan gambar sejumlah warga, yang dituduh bekerja sebagai mata-mata Badan Intelijen Pusat Amerika, CIA. Satu hal yang tidak disampaikan di berita itu adalah dinas intelijen Irak juga telah menangkap Nancy! Ya, Nancy! Kau tidak percaya, bukan? Demi Allah, aku pun tak bisa percaya.” Kuteruskan membaca. “Tapi Mukhabarat atau pihak intelijen Irak menunjukkan bukti alat-alat telekomunikasi, yang ditemukan di tempat tersembunyi, di tempat penginapan Nancy di Basra. Karena sering bertugas jauh di luar kota Baghdad, Nancy memang mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggalnya di sana. Aku tak pernah tahu soal alat-alat telekomunikasi itu. Gara-gara itu, aku pun diinterogasi Mukhabarat selama dua hari berturut-turut. Syukurlah, sejauh ini mereka percaya, aku tak terlibat dan tak tahu-menahu sama sekali dengan urusan alat telekomunikasi itu.” “Namun, yang paling membuatku khawatir dan sedih, mereka membawa Nancy. Aku tak tahu di mana Nancy sekarang, dan bagaimana nasibnya. Tetapi sekarang aku mengerti satu hal, yang selama ini mengganggu perkawinan kami. Kalau betul, Nancy adalah agen CIA, semuanya menjadi jelas. Ia menikahiku karena aku adalah anggota Partai Ba’ath dan berprospek menjadi pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Irak. Tanpa kusadari, aku menjadi sumber informasi tangan pertama, tentang apa yang berlangsung di dalam pemerintahan Saddam Hussein.” “Namun entah kenapa, apapun niat awalnya menjalin hubungan denganku, aku percaya, Nancy benar-benar mencintaiku atau mulai benar-benar mencintaiku. Dan ia sadar, ia tengah berperang dengan perasaannya sendiri. Nancy tahu, kehadiran seorang anak akan makin memperumit situasi yang ia hadapi. Karena hati kecil dan nalurinya sebagai seorang ibu, pasti akan cenderung mengikatnya pada keluarga dan suami. Di sisi lain, kehadiran anak sudah pasti akan mengganggu tugasnya sebagai agen.” “Itulah yang kualami, temanku. Perang terus berkecamuk di Irak. Negeriku hancur, dan kehidupanku pun hancur. Dengan menceritakan ini padamu, aku tidak mengharapkan apa-apa. Aku hanya sedikit ingin melegakan hatiku yang galau ini. Aku tak tahu, mesti bercerita pada siapa lagi karena makin sedikit orang yang bisa menjadi tempat mencurahkan isi hati di Baghdad ini. Dan, mereka pun tak punya waktu untuk mendengarkan kisahku karena di bawah bayang-bayang kematian dan hujan bom dari pesawat-pesawat Amerika, setiap orang di Baghdad ini memiliki kisah sedih sendiri-sendiri… Salam dari Baghdad. Temanmu selamanya, Saeed.” Itulah pesan terakhir yang kuterima dari Saeed. Kira-kira seminggu kemudian, aku kembali menerima e-mail dari Ahmad Walid. Isinya singkat: “Mas Rio, saya ingin menyampaikan berita duka. Kemarin malam, sebuah bom Amerika menghancurkan gedung Deplu Irak jadi puing-puing. Sebelas orang tewas dan 36 lainnya luka-luka akibat bom berkekuatan besar itu. Sebagian besar korban adalah warga sipil, dan salah satu yang tewas adalah teman Anda, Saeed…” Ah, betapa anehnya permainan nasib ini. Aku hanya bisa tercenung dan bersedih untuk Saeed. Namun, betapa pun tragisnya, nasib Saeed sudah jelas. Sedangkan tentang Nancy, masih belum jelas. Hanya sebuah berita yang samar-samar, pernah kudengar dari laporan Owen Lazenby, seorang wartawan televisi BBC di Irak. Katanya, Nancy termasuk salah satu warga asing, yang diselamatkan oleh pasukah khusus Amerika. Ketika itu, mereka menyerbu sebuah rumah sakit di kota Nasiriyah, Irak Selatan, untuk membebaskan enam tentara Amerika yang ditawan, dan secara tak terduga menemukan Nancy di sana. Aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Nancy, setelah itu. Mungkin, lebih baik begitu. Karena aku tak tahu, apa yang harus kukatakan atau kulakukan kalau bertemu lagi dengannya. Kebenaran tentang Nancy yang betul-betul kuyakini cuma satu. Seorang perempuan Amerika yang pernah kukenal di Baghdad. Depok II Tengah, April 2003 Karya: Ipong PS
""Seorang Perempuan Amerika di Baghdad""
Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu. Kompleks perumahan di pinggir sungai itu terasa tambah sesak saja dengan penghuni baru. Kompleks perumahan? Ah, tidak juga. Yang disebut “kompleks” itu sebenarnya tak lebih dari deretan atau jejalan rumah-rumah kecil ukuran 3 x 3 meter. Bahan yang dipakai umumnya batu bata tanpa diplester dan dikerjakan secara “ekspresif”. Tonjolan dan lepotan semen mencuat seperti goresan kuas seorang maestro. Beberapa bagian dari rumah-rumah itu ditutup dengan tripleks atau papan kayu bekas peti kemas. Cat rumah-rumah itu berwarna-warni, seperti gebyar pawai, begitu riuh, seperti percakapan mereka yang berlangsung setiap waktu. “Lha kalau setiap tahun Wasti pulang bawa anak, tempat kita pasti sumpek,” seorang perempuan gemuk tertawa berderai. Tawa itu disambut para “nasabah” yang bergerombol merubung rentenir. “Ya, ndak gitu to. Eh… siapa tahu dia itu nyindir kamu yang mandul,” timpal perempuan kurus dengan tawa berderai. Si Gemuk memotong, “Biar mandul tapi kan jelas punya suami….” Wasti yang sedang mencuci di sumur merasa dirajam. Ia melemparkan cucian dan bergegas masuk rumah. Ibunya, Yu Milah, menatap dengan hati terbelah. Di samping tiga anaknya yang tiduran di ranjang kayu, Wasti rebah. Tangis terdengar tertahan. Tiga anaknya mengeroyoknya, mengajak bercanda. Anak Wasti yang masih bayi menangis di gendongan Yu Milah yang mendadak matanya basah. Pada kilatan mata bayi cucunya itu, Yu Milah seperti melihat dirinya. Menatap raut wajahnya yang tampak penuh kerut-merut, penuh carut-marut cakaran hidup. Ia memang masih menangkap sisa-sisa garis kecantikannya sebagai mantan primadona ketoprak kelilingan yang pernah menuai decak kagum dan tepuk tangan. Namun, kenangan itu tak lebih dari sayatan silet yang melintas-lintas. Dua puluh empat tahun lalu, sehabis ia mengejan melahirkan Wasti, ia berharap mampu menutup lembaran hidupnya yang kelam. Cita-citanya sederhana, Wasti terbebas dari nasib buruk seperti yang pernah meringkusnya: ditinggalkan laki-laki setelah perutnya menggelembung berisi gumpalan darah dan janin, hingga Wasti lahir dan tumbuh tanpa mampu mengucap kata “ayah”. Kenangan itu seperti tinta hitam tumpah menggenang di benak, membikin dadanya sesak. “Ke mana pun, laki-laki itu akan kuburu,” gumamnya. “Akan kupotong kemaluannya agar ia punya rasa malu,” giginya gemeretuk geram. Namun, gumam geram hanya berhenti sebagai ancaman yang kini telah mengabu. Seluruh pencarian panjangnya hanya menemui jalan buntu. Laki-laki pejantan itu menjelma bayangan hitam yang terus dicabik-cabiknya. Yu Milah ingin Wasti tumbuh sebagai perempuan yang meniti hidup tanpa kelokan, tanpa tikungan yang penuh tikaman. Tikaman laki-laki pendusta, yang baginya, tak lebih dari para penyewa liang kehangatan untuk menitipkan sperma. Begitu benih itu menetas, mereka lenyap tanpa bekas. Ia ingin Wasti menemukan laki-laki yang, meskipun sangat sederhana, mampu memberikan sarang yang hangat dan nyaman, syukur punya kedudukan yang lumayan. Ia keberatan ketika Wasti memutuskan menjadi pemain ketoprak kelilingan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Ia mendorong Wasti untuk terus sekolah. Ia percaya, sekolah bisa menjadi tabungan masa depan, betapa pun sangat sederhana. Ia sangat gembira memandang wajah Wasti bercahaya setiap membicarakan pelajaran di sekolah. Dari membaca, matematika, sampai sejarah. Ia sangat bahagia melihat anaknya itu sangat lahap menyantap setiap pelajaran. Ia merasa seluruh jerih payahnya tak muspra, tak sia-sia. Ia menangkap impiannya mulai menyembul di balik seragam sekolah anaknya. Namun, setelah Wasti lulus sekolah, ia dikepung masalah. Ia menganggap kuliah di perguruan tinggi hanya mimpi. Ia mendorong Wasti bekerja ke kota meskipun ia sesungguhnya tak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaan anaknya. Ia cukup merasa aman dan bahagia dengan kiriman uang setiap bulannya, yang bisa ikut menyangga kehidupannya yang doyong ke kiri- ke kanan, ke depan-ke belakang. Kedatangan Wasti dari kota menyembulkan rasa bangga di dada Yu Milah. Matanya tersilau kilau anting-anting, gelang, kalung, dan baju-baju bagus yang melekat di tubuh Wasti. Wajah Wasti pun tampak cerah sumringah. Kecantikannya pun makin bercahaya. “Ini sekadar untuk memperbaiki gubuk kita, Bu…,” Wasti menyerahkan amplop tebal. “Oooo banyak sekali. Kita pun bisa beli tipi, kasur, lalu… kompor…. Ya kompor gas…, almari, dan kalau masih cukup saya ingin… apa itu…, lemari es. Aku kan jadi bisa nyambi jualan es….” Wasti tertawa melihat Ibunya begitu girang seperti anak-anak yang dimanjakan. “Kulkasnya besok aja kalau saya datang lagi, Bu. Sekarang untuk gubuk kita dulu, biar kalau hujan Ibu tidak susah….” “Tapi itu penting, nduk. Biar para tetangga tahu kalau kita juga mampu. Bayangkan nduk. Mereka pasti melongo. Melihat ada mobil datang ngantar kiriman kulkas. Yaah… tapi… kardusnya gede ya. Kira-kira cukup nggak ya pintu kita ini.” “Ah, Ibu. Tapi ya terserah….” Para tetangga mengintip dari celah pintu ketika mobil pick-up itu benar-benar datang membawa kasur, kulkas, dan teve. Mata mereka penuh selidik, membidik. Namun, kehidupannya yang mulai merangkak tetap menyisakan pertanyaan bagi Yu Milah. Setiap Wasti pulang, ia selalu ingin tahu soal pekerjaan anaknya itu. Tapi niat yang terus menyemak-membelukar itu selalu dipangkas sendiri. Ia takut, pertemuan yang begitu hangat itu jadi terganggu. Diam-diam Wasti pun gelisah, setiap membaca gerak mata Ibunya. Ketika tatapan kedua perempuan itu bertabrakan, dua perempuan itu saling menghela napas, dengan semburat cemas. Yu Milah mencoba melontarkan pertanyaan yang melingkar-lingkar. Namun, begitu hendak sampai ke pusatnya, Wasti terus menghindar. “Apa to pekerjaanmu, anakku?” bisik Yu Milah dalam hati. “Untuk apa ingin tahu, Ibuku?” batin Wasti mendesah, gelisah. Percakapan isyarat dalam kesunyian itu sangat menggelisahkan mereka. “Aku harus tahu, anakku. Harus,” mata Yu Milah menatap lembut, seperti hendak menyaput kabut di wajah Wasti. “Untuk apa, Ibu? Untuk apa?” Wasti kembali mendesah dengan perasaan terbelah. “Agar aku tenteram, anakku…,” batin Yu Milah mencabik sepi. “Bukankah semua yang kuberikan telah membikin ibu nyaman?” pikir Wasti berkilah. “Tapi tidak tenteram….” Hampir saja suara itu terucap. Yu Milah dengan cepat membekap niat. Kedua perempuan itu kembali digulung gelombang kesunyian, gelombang kecemasan. Waktu terasa membeku. “Kamu akan berangkat lagi?” ucap Yu Milah tanpa sadar. Wasti mengangguk dengan perasaan remuk. Tubuh Wasti kembali ditelan keremangan ruang, hentakan musik yang menimbulkan gempa di dada, lampu warna-warni yang saling berkejaran, asap tembakau yang membungkus bagai kabut, dan kerumunan orang-orang yang membantai sepi tanpa henti, dengan hentakan-hentakan kaki. Ketika musik mengalun lembut puluhan pasangan saling berpelukan, bahkan ada yang saling berpagut. Wasti pun menyerah dalam erat peluk. Dalam irama musik yang menghanyut, Wasti merasa tercerabut, mengapung menyusuri berbagai sudut, terbang ke langit lepas, tangan mendayung awan gemawan serupa gumpalan kapas. Pada ketinggian tak terbatas, tubuh Wasti menggelinjang. Ia merasakan ada tangan kukuh tapi lembut yang merengkuh tubuh, memeluknya rapat hingga ia tak mampu bergerak. Sayup-sayup, ia mendengar suara itu, desah itu, desah laki-laki yang menerbangkan tubuhnya ke ketinggian tak terbatas. Ia merasakan serbuan pagutan liar di sekujur tubuhnya, pagutan yang semula ia tolak dengan manja, namun lama-lama ia terima, bahkan ia nikmati. Laki-laki itu, seperti menjelma kuda terbang yang berderap-derap dalam jiwanya. Kaki-kaki kukuh kuda itu menebah-nebah membuncahkan gairah. Jutaan pori-pori Wasti mengembang dipahat kristal-kristal peluh. Selebihnya, ia merasakan tubuhnya basah. Liang selangkangnya terasa nyeri. Laki-laki itu hanya mengucapkan “selamat pagi, sayang” di layar hand phone Wasti. Perempuan berwajah oval dengan rambut setengah ikal itu membaca pesan dengan perasaan setengah kesal. Ia ingin berlama-lama dalam pelukan laki-laki itu. Ia bahkan tak pernah berpikir tentang selembar cek yang bertuliskan angka jutaan yang diletakkan di meja kecil dekat ranjang sebuah hotel berbintang. Ia merasa laki-laki itu terlalu “profesional” menganggapnya sekadar perempuan penghibur. Padahal, seperti impian yang pernah ditiupkan ibunya, ia mendambakan laki-laki yang rajin datang di diskotek tempat ia bekerja sebagai “teman ngobrol” itu sebagai kekasih. Bahkan, dibayangkan menjadi suami. “Kenapa buru-buru sayang?” kecemasan Wasti tercetak di layar HP. Pesan itu kemudian dikirimnya. Tapi tak dijawab, hingga kini. Ia berusaha mencari laki-laki itu, tapi tak ketemu, hingga kini. Wasti limbung. Kegalauan mengepung, mengurung. Wajahnya yang ceria berubah murung. Laki-laki datang berganti-ganti, mencairkan kebekuan hati Wasti. Tapi tetap saja mereka tak lebih dari pejantan yang rakus menerkam korban. Terkaman itu berulang-ulang, hingga Wasti merasakan kenyerian di sukmanya yang berujung pada tangis bayi yang sesungguhnya tak terlalu diharapkan lahir. “Kamu hamil lagi ya nduk,” Yu Milah mengucap dengan bibir tergetar, tergagap. Wasti mengangguk. Berat. Sangat berat. “Maafkan saya, Bu….” Hati Yu Milah terbadai. Ia merasa dadanya sesak. Matanya basah. “Gusti, maafkan kami…,” ucapnya lirih, perih. “Ini hamilmu yang keempat, nduk. Kenapa kebobolan terus?” Yu Milah hampir tak tega mengucap, tapi kalimat itu terlanjur lepas mencuat. “Mestinya kamu, kan, bisa….” Mulut Yu Milah mendadak tercekat. “Ah entahlah Bu. Mungkin sudah nasib saya….” “Nasib?!” Yu Milah menghardik dalam hati. Ketika anak Wasti yang keempat lahir, para tetangga menyambutnya dengan mulut mencibir. “Dia kira tempat kita ini tempat pembuangan anak-anak kucing….” Si Gemuk sengaja bicara tambah keras. Perempuan-perempuan yang merubung rentenir itu tertawa lepas. “Ya, maklumlah…. Ini kan musim kawin….” timpal yang lain. “Musim kawin kok setiap hari!” tukas yang lain lagi. Tangis Wasti tumpah di pagi itu. Ia langsung membuang cucian ke lantai sumur. Lari masuk rumah. Yu Milah, dengan menggendong anak wasti yang masih bayi, menyongsongnya dengan dada terbelah. Di luar, suara-suara itu makin seru. Si Gemuk tampil sebagai bintang penggunjing. Yu Milah membaringkan cucunya di dekat Wasti yang masih terisak. Ia berdiri di dekat jendela, memandang keluar, memandang para tetangganya yang makin bergairah melemparkan sindiran. Mata Yu Milah terpejam, tapi basah. Pelan-pelan ia beringsut mendekati pintu. Tangannya meraih selonjor besi. Sekejap ia mendadak melesat ke luar. Lonjoran besi diayun-ayunkan. Dengan kemarahan yang memuncak, lonjoran besi itu dihantamkan ke punggung si Gemuk. Tubuh tambun itu tumbang ke tanah. Orang-orang menjerit. Kerumunan bubar. Yu Milah mengejar mereka. Lonjoran besi terus diayun-ayunkan. Tapi para penggunjing itu terlalu cepat masuk rumah. Yu Milah terus mengamuk. Menghantam apa saja hingga remuk. Orang-orang datang menangkap Yu Milah yang kalap. Yang lain menolong Si Gemuk yang pingsan. Susah payah mereka menggotong tubuh gempal itu. Beberapa saat kemudian, serombongan polisi datang dengan mobil terbuka. Langsung menangkap Yu Milah. Wasti memeluk Ibunya sebelum digelandang ke mobil. Erat, sangat erat, dengan isak tangis yang mengiris. “Sana, cari laki-laki yang telah menghancurkan hidupmu!” ucap Yu Milah datar, dengan tatapan nanar, sambil memberikan lonjoran besi kepada Wasti yang gemetar. Wasti membeku. Lonjoran besi itu dibiarkan jatuh ke tanah. Seorang polisi mengambilnya sebagai barang bukti. Beberapa kejap, debu mengepul bagai butiran tepung ditebah ban mobil polisi yang meninggalkan kerumunan. Kompleks hunian itu kini sepi. Orang-orang mengurung diri. Hanya terdengar tangis bayi, anak Wasti. Tangis itu menerobos udara malam yang dingin, sampai ke telinga Yu Milah yang meringkuk di sel kantor polisi. Yu Milah menjerit, menggurat lengkung langit. Yogyakarta, 28 Juni 2003
""Liang""
Dengan sebal Madelaine meneguk habis jus jeruk dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit sepenuhnya warna aluminium. Gerimis di luar membuat pohonan dan jalanan basah kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus. Bahkan, dari kemarin. Madelaine menghela napas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung dan jas hujan. Dengan cepat ia mengenakan mantel dan mengalungkan syal. Bimbang sejenak. Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat sepeda. Diraihnya payung dan bergegas ke luar. Segera saja dingin menyerbunya tanpa ragu- ragu. Dia mempercepat langkahnya. Memakai sepeda di musim dingin dan hujan menjengkelkannya karena sudah bisa dipastikan wajahnya akan basah kuyup. Namun, jalan kaki dan memakai payung juga menyebalkan. Dia harus berjalan lebih jauh mengarungi udara dingin. Salju yang kemarin masih elok jadi becek dan kotor dan licin. Dikenangnya matahari yang benderang dan udara hangat Indonesia. Cuti yang kelewat sebentar. Cuma sebulan! Sungguh sialan, pikirnya. Sambil menyelinap dari satu gang ke gang lain, dia membayangkan gang-gang di Indonesia. Tak serapi di sini, namun seronok. Wajah Eric Mulyana yang serba tersenyum seperti cuaca tropis membuat Madelaine jadi ikut tersenyum. Mengapa wajah begitu, kok, tidak menjadi penyanyi rock atau pop, melainkan justru keroncong! Tapi, kalau dia menyanyi rock atau pop, bagaimana mereka bisa bertemu? Keronconglah yang mempertemukan mereka. Dan permainan biolanya, dan suaranya yang hangat: rindukah kau padaku… Madelaine dengan kaget menghentikan langkah. Sebuah sepeda melintas di mukanya. Dia mencoba berhati-hati sekarang. Hujan makin deras. Dingin makin mengiris. Wangi roti dari toko di simpang jalan menerpa hidungnya. Madelaine terkenang wangi sate di Indonesia. Tajam dan menggoda, seperti mata Eric. Apa, ya, nama group keroncongnya? Oh, ya, “Zonder Rindu”. Madelaine tersenyum. Nama yang lucu. Benarkah setelah berpisah Eric menyanyikan semua lagu-lagu cintanya zonder rindu? Sebuah lagu lama, yakni “Keroncong Pertemuan” akan kami nyanyikan sebagai persembahan kepada tamu kita malam ini, Madelaine. Madelaine, semoga anda suka lagu ini. Dan bergemalah suara emas Eric “Pertemuan malam ini sangat berkesan. Pertemuan kali ini tak terlupakan… ” matanya yang hangat berkali-kali menyinari hati Madelaine. Di pertengahan pertunjukan, Madelaine didaulat Eric menyanyi. Sungguh Madelaine gugup. Tapi, akhirnya ia nyanyikan “Jembatan Merah” satu-satunya lagu yang syairnya dia hafal meskipun logat Belandanya tak bisa hilang. Dan, “Jembatan Merah” dia harapkan benar-benar menjadi jembatan antara dia dan Eric. Madelaine sudah sampai di gerbang taman kanak-kanak yang dia tuju. Dia langsung menuju ruang “Play Group” dan melihat anak-anak sudah ada semua di sana. Dia bergegas ke ruang kantor dan mengambil gitarnya. “Anak-anak, siapa yang sayang papa….” Anak-anak mengacung dengan serentak. “Siapa yang sayang Mama?” Mengacung lagi serentak. “Sekarang kita menyanyi untuk Mama dan Papa. Siaaaaap! Ohhh mijn Papa ….” Mereka bernyanyi bersama-sama. Tapi belum lagi lagu itu selesai, seorang anak sudah berteriak, “Mendongeng Bu, mendongeng….” Sebagian anak menghentikan nyanyiannya dan ikut berteriak “Bercerita… yang lucu Jufrow…” “Tidak! Yang ngeri, yang sereeeeem!” “Cerita rajjaaaa” “Yang Sereeemm…” “Raja saja….” “Raja yang sereeeem!!!!” “Husss! Baik, kita bercerita….” “Horeeeee!!” Anak-anak segera berkumpul mengerumuni Madelaine. Ada yang menyandar di pahanya, ada yang berusaha naik ke pundaknya. “Hey, tenang dulu. Ibu mau ceritaa.” “Naik kuda… aku naik kuda,” kata anak yang mencoba naik ke pundaknya. “Yang tidak bisa duduk tertib tidak disayangi peri. Dia disihir oleh nenek sihir menjadi kura-kura.” Anak yang mencoba naik ke pundaknya ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mencoba meneruskan usahanya. Namun, ketika Madelaine mulai bercerita dan anak-anak lain tidak lagi memperhatikannya melainkan memperhatikan cerita Madelaine, anak itu menghentikan usahanya dan diam-diam memasuki kerumunan untuk mendengar cerita juga. “Akhirnya dia diperkenalkan dengan seorang boneka pangeran dari kayu, bernama Eric. Pangeran Eric adalah seorang pangeran yang gagah dan tampan. Dia pandai menyanyi dan suaranya bisa mengubah musim dingin menjadi musim semi. “Horeee, Pangeran Eric suruh menyanyi Bu… suruh menyanyi… biar cepat musim semi.” “Jangan. Nanti kalau kita loncat ke musim semi, tidak ada hadiah Natal.” “Benar Bu, kalau musim semi tidak ada hadiah Natal….” “Natal itu bulan Desember. Jadi musim dingin. Kalau musim semi tidak ada natal.” “Pangeran Eric menyanyinya nanti saja sesudah Natal.” “Bagaimana kalau musim semi, tapi tetap ada Natal….” “Tidak ada Natal kalau tidak musim dingin….” “Di sini memang tidak ada Natal jika tidak musim dingin. Tapi di tempat lain, Natal tidak harus musim dingin. Di Indonesia, misalnya, udara tetap panas, matahari bersinar terang, daun- daun hijau, tapi tetap ada Natal.” “Ibu bohoong!” “Dengar anak-anak, Indonesia tidak punya musim dingin.” “Apakah karena di sana Pangeran Eric selalu menyanyi terus-menerus sehingga selalu musim semi.” “Benar, anak-anak. Di sana Pangeran Eric terus-menerus menyanyi. Itu sebabnya di sana matahari selalu bersinar, udara hangat dan daun-daunnya selalu hijau.” “Aku mau ke Indonesia.” “Aku mau Pangeran Eric terus-menerus menyanyi….” “Tenang, ibu nyanyikan nyanyian Pangeran Eric: …Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah….” Tapi, anak-anak tak bisa mengikuti lagu itu. Sebentar kemudian mereka bosan dan meminta permainan lain. Madelaine melirik jendela. Masih gerimis. Dan anak-anak sebegitu banyaknya. Dan ribut. Dan Madelaine terkenang liburan. Tangkuban Perahu, mandi air panas. Ahh musim dingin begini, gumam hatinya. Dan anak-anak begini banyak. Tapi akhirnya pelajaran usai. Medelaine menarik napas lega, menyusuri koridor menuju kantor. Anak-anak sudah pada berlarian ke tempat orang tuanya masing-masing yang segera memakaikan baju hangat pada anak mereka masing-masing. Peter tersenyum melihat Madelaine masuk. “Sejak kapan Tchaikovsky menggubah lagu keroncong?” Madelaine tersipu. “Sekali-kali saja, buat variasi. Lagi pula sulit memainkan Nut Cracker Tchaikovsky dengan gitar.” “Itu alasan kedua. Alasan pertama kamu masih ada di Indonesia.” “Masih di Indonesia?” “Ya, hati dan pikiranmu masih di sana. Hanya badanmu yang ada di sini.” “Peter!!!” Madelaine melemparkan tissue yang dipegangnya. Peter menghindar. “Mau kopi?” tanya Peter. Tapi, dia tidak menunggu Madelaine menjawab. Dia menyeduh kopi instant dari termos yang ada di dekatnya dan menyerahkannya pada Madelaine “Bagaimana Indonesia?” tanya Peter sambil tersenyum. “Bagaimana?” Madelaine tergagap. Bagaimana menceritakan Indonesia? Matahari bersinaran, keroncong, senyum Eric. Tak mungkin ini diceritakan pada Peter. Madelaine tertawa. “Datanglah ke sana, nanti akan tahu sendiri.” Madelaine bergolekan dengan malas di ranjangnya. Di luar tak ada matahari. Langit seperti hamparan aluminium dingin. Winter semacam ini kerap membuatnya depresi. Hari jadi cepat malam seperti usia. Ah usia! Madelaine menarik napas berat. Bulan depan empat puluh dua tahun sudah usianya dan masih melajang begini. Belum juga ada pasangan tetap, bahkan tak tetap pun jarang. Ia menelungkupkan tubuh di ranjang, meraih bantal. Tidak bisa dibayangkan ia akan menghabiskan waktu menjadi pengasuh play group hingga masa tua, berada selalu di tengah begitu banyak anak-anak yang ribut, yang nakal, yang cengeng, yang menuntut cerita, yang minta diantar ke toilet, yang… dan tak satu pun dari begitu banyak anak-anak itu adalah anaknya. Mereka tumbuh besar dan Madelaine selalu berganti anak-anak baru. Tak satu pun dari mereka anaknya. Alangkah indahnya anak-anak yang nakal, yang menangis, yang harus diantar ke toilet dan minta didongengi jika saja anak itu anaknya. Mereka akan tumbuh, dan dia mengurus pertumbuhan itu saat demi saat. Tapi tak ada anak-anak. Dan usia seperti winter, cepat sekali jadi malam. E-mail dari Eric kemarin membuat hatinya terhibur. Surat yang selalu hangat dan kadang berselipkan rayuan. Menikah dengan Eric tentunya menarik. Bahkan, jika perlu dia siap tinggal di Indonesia. Indonesia bagi dia identik dengan keroncong. Ternyata tak banyak lagi di Indonesia yang memainkan keroncong dan Eric kekecualian. Diingatnya kembali dia membaca sajak dan Eric bermain keroncong. Mereka dipersatukan oleh keroncong. Ia bisa berbincang berjam-jam dengan Eric perihal keroncong. Kemana pun dia pergi, Eric selalu menemani. Madelaine segera bangun dan membuka Internet mengecek harga-harga tiket untuk musim dingin yang akan datang. Dia sudah memutuskan untuk datang ke Indonesia lagi dan memastikan hubungannya dengan Eric. Alangkah indahnya berkeluarga, pikir Madelaine. Tidak bisa lain, demikian pikirnya, aku harus memastikan hal ini pada Eric. Jarak mereka jauh. Tak masuk akal jika tidak segera dipastikan duduk soalnya. “Tapi aku tidak menyatakan diri akan menjadi pacarmu.” Wajah Eric agak pucat. “Tapi lagu cinta sebagai ucapan selamat datang. Rayuan-rayuanmu lewat e-mail. Kita selalu bersama ke mana-mana, dan saya yakin semua orang beranggapan kita pacaran.” “Madelaine, kamu tidak mengerti. Lagu cinta sebagai sambutan selamat datang itu adalah… ah sudahlah. Sulit menjelaskan. Kami di sini biasa menyanyikan lagu semacam itu sebagai persembahan buat siapa saja.” “Jadi aku sama sekali tidak istimewa….” “Bukan begitu. Aku cuma ingin ramah. Ingin bersahabat. Engkau orang asing dan aku ingin memastikan engkau mendapatkan pengalaman menyenangkan di sini.” “Nah, betul bukan. Kau begitu penuh perhatian padaku. Bukan salahku menganggapmu istimewa. Kukira kau pun menganggapku istimewa. Kukira kita telah mulai menjalin….” “Madelaine, bagaimana lagi aku harus menjelaskannya.” Madelaine tak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu. Tiga belas jam lebih di perjalanan. Bahkan sepertiga dari tabungan tahunannya sudah dia gunakan untuk membeli tiket kemari. Dan Eric… Madelaine mengenang dengan pedih pertemuannya dengan Eric. Kedatangannya ke Indonesia sepenuhnya adalah bencana. Ia sudah bercerita pada satu dua temannya yang benar-benar dekat bahwa dia sedang jatuh cinta. Bahwa dia mungkin sekali akan bertunangan, atau bahkan menikah di Indonesia selama cuti tahun itu. Bahkan, dia hampir yakin teman-teman dekatnya bakal mengenal Eric begitu mereka bertemu karena begitu kerap dan detailnya dia bercerita tentang Eric. Dan Eric… mereka berpisah dengan buruk malam itu. Matanya sembap oleh air mata. Dan wajah Eric pucat serta kebingungan. Eric kemudian pamit dan menghilang. Madelaine tidak ingat apakah dia melambaikan tangan atau tidak. Hatinya sepenuhnya hancur. Matahari bersinar terang esoknya, tapi dia merasa semua hari telah berubah menjadi musim dingin, seperti salju kotor dan becek. Dan kini ia ada di pesawat menuju Indonesia. Dia kerap heran dengan keputusannya untuk kembali ke Indonesia. Mengapa setelah menjalani hari-hari sedih di Indonesia tempo hari ia justru memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Dia tidak tahu untuk apa. Dia kembali bersuratan dengan Eric lewat e-mail. Tak ada rayuan lagi di sana. Pertukaran kabar di antara mereka lebih resmi dan menjaga jarak. Mungkin dia ingin sekali lagi memastikan hubungannya dengan Eric. Mungkinkah? Beranikah dia mempermasalahkan itu lagi? Mungkin dia hanya ingin menjaga masih adanya hubungan. Tidak perlu asmara, tapi paling tidak masih bisa bersama main keroncong, berjalan-jalan, mengobrol. Paling tidak dia memiliki semacam tambatan entah apa, agar bisa tahan menjalani hari-hari penuh anak-anak yang ribut, yang minta didongengi, yang berebut menaiki punggungnya, yang minta di antar ke toilet, yang tak satu pun di antara mereka adalah anaknya. Di pandangnya layar TV di pesawat. Sejam lagi mereka akan mendarat di Jakarta. Selama di pesawat bisa dikatakan dia tidak bisa tidur. Ia selalu gelisah. Hatinya hangat dan hampa. Hampa karena sekarang dia bisa melihat ketakmasukakalan kepergiannya ke Indonesia. Hangat karena wajah Peter berkali-kali melintas dalam angannya. Peter telah pindah dari pekerjaannya sebagai pengasuh play group dan kini bekerja di perusahaan konstruksi serta pindah ke Amsterdam. Mereka bertemu di rumah Jolanda, teman sesama pengasuh playgroup, ketika Jolanda merayakan ulang tahun. Madelaine merasa aneh mengapa selama ini dia tidak pernah memperhatikan Peter. Apakah karena Peter sesama pengasuh anak dan sama-sama tidak memiliki anak-anak itu? Atau karena mereka sama-sama tinggal di kota kecil Zoetemeer yang membuat semua hal seperti membeku dan kehilangan daya tarik. Entahlah. Tapi, dalam pesta itu ia bertemu dengan Peter. Dengan senyumnya yang lebar seperti biasa dia langsung bertanya: “Bagaimana kabarnya Indonesia?” Dan Madelaine tersipu. Indonesia? Apa yang harus dia ceritakan mengenai itu semua. Keroncong cinta yang hampa. Rayuan-rayuan hangat tanpa makna. Air mata… Tapi mereka kemudian berdansa. Entah bagaimana mulanya, mereka pulang bersama. Peter mengantar dia sampai rumahnya. Dia menawarkan secangkir kopi buat Peter dan Peter setuju. Dia mempersilakan Peter masuk apartemennya, mengobrol bersama dan begitu saja ternyata mereka malam itu tidur bersama. Tengah malam Madelaine terbangun dan dengan takjub memandangi wajah Peter yang lelap di sampingnya. Ditelitinya detail wajah itu: alis, mata, dagu yang kehijauan habis dicukur, rambutnya yang pirang kecoklatan. Disentuhnya pipi Peter dengan lembut. Peter terbangun dan menatap Madelaine di antara kantuk. “Ada apa memandangku begitu, sweetie?” Madelaine tidak menjawab. Ia mencium kening Peter lembut dan Peter melanjutkan tidurnya sambil memeluk bahu Madelaine. Besoknya mereka masak berdua. Sama sekali tidak keluar rumah sepanjang hari itu. Minggu depannya mereka berdua menyusuri jalanan bersalju memandangi camar laut yang meluncur indah di atas kanal-kanal. Sepanjang malam mereka tak pernah berjauhan. Pada salju musim dingin Madelaine mendapati hangatnya kehidupan. Ketika Madelaine mengatakan pada Peter bahwa dia akan ke Indonesia, Peter terperanjat. “Untuk apa ke Indonesia, sweetie…. Apakah kamu kedinginan….” “Tidak honey, sama sekali tidak. Tiket ini sudah kubeli lama sebelum kita berhubungan. Aku mencoba mengembalikan, tapi tidak bisa. Tiket ini akan hangus jika tidak dipakai.” “Apakah kamu punya urusan penting atau hubungan penting di Indonesia….” “Sama sekali tidak Peter. Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana tiket ini.” “Kalau aku harus memilih, aku lebih suka tiket itu hangus. Kau akan di Indonesia sebulan lebih… itu lama sekali sweetie…” “Aku segera pulang, honey. Aku hanya akan membaca puisi di beberapa tempat, kemudian memberi lecture sedikit mengenai Sastra Indo-Belanda….” “Bukankah kau sendiri yang bilang akan berhenti menulis puisi dan mengurus sastra lagi. Aku sendiri tidak mengharapkan kau berhenti. Kau bahkan berhenti mendengarkan keroncong. Kau sendiri yang bilang bahwa….” “Honey, aku memang akan berhenti. Ini perjalanan terakhir. Aku bahkan tidak akan pernah ke Indonesia jika tidak bersamamu.” “Kau kira tidak berat menunggumu di sini… musim dingin begini. Mengapa kau tidak cerita jauh hari akan ke Indonesia….” Madelaine tidak tahu harus bercerita apa. Kedatangannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Ia sendiri tidak bisa menjelaskannya, bukan hanya pada Peter bahkan pada hatinya sendiri. Kurang satu jam lagi Madelaine sudah akan ada di Indonesia. Eric berjanji akan menjemputnya, tapi untuk apa? Dia membayangkan hari-hari di Indonesia yang panas dan berkeringat, melewati bising mal-mal dan kemacetan lalu lintas. Dulu semua itu rasanya menakjubkan, tapi sekarang? Belasan jam perjalanan dan sepertiga tabungan tahunan hanya untuk meninggalkan Peter dan malam-malam indah dan musim dingin yang mengesankan. Ia menduga-duga masih akan adakah lagi sambutan lagu keroncong selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra dan tak bertanggung jawab dari Eric. Ketika ia menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sudah sepenuhnya berada di Eropa.
""Keroncong Cinta""
Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi. Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku? Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri. Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani. Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo? Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya. Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu kekasihku? Ketika akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan. Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu. Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku…. Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru. Labuan Bajo, Juli 2003 * Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946). 1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75. 2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction” dan “Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114. 3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal 111-2. 4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram. 5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.
""Cintaku Jauh di Komodo*""
Koran-koran menulis tentang kematian Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah kehilangan salah satu anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah pergi! Bangsa ini berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba menayangkan kisah sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran bendera setengah tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah mengharumkan nama bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang menghargai hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata dan tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan. Andai saja politik sempit tidak ikut bermain, seharusnya dialah yang pantas tahun lalu mendapatkan Nobel Perdamaian!” begitu salah satu komentar koran lokal dengan sebuah berita yang nyaris emosional mengutip komentar seorang tokoh nasional. Sebagai keponakan, tiba-tiba aku dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal, termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben. Tetapi alangkah sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan dengan jujur. Apa yang mesti kukomentari? Semua kisah hidup Bibi telah diketahui umum. Semua sepak terjang Bibi selalu menjadi headline. Padahal, mereka kini ingin mencari yang lain, yang unik, yang bisa didapat dari kisah hidup Bibiku. Bila perlu yang eksotik dan bernilai berita, yang tersembunyi dalam hidup Bibiku. Ah, hidup Bibiku berjalan normal. Perkawinannya bagus. Anak-anaknya pun tak ada yang aneh-aneh. Semua normal dan lancar. Bibi seorang ibu, seorang istri. Manusia yang normal-normal saja. Apalagi yang mesti ditulis? Yah, akhirnya mereka menjadikan upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan. Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan mengikuti ritus adat. Bagi para pengejar berita, para pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global… upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst! Aku merunduk menahan sakit kepala. Haruskah aku bilang, bagi desa ini, desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita, setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi bukan warga istimewa. Bibi dan suaminya telah lama meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal, Bibi kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual. Sebaliknya sejak lama, bagi desa ini, Bibi tidak lagi bagian masyarakat. Bibi dan paman sudah lama tidak aktif di banjar. Begitu pun anak-anaknya. Tidak pernah lagi mengikuti berbagai kegiatan upacara dan sosial masyarakat desa. Kalaupun sesekali datang, mereka datang untuk berlibur. Mengurus rumah dan tanah warisan. Atau pulang seperti sekarang, di saat mati. Ya, di jalan-jalan desa memang berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi, tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu. Begitu pun dalam keluarga besar, hampir semua memang datang melayat, tetapi semua bersikap sebagai tamu, tak ada yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat. Dulu, bukankah begini caranya Bibimu memperlakukan kami jika kami menghadapi kematian? Aku mengerti sikap mereka. Keluarga lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi semasa hidup terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan. Dan sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga. Protes khas atas sikap Bibi dan anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya waktu untuk acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa yang tenang. Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh Bibiku. Sudah diduga sejak lama akan datang balasan semacam ini dari warga desa terhadap Bibi dan anak-anaknya. Balasannya yang begitu halus, jauh dari komentar. Tanpa umpatan atau sesal mengenai sikap Bibi selama hidup. Mereka tahu, jalan diam adalah yang terbaik menghadapi orang yang sudah mati. Yah, sejak lama aku pun mengalami kegamangan. Setiap kali bermain ke Jakarta atau bertemu dengan beberapa tokoh di negeri ini, lalu mereka bertanya dan menempatkan Bibi seolah-olah orang yang amat berpengaruh di daerah asalnya, aku selalu tersedak dan hanya bisa tersenyum miring. Oh-ho! Bibi memang berjalan di atas ide dan gagasannya sendiri. Pantas dikagumi. Wajar semua kagum atas sepak terjangnya, apalagi kemajuan media massa, terutama koran-koran bila menuliskan sikap keberpihakan Bibi terhadap kemanusiaan. Membuat Bibi di mana-mana ditunggu kehadirannya. Dipanutkan dan didengarkan kata-katanya. Komentar Bibi berpengaruh, selalu dikutip. Bibi memang hebat. Konsisten dan tidak diragukan kejujurannya! Tetapi, haruskah aku bilang kepada para pengagumnya bahwa apa pun yang dilakukan Bibi tidak terkait dengan masyarakat tempat asal-muasalnya. Semua aktivitasnya jauh dari desa ini. Ide dan gagasan Bibi adalah untuk manusia dunia. Bukan manusia di desa. Sekalipun desa kelahiran Bibi tak kalah banyak memiliki persoalan kemanusiaan; dari kemiskinan sampai kriminal. Dari politik sampai kerusuhan. Sama seperti desa- desa lain. Sama seperti persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat di zaman ini. Sama seperti yang menjadi bahan perjuangan Bibiku. Namun, Bibiku tidak pernah melibatkan diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang diperjuangkan Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar seorang tokoh, “Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!” Dan sungguh selalu membuatku tersenyum miring, setiap kali ingat betapa banyak aktivis yang terkenal itu terkagum-kagum pada Bibi dan mengira Bibi tentulah memiliki pengikut yang fanatik dan solid. Astaga, haruskah aku bilang, Bibi tidaklah seperti tokoh informal yang lazimnya dikenal di pedesaan. Yang dicintai buta oleh masyarakatnya. Bibi bukan siap-siapa di desa kelahirannya. Bahkan andai dicoba Bibi dilibatkan mengatasi suatu persoalan di desa kelahirannya, tidak usah dipartaruhkan, apa pun saran Bibi tidak akan didengar oleh masyarakat desa kelahirannya. Ironis memang, Bibi paling akan dikutip koran-koran. Seolah komentarnya akan mengubah sikap seisi desa, tetapi itu hanya berita di koran. Masyarakat desa punya tokoh sendiri. Tokoh yang hadir setiap saat dalam suka dan duka, dalam bahasa mereka sendiri. Dan panutannya sendiri. “Ibumu memang terkenal, tapi apa gunanya keterkenalannya saat ini?! Kamu pikir semua orang akan datang membantu mengurus upacara kematian ibumu?! Hanya karena dia orang terkenal?!” Aku tercekat. Paman Bungsuku mulai meraung dan melotot kepada anak bibiku yang paling sulung. Sebagai salah satu pengurus Desa Adat, Paman Bungsuku tentu tahu apa yang telah digunjingkan masyarakat terhadap rencana ngaben Bibiku. “Dari dulu telah aku sarankan, jika ibumu meninggal, kremasi saja di Jawa! Jangan bermimpi membuat upacara kematian yang besar. Biarpun kamu punya duit, bisa membeli apa saja, tetapi apa gunanya?! Semua orang di desa ini enggan melayat. Enggan menolong kalian. Karena apa? Karena kalian tidak pernah menganggap mereka ada dan hidup! Tanya pada dirimu, apa pernah kamu ikut terlibat meneteskan keringat jika mereka bikin upacara?! Sekarang kamu menuntut hak sebagai warga desa. Kewajibanmu sendiri apa pernah kamu penuhi?! Apa begini yang namanya keadilan yang diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap ibumu kepada mereka!” “Jadi, jangan muluk-muluk! Ibumu hanya besar dalam berita. Tetapi dia sudah kehilangan akar. Kehilangan ikatan dengan manusia yang dia perjuangkan! Terutama dengan manusia desa ini!” Aku menyingkir jauh. Para sepupuku tentu sulit mengerti. Mereka sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini. Yang mereka tahu, ibu mereka seorang terkenal, humanis yang dihormati oleh banyak orang. Seorang ibu yang selalu penuh perhatian kepada banyak orang. Ibu yang penuh kasih dan perhatian terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan! Logikanya, tentulah masyarakat desa bangga pada ibunya. Tentulah desa ini akan berkabung berhari-hari, bersedih atas kematian salah satu warganya yang ditempatkan sebagai tokoh kemanusiaan dunia! Sewajarnya, masyarakat akan bergerak, tanpa diminta bahumembahu menyukseskan upacara ngaben untuk kematian ibu mereka. Apalagi, bukankah dalam buku-buku kisah desa ini dituturkan mengenai kuatnya tradisi gotong royong, kasih sayang, dan harga-menghargai? Teriakan-teriakan antara Paman Bungsuku dan para sepupu itu perlahan lenyap. Lenyap oleh rumah besar yang tetap sunyi sepi. Pelayat-pelayat yang datang dari jauh, yang mengenal Bibi dari koran dan ruang-ruang diskusi, yang kagum karena ide dan gagasan Bibi, setiap kali datang tak dapat menahan ketersentakannya. Tak sanggup menyembunyikan keheranan di mata mereka: kenapa sepi nian rumah besar ini?! Bukankah dari yang mereka dengar dan baca, jika ada kematian, warga desa akan datang berduyun-duyun melakukan kerja bakti. Apalagi akan ada rencana upacara ngaben besar seorang tokoh yang begitu berpengaruh. Bukankah biasanya bila salah satu warga saja yang mati, semua warga bila perlu berhari-hari menginap di rumah duka sebagai tanda solidaritas dan penghormatan? Tetapi inilah kenyataannya. Yang melayat Bibi hanyalah mereka yang dari jauh, yang dekat seolah tidak tahu bahwa ada jasad di dalam rumah. Oh, kembali perdebatan itu terdengar. Kenapa tidak dikremasi di Jawa saja? Atau di Denpasar? Sekarang toh bisa ngaben cepat tanpa harus menggunakan upacara lengkap?! Kenapa anak- anak bibi merasa perlu memberi hadiah terakhir sebuah upacara pengabenan lengkap? Astaga! Mereka tentu tidak bisa dilarang membawa jasad bibi pulang. Tentu tidak bisa dilarang untuk merancang membuat rencana upacara besar. Mereka ingin menghormati ibu mereka. Juga mereka punya uang. Tetapi tahukah mereka, ngaben tidak cuma perlu uang tetapi perlu dukungan masyarakat? Dan tahukah mereka, Bibi tidak pernah sekalipun melakukan kerja bakti untuk kegiatan apa pun di desa ini? Menyumbang pun tidak. Bibi entah kenapa, kepada keluarga dan masyarakatnya sendiri begitu pelit dan kritis, bahkan cenderung sinis. Entah kenapa… . Apa mereka kira ini semacam resepsi perkawinan? Yang bisa segalanya total dibeli? Atau dilangsungkan di hotel? Aku merasakan kengerian berindap-indap di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana upacara ngaben bibiku. Anak-anak bibiku tetap ngotot dengan rencana mereka. Yang menakjubkan lagi, upacara ngaben Bibi akan dihadiri pula banyak wartawan dan pejabat. “Kamu pikir mengundang tamu itu mudah? Siapa yang akan mengurus? Apa kamu pikir dengan bade bertingkat tidak perlu manusia untuk mengusungnya ke kuburan? Kamu pikir akan mudah menyuruh orang-orang mengusung bade ibumu?!” Semua mulai histeris, membayangkan upacara yang kacau. “Tenanglah! Saya sudah membuat kepanitiaan. Saya tahu, tidak mungkin mendapat bantuan masyarakat desa ini. Karena itu, untuk akomodasi, perjamuan para tamu kita sewa katering. Untuk mengusung bade ke kuburan, kita sewa buruh- buruh bangunan. Kemudian transportasi sudah ada, travel yang akan mengurus,” anak Bibi yang tertua, yang kini menjadi pengusaha kaya, menyampaikan rencananya. “Hanya satu yang kami mohon, sudilah semua keluarga hadir. Agar di mata teman-teman Ibu, kita tetap tampak kompak. Ibu dan kami memang bersalah… janganlah ibu dihukum seperti ini.” Aku merunduk. Isak tangis pun mulai pecah. Entah kenapa, walau semua pekerjaan dan perlengkapan yang diperlukan untuk ngaben telah dipesan, telah disewa, tetap saja ada kesunyian yang mencekam di rumah besar ini. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah tanah yang sunyi. Desaunya membuat hati dilanda perasaan sendiri. Begitu sendiri. Segalanya telah dirancang rapi. Akhirnya, seluruh keluarga mau terlibat sebagai panitia. Bukan karena Bibi, tetapi lebih karena menjaga nama keluarga! Dan hari-H pun tiba. Ratusan mobil berderet di jalan. Para pelayat yang datang dari jauh, dari berbagai kota dan berbagai negara, berdatangan sejak pagi. Suara gamelan, penyambut tamu dan perjamuan, berlangsung lancar. Rapi. Bahkan terlalu rapi. Semua tertata nyaris sempurna. Kemudian prosesi upacara ngaben pun dimulai. Juga lancar dipandu oleh penata acara yang piawai. Para pengusung bade dengan seragam yang masih bau toko mulai bergerak mengusung jasad Bibi menuju kuburan, bersorak dengan semangat. Menjadi sasaran kamera dan kekaguman. Jalanan desa begitu ramai. Semua penduduk desa keluar rumah, tetapi cuma duduk-duduk di depan rumah masing- masing, hanya sebagai penonton prosesi ngaben bibiku. Yah. Hanya menonton. Seolah prosesi ini bukan bagian dari desa ini. Semua hanya menonton! Dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Jauh berbeda dengan para pelayat, teman, dan pengagum Bibi saat larut dalam prosesi dilanda keharuan hebat karena merasakan betapa agung dan meriahnya upacara ngaben bibiku. Seakan kembali mendengar seruan Bibiku, marilah hidup dalam kebersamaan. Marilah hidup dalam keragaman! Karena sejatinya kita adalah manusia, yang sama! Lalu setibanya di kuburan, sebelum jasad dibakar dengan kompor sewaan, seorang menteri berpidato dan beberapa tokoh politik yang katanya berpeluang jadi presiden memberikan sambutan kenangan. Kilat blitz serta sorot kamera tak henti-henti. Karangan bunga duka cita bertumpuk-tumpuk menutupi tempat pembakaran. Semuanya lancar, rapi dan tepat waktu seperti sikap Bibiku yang selalu disiplin dan tepat waktu. Tepat menjelang tengah hari, jasad bibi pun mulai dibakar. Api meliuk ke langit. Langit cerah. Ditingkahi suara gamelan. Keheningan sesaat memaksa air mata menetes. Kematian selalu membuat rasa kehilangan. Dan saat itu para pelayat, para tokoh, wartawan, dan orang-orang yang mengagumi Bibi mulai berpamitan. Satu per satu menyalami anak-anak Bibi dengan keharuan. Seorang anak bangsa telah pergi. Pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sayup-sayup aku mendengar suara penyiar yang menyampaikan pandangan mata secara langsung dari kuburan. Dan ketika api padam, aku terbebas dari lamunan, dari keharuan. Lalu menoleh kiri dan kanan. Menghitung jumlah orang yang masih ada di kuburan. Yah, tinggal keluarga dan orang-orang sewaan saja yang tengah sibuk menghitung- hitung jam kerja dan upah yang akan mereka terima. Aku mencari ayahku dengan mata tergetar. Aku juga mencari wajah para sepupuku. Aku mencari wajah semua keluarga. Bau asap jasad menghentikan pikiranku. Menghentikan hatiku. Aku merasa tiba-tiba begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari teman-teman, jauh dari semuanya. Jauh sekali. Oh, seperti hidup di dunia yang lain. Begitu lain. Dan bibi pun kini berada di dunia lain. Sendiri. Tetap tak perlu siapa-siapa selain dirinya. Sama seperti saat hidupnya. (Bali, awal Mei tahun 2003)
""Mati Sunyi""
Lelaki itu adalah masa kecilku. Masa kecil berterik matahari di gersang sawah kemarau pada musim burung-burung melintas, ketika mosaik retakan tanah mendidihkan cairan tubuh lewat telapak kaki tak beralas kami–aku, adikku, dan anak-anaknya. Masa kecil berbasah keringat menyambung, mengikat, dan menancapkan tonggak-tonggak bambu setinggi belasan meter untuk menyangkutkan jaring penangkap burung. Masa kecil berlarian ke sana kemari menghalau camar, dara laut, ayam-ayaman, belibis, dan sesekali blekok maupun kuntul putih pada petang harinya, agar berbelok terbang menerjang jaring puluhan meter yang kami bentang di sepanjang pematang sawah. (Wah, kepala burung-burung yang naas itu menancap pada jaring sampai ke leher, sia-sia menggelepar mencoba melepas diri, sampai akhirnya dengan napas tersengal tergelantung seperti sebuah shuttlecock yang menancap dalam pada net setelah dihantam King Smash yang termasyhur itu.) Empat puluh tahun lalu kawasan Kapuk masih bentangan ladang, sawah tadah hujan, empang, rawa, dan belukar di pinggiran kota Jakarta, pinggiran yang paling pinggir. Di sela hamparan luas dan terbuka itu terselap-selip perkampungan-perkampungan kecil masyarakat campuran ataupun sepenuhnya Betawi. Di pondok gedek tepat di seberang rumahkulah lelaki kekar setinggi kusen pintu itu tinggal bersama anak-anaknya, dua bocah temanku keluyuran, mencuri gurami di empang, mengail-getar gabus di selokan sawah, menawu lele di rawa, maupun mengetapel tekukur di kuburan. Itulah Pak Buari yang kukenal, tinggi kokoh seperti batang pohon asam, dengan lengan penuh cacing otot yang sanggup menggotong belasan tonggak jaring seorang diri. Kuingat betul langkah yang tergesa dan penuh hampir tiga kali lebar langkahku, suara paraunya yang habis menghalau burung, dan wajahnya yang penuh bekas cacar tapi jauh dari menakutkan. Sulit kulupakan sosoknya yang bersemangat sepanjang musim penangkapan burung. Sungguh berbeda dengan sosok lunglai tak bersemangat yang berdiri di hadapanku ketika keusilan hidup mempertemukan kami kembali di utara lintasan tol Ciujung; sosok yang mendongeng jauh lebih panjang lebar lewat kerak kusam kulit dibanding lewat bibir. “Lintasan burung-burung itu terus semakin ke barat… dan kami terus berpindah semakin ke barat dan semakin ke barat pula mengikuti. Entah kenapa mereka sekarang ogah masuk pinggiran Jakarta seperti dulu,” desahnya ditanya alasan menjaring di situ, demikian lirih seakan khawatir mengejut-terbangkan kawanan burung itu semakin ke barat lagi. Jejak suaranya yang keras parau seakan coba dihapus dari ingatanku. Angin melenting-lentingkan tonggak-tonggak bambu, melata perlahan menjilati bantaran Sungai Ciujung, tempat mereka menancapkan penyangkut jaring itu. Embusannya yang berdebu dan panas, laik dengus puncak sebuah percintaan yang sia-sia, memedihkan bola mataku. Aku terkenang masa-masa menunggu di rembang petang, ketika angin yang menyusur dari barat kerap berarti kabar baik, bak angin buritan bagi perahu layar, mendorong kawanan burung liar lebih bergegas tiba di pinggiran barat Jakarta. Aku terkenang ketika sesorean kami waswas menatap cakrawala barat, dan melonjak gembira kalau satu-dua burung liar mengalami salah sinyal dalam kepala mereka dan terbang mendahului rombongannya. Biasanya, tak lama kemudian kawanan burung-burung itu akan melintas dari barat ke timur menyusuri pantai, empang, sawah, ladang, dan rawa di sepanjang kawasan utara, dulu- mendahului dalam rombongan- rombongan yang semakin besar. Camar dan dara lautlah yang biasanya terbang mendahului. Mereka melintas menuju pantai-pantai teluk Jakarta yang lebih sepi dan terbuka, yang lebih menjanjikan ikan, cere, kecebong, ulat, belalang, ataupun cacing; dan lalu juga semak kangkung-kangkungan, belukar bakau, atau pepohonan nyamplung untuk bertengger menanti fajar merekah. Terkadang mereka tiba dalam rombongan yang sangat besar sehingga langit Kapuk yang kelabu kelam diracuni asap pabrik-pabrik dari kawasan Angke, di rembang petang itu mendadak ditumpahi gumpalan-gumpalan bayang-bayang gelap yang melebar-menyempit membendung sisa-sisa semburat jingga senja. Kenangan inilah yang menghentikan mobilku sepulang dari Pantai Carita, ketika tak jauh di utara badan tol Ciujung kulihat jaring burung terbentang di bantaran sungai. Di musim penghujan, Ciujung selalu meluapkan banjir ke badan tol mengakibatkan kemacetan, namun saat itu pertengahan kemarau akhir Juni dan ia tak lebih dari parit satu lompatan dengan kubangan-kubangan lumpur di kanan-kirinya. (Tentu banyak lele, belut, dan moa terperangkap di sana menunggu kecipak sejuk hujan, atau gemertak panas minyak di penggorengan.) Segera kukenali pokok asam itu walau sekarang kurus, melengkung, dan masai. “Cepat betul waktu berlalu ya Pak,” sapaku menghampiri. Dia tak segera mengenaliku, namun kisah menjaring dan menawu ikan di masa lalu segera membuat matanya terbelalak. (Kami pernah menjadi tontonan banyak orang ketika mendapat tangkapan spektakuler di rawa-rawa Muara Buaya: seekor sembilang berbobot empat kilogram. Sungguh kenangan yang sulit dihapus, ikan itu betul-betul montok laik bayi yang getol menyusu pada ibunya.) Seperti bebek bingung, dia langsung berteriak-teriak memanggil rombongannya. Baru kusadari kedua teman sepermainanku dulu juga ada dalam rombongan itu. “Sekarang kami tinggal di sini.” Pak Buari menunjuk kampung di balik kelokan sungai. “Sejak di Kapuk, sudah lima kali bapak sekeluarga pindah sebelum tinggal di sini. Selalu semakin ke barat, mengikuti lintasan burung-burung. Sekarang, di daerah ini burung-burung juga terus menyusut; dua tahun belakangan malah hampir tak ada lagi rombongan besar melintas. Sekarang pedagang burung goreng langganan bapak dipasok penjaring dari Banten dan Lampung; mungkin bapak juga harus segera pindah ke sana.” Aku membayangkan hutan beton Jakarta, dan ratusan kawasan perumahan baru yang mengepungnya dari tiga penjuru, menggantikan sawah, ladang, rawa, empang, pantai, semak, padang rumput dan ilalang, bahkan kuburan, telah menghalau burung-burung itu menjauh. Niscaya burung-burung itu tetap harus menjalani ritual alami mencari makan, tapi lintasan mereka semakin pendek ke barat, semakin dan semakin ke barat… tempat matahari juga terbenam. Burung-burung itu tergebah, namun, sepertinya, bukan hanya mereka…. Kukatakan kepada anakku, Engkong Buari adalah tetangga seberang rumah kakeknya di Kapuk dulu. Dialah orang yang lebih menyempatkan diri mengajari bapaknya memancing ikan, menjaring burung, maupun membuat layang-layang. (“Jadi bukan kakekmu,” gumamku tertelan. Pikiranku menerawang ke masa bocahku ketika manusia masai di hadapanku ini banyak ikut mengisi ruang-ruang kosongnya sehingga menjadi lebih penuh dan lebih bisa dikenang.) “Yah, berapa kilo rumah kakek dari sini?” sela anakku. “Lima puluh, atau… mungkin enam puluh kilometer.” “Kalau pindah ke barat terus, nanti empat puluh tahun lagi bisa-bisa Kong Buari menjaring burung di Carita, ya, Yah?” Aku terperangah oleh demonstrasi matematika dasar yang diproses dalam kepala kecil yang menggelendot menggesek- gesekkan pipi di perutku. Bulat bening mata anak kelinci itu berkedap-kedip layaknya lampu sinyal sebuah komputer meja yang sedang memproses data. Mengawali perjalanan, bocah itu bertanya jauh Pantai Carita dari Jakarta, mungkin sambil membayangkan berapa jam lagi baru bisa menggelar play station-nya. “Ah, kamu ini betul-betul kalkulator kayak kakekmu; apa saja dihitung, bahkan duit yang masih ada di kantong orang lain.” Pak Buari menebarkan giginya ke padang ilalang. “Betul kan Yah? Kan ayah bilang Carita seratus kilo lebih dari Jakarta,” protesnya menengadah. Matanya menyipit disergap matahari. Aku menekan depan topi petnya lebih dalam. “Boleh jadi. Tapi, umur manusia kan….” Kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Aku menoleh ke Pak Buari yang masih menyungging bibir, khawatir dikira menyumpahi dia cepat mati. “Malah mungkin sudah menyeberang sampai Lampung,” selorohku sekenanya mencoba mengatasi kikuk. Sejak awal perjumpaan memang terlintas di benakku kepenatan di wajahnya yang seperti meratap minta diakhiri. Badannya melengkung dengan sepasang lengan tergelantung mengisut, kedua batang kakinya terus bergoyang kecil seperti ilalang mengegos terpaan angin, dan jemarinya terus bergeletar kecil seperti kawat jemuran ditinggal terbang pipit, menceritakan dengan jelas penat yang ingin segera disudahi. (Dan, empat puluh tahun lagi usia manusia ini sudah melewati satu abad. Wah!) Pikiran ini membuatku jengah, membangkitkan semacam perasaan tertangkap basah. “Malah berapa abad lagi, kalau umur engkong sudah berapa ratus tahun nanti, engkong dan encingmu barangkali malah sudah harus menjaring burung di Madagaskar,” timpal Pak Buari terkekeh. “Madagaskar? Di mana tu kong? Jauh ya Yah?” “Ya. Jauh. Jauuuh sekali.” Orang tua itu menuding ke barat, telunjuknya mendongak ke atas seperti ingin melompati padang ilalang, pulau-pulau, dan samudra; bahkan menyeberangi cakrawala. Aku, Pak Buari, dan anak-anaknya kembali tergelak, sementara anakku berkerinyut kening. Dia meringis lucu. Di wajahnya, ada sesuatu yang tak jadi terucap. Waktu tak terasa meredup. Matahari lengser. Dari ufuk barat semburat jingga menyembur semak dan ilalang dengan sisa- sisa kehangatannya. Anakku memaksa menunggu gelap tiba agar dapat menyaksikan burung-burung liar itu masuk perangkap, dan bergeletar menancap pada jaring, persis seperti yang sering kudongengkan kepadanya. Akan tetapi, petang itu aku telanjur membuat janji yang tak mungkin kuabaikan. Menggamit menyalam-tempeli, aku pamit seraya berjanji akan segera mengunjunginya kembali. Malu-malu dia mendesah, bola matanya berpendar jingga menjawab basa-basiku. “Kapan ya… Bapak akan segera pindah lebih ke barat lagi akhir bulan ini. Terima kasih banyak…,” ujarnya memburai- burai rambut anakku. “Rajin belajar ya. Jangan lupa engkong….” Melesat cepat kami memasuki Jakarta seperti ingin mengakhiri sesuatu dengan memulai sesuatu yang lain: sebuah penyesuaian diri terhadap kota yang selalu membuat warganya tersengal-sengal mengikuti iramanya yang serba gegas. Bayang-bayang pagar lintasan tol, rumah-rumah mentereng di real estate yang gundul pepohonan, rerumputan, ilalang, kumis kucing, serta semak kangkung- kangkungan yang layu dan berdebu di hamparan-hamparan tanah luas dan terbuka, yang telantar menunggu kelanjutan pembangunan yang tak kunjung tiba, dengan cepat berkelebat ke belakang ditelan bayang-bayang mobilku. (Sempat terlintas tanya, mengapa begitu banyak orang lebih suka melihatnya telantar mubazir seperti itu? Betapapun, aku juga menyadari, semua ini tentu jauh lebih pelik-malah bisa jadi musykil-dari yang dapat kita rasakan, yang aku rasakan. Bahkan, bisa jadi, oleh sebab yang tidak pernah betul-betul kita kenali musababnya, gemintang di langit bisa saja mendadak bergeser semaunya sendiri, berlarian, berkejaran, atau bahkan bertubruk-tubrukan, dan lalu jentera nasib pun ikut menggeleser pula, mengubah nasibku, nasib anakku, atau mungkin nasib salah satu cucu- buyutku untuk sekali lagi bersilangan nasib dengan Pak Buari, anak-anak Pak Buari, cucu Pak Buari, cicit-buyut-canggah Pak Buari, bisa pula Pak Buari-Pak Buari yang lain, atau bahkan bukan Pak Buari-Pak Buari yang lain entah siapa pun nama mereka; bersilangan pada satu titik tanah-tanah gusuran di antara Carita-Jakarta, sebagai yang tergusur dan menggusur, atau apa pun lakon masing-masing, dan aku, celakanya, tak tahu harus berbuat apa… selain menyebutnya sebuah ironi, barangkali.) Seperti sontak menyembul dari keremangan senja, anakku berkata, “Ayah tidak usah khawatir….” Bocah itu menatap lekat-lekat kedua bola mataku seakan hendak menyelam dalam ke danau kenangan di baliknya. “Ibu guru bilang bumi ini bulat. Nanti, kalau sudah Madagaskar, lama-lama juga engkong bakal mutar balik sampai Jakarta lagi, dan kita bisa ketemu lagi. Iya kan Yah?” “Ya…, tentu…,” sahutku seperti menakar keyakinan. “Tapi lain kali sampai malam Yah. Aku mau lihat burung-burung itu kejaring.” “Usia manusia tak sepanjang itu.” Kutelan kembali kata-kata ini sebelum melompati tenggorokan. Ada sesuatu dari masa lalu mencegahku mengucapkannya betapapun sosok kekar itu bukan saja sudah tertinggal lebih dari enam puluh kilometer, melainkan bahkan, kehangatannya padaku, telah tertinggal lebih dari empat puluh tahun ke belakang. “Kalau waktu itu tiba, Jakarta sudah berubah total jadi rimba beton, jalan aspal, dan ladang parkir. Takkan ada cukup kecebong, ulat, belalang, cacing, cecere, apalagi ikan- ikan yang lebih besar. Burung- burung itu takkan tertarik kembali kemari, begitu pula….” Mata kelinci itu kembali berkedap-kedip mensinyalkan kecamuk keras dalam kepala mungil sang bocah untuk memahami ironi, fakta hidup, permainan nasib, atau apa pun namanya, yang sedang berlangsung. “Mungkin mereka tidak suka makan burger dan bertengger di mal-mal,” ujarku membahasakan keruwetan itu semudah mungkin agar bisa lebih dipahami bocah ini. Bibirku terangkat sebelah. Bayang-bayang Jakarta yang senja, yang panjang dan jingga, dengan cepat berebahan di sepanjang pagar tol, lalu berkelebat ke sebalik punggungku. Betapa cepat waktu melintas, jauh lebih cepat dari yang dapat dicatat sebuah speedometer. Kubayangkan, seharusnya, inilah saatnya. Inilah saat mereka bersorak melonjak-lonjak melihat kawanan besar burung-burung liar sedang melintas cepat dari langit barat. Akan tetapi, bayangan lain terus menyela: juga itulah saatnya matahari terbenam di ufuk barat… .
""Semakin dan Semakin ke Barat""
Joko Parepare melotot. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya: sebutir kepala! Bukan kelapa, itu sungguh-sungguh kepala manusia. Kepala berambut gondrong tanpa tubuh. Ia melayang di udara, lalu menclok di jendela ruang kerjanya, di sebuah gedung perkantoran, lantai 5. Kepala itu melekat di kaca jendela, dengan keningnya yang mengeluarkan cairan perekat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip. Ujung hidungnya melebar, tertekan pada kaca. Bibirnya, eh, gila, dia tersenyum! Joko Parepare bergidik. Apalagi ketika ia melihat bagian lehernya yang bersulur-sulur seperti singkong yang baru dicabut dari tanah, dan meneteskan darah. “Mau apa, kamu?!” Joko Parepare menghardik, dengan perasaan tak keruan. Ia buru-buru merekam pekerjaannya di komputer. “Kamu teroris? Kamu barusan meledakkan bom bunuh diri?” Eh, gila, dia tersenyum lagi! Joko Parepare senewen. “Cepat bilang, siapa kamu? Mau apa menclok di situ? Memangnya enggak ada kerjaan lain?” Gila, dia cuma tersenyum! “Jangan cengengesan terus! Nggak lucu! Kalau kamu enggak mau bicara, aku juga enggak mau bicara lagi. Nggak ada waktu! Time is money!” Joko Parepare segera mematikan komputernya, memakai sepatu, mengunci laci meja, menekan kunci jendelanya dalam-dalam untuk memastikan agar kepala tak diundang itu tak bisa membuka jendela lalu melompat ke dalam kamar dan menduduki kursi kerjanya. Ia pun bersiap-siap untuk segera kabur dari situ. “Bagi rokoknya, dong. Kecut nih, dari tadi belum ngisep…!” Gila, dia bisa bicara! Joko Parepare jadi belingsatan. “Nyalakan sekalian…,” kata si kepala lagi, “aku sudah enggak punya tangan, ketinggalan di mobil…” “Kamu goblok, sih!” Joko Parepare mengumpat begitu saja, sambil dengan panik segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja kerja. Ia lalu menyalakannya. Setelah itu, ia baru tersadar, bagaimana caranya memberikan rokok itu kepadanya? “Jangan bodoh. Buka jendelanya, dong!” kata si kepala, seakan tahu apa yang dipikirkan Joko Parepare. Dengan bodoh, Joko Parepare lalu membuka jendelanya, dan mengulurkan tangannya yang memegang rokok ke luar jendela, pelan-pelan, gemetaran. Hap! Kepala itu langsung melompat dan mencaplok rokoknya. Jempol dan jari telunjuk Joko Parepare sempat masuk ke dalam mulutnya dan merasakan ketajaman gigi-giginya. Joko Parepare secepat kilat menarik kembali tangannya dan buru-buru mengunci jendelanya. Kedua jari tangannya yang tercaplok tadi berlumur darah. “Sialan, kamu!” Joko Parepare mengutuk sambil segera mencabut segepok tisu dari tempatnya di meja, dan membersihkan jari-jarinya. “Sudah, enyah kamu dari sini! Jangan ganggu aku lagi!” “Galak banget jadi orang….” “Biarin! Daripada kamu, sudah jadi bekas orang, masih gentayangan!” “Aku kan cuma mau minta rokok….” “Ya, sudah. Rokok sudah dikasih. Pergi sana!” “Numpang duduk di dalam, boleh enggak…?” “Enggak! Seribu kali, tidak boleh! Enak aja, lu!” “Sebentar saja, numpang ngadem AC. Gerah nih.…” “Gerah pale lu!” “Pale gue emang gerah, bos…! Di luar sini panas sekali.…” Joko Parepare jadi pusing. Kalau permintaan si kepala itu dituruti, pasti dia akan minta yang lain-lain lagi. Dan, sekali dia diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi aneka huru-hara. Termasuk, kalau rekan-rekan sekantornya melihat di kamarnya ada sebutir kepala penuh darah. Bisa gawat. Bisa jadi urusan polisi, dan ujung-ujungnya ia bisa dituduh jadi pembunuh dan meringkuk belasan tahun dalam penjara. Gila! Tidak! “Enggak! Enggak bisa! Kamu di situ saja, atau pergi ke tempat lain!” Joko Parepare menjawab dengan tegas. “Kalau kamu mengancam atau memaksa, aku lapor polisi!” “Jangan, bos! Biar nanti aku sendiri yang melaporkan kamu ke polisi,” kata si kepala sambil mengembuskan asap rokok dan menyeringai, mempertontonkan giginya yang berselaput cairan kental berwarna merah. “Apa?” Joko Parepare terkesiap. “Kamu akan melaporkan aku? Dalam perkara apa? Aku enggak ada urusan sama kamu!” “Lho, barusan kamu kan ngasih rokok…?” “So what? Itu kan karena kamu meminta?” “Kamu bisa dianggap pelakunya. Sidik jari kamu ada di rokok ini, lho?” kata si kepala sambil mematikan rokok di kaca, dan menunjukkan puntungnya yang tinggal separuh. “Aku? Pelakunya? Pelaku apa? Pelaku pengeboman? Nonsens!” “Bukan, bukan pengeboman, bos, tapi pemenggalan kepalaku…He-he-he.” “Sialan! Mana mungkin? Mana mungkin polisi percaya? Kenal kamu saja, tidak!” “Kalau begitu, kita kenalan dulu.…” “Tidak! Tidak! Kamu mau menjebak aku…?!” “Namaku Al-Gizi, asal Kampung Senayan, pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden partai…” “Cukup! Seratus persen tidak lucu! Aku enggak mau dengar, dan dengan ini menyatakan sumpah bahwa aku tidak pernah mendengar apa pun yang kamu katakan barusan…!” “Jangan main-main dengan sumpah. Dulu, aku juga banyak bersumpah, tapi tak ada satu sumpah pun yang aku…” “Itu urusanmu, bukan urusanku! Sudah, aku mau pergi!” “Aku ikut…!” “Gila, kamu!” “Aku bisa ikuti kamu. Mobil kamu kan Carens warna biru muda yang diparkir di samping gedung?” “Kamu sok tahu!” “Aku memang tahu tentang kamu. Aku kan sudah lama mengamat-amati kamu dari atas pohon kersen….” Joko Parepare bergidik dan marah sekali. “Monyet! Apa maksud kamu memata-matai aku?!” “Biar aku tahu, orang macam apa yang akan jadi mediatorku dan menuliskan segala sesuatu mengenai aku…” “Enak saja! Memangnya kamu siapa, bisa-bisanya menentukan aku jadi mediator kamu, dan harus menuliskan segala sesuatu mengenai kamu?! Jin botak saja tidak akan aku layani! Apalagi kamu, segelundung kepala gondrong tak tahu malu!” Joko Parepare merasa sangat terhina. Si Kepala Gondrong tertawa terkekeh-kekeh. “Makanya, kamu harus kenalan dulu sama aku…” “Tidak! Tidak! Sekali aku bilang tidak, tidak!” “Kalau kamu tetap keras kepala, nanti malam, sewaktu kamu tidur, aku akan menukar kepalamu dengan kepalaku. Ha-ha-ha! Sampai jumpa! Have a nice dream…!” Si Kepala Gondrong terbang entah ke mana. Joko Parepare terenyak di kursi kerjanya sambil memegangi kepalanya erat-erat. Eh, si kepala gila itu tiba-tiba menclok lagi di jendela. “Kalau kamu keberatan bertukar kepala denganku, bagaimana kalau aku bertukar kepala dengan presiden terpilih 2004?” katanya. Joko Parepare tak mau mendengar. Ia buru-buru menutup mata dan telinganya. Soal presiden 2004, “Itu urusan lu!” katanya dalam hati. Tapi, ia bersumpah tidak akan tidur tanpa mengikat kepalanya dengan sabuk pengaman. Sekurang-kurangnya, selama 40 hari 40 malam. Jakarta, 2003
""Sebutir Kepala Menclok di Jendela""
Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya. Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu. “Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan. “Apa yang akan kamu lakukan?” “Romo…. Romo, saya bermimpi.” “Mimpi bukan dosa.” “Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.” “Ceritakan.” “Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.” “Kamu sudah menikah?” “Sudah Romo.” “Lanjutkan.” “Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….” “Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.” “Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.” “Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?” “Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?” Romo Wijoyo diam saja. “Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.” “Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.” “Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.” “Hah?” “Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi. Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan. “Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.” “Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?” “Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.” “Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?” “Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.” “Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?” “Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.” “Tetapi uangnya kan masih ada?” “Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.” “Hah? Kan itu hanya mimpi.” “Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.” “Ke mana?” “Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.” Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil. “Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.” Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu. Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi. Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya. “Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.” Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu. “Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.” Romo Wijoyo amat kaget. “Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.” Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya. “Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.” Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala. “Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas. Ibu Lukas tersipu malu. “Bukan jatuh Romo.” “O, ya?” Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya. “Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.” Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas. “Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.” “Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.” Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud. Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.
""Mimpi-mimpi""
Baiklah kita kembali ke kota itu, kota yang menurut pendapat Anda, menurut pendapat siapa pun yang pernah mengunjunginya, merupakan kota yang unik. Kota itu dipagari oleh tiga gunung, dialiri oleh tiga sungai, dan dapat dicapai dari tiga kota yang salah satunya ibu kota provinsi. Bila kita lihat di peta, tiga kota yang mengelilingi kota itu kalau dihubungkan dengan garis-garis, akan persis segitiga sama kaki dengan ibu kota provinsi titik terjauhnya. Dan tiga sungai itu, walau tak persis, juga berbentuk kerucut yang menyatu pada satu titik di pinggir kota, lalu menjelma jadi sungai lebar yang setelah meliuk jauh ke mana-mana akhirnya juga bermuara di ibu kota provinsi. Memang, ibu kota provinsi adalah kota pelabuhan. Menurut dugaan Anda, atau menurut dugaan siapa pun, tentulah dari kota pelabuhan itu nenek moyang penduduk kota yang dikelilingi tiga kota itu (baiklah kini kita sebut kota Tiga Kota, karena memang demikianlah orang-orang kemudian menyebutnya), dulu, berasal. Tetapi dugaan itu keliru. Menurut penduduk kota Tiga Kota, nenek moyang mereka bukan datang dari laut lalu naik ke darat, melainkan sebaliknya: dari puncak salah satu gunung, turun, kemudian menetap dan membangun kota Tiga Kota. Turun dari puncak gunung? Aneh, pikir Anda, seraya menduga penduduk kota Tiga Kota mungkin beranggapan mereka keturunan dewa. Tetapi tidak, kata mereka. “Nenek moyang kami manusia biasa. Hanya saja, ketika pertama mencecahkan kaki di daratan ini, masa itu laut masih begitu luas dan daratan masih begitu sempit.” Apakah maksud mereka? Anda, atau orang-orang, masih bingung ketika itu. Tetapi mereka, seraya tersenyum kemudian melanjutkan, “Daratan ini, atau tepatnya pulau ini, masa itu masih berupa tiga gundukan kecil. Puncak-puncak gunung itu.” “Oh, Nuh,” kata Anda mulai mengerti. “Saat banjir besar itu heh?” “Apa itu banjir besar?” Mereka masih tersenyum, tapi kini terkesan bagai meremehkan. “Setelah nenek moyang kami berlabuh di puncak gunung, barulah daratan mulai melebar, dan laut surut.” “Oo, itu artinya datang dari laut juga.” “Tidak. Beda. Maksud kami, setelah kota ini dibangun barulah orang-orang entah siapa itu, pelaut-pelaut yang entah datang dari mana dan mulanya menetap di kota pelabuhan, naik kemari. Mereka tinggal mendapati kota yang telah jadi. Sebuah kota dengan kebudayaan lebih tua. Lebih tinggi. Lihatlah,” dan penduduk kota Tiga Kota itu pun menyebut dan menunjukkan berbagai peninggalan, bekas-bekas gedung, bangunan, reruntuhan menara yang tak terkira umurnya. Dan satu yang istimewa, hampir di setiap tempat di penjuru kota, tertanam batu besar seukuran orang dewasa dengan bagian atas yang melengkung seperti sebentuk kepala yang menunduk. Batu-batu itu, kata mereka mengutip pendapat beberapa ahli, berasal dari masa yang lebih tua dari zaman Batu Tua…. Terasa agak berlebihan, memang, cara penduduk kota Tiga Kota memperkenalkan kota mereka. Tetapi, memang pula, hal-hal demikian itulah yang membuat kota Tiga Kota sebagaimana pendapat Anda menjadi unik, menarik, dan membuat orang selalu ingin kembali berkunjung dan berkunjung lagi. Tiga gunung, tiga sungai, pemandangan hijau sejuk ke ketinggian, hamparan hijau lembut ke kerendahan, betapa menyegarkan. Kabut yang perlahan merendah mencecah di kala pagi, cahaya merah keperakan yang menghunjam menyibak saat muncul matahari, ah, membuat kota Tiga Kota tak ubahnya bagai kota khayal yang tiba-tiba tersingkap ke luar dari ilusi. Dan monumen itu. Bekas-bekas bangunan. Reruntuhan gedung dan menara. Dan batu-batu itu. Batu-batu itu, batu-batu seukuran orang dewasa dengan bagian atas yang melengkung seperti sebentuk kepala yang menunduk itu, sebenarnyalah, harus diakui merupakan daya tarik utama. Dalam kebekuannya, dalam sebentuk kepala yang menunduk, bagai terpendam rahasia. Menandai apakah batu-batu itu? Kenapa tersebar di mana-mana? Dan, hal yang juga aneh yang baru disadari orang-orang kemudian adalah bahwa keseluruhan batu, kepala-kepala yang menunduk itu, ternyata menghadap ke arah yang sama: ke salah satu gunung di mana nenek moyang penduduk kota Tiga Kota pertama berlabuh. Tentu banyak dugaan tentang asal-muasal batu-batu itu. Tetapi yang paling bisa diterima adalah kemungkinan bahwa batu-batu itu pada masanya merupakan tanda bagi makam, semacam nisan. Pernah ada seorang ahli berniat ingin membongkar tanah di bawah salah satu batu untuk membuktikan, tetapi penduduk kota Tiga Kota keberatan. Maka, sampai kini, batu-batu itu tetaplah merupakan misteri. Maka, bila ada pengunjung berkeliling mengamati batu-batu, benak si pengunjung akan tetap dikecamuki berbagai pertanyaan. Tetapi, suatu hari, sejumlah pengunjung dikejutkan oleh suara seperti jeritan. Ataukah itu tangisan? Mulanya jeritan (atau tangisan) itu, entah kenapa, mereka duga berasal dari dalam batu. Mungkin karena samarnya- terdengar antara ada dan tiada, atau mungkin pula karena pikiran mereka tengah dipenuhi dugaan yang macam-macam tentang batu-batu. Tetapi setelah mendengar lebih cermat, kelompok pengunjung itu menyadari suara itu berasal dari tempat lain. Warna suaranya juga lebih jelas: kanak-kanak. Jerit atau tangis kanak-kanak. Memang, ada beberapa rumah di sekitar situ. Dan jerit atau tangisan itu tentulah berasal dari salah satu rumah. Mungkin seorang ayah tengah memarahi anaknya. Mungkin seorang anak tengah merajuk atau bertingkah kepada ibunya. Tetapi jeritan itu, “Aaaaaa,” terdengar panjang dan bertalu. Walau ada yang merasa ganjil, mereka pun segera melupakan dan mengembalikan perhatian ke batu-batu. Adalah biasa seorang anak menjerit menangis dimarahi ayahnya. Adalah biasa seorang anak merajuk bertingkah kepada ibunya…. Memang biasa seorang anak menjerit menangis dimarahi ayahnya, memang biasa pula seorang anak merajuk bertingkah kepada ibunya. Tetapi apa yang mereka dengar saat itu, tidaklah tepat seperti yang mereka bayangkan. Tak ada ayah yang marah. Juga tak ada ibu yang berhadapan dengan anak yang merajuk dan bertingkah. Apa yang terjadi pada salah satu rumah di dekat mana sekelompok pengunjung tengah asyik mengamati batu-batu, tak lain, adalah hanya seorang anak lelaki lima tahunan yang tengah diajari ayahnya mengenal abjad; melafalkan huruf-huruf. “Ce.” “Ceee.” “Ka.” “Kaaa.” “A.” “Aaaaa.” Memang begitulah penduduk kota Tiga Kota amat peduli pada pendidikan. Mereka sadar betul berasal dari zaman yang lebih maju, dan karenanya harus memperlihatkan tradisi itu. Anak-anak, di usia lebih dini, sedapatnya sudah harus bisa membaca. Dengan demikian mereka akan lebih cepat mengenal dunia. “De.” “Deee.” “O.” “Oooo.” “A.” “Aaaaaa.” Tetapi belakangan, memang, ada yang sedikit ganjil. Setelah si orangtua mengenalkan dan menunjuk berbagai huruf lalu kembali ke huruf a, si anak akan serta-merta menyambut, “Aaaaaa.” Pelafalan yang panjang-berbeda dari huruf-huruf lain, sepintas kelihatan bergairah, tetapi terdengar jauh, dalam, dan bertalu. Suara itulah yang terdengar oleh sekelompok pengunjung yang tengah asyik mengamati batu-batu waktu itu. Tak seorang pun orangtua serius memperhatikan, bahkan walau saat mereka tahu seluruh kanak-kanak yang belajar melafalkan huruf berlaku begitu. Bahkan ketika seorang anak dalam tidurnya tiba-tiba menjerit, “Aaaaaa!”, seorang ayah masih menganggap anaknya tak lebih cuma bermimpi, mimpi melafalkan huruf a yang entah kenapa oleh anaknya begitu digandrungi. Tetapi, ketika jeritan “Aaaaaa” itu benar-benar terdengar seperti tangis, tangis yang begitu sedih begitu pilu, si ayah pun mulai merasa ada sesuatu. Apalagi ketika si ayah kemudian tahu bahwa bukan hanya anaknya yang mengigau seperti itu. Tetapi seluruh kanak-kanak kota Tiga Kota, yang hampir setiap pagi, setiap sore, saat pergi atau pulang kerja menyempatkan ngobrol dengan rekan atau tetangga, dikeluhkan oleh orangtua masing-masing mereka…. “ADA apa dengan anak-anak kita?” “Entah. Anakku bilang tak ada apa-apa. Aneh, mereka sama sekali tak menyadarinya.” “Tetapi anakku sampai mengeluarkan air mata. Lirih sekali tangisnya.” “Setelah menangis lirih, anakku malah lantas meraung. Istriku sampai panik, dan ikut menangis juga.” “Ibu mana takkan panik?” “Ya, ibu mana tak akan panik. Aku ayahnya bahkan juga. Kau tak panik?” “Entah. Tapi aku tak tahan….” “Ya, tak tahan….” Begitulah kekhawatiran mulai menjalar ke kepala orang- orangtua. Mereka bingung, tak mengerti, bagaimana keanehan atau keganjilan itu bisa terjadi. Dan terlebih lagi, mereka juga tak menemukan cara bagaimana menghentikan atau mengatasi. Pada saat semua nyaris kehilangan akal, seorang mengusulkan pelajaran mengenalkan abjad kepada anak-anak sementara coba dihentikan. Usulan itu mereka terima, dan, ajaib, jerit sedih itu, tangis pilu itu, tiba-tiba terhenti. Mereka pun gembira, lega, menyesali kenapa pikiran sederhana itu tak terlintas di kepala mereka lebih awal. Tetapi, sungguh tak terduga kalau kelegaan itu cuma sekejap, benar-benar hanya sebentar. Pada hari ketiga, tangis itu kembali muncul-bahkan kini bagai menyerbu. Serentak! Di waktu yang sama! Menjalar, mengapung, menguar menyatu lalu membubung: menjelma jadi koor tangis yang menggetarkan jiwa. Betapa! Di tengah malam. Bahkan, berbeda dari hari-hari lalu, kanak-kanak itu kini tak bisa dibangunkan. Mereka baru tersentak dan berhenti ketika datang pagi, setelah muncul matahari. Wajah kanak-kanak itu letih. Pasi. Dan malamnya, mereka ulangi lagi. Malam besoknya, lagi. Entah sampai kapan, lagi…. Baiklah kita kembali ke kota itu, kota yang unik itu, dua ribu tahun lalu. Kecuali bahan dan bentuk-bentuk bangunan yang tentu berbeda dan sebagian-luar biasa!-masih bisa Anda lihat reruntuhannya, tiga gunung itu masih tetap sama, tiga sungai itu masih tetap sama, juga bentuk kerucut karena tiga sungai itu menyatu pada satu titik tapi agak sedikit jauh di luar kota. Rupanya, selama dua ribu tahun itu, kota Tiga Kota kian bergeser ke bawah. Ataukah sebenarnya, dan mungkin ini yang lebih tepat, kota Tiga Kota bertambah luas dan melebar. Sepagi itu, hari itu, sebuah tempat yang menyerupai alun- alun telah dipenuhi manusia. Ada seorang terhukum, seorang tak termaafkan, seorang yang mereka sebut “si terkutuk”, telah mengacaukan kehidupan mereka. Tak ada hukuman yang lebih pantas bagi seorang jahat dan gila, yang menyebar hasutan, ajaran sesat, kecuali kematian dan siksa. Dan Si Terkutuk itu, telah diikat, ditelentangkan di atas meja batu, di atas semacam altar lebar yang juga dari batu, bersama sejumlah algojo dan seorang yang tampaknya akan menyampaikan sesuatu kepada mereka. Orang itu, yang dari pakaiannya bisa dikenali sebagai aparat penguasa, setelah mengangkat- angkat tangan menenangkan galau suara massa, setengah berteriak lalu berkata: “Jadi inilah hukuman kita bagi Si Terkutuk ini, pendatang yang tak tahu diri ini. Pertama, kuku- kukunya akan dicopot, lalu jari- jarinya akan diremukkan. Berikutnya, lidahnya akan diiris dipotong-potong, matanya akan dicongkel. Dan sebelum dada dan kulit perutnya dikupas, kaki dan lengannya akan dicincang-cincang, ditumis….” Masih beberapa rincian lagi sebelum akhirnya si algojo mulai melangkah ke meja batu. Mata di balik topeng itu bagai berkilau saat menjangkau jempol Si Terkutuk dan alat pertama, jepitan besi, segera bekerja. Tidak dengan satu sentakan cepat, melainkan dengan tarikan lambat, lambat, lambat… bagai memancing menunggu jerit dari mulut Si Terkutuk. Satu kuku, Si Terkutuk masih bertahan. Dua kuku, juga masih bertahan. Tetapi ketika kuku ketiga mulai akan tertarik keluar dari jari tengahnya, gigi Si Terkutuk pun akhirnya lepas dari bibir merah berdarah dan jerit itu menggema. “Aaaaaa!” Mata si algojo kian berbinar. Kuku keempat. “Aaaaaaaaa!” Kuku kelima. “Aaaaaaaaaaaa!” Jerit itulah yang terus menggema. Menembus ruang. Menembus waktu. Seribu tahun. Dua ribu tahun….*** Payakumbuh, 2 Juli 2003
""Kota Tiga Kota""
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan! Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan! Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan! Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan! Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan! Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan! Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan! Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan. Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur. Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan! Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan! Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan! Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM
""Saya di Mata Sebagian Orang""
Hujan-yang kau sangka bisa menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam, atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar. Dan kau, Xi Shi, diimpit gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau, tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan. Kau tahu apa yang kau harapkan Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka, perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The Chinese Garden of Friendship. Ya, ya, kau pasti membayangkan kristal-kristal air itu akan berubah menjadi jarum-jarum tato yang menusuk-nusuk ke sekujur tubuh. Kau pasti mengharapkan petir akan menyambar sepasang bahu indah, membakar rambut panjang terurai, dan mengabukan jasad naga yang senantiasa menjelita di keriuhan ruang kasino dan restoran-restoran bergorden sutra. “Maka, sungguh busuk hati para turis yang tak segera memotret tarianmu. Sungguh bodoh mereka yang tak bergegas mengabadikan kenikmatan seorang perempuan mendamba kematian.” Aduh! Aku sebenarnya tak perlu mendengus-dengus seperti itu, Xi Shi. Mataku masih waras untuk memergoki ketololan para pejalan kaki. Mereka memang membelalakkan mata harimau dan berharap kau segera telanjang, tetapi sesungguhnya terlalu takut menatap tubuhmu yang terus-menerus menggelinjang itu ditabrak mobil polisi yang berpatroli. Mereka memang mengasah keberanian untuk menyeretmu dari amuk petir, tetapi tak sejumput nyali pun mengecambah untuk sekadar membebaskanmu dari cambukan hujan. Namun, Thian<sup>1)</sup> dan naga paling ganas tak mengasah lidah api di langit Sussex. Hujan mereda justru ketika kau mengharapkan kota ini dihantam banjir dahsyat, terhapus dari peta Sydney dan keangkuhan para perintis asal Guangdong yang membangun taman-taman persahabatan sembari melupakan penghinaan besar-besaran terhadap orang-orang Asia pada masa Politik Australia Putih.<sup>2)</sup> Maka, dipandang dari angkasa yang jauh, Chinatown hanyalah sebuah akuarium penuh cahaya lampion. Kau dan turis-turis yang memuja kosmetik dan kepalsuan kostum Negeri Leluhur yang disewakan secara murah tak lebih dari ikan-ikan konyol yang berenangan dari Hay Market ke Sussex, Dixon ke Goulburn, atau Sussex ke Dixon. Kau hanya melingkar-lingkar dalam labirin dan jadi tontonan turis bego. Apakah kau juga menikmati penjara yang ditebarkan lampion-lampion indah itu, Xi Shi? Sudah kuduga Xi Shi tak akan menjawab pertanyaanku. Aku juga yakin dia tak akan pernah peduli pada siapa pun yang menebarkan sepasang mata ke sekujur tubuhnya saat itu. Musim dingin memang menjijikkan. Namun, bukan lantaran sayatan-sayatan udara minus 8 Celsius itu yang membuat Xi Shi abai pada kekasih. Bergaul dengan dia sepanjang waktu, aku jadi paham kapan perempuan indah itu menebar senyum, merokok, mengisap marijuana, teler, menari, memimpin gerombolan bandit merampok toko, berjalan sambil mengendus- endus bau anjing, menangis, atau bercumbu. Bahkan, andai kata dia tahu sudah sesiang tadi aku menguntit ketika dia bercermin di kehijauan kolam yang dikepung bambu-bambu di Kuil Kupu-kupu, sangat mungkin Xi Shi mengabaikan kehadiranku. Xi Shi memang suka bercermin. Namun, aku tahu benar, dia bukan jenis perempuan narsistis. Rasa-rasanya dia hanya percaya pada cermin atau apa pun yang bisa memantulkan sekujur tubuhnya. Cermin telah memberikan pemahaman tak kunjung habis tentang siapa dirinya. Menatap cermin lama-lama Xi Shi tahu Thian telah memberikan anugerah sekaligus kutukan. “Apa yang kaurasakan saat bercermin, Xi Shi?” selalu aku bertanya sehabis kami mengisap marijuana. “Aku melihat keheningan kuil-kuil sehabis hujan, kolam yang senantiasa hijau, sepasang undan tak henti-henti menciptakan gelombang transversal, gunung penuh sukma leluhur, mata burung phoenix setelah membakar sayap, dan kera-kera kecil bergelantungan. aku melihat diriku sebagai ratu naga paling rupawan.” “Apa yang kau rasakan saat bercermin, Xi Shi?” aku selalu mengulang pertanyaan itu. “Aku melihat Buddha menatap kesedihan dari jalanan sunyi ke lorong-lorong mesum. Aku melihat Yesus mengerang-ngerang dan lambungnya mengucurkan penderitaan terus-menerus. Aku melihat bocah-bocah kecil menadahkan tangan dan aku sedikitpun tak pernah merasa kasihan.” Dan ketahuilah tak seorang pun menganggap Xi Shi edan. Dia memang perempuan bandit yang sejak kecil membawa pisau lipat ke mana-mana, namun tak sepercik pun darah orang Sussex menetes oleh kebengisannya. Dia memang pemimpin gerombolan perampok tengil, namun tak sepotong pun jarum orang Sussex hilang oleh tangan iblisnya. Mungkin karena itulah, penduduk membiarkan Xi Shi menari-nari atau berteriak-teriak tak keruan di jalanan. Tak ada alasan bagi mereka untuk tak memuja Xi Shi. Xi Shi membuat Sussex tak dijarah preman-preman Aborigin. Xi Shi membuat pria-pria sok polisi mati berdiri saat menatap dia menari di ruang-ruang kasino atau telanjang bulat di penjara yang sunyi. Berlebihan? Tidak. Xi Shi memang lahir untuk menjadi perempuan yang tak pernah peduli pada tubuhnya sendiri. Bagaimana harus percaya pada tubuh, kalau sejak kecil sudah jadi sarang pukulan ayahnya yang bengis? Bagaimana percaya pada tubuh kalau pada usia dua belas tahun sudah diganyang preman jalanan? O, bagaimana dia merasa memiliki tubuh jika pada saat umur mulai mengelopak pacar dan sang ibu berebut mencumbu dirinya? Kesakitan demi kesakitan itukah yang menjadikannya sebagai perempuan iblis? Apa jadinya jika sihir sang Mahasakit telah kehilangan teluhnya? Entahlah. Yang jelas Xi Shi telah menjadi batu yang cuek dan terluka. Yang jelas Thian memberikan sepasang mata indah sekaligus tak pernah menganugerahkan rasa sakit kepadanya. Maka, pahamilah mengapa sejak siang tadi Xi Shi mengabaikan kehadiranku. Kehadiran orang lain yang dia sangka sebagai neraka itu.<sup>3)</sup> Ya, di yang ya, aku, penderita bodoh ini, relung mata Xi Shi ganjil, tetap sebagai pelukis tato. Tetap saja hanya budak impian ingin menebarkan rasa sakit tubuhnya. Aha! Kau pasti ingin bertanya mengapa sepanjang hari aku menguntit Xi Shi? Minumlah kopi di kafe-kafe dulu. Ciumlah kekasih-kekasihmu di jalanan gelap dulu. Setelah itu, dengarlah ceritaku! Yu Chao, bandit bengis Makau yang ingin menguasai Sussex-lah, yang memperkenalkan aku kepada Xi Shi. Waktu itu di Star City, di ruangan kasino berarsitektur Cina mewah yang dikepung 200 meja permainan dan 1.500 mesin slot, bersama para penari lain Xi Shi menarikan salah satu nomor Shanghai Dance. “Jangan menganggap remeh penari bermata liar itu. Dia memang suka menari, tetapi dia bandit yang tak terkalahkan. Dia memang menebar mata indah. Namun, sesungguhnya dia hanya ingin menatap lama-lama calon korbannya. Setelah mereka teperdaya, habislah riwayat kekayaan para pria bodoh itu. Perempuan licik ini akan mengajak mereka berjudi terus-menerus dan mencumbu serigala-serigala bloon itu hingga mereka tak punya keberanian menolak segala keinginan Xi Shi, bahkan akhirnya mempercayai dia sebagai ratu,” Yu Chao mendesis. Tak kurespons kekaguman Yu Chao. Dan sebagai perempuan mata-mata yang dibayar Yu Chao untuk menenggelamkan para pemain kasino atau bandit lain ke ceruk kekalahan, aku memang tak berhak membuncahkan kata-kata yang paling tak bermakna sekalipun. “Aku dengar dia mencari perempuan penato yang bisa mengguratkan sepasang naga di sekujur tubuh. Aku dengar dia ingin menunjukkan kepada para bandit Sussex betapa rasa sakit paling sakit pun tak membuatnya gigrik menghadapi kehidupan. Dan sekarang, kau, Cit Li, kutugaskan untuk menenggelamkan dia ke comberan.” “Kenapa aku? Kenapa harus seorang perempuan penato? Bukankah Fan Li, pemimpin Gerombolan Naga Sembilan, musuh bebuyutan yang paling kita takuti pun telah bertekuk lutut kepadanya?” “Karena Fan Li tak punya apa-apa, kecuali pistol dan kebodohan. Kau lain, Cit Li. Kau punya jarum-jarum tato. Kau…,” Yu Chao mendesiskan alasan-alasan aneh. Tak butuh musim demi musim yang lebih menjijikkan untuk menyusup ke ceruk kehidupan Xi Shi. Sebulan menguntit perempuan iblis itu, aku menemukan keindahan sekaligus kerapuhan jiwa moleknya Xi Shi-yang kutaksir telah 30 tahun tak usai-usai memahami kepedihan-sangat menyukai penari-penari muda. Dan karena aku sangat mahir menarikan nomor-nomor Shanghai Dance, dia meminta aku mengajarinya sepanjang hari di apartemennya. Xi Shi-seperti dugaan Yu Chao-juga membutuhkan perempuan penato. Dan karena menganggap aku sebagai penato hebat, dia memaksaku menusukkan jarum-jarum tatoku ke tubuh indah yang seharusnya tak membutuhkan tambahan keindahan itu. Sampai di sini harus kukatakan kepadamu: Yu Chao keliru ketika memilihku menjadi kaki tangannya. Dia tak tahu betapa aku sangat bisa dan cepat berpaling dari serigala-serigala bengis yang tak percaya pada kekuatannya sendiri. Dia keliru menafsirkan kelembutanku sebagai perempuan. Dia juga keliru ketika terlalu percaya pada ketakmungkinanku terperosok dalam sihir cinta monster cantik itu. Maka, sebengis apa pun kemarahan Yu Chao, perintah-perintah dan bayaran setinggi langit agar aku segera membunuh Xi Shi pun kuabaikan. Memang seorang pelukis tato hanya berhak memandang keindahan tanpa boleh memiliki sejumput keinginan mencumbu tubuh para pelanggan. Namun, Xi Shi telah menebar candu cinta yang begitu dahsyat sehingga aku memiliki keberanian melanggar segala pantangan. Melanggar petuah-petuah leluhur dan melawan aturan-aturan Thian hanya untuk sebuah kisah kasih yang konyol. Hanya untuk wajah liar Xi Shi saat didera sepotong rembulan. Apakah Yu Chao menyangka aku tak bisa mencintai perempuan? Tak perlu dia menjawab pertanyaan itu. Namun, seharusnyalah dia mendengarkan desis Xi Shi ketika pada suatu malam menebarkan teluh cinta kepadaku. “Maukah kau segera mengguratkan tato sepasang naga, Cit Li?” “Ya, Xi Shi, ya, akan kutatokan sepasang naga di sekujur tubuhmu. Akan kuguratkan juga sepasang lampion indah di bahumu.” “Dalam warna-warni pelangi yang kusuka?” “Ya, dalam warna-warni pelangi yang kau suka.” Apakah Yu Chao masih berani menyangka kami hanya sepasang undan yang tak mungkin bercinta? Sekarang izinkan aku menceritakan kepadamu tentang keindahan segurat kepedihan. Ketahuilah, tak seorang pun pelangganku yang mampu menahan rasa sakit. Setiap jarum- jarum tajam itu kuhunjamkan ke tubuh, mereka akan meringis atau berteriak-teriak menyebut nama Thian. Xi Shi sungguh sebuah perkecualian. Tak pernah menyebut nama Thian. Tak mengeluh sedikit pun saat jarum menusuk-nusuk membentuk ekor, kepala, sisik, dan taring tajam. “Masih adakah yang lebih sakit daripada tusukan-tusukan indahmu, Cit Li?” Tak kujawab pertanyaan itu. Ingatanku melayang ke cerita Nenek tentang Sussex puluhan tahun lalu. “Dulu… dulu sekali… di Sussex hanya ada delapan perempuan Cina, Cucuku. Kau tahu, apa yang terjadi ketika delapan perempuan itu harus menghadapi pria-pria serigala?” Waktu itu aku tak bisa menjawab pertanyaan Nenek. Namun, kini aku bisa membayangkan rasa sakit yang meletup-letup saat serigala-serigala itu mencabik-cabik daging indah para perempuan selembut keramik. “Karena itu, Cucuku, setiap perempuan Sussex diajari melupakan rasa sakit dan sebaliknya harus mampu menebarkan kesakitan yang luar biasa. Hanya dengan cara itu mereka bisa hidup. Hanya dengan cara itu Nenek bisa memiliki cucu secantik kamu.” Maka, aku jadi tahu mengapa pada saat usiaku menginjak enam tahun. Nenek mengajariku menato tubuh sendiri. Mula- mula memang rasa sakit itu menebar ke sekujur tubuh, namun lama-lama menimbulkan kenikmatan luar biasa. Nenek juga mengajari aku membenci setiap laki-laki. Laki- laki adalah serigala bodoh. Kata Nenek, dia selalu mencakar wajah Kakek saat mereka bercumbu. Ibuku juga lahir sebagai betina perkasa. Dia bercinta habis-habisan dengan Ayah, namun setiap malam membawa pria Aborigin atau serigala-serigala Sydney ke ranjang. Lalu, kalaupun aku kemudian bekerja untuk Yu Chao, itu hanyalah siasat untuk menggiring pria bodoh Makau ini ke jurang paling dalam. “Hanya orang-orang yang bisa pelanggan yang sedang kautato. Kalau kaulanggar, jari-jemarimu akan patah. Matamu akan buta. Cintamu akan menghunjam ke comberan…..” “Tak ada lagikah rasa sakit yang kau hunjamkan ke tubuhku, Cit Li?” Xi Shi mendesis lagi. Lagi-lagi tak kujawab pertanyaan itu. Sambil memandang lukisan sepasang naga setengah jadi di tubuh Xi Shi, ingatanku melambung pada puluhan perempuan yang dicumbu dan dicambuki pria-pria sadis, pada pria-pria ganas yang menyiksa perempuan Cina di negara tetangga, pada kegilaan Yu Chao yang tak habis-habis mengusung puluhan penari ke apartemennya. O, apakah kami-para perempuan yang dicipta serupa bidadari-memang telah benar-benar melupakan rasa sakit? Dan Xi Shi, monster cantik itu, apakah telah melupakan pedih perih hingga ke tulang sumsum? Tak bisa kujawab pertanyaan itu. Tak bisa. “Sepasang lampion itu telah kau guratkan ke bahuku, Cit Li?” Xi Shi membuyarkan lamunanku, “Apakah tubuhku terlalu indah bagimu?” Aku mengangguk. “Seperti dirimu, aku tahu, Cit Li, kau dikutuk untuk tak pernah merasakan kesakitan dan dilarang mencintai serigala- serigala Sussex bukan?” Aku mengangguk lagi. Namun, Xi Shi tak tahu, aku juga tak boleh mencintai pelangganku. Xi Shi tak tahu keliaran dan sepasang lampion di matanya telah menaklukkan tebaran kutuk leluhur yang melilit diriku sepanjang waktu. Kegairahan dan ketakutan itu akhirnya justru membuatku abai pada segala hal. Maka, dengan berahi dan cinta yang meletup-letup kutusuk-tusukkan jarum-jarum tato hingga sepasang naga betina dan sepasang lampion cantik menggurat di tubuh Xi Shi yang mestinya terlalu indah untuk dilukai. “Setelah ini, kau tak boleh ke mana-mana Xi Shi. Kau tak boleh menari. Kau tak boleh berkeliaran ke kuil-kuil. Kau tak boleh asyik-masyuk di ruang kasino atau melahap makanan sembarangan di restoran,” aku mendesis tak keruan dan merasa mengubah Xi Shi hanya menjadi seekor cacing. “Kalau kulanggar?” “Sepasang naga dan lampion-lampion itu akan hilang.” Namun, di relung-relung musim Sussex yang menjijikkan, kau menghilang, Xi Shi. Rasa sakit yang kutebar lewat jarum tatoku, bahkan tak kaupedulikan. Dengan lipstik merah di cermin yang senantiasa memantulkan percumbuan kita, kau menuliskan kata-kata bodoh yang tak bakal dikenang oleh orang-orang yang mengaku sangat peduli pada penderitaan. Apa arti tulisan “Melawan sakit adalah kebodohan?” Apa pula makna “Melupakan sakit sama dengan melupakan Thian?” Bukankah kita telah lama melupakan penderitaan dan carut- marut zaman? Bukankah kita tak mampu berbuat apa-apa ketika manusia-manusia ganas membakar perempuan-perempuan lembut di ujung jalan? Memang kemudian kau kutemukan di keriuhan kutuk hujan, tetapi tak lama lagi sepasang naga dan lampion-lampion itu akan menghilang. Kulitmu bakal mengelupas. Keliaranmu tanggal. Kau tak akan bisa menari di ruang kasino. Kau tak akan bisa merampok orang-orang kaya di pedesaan. Jiwamu bakal rontok di trotoar. Karena itu, mesti tarianmu kian kacau, aku akan terus-menerus menguntitmu, Xi Shi. Aku harus menjagamu, wahai naga betinaku. Hanya kau yang kelak mampu memaknai surga Sussex. Hanya kau yang mampu menebarkan derita paling terkutuk pada orang-orangyang telah melupakan rasa sakit. Maka peluk kecup<sup>4)</sup> serigala, yang melupakan lalu buang ke selokan. Peluk kecup perempuan garang kemontokan dirinya sendiri, tinggalkan kalau merayu5). Namun, jangan kau jadikan aku boneka mainanmu. “Apakah sepasang naga yang kautatokan di tubuhku telah hilang, Cit Li?” suaramu mengiang. “Yu Chao yang telah hilang dan kembali ke Makau.” “Apakah sepasang lampion itu juga telah sirna, Cit Li?” “Aku yang telah hilang karena segala cintaku kauabaikan.” Maka, sungguh sialan kalau aku masih ingin menguntitmu, Xi Shi. Sungguh aneh kalau aku terpaku di bawah sepasang lampion dan terus-menerus menatap tarian gilamu. “O, adakah yang lebih edan daripada sepasang kekasih yang menggelegakkan tawa bahagia di riuh malam yang kehilangan amuk hujan, Xi Shi? Adakah yang lebih konyol daripada sepasang tawa yang kehilangan jiwa?” Aku tahu… kau terus menari hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari. Semarang 2003-Sussex 2001 Catatan: 1) Thian adalah bahasa Cina untuk menggantikan kata Tuhan. 2) Pada awal abad ke-20 Australia memberlakukan White Australia Policy yang melarang imigran Asia, termasuk Cina, masuk ke Benua Kanguru. Orang-orang Cina yang telah bekerja dan tinggal di berbagai kota didiskriminasi, dihina, dan diperlakukan secara tak adil. 3) Neraka adalah orang lain adalah ungkapan khas Sartre. 4) dan 5) bagian sajak Chairil Anwar, “Kepada Kawan”.
""Malam Sepasang Lampion""
Setyawati adalah nama ibuku. Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun. Hal pertama yang kuingat dari diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati, kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi melatinya masih tercium. Ibuku selalu bisa bersikap manis bahkan ketika sedang marah. Kalau ada dia, rasanya semuanya bisa diurus dengan baik. Semua orang sayang padanya. Bahkan, kupikir bunga-bunga di kebun itu mengangguk-angguk bukan hanya karena tertiup angin, tapi juga karena ingin menyapa Ibu. Ibu sangat sayang padaku meski aku hanya jarang-jarang saja berada di dekatnya. Aku sangat sering pergi. Kadang aku pergi dan kembali hanya untuk sebuah alasan sederhana. Kadang bahkan tak perlu alasan sama sekali. Dan aku senang melakukannya. Tapi Ibu tidak. Tiap kali aku muncul di depan pintu, kata pertama bukan “selamat datang” atau paling tidak “hai sayang”, tapi “berapa lama kau akan tinggal?” dan kalau jawabanku adalah “besok aku harus kembali” wajahnya jadi muram seakan- akan aku sedang pamit perang melawan seribu orang raksasa. Orang menganggap ibuku wanita yang sangat beruntung padahal sebenarnya dia orang yang malang. Orang-orang yang Ibu cintai selalu meninggalkan Ibu sendirian. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, Senin ke Jepang, Rabu ke Singapura, Kamis ke Swiss, dan minggu berikutnya entah ke mana lagi. Kalau Ibu protes, paling-paling Ayah akan pulang dengan wajah tidak berdosa sambil membawa sebuket bunga, kalung permata, dan ajakan makan malam berdua. Begitu saja Ibu langsung tersipu-sipu. Ayah memang pandai merayu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia berpamitan pada Ibu keesokan harinya sebelum dia menghilang di balik pintu. Walaupun begitu, Ibu boleh bangga karena Ayah sangat mencintainya. Bagi Ayah, itu adalah rahasia terbesarnya, tapi aku tahu karena aku laki-laki dan juga putra Ibu. Pernah suatu ketika, di antara sedikit waktu luang Ayah, dia menceritakan bagaimana dulu dia harus berjuang keras untuk mendapatkan cinta Ibu. Ibu adalah gadis paling manis yang pernah dikenal Ayah, sedangkan Ayah adalah laki-laki paling brengsek yang pernah diketahui Ibu. Vila keluarga mereka di Kaliurang berdekatan, tapi keluarga keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang penuh martabat dan tata krama, sedangkan keluarga Ayah merupakan gambaran paling ideal untuk penganut paham materialisme dan pemikiran liberal: punya segalanya, tapi jelas tidak bahagia. Tapi, sudah merupakan hukum Tuhan kalau kutub positif magnet selalu bertemu dengan kutub negatifnya. Sejak melihat Ibu pertama kali, Ayah tak pernah membiarkan Ibu lepas dari pengawasannya. Dia terus berkeliaran di sekitar Ibu sampai Ibu menyadari keberadaannya. Tapi waktu itu Ibu masih sangat muda sehingga terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ayah mencintainya. Berkat kerja keras dan didukung kepintarannya dalam mempengaruhi orang, Ayah berhasil membujuk orangtua Ibu untuk menikahkannya dengan Ibu. Ayah sama sekali tak merasa perlu membujuk Ibu karena dia tahu Ibu itu sangat penurut dan menganut paham: cintailah apa yang kau miliki. Suatu ketika kutemukan buku harian tua di salah satu sudut loteng yang digunakan sebagai gudang. Buku bersampul kulit itu milik Ayah, ditulis ketika aku mungkin masih berupa sel-sel yang tercecer di dalam tanah. Di dalamnya tertulis kalimat yang sudah cukup menggambarkan seperti apa cinta Ayah pada Ibu. Kalimat itu adalah “Aku sangat mencintainya sampai rasanya ingin memakannya”. Ibu adalah contoh istri yang luar biasa. Dia mengabdi sepenuhnya pada suami. Mencintainya, merawatnya, dan sebisa mungkin tidak melakukan apa yang tidak disukai Ayah. Ibu sangat setia pada Ayah, mungkin seperti Setyawati dalam cerita pewayangan yang rela jari-jarinya dipotong demi menolong suaminya. Setelah melahirkan aku, Ibu tidak pernah bisa benar-benar sehat seperti sebelumnya, padahal Ibu ingin punya banyak anak supaya rumah jadi ramai. Meski begitu, Ibu punya anak yang lain, Ayah, dia jelas lebih merepotkan dari anak mana pun juga dan bayi yang tidak pernah menjadi besar. Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban setidaknya menelepon Ibu untuk laporan harian sebelum tidur dan harus meluangkan waktu senggangku untuk pulang. Sebenarnya berada di rumah sangat menyenangkan. Ada Ibu dan segala bentuk perhatiannya dan kalau aku cukup beruntung, ada Ayah yang bisa aku ajak menonton pertandingan bola. Tapi ada terlalu banyak daya tarik yang ada di luar rumah sehingga aku tidak bisa berlama-lama berada di rumah. Meskipun begitu, tetap saja aku merindukan Ibu dan menyimpannya sebagai alasan untuk pulang di bulan berikutnya. Suatu kali aku pulang. Ada kabar gembira yang harus kusampaikan pada Ibu. “Bu, aku sedang jatuh cinta,” kataku. “Hebat sekali, bukan?” Ibu memandangku lama, kelihatan sangat heran, tapi kemudian tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat. “Oya? Benarkah? Ayo ceritakan pada Ibu.” Lalu aku pun bercerita. Tentang seorang gadis yang berasal dari desa yang namanya tak tercantum di peta. Tentang bidadari kecil yang sangat manis. Tentang mahasiswi paling pintar di kampus. Tentang wanita angkuh yang pernah menampar wajahku. Ibu sangat heran. “Dia menamparmu?” “Ya, aku berdebat dengannya di sebuah forum diskusi. Dia melawan dengan gigih. Sewaktu acara usai, aku mencoba mengajaknya kencan dan dia menamparku.” Ibu tertawa. “Kamu pasti jadi marah sekali.” “Tentu saja. Setelah hari itu aku membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia marah, jengkel, dan kadang ketakutan. Lucu sekali.” “Kenapa kamu mengganggunya? Terang-terang kamu yang salah. Bukankah seharusnya kamu minta maaf padanya?” “Ibu bercanda. Masa gadis seperti itu harus dibiarkan saja? Karena dia sudah membuatku susah, maka dia harus dihukum. Bagaimanapun dia harus jadi milikku.” “Ya ampun, kau persis ayahmu.” Aku tersipu malu. “Ah, aku lebih suka mirip Ibu.” “Tidak, Nak, kau persis ayahmu.” Beberapa bulan kemudian aku telah berhasil menjadikan gadis itu pacarku. Ketika liburan semester tiba, aku membujuknya agar mau menghabiskan liburan di rumahku. Aku sangat ingin mengenalkannya pada Ibu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari Kanada dan kurasa sedang punya keinginan yang luar biasa untuk berada di rumah bersama Ibu. Oya, pacarku itu bernama Setyawati. Tahu itu Ayah tertawa. “Itu adalah nama yang khusus diberikan pada wanita yang hebat,” katanya. Saat itu Ayah sedang melirik Ibu, tapi pacarku tersipu-sipu. Selama seminggu itu Setyawati mendominasi ibuku. Mereka berkeliaran berdua sepanjang hari, dari mulai memetik buah di kebun, membuat kue-kue kecil aneka rupa yang nama-namanya sangat aneh, keluar masuk toko mencoba segala jenis gaun, sampai membicarakan sesuatu yang tak pernah bisa kumengerti meskipun sudah kucoba. Aku dan Ayah mengawasi mereka berdua sambil tertawa cekikikan. Lucu sekali melihat bagaimana dua orang itu berkeliaran di sekeliling kami seperti angin ribut dan amat sangat repot mengerjakan ini dan itu untuk kami. “Apakah kau menyadarinya?” tanya Ayah. “Kita ini memang ayah dan anak.” Itu memang benar, pikirku, tapi tak perlu mengatakan sesuatu yang sudah jelas, kan? Setelah pacarku pulang, aku menemui Ibu. Kukatakan kalau aku ingin menikahi Setyawati. “Jangan menikahinya, Nak,” kata Ibu. Aku mengerti. Kukira Ibu menyukainya. “Kenapa, Bu?” “Jangan. Jangan menikahinya.” “Bu, dia memang miskin, tapi dia sangat baik.” “Aku tahu, tapi kau tak boleh menikahinya, Nak.” “Kenapa, Bu? Aku mencintainya. Dia manis seperti Ibu.” “Dan kau seperti ayahmu.” “Aku tak mengerti.” “Kalau kau menikahinya, kau akan membuatnya menderita seperti yang ayahmu lakukan pada Ibu.” Aku tak pernah tahu kalau Ayah bisa membuat Ibu menderita. Hanya saja kalau Ayah tidak pulang, aku sering melihat Ibu duduk termenung di dekat jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi tampaknya lembarannya tak berganti. Aku curiga dia memang tidak sedang membaca. Pikirannya mungkin terbang pada Ayah. Tapi sebelum ini aku tak pernah memikirkan hal itu dengan serius meski aku melihatnya. “Tidak, Bu, aku tidak seperti Ayah. Aku akan membuatnya bahagia. Ibu akan melihatnya nanti dan Ibu akan bangga.” Seperti yang aku inginkan, memang pada akhirnya aku menikahi Setyawati. Bukankah sudah seharusnya begitu? Setyawati persis seperti yang aku harapkan dari seorang istri. Manis, menyenangkan, dan mengurus segala keperluanku dengan baik. Dia menyediakan apa yang aku butuhkan: makanan yang lezat, rumah yang nyaman, dan cinta. Aku sangat mencintai Setyawati dan sangat kusadari bahwa hidupku pasti tak akan sesempurna ini tanpa dirinya. Aku bekerja di perusahaan Ayah, mewakili Ayah dalam beberapa hal. Ternyata bekerja itu sangat menyenangkan, membaca laporan, memimpin rapat, memikirkan strategi baru, menandatangani banyak sekali dokumen dan kertas kerja, setelah itu uang datang seperti hujan. Aku sangat suka pekerjaanku, termasuk setiap sentimeter kantorku. Bekerja memberiku kegairahan yang sama seperti saat aku bersama Setyawati. Banyak sekali kemajuan yang satu per satu dapat aku raih. Itu adalah suatu prestasi dan tentu saja berarti uang. Aku senang karena dengannya aku dapat membelikan Setyawati barang-barang paling bagus, perhiasan, gaun, dan apa saja yang terlintas di benakku atau apa saja yang dianjurkan sekretarisku yang menurutnya akan diterima oleh seorang wanita dengan senang hati. Aku yakin Setyawati sangat bangga padaku. Tiap kali aku pulang, aku melihat pijar di matanya. Seperti biasa dia sangat baik hingga tak akan mau menyentuh makan malam sebelum aku pulang. Ketika aku terlalu sibuk untuk makan bersamanya, aku merasa menyesal dan untuk menebus kesalahan itu kusuruh sekretarisku mengirimkan padanya rangkaian bunga mawar putih dan sebuah kartu berisi ucapan maaf. Setyawati akan mengeluh dan marah, tapi cuma sebentar karena aku punya cara paling manjur untuk membujuknya, yaitu dengan meminta maaf dan ditambah sedikit keluhan capek atau sakit kepala. Dia akan tergopoh- gopoh mengurusku dan lupa sama sekali dengan kemarahannya. Tahun demi tahun berlalu, kurasakan waktu berjalan dengan begitu cepat sehingga aku hampir selalu kekurangan waktu untuk segala hal. Setyawati telah menjadi lebih memahamiku sehingga makin lama makin jarang mengeluh. Dia memang mirip Ibu. Ekspresi wajahnya serupa Ibu ketika menyambut aku di muka pintu. Dan aku sangat mencintainya. Suatu hari aku pulang, berharap menemukan Setyawati yang cantik sedang menungguku di ruang keluarga sambil merajut. Tapi Setyawati tidak ada di mana-mana. Di atas bantalnya kutemukan selembar surat. Untuk suamiku tercinta, Selama ini telah kau berikan segalanya padaku, uang, kemewahan, kedudukan yang terhormat, semuanya. Kau juga telah begitu baik padaku. Tapi kau melupakan satu hal, bahwa aku sangat membutuhkanmu di sampingku, sesuatu yang kurasa hampir setiap saat kau lupakan. Aku telah mencoba bertahan, aku benar-benar telah mencobanya, tapi aku menyadari aku bukan wanita luar biasa yang sanggup diabaikan setiap waktu. Karena itu aku memilih pergi. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tahu aku akan sangat menderita jika terus bersamamu. Kumohon, demi kebaikan kita berdua, uruslah surat cerai secepatnya. Kalau kau lakukan itu, aku akan sangat berterima kasih. Dariku, Setyawati. Ini semua tidak mungkin. Kenapa? Bukankah semuanya baik-baik saja? Aku tak mengerti, tapi surat itu ada di sana dan Setyawati telah benar-benar pergi. Aku menelepon Ibu. “Nak,” katanya. “Sekarang kau mengerti, bukan? Kau seperti ayahmu.” Lalu kutanyakan padanya apa yang ingin aku tahu. “Apakah Ibu juga akan pergi? Meninggalkan Ayah?” Jawabnya, “Nak, Setyawati yang ini berbeda dengan Setyawati-mu. Dia punya sayap yang kuat untuk terbang, sedangkan Ibu, Nak, Ibu tak punya kekuatan dan keberanian untuk pergi. Sayap-sayap Ibu telah patah. Nak, sudah sejak lama. Lama sekali.” Aku sangat ingin menangis dan meminta maaf pada Setyawati. Dan juga pada Ibu.
""Setyawati""
Seperti diterjang angin puyuh, aku tercabik dari rangkaian utuh jari daunku. Tak terlihat oleh siapa pun di dalam ruangan itu, aku yang hanya sebesar biji saga melayang dan tersuruk di belakang kaki kursi dari orang yang dengan bengis membanting gumpalan badanku bersama ratusan, atau mungkin ribuan, daun sekaumku. Dari balik kaki kursinya yang terletak di bagian belakang, kulihat orang itu kembali menghardik, “Kalau bukan untuk membiayai orang-orang Aceh yang hatinya berbulu, para pemberontak yang berkeliaran di Jawa ini, untuk apa lagi daun haram ini? Katakan, untuk apa? Kalau ini diuangkan, kau tau, dia jauh lebih dari cukup untuk membiayai seribu orang seperti kau ini jadi doktor. Omong kosong ayahmu mengirimkannya untuk membiayai kuliahmu. Jangan berbohong! Katanya mahasiswa, mengapa tak mau belajar jujur?! Katakanlah, kepada siapa daun laknat ini akan kau berikan?! Siapa kontakmu di sini?” Dari balik kaki kursi di mana aku tergeletak tak berharga, kulihat orang itu menahan napas. Coba menenteramkan hantaman jantungnya. Tetapi, nyata sekali matanya tetap melotot pada gadis yang duduk seperti tunggul yang dipacakkan di kursi, di seberang meja. “Ayo! Katakan…!” Hanya beberapa menit yang lalu, aku padat berimpitan dengan kaumku dalam bungkusan karton tipis yang terletak di atas meja itu. Sekarang, tangan orang yang begitu durjana memisahkan aku dari kaumku, mengangkat bungkusan berisi daun ganja kering yang sedarah serumpun sepersemaian denganku. Dengan tiba-tiba dia kembali membantingkan kaumku itu ke daun meja, walau sudah tak sekeras bantingan pertama, yang membuat diriku tercabik dan tercampak dari indukku. Yang menestapakan aku di lantai, di belakang kaki kursi ini. Orang itu tidak melihat aku. Barangkali lantaran amarahnya sudah begitu memuncak sehingga dia sudah tak menghiraukan aku lagi. Ya, memang, apalah aku ini, selinting pun tak sampai. Aku hanya secabik kecil dari satu kesatuan daun yang kering. Daun terkutuk lagi. Yang membuat gadis Aceh yang manis di depanku ini begitu hinanya. “Akuilah!” “Apa yang harus aku akui?” “Kalau memang perempuan Aceh, kau jangan berlagak pilon!” “Sudah saya katakan, si pengirim adalah ayah saya. Bapak bisa baca di pojok parsel itu di mana dengan jelas tertulis nama ayah saya; dia yang mengirimkannya. Dan saya persilakan Bapak membaca lagi surat yang terselip di situ. Kalau semua baris kalimatnya yang begitu sederhana, dan juga begitu kaku, Bapak anggap sebagai sandi bagi perjuangan kaum pemberontak di perantauan, maka itu terpulanglah kepada kesimpulan Bapak. Saya tak bisa berkata apa-apa, saya hanya pesakitan.” “Akh….” Orang itu tersentak bangkit dari kursinya. Kalau dia menggeser kursinya, pastilah aku tercampak lebih jauh lagi. Tapi, tidak. Dan, dari balik kaki kursinya bisa kulihat wajahnya yang penuh dengki dan permusuhan yang disemburkannya ke arah gadis yang berada di bawah penaklukannya. “Sudah seminggu aku memeriksamu. Aku tak sudi terus-menerus mengurusmu, terus-menerus menelan kebohonganmu. Jangan bikin aku marah. Aku ini juga jantan, bisa naik pitam! Atau kau baru mau mengaku kalau kaki meja ini sudah melumatkan jari-jari kakimu?! Pipimu yang menawan ini sudah saya totolin dengan bara rokok sampai melentung gosong. He… orang Aceh tidak hanya pencari keadilan, mereka juga pemuja keberanian dan pengagum kecantikan. Pikirkanlah apa yang akan terjadi kalau dirimu penuh cacat. Sekarang, aku masih kasih kau kesempatan untuk berpikir, berdamai dengan apa yang kau rahasiakan di dalam hatimu.” Orang itu meninggalkan pesakitannya. Aku cuma cabikan daun. Tetapi, melihat bagaimana gadis itu disemprot hardik dan ancaman sekasar itu, simpatiku tumpah ruah kepadanya. Gadis itu tak bergerak di kursinya. Ketika orang yang berhati durjana itu menghilang di balik pintu, perlahan dia merundukkan kepalanya, seperti mau menyembunyikan matanya yang memerah menahan amarah. Melihat dia seperti itu aku berbisik di dalam hati: kalau kau memang mau menahan tangis, karena keteguhan hatimu, lantaran air mata buatmu barangkali adalah lambang kelemahan, maka bendunglah air matamu supaya jangan sampai membasahi pipimu. Biarkanlah aku yang berderai air kesedihan. Walau aku hanya secabik daun ganja yang kering, yang hina dina. Aku berurai air mata melihat bagaimana kau diperlakukan. Aku tahu persis kau bukanlah pendusta. Dan orang itu harus tahu bahwa Aceh itu tak hanya seperti yang dia kenal. Aceh adalah juga hati yang mulia. Orang yang durjana, seperti dia, tentu tak bisa memahaminya. Kau tinggal jauh di Jawa sini, kawanku. Tak kau lihat bagaimana ayahmu memperlakukan aku dalam onggokan daun kering yang membuatmu jadi susah begini. Pahitnya masa di bawah kekuasaan tangan besi, manakala pemerintah memutuskan Aceh di bawah kungkungan daerah operasi militer dulu, telah memberikan pelajaran kepadanya tentang bagaimana menghadapi masa-masa sulit di kemudian hari. Entah siapa yang memberitahukan kepadanya, pergilah dia mencari daun ganja kering barang sebungkah, di mana aku turut terbalut. Dengan hati-hati sekali, seperti meletakkan intan di atas tatakannya yang terbuat dari beledru berlapis sutra halus, yang tak boleh terusik jangat yang kasar, maka disembunyikanlah kami di para-para, di atas tungku dapur keluargamu, jauh di kampung tempat kau dilahirkan. Aku siap menjadi saksi betapa gelisahnya ayahmu menerima surat yang kau tulis tempo hari, yang mengabarkan bahwa kau sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan kuliahmu. Bahwa kau memerlukan ongkos untuk bolak-balik naik kereta api, karena kau akan melakukan penelitian di perpustakaan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta. Dan dari situ kau akan mengakses homepage Dag Hammarskjold Library di New York. Kau katakan di dalam suratmu itu dengan seloroh yang manis, yang membuat senyum tersungging di bibir ayahmu, bahwa kalau kantongnya sedang subur-suburnya kirimkanlah peng lebih banyak. Karena kau harus membayar ongkos tik komputer, fotokopi, penjilidan, sewa toga, dan lain-lain. Bukan main gundahnya perasaan ayahmu. Bisa dimaklumi. Cobalah kau merenung barang sedetik. Tempatkan dirimu di posisinya. Dia harus menyediakan uang, padahal suasana perekonomian belum pulih benar setelah masa daerah operasi militer disudahi. Dia jadi gamang. Memang, kau tak menyebutkan jumlah. Tetapi, dia tahu kau memerlukan uang yang lebih besar dari biasanya. Terkadang wajah ayahmu kusut masai kalau perasaannya sudah suntuk memikirkan uang yang sangat kau butuhkan. Tapi, jangan terlalu bersedih, dan jangan lupa, suratmu itu juga membawa kebahagiaan yang amat sangat bagi ayahmu. Pagi-pagi, begitu matahari baru saja terapung di kaki langit, sambil duduk mencangkung di pematang, terkadang paras wajah ayahmu bersimbah kebahagiaan. Karena dia tahu, jerih payahnya menyekolahkanmu jauh-jauh ke daratan yang terletak di ujung selatan sana tidak sia-sia. Benih yang ditabur akhirnya sudah mulai berkecambah. Tercapailah cita-cita anakku, ya Tuhan, katanya perlahan mengusipkan doa yang bersambut derai embun pagi. Sejak di sekolah menengah atas kau memang bercita-cita ingin mempelajari ilmu politik, khususnya hubungan internasional. Karena kau ingin tahu dan ingin memberikan jawaban mengapa bangsamu ini begitu hinanya di mata dunia. Apa saja yang dilakukan Indonesia, terutama setelah pembantaian yang terjadi tahun 1965-1966, pembunuhan di Tanjung Priok dan Lampung, penyirnaan nyawa manusia secara misterius, apalagi soal Timor Timur, malunya bangsa ini di mata dunia bukan kepalang. Dulu, katamu, kau yang senang belajar sejarah, presiden republik yang pertama berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih dan menggeledek di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, di New York, karena dia mau merombak dunia. Asia, Afrika, Amerika Latin menyimak dan mendukung kata-katanya. Tetapi, presiden yang menjatuhkannya, yang berbicara di podium yang sama juga, menggunakan bahasa yang belum diakui sebagai bahasa pergaulan internasional. Sudah begitu, lafal bahasa Indonesianya begitu buruk sehingga jadi bahan ledekan bagi mereka yang sinis dan para punakawan. Hai gadis yang duduk terpaku di kursi. Kau kulihat bukannya menahan tangis karena harus berhadapan dengan kelaliman seorang interogator. Aku tahu hatimu tercabik-cabik, tak tahan mengenang ratusan, mungkin ribuan, ibu dan anak-anak mereka yang sedang mengusung tikar, kasur, dan belanga menyeberangi hutan dan sungai menuju pengungsian, menghindari ancaman perang. Janganlah terus merunduk seperti itu. Liriklah aku. Akan kuceritakan kepadamu bagaimana ayahmu begitu gelisah menunggu datangnya hari kiamat kedua setelah dinyatakannya Aceh berada di bawah daerah operasi militer, hari dikobarkannya api peperangan di seluruh gampong tanah tumpah darahmu. Begitulah wajah kekerasan yang hendak memadamkan pemberontakan yang diciptakan oleh kekuasaan itu sendiri. Pagi itu aku lihat ayahmu mencangkung lagi di pematang. Maaf, wajahnya murung. Sebentar-sebentar dia coba menantang bersit sinar matahari. Sebentar-sebentar jari- jarinya menari membelai bulir padi yang masih hijau. Kemudian, seperti embun yang menggumpal, air mata menyeruak di pojok matanya. Orangtua itu menangis, menyesali diri, karena dia tak punya kekuatan untuk memecut lajunya pertumbuhan padi di sawahnya yang hijau melaut, sehingga dalam hitungan empat puluh dia sudah bisa panen, menjualnya, dan mengirimkan uang kepadamu. Dia menghapus hidungnya yang menggelegak karena menahan emosi dengan menggunakan bahu bajunya. Tiba-tiba saja, dia bangkit dan berlari-lari kecil sepanjang pematang. Memanjat tangga rumahmu dan langsung menuju para-para. Pelan-pelan diturunkannyalah kami dari situ. Ya, kami, bongkahan ganja yang padat kering. Rupanya, kamilah yang menjadi tumpuannya yang terakhir. Bukan siapa-siapa. Dia sudah tak melihat pintu kesempatan yang lain. Baginya, jalan sudah buntu mencekik. Sejauh lima kilometer dia berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menuju kota terdekat. Di kantor pos, dengan rapi kami dia masukkan ke dalam amplop. Jari-jarinya gemetar menuliskan alamat rumah kosmu, di jalan ini, di nomor itu, di kota anu. Ketika pegawai kantor pos menanyakan apa isi parsel itu, dengan tenang dan pasti dia jawab, “Buku, sajadah.” Aku tak tahu pasti, apa yang terjadi ketika ayahmu kembali ke rumah. Dan, oh gadis kawanku, maka datanglah hari yang dia tunggu dengan penuh kecemasan itu, Senin, 19 Mei 2003. Sungguh aku tak tahu apakah sawahnya turut menjadi medan di mana kendaraan-kendaraan baja yang menjadi mesin peperangan juga melindas dengan deru deram rodanya yang melumatkan padi yang belum bunting. Aku tak tahu. Karena aku dan seluruh kaum yang terhina di dalam parsel itu berada dalam perjalanan menuju Jawa. Yang aku tahu pasti, ketika sudah sampai di satu kantor pos, ada anjing yang sengaja didekatkan kepada kami yang terbungkus rapi di dalam kardus. Ketajaman penciuman dan kesetiaan anjing itu jangan kau persalahkan. Itu adalah kodrat yang diberikan kepada mereka. Memang, kedengarannya tak adil, mengapa kami, yang adalah juga makhluk, di ujung yang lain, dikodratkan untuk menanggung malu dan kutukan, walau kami tahu itu adalah kesalahan manusia yang menyalahgunakan kami. Kalaupun kau ikut kecewa, namun janganlah terlalu kau perturutkan perasaanmu. Biarlah kami memikul nasib ini tanpa harus membebani orang lain. Juga tidak, sekalipun itu adalah engkau. Malang, untuk jasanya, anjing itu tak dapat persen. Bungkusan langsung dirobek. Dan begitu terbuka, siapa lagi, tentu kamilah itu, daun- daun kering yang dimasukkan ke dalam kategori barang haram, yang bisa menyeret orang yang terlibat ke depan regu tembak, seperti kau ini, gadis manisku. Kemudian, kau sendiri sudah tahu apa kejadian yang datang menyusul. Mereka menemukan alamatmu. Tengah malam kau disergap orang-orang yang berpakaian yang saru di tengah kegelapan. Lenganmu yang halus, yang dirayakan bulu-bulumu yang sensual, mereka perkosa dengan lilitan borgol. Kau digiring dengan bentakan ketika kau berbalik hendak menutup Al Quran yang masih ternganga di rehal. Masih untung kekerasan dan penghinaan itu berhenti di situ. Dan kau dijadikan pesakitan seperti ini. Mereka memaksamu untuk mengakui apa yang tidak ada dalam goresan niatmu. Terus terang, sakit hatiku. Namun, apa mau dikata, aku hanya seupil ganja. Di balik kaki kursi bagian belakang, persis di bawah bokong orang yang begitu jahat membentak dan mengancammu aku hanya bisa meratap. Interogator itu masuk lagi ke dalam ruang pemeriksaan. Begitu kerasnya daun pintu dibantingkannya sehingga angin yang dikibaskannya menyeret tubuhku, dan aku teringsut ke samping. Dia lakukan itu, apalagi kalau bukan hendak meruntuhkan mental gadis yang mau dia taklukkan. Tapi, ah, manisnya kau. Bukannya takut, kau malahan tampak lebih anggun dalam mempertahankan dirimu. “Katakan, siapa saja kontakmu!” Orang itu menghampiri si gadis, dan dia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. “Kenal ini? Di mana, dan kapan kau bertemu dengan dia.” “Tidak.” Interogator itu mundur mengikuti kesebalan hatinya. Dia menyandarkan bokongnya di bibir meja. “Baik, kalau memang begitu maumu, mari kita kuat-kuatan. Sampai kau menyerah dan menyebutkan kepada siapa saja ganja ini mau kau berikan. Ingat, kesabaran tetap ada batasnya.” Dia tegak, dan ketika dia mau meletakkan bokongnya di kursi, persis di atas kepalaku, tampaklah olehnya serpihan daun ganja sebesar kelingking, merana di kaki kursinya. Dia julurkan tangannya memungutku. Kemudian dia sumpalkan diriku ke dalam jejalan kaumku yang tergolek di meja. Lantas dia keluar menenteng kami. Akan ke manakah kami dibawa? Aku yakin, kalau sudah tak dibutuhkan lagi untuk menghukummu secara palsu, kami akan dibakar, atau oleh tangan- tangan yang jauh lebih jahat dari interogator itu, kami diedarkan ke pasar gelap. Kalau boleh, aku ingin dibakar saja. Mati hanya sekali. Dan buat kami kematian datang dengan cepat. Sekelebat api. Tidak seperti kau yang disiksa berlama-lama. Doaku cuma satu, gadis manisku, semoga perjalanan waktu akan membebaskanmu. Manusia-manusia tak berperasaan seperti orang yang menginterogasimu ini begitu mudah lupa. Karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana membuat dosa yang baru supaya yang lama dilupakan. Mudah-mudahan saat itu akan datang, dan kau bebas, karena kau memang suci tak bersalah.
""Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata""
Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya. Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada. Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, namun diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu, dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, karena rembulan memang hanya satu. “Rembulan dalam Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus. “Akhirnya tiba juga pesanan ini,” katanya, “aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan.” Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp. “Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan.” Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang memperhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari? Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara-tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya. Seminggu kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama. “Rembulan dalam Cappuccino,” katanya. Para pelayan saling berpandangan. “Oh, minuman itu sudah tidak lagi ada Tuan, seorang perempuan telah memesannya minggu lalu.” Lelaki itu terpana. “Apakah Tuan tidak memperhatikan, sudah tidak ada rembulan lagi dalam seminggu ini?” Lelaki itu tersentak. “Seorang perempuan? Istri saya? Eh, maaf, bekas istri saya?” Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah memesan Rembulan dalam Cappuccino itu. “Ah, pasti dia! Dasar! Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan itu?” Para pelayan saling berpandangan lagi. “Tidak Tuan…” “Jadi?” “Kalau memang perempuan itu istri Tuan…” “Bekas….” “Maaf, bekas istri Tuan, mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu.” “Maksudmu?” “Dia tidak memakannya Tuan, dia minta rembulan itu dibungkus.” “Dibungkus?” “Ya Tuan, ia tidak menyentuhnya sama sekali, hanya memandanginya saja berjam-jam.” Para pelayan di kafe itu teringat, betapa perempuan itu mengaduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata. Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana, kebetulan di tempat sekarang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari. Kemudian dia meminta rembulan itu dibungkus. Ketika dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket. Itulah sebabnya kepala dapur meminta agar pencoretan Rembulan dalam Cappuccino dari daftar menu ditunda. “Rembulan itu belum hilang,” katanya, “siapa tahu perempuan itu mengembalikannya.” Lelaki itu memandang pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak peduli, padahal penasaran sekali. “Kalau dia muncul lagi, tolong katakan saya juga mau rembulan itu.” “Ya Tuan.” Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar. “Dan tolong jangan panggil saya Tuan,” katanya, “seperti main drama saja.” Padahal ia sangat menikmati perlakuan itu-seperti yang dilakukan bekas istrinya sebelum mereka berpisah. Tiada rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak? “Yang masih peduli hanyalah orang- orang romantis,” kata perempuan itu kepada dirinya sendiri. “Atau pura-pura romantis,” katanya lagi. Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, seperti ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dengan nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya nasib satu manusia di tengah semesta, nasib yang sebetulnya jamak pula dialami siapa pun jua di muka bumi yang sebesar merica. Namun, ia merasa bagaikan kiamat sudah tiba. Agak malu juga sebetulnya. Banyak orang lain harus hidup dengan gambaran bagaimana ayahnya diambil dari rumahnya di tengah malam buta. Digelandang dan diarak sepanjang kota sebelum akhirnya disabet lehernya dengan celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan dan darahnya menyembur ke atas seperti air mancur deras sekali sampai menciprati orang-orang yang mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yang hidup dengan kutukan betapa ibunya telah menjadi setan jalang yang memotong-motong alat kelamin lelaki sambil menyanyi dan menari, dan karena itu berhak disiksa dan diperkosa, padahal semua itu merupakan kebohongan terbesar di muka bumi. Hidup ini bisa begitu buruk bagi orang baik-baik meskipuntidak mempunyaikesalahan samasekali. Tanpa pembelaan sama sekali.² Tanpa pembelaan. Tanpa… Langit malam tanpa rembulan. Ada yang terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa kelinci yang mendarat di Pulau Jawa.³ Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel-apakah ia berikan saja kepada bekas suaminya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dalam Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuccino instant di lemari dapur (ia lebih tahu tempat itu daripada suaminya) dan meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir akan menyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas suaminya sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu- sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perkecualian? Ia seperti sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya berduka, karena selayaknyalah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta… Dalam kegelapan tanpa rembulan, perempuan itu tidak bisa melihat senyuman maupun air matanya sendiri di permukaan sungai yang mengalir perlahan- dan ia tak tahu apakah masih harus mengutip Pablo Neruda. Tonight I can write the saddest lines…. Tiga minggu kemudian, pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut. “Saya kembalikan rembulan ini, bisa diganti soto Betawi?” Itulah masalahnya. “Tidak bisa Puan, kami tidak punya soto Betawi, ini kan restoran Itali?4 Nah! Pondok Aren, Minggu 31 Agustus 2003. 07:40. 1. Kopi tradisional Italia, biasanya untuk sarapan-kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih, sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air panas 80 derajat celsius, dihidangkan dengan cangkir. (Sumber: dari bungkus gula non- kalori Equal). 2. Tentang penyiksaan sesama manusia Indonesia, bisa dilacak dalam sejumlah dokumen, antara lain, Pipit Rochijat, “Am I PKI or Non PKI?” dalam Indonesia edisi 40 (Oktober 1985); A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami, Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang (2003), dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu (1995). 3. Dari Sumanasantaka (sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: “sang hyang candra bangun bahitra dateng ing kulem amawa sasa mareng jawa.” Tentang segi astronomi bait ini, apakah itu bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya seperti perahu, ataukah bulan purnama, yang memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko, h238. 4. Puedo escribir los versos mas triste esta noches-dari “Puedo Escribir” (“Tonight I Can Write”) dalam Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Cancion desesperada (Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh WS Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.
""Rembulan dalam Cappuccino""
Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis November bakal seruncing ini, Hindun. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada Ramadhan terakhir teramat mengiris dan takbir menjelang Lebaran itu mengingatkanku pada ketololanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit Uhud. Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu. Dan kau, Hindun, mengapa masih mengasah pedang juga? Mengapa pada saat tak ada burung-burung ababil melintas di atas kuburan kau tetap mengenang pertempuran sengit di Jabal Uhud itu? Bukankah telah kau hentikan segala puasa dan sakit yang mengharu-biru? Sudah kuduga kau mengabaikan teriakan parauku. Bersama kaum Quraisy-wahai pahlawan-pahlawan kencanaku-kau bergegas menghitung dan mencari orang-orang yang gugur dalam perang besar itu. Aha! Kuhitung 55 tentara Nabi telah tewas, sedang pasukan Quraisy cuma 22 orang. Ini jelas kemenangan tak terperi. Kemenangan terindah setelah jauh sebelumnya, kudengar suara Ibnu Qami’ah berteriak membelah gurun, ‘”Muhammad sudah mati! Muhammad sudah pergi!” Perang memang hampir usai. Namun, sungguh aneh, gelegar kabar kematian itu tak membuat wajahmu melesatkan harum cahaya minyak zaitun. Kau seperti tak percaya betapa Nabi gampang ditaklukkan, betapa pedang Ibnu Qami’ah bisa melukai pelipis, dan membuat Muhammad tersungkur ke tanah. Aku memang bodoh. Pada saat-saat semacam itu, seharusnya aku tak perlu mengusik hatimu, hati perempuan cantik yang haus darah itu. Toh kau lebih terpesona pada Wahsyi, pemuda Abyssinia, yang telah berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh Hamzah. Toh Muhammad mati atau tak matitak mengubahwajahmu menjadisemanis kurmaajwa. Dan, kulihat kau tertawa terbahak-bahak setelah tahu Wahsyi menyobek perut Hamzah dan mengeluarkan hati Sang Singa Gurun. Ya, wajahmu pun bercahaya ketika menatap Wahsyi hendak menyerahkan hati berlepotan darah itu kepadamu. “Kau lihat, Hindun, aku telah membunuh jagoan yang membunuh ayahmu!” “Ya, dan kau pasti tahu apa yang akan kuhadiahkan kepadamu. Milikilah seluruh rampasan perangku. Hiduplah bahagia setelah didera kesakitan yang tak kunjung habis.” Wahsyi tersenyum. Dadanya membusung. “Apakah harus kuserahkan hati ini kepadamu?” ujar pria perkasa itu. Tak menjawab pertanyaan bodoh itu, kau langsung merampas hati Hamzah dari genggaman tangan terlena. Dan sungguh di luar dugaan, dengan gigi bertaring runcing kau menggigit, mengunyah, dan rakus menelan sepotong daging kenyal yang masih menyisakan darah segar itu. “Inilah sumpahku, Wahsyi! Aku tak akan puasa lagi. Selesailahperangku! Lihatlah,aku sepertiterlahir kembali.” Dan tak salah jika siapa pun menyangka aku tak mampu menghentikan gelegak tawa kemenangan yang menguar dari bibirmu yang bergincu darah itu. Setelah puas mencabik-cabik jasad Hamzah, kau bahkan meloncat ke sebongkah batu dan melantunkan lagu-lagu perang yang menganyirkan seluruh gurun, seluruh bukit yang menjulang. Memang Hamzah telah gugur. Namun, kau keliru kalau menganggap Muhammad telah binasa. Dan aku tahu semua peristiwa yang tak kauketahui. Sebab, setelah kau mengabaikan segala pertanyaanku, aku terbang melesat ke ruang yang lain, ke waktu yang lain. Karena itu, aku tahu betapa setelah orang-orang Quraisy terlena oleh kemenangan sesaat, kesadaran Nabi berangsur-angsur pulih. Dan itu berarti kau harus terus-menerus menggelorakan semangat orang-orang Quraisy untuk berperang, menancapkan tombak ke dada orang-orang mukmin, menusukkan pedang ke perut pasukan berhati lembut, dan mengasah amarah lagi. Kusangka setelah abad demi abad lewat, setelah kulupakan angin November yang perih, tak akan kutemui lagi perempuan perkasa sekeras dan setolol kamu, Hindun. Nyatanya, di kota ini-tempat malaikat gampang diledek dan dianggap sebagai pria kencana yang gampang dicumbu pria lain-kau muncul lagi. Mungkin kau bukan Hindun yang dulu. Mungkin kau hanya bayang-bayang kabur yang cepat memudar. Namun, lihatlah, sebagaimana Hindun, setiap hari kau mengasah dendam, mengasah amarah untuk sesuatu yang hampa, untuk sesuatu yang tiada guna. “Sia-sia? Tak ada yang sia-sia. Pembalasan atas kematian anakku kau anggap sebagai sesuatu yang sia-sia?” katamu, sambil mengenang kota yang terbakar dan pria-pria serigala yang tak henti-henti merobek-robek gaun malam setiap perempuan gading yang melintas di jalanan. “Tapi masa-masa kesedihan telah lewat, Hindun. Lagi pula buat apa kau puasa sepanjang waktu jika menjelang Lebaran, kau justru…,” kataku, setelah sebelumnya aku mengubah diri menjadi Rosa, teman sekantormu. “Justru apa? Enak benar pemerkosa anakku kalau dibiarkan hidup. Sudahlah, jangan berlagak seperti malaikat. Khotbah macam apa pun tak menghentikan dendamku, Rosa. Bahkan, jika kau malaikat pun, aku tak akan peduli pada segala nasihat bodohmu. Yang jelas, pria itu harus mati.” Oo, hampir saja aku mengaku siapa sesungguhnya diriku, Hindun. Namun, kupikir kau belum perlu tahu siapa aku dan mengapa aku sangat berhasrat menghalangi perbuatan bodohmu. Karena itu, kubiarkan kamu mencerocos lagi, kubiarkan saat takbir mendera malam, kau terus-menerus mengasah samurai dan kebencian. “Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku tahu siapa yang memerkosa dan membunuh anakku, Rosa. Bukan orang jauh. Bukan pria-pria serigala yang membakar hampir seluruh kota ini.” “Lantas siapa?” aku pura-pura bertanya, sekalipun sesungguhnya aku sangat tahu siapa serigala busuk-pria sangat indah-yang dia maksud itu. “Kau pasti terkejut, Rosa. Kau pasti tak menyangka….” “Siapa?” aku berpura-pura lagi sambil melihat perubahan wajah Hindun yang kian menegang. “Dia anakku sendiri, Rosa. Dia… Hamzah!” teriakmu sambil bergegas meninggalkan aku, mengambil samurai, dan melesat ke kuburan. Ya, ke kuburan-tempat jasad putri terkasih disemayamkan. Tentu tak kubiarkan kau melesat sendirian. Tentu tak kubiarkan kau bersembunyi di semak-semak menanti Hamzah menunduk pasrah di atas pusara adik semata wayang. Hindun! Hindun! Sungguh, mengapa kau ingin mengulang pembantaian tanpa guna itu? Mengapa tak kaubiarkan gerimis November meruncing tanpa melukai siapa pun? Tidak! Tidak! Ini tak bisa kubiarkan. Hamzah harus diselamatkan. Aku akan terbang dengan sepasang sayap indahku dan menghalang-halangi pria pujaanku itu menyerahkan nyawanya untuk kematian yang tiada guna. Dan kau, Hindun, kau mungkin ingin bertanya: mengapa Hamzah harus diselamatkan? Kau pasti ingin berkata: mengapa kau kularang untuk memenggal kepala Hamzah? Hamzah adalah kekasih pujaanku. Sejak kecil dia memang kudidik untuk menjadi pria yang abai pada nasihat seorang ibu. Kau memang melahirkan pria perkasa itu. Namun, perutmu hanya kupinjam untuk membiakkan manusia busuk. Maka, sejak kecil telah kusematkan di otak Hamzah segala keinginan-keinginan buruk. Mula-mula kukatakan kepada Hamzah betapa Nur, putri terkasihmu yang telah terbunuh itu, bukanlah adik kandungnya. Kukatakan kepada Hamzah, Nur adalah putri pelacur yang kautemukan di tong sampah saat dia lahir. Dan Hamzah percaya justru ketika dia kian menyelam ke keindahan tubuh dan paras adiknya. Maka, ketika kota ini diamuk oleh kerusuhan dan hampir semua perempuan berkulit kuning gading diperkosa beramai- ramai oleh para zombi bayaran, kubisikkan kata-kata busuk ke telinga Hamzah. “Ayo, Hamzah! Kapan lagi, kalau tak sekarang!” sambil mengenang arwah Hamzah lain yang kupastikan berusaha menghalang-halangiku, kalau Sang Singa Gurun itu masih hidup. Mula-mula dia agak ragu. Namun, karena tak menutup telinga untuk kata-kata busukku, segalanya pun akhirnya terjadi. Dia menyeret Nur ke ujung lorong. Nur menolak. Nur mencoba melepaskan diri dari dekapan dan amuk alkohol di mulut Hamzah. Pada saat semacam itu, Hamzah sebenarnya ingin menyarungkan kembali nafsu busuknya. Namun, aku bergegas menyusup ke dalam jiwanya. Kupompa berahinya. Kupompa amarahnya. Kukuatkan cengkeraman tangan Hamzah ke leher Nur yang kian tak mampu mengembuskan napasnya. Dan setelah segalanya terjadi, aku terbang dan menyatu dengan asap yang mengepung kota ini. Aku lihat Hamzah termangu-mangu. Aku lihat dia menyesali perbuatan busuknya. “Jangan pernah menyesal, Hamzah. Jangan pernah menyesal! Larilah! larilah sejauh yang bisa kautempuh!” kudesiskan kata-kata itu dan dia menurut. Ya, dia menuruti semua perintahku, paling tidak sampai beberapa tahun lamanya. Sayang, pada akhirnya dia tak mampu memenuhi seluruh permintaanku. Dan menjelang Lebaran ini dia menelepon kamu bukan? Menjelang Lebaran ini, dia katakan seluruh perbuatan busuknya kepadamu, bukan? Maka, sebenarnya aku pun tahu, Hindun. Malam ini, saat takbir mengumandang, dia akan pulang. Dia akan mengunjungi pusara Nur sebelum bersimpuh di kakimu, di kaki seorang ibu yang sejak dulu diabaikan. Maka jika bisa melesat mengikuti kecepatan gerakanku, kau bisa melihat bagaimana aku menghalang-halangi Hamzah agar mengurungkan niatnya mengunjungi pusara Nur dan menemuimu. Dan di stasiun itu, tentu aku sudah mengubah diriku menjadi dirimu. Menjadi Hindun yang lembut hati. Menjadi Hindun yang tak mengasah samurai untuk membunuh putranya sendiri. “Jangan pulang, Hamzah. Aku sudah menceritakan perbuatanmu kepada Rosa. Dia tentu bercerita kepada orang sekampung dan mereka akan membantaimu,” kataku setelah dia turun dari kereta, setelah dari masjid terdekat takbir mengumandang dan melukaiku. Hamzah hanya tertunduk. Dia tak berani memandangku. “Pergilah lagi ke mana pun, ke tempat yang tak memungkinkan orang-orang kota ini menjangkau tubuhmu.” Hamzah masih tetap menunduk. Meski demikian, dia mulai berani mendesiskan kata-kata yang tak kuduga bisa melesat dari bibirnya yang kian rapuh. “Hari ini hari penuh ampunan, Ibu. Tak seorang pun akan mengotori dirinya dengan perbuatan busuk. Izinkan aku mengunjungi pusara adikku. Izinkan aku tersungkur dan menangis di keheningan makam itu.” “Jangan, Hamzah!” teriakku, “Kau tak boleh selemah itu.” Hamzah kian tafakur. Dia mulai menangis. “Sudahlah, Ibu, bukankah semua orang telah melupakan peristiwa itu. Kalau pun pada akhirnya akan ada yang membunuhku, aku sudah siap, Ibu. Mungkin kematianku akan….” “Akan apa? Kau tak boleh mati. Aku tak ingin kehilangan kedua anakku. Aku tak ingin kehilangan kamu,” aku berpura-pura meledakkan tangis. Rupa-rupanya tangis itu tak ada gunanya. Hamzah berpaling dan dia meninggalkanku. Apakah di kuburan kau juga menangis, Hindun? Apakah sambil mengasah kebencian kau juga merasa bakal kehilangan anakmu? Kini mengertilah, Hindun, aku memang setan. Namun, aku pun bisa punya rasa kehilangan yang mendalam. Dan, Hamzah adalah putra pujaanku. Aku tak mau kehilangan dia. Aku tak ingin kau membunuh dirinya. Aku tak ingin sebagaimana Hindun yang lain kau menyerupai, bahkan melebihi kekejamanku. Tapi rupa-rupanya lengking takbir kian melukaiku dan gerimis abai pada segala teriakanku. Mungkinkah gerimis itu telah bercampur dengan darah Hamzah? Mungkinkah kau telah menebas leher putramu, membedah perut, mengambil hati, dan menggigit daging kenyal itu sambil meneriakkan kemenangan? Mungkinkah Hamzah rebah dan kepalanya membentur nisan Nur yang meruncing menunggu kematian laki-laki yang paling kaulaknat? Apakah sebagaimana Hindun, perempuan perkasa itu, kau akan akan bilang, “Telah kubunuh musuh sejati. Telah kuakhiri puasa panjangku dan aku tak akan menangis lagi.” Tak mungkin lagi kujawab pertanyaan itu. Takbir itu kian merontokkan sayapku. Aku tak bisa terbang. Aku tak bisa melesat ke kuburan dan membunuh amarah agungmu. Tapi, Hindun, mengapa harus Hamzah lagi? Mengapa harus dia lagi? Mengapa tak kaurasakan gerimis November kian meruncing merah dan menyakiti? Semarang, 11 November 2003 Catatan: 1) Ajwa adalah kurma yang konon ditanam oleh Nabi untuk disantap saat berbuka puasa. Buah itu diyakini sebagai kurma paling dianggap berkhasiat di antara puluhan jenis kurma lain. 2) Bagian kisah ini bertolak dari film The Message yang antara lain dibintangi Anthony Quinn dan Irine Papas serta buku Muhammad karya Matin Lings. 3) Setan, paling tidak menurut buku Biografi Setan karya Dr Ahmad Skr, dapat bepergian ke mana saja di dunia ini. Waktu yang dibutuhkan hanyalah beberapa detik saja. Kaki kirinya siap melayani atau di tangan kita, sedangkan kaki kanannya ada di cakrawala. Dia bisa tampil dalam wujud manusia atau apa saja. Ia meruang dan mewaktu di mana dan kapan pun. 4) Frasa “meruncing merah”, saya adopsi dari ungkapan “Ada sepasang bukit, meruncing merah/dari tanah padang-padang yang tengadah” dalam sajak “Di Muka Jendela” pada antologi Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001.
""Seperti Gerimis yang Meruncing Merah""
Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun. Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah sekolah di sana. Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi. Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan ketenteraman di sana? Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah membuatku tidak bisa tidur? Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi. Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku? Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong. Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya. Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong. Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang? Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda? Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah. Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku. Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka. Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi. Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya. Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan. Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi. Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila. Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat. Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.
""Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka""
Entah siapa yang pertama kali menamai kakek itu Ompung Hamatean (Kakek Kematian), tak ada yang dapat memastikan. Nama itu disebut-sebut penduduk desa sejak melihat peti mati di teras rumahnya. Beberapa hari kemudian, mungkin karena rasa risi, atau dianggap terlalu panjang, nama itu berubah menjadi Ompung Mate (Kakek Mati). Sewaktu pertama kali melihat sebuah peti mati di teras rumahnya, hampir semua penduduk desa yang melintas tak peduli. Rombongan anak sekolah yang berjalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang-penumpang yang jongkok di mobil bak terbuka, mereka hanya menoleh sekilas. Kalau ada yang peduli, tertawa cekikikan. Atau mengejek,  “Si Ompung Mate memang sudah bau tanah!” Tapi kira-kira seminggu kemudian, bapak si Poltak meninggal. Dan peti matinya dibeli dari Ompung Mate. Peti mati yang di teras itu! teras di yang mati Peti Mate. Ompung dari dibeli matinya peti Dan meninggal. Poltak si bapak kemudian, seminggu kira-kira Tapi tanah!? bau sudah memang Mate ?Si mengejek, Atau cekikikan. tertawa peduli, ada Kalau sekilas. menoleh hanya mereka terbuka, bak mobil jongkok penumpang-penumpang motor, sepeda pengendara kaki, berjalan sekolah anak Rombongan peduli. tak melintas desa penduduk semua hampir rumahnya, sebuah melihat kali Penduduk desa yang melintasi rumah Ompung Mate lebih sering melihat pintu depan tertutup. Hanya sesekali terbuka, ketika kakek itu duduk sambil mengisap rokok lintingan di anak tangga pintu. Kadang-kadang terlihat pahanya yang kurus dan hitam menyembul dari dalam sarung yang digulung sembarangan. Setelah beberapa bulan berlalu, orang-orang yang melintas kembali melihat sebuah peti mati! Mereka mulai berbisik-bisik, “Tanda kematian?” Ada yang menghentikan sepedanya, “Bah…!” katanya sambil bertolak pinggang di atas sadel sepedanya. Banyak yang mulai khawatir bila sangkaan akan menjadi kenyataan. Tapi ada pula yang bertaruh; ada yang meninggal atau tidak? Dan empat hari kemudian, si Tigor, si preman pasar, mati ditikam di lapo tuak! Jenazah Tigor dibaringkan di atas dipan di tengah ruangan. Bapak, ibu, dan adik-adiknya duduk mengelilingi di atas tikar. Tetangga dan keluarga dekat juga duduk di ruangan yang tidak besar itu. Semakin malam semakin banyak sanak saudara yang berdatangan. Karena ruangan sudah penuh, mereka duduk berkelompok beralaskan tikar pandan di halaman. Mereka bercakap-cakap dengan keras, seolah ingin mengalahkan andung-andung ibu Tigor yang terdengar lantang sekaligus memilukan. “Sudah berapa kaaaali kubilang…, jangan jadi preman Tigoooor! Inilah akibatnya Tigoooor…!” Andung-andung itu diucapkan seperti bernyanyi, nadanya naik turun. Semakin malam kelompok-kelompok kecil mulai bergabung dengan kelompok kecil lainnya. Akhirnya membentuk tiga kelompok. Kelompok yang paling sedikit jumlahnya terdiri dari ibu-ibu dan gadis-gadis. Lalu kelompok orang tua. Sedangkan kelompok yang paling besar jumlahnya adalah kelompok anak muda yang berdiri bergerombol di pinggir jalan. “Kematian ini harus dibalas!” kata seseorang yang berambut keriting dengan nada memerintah. Ia salah seorang sahabat si Tigor. Sepi sejenak. Beberapa orang saling pandang. “Memang sudah lama kudengar, geng si Ucok menaruh dendam. Walaupun jatah preman geng si Ucok dan geng si Tigor sama, tapi si Tigor dapat tambahan setoran dari sopir-sopir truk yang ngetem di pasar! Geng si Ucok tidak puas!” “Kalau begitu, ayo ke pasar. Kita balas sekarang!” kata si Keriting. “Kalau menghabisi si Ucok, aku tak berani,” kata seseorang yang berjambang. “Dari dulu aku tahu kau pengecut….” “Bah…, apa kau bilang?” Beberapa orang segera menengahi. Berdiri di antara kedua orang yang sudah berhadap-hadapan itu. Di halaman, orang tua bercakap-cakap sambil minum kopi. Si Jambang bergabung, kemudian disusul oleh anak muda lainnya. “Aku setuju. Kurasa memang ada hubungan kejadian ini dengan Ompung Mate.” “Belum tentu,” kata seorang kakek. Suaranya berat. Wajahnya bijak. Sunyi. Dalam kesunyian andung-andung dari dalam rumah terdengar lebih jelas. “Kusuuuruh kau merantau ke Medan, kau tak mau…. Beginilah jadinya, Tigoooor!” lalu disusul jeritan tangis. “Gara-gara peti mati itu, akhirnya kematian betul-betul datang! Kalau peti mati itu tak dibuat, belum tentu si Tigor mati!” kata yang lain menambahi. “Apa Ompung Mate pernah mengatakan peti mati itu untuk si Tigor? Kurasa dia justru sedang membantu kita,” bantah kakek berwajah bijak itu. “Betul juga…! Kalien ingat, waktu bapak si Poltak meninggal, peti matinya mereka beli dari Ompung Mate. Sangat murah. Jadi dia memang sedang membantu kita,” katanya sambil menuang kopi ke cangkir. “Ooiii…, namarbaju, tambahi dulu kopi ini!” sambungnya sambil mengacungkan ceret ke arah kelompok gadis-gadis. “Ompung itu pembawa sial. Lebih baik kita usir dari desa ini!” tiba-tiba seseorang mengusulkan dengan nada kesal. Mereka terpana mendengar usul itu. Beberapa orang tampak merenung. “Daripada kita usir, lebih baik kita larang dia membuat peti mati,” kata yang lain. “Sabar…,” kata kakek bijak itu. “Membuat peti mati bisa dilarang, tapi siapa di antara kalien yang bisa melarang kematian?” Pertanyaan itu belum dijawab, seseorang balik bertanya, “Dari mana tiba-tiba dia punya ilmu meramal kematian?” “Kalau begitu, kita tanya saja dia, siapa yang akan mati setelah si Tigor? Kalau tidak bisa dia jawab, kita usir!” “Setuju!!” Lalu tanpa dikomando, hampir semua serentak berdiri. Mereka berbondong-bondong ke rumah Ompung Mate. Kelompok anak muda turut bergabung. Ada beberapa yang tidak mau ikut-ikutan. Lampu senter dinyalakan untuk menerangi langkah-langkah kaki di atas jalan aspal tetapi banyak berbatu sebesar kepalan tangan. Di depan rumah Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang. Ompung Gaol, tetangga Ompung Mate, yang selalu membantu mengangkat peti mati dari halaman belakang ke teras rumah. Ompung yang dituakan. Disegani. Matanya menatap tajam. Menyelidik. Beberapa orang tua di rombongan itu menundukkan kepala. Tak berani bertabrakan mata. “Mau apa kalien ke sini?” Sepi sejenak. Saling bertukar pandang. Kemudian dari tengah-tengah rombongan seseorang berkata setengah berteriak, “Mau menanya siapa yang akan mati setelah si Tigor!” Ompung Gaol memandang ke sekitarnya, mengamati wajah-wajah di barisan terdepan satu per satu. Tatapannya dalam seolah ingin menjenguk isi hati. “Orang sebanyak ini tak muat di rumahnya. Pilih beberapa orang untuk mewakili kalien,” katanya dengan tegas. Rumah Ompung Mate sudah tidak berbentuk rumah adat Desa Tanjung. Walau masih rumah panggung, tapi di dalamnya sudah ada ruang tamu, ruang keluarga, dan dua kamar tidur yang cukup besar. Ada dapur yang menjadi satu dengan ruang makan. Rumah itu dibangun anak sulungnya yang menurut desas-desus sudah menjadi pengusaha mebel di Medan. Dindingnya terbuat dari kayu pilihan. Urat-urat batang kayu terlihat menjadi ornamen dinding. Licin dan mengkilap. “Sudah jadi orang,” kata penduduk desa. “Mereka membutuhkan villa, bukan rumah adat!” sambung yang lain. Halaman belakang luas dan rata, tidak landai seperti kebanyakan rumah penduduk di tepi Danau Toba. Batu-batu sebesar karung disusun dengan rapi untuk mencegah erosi. Riak air danau langsung menjilat-jilat tumpukan batu-batuan tersebut. “Katakan maksud kedatangan kali….” kata Ompung Gaol. “Tak perlu,” sela Ompung Mate. Kelopak matanya yang berkerut tak berkedip memandang empat orang lelaki di hadapannya. “Aku sudah mendengarnya dari balik pintu. Aku tak tahu siapa yang akan meninggal setelah si Tigor.” Hening. Suara orang yang bercakap-cakap di pinggir jalan sayup terdengar. “Begini Ompung…. Setiap kali Ompung menaruh peti mati di teras, beberapa hari kemudian ada yang meninggal,” kata seseorang dengan hati-hati. Entah mengapa, tiba-tiba keberaniannya berkurang. “Setelah si Tigor, siapa…?” “Kalau aku tahu, peti mati itu tidak aku taruh di teras, tapi akan kukirimkan ke rumahnya.” Empat lelaki itu terperanjat. Ompung Gaol terbatuk-batuk. “Lebih baik Ompung tidak lagi membuat peti mati.” “Mati itu urusan Tuhan. Bukan urusanmu!” “Ompung bisa kami usir dari desa ini!” Ompung Mate terbelalak. Sambil berdiri, kakinya mengentak lantai. Keras. Telunjuknya mengarah ke wajah lelaki itu. “Kau anak siapa, heh…? Suruh bapakmu yang mengusirku! Manusia tak tahu adat…! Lelaki itu terdiam. Merinding. Jari telunjuk itu seolah terasa menusuk hidungnya. Napasnya sesak. Ia tak pernah menduga Ompung Mate bisa membentak sekeras itu. Gaung suara bentakan menerobos telinga rombongan yang berdiri di luar rumah, membuat mereka masuk dan berkerumun di pintu depan. “Aku bekerja menuruti perasaanku! Hanya perasaanku!” sambung Ompung Mate. Matanya menyoroti wajah lelaki itu. Kepala lelaki itu menunduk. “Aku membuat peti mati karena aku suka. Aku bisa membuat meja, tapi aku tak suka. Lancang kau…!” Ompung Gaol menghampiri orang-orang yang berkerumun di pintu. “Ompung Mate berhak bertukang di rumahnya. Kalau kalien tak suka, jangan beli peti mati dari dia. Dan jangan menoleh ke teras ini,” katanya tegas. “Masih ada yang berniat mengusirnya?” Orang-orang yang berkerumun saling pandang sejenak, lalu satu demi satu membubarkan diri. Tapi tiba-tiba ada yang berteriak. “Periksa rumahnya! Mungkin dia penganut ilmu hitam!!” Banyak yang menghentikan langkahnya. Urung membubarkan diri. Akhirnya mereka berkumpul kembali di sekitar pintu depan. “Periksalah!” kata Ompung Gaol, lalu pandangannya beralih ke Ompung Mate. “Biar tuntas. Boleh kan mereka periksa?” “Periksalah!” sahut Ompung Mate dengan wajah garang. Dua orang masuk memeriksa ruang tamu, kolong sofa, kolong tempat tidur, lemari pakaian yang banyak berisi sarung dan kaus di bolak-balik, lemari dapur, bahkan kolong rumah pun disenter- senter. Tak ditemukan apa-apa! “Puas…?” tanya Ompung Mate, nadanya mengejek. “Untung Tuhan mau mengatur kematian. Kalau tak ada kematian, dunia sudah sesak. Mungkin kalien sudah mati sejak dilahirkan karena sudah tak ada ruang untuk tempatmu bernapas!” sambungnya. Mereka membubarkan diri. Dan esok harinya, ketika mengantar jenazah Tigor ke pemakaman, mereka dapat memastikan bahwa peti matinya adalah dari teras rumah Ompung Mate! Sudah lebih dari sebulan penduduk tidak mendengar suara mesin gergaji dan mesin serut kayu dari belakang rumah Ompung Mate. Dari mulut ke mulut, tersiar bahwa ia sedang berkunjung ke rumah anaknya. Sejak istrinya meninggal, kadang-kadang ia menghilang selama beberapa bulan. Ia mengunjungi kedua anak lelakinya yang tinggal di Medan. Belum genap dua bulan, Ompung Mate pulang diantar mobil pick-up. Dua orang lelaki menurunkan berlembar-lembar kayu lapis bekas peti kemas. Kayu lapis itu ditaruh di halaman belakang. Dan sejak saat itu, bunyi ngiiing-ngiiing mesin potong dan mesin serut kembali terdengar. Tetangga-tetangga mengintip. Beberapa penduduk yang tinggal di batas desa datang ke rumah tetangga Ompung Mate, lalu ikut mengintip. Ada juga yang merasa tidak perlu mengintip, langsung menonton dari balik pagar. Ompung Mate tahu kegiatannya sedang diamati. Tapi ia tidak peduli. Dalam kesunyian malam, kadang-kadang ia menambal lubang-lubang bekas paku di kayu lapis itu dengan plamir. Lalu digosok-gosok dengan ampelas. Sering pula terlihat jari-jari tangannya menari-nari mengoles pelitur. Kayu lapis itu jadi mengkilap. Beberapa minggu kemudian terjadi kehebohan. Sejak pagi, penduduk melihat empat peti mati di teras rumah Ompung Mate. Tiga peti mati ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Orang-orang yang berjalan kaki menghentikan langkah. Berdiri di pinggir jalan sambil menatap tak percaya. Pengendara sepeda dan sepeda motor juga berhenti. Ada yang langsung berbalik arah. Menunda perjalanan. Mungkin ingin mengabari apa yang dilihatnya kepada keluarganya di rumah. Dari mobil penumpang, banyak kepala yang menjulur agar dapat memandang lebih jelas. Jalan menjadi macet. Di teras rumah tak terlihat seorang pun, tapi anak-anak sekolah dasar berteriak tanpa rasa takut. “Ompung…, siapa yang akan mati?” “Ompung…, kok banyak orang yang akan mati?” Keesokan harinya, penduduk desa di sekitar Desa Tanjung turut berdatangan. Mereka bukan melihat empat peti mati. Tapi tujuh! Enam ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Mereka masuk hingga ke teras. Beberapa di antaranya menjamah peti mati itu. Ada yang memberanikan diri mengetok pintu sambil berteriak. “Ompung, malapetaka apa yang akan terjadi?” Tapi walau berulang kali diketok, tak ada yang membuka pintu. Mereka berkeliling sambil mencoba mengintip dari celah jendela. Mengetok pintu belakang. Mencoba mendorong daun pintu. Terkunci. Tiba-tiba ada yang berteriak lantang, “Ompung, jangan biarkan semua ini terjadi!!” Lalu ia menjamah peti mati itu berulang kali. Beberapa tangan lain ikut menjamah. Mengelus. Mereka seolah merasakan peti mati itu ditujukan bagi dirinya. Dada berdebar-debar. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat kesempatan untuk menjamah peti mati dirinya sendiri! Tiga hari kemudian, sebuah minibus bertabrakan dengan mobil bak terbuka di tikungan di batas desa. Sopir dan dua penumpang mobil bak terbuka-mobil yang tak berhidung itu-yang duduk di depan, terjepit di joknya. Beberapa penumpang yang duduk di bak terpelanting ke luar. Sedangkan minibus itu terbalik-balik membentur cadas, dan akhirnya terbakar di dasar lembah. Penduduk bergotong royong mengumpulkan sosok-sosok mayat yang hangus terbakar. Di atas jalan, jerit tangis kesakitan seolah merobek telinga yang mendengarnya. Memilukan. Hanya linggis yang dipergunakan untuk melepaskan tiga penumpangnya dari jepitan pelat besi dan rangka mobil. Di dasar lembah, setelah semua sosok mayat dikumpulkan, penduduk desa saling pandang. Terpana. Tanpa bicara, mereka menghitung lagi di dalam hati. Hanya ada lima! Satu di antaranya sosok anak kecil! Mereka mulai bekerja kembali, mencari di bagian yang mungkin terlewatkan. Tebing bekas mobil terbalik-balik disusuri sekali lagi. Tapi tidak ada lagi ditemukan sosok mayat. Tapi lima! Semua penumpang minibus terbakar. Di sebuah puskesmas di kabupaten, isak tangis tiada henti. Sesekali terdengar jerit tangis korban yang kesakitan, ditimpali tangis keluarga yang mendampinginya. Sangat sulit membedakan tangis kesakitan dan tangis ketakutan. Takut kehilangan! Peringatan untuk “menunggu di luar” tidak digubris. Keluarga korban ingin memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memperlihatkan rasa sayangnya. Elusan di dahi dan kecupan di pipi korban seolah masih belum cukup untuk menunjukkan rasa cinta. Di wajah mereka tersirat keputusasaan. Mereka telah mendengar; hanya ada lima sosok mayat di dasar lembah. Berarti dua lagi akan menyusul dari ruangan ini, kata hati mereka. Siapa? Keempat korban diselidiki dalam diam. Pemandangan mata berpindah-pindah. Pandangan mencuri-curi. Pikiran menduga-duga. Hati berkata-kata mengucap doa. Ah…, menunggu kematian orang yang dicintai ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri! Keesokan harinya, keenam korban diserahkan ke pihak keluarganya. Hampir tak ada kesulitan mengenali korban. Banyak penduduk desa yang saling mengenali satu sama lain. Semua sudah berada dalam peti mati. Lima jenazah dari dasar lembah, satu dari puskesmas. Dan satu peti mati masih tergeletak di teras rumah Ompung Mate! Tabrakan itu telah seminggu berlalu. Pintu dan jendela rumah Ompung Mate masih tertutup. Penduduk desa yang melintas masih tetap menoleh. Orang-orang yang berjalan kaki tetap berhenti sejenak. Pengendara mobil tetap memperlambat laju kendaraannya. Di antara rombongan anak sekolah dasar masih tetap ada yang berteriak, “Ompung…, siapa yang akan mati?” Beberapa orang anak sekolah dasar menuruni undukan tangga batu dan berjalan ke teras rumah Ompung Mate. Mengetok-ngetok pintu. Lalu mengintip dari lubang kunci dan celah jendela. Tapi tiba-tiba, hampir bersamaan, mereka serentak menutup hidung untuk mencegah bau yang menyengat. Mereka lari berhamburan meninggalkan teras sambil berteriak, “Bau bangkai!! Bau bangkai!!” Mereka belum menyadari bahwa Ompung Mate telah meninggal di atas sofanya beberapa hari yang lalu! Menteng Metro, September 2003 Ompung: kakek atau nenek Lapo tuak: kedai tuak Andung-andung: ratapan diiringi kata-kata Namarbaju: anak gadis
""Peti Mati Ompung Mate""
Aini mestinya tersinggung ketika suaminya setelah hari pernikahan mereka berdua mengatakan, “Aku tidak suka istri pemeriksa saku suami. Kukatakan itu padamu, penting artinya!” Tapi, Aini cuma menatap mata Warahum, suaminya itu. Ingin ia mengatakan, apakah aku seperti yang kau bayangkan dengan begitu buruk? Dan, ketika menjalankan kehidupan berumah tangga, Aini memang tidak sekalipun berusaha untuk mengetahui, maksudnya merogoh isi saku baju maupun celana suaminya. Lagi pula, ia menganggap tidak penting. Namun, sesekali melintas juga pikiran curiga, tepatnya perasaan bertanya-tanya, apakah Warahum, suaminya itu, suka menyimpan sesuatu di sakunya. Misalnya pada dompet, bukan mustahil ada foto perempuan selain dirinya. Atau suaminya takut ia mendapatkan sejumlah uang, lalu mencurinya untuk keperluan yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Atau suaminya tidak ingin ia tahu jumlah uang dalam saku suaminya. Pantangan Warahum akhirnya bisa ia pahami sebagai pantangan serius, dan tidak perlu dipermasalahkan. Untuk itu, ia berhati-hati. Ketika hendak mencuci celana atau baju suaminya, ia terlebih dulu mengatakan kepada suaminya, apakah sudah tidak ada sesuatu di dalam saku? Untuk itu, ia akan mendapatkan jawaban singkat, berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama, “Cuci saja!” Tapi, setiap pantangan, selalu mendatangkan godaan. Suatu kali, ketika suaminya di kamar mandi, ia tergoda untuk merogoh saku celana suaminya yang tergantung di balik pintu. Ketika hendak melakukan, jantungnya berdebar. Takut ketahuan. Akhirnya Aini sekadar meraba saku depan dan belakang dari celana suaminya. Mungkin kertas atau sejumlah uang, batinnya. Jangan-jangan surat cinta dari perempuan. Ah, tak mungkin, elak hatinya. Itu gegabah. Maka, ketika anak mereka satu-satunya lahir, kemudian menanjak remaja, ia pun mengingatkan hampir persis apa yang pernah dikatakan suaminya dulu. “Nak, ayahmu tidak suka anak pemeriksa saku ayah. Ibu katakan itu padamu, penting artinya!” Tapi, anak laki-lakinya itu, Yusuf, merasa larangan tersebut seperti menyuruh untuk memeriksa saku ayahnya. Hingga suatu hari, ketika ayahnya dilihat sedang asyik sarungan memberi makan burung, dengan diam-diam Yusuf mengendak ke kamar, lalu melongok ke balik pintu. Tangannya menurunkan celana sang ayah dari gantungannya. Namun, baru saja celana itu utuh dipegangnya, ayahnya masuk mendadak. Ia gelagapan. “Kamu memeriksa saku ayah?” bentak Warahum pada anaknya dengan suara keras dan mata menatap tajam. Yusuf gelagapan, bagai tercagut dalam air. “Jawab!” bentak ayahnya. “Belum sempat, Ayah!” Plak! Sebuah tamparan ke pipi Yusuf. Yusuf lari menyimpan tangis. Ia mendadak merasa benci pada ayahnya sehingga ia menduga ayah menyimpan sesuatu dalam sakunya. Untung perasaan benci itu hanya seketika. Kepada ibunya ia minta maaf. Ibunya hanya menjawab, “Larangan bukan untuk dilanggar, tapi untuk mempertegas kepercayaan orang lain pada kita!” Lalu sebuah nasihat untuk Yusuf. “Nak, apa pun alasannya, memeriksa saku atau dompet yang bukan milik kita, itu tidak baik. Tabu malahan!” Yusuf hanya menunduk. Suatu hari, Sofia ia lihat bermata sembab. Ia habis menangis tampaknya. Aini menilai sesuatu yang buruk telah terjadi pada Sofia. Tetapi, ia merasa tidak perlu tahu karena memaksa tahu masalah orang lain sama tabunya dengan merogoh saku suaminya. Ketika ia sedang duduk di teras rumah, suatu pagi, kala Warahum telah berangkat kerja, Sofia datang. Wajahnya muram sekali. Sofia, tetangga yang selalu berkunjung ke rumahnya setelah pekerjaan dapur selesai. Saat itulah mereka ngobrol, kadang gunjing dan berangan-angan. Tetapi kali ini, Sofia datang dalam maksud yang masih teka-teki bagi Aini. “Aku sedih, Ai, sedih sekali. Sebab, pagi-pagi sekali, kami bertengkar. Suamiku nyaris menampar pipiku….” Begitu Sofia memulai pembicaraan sembari mengenyakkan pantatnya di kursi rotan teras rumah Aini. “Ada apa Sofia?” “Aku cuma iseng merogoh saku suamiku. Tapi, ia marah karena merasa malu. Sebab, di dalam saku celananya kudapati kupon togel, angka-angka menawarkan mimpi kaya….” Aini ingat Warahum. Jangan-jangan alasan itulah yang membuat suaminya melarang sakunya diperiksa. “Untuk apa kamu merogoh sakunya, Sofia?” “Iseng. Lagi pula, suamiku tidak pernah berpesan untuk tidak memeriksa saku baju maupun celananya….” “Sudahlah, tidak usah dipersedih. Maklumi saja, siapa tahu ia juga iseng pasang angka!” “Soal pasang angka tidak soal bagiku. Tapi…” Sofia tidak melanjutkan. Ia malah mendadak jadi terisak, menutup wajahnya dengan dua tangannya. Menangis. Aini diam, bagai linglung. Tak tahu bagaimana menghibur teman yang juga tetangga dekatnya itu. “Aku terluka. Terluka sekali,” katanya di tengah isak. Aini mengernyitkan kening sehingga lipatannya nyaris menyaingi kusut hati Sofia. “Semestinya kamu tidak melakukannya, Sofia. Saku adalah wilayah pribadi, begitu juga dompet. Coba kamu tidak iseng merogoh saku suamimu, tentu semua akan berjalan baik-baik saja!” “Tapi, aku bagai digerakkan tangan Tuhan untuk merogoh sakunya ketika ia sedang mencuci motornya. Kamu tahu apa yang kudapat selain kupon putih itu?” Aini diam sesaat, lalu menggeleng. “Kondom. Aku menemukan kondom dalam saku celananya. Apalagi semalam ia tidak pulang. Bayangkan, untuk apa benda itu baginya. Selama ini kami tidak pernah menggunakan benda itu dalam berhubungan.” Mata Aini terbelalak. Ia gelisah. Terbayang Warahum, yang tiga hari terakhir ini suka pulang larut malam. Jangan-jangan suaminya juga menyimpan kondom dalam saku, pikir Aini. Cepat-cepat ia membuang pikiran buruk itu. Ia pun tak ingin mendengar kelanjutan cerita Sofia. “Sebaiknya kamu tenangkan hatimu dulu di rumah. Selesaikan baik-baik, tanya dari mana dan untuk apa kondom itu untuknya….” Sofia makin terisak. “Menurutmu, apakah aku kurang menarik, Ai?” Aini hanya menatap Sofia, lalu menarik napas. Diam-diam dalam hati, ia mematut diri sendiri, apakah aku masih cantik sebagaimana puji Warahum waktu hendak menikah dulu. Peristiwa Sofia membuat perasaan Aini gelisah. Kegelisahan itu mungkin tidak akan ia alami kalau suaminya tidak pernah melarang dirinya untuk memeriksa saku celana maupun baju Warahum. Pantangan suaminya itu tentu setelah mendengarkan cerita Sofia membuat ia harus mempertanyakan dengan kecurigaan. Kenapa mesti dipesankan. Tentu, ya tentu ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya. Atau, suaminya sejak lahir suka punya bagian-bagian yang menurutnya boleh ada yang tahu dan sebaliknya. Pengalaman buruk Sofia menimbulkan dorongan baginya untuk berusaha memeriksa saku baju, tepatnya celana, kemudian dompet suaminya. Laki-laki ternyata tidak melulu bisa dipercaya ketika ia selalu tampak baik-baik dan penyayang di hadapan istri, seperti suami Sofia misalnya. Burhan, suami Sofia, terlihat baik, murah senyum, dan suka menyapa. Tapi, ketika benda mencurigakan itu ada di dalam sakunya, alasan apa yang tepat diberikan kepada seorang istri. Karena itu, kadang ia merasa aneh oleh pantangan-pantangan suami, yang diam-diam merahasiakan sesuatu. Misalnya, ia kadang ingin marah ketika suaminya cemberut ditanyai dari mana, jam berapa pulang, kenapa terlambat sampai di rumah. Tapi, mungkin, itulah laki-laki. Punya banyak pintu yang tertutup, dan kuncinya seperti disembunyikan jauh-jauh di sebuah tempat gelap. Aini ingat Yusuf yang pernah ditampar Warahum ketika anak itu mencoba merogoh saku. Ingatan terhadap pengalaman buruk Yusuf mengentalkan kecurigaan. Pasti ada apa-apanya, sebab suaminya begitu sangat marah sampai-sampai harus menampar anak sendiri. Bisa jadi selalu ada persediaan kondom di saku celana Warahum. Pikiran buruk beranak pinak dalam kepala Aini. Ia berniat, sungguh berniat, dan akan mengupayakan niatnya tercapai untuk mengetahui apa saja isi saku suaminya. Tapi, apakah mungkin bisa ia lakukan, sementara ia sadari suaminya begitu awas terhadap celananya dan juga bajunya yang selalu tergantung di balik pintu kamar. Warahum baru pulang kerja. Aini sengaja merajut taplak meja di dalam kamar, menghadap jendela. Sore. Suaminya membuka celana panjang, kemudian sebagaimana biasa, menggantungkan di balik pintu. Sesaat kemudian, terlihat Warahum mengenakan kain sarung kotak-kotak kecil. Setelah mengenakan oblong, ia minta dibuatkan kopi. Aini meletakkan rajutannya di atas kasur. “Mau minum di teras sambil baca koran, atau di kamar?” tanya Aini. “Biasa, di teras!” Di dapur, Aini membuatkan kopi lebih hati-hati dari biasanya. Harapannya, tepatnya ia berdoa, semoga kopi sore ini jauh lebih nikmat dari biasanya. Sebab, itu bukan tidak mungkin membuat Warahum keasyikan sembari membaca koran sore. Kopi terhidang di meja kecil pada teras. Suaminya dengan santai mengenyak duduk, membaca koran. Cepat-cepat Aini masuk kamar. Ia mesti melanggar pantangan. Setelah menutup pintu rapat-rapat, sehingga pintu seakan sejajar dengan dinding, ia setengah gemetar berusaha menurunkan celana suaminya. Walau keringat dingin mengucur, keberaniannya memuncak. Namun, jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika dari teras terdengar suara suaminya berteriak, “Aini, tolong ambilkan rokok di meja dekat telepon!” Saking gugupnya, celana panjang Warahum di tangannya jatuh ke lantai. Cepat-cepat ia ambil dan digantungkan kembali. Setelah memberikan rokok pada suaminya, ia gugup sendiri. Sebab, pikirannya terganggu ketika mengingat ada empat paku cantelan di balik pintu. Ia lupa, pada paku baris ke berapa dari kiri celana suaminya tergantung. Biasanya, orang yang punya pantangan saku celananya diperiksa, tahu persis di paku mana celananya dicantelkan. Ia cemas suaminya masuk kamar dan mengamati celananya pada gantungan. Buru-buru ia masuk kamar, lalu menatap celana yang tergantung pada paku baris kedua dari kiri. Ia mencoba mengingat, benarkah di situ celana suaminya tergantung semula. Tapi keinginan untuk tahu apa saja isi celana suaminya, membuat Aini cepat-cepat menurunkan celana tersebut dari gantungannya. Tangannya cekatan merogoh saku kiri. Ia keluarkan isinya, hanya uang Rp 10.000 ditambah tiga lembar uang Rp 1.000. Kemudian ia rogoh saku kanan, ia mendapatkan benda bulat sebesar jempol kaki, berbungkus kain hitam dengan ikatan benang tujuh warna. Ia timang benda itu, sebuah jimat. Lama ia terpaku, bertanya-tanya, berdebar-debar. Jimat? Jimat apakah ini. Seketika melesat bayangan almarhum ayahnya. Waktu ayah meninggal, ibu mendapatkan benda itu di saku celana ayah, yang kata ibu juga tidak boleh diperiksa istri. Diam-diam, seminggu setelah ayah dikubur, Pak Jaya, seorang paranormal yang tinggal di depan rumah, menemui Aini yang kebetulan sedang duduk berdua dengan suami. “Benda sebesar jempol kaki yang dibalut kain merah dengan ikatan benang tujuh warna itu, kamu tahu apa itu sesungguhnya, Ai?” Aini menatap suaminya. Lalu menoleh kembali ke Pak Jaya yang mengenal benda ayah tersebut dari ibu, sembari melepaskan gelengan. “Ayahmu menyimpan jimat supaya dicintai istri sampai mati, supaya ibumu penurut, walau diam-diam di luar banyak perempuan yang menyukainya!” Aini hanya tersenyum. Kurang percaya, sulit yakin. Pak Jaya setelah berpesan, agar ia atau ibu menyimpan baik-baik sebagai kenangan dari ayah, lalu pamit. Tapi tak lama, ia balik lagi. “Tapi kamu jangan percaya seratus persen. Kadang laki-laki punya impian dicintai habis-habisan, tidak hanya oleh istrinya. Maka itu banyak laki-laki nakal di luar! Aku tidak tahu bagaimana ayahmu mendapatkan jimat itu.” Gila, pikir Aini. Kini, lihatlah, benda merah berbalut benang tujuh warna itu, sedang ia pegang. Padahal, padahal, ia pernah menyimpan punya ayahnya di balik lipatan kain dalam lemari ibu. Tapi, ketika ia berpikir hendak membuang jauh-jauh, benda tersebut hilang. Kalau diceritakan pada Warahum, suaminya berkata antara serius dan gurau, “Mungkin diambil kembali oleh roh ayahmu!” Aini mencibir, dan mendesis, “Percaya yang gituan, ya?” Tercenung dan makin berprasangka buruk hati Aini. Jangan-jangan ini benda ayah yang hilang dari lipatan kain di lemari ibu. Tapi, kalau memang benar makna yang dipaparkan Pak Jaya soal jimat merah tersebut, misalnya untuk menjadikannya selalu mencintai dan penurut, berarti suaminya bisa mungkin nakal di luar dan agar ia tergantung habis-habisan pada Warahum dan tak berdaya. Tapi, bukankah larangan memeriksa saku itu ada sebelum ayah meninggal. Yap. bukan tak mungkin, jimat itu bisa diperoleh untuk banyak orang. Dan suaminya mungkin saja mendapatkan di tempat yang sama dengan ayah. Tiba-tiba pintu dikuakkan dari luar kamar. Aini terkejut. Jimat merah itu terjatuh dari tangannya. Pintu ternganga, Warahum mencongok dengan mata mulai curiga. Aini diserang cemas bagai kapal hendak karam. Aini tiba-tiba pucat. Ia menjadi sangat takut, apalagi ketika menekurkan kepala menyembunyikan kecemasannya dari sorot mata, di lantai jimat merah itu teronggok jelas. Beberapa detik berlalu, Aini belum berani mengangkat wajahnya. Ia merasa bersalah, juga merasa marah. Sebelum ia mengangkat wajah menatap suaminya dan menyatakan maaf kemudian mempertanyakan benda itu, di benaknya telah melesat bayangan suaminya yang juga sedang terpaku menahan amarah menatap ke lantai, ke benda yang sama. “Kau akhirnya lancang memeriksa sakuku, Aini?” Terdengar suara Warahum berat, mengisyaratkan ia telah tahu semuanya. “Maaf, maafkan aku. Aku takut, kamu menyimpan kondom dalam saku!” hanya jawaban gugup yang terbata keluar dari mulut Aini Padang, 2 Agustus 2003
""Saku Suami""
Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia. “Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon. “Dari siapa?” tanya Pakemon. “Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.” Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Presdir almarhum. “Apa Bapak ingin tidak melayat?” kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. “Jenazah beliau disemayamkan di rumah duka.” “Kapan dimakamkan?” “Sore ini, Pak.” Surat itu mengingatkan Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu. Pakemon telah menunggu sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia. Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses, Pak.” “Jadi, kapan saya bisa pensiun?” “Terus terang, saya juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan kepada Bapak,” kata salah seorang pegawai PSDM. “Maaf, dengan siapa saya bicara ini?” “Dengan Ani, Pak.” Pada kesempatan lain, yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama, “Es-ka-nya sedang diproses, Pak.” “Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi. “Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak.” Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban, “Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.” “Lantas?” “Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.” Pakemon sudah hafal jawaban itu semua. “Sedang diproses, Pak.” “Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak.” “Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak.” “Pak Presdir masih sibuk.” “Pak Presdir sedang rapat.” “Pak Presdir sedang ke luar kota.” “Pak Presdir sedang cuti.” “Pak Presdir sedang liburan ke Eropa.” Ajaibnya, jawaban itu sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh tahun. “Tidak masuk akal,” pikir Pakemon. Salah satu yang disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan. “Setiap sen yang dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri,” komentar para karyawan secara bisik-bisik. Komentar lain pada Pakemon, “Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit….” Dalam soal disiplin, Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30. Pulangnya pun begitu. Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul 16.30 teng. Tak mengherankan kalau Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC itu pada usia 30 tahun. Itu juga sebabnya, Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut. Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir. “Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka. “Kenapa?” tanya Presdir. “Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang satu. “Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak,” kata yang lain. “Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi. Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan. Kalau bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya). Bukan itu. Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun! Itulah yang menyebabkan Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak mungkin lagi ia naik ke atas…. “Menjadi salah satu direktur saja sudah di luar impianku,” kata Pakemon pada suatu hari pada istrinya. Pakemon sangat mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin lagi lebih dari itu. “Tapi, kamu kan masih muda, Mas,” sahut istrinya. “Maksudmu?” “Kamu masih mempunyai peluang jadi presdir.” “Jadi p-r-e-s-d-i-r?” “Ya, jadi p-r-e-s-d-i-r!” Pakemon yang tak punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu (“yang penting aku dapat pekerjaan dan bisa hidup”), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir? Ah, tidak. Tidak! Pakemon sangat tahu diri. “Ah, itu tak mungkin, Pak,” kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon sengaja minta waktu untuk menghadap. “Lalu rencana Saudara selanjutnya apa?” “Kalau kita sudah di atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan.” Rupanya, Presdir kurang paham maksud Pakemon. “Maksud Saudara bagaimana?” “Saya ingin pensiun saja, Pak.” “P-e-n-s-i-u-n?” “Ya, pensiun, Pak,” kata Pakemon dengan kalem. “Pensiun dini….” “Pensiun pada usia empat-puluh tahun?” “Betul, Pak.” “Saudara sudah yakin?” “Yakin, Pak.” Setelah membaca basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu. Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan. Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif. Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah? Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal. Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM. Di bawahnya masih ada kata-kata berikut. Jangan dendam pada saya. Itu tak baik. Dua baris terakhir berbunyi: Anda telah menunggu 20 tahun. Maaf. Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini. Istri Pakemon yang mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur Pakemon. “Sudahlah, Pap. Nggak usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu.” Pakemon tak bereaksi. Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma dianggap non-aktif! “Lupakah saja surat pensiun dini itu, Pap.” Pakemon menarik napas panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar? Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat? “Toh semua sudah berlalu, Pap, buat apa dipikiri?” Pakemon mengangkat cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya. Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca koran pagi. Ketika istri Pakemon mengajak, “Ayo kita melayat, Mas!” Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia akan melayat atau tidak. Jakarta, 8-9-2003
""Sepucuk Surat""
Namaku Vampira Suburbia. Gebyar gemerlap berikut semua cahaya kota besar yang menyala serentak di akhir tahun dan suasana pesta pora yang bisa dirasa di mana-mana meremajakan diriku sehingga tak menjadi tua-tua. Sebagai Nycteris javanica yang tergolong berukuran kecil dibanding makhluk sejenisnya, aku bisa terbang lebih leluasa, lebih bebas menjelajah ke mana-mana. Kini, aku memenuhi janjiku untuk menuju ke sebuah kota, yang pesonanya hanya bisa dijangkau oleh kenangan…. Begitulah, sebab dengan mata biasa-bukan mata Vampira Suburbia-apalah sebenarnya kota ini. Dia hanya sebuah kota kecil dengan pasar tumpah di jalan raya karena bangunan pasar yang telanjur menggusur rakyat tak kunjung jadi-jadi pembangunannya. Terminal angkutan kota menjadi pusat paling semrawut, menduduki pusat lama yang pada zamannya adalah pusat spiritualitas warga. Di manakah taman rinduku yang dulu, dengan pohon-pohon kenari dan sawo manila, atau juga kembang sepatu dan kana yang tumbuh di pinggir-pinggir parit berair jernih? Tak semua ingatan mampu menembus alam kota fantasi. Di dekat situ ada gereja tua yang dulu terpencil seperti gunung tempat penyucian jiwa atau orang setempat menyebutnya “giri sonta”, tetapi kini tak ubahnya bangunan biasa di tengah kota. Ah, tetapi tunggu: ada juga yang belum terlalu berubah, yakni kapel tua di samping gereja, di mana dulu kami belajar berdoa. Mempelai itu didudukkan di ujung kapel dengan pakaian tradisional Jawa. Mereka diapit pasangan lumayan tua, orangtua masing-masing mempelai. Burung sriti berkelebat, keluar dari kuda-kuda di langit-langit kapel. Aku terkesiap. Tak ada yang memperhatikan burung yang belebar-beleber terbang ke sana ke mari itu kecuali aku. Benar-benar belum berubah kapel ini…. Berapa tahun semua berlalu? Ayah mempelai wanita memelukku erat-erat. “Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” katanya dengan nada tersendat dan mata berkaca-kaca. Ia abaikan tamu-tamu lain yang antre hendak menyalaminya. Bahkan, dia keluar dari “kompartemen” yang dikhususkan untuknya, melangkah menuju pasangan yang berdiri beberapa meter darinya. “Ini tamu yang kita nanti-nanti, yang menghidupi mimpi seluruh warga kota…,” katanya mengenalkanku kepada anak perempuan dan menantunya. Entah apa yang diucapkannya. Tak ada yang paham maksudnya. Hanya saja, apa pedulinya-sama seperti aku: apa peduliku? Aku-Vampira Suburbia-semata-mata tersedot ke alam mimpi…. Mata banyak orang boleh jadi memperhatikanku: wadag yang ditinggalkan roh yang tengah mengembara bersama burung sriti yang terbang di atas ruangan, sesekali sayap-sayapnya menyenggol tembok dan langit-langit karena mata sriti memang kurang awas di siang hari. Vampira Suburbia yang sangat sadar ruang dan waktu-ia meruang dan mewaktu di kota besar-kini seperti makhluk tolol. Ia linglung terpesona suasana kapel tua yang mengembalikan seluruh dirinya pada kota lama yang pernah dimilikinya. Seseorang menepuk pundaknya. Vampira Suburbia kaget. Dia membalikkan badan, dan melihat lelaki menjelang tua yang terlihat jelas bagaimana mencoba memelihara penampilan, meski dengan cara sederhana. Lelaki itu mengenakan baju batik, sepatu mengilap habis disemir. “Kamu pasti lupa dengan saya…,” ucap lelaki di depannya. Bayang-bayang masa lalu berkelebatan di kepala tokoh kita. Ada yang bisa dia tangkap. “Tidak, aku tidak lupa. Kamu Fred…,” katanya. Ya, Fred-satu dari sedikit Indo teman di masa lalu. Fred memeluk tak kalah erat dari ayah mempelai wanita sebelumnya. “Puji Tuhan…,” bisik Fred, lumayan membikin Vampira Suburbia terheran-heran. Kata itu, sejauh yang diingatnya, tak termasuk dalam perbendaharaan kata Fred di masa lalu. Waktu, memang telah mengubah segala-galanya. “Eric, Eric benar-benar telah berhasil mengumpulkan saudara-saudaranya…,” lanjut Fred penuh muatan rasa syukur. Eric yang disebutnya adalah ayah mempelai wanita tadi. Indo atau blasteran juga-karena kota kami dulunya adalah kota pensiunan para pegawai Belanda. Itu salah satu keunikan yang bisa kuingat, sebelum zaman membuat semua hal meleleh, menjadi serba sama saja apa-apa di mana-mana. Fred bercerita, bagaimana Eric berjanji: pada pernikahan anaknya dia akan “mengumpulkan semua saudara-saudaranya”. Yang disebut “saudara-saudara” adalah teman-teman yang selama enam tahun bersama-sama menapaki sekolah dasar. Entah bagaimana, rupanya di antara kami, penggalan masa itu menjadi masa paling tidak terlupakan. “Yang paling susah dicari adalah kamu,” ucap Fred. “Katanya, kamu telah menjadi siluman…,” tambahnya berseloroh. Aku cuma tertawa. “Kamu tetap muda, tak termakan usia,” kata Fred lagi. Khusus di sini-kalau itu merupakan pujian-maka pujian itu membuatku risi. Tiba-tiba aku merasa tubuh wadagku mengasingkanku. “Namamu pun konon kamu ganti sehingga kami sulit sekali melacak kamu. Baru belakangan kami tahu bahwa yang punya nama seperti hantu itu adalah kamu, saudara kami di masa lalu.” Lagi-lagi Fred memeluk. “Kamu tahu, siapa yang di sana?” kata Fred sambil menunjuk suatu tempat, di mana tampak berdiri lelaki tua, kurus, berkumis panjang tak beraturan. Ketika lelaki itu tersenyum, tampak deretan gigi yang sebagian telah ompong. Lelaki itu mendekat. Aku cuma menangkap getaran keakraban tanpa bisa mengingat siapa sebenarnya dia. Hubungan roh mengatasi gejala wadag. Kubahasakan seluruh gerakku untuk menangkap keakrabannya. Dia tahu kalau aku lupa siapa dia. Fred tampak menikmati suasana ini. “Dia Yik…,” kata Fred. Aku serasa disambar petir. Yik, “pemimpin” kami di masa lalu. Dulu dia bertubuh paling besar di antara kami-apalagi dibanding aku, yang bertubuh paling kecil. Kini, aku serasa harus agak mengarahkan pandangan mataku ke bawah, karena dia sepertinya lebih pendek dariku. Benarkah pandanganku? Tubuhnya menjadi mengkeret dimakan waktu? Ia menciumku. Aku tak bisa menyembunyikan keharuan. Dunia benar-benar tidak bergerak ke mana-mana. Dulu dialah yang menjadi “pelindung” teman-temannya. Sekilas aku teringat ketika kami berombongan berjalan kaki ke luar kota menempuh jarak puluhan kilometer, menjalani ajaran di sekolah agar kami berprihatin, berjalan kaki menuju goa di mana terdapat patung Santa Maria. Dalam bayanganku muncul rawa sangat luas, rel kereta api di sampingnya yang kami susuri menuju kota dimaksud, gunung-gunung, bukit, dan persawahan. Aku teringat dia sebagai murid terbesar mengingatkan teman-temannya, mengulangi pesan guru agar kami berjalan sambil membisikkan doa Salam Maria. Yang tadinya kami enggan, sebagian dari kami barangkali waktu itu benar-benar mengucapkan doa, ketika di sawah di pinggir rawa melintas ular sawah yang seingatku ukurannya sangat besar. Sejak semula kami diingatkan, ketemu apa pun kami tidak boleh melakukan sesuatu kecuali berdoa. Barangkali waktu itu aku berdoa dengan wajah pucat…. “Hidupku berat, mencari uang untuk membesarkan anakku…,” kata Yik. “Semua orang mencari uang, kalau tidak untuk anak, ya, untuk menghidupi diri sendiri,” tukasku. Dia tertawa. “Sejak tadi aku sudah tahu bahwa yang kulihat itu pasti kamu. Kamu sama sekali tidak berubah. Kamu tetap kanak-kanak yang dulu,” katanya menepuk-nepuk pipiku. “Kamu bekerja di mana?” tanyaku. Dia menyebut tempat kerjanya, hotel paling mewah di ibu kota provinsi. “Dua puluh tahun aku bekerja di situ, tetap menjadi bell boy,” ujarnya sambil tertawa. Ia tiba-tiba melambaikan tangannya. Seorang dara remaja mendekat. “Ini anakku,” katanya. “Ayo, beri salam pada saudara Papa ini….” Kuperhatikan wajah remaja ini. Sangat manis. Segala berkah bagi Yik: itulah dara ini. Dia agak malu ketika aku bukan hanya menangkap tangannya, tetapi memeluknya. Ternyata dia sudah mahasiswa, bukan siswa SMP seperti kuduga. Ia tersenyum-senyum, tak bisa menghindarkan diri dari apa yang barangkali dipandangnya sebagai “ketololan”, di sekelilingnya. “Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” Kata-kata itu kemudian kudengar dari siapa saja. Ya, siapa ingin meninggalkan ini semua…. Namaku Vampira Suburbia, namun bagi lingkunganku kali ini tak ada yang peduli siapa atau hantu macam apa itu Vampira Suburbia-kelelawar yang dijaga keremajaannya oleh cahaya neon dan lampu-lampu kota besar. Kutinggalkan tubuh wadagku sebagai keluarga Microchiroptera, keluarga kelelawar pemakan apa saja, termasuk darah yang dilakukan oleh sejenisku, Desmodus rotundus alias vampir. Rohku yang bergentayangan di antara celah-celah cahaya kota besar dan pernah menyatakan rela tersesat di kepalsuan dunia, kini merasa nyaman berada dalam kapel tua di mana dulu kami belajar berdoa. Aku teringat dinding-dinding gedeg sekolah kami di masa kanak-kanak dulu, di mana di pagi hari cahaya matahari menyusup lewat lubang-lubang kecil di dinding gedeg anyaman bambu itu, menjadikannya seperti bersitan panah-panah emas. Di situ, kalau tak salah, di akhir tahun seperti ini kami diajari menyanyikan kidung Ing Ratri. Di telingaku, mendadak terngiang lagu itu, dengan kata-katanya yang entah bagaimana bisa singgah di kepalaku secara persis: “Ing ratri, dalu adi/Wus nendro donya sri/Kang wungu mung Brayat Mulya/Sumujud ngadhep kang Putra/Sare ing makanan, sare ing makanan….” Saudara-saudara, kalau toh nanti tubuh wadag kelelawar Nycteris javanica ini kembali dihuni roh dan jiwa, maka penghuninya bukanlah roh yang mencari keremajaan diri lewat gemerlap cahaya kota besar, melainkan roh dari kapel tua dari kota kecil, dari sekolah di masa kanak-kanak yang berdinding gedeg, yang membisikkan kidung Ing Ratri yang teduh dan hening di malam Natal. Jakarta, Desember 2003
""Ing Ratri""
(Kisah Lima Penjelmaan) Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu. Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah. Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak. Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas. Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh. Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah. Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana. Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah. Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam. Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh. Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku. O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku? Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama. Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan. Maka, cerita baru pun kubuka: Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi. Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah. Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat. Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua. Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu. Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu. “Come on, honey! The night is very nice!” Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub. Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak. Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis. Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar. Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti. Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra. Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah. Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri! Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata. Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun. Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang. Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam. Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu? Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu? Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma. Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu! Kuta-Denpasar, 2003
""Cakra Punarbhawa""
Hari itu hari Minggu. Aku biarkan diriku terduduk di beranda-ah, sebenarnya tak bisa disebut beranda. Bayangkan, hanya 50 kali 200 cm, bagaimana mungkin bisa disebut beranda? Mungkin emper adalah kata yang tepat untuk ruang kecil di depan tembok rumahku ini. Tapi, sebenarnya emper, atau teras adalah kata lain untuk beranda. Ah, entahlah, sering kali aku mengucapkan atau memilih sebuah kata lebih kepada rasa daripada pertimbangan akal sehat. Aku biarkan diriku terduduk di kursi plastik berdua dengan istriku. Kami diam dan memandang sesuatu yang kami sendiri sebenarnya tak tahu. Jika dilihat dari jalan, mungkin kami ini seperti dua orang yang sedang ada konflik. “Beli koran, dong Mas,” tiba-tiba istriku nyeletuk. Pecah sudah kebekuan kami bermenit-menit lalu. “Untuk apa?” “Dibaca…” “Di mana, belinya?” “Di toko material…,” jawabnya kesal. Aku tertawa geli. Senang rasanya bisa menggoda istriku. “Kenapa kamu tidak memandangi mawar kita ini saja?” “Tiap hari sudah aku pandangi, dan nggak ada istimewanya…” “Masak?” “Ya…, selain dia tumbuh di closet duduk…” “Terus…? “…warnanya merah…” “Terus?” Dia diam saja. Aku pun paham… jangan-jangan dia memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat kutakutkan. Anak lagi. Mawar ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur, tapi dari rahim istriku tak tumbuh janin. Tidak berhubungan memang, tapi sering kali yang begini ini terhubung-hubungkan dengan sendirinya. Situasi memang sering kali berkelakuan aneh pada perasaan orang. “Dulu kamu bilang… mawar itu adalah anakmu!” “Bukan, Ma… mawar itu akan jadi tanda kasih sayang, dan anak-anak kita akan menyaksikan bukti hidup bahwa mereka tumbuh dari kasih sayang orangtuanya… Gitu.” “Ya, pokoknya, kau sayangi mawar itu seperti kau menyayangi anakmu sendiri…” “Lho… kok, jadi gitu?” Aku lantas diam. Mawar yang tumbuh subur dengan bunga merahnya berdompolan di antara hijaunya daun dan putihnya porselen closet duduk itu, kini membangkitkan masalah lama. Kami sudah periksa ke dokter, dan kami berdua dinyatakan sehat-sehat saja. Istriku subur, aku pun subur. Tapi…, kami sampai saat ini, setelah sebelas tahun menikah, belum juga dikaruniai anak. Aku mencoba bersabar, dia pun begitu. Kami menyibukkan diri dengan macam-macam kegiatan-termasuk mengurusi mawar ini, tapi… masalah yang satu itu tak bisa dihapus begitu saja. Aku sering memergoki istriku, di mal, di antrean loket bioskop, tengah hanyut memandangi seraut wajah bulat bocah mungil yang-entah mengapa-melemparkan senyumnya pada istriku. Dan setiap kali mataku menyaksikan pemandangan itu, ada desiran aneh di hatiku, lalu meluap mencair dan menggenangi pelupuk mataku. AKU segera pergi ke kios di persimpangan jalan, membeli koran, tentu saja. Di kios itu kulihat majalah untuk keluarga muda dengan sampul sekeluarga artis muda yang baru saja punya anak. Aku membayangkan, yang perempuan adalah istriku, dan artis sinetron yang gagah itu adalah aku, tengah bahagia menggendong buah hati kami yang pertama. Karena terlalu memandangi sampul tabloid itu, si penjual berdehem dan itu membuatku kaget. “Bagus, ya?” Komentarku sekenanya. “Ya, bagus… wong dirawat, Mas…” “Apanya?” Sesaat si penjual diam, mungkin bingung. Tapi, tak lama kemudian dia jelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah tubuh si cantik yang tengah bergaya di sampul itu. Aku pun senyum dan pura-pura setuju; padahal aku tidak berkomentar apa pun soal si artis itu. Sesampai di rumah, istriku langsung menyambar tabloid yang kubawa. “Kok, yang ini, sih? Karena ada ’dia’ ya,” ujarnya sambil terus membolak-balik halaman tabloid. Aku terbengong-bengong, lalu kutimpali dengan “terima kasih, ya, Mas…” Istriku tertawa, lalu mengecup pipiku. Ah, mengapa yang satu ini masih saja memberikan desiran aneh di jiwa? “Eh, Mas… tadi Mbak Menik telepon… katanya mau ke Jakarta..” “Mbak Menik?” “Iya… sekeluarga.” “Lho, ada apa? Sekeluarga? Apa anak-anak liburan?” “Kok, nadanya nggak senang, sih, mau didatangi kakak sendiri…,” kata istriku menanggapi perubahan wajahku. Bagaimana mungkin aku bisa gembira mendengar nama kakak perempuanku disebut-sebut, wong dia adalah wanita pembenci mawar. Di rumah kami dulu, sewaktu kami masih anak-anak, satu-satunya manusia penghuni rumah kami yang benci terhadap tanaman, terutama mawar, adalah Mbak Menik. Dia selalu mencabuti tanaman hias kami. Nggak bersih, repot, ada durinya… dan masih banyak lagi alasan untuk “membersihkan” rumah dari berbagai jenis tanaman. Sayangnya, Mbak Menik adalah kesayangan ayah jadi semua kemauannya dituruti. Sementara, kami semua sangat takut pada ayah. Akhirnya, rumah kami adalah rumah paling gersang di seluruh kampung. Bayangkan, mawar yang dengan susah payah kutanam, bahkan dengan pengorbanan yang tak bisa dihitung dengan rupiah, akan menghadapi malapetaka. Dan bila hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa diam saja? Malamnya, terus terang, aku tak bisa tidur. Aku sudah bisa membayangkan bahwa mulai dari gerutunya, Mbak Menik akan mengintervensi mawarku. Maklumlah, di keluargaku, dia adalah makhluk paling galak. Haruskah mawar itu kupindahkan sementara? Tapi ke mana? Kami tak punya halaman, dan kalau hanya dipindahkan, dia tetap bisa menemukannya. Dia punya penginderaan yang aneh atas apa pun yang tidak disukainya. Niat itu pun akhirnya kubatalkan karena di samping tak mungkin melakukannya tengah malam, juga… ini kan rumahku, rumah bagi mawarku, mengapa dia yang harus disingkirkan? Ah, aku tak tahu harus bagaimana melindungi mawarku. Aku terus saja berpikir, entah sampai mana, sampai akhirnya aku terjaga karena ada suara ribut-ribut di luar. Di luar? Bukankah itu suara istriku yang riang gembira? Dan jika dia gembira, artinya… ampuun Tuhanku, pasti itu keluarga Mbak Menik. Mataku masih mengantuk, entah jam berapa semalam aku tertidur. “Mana si pemimpi itu?” gelegar suara Mbak Menik mencambukku untuk segera bangkit dari tempat tidur. Istriku menjawab bahwa aku sebentar lagi akan… “Hei…,” ucapanku memotong pembicaraan mereka. “Hei…, kurus, kamu?” sergah Mbak Menik sambil menatap mataku yang merah. “Jangan begadang melulu, dong… punya istri, kok, ditinggal begadang…,” sambungnya dengan nada tinggi. Aku hanya tersenyum kecut. Aku khawatir istriku tertusuk ucapannya yang selalu dimaksudkan untuk dihunjamkan ke perasaan orang lain. Lalu kemenakanku, yang ternyata sudah besar-besar dan pendiam itu, segera mencium tanganku. Aku tersadar, ternyata kami sudah cukup lama tak bertemu. Aku mencari-cari suami Mbak Menik, barangkali sedang membayar taksi atau… “Masih suka mawar, ya, Pong?” ucapan Mbak Menik membuatku tersengat. Aku kehilangan kata-kata. “Masih benci mawar?” jawabku sekenanya, akhirnya. Mbak Menik diam. Istriku segera mempersilakan kemenakannya untuk masuk kamar, yang sejak kemarin dikosongkan. “Apa istimewanya, sih, mawarmu? Aku pingin lihat?” sambil berkata begitu, dia segera beranjak dari tempatnya. Aku melompat dan menghalanginya. “Jangan, Mbak. Jangan coba-coba mengusik mawarku…” Mbak Menik tertawa, masih keras seperti dulu. “Rosa, Cindy… lihat, Om-mu adalah malaikat pelindung mawar…,” dilanjutkan dengan gelak tawanya yang kian keras. Aku terdiam lagi. Terasa ada sesuatu pada diriku. Ya, aku telah lama sekali tidak mendengar gelak tawanya. Aku telah lama sekali tidak mendengar teriakannya. Aku telah lama sekali tidak bertemu dengannya. Aku rindu. Dialah pengganti bundaku, sejak bunda meninggal. Entah mengapa, aku peluk dia dan air mataku tumpah ruah di pelukannya. Mula-mula dia tertegun. Tapi, rasanya, dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dia peluk aku, dia ciumi aku. Kurasakan pipinya hangat oleh air mata kerinduannya. Lalu, entah bagaimana, kami duduk di beranda dan menatap mawarku. Dia sama sekali tidak menyinggung mawarku. Ini aneh. Dia bercerita bahwa dua tahun yang lalu, dia bercerai. Persoalannya klise, sepele, dan klasik: ada orang lain. Namun, sebagaimana yang aku bayangkan, dia tegar. Sebagai orang kuat sebuah perusahaan farmasi, dia memang besi. Dari seorang penjaja obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain dengan upah komisi penjualan, atau dari satu dokter ke dokter lain, lalu menjadi manajer area, kini dia… entah apalagi, dia memang layak hidup berkecukupan. Namun, perkawinannya kandas; kadang aku berpikir, hidup memang nggak fair. “Anak-anak, ’gimana?” tanyaku hati-hati. “Mereka tegar. Mereka tahu persoalannya. Mereka tahu bapaknya salah dan mereka sudah memaafkan. Karenanya, mereka juga mendukung keputusanku untuk cerai dari bapak mereka.” Ucapnya sambil menghisap sebatang rokok. “Mulai kapan kamu merokok?” “Sejak semuanya memanas, aku seperti menemukan kawan yang tak banyak bicara, tapi setia mendengarkan kesepianku… Ini!” ucapnya mantap sambil mengangkat rokoknya, lalu tertawa. Kopi hangat terhidang. Lalu kami ngobrol ke sana-ke mari. Aku menanyakan sanak saudara. Dia menjawab bahwa si anu sudah kawin, si itu sudah meninggal, si A anaknya lima, si B anaknya baru satu dan seterusnya, sampai akhirnya dia menyadari bahwa ucapannya mungkin salah, dia mendadak diam. “Sori, pong…,” dia selalu memanggilku dengan sebutan pong dari kata ompong-waktu kecil aku memang ompong. Aku mengerti arah bicaranya, dia tak mau menyinggung soal anak di depan istriku. “Nggak apa-apa…,” jawabku. “’Gimana?” Bisiknya. Aku mengerti, dia masih kepingin tahu apakah aku dan istriku masih mungkin punya anak atau tidak. Aku jawab mungkin. Dia hanya mendesah. “Aku punya kenalan ginekolog. Di Jakarta, sini, tinggalnya… di bilangan Kebayoran Baru… Kalau, kau mau…” Aku hanya tersenyum. Ah, perhatiannya padaku memang tak berkurang. “Mawarmu, aneh, pong…” Mati aku. Kenapa tiba-tiba dia membelokkan pembicaraan ke mawar? Lalu, seperti biasa, dia segera mendekati mawarku. Kuburu dia, berusaha mencegah hal-hal yang tak kuinginkan terjadi pada mawarku. Sempat kulihat mawar-mawar itu seakan menguncup ketakutan. Ah, kasihan kalian. Ini adalah bude kalian, mengapa harus takut. Dia galak, tapi, kurasa dia tak akan mengutak-atik kalian. “A… aapanya yang aneh?” “Hmm… entahlah. Mawar kampung, kan, ini?” “Ya…” “Banyak durinya, kan, ini?” “Jelas, wong, mawar…” “Istrimu nggak pernah kena durinya?” “Mmm… nggak, tuh.” “Hmmm. Aneh.” “Apanya?” Dia diam saja. Aku tegang. Terus terang, ini saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Aku terpaku beberapa saat, sampai akhirnya kusadar, Mbak Menik sudah menggenggam sekop. “Mau kau apakan mawarku?” setengah berteriak aku melompat. Dia hanya tersenyum. “Kamu kenapa, sih, pong?” “Aku tahu, mbak nggak suka mawar, tapi, kali ini… kumohon… jangan kau ganggu mawarku…” “Minggir!” Dia mendorong tubuhku. Aku terhuyung, tak kusangka tenaganya luar biasa. Dengan cekatan, dia mengeduk tanah di dekat pagar. Beberapa kali kemudian, sebuah lubang besar menganga. Lalu, tanpa persetujuanku dia mengangkat closet dan mulai mengeduk mawarku. Teriakan dan ketakutanku tak digubrisnya. Istriku dan kemenakanku berlari ke depan dan tak berani melakukan apa-apa. Sejam kemudian, mawarku telah pindah ke sudut halaman. Aku diam. Indah sekali. Mbak Menik menyiramnya. Lalu, “… tahu nggak, bunda sangat suka pada mawar. Ketika bunda meninggal, aku marah, entah pada siapa. Lalu aku hancurkan semua yang berkaitan dengan bunda, termasuk mawar. Tapi, ketika sudah cerai… aku sering rindu pada bunda. Aku jadi ingin bunda berada di antara kehidupanku. Lalu aku tanami rumahku dengan mawar.” Semuanya diucapkannya dengan enteng, tanpa beban, apalagi didramatisir. Hanya saja, aku jadi tercenung. Lukanya jauh lebih parah dari luka yang kuderita semenjak bunda meninggal; ya, waktu bunda meninggal aku masih belajar jalan. “Nah, gini, kan bagus…” ucapnya bangga. Terus terang, diletakkan di sudut halaman, mawar jadi tampak indah. “Bagus, nggak?” Aku tersenyum. Rasanya baru kali ini aku paham siapa Mbak Menik. Pagi itu, aku disengat situasi. Pagi hari, di meja makan, di sela-sela keriangan kemenakan, senyum istri, dan suara Mbak Menik, aku saksikan sebuah vas bunga. Di tengahnya sekuntum mawar merah merekah. Jl Pinang 982
""Mawar dan Mbak Menik""
Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya. Sangkaan itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung. Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina. Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman. Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil. Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita. Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung. Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali. “Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini? Dapat istri cantik lagi? Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya? Belajar di mana? Kiai dari Banten ya?” tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman. “Gampang Wak, yang penting mau kerja keras,” jawab Abang Yun yakin. “Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he…. Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah.” Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besar-besar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun. “Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin,” kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. “Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung? Iya, kan, Mar?” ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap “ya” atau “tidak”. “Bagaimana, Yun?” Wak Herman kembali bertanya. “Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang.” “Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur,” ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. “Benar ya, panen di sini bagus-bagus? Syukurlah kalau demikian.” “Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar.” “Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir.” “Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?” kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum. Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang. “Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan,” ucap Mbak Mita kepadaku di dapur. “Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota,” jawabku pelan. “Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses.” “Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?” Aku mengangguk. “Iya sih. Tapi… entahlah,” kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung. “Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang? Mungkin itu ya, Mar?” Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya. Aku segera mengangguk. “Ya… ya, mungkin itu sebabnya.” Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. “Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan,” kata Mbak Mita. “Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan,” kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. “Wak belum makan,” imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya. “Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun,” bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi. “Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja,” kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka? Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya? Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu? Batinku. “Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal,” kata Nur berkomentar lagi. “Syukurlah kalau itu benar…” “Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya? Ada apa dengan kau, Mar?” sela Nur. “Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali,” jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu. Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. “Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan,” ujarku menawarkan. Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. “Sisanya kau simpan,” kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: “Asyik, dapat untung….” Abang Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku. “Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi,” kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi. “Tentu… tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan…” jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, “Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun.” Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid. “Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka,” kata Wak meminta pengertianku. Mendengar itu, hatiku bergolak. “Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung,” kataku kemudian. Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. “Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!” “Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi,” jawabku tak mau kalah. Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, “Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas.” Meski pelan, aku masih bisa mendengar. Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun. “Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam,” bisik ibu. Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu. “Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?” tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang. “Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim,” kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat. “Ya… ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya,” jelas yang satu lagi. “Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?” “Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?” tanyaku ingin secepatnya tahu. “Kami dari kepolisian.” Detak jantungku seperti hendak berhenti. “Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen… ” “Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?” kata temannya. Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: “Dia pen…” Mungkinkah Abang Yun penjahat? Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan? Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, “Ini uang panas.” Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*) Lampung, 2 Syawal 1424 H/26-11-2003
""Abang Yun""
Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan. Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.” Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!” “Kenapa?” “Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….” “Nggak lucu!” “Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.” “Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!” Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine. “Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….” Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman. “Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri. Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin. “Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata. “Itu karena kamu membenci perkawinan?!” “Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….” Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik. “Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….” “Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?” “Tak cuma itu….” “Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!” “Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!” “Sialan!” Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi. “Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?” “Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.” Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi…. Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata. Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….” Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes. “Kamu nggak percaya?” “Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….” Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya. “Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….” Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola…. Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang. Perché la solitudine, che non sorride mai, diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai. Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam. “Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.” “Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.” “Ini rahasia kita….” Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita. “Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.” Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira. “Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….” Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya…. Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. “Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata. Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari…. Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus. Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh…. “Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!” Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi. “Cepat, Bang!” Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas. “Bisa lebih cepat?” “Macet, Bu….” Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone. Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami. Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa. Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine. “Jos….” “Hai….” “Mengganggu?” “Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah. “Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….” Andini meletakkan telepon. DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal. “Dari siapa?” Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya. “Kok diam?” Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot. “Telepon dari siapa?” “Andini….” “Apa dia mulai mencurigai kita?” Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan. Jakarta-Yogyakarta, 2003 “L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).
""L’abitudine""
Tahukah kau tentang kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang putri Puri Kanginan yang cantik bagai bidadari usai mandi di telaga yang tepinya ditumbuhi bunga pancawarna? Puluhan pohon bunga itu menggoyangkan dahan-dahannya sampai kembang wangi berjatuhan masuk ke dalam air telaga dan membuatnya harum mewangi lalu tak henti-hentinya meluruhkan daki para bidadari yang turun dari langit, menari-nari tanpa peduli pakaian dan selendang mereka ada yang dicuri. Bunga kenanga, cempaka, bunga kantil dan melati, bahkan semak mawar pun ditiup angin sampai kelopak-kelopak bunganya mengorbankan keindahannya, namun wanginya dicelupkan ke dalam air telaga. Putri itu bagaikan bidadari yang kehilangan kain, baju, dan selendangnya lalu dengan malu-malu bersembunyi di dalam semak menutup sekujur tubuhnya dengan dedaunan dan kedua belah tangannya. “Janganlah takut tuan putri, aku takkan memerkosamu. Kenakanlah pakaian ini dan engkau bisa menjadi seorang putri cantik jelita yang benar-benar ada di dunia ini.” Dan, menjelmalah bidadari menjadi putri yang diam di puri, disayang oleh para dayang, oleh biyang danaji, olehtu pekakdan tunini. Tapi, setiap saat Tuan Putri merindukan seperangkat pakaian dan selendangnya yang bisa membawanya kembali terbang ke surga, bergabung dengan sesama bidadari dan penghuni surga lainnya, tidak seperti sekarang, terkurung di dalam sebuah puri bersama keluarga para ksatria, namun mustahil dapat menggenggam kebebasan sebagaimana saat dia menjadi penghuni surga. Tahukah kau lelaki itu selalu merindukan Tuan Putri, namun keluarga puri tidak mengizinkannya bebas berkeliaran ke luar puri tanpa keperluan yang berarti? Berhari-hari lelaki itu berjalan hilir mudik di depan puri dengan harapan sedetik atau semenit tuan putri akan menampakkan wajahnya di pintu gerbang, tersenyum menyiramkan kesejukan yang menenteramkan hatinya sekaligus mengobarkan semangatnya untuk memetik sekuntum mawar dari istana raja-raja. Tuan putri dari hari ke hari merasa kesepian dan merindukan Rajapala yang menyembunyikan pakaiannya dan membawa pulang dirinya ke rumahnya yang sederhana, lalu memberinya seorang anak, dan suatu saat akan menemukan kembali pakaiannya di bawah tumpukan padi yang habis dikuras dari lumbung, dan dia pun bisa mengucapkan selamat tinggal pada suami, anak, dan dunia ini, terbang kembali ke surga dan bergabung dengan para bidadari lain sebagai penghuni surga. Tuan putri merindukan Sang Rajapala yang akan menjemputnya di gerbang puri, membawanya pergi jauh ke tepi hutan, membangun rumah di sana, membuka lahan pertanian, dan mereka dapat hidup sebagai petani yang mencintai tanahnya, sekaligus mencintai langit yang berkisah tentang datangnya hujan dan musim kemarau, tentang datangnya angin puting beliung dan tentang masa-masa yang tenang. Rahasia langit membimbing mereka menapaki hari-hari saat harus menggarap sawah, saat harus menuai. Tetapi, Rajapala hanyalah dalam impian, sementara kenyataan membawanya dalam kancah kasih sayang keluarganya, kedua orangtuanya dan kakek neneknya. Dia adalah putri satu-satunya dalam keluarga puri ini, tercantik, terlembut, teranggun, dan paling penuh pesona. Siapa lagi yang memancarkan sinar kemolekan selain dirinya, yang akan mengundang para pangeran untuk berebut dalam sebuah sayembara mengangkat anak panah dan membentangkan busurnya untuk melesatkan anak panah ke udara mengenai sasaran yang ditentukan. Siapakah ksatria digdaya yang akan berhasil menyunting dirinya? Apakah dia lelaki yang belum lagi beristri atau justru lelaki yang sudah banyak istrinya karena kedigdayaannya tanpa tanding dapat menaklukkan wibawa lelaki-lelaki lain dalam menyunting putri cantik dari penjuru negeri, sebagaimana Raden Arjuna yang tak melewatkan setapak tanah negeri tanpa meninggalkan seorang istri? Lelaki itu hanyalah lelaki kalangan rakyat biasa, namun santun dan halus budi bahasanya, tiada pula buruk rupa. Dia sadar kedudukan burung pungguk merindukan purnama yang diembannya, namun saat purnama tiba dia selalu duduk bersila mengatur napasnya dan menyambung jiwanya dengan Yang Maha Suci membisikkan kerinduannya pada bulan. Tidakkah aku punya hak untuk menjangkaumu, ya Yang Bercahaya? Tidakkah Kau perkenankan aku mengulurkan tanganku yang kasar ini kepada kelembutan tangan tuan putri? Lalu, dalam diamnya dia berkelana ke alam jauh, ke sudut-sudut hatinya sendiri yang paling dalam bagai masuk ke dalam goa tak bertepi, dalam kegelapan yang pekat. Tiba-tiba dilihatnya cahaya warna-warni yang menyilaukan, namun dia tetap berkelana tak hendak berhenti terpukau oleh kilau yang sesaat sampai tiba-tiba dia hanya melihat cahaya dan tidak ada apa-apa lagi. Alangkah tenteram, alangkah damai malam atau siang dia tak lagi tahu, hanya cahaya bundar bagai pintu keluar dari goa. Tiba-tiba dilihatnya cahaya itu berpusar dan seorang lelaki duduk bersila berada di pusatnya, berpakaian serta putih bersih, dengan ikat kepala putih, dengan pandangan mata yang memancarkan cahaya putih pula. “Siapakah engkau, wahai lelaki yang berwajah bersih?” Terdengar gaung bagai suara dari dalam rongga dadanya sendiri: “Aku adalah engkau, tidakkah kau tahu, wahai lelakiku?” Dia tak tahu, tidak perlu tahu, sebab rasa tenteram dan damai menguasai dirinya, menguasai seluruh senyap yang merongga. “Dengarkanlah pesan ini, wahai lelakiku, bilamana kau benar-benar berniat untuk mendengar.” Lalu didengarnya suara itu, bagaikan memberi petunjuk akan apa yang harus dilakukannya, semuanya langsung dapat dipahaminya tanpa perantara kata-kata. Bagaimana mungkin dia melakukannya? Begitu keraguan yang menerpa pikirannya ketika goa pun lenyap dan cahaya rembulan sudah mulai redup di langit barat. Mustahil aku mampu melaksanakannya, begitu protesnya. Tetapi, siapakah yang patut didengar, suara pikirannya atau bisikan hatinya? Lelaki itu enggan berbagi masalah dengan sesama lelaki lain. Dia tidak yakin bahwa mereka bisa dipercaya memegang rahasia, sebab upah dari kegagalan hanyalah maut. Maut yang menghadang yang seharusnya tak dipersoalkan, sebab maut adalah keniscayaan dan kedatangannya haruslah disambut dengan suka cita. Tetapi, tuan putri adalah idamannya, satu langkah lagi yang harus diisi setelah kelahiran sebelum kematian. Rencana harus disusun dan bisikan hati haruslah dilaksanakan. Lelaki itu yakin takdirnya adalah yang telah dibisikkan padanya kala sunyi menyelimuti tubuhnya, kala purnama menerangi hatinya. Maka, sehari-hari dia berusaha tetap dekat dengan gapura puri mengintip kehadiran tuan putri dan menyiapkan langkah yang haru diambil. Matahari belum lagi tinggi ketika tiba-tiba tuan putri menampakkan wajahnya di gerbang, menebarkan pandang ke jalan yang sepi, seolah merasa ada yang menanti. Memang, semalam dalam mimpinya dia melihat dirinya berada di pintu gerbang puri, disambut oleh lelaki Rajapala, lelakinya yang selalu berkunjung dalam mimpi, dan kemudian mereka saling mengulurkan tangan dan berlarian di atas jalan tanah, lalu tubuh mereka terangkat ke langit, melayang-layang ke sana kemari. Dengan saling berpegangan tangan mereka menikmati pemandangan rumah-rumah dan persawahan, sementara burung-burung gereja mengikuti mereka dengan suaranya yang bercericit. Dia begitu percaya mimpi itu akan terwujud, dan ketika Matahari mulai memanjat tebing langit, diam-diam diayunkan langkahnya berahasia ke pintu gerbang puri dan benar, lelaki itu telah menunggunya di sana. Diulurkannya tangannya dan secepat anak panah lelaki itu melompat, menyambut tangannya dan mereka berlarian di jalan tanah ke arah laut. Mereka berlari, tetapi tubuh mereka tak terangkat dari atas tanah. Kaki tuan putri terantuk batu, kaki lelaki menginjak padas, namun mereka tak peduli, sementara dari kejauhan terlihat ayah tuan putri digerbang dan mulai berteriak-teriak. Lalu, terdengar suara kulkul dipukul bertalu tanda bahaya tiba, dan mendadak dari segala arah lelaki menyerbu dengan golok dan parang di tangan. “Tidak! Aku telah melakukan yang dibisikkan, telah kulakukan melegandang sesuai dengan tuntutan adat. Kenapa jadi begini?” kata lelaki itu pada dirinya sendiri. Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang. “Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara. Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang. “Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara. “Tunggu!” teriaknya. Namun, tak seorang pun berniat menyurutkan langkah dan menunggu. Tiba-tiba saja golok sudah terayun dan parang ditebaskan. Lelaki itu tersungkur ke tanah, tubuhnya bersimbah darah, namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara. Orang-orang hanya memandang dengan mulut menganga, menyaksikan adegan yang sama sekali tak mereka duga. Golok dan parang terjatuh dari tangan mereka, kaki mereka terpaku di tanah, dan mereka bahkan tak mampu menarik napas. Jasad lelaki itu terus melayang-layang di udara, langsungmemanjat tebinglangit, sementaraterdengar nyanyian merdu darip erempuan-perempuan  yang melantunkan ayat-ayat suci mengantar kepergiannya. Tuan putri bersimpuh di tanah, memandang ke langit, dan ingat akan mimpinya sendiri. Kenapa bukan dia yang diterbangkan ke langit, kembali ke surga, berkumpul kembali dengan para bidadari? Dia menjerit memprotes ke langit seolah hendak bertanya kenapa hal itu bisa terjadi. Kenapa hukuman itu harus dia jalani? “Wahai Tuan Putri. Kau terlalu banyak bermimpi tentang Rajapala, kisah sedih yang diwariskan oleh leluhurmu kepada Tu Ninimu, kepada Biyang Ayumu. Kau terlalu membayangkan dirimu sebagai bidadari yang terbuang ke dunia dan akhirnya harus terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anak yang mencintaimu.” “Apa salahku punya mimpi tentang bidadari yang turun ke bumi?” “Tidakkah kau sadar bahwa dari awal kamu sudah berjanji untuk tidak bersetia kepada suaminya, hanya lantaran kau temukan kembali pakaian dan selendangmu, dan kau impikan kembali kehidupan yang sudah kau tinggalkan dan seharusnya tak lagi kau inginkan? Tidakkah ini suatu dosa yang amat besar dan sekarang kau harus menanggungnya?” “Duh Gusti, lalu kenapa lelakiku kau terbangkan ke langit?” “Tidakkah kau lihat wajahnya yang sederhana, wajah seorang petani desa yang mengenal hanya satu kata, yakni kerja. Kerja adalah apa yang dapat dilakukan untuk bersyukur pada Yang Maha Pemberi, dan di masa dongeng, dia telah mencuri seperangkat pakaian seorang bidadari yang turun ke bumi, tetapi kemudian melarikan diri kembali ke langit.” “Lalu, kenapa dia?” “Tidakkah kau lihat darah Rajapala mengalir di tubuhnya? Sekarang saat yang tepat baginya bergabung kembali dengan bidadarinyadi surgasetelah beratustahun berpisah.Inilah buah dari ketekunan pada tanah yang digarapnya.” “Jadi, aku tak bermimpi tentang Rajapala?” “Tidak. Tetapi kau bukan bidadari. Leluhurmu terlalu sering bercerita tentang bidadari yang turun ke bumi dan tanpa merasa bersalah terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anaknya, dan kau telah teraliri darah bidadari di uratmu, dan segala dosa-dosanya adalah hadiah buatmu. Kelak, kalau kau sudah menyadari apa yang telah kau impikan dan kau dapat memperbaiki diri, maka kau pun mungkin akan terangkat ke langit dan tak kembali lagi ke muka bumi. Kaulah makhluk utama yang layak untuk duduk di singgasana langit, di sana, jauh di sana, dan mungkin kau akan bertemu dengan Rajapalamu.” Tuan Putri menundukkan mukanya, tangannya meraba tanah, digenggamnya debu, dan kemudian diangkatnya tangannya, debu diterbangkan angin kesana kemari, mungkin memanjat langit menyiapkan tangga ke surga. Dan angin yang selalu bersiul di tingkap yang terbuat dari kayu berukir motif daun dan bunga di rumah tua yang tak lagi berupa puri dengan para putri dan pangeran yang tinggal di dalamnya, siapakah yang sebenarnya bersiul-siul sepanjang hari sepanjang tahun? Puri ini sudah menjadi tempat tinggal biasa, suasana anggunnya sudah lenyap, dan pintu gerbang yang dulu kelihatan angker sekarang hanyalah seonggok batu merah yang tersusun rapi tanpa jiwa. Itulah siul tuan putri yang setiap hari pulang kembali ke puri, berharap kelak menjadi bidadari dan terbang kembali ke langit bergabung dengan penghuni surga yang lain, bergabung dengan Rajapalanya yang telah lebih dahulu memasukinya? Mungkinkah? Bukankah lelakiku sudah bergabung dengan bidadari istrinya dan dia mustahil akan berbagi hati denganku? Dengan demikian, Tuan Putri hanya mampu bersiul di tingkap, ingin masuk kembali ke dalam kamarnya di puri dan bermimpi tentang bidadari yang turun ke bumi dan mandi di telaga wangi. Singaraja, 5 Agustus 2003 1. Ibu, Ayah, Kakek dan Nenek dari keluarga berkasta. 2. Rajapala, di Jawa dikenal sebagai Jaka Tarub. 3. Kulkul = kentongan. 4. Melegandang, kawin lari dengan cara paksa. 5. Di Bali, pada upacara kematian, para perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci.
""Angin yang Bersiul di Tingkap""
Mendung memperkelam segala. Juga perkabungan di sudut desa. Pepohonan, juga angin dan kematian, menjadi sekutu paling pilu di tengah puluhan kerumun wajah-wajah duka, hampa, berair mata; menatap sesosok tubuh terbujur kaku di atas rangka bambu di halaman rumah. Harum air bunga berwarna kematian bertabur rata pada sekujur tubuh kaku. Pada kain putih yang sempat tersingkap tampak sejumlah bekas bacokan yang menganga, memerah, mematikan; seperti sebuah kesempurnaan tentang arti meregang yang sangat panjang, perih, menyakitkan…. “Bli Wayan mati, Me.” “Bli Wayan-mu mati.” “Meme sedih?” “Meme sedih?” “Tapi mengapa Meme tak menangis?” “Meme capai menangis.” “Tapi mengapa wajah Meme tak memperlihatkan kesedihan?” “Meme tak tahu, Ning.” Rintik hujan memperkelam kematian. Segala tampak kuyup. Beku. Juga wajah-wajah yang merubungi sosok yang terbaring kaku itu. Sejumlah orang memindahkan mayat itu ke bale delod. Suasana sedikit riuh. Tapi wajah mereka menyemburatkan kemurungan, kecuali seorang perempuan kurus berkebaya hitam. Di tengah rintik hujan, wajah itu sungguh-sungguh kelihatan lebih teduh, tenang, tabah. Ketika semua usai, ia menghaturkan suksma ketenangan. “Me Made jangan terlalu bersedih.” “Tetaplah tabah.” “Nasib memang tak bisa dielakkan.” “Hyang Widhi bersama Me Made.” “I Wayan tak sepantasnya menerima kematian seperti itu.” Me Made tersenyum. Hujan mengguyur tubuhnya. Sejauh itu ia tak mengelak dari rintik-rintik air. Kebaya hitamnya melekat pada tubuhnya karena begitu kuyup. Bahkan ketika akhirnya rumah itu kembali seperti semula; senyap, sendu, dingin, perempuan paruh baya itu tetap hilir mudik menyelesaikan runtutan pekerjaan yang bersisa. Nun di bale delod, maut berbaring tak ambil pusing. Tabuh angklung kematian menyeruak ke segenap setra di tanah ketinggian, melilit pohon-pohon kepuh yang menjulang menaungi kuburan yang teduh oleh rumput hijau, menyusup pilu ke telinga Me Made. Dalam dekapan hujan, tabuh angklung itu terasa indah, namun begitu kuat menggenggam irama kematian. Me Made tetap duduk dekat sekaa angklung itu sambil memandang gemeretak suara api yang membakar perlahan-lahan jenazah putranya. Hujan yang tak jua berhenti membuat pembakaran mayat itu sangat lambat. Kompor gas yang tiada henti mendesis keras agak mengganggu tabuh irama angklung. Tapi Me Made tak peduli, tetap saja termangu, tetap saja membiarkan dirinya hanyut oleh lamunan daripada terusik oleh deru kencang kompor gas yang menjaga nyala besar api yang membakar jenazah putranya. Matanya yang tenang dan membagi keteduhan kepada siapa saja itu tampak redup, muram dan luka. Irama angklung itu terus merasuk ke dalam dirinya, melemparkannya kepada suatu masa yang merobek batin dan ketenangannya… suatu masa di tahun ’65 yang mengharuskan ia dibiarkan dengan mata nyalang memandang leher suaminya ditebas dengan dingin. Kilatan kelewang yang bercahaya oleh kilau darah mematri ingatannya hingga kini. Atas nama kekuasaan dan ideologi yang berseberangan… nyawa suaminya tak pantas ada. Sebuah sentuhan di lengan mengembalikan ingatan Me Made. Perempuan itu agak terperanjat, namun wajahnya refleks tersenyum ketika memandang wajah putrinya. Wajah cantik gadis itu sembab, murung dan tak bercahaya. Me Made meraih lengan putrinya dan mengajaknya duduk di sebelahnya. Ibu dan anak itu bersibungkam. Hujan terus merintik. Tak banyak orang berlalu lalang di pekuburan. Mereka lebih memilih berteduh di bawah pohon-pohon kepuh yang rindang. Sore seharusnya masih terang. Namun, hujan membuat sore terasa tua. Tambah pula dingin mendekap segala. Kecuali terang api kompor gas yang terus saja mendesis dan membakar jenazah, selebihnya ialah senyap mendera-dera. Isak kecil membuat Me Made berpaling kepada putrinya. Ia merangkul gadis itu, memeluknya lembut, dan berbisik lirih membesarkan hati anaknya. Tapi gadis itu malah tersedu. Badannya yang langsing itu kelihatan berguncang. Me Made mempererat pelukannya. “Sudah… sudah, Ning! Ikhlaskan kepergian Bli Wayan-mu,” bisik Me Made . “Tapi Bli Wayan, Me. Mengapa ia harus mati seperti itu?” Me Made tak sanggup menjawab. “Mengapa, Me?” Me Made malah termangu. Gadis itu tak lagi mendesak. Ia suntuk dengan tangisnya. Tabuh angklung tiba-tiba menyeruak kesunyian mereka. Iramanya sungguh menyayat-nyayat. Dan, itu sudah cukup mengembalikan ingatan Me Made pada putranya I Wayan. Dalam lamunan irama angklung, ia membayangkan putranya di kedituan begitu agung, harum, suci. Senyumnya indah dengan cahaya mata yang menatap begitu teduh; menari dengan lembut dan suci dalam balutan busana serba putih, saput putih, udeng putih…. Tapi pada kelebatan lamunan yang lain, Me Made terlempar pada kejadian beberapa hari lalu; sejumlah besar orang-orang menyerbu rumahnya sambil berteriak dengan umpatan, makian, dan kata-kata kotor, menistakan keluarganya ke titik masa lalu sambil meminta putranya I Wayan keluar dari rumah. Beberapa orang menyeruak ke dalam rumah dan menyeret paksa I Wayan ke halaman. Me Made mencoba menahan putranya sambil berteriak histeris, mencegah dan mengusir mereka. “Kau mencabut bendera parpol kami!” teriak seseorang berbadan besar bertato. “Memang dia!” “Ya, memang dia!” “Aku melihatnya, dia duduk dekat bendera parpol kita yang berjatuhan!” “Habis dia!” “Dasar dia!” “Dasar anak PKI!” “Sudah, jangan banyak omong. Sikat saja!” Seseorang mulai memukul I Wayan. Lalu disusul yang lain. Dan puluhan orang itu, dengan membawa berbagai senjata, membantai I Wayan di depan Me Made. Perempuan itu berteriak-teriak histeris. Setelah suaminya, kini ia kembali dengan mata nyalang menyaksikan kekejian berlangsung di depan matanya. Putranya dianiaya melebihi batas-batas ukuran hati manusia. Me Made meraih I Wayan setelah tubuhnya tak lagi berbentuk, penuh darah dan darah…. Jeda tabuh angklung mengembalikan kesadaran Me Made. Ia mendapatkan sekitarnya tetap lengang, kecuali dengus berkepanjangan suara kompor gas. Hujan masih merintik. Juga putrinya masih menyisakan isak. Ketika prosesi ngaben itu akan mulai berakhir, Me Made bangkit dari duduknya sambil membantu putrinya bangun. Mereka melangkah lambat mendekati pembakaran mayat dan mendapatkan I Wayan telah berubah menjadi abu…. Di kamar yang sunyi, Me Made sepi sendiri. Sejak kepergian I Wayan, kesepian itu kian terasa perih. Ada suara lamat-lamat suara televisi, namun itu tak mengganggu deru sepi yang mendera Me Made. Pada satu dinding kamarnya, ia memandang dua wajah yang disayangi dalam bingkai foto 11R. Ia beranjak dari bibir pembaringan dan mendekat dua foto itu. Dua wajah lelaki yang disayanginya, dan keduanya pergi dengan cara keji. Me Made meraba dua foto itu; dan pada penghayatan cinta luar biasa kepada dua wajah dalam foto itu, terasa tangannya bergetar. Me Made tak kuasa menahan diri. Ia menangis dengan tubuh terguncang. Ia seperti merasa sungguh-sungguh tak kuasa lagi menahan dera derita yang dibawanya. Ia ingin sekali Tuhan mencabut nyawanya supaya tak selalu ingat kepada orang-orang yang dikasihinya yang lebih dulu meninggalkannya. Karena jika mengingat mereka, hatinya seperti berkali-kali dibuat remuk. Putrinya menyongsong ke kamar ketika mendengar Me Made menangis. “Meme… Meme….” Me Made mencoba bergegas mengusap air matanya. Ia tak ingin kelihatan tak tabah di depan putrinya. “Meme tak apa-apa, Ning,” seru Me Made, mencoba tersenyum. Ia melangkah ke tempat tidur. “Meme hanya selalu teringat dengan Bapakmu dan I Wayan.” “Ayo kita nonton TV, supaya Meme tak sedih lagi,” ajak putrinya. Me Made menggeleng, “Meme lebih baik tidur.” “Tapi masih terlalu sore, Me.” Me Made tetap menggeleng. “Kalau begitu, Meme tidurlah. Jangan memikirkan apa-apa.” Me Made mengangguk dan masih mencoba tersenyum. Hanya kali itu, ia merasa senyumnya amat perih. Me Made mencoba menuruti saran anaknya. Ia tak mau memikirkan apa pun. Ia berusaha mengosongkan pikirannya sambil mengidungkan Tri Sandya. Bait-bait suci itu diucapkannya terus dalam hati… sampai kemudian terasa matanya memberat dan perlahan-lahan ia merasa damai dalam lelap. Namun, hampir menjelang tengah malam, Me Made terjaga dari tidur. Putrinya kembali memburunya ke kamar. “Ada apa, Me? Ada apa? Meme menjerit-jerit sambil menyebut nama saya,” seru putrinya. Wajah Me Made tampak basah oleh keringat. Sambil memeluk putrinya, ia kembali menangis. Kini perempuan setengah baya itu tak lagi dapat berpura-pura tabah. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa mau menuturkan mengapa ia kembali menangis. “Ada apa, Me?” Me Made tetap saja menangis. Gadis itu tak lagi mendesak ibunya. Dibiarkannya ibunya tetap dalam pelukan. “Meme kembali tidur saja,” saran gadis itu sambil perlahan-lahan melepaskan pelukan dan dengan hati-hati membaringkan kembali Me Made. “Tidur saja ya, Me!” Me Made mengangguk. Saat kembali sendiri, potongan impian itu muncul kembali. Ia seperti dipaksa oleh keadaan melihat kekejian demi kekejian, tidak hanya dalam kenyataan, melainkan juga dalam impian. Dan sepotong impiannya tadi memaksanya dengan mata nyalang melihat putrinya-dalam suatu kerusuhan oleh entah apa-dikerubuti begitu banyak lelaki; ditarik, ditindih, didekap beramai-ramai…. Denpasar, Oktober 2003
""Duka Abadi Me Made""
“Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya. Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu saja ia hidup. Baru tiga menit lalu, handphone dan lembaran seratus ribuku pindah dari kantong celana kiriku ke kain gendongan anaknya, dalam drama kecil yang terjadi tak sampai lima menit. Itu belum dimulai ketika bus kota yang kutumpangi mulai memasuki kawasan Cawang. Jam lima sore lebih. Aku malas mengangkat pantat, mungkin karena wanita muda sebelahku duduk seperti memberi kode padaku. Entah apa. Mungkin balasan dari kode yang kusampaikan dengan, seolah tak sengaja, menjawil ujung lututnya yang terbuka. Aku mengintip dengan sudut mata kiriku. Wanita muda itu seperti tersenyum sendiri. Sesungguhnya malu kalau aku merasa tersanjung. Tapi kuingat istriku dengan masakan yang menunggu. Juga Bersihar, anak lelakiku kedua yang menunggu janjiku mengajaknya ke komedi putar. Maka, terpaksa aku berdiri tepat saat kondektur meneriakkan halte Cawang, dan wanita muda itu masih tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum untukku. Aku menghela napas dan melempar tubuhku secepatnya ke arah pintu belakang. Penumpang cukup padat. Drama pun dimulai. Bus kota hampir berhenti. Di tangga pintu belakang, tak kurang delapan orang berjejal. Semua perempuan. Semua setengah baya. Dua di antaranya menggendong anak. Di belakangku empat orang lain mendesakku. Semua perempuan tua. Satu yang menggendong anak tepat di belakangku. Ia mulai mendorong, mendesakku dengan kata-kata penuh cemas, mengingatkanku kepada anaknya. Dua orang lagi mendorong. Pantatku ditekan-tekan. Kemejaku ditarik hingga hampir lepas dari selipan celana. Tiga orang perempuan di depanku bergoyang selaiknya orang berebutan. Ada sesuatu yang mendorong celana, kantong celana kiriku. Ada yang tak beres! Aku sigap berkelit dan menengok. Sepotong tangan mungil terjuntai dari balik kain, tepat di mulut kantong celana kiriku. Aku mengebaskan pandang ke arah perempuan tua penggendong anak di belakangku. Tiga orang kiri kanan menggoyangku. Aku mengelilingkan pandang. Tak kurang selusin perempuan tua di sekelilingku. Dan segera aku sadar. Kurogoh kantong kiriku. Handphone dan lembaran seratus ribu sudah tak ditempatnya. Aku meluap. Tensi darahku pasti melonjak 170, seperti biasanya. Tangan mengepal seperti hendak berayun. Saat itu, perempuan tua dengan anak digendongnya mendadak kaku dan bergetar. Wajahnya kertas singkong yang sangat muram. Semacam putus asa yang menyisakan kematian. Kalau kemudian aku lepaskan dia dan merasa menyesal di tiga menit kemudian, bukan karena hartaku lenyap. Namun, gerombolan perempuan tua itu turun bersama dan pergi dengan segera. Beberapa terdengar mengikik tertawa. Dua di antaranya menoleh ke arahku sekejap. Entah bagaimana wajah perempuan tua tak berwarna tadi. Aku tak bisa melukainya. Tentu, aku tak bisa. Tak bisa. Istriku mengumpat habis di rumah. Bersihar tak jadi ke komedi putar. Siaran televisi menjelang malam itu kembali dengan program yang dia gemari. Seperti biasa, lelaki 30 tahunan itu sudah menyiapkan dengan saksama, ritus menonton tengah malam itu. Segelas kopi besar dengan es batu besar-besar, sepiring keripik kulit mangga, dan saputangan untuk ingusnya yang selalu keluar menjelang tidur. Tegukan pertama kopi ia telan begitu acara dimulai, diikuti gerak otomatis tangannya merangkai keripik di mulutnya. Malam ini, siaran itu menyajikan tiga orang pemangsa yang tidak biasa. Yang pertama, lelaki tua asal Thailand yang menyantap berbagai jenis serangga seperti kodok, kadal, tikus, hingga ular kecil sebagai menu sehari-harinya. Yang kedua, perempuan tua Ukraina pemamah tanah kotor berpasir, tiga kali satu hari dengan piring yang cukup besar. Kadang ia makan langsung dari ember, bahkan dari galian tanah di hutan. Cacing atau binatang-binatang kecil ikut di dalamnya. Yang ketiga, lelaki muda Jawa Timur dengan dua menu istimewa setiap hari. Jika tidak sepiring belatung, lain waktu sepiring kaca. Ketiga orang itu semuanya sehat. Hanya perempuan Ukraina sedikit turun hemoglobinnya. Tapi tak berpengaruh. Mereka mengaku sama berliur jika melihat santapannya menggeletak begitu saja di jalanan. Tak tahu kapan mereka akan berhenti dengan menu seperti itu. Mereka merasa tak memiliki alasan untuk berhenti. Dan lelaki 30 tahunan itu menyeka hidungnya dengan saputangan. Esok harinya, ia menemukan ulat di balik sayur sawi buatan istrinya. Ia tak berteriak seperti biasa. Ia coba menelannya. Tapi kemudian merasa lebih baik mencoba mengunyahnya. Padri adalah jagoan PS, alias PlayStation. Kini ia jagoan CS, alias ComputerStation. Pulang sekolah ia tidak akan istirahat atau makan siang dulu. Namun, segera ke kios CS. Jika libur; jam enam pagi ia sudah menunggu di depan kios yang masih tertutup pintunya itu. Aku sudah mengingatkan berulang kali anak pertamaku itu. Tak ada reaksi. Kuhukum sudah. Berat bahkan. Neneknya protes. Jangan kejam pada anak, katanya. Kelakuannya tak baik, kataku. Biarlah, itu kan tak mengganggu orang. Dan bukankah ia merasa bahagia karenanya? Nenek itu menutup protesnya dengan lima lembaran lima puluh ribuan, jatah bantuan bulanan untukku. Kini Padri bukan cuma jagoan CS. Permainan itu sudah menjadi judi. Dan Padri selalu jagoan. Ia tak lagi minta jajan. Apa aku merasa terbantu karenanya? Aku menghukumnya lebih keras. Padri menjerit. Nenek protes lebih keras lagi. Tak kuberi tahu ia kalau cucunya kini jadi bandar judi. Aku malu. Jatah bulananku di tambah hampir dua lipat. Dua minggu kemudian, Sukran, pemuda pengangguran anggota organisasi pemuda entah apa, melaporkan padaku, Padri terlihat bercumbu dengan Ijah, pembantu tetangga sebelah di kebon singkong. Aku tahu, tak kan lama lagi, Padri akan datang dengan perempuan mana yang dibuntinginya. Apa aku harus menunggu? Kuhukum ia lebih berat sehingga jatah bulananku pun bertambah? Aku mengeluh pada istriku. Ia tak menjawab, sibuk dengan Bersihar yang memang sangat cerewet. Aku menyerbu lemari dapur. Mencari sesuatu. Menemukan sayur sawi. Kuhabiskan semua dalam beberapa kejap. Lalu berlari mengelilingi rumah tetangga, kios CS, PS, lapangan, kebon singkong, sekolahan, kamar tidur Ijah, hingga kampung sebelah. Padri tak ada. Aku lapor pak RT dan keamanan. Padri tak pulang, hingga larut malam. Aku tak bisa tidur. Membuka lemari dapur. Kosong. Pagi-pagi dua orang preman datang mengetuk pintu. Pemberitahuannya singkat. Padri, anak pertamaku, ada di Polsek, setelah ketahuan mengganja di kolong jembatan Krukut. Aku berkemas. Berangkat ke tempat kerja. Cukup lama, lelaki 30 tahunan itu mengamati Ipung. Ia hanya lelaki kecil, belum tujuh tahun, namun perangainya dewasa. Air mukanya jenaka, kulitnya putih, dan matanya berjurang. Belakangan ia agak berubah. Tetap jenaka, kulit mukanya memuram dan matanya kadang kosong. Ipung sekolah pagi, tapi pulangnya senantiasa sore. Bapaknya kerja di Senen, entah apa. Ibunya jual karedok, di pertigaan kampung, dibantu Arti, anaknya 13 tahun. Kemarin, lelaki itu tak melihat Ipung seperti biasa: menjelang maghrib mencakung di depan rumahnya, dekat balai keamanan desa sambil menggigiti rumput. Dan pagi hari ini, kampung geger. Dari koran yang dibeli Pak RT, tersiar berita Ipung ada di rumah sakit. Ditemukan pingsan di jalan menuju pulang dari sekolah. Tubuhnya berantakan. Darah kental dari celananya mengering. Ia disodomi delapan orang, yang lima di antaranya sudah tertangkap. Ipung meninggal sepuluh jam kemudian, lantaran ia disodomi seraya dicekik agar tidak berteriak. Songkang, lelaki 30 tahunan itu tidak ikut ke rumah sakit bersama para tetangga. Ia berbela sungkawa dengan memberikan amplop pada bapak si Ipung. Malamnya ia nongkrong di balai keamanan desa. Membayangkan Ipung. Wajah yang jenaka, kulit licin, putih, dan mata yang cekung menawarkan pertanyaan. Bagaimana anak itu sebenarnya? Ia seperti menyentuh kulit halus anak kecil itu. Menelusuri tubuhnya. Dan menemukan kelokan dan tikungan yang membuat pengendara apa pun tergoyang karenanya. Songkang teringat anaknya. Dan siuman. Hari lewat tengah malam. Ia lihat sekelilingnya, sepi. Ia lihat dirinya, tengah onani. Aku tertawa kecil mendengar kabar kuping itu. Seorang terdakwa yang menggali belasan mayat perempuan tua, untuk disantap sedikit demi sedikit dagingnya, diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dihukum sekian tahun saja. Terdakwa itu tertawa di balik baju kokonya. Beberapa orang malah menyalami. Beberapa ibu dan perempuan muda minta foto bareng dengannya. Beberapa wartawan mewawancarai. Ia kontan populer seperti selebritis negeri ini. Tawanya sumringah, menawarkan sesuatu pada siapa saja. Bukan rasa gembira. Tapi teror yang tersembunyi. Dan orang-orang menerimanya, menerima teror seperti lauk-pauk sehari-hari. Aku tertawa dan mengakui. Imajinasi kita kini begitu miskin dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal memang tak terduga, tapi kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan terseok fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian. Aku? Manusia biasa saja. Imajinasi sederhana. Sekadar mengikuti hidup yang ada. Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang gratisan. Petang ini aku menemui Deassy. Entah siapa. Tak peduli aku kenal dia atau tidak sebelumnya. Namun, memang hanya wanita itu yang ada. Yang lain entah ke mana. Mungkin hari masih terlalu sore. Dan Deassy pun tak banyak tanya. Ia menggandengku ke kuburan cina. Tidak di pinggirannya. Tapi lebih jauh ke dalam. Masih banyak orang lewat, katanya. Aku menurut saja. Seperti biasa. Tanganku dipegang, resluiting celana dikendurkan. Seperti biasa. Ia tersenyum kecil, ia berwajah dingin, ia menunduk. Seperti upacara. Seperti biasa. Tapi hasilnya, kali ini tidak biasa. Ruar biasa. Aku ejakulasi berat dan orgasme berat. Namun, bukan orgasme seperti biasa. Saat aku membuka mata, setelah sekian menit memejam saat puncak orgasme seperti biasa, aku melihat dan merasa tidak lagi di kuburan cina. Aku di sebuah taman. Berumput halus berbunga aneka, bersungai bening berawan kapas, binatang-binatang domestik kecil… bayangkan saja surga dalam komik anak-anak kita. Semua ada di sana. Dan yang menonjol untukku, di sebuah pendopo kayu yang sederhana tapi eksotik dan super bersih, berkumpul bidadari-kalau perempuan-perempuan itu bisa disebut bidadari-yang seluruhnya bugil-gil. Mereka menatapku. Semua tak kecuali. Dengan langkah Adam manusia pertama, atau dewata di pewayangan bolehlah, aku melangkah, mendekati mereka. Memperhatikannya saksama, satu per satu. Semua cantik, putih, halus, dan sangat seksi. Tapi saat kuperiksa lebih saksama, ada yang berbeda dari mereka dengan perempuan yang biasa kukenal. Satu atau beberapa bagian tubuh mereka ternyata lebih cocok disebut lelaki ketimbang perempuan. Seperti yang di pojok kiri, yang duduk bertelekan pagar bambu halus, memiliki betis yang besar, kuat dan kekar, bulu-bulu lebat menyelimutinya. Atau yang mungil di bagian tengah depan, berjakun besar yang tak henti menggelinjang. Ada pula yang berpenis, berdada bidang atau berperut kencang lengkap dengan telur-telur ototnya, bahkan berkumis, berjenggot, atau berjambang bauk. Dan kalau kuamati lagi lebih saksama, ada yang berekor, bersusu empat, atau bahkan berkaki kanguru. Tapi… semua cantik dan menggemaskan. Entah kenapa, bagiku semua “wanita” itu menggairahkan. Lucunya, aku seperti mengenal mereka. Ada yang wajahnya seperti Tari, adik iparku. Atau tubuhnya sedikit gempal lemak dengan lekukan yang sama dengan istriku. Atau berleher jenjang Kustiyah, ibuku. Atau seperti Marni, pembantu. Seperti Bersihar, anakku, Rudy, Jamal… ooh. Semua sungguh memberi kedekatan padaku. Aku seperti terisap. Dan melebarkan langkahku. Hingga kucium baunya. Bau-bau yang sangat kukenal, kusukai, kuhormati. Aku pun menghambur. Aku tak bisa memilih. Dan memang tak memilih. Kuserbu satu, atau mungkin dua atau tiga di antaranya, dan kubenamkan kepala dan tubuhku dalam pelukan mereka. Aahhhhhh. Ini surga? Kupejam mata dan menggerayangkan tanganku. Gila, ini ekstase. Aku surup karena gairah. Dan gelap. Tubuhku bergoyang dan terlempar-lempar, tepatnya tergulung-gulung. Bukan pusing, seperti sebuah nikmat. Tapi entah nikmat apa. Karena kemudian tak kurasakan apa-apa. Cuma gelap. I am nowhere. Dan kurasa aku pingsan. Mungkin bukan pingsan. Tapi tertidur, saat aku mendusin. Saat kujumpai hari pagi, kujumpai diriku terbaring, memeluk kuburan dengan nisan tepat di bibirku. Dan sungguh, aku tak kaget. Aku puas sekujur badan, hingga jempol kaki kiriku. Lalu pulang dan melihat semua seperti baru. Penduduk kampung tidak geger lagi. Padahal Pak Karmin pagi itu ditangkap polisi dengan tuduhan-lagi-lagi-pembunuhan. Korbannya tiga orang, semua anggota keluarganya sendiri, dua anak dan istri. Semuanya habis disantap, mentah-mentah. Dan sebagian orang terkejut, sebagian lain menyebutnya dengan enteng, “Pak Karmin lagi muja.” Katanya, ngelmu untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan. Dan itu bukan yang pertama untuk kasus “muja”. Jadi, biasa-biasa saja. Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir kasus, entah kenapa, cukup banyak kasus dialami oleh warga kampung ini. Tak cuma perampokan dengan pemerkosaan plus mutilasi. Bukan hanya gadis muda dan cantik yang meminum darah ratusan tikus untuk jadi populer. Tidak melulu tukang soto dengan daging mayat sebagai campurannya. Atau sekadar serial pemerkosaan bayi balita yang terjadi di Jembar Udik, kampung sebelah. Hidup memang kejam kok, kata Pak RT Udin. Lantaran itu, mungkin, apa yang terjadi pada Songkang dan keluarga tidak lagi jadi perhatian umum. Sudah lebih tiga minggu, Songkang hidup sendiri. Istri dan Bersihar, anaknya, pergi. Ke mana, entah. Karena cerai? Entah. Padri pun lama hilang. Jadi preman, kata orang. Songkang sendiri hidup seperti biasa. Berangkat pagi dan pulang selepas petang. Tetangga dekat cuma melihatnya menjadi warga yang lebih sopan dan berbudi, lebih dari biasanya. Menebar senyum, walau tak banyak bicara. Suka membantu, walau jarang keluar rumah. Yang kasatmata, rumah Songkang kini lebih banyak tertutup, sepi, gelap, dan tak terurus. Rumah hantu, kata anak-anak. Tapi tak ada yang menegur, karena Songkang banyak senyum. Jadi waktu pun berlalu. Begitu saja. Seperti biasa. Kejadian demi kejadian terjadi. Begitu saja. Tak ada yang aneh. “Tuhan memang tak terduga,” kata Pak Soegono, guru SMP. Memang, siapa menduga kalau Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya. Ini sungguh tak biasa. Polisi, lagi-lagi, menyergap kampung. Kali ini rumah ketiga Gang Arjuna Buntu yang diserbu. Aku tahu itu, bahkan sudah tahu sebelumnya. Tepatnya sudah menduga. Lebih tepat lagi sudah terencana. Polisi akan menemukan rumah itu kumuh, gelap, sepi, dan beraroma busuk. Sebagian polisi menggunakan masker dan membuat dugaan macam-macam. Aku pasti gembira melihat mimik mereka. Setelah melewati ruang tamu dengan sofa berlubang dan perabotan bersilang, mereka akan masuk ruang keluarga yang melulu berisi potongan koran dan majalah. Bertumpuk-tumpuk dan memenuhi dinding. Lalu menuju dapur yang telah menjadi gudang. Gudang apa saja, terutama barang bekas, entah bekas apa. Di sisi kiri, kamar tidur anak yang kosong, kecuali dipan dengan kasur bolong. Dan akhirnya, mereka akan sampai ruang belakang, kamar “ngelamun” kata mantan ibu rumah ini. Di situ polisi akan menemukan sebentuk tubuh bugil. Tubuh lelaki 30 tahunan dengan anggota badan tak lengkap. Tentu ia sudah menjadi mayat, lebih dua hari katanya. Di sisinya ada televisi yang masih menyala dengan semut, satu pisau daging yang besar, dua pisau kecil pengerat, potongan majalah porno, stensilan, kertas dan spidol, nisan kuburan, tanah yang mengering, bunga-bunga layu, piring bekas makanan, dan ceceran darah kering di lantai, kaki, selangkangan dan mulutnya. Analisa polisi: lelaki itu Songkang, bunuh diri karena frustrasi, cerai istri dan anak, menjadi gila, dan hiperseksual. Dilihat dari beberapa tanda, lelaki itu seperti habis melakukan semacam monoseks atau otoseks, dengan berbagai cara. Sampai ia memotong alat vitalnya sendiri untuk otoseks. Dan itu pun belum juga memuaskannya. Ia mulai memotong anggota tubuhnya yang lain untuk ia santap. Tapi ia sudah mati sebelum santapan pertama ia habiskan. Entah karena kehabisan darah, atau karena tersedak. Di tenggorokannya ditemukan sepotong daging tersangkut, potongan alat vitalnya sendiri. Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. * Jakarta, Juli 2003
""Senja Buram, Daging di Mulutnya""
Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa? Rasanya belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan, perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis itu sembari berbisik perlahan, “Domba kecilku…” Ia terpesona oleh mata bening gadis kecil itu. Ketika pagi yang lembut terasa seperti hosti, warga kota pun mulai mengerti: betapa kota mereka yang tenang seakan-akan telah terbekati. Gadis kecil itu telah dikirim dari langit untuk membuat hidup mereka menjadi lebih riang. Kemudian, ketika duduk-duduk di kedai kopi, beberapa orang mulai bercerita tentang mimpi mereka malam sebelumnya. Seseorang mengatakan, ia bermimpi melihat gugusan bintang cemerlang menaungi kota. Seorang lagi berkata bahwa ia bermimpi melihat kawanan bangau bersayap cahaya terbang melintasi kota mereka. Seseorang yang lain menceritakan pijar api biru yang dilihatnya meluncur dari langit menuju atap gereja. Yang lain menambahi bahwa ia sesungguhnya sudah merasa sebelumnya ketika ia melihat bunga-bunga di halaman rumahnya bermekaran begitu indah melebihi biasanya. “Dan kau tahu…,” seseorang berkata penuh senyuman. “Aku sudah merasakan kehadirannya ketika seluruh kudis di tubuhku tiba-tiba mengering dan mengelupas. Saat itu aku merasakan ada embus lembut yang berkali-kali meniup-niup kulitku. Aku yakin, itulah napas lembut bidadari kecil itu…” Wajahnya begitu cerah, seperti seseorang yang begitu percaya betapa Tuhan barusan mengampuni seluruh dosa-dosanya. Kemudian seseorang yang bermulut murung langsung menimbrung, “Ya, saya juga merasa, ketika saya tahu anak babi saya yang baru lahir berkaki lima!” Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah. Para pembual dan tukang cerita seperti menemukan kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya. Namun, bagaimanapun, gadis kecil itu memang membuat kota kecil ini jadi lebih menggeliat. Sudah begitu lama segalanya terasa lamban dan membosankan karena semua hal nyaris sudah mereka percakapkan dan rasakan. Pantai yang putih, teluk yang jernih. Juga lorong-lorong kota yang begitu bersih. Sudah lama semua itu enggan mereka percakapkan karena terkesan jadi seperti menyombongkan. Karena tanpa mereka percakapkan pun semua orang sudah tahu tentang kota mereka yang kecil dan indah, hingga banyak pelancong begitu terkesan dan kerasan. Bangunan-bangunan tua yang terawat, di mana setiap riwayat tergurat, seperti selalu mengisahkan kembali sejarah kota yang penuh kedamaian. Jembatan dan kanal, gereja dan dermaga, kedai-kedai kopi sepanjang jalan utama, apalagi yang masih perlu dipercakapkan? Dan gadis kecil itu membuat warga kota menggeliat, seakan disadarkan dari ketenangan dan kelambanan yang justru membuat mereka mulai merasa penat. Ketika gadis kecil itu meloncat-loncat riang mengikuti bapak pendeta yang berjalan keliling kota menenteng piskis, mereka jadi lebih antusias memperhatikan, dan terpesona pada keredap cahaya Matahari yang memantul dari tepi nampan perak itu. Ketika gadis kecil itu bermain-main di alun-alun kota bersama kawanan merpati, orang-orang tak hanya melihat burung-burung yang berhamburan berebut remah roti, tetapi juga bisa melihat garis-garis lembut bulu merpati itu, bercak kecoklatan di kaki burung-burung merpati itu, juga pada jejak-jejak halus yang nyaris merata menutupi permukaan tanah yang tak terlalu basah. Mereka jadi bisa merasakan bau lembab rerumputan. Mereka seperti kembali menemukan kegembiraan ketika memandangi patung perempuan dari batu pualam yang mendekap jambangan. Dapat mereka lihat serat-serat coklat di bagian leher patung itu, seperti urat di selembar daun yang menua. Mereka juga memperhatikan air yang keluar dari jambangan itu, mengucur menyentuh permukaan kolam dan berpercikan. Percik-percik air itu berloncatan seperti anak belalang bertubuh terang. Ketika mereka selesai menikmati segelas kopi, mereka pun tak hanya melihat sisa ampas, tetapi juga liuk lekuk bekas bibir mereka di gigir gelas. Mereka bisa melihat dengan jelas aroma kelabu yang keluar dari mulut seseorang yang baru saja menikmati anggur. Segalanya seakan-akan menampakkan diri lebih jelas, dengan seluruh kelembutan dan pesona detail-detailnya. Hingga keheningan tak hanya terasa begitu dekat, namun juga pekat. Semuanya tumbuh bersama gadis itu yang membuat warga kota menjadi lebih giat mendatangi gereja. Mereka begitu senang setiap kali mendengar gadis kecil itu bernyanyi. Orang-orang bisa melihat pipi bocah itu yang halus bersemu kemerahan. Anak-anak rambutnya bergeraian dan beberapa, karena keringat, melemat di lehernya yang kuning mengilat. Bulu matanya begitu lebat lentik, seakan memayungi sepasang mata bening agar tak terkena debu-debu dosa. Bocah itu tumbuh, seperti perasaan seorang beriman yang diberkahi kedamaian. Dan warga kota pun selalu teringat tanda-tanda yang menyertai kemunculannya, sebagaimana selama ini tak bosan-bosan terus-menerus mereka percakapkan: ia datang dari gugusan bintang cemerlang dibawa kawanan bangau bersayap cahaya kemudian menjelma pijar air biru yang meluncur menuju atap gereja hingga bunga-bunga di halaman rumah bermekaran begitu indah melebihi biasanya dan membuat kulit penderita kudis seketika mengering serta anak babi bisa terlahir dengan kaki lima…. “Bagaimanapun,” kata bapak pendeta, “tanda-tanda mereka yang mulia, antara lain, karena ia dilahirkan di kandang hewan, di sebuah palungan….” Dan orang-orang pun teringat, betapa gadis kecil itu ditemukan seorang peronda, meringkuk di dekat kandang kuda. Kehidupan di kota kecil itu pun tak lagi menggeliat lambat. Perlahan-lahan meskipun segalanya masih terasa begitu khidmat, mereka mulai merasakan ada sesuatu yang menggeliat gawat. Mereka menyaksikan bocah cilik itu sudah menjadi gadis yang seranum buah murbai. Tawanya begitu berderai, dan ia melangkah amat semampai. Anak-anak muda selalu berpakaian cerah. Ada sesuatu yang tumbuh, melebihi gairah pesta-pesta yang kini sering kali digelar di sepanjang trotoar. Sesuatu yang membuat anak-anak muda itu tertawa lebih keras, dan merasa tak perlu untuk cepat-cepat menutup mulut mereka dengan tangannya. Malam lebih panjang dengan keramaian, terompet dan nyanyian. Dan selalu, di puncak malam, terjadi perkelahian. Karena setiap pemuda berebut ingin berdansa dengan gadis paling jelita di kota. Karena setiap pemuda merasa paling berhak dan ingin menjadi penguasa satu-satunya. Dan gadis-gadis lain menangis-juga histeris-karena merasa diabaikan, terhina, dan diluapi kebencian. Fitnah dan hujah pun membuat gatal dan resah. Setiap gunjingan kemudian menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu, yang malam-malam selalu terlihat berkeliar di pesisir pantai…. “Dan itu hanya dilakukan para lonte!” para perempuan mulai bergunjing, sambil memerhatikan tingkah laku para lelaki yang belakangan ini memang lebih suka menghabiskan waktu di tepi pantai ketimbang duduk-duduk di kedai. Para istri mulai menajamkan mata, mengawasi suami-suami mereka. Tentu saja, para suami yang merasa tak dipercaya jadi gampang meluap marah. Nyaris, sepanjang hari, bila kini engkau berkunjung ke kota kecil itu, engkau akan mendengar suara pipi ditampar, teriak perempuan kalap mencakar-cakar, umpatan-umpatan kasar. Tak mengherankan, apabila gadis cantik itu terlihat melintas, para perempuan buru-buru menghindar. Melebihi usia tua yang celaka, bapak pendeta mulai gelisah ketika dari hari ke hari kian sedikit warga kota yang berdoa bersamanya. Para perempuan enggan datang ke gereja, bila gadis itu ada di sana. Kaum lelaki, yang tak mau terlalu kelihatan memendam birahi, juga jadi sungkan mengikuti ekaristi. Bau sunyi mulai membuat gereja itu terlihat pasi setiap Minggu pagi. Bapak pendeta tak juga menemukan jalan bijaksana, bagaimana ia mesti mengatakan ini semua, tetapi tak membuat hati gadis itu terluka. Saat bapak pendeta berdoa agar diberi jalan keluar, ia mendengar kerekit pintu gereja terbuka, kemudian suara langkah kaki diseret di atas lantai kayu yang kasap. Bulu-bulu tengkuknya seketika meremang, saat ia merasakan ada sehembus angin halus: seakan-akan ia merasakan kehadiran sesuatu yang kudus. “Maafkan saya, Bapak…” terdengar suara yang begitu dikenalnya. “Saya telah menyusahkan Bapak. Biarlah saya yang tak lagi ke gereja. Saya akan kembali ke kandang kuda. Karena dari sanalah asal saya….” Betapa terbelalak bapak pendeta. Gadis itu berdiri gemetar di hadapannya matanya tak sebak air mata, tetapi darah! Gadis itu telah mencongkel kedua biji matanya dengan jari-jarinya sendiri karena tak mau lagi melihat dosa. Darah yang masih basah terus merembes keluar dari liang matanya. Kota kecil itu pun gemetar. Ketika dengan cepat kabar itu menyebar, orang-orang menyaksikan senja yang seolah bergetar, dan jantung mereka begitu berdebar. Mulut mereka asam dan kecut seperti mengunyah acar. Sejak itu, mereka selalu mendengar gema doa yang mengalun dari arah kandang kuda. Gema yang bagai menyusutkan semua suara, hingga kota digenangi kesepian seketika. Gema yang membuat setiap warga kota menundukkan kepala. Mereka kini lebih banyak berdiam diri ketika duduk-duduk di kedai kopi. Mereka gampang terkejut, bahkan oleh denting paling pelan suara sendok yang menyentuh gelas. Apalagi saat ini engkau berada di antara mereka, engkau bisa merasakan raut cemas yang menyelusup halus dalam senyum ramah mereka. Apalagi ketika mereka melihat gadis itu-yang kian terlihat begitu cepat tua-melintas di jalan, bila ia membutuhkan makanan. Orang-orang dengan bergegas akan menghindar, warung-warung akan segera menutup kerai dan pasar segera bubar. Karena ketika ia berjalan tidak terlihat menyedihkan, tetapi mengerikan. Sementara gema doa bagai membungkus tubuhnya, ia terlihat tertatih-tatih dengan sepasang tangan yang seakan-akan selalu merabai punggung udara. Gaun etamin hitam yang serupa jubah terjulai hingga bagian bawahnya menyapu tanah. Debu-debu halus berleduban setiap kali perempuan itu melangkah. Wajahnya selalu tertutup selendang usang, tetapi orang-orang tetap saja bisa memandang sepasang liang matanya yang remang. Lebih-lebih bayangan wajahnya yang ledang. Bahkan, orang-orang lebih ketakutan pada sepasang liang yang tak lagi berbiji mata itu karena mereka percaya justru setelah buta, perempuan itu mampu melihat semua yang kasatmata. Ia bisa merasakan kebusukan yang dengan penuh kesopanan disembunyikan. Ketika berlangsung pesta yang diadakan untuk membangkitkan kembali kenangan-kenangan bahagia yang pernah memulas kota dengan warna-warna keriangan-karena bagaimanapun kota ini mesti tak boleh terbenam dalam kemurungan-mendadak perempuan itu muncul. Ia sudah berdiri di dekat pancuran, menuding ke tangan-tangan warga yang tengah bersulang. “Yang kalian minum bukan anggur, tetapi darah seorang pelacur….” Suaranya bagai muncul dari bawah tanah yang seketika bergetar seperti punggung orang yang terbatuk-batuk. Saat itu pula mereka mencium bau yang amis, serupa miasma yang menguap dari rawa-rawa. Beberapa hari kemudian, perempuan itu berdiri di tengah jalan menghentikan kereta wali kota. Sementara para pengawal wali kota hanya mematung tak berdaya, bagai tersihir, perempuan buta itu segera mendekati wali kota dan langsung menepuk-nepuk punggungnya. Saat itulah orang-orang yang menyaksikan puluhan ekor ular keluar dari lubang telinga wali kota. Beberapa ekor juga keluar dari mulutnya, dari hidungnya, dari duburnya…. Perempuan buta itu mengatakan kepada beberapa gadis agar segera membuang lintah yang memenuhi perut mereka. Kepada seorang saudagar perempuan itu mengingatkan agar tak lagi makan belatung. Ia membuat malu seorang guru karena dikatakan suka menggauli anak kandungnya yang gagu. Dengan tegas ia menuding hidung seorang tentara yang dikatakannya gemar memerkosa. Ia mengucapkan semua itu semudah orang menyemburkan ludah. Kadang-kadang caranya berkata-kata seperti seseorang yang tengah menyumpah. Bahkan, ia begitu kurang ajar mengatakan bapak pendeta tak cukup beriman untuk membimbing para jemaahnya! Itulah yang membuat orang- orang dengan gemetar menghindar. Ia mengerikan karena telah menyerahkan jiwanya kepada setan sehingga ia bisa melihat dalam kegelapan seperti makhluk malam. Setiap pintu rumah orang terhormat tak akan terbuka setiap kali ia mengetuknya. Setiap orang kemudian berdoa agar perempuan buta itu terkena lepra…. Karena tak diterima di kota, perempuan itu lebih sering terlihat memandangi laut, seakan seorang peramal yang mencari isyarat maut. Kadang sepanjang hari ia berdiri di tebing karang dikelilingi burung-burung camar atau menyusuri pantai memunguti barai, kerang, atau lengkitang. Ia menyeruput siput-siput itu langsung dari cangkangnya, membuat jijik siapa pun yang melihat. Kecuali pelacur-pelacur miskin yang menghuni gubuk-gubuk rumpang di sisi dermaga, yang segera meniru kelakuannya; setidaknya perempuan itu mengajarkan kepada mereka satu cara mengatasi kelaparan. Karena itulah, setiap sore, para pelacur itu mengundangnya untuk bertandang ke gubuk mereka. Dengan cepat ia menjadi dekat dengan para barua, mucikari, kecu, pencoleng, budak-budak pelabuhan, para begundal, dan juru mudi kapal. Seolah orang perempuan itu menjadi pelindung mereka. Sementara senja kian muram. Di kedai-kedai kopi orang-orang lebih banyak diam. Hanya sesekali mereka mengingat perempuan itu dengan pedih, dengan sesal yang tak berkesudahan. Kemudian kisah lama hadir, dengan suasana berbeda. Kenapa, dulu, tak kita buang saja gadis cilik itu ke laut? Ia pasti keturunan putri duyung yang suka menggoda dengan nista dan air mata, seseorang berkata. Atau dia memang anak jadah dari rahim seorang pelacur yang sengaja membuangnya, timpal yang lainnya. “Sejak pertama kali ia ditemukan, aku sesungguhnya sudah ingin mengingatkan, kalau sebelumnya aku bermimpi buruk; kota kita diserbu jutaan burung pelatuk. Aku ingin menceritakan mimpi itu, tetapi aku takut kalian tak mempercayainya waktu itu…,” kata seseorang sembari membuang pandang. Kemudian setiap orang mengisahkan mimpi-mimpi lainnya, yang jauh berbeda dari yang dulu mereka katakan. “Sesungguhnya aku berdusta soal mimpi burung bangau bersayap cahaya….” Kota kecil di tepi teluk itu seperti wajah orang tua yang mengantuk, sementara kekecewaan kian lama kian menumpuk. Perempuan itu membuat kota mereka yang indah menjadi berbau tanah. Dari arah pelabuhan selalu terdengar suara pelacur-pelacur yang terkikik. Para begundal mengerang dihisap mulut sundal. Mereka, kaum pendosa, membuat kota ini celaka. Karena kepada para pelacur dan pencoleng yang menjadi kaumnya, perempuan buta itu selalu berbicara tentang surga, tetapi membiarkan mereka saling remas kelamin di hadapannya. Terkutuklah perempuan itu! Dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing diisap pengemis-pengemis kudis. Dia iblis, karena dengan lidahnya mau menjilati borok di selangkang pelacur yang terkena sifilis. Dia nista, karena melayani budak dan bromocorah dengan tubuhnya. Dia sundal, karena bersenggama dengan ratusan begundal…. Dan perempuan buta itu sungguh-sungguh tak terampunkan ketika perutnya bengkak oleh dosa, dan ia mengaku mengandung bayi buah cintanya dengan malaikat. Dari hari ke hari perut perempuan buta itu kian membesar dan para pelacur sundal pencoleng begundal yang selalu mengelilinginya menganggap perempuan itu telah menjadi santa yang rahimnya memancarkan cahaya. Karena memang begitulah yang mereka percaya; suatu malam mereka melihat cahaya berkilauan turun dari surga. Itulah cahaya yang memancar dari sepasang sayap malaikat, yang segera menghampiri perempuan buta itu. Laut seperti memejam, ombak redam, ketika malaikat dan perempuan buta itu berciuman. Malaikat itu menitipkan benih cinta di rahim perempuan buta. Di puncak kemarahan, puluhan warga kota segera mendatangi bapak pendeta. Bagaimanapun perempuan bidah itu mesti ditangkap, dirajah. Dengan bijaksana bapak pendeta menyerahkan semuanya kepada wali kota. Maka segeralah dikirim bala tentara, mengobrak-abrik pelabuhan, mengusir pergi para sundal dan begundal. Dan perempuan buta itu diseret, dilecut punggungnya sepanjang perjalanan menuju penjara. Setiap warga melempari tubuh perempuan itu dengan batu, sambil menghujah marah. “Bidah!” “Penyihir!” “Lonte!” Kemudian perempuan itu dilemparkan ke ruang penjara bawah tanah. Di sel pengap sempit dengan ujung-ujung besi runcing yang saling jepit saling kait. Sel yang penuh ular keling dan kalajengking. Berhari-hari, berbulan-bulan, tanpa makanan. PADA bulan ke delapan, keputusan telah dimaklumatkan. Perempuan itu mesti mati sebelum bayi itu dilahirkan. Karena kota ini mesti dibebaskan dari rantai kutukan. Karena dosa mesti ditumpas sebelum sempat tumbuh lagi satu tunas. Dan seluruh warga kota yang mulia dan terhormat sepakat, perempuan itu mesti dirajam dengan tembakan. Setiap warga yang memiliki senapan boleh ambil bagian. Pistol-pistol tua yang selama ini tersimpan dalam peti atau lemari dikeluarkan dan dibersihkan. Senapan berburu yang selama ini hanya jadi pajangan segera diturunkan. Peluru-peluru disiapkan. Yang belum punya senapan segera membeli di pasar loak. Atau pinjam kepada kenalan. Seluruh lelaki di kota itu telah menenteng senapan, berdiri di sepanjang jalan. Bahkan banyak juga perempuan yang dengan gembira mengacung-acungkan senapan. Sementara di alun-alun kota, di mana hukuman akan dilaksanakan, beratus-ratus bala tentara sudah siap dengan senapan di tangan yang siap ditembakkan. Dan inilah prosesi pembantaian yang paling dinantikan… Langit bersih, siang itu, seperti merestui. Seluruh warga kota sudah memenuhi alun-alun ketika perempuan buta itu diseret keluar dari penjara bawah tanah. Ia melangkah dengan kaki yang tak goyah. Pe rutnya bertambah besar. Liang matanya terlihat kian kelam. Rambutnya dipenuhi sindap, lengket bergempal-gempal bau apak. Tubuhnya penuh keranta, meruapkan aroma kematian. Tetapi lihatlah, betapa ia tampak damai. Meski sekujur tubuhnya penuh koreng. Jari-jari tangannya menggeropeng, beberapa nyaris putung digerogoti kusta. Sikapnya seperti seorang perempuan yang bersikeras mempertahankan martabat. Di atas panggung hukuman, tepat di tengah alun-alun kota, ia berdiri memandangi langit dengan sepasang matanya yang buta. Dosa sebentar lagi dilenyapkan. Beratus-ratus lup senapan diarahkan. Ketika segalanya kian dekat, keheningan kian terasa sempurna. Saat itu bila engkau ada di sana menyaksikan itu semua, engkau akan bisa mendengar suara air mata yang bergulir dari keluk kelopak mata. Kemudian detik seketika meledak. Sementara delap menguap dari tiap ujung senapan yang berkali-kali ditembakkan, beribu-ribu peluru menghambur menyerbu mengepung tubuh perempuan buta itu. Beribu-ribu peluru yang menderu, hingga engkau bisa mendengar gemuruh suaranya ketika membelah udara yang dipenuhi percik-percik cahaya. Cahaya? Di bawah sinar Matahari, beribu-ribu peluru itu memang terlihat bagai biji-biji cahaya yang berlesatan, membuat terkesima siapa pun yang melihatnya. Dan orang-orang kian terkesima; ketika senapan terus ditembakkan hingga ribuan peluru terus berlesatan di udara, tetapi pada saat itu juga, peluru-peluru itu saling bertubrukan dan pecah menjadi keping-keping cahaya bening yang terbang melayang-layang seperti kupu-kupu. Ya, kupu-kupu! Beribu-ribu peluru itu seketika menjelma kupu-kupu sebelum menyentuh tubuh perempuan buta itu… Terdengar suara puluhan senapan terlepas berjatuhan, sementara setiap orang menyaksikan semuanya dengan penuh ketakjuban. Beribu-ribu kupu-kupu dengan sayap yang membiaskan cahaya lembut aneka warna, terbang melayang-layang, kemudian mulai hinggap di tubuh perempuan buta itu. Menghinggapi kedua tangannya yang terentang, seakan-akan ia disalibkan. Lalu, begitu pelan, beribu-ribu kupu-kupu itu mengangkat tubuh perempuan itu hingga tampak seperti balon udara yang tengah mengangkasa. Terus membubung. Berkilauan dalam kemegahan sayap- sayapnya, kemudian gaib ditelan langit. Kami terkesima memandanginya, tetapi kami juga merasa begitu hampa. Ada yang tak kunjung kami pahami, hingga kini. Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu? Jakarta, 2004
""Kupu-kupu Seribu Peluru""
Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia. Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu. Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!” PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali. Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya. Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya. Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis. Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara. DI suatu malam keparat, ayahnya pergi ke mata air menjelang subuh. Mata air itu beriak di kaki bukit, dibentengi belukar dan kabut maharaja. Arusnya mengalir sepanjang parit kecil yang mengepung permukiman, di sana-sini membelah bercecabang, memberi petak-petak sawah sumber kehidupan. Airnya deras, mengayun hijau lumut, mengikis batu warna-warni, mengantar irama, dan bertamasya bersama ikan kecil, belut, dan kecubung. Bergantian para kepala keluarga menengoknya setiap menjelang fajar, atau lumpur bakal menyumbat, dan jika itu terjadi bersiaplah padi tak kuning di tempo yang diharapkan. Tetapi malam itu keparat, sebab seekor ular jahanam menggigit jempol kakinya. Lelaki itu belum juga tiba di mata air. Ia kelojotan di setapak dengan sepotong kaki panas menyengat. Jempolnya merah diterpa bulan, ditentang cahaya obor yang empas ke rerumputan. Panas itu menjalar perlahan, serasa memenggal kakinya sejengkal demi sejengkal. Ia tahu tak berapa lama akan kehilangan jempolnya, tersisa biru yang busuk. Kemudian sepotong kakinya bakal lenyap, menyusul pula tubuhnya, dan lalu jiwanya. Ia teringat pada bininya, terkenang pada anak gadis satu-satunya. Ia belum hendak mati. Dibakarnya jempol itu, lalu dibebat betisnya dengan lengan kemeja yang disobek. Panasnya yang menyiksa itu tak juga lenyap, meski tertahan sejenak. Ia mengadu untung dengan pencabut nyawa. Digenggamnya obor, berdiri goyah. Tubuhnya kuyup. Pikirnya ia bakal mati berdiri. Sambil menangis menahan siksa lelaki itu menempuh tegalan, menuju rumah dukun. Obor di depan rumahnya serasa ujung dunia, apinya meliuk meledek. Hanya si dukun yang memiliki batu penangkal bisa ular, dan hanya si dukun bisa mengusir maut dari jempolnya. Tak peduli ia muak dengan bau mulut dan mata binalnya. Ketika tiba di teras rumah si dukun, ia hampir sekarat. Tubuhnya ambruk di undakan, meraung-raung menggedor pintu. Gedorannya melemah dan tangannya terkulai ketika si dukun membuka pintu, berdiri menahan kabut tidur. Kemudian perempuan itu berdiri di belakang si dukun. Kedua bocah penuh ingus juga terbangun dan berdiri di samping mereka. “Bisa ular melumat tubuhku,” kata si orang sekarat sambil acungkan jempol kaki. “Tampaknya begitu,” kata si dukun. Perempuan dan kedua anak itu lenyap ke dalam rumah sementara si dukun mengambil obor memeriksa jempol lelaki itu. Biru dan koyak. Si perempuan muncul dengan buntalan kecil kain mori sebelum ditelan gelap di belakang si dukun yang mengeluarkan batu menangkal ularnya. Si orang sekarat menunggu dengan cemas dukun itu mencabut maut dari jempolnya, tetapi malahan si dukun bertanya, “Dengan apa kau hendak bayar?” Mendengus, si orang sekarat menjawab, “Ambil kambing buntingku.” Si dukun menggeleng, “Aku ingin bikin bunting lesung pipit anak gadismu.” SI lesung pipit umur empat belas, molek tak ada ampun. Si dukun telah lama berkehendak kepadanya, tak peduli ia telah ada bini di delapan arah angin. Si ayah tak berdaya, tahu betul segala kehendak si dukun tak terbantah sebab ia kebal senjata dan penuh muslihat pelet dan santet. Ia hanya bisa mengulur waktu, berharap tiba kala si dukun mati atau lupa pada si lesung pipit, dengan terus mengelak, “Ia masih bocah bau kencur.” Tetapi kini si bocah yang menenteng lesung pipit di sepasang pipi ranumnya mesti ia serahkan pada si dukun, atau bisa jahanam akan merenggut jiwa dari tubuhnya, menggelosor seperti sarung yang tanggal. Lelaki itu menangis, antara siksa sekarat dan ratap nasib anak gadisnya. “Ambillah gadis itu,” katanya, berserah. Si dukun tersenyum melontarkan bau busuk. Tetapi bukannya mengobati lelaki itu, ia malahan berdiri berbalik dan pergi masuk ke dalam rumah. Si orang sekarat meraung-raung tercekik, melafal nama si dukun bergantian tobat berulang-ulang. Tak berapa lama si dukun muncul lagi menenteng sesuatu. “Ulangi di hadapannya,” kata si dukun mengacungkan kitab suci. Lelaki itu tahu si dukun tak pernah membacanya, bahkan menyentuhnya pun hanya sedikit kali. Tetapi si sekarat menghormatinya, tak pernah menentengnya dengan cara sembrono, malahan meletakkannya di atas kepala, mencium sampulnya, membuka halamannya perlahan, dan membacanya dalam keadaan tubuh tanpa noda. Ia memandang si dukun dengan napas tersengal. “Demi kitab suci,” katanya parau, “kuberikan si lesung pipit anak gadisku jadi istrimu.” Bau busuk kembali terlontar. Si dukun mengangkat separuh kaki lebam itu, pemiliknya meraung lebih kencang. Ikatan gombal dibukanya, meninggalkan jejak pasi hampir mati, mengikatnya lagi di tempat lebih tinggi. Batu penangkal bisa digosokkan ke bekas luka gigitan, si orang sekarat melolong dibalas anjing-anjing di ujung kampung. Batu kembali digosok, disertai jampi-jampi mantra. Orang sekarat menggelinjang, memekik di fajar yang pekat, hingga suaranya lenyap ditelan ketidaksadaran. Waktu ia siuman, lelaki itu menemukan dirinya di bilik rumah sendiri. Penuh rasa dosa ia memanggil si lesung pipit dan berkata padanya, “Nak, kau bakal kawin dengan dukun bau busuk itu.” Masih dikenangnya kala lelaki itu membawanya ke rumah tersebut, memperkenalkannya pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu. Ia enggan, tetapi lelaki itu menyeretnya sepanjang jalan kampung, di sore yang ajaib, di muka tatap anak-anak gembala dan para pembajak sawah. Ia belum pernah datang ke rumah itu, meski sejak lelaki itu memeluknya secara tiba-tiba selepas mandi di pancuran beberapa waktu sebelumnya, si lesung pipit tahu hidupnya akan berakhir di sarang guna-guna tersebut. Ia bahkan merasa yakin semua tragedi ular berbisa itu tak lebih dari muslihat si lelaki. Barangkali itu ular siluman yang bersekutu dengannya untuk menaklukkan si penengok mata air, dan segala batu penangkal bisa tersebut tak lain tipu daya sihir hitam. Tapi sebagaimana ayahnya ia menghormati segala sumpah di bawah kitab suci, dan membiarkan tubuh belianya digiring menengok rumah masa depannya. Perempuan dan dua bocah penuh ingus menanti mereka di beranda rumah, tegak bagai patok. Ia merasa jengah, memandang mata yang penuh tuduhan. Dikendalikan sikap kikuk yang menggenang, si lesung pipit tawarkan senyum manis miliknya, menggelembungkan rona merah di pipinya, dan lembah kembar berayun mencekam. Mereka tahu senyum itu palsu, pikirnya. Si lelaki menyebut namanya, satu perkenalan singkat omong kosong sebab semua orang di permukiman mengenal namanya. Bahkan, seandainya perempuan dan dua bocah penuh ingus itu tak mengenalnya, ia tak yakin mereka mau mendengarnya, apalagi mengingat-ingat. Ia bersimpuh di depan si perempuan, meraih tangannya dan menciumnya dalam, terbenam di bibirnya. Tangan itu sedingin kematian. Ia menghampiri si sulung, membelai rambutnya dan mencium kedua pipinya. Si sulung diam tak bergeming. Si kecil bahkan berusaha mengelak ketika ia menyentuhnya, menahannya, dan sedikit memaksanya kasih cium di kedua pipi. Semua itu serasa sandiwara murahan. Rasa takutnya berubah jadi kesedihan melata. Ia tak sanggup menatap wajah-wajah yang menuduh tersebut. Wajah mereka menghantuinya di malam-malam penuh kepanikan. Malam-malam insomnia di tepi jendela ketika ia berharap bisa mencuri sayap burung hantu dan terbang ke bulan. Malam-malam ketika ayahnya tak mengizinkan si lesung pipit keluar rumah sebab ia bakal jadi pengantin. Suatu malam dari balik jendela ia melihat empat orang pemuda di pos jaga ujung jalan. Di bawah lentera kecil mereka duduk berkeliling, memainkan kartu domino. Uap arak putih mengapung kepala mereka, diembuskan malam yang membawanya ke wajah si lesung pipit. Satu pikiran melintas di kepalanya. Kini ia tahu bagaimana membebaskan diri dari lelaki bau busuk penuh jampi-jampi itu. SI lesung pipit menyelinap dan berdiri di samping pos jaga. Keempat pemuda berhenti melempar kartu dan minum arak, memandang si gadis dalam tatapan tanya. Itu dini hari yang menusuk, semua orang tenggelam dalam selimut, kecuali mereka. “Kemarilah,” kata si lesung pipit sambil berlalu ke balik pos jaga. Keempat pemuda saling menoleh, bergumam tak mesti, sebelum seseorang turun dan menyelinap ke arah si gadis lenyap, diikuti ketiga kawanan. Di sana mereka melihatnya telah telanjang, disorot bias cahaya lentera. “Untuk kalian,” katanya canggung, “mari bercinta.” Undangan itu seperti kata-kata sihir tak terpahami. Mereka masih menanggul menggigil. Pemuda penuh inisiatiflah yang pertama tersadar, tubuhnya mulai hangat, tangannya terulur pada tubuh si gadis, meraba dadanya yang buncah, sebelum secara sembrono melucuti pakaian sendiri. Sama-sama polos ia menggiringnya ke semak pandan, merebahkannya di sana, dan merobeknya. Tiga yang lain memperoleh giliran tak lama selepas itu, bikin si lesung pipit pulang mengangkang. “Lebih bagus aku sundal,” katanya selang dua malam, tak lama setelah si lelaki jatuhkan tiga talak berturut- turut. Ia keluar kamar menenteng buntalan pakaian, tak pamit pada si lelaki yang mondar-mandir menahan geram. Pun tidak pada perempuan dan dua bocah penuh ingus yang penuh kemenangan. Ia berjalan terseok membelah kampung, dengan sakit di pangkal pahanya. Tak ada tempat pulang sebab semua pintu tak bakal menerimanya kembali. Tidak pula ayahnya. Ia pergi ke suatu tempat entah. Tak apalah daripada merampok lelaki bau busuk dari siapa pun, meski tak bakal membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh. Jika tampak suatu bebayang hitam menari di puncak bukit pada malam-malam tertentu, itulah si lesung pipit. Sebab kemudian ia kawin dengan bulan sepenggal di suatu malam. * (2004)
""Kekasih Bulan Sepenggal""
Kami bertemu di Rex, Peunayong, ketika gerimis baru saja reda mengguyur Kota Banda Aceh itu. Aku tidak tahu dia muncul dari mana, tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Sejenak aku sempat terperangah dengan kehadirannya. Aku hampir tidak mengenalnya jika ia tidak menyebut namanya sendiri, sambil bertanya kepadaku dalam logat Aceh yang kental, “Kau masih ingat kan?” Jelas saja aku masih ingat Suman, teman baikku ketika di pesantren dulu. Kami satu bilik ketika mondok di dayah -sebutan lain untuk pesantren. Kalau malam sehabis mengaji, kami suka mencuri-curi untuk menonton televisi di rumah Pak Samad, yang rumahnya tak jauh dari dayah. Beberapa kali Teungku Ubit, guru ngaji kami, memergoki kami keluar dan esoknya kami kena hukuman dipukul telapak tangan dengan sapu lidi. Perihnya luar biasa. Bekas merahnya seminggu baru hilang. Tetapi hukuman itu tidak bisa dielakkan. Bukan hanya kami, sejumlah kawan lain yang kepergok menonton televisi sehabis mengaji juga dihukum. Di dayah kami memang ada aturan tidak boleh menonton televisi. Alasannya, televisi banyak menyiarkan sesuatu yang tak bagus untuk dilihat mata. Misalnya, perempuan yang tidak menutup aurat, bahkan mengumbar aurat, tari-tarian atau lagu-lagu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan di dayah. Siapa pun yang melanggar peraturan itu, tanggung sendiri akibatnya. Banyak santri memang patuh. Tetapi ada sebagian yang bandel, mencuri-curi untuk bisa keluar dari kompleks dayah demi menonton televisi. Di antara sebagian itu, ya kami, aku dan Suman. Nyaris setiap malam kami keluar lewat jendela belakang bilik dan mengendap- endap keluar melalui pintu samping tempat wudu. Kami sengaja memilih pintu samping tempat wudu, sebab kalau kepergok sama teungku, tidak sulit mencari alasan. Kami langsung bilang: mau shalat sunat, atau berwudu untuk mengaji, dan macam-macamlah. Yang sulit kalau kepergok ketika sudah berada di luar kompleks. Itu cerita ketika kami di pesantren. Lulus SMP, aku tidak lagi mondok di situ dan melanjutkan sekolah ke Banda Aceh. Suman melanjutkan sekolah di kampung dan tetap mondok. Ia sekolah sambil tetap bisa mondok. Antara sekolah dan dayah pesantren memang lembaga terpisah. Maklum, tampat kami nyantri adalah pesantren tradisional, tidak ada sekolahnya. Yang ada cuma mengaji, baik mengaji Al Quran, maupun kitab-kitab klasik. Ketika era aku mondok dulu, tahun 1980-an, memang dapat dihitung dengan jari ada pondok pesantren modern, yang menggabungkan pesantren dan sekolah. Sejak sekolah di Banda Aceh, aku masih suka ketemu sesekali kalau pas liburan dan pulang ke kampung. Suman telah menjadi asisten teungku yang mengajar anak-anak di bawah usianya. Penampilannya pun jadi berbeda. Ia menjadi lebih alim. Kemana-mana pakai peci dan bersarung. Orang-orang pun menyebutnya teungku. Ketika aku melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kami sama sekali tidak pernah bertemu lagi. Kudengar ia kuliah di sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. Sambil kuliah, ia tetap mondok di pesantren di pinggiran Kota Banda Aceh. Di sana, ia juga menjadi asisten teungku dayah, mengajar ngaji untuk santri di bawah usianya. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi tentang dia. Betul-betul putus kontak. Baru kali inilah kami bertemu kembali. Cukup lama sekali kami terpisah. Tak salah kalau aku sempat pangling ketika ia mendekatiku dan menyorong tangannya untuk berjabat tangan denganku. Suman sudah sangat jauh berubah. Dulu badannya ceking, seperti tiang listrik kata teman-teman, sekarang padat berisi. Air mukanya serius, namun tetap memancarkan kesejukan. Beberapa helai jenggotnya dibiarkan memanjang. Kalau dulu ia suka memanjangkan rambut, sekarang tidak. Ia lebih rapi kini. “Bagaimana bisa kau ada di sini,” tanyanya setelah ia menarik kursi dan duduk menghadap ke arahku. “Kudengar kau sudah jadi pengacara hebat di Jakarta,” ujarnya lagi. “Enggak juga. Aku masih bekerja di kantor pengacara orang. Berarti itu belum hebat. Pengacara hebat tentulah sudah punya kantor firma hukum sendiri,” kataku. “Omongomong apa kegiatanmu sekarang?” Pembicaraan kami terhenti ketika penjual makanan datang membawa secangkir kopi panas dan menaruh di depannya. “Setelah lulus kuliah, di samping tetap di pesantren, aku juga menjadi aktivis LSM. Aku ingin berbuat sesuatu yang nyata pada rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini tertindas.” “Oh ya? Tapi tidak pernah kudengar namamu ditulis koran- koran.” “Aku bukan selebriti dan tidak hendak menjadi selebriti. Aku bekerja di bawah, menggali masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan mencoba mengatasinya. Misalnya kalau mereka mengungsi, kami mengupayakan anak-anak mereka tetap bisa sekolah dengan mendirikan tenda sekolah darurat. Atau kalau ada orang yang menjadi korban kekerasan, kami membantu mereka untuk memulihkan trauma atau membantu mereka melaporkan kepada Komnas HAM. Hanya pekerjaan-pekerjaan seperti itu yang bisa kami lakukan.” “Tetapi itu sangat penting.” “Memang penting. Aku sangat senang menjalaninya. Jadi aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti dilakukan teman-teman lain sehingga mereka bisa terkenal dan namanya kerap dikutip oleh koran atau teve. Kami melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Apalagi, dana dari founding kami pas-pasan. Aku tidak pandai bicara, jadi tidak bisa meyakinkan founding untuk mengucurkan dana besar.” “Itu memang soal pilihan. Sebagai teman, aku sangat mendukung pilihanmu. Meski apa yang kalian lakukan kecil, cukup berarti dan dirasakan langsung manfaatnya oleh orang yang memerlukan. Tetapi, omong-omong bagaimana kabar teman-teman baik kita dulu?” “Wah, mereka tersebar di mana-mana. Si Amat menjadi dosen dan hidupnya masih tetap sederhana. Maun kini menjadi anggota DPRD dan sudah kaya dia. Mobilnya aja dua, punya rumah yang cukup besar di pusat kota. Kalau Yahya kau pasti sudah tahu, setelah menjadi aktivis, dia menjadi tokoh dan selebriti. Bolak-balik ke Jakarta dan luar negeri. Hidupnya kini juga sangat makmur.” “Luar biasa memang kawan-kawan kita. Aku senang mendengarnya. Mereka menjadi orang sukses.” “Ya, mereka menjadi orang sukses. Tetapi rakyat di sekeliling mereka menderita.” “Maksudmu?” “Ah, kau kayak tak tahu saja.” “Ali bagaimana kabarnya?” Ali yang kumaksud adalah teman sekelas kami dulu di SMP. “Dia membantuku mengabdi pada masyarakat. Dia kerap tinggal bersama pengungsi untuk mengurus keperluan mereka di pengungsian.” “Sekarang dia di kampung?” Suman tidak menjawab. Ia diam dan menerawang. Lalu matanya berkedap-kedip dan ia menggigit bibir. “Ada apa?” tanyaku. “Ali.” “Kenapa Ali?” “Dia mati tertembak sebulan lalu.” “Tertembak?” Aku terdiam mendengarnya. Tak bertanya lagi mengapa Ali tertembak. Tidak ada yang perlu dipertanyakan. Aku tahu benar Ali. Dia orangnya alim dan pendiam, juga tidak banyak ini-itu. Dia lurus-lurus saja. Ali orang baik. Mengapa ia harus mati di ujung senjata? “Hidup memang begitu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu hidup dan kematian seseorang,” kataku. “Tetapi di Aceh berbeda. Hidup dan kematian juga ditentukan oleh orang-orang yang punya kuasa dan senjata.” Aku tidak menanggapi. Diam. Lama kami terdiam. Sunyi. “Apa kabar kampung kita?” tanyaku kemudian. “Aku sudah dua bulan tidak pulang kampung.” “Mengapa?” “Tidak bisa pulang. Kau sendiri belum sampai ke kampung?” “Belum. Aku baru tiba tadi siang dari Jakarta. Malam ini aku ingin menikmati Kota Banda Aceh dulu. Ingin nostalgia. Besok aku baru pulang?” “Kalau begitu, aku titip surat untuk ayahku ya?” “Boleh. Boleh.” “Tunggu sebentar,” katanya sambil bangkit dan berjalan meninggalkanku. Udara malam makin menyengat mengirim gigil sampai sumsum. Meski telah mengenakan jaket yang agak tebal, hawa dingin tetap menusuk. Hujanlah yang membuat Kota Banda Aceh diselimuti dingin yang tak biasa ini. Aku baru merasakan dingin sedingin ini ya kali ini. Saat pulang dua tahun lalu, suasananya biasa-biasa saja. “Ini suratnya,” kata Suman sambil menyerahkan kepadaku sebuah amplop putih polos yang telah direkatkan. Aku sempat kaget juga, tiba-tiba saja ia sudah berada kembali di depanku, entah dari mana ia muncul. Aku mengambil surat itu, melipatnya dan memasukkan ke kantong baju. “Omong-omong bagaimana keadaan pesantren kita sekarang?” “Sudah tidak seramai dulu. Santrinya tinggal sedikit. Hanya orang-orang di sekitar itu yang menjadi santri. Santri dari luar daerah tidak ada sama sekali. Sejak gonjang-ganjing ini, mereka tidak berani keluar dari kampung. Kalau keluar kampung ya ke kota sekalian, misalnya ke Banda Aceh, Medan, atau bahkah ke Jakarta.” “Teungku Ubit bagaimana kabarnya?” Kembali ia terdiam. Matanya kembali menerawang. Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya perlahan. “Nasib Teungku Ubit juga menyedihkan. Ia mati di ujung senjata beberapa bulan lalu,” katanya pelan. Kembali aku tersentak. “Mengapa?” “Entahlah,” Suman menggeleng. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Suasana memang begitu menyakitkan, begitu menyedihkan. “Omong-omong ada acara apa kau pulang?” Suman lalu bersuara. “Aku mau menjemput orangtuaku dan membawanya ke Jakarta. Kasihan kalau mereka terus tinggal di kampung. Banyak suara dar-der-dor. Mengerikan. Aku tidak tenang kalau mereka tetap berada di kampung. Kepikiran terus.” “Iya, memang pilihan tepat. Banyak orang yang punya anak atau familinya di Medan, Jakarta, atau di mana, meninggalkan kampung. Mereka tak kuat hidup di kampung. Tetapi yang paling kasihan orang- orang yang tidak punya siapa-siapa di luar Aceh, mereka tidak tahu harus ke mana.” “Kau sendiri kenapa tidak mengajak orangtuamu tinggal di Banda Aceh? Kan di sini relatif lebih tenang.” “Orangtuaku mana mau diajak meninggalkan kampung. Meski tak nyaman dan selalu dicekam ketakutan, mereka lebih senang berada di sana.” “Ya, memang soal pilihan. Tetapi mudah-mudahan orangtuaku tidak menolak.” “Mudah-mudahan.” “Kalau begitu, aku balik dulu ya,” katanya sambil menyodorkan tangan kepadaku untuk berjabat tangan sebagai tanda perpisahan. Kami berjabat tangan, setelah itu dia melangkah meninggalkan taman Rex. Tetapi, baru saja ia keluar dari komplek taman Rex, gerimis tiba-tiba mengepung. Kulihat dia tidak berhenti dan berbalik untuk berteduh, tetapi terus berjalan sampai hilang di belokan jalan. Gerimis seperti menelannya. Tak lama, gerimis pun berubah menjadi hujan besar. Lebih dari setengah jam baru hujan itu reda. Setelah reda benar, aku meninggalkan Rex dan berjalan kaki ke hotel yang tidak jauh dari situ. Sebenarnya, kalau tidak hujan, aku pingin berlama-lama di Rex. Aku yakin bakal bertemu sejumlah kawan di sana. Maklum, Rex tempat favorit bagi warga kota untuk bersantai atau nongkrong sampai dini hari. Masuk kamar, aku langsung ganti pakaian dengan baju tidur. Untuk mempercepat tidur, aku menyambar koran pagi yang tergeletak di tas meja. Aku hanya membuka-buka saja, halaman demi halaman, sambil membaca judul-judulnya saja. Menjelang halaman terakhir, mataku tertumbuk pada sebuah berita kecil di sudut paling bawah. Judulnya membikin jantungku berdebar kencang. “Mayat Suman Ditemukan Membusuk di Tengah Sawah”. Aku meneliti baris demi baris berita itu dan berharap bahwa Suman dimaksud bukanlah kawan baikku, yang baru saja bertemu denganku. Tetapi harapanku sia-sia. Dari semua ciri yang disebutkan, mayat itu adalah Suman. Ia mati dengan tiga lubang peluru tubuhnya. (*)
""Lelaki yang Ditelan Gerimis""
Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin. Tidak bisa. Aku ingin. “Tidak bisa…,” dan Warni melihat ratusan belatung, ribuan belatung, merayap melata ke arah mereka. Melata? Tidak, makhluk kecil basah menjijikkan itu lebih tampak seperti melayang (atau terbang?) dalam satu barisan teratur mirip selendang. Saat selendang itu bergerak sentak bagai dikibaskan, belatung-belatung itu berhamburan bersama percikan lendir. Dan Warni gelagapan. Tangannya sibuk: membersihkan lendir, mungkin juga belatung, yang menempel di wajah dan tubuhnya. Aku ingin. “Tidak!” dan Warni tersentak. Sadar. Dibukanya mata, nanar. Tak ada belatung. Tak ada percikan lendir. Ditolehkannya kepala ke samping dan menemukan tubuh kecil itu, Suci, anaknya, bergelung nyenyak dengan satu tangan menyelusup ke ketiak. Warni mengembuskan napas, lega. Tetapi, kalimat Suci itu, aku ingin, aku ingin, bagai masih menggema…. “Kupu-kupu itu indah ya, Bu?” “Ya, indah.” “Maukah Ibu menangkapkannya untukku?” “Tidak. Tidak boleh.” “Kenapa tidak boleh, Ibu?” “Kau lihatlah tubuhnya, sayapnya. Tipis dan rapuh. Ia bisa mati di tangan kita.” Suci terdiam. Sejenak. Mata bocah perempuan lima tahunan itu mengerjap- ngerjap bagai berusaha memahami kalimat Warni. “Kenapa di tempat kita sangat banyak, Bu?” “Apa yang sangat banyak?” “Kupu-kupu.” Warni-lah yang kemudian balas terdiam. Memang mengherankan. Kenapa di tempat seperti ini, di tempat yang sama sekali tak indah, di perumahan kumuh yang bagai terperosok ke rawa-rawa, bisa dilalulalangi begitu banyak kupu-kupu? Ataukah justru karena adanya rawa-rawa itu? Entah, Warni tak pernah memikirkannya. Atau lebih tepat: Warni tak sempat memikirkannya. Hal itu terlalu sepele. Terlalu sepele bagi hidupnya yang…. “Padahal, ulat jelek ya Bu?” “Apa?” “Ulat. Jelek. Kenapa bisa berubah jadi kupu-kupu yang indah?” “Eh,” Warni tertegun, “siapa yang memberitahumu?” “Memberitahu apa, Bu?” “Kupu-kupu, dari ulat.” “Bukankah Ibu?” “Oh…,” begitulah, Warni sering lupa. Ya, begitulah aku selalu lupa. Kenapa aku bisa melupakan banyak hal tentang dirimu, anakku? Sungguh tak ada niatku untuk begitu. Semua semata karena jejalan persoalan di kepalaku. O kalau saja kau mengerti. Kalau saja kau tahu. Apa yang terbayang olehmu, apa yang akan terjadi pada dirimu, kalau kau tahu beberapa waktu lagi kita mungkin bakal tak punya tempat tinggal? Kau lihatlah truk-truk sampah itu. Truk-truk sampah yang telah beberapa minggu ini tak henti datang membuang sampah ke rawa-rawa. Tahukah kau sampah itu sampah seluruh pelosok kota? Beratus-ratus ton, beribu-ribu ton setiap hari. Lihatlah, sampah itu menggunung, dan gunungan itu akan menjalar sampai ke mari. Tetapi konon kita takkan sempat melihat gunungan sampah itu menimbun rumah kita. Karena kata orang, saat itu, rumah kita telah digusur. Kau memang takkan mengerti. Dan memang tak perlu tahu. Bahkan, apa yang kau dapatkan dariku (malam-malam sunyimu, malam-malam saat kau kutinggalkan) adalah perlakuan tak pantas dari seorang ibu. Bermainlah, anakku. Bermainlah saja. Dan kupu-kupu… mungkin kupu-kupu itu memang diutus tangan-tangan suci menemanimu. Tetapi ah, truk-truk itu, sampah-sampah itu telah membawa air lindi, larva lalat hijau, dan belatung-belatung ke rumah kita. Dan semua makhluk menjijikkan itu telah mengusir makhluk indahmu: kupu-kupu. Maafkan aku yang tak segera menyadari itu. Maafkan aku yang lebih peduli pada air lindi yang menggenangi dapur, pada belatung-belatung yang merayapi lantai dan dinding, dibanding wajah sedihmu kehilangan kupu-kupu. Dan betapa, betapa aku baru terkejut ketika suatu hari, kemudian, bibirmu yang mungil menanyakan itu: Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Betapa aku…. Kenapa ya? Kenapa belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu? Huh! Coba kalau bisa. Tentu kupu-kupu yang kata Ibu telah pindah ke tempat jauh itu kembali ada. Huh, inginnya aku. Bukankah belatung itu seperti ulat? Kalau betul kata Ibu kupu-kupu dari ulat, tentu belatung juga bisa berubah jadi kupu-kupu. Ataukah Ibu bohong? Ataukah Ibu tak tahu? Mungkin sebenarnya Ibu tak tahu. Bukankah Ibu pernah berkata: banyak hal yang kita tak tahu. Ataukah mungkin Ibu lupa? Huh, Ibu memang pelupa. Bahkan, Ibu sering lupa pada apa yang dikatakan kepadaku. Kenapa ya? Apakah karena sudah tua? Ibu pernah berkata orang akan pelupa kalau tambah tua. Tapi Ibu belum tua. Tapi kadang Ibu memang tampak tua, kalau siang. Kalau senja, kalau Ibu sudah tukar pakaian, pakai lip dan bedak mau pergi kerja, Ibu tampak muda. Cantik. Bahkan, Oya pernah bilang padaku Ibu kupu-kupu. Bukankah itu karena Oya melihat Ibu indah? Tapi Oya memang baik, tidak seperti orang-orang tua dan ibu-ibu lain yang sering kasar kepadaku. Aku benci, aku tak suka pada mereka. Bagaimana kalau tak ada Oya ya? “Oya di sebelah. Teriak kalau ada apa-apa,” begitu selalu kata Ibu sebelum berangkat kerja. “Kau takut?” Aku menggeleng. “Tidak.” Aku tak takut, ada Oya. Ya, ada Oya, Warni menguatkan hati dan menutup pintu. Dipasangnya gembok, memastikan telah terkunci, lalu melangkah ke sebelah. Di rumah serupa-mirip gubuk juga-yang dibatasi hanya selapis tripleks, di situlah Oya: perempuan tua 70-an tahun, dengan kompor gorengan (kadang pisang, kadang ketela, ada saja) bagai terjulur dari jendela yang lebar dan rendah. “Titip ya Oya?” kata Warni menyerahkan anak kunci. Seperti biasa, titipan anak kunci itu juga berarti “menitipkan” Suci. Tanpa menoleh, seperti biasa pula, Warni melangkah jinjit di gang yang kini (air lindi itu!) selalu becek. Di mulut gang ia masih harus jalan kaki kira-kira empat ratus meter ke simpang jalan aspal tempat ia biasa naik ojek. Ia menepi, dan lebih menepi ketika iring-iringan truk itu lewat, memenuhi nyaris seluruh badan jalan yang sempit. Ia berdesah, iring-iringan truk sampah ini muncul hampir tiap sepuluh menit…. Telah siang. Warni turun dari ojek bagai melompat, membayar cepat-cepat, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke pintu rumah. Sial! Seharusnya kuturuti nasihat Asih, jangan sekali-kali melayani mahasiswa. Mereka suka aneh-aneh, tak ada uang, dan banyak maunya. Beginilah jadinya. Warni disekap semalaman dan baru dilepas ketika pagi. Padahal, biasanya, ia sudah pulang pukul tiga dini hari dan masih bisa tidur di sebelah Suci. Bagaimanakah reaksi Suci, ketika bangun, mendapatkanku tidak ada? Tetapi semua tenang-tenang saja. Bagai tak ada apa-apa. Apakah Suci belum bangun? Berkali-kali kunci cadangan Warni gagal membuka gembok karena terburu-buru. Ketika gembok berhasil lepas dan daun pintu ia dorong, Warni terkejut, terlompat surut. Kupu-kupu? Ya, kupu-kupu! Putih, kecil-kecil, belasan (o, bukan, puluhan!), keluar bagai menghambur dari dalam rumah…. Ada beberapa detik Warni terpana. Ketika perlahan kakinya ia langkahkan masuk, Warni lebih terkejut lagi. Kupu-kupu itu bukan puluhan, tetapi ratusan (atau mungkin ribuan!), memenuhi ruangan! “Suci…?” Buru-buru Warni melangkah ke bilik. Tetapi, di pintu bilik, ia kembali tertegun. Di situ, di lantai di pintu bilik itu, walau pandangannya terhalang oleh silang-selimpat kelebat kupu-kupu, Warni melihat ratusan (atau mungkin juga ribuan!) belatung bagai berbaris melata ke dalam bilik. Dan, di dalam bilik, barisan belatung itu… satu demi satu, langsung, tidak dari kepompong, berubah jadi kupu-kupu! “Betul kan, Bu? Lihatlah belatung bisa berubah jadi kupu-kupu.” Suara Suci itu…. Dengan kaki jinjit menguak belatung, dengan tangan menepis mengibas kupu-kupu, Warni melangkah mendekati tempat tidur. Dan, di situ, di atas tempat tidur, dalam keremangan bilik yang jendelanya masih tertutup, Warni melihat anaknya, Suci, tersenyum, menatapnya: dengan kedua bola mata merah, mencorong, menyala… bagai mata iblis dari neraka…. * Payakumbuh, 2004
""Belatung""
Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana. Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang. Kelas berapa dia sekarang? Waktu pertama kali meninggalkan Bandung, bukankah dia sudah kelas empat? Lalu kamu mau aku dan dia ikut ke New York. Aku tak menolak. Bahkan kalau kamu memintanya hari ini, aku tetap tak akan menolak: kita hidup bersama. Kemudian aku harus selalu terganggu dengan ingatan akan sebuah kisah cinta lamamu di dalam kereta bawah tanah karena setiap hari Sabtu kami ikut denganmu ke restoran milik si tua Meksiko. Kami duduk di meja paling sudut. Kita sudah sepakat untuk pura-pura tak saling kenal sampai waktunya pulang. Jam enam sore mulai ramai. Orang-orang memanggilmu dengan sebutan “the flea” karena gerakanmu yang begitu cepat seperti kutu loncat. Kamu sudah siap beraksi. Kami tak dapat lagi melihat rambutmu yang panjang di dalam slayer merah bercorak bintang-bintang kecil yang mengingatkan pada bendera Amerika. Seragam putihmu bertepi merah, seperti Indonesia? Ah, sentimentil imigran. Celemekmu tak membuat kesan feminin. Kamu tetap lelaki Portugis yang gagah. Dulu kamu orang Indonesia juga, sebelum Timor dilepaskan, dan akhirnya kamu melupakannya sama sekali. Kamu orang Portugis sekarang. Tidak denganku dan Nicole. Ah, kamu mulai beraksi. Membuat segalanya berlompatan di atas meja ajaibmu. Orang-orang bertepuk tangan. Tepuk tangan yang dingin, suara-suara yang beku. Aku menggigil. Nicole tak bisa menahan diri untuk tidak kencing. Keluar dari toilet, meja kami sudah ditempati orang lain. Kami mencari meja lain dan mendapat tempat yang lebih dekat dengan tempatmu. Kamu melirik sedikit sambil tersenyum seperti kepada semua orang. Ada yang pesan lobster rupanya, Chef? Semuanya kembali beterbangan. Lobster-lobster, bumbu-bumbu, pisau-pisaumu. Tapi semuanya segera kembali ke tempatnya lagi. Lalu pesanan tampak siap, dua lobster di sebuah piring besar. “Siapa yang tahu, mana lobster jantan dan mana lobster betina?” Suaramu yang kasar itu menerobos ke tengah-tengah keriuhan para pengunjung yang mengelilingimu dengan meja-meja di hadapannya. Nicole sudah mau meneriakkan bahwa yang kanan yang betina sebelum seorang lelaki gemuk berkoar-koar bahwa pasti yang kanan yang jantan. Tapi, aku mencegahnya dan mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mengapa yang kanan betina? Karena lebih merah dan lebih bungkuk, katanya. Aku tersenyum. Dia tidak. Dad belum menceritakan yang ini di rumah tadi, katanya lagi. Kukatakan barangkali sudah lama tak ada yang memesan lobster dan Dad tak mengira akan ada yang pesan lobster. Setelah semua orang menunjuk yang kiri dan yang kanan, sebagai yang betina dan yang jantan, secara bolak-balik berulang-ulang dan semuanya salah, ruangan makin ribut. Tiba-tiba kamu meletakkan lobster yang kiri ke atas yang kanan dan berkata sambil menunjuk yang atas: Ini lobster yang jantan. He’s always on the top. Kembali ribut. Lagi-lagi tepuk tangan yang dingin. Suara-suara yang beku. Aku menggigil lagi. Nicole ingin kencing lagi. Jam sepuluh adegan-adegan penuh aksi ditutup. Kamu mengenakan kembali kaus hitam tanpa lengan di balik mantel abu-abu yang tak pernah kamu kancingi. Rambut panjangmu kelihatan lagi. Seorang lelaki tegap menghampirimu dan berbicara denganmu dalam bahasa Spanyol. Aku tak mengerti seluruhnya. Aku hanya ingat “komo en suenyo” sampai sekarang, yang kalian ucapkan hampir bersamaan sambil memandang kepadaku dari jauh. Lalu kamu menghampiri kami. Nicole marah-marah atas adegan lobster. Kita berada dalam kereta bawah tanah lagi. Aku terganggu lagi dengan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah. Aku terdesak bayangan tentang Maraini. Apartemen ini tidak menyenangkan, Yoe. Kapan-kapan kita pindah, katamu. Mereka juga tidak senang pada kita. Enam bulan lagi kontrakku dengan Carlo selesai. Kita bisa pindah ke Manhattan, katamu lagi. Aku girang, tak mengira bahwa akhirnya aku tak pernah jadi pindah ke Manhattan. Berita-berita buruk berdatangan dari Indonesia. Kasus-kasus internasional hingga kabar Lydia meninggal. Kita tak bisa pulang. Tepatnya, kamu tidak mau. Musim sedang tak baik. Pergi-pulang bikin capek saja. Suatu hari Sabtu yang lain, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Aku duduk di sudut sendirian. Nicole sedang ikut perkemahan terakhir dalam musim panas. Orang-orang berkerumun mendekatimu dan berbicara dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjuk halaman satu koran-koran itu. Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul. Aku baru mau membaca ulang berita itu ketika kudengar kamu berkata dengan sangat defensif: Don’t ask me. I was in Malay. Dan tiba-tiba orang-orang itu menoleh ke mejaku. Jam sepuluh lebih empat puluh Sabtu itu, kita pulang dan kamu tidak berkata apa-apa. Dan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah jadi kelewat mengganggu malam itu. Masuk bulan Desember, segalanya makin kacau. Salju-salju menyiksa. Kamu tak pernah mengajak kami ke restoran. Merepotkan. Nicole mulai sakit-sakitan. Dan aku selalu disalahkan. Kita bertengkar hampir setiap malam. Sampai pada puncak yang pada waktu itu tampak jelas, tapi begitu kabur di kemudian hari, kita memutuskan bercerai. Soalnya, aku menambah rumit seluruh situasi yang ada. Pada saat itu aku begitu menyesal mengapa kita harus menikah, dulu. Bukankah lebih menarik kita tinggal bersama saja sebagai sepasang anak nakal? Tetapi mengurus perceraian di pengadilan luar negeri, terlebih untuk pasangan Katolik, sungguh menyiksa. Nicole semakin parah dan kita tak bisa egois untuk terus-terusan mengurus perceraian. Kuputuskan berpisah saja. Karena kutahu juga kewarganegaraanku menjadi beban tambahan buatmu. Aku tahu arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Aku tahu kenapa kau dan seorang lelaki tegap memperdengarkan “komo en suenyo” sambil memandang kepadaku. Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku pulang ke Bandung. Kita tak usah bercerai. Pada saat itu aku tak tahu mengapa merasa begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang. Aku sendirian. Tak bisa mengauskan perasaan menyesal. Dari atas, salju tak kelihatan. Bumi tak jelas berwarna apa. Burung-burung tak kelihatan-justru tak kelihatan di saat-saat kita sama-sama bisa terbang. Pesawat transit satu malam di Singapura. Aku menginap di Le Meridien, hotel yang ingin sekali kumasuki sejak kulihat foto seorang Maraini dengan sepatu bot duduk di tangga depannya. Aku pernah sesumbar akan berfoto di tempat yang sama dengan sepatu kaca. Ketika melangkah di atas tangga pertama muka hotel itu, aku ingin sekali berfoto. Tapi, aku tak mengenakan sepatu kaca dan jika tetap berfoto juga akan jadi sama saja. Tak beda dengan Maraini. Tak ada istimewanya. Kakiku dibungkus sepatu bot yang kasar. Tak ada yang istimewa. Tapi aku lupa harus tinggal di mana di Indonesia. Rumah di Dago sudah kita jual. Tapi aku sudah sampai Jakarta. Tak mungkin pulang ke Ibu-Bapak dengan tato salib di telinga kiri. Aku menginap di Hotel Indonesia satu minggu, kemudian mendapat kontrakan di Jalan Adam Jakarta Barat. Lingkungan yang berisik. Orang-orang Betawi yang kelewat riang. Aku mulai menulis lagi: pekerjaan yang paling tak kausukai. Tulisanku makin banyak dan makin sering muncul di surat kabar. Buku pertamaku belum juga terbit, padahal umur tiga puluh lima harus sudah mendapat nobel. Sekarang sudah tiga puluh dan hanya berguna untuk diundang membaca cerita dan diskusi. Di suatu kesempatan, dalam sebuah pesta pengarang, aku bertemu Dewi, kawan mainmu di Bandung dulu. Seperti yang sempat kita gosipkan malam-malam di tempat tidur, dia sudah jadi artis betulan. Tapi dia juga sastrawan sekarang, apa kamu tahu itu? Apa dia tahu siapa aku? Tidak. Dia tak tahu aku istrimu, bahkan dia tak akan pernah mengira aku pernah kenal denganmu. Kami berkenalan sebagai penulis. Malam itu aku tak pernah berada lebih jauh dari tiga meter darinya. Entah mengapa aku ingin terus-terusan berdekatan dengannya dalam pesta itu. Aku tak tahu dan tak peduli kalau dia akan jengah dengan tingkahku itu. Baru kutahu hari ini bahwa itu tak ada gunanya. Perang sudah dimulai lagi. Bangsa kita sudah tak punya muka. Bangsa lain menghabisi pribumi seperti Nazi mengganyang Yahudi. Malah lebih buruk dari itu. Yahudi, bagaimanapun, dianugerahi kepintaran yang lebih dari bangsa-bangsa lain. Tapi bangsa ini benar-benar parah. Beruntung aku seorang aktivis kebudayaan, peran yang membuatku bisa mendapatkan fasilitas komputer, telepon dan Internet di bekas kantor dewan kesenian yang sekarang jadi salah satu markas penjajah. Mereka mengharap aku bisa mendapat nobel di bawah pimpinan mereka. Tapi, ruangan tetap dijaga ketat tentara Sekutu. Ada dua komputer lain yang dipakai Chairil dan Arthur, penyair dari bangsa penjajah. Chairil diawasi betul, Arthur dan aku tidak karena aku pandai bicara dalam bahasa mereka. Di luar berisik suara tembakan dan teriakan. Yang berguna saat ini adalah mencari alamat Mom dan Dad, ketika kutahu kamu sudah kelewat sakit sebagai penderita pneumonia. Kamu belum sempat dan kini sudah tak mampu mencarikan kewarganegaraan yang aman buat Nicole. Mungkin, sama sepertiku, kamu tak pernah menyangka akan begini jadinya di sini, dan akan begitu buruk nasib orang-orang seperti aku dan anakmu di negeri mana pun hingga kamu lengah dan membiarkan ia berlama-lama menjadi pesakit seperti kami di sini. Siapalah yang mengira bangsa sudah mulai maju begini bisa dijajah lagi. Tapi, memang benar pepatah lama itu: masih ada langit di atas langit-apalagi di atas bumi yang jelek ini. Benar-benar tak menyangka. Kenapa tak kamu biarkan aku menjemputnya dan membawanya ke Mom dan Dad? Biar mereka bisa menganugerahkan kewarganegaraan lain buatnya. Beri aku alamatmu di Manhattan. Kudengar Mom orang Flores dan Dad orang Portugis tulen. Tapi kamu pernah bilang mereka menyukai Australia. Tempat kamu tumbuh setelah Timor dilepas. Tempat kamu dan Maraini bertemu di sekolah tinggi memasak. Aku tak tahu di mana kedua mertuaku itu. Aku bahkan belum pernah bertemu mereka. Apakah mereka di kampung halaman Portugis? Ataukah mereka selalu menyukai Australia dan tinggal di sana? Atau mereka merindukan Timor? Aku tak tahu. Tapi aku tahu, sekarang, mengapa aku begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Kubaca di mana-mana buku-buku Maraini. Dia sudah jadi penulis terkemuka di Italia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam sebelas bahasa. Cerita sindirannya tentang seprai kesayangannya yang akhirnya tak sengaja kubolongi dengan rokok diterjemahkan dan dikumpulkan bersamaan dengan karya Hesse, Maupassant, bahkan Borges dalam satu buku. Aku memang tak sehebat dia, tapi aku istrimu juga, bukan Elena pacar gelap suaminya dalam ceritanya. Tokoh “aku” dalam cerita itu hanya untuk menguntungkan posisinya. Aku ingin pulang ke rumah keluarga suamiku. Entah itu Portugis, Australia, Timor, atau apalah. Aku tak peduli siapa Marainimu dan darah daging siapa si Nicole itu. Aku tak peduli apakah perang yang kusebut-sebut itu benar-benar terjadi atau tidak. Kamu juga tak usah peduli, ya? Aku juga sebenarnya tidak yakin apakah sakitmu separah itu. Ups! Pokoknya kamu jangan peduli dengan semua yang kukatakan tadi. Jangan! Aduh…! Pokoknya di sini semuanya berantakan. Kalau kamu tak bisa menerimaku kembali, aku minta alamat Mom dan Dad, Yoe. Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Tapi aku serius butuh alamat itu. Juga Nicole, tentu. Aku hanya tak tahan sendirian dan tanpa pegangan. Tapi… Tapi kalau kamu memang tidak rela melepaskan Nicole, aku tetap bisa pulang kepada Mom dan Dad dengan copy surat nikah kita dari Vatikan, ’kan…? Yogyakarta, Januari 2004
""Como Un Sueño""
Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya. Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang. Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. “Apa yang harus kita lakukan, Bli?” “Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!” “Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni. “Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih. “Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.” “Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.” “Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!” “Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.” “Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.” Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya. Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu? Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura. “Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati. Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya. “Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.” “Lalu Meme ngomong apa?” “Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.” “Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.” “Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.” “Keluarga kita diundang?” “Tidak.” “Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.” “Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.” “Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!” “Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!” Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja. “Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas. Balai dipenuhi warga. Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan. “Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.” “Panen akan gagal lagi.” “Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?” “Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.” “Aku juga melihatnya.” “Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.” “Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.” “Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.” “Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?” “Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.” Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu. Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah. Tetua adat memasuki balaidesa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa. Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut. Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!” “Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balaidesa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah. “Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…” “Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?” Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat. Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah. Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!” Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balaidesa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balaidesa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balaidesa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat. Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak. Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota. Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah. Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig. Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan? Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri. Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih. Tiada cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya. “Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?” “Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!” “Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.” Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya. Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu. * Denpasar, 29 Januari 2004 Keterangan: Awig-awig: aturan-aturan adat yang diwarisi turun-temurun. Aben/ngaben: upacara pembakaran mayat Bli: abang, kangmas, kakak Benang tridatu: benang tiga warna (hitam, merah, dan putih) sebagai penolak bala. Caru agung: upacara besar/bersih desa untuk mengusir roh jahat, wabah, dan menetralkan desa dari pengaruh aib Jaba: luar. Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran. Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut. Klian: ketua Leteh: cemar, aib Leak: orang yang mempraktikkan ilmu hitam Meme: mama, ibu Paruman: rapat/sidang adat Pasupati: pemberkatan atau pengesahan senjata pusaka, awig-awig, melalui ritual khusus Pemangku: pemimpin upacara agama Hindu di Bali Siat peteng: perang malam bagi yang suka menguji kesaktian, biasanya perang tanding antarleak berupa benturan-benturan bola api di langit malam.
""Kembar Buncing""
“Sudahlah Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata,” kata Hilda, perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Herma yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna. Tetapi, teman-temanku bisa mewarnai wajah ayahnya, Ibu. Meskipun Niko melukis wajah ayahnya menyerupai harimau, tetapi dia bisa mengoleskan wara merah di kedua pipinya yang menggelembung,” suara Herma melayang, mendengung di telinga Hilda. Tak kehilangan akal, Hilda kemudian mengoleskan warna emas di wajah lukisan pria bersayap berkuda gagah itu. “Inilah wajah ayahmu. Dan Ibu harap kau tak bertanya lagi dengan warna apa harus mengoles wajah ayahmu.” Herma, perempuan kencur itu, tak puas. Sejak usianya mengelopak dan nyala sepuluh lilin di kue ulang tahunnya berkilau-kilau, dia memang berusaha menyangkal setiap cerita aneh tentang ayahnya. Karena itu, dia pun memprotes lukisan Hilda. “Itu bukan wajah, Ibu. Teman-temanku pun akan bilang, ’itu lukisan pria bertopeng!’ Bagaimana kalau wajah Ayah kuanggap berwarna biru?” desis Herma seraya menggambar kuda perkasa yang ditunggangi dua perempuan bersayap dan seorang laki-laki berwajah biru. Hilda tercengang. Kilau matanya melesat ke tubuh dua perempuan kuning gading yang melamun di punggung kuda yang tengah meringkik di atas buku gambar. “Apakah kedua perempuan itu: aku dan Mama Leli?” Hilda mendesah tak keruan. Herma mengangguk. “Mengapa seperti orang-orang bodoh yang suka melamun?” “Karena Ibu dan Mama Leli memang suka melamun. Tetapi sudahlah, Ibu tak perlu bertanya tentang mata kosong dua perempuan itu. Aku hanya butuh persetujuan Ibu untuk mengoles wajah Ayah dengan warna biru,” sergah Herma. Hilda menghela napas. “Ibu harus bilang apalagi? Yang jelas, kau atau aku tak bisa mereka-reka sesuatu dari kehampaan 2), Herma.” Herma pusing mendengar kata-kata ibunya yang meluncur seperti bola biliar yang disodok dengan kecepatan penuh. Meski demikian, sekali lagi Herma merasa perlu mendesak Hilda agar mengizinkan dirinya mengoles wajah sang ayah dengan warna biru. “Kalau tak diizinkan, aku akan minta Mama Leli mencipratkan warna hitam ke seluruh wajah Ayah,” kata Herma ketus. Mendengar letupan-letupan suara Herma yang bagai mercon cabai rawit, habislah kesabaran Hilda. Sambil memelototkan mata, perempuan beranting-anting warna magenta itu mencerocoskan sumpah serapah, “Dengar, Herma… mulai sekarang kau harus mengerti siapa ayahmu. Dia tak lebih dari kelelawar busuk yang suka bersembunyi bersama kelelawar busuk lain di dalam gua.” “Kelelawar busuk? Bersembunyi di dalam gua? Buat apa Ayah bersembunyi di dalam gua? Aku tak mengerti maksud Ibu,” ringkik Herma, setengah berteriak sehingga suaranya menenggelamkan dengung musik Der Mond Im Wassertropfen 3) yang mengalun dari kamar lain. O, tidak mungkin Hilda menjawab pertanyaan Herma dengan jujur. Karena itu, sambil terus-menerus menata meja belajar Herma yang memang berantakan dia hanya mendesah dalam hati, “Kenyataannya begini, anakku, pada musim yang busuk, Ibu memergoki ayahmu mengendarai mobil ke tenggara kota bersama perempuan lain. Asal kau tahu, melewati jalan penuh pinus yang berkelok-kelok, mereka berhenti di halaman luas sebuah gua saat senja melabrak sekujur bebatuan yang melumut. Tak banyak yang mereka percakapkan. Mereka hanya bergandengan tangan, saling memeluk, dan menuruni undak-undakan yang menghubungkan dunia luar penuh kicau burung dan dunia gua sarat kelelawar, kercik sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang menjalar bagai ular.” Merasa pertanyaan-pertanyaannya tak digubris, Herma merajuk. Dia cium kening ibunya dan mulai melontarkan rayuan yang mematikan, “Ayolah, Ibu. Kalau Ibu masih mau bercerita tentang Ayah, aku mau belajar terus. Aku mau membantu Ibu di dapur, memasak sup, menggoreng telor mata sapi, dan….” Hilda tetap bergeming. Dalam hentakan kendang Banjar Gruppe Berlin yang kian mencekik, pandangan matanya menerawang ke jendela. Dalam pikiran yang kian kalut, dia melolong-lolong lagi, “O, seandainya kau tahu apa yang dilakukan ayahmu dan perempuan itu, Herma. Seandainya dari kejauhan dan semak-semak yang rimbun kau bisa menyaksikan sepasang kekasih menuntaskan kasmaran yang menggelora di keremangan gua, kau akan memahami mengapa Ibu menganggap ayahmu tak lebih dari seekor kelelawar yang tak sanggup menyembunyikan kebusukannya.” Sekali lagi Hilda menghela napas. “Tetapi, tidak! Tidak! Dalam pandangan yang samar, kulihat mata ayahmu begitu tulus mencintai perempuan itu. Dan untuk cinta, tak ada kelelawar yang busuk, tak ada sunyi yang berkhianat, tak ada lumut yang meracun sukma. Maka, kurelakan mereka merahasiakan cinta yang kusangka busuk itu. Kurelakan mereka mereguk lendir cinta di kegelapan gua yang senantiasa dialiri oleh wangi kercik sungai itu.” Dan, karena kata-kata itu tak pernah membuncah dari bibir Hilda yang senantiasa dioles lipstik ungu, Herma menganggap Hilda tak bisa lagi diajak bercakap tentang ayahnya. Sampai saat itu, sampai Paul di compact disk melengkingkan desah, menatah kesengsaraan dunia…, Herma mengira kuda gagah itu menjelma putri cantik dan dengan mulutnya yang menganga melebihi lubang gua, dia mengisap sang ayah tanpa sisa. “Ayah hanya tersesat. Suatu saat dia pasti kembali, Ibu.” Suara Herma yang mencericit tanpa diduga itu membuat Hilda putus asa. Dan, itu menimbulkan energi dahsyat yang menyebabkan Hilda bergegas merapikan tempat tidur Herma dan menjawab segala pertanyaan anaknya dengan jawaban yang asal kena. “Baiklah, Herma… kau boleh mengoles wajah ayahmu dengan warna apa saja. Mau kuning, hijau, ungu, atau biru, Ibu tak akan mempermasalahkan lagi. Sekarang tidurlah! Tidurlah, agar kau bisa bangun pagi dan lebih awal bermain-main dengan teman-temanmu di sekolah.” Lalu percakapan pun terkunci. Diiringi lengking suara-suara aneh dalam Incantation yang melarat-larat, Herma pura-pura tidur sambil memeluk guling bergambar Harry Potter, sedangkan Hilda bergegas memasuki kamarnya sendiri, memasuki dunia sunyi bersama Leli. “Herma mulai mempertanyakan ayahnya, Leli. Dia menyangka kita tak akan mampu menatah kehidupannya dengan segala peluk dan penghiburan.” Leli tak menjawab. Teriakan-teriakan para pemusik dalam nada aneh dan asap rokok dari bibirnya yang merekah lebih menenggelamkan sukmanya ke negeri yang jauh, ke gua purba yang tak teraba oleh kesedihan yang paling perih sekalipun. Namun, Leli dan Hilda keliru besar jika menganggap Herma sudah mengembara ke alam mimpi. Sambil menggigit ujung bantal, dia masih mereka-reka warna ganjil wajah ayahnya. “Jangan-jangan wajah Ayah memang tak bewarna biru,” pikir Herma, “Jangan-jangan Ayah memang selalu mengenakan topeng kuning keemasan?” Karena pikirannya senantiasa mendengung-dengung di kamarnya yang bercat biru, dia tak menemukan jawaban memuaskan. Meski demikian, dia tetap mereka-reka wajah ayahnya hingga ingatannya melenting-lenting ke percakapan-percakapan seru bersama Niko di kolam belakang sekolah beberapa hari lalu. “Niko, mengapa kau olesi wajah ayahmu dengan warna merah?” tanya Herma saat itu. “Sebenarnya aku juga kesulitan menggambar wajah ayahku, Herma. Dia pergi sebelum aku bangun tidur dan pulang setelah aku nyaris terlelap. Yang jelas-jelas kutahu, setiap malam dengan tubuh sempoyongan, ayah menggoyang-goyangkan wajahnya yang selalu memerah.” “Dan, mengapa wajahnya kaugambar seperti harimau?” “Dengan suara menggelegar, dia selalu menjambak rambut ibuku. Setelah ibuku menangis sesenggukan, dia merokok di sudut ruangan sambil terus-menerus menenggak minuman langsung dari botol. Wajahnya terus memerah dan menyeringai seperti harimau, Herma. Dan, itu membuatku ketakutan setengah mati.” “Ibumu tidak melawan?” Niko menggeleng. “Ayahmu suka mengajak kau bermain sepak bola?” “Ya, dia juga mengajariku berkelahi, mengajakku menembak tikus di selokan-selokan, dan menendang anjing yang sedang menjilat-jilat kepala anaknya.” Saat itu ingatan Herma melenting-lenting ke wajah Leli. Leli juga suka merokok dan menenggak minuman langsung dari botol. Perempuan gagah itu juga kerap mengajarinya menendang bola keras-keras. “Mama Leli juga kerap mengajak aku dan Ibu berburu celeng ke tenggara kota. Malah kami juga sering diajak menembak dan mengacak-acak sarang kelelawar di gua-gua yang gelap.” “Kamu tidak takut?” Herma menggeleng. Gelengan itu di luar dugaan bisa menggigilkan Niko dan membuat bocah cilik itu tiba-tiba berdiri, meninggalkan Herma yang masih tafakur memandang gelombang transversal yang melingkar-lingkar di kebiruan kolam. “Aku benci Ibu. Aku benci Mama Leli. Mereka membuat teman-temanku takut bermain-main denganku,” pikir Herma. Dan, pikiran-pikiran berbahaya itu terus-menerus melenting-lenting di kamar malam itu dan kian membuat Herma tak bisa memicingkan mata. “Ibu pasti masih menyimpan wajah Ayah di album keluarga. Aku harus mencarinya,” desah Herma. Lalu perempuan kencur itu pun berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Karena takut kepergok, dia mengintip apa yang tengah dilakukan Hilda dan Leli dari lubang kunci. “Jangan-jangan mereka belum tidur?” Dan, benar… Hilda dan Leli memang belum tidur. Mereka tengah berpelukan. Berpelukan? Ya, tetapi dalam pandangan yang samar, Herma seperti melihat kedua perempuan itu saling menggigit. Dia kasihan kepada Hilda karena tampaknya Leli terus-menerus menjambak rambut ibunya. “Mengapa ibuku tak melawan? Mengapa wajah Ibu berbinar-binar? Mengapa mereka malah tertawa cekikan?” Pertanyaan-pertanyaan itu hanya melenting-lenting di kepala Herma. Karena takut kepergok, dia bergegas mencari album keluarga. “Ini dia!” desis Herma sambil setengah berlari ke kamarnya, “Tetapi, kenapa tak satu pun potret Ayah terpasang di album ini?” Cukup lama Herma membolak-balik album itu. Yang dia lihat hanya Hilda dan Mama Leli yang terus-menerus berpelukan di sembarang tempat di sembarang waktu. Kadang-kadang mereka tertawa-tawa di jalan-jalan sambil menggandeng dirinya. Ada pula foto Leli memanggul senapan sambil menyeret bangkai celeng. “Jangan-jangan wajah Ayah disembunyikan Ibu di dalam gua,” pikir Herma. Karena itu, dia pun mencari foto-foto yang mengabadikan keindahan gua-gua di tenggara kota. Tak ada sepotong wajah lelaki terpampang di album warna pink itu. Sayang sekali, di tengah-tengah kesuntukan mencari wajah ayahnya yang mungkin tersembunyi di dalam gua, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Kau belum tidur, Herma? Kalau tak tidur, Pangeran Kelelawar 4) akan mencekikmu!” suara Leli menggelegar. Herma tak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara kercik shower membelah keheningan malam. Kercik yang senantiasa dia dengar setelah Hilda dan Leli mendesah-desah tak keruan sambil mendengarkan lagu-lagu mistis yang dinyanyikan Paul Gutama, Deep Forest, atau Sarah Brightman. HARI itu Herma tak ingin masuk sekolah. Leli sebagaimana biasa telah berangkat ke kantor mengendarai jip merah yang suara knalpotnya melengking-lengking sehingga menyebabkan sayap-sayap burung kenari yang dipelihara di teras rumah seakan-akan rontok. Hilda belum bangun. Biasanya, sebentar lagi dia bangkit dari ranjang, menyalakan tape recorder, bersenam, dan setelah itu mengetuk kamar Herma keras-keras. Karena tak ingin didera suara-suara yang sangat dibenci, kali ini Herma bergegas menyusup ke kamar ibunya. Tahu ada yang berjingkat-jingkat ke ranjang, Hilda mendadak membenahi selimutnya. Rupa-rupanya dia masih telanjang. “Pukul berapa, Herma?” Herma tak menjawab. Jari telunjuknya yang mungil menunjuk jarum jam dinding warna merah jambu yang telah menunjuk ke angka delapan dan dua belas. “Ya, Tuhan, mengapa tak kau bangungkan Ibu? Mengapa tak meminta Mama Leli mengantar ke sekolah?” kata Hilda sambil melilitkan selimut hingga ke bahu. “Aku tak ingin membuat teman-temanku ketakutan melihat Mama Leli, Ibu.” “Takut? Mengapa harus takut?” “Niko bilang wajah Mama Leli seperti serigala.” “Dan, kau yakin wajah Mama Leli seperti serigala?” Herma menggeleng. “Syukurlah. Tetapi, mengapa kau menggigil, Herma?” “Aku mendengar suara aneh dalam tidurku, Ibu.” “Suara dalam tidur? Suara siapa?” “Mungkin Ayah. Mungkin hantu. Ia muncul dari buku gambarku.” “Ibu juga pernah mendengar suara-suara semacam itu. Kau tahu apa yang terjadi setelah suara-suara itu mengganggu tidur kita?” Sekali lagi Herma menggeleng. “Setelah itu Ibu mendapat surat dari ayahmu,” Hilda berbohong. “Aku juga akan mendapat surat dari Ayah?” “Ya, kau akan membacanya sampai senja tiba, sampai kau bisa mengoles warna paling pas untuk wajah dia di buku gambarmu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Tunggulah sampai Pak Pos mengetuk pintu.” Tak ada cara lain kecuali menipu Herma, pagi itu Hilda bergegas ke kantor pos. Dengan merengek-rengek, dia meminta seorang pengantar surat agar bersedia mengirimkan secarik surat dalam amplop biru ke Jalan Anyelir 205, ke rumah mungil yang dia tempati bersama Herma dan Leli. “Dalam surat yang kusemprot parfum paling wangi itu, aku telah menyertakan foto ayahnya. Katakan kepada anakku, surat itu berasal dari ujung angin.” “Ayahnya? Dari ujung angin?” desah pengantar surat itu setengah bingung setengah takjub. “Ya. Maaf… aku dan ayah Herma telah bercerai dan kini tak kutahu di mana suamiku tinggal. Jadi, katakan saja dari ujung angin atau kota yang jauh. Sampean tak keberatan bukan?” Pengantar surat itu tercenung. Namun, dia sungguh-sungguh tak bisa menolak rengekan Hilda. “Tolonglah… dia sangat merindukan ayahnya,” desah Hilda memelas. Begitulah, saat Hilda sibuk dengan dunia sayur-mayur di pasar, pengantar surat itu memacu sepeda motornya ke Jalan Anyelir. Masih takjub menimang-nimang surat, dia memencet bel di pagar bermotif daun-daun pisang yang menghijaukan rumah itu. “Jalan Anyelir 205? O, bukan, bukan. Seingatku aku harus memberikan surat ini ke rumah nomor 207 atau 209. Ah, mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi pria pikun?” pikir pengantar surat itu seraya menyesali kebimbangannya. Namun, bel telah berbunyi dan menyebabkan Herma berlari ke beranda. “Surat dari Ayah?” teriak Herma kegirangan. Tak ada jawaban. Pengantar surat itu merasa telah melakukan kesalahan. Tak ingin keliru, dia berharap bertemu Hilda atau siapa pun yang menitipkan surat beramplop biru yang sangat harum itu. “Ibumu ada di rumah?” Herma tak segera menjawab. “Maaf, apakah ibumu ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi. “Ibuku?” lenguh Herma dalam nada tercekik, “Ibu Hilda atau Mama Leli?” Mendengar pertanyaan balik Herma yang dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….” Herma hanya menunduk. Hanya merasakan angin dari ujung angin berhenti berembus. Lalu, sambil menyaksikan pengantar surat itu melesat seperti pria bertopeng emas dengan sayap di bahu menunggang kuda gagah ke tenggara kota, dia menggores-goreskan jari telunjuknya ke tanah basah; membentuk wajah tanpa rupa, tanpa mata, tanpa jiwa…. Apakah pengantar surat itu juga akan kehilangan wajahnya, Ibu? Semarang, 2003 Catatan: 1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta. 2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta 3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia. 4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.
""Angin dari Ujung Angin""
Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta. Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan. Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera terbentuk oleh baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan malam segera datang. Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah kurindukan bau ini. Datangnya musim penghujan membikin kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja. Maka kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar, tapi selalu saja tiba. Di setiap kemarau sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera. Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya. Kedua tanganku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku bak pemain sirkus, mesti menjaga keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair berlumpur-lumpur. Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu. Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja harganya 20 ribu! Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri. Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya. Untungnya, kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu sepertiku bersepatu. Aku pun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit itu. Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan berharap, tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur lepas pergi dan asar hampir menjemput. Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, “Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.” Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orangtua seperti anak-anak kepala dusun itu?” Maka aku pun menjawabnya. “Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat.” “Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung. “Ada undangan penting dari kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah kata pun. “O ya…” Aku membuntutinya. “Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer sekecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan.” Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti. Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran inilah hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi desa. Memimpikan panen, padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti datang karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali. Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum itu. “Kang, jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun,” Anah mengingatkanku ketika setengah badanku sudah tertelan pintu, hendak pergi. “Ya.” Sepulang dari kecamatan, aku memang harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek, tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apa pun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang- orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat. Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah. Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang lebaran. Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar 75 ribu setiap bulan. Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari. Anah-lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apa pun yang kami peroleh. Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup sajalah kami tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur. Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten. Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan teka-teki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku, tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya. Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan telantar. “Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima. Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di undangan. Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya. Setelah kulipat-lipat badan, menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas undangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula. “Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang yang berseragam coklat muda tiba-tiba setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti. “Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!” Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati Bupati? Tapi mata tak bersahabat orang- orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak- pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah. Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu tersenyum. “Syukurlah Kang. Syukur.” Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan guru- guru honorer. Dimulai dari yang penting. Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut keterampilan-keterampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri. Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat. Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya-kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti mendorong-dorongnya untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke arahku. Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku. “Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke sini.” “Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya.” Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur. Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas, kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa depan dunia pendidikan yang lebih baik. Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasang sepatu. Columbus, 2004 Keterangan: (1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam. (2) SPG adalah Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah dasar ini sekarang sudah dilikuidasi pemerintah. (3) Guru Wiyata Bakti adalah sebutan resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer yang bukan pegawai negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh honor ala kadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban (yang diabaikan) dari pemerintah daerah. (4) Pernyataan bahwa sekolah adalah tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi “orang–orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat,” adalah kutipan pernyataan Mr Kuroyanagi, pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termasyhur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.
""Sepatu""
Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana. Pengamen-pengamen asal Puerto Riko asyik menyanyikan lagu-lagu tradisional mereka. Lagu-lagu tentang semangat kerja rakyat petani. El Cantar de un Campesino (A Farmer’s Song), Mi Jaragual (My Little Farm), meluncur mendayu-dayu diiringi dansa-dansa yang amat indah. Beberapa orang berkerumun untuk mendengarkan. Ada juga yang membeli kaset hand made-nya seharga 10 pesetas. “Como estas, hoy, Elena?” “Bien. Muy bien, Pedro.” Seorang pria duduk di sebelahnya. Sebuah tongkat kayu dari pohon ek berada di tangannya. Ia setua si wanita. Kepalanya botak. Berkilat-kilat kena cahaya lampu yang mulai dinyalakan. Si wanita mencium aroma wewangian dari tubuh si pria. Kesegaran menjalari seluruh tubuhnya. “Apakah mereka sudah menyanyikan Cantandole a lo Nuestro?” si pria bertanya. “Aku selalu menyukai lagu itu.” Si wanita tersenyum. “Belum. Kau bisa memberinya beberapa pesetas dan meminta mereka menyanyikannya untukmu.” “Untuk kita.” Tersenyum, tangan si wanita memegang tangan si pria. Bara cinta meletup di dadanya. “Ya, untuk kita, Pedro,” katanya. Sesaat ia diam. “Aku baru saja mendapatkan cucu ketiga,” kata si wanita beberapa saat kemudian. Suaranya datar. Matanya menatap ke pengamen obor api yang memasukkan dan mengeluarkan obor berapi di mulutnya. “Una hija. Muy bonita.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan sekulum senyum. Si pria menoleh. “Siapa orangtuanya?” ia bertanya. Suaranya lirih. Ada nada pedih. Seperti ada beban yang menindih. “Si bungsu. Julia.” Si pria menarik napas. Tanpa berkata. “Kau tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Pedro? Por que?” si wanita menoleh, memandang laki-laki di sebelahnya itu. Ia masih tampan seperti dulu, si wanita membatin. Ia menyembunyikan sukacita di hatinya. Api cinta bergejolak di dadanya. “Kau ingin aku mengatakan apa? Aku turut bahagia dengan segala anugerah yang kau terima? Begitukah?” “Setidaknya kau bisa berkomentar apa saja, Pedro. Kau bisa pura-pura bahagia. Demi aku.” Malam terus merayap. Matahari sebentar lagi akan lenyap ditelan Bumi. Begitulah selalu di Spanyol. Di musim panas, matahari seolah enggan buru-buru berhenti menyinari Bumi. “Bagaimana kabar Raul? Apakah ia bahagia dengan Bettina?” si pria bertanya. Di wajahnya lintasan kebahagiaan berpendar-pendar. Ia menunggu jawaban si wanita dengan dada berdebar. Tak sabar. “Raul sering kali menanyakanmu. Ia selalu merindukanmu.” Mendadak si pria tersenyum getir. Dalam benaknya, wajah Raul bergulir. Seorang pria tinggi besar yang hampir saja tewas karena serudukan banteng di gelanggang matador di La Monumental de Barcelona. Itu yang membuatnya berhenti sebagai torero, meskipun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin sekali menjadi seperti Pedro Romero, matador legendaris yang amat masyhur, yang selalu dielu-elukan penonton dalam setiap pertunjukan. Si pria melirik si wanita. Tangannya masih dalam genggaman tangan si wanita. Api cintanya membara. “Aku sebenarnya menginginkan ia menjadi pemain sepak bola,” katanya dengan sunggingan senyum tertahan. “Kalau ia menuruti kata-kataku, mungkin saat ini ia tengah bertanding di La Liga bersama Raul Gonzalez. Akan ada dua Raul di sana. El Merengues selalu jadi tim kebanggaanku meski aku orang Basque. Aku tak ingin ia berada di Nou Camp. Aku cuma ingin ia berada di Santiago Bernabeu.” Si wanita tersenyum. Tangannya masih juga memegang tangan si pria. Ia tahu Pedro tak ingin Raul berada di Nou Camp. Stadion kebanggaan pendukung El Barca itu terlalu banyak tahu tentang mereka. Di sanalah ia dan Pedro pertama kali bertemu ketika Barcelona dikalahkan Liverpool dalam suatu pertandingan tingkat Eropa >jmp -2008m<>h 6024m,0<>w 6024m<1)>jmp 0m<>h 8000m,0<>w 8000m< 26 tahun lalu. Pedro datang dengan segala atribut El Barca. Begitu juga Elena. Dalam sekali pandang, cinta mereka bertaut. Di dada mereka bunga-bunga cinta membalut. Jantung keduanya serasa lebih cepat berdenyut. Dua tahun Elena dan Pedro bahu-membahu sebagai pendukung Barcelona sampai kemudian cinta mereka dipisahkan oleh takdir, sama seperti El Barca yang dua tahun sebelumnya disisihkan klub sepak bola dari tanah Inggris itu. Cinta memang tak selalu mempertautkan raga meski jiwa mereka takkan terpisahkan oleh apa saja. “Kukira sudah terlalu malam,” kata si pria kemudian. Suaranya agak parau. “Sudah saatnya kita berpisah. Aku pamit.” Si pria bangkit. Mengecup kening si wanita. “Buenas noches, Elena. Hasta luego.” Si wanita tersenyum. “Pedro,” katanya, menghentikan langkah si pria. “Te amo.” “Mi, tambien.” Tak ada yang berubah di Las Ramblas. Pejalan kaki tetap berseliweran dari pagi sampai pagi. Ada yang santai, ada yang dalam gegas. Para pengamen berdiri di sisi jalan dengan kesabaran tanpa batas. Semuanya mempertontonkan kelebihan masing-masing seraya berharap ada pejalan kaki yang rela menyisihkan uang recehnya beberapa pesetas. Mereka tak menadahkan tangan. Mereka menjual kepandaian. Ada yang berperilaku seperti manekin hidup dengan tubuh berbalut semacam cat putih dan baru mengubah posisi mematungnya manakala seseorang melempar uang receh pada sebuah wadah di depannya. Kelompok penyanyi Puerto Riko juga tetap setia membawakan lagu-lagu rakyatnya di depan sebuah toko yang menjual berbagai macam majalah dan koran. Elena, si wanita berambut keemasan itu, juga tetap setia duduk di kursi yang kemarin didudukinya. Entah ini hari ke berapa ia berada di sana. Ia belum pikun untuk menghitung masa. Tapi, ia memang tak ingin menghitung. Ia khawatir hitungannya terhenti pada bilangan tertentu. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya seperti yang ia inginkan sendiri. Tanpa terikat apa-apa. Seperti juga hari-hari sebelumnya, Pedro, si pria tua itu, muncul belakangan. Dengan tongkat di tangan. Yang diketuk-ketuknya perlahan-lahan ketika ia berjalan. Tanpa tongkat itu pun ia sebenarnya masih bisa bertahan. Tongkat dari kayu ek itu lebih hanya sebagai teman. Yang membuat langkahnya terasa lebih ringan. “Buenos dias, Elena,” katanya begitu tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sebelah si wanita. “Buenos dias,” Elena tersenyum sumringah. Kesejukan di hatinya singgah. Di dadanya rasa nyaman merambah. Sisa-sisa api cinta berpendar-pendar di matanya yang cerah. “Kau sehat?” si pria bertanya, seperti coba mencari topik pembicaraan di sore yang juga cerah. “Seperti yang kau lihat. Sejak dulu matamu selalu bagus, bukan?” si wanita menjawab. Tanpa menoleh. Sepasang muda-mudi kemudian duduk di kursi di depan di seberang mereka. Dengan es krim di tangan mereka. Si pemudi menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemuda. Si pemuda menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemudi. Lalu, keduanya bersama-sama menggigit es krim di tangan si pemudi dalam waktu bersamaan. Lalu mereka tertawa-tawa berkakakan. Mereka seolah cuma ada berduaan. Mereka tak peduli dengan pejalan kaki yang berseliweran. Si wanita tersenyum. Si pria tersenyum. Keduanya teringat masa-masa lalu yang indah di Plaza Montjuic di bawah tempias air mancur yang meloncat-loncat seiring dentuman drum dari simfoni-simfoni klasik gubahan Beethoven entah berapa waktu lalu. Ketika cinta tengah membuat mereka mabuk. Ketika saling memberi dan menerima merasuk. “Kau masih ingat ketika itu aku meringis, bukan?” si wanita menoleh. “Ya, katamu gigimu sedang sakit. Bukankah kau sakit gigi waktu itu?” “Bukan sakit gigi. Sariawan membuat gusiku peka.” Kenangan-kenangan indah bermunculan susul-menyusul memenuhi benak mereka manakala mereka tengah duduk berdua seperti sekarang ini. Selain Nou Camp, sudut-sudut Plaza Montjuic jadi saksi abadi keabadian cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu dan perubahan. Ketika mereka saling memagut dalam alunan cinta yang kian bertaut. Ketika kelana cinta mereka menari-nari dalam sinar mercury yang remang. Saat itu mereka yakin takkan ada yang mampu memutus tali dan jalinan kasih mereka, setelah setetes benih juga tersemaikan dalam sebuah romantisme kasih tak terperi. Tapi, takdir itu kemudian datang memisahkan mereka. Elena harus menikah dengan pria lain pilihan ayahnya. Tak pernah terbayangkan hal itu dapat terjadi. Demi sebuah bisnis keluarga, Elena, si wanita terkasih, disujudkan kepada laki-laki yang tak dicintainya. Dan keduanya pun kemudian berpisah dalam dekap penuh tangis di sebuah kamar hotel tua di sisi pedestrian Las Ramblas ini. Wajah mereka basah oleh air mata dan tetes-tetes cinta. Hampir dua puluh delapan tahun peristiwa itu berlalu. Dan kini alam mempertemukan keduanya kembali. Dalam tubuh yang renta, cinta mereka tetap bergelora. Dalam tubuh renta mereka, api kasih masih panas membara. Masa tak mampu memupus dan memudarkan hasrat mereka untuk tetap bersama. Api cinta mereka memang terpendam. Tapi tak pernah padam. Cinta mereka memang terbelenggu. Tapi kasih mereka tak dilekangkan oleh perubahan dan waktu. “Kau mencintai istrimu, Pedro?” si wanita bertanya. Si pria menoleh. Inilah untuk pertama kalinya pertanyaan seperti itu meluncur. Setelah sekian lama mereka kerap bertemu dan saling mencurahkan isi hati yang pernah hancur. Haruskah aku menjawabnya secara jujur? Si pria bertanya dalam hati. Jika aku berkata jujur, apakah hatinya takkan hancur? Ia kembali mengetuk hatinya dengan pertanyaan penuh keraguan. “Almarhumah istriku?” ia mencoba mengulur. Sambil coba mencari jawaban yang paling tepat. Yang takkan melukai hati si wanita di sisinya. Wanita yang dulu selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Si wanita menoleh. Melemparkan senyum. Dengan bibir yang masih tampak ranum. Setidaknya di mata si pria yang kian rabun. Tapi, senyuman itu sekaligus membuat si pria gelisah. Membuat hatinya resah. Dan ia merasa keringat telah membuat telapak tangannya basah. Embusan angin membuat hatinya makin galau. Di dadanya menggumpal rasa risau. Pedihnya seperti tertusuk-tusuk sejuta pisau. “Setidaknya aku punya anak dari Evita,” suaranya parau. “Aku mencintai anak-anakku. Pablo dan Javier.” Ia diam sejenak. Sesuatu seperti membuat tenggorokannya tersedak. Ketika ia melirik si wanita, ia melihat angin membuat rambut si wanita tersibak. Dan ia seperti menunggu. “Apakah, apakah kau mencintai suamimu?” ia bertanya setelah mengumpulkan segenap keberanian. Si wanita tertawa kecil. Suaranya agak menggigil. “Mengapa kau tertawa, Elena?” si pria bertanya. “Seperti kau, dari Enrique aku punya Julia.” “Dan Raul.” “Kau tak ingin mengatakan Raul sebagai anakmu?” Si pria tak segera menjawab. Seolah ingin membiarkan pertanyaan itu menguap. “Kau masih mendengarkan aku, Pedro?” “Ya,” tenggorokan si pria terasa kian tercekat. “Raul mungkin darah dagingku. Tapi ia anakmu dan Enrique.” Malam merayap naik. Udara dingin kian terasa menusuk tubuh mereka yang renta. “Aku pulang dulu, Elena,” kata si pria mendahului setelah seorang pemuda meluncur di depannya dengan sepatu roda di kakinya. Elena bangkit. Pedro pun bangkit. Ia mengecup kening si wanita. Lalu melangkah ke arah utara. Si wanita melangkah ke selatan, ke Plaza de Catalunia. HARI berikutnya, keduanya bertemu di Plaza de Toros La Monumental de Barcelona, sebuah bangunan tua yang tetap terawat dengan sangat baik. Keduanya memang selalu menyukai aksi para torero dan matador membunuh banteng. “Kudengar makin banyak yang menentang pertunjukan seperti ini,” kata si pria ketika keduanya duduk di kursi dari kayu tua di barreras. “Kelihatannya memang tak manusiawi. Tapi alam diciptakan Tuhan untuk manusia. Makhluk-makhluk lain adalah pelengkap. Mereka harus menjadi bagian yang membahagiakan manusia.” “Itu katamu,” si wanita menyunggingkan senyum ketika para paseillo memasuki arena dan melambaikan tangan mereka kepada para penonton. Sejak kecil, si wanita selalu dibuat kagum oleh pakaian para torero yang berwarna-warni. “Mereka, para pencinta lingkungan dan binatang, menginginkan semua makhluk hidup, hidup berdampingan secara damai.” “Tapi ini tradisi kita,” si pria membantah. “Aku tahu. Dan kita ke sini bukan untuk berbantah-bantahan, bukan? Kita ke sini untuk menonton.” Si pria terperangah oleh suara si wanita yang terdengar getas. Ia masih seperti dulu, si pria membatin. Ia ingat ketika pertama kali memasuki La Monumental de Barcelona sebagai sepasang kekasih. Elena menolak duduk di barreras karena harga tiketnya mahal. Ia lebih suka duduk di gradas. Tiketnya paling murah. “Kalau kau mau duduk di sana, silakan kau duduk sendiri. Aku mau kita di gradas,” katanya ketika itu. Buru-buru si pria meraih tangan kanan si wanita dengan tangan kirinya. Menggenggamnya erat-erat. Seperti tak ingin terlepas. Seorang novilladas memasuki arena. Siap memulai pertunjukan. Tepuk tangan kecil terdengar. Begitulah selalu nasib para matador pemula. Ia harus lebih dulu mempertontonkan kecekatannya menguasai seekor banteng sebelum kemudian diakui menjadi torero dan akhirnya setelah kemampuannya teruji, menjadi matador sesungguhnya. “Siapa matador kesukaanmu sekarang?” si pria berdehem sesaat kemudian. “Seperti cintaku padamu, sampai sekarang aku masih lebih menyukai Pedro Romero.” “Tapi ia telah tiada.” “Karena itu, hari ini aku ingin melihat aksi Enrique Ponce.” “Enrique?” Si wanita menoleh. Tersenyum penuh arti. “Jangan seperti anak kecil, querido mio. Tak ada hubungannya dengan Enrique almarhum suamiku. Aku menyukainya karena kehebatannya, bukan karena namanya. Saat ini tak ada Enrique dalam batinku.” Enrique Ponce memasuki arena. Ia akan memuncaki pertunjukan siang itu. Tepuk tangan membahana ketika ia keluar dari puerta grande. Tepuk tangan kian membahana ketika seekor banteng besar seberat 360 kg dihadapkan kepadanya. Dan, ia tak perlu berlama-lama untuk menancapkan estoque-nya melalui leher bagian atas si banteng yang kemudian perlahan-lahan seperti bersujud di hadapan sang matador. “Ia seperti memiliki mata malaikat,” si wanita berkata, seperti mendesah. “Ia memang luar biasa. Suatu saat ia mungkin bisa seperti Pedro Romero, sang legendaris itu,” sambung si pria. Kini keduanya duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari besi di sisi jalan tak jauh dari Plaza de Toros. Matahari bersinar amat cerah. Langit tampak kebiruan. “Aku tak ingin semua ini segera berakhir,” si pria berkata, ditingkahi suara burung-burung hoopoe dari kejauhan. “Tapi hidup ada batasnya,” sahut si wanita seiring desiran dedaunan pohon palem yang ditiup angin. “Kau ingin kita menyudahi semuanya, Elena?” Tak terdengar sahutan. Mata si wanita menatap ke kejauhan. Di sana tampak empat pria tua asyik bermain petanque, yaitu permainan melempar besi berbentuk bulat seperti bola lontar martil. “Kau ingin aku menikahimu?” si pria kembali bertanya. Si wanita meringis. “Akan menjadi pernikahan yang menarik,” ia mendesah beberapa saat kemudian. “Tapi Raul tak ingin hal itu terjadi.” Si pria tampak terperanjat. “Sudah kau ceritakan siapa aku kepadanya?” si pria bertanya. Menduga-duga. Rasa galau berloncatan di dadanya. “Tidak seperti yang mungkin kau sangka. Baginya, kau cinta pertamaku. Ia tahu apa itu artinya.” “Tapi, kenapa ia tak setuju kita menikah?” Tak segera terdengar sahutan. “Aku tak ingin tahu alasannya. Aku cuma tahu ia tak setuju.” Lama keduanya terdiam. Hening menyungkup kamar itu. Si pria duduk memandang si wanita. Ada gelora cinta. Menggemuruhi dada keduanya. “Kau masih secantik dulu,” katanya lebih mirip desahan. Suaranya agak tertahan. “Cintaku tak pernah dilekangkan oleh zaman.” Setetes air bening menetes di mata si wanita. Tak ada luncuran kata. Ia tetap diam tanpa suara, beberapa lama. Tapi di dadanya kebahagiaan melanda. Si pria berdiri. Melangkah perlahan menghampiri. Si wanita duduk diam menanti. Dadanya berdegup tiada henti. Beberapa lama si pria dan si wanita duduk dalam diam. Keheningan mencekam. Tapi gemuruh cinta di dada keduanya berdentam-dentam. Lalu, ruangan itu gelap. Dalam gelap, si pria menatap bebukitan tandus tapi memberinya gairah meluap. Si wanita tergagap. Dalam gagap ia menemukan sepucuk tunas tumbuh. Gairah di dadanya pun meletup. Jantungnya kian kencang berdegup. Dalam kepasrahan ia membiarkan si pria pergi. Mendaki. Mendaki dan mendaki. Sampai kemudian semuanya berhenti. Dalam sunyi abadi. Raul, Julia, Pablo, dan Javier berdiri berjajar. Dengan baju serba hitam. Di hadapan mereka berjajar dua tubuh dalam diam. Dalam peti berbalut kain hitam. Sebentar lagi prosesi pemakaman dilakukan. “Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi,” kata Pablo. Kalimat itu ia tujukan buat Raul dan Julia. “Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang dapat dipersalahkan,” kata Raul dengan wajah tetap tertunduk. “Mereka pergi membawa cinta abadi mereka,” kata Julia lirih. Tak ada yang menyahut lagi.* Jakarta, Februari 2004 Catatan: Como estas, hoy? Apa kabarmu? Bien. Muy bien, baik, baik sekali. Pesetas, nama mata uang Spanyol. Una hija. Muy bonita, seorang anak perempuan. Cantik sekali. Por que? Kenapa? Torero, sebutan umum untuk matador. Matador, bintang dalam pertunjukan matador. Tingkatannya di atas torero. La Liga, divisi utama Liga Spanyol. El Merengues, julukan klub sepak bola Real Madrid. Nou Camp atau Camp Nou, kandang klub sepak bola Barcelona. El Barca (baca El Barsa), julukan klub Barcelona. Buenas noches. Hasta luego, selamat malam, sampai jumpa. Te amo, aku cinta padamu. Mi, tambien, aku juga. Buenos dias, selamat siang. Plaza de Toros, tempat pertunjukan matador. Paseillo, parade para matador sebelum pertunjukan. Barreras, kursi terdepan (termahal). Novilladas, matador pemula. Gradas,tempat duduk paling tinggi. Querido mio, sayangku (My dear). Puerta grande, pintu utama. 1) Barcelona kalah 0-1 dari Liverpool dalam pertandingan semifinal Piala UEFA second leg pada 30 Maret 1976.
""Cinta Elena & Pedro""
Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu. (Tempat resepsi pernikahan yang paling bergengsi di Kota Malang). Mereka akan memakai adat Malangan secara lengkap. (pengantin perempuan yang sangat menyukai warna ungu) akan menikah dengan Indra teman kuliahnya di Fakultas Teknik UB. Perjodohan mereka dianggap sangat wajar, Indra dan Luke punya status sosial yang sangat sejajar. Indra adalah anak usahawan yang berada di Jakarta. Konon, bapak Indra seperti dongengnya Cinderella, melihat Indra yang belum juga pacaran, mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan mengundang beberapa gadis pilihan untuk menjadi pacar Indra. Luke menjadi calon mantu yang paling favorit bagi keluarga Indra. Penduduk kota ini menganggap mereka akan menjadi pasangan yang serasi! Umur mereka sudahlah pantas untuk menjadi pasangan muda yang bahagia. Teman-teman dekat Luke maupun Indra tidak melihat cela yang akan terjadi di antara hubungan mereka. Menurut teman dekat Indra maupun Luke, Luke dan Indra pasangan yang sangat senang anak-anak. Luke mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru play group. Oleh karena itu, sering mereka melihat Indra dan Luke bersama anak didiknya bermain-main dengan gembira. Mereka jarang bertengkar, terlampau banyak kesamaan antara Indra dan Luke, mulai dari selera makan sampai mengisi waktu luang. Kalau toh ada pertengkaran rasanya tidak akan pernah saling melukai. Sesungguhnya, sebelum acara pernikahannya, pada teman-temannya Luke berkata, “Aku tidak menikahi seorang pangeran. Aku menikahi Indra dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada usiaku yang kedua puluh satu nanti, aku kepingin menjadi ibu dari anak- anakku. Kurasa umur yang pantas untukku. Aku tidak terlampau ingin sibuk dengan karier sehingga lupa punya anak. Anak-anak bagiku adalah masa depanku juga masa depan bangsa ini. Aku bersyukur dokter mengatakan aku cukup sehat untuk punya anak. Aku sebetulnya sudah menanti seorang anak sejak usiaku yang kedelapan belas. Indralah yang dengan serius menanggapi cita-citaku. Banyak pasangan muda takut kalau mereka segera punya anak, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk bersenang-senang berdua. Tapi aku tidak! Sejak usiaku yang kedelapan belas, aku sudah menyiapkan diri untuk tidak terlampau larut dengan dunia anak muda. Sering aku membeli buku bagaimana mendidik anak-anak. Dan walaupun aku tidak menyukai lagu klasik, ketika ketemu simfoni Mozart, aku langsung membelinya! Karena, aku membaca di satu artikel bahwa lagu klasik bisa merangsang kepandaian anak. Harusnya digarisbawahi, aku tidak kepingin mendidik anak-anakku seperti Mama mendidikku. Papa dan Mama sangat sibuk dengan usahanya sehingga waktu kecil ketika seorang pembantu sering mencubiti diriku, aku tidak berani mengatakan pada orangtuaku. Kalau aku menceritakan penyiksaan itu, Mama pasti tidak mempercayaiku. Di muka orangtuaku, dia bisa bersikap sangat manis. Mamaku merasa bebannya dengan anak-anaknya bisa terkurangi, apalagi pembantuku itu tidak mencubiti adikku. Mama selalu menganggap aku terlampau nakal, lain dari adikku yang masih bayi itu. Aku tidak tahu sampai hari ini mengapa kebencian terhadap pembantuku itu selalu berada di ruang hati dan seluruh sudut rumah ini. Tadi siang, dia datang dengan cucunya, (aku tidak menyukai anak itu). Aku menjadi cemas karena setiap orang bilang aku adalah kekasih anak-anak. Rupanya, aku bisa tidak menyukai anak kecil ini. Di matanya, aku melihat mata pembantu yang mencubitiku dulu. Anak itu mengerti perasaanku, dia meminta segera keluar dari kamarku. Aku mengiyakan dengan cepat dan mendorong keduanya keluar dari kamar ini. Mestinya aku bisa memilah-milah persoalan. Aku hari ini sedikit depresi, aku sering sekali pusing dan mimpi buruk yang terputus-putus sejak seminggu ini. Seharusnya aku kelewat bahagia karena akan menikah dengan calon bapak dari anak-anak. Sungguh, aku merasa pusing lagi, aku tertidur. Mimpiku, anak kecil itu memukul-mukul kendang persis di sebelah telingaku. Aku terbangun dan kepingin muntah, padahal hari ini aku harus kelihatan bugar dan cantik. Sungguh, sebelum aku menjadi pengantinnya Indra aku sudah membicarakan hal ini berulang-ulang kepadanya. Kalau kita punya anak, sebaiknya ada orang yang bisa kita percayai untuk mengurus anak-anak. Oleh karena itu, pernikahan bagiku adalah sebuah langkah yang sangat serius. Aku tidak lagi mengulang kesalahan-kesalahan Mamaku, yang lebih menikmati dunianya sendiri. Tentu saja, aku tidak berani bilang, “Mamaku seorang egois.” Kehidupanku dengan dua adik laki-lakiku sangat tercukupi. Aku masih ingat ketika usiaku yang ketujuh, aku meminta sepatu roda yang pada waktu itu jarang dijual di Kota Malang. Dengan mudah Mama mendapatkan sepatu itu. Aku masih ingat bagaimana teman-teman SD-ku (yang menurutku orangtuanya lebih kaya) membelalakkan matanya ketika aku meluncur dengan sepatu roda itu. Mama sering bilang, “Dia adalah perempuan yang bahagia.” Papa tidak pernah memukul seperti suami adiknya atau pelit seperti suami kakaknya. Masih menurut Mama, tidak ada yang bisa disalahkan dari saudara-saudara perempuannya. Seorang laki-laki baru ketahuan jeleknya kalau sudah jadi suami. Jadi, pernikahan dengan suami yang baik, seperti mendapat undian. Aku merasa sudah melihat kekurangan Indra, rasanya aku masih bisa mentolerir kekurangannya. Aku percaya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena aku sendiri bukan perempuan yang sempurna. Tetapi kadang-kadang omongan Mama tentang perempuan yang mendapat suami yang salah, menghantui diriku. Sahabat Rita, akhir-akhir ini mengeluhkan suaminya yang sering memukul. Aku khawatir, dia tidak bisa keluar dari lingkaran setan itu. Aku takut sekali melihat memar-memar bekas pukulan suaminya. Tentu saja aku akan bertindak tegas jika Indra memperlakukan diriku seperti Rita. Tapi Mama bilang, “Kalau kita sudah menikah, masalahnya tidak sesederhana itu.” Rita mungkin sudah lama ingin keluar dari pernikahannya, tapi tidak bisa! Aku bilang, “Kalau aku jadi Rita, aku sudah lama menceraikan suamiku.” Mama mengangkat bahu, seolah-olah tidak yakin aku bisa setegas itu. Sesungguhnya perayaan pernikahan ini sudah dibicarakan oleh penduduk Kota Malang, karena yang bakal mantu adalah usahawan sukses di mana akan banyak sekali memakai adat Malangan, yang sudah lama tidak lagi dipakai oleh masyarakat Malang. Ini merupakan tontonan yang menarik. Pak Hendrawan sudah membeli dokar untuk kirab kedua pengantin dari rumah sampai ke gedung resepsi. Penduduk Kota Malang sudah sering melihat dokar berwarna ungu, yang sekarang begitu cantik, berada di halaman rumah Pak Hendrawan. Mereka akan memakai seragam ungu, pada resepsi pernikahan dan gedung resepsi pernikahan akan ditata dengan serba warna ungu, mulai dari tempat duduk pengantin, karpet, dan bunga-bunga hiasan. (Pak Hendrawan sudah mengorder berpuluh-puluh bunga anggrek bulan ungu untuk hiasan di gedung pengantin). Mereka memilih warna ungu, warna favorit dari keluarga Pak Hendrawan. Sebagian ruangan rumah Pak Hendrawan, khususnya kamar pengantin, sudah dicat dengan warna ungu. Seprei pengantin dan semua hiasan berwarna ungu di kamar itu. Hanya pada saat ijab kabul, kedua pengantin memakai baju brokat putih, tapi kerudung untuk mereka berdua tetap dengan warna ungu. Konon baju tidur mereka berdua juga berwarna ungu. Tak pernah seorang pun di Kota Malang melihat persiapan yang begitu ribet dengan biaya yang rasanya sulit dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk di Kota Malang. Adalah Mbok Pah, yang ingin memberikan jamu, yang pertama kali merasa kehilangan Luke. Sementara yang lainnya masih tidur dengan kelelapan yang luar biasa. Mbok Pah mencari di setiap sudut rumah ini. Akhirnya dengan cemas membangunkan ibu Luke. “Saya tidak menemukan Jeng Luke, Bu.” Mama Luke yang kelihatan mengantuk tiba-tiba terbangun. “Cari dia sampai dapat, sebentar lagi acara akad nikah segera dimulai.” Akhirnya, setelah sekian lama Mbok Pah mencari, seluruh keluarga besar terbangun dan menjadi gagap, “Luke memang tidak ada di tempat!” Sekarang setiap kerabat, sahabat, mencari Luke ke seluruh penjuru Kota Malang. Tidak diketemukan calon pengantin perempuan. Kepanikan semakin lama semakin lebar ketika pengantin pria dan seluruh keluarga besarnya sudah datang untuk menikahkan putra-putrinya. Semua keluarga besar Hendrawan hampir tidak bisa berbuat apa pun ketika yang satu mulai menangis dan yang lainnya ikut- ikutan. Pakde dari Luke, atas desakan keluarga besar calon mantu melapor ke polisi atas kehilangan keponakannya. Polisi mencatat semua data-data Luke dan berulang-ulang bertanya, “Apakah mereka akan dinikahkan secara paksa?” “Tidak, mereka pacaran. Tolong kami, karena acara resepsi di gedung tinggal beberapa jam lagi dan kalau si pengantin tidak diketemukan, besok semua koran lokal dan nasional akan memuat berita ini. Indra anak pengusaha sukses di Jakarta. Ini akan memalukan seluruh keluarga besar kami,” kata Pakde Luke, telak. Polisi cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ini kasus yang pertama ditemui oleh pihak kepolisian. Padahal bapak polisi sangat akrab dengan pengusaha yang sangat sukses itu. Polisi mengerahkan anak buahnya untuk mencari Luke. Luke tidak diketemukan sampai waktu resepsi. Para undangan saling berbisik dan sebagian orang ikut prihatin atas hilangnya pengantin perempuan. Padahal, menurut Indra, sejam sebelum hilangnya Luke mereka masih SMS-an. Luke cuma bilang, dia lebih sering berkeringat dan pusing sehingga perias pengantinnya sering membubuhi bedak (satu hal yang tidak disukai Luke). Sebelum rencana pernikahan ini dikukuhkan oleh para orangtua mereka, Indra bercerita di depan polisi, “Kami berdua sangat sepakat untuk segera menikah, agar lebih cepat memiliki anak di masa muda.” Mereka berdua sepakat tidak akan pernah meniru tante Luke yang masih hidup sendiri di usianya yang hampir 35 tahun. Masih menurut Indra, Luke sering bercerita tentang tantenya itu, “Tanteku kariernya bagus, tapi dia tidak sempat menikah! Saya tidak ingin seperti dia, tanteku tidak bisa memahami bagaimana mencari susu bayi, mengantarkan ke taman kanak-kanak atau ke dokter.” Namun, dua bulan sebelum pernikahan Luke, tantenya dengan bangga mengatakan, “Aku baru saja melahirkan seorang anak.” Tante tidak pernah menyebut-nyebut siapa bapak dari bayi itu. Luke melihat hal itu sangat luar biasa dan ini sering diceritakan pada Indra. Tetapi Luke dan Indra tetap sepakat akan menikah secara normatif dan kemudian punya anak. Jadi, tidak mungkin Luke pergi tanpa alasan yang jelas. Indra takut ini ada tangan-tangan kotor dari pesaing bisnis papanya atau Pak Hendrawan dalam pernikahan mereka. Lantas, dia mendesak polisi dan seluruh kerabat Hendrawan untuk mencari Luke agar tidak mempermalukan dirinya dan mencari akar masalah dari musibah ini. Apakah ini ada hubungannya dengan pesaing bisnis papanya dan pesaing bisnis papa Luke? Di depan polisi Indra berulang-ulang berkata, “Pak, di antara pelaku bisnis itu selalu muncul iri hati satu sama lain dan mungkin kedengkian inilah yang menjudi akar masalahnya. Oleh karena itu, berapa pun akan saya bayar untuk mencari Luke hari ini juga! Saya tidak yakin Luke pergi dari rumah, tidak dengan alasan yang jelas. Yang saya banggakan darinya sikapnya yang rasional dan kemauan yang keras. Kalau tidak pacaran dengannya, saya mungkin belum berani menikah.” Luke memang tidak ditemui di penjuru kota ini. Luke setelah tiga hari pulang ke rumah dan Luke bercerita, “Waktu itu saya merasa gerah, seorang anak kecil membimbing saya untuk keluar dari rumah ini. Saya berpikir untuk menghibur anak ini. Saya kira dia salah satu anak dari keluarga besar kami. Untuk menghiburnya, kami menaiki becak yang parkir di depan rumah, dengan harapan saya akan kembali pukul 14.00 WIB sebelum menikah. Ini sensasi yang luar biasa, saya dan anak kecil itu merasa bahagia. Kami ke sebuah taman anak- anak minum es krim dan saling memakai ayunan. Kemudian setelah hampir pukul 16.00 WIB saya sadar sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu sudah pergi entah ke mana, sehingga saya panik mencarinya.” “Jadi, saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, saya mencari anak itu yang tadinya cuma pamit sebentar. Saya pikir orangtuanya pasti akan kehilangan anak itu, kalau tidak saya temukan dirinya. Saya tentu bersalah! Walaupun saya tahu saya harus pulang untuk menikah dengan Indra. Ya, seharusnya anak itu tidak pergi dari sisi saya, sehingga saya dengan dia bisa pulang ke rumah dan kemudian jadi pengantinnya Indra, dengan kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh seluruh keluarga besar saya.” “Anak itu tetap tidak diketemukan, saya menangis. Saya cemaskan anak itu. Kalau tidak bisa diketemukan malam ini, saya sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya. Seharusnya, saya melaporkan kehilangan anak ini pada keluarga dan polisi. Tapi, saya merasa ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari-hari yang lebih bahagia.” Semua orang tidak mempercayai omongannya. Kedua orangtuanya merasa dipermalukan. Sementara itu, pacar Luke menyatakan mereka sekeluarga merasa dipermalukan dan tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini. Luke berulang-ulang bilang, “Kalau pernikahan itu tidak jadi, saya tidak bisa disalahkan. Waktu itu saya dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan saya begitu panik karena tiba-tiba anak itu tidak berada di sisi saya. Seharusnya, Indra menganalisa masalah ini dahulu, dengan lebih tenang, sebelum memutuskan hubungan kita. Kami masih saling mencintai.” Penduduk kota kami membicarakan gagalnya pernikahan itu berhari-hari. Sebagian orang menganggap keluarga Hendrawan kurang melengkapi sesajennya, ketika akan menikahkan dengan adat Malangan, sehingga penghuni halus jadi marah-marah. Seharusnya keluarga Hendrawan bikin selamatan untuk menyucikan tempat pernikahan itu terlebih dahulu. Penduduk kota kami percaya untuk memakai adat Malangan yang lengkap harus memakai sesajen, untuk melewati proses demi proses dari mulai widhodharen, temu, sampai selesainya pernikahan tersebut. Sementara itu, beberapa teman Luke maupun Indra merasa heran, mengapa pengantin minggat, padahal mereka saling mencintai? Dan mereka berdua begitu mantap untuk menikah, sekalipun kuliah mereka berdua belum selesai. Kita membicarakan itu selama berhari-hari sehingga tak tahu lagi bagaimana kabar Luke sebenarnya, yang menurut beberapa orang, tidak ketahuan ke mana perginya. Kemudian, kalau kita melewati rumah Luke, tampak pagar dan dokar yang berwarna ungu. * Malang, 2004
""Warna Ungu""
Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.” Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.” Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT. Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta. “Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2. Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak. “Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang. “Gotong-royong kita sangat bagus.” “Kita masih punya semangat empat-lima.” Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.” Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya. Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah. Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal. “Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.” “Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon. “Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar. “Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.” “Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami. Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa. Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus. Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar. Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore. Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab. “Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.” “O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya. “Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.” “Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk. Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi. “Pagi-pagi sekali, dari mana?” “Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”. “Lho, kok?” “Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.” Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman. “Di mana kalian? Kami kalah.” Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali. “Di mana?” “Sini!” Berulang-ulang. Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang. Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu. “Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.” “Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.” “Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan. Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar. “Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.” Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda. Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya. Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih. Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya. “Kok menyapu sendiri, Pak?” “He-eh, tidak ada yang disuruh.” Lain hari perempuan itu lewat lagi. “Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.” “He-eh, habis bagaimana lagi.” Lain hari perempuan itu sengaja lewat. “Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?” “Ya tidak ada.” Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu. “Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?” “Mau saja.” Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu. Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya. Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop! Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.” Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri. Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal. Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain. Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. * Yogyakarta, 23 Februari 2004
""RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”""
Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat. Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh. Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi. Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia. Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat. Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!” Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”. Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan. Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku! Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”. “Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat. Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru. Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek. Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”. Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya. “Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling. “Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat. Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang. Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya. “Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh. “Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit. “Siapa kamu?! Darimana?!” “Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan. “Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?! “E, maaf, mBah.” “mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!” “Maaf, kyai.” “Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!” “Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.” “Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan. “Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!” “Saya, kyai.” “Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin. “Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.” “Maaf, kyai.” “Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.” Maling mengangguk meng”iya”kan. “Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!” “Ampun, Kyai Sepuh.” “Maksudmu?” “Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.” “Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!” Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur. Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu. Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota. Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak. Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri. Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat. “Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!” “Saya, kyai.” “Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!” Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini. “Kenapa menangis?” “Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.” “Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.” “Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.” Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis. “Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.” “Terima kasih, kyai.” “Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.” Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak. 29 Maret 2004 Pamulang-Tangerang
""Kyai Sepuh dan Maling""
Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini. Wajah kakak sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya. “Semula kami tidak mau merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi,” ujar sepupu saya. Suaminya pun membenarkan. Belum saya tanggapi, sepupu saya yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. “Bagaimana kabar Andi dan anak-anak di rumah. Sehat saja toh,” katanya menanyakan kondisi istri dan anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman, tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan istrinya. “Baik, semuanya sehat,” kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju mobil saya. Mereka memperhatikan ketika saya mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain, empat lembar ribuan lagi. “Eh, de… de… de…. Mengapa kita harus membayar begitu banyak?” tanya dia heran, karena tak pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan. “Karena jalan mulus ini dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar. Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis. Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai melihat peluang usaha,” kata saya. Di rumah, istri saya tak kalah gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman. Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan, anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang pelicin puluhan juta rupiah. Setelah suasana semakin cair, saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta. “Begini… Ndi. Dua bulan lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan lontarak sebagai warisan keluarga,” paparnya. Saya sendiri tak pernah mendengar cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang ditulis berdasarkan keperluannya. Ah, saya teringat waktu kecil, ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di betis. Sepupu saya pun lalu bercerita mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung (raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang, maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu. “Lalu kapan upacaranya?” tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak itu. “Rencananya bulan depan. Tim itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya kita,” paparnya bersemangat. Saya lega, ternyata sepupu saya tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama. “Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar.” Mendengar alasan saya itu, wajah kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. “Bisa-bisa saya tidak melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku itu Andi,” katanya dengan nada memelas, penuh harap. Istri saya pun menimpali perbincangan. “Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang kampung,” katanya. Ketika saya tiba di kampung dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu, silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu, aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu. Semalaman saya tak bisa tidur, karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan, atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya. “Upacara pembukaan lontarak yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi,” kata kakak sepupuku, ketika mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan. Rupanya itulah tujuan kakak sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku, semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku tadi. Masih pagi-pagi benar, mereka sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak kata-katanya yang tak dapat saya mengerti. Kakak sepupuku sendiri sibuk luar biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah sekalipun dibuka. Si Belanda dengan hati-hati dan khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan, memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan berkeringat. Mister Belanda itu perlahan melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam. Saya melihat Si Bule dan seorang yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi, terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai. Setelah mematikan mesin scanner-nya, Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer, membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda. Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka. “Apa yang terjadi?” tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya tak percayai. Semua yang hadir kaget, seolah tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan “bodoh” itu ada yang paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu terhormat tersebut. Tim Pusat bersama Si Bule menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik. Mereka meminta saya untuk menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir, menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati, akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan itu. “Saudara-saudaraku yang saya cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang juga sudah mati semua.” Mendengar penjelasan saya itu, semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya. “Kita semua yang hadir di sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita harus baca. Bacalah…!” kata saya. Kakak sepupu saya yang punya hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya. “Inilah kesalahan orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu. Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya, begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!” kata saya. Pamulang, 240304 Catatan: lontarak: naskah yang ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar; Andi, ndi panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.
""Lontarak""
dari mana datangnya lintah dari sawah turun ke kali “Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.” Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung. Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan. dari mana datangnya lintah jiwa manis indung disayang “Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.” Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat. Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama. Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam. Ada yang menyelipkan belati di balik kutang. Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang. Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung. Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman. Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam. Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang. Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang. Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman. Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam. Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan. Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan. dari mana datangnya lintah dari mana datangnya cinta “Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.” “Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.” “Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.” “Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.” Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan. “Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan. Lelaki itu kemudian menembus dini hari. Lelaki itu kemudian memasuki pagi. Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam. Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan. Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah…. “Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.” Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya. Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata. “Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.” dari mana datangnya lintah jiwa manis indung disayang dari mana datangnya cinta ooo… Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam. “Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu. Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli…. “Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….” Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata. Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah. Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu. Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga. “Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih. Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya? “Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas. Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya. “Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang. “Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu. Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap. dari mana datangnya cinta darilah mata turun ke hati “Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.” kalau ada sumur di ladang jiwa manis indung disayang…. Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya. “Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa. Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya. Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya. dari mana datangnya… uggffhhh… dari mana datangnya Mata! Yogya, paruh awal 1980 Jakarta, Maret 2004
""Dari Mana Datangnya Mata""
Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa? Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan. “Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?” Itu pertanda perang mulut pagi-pagi sudah mulai. Perempuan yang malang! Eric Sullivan melontarkan makian. Segala kuda betina, sapi blasteran, binatang ternak yang kerjanya cuma beranak, semua lepas berlompatan dari mulut Eric Sullivan. Takkan terbayangkan bahwa Luzia, istrinya, akan begitu ramah membiarkan suaminya mengoceh dengan segala macam hinaan. Sebaliknya perempuan itu akan sesengit singa betina, menampar dan mencakar. Adu mulut hanya reda bila anaknya bangun dan menangis mau nyusu, dan Eric Sullivan tersungkur di tempat-tidur lantas mendengkur. Agak siang perempuan itu mengetok pintu. “Maafkan kami, Maria. Dinas malam Ricki mabuk. Sejak dulu sudah kuperingatkan jangan layani anak- anak Lithuania, mereka bukan tandingan di kampus Lumumba. Wodka itu buat mereka air biasa, minuman sehari-hari. Buat Ricki… Ah, Maria, belum pernah kudengar suamimu mabuk. Minum apa sebenarnya kalian di Indonesia?” Minum apa? Sebuah pertanyaan aneh yang nyleneh. Bila seseorang merasa haus, mau minum apa lagi sih! Istriku lantas menjawab, “Minum sap. Teh. Kopi. Air kendi.” Itu bukan sekadar kelakar. Tetapi, Luzia melongo, lantas tertawa. Jelasnya, menertawakan. “Di Rusia, cuma anak-anak kecil minum sap, atau teh, atau susu sapi. Orang dewasa minum wodka, Maria.” Minum wodka kek, susu sapi kek, itu bukan urusan istriku. Dia cuma tak tahan mendengar ejekan beberapa tetangga di lantai satu yang kebanyakan orang pensiunan, tak mau sedikit terganggu. Sejak hari-hari pertama Eric Sullivan menghuni flatnya, mereka sudah berkeluh-kesah, tetapi tak punya nyali untuk menegur sendiri. Semua kehilangan respek. “Kampungan. Tak ngerti aturan.” “Dikira rumah kakeknya.” “Biasa hidup di hutan sih. Kumpul kera.” Aku bukan sejenis kera, tetapi langsung ikut tersinggung mendengar cerita istriku. Jangan-jangan kami pun diam-diam pernah dihina seperti mereka menghina Eric Sullivan untuk beberapa kesalahan kecil: jejak sepatu membekas di lantai, pot-pot bunga kekeringan lupa menyiram, teledor giliran mengepel…. Ada yang jengkel, lantas usul mengumpulkan tanda tangan, kirim protes via firma pemilik flat itu. Demi mencegah pengucilan, istriku menolak ikut bertanda tangan. Pada hari lain pada bulan yang lain, semua penghuni flat kami menerima surat edaran. Firma itu melampirkan fotokopi tata tertib yang dulu pernah juga kami terima, dengan harapan agar diperhatikan. Sebuah edaran yang sangat sopan. Di dalamnya tidak tertera nama Eric Sullivan. Apakah dia merasa disasar, mesti tahu sendiri. Sebagai tetangga terdekat, istriku merasa perlu mengajak bicara Luzia. Tanpa niat mengumpat. “Kita sama-sama penyewa, Luzia. Semua membayar mahal buat menghuni flat ini dengan tenteram dan nyaman. Hati-hati, mereka tidak tinggal diam untuk membela haknya. Itu tabiat orang Barat.” Apa kata Luzia? “Ricki sungguh terlalu, Maria, dinas malam kunci rumah ketinggalan. Ceroboh itu bakatnya, Maria. Mana bisa aku menunggu. Dia datang terlalu siang. Ah, Maria, baru jam lima sebenarnya, tetapi dia tahu aku harus berangkat pagi-pagi buat mengantar koran. Larisa kan masih kecil, bisanya cuma menyusu, kakaknya tidur di atas, apa mesti turun memanjat tangga, Maria? Lain kali biar saja dia teler di luar, tak perlu bukakan pintu. Manusia harus belajar dari pengalaman sendiri, Maria.” Seenaknya saja Luzia cari alasan, seolah orang mabuk akan mampu menarik pelajaran mengapa tak seorang sedia bangun membuka pintu baginya. Namun, Luzia berjanji akan mendamprat Ricki bila dia ulangi sekali lagi. Istriku kurang setuju, sebab kemarahan hanya memancing kemarahan. Lebih baik sambil lalu saja diajak bicara dan selalu diingatkan tentang kunci rumahnya. Kami pun percaya, sebagai makhluk sosial tentunya Eric Sullivan punya naluri normal, bisa saling tenggang sebagai sesama penyewa di gedung bertingkat empat itu. Memang benar, dia mulai mengerti keluh-kesah para tetangga dan tak pernah lagi semaunya memencet kenop siapa saja. Tetapi, kesadaran itu punya lain sebab. Kata Luzia, “Ricki sudah berubah, Maria, lantaran dapat teguran dari bosnya, mabuk waktu dinas malam. Perkara alkohol, teman-teman Jerman bukan tandingan, Maria. Dia diancam pemecatan.” Ceroboh itu bukan bakat seperti kata Luzia, melainkan penyakit yang tiap saat bisa kumat. Begitulah Eric Sullivan. Tingkah lelaki itu terulang lagi ketika dia datang terlalu pagi dari dinas malamnya. Lelaki yang malang! Bukan salah dia sebenarnya. Dia cuma berniat mengebel istrinya, tetapi dia lakukan berulang-ulang, sepuluh-sebelas kali barangkali! Itu juga mengganggu tetangga di lantai satu. Tentu saja mereka tak ambil pusing apakah dia kebelet kencing. Atau terdesak sesuatu yang mendadak. Mereka cuma mau hidup tenteram tanpa gangguan. Luzia pun enak saja bikin alasan. “Aku sengaja tak mau membuka pintu, Maria.” Istriku terperangah. “Wah, sekarang kamu yang salah! Makanya dia ngebel berulang-ulang.” “Ya, tetapi lama-lama aku kasihan, Maria. Masuk rumah ternyata kuncinya ada di ransel, bukan di saku mantel. Ceroboh itu bakatnya. Kumat! Tetapi bakat yang satu lagi, Maria…., mengerikan! Coba bayangkan, pagi-pagi dia datang, langsung ngajak begituan. Masak mau ditolak? Sudah itu kudesak-desak supaya mencuci… apanya itu, Maria? Anunya. Dia tidak melakukannya, Maria. Lemas, memang malas. Terus tidur dan mendengkur!” Aku anggap istriku berlebihan, menganggap Eric Sullivan mengidap hiperseks hanya karena mengajak ketika hasrat mendesak. “Dari mana kamu simpulkan itu?” tanyaku. “Luzia bilang sendiri. Ricki tidak cukup dua hari sekali. Tiap hari, Pa!” “Duilah. Kok yang begituan diomongkan.” “Kena depresi barangkali. Masak, nyuci, ngurus suami, momong Larisa, mengantar koran. Lantas siapa bisa diajak bicara? Dia memerlukan teman. Tak ada teman Rusia-nya di sini.” “Semua orang di Barat hidupnya berat, Ma. Dia bicara apa lagi?” “Itulah gilanya. Dia tanya, apa kamu sama seperti Ricki, mintanya tiap hari.” “Buset! Apa jawabmu?” “Kusuruh dia langsung tanya sendiri.” “Hah? Gila kau, Ma!” istriku kucerca. “Aku pilih ngumpet di kamar! Bilang saja, hiperseks itu mungkin ciri lelaki mungkin juga perempuan. Bahayanya, apa saja bisa dilanggar bila kebutuhan biologis tak terpenuhi.” “Melanggar bagaimana maksudmu?” “Memerkosa. Melacur. Ngeluyur di daerah lampu merah.” Astaghfirullah! Istriku ternyata menyampaikannya. Perempuan macam Luzia sekali-sekali perlu ditakut-takuti, katanya. Agaknya dia percaya, menelan begitu saja apa-apa yang tak pernah ada di Rusia sejak Lenin hingga Yeltzin: pelacuran, pemerkosaan. Kecuali yang tersembunyi. Saran istriku, “Di Barat ini lain, Luzia. Kebebasan selalu dipertuhan. Jangan biarkan suami kita ketularan.” Sebodoh itu Luzia tidak. Dia percaya moral suaminya. Dia mencintainya. Kalau tidak, buat apa ikut Eric Sullivan berangkat ke Eropa Barat sebelum Yeltzin diganti Putin. Barangkali suatu saat dia pun ikut Eric Sullivan pulang ke Ethiopia. Lelaki yang malang! Mengestu Heile Mariam memilih pertumpahan darah ketimbang mundur teratur. Perang saudara berkecamuk di negerinya. Kuterka, kira-kira status lelaki itu di negeri ini tidak berbeda dengan kami. Namun, aku terlalu bodoh untuk mengerti seluk-beluk dalam negeri Eric Sullivan, kecuali hadirnya Baret Biru*) dan tumbangnya Mengestu. Addis Ababa kabarnya aman. Istriku tidak menduga ketika Luzia mengetok pintu. Napasnya gelagepan, suaranya tertekan. Tentu saja aku cepat-cepat ngumpet di kamar, dan kubiarkan istriku menemuinya sendiri. “Maria! Maria! Mana suamimu?” “Sudah tidur, Luzia. Ada apa?” “Aku perlu tanya,” bisik Luzia. “Soal itu kan? Sehari sekali!?” “Bukan, Maria, bukan. Aku cuma tanya, sudah tidur?” “Dia capai. Siang tadi kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.” “Ricki bilang dia bermaksud pulang. Addis Ababa aman. Bagaimana ini? Ada perang saudara di sana.” “Suamimu lebih tahu.” “Aku tahu, Mengestu sudah kalah, Maria. Sekarang perempuan terancam. Aku takut, Maria. Ngeri.” “Kalau Ricki bilang aman, ya aman, Luzia. Jangan khawatir.” “Aku bilang di sana perempuan mulai terancam.” “Perempuan tidak diapa-apakan. Mereka dilindungi.” “Tidak, Maria. Mereka disunat. Pada zaman Kaisar Heile Selassi tidak. Pada zaman Mengestu juga tidak.” “Disunat? Yang disunat apanya?” “Suamimu sudah tidur, Maria?” bisik Luzia lagi. “Aku bilang dia capai, tadi siang kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.” “Anak gadis disunat, klitoris diiris! Pakai silet, Maria. Mengerikan. Kaulihat kemarin malam di Kanal-1?” “Ha!?” Aku masih terkurung di kamar. Tak kuduga begitu lama mereka mengobrol sana-sini. Satu jam lebih aku menahan kencing. Ketika tak tahan lagi, aku nekat keluar menuju kamar mandi. Mereka melihat aku lewat. Luzia kaget, melontarkan protes. “Kamu bilang dia sudah tidur, Maria. Kalau tadi dia dengar, bagaimana? Malu dong aku!” “Terkadang dia pura-pura saja tidur.” Sampai sekarang Eric Sullivan sekeluarga tetap tinggal di flat kami. Anaknya lima. Cuma satu belum sekolah. Anak kami tidak bertambah. Koeln, awal April 2004 *) Baret Biru , Pasukan Keamanan PBB
""Berat Hidup di Barat""
Siapa yang meninggal?? “Barangkali seorang berdarah biru.” “Belum pernah aku melihat orang melayat sebanyak ini.” “Pastilah ia orang yang terhormat di negerinya.” “Kukira begitu. Terlalu banyak dari antara mereka yang meneteskan air mata. Bahkan ada yang meratap dengan keras dari balik jendela mobilnya.” “Kukira ia seorang Oriental yang disegani.” Kedua bule penjaga rumah duka itu berdiri di balik kaca dan memerhatikan sosok tubuh yang terbaring di situ sejak dua hari yang lalu. Mereka kembali ke kantornya di ruang sebelah kamar mayat dan membuka daftar jenazah yang dibaringkan di rumah duka itu. “Namanya asing bagi kita,” kata yang seorang,” dibawa ke tempat ini dua hari yang lalu.” “Sejak itu kita menjadi repot,” sambung bule yang lain seakan-akan menggumam kepada dirinya sendiri. “Rombongan pelayat seperti tidak habis-habisnya dan tidak mengenal waktu.” Bule yang memegang buku catatan itu menoleh sejenak kepada kawannya yang duduk di depannya, di seberang meja, kemudian ia menghidupkan tape yang mengumandangkan lagu pilu. “Lagu itu,” kata kawannya, “terlalu sendu.” “Biarlah. Ratap perjalanan bagi jiwa yang berlalu dan menunggu.” “Menunggu?” tanya yang seorang. “Ya. Kita di sini sedang menunggu. Hidup itu menunggu untuk menempuh sebuah perjalanan yang jauh, yang kita tak tahu ujungnya. Kemudian, berlalu.” “Maksudmu? Apa itu berlalu?” “Kita juga akan menyusul ke sana walau kita sekarang sedang menunggu. Kereta kehidupan membawa kita ke tempat yang tidak kita tahu. Kita hanya menjalaninya dan menunggu. Barangkali, yang menemani kita dalam perjalanan itu hanyalah segelintir orang. Barangkali yang melayat kita hanya kerabat dekat kita, itu pun kalau mereka tidak berada di tempat yang jauh.” “Parodi upacara berlangsung dengan seorang pendeta berjubah hitam dan petugas makam, kawan-kawan kita dengan diam-diam menurunkan kita ke liang lahat. Di atasnya hanya sebuah nama, penanggalan. Itu saja. Tidak pula ada gundukan tanah. Tiada lagu duka. Tanpa air mata. Kita tidak bakal seperti orang di sebelah. Lihat, rombongan mereka sudah tiba.” Kedua-duanya melihat lewat pintu kantor yang terbuka. Deretan kendaraan dan jendela kaca mobil yang terbuka, kepala yang melongok dan bisik-bisik yang tidak dipahami mereka. Deretan mobil itu bergerak perlahan, cukup panjang. Satu demi satu berlalu dan deretan panjang sedang menunggu. Mereka menyaksikan tubuh yang terbaring kaku di dalam peti mati pohon oak yang kukuh, dialas kain putih, dengan pakaian jas hitam, di atas meja yang agak rendah dan dinding kaca yang penuh. “Kapan akan dikuburkan?” tanya bule yang merunduk di balik meja, mencari sesuatu di lantai. “Siang ini,” jawab pemegang buku catatan sambil menunjuk waktu dalam lorong baris buku. “Di mana?” “Garden Avenue. Tapi sebentar lagi mayatnya akan dibawa.” “Ke mana?” “Ke sebuah kapel, tidak jauh dari sini. Katanya, sudah ratusan pelayat menunggu di sana.” “Ia orang saleh barangkali? Kau akan ke sana?” “Kalau ada waktu, atau kalau kau mau menunggu di sini di luar jam tugasmu.” “Sayang. Aku ada keperluan lain.” “Kalau begitu, kita doakan saja.” “Kau sering berdoa?” “Kadang-kadang.” “Juga untuk orang-orang mati yang diberangkatkan dari rumah duka ini? Begitu banyak setiap hari? Lalu, pernahkah kau merasa doamu dijawab?” “Kuharap doaku meringankan duka kerabat dekatnya. Dijawab Tuhan? Entahlah. Kalau hatiku bergerak, tiap kali jenazah diangkut dari sini, aku berbisik dalam hati, kepada Tuhan, sebelum aku sendiri suatu hari kelak, mungkin kau antarkan ke tempat yang sana.” Kawannya tersenyum. “Mungkin ia orang saleh. Baik juga berdoa untuknya sekalipun hanya dalam hati. Paling sedikit, untuk meneduhkan hati kita sendiri, saat menunggu seperti katamu tadi.” “Kita siap atau tidak, kereta panjang sedang menunggu kita. Di terminal waktu. Waktu keberangkatan yang tidak kita tahu. Karcis sudah tersedia di sana. Tidak pernah habis. Kapan pun.” Kedua bule itu berdiri di ambang pintu. Keduanya mengangguk kepada para pelayat yang perlahan berlalu. Lagu-lagu melankolis dalam berbagai bahasa memenuhi ruang kapel. Kapel itu penuh dengan para pelayat dari berbagai suku bangsa. Orang-orang Asia mendominasi, sejumlah simpatisan orang kulit putih tersebar di antara mereka. Peti mayat yang terbuka dibaringkan dekat altar. Jenazah yang terkubur di dalamnya tampak tenang bagai orang yang sedang tidur. Wajah yang telah dirias untuk terakhir kalinya, setampan wajahnya ketika masih muda. Hening seperti membeku ketika pendeta naik ke mimbar. Dengan suara yang dalam dan berat, ia menyapa hadirin yang turut berkabung. Menyampaikan salam dan doa sejahtera. Lalu ia mempersilakan koor menyanyikan sebuah lagu duka dan pengharapan. Semua mata memandang kepada anggota koor yang mengenakan jubah hitam. Orang-orang tersentak ketika kata amin yang panjang bergema. Orang-orang pun mengaminkan ketika anggota koor itu duduk kembali di kursi mereka. Diam yang panjang. Pendeta menghela napas panjang sebelum mampu memulai khotbahnya. “Saudara-saudaraku,” katanya memulai dengan suara berat dan dalam. “Hari ini kita berada di kapel ini untuk mengantarkan jenazah sahabat kita yang kita kasihi. Ia telah menempuh perjalanan yang panjang, hampir setengah abad. Sebuah perjalanan kebajikan, kemurahan, dan kasih sayang telah dilaluinya. Ia menghayati imannya di tengah-tengah pergumulan dan tetap setia sampai akhir kehidupan. Banyak sudah orang susah yang telah ditolongnya, banyak pembangunan rumah ibadah yang diwujudkannya. Ia contoh seorang anggota jemaat yang taat yang tidak mau membiarkan orang pulang dari rumahnya tanpa berkat, dengan tangan kosong. Kebaikan dan kebajikan yang dilakukannya sangat sesuai dengan imannya.” “Kalau beberapa hari yang lalu ia tiba-tiba berlalu dari antara kita, itu di luar kehendaknya. Tentang kematian, hanya Tuhan yang mengetahui hari yang pasti. Bahkan burung pipit sekalipun tidak ada yang luput dari perhatian-Nya. Tidak ada penyakit yang kita tahu diidap almarhum ini yang membawanya ke rumah sakit. Kematiannya yang tiba-tiba amat mengejutkan kita. Ia tidak menyusahkan siapa-siapa. Ia tidak memberi pesan kepada kerabat dekatnya. Bahkan, tidak ada firasat tentang kepergian ini.” “Kematian adalah sebuah misteri yang panjang, yang kusut, dan menakutkan. Tetapi kematian ini dapat juga menjadi jalan damai bagi yang bersangkutan karena ia telah menyelesaikan tugasnya di atas dunia yang fana ini. Kita tidak perlu selalu gelisah tentang kematian ini. Misteri atas misteri itu pernah juga diungkapkan oleh Yesus Kristus. Ia mati dan bangkit kembali. Ia berjanji akan kembali dan membangunkan orang yang tidur di dalam Dia, seperti sesaat mimpi di siang hari. Semuanya kelak akan menjadi pulih, dan hidup abadi di dalam Dia….” Ia menghapus keringat yang muncul di dahinya. Tangannya menunjuk kepada seorang wanita yang berada di barisan koor. Perempuan itu langsung berdiri dan menyanyikan sebuah lagu “pengharapan akan kebangkitan” seorang diri-solo. Suaranya yang melengking mengetuk setiap pintu hati orang yang berada di tempat itu, membawa mereka jauh melayang, melayang jauh melewati langit yang biru. Membuai jauh, dan akhirnya menghempas kembali ke Bumi ketika suara itu berhenti menggema di ruang kapel itu. Pendeta sekali lagi mengelap keringat yang mengalir di pipinya. Udara AC tampaknya tidak mampu meneduhkan gejolak duka di dalam dirinya. Kemudian ia membuka sebuah teks dari Kitab Suci dan membacakannya. Isinya, tentang pengharapan di balik kematian ini. Baris demi baris dengan tertib orang bergerak mengelilingi peti jenazah, memberi penghormatan terakhir. Sepintas lalu “Garden Avenue” tidak beda dengan kawasan lain. Yang membedakannya hanyalah pohon-pohonnya yang menjulang tinggi seperti tidak pernah mengenal mesin potong. Kawasan yang berhutan agak luas itu ternyata tertata rapi seperti sebuah taman. Ada jarak tertentu antara pohon yang satu dan yang lain. Rumput di bawahnya terawat dengan baik, tidak ada rumput liar. Jalan-jalan yang bertebaran di mana-mana terurus dengan baik. Kendaraan dapat parkir di sisi kanan jalan. Di bawah pohon yang rindang ada nisan di antara rumput, rata dengan tanah. Ratusan kendaraan yang parkir memanjang di taman itu merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa bagi orang bule, tetapi tidak bagi orang Oriental. Orang bule menyebut orang Asia dengan sebutan “Oriental” sementara orang Asia, khususnya yang berasal dari Indonesia, menyebut orang kulit putih “bule”. Barisan panjang para pelayat itu kemudian mengelilingi liang lahat yang menerima tubuh lelaki setengah baya yang diturunkan ke dalamnya. Pendeta mengatakan, “Dari tanah kembali ke tanah, yang dari Tuhan kembali kepada Tuhan,” dan menjatuhkan tanah ke atas peti jenazah. Bunga-bunga kemudian ditaburkan para pelayat sebagai ucapan selamat jalan dan sampai “bertemu pada pagi yang cerah” suatu saat kelak. Di atas sebuah mobil VW Combi, yang telah disulap seperti sebuah kamar pada bagian belakangnya, duduk tiga orang kulit berwarna alias Oriental, dalam perjalanan pulang dari pemakaman itu. “Siapa sih yang dimakamkan?” tanya lelaki pertama. “Kau tidak kenal orang itu? Mengapa kau melayatnya?” “Tidak. Hanya karena simpati. Kawan seapartemenku mengenalnya, tetapi ia jarang menyebut-nyebut tentang dia.” “Lelaki itu seorang yang kaya di Tanah Air kita. Ia kaya sekali. Ia menolong banyak orang, seperti yang dikatakan oleh pendeta tadi. Suatu saat, ia ditipu orang. Usahanya pailit. Ia meminjam ke sana ke mari untuk menutupi utangnya. Banyak orang yang membantunya, tetapi dengan bunga yang tinggi. Termasuk orang-orang yang dianggapnya pemimpin rohani. Pinjaman itu tidak bisa dikembalikan karena bunga yang tinggi itu. Bank menyita rumahnya. Setiap saat telepon berdering di rumahnya, dari orang yang menagih utang. Tidak ada lagi orang yang mau melihatnya. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anak-anaknya meninggalkannya dan mengumumkan di surat kabar bahwa mereka tidak ada sangkut-paut dengan orangtua mereka. Dengan bantuan seorang sahabat yang masih bersimpati kepadanya, ia mengongkosinya, lari ke negeri ini….” Lelaki ketiga berkata, “Ia buronan polisi.” Lelaki pertama, “Hah? Mengapa?” Lelaki ketiga, “Dilaporkan oleh kawan-kawan yang seiman dengannya.” “Bukan oleh rekan bisnisnya?” tanya lelaki pertama. “Bukan. Menurut mereka, hal seperti itu biasa dalam bisnis. Tetapi bagi kawan-kawannya seiman, itu risiko yang harus ditanggungnya. Uang mereka harus kembali! Mereka tidak peduli alasan yang lain. Orang berutang tidak masuk ke surga,” kata mereka. “Utang? Bukankah kita semua orang yang beriman orang yang berutang? Karena itulah, Yesus datang ke dunia ini, menebus orang yang berutang?” kata lelaki pertama. Lelaki kedua, “Menurut mereka ini soal uang, bukan soal agama. Kedua hal itu harus dipisahkan. Orang yang memiliki harta memikirkan hartanya, orang yang tidak punya apa-apa berharap kelak di surga memiliki segala-galanya.” Orang ketiga, “Di sini ia tidak tenteram. Ada juga orang yang meminjamkan uang itu di antara pelayat, yang selalu mengejarnya, bahkan ke kuburan ini untuk mengetahui apakah benar-benar dialah yang mati itu. Mereka tidak memikirkan yang lain-lain, kecuali uang itu dan bunganya. Kalau tidak, pernah juga mereka mengungkapkan kalau tahu alamatnya, akan segera dilaporkan sebagai pendatang ilegal agar dikembalikan ke Tanah Air.” “Siapa yang membawa ia ke rumah duka?” tanya lelaki pertama. “Tetangga sebelahnya yang curiga karena apartemennya selalu tertutup dan polisi mengedornya. Ia telah meninggal di kursi. Visum dokter mengatakan kematiannya karena serangan jantung. Berita itu segera tersiar di antara teman sebangsa,” jawab orang ketiga. Mobil Combi itu berhenti di depan apartemen mereka. Seminggu kemudian tidak seorang pun menyebut-nyebut nama lelaki itu lagi. Ia telah hilang bersama angin sepoi-sepoi di bawah pohon yang tinggi dan teduh. Jauh dari sanak keluarganya, jauh dari pusat kegalauan hatinya. Kereta maut telah mengantarnya, bersama angin yang berlalu. * Bandung, 2004
""Seperti Angin Berlalu""
Ombak berdansa di Pantai Liquisa. Lidah-lidahnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam hentakan musik disko. Ayo! Kalau tidak berdansa kau belum ke Liquisa,” seorang lelaki berkata sambil menarik tangan perempuan yang duduk di depan bar. Kota pantai di barat daya Dili, Timor Timur, ini memang dikenal dengan masyarakatnya yang suka berpesta, dan inilah sisa budaya yang ditinggalkan penjajah Portugis. Perempuan itu bergeming di tempat duduknya. Ia menggeleng di keremangan. Lelaki itu melotot. Matanya menyala dalam remang cahaya lampu. Rambutnya yang berombak seperti berdirian tiba-tiba. Perempuan yang dipanggil Armila itu balas melotot. Matanya juga menyala. Dan…, tiba-tiba terdengar suara tembakan, berkali-kali. Mereka tegang dan gelisah. Tapi, orang-orang yang berdansa seperti tak peduli. “Itu Victor!” Seorang lelaki, tinggi kurus, dengan tubuh basah kuyup air hujan, tiba-tiba menyelinap masuk ke ruang dansa. Armila langsung memberi isyarat dengan tangan padanya. Victor menangkap isyarat itu dan tergopoh-gopoh menuju depan bar. “Rumahku disergap. Alves dan kawan-kawan masih di sana,” kata lelaki kurus itu. “Cepat kita lari. Dua tentara memburuku.” Dua sosok bayangan berkelebat menerobos pintu. Jao langsung melompat dari tempat duduknya, dan menerobos keluar lewat pintu belakang. Tapi, dua letusan pistol menyongsongnya. Armila tak jadi ikut menerobos keluar. Ia menyusup ke tengah orang-orang yang berubah panik oleh keributan itu. Mereka berlarian ke sana kemari. Victor mencoba memanfaatkan situasi untuk kabur. Tapi, tentara lebih cepat. Ia ditangkap persis di mulut pintu. Pelan-pelan suasana kembali tenang. Orang-orang kembali berdansa. Armila pura-pura ikut larut ke dalamnya. Tapi, ketika semua orang telah menemukan pasangan masing-masing, ia jadi merasa aneh, berjoget sendiri di tengah-tengah mereka. Akhirnya ia memutuskan kembali duduk di depan bar, dengan dada yang masih bergemuruh. “Armila!” Suara perempuan tiba-tiba mengejutkannya. Ia menoleh ke arah suara itu. Matanya memandang penuh selidik pada perempuan muda yang tiba-tiba muncul di depannya. “Lupa, ya? Aku Mariana. Dulu kita pernah berkenalan di rumah Victor.” “Oh ya. Kami tadi menunggumu di sini.” “Maaf, aku agak terlambat. Pas ada keributan tadi aku datang. Aku sempat melihat Jao melompat lari ke belakang.” “Bagaimana nasibnya?” Mariana hanya menggeleng. Armila merasa menemukan kawan senasib. Gemuruh dadanya sedikit reda. Tapi hujan tetap menggemuruh di luar, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai. “Kau ikut ke hutan?” tanya Mariana. “Tidak. Aku masih kuliah di Universitas Dili.” “Jao cerita apa saja tentang aku?” Mariana bertanya lagi. “Tidak banyak. Cuma berkata kau kawan sekelasnya di SMA.” Mariana menarik napas panjang, seperti tiba-tiba ada sesuatu yang membebani perasaannya. “Kau nginap di rumahku saja. Malam-malam begini tidak mungkin balik ke Dili,” katanya sambil mencoba menekan gejolak perasaannya. “Kupikir begitu. Aku tadi sempat bingung mau nginap di mana. Rencananya tadi mau di losmen sebelah. Tapi aku tak bawa duit. Jao yang janji membayariku.” “Jangan kuatir. Aku akan menanggungmu sampai kau bisa kembali ke Dili. Sebentar lagi kita pulang jalan kaki. Aku cuma bertugas sampai pukul dua belas.” Lewat pukul 12.00 hujan reda. Armila dan Mariana melangkah setengah menggigil dalam udara dingin, menyusur jalan beraspal yang mendaki bukit. Udara malam Liquisa memang terasa dingin sekali karena hujan. Awan hitam di langit bergerak cepat. Sesekali cahaya bulan menerobos dari celah-celah mendung tebal, mengusap pohon-pohonan. Butir-butir air hujan di ujung dedaunan gemerlapan beberapa saat tertimpa cahaya itu, seperti butir-butir kaca kristal, lalu padam setelah jatuh ke bumi. Mereka nyaris sampai ke rumah Mariana ketika tiba-tiba hujan mengguyur bumi Liquisa kembali. Dengan setengah berlari, mereka pun tiba di depan pintu sebuah rumah sederhana separuh tembok. Baju dan rambut mereka agak kuyup. “Kau tinggal dengan siapa?” “Dengan mami dan anakku.” Mariana langsung membawa Armila masuk kamar, lantas membuka almari kayu, mengambil sepotong daster dan menyodorkannya pada perempuan itu. “Pakailah ini untuk tidur.” “Mana anakmu?” tanya Armila sambil melepas kaus oblongnya. “Di kamar sebelah bersama ibu.” “Suamimu?” Mariana tidak langsung menjawab. Ia pura-pura suntuk merapikan rambutnya. “Aku tak punya suami,” katanya lirih. “Oh, maaf…. Lalu… anak itu…..?” “Anak itu bagian dari masa laluku. Juga masa lalu Jao.” “Masa lalu Jao?” Armila tampak terkejut. “Ah, sudahlah. Besok saja kita bicarakan. Kau pasti lelah dan ngantuk. Tidurlah. Dipannya cuma cukup untuk satu orang. Aku akan tidur di kamar sebelah bersama anakku. Selamat tidur.” Armila ditinggalkan begitu saja di sebuah kamar sempit yang hanya diterangi listrik 10 watt. Ia hanya sempat melongo ketika Mariana melangkah pergi. Ia sempat menangkap sesuatu yang berat untuk diucapkan oleh perempuan penjaga bar itu tentang anaknya dan Jao. Sesuatu yang mungkin panjang untuk diceritakan sehingga harus ditunda. Dada Armila yang tinggal bergemuruh sendiri oleh pertanyaan-pertanyaan dan dugaannya sendiri. Apa hubungan anak itu dengan Jao? Apa hubungan Mariana dengan Jao? Apakah Jao pernah menikahi Mariana? Ingat Jao, Armila ingat janji dan impian-impian lelaki jangkung itu, “Percayalah, Armila. Kalau Timor merdeka, aku akan langsung melamarmu jadi istriku. Kita akan sama-sama menikmati kemerdekaan. Ha-ha-ha….” Tawa lelaki itu mengoyak udara sore, suatu hari, ketika mereka berjalan menyusuri sungai kering yang tinggal berisi pasir dan batu-batu, di tepi hutan di kawasan Ermera. Armila tidak dapat memejamkan matanya. Dadanya tetap bergemuruh. Kepalanya kacau oleh pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran aneh. Kadang-kadang ia teringat kuliahnya yang kacau akibat pergerakan Clandestine yang diikuti dan menyeretnya cukup jauh ke masalah-masalah politik yang tak sepenuhnya ia pahami. Apalagi setelah Jao sering mengajaknya keluar masuk hutan, atau mengunjungi desa-desa di malam gelap tempat para forsa bertemu. Bayang-bayang lelaki jangkung berambut keriting itu pun muncul di benaknya, menyeringai, tertawa, lalu lenyap begitu saja begai ditelan rimba gelap. Armila kadang-kadang merasa amat benci pada lelaki itu, lelaki yang sering berbuat sesukanya: jarang mandi, tidur mendengkur seenaknya di mana saja, minum anggur sampai tubuhnya oleng, suka mencaci maki dan menempeleng anak buahnya-bahkan pernah menembak seorang anak buahnya tanpa sebab yang jelas. Namun, ada kekuatan aneh yang tak dapat dibendung oleh apa pun, getaran yang juga tak sepenuhnya ia pahami: cinta. Kekuatan ini seperti gerakan subversif, terus merongrong hatinya. “Engkaulah satu-satunya wanita yang berhasil menundukkan hatiku, Armila. Aku mencintaimu,” kata Jao dengan bibir bergetar dalam sorot cahaya api unggun di dalam goa tersembunyi di balik bukit, pada suatu malam. Armila hanya menunduk. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap hatinya. Dan, seperti api unggun yang membakar kayu-kayu kering, cinta pun lantas membakar berahi mereka sampai hangus, sebelum perempuan itu benar-benar menyadari arti cinta dan kehadirannya. Hanya mereka berdua di dalam goa itu. Sebagian forsa yang lain sedang turun ke Liquisa untuk menjemput kiriman dari Dili. Udara malam tiba-tiba mati. Hening sekali. Hanya suara jangkrik dan burung hantu di kejauhan, serta kemeretek kayu-kayu kering yang terus terbakar api unggun. Armila tertidur setelah merebahkan kepalanya, seperti kapal menemukan pelabuhan, di pangkuan Jao. Armila tidak ingat benar sejak pukul berapa ia tertidur di kamar sempit rumah Mariana. Ketika membuka mata, hari sudah agak siang. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos masuk lewat celah-celah atap genteng. Kepalanya terasa agak berat. “Mandilah biar segar. Kamar mandi di belakang. Sudah ada handuk di sana.” Mariana melongokkan kepalanya lewat mulut pintu kamar yang setengah terbuka, sambil tersenyum pada Armila yang masih terbaring di balik selimut bergaris-garis hitam. “Thank’s.” Armila bangkit dan melompat turun, melangkah agak gontai ke kamar mandi. Selesai mandi dan merapikan diri, ia langsung ke ruang tamu. Ada ganjalan pertanyaan yang mesti dipuaskan oleh jawaban Mariana. “Ini anakku. Yasso, ayo berkenalan dengan Tante Mila.” Mariana sudah menunggu di ruang tamu bersama anaknya-seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahun. Anak itu berdiri menyongsong Armila sambil mengulurkan tangannya. Ia menyambut tangan itu dengan hangat. Ada getaran aneh ketika ia menatap wajah anak itu. Wajah itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang sangat dikenalnya: Jao Alvino. Armila terlongong beberapa saat sampai suara Mariana menyadarkannya. “Yasso, sana makan dulu bersama nenek di belakang.” Anak itu menurut saja. “Wajahnya mirip Jao kan?” Mariana agaknya menangkap apa yang sedang bergejolak di hati Armila. “Jadi… itu anak Jao?” “Ya.” Wajah Armila mendadak berubah kemerahan. Ada arus listrik yang tiba-tiba menyengat hatinya. “Jadi… kau istri Jao?” “Ceritanya panjang. Kami bergaul cukup lama ketika sama-sama di SMA. Dia mau menikahiku selesai ujian, tapi dengan syarat aku mau ikut dia ke Lisabon. Aku tidak keberatan asal boleh membawa mamiku. Kau tahu, aku anak satu-satunya. Papiku sudah lama meninggal. Sedang mamiku tak punya saudara dan sering sakit-sakitan. Tentu aku tak tega meninggalkannya dalam keadaan begitu. Lalu Jao nekat berangkat sendiri. Katanya, masa depannya ada di sana. Empat bulan setelah kepergiannya, Yasso lahir. Tahu-tahu, tahun lalu dia muncul lagi. Katanya, ada yang harus dia perjuangkan di sini.” Mendengar cerita itu, hati Armila seperti diberangus api. Bumi dirasakannya seperti jungkir balik tiba-tiba. Tapi ia berusaha keras menguatkan diri, mencoba mendengarkan cerita itu dengan dingin. Namun, pertahanannya jebol juga. “Bajingan! Lelaki itu telah membohongiku!” teriaknya setengah histeris. “Maafkan aku, Mila, aku telah mengganggu perasaanmu. Aku tahu kau mencintai Jao. Tapi, kurasa, kau perlu tahu ini semua agar tak ikut menjadi korbannya.” Dada Armila bergemuruh keras, seperti mau meledak. Ia ingin menjerit keras-keras, atau mengumpat Jao sambil berteriak kuat-kuat. Tapi ini tidak ia lakukan. Lelaki itu toh tidak ada di depannya. Bahkan nasibnya pun tidak jelas, tertembak mati, ditangkap tentara, atau lolos kembali ke hutan. Yang dapat dia lakukan hanyalah menangis sambil mendekap Mariana. “Maafkan aku, Mariana. Aku sungguh tak bermaksud merebut Jao dari tanganmu. Dia yang telah membohongiku,” katanya dengan agak terbata, setelah tangisnya reda. “Kau tidak bersalah, Armila. Itulah Jao, kalau kau mau tahu. Dan, jangan kaget, ada korban lain yang bernasib lebih malang daripada kita. Kira-kira tiga bulan setelah muncul kembali, Jao mengajak seorang gadis ke barku. Isabela namanya. Ia bilang gadis itu keponakannya. Kira-kira lima bulan kemudian, gadis itu datang sendiri sambil menangis. Ia bilang, telah mengandung anak Jao. Kulihat perutnya memang sedikit membuncit. Ia minta tolong agar aku mendesak Jao untuk menikahinya. Ia bahkan mengancam, kalau Jao tidak menikahinya, ia akan melaporkan persembunyiannya pada tentara. Malamnya Jao datang ke barku. Maka, semua keinginan gadis itu kusampaikan kepadanya. Seminggu setelah itu, gadis itu ditemukan mati terbunuh di tepi hutan.” “Ya, ampun…” Armila terperangah. “Apa Jao yang membunuhnya?” “Tidak ada bukti yang jelas. Tapi, ada yang melihat, sehari sebelumnya gadis itu pergi bersama Jao.” Menuju pebukitan lereng menyusur meliuk-liuk yang bus dalam di hati, berkali-kali umpatnya pembohong!? benar-benar itu ?Lelaki maafkan. ia dapat tidak kepahitan suatu Alvino, Jao bernama lelaki seorang ulah akibat kaumnya menimpa tragedi serangkaian menyakitkan: teramat bahkan pahit, kenangan adalah Tapi, Jao. dijanjikan Armila-seperti dibawa manis bukan umum naik Liquisa Maka, begitu menginjakkan kaki di Kota Dili, yang pertama-tama dicarinya adalah kabar tentang nasib Jao dan di mana ia berada. Ada dendam baru yang mesti ia tumpahkan kepada lelaki jangkung itu. Ia seperti tidak sabar lagi. Hatinya terasa hangus terbakar. Ia ingin menemui lelaki itu hari itu juga, hidup atau mati. Kalau lolos dari sergapan tentara, ia ingin memburunya ke hutan. Kalau tertangkap, ia ingin melunaskan sakit hatinya di penjara. Kalau mati, ia ingin menyumpahi mayat atau kuburannya. Armila menemui beberapa aktivis Clandestine yang biasa berhubungan dengan Jao. Tapi mereka mengatakan belum ada kabar. Mereka hanya mendengar tentang Alves dan kawan-kawannya yang tertangkap di Liquisa. Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri tertembus peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. “Mariana sudah bercerita banyak tentang kau,” katanya dengan mata yang memancarkan kebencian. “Cerita apa saja dia?” Jao langsung curiga. “Kau pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong besar, Jao.” “Bangsat dia!” Mata lelaki itu makin merah menyala. “Kupikir, ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan tempat persembunyianmu pada tentara.” Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan pukulan telak. “Jadi, kau mengkhianati aku, Armila? Kau mengkhianati bangsa Timor! Bangsat kau!” “Tidak, Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan Clandestine. Tapi, bangsa Timor tidak membutuhkan orang seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kamu. Kau tak ada artinya bagi masa depan kami. Selamat tinggal, Jao!’’ Dengan wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi itu. “Bangsaaat! Awas, kubunuh kau, pengkhianat! Perempuan busuuuuk!!!” suara Jao keras sekali, seperti mau meledakkan penjara. Tapi, Armila terus melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar umpatan itu. Hatinya, yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagai serpihan ombak yang terus berdansa di Pantai Liquisa. Dili, Juli 1994
""Ombak Berdansa di Liquisa""
Januari 1965. Tahun itu, aku berusia delapan tahun, dan namaku Dara. Aku punya dua adik laki-laki, yang menurut Mama harus lebih diperhatikan karena mereka masih kecil (sepulang sekolah aku harus ikut menjaganya). Sementara Mama merawat anggrek, yang bergelantungan di pohon belakang rumah. (Mama berharap anggrek ini, kelak bisa menambah biaya sekolah kami. Menurut Mama, Papa cuma pegawai negeri sipil yang gajinya hanya cukup untuk sebulan). Ada sisi lain sepulang dari kerja, Papa cuma mengganti-ganti gelombang radio dan berkata dengan sangat kesal, “Brengsek siaran radio apa ini, mendengar musik Elvis dan The Beatles dilarang. Padahal, aku tidak suka dengan siaran di radio itu, yang isinya cuma propaganda.” Senja itu, aku sedang mencabuti uban Papa dengan bayaran 50 sen untuk setiap uban. Tiba-tiba telepon berdering. Papa menjawabnya dengan berteriak-teriak (waktu itu hubungan jarak jauh memang tidak begitu jelas). Kemudian, secara bergegas Papa ke halaman belakang menemui Mama yang sedang belepotan dengan anggrek-anggreknya. “Daryo sudah berada di Surabaya. Minggu depan, dia akan mengunjungi kita. Bapaknya kan sakit, dia akan mengajukan cuti besar. Dan kabar lainnya, dia membawakan pesananmu, parfum yang bermerek Maya.” Kemudian Mama berbicara kepadaku, “Om Daryo, sepupu papamu. Dia Simbat, si pelaut. Kita sudah tidak bertemu selama lima tahun. Teddy Bear yang kau terima lima tahun yang lampau adalah kirimannya. Dia bisa keliling Eropa tidak seperti papamu yang cuma pegawai negeri. Seandainya dia di sana terus kala kau sudah tamat SMA, belajar saja di negeri Belanda atau Eropa.” “Aku tidak suka sekolah di negeri Belanda. Kalau aku besar aku akan pergi jauh dan jauh sekali.” Mama tidak menanggapi omonganku. Kembali aku harus mengawasi kedua adikku yang sore ini bukan main rewelnya. Pesiapan menyambut Om Daryo seperti kala menyambut Lebaran saja. Ada ketupat lengkap dan Mama memakai gaun merah muda yang cantik sekali (dia kelihatan cantik sore ini) ketika Simbat si pelaut datang. Kami sekeluarga mendapat oleh-oleh, Mama mendapat parfum, Papa mendapat arloji yang bagus, dan saya terlonjak, Om Daryo memberi saya boneka Barbie bersama pacarnya, Ken. Malam-malam sesudah itu, pada satu kesempatan Mama berkata kepada Papa, “Papa, sudah ketemu teman yang asyik kan? Buktinya Papa betah meladeni omongan Daryo sampai malam.” “Entahlah, yang diomongkan buku-buku politik. Padahal, aku tidak suka. Dengar di radio saja aku sudah muak. Tetapi, asyik juga mendengar obrolannya.” Hampir tertelan olehku roti ini dan kutanyakan agak bergegas, “Pa, buku politik itu apa? Saya tidak suka karena tidak ada gambarnya.” Mama menyela, “Aku juga tidak suka buku-buku seperti itu, yang aku suka duit.” Papa tertawa dan di teras muka sudah terlihat Om Daryo melambai-lambaikan tangannya sambil membawa beberapa buku lagi. Papa sedang di kamar mandi, saya tanyakan kepada Om Daryo, “Mengapa Om dan Papa suka buku itu, apa sih isinya? Padahal tidak ada gambarnya.” “Kalau aku kembali ke Eropa, buku-buku ini akan kutinggal di sini agar kelak kalau kamu dewasa kamu biasa membacanya. Zaman itu, kau sudah tidak lagi menyukai boneka.” “Aku selalu akan suka boneka sampai dewasa. Kalau aku pergi dari rumah ini, Barbie dan Ken akan bersamaku.” Om Daryo tertawa dan malam itu aku merasa gembira karena aku tidak diusir oleh Mama kala mendengarkan percakapan kedua orang lelaki itu. Tanpa terasa, aku kemudian tertidur. Besoknya, Mama ngomel karena hari itu aku tertidur di muka tamu. “Makanya, jangan suka nguping obrolan orang dewasa. Kan lebih baik kamu belajar agar kelak naik kelas dengan peringkat yang bagus.” Tapi Papa berpendapat lain, “Biarkan Dara menguping ia akan mendapat pelajaran dari buku-buku yang kami diskusikan.” “Diskusi apa? Buatku Dara dan adik-adiknya harus belajar pelajaran di sekolah.” Memang, suasana rumah rasanya lain kalau Om Daryo hadir di tengah kami. Sekalipun Mama jarang ikut nimbrung sampai malam, kentara sekali Mama tidak pernah membenci percakapan dari tamu kita yaitu, Om Daryo. Kami memang jarang menerima tamu dan dari yang jarang itu kadang-kadang Mama tidak suka kepada tamu Papa. Papa juga tidak terlalu suka kepada tamu atau teman Mama. Tetapi, kelihatan sekali mereka berdua suka dengan Om Daryo, sekalipun kadang-kadang Papa sering mengatakan kepada Mama, “Daryo itu aneh menyukai buku-buku seperti itu.” “Dari dulu kan Daryo eksentrik,” kata Mama telak. Papa tidak berkometar dan seandainya Om Daryo tidak datang sehari saja suasana rumah seperti semula. Papa akan mengotak-atik radio sedangkan Mama belepotan dengan anggreknya dan saya akan disuruh mama menjaga adik-adik. Suatu kali, ketika Om Daryo datang lagi dan sedang asyik ngobrol dengan Papa di ruang tamu, saya ingin Papa mengajariku matematik. Kali ini yang mengajari Om Daryo. Sedang Papa asyik membaca buku-buku itu kemudian selesailah PR matematik. Ketika saya lihat Mama sudah tertidur bersama adik-adik, saya keluar lagi ke ruang tamu ini, melihat keasyikan mereka ngobrol kadang-kadang berdebat dan menunjuk-nunjuk alinea dalam buku. Mereka kadang-kadang tertawa bersama. Saya cuma mendengarkan tanpa mengerti, tetapi asyik sekali rasanya. Memang sejak kehadiran Om Daryo rumah kami seperti anggrek yang kena siram, terus-menerus segar dan tegar. Kalau kami sekeluarga kumpul, Om Daryo akan bercerita tentang laut, bajak laut, dan Eropa. Saya seperti terpesona kalau mendengar ceritanya tentang bajak laut yang menghadang kapalnya. Mama sering bertanya tentang Eropa dan matanya seperti bermimpi kalau mendengar cerita tentang Eropa. Pada saat seperti itu Papa bilang, “Aku selalu bermimpi anak-anak bisa sekolah di sana, suhu politik semakin tidak menentu banyak orang bilang bahwa negeri kita akan dikuasai komunis. Dari siaran luar negeri beritanya terbalik-balik, bahwa ada kekuatan lain yang ingin menumbangkan Presiden Soekarno.” Kalau sudah berbiacara hal itu suasana jadi hening. Mama berkata pelan-pelan, “Sebagai pegawai negeri Papa akan mendapat jaminan di masa tua. Kalau Papa ingin imigran ke sana apakah harus mulai dari nol, sedangkan usia Papa sudah 37 tahun. Bagimana menurut Mas Daryo?” “Aku sebetulnya sepakat dengan pendapat Masmu, kehidupan di negeri ini semakin tidak menentu. Asal mau jadi tukang cuci piring di restoran, aku bisa mengusahakan. Aku punya teman pemilik restoran yang butuh tukang cuci piring.” Mama terdiam agak lama kemudian berkata, “Kalau begitu, biarlah kita lihat-lihat dulu suasana di sini. Saya lebih suka di Kota Malang, kalau tidak terpaksa pindah buat apa kita pindah.” Kemudian Om Daryo menyela, “Aku mungkin tidak bisa kembali ke Indonesia. Istriku, Margareta, pasti tidak bisa hidup di Indonesia. Dia sudah bahagia menjadi karyawan di radio dan bukankah saya harus membantu kebahagiannya? Apalagi dua anak laki-laki kami tidak mau serumah lagi.” “Maksudmu tidak tinggal serumah dengan kalian lagi, bukankah Ricard dan Bangun masih berusia 17 dan 20 tahun,” kata Mama. Om Daryo bilang, “Anak-anak di negeri Belanda tidak bisa ditahan di rumah kalau sudah usia segitu. Karena mereka bisa mandiri dalam artian bisa mencari uang sendiri.” “Aku kalau begitu mau di negeri Belanda, biar bisa cari uang sendiri.” Om Daryo tertawa. Tentu saja aku tidak meneruskan ucapanku yang seperti ini, aku lebih suka hidup bersama Barbie dan Ken karena kalau aku hidup sendiri, Mama tidak akan menyuruhku menjaga adik-adikku yang rewel. Kemudian Papa memotong pikiranku, “Walaupun aku di sini sudah menjadi Kabag, aku rela menjadi tukang cuci piring di negeri orang, asal anak-anak bisa sekolah dengan teratur. Saya dengar di radio-radio luar negeri, negeri ini sudah seperti api di dalam sekam, aku khawatirkan pendidikan anak-anak.” “Ya, aku bisa merasakan keprihatinanmu. Kalau Bapak sudah sembuh, kau bisa pikirkan ikut bersamaku.” Begitulah Om Daryo, mungkin kegembiraan kami kalau dia datang karena bisa memberi atensi kepada kami bahkan sampai ke adik bayiku. Rasanya semakin lama aku semakin betah untuk duduk mendengarkan omongan mereka, tanpa aku mengerti mereka bicara apa. Jadi, kami merasa sore hari tidak lengkap jika Om Daryo tidak datang. Kami memastikan kalau dia datang akan bisa menghabiskan malam-malam yang rasanya pekat. Suatu ketika Om Daryo bercerita kepada kami, dia mendapat bagian merawat bapaknya dari pagi sampai magrib. Kalau adik-adiknya pulang kerja, baru adik-adiknya yang menggantikan untuk merawat bapaknya dan Mama sering memuji sikap Om Daryo, “Lihatlah Dara, Om Daryo mau berhenti bekerja hanya untuk merawat bapaknya yang sudah tua. Semoga kau dan adik-adikmu bisa melakukan hal yang sama kalau kami sudah tua.” “Tentu saja aku akan mencarikan Mama suster.” “Om Daryo bisa melakukan hal itu kalau dia mau, tetapi dia memutuskan untuk merawatnya sendiri, Dara.” Bulan-bulan berikutnya Om Daryo jarang datang ke rumah. Menurut Mama, bapak Om Daryo semakin sakit keras. Dengan wajah muram, Papa sering berkata, “Apakah kau bisa menghubungi sepupumu yang di Malaysia itu? Saya ingin kau dan anak-anak pergi ke sana terlebih dahulu.” “Papa itu omong apa? Kan Papa Kabag, tidak mempunyai partai politik atau aktif di partai mana pun. Selama ini yang Papa lakukan dengan Mas Daryo cuma sebatas wacana saja kan? Tidak pernah dengan orang lain.” “Entahlah, kedudukanku sebagai Kabag membuat banyak orang iri, lebih-lebih mereka yang merasa orang partai.” September 1965. Beberapa hari yang lampau kami sekeluarga takziah ke rumah Om Daryo dan Om Daryo berkata, “Setelah tujuh hari meninggalnya Bapak, saya akan kembali ke Eropa. Mulai sekarang Mas harus mengurus paspor dan saya usahakan untuk mendapat visa kerja. Temanku mau memberi surat untuk bertanggung jawab kepada sampeyan selama berada di negeri itu.” Mama kelihatan mengiyakan dengan cepat. Perpisahan dengan Om Daryo sungguh mengharukan. Sambil memelukku, dia bilang kepada Papa, “Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke Indonesia. Mudah-mudahan urusan Mas cepat selesai dan kemudian istri dan anak-anakmu lekas bisa menyusul.” 7 Oktober 1965. Malam itu saya terbangun, orangtua saya membakar buku-buku itu. Ketika melihat saya Mama berkata, “Jangan bilang pada orang lain Nduk kita pernah membakar buku-buku ini agar Papamu tidak dianggap PKI.” Waktu itu saya baru saja berusia delapan tahun. Tetapi, mendengar omongan Mama saya bayangkan sebuah kesedihan akan datang kepada kami. Ketika saya tercenung begitu, Papa memelukku, “Dara, semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kataku ini.” Amsterdam April 2004. Dalam suatu seminar di negeri ini, saya sempatkan bertemu dengan Om Daryo dan Tante Margareta. Mereka sudah berusia sekitar 76 (seusia Papa), namun mereka berdua kelihatan masih sehat dan bahagia! Ketika mereka berdua memelukku, saya menangis. Dan malamnya saya bermimpi bertemu Papa yang berkata demikian, “Dara semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kata ini.” Saya terbangun dari mimpi tadi, masih di Amsterdam. Dan saya ingat 7 November 1967 beberapa orang membawa pergi Papa. Sejak itu, Papa tidak ada kabarnya, sampai hari ini! Malang, 2004
""Tamu""
Ada sebuah peristiwa di mana aku tahu, semenjak itu terjadi, aku tidak akan lagi menemukan sebuah pagi yang membahagiakan. Peristiwa itu menggenapi rentetan peristiwa sebelumnya, menyempurnakannya dalam satu rumus kesedihan yang tidak terelakkan. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada rumah yang hangat. Tidak ada anak-anak yang berteriak girang dan sehat. Tidak ada seorang laki-laki yang memelukku dari belakang, mencium punggungku, dan membisikkan kalimat sayang. Aku tumbuh nyaris tanpa orangtua. Sejak kecil aku hanya hidup dengan seorang nenek yang keras kepala dan surat-surat dari jauh, kabar dari orangtuaku. Nenekku mempertahankanku sebagai cucu semata wayang untuk tidak bersama orangtuaku yang menempuh hidup di dunia yang jauh. Dunia yang jauh dari jangkauan dan alam pikir nenekku. Ia berpikir hidup adalah sesuatu yang bisa diteruskan. Ia, nenekku, berharap aku adalah sosok yang bisa meneruskan kehidupannya. Kehidupan yang tidak bisa kumengerti. Dan aku hidup dalam hening dan sepi yang melilit. Di sana aku tumbuh, menjalar, menggapai sesuatu yang serba lamat-lamat. Rumah tua besar yang angkuh dan sepi. Seorang perempuan tua yang nyinyir, dan surat-surat yang tidak memberitakan apapun selain kabar bahwa mereka berdua, orangtuaku, baik-baik saja dan selalu rindu. Tapi apa yang kupahami dari surat-surat yang hampir sama itu? Tidak ada. Lalu aku tumbuh menuju remaja. Seorang gadis, yang kata beberapa teman, cantik dan aneh. Pergi ke sekolah, pulang, pendiam, tidak banyak teman. Seorang gadis remaja yang menyusuri jam-jam penuh dengan kelelahan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Aku merasa tidak punya modal untuk memulai sebuah pergaulan. Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai tiket masuk dalam sebuah dunia yang renyah. Hingga seorang laki-laki memasuki duniaku seperti petasan yang membangunkan seseorang dalam tidur resahnya. Aku merasakan waktu itu sebagai anak tangga baru yang bisa kutempuh. Aku berharap bisa menemukan sesuatu yang selama ini kuharap, semacam perlindungan dan rambatan. Tapi ternyata tidak. Aku justru memasuki pintu sedih berikutnya. Masuk ke dalam lorong gelap teror dan ketakutan. Ia hanya memenuhi hidupku dengan ancaman-ancaman dan persetubuhan yang ganas. Ia membawaku lari dari kehidupan nenekku, meninggalkan sebuah ruang sepi yang kubenci tapi membawaku dalam gelap yang lain. Kamu tahu aku tidak mempunyai apa-apa bahkan sekadar kenangan yang menyenangkan tentang hidup ini. Harapan tentang seseorang yang melindungiku lenyap dan digantikan dengan perasaan bahwa hidup ini tak lebih dari rentetan kisah sedih yang terasa panjang. Laki-laki itu terus melempar teror dari segala yang ada di dirinya. Mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat pedih, penghinaan, ancaman maut, dan gigitan di tubuh saat ia meregang memuntahkan hasrat yang aku tidak pernah bisa merasakannya. Tangannya begitu ringan mampir di tubuhku meninggalkan bilur-bilur kesakitan. Aku larut di sana, dalam hari-hari yang penuh dengan siksaan. Hingga kemudian aku hamil dan ia menikahiku. Secercah harapan muncrat. Siapa tahu dengan kehamilanku, ia bisa sedikit menganggapku bahwa aku masih manusia, setidaknya karena di dalam rahimku ada benih kehidupan darinya. Tapi ternyata tetap tidak. Aku adalah gelap itu sendiri. Ia tetap datang dengan kelakuan iblis yang sama, bahkan ketika aku melahirkan, ia hanya menengokku sebentar, tak ada kecupan selamat dan wajah bahagia yang kutangkap. Kelahiran itu tidak memberiku berkah apa-apa. Tidak ada tangan gaib yang membelaiku sesaat karena aku telah menimang buah kehidupan yang lain. Tidak ada janji Tuhan pada umatnya seperti yang ada di kitab-kitab. Tidak pernah ada buah dari kesabaran dan penderitaan yang panjang. Tidak pernah ada. Kelahiran bayiku itu justru hanya semakin mengukuhkan aku tidak punya apa-apa, juga hak untuk membunuh diriku sendiri. Ketika perasaan ingin mengakhiri hidup ini datang padaku, wajah bayi itu mengurungkannya. Aku berpikir, bayi itu juga tidak akan punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa jika aku meninggalkannya. Kemudian aku belajar menaruh harapan pada bayi itu. Aku mencoba merawatnya dengan baik di tengah kepungan marabahaya yang bisa datang kapan saja dari laki-laki itu. Laki-laki itu bisa datang pada tengah malam, membangunkanku dengan paksa, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di pagi benar, membanting piring sebab tidak ada makanan di meja makan, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di siang hari, menghinaku karena aku tidak mendatangkan uang, karena aku tidak punya bentuk tubuh yang bagus, kemudian menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di sore hari, memukuliku hanya karena aku habis mandi dan dia mengatakan bahwa pasti aku berdandan karena sedang berselingkuh dengan laki-laki lain, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang… Jika kamu bilang bahwa hidup itu jalinan antara kesedihan dan kebahagiaan, katakan saja itu pada orang lain. Jangan katakan padaku. Jangan pernah. Aku tidak percaya. Ketika bayiku mulai tidak menyusu, aku sempatkan diri untuk bekerja membuat kue dan mengedarkannya di warung-warung terdekat. Usahaku itu mulai tumbuh membesar seiring dengan besarnya anakku. Aku pikir, ini saatnya aku bisa menapaki hal baru dalam hidupku, setidaknya untuk anakku kelak. Tapi tetap saja tidak. Ketika aku pulang dari mengantarkan kue, dari pintu depan aku dengar suara anakku yang menangis kencang, dan ketika kubuka pintu kamar… laki-laki itu sedang bercinta dengan seorang perempuan di samping anaknya yang menangis karena kehausan. Aku mendatangi mereka dan kutampar wajah laki-laki itu, lalu kubawa pergi anakku. Selesai sudah. Selesai sudah? Ah, tidak. Aku pergi jauh. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain dengan dikuntit oleh perasaan tak aman dan teror hitam kenangan, dengan uang yang tak seberapa di tangan. Hingga kemudian aku memutuskan untuk menetap di sebuah kota, berharap bisa membangun sesuatu yang baru bersama dengan anakku yang baru bisa menyebut kata: mama… Aku membuat lagi kue, mengedarkannya sambil tetap membawa anakku kemana saja. Hingga kemudian aku bisa menyewa rumah, menggaji orang untuk sebentar saja menjaga anakku sebab bisnisku mulai berkembang dan semakin jauh edarannya. Sedikit demi sedikit biji harapan mulai keluar dari tanah kenangan yang kejam dan tandus. Tapi itu semua belum juga berakhir. Seperti kepulangan yang dulu, ada suara berdengung di telingaku yang memaksaku pulang lebih dulu, dan kudengar tangis anakku dari jauh sambil menyeru-nyeru kata “mama” berulang-ulang. Orang yang menjagaku menggigil di depan pagar, ketakutan. Aku masuk rumah dan kudapati beberapa orang berada di dalamnya. Salah satunya adalah laki-laki itu yang sedang mendekap keras anakku yang berusaha meronta dan menangis tapi tetap tidak bisa lepas dari dekapan laki-laki itu. Aku tahu, sesuatu yang lebih buruk sedang menungguku. Rombongan orang itu membawaku pergi dengan pesan yang terngiang dari laki-laki itu agar aku menyelesaikan urusan perceraianku dengannya. Tentu, aku menceraikannya. Tapi bukan itu, ia juga mempermasalahkan hak asuh anakku. Dan itu artinya aku harus melalui proses peradilan yang panjang dan bertele-tele. Aku sudah tidak punya tenaga lagi, dan terutama, aku tidak punya uang. Lalu kuputuskan untuk pergi melayang tanpa arah. Setiap kali aku mencoba untuk membunuh diriku sendiri, wajah anakku memberatiku. Padahal aku tahu, aku tidak pernah bisa bertemu dengannya lagi. Ini adalah dua tahun kepergianku, dan baru kali ini aku bisa menceritakan kisahku. Hanya padamu. Aku tidak tahu kenapa aku harus bercerita padamu. Dan aku tidak tahu untuk apa aku menceritakan ini semua. Kamu mungkin bisa mendapatkan kisah-kisah yang jauh lebih sedih di buku-buku cerita atau di film-film. Tapi… Ah, aku tidak tahu… seharusnya kata “tidak” saja sudah cukup. Semua hal di atas kuceritakan pada seorang laki-laki yang belum begitu kukenal. Semua itu berawal dari ketika aku akan menyeberang jalan menuju ke sebuah stasiun. Dari stasiun kulihat dua laki-laki, yang satu kemudian menyeberangi lalu lintas yang padat, sementara aku masih sibuk untuk berusaha mencari celah agar aku bisa segera menyeberang. Rupanya agak jauh dari tempatku ada seorang perempuan tua yang juga sedang berusaha untuk menyeberang jalan. Ternyata laki-laki itu hendak menolong perempuan itu untuk menyeberang. Waktu itu aku hanya membatin, ternyata masih ada orang yang agak baik di dunia ini. Di peron, aku melihat lagi dua laki-laki itu. Kemudian kulihat laki-laki yang tadi membantu menyeberangkan jalan perempuan tua, berjalan menuju pojok stasiun menghampiri seorang nenek penjual kacang rebus. Laki-laki itu kulihat balik dengan membawa bungkusan penuh dengan kacang. Aku mendengar kawannya bertanya, “Untuk apa membeli kacang sebanyak itu?” Dan aku mendengar jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, “Kamu bawa pulang untuk teman-teman. Nenek itu hebat, ia perempuan hebat.” Selanjutnya, pengumuman kereta yang kutunggu datang. Ternyata laki-laki itu satu gerbong denganku bahkan ia berada satu deret di sampingku. Di antara kami hanya dipisahkan oleh seorang ibu berkerudung yang duduk di sampingku, sebuah lorong, dan seorang laki-laki tua yang sering batuk di sampingnya. Kami sama-sama dekat dengan jendela. Dari bayang jendela di sampingku, aku melihat ia melambaikan tangan pada temannya yang ternyata hanya mengantar. Aku tergeragap dari lamunanku ketika ibu di sampingku berteriak setengah menangis pada kondektur yang sedang memeriksa tiket, ternyata tiket ibu itu ketinggalan. Aduh, sungguh kasihan sekali, dan tentu ibu itu tidak mungkin berbohong. Sebelum suasana bertambah runyam, laki-laki itu berdiri lalu mengajak kondektur dan ibu itu ke arah belakang untuk berbicara bertiga. Entah apa yang mereka bicarakan di sekat antargerbong, semua orang yang duduk di gerbong itu ingin tahu. Tapi tentu kami tidak bisa mendengar apa-apa. Hingga kemudian mereka bertiga berjalan kembali, pemeriksaan tiket dilanjutkan, ibu itu mengucapkan terima kasih berkali-kali ke laki-laki itu, lalu tertidur. Dan laki-laki itu tetap terlihat tenang seperti tidak ada kejadian apa-apa dan di sepanjang perjalanan ia membaca buku. Sedangkan aku terus dibawa oleh pikiran ke masa lalu yang rasanya tidak akan pernah selesai membuntutiku. Kereta berhenti. Orang-orang bersiap turun. Aku agak kesulitan menurunkan barang bawaanku yang kutaruh di atas, sebuah tas besar berisi pakaian yang akan kujual di kota ini. Aku memang berdagang pakaian untuk mempertahankan hidupku dan mengisi hari-hariku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengambil tasku sambil sebuah suara mengiringi, “Saya bantu, Mbak.” Aku menoleh kaget. Laki-laki itu seperti tidak peduli lalu menurunkan bawaanku, ia menoleh ke arahku sambil berkata lagi, “Mau keluar lewat pintu depan?” Sambil bingung aku mengangguk. “Kalau begitu biar saya bawakan saja.” Dan aku menurut tanpa bisa berkata apa-apa. Sampai di depan stasiun, ia bertanya, “Mau naik taksi atau ada yang menjemput?” Aku masih belum bisa mengatasi rasa bingungku dan berusaha menjawab, “O, tidak, saya naik angkot saja.” Kulihat ia mengernyitkan mukanya, lalu tersenyum sambil berkata, “Hari ini angkot di kota ini mogok.” Aku bingung, lalu buru-buru bertanya, “Anda tahu dari mana?” Ia meletakkan tasku di lantai lalu duduk dan menjawab, “Dari koran.” Aku belum sempat memberi respons atas jawabannya ketika ia kembali bertanya, “Mbak mau ke arah mana? Sebentar lagi saya dijemput oleh teman dengan mobil. Kalau kita satu arah, bareng saja, Mbak.” Aku masih belum menjawab ketika seorang laki-laki datang lalu mereka berpelukan erat dan berbagi kabar. Mungkin ia yang dimaksud dengan kawan yang akan menjemputnya. Lalu ia berbisik ke temannya, dan kemudian temannya menghampiriku dengan senyum dan bertanya, “Mau ke arah mana, Mbak?” Dengan agak gugup aku memberitahu tempat yang kutuju. Lalu laki-laki itu berkata, “O, itu satu arah dengan kami, Mbak. Mari bareng saja.” Aku belum juga sempat berkata apa-apa ketika laki-laki yang satu kereta denganku itu kembali membawakan tasku dan memberi anggukan untuk mengikuti mereka berdua. Dari pertemuan itulah, aku mengenal laki-laki yang sekarang sedang kuhadapi. Semenjak peristiwa itu, kami sering berhubungan, kadang ia menelepon, bahkan kadang ia mampir di tempat tinggal sementaraku jika aku ada di kota ini. Beberapa hari yang lalu, ia bertanya, apakah suatu saat aku bersedia untuk diajak makan malam? Dan seperti sebelumnya, aku tidak punya jawaban apa-apa selain mengangguk. Malam ini, ia mengajakku untuk keluar makan malam. Di sebuah ruang yang agak sepi, sebuah kalimat yang sungguh mengagetkan meluncur dari mulutnya: ia menginginkanku menjadi kekasihnya! Aku seperti sesak napas seketika. Duniaku terasa kembali dalam gelap. Ah, tidak, aku tidak boleh mempunyai harapan lagi pada hidupku kali ini. Aku tidak ingin ada yang ikut menanggung lukaku. Tetapi sepasang mata yang tajam dan tulus itu menggedor-gedor pintu harapanku, dan keinginan untuk hidup dalam hari yang menyenangkan menekan kuat dari dalam diriku. Ah, tapi tidak. Dan kata “tidak” itu yang kemudian keluar dari mulutku. Ia angluh. Mukanya tertunduk. Tapi kemudian kembali tegak, berusaha tersenyum. Dan ah… ada air mata di kedua sudut matanya. Lalu dari mulutnya meminta sedikit alasan dariku mengapa menolak permintaannya. Aku kemudian menata perasaanku. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku membuka sejarah yang ingin kubuang dalam hidupku. Di depanku, laki-laki itu tersedu sembari sesekali menggenggam tanganku. Tapi aku tahu, setelah cerita ini semua, ia hanya bisa tersedu. Tidak akan lebih dari itu sebab ini bukan kisah di buku-buku cerita dan di film-film. Dan ia memang hanya bisatersedu. Tidak lebih.
""Laki-laki yang Tersedu""
Lelaki itu samar-samar melihat seraut wajah yang hanya memiliki bibir dan hidung. Ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Bibir itu tersenyum. Tapi tarikan di ujung bibir terlalu dalam sehingga senyuman itu terlihat seperti sedang mengejek. Sinis. Dan seolah tak ingin diamati, tiba-tiba wajah itu berubah menjadi kecil, semakin kecil, bertambah kecil lagi…, hingga menjadi satu biji mata yang kemudian meloncat dan menempel di dinding! Lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Mimpi aneh itu memaksanya untuk bangun dan duduk bersila di atas tempat tidurnya. Sambil menopangkan dagu di atas lengannya, ia membuka kelopak mata. Sesaat ia terperanjat. Matanya bertabrakan dengan satu biji mata di dinding! Lalu ia memejamkan mata kembali sambil menarik nafas panjang. “Tak mungkin! Tak mungkin!” gumamnya berulang kali. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengeleng-gelengkan kepala beberapa kali, berusaha menghalau mimpi yang mungkin masih tersisa di benaknya. Setelah membuka mata kembali, bibirnya tersenyum. Mimpi itu telah berlalu, katanya dalam hati. Lalu ia merebahkan tubuhnya sambil menghembuskan nafas lega. Tapi sebelum hembusan nafas lega itu berakhir, matanya terbelalak. Ada satu biji mata di langit-langit! Ia segera bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan kamar tidurnya. Sambil berjalan, ia menoleh ke belakang beberapa kali. Menatap percaya! Walau suara azan subuh telah terdengar sayup dari mesjid yang terletak di ujung jalan, lelaki itu masih duduk gelisah di teras rumahnya. Ia merenung sambil menatap lantai. Tak dapat dipahaminya mengapa biji mata yang dilihatnya dalam mimpi dapat menjelma menjadi kenyataan. Ada kebimbangan untuk mempercayai apa yang telah dilihatnya. Ingin diperiksanya dinding dan langit-langit kamar tidurnya sekali lagi. Ia sangat ingin melakukan hal itu tetapi khawatir menerima kenyataan yang akan dilihatnya. Bagaimana bila biji mata itu ternyata masih berada di kamarnya? Mungkin sudah tidak berada di langit-langit. Mungkin sudah di atas meja lampu di samping tempat tidur, atau bahkan mungkin tergeletak di atas kasur. Benaknya terasa panas dan pengap dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Semakin berusaha untuk menjawab, semakin tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Hanya ada satu hal yang dapat ia simpulkan; ia merasa mengenal biji mata itu. Mirip dengan biji mata seseorang. Ia merasa pernah menyelam ke dalam bagian tengahnya yang berwarna hitam. Biji mata seorang perempuan! Mungkinkah itu biji mata Nita? Mata yang selalu mengundang sekaligus menantang. Mengundang lewat tatapan nakal yang disertai beberapa cubitan manja di lengan dan pinggangnya. Bila tatapan itu dibalas dengan bungkusan kecil berisi serbuk-serbuk putih, maka ia merasa berhak – dan tak akan pernah ditolak – untuk memeluk sambil meliuk-liukkan badan di lantai disko. Tantangan pun ditebarkan di bawah siraman warna-warni bola lampu kristal dan sambaran sinar laser. Dituntun oleh dentuman musik yang agak menusuk ulu hati, perut perempuan muda itu tak pernah mengelak ketika ia mengentak-entakkan bagian bawah pusarnya. Lengan mulus yang bergayut di tengkuknya turut menebarkan sihir yang memaksa lelaki itu untuk tetap menunduk, bersiap menyelam ke dalam telaga birahi yang di biaskan bola matanya. Sambil mengusap-usap kelopak matanya yang terasa pedih, lelaki itu bergumam, “Mungkin itu bukan Nita!!” Lelaki itu berdiri sejenak di ambang pintu untuk mengamati semua furniture di dalam kamar tidurnya. Tak ada yang berubah. Semua tetap bersih dan tak ada yang bergeser dari tempatnya. Perempuan tua yang menjadi pembantu di rumahnya telah mengganti bed-cover dengan warna biru. Warna kesukaannya. Sebelum melangkah, ia mengamati dinding dan langit-langit. Bersih. Tak ada biji mata yang menempel! Telah seminggu lelaki itu tidak tidur di kamarnya. Malam dilewatinya dari satu kamar hotel ke kamar hotel lainnya. Selalu berpindah-pindah. Tapi, semakin lama menginap di hotel, semakin menggumpal kegelisahan di hatinya. Ia merasa direndahkan. Satu biji mata telah mengusirnya dari sebuah ruang yang sangat pribadi baginya. Ia bebas tidur di mana saja terkecuali di kamar tidurnya sendiri. Ia bebas dalam ketidakbebasan. Ia mulai merasa terhina. Akhirnya ia memutuskan untuk merampas kembali kebebasan yang pernah ia miliki. Aku harus melawan, katanya dalam hati sambil mengepalkan jari-jari tangannya. Aku tak akan menghindar, apa lagi melarikan diri. “Biji mata itu hanya sebuah halusinasi yang berhasil menancap ke dalam benak. Seolah ada, padahal tidak ada. Tak ada tempat bagimu untuk bercokol di benakku!” gumam lelaki itu. Akan kau rasakan perlawananku! Lelaki itu membaringkan tubuhnya. Menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Ia belum sempat memejamkan mata ketika satu biji mata tiba-tiba menempel di dinding. Dengan sigap, ia bangkit untuk meraih sebatang pipa besi yang telah ia persiapkan. Ia sengaja meletakkan pipa besi itu di samping tempat tidurnya. “Siapa kau?” bentak lelaki itu sambil membidikkan bagian runcing di ujung pipa, mengancam hendak menusuk. Bulatan hitam di bagian tengah biji mata itu tiba-tiba berubah warnanya. Menjadi merah. Seperti warna bara api. Mengkilap. Sesaat kemudian, biji mata itu meloncat ke lobang udara dan menghilang. Lelaki itu tersenyum. Matanya berbinar-binar. Embusan nafas lega beberapa kali mengalir dari kerongkongannya. Persis seperti yang diduganya. Tak akan ada perlawanan. Benda lembek itu hanya bisa menampakkan diri untuk menakut-nakuti. Baru digertak dengan ujung pipa besi, sudah terbirit-birit melarikan diri. “Keberanian yang dipersiapkan dan diperhitungkan dengan baik akan selalu membawa kemenangan,” katanya lirih. Belum lewat tengah malam, lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Matanya terbelalak melihat satu biji mata yang melayang-layang di kamar tidurnya. Dengan gesit, diraihnya kembali pipa besi itu. Ia langsung menyerang. Ujung pipa yang runcing ditusukkannya berulang kali. Tapi biji mata itu selalu berhasil mengelak. Ketika biji mata itu berhenti melayang-layang, lalu menempel di bagian atas dinding, lelaki itu memburunya dengan amarah yang meluap. Lengannya terangkat tinggi, membidik, siap untuk menombak! Lalu pipa besi ditombakkan! Biji mata mengelak. Berulang kali ditombakkan. Berulang kali pula biji mata itu berhasil mengelak. Dan ketika melayang melintasi jendela, lelaki itu menombak kembali. Byaaar…! Ia berdiri kaku. Terpana. Keheningan malam dikoyak oleh suara kaca pecah. Pecahannya berserakan di lantai. Dinding dipenuhi lubang-lubang bekas tombakan! Lelaki itu terduduk di lantai. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Tersirat keputusasaan di raut wajahnya. Dengan tatapan resah, ia mengamati biji mata yang melayang persis ke hadapannya. Baru disadarinya bahwa biji mata itu ukurannya lebih kecil dari biji mata yang ia lihat sebelumnya. Bagian yang putih terlihat sangat putih. Bulatan hitam dibagian tengah sangat hitam. Pekat. Dan ketika bulatan hitam itu melirik ke sudut kamar, lelaki itu pun menoleh. Di atas pintu, ada menggantung satu lagi biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah! “Kau pembunuh!” Tuduhan itu berasal dari biji mata berukuran kecil yang masih melayang-layang di hadapannya. Suara itu jelas terdengar, lembut dan bening, seperti suara bayi. Lelaki itu menjadi kalut. Dengan tergesa-gesa, ia bangkit dan berlari meninggalkan kamar tidurnya. Lewat tengah malam, Satpam yang duduk mengantuk di posnya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang baru turun dari taksi. Ia menatap tak percaya. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dengan rambut acak-acakan dan piyama sutra yang menggantung di bahu. Lelaki yang harus diberi hormat dengan anggukan kepala setiap kali mobil mewahnya melintasi Pos Jaga. “Buka pintu office, ada hal penting yang harus segera kukerjakan!” Ruang kecil itu terletak di bagian samping gereja. Terisolasi. Ruang itu terbagi menjadi dua bilik. Salah satu dari bilik itu sering dipergunakan umat-Nya untuk mengakui dosa. Pada bagian tengah pembatas bilik, ada sejenis jendela kawat. Bentuk jendela itu seolah disengaja untuk membatasi pandangan mata, menghambat pikiran untuk mengembara, menuntun hati untuk pasrah. Hanya ada satu lampu yang bersinar redup tergantung di langit-langit. Ruang kecil itu terasa khusuk. Sepi. Orang yang sedang mengaku dosa menjadi merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang akan mendengar pengakuannya terkecuali seorang pastor yang duduk di bilik sebelahnya. Lelaki itu sempat mempertimbangkan untuk mengunjungi seorang psikolog. Ia ingin menceritakan semua kejadian yang ia alami, ingin mendengar saran agar ia dapat menghindar dari halusinasi yang sedang mengganggu dirinya. Ia merasa yakin biji mata yang mengganggunya hanyalah sisa sebuah mimpi yang belum sirna walau ia telah terjaga. Ia juga ingin mendapat penjelasan mengapa ada mimpi yang seperti itu. Tapi ada bisikan dari hatinya melarang untuk melakukan hal itu. Psikolog itu akan mengajukan banyak pertanyaan, bertubi-tubi. Dan bila ia menjawab dengan jujur, jawaban-jawabannya dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia tidak boleh berkata jujur kepada orang yang belum dapat dipercaya! Sambil berlutut, mata lelaki itu menerawang melalui lubang-lubang kawat. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya senyum di bibir pastor itu. Tapi senyum itu tidak cukup kuat untuk menenteramkan kegelisahannya. Jari-jari tangan lelaki itu mencengkeram kusen jendela. Bola matanya menatap penuh harap. Kesunyian di ruang kecil itu membuat debar-debar di dadanya terasa lebih keras. “Romo, sebulan yang lalu aku membayar seseorang untuk menabrak mobil Rosa, istriku!” kata lelaki itu lirih. Sambil menarik nafas panjang, ia menoleh ke kiri dan kanan. Lalu mengamati sudut-sudut bilik untuk memastikan bahwa tidak ada sebuah benda yang sedang mengintainya. “Sebenarnya Rosa sedang hamil. Akibat tabrakan itu, ia keguguran dan akhirnya meninggal. Tapi anak yang dikandungnya bukan berasal dari benihku. Aku memang mengawini perempuan sundal. Aku bosan menjadi bawahannya, Romo. Bosan hidup dalam kemiskinan. Aku mengawininya karena ingin mengubah jalan hidupku. Tapi dasar sundal, dibuatnya aku sebagai boneka mainan. Aku harus selalu mengatakan ya. Bila mengatakan tidak, ia mengancam untuk bercerai. Berulang kali ia mengancam seperti itu!” Lelaki itu terdiam sejenak. Ada bayangan yang melintas di hadapannya. Muncul berganti-ganti. Wajah pucat pasi di atas kereta dorong di Ruang Emergency, darah yang masih mengalir dari selangkangan, darah yang menggumpal di atas jok mobil, dan… senyum kemenangan yang sengaja ia sembunyikan dari bibirnya! “Romo, aku tak bersedia menjadi bola yang dapat ia tendang kapan dan ke arah mana ia suka”. Lelaki itu terdiam lagi. Ia menundukkan kepala. Entah mengapa, tiba-tiba dadanya berdebar-debar kembali. Bergemuruh. Butir-butir keringat mulai mengkristal di pori-pori dahinya. “Apakah dosaku masih dapat diampuni, Romo?” sambil bertanya ia mengangkat kepala. Tapi bola matanya bertabrakan dengan satu biji mata yang terselip di lubang kawat. Biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah! Dengan sigap lelaki itu berdiri, dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan Bilik Pengakuan Dosa. Beberapa langkah kemudian, ia berlari secepatnya. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Sekali pun tidak! Sekarang ia dapat memastikan bahwa biji mata berwarna merah itu adalah biji mata Rosa! Lelaki itu mengempaskan dirinya di atas kursi empuk di ruang kerjanya. Tubuhnya seolah tenggelam ditelan besarnya sandaran kursi yang terbuat dari kulit halus. Matanya memandang liar. Dinding-dinding dan langit-langit diamati dengan teliti. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah. Rongga dadanya terasa sesak. Dinginnya ac tak mampu menghentikan cucuran keringat di sekujur tubuhnya. Dan tiba-tiba, satu biji mata jatuh di atas meja kerjanya. Persis di hadapannya! Ia tahu itu adalah biji mata Nita. Mata yang terbelalak akibat overdosis, yang memiliki bibir indah, yang selalu mendesah meminta serbuk-serbuk putih disuntikkan ke urat darah di siku lengannya. Lelaki itu memejamkan mata. Ia merasa heran, mengapa biji mata Nita berani muncul di hadapannya. Tantangan apa lagi yang sedang ditebarkan? Padahal tantangan terakhir telah dijawabnya setengah jam sebelum perempuan muda itu terkapar tak bernyawa. Ia terus menghujamkan pinggulnya, tidak menyadari tubuh telanjang yang ditindihnya sebenarnya sedang sekarat, sedang meronta membebaskan diri dari serbuk-serbuk putih yang menari-nari meregang nyawa. Maka ketika membuka matanya, lelaki itu memutuskan untuk melawan. Bila ia menghindar, biji mata itu akan terus mengejarnya. Mungkin mengejar sambil tertawa mengejek. “Hai biji mata, kau tak akan pernah bisa menakuti dan mempermalukan diriku! Aku bukan seorang pecundang!” teriak lelaki itu sambil mengayunkan lengannya. Dengan cepat, ia menampar biji mata itu. Tapi dengan cepat pula biji mata meloncat ke atas, menghindar, dan jatuh kembali ke tempat semula. Sesaat kemudian, sebelum sempat mengulang tamparannya, tiba-tiba satu biji mata lain yang bagian tengahnya berwarna merah-entah datang dari arah mana-jatuh pula di atas meja kerjanya. Lelaki itu terhenyak. Ia sedang ditantang. Dipermalukan. Dihina. Dengan kemarahan yang meluap, ia mengayunkan lengannya kembali. Menampar berkali-kali dengan kedua belah tangannya, kiri dan kanan, silih berganti! Kertas-kertas, map, rak kertas in dan out, buku, jam meja, telepon, semua berserakan di lantai akibat tamparannya. Tapi dua biji mata masih tetap tergeletak di atas meja! Mengejek! Dengan nafas tersengal-sengal, tatapan tak percaya, lelaki itu melangkah terhuyung-huyung ke arah pintu. Ia ingin segera berlari meninggalkan ruang kerjanya. Berlari sekencang-kencangnya, berlari…, berlari…, entah ke mana. Tapi sebelum tangannya meraih gerendel pintu, langkahnya terhenti. Di gerendel pintu ada satu biji mata lainnya. Ukurannya lebih kecil. “Kau pembunuh!” Suara itu terdengar lembut, tetapi mampu membuat getaran panjang di gendang telinga lelaki itu, seolah ada gaung yang menghantam benaknya berulang kali! Di trotoar di pusat kota, ada seorang lelaki perlente yang selalu berjalan terburu-buru. Ia selalu menoleh ke segala arah. Matanya menatap curiga. Bibirnya selalu bergumam. Kadang-kadang ia berlari sambil berteriak sekeras-kerasnya seolah ingin mengalahkan kebisingan lalu lintas. Kadang-kadang ia berdiri terpaku mengamati jendela dan dinding kaca gedung-gedung yang menjulang di hadapannya. Sambil menunjuk bagian tertentu, ia berseru: “Mata! Mata! Ada mata…!” Beberapa orang yang berada di sekitarnya berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah dinding kaca. Merasa tak melihat apa-apa, pandangan mereka berpindah ke telunjuk lelaki itu, kemudian menoleh kembali untuk mengamati dinding kaca yang ditunjuknya. Mereka tetap tak melihat apa-apa! Lelaki perlente itu masih mengenakan dasi dan sepatu kulit yang sudah berdebu. Pada malam hari ia tidur di trotoar atau di bawah pohon rindang di taman kota. Sebelum tidur, kadang-kadang ia menangis terisak-isak! Jakarta, April 2004
""Biji Mata untuk Seorang Lelaki""
Entah sudah berapa pekan anjing itu duduk meringkuk di sandaran sofa. Badannya mulai kurus, wajahnya kuyu, sorot matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela, menembus rimbunnya daun tanaman pembatas halaman, merayap ke arah garis-garis di kaki langit. Tak ada yang mampu membuat anjing itu menoleh dan mengalihkan arah tatapan matanya. Makanan dan mainan yang kami sodorkan hanya sejenak diendusnya, sebelum ia melenguh pelan, menaruh lagi moncongnya ke bilah teralis jendela, lalu mengarahkan pandangan mata ke arah kejauhan. Bahkan air minum yang kami sediakan pun hanya sesekali dijilatnya seolah ia sudah tidak berhasrat lagi menikmati segarnya penopang kehidupan. Sayang anjing ini tidak bisa bicara. Dokter Rasman, satu-satunya dokter hewan di kota kami sedang tidak berada di tempat. Kata salah satu anaknya ia sedang kuliah lagi guna meraih gelar keahlian yang lebih tinggi. Tapi kata tetangganya ia pindah ke kota lain dan hidup bersama istri keempatnya. Padahal dokter hewan itulah yang secara teratur memeriksa anjing kami. Dia adalah satu-satunya ahli tempat kami semua bertanya segala sesuatu mengenai kesehatan dan perilaku anjing. Tapi mengapa saat kami sedang benar-benar butuh pertolongannya dia malah pergi? Kami semua sudah hampir tak kuat menahan haru melihat keadaan anjing yang hanya mau duduk meringkuk di sandaran sofa di ruang tamu rumah kami. Wajahnya yang kuyu tidak memperlihatkan gairah. Ketika sesekali ia mendengus, yang terpancar justru ungkapan murung dan muram. Para tetangga sudah pula berdatangan membesuk anjing kami. “Kenapa kamu, Cunel?” kata ibu dari rumah sebelah sambil membelai kepala anjing itu. Ia mencoba menyodorkan kue kecil yang sengaja dibawanya dari rumah ke mulut anjing itu. Tapi Cunel-ya, anjing itu kami beri nama Cunel-menoleh pun tidak, apalagi membuka mulut. “Mungkin puasa,” ujar seorang ibu. “Masak sampai berhari-hari?” “Atau kena parvo,” timpal seorang bapak yang tinggal di seberang rumah kami menyebut suatu nama virus ganas yang umum menyerang pencernaan anjing. “Tidak mungkin,” sahut kakakku. “Kalau parvo dalam lima hari pasti sudah tak tertolong. Lagi pula anjing ini sudah diberi vaksin,” kakakku berusaha menjelaskan. “Rabies dan distemper juga sudah diberikan,” tambahnya sambil memperlihatkan buku periksa anjing yang penuh dengan tanda tangan Dokter Rasman di setiap keterangan tentang tindakan yang dilakukannya terhadap anjing itu. Seperti kami, para pembesuk pun akhirnya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkan perasaan trenyuh mengembang dalam hati. Memang tak hanya bagi diriku, kakakku dan ibuku, keberadaan anjing pudel berwarna coklat emas itu juga telah membuat jatuh hati para tetanggaku. Bulunya yang gimbal seperti domba membuat semua orang ingin membelai. Entah seberapa besar otak yang terdapat di kepalanya, kecerdasan yang diperlihatkan anjing itu pun benar-benar membuat orang terpancing untuk mengajaknya bermain dan betah berlama-lama dengannya. Tidak hanya sekali anjing itu berlari keluar memanfaatkan pintu rumahku yang secara tak sengaja terbuka. Biasanya ia lalu menuju ke rumah tetangga, kemudian melompat-lompat seperti ingin meraih pegangan pintu untuk membukanya. Tapi karena tinggi anjing itu cuma tiga puluh sentimeter dan panjangnya hanya empat puluh sentimeter, ia memang tak pernah mampu meraih pegangan pintu. Beruntung pemilik rumah yang melihat tidak pernah mengusirnya dan malah terpesona pada gerakan anjing yang mudah dipahami maksudnya. Ketika kemudian pemilik rumah membukakan pintu, anjing itu lalu memperlihatkan mimik wajah seperti mengajak bercakap-cakap. Kupingnya bergerak- gerak, dan sorot matanya tajam menatap wajah orang di depannya seperti sedang bertanya atau menjawab pertanyaan. Kalau orang tersebut masih saja diam, maka anjing itu akan mengulurkan kaki depannya untuk mencolek-colek sambil berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Dengan tingkah lucu, anjing itu kemudian juga akan berguling-guling dan berbaring terlentang sambil menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki orang itu. “Cunel, Cunel… unel-unel-unel,” begitu para tetangga yang gemas kemudian membelai kepala anjingku lalu tenggelam bermain bersama dengan melempar-lemparkan bola atau berkejar-kejaran. Tapi belakangan ini, bahkan tukang sayur langganan ibuku yang sering memberi hadiah hati ayam pada anjingku sehingga anjingku begitu bersahabat dengannya, tak berdaya melihat Cunel membisu lesu. Sore tadi ketika ia besuk, anjingku juga tetap diam tanpa suara. Padahal biasanya, bila ia lewat di depan rumah, ia selalu menyempatkan diri melemparkan hati ayam yang sudah direbus kepada anjingku meski di hari itu ibuku tidak membeli dagangannya. Karena itu pada jam-jam tukang sayur itu biasa lewat, anjingku selalu sudah siaga di depan pintu atau di depan jendela kalau pintunya tertutup. Lalu begitu tukang sayur itu lewat, ia akan menggonggong gembira sambil berlari berputar-putar kegirangan. Aku memang pernah mendengar kalau ada orang meyakini bahwa anjing adalah utusan pembawa damai tanpa kata-kata yang berasal dari suatu alam kehidupan yang tak dikenal oleh manusia. Sebab kenyataannya, sejak anjing itu berada di rumahku, orang-orang di sekitar rumahku lalu menjadi semakin akrab satu sama lain. Mereka jadi sering keluar rumah dan tidak terus-menerus bersembunyi di balik pintu dengan alasan sibuk atau lelah setelah sehari bekerja. Meski pada mulanya mereka hanya saling melontarkan perasaan kagum pada anjingku, tapi pada akhirnya mereka bisa membahas soal selokan yang perlu dikeruk karena mampet, soal tukang sampah yang malas melaksanakan kewajibannya meski sudah digaji, hingga soal-soal lain yang menyangkut kehidupan bertetangga. Maka tak heran begitu mereka merasa tak melihat Cunel selama beberapa hari, mereka lalu saling bertanya-tanya dan sampai merasa perlu menyempatkan diri untuk besuk segala begitu tahu anjing itu bermasalah. Ya, anjing itu memang anjing kesayanganku. Sebelum wafat empat tahun lalu, ayahku membelinya sebagai hadiah ulang tahunku yang kedua belas. Semula ayahku keberatan bila aku memelihara anjing. Beliau khawatir anjing itu akan menularkan sejenis virus yang kelak bisa menyebabkan kandunganku terganggu. Namun melihat kuatnya hasrat yang kuperlihatkan, akhirnya hati ayah luluh dan membelikan aku sepasang anjing. Selama beberapa waktu, sepasang anjing pudel berwarna coklat emas dan coklat kopi itu sempat menyemarakkan rumah dan lingkungan tempat tinggalku. Tapi karena terserang demodex, yaitu sejenis bakteri yang melahap akar bulu anjing sehingga bulunya akan rontok dan hanya akan menyisakan kulit yang membusuk, seminggu sekali anjing jantan kami harus dimandikan dengan obat. Sialnya di kotaku tidak tersedia sarana pemandian untuk mengobati demodex. Karena itulah sejak tiga bulan lalu anjing itu harus menginap di rumah sakit hewan di kota yang jauhnya 120 kilometer dari rumahku. Padahal lumayan, sebelum ketahuan demodex menyerangnya, anjing jantan itu telah berhasil membuat Cunel hamil dan melahirkan sampai enam kali. Sekali hamil, ia melahirkan enam ekor anak. Tak sanggup membayangkan rumah kami akan dipenuhi anjing, maka pada kelahiran pertama itu kami mencoba berbaik hati membagi-bagikan anak pudel kepada para tetangga. Mereka merasa senang dan berterima kasih kepada kami. Tapi entah, mungkin karena tak tahu cara merawat anjing atau pelit tak mau mengeluarkan biaya untuk suntik vaksin, atau setidaknya membawa anak-anak anjing itu ke salon hewan untuk dimandikan, belum genap tiga bulan semuanya sakit, muntah darah, lalu mati. Kami sedih dan dalam hati lalu bertekad, tidak akan membagi-bagikan anak anjing lagi kepada para tetangga. “No way! Kalau mau, biar mereka beli dari kita. Asal tahu saja harga seekor anak pudel, tak lebih murah dibanding sepuluh gram emas,” kata kakakku yang setelah ayahku wafat, paling rajin merawat anjing-anjingku. Begitulah sejak kelahiran kedua, ketika anak-anak anjing sudah berusia dua setengah bulan, kami lalu selalu menjualnya ke toko binatang peliharaan di kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku. Tentu sebelum kami jual, anjing-anjing itu diperiksa dulu kesehatannya oleh Dokter Rasman, diberi obat cacing, dan tak lupa pula disuntik vaksin. Baru sekitar satu bulan lalu kami pergi ke kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku itu untuk menjual enam anak pudel yang untuk terakhir kalinya dilahirkan Cunel. Di kota itu pula kami menyempatkan diri membesuk si anjing jantan yang ternyata tak hanya semakin gundul setelah dua bulan di rumah sakit, tetapi juga makin busuk karena penyakitnya sudah terlanjur parah dan merata ke seluruh tubuh. “Kasihan, deh, kamu,” begitu kami hanya berani berkata dalam hati tanpa mau mendekat, apalagi menyentuh, karena jijik. Melihat keadaannya, kami sama sekali tidak berani berharap akan bisa membawa pulang anjing jantan itu lagi. Kalau pun anjing itu nanti sembuh, kami pasti tidak akan tega lagi memangkunya, memeluknya, apalagi menciumnya. Karena itu kepada seorang petugas di rumah sakit, ibuku kemudian menyerahkan sejumlah uang dengan ucapan terserah mau digoreng atau disate, atau mau dibiarkan saja anjing itu mati sendiri dan kemudian dikuburkan. “Tolong, Pak, kami benar- benar sudah tak tega,” kata ibuku. Petugas itu mengangguk-angguk sambil menyelipkan uang pemberian ibu ke sakunya. Di rumah kami masih berharap akan terhibur oleh Cunel, si anjing betina yang sebenarnya lebih lucu, lebih cerdas, dan lebih menggemaskan dibanding si anjing jantan. Menurut silsilah yang tertulis di stambum (akta kelahiran), anjing ini memang merupakan keturunan dari anjing-anjing juara di berbagai arena lomba. Tak heran tanpa dilatih secara khusus pun Cunel sanggup memperlihatkan kecerdasan yang memesona dan mudah akrab dengan siapa saja. “Salah satu alasan mengapa anjing bisa menjadi sahabat terbaik kita adalah karena anjing dan kita banyak memiliki persamaan,” papar Dokter Rasman suatu ketika. “Persamaan? Dalam hal apa?” tanya kakakku ingin tahu. “Kita dan anjing adalah makhluk yang sama-sama gemar berteman, sama-sama senang bermain-main, bukan bermain sebagai sarana penyegaran, tapi bermain sebagai tujuan hidup itu sendiri.” “Bagaimana Anda tahu?” “Saya dokter hewan, jangan dipotong dulu, masih ada satu hal lagi. Jauh di lubuk hati, kita dan anjing sama-sama tetap kanak-kanak sepanjang hayat.” Dokter Rasman memang mengaku senang memberi penjelasan panjang-lebar tentang anjing. Harapannya adalah, para pemilik anjing makin memahami cara merawat sendiri anjing-anjing mereka. “Selain pengetahuan, diperlukan hati dan perasaan untuk merawat anjing. Itu kalau kalian tidak mau dibuat repot oleh binatang piaraan Anda,” ungkapnya saat terakhir kali ia datang ke rumah kami. Tapi entah, apakah punya istri empat termasuk bagian dari yang ia sebut sebagai bermain-main, kenyataannya penjelasan Dokter Rasman soal persamaan anjing dan manusia sama sekali tidak berguna untuk menghadapi keadaan yang diperlihatkan Cunel sekarang ini. Hanya sesekali saja ia turun dari sandaran sofa, menghampiri makanan yang kami sediakan, menciumnya, mengeluarkan dengusan, berbalik ke arah tempat minum, menjilat air yang terdapat di dalamnya, lalu kembali lagi meringkuk di sandaran sofa. Seperti kebiasaan yang dilakukan Dokter Rasman, kami sudah mencoba memeriksa, di mulut anjing itu tidak terdapat busa yang menandakan ia keracunan atau terkena infeksi di organ bagian dalamnya. Warna merah jambu pada gusinya juga cerah, menandakan kesehatan anjing itu tidak bermasalah. Saat sejenak gusi kami tekan menggunakan jari tangan, dalam dua detik warna pudar akibat tekanan juga segera pulih. Lalu mengapa anjing kami meringkuk bisu dengan mimik murung kehilangan gairah? Kata Dokter Rasman suatu saat, perubahan perilaku anjing memang bisa merupakan akibat dari sejumlah sebab. “Saat berahi, adalah wajar bila anjing tak mau makan. Dia lebih tertarik untuk berdekatan dengan lawan jenisnya. Jadi tunggu saja sampai musim berahi lewat, tanpa dipaksa mereka akan menunggu sendiri diberi makan,” kata Dokter Rasman. Dalam suatu obrolan lain seusai memberi vaksin pada anak-anak anjingku, dokter yang gagah dan tampan itu juga menjelaskan kalau pertambahan usia bisa pula membuat perilaku anjing berubah. Anjing yang sudah mendekati kematian, katanya, cenderung senang menyendiri. Mereka cenderung menjadi tidak bergairah, tidak berselera terhadap makanan, dan memilih bersunyi-sunyi. Apakah itu berarti anjingku akan mati? Dokter Rasman mungkin lupa menjelaskan satu hal. Karena bisa berteman dengan manusia, mungkin saja anjing tidak akan pernah merindukan sesamanya. Tapi ia sama sekali tidak menjelaskan kalau induk anjing bisa kangen pada anaknya sendiri, pada darah dagingnya sendiri. Karena Dokter Rasman tidak menjelaskan, maka apa boleh buat kalau aku lalu menyimpulkan, anjing ini pasti kangen pada anak-anaknya yang telah kami jual semuanya. Pasti kangen sekali dia. Kesimpulanku itu kudapat bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua perubahan perilaku yang diperlihatkan oleh anjing itu, dan keduanya tidak luput dari perhatianku. Pertama, pada awalnya Cunel selalu memperlihatkan sikap seperti terperanjat, ingin menyambut, manakala ia melihat ada kelebat bayangan hewan lain lewat di depan rumah kami. Tapi setelah ia sadar hewan yang lewat itu adalah kucing, atau tikus selokan, atau anjing kampung, ia segera naik lagi ke sandaran sofa, duduk diam dengan sorot mata kecewa. Kedua, ini mungkin lebih meyakinkan, saat aku bermaksud membuang kardus berisi potongan handuk dan kain, Cunel langsung berlari ke arahku dengan sikap gembira. Ia mengangkat kaki depannya, dan dengan sikap penuh gairah mengendus-endus sambil berusaha meraih kardus bekas pembungkus televisi yang saat itu aku pegang. Ya, di dalam kardus itulah Cunel melahirkan anak-anaknya. Pada potongan handuk dan kain itu bahkan masih terdapat bercak-bercak air ketuban yang sudah mengering. Begitu melihat sikap Cunel yang bergairah membaui kardus, aku sempat gembira. Kardus itu lalu kuturunkan ke lantai dan membiarkan Cunel berguling-guling di atasnya. Mungkin saja kardus berisi potongan handuk dan kain itu masih menyisakan bau anak-anaknya. Karena itu kubiarkan saja dia terus-menerus menciuminya, dan bahkan tidak kularang saat berusaha menelannya. Memang seharusnya di antara anak anjing itu ada yang kami sisakan barang seekor sekadar untuk menemani induknya dan tidak langsung menjual seluruhnya. Tapi pemikiran seperti itu tentu saja sudah tidak ada gunanya. Setelah beberapa hari gembira berguling-guling di atas kardus, Cunel tampaknya sadar, anaknya tak ada di tempat itu lagi. Ia menjadi bosan dan kembali murung duduk meringkuk di atas sandaran sofa. Ya, aku bisa merasakan tatapan kangen yang dipancarkan anjing itu. Pancaran itu sama seperti saat ibuku kupergoki sedang sendiri memandangi foto almarhum ayahku yang tergantung di sudut ruang makan. Sama seperti saat kakakku sedang mengamati-amati bayangan dirinya pada cermin yang mulai memperlihatkan ketampanan wajah ayahku. Sama seperti aku sendiri saat menunggu munculnya rembulan sambil berharap ayahku akan melanjutkan ceritanya tentang seorang anak perempuan dengan binatang kesayangannya, sebagaimana bayangan kelabu yang tergambar di tengah lingkaran bulan. “Itu adalah seorang putri yang sedang menunggu kekasihnya. Selama bertahun-tahun ia menunggu, hanya ditemani oleh binatang kesayangannya,” begitu, dulu, ayahku biasa bercerita. Biarpun untuk seorang kekasih, aku sama sekali tak punya bayangan seperti apa nikmatnya menunggu, apalagi sampai harus bertahun-tahun sebagaimana gambar kelabu di tengah rembulan itu. Tapi sambil membelai Cunel yang kini sudah berubah bentuk menjadi sebuah bantal boneka penghias sofa, sambil mengamati purnama yang sebulan sekali merayap pelan di atas atap teras rumahku menuju ke puncak angkasa, sejenis perasaan sendu memang selalu membuat hatiku berharap-harap rindu. Ya, bertahun-tahun lalu, di sandaran sofa itu pulalah pada akhirnya Cunel mati. Sejak itu, seluruh model dan warna perabot di ruang tamu sudah berulang kali kuganti. Sudah lama pula ibu meninggalkan aku sendiri, mewariskan rumah dan seluruh kenangan masa kecilku yang selalu segar bermain-main dalam ingatanku. Dan saat di rumah lain kakakku sedang sibuk mempersiapkan upacara wisuda sarjana bagi putra-putrinya, aku tetap tak tahu, akankah nanti ada seorang pangeran yang menjemputku? *
""Mati Kangen""
Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku. Kami datang dari tempat yang sama, sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku karena ia kira aku menyusu ibu serigala. Sebenarnya dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi sekretaris. Jika ditanya apa cita-citaku semasa kecil, aku selalu mengatakan ingin jadi dokter, seperti juga ribuan anak kecil lainnya. Tapi saat aku tumbuh dewasa, ibuku mengamati sifatku yang rajin dan serba teratur. Aku suka membuat daftar pelajaran, anggaran uang jajan, atau daftar belanja. Aku tergila-gila pada pengelompokan. Di kamarku ada kotak-kotak khusus untuk kaset dengan aliran musik berbeda. Aku bahkan tahu baju apa yang akan kupakai hari Jumat dua minggu mendatang. Kata Ibu, “Kau lebih cocok jadi sekretaris ketimbang dokter.” Selepas sekolah menengah aku pun masuk Akademi Sekretaris. Separuh alasanku adalah ingin memaksimalkan potensiku, separuhnya lagi adalah karena untuk menjadi dokter aku harus menyukai biologi, sedangkan satu-satunya yang kusukai dari pelajaran itu adalah klasifikasi tumbuhan dan binatang. Lagi-lagi pengelompokan dan keteraturan. Pada akhirnya kusadari pilihanku belajar di Akademi Sekretaris tidak salah karena aku lulus dengan nilai-nilai gemilang. Aku hidup di gua-gua pekat malam, terselimuti kabut abu-abu, tak kenal pagi dan embun. Aku tak berani menantang cahaya karena aku tak seperti kalian semua. Aku terobsesi merah. Merah yang tergenang menganak sungai beraroma ikan segar. Aku haus darah. Aku kupu-kupu hitam bersayap beludru, terbang ke dalam lorong-lorong dan terseret dengan pusaran malam. Ia tak tahu penderitaanku, eranganku, gairahku. Ia menutup semua jendela untuk mengusirku yang terseok kehausan. Kini aku bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan. Aku selalu menyetrika jas kerja dan rokku licin-licin agar terlihat serasi dengan sejuknya lantai mahogani kantorku dan dindingnya yang bernuansa cokelat susu. Cokelat adalah warna klasik yang selalu terlihat elegan. Ingin terlihat lebih profesional? Pakailah cokelat atau hitam. Lucu, dulu kupikir warna gelap hanya untuk kekuatan jahat dan warna terang untuk kebaikan. Kadang aku mencari tikus atau anjing atau apa saja. Aku terlalu lemah untuk membuka mata. Tak bisa bertahan, aku begitu haus. Ah, andai aku bisa menukar jiwaku dengan Darah! Jabatanku di sini adalah sekretaris manajer pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di luar ruangan bosku. Namanya Irwan. Ia muda, tampan, kaya, cerdas. Tentu saja ada satu kelemahannya: beristri. Baginya ini kelemahan karena ia harus mati-matian menutupi hubungannya dengan beberapa perempuan (setidaknya begitu yang kudengar di hari pertamaku bekerja). Bagiku ini juga kelemahan karena aku harus berusaha menjaga jarak mengingat intensitas interaksiku setiap hari dengannya yang mungkin bisa menjerumuskan. Aku pernah mendengar tentang perilaku seks di dunia kerja, tapi aku tidak pernah berselera melanggar kode etik dan norma-norma. Irwan terlahir dari keluarga kaya dan ini membuatku memaklumi sikapnya yang senang bermain-main dengan kekuasaan. Ia sering memberiku tugas di luar yang seharusnya, seperti memintaku membuat surat-surat permohonan untuk proyek sampingannya di luar kantor. Pernah pula aku keluar kantor hanya untuk membayar tagihan-tagihan kartu kreditnya. Aku tahu aku berhak protes, tapi untuk sementara ini aku memilih diam sambil mengevaluasi sejauh mana ia bersikap tidak profesional. “Ada acara sesudah jam kantor?” Aku mengangkat kepalaku. Hari itu Irwan memakai dasi merah yang menyembul dari balik jas hitam konservatifnya. Ada yang sangat salah dengan dasi itu. Mungkin warnanya yang kelewat terang, sungguh tidak cocok dengan atmosfer kerja yang penuh warna-warna dingin. Merah berhawa panas. Merah kadang menggumpal lengket dan tersangkut seperti permen karet. Merah menuntut pengakuan, peng-aku-an, tak bisa menunda, tak bisa luruh di saluran pembuangan. “Saras?” Aku menggeleng. “Kalau begitu temani saya minum kopi.” Jika bekerja untuk seseorang, kita akan terbiasa dengan kalimat imperatif. Aku pun berusaha menerka makna lain di balik minum kopi. Yang ia maksud tentunya berada di ruangan ber-AC sambil menikmati kopi tak berampas dalam cangkir, bukan minum segelas kopi tubruk di warung. Yang ia maksud tentunya berada di kelas tertentu, dengan tujuan tertentu, menjalin relasi atau networking mungkin. Menarik sekali untuk perkembangan karierku, tapi mari kutegaskan lagi kalau aku tidak tertarik memperdalam relasi dengan laki-laki beristri. Munafik. Apakah ada konsekuensi logis jika aku menolak? Ia menginginkan lelaki itu, tapi tak mau jadi orang pertama yang disalahkan. “Dirut minta laporan khusus yang harus selesai besok,” katanya. “Ini pekerjaan ekstra buat saya, jadi saya harap kamu bisa membantu.” Irwan seperti membaca keraguanku dan mencoba menekankan bahwa ajakannya bersifat rasional dan profesional, bukan sensual ataupun seksual. Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk pergi bersamanya. Ah! Ah! Aku saudara yang berbagi hangat denganmu di tempat merah sempit itu. Aku tahu di sekolah menengah kau membaca buku porno murahan tentang sekretaris yang masuk ke ruangan bosnya tanpa celana dalam. Kau perempuan murah rekah Ayo marah! Tidakkah kau impikan semua kebinatangan di balik rokmu yang beradab? Maka, pergilah kami ke sebuah kafe yang memutar musik jazz tahun 50-an. Bernaung cahaya redup, kami duduk di sofa beludru merah yang begitu besar sehingga aku merasa bisa tenggelam di dalamnya. Jika tak ada kopi, mungkin aku akan mengantuk. Mengapa Irwan memilih tempat seperti ini untuk membicarakan proyek kantor? Rumah bordil— Kupu-kupu seperti aku memang senang remang-remang, bayang-bayang, halusinasi. Rumah meriah di dalam hutan segala serigala. Kau tak akan tahu apa pun sebelum masuk ke dalam. Kami berbincang selama dua jam, espresso berganti capuccino. Setengah jam ia membahas laporan khususnya. Ella Fitzgerald masih merayu dengan suara emasnya, tapi aku menyimak dan mencatat seperti layaknya sekretaris profesional. Lantas kudengar ia bertanya, “Kamu masih tinggal dengan orangtuamu?” Aku tertegun, lalu kukatakan aku tinggal sendirian. Orangtuaku berada di luar kota dan aku anak tunggal. Ia bercerita bahwa ia juga begitu. Kemudian dimulailah ritual yang berbahaya itu: cerita klise tentang perkawinan yang tidak bahagia. Bahwa istrinya sibuk mengejar ambisinya sendiri, bahwa tak ada anak yang mengikat kedekatan mereka. Aku harus mengakhiri semua ini. Ia tengah mencari mangsa. Aku juga. Adakah yang rela menyerahkan jiwa? “Aku harus kembali ke rumah,” aku memutuskan. Hari belum terlalu malam, tapi Irwan ingin mengantarku pulang. Kukatakan tidak perlu, tapi ia memaksa. Oke, sampai di luar pagar. Laki-laki itu tahu kau tinggal sendirian. Kau dan aku memang makhluk-makhluk kesepian. Aku si pengisap penyedot kehidupan yang sekarat karena merah sudah nyaris habis punah berhenti titik. Ia bertanya padaku apakah ia bisa ke kamar mandi. Jadi, aku biarkan ia masuk. Masuklah, masuklah ke dalam pagar wahai para pencuri. Mari berlompat-lompatan, jangan mengendap-endap. Lihat apa yang bisa kau cicipi di kebun buah. Aku ikut karena aku juga pencuri, pencuri hidup dan mati, dan ’kan kujadikan kau hantu. Lalu ia duduk di kursi rotan konvensionalku, minum segelas air putih. Dibukanya satu kancing kemejanya dan dilonggarkannya dasinya — dasi yang benar-benar salah. Lihatlah leher laki-laki itu. Sukakah kau pada es krim vanila? Kecap kebekuannya dengan lidahmu dan ia akan lumer dalam mulut. Aku mendengarnya memanggil namaku. Ia seperti bergumam, tapi aku menangkap kata-kata terakhirnya, “Sebetulnya kita sudah saling tahu apa yang terjadi.” Aku gemetar. Tiba-tiba kusadari ketakutan terbesarku terjadi. Aku pernah membayangkannya dan karena aku sangat profesional aku tahu aku harus mendorongnya dengan tegas, mengusirnya bila perlu. Tapi aku merasa ia semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Aku bisa mencium minyak wangi bercampur aroma rokok yang menempel di rambutnya yang tercukur rapi. Aku seperti— Tersedot? Di pucuk es krim ada ceri bulat mengilat. Buah menggoda, menantang bahaya. Akankah aku jatuh? Tapi aku begitu menginginkannya. Aku si pengisap penyedot kehidupan. Lehernya begitu indah. Dan aku begitu haus Darah. Jam 6.30 pagi. Ponsel berbunyi. “Halo, Saras?” suara wanita di ujung sana. “Jangan lupa nanti ingatkan bosmu untuk rapat dengan klien jam 11. Ini berarti semua materi presentasi harus sudah siap. Dia sudah memintamu menyiapkannya, ’kan?” “Ia tidak pergi kerja hari ini.” Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku. Jakarta, Juni 2004
""Vampir""
Setiap air raya tiba perahu ini akan tumbuh, pikirnya. Memanjang beberapa depa. Sungguh, buritan itu akan gemuk nantinya. Palka melebar. Tiang yang baru saja ditancap akan menjulur menusuk langit menumbuhkan tangga serupa dahan tempat di mana kelak dia akan naik dan meneriakkan hoooi. Dia akan menyusul perahu Nuh. Perahunya tak akan memuat banyak orang. Karena yakin perahunya tak bisa tumbuh secepat itu. Kapal ini akan tumbuh perlahan-lahan. Sementara dia harus bergegas menyusul perahu Nuh. Seperti gegas air yang mengalir deras di saluran belakang rumah: tempat di mana dia akan memulai pelayaran mengejar perahu Nuh. Karena itu dia tak akan mengajak ibu dan segala binatang untuk naik serta berlayar bersamanya. Ibu harus menjaga rumah, menunggunya pulang berlayar. Sementara dia tak sanggup mengumpulkan berpasang-pasang binatang untuk ikut serta. Perihal bahwa dia akan pergi sendiri mengejar perahu Nuh, dia sudah meyakinkan ibu. Ibu memaklumi saja sekaligus mengatakan bahwa Nuh dulu juga demikian, meninggalkan seorang perempuan dalam pelayarannya. Maka kenapa kelak para pelaut selalu meninggalkan perempuan mereka tiap kali berlayar. Kenapa Nuh tersesat karena tak niat mengingat, apalagi pulang menjemput, perempuannya. Sementara para pelayar sesudah Nuh kembali ke peluk perempuan mereka. Dia tak mengerti apa yang dimaksud ibu. Yang dia tahu air raya akan menumbuhkan perahunya. Sungguh beruntung Nuh. Nuh yang diberkahi Tuhan begitu melimpah air raya sehingga perahunya sungguh cepat tumbuh. Air raya yang diturunkan Tuhan selama 40 hari 40 malam-melalui hujan tiada tara. Maka dia terus memperhatikan hujan yang terus turun mengaliri saluran air di belakang rumah. Ihwal yang menyebabkannya menjadi juru ukur air tiap hujan reda. Di bantar saluran dia akan mengukur air dengan kupingnya. Memperkirakan berapa sehari hujan memenuhkan saluran. Menghitung-tambahkan berapa kali hujan sanggup memenuhkan saluran air. Dengan demikian dia bisa menentukan kapan air raya akan tiba: saat dia harus bersiap memulai pelayaran dengan perahunya. Karena tiap hujan turun perahunya juga tumbuh perlahan. Tapi hujan tak pernah memenuhkan saluran, padahal nyaris saja air memajuh kupingnya saat mendengar alir di dingin bantar saluran. Perahunya akan tumbuh perlahan, tak menyusut seperti air di saluran. Nuh telah mengajak Bapak berlayar, dia berkata suatu pagi ketika anaknya bertanya ke mana Bapak berhari-hari tak pulang. Hari-hari dalam hujan yang lama dan membuat saluran air di belakang rumah bergemuruh, seolah air itu saling bergegas, kejar-mengejar-kalau kau sering memperhatikan gegas air dengan seksama: air yang satu seperti ingin menggapai air yang lain. Mengejar bahu air dikejar bahu air. Kenapa Nuh mengajak Bapak, tanya anaknya lagi. Anak itu barangkali sedang menajamkan telinga mendengarkan kecipak air yang menampar-nampar tebing saluran-barangkali pula membayangkan sebuah perahu kecil jika diarungkan di air deras saluran, sementara tangannya mengulur menarik tali yang mengait hidung si perahu kecil. Perahu Nuh tiris, cuma Bapak yang bisa menambalnya. Tapi atap rumah ini tiris pula, gumamnya. Lelaki itu telah abai menambalnya. Tapi Bapak belum menyelesaikan perahuku, lihat baru perut perahu saja yang dicungkilnya. Kenapa Bapak tak mengajakku? Padahal Bapak membuat perahu bersamaku. Dan siapa Nuh? Tanya anaknya pula. Maka perempuan itu mengisahkan kepada anaknya tentang Nuh. Nuh lelaki yang meninggalkan istri dan anak yang telah menistakannya. Anak dan istri yang tak pernah membantu Nuh membuat perahu. Tak memercayainya pula bahwa air raya akan datang suatu ketika. Istri dan anak yang bersekutu dengan orang-orang yang tak percaya pula bumi akan direndam murka. Nuh itu seorang yang sunyi Nak, sahabatnya belaka binatang. Tapi anakku, kita tak pernah menistakan bapak. Engkau dan aku sepenuh hati membantu bapak. Aku percaya bahwa suatu hari kelak murka itu akan datang. Benar, murka yang telah membawa bapakmu pergi. Bapakmu tak sesunyi Nuh, anakku, dia bersahabat dengan siapa saja. Karena itu barangkali Nuh mengajaknya pergi. Bapakmu, Nak, lelaki yang percaya bencana itu akan datang. Maka berceritalah perempuan itu perihal bencana ketika air raya tatkala Nuh datang menjemput lelakinya: Aku harus pergi kekasih, kata lelaki itu memandang ke luar jendela. Hujan memutihkan pandangan. Tiga hari sudah hujan turun tak henti. Hujan yang membuat saluran air di belakang rumah bergemuruh. Perempuan itu ingin menyangkal hujan. Ingin mengatakan kepada lelakinya bahwa hujan akan reda ketika siang tiba. Hujan itu tak akan membuat saluran di belakang rumah meluap menjadi air raya. Air raya yang akan mengambil kembali lelaki itu dari pelukannya. Dulu dia bisa terbahak bila lelaki itu menyinggung tentang air raya. Air raya yang membuat Nuh bisa berkeliling dunia: menghindar celaka, meluaskan sabda. Air raya yang didengarnya merangkak hingga ke leher gunung, sebelum berkah hujan tambahan, menenggelamkan segala yang menjulang. Lalu perempuan itu akan mengatakan: Tuhan tak akan pernah lagi menurunkan air raya sebelum Nuh pulang menjemput perempuan dan anaknya yang karam atau melemparkan mereka sebuah pelampung, kekasihku. Barangkali juga karena tiap-tiap lelaki kini telah diberikan Tuhan perempuan-perempuan setia-seperti dirinya. Tetapi lelaki itu bersikeras meneguhkan bahwa Tuhan akan mengirimkan air raya untuk menyelamatkan lelaki. Ini bukan perkara kesetian, ujar lelaki. Ini adalah takdir lelaki di kampung kita. Kalau Nuh cuma berurusan dengan anak dan perempuannya dan, kaumnya yang menolak percaya bahwa Tuhan akan mengirimkan air raya. Menolak dengan memuntahkan tinja ke dalam perahunya. Maka urusan lelaki di kampung ini adalah bagaimana menghindar dibariskan di depan perempuan mereka, ditanyakan tentang khianat yang tak mereka alami, dipandang seolah anjing buduk yang kerap melakukan pekerti terkutuk. Maka, kekasihku, lelaki mesti percaya bahwa ketika air raya tiba adalah saat yang tepat untuk pergi meninggalkan kampung. Beberapa lelaki telah naik gunung untuk menghindar dari air raya, bukan? kata lelakinya lagi. Hujan masih turun rapat lebat: kalau kau perhatikan hujan seperti tak pernah bergerak-hampir menyerupai kurungan ayam warna kelabu. Kau tak bisa ingkarkan perempuanku, air raya seperti mengikuti takdir hidup tiap lelaki di kampung kita. Kaulihat sendiri, berapa lelaki yang mati ketika air raya. Juga perempuan dan anak mereka yang menunggu tubuh lelaki dihanyutkan di deras air raya. Aku tak ingin kau menunggu tubuhku yang terapung di air raya. Maka aku harus pergi menumpang perahu Nuh atau, menyelamatkan diri ke puncak gunung tertinggi agar air raya tak menelan tubuhku. Tapi kautahu kan air raya pasti menenggelamkan segala gunung, segala yang menjulang. Tapi kau belum selesai mencungkil perahu itu, tunjuk perempuan ke arah seonggok pohon yang berlubang tengahnya. Padahal perempuan itu ingin menambahkan bahwa lelaki juga lupa menambal atap rumah yang telah tiris. Katakan pada anak kita, dia harus mencungkilnya sendiri. Katakan juga bahwa perahu itu akan tumbuh tiap air raya tiba. Dan dia harus menjemputku di atas perahu Nuh kelak kalau perahunya telah tumbuh besar, jawab lelaki. Maka siang itu pergilah lelaki. Menumpang perahu Nuh. Tapi perempuan melihat lelakinya seperti dikurung sangkar ayam warna kelabu. Perempuan itu merasakan sekujur kepala kuyup ditimpa tetesan air hujan sebab atap yang tiris karena abai ditambal lelakinya. Anak itu tercenung setiap mendengar cerita tentang bapaknya. Dia menggeleng-geleng kepala antara takjub, percaya, dan tak percaya. Tapi dia bertekad akan menumbuhkan perahunya tiap air raya, lalu dia akan mengejar perahu Nuh untuk mengambil kembali bapak, mengembalikannya ke hadirat ibu. Kasihan ibu, kepalanya basah kuyup tiap hujan tiba: bapak lupa menambal atap yang tiris sebelum pergi dijemput Nuh. Perempuan itu tercenung setiap mengisahkan tentang lelakinya, Nuh, perahu yang tumbuh, air raya, dan atap yang tiris kepada anaknya. Dia menggeleng-geleng kepala antara takjub, percaya, dan tak percaya karena telah menyampaikan kisah yang ganjil kepada anaknya. Sungguh, kisah itu cuma karangannya belaka. Dia tak ingin anaknya kelak merangkak gunung untuk menghindar bencana air raya dengan alasan mencari bapaknya: karena dia tahu air raya akan menelan apa pun bahkan segala yang menjulang. Dia ingin anaknya mengejar bapaknya yang dijemput Nuh dengan perahu yang tumbuh tatkala air raya. Dengan demikian dia harus tahu diri takkan pernah ada lelaki yang menambal atap rumah yang tiris: biarlah kepalanya kuyup ditimpa hujan. Tiap air raya tiba perahu ini akan tumbuh, pikirnya. Memanjang berpuluh meter. Sungguh, buritan itu akan gemuk nantinya. Palkanya akan melebar sampai sepuluh besarnya. Tiang yang bertahun-tahun ditancap akan menjulur menusuk langit menumbuhkan dahan-dahan tempat di mana kelak dia akan naik dan meneriakkan hoooi. Dia akan mengejar perahu Nuh. Menghentikannya. Lalu dia akan melemparkan tambang kembar yang ujungnya diikat kait serupa mata kail. Dari perahunya dia akan naik ke perahu Nuh. Menemui orang itu. Bercakap-cakap barang beberapa patah kata: menyatakan bahwa Nuh sudah cukup sampai di sini membawa Bapak berlayar dan, bukankah Bapak sudah usai memperbaiki perahu. Menegaskan bahwa dia akan menjemput Bapak. Menjelaskan tentang Ibu yang sudah lama menunggu. Mengatakan juga tentang kepala Ibu yang sering ditimpa hujan (sebab atap tiris tak ada lelaki yang menambal). Ya, dia mesti mengajarkan Nuh mengenai kerinduan-karena dia tahu orang seperti Nuh tak paham arti kerinduan. Lalu menjabat Nuh. Memperhatikan mata Nuh: sungguh Nuh orang yang gugup. Diapitnya tangan Bapak. Tentu, Bapak akan menepuk-nepuk punggungnya. Mengusap kepalanya. Mengecup dahinya. Bapak akan dituntun menuju perahunya. Hoooi, berteriak dia dari atas tiang kapal. Melambaikan tangan ke perahu Nuh. Ibu sudah menunggu mereka di rumah. ***
""Air Raya""
Aku duduk di ruang tunggu menjelang boarding di Bandara Soekarno-Hatta ketika waktu hampir melewati tengah malam. Terasa aneh karena hanya aku yang sudah tiba di sana, padahal jadwal pesawat take-off tinggal beberapa menit lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan sesuatu telah terjadi yang tak kuketahui lalu jadwal pesawat diundur. Namun ketika kuamati petugas di sana, tak tersirat ada gangguan. Tiba-tiba saja aku menyesali kenapa terlalu cepat tiba di situ. Seharusnya aku buang waktu dulu di koridor sambil melongok apa saja yang bisa kulihat. Ketika kuingat tak satu pun toko-toko di situ yang masih buka ketika aku lewat tadi, aku merasa benar sudah duduk di situ. Ya, tengah malam, banyak orang yang sudah terlelap. Akhirnya kutelan juga kegelisahan sambil melahap berita malam di pesawat TV, siapa tahu ada berita yang menjelaskan apa yang terjadi. Aku sebenarnya tak menangkap benar apa yang diberitakan meski mataku terpaku ke layar kaca. Yang kulihat adalah bayangan semu. Gambaran Kota Tokyo yang kureka dari seluruh informasi yang telah kubaca berhari-hari dari berbagai literatur. Aku sudah tahu bagaimana rupa Bandara Narita dari cerita dan foto-foto yang kudapat dari internet. Aku juga sudah tahu bagaimana bentuk Stasiun Tokyo yang sibuk, sebagai titik awal perjalananku di negeri itu. Orang-orang Jepang yang gemar memakai setelan hitam-hitam ketika berangkat kerja. Sambil jalan kuping mereka ditutup headphone yang mengalirkan musik, entah apa, dari perangkat audio mini di sakunya. Mereka sukacita didikte mesin hampir untuk melayani seluruh keinginannya. Aku tersenyum geli membayangkan cerita seseorang. Katanya, ketika ke toilet di negeri itu ia kebingungan karena tempat buang air kecil berada tepat di depan jari kakinya. Apakah ia harus pipis sambil jongkok? Namun ketika ia memencet satu tombol di atasnya, pispotnya naik sendiri mencari posisi paling ideal sesuai dengan tinggi badan dia. Alat yang pintar. Ia pun bisa pipis dengan tenang. Lalu ia menambahkan dengan cerita yang tak kupercayai. Katanya, ketika ia memencet tombol lain yang berwarna merah, tiba-tiba saja ada alat semacam tangan yang muncul dari depan dan dengan tidak sungkan meremas “punya” dia. “Itu tombol untuk perempuan yang sedang datang bulan dan mau mengambil pembalut wanita yang dikiranya kupakai,” ucapnya geli. Waktu mendengar cerita itu aku terpingkal-pingkal tak tertahankan. Aku tahu itu cerita karangannya. Tetapi, saat ini aku menduga-duga, jangan-jangan itu benar. Aku jadi ingin mencari dan mencobanya. Tiba-tiba seorang ibu melintas di hadapanku. Ia membungkuk sedikit untuk meminta izin lewat di hadapanku karena kakiku yang selonjor menghalangi jalan. Ia duduk terhalang satu kursi di samping kiri tempat dudukku. Aku meliriknya: seorang wanita Jepang setengah baya. Tetapi, aku masih bisa menemukan kecantikannya. Tubuhnya langsing, masih indah. Tak kuteruskan mereka-reka bagaimana masa mudanya. Sesudah itu segerombolan orang tiba. Mereka begitu membeludak bak air bah, seolah-olah mereka tadi tertahan di pintu gerbang, lalu barusan seorang petugas memberi jalan. Berbagai bahasa terdengar tak kupahami. Hanya aku dan beberapa orang saja yang orang Indonesia. Kebanyakan orang Jepang yang mau pulang kampung. Mereka menyebar dan mencari tempat duduk. Seorang balita mendadak berlari ke depan dan melintas di hadapanku. Lalu mengamati apa saja yang dia suka. Ibunya membiarkannya. Ia tak terlalu sipit. Jepang. Laki-laki. Si wanita Jepang di sampingku meliriknya. Ia tampak gemas kepada anak itu. Aku menangkap senyum wanita itu. Ia mencari sesuatu di tasnya, mengeluarkan handphone-nya, lalu memencet serangkaian nomor. “Anita, Ibu membangunkanmu, ya?” Bahasa Indonesianya membuat aku meliriknya. Wanita Jepang ini bisa berbahasa Indonesia dan begitu fasih. “Ibu meneleponmu karena ingat Ivan. Dia sudah tidur?” Terdiam sebentar. Aku yakin ia sedang mendengar sahutan dari seberang. “Di sini ada anak sebesar Ivan, besarnya sama dan mirip banget wajahnya. Dia di hadapan Ibu sekarang. Makanya Ibu jadi ingat Ivan,” katanya lagi. Ia mendengar sahutan lagi dari seberang. “Ibu lagi di ruang tunggu, sebentar lagi boarding. Sudah, ya!” Ia mengemasi telepon selulernya. Aku melihat dengan sudut mata ia memasukkan handphone-nya ke dalam tas tangan. Wanita ini tak membawa tas besar. Aku yakin bawaannya sudah masuk bagasi pesawat. Aku pindah duduk ke samping kiri hingga tepat berada di sebelah kanannya. “Bahasa Indonesia Ibu baik sekali. Maaf tadi saya menguping.” Aku tak menyangka kalau dia tak terkejut. “Saya bicara dengan anak saya. Melihat anak itu jadi ingat cucu,” ujarnya dengan tata bahasa yang bagus sambil menunjuk anak kecil dengan lirikan matanya. Senyumnya mengalir tulus. “Usia berapa?” “Sebesar itu, dua tahun.” “Sedang lucu-lucunya.” “Ya.” “Sudah lama tinggal di Indonesia?” “Hampir dua puluh tahun. Suami saya orang Indonesia. Sekarang saya mau pulang dulu menengok orangtua saya.” “Kapan terakhir ke Jepang?” “Sudah lama sekali. Saya sudah sulit membayangkannya.” Aku tahu ia bercanda. “Saya malah sedang membangun bayang-bayang Tokyo, Yokohama, Kawasaki, Toshiba, Osaka, Niigata, Miyagi, Sapporo dari cerita orang…” “Adik mau ke kota-kota itu?” “Ya. Cuma ada problem. Saya belum mendapat hotel. Saya sudah mencoba registrasi melalui internet. Tak satu pun berhasil. Semua penuh. Rupanya penonton Piala Dunia sudah mem-booking- nya.” Aku ke Jepang memang untuk meliput Piala Dunia 2002. Aku berangkat tepat sehari menjelang pembukaan kejuaraan empat tahunan itu. “Saya kira banyak hotel di sana.” “Saya harap begitu.” Pembicaraan kami terpotong oleh suara petugas yang mengumumkan penumpang agar segera masuk pesawat. “Bagaimana Ibu bisa menikah dengan pria Indonesia?” Aku memberanikan diri bertanya hal yang pribadi. Aku sudah siap jika ia tersinggung. Ia tersenyum. “Itu pengalaman yang tak mungkin saya lupakan. Indah sekali,” katanya, lalu bangkit. Para penumpang masuk ke koridor yang menghubungkan ruang tunggu dengan pintu pesawat. Dimulai dari keluarga si balita. Aku tak sempat mengikuti ibu tadi. Tak tahu juga namanya dan mau ke mana. Seandainya saja aku bisa berbicara lebih lama, mungkin aku bisa menemukan tempat untuk menginap. Siapa tahu ia bisa membantu. Sayang, harapanku untuk bisa duduk berdampingan di pesawat juga tak kesampaian. Aku mendapat teman duduk seorang pria muda yang tak bisa diajak bicara. Ia hanya paham bahasa Jepang. Aku menggerutu kenapa aku tak bisa berbahasa mereka, negeri yang akan aku tuju. Yang pertama kulihat di Narita adalah persawahan. Hijau dan tampak indah dilihat dari jendela pesawat. Sebuah mobil pick-up bergerak melingkar melewati jalan yang ditempuhnya. Tak lama kemudian aku melihat hamparan rumput, landasan pesawat, sebelum pesawat bergetar-getar ketika rodanya menyentuh landasan. Habislah masa tujuh jam berada di angkasa. Pagi sudah mulai panas. Kulihat jam tangan masih menunjukkan waktu pukul tujuh pagi. Waktu di Jepang berarti pukul sembilan. Pantas panas. Apalagi ini di negara yang berjuluk Negeri Matahari Terbit. Kami turun. Aku mengikuti mereka dengan perasaan tak begitu yakin. Makin tak yakin ketika mereka masuk ke dalam kereta dua gerbong yang pintunya membuka tepat di ujung koridor. Tak ada pilihan selain aku mengikuti mereka. Ternyata itu shuttle bus khusus untuk mengangkut penumpang ke ruang kedatangan di dalam Bandara Internasional Narita. Setelah melewati bagian imigrasi barulah aku kebingungan. Dengan satu koper dan tas ransel penuh tak mungkin leluasa mencari hotel. Aku duduk di sofa. Segerombolan suporter sepak bola dengan atribut tim negara yang mereka bela memenuhi ruang kedatangan. Ada perasaan ngeri juga, jangan-jangan timbul keributan di situ. Pantas hotel-hotel penuh. Polisi tampak berjaga-jaga mengantisipasi kejadian buruk. Aku membeli minuman, sekaleng minuman yang pertama kubeli di Negeri Matahari Terbit. Aku juga membeli kartu telepon untuk menghubungi hotel-hotel yang ada dalam daftarku dari telepon umum. Sayang usahaku sia-sia. Aku tak berhasil mendapatkan kamar kosong. Akhirnya aku mendorong bawaanku ke sudut hanya untuk membunuh kekesalanku. Aku melihat segerombolan orang di ruang sempit yang terbuat dari kaca di sudut. Ukurannya sekitar lima kali lima meter persegi. Rupanya itu ruangan khusus bagi perokok. Jepang memang tak mengizinkan para perokok mengepulkan asap tembakau di sembarang tempat. Semua orang di ruangan itu begitu tergesa-gesa mengisap rokok dan tak satu pun mau menyisakan tembakau sebelum api menyentuh filternya. Seusai mengumpulkan informasi dan menghitung biayanya aku putuskan untuk menitipkan koporku di tempat penitipan. Sedangkan ransel kubawa. Aku harus pergi ke Tokyo mencari hotel. Tak bisa lagi mengandalkan telepon. Jika sudah dapat hotel, kopor kuambil. Di Jepang tak kukhawatirkan kopor akan hilang. Aku percaya saja tak akan ada orang Jepang yang akan mencuri dan menipuku. Perjalanan dari Narita ke Stasiun Tokyo sekitar satu jam. Tak terlalu jauh. Aku berhenti di Stasiun Tokyo. Ini dia stasiun paling sibuk di dunia. Aku mengaguminya. Stasiun yang hebat. Terdiri dari beberapa tingkat ke bawah dan ke atas dari permukaan tanah. Menurut data, ada 3.000 rangkaian kereta setiap hari diberangkatkan dari stasiun ini. Berarti tiap setengah menit ada saja kereta lewat. Benar-benar sibuk. Aku menikmati kesibukan itu dengan perasaan bangga. Siapa sangka aku bisa mengunjungi kota termahal di dunia ini. Di Stasiun Tokyo tak terasa sedang berada di stasiun. Banyak pertokoan, restoran, kafe, toko buku, perhiasan, pakaian, makanan ringan, pernik-pernik, dan juga keramaian orang yang berbelanja. Lebih mirip mal. Di sebuah kedai koran aku membeli koran lokal berbahasa Inggris, The Herald Tribune. Aku juga membeli makanan dan minuman. Belum makan siang. Aku memakannya sambil menikmati orang-orang yang lalu lalang. Setelah puas baru mencari jalan keluar. Aku sampai berputar-putar dulu sebelum menemukan pintu gerbang. Luas dan banyak persimpangan. Akhirnya sampai juga di sisi barat. Tujuan utamaku mencari Kantor Pariwisata Tokyo. Katanya di situ aku bisa membeli Japan Rail Pass yang bisa kugunakan naik kereta untuk waktu sebulan. Ya, semacam membeli abonemen. Dengan pass itu biaya transportasi jadi lebih efisien. Aku menyeberang jalan menuju Kantor Pos Tokyo. Kepada polisi kutanyakan letak kantor yang kumaksud sambil kusodorkan peta. Gedung yang kucari adalah Shin-Marunouchi Building tempat di mana kantor itu berada. Lucu juga karena ia bahkan tak bisa membaca peta dengan tulisan Latin. Ia membolak-balik peta itu seperti buta huruf. Ia juga tak paham bahasa Inggris. Percuma saja memaksa dia. Akhirnya kucari sendiri sambil merujuk pada nama-nama jalan yang tertera di setiap sudut jalan. Masih untung Pemerintah Jepang masih mau menyisipkan nama jalan dengan huruf Latin di antara huruf kanji. Aku menemukan gedung itu setelah berbelok ke sebelah kanan dari kantor pos. Lalu menyeberang jalan besar tepat di depan taman kecil Stasiun Tokyo. Aku sudah dua kali melewatinya. Dua kali juga aku menanyakan apa benar di sana kantor yang kucari. Tak satu pun orang yang tahu. Ah, apakah pembuat peta itu salah menuliskannya. Karena penasaran, aku masuk juga ke gedung itu. Orang pertama yang ada di situ langsung kutanya. Syukurlah ia menunjukkan apa yang kucari. Kantor pariwisata itu ada di samping koridor tepat menghadap jalan yang kulewati tadi. Malah persis menghadap Stasiun Tokyo. Ada banyak brosur wisata di situ. Ada juga brosur-brosur hotel untuk wilayah Tokyo. Aku mengambil satu brosur gratis sebelum menghadap seorang petugas. Seorang staf pariwisata yang menerimaku membungkukkan badan sambil menanyakan apa maksudku. Khas orang Jepang. “Saya mau membeli Japan Rail Pass. Benarkah bisa dibeli di sini?” tanyaku. “Iya benar,” sahutnya dengan bahasa Inggris yang aneh kudengar. “Anda mau membeli untuk yang dua minggu atau sebulan?” “Boleh saya tahu harga-harganya?” Ia menyodorkannya. Lalu kupilih yang sebulan. Harganya cocok dengan harga yang ada dalam daftarku. Ia meminta namaku, negara asalku, dan meminjam paspor. Kuberikan yang ia minta. Sambil menunggu aku membaca brosur hotel-hotel itu. Kucari hotel yang paling strategis dengan harga yang bisa kujangkau. Aku melingkari sekitar sepuluh hotel yang akan kujajaki. Setelah memiliki pass aku kembali masuk Stasiun Tokyo. Yang kutuju sekarang stasiun kedua dari Stasiun Tokyo, Akihabara. Pertimbanganku, hotel yang dekat Stasiun Tokyo peluang kosongnya kecil dan harganya sudah pasti selangit. Di pintu masuk seorang petugas langsung memberi jalan begitu aku menunjukkan pass itu. Sedangkan penumpang lain harus memasukkan tiket ke mesin penera hanya sekadar untuk membukakan palang pintu. Setelah menanyakan kepada petugas itu, aku naik tangga berjalan menuju jalur kereta yang akan membawaku ke sana. Enaknya di Tokyo aku hampir tak harus menunggu, kereta yang dimaksud segera tiba. Aku naik dan tak sampai lima menit sudah tiba di Akihabara. Ada tiga hotel yang kucari di wilayah itu. Coba, apa yang aku temukan? Tak satu pun hotel yang masih menyisakan kamar kosong. Aku mengutuk penyelenggara Piala Dunia di Jepang yang sudah menggembar-gemborkan semua fasilitas akan memudahkan pendatang. Karena waktu sudah hampir pukul empat, aku harus kembali ke Narita mengambil kopor. Jika kubiarkan, jangan-jangan koporku diangkut petugas yang entah ke mana. Atau disangka isinya ada benda-benda terlarang, lalu berurusan dengan pihak berwajib Nippon. Perlu tiga jam untuk mengambil kopor itu hingga kembali ke Stasiun Tokyo. Kini aku tiba di stasiun pusat Kota Tokyo lagi untuk ketiga kalinya dalam sehari ini. Tetapi, sekarang dengan bawaan lebih banyak. Sudah pasti repot. Terlebih-lebih sudah tiba pula saat para pekerja di Tokyo pulang kantor. Kereta lebih padat penumpangnya. Berdesak-desakan. Inilah kesibukan khas Tokyo. Hari sudah gelap. Aku belum juga mendapatkan hotel. Sudah kusiapkan mental jika sampai harus tidur di stasiun. Bukan putus asa, tetapi kemungkinan terburuk itu harus aku ambil. Aku terdiam sejenak sambil memeluk ransel. Setelah setengah jam menimbang-nimbang aku berangkat lagi menuju utara. Aku pikir ke arah ini lebih banyak peluangnya mendapat hotel ketimbang arah selatan. Hanya feeling saja. Aku berhenti di stasiun ketiga dari Stasiun Tokyo. Namanya baru aku ketahui ketika sudah keluar stasiun: Okachimachi. Tepat di bawah stasiun itu ada restoran McDonald’s. Aku membeli burger dan menyantapnya amat lahap. Ketika pelayannya kutanya soal hotel, mereka menggeleng. Ini dia awal petakaku, pikirku. Aku sudah siap menggelandang. Keluar dari McDonald’s menjelang pukul sembilan malam. Aku berjalan menuju jalan kecil yang sembarang kutempuh. Seorang wanita muda memakai topi dan rok pendek merah memanggilku menawari sesuatu. Aku tak mengerti apa yang ia tawarkan. Kuhampiri dia dan kutanyakan di mana hotel di sekitar itu. Ia menggeleng. Kutunjuk sebuah gedung yang mirip hotel di hadapanku. Gedung itu sudah kulihat dari jauh dan aku menduganya hotel yang akan menampungku. Dia tersenyum. Katanya itu gedung perkantoran. Akhirnya aku jalan terus. Jalan masih penuh lalu-lalang orang- orang bersetelan hitam-hitam. Aneh juga melihat mereka masih gentayangan dengan pakaian necis seperti itu. Mereka inilah para pekerja kantoran Jepang yang pulang kerja. Biasanya mereka menghabiskan waktu di kafe atau pub-pub sampai tengah malam. Aku tak peduli. Di lampu merah aku terhenti. Kuamati gedung-gedung tinggi, dari situ siapa tahu aku menemukan tulisan “hotel” menempel di temboknya. Tak ada. Aku mundur sambil menarik kopor. Maksudku, aku mau duduk di tembok restoran yang tepat berada di belakangku karena badan sudah pegal. Sekilas aku menangkap restoran itu penuh. Dan ketika aku melihat nama restorannya yang ada di pinggir kanan, aku seperti disiram air: Green New Hotel. Benar-benar membuat hatiku hijau. Tak kusia-siakan, aku segera masuk. Kuhampiri front office-nya dan kuminta kamar kosong. Lalu apa jawabannya? “Maaf, semua kamar sudah terisi,” ujar seorang staf wanita muda. Aku lemas dan kulempar tubuhku ke sofa. Dua tiga tamu masuk membawa kopor. Registrasinya lancar. Aku merasa dibohongi dan kukira ia rasialis karena aku dari Indonesia. Aku bangkit lalu memprotesnya. Katanya, mereka sudah mem-booking jauh-jauh hari. “Sama sekali tak ada kamar sisa? Dapur juga boleh.” “Kami mohon maaf.” “Boleh saya tidur di sini?” tanyaku sambil menunjuk sofa yang tadi kududuki. Frustrasi rasanya. “Saya sudah seharian mencari hotel dan semuanya sia-sia.” “Maaf.” Aku biarkan badanku jatuh ke sofa, tak ada tenaga lagi rasanya. Lemas. Entah siapa yang harus kumaki. Setelah hampir seperempat jam dan mataku nyaris terpejam, staf itu memanggilku. “Pak,” katanya, “Anda merokok?” Aku menggeleng. Aku pikir, aku boleh tidur di sofa asal tak merokok. “Sayang sekali,” katanya. Aku dongkol mendengarnya. “Ada satu kamar double, tetapi untuk perokok.” Aku meloncat girang. “Tak apa-apa.” “Harganya untuk double.” “Tak apa-apa” “Kami kasih diskon 30 persen, tetapi untuk malam ini saja.” “Tak apa-apa.” Aku melonjak. Ingin rasanya memeluk wanita itu saking girangnya. Aku disuruh memasukkan uang 10.000 yen ke dalam vending machine di sudut. Lalu memencet angka 8.500. Beberapa detik kemudian, kembaliannya keluar dari bawah. Lalu muncul juga kartu hotel untuk membuka kunci kamar dengan namaku sudah tercantum di situ. Hilanglah kelelahanku. Aku mendorong bawaanku, naik lift, lalu kudapatkan kamar yang dimaksud. Kubuka. Ada dua tempat tidur di situ dengan seprei putih. Sebuah pesawat televisi. Sebuah brosur. Sebuah asbak. Sebuah korek api. Kopor dan ransel kutidurkan di dipan yang satu, seolah keduanya makhluk bernyawa. Aku sendiri meloncat ke tempat tidur satunya lagi. Kelelahanku langsung terserap oleh kasurnya. Lalu bangkit lagi dan memeriksa kamar mandi. Aku ingat sesuatu dan kemudian keluar. Kuhampiri vending machine di sudut lorong dan kumasukkan uang logam yen sesuai angka-angka dalam petunjuk untuk membeli minuman, kacang, dan, meski aku tak merokok, sebungkus rokok putih. Aku kembali ke kamar. Siapkan air hangat, buka pakaian, lalu berendam sambil merokok. Alangkah indahnya Tokyo. Untuk hari ini aku selamat. Besoknya, pukul 8 pagi aku sudah keluar hotel. Sebelum pukul 10 aku harus sudah menemukan hotel baru karena itulah waktu check-out. Pukul 11 aku harus registrasi di Media Center di Yokohama untuk mendapat ID sambil membuat laporan awal untuk dikirim ke Jakarta. Aku pergi ke utara lagi dan turun di Stasiun Ueno. Ada dua hotel yang kudapat alamatnya subuh tadi. Yang pertama langsung menolakku karena penuh. Yang satunya lagi hotel kecil, tetapi asri. Aku masuk dari pintu belakang karena kebetulan jalan itulah yang lebih dulu kutemui dan lorongnya membimbingku ke front-office. Ada banyak foto yang tergantung di dinding. Aku terpesona dengan foto-foto di bawah lampu. Yang menarik perhatianku, ada banyak kata-kata dalam Bahasa Indonesia di latar belakang foto-foto itu. Ini sudah mengejutkanku. Rasanya aku seperti disambut. Sedangkan yang difoto dua remaja zaman dulu yang ceria. Seorang wanita Jepang berparas cantik. Lelakinya bertubuh sedang dengan wajah biasa saja, namun berwibawa. Remaja laki-laki itu mengibarkan bendera merah-putih kecil sambil memeluk pinggang si wanita. Aku menemukan cinta dari pancaran wajah mereka. Aku amati foto- foto itu dengan takjub. Entah apa artinya foto-foto itu dipasang di situ. Ternyata jauh dari Tanah Air, ada warga Jepang yang bangga memasang atribut Indonesia. Aku mengelus dadaku, jangan-jangan aku merasa kecil karena berasal dari Indonesia. “Itu foto-foto kami,” satu suara mengagetkanku. Aku kaget karena lamunanku terpecah. Aku kaget karena suara wanita itu begitu fasih menggunakan bahasa Indonesia padahal aku sedang berada di Tokyo. Aku makin kaget karena yang kulihat adalah wanita Jepang yang kusapa di Bandara Soekarno-Hatta kemarin. “Silakan masuk. Ini hotel keluarga milik ayah saya,” sapanya. Aku nyaris tak bisa bergerak. Tokyo, 2002
""Hotel Keluarga di Tokyo""
Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, “Kamu tidak mungkin sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga ini.” Sambil berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan tanaman bunga yang mungil dan indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu yang pertama kulihat untuk memastikan keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika hendak berangkat bekerja. Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa mengatakan keadaan ibu kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga jatuh, dengan segera aku mengangkat telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya. Dan ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang bermekaran, teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat hadiah dari bank tempatnya menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu, ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu waktu itu hanya bilang. “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?” Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. “Pulanglah, ibu sedang bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira. Begitu telepon kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu seperti dikerudungi cahaya. Belajar dari itu semua, ketika aku pulang, aku menanam sebatang tanaman bunga tepat di samping jendela kamar ibu. Ibu tersenyum saat aku bilang, “Bu, pohon ini akan mengatakan kepada ibu bagaimana keadaanku.” Di luar dugaanku, pohon bunga yang kutanam itu benar-benar memberi isyarat pada ibu tentang apa yang sedang kuhadapi. Sewaktu aku sedang dipromosikan naik jabatan, ibu menelepon untuk menanyakan keadaanku. Lalu, aku pura-pura bertanya mengapa ibu bisa meneleponku pagi-pagi benar. Ibu bilang, pohon bunga yang kutanam terlihat segar dan banyak bunga yang sedang mekar. Sewaktu aku diputus cinta oleh Randy, ibu juga meneleponku, ada banyak bunga dan daun yang rontok sehingga ibu resah. Terakhir, ketika aku sedang berpikir keras untuk memutuskan apakah aku harus menggugurkan kandunganku karena Mas Rustam, kekasihku yang baru, ternyata sedang mendapatkan tugas ke luar kota dalam waktu yang agak lama dan dia terganggu dengan keadaanku yang sedang mengandung, ibu juga menelepon. Ibu bertanya, “Kamu sedang tertimpa masalah? Pohon yang kamu tanam terlihat layu.” Ketika aku sudah mengambil keputusan untuk menggugurkan bayiku dan di sebuah malam Mas Rustam menelepon dari luar kota dengan membawa kabar buruk, ia harus menikahi anak bosnya karena hamil, pagi harinya ibu datang dengan pesawat paling pagi. “Ibu khawatir sekali, pohon bungamu tadi terlihat seperti mau mati.” Hubunganku dengan ibu sangat unik. Aku anak tunggal. Bapakku bercerai dengan ibu ketika aku baru saja lulus dari SMA. Mereka bercerai dengan baik-baik. Ibu pernah bercerita bahwa dulu ia diusir oleh keluarganya karena berpacaran dengan laki- laki yang berbeda agama. Dasar ibu, ia pergi saja dari rumah bersama laki-laki itu. Lalu, mereka menikah dan ibu melahirkanku. Ibu juga pernah bercerita, ia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik laki-lakinya juga pergi dari rumah, yang satu pergi dari rumah karena membobol gudang pertanian, menjual alat-alat pertanian dan hasil panen, serta membakar rumah penggilingan padi orangtua mereka. Ibu bilang, adiknya yang satu itu memang “kiri”. Alat-alat pertanian dan hasil panen orangtua mereka dijual untuk membiayai aktivitas organisasinya untuk melawan Orde Baru. Sedangkan penggilingan pagi orangtuanya dibakar oleh adiknya karena ia kecewa melihat cara pengupahan orangtua mereka terhadap orang-orang yang bekerja di lahan pertanian orangtua mereka, dan puncaknya pembakaran itu terjadi ketika adiknya ibu diusir dari rumah. Bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada komunis.” Adiknya ibuku marah, paginya, rumah penggilingan padi itu dibakarnya. Adik satunya lagi, yang paling kecil, juga diusir dari rumah orangtuanya ibuku. Sejak kecil, adiknya yang paling kecil itu memang sudah suka yang aneh-aneh. Ia biasa tidak pulang ke rumah hanya karena pergi memancing di sebuah tempat selama berhari-hari. Ia juga sering tidur di kuburan tokoh-tokoh tertentu. Ia pergi begitu saja dari rumah tanpa membawa apa-apa selain alat memancing ikan, ketika bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada orang yang belajar klenik dan menganut ilmu hitam.” Ibuku, sekalipun anak pertama, adalah orang yang terakhir pergi dari rumah orangtuanya. Kadang-kadang ibu bilang kepadaku. “Kamu seharusnya mengenal kedua pamanmu, mereka berdua menyenangkan sekalipun kadang-kadang memang agak brengsek.” Di mana mereka berdua sekarang, ibu tidak pernah tahu dan sepertinya tidak pernah mau tahu. Ibuku memang agak aneh, tapi baik hati dan membanggakan. Aku mengalami masa-masa kecil yang menyenangkan dan mendebarkan. Ibuku rajin shalat dan pergi ke pengajian, bapakku rajin ke gereja, tapi aku tidak pernah disuruh untuk masuk ke salah satu agama, baik agama ibuku maupun agama bapakku. Ketika bulan puasa tiba, dan teman-temanku berpuasa, aku tidak puasa. Mereka mengira aku beragama sama dengan bapakku. Tapi ketika Lebaran tiba, aku ikut Lebaran, dan jika teman-temanku bertanya, aku menjawab kalau aku baru saja pindah agama. Kedua orangtuaku hanya tersenyum melihat tingkahku. Ibuku marah pada sesuatu yang dulu menurutku aneh. Ia pernah marah ketika aku pulang sekolah dan memamerkan hasil tes bahwa aku mendapat nilai terbaik. Lalu, ibuku bertanya, berapa nilai teman-temanku? Aku menjawab dengan nada bangga kalau sebagian besar nilai temanku di bawah lima. Ibu langsung marah dan berkata, “Lain kali jangan pamerkan kehebatanmu jika temanmu tidak mendapatkan nilai yang sama baiknya denganmu!” Aku langsung mengadukan itu ke bapak dan bapak bilang, maksud ibuku lain kali menjadi tugasku untuk membuat teman-teman sekelasku bisa mengerjakan sepertiku atau bahkan memberi contekan. Tentu saja aku kaget. Aku juga pernah dimarahi ibu ketika suatu saat kami berlibur dan jalan-jalan ke luar kota. Di sebuah trotoar, ada seorang pengemis dan ibu bilang. “Beri dengan uangmu.” Lalu, ibu melenggang pergi. Aku memeriksa sakuku dan tidak kutemukan uang receh, lalu aku menyusul ibu dan mengatakan bahwa aku tidak punya uang receh. Ia langsung menghentikan langkahnya dan bersuara marah, “Apakah ibu mengajarimu memberi uang hanya dengan recehan?!” Dengan segera aku balik karena kesal dan memberikan semua uangku pada pengemis itu. Aku berharap nanti ibu akan bertanya dan marah padaku karena aku memberikan semua uangku. Dan aku ingin membalas marah padanya, “Lho katanya tidak boleh uang receh?!” Tapi sayang, ibu tidak pernah menanyakannya. Pernah sewaktu aku kecil, sepulang sekolah, teman-teman laki-lakiku sepanjang jalan menggodaku. Mereka bilang, kelak aku akan masuk neraka. Aku lalu teringat komentar ibuku saat menonton televisi, “Ah, mereka sok tahu tentang surga dan neraka.” Aku lalu mengutip kalimat ibuku, “Ah, kamu sok tahu tentang surga dan neraka.” Mereka marah, tas dan jepit rambutku ditariknya. Aku pulang dan menangis. Sampai di rumah, aku mengadu sama ibu yang sedang membaca buku. Ibu lalu bertanya, “Kamu merasa perlu melawan mereka atau tidak?” Aku menjawab perlu. Lalu ibu bilang. “Kamu berani atau tidak?” Aku menjawab, aku berani, tapi aku kan perempuan dan jumlah mereka banyak. Ibu menutup buku yang dibacanya. “Lalu, kenapa kalau perempuan?” Aku bilang, ya aku akan kalah. Ibu bilang, “Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan kalah jika kamu tidak pernah mencoba melawan mereka.” Aku diam. Lalu, ibu berkata, “Bagaimana kalau kamu datangi lagi mereka karena mereka banyak, kamu pakai saja batu atau sapu.” Aku segera bangkit mengambil sapu, di tengah jalan aku mengumpulkan batu. Dari jauh aku sudah melempari mereka dengan batu dan ketika dekat aku menggerak-gerakkan sapu untuk memukuli mereka. Mereka lari, dan tidak pernah berani lagi menggangguku. Hubunganku dengan ibu dan bapakku tetap hangat sekalipun mereka berdua telah cerai. Anehnya, ibuku tidak menikah lagi dan bapakku juga tidak menikah lagi. Dan, aku tidak ambil pusing dengan sebab-musabab kenapa mereka bisa cerai. Hubungan kami bertiga kurasakan sangat hangat saat-saat aku hampir putus kuliah dan saat itu sebagaimana banyak mahasiswa aku terlihat demonstrasi menentang rezim Orde Baru. Hampir setiap hari, ibuku dan teman-temannya, baik tetangga kami maupun teman-teman pengajian ibuku, menyuplai kami dengan makanan bungkus dan air minum. Bahkan, ibu selalu menelepon bapakku untuk ikut membantu lewat teman-teman sekantornya. Di saat-saat seperti itu, ibu sering berkata, “Semoga kamu ketemu dengan pamanmu.” Aku tidak pernah bermasalah dengan masa kecilku di mana aku dibesarkan oleh orangtua yang berbeda agamanya dan masing-masing menjalankan keyakinannya. Aku bisa tumbuh dengan keyakinanku sendiri tanpa pernah dipaksa. Aku juga tidak pernah bermasalah dengan orangtuaku yang bercerai, hubunganku dengan ibu maupun bapakku tidak bisa dihalang-halangi oleh perbedaan hubungan mereka sekarang. Aku mempunyai hubungan yang manis dengan mereka, masa lalu yang memberi lahan bagi rasa rindu, dan masa sekarang yang bergerak tidak untuk menjauhi perasaan-perasaan masa laluku. Mereka berdua masih tetap memberi semangat, juga ketika tahun-tahun kecewa menderaku. Tahun-tahun di mana aku menjadi saksi ketika banyak aktivis mahasiswa yang dulu heroik kini lembek di tangan-tangan elit politik untuk mendukung langkah- langkah elit mereka. Kami bertiga juga melewatkan masa-masa menyenangkan ketika kami berkumpul di saat orang-orang sibuk melakukan coblosan pemilu. Kami makan bersama, menonton televisi, membaca koran, bercengkerama, memberi komentar sambil melihat monitor-monitor televisi yang bergerak menyampaikan angka-angka perolehan suara. Dua kali pemilu kami lewati dengan hangat tanpa ada keinginan untuk membohongi perasaan kami masing-masing, perasaan yang tidak kunjung mengerti mengapa banyak orang yang berbondong-bondong mengantre di kotak-kotak suara, memberikan suara mereka tanpa jelas lagi di mana arah perubahan. Kami menjadi saksi yang mencoba untuk tetap hangat menerima kenyataan politik yang sesungguhnya tidak pernah berubah. Di antara kami, aku dan ibuku, jarang sekali saling menyimpan rahasia. Terutama aku. Ibu hampir tahu semua kisahku, baik dalam hal percintaan maupun urusan kantor. Aku tidak butuh bantuan untuk semua hal yang kulalui, hanya saja bercerita pada ibu adalah sesuatu yang sudah kuanggap menyelesaikan banyak hal. Namun, sampai sekarang, aku tidak pernah berani bercerita pada ibu kalau aku pernah menggugurkan bayi dalam kandunganku, aku takut ibu akan marah. Sekalipun aku tidak yakin kalau ibu akan marah. Kemarin pagi, aku kaget sekali. Saat aku membuka jendela, aku mendapati bunga yang ditanam ibu seperti akan mati. Tiba-tiba rantingnya seperti mengering dan daun-daun serta bunganya rontok berjatuhan di sekitarnya. Dengan segera aku menelepon ibu. Agak lama telepon tidak diangkat dan itu semakin membuat hatiku berdebar khawatir. Untunglah setelah beberapa kali tidak diangkat, kudengar suara ibu menyahut. Dengan segera aku menanyakan kabar ibuku. Anehnya, ibu menjawab tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa? Lalu, aku bilang tidak mungkin, bunga yang ditanam ibu seperti sekarat. Ibu tetap bilang bahwa tidak ada apa-apa. Rasa kesal, marah, kecewa, tiba-tiba memuncak di diriku. Aku membanting telepon, lalu pergi ke tempatku bekerja. Di kantor, perasaanku semakin tidak enak. Akhirnya aku bilang ke atasanku untuk minta izin menengok ibuku dengan alasan ibuku sakit. Esoknya, dengan pesawat paling pagi, aku berangkat. Tentu saja ibu kaget melihat kedatanganku. Setelah kami sarapan berdua, aku mencoba dengan berbagai cara agar ibu mau berterus terang tentang masalahnya. Tapi, ibu tetap bersikukuh untuk mengatakan bahwa hidupnya baik-baik saja. Tapi, aku juga ngotot, aku bilang, tidak mungkin, sebab bunga yang ditanam ibu mengatakan sebaliknya. Dengan tenang ibu menjawab, “Bunga itu ternyata tidak bisa dibuat patokan keadaanku.” Aku diam. Dalam hatiku, aku merasa sangat kecewa. Aku bangkit, lalu berjalan-jalan di dalam rumah dan di sekitar rumah. Segalanya memang tampak baik-baik saja, ruang tamu, ruang keluarga, kamar-kamar, dapur, halaman belakang, semua baik-baik saja. Tapi aku kaget ketika melewati tempat di samping kamar ibu. Aku tidak melihat tanaman bungaku. Dengan segera aku mendatangi ibu yang sedang membereskan piring-piring di meja makan. “Bunga yang kutanam di mana, Bu?” Ibu menoleh, meletakkan piring-piring di atas meja, lalu duduk. “Kan sudah ibu bilang, bunga itu sudah tidak bisa mengatakan keadaan kita masing-masing. Kamu ingat, kan… ketika ibu datang pagi-pagi karena melihat bunga yang kamu tanam terlihat mau mati? Ternyata kamu tidak sedang ada masalah apa-apa. Pulang dari rumahmu, aku mencabut bunga itu.” Aku kembali diam. Esok harinya, aku langsung pulang. Sampai di rumahku, tanpa berpikir panjang, aku mencabut bunga yang ditanam ibu. Dalam hati aku berkata, setiap orang boleh punya rahasia.
""Bunga dari Ibu""
Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu? Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu? Malam telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kau pikirkan? Tentang anak-anak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain? Kawin dan beranak? Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen? Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu. Dan, setahun lalu anak lelaki kita diterima bekerja di kota M. Cukup jauh dari rumah ini. Amat melelahkan apabila dengan kendaraan mobil jika ingin menemuinya. Hanya dengan pesawat, itu pun ditempuh dengan perjalanan tiga jam lebih di udara ditambah tak kurang tujuh jam menempuh darat dan selat. Pasti melelahkan. Kau mendesis. Sepertinya, itulah penyebab mengapa kau sedih sekali waktu itu. Berturut-turut anak kita ke luar dari rumah ini, menggores kesepian di hati. Sebenarnya kita berharap mereka bekerja dan berjodoh di kota ini saja, kota kelahirannya. Biar selalu dekat, selalu dengan mudah dapat diawasi. Cuma kita tak bisa menentukan rezeki dan jodoh, juga (jangan lupa!) maut. Sama seperti kenapa aku mengawinimu, mengapa kau mau menjadi istriku. Apa lagi yang menarik dariku? Apa pula yang amat berkesan pada tubuhmu yang membuatku tergila-gila waktu jejaka dulu? Sudahlah, tak perlu nelangsa. Tersenyumlah untuk segala kesunyian. Tertawalah buat kesedihan dan kesepian. Kau dan aku, bersyukurlah, masih ada. Cinta dan kasih sayang tak akan (pernah) pergi. Lukisan Picasso dan Jeihan masih bisa membunuh lara kita. Perempuan-perempuan Jeihan dengan kedua matanya yang selalu gelap, pelajaran bagus buat kita yang terasa kian menua. Ah, tidak! Usia kita belum 50 tahun. Kau masih sintal bagiku. Aku “si Kuku Bima” dalam berbagai pertarungan. Terbukti dalam berbagai pergumulan, tak ada yang kalah ataupun menang di antara kita. Selalu saja kita bisa menyelesaikan pertarungan dengan keringat di tubuh layaknya danau. Saat itulah kau mau tersenyum untuk pertarungan kita. Dan, aku terpuasi. Setelahnya, sepi kembali menyergap. Kepiluan bertandang. Kerinduan pada anak-anak (kita hanya punya dua anak dari perkawinan sepanjang 23 tahun) membuat kita tak lagi berkata-kata. Bisu. Ruang tamu diam. Ruang makan berkabut. Kamar tidur berselimut sunyi. Suara televisi yang malam-malam terakhir ini menayangkan diskusi dan debat calon presiden, tak pernah menarik kita agar terhibur. Malah kita dibuat bebal. Janji-janji yang verbal. “Kenapa? Apa yang terjadi denganmu?” aku tak tahu pertanyaan tersebut sudah berapa kali kuajukan padamu. Kau tak juga bersuara. Hanya meremas-remas jarimu. Atau menutup wajah dengan selimut. Selalu kubayangkan, di balik selimut itu aku seperti menyaksikan tarian maut. Jangankan tersenyum, bersuara pun kau tak. Apakah kini tanpa anak-anak di sisi kita, kau benar-benar merasa sepi? Bukankah aku bisa menggantikan mereka? Aku senantiasa menghiburmu dengan kisah-kisah humor. Dengan lelucon-leluconku yang saat berpacaran kau bisa senyum, bahkan tak jarang kau terkekeh? Adakah leluconku sekarang tak mampu lagi menarikmu untuk sekadar menyunggingkan bibirmu yang (masih terlihat) ranum? Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berkali-kali kurangkai lelucon. Kau bahkan berang. Tak mau dekat denganku. Tidur di kamar Selvi. Kau merajuk. Aku selalu membujuk. Tetapi, kau tetap ingin tidur sendiri di kamar sebelah. Bersama boneka dan mainan Selvi yang ditinggalkannya setelah ia dibawa suaminya. Lalu, siapa yang benar-benar merasa sepi semalaman? Akukah? Kaukah itu? Tiada jawaban yang membuat aku puas. Kenapa di masa senja perkawinan kita, yang kita rangkai adalah pertikaian? Saat cinta di paruh ujung kebersamaan kita dalam satu biduk rumah tangga, perilaku kita menjadi aneh. Kita mengutuk kesepian yang tak mendasar. Perkawinan yang terlalu cepat merebut Selvi dari dekapan kita, itukah yang senantiasa kau sesalkan? Bukankah suatu kelak, waktu akan memisahkan kita dari mereka? Juga perkawinan kita, betapapun sudah sedapat kita untuk mempertahankannya. Pandanglah lukisan Jeihan di sudut ruang tamu. Sekali-sekali kau amati lagi karya Picasso yang indah itu. Tafsirkan menurut hatimu apa yang ada di balik mata gelap dari perempuan Jeihan tersebut. Tak perlu sungkan salah menafsirkan. Karena demikianlah karya seni: ia menjadi kaya karena ragam pemaknaan tafsir. Kuharap dengan begitu, kau akan mendapati keriangan. Sepimu akan hilang, berganti keramaian. Seperti warna-warna dalam kanvas Picasso. Sebagaimana lorong pekat penuh pengharapan dalam mata perempuan-perempuan Jeihan. Seperti diriku yang selalu mendapatkan itu, setiap kali aku memandangi karya lukis dari seniman besar itu. Matamu nanar. Penuh basah. Selalu kuinginkan leluconku atau kisah-kisah humorku akan membunuh kesepian yang terpantul dari wajahmu. Biar hari-hari kita, mungkin hanya sisa dari langkah perkawinan kita ini, kembali mendapati matahari. Pagi hari. Saat kedua telapak kakimu membelai sisa embun di pucuk rumput taman di depan rumah. Kau memang suka sekali menyepuh kaki dan betismu dengan sisa embun itu. Sejak muda dulu. Kau pernah bilang, sisa embun banyak manfaat bagi kulit dan tulang. Namun, menjadi petaka apabila embun yang luruh terkena kepala. Itu sebabnya, katamu, para pelancong malam dan centeng selalu bertopi. Menutup kepalanya dari embun malam. “Itu sebabnya, mengapa anak-anak balita yang belum juga berjalan pada usia yang mestinya sudah bisa melangkah, orangtuanya akan mengusap kaki anaknya ke rumput berembun.” Waktu itu, memang Selvi belum dapat berjalan pada usia hampir dua tahun. Dan benar, mungkin karena memang sudah waktunya, anak kita bisa melangkah dan kemudian jalan. Perasaan kita senang tidak terkira. Kemudian kau kabarkan pada kedua orangtuamu tentang khasiat embun yang membuat Selvi bisa berjalan. Kau puji ibumu, karena saran dialah agar Selvi dibawa setiap pagi ke rumput yang menyisakan embun supaya cepat jalan. Aku tak bisa menyembunyikan kegiranganku. Meski aku tak terlalu percaya kalau embun dapat mempercepat anak yang lambat berjalan. Tetapi, aku tak hendak menunjukkan ketidakpercayaan itu. Aku tidak ingin melihatmu kecewa. Seperti hari-hari belakangan ini. Karena itulah, kalau kau mau tahu, supaya kau mau tersenyum aku sering mengobrol dengan tetangga atau teman-temanku di kantor untuk mencari kisah lelucon dan cerita humor. Bahkan aku masuki toko-toko buku, mencari bunga rampai kisah humor dan membacanya di sana. Tentu secara diam-diam, karena pelayan toko akan memamerkan wajah tak sukanya kalau bukunya dibaca atau plastik pembungkusnya disobek. Setelah kudapat, aku akan menuturkan padamu. Tak lain supaya kau terkekeh, setidaknya tersenyum untuk hari-hari kita yang memang terasa sepi. Hanya kau tak pernah terpancing, kau tak juga terpingkal ataupun tersenyum. Ada apa dengamu? “Aku kangen sekali dengan Selvi…,” suaramu lirih. Pelan. Hampir tak kudengar. Aku nyaris tak percaya ketika kuyakini kau bersuara. Benarkah itu? “Apa?” Sebenarnya aku ingin kau mengulang ucapanmu. Ya. Aku ingin sekali lagi mendengar suaramu. Kau sudah lama pelit pada kata-kata. Padahal, semasa muda dulu kau paling tangkas berbicara. Itu sebabnya kau menyukai diskusi. Ada saja bahanmu untuk membuka dialog. Di rumah ini, denganku, atau dengan anak-anak kita. Setelah itu, kau kuasai pembicaraan. Mengagumkan. “Aku rindu Selvi. Ingin ketemu cucu. Lagi apa ya mereka?” kau ngulang, tapi dengan kata-kata yang lain. “Apa Selvi juga kangen dengan kita? Bagaimana dengan Yanto, kenapa dia tak menelepon atau mengirim surat?” “Benar kau rindu?” aku bertanya. Kuingin sekali lagi kau mau bersuara. Namun, beberapa menit setelah kunanti ternyata kau hanya diam. Membisu? Ah, aku mengkhawatirkan kau akan menutup mulut lagi. Tak bicara. Merajuk. Tidur di kamar sebelah. Mendekap mainan dan boneka Selvi. Seperti biasa. “Aku yakin Selvi pasti kangen sama kita. Cuma mungkin dia belum punya waktu kemari,” lanjutku kemudian setelah tak kutemukan isyarat kau mau berkata. “Mungkin Yanto sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya, makanya tak sempat menelepon ataupun berkirim surat. Tetapi, yakinlah, mereka sehat.” Diam. Kau menunduk. Seperti sedang menyusun kata-kata, sebelum kauucapkan. Kutunggu. Sekejap, dua kejap. Tak juga keluar. Aku kembali gundah. Tentu kau akan mengakhiri percakapan ini. Malam ini. Sebelum kemudian kita lelap. Tidak dilalui dulu dengan bercinta…. Kau tidak juga tersenyum, meski aku sudah berkali-kali membikin lelucon. Sebenarnya ada apa denganmu? Kugali-gali lagi cerita humor dan kukemas semenarik mungkin. Tapi, tetap saja kau tak terpancing. Pikiran apa yang mengganggu benakmu? Aku mulai kehabisan sabar untuk segera mungkin melihatmu tersenyum. Ayo sayang, senyumlah untuk usia senja kita. Jangan kau genapkan sepi ini dengan ulah anehmu. Bayangkan bahwa kita baru menikah, bahwa kita sedang menikmati bulan madu. Jadilah merpati, yang muda dan aduhai, demi warnai kembali semangat kuku bimaku. Kepakkan sayapmu untuk perkawinan kita yang mulai masuk ambang. Lalu kuajak kau memandang perempuan Jeihan. Kuingin kau seperti perempuan dalam lukisan itu, tapi tidak untuk kedua matanya. Bola matamu lebih indah, itu salah satu asalan mengapa dulu aku kesengsem padamu. Ayolah ke ruang depan, sudah lama kita tak menikmati perempuan Jeihan. Aku mengajakmu. Hendak menggandeng tanganmu, seperti dulu kupegang tanganmu tatkala menuju pelaminan seusai akad nikah. Tetapi, kenapa tak juga beranjak dari ranjang itu? “Aku tak lagi muda, tidak seperti perawan di kanvas itu,” katamu. “Sejak Selvi menikah aku merasa bukan lagi muda, dan begitu ia melahirkan aku merasa makin tua. Aku pun menyandang sebutan oma….” “Ya. Setiap orang pasti akan menuju tua, itu alami. Seperti siang berubah malam, itulah bukti bahwa hidup ini fana-berjalan. Lalu, mengapa kau gundah dengan perubahan?” Aku tak gundah. Katamu-tepatnya membantah pendapatku. “Aku cuma menyesali mengapa Selvi begitu cepat meninggalkan kita. Andainya dulu kau, sebagai bapaknya, mau menunda pernikahannya tentu tidak seperti ini jadinya. Aku tak begitu cepat menghadapi kesepian seperti ini,” lanjutmu. “Aku tak bisa menolak jodoh, seperti kita tak mungkin mengingkari usia. Jodoh bagi Selvi sudah datang pada kita, dan aku sebagai bapaknya hanya merestui. Cuma merestui. Dengan begitu, kuharap ia akan bahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya,” jawabku lembut. Aku tak ingin kau tersinggung, kalau aku ikut bersuara keras. “Kenyataannya?” “Selvi bahagia sekarang dengan suami dan anaknya. Aku yakin itu….” “Kenapa ia tak mengabarkan kebahagiaannya, kalau dia benar bahagia?” “Apa kau lupa, ia sering meneleponmu? Dua malam sekali?” “Tapi, hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Batinku berkata lain: ia tak bahagia hidup di perantauan. Ia tak pernah jauh dariku….” “Sekarang ia harus mulai belajar hidup mandiri. Saatnya dia lepas dari ketiak ibunya. Dan, kau juga mestinya menerima kenyataan ini, seperti busur melepaskan anak panah. Jangan dia kau bebani dengan kekhawatiran-kekhawatiranmu, yang mungkin saja tak begitu benar,” kataku kemudian. “Jangan perasaan yang ada dalam dirimu untuk mengukur kebahagiaan orang lain. Aku kok sangat yakin Teuku Ashar Pasa tak menyia-nyiakan anak kita.” Kau seperti ragu untuk mengangguk. Diam. Kembali menunduk. Ah, sudah lama memang rumah ini sepi. Seakan tiada penghuni. Tak ada tawa dan pertengkaran kakak-beradik. Rumah yang kini benar-benar sunyi. Sepi yang memagut setiap waktu. “Besok pagi aku mau menemui Selvi. Aku sudah benar-benar rindu.” Tiba-tiba, seperti lontaran peluru, kau berujar. Apa? Aku kaget mendengarnya. “Kau pikir, rumah Selvi hanya dua atau tiga kilometer? Kita mesti butuh waktu sekurangnya 12 jam!” “Tak soal. Yang penting aku bisa temu dia. Juga cucuku.” Kalau kau sudah meminta, sulit aku membujukmu agar menunda. Maka kutelepon Selvi. Malam ini juga. Kuutarakan keinginan ibunya. “Biar Selvi saja yang pulang. Ibu tunggu saja di rumah, aku yang pergi yang akan pulang. Aceh bukan dekat….” “Tapi, ibumu berkeras. Dia yang mau menemuimu.” “Jangan ayah. Biar Selvi yang pulang. Aceh belum bisa menjamin nyawa orang. Di sini kematian sama dekatnya dengan urat leher kita…,” kata Selvi. “Tapi….” “Lagi pula, aku sekalian pulang memboyong Upita. Aku tidak tahan hidup di kota yang tak bisa menjamin keselamatan. Teuku Ashar tak mau meninggalkan kampung kelahirannya, meski perang di Aceh belum berhenti. Kata dia, kalau harus memilih ia lebih memilih merawat ibunya daripada bersamaku dan Upita. Ya, itu pilihan dia. Dan, Selvi juga punya pilihan….” “Jadi, maksudmu….” “Ya. Selvi mau tinggal bersama ibu dan ayah lagi,” potongnya. “O iya, mana ibu. Biar Selvi bicara langsung.” “Jangan, Nak. Malah ibu nanti sakit kalau mendengar ceritamu. Ayah saja yang menyampaikan kalau ibu tak usah berangkat, karena kau akan pulang besok dengan pesawat pagi. Kami akan menjemputmu di Bandara Radin Inten. Telepon saja kalau kau sudah sampai di Cengkareng.” Lalu pesawat telepon kumatikan. Sebelum tidur, kusampaikan maksud Selvi. Tapi, tak kuberi tahu kalau ia akan kembali dan tinggal bersama kami seperti dulu. Cukuplah aku dan Selvi yang tahu, bahwa ia akan hidup menjanda. Barangkali juga hingga membesarkan Upita. Entahlah. Dan, istriku merasa senang mendengar kabar Selvi akan pulang besok. Berulang kali ia tersenyum, tak henti-henti kulihat wajahnya sumringah. Malam ini ia mau menemaniku tidur. Kuharap ia tak lagi menyesali sepi. Perubahan itu yang membuatku sangat berbahagia. Aku seperti kembali muda. Menancapkan kuku bima di bulan limau. Lampung, 12 Juli 2004; 00.35
""Meniti Sepi, Menanti yang Pergi""
Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya. Bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit. Ia diam tak bergerak, seperti terjebak dalam bingkai jendela kamar perempuan itu. Dari dalam kamarnya, perempuan itu menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Suatu kebiasaan yang membuat hatinya tergetar. Kini, bulan itu menari-nari di manik matanya. Menjelma wajah seorang lelaki yang sangat dirindukannya: suaminya, yang jantungnya meledak oleh timah panas pada sebuah zaman yang begitu gelap, begitu kalap, di mana setiap kekuatan dan semangat menjelma menjadi api yang membakar ratusan ribu jiwa hingga tinggal rangka. Memandang bulan itu, ia merasakan ada getaran kerinduan yang mengaliri rongga jiwanya. Kerinduan yang terasa pahit, tapi tetap saja diharapkan hadir memeluknya. Tapi getaran itu terasa aneh malam itu, tak seperti hari-hari sebelumnya. Perempuan itu menunduk, menimbang-nimang perasaan dengan bimbang. Ia baru saja ditelpon tetangganya yang mengabarkan, Bu Sum meninggal malam ini. Jenazah akan dimakamkan besok jam 14. Berita itu sontak menghidupkan mimpi buruk dalam lipatan-lipatan ingatannya. Nama Sum begitu melekat di hatinya. Bahkan lebih dari sekadar sahabat. Sahabat? Mendadak ia mempertimbangkan sebutan itu. Sum, yang ia kenal sejak remaja, semula memang teman karibnya. Di balik bintik-bintik jerawat puber pertama dan rambut ekor kuda, ia dan Sum mereguk keceriaan. Mereka menjadi pujaan para jejaka yang masih memelihara jambul pada potongan rambutnya yang lengket dengan minyak rambut dengan aroma menyengat serta dengan celana komprang dari dril. Salah satu perjaka yang menarik hati mereka adalah Gangsar. Ia datang dari keluarga terpandang: ayahnya priayi dan orang pergerakan. Wajahnya ganteng, tatapan matanya tajam menghunjam, senyumnya indah mengembang, tubuhnya tinggi besar dengan dada bidang. Gangsar juga dikenal pemuda yang penuh semangat. Matanya bersinar ketika ia berdebat bersama kawan-kawannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Didih persaingan politik antarparpol waktu itu membuat orang begitu suka dengan mulut berbusa. Kalimat-kalimat gagah disertai tatapan mata yang berkilat-kilat hampir dimiliki setiap anak muda dari berbagai organisasi yang menjadi underbouw parpol. Mereka bersaing untuk menjadi yang utama buat menentukan “hari depan bangsa”. Gangsar percaya bahwa lewat kesenian ia mampu ikut mengangkat orang-orang kalah yang tenggelam di lautan lumpur. Setidaknya mampu mengubah tatapan mata mereka yang redup menjadi tatapan mata yang bersinar. Drama-drama yang dipentaskan adalah drama-drama yang penuh kepalan tinju, penuh tanda seru dan sarat teriakan seperti dalam pamflet atau spanduk. Ia menolak sandiwara yang mendayu-dayu, yang baginya tak lebih dari candu yang hanya membikin mental jadi lembek dan layu. Begitulah kelompok sandiwara Gangsar berdetak-berderap seiring dengan kelebat bendera merah darah dengan lambang alat produksi kaum tani dan buruh. “Asih, kamu mesti tahu, Pembayun itu anak Panembahan Senopati yang dijadikan rantai emas untuk menundukkan Ki Ageng Mangir. Tapi, caramu ngomong mirip orang penyakitan. Tidak ada tenaga. Tidak ada gereget. Ia harus hadir sebagai perempuan yang cerdas, memikat…. Paham?” Gangsar meradang pada latihan sandiwara yang lakonnya diadaptasi dari cerita ketoprak Ki Ageng Mangir. “Begitu juga kamu, Hardo. Kamu harus tahu. Yang kamu perankan itu Mangir Wanabaya, tokoh besar, pahlawan wong cilik. Dia itu gagah dan sangat berani melawan Senopati yang digdaya, adidaya tapi sewenang-wenang. Kenapa caramu memerankan tak lebih dari orang berdarah tikus!” sergah Gangsar. Hardo dan Asih terpukul. Dada mereka sesak. “Maaf kawan Gangsar. Saya ini bukan pemain ketoprak, tapi pemain sandiwara…. Saya kira lakon ini kurang tepat. Bagaimana kalau lakonnya kita ganti saja…,” Hardo memompa nyalinya. “Diganti? Diganti dengan lakon-lakon borjuis itu? Kita ini pejuang, kawan. Bukan hanya seniman. Apa kata kawan-kawan partai nanti kalau drama kita lembek? Karena itu aku angkat Mangir. Dia itu simbol perlawanan…! Baik, sekarang diulang sekali lagi…. Eh Asih, kalau kamu masih main seperti orang loyo, aku ganti! Paham?” Perempuan itu tersenyum, mengenang peristiwa lapuk yang mengendap di benak lebih dari 30 tahun lalu. Asih, yang waktu itu masih remaja, hanya bisa menangis. Kata-kata Gangsar lebih dari sekadar kasar. Tapi, kini, ia merasa geli ditikam kenangan yang begitu mengesankan. Ia pun tak menyangka, Gangsar yang sangat garang itu ternyata begitu lembut. Juga ketika ia mengungkapkan cintanya kepada Asih yang tidak menolaknya, karena memang suka. Bahkan ketika Gangsar melamarnya. Asih tidak tahu, Sum mendadak menghilang dari desa sejak ia menikah dengan Gangsar. Ada yang bilang Sum patah hati karena diam-diam ia juga mencintai Gangsar. Ia tak menduga pernikahan itu menjelma sembilu yang memutuskan tali persahabatan dengan Sum. Asih mengenang semua itu dengan dada sesak. Anak pertama lahir, anak kedua lahir, namun kenangan pahit itu tetap saja menggores. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hari itu Gangsar memutuskan menghentikan kegiatan kelompok sandiwaranya untuk sementara. Gangsar lebih banyak rapat dengan orang-orang Lekra, seperti juga malam itu. Rapat itu berlangsung sangat tegang. Kepala-kepala mereka seperti mengepulkan asap kecemasan. Sambil menyeduh kopi di dapur, Asih lamat-lamat mendengar ucapan galau suaminya. “Gawat. Tentara dan kapitalis-kapitalis birokrat itu sudah menguasai Jakarta! Lambat atau cepat, mereka pasti merangsek kemari. Untuk sementara, kita bekukan kegiatan kita, sampai keadaan normal kembali!” ujar Gangsar gusar. Empat atau lima orang saling memandang. Tak putus-putusnya mereka menghisap rokok. Ruangan seperti diselimuti kabut. Puntung-putung rokok menggunung di asbak. “Terus apa yang bisa kita lakukan, kawan Gangsar. Bagaimana kalau kita lari atau…?” ujar seseorang sambil menyulut rokoknya. Menghisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap kuat-kuat. “Lari? Sejak kapan partai mendidik kita jadi pengecut?” sergah Gangsar dengan mata yang berkilat-kilat. “Bukan itu maksud saya, kawan. Itu hanya taktik saja. Kita toh tak ingin mati konyol….” “Mati konyol? Kamu pikir kita ini tidak memperjuangkan apa-apa?! Tiap detik kita hanya memikirkan rakyat. Jiwa kita, rakyat. Darah kita, rakyat. Nafas kita, rakyat! Waktu 24 jam bagi kita tidak cukup untuk memikirkan rakyat, kawan….” Gangsar kembali meradang, dengan tekanan suara yang berat dan pelan. Ruangan senyap. Detak jam dinding terdengar sangat keras, seiring dengan detak cepat jantung mereka. Gangsar mencoba memompa keberanian kawan-kawannya. “Usaha kita makin menunjukkan hasilnya, kawan. Lewat seni, partai kita berhasil bikin kawan-kawan tani dan buruh di desa ini punya tatapan mata bertenaga dan punya sinar. Luar biasa, mata mereka tidak lagi loyo, kosong, tapi bersinar. Mereka makin berani dan gagah menatap mata para tuan tanah yang hendak merampas tanahnya. Begitu juga kawan-kawan kita kaum buruh. Mereka makin punya nyali menghadapi para juragan yang memeras tenaganya.” “Tapi apa benar mereka berpihak pada jalan revolusioner kita, kawan?” seseorang bertopi hitam mencoba menyela. “Jelas! Kita dan mereka sudah satu nafas!” ujar Gangsar. “Aku sendiri diam-diam tak begitu yakin. Eee… maksud saya, mungkin selama ini hanya kita saja yang menganggap perjuangan kita ini penting….” “Kamu telah dirasuki setan-setan borjuis, kawan. Cabut omonganmu!” Asih berdiri mematung di kamar. Ia menangkap getar kecemasan suaminya di balik gelora semangatnya. Tanpa sadar, jantungnya pun berdetak cepat. Kamarnya yang cukup besar mendadak menyempit. Malam yang dingin, terasa sangat panas. Asih membuka jendela, pelan-pelan. Ketika gorden disibak, ia menatap bulan perak sebesar semangka diam tak bergerak, seolah terjebak dalam bingkai jendela. Sejak peristiwa malam itu, keadaan makin tak menentu. Malam-yang bisanya bergairah karena suara gamelan dan gelegak anak-anak muda yang sarat kalimat mengkilat-sekadar menjelma kegelapan. Serangga malam berpesta pora suara. Waktu terasa membeku. Angin mati. Ke mana para pemuda itu? Ke mana Gangsar? Lamunan Asih pecah berkeping ketika pintu rumahnya diketuk orang. Dengan perasaan galau, ia membuka daun pintu. Dalam tempias cahaya lampu, ia melihat wajah seorang laki-laki. “Mbakyu, tentara-tentara telah memasuki desa kita. Apa pun caranya, Mbakyu harus lari…,” ujar laki-laki itu. “Di mana Mas Gangsar?” Laki-laki itu tertunduk. “Di mana suamiku?” Laki-laki itu membisu. “Kamu tahu di mana dia?!” Angin mati. Waktu membeku. “Kawan Gangsar tertembak malam tadi. Bersama kawan-kawan partai ia mencoba menghadang pasukan dari kota….” ujar laki-laki itu lirih. Hampir tak terdengar. Asih terpaku kaku. Ia seperti ada di alam yang aneh, asing. Semua gelap. Sangat gelap. Tubuhnya seperti melayang dalam gelap. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia mencoba beranjak ke kamar. Mencoba membangunkan dua anaknya yang masih tertidur. Namun mendadak pintu rumahnya didobrak. Orang-orang yang tidak dia kenal masuk dan merangsek ke kamarnya. Asih digelandang, diiringi pekik tangis dua anaknya. Dengan mata terbebat kain, ia didorong masuk jeep. Dalam kegelapan mata, ia tak tahu mobil itu bergerak ke mana. Ia hanya merasakan mobil itu melaju begitu cepat. “Turun!” suara orang mendorong Asih dari jok jeep. Ia berjalan. Kakinya dirasakan menjamah lantai yang dingin. Dengan kasar, seseorang membuka kain yang membebat matanya. Ia digelandang masuk ke dalam. Di koridor bangunan kuno itu, ia berpapasan dengan seorang perempuan. Ia minta berhenti, Otaknya bekerja keras mengingat. “Sum? Kamu di sini?” ujar Asih pelan. Perempuan yang dipanggil Sum itu tak menanggapi. Ia cepat berlalu dengan senyum yang dirasakan mengejek. Dua orang laki-laki kembali menggelandang Asih menuju ke suatu ruangan. “Kamu Lekra kan!!! Ngaku saja!!!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya pemain sandiwara!” jawab Asih. Benturan pintu besi terdengar sangat keras. Jantung Asih berdetak cepat. Ia masih tertegun, tidak menduga akan bertemu dengan Sum di rumah tahanan itu. Kenapa dia ada di sini? Siapa Sum? Ia mulai menebak-nebak. Tapi rasa penasaran itu tak jadi mekar ketika ia ingat dua anaknya. Gema tangis mereka memenuhi rongga dadanya. Dadanya pun makin terasa sesak, jantungnya terasa diremas ketika ia ingat suaminya. Pintu sel dibuka. Seorang wanita didorong masuk. Asih kaget, perempuan itu ternyata Wikan, kawannya saat main sandiwara. Mereka berpelukan. Mata mereka basah. Namun, tak ada kata yang terucap. Yang terdengar hanya tarikan nafas mereka. Ketika Asih mampu menguasai perasaan, ia pun berucap pelan, “Kamu tadi melihat Sum di sini?” Mata Wikan terbelalak, “Dia ada di sini?” Asih mengangguk. “Jadi benar kabar itu. Sum telah lama bekerja sama dengan mereka yang menangkap kita…,” ujar Wikan pelan. Asih terdiam. Ditatapnya dinding sel. Dingin, beku dan angkuh. Ia terpaku di jeruji besi, dibekap perasaan yang campur aduk. Tangannya masih gemetar memegang kisi-kisi sel. Bulan perak sebesar semangka masih terjebak di bingkai jendela kamar Asih, perempuan paruh baya itu. Tangan Asih masih memegang kisi-kisi jendela. Ditatapnya bulan itu lekat-lekat. Ia seperti menjumpai suaminya yang terbang di antara gumpalan awan. Ia kembali teringat kabar yang baru saja diterimanya bahwa “Bu Sum telah meninggal dunia”. Wajah Sum hadir kembali. Juga saat ia berpapasan dengan Asih di ruang menuju kamar tahanan lebih dari 30 tahun lalu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam beberapa saat, ia berbenah. Ia raih baju hangat, kemudian keluar kamar. Ia bergegas menuju rumah Bu Sum, yang terletak di ujung jalan desa. Kedatangan Asih membuat tercengang para pelayat. Asih menyalami mereka, menyalami suami, anak-anak Bu Sum. Menyalami handai tolan Bu Sum. Di depan peti jenazah yang terbuka, ia menatap lekat-lekat wajah Sum yang bulat, seperti bulan sebesar semangka yang terjebak di bingkai jendela kamarnya. Wajah itu terasa damai. Seperti tersenyum kepada Asih. Asih pun membalas senyuman itu. Tangan Bu Sum terasa diulurkan kepadanya. Asih menggenggamnya erat-erat. Seusai berdoa, ia merasakan kehangatan mengalir di rongga dada. Ia merasakan matanya basah. Bantul, Yogya awal Juni 2004
""Bulan Terbingkai Jendela""
Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk melaksanakan tugas akhir yang harus diemban menyucikan roh mereka berdua? Perjalanan sepasang kera ini tiba-tiba menggemparkan orang kota, terutama kota yang seharusnya dilewati keduanya namun batal terlaksana lantaran suratan yang menyatakan demikian. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka berdua, kecuali bahwa mereka adalah sepasang kera yang dengan rukunnya bagai sejoli berjalan dari Pura Batu di tepi pantai ke pura di timur kota yang juga terletak di tepi pantai. Siapakah yang diwadahinya sehingga mereka harus menanggung kisah yang menjadi bacaan orang-orang di pinggir jalan, kisah yang juga diteruskan dari mulut ke mulut dengan bumbu penyedap berbagai rasa sehingga kisah pun berkembang menjadi dongeng indah. Tidak seorang pun tahu siapa mereka berdua dulunya, mungkin juga tak seorang pun mengingat kisah masa lalu mereka yang mungkin sudah lewat puluhan tahun bahkan ratusan tahun dalam sejarah yang tak seorang pun mencatatnya. Perlukah kita mengungkap kisah sedih tentang sepasang kera yang berjalan dari pura di barat kota menuju pura di timur kota, jarak keduanya sekitar delapan puluh kilometer, tak mungkin ditempuh berjalan kaki dalam tempo satu hari. Konon sepasang kera itu adalah sepasang suami istri yang bersumpah bersetia karenanya ketika mereka menjelma kembali menjadi kera, maka mereka pun tetap bersama menanggung derita dan menuai sukacita bersama. Katanya, mereka berdua sudah menjadi penghuni pura sejak mereka dilahirkan oleh induk dan jantan kera yang berbeda. Kelahirannya di halaman pura yang memang penuh berpenghuni kera itu konon adalah atas permintaan mereka berdua agar mereka diberi kesempatan menyucikan hidup mereka sehingga mereka dapat kembali menjadi manusia, kemudian hidup lagi menjadi makhluk utama dan kembali ke surga. Dulunya, mereka berdua adalah suami istri yang sangat berbahagia, diam di sebuah rumah di kota. Mereka hidup tenteram di masa tenteram. Saat mengandung anak yang kemudian lahir sebagai anak perempuan, setiap hari istrinya menginginkan kijang guling, sebagaimana orang-orang suka memasak babi guling dan kadang kambing guling. Selalu terbayang dalam tetes liurnya kijang muda yang ditusuk besi beton dari mulut sampai ke dubur, lalu diputar pada dua tonggak besi di atas bara yang menganga. Beberapa jam kijang yang perutnya sudah diisi daun belimbing yang bercampur bumbu itu terus diputar agar matangnya rata. Perempuan itu setiap saat membayangkan kijang yang diputar-putar di atas bara itu hingga air liurnya tetes. “Pergilah berburu kijang, Aji, sudah tak tahan mulutku diam lidahku kering membayangkan kijang muda yang diguling, kulitnya cokelat tua dan renyah rasanya. Jangan tunda lagi, suamiku.” Lalu, dia pun pergi bersama seorang teman ke padang perburuan di Bali Barat, malam-malam yang gelap, berdua tak bercakap bahkan seolah selalu menahan napas. Malam itu sepasang mata yang menyala tiba-tiba diam tak bergerak seolah menunggu dengan waswas, jangan- jangan laras senapan diarahkan ke kepalanya. Sepasang mata menyala itu diam bagaikan terpaku di batang pohon, hanya nyala tanpa gerak. Lalu, terdengar suara tembakan tunggal dan mata itu pun runtuh ke tanah bersama suara tubuh yang tersungkur. “Kena!” teriak lelaki itu. Temannya bergegas menuju tempat sepasang mata jatuh ke tanah dengan senter di tangan menyala. “Induk kijang!” teriak temannya. Lelaki itu agak kecewa sebab dia berharap dapat menembak seekor kijang muda yang diidamkan oleh istrinya. Rumput yang terinjak-injak kaki mereka dan semak yang terkuak, lalu temannya berteriak: “Dia tak sendirian!” “Mana lagi?” tanyanya. Lelaki temannya menghunus goloknya dan menyerahkan senternya untuk dipegangnya menerangi tubuh yang rebah itu. Dengan cekatan dia membedah perut kijang itu dan sesaat mengeluarkan bayi kijang yang menggeliat dari dalamnya. “Syukur dia masih hidup,” katanya sambil membungkus bayi kijang itu dalam kain sarung yang sejak tadi melilit lehernya. Di rumah, mereka disambut bukan oleh sorak sorai atas keberhasilan mereka menembak seekor kijang, tetapi oleh berita yang memacu jantungnya untuk berdegup keras. “Ibu dibawa ke rumah sakit,” kata pembantunya. Dan kisah selanjutnya kau pasti sudah tahu, tak perlu lagi dikisahkan tentang gadis kecil yang bersahabat dengan kijangnya dan terbang ke langit mencari mamanya. Tahun-tahun dilewati oleh lelaki itu dalam kesepian, terutama ketika anak gadisnya terbang ke langit tanpa mengucap selamat tinggal. Telah dia relakan gadis kecil itu bersama kijangnya mencari mamanya, dan kijang itu pasti rindu pada induknya yang tak pernah menyusuinya. Mereka telah bertemu di taman bunga dengan hamparan rerumputan hijau bagai permadani persia, di mana gadis kecil itu bebas berguling-guling memeluk kijangnya yang mengedip-kedipkan matanya. Bertahun-tahun lamanya mamanya menunggu lelaki yang duduk kesepian di kursi malas di kebun rumahnya sampai pada suatu saat mereka dapat berkumpul kembali dan bersama hujan turun ke bumi sebagai anak-anak kera yang lucu. Bertahun-tahun lamanya lelaki itu menyebut nama Tuhannya dan memohon izin untuk membersihkan dirinya dari dosa, dan pembersihan diri itu harus dilakukan kembali di atas bumi yang penuh kekotoran ini. Dari tahun ke tahun kera itu hidup berpasangan, tanpa seorang anak pun sebab mereka bersumpah untuk tidak bersatu tubuh hanya sukma yang layak terpadu walau mereka suami istri. Orang- orang yang datang bersembahyang di pura itu sering memerhatikan mereka yang konon berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak pernah menyerang para pendoa, tidak pernah merampas buah atau kue yang dibawa sebagai sesaji oleh umat yang bersembahyang. Mereka selalu menunggu orang-orang selesai bersembahyang dan dengan sabar pula menunggu mereka mengulurkan tangan dengan buah atau kue yang mereka terima dengan tangan pula. Bilamana ada orang yang melempar kue atau buah kepada mereka sampai jatuh ke tanah, mereka tidak mau memungutnya, dan membiarkan kera lain merebut kue itu dan lari dari arena. Konon, mereka benar-benar berperilaku sebagai manusia, sebagai sepasang suami istri yang mencari rezeki dari orang-orang yang bersembahyang di pura ini. Mereka akan menerima buah yang bersih, yang belum digigit manusia. Pernah seseorang mencoba mengupas pisang dan mencuil ujungnya dengan tangan lalu mengulurkan pisang setengah terkupas itu kepada mereka, namun mereka diam saja tak hendak menerima pemberian itu walaupun tulus. Di hari yang baik itu janji harus ditepati. Sepasang kera itu duduk berdua diam di depan pura utama, memohon berkah Sang Hyang Maha Menentukan lalu si jantan mendengar bisik dan kemudian mereka berdua berdiri, saling berbimbingan tangan menuruni tebing bukit menuju jalan raya. Dengan hati yang mantap mereka menghadap ke arah timur dan melangkah dengan niat mencapai pura di pinggir pantai yang terletak di timur kota, delapan puluh kilometer jauhnya. Dari ladang ke ladang ke kebun mereka berayun, namun kadang berjalan kaki di tepi jalan sebagaimana sepasang penduduk kampung yang hendak ke kota. Orang-orang yang melihat mereka membiarkan mereka lewat, kadang menunggu dan mengulurkan dua buah pisang yang mereka terima dengan membuka senyum. “Lihatlah, anakku. Mereka benar-benar mirip manusia,” seorang perempuan bicara dengan anak yang duduk di pangkuannya. Pada malam hari mereka berhenti di dangau di ladang petani dan esoknya kalau merasa lapar, mereka mendekati rumah penduduk yang mengerti dan memberi mereka makanan. Namun, sayang, tidak semua orang tahu siapa sepasang kera itu, karena memang mereka tidak pernah berjumpa dengan mereka dan tak pernah mendengar kisah mereka. Dan seorang anak muda yang menenteng senapan angin berburu burung tiba-tiba melihat mereka di atas pohon, membidik salah seorang darinya dan jatuhlah kera betina, mula-mula masih sempat bergelayut di ranting pohon namun akhirnya jatuh terbanting ke atas tanah. Kera jantan memburu turun dan memeluk tubuh yang mulai mengejang saat nyawa mulai merambat keluar darinya. “Duh, istriku, kenapa hal ini harus terjadi lagi?” seolah dia merintihkan lagu duka yang mengusung masa lalunya. Siapakah yang memahami rintihnya kalau mereka tak merekam sejarah yang tak pernah tertulis? Bagaimana orang tahu tentang peristiwa yang sudah berlalu? Anak muda itu datang mendekat dan menodongkan laras senapannya, siap akan menembaknya dan merobohkannya di atas tubuh istrinya. Sekilat dia ingin mati bersama istrinya, sebagaimana apa yang mereka janjikan. Namun, dilihatnya cahaya yang menuntunnya untuk bergerak terus ke arah timur. “Tidak!” katanya. “Bukannya aku tak bersetia padamu, istriku, tetapi ada tugas yang harus aku penuhi agar harkat kita kembali ke tempatnya semula. Aku harus sampai di pura sebelah timur, menghaturkan sembah kepada Yang Maha Berkehendak sehingga kita tetap bersatu sebagai manusia.” Tembakan berdesis dan jantan kera itu melompat menghindar, memanjat pohon dan dari ketinggian dia melihat pemuda itu membawa jasad istrinya pulang. Di rumah orang mengulitinya dan memasak dagingnya, serta membagi gulai daging itu kepada para tetangga. Esoknya desa gempar sebab orang- orang yang ikut memangsa daging kera itu semuanya menjadi gagu, tak bisa bicara, sementara pemuda yang dengan gagah beraninya menembak kera itu ditemukan terbujur tubuhnya di atas bale kamarnya, tak bangun lagi, dengan kulitnya yang dingin dan dadanya yang tak lagi naik turun. Berita itu dengan cepat tersebar ke seluruh wilayah dan orang-orang berbisik tentang sepasang kera yang bertingkah laku sebagai manusia, yang tinggal di pura selama bertahun-tahun dan tak pernah mengganggu manusia. Kera itu dengan kepala menunduk melanjutkan perjalanannya yang belum usai, pada malam hari sampai di pura di tepi pantai, dan tanpa beristirahat duduk menundukkan kepalanya di depan tempat sembahyang utama, dengan sekuntum bunga kamboja terselip di telinganya. Berhari-hari dan malam dia tinggal di pura itu mencoba meninggalkan rasa duka yang masih menyesaki dadanya dengan besar hati. “Aku harus menjalaninya, kisah hidup yang kujalin sendiri dari dedaunan karmaku, apakah mampu membentuk kipas yang dapat menyejukkan tubuh di kala panas menyengat atau perangkat sembahyang yang penuh dengan bunga. Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan selain diri kita sendiri, dan aku harus menebus apa yang sudah kuperbuat, dan istriku harus menjalani kembali kisah sedih yang sudah terjalin menyatu dengan masa lalu. Lalu, ketika genap lewat tujuh hari, dia mulai melangkahkan kaki kembali menuju ke barat, kembali ke pura batu di tepi pantai dan menjalani sisa hidupnya sendiri. Sisa? Berapa harikah yang tersisa? Dia tak boleh mempersoalkannya. Hari- hari lewat dengan berdoa, hari-hari di wilayah yang suci tempat manusia menyambung sukmanya dengan zat yang Mahasuci, kenapa aku tak boleh menyambung sukmaku sebagaimana mereka? Hari-hari berlalu dan dia berharap pada suatu saat tiba saatnya dia berkumpul kembali dengan istrinya sebagai manusia, menapaki jalan yang lebih bersih agar tercapai moksa kembali menjadi zat suci, bercampur udara yang berada pada lapisan paling atas paling dekat dengan Zat Yang Mahazat. Singaraja, 6 Agustus 2003
""Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura""
Aku sudah lama duda, meski umurku tergolong muda. Pada umur 40 aku sama sekali tak punya niat buat kawin lagi, kendati Ibu-Bapak di Mojowarno mendesak-desak supaya aku tidak terus menduda. Sejak kutinggalkan delapan tahun lalu aku tak bisa lagi ketemu istriku. Aku tak bisa melupakannya. Bagaimana aku bisa menuruti saran Ibu-Bapak yang terus saja mendesak-desak tiap kali mengirim surat. Anakku, Ferdi dan Lusi, praktis sudah yatim-piatu. Mereka masih kecil, diasuh Eyangnya di Malang, yaitu mertuaku. Lama aku tak mampu menanggung hidup mereka, kecuali dalam dua tahun terakhir ini sejak aku mendapat penghasilan lumayan. Namun aku jarang mengirim uang, rata-rata satu kali tiap dua bulan. Aku hanya bisa berbicara dengan anak- anakku lewat surat, tetapi pasti mereka baru mengerti bila suratku dibacakan oleh paman atau bibinya karena mereka belum sekolah. Mereka pun hanya bisa berbicara padaku lewat surat yang ditulis si bibi kepadaku selama saat-saat merana sejak ibunya meninggalkan alam fana. Mengapa anak-anakku seolah sudah yatim-piatu, mengapa pula akhirnya aku sedia menuruti saran Ibu-Bapakku? Tentang ini sebaiknya kusajikan isi surat paling akhir yang ditulis si bibi seperti berikut ini. Mas, Aku sudah bulat mau berangkat. Soal-soal sulit yang membelit terpaksa kuretas di jalan pintas. Ternyata tak serumit yang kubayangkan bila orang punya cukup uang. Hanya itu jalan satu-satunya. Berkat kirimanmu, tentu. Akhirnya anak-anak jadi satu dengan pasporku. Beruntunglah Ayah dan Ibu berpikir panjang, mereka dibiasakan memanggilku Mama sejak ibunya tiada. Setiap anak perlu merasa punya ibu-bapak seperti semua teman sekolahnya bukan? Kami selalu bilang, “Papa sedang belajar di luar negeri.” Kadang aku khawatir lama-lama mereka tidak percaya. Aku setuju saranmu, lebih baik naik Garuda, bukan Cathay Pacific atau British Airways. Soalnya cuma makanan. Anak-anak doyan makan apa saja kecuali daging babi, sebab eyangnya melarang, gurunya melarang, semua melarang. Dulu bapak-ibunya suka mengajak makan swikee dan cap-jae di Pecinan. Lusi agak payah, sulit makan sayur dan buah. Eyangnya sering membujuk-bujuk, besok pagi Mama belikan rok mini asal mau makan wortel dan buah apel. Bakatnya sudah kelihatan, barangkali calon balerina. Bila kuputar pelat Antonin Dvorak yang dulu dibawa ibunya dari Praha, dia lantas menari-nari sambil molat-molet seperti penari balet. Gadis cilik yang cerdik! Eyangnya sangat menyayanginya. Sekarang sudah diterima di TK. Ferdi berbakat lain. Dia sudah pandai berhitung sampai dua atau tiga ribu, tambah dan kurang, kali dan bagi, pecahan angka desimal. “Kelak kamu jadi sinyur atau propecong, ya Le…,” kudang eyangnya. Asal jangan seniman bukan? Tahun ini dia naik kelas tiga. Baru empat tahun umurnya ketika ibunya tiada. Bayangkanlah berapa lama kita berpisah. Bandi sudah menikah tetapi tetap serumah bersama kami. Aku tak habis pikir, kenapa dulu ambil vak filsafat. Tahun ini dia tamat, ngajar honorar di sebuah universitas swasta. Berapalah gajinya! Tetapi istrinya hidup sederhana, bekti sekali kepada Ibu. Tak akan jadi pikiran jika aku menyusulmu. Kini aku bulat mau berangkat. Ayah tak pernah menyatakan keberatan hingga saat wafatnya. Ibu bahkan mendorongku. “Demi anak-anaknya,” katanya. Sebuah amanah khusus bila kurenungkan. Sebab sebenarnya aku yang selalu dipikirkannya-anak perempuan umur tiga puluhan. Begitulah Ibu, jarang mau terus-terang, padahal maksudnya ingin menjodoh-jodohkan. Aku tak tahu apakah engkau benar-benar mengharap kedatanganku. Tapi demikianlah kesan yang kurasakan. Aku tak hendak bertepuk sebelah tangan. Aku lantas teringat Tyas. Dulu Ibu sekali seminggu pergi ke Tembok Biru tempat dia diasramakan, perlu ngirim makanan. Dia selalu menanyakan buah hatinya, si kecil yang malang, kapan bisa ketemu ayahnya. Sampai suatu hari ketika Tyas dinyatakan tak perlu lagi dibesuki. Dia tak sendirian. Ada belasan lainnya bernasib sama. Kami semua sangat tersiksa, kebingungan, karena tahu apa arti tak perlu lagi dibesuki. Berbulan-bulan kami bersusah payah melacak jejak Tyas hingga di pedesaan dan tepi hutan, siapa tahu Pak Tukul ikut menyaksikannya. Tetapi siapa pula mau nekat buka mulut? Engkau tentu ingat siapa Pak Tukul penjual arang dari Singosari itu. Lama dia tak pernah lagi datang mengantar arang. Begitulah, tak ada harapan Tyas kembali di tengah-tengahkami. Semogaengkau tetaptawakal. “Padangadalane jembara kubure…,” doa Ayah dan Ibu. Aku menyempatkan diri bersama Ibu menabur kembang telon pada Selasa Kliwon di sebuah perempatan. Itulah hari ajal yang diramal wong pinter. (Apa boleh buat, Ibu percaya banget). Tengah malam Tyas datang dengan baju renda pengantinnya untuk mengucap terima kasih dengan sedih, mencium Ayah, Ibu, aku, anak-anakmu. Kemudian melayang ke awang-awang, menari bagai bidadari menyusup kabut dengan lembut. Kukira itulah sekilas wajah Tyas dalam bayangan mimpi seorang Ibu yang sangat menyayanginya. Aku sendiri tidak menangi, kecuali mencium bau harum bunga kenanga dalam kamarnya. Padanga dalane jembara kubure. Anak-anak sudah kuajak sowan ke Mojowarno memohon restu ayah-ibumu-priayi sepuh yang ramah. Mereka merasa berbahagia bila kami segera berangkat. Aku tak mengira, merekamemanggil FerdiFerdinand, LusiLusienne. Apakahitu nama paringan mereka saat pembaptisan? “Pergilah ke gereja tiap hari Minggu dengan Mama dan Papa,” pesan Eyang sepuhnya. Beliau tentu tak lupa siapa menantunya, siapa yang disebutnya Mama. Apakah ini juga amanah? Aku curiga, engkau pasti sudah menyurati mereka tentang masalah kita. Ferdi dan Lusi tentu saja tak ingat wajah sang ayah. Bukankah aku selalu mengharap suatu saat menerima surat berisi potretmu? Tapi harapan itu akhirnya kulepaskan ketika Ayah mengingatkan, di mana-mana mereka menunggu kedatanganmu. Bahkan pada hari pemakaman Ayah ada yang datang naik Yamaha, langkahnya tegak, rambutnya cepak, ngomongnya cekak. Ia mengaku kawanmu, menanyakan apakah hari itu engkau datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada bapak mertua. Ibu menjawab hanya seperlunya, “Lihatlah sendiri, Nak. Kalau dia datang alangkah bahagia kami semua.” Lelaki itu pergi tanpa mengucap belasungkawa. Begitulah ulah seorang manusia yang mengaku kawanmu. Aku yakin benar engkau segar-bugar, tetapi barangkali mereka menduga engkau mengidap penyakit menular hingga mesti dikarantina. Sekarang aku bulat mau berangkat. Nomor flight Garuda itu GA-127. Sebelum itu aku menelepon lebih dulu. Tetapi engkau bebas, Mas. Katakan jika kau berniat membatalkan. Pagi itu aku sudah mencuci mobil, mengisi bensin, memompa ban, mengelap kaca, menyiapkan peta autobahn. Selesailah persiapan menjemput keluarga hari Selasa lusa. Besok pagi tinggal membersihkan rumah, mengepel lantai, dan mengatur tempat tidur. Hari itu aku tak hendak meninggalkan rumah karena perlu menunggu telepon yang dijanjikan. Seperti belum yakin pada kepastiannya, beberapa kali kubaca lagi surat itu sambil beristirahat. Tergurat sikap bertanggung jawab seorang perempuan yang layak mengaku Ibu. Terkesan beratnya beban sekaligus sikap rela mengorbankan nasibnya sendiri, dan selalu sadar matahari masih bersinar. Hidup tak cukup dengan keluh dan penyesalan berkepanjangan. Segalanya demi aku dan anak-anakku. Bunyi telepon yang mendadak menyentak membuatku terloncat, melipat surat panjang yang seolah tak pernah tamat kubaca. Kusambar gagang telepon. Ia bilang, “Mas! Kami sudah berada di Jakarta. Nginap di rumah teman.” “Semua sehat? Jadi berangkat?” “Jadi dong Mas, gimana sih! Besok sore kami berangkat.” “Jangan ragu. Aku memahami sepenuhnya persoalanmu, nanti saja kita selesaikan bersama. Dua jam sebelum pesawat mendarat, aku pasti sudah menunggu di airport. Aku cuma khawatir engkau kerepotan di perjalanan.” “Memang repot. Tapi aku sudah bertekad.” “Hati-hatilah. Aku percaya, engkau sudah biasa menjaga anak- anak. Engkau layak dipanggil Mama oleh mereka.” “Mereka tanya, Papa menjemput pakai taksi apa becak. Aku bilang, Mama juga tak tahu.” “Bilang saja, yang penting ketemu Papa. Asal jangan terkejut, aku tinggal di sebuah rumah sewa yang sederhana. Kita perlu waktu beberapa bulan sebelum mendapat rumah sewa yang agak besar. Sekarang ini cuma ada dua kamar, itu pun yang satu kamar tamu. Buat sementara anak-anak bisa tidur di kamar tamu, Mama di kamar tidur. Apakah aku terpaksa tidur di dapur?” Terdengar tawa nyaring adik iparku yang terpancing. “Sudahlah Mas, itu urusan nanti. Yang mendesak sekarang, jangan lupa hari Selasa lusa. Flight nomor GA-127. Sekian saja. Telepon mahal nih, Mas.” “Peluk cium! Sampai lusa.” Kami menutup telepon. Selasa pagi aku sudah berada di bandara menunggu pesawat yang segera akan mendarat. Aku masih sangsi apakah semua rencana akan terlaksana. Ada bayangan kesulitan yang barangkali sukar diatasi. Anak-anak jadi satu dengan paspor perempuan yang bukan ibu mereka. Carut-marut jalan pintas yang diretas sendiri oleh adik iparku! Sebuah suara keras dan tidak jelas yang melengking dari pengeras suara membuatku terlonjak, lantas melangkah menengadah meninggalkan bangku tempat dudukku. Mataku menatap deretan huruf dan angka-angka yang berkeretap melompat-lompat di atas jalur membujur sepanjang papan ARRIVAL. Pesawat itu tertunda-tunda landing-nya. Sudah beberapa kali aku mengedari Terminal A, B, C, dan D, keluar masuk pertokoan, beli majalah di sebuah kios koran-koran internasional, lantas duduk di sudut sebuah kedai fast food, memesan milk shake, menghabiskan waktu sambil baca Far Eastern Economic Review yang memuat banyak berita-berita Asia Tenggara. Dan akhirnya kembali menuju ke tempat itu. Ada kekhawatiran yang selalu mengganggu, jangan-jangan pesawat itu segera mendarat. Beberapa orang dengan kereta dorong yang kosong juga berdiri menengadah seperti mengagumi huruf-huruf yang meloncat-loncat berkejaran tanpa henti pada papan pengumuman. “Come on! It’s still far away in Dubai!” Seorang lelaki berdasi menghela lengan teman perempuannya. Barangkali mereka peserta atau pengunjung Pekan Buku Internasional yang menjemput rombongan Singapura atau Malaysia. Kantong-kantong plastik berisi brosur reklame buku-buku terbitan baru yang dengan cuma-cuma tersedia di kios koran-koran internasional tampak bergantungan di tangan mereka. Agak gemas kulihat, bukan cuma GA-127 yang tertunda landing-nya, tapi juga beberapa pesawat dari jurusan Asia. Dengan malas aku kembali beranjak meninggalkan terminal itu. Saat-saat menunggu pada jam itu kurasakan seperti kenikmatan tersendiri untuk duduk di kedai fast food, makan apa saja sembari baca Far Eastern Economic Review nomor minggu lalu yang memuat seri berita Malari. Ada kekhawatiran dalam hatiku, kerusuhan itu mungkin berekor panjang dan menghalangi warga yang bepergian ke luar negeri. “Sorry Sir, it’s occupied,” tolak seorang wanita yang lebih dulu membeset kursi kosong. Aku mengenali kembali, wanita itu ternyata teman lelaki berdasi yang barusan meninggalkan papan pengumuman. Di kursi lain yang sempat kubeset aku melahap kue donat. Kulihat si lelaki berdasi sudah duduk berdua menyantap hamburger yang supertebal. Sangat mengagumkan, bagaimana mulut Asia bisa melahapnya! Seperti piton sedang mencoba menelan anak babi hutan. Jam 18:30 Aku yakin benar, itulah adik iparku. Perempuan itu berjalan menggandeng kedua anakku bersama pasasir yang baru nongol di pintu eksit. Tetapi siapa lelaki yang menyorong kereta dorong dengan setumpuk koper itu? Ia tampak banyak berbicara dengan anak-anak. Aku cepat mendekat. “Larasati?” “Mas…!” Kami berpelukan, mencoba menumpas tiap emosi dan keharuan. Tetapi sebentar saja. Kami ingat anak-anak yang perlu mendapat perhatian pertama dari ayahnya. Cepat-cepat kulepaskan Larasati, lantas kupondong dan kuciumi Lusi dan Ferdi berganti-ganti-kuncup-kuncup yang harus hidup. Baru sekarang aku benar-benar merasa sebagai bapak-lelaki yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di dunia. Aku kehilangan perhatian pada lelaki yang menyorong kereta dorong. “Mas,” tegur adik iparku. “Kenalkan dulu dong, Bapak ini wartawan dari Jakarta. Sejak berangkat banyak menolong kami.” Kuturunkan Ferdi dan adiknya dari gendongan, memberi salam. “Maafkan kelengahan saya. Terima kasih, Anda sudah membantu mereka. Saya bapaknya anak-anak ini.” “Mbakyu sudah bilang sejak dari Jakarta.” “O ya. Garuda sangat terlambat tiba di Frankfurt. Hampir setengah hari. Kenapa?” “Tertahan di Athena. Ada percobaan kudeta, rupanya gagal. Tapi semua pesawat Yunani dilarang terbang. Garuda sempat mendarat, tapi take off–nya beberapa jam tertunda.” “Oh, sialan! Mangkanya…” “Kami sempat ngeri. Mbakyu sudah kebingungan.” “Maafkan, tentu sangat merepotkan. Maklum belum pernah pergi ke Eropa. Anda bertugas dinas?” “Cuma mau lihat pameran Pekan Buku Internasional.” “Silakan singgah ke rumah.” “Enggak banyak waktu nih. Habis ini ke Paris. Tapi maaf ya Mas, saya punya saran.” Aku agak penasaran mendengar kalimat itu. Kataku, “Wah, terima kasih jika Anda sudi mengucapkannya.” “Kok lama sekali di luar negeri? Sebaiknya Mas yang pulang. Terbalik dong, kalau Mbakyu yang diboyong. Iya kalau kerasan. Ha-ha- ha….” Sebuah saran yang mengejutkan! Aku tidak menjawab, namun menangkap kebenaran yang sudah lama mengendap dalam naluriku sendiri. Lelaki tak dikenal itu memberi salam, membelai Ferdi dan Lusi, lantas mengangkat kopernya sendiri dan melangkah menuju deretan taksi di luar pintu putar. Seperti rombongan pengungsi yang kelelahan, kami berjalan menyorong kereta dorong menuju garasi. Ada kekhawatiran dalam hatiku, jangan-jangan adik iparku kelewat banyak berbicara dengan lelaki tadi. Tapi aku cuma menanyakan nama, “Siapa wartawan itu? Koran apa? Kok ramah sekali. Kelewat ramah malah!” “Oh ya, siapa ya? Aku lupa namanya, tapi ada kartu namanya di tasku. Untung kebarengan. Kalau enggak,….” “Aku sengaja tidak kasih alamat kita.” “Kenapa?” “Ah enggak. Cuma malas nulis.” “Tapi sudah kuberi. Sudah kupersilakan singgah.” “Dia mengira aku suamimu.” “Dia percaya aku istrimu. Mas mesti resmi melamar dulu, lho! Itu pesan Ibu.” Kami terus melangkah menuju garasi. Sampai di mobil aku mencoba menggoda anakku, “Papa lelah. Sekarang Ferdi yang nyopir, ya?” Ferdi cuma ketawa. Adiknya ikut ketawa. Adik iparku juga ketawa. Mereka jemput nasibnya dengan ketawa. Hari itu Selasa, 23 Maret 1974. 1)Padanga dalane jembara kubure – Semoga jalannya terang, kuburnya lapang 2)Paringan – pemberian Paran, awal Juni 2004
""Mereka Cuma Ketawa""
Aku tahu kau telah bersungguh-sungguh mencintai laut. Setiap kau bicara tentang laut, pengalamanmu bersentuhan dengan laut, kerinduanmu kepada laut, aku melihat laut bergemuruh di matamu. Sekali waktu, ketika kau mengungkapkan pergulatanmu dengan laut, bahkan pernah kulihat laut membentang di bening bola matamu. Dan kalau kau bicara tentang kekasihmu, masalah kantormu, masa lalumu, adik-adik dan orangtuamu, nyaris tak pernah sekalipun tanpa diawali, diselipi, atau diakhiri kata-katamu tentang laut. Malah, bukan hanya di permukaan dan kedalaman matamu kutemukan laut, tetapi di seluruh lekuk tubuhmu. Sayangnya, penghayatanku terhadap laut tidak sebergelora, sebergemuruh, seberdebum, atau sehening, setakzim kecintaanmu kepada laut. Aku memang tidak pernah bersungguh-sungguh menghayati laut, juga ketika kau khusyuk menafsirkan berbagai sudut dan lekuk laut. Akhirnya begitu saja kupanggil kau si mata laut. Setiap berjumpa, entah di rumahku, di kantorku atau di kantormu, atau di mana saja, selalu kupanggil kau si mata laut. Dan kau senang sekali dengan panggilan itu. Meski aku tidak pernah intens menghayati laut, tapi anehnya matamu justru selalu kuamati dengan jeli. Alismu tidak tebal, setipis hamparan rumput di tepi laut. Tulang pelipismu agak menonjol, menyebabkan matamu menjorok ke dalam seperti sebuah teluk. Walau tidak lebat dan lentik, bulu matamu hadir dalam pandangku seperti deretan daun kelapa yang tumbuh di sepanjang jalan menuju laut. Rambutmu mengembang seperti kembang pohon jati di keluasan hutan yang terlihat dari tepi laut. Dan bola matamu, ah lipatan-lipatan gelombang itu, meski tidak sebiru laut, memberi kesan kedalaman yang entah di mana dasarnya. Semakin kutatap lekat matamu, semakin terseret aku ke keluasan laut, ke kedalaman matamu. Sedang di kornea matamu yang hitam kudapati gelap, dingin, dan hening palung laut. Bertemu denganmu, menatap matamu, bercakap denganmu, sering kurasakan sebagai tamasya ke laut. Tapi sebenarnya aku tak pernah bersungguh-sungguh menghayati laut. “Kalau mataku laut, kira-kira laut apa?” tanyamu suatu kali. Aku tak bisa menjawab saat itu. Selain karena tidak banyak laut yang pernah kudatangi, juga selalu tidak lekat kuhayati laut-laut yang pernah kujejaki. “Apa laut di mataku seperti maut?” tanyamu lagi di hari lain ketika kembali kukatakan matamu adalah laut. “Seperti maut yang akan menjemput?” Ah, aku tak pernah bisa menjelaskan laut di matamu. Itu sebabnya setiap kau memancing, bahkan pernah sekali waktu memaksa, agar aku mendefiniskan laut di matamu, aku mengatakan bahwa bola matamu, laut itu, sulit direnggut ke dalam kata, sukar dirumuskan dalam bahasa. Matamu seperti rahasia mengambang di jendela menjelang magrib tiba. Seperti gelora yang mungkin sirna, seperti hening yang barangkali tak sanggup membuat siapa pun berpaling. Aku tahu kau telah bersungguh-sungguh mencintai laut. Terhadap apa pun kau bisa mengelak, juga kepada kekasih-kekasihmu yang tak satu pun kau miliki pada akhirnya. Hanya kepada laut kau takluk dan bertekuk lutut. Seluruh uangmu, hartamu, tenagamu dan perhatianmu, kau kerahkan semata-mata demi laut. Kau kitari seluruh kota di negeri ini, terutama kota yang berbatasan dengan laut. Andai, kukira seandainya uang dan tenagamu sanggup untuk mengitari seluruh laut di muka bumi, kau akan melakukannya. Laut bagimu seperti takdir, ke mana pun kau beringsut laut akan bertaut. Ke mana pun kau mengalir laut selalu hadir. Entah sudah berapa ribu kali aku mengamati bola matamu, kelopak matamu, bulu matamu, alismu, tulang di sekitar matamu, dan aku selalu merasa bertemu laut. Tetapi getar apa yang ada di bola matamu, lengkung alismu, deretan bulu matamu, lekuk tulang di sekitar matamu, sungguh aku tak pernah bisa persis menangkapnya. Aku tahu, di matamu ada laut, dan setiap bertemu denganmu pada dasarnya bertemu laut. Tetapi, seperti ketika aku menjumpai laut di beberapa tempat, aku tak pernah bisa sampai ke geliat pekat laut di matamu. Aku hanya sebatas bertemu dan karena itu laut seakan berhenti dalam pandangku, beku dalam penghayatanku. “Katakan saja apa pendapatmu tentang mataku? Tentang lautku?” Aku ingin sekali merumuskan laut di matamu dengan kata-kata, dengan senandung, dengan tatapan sepenuh penghayatan. Tetapi, ah itulah kelemahanku, tak bisa bertaut sampai ke sumsum sosok bernama laut. Apakah karena aku orang daratan? Tetapi bukankah kau sendiri orang daratan? Hanya memang setahuku, sejak dulu, sejak kita masih sekolah, kau selalu larut dengan laut. Masih terekam dalam di ingatan, paling tidak dua kali dalam setahun kau dan aku tamasya ke laut. 100 km jarak laut dari sekolah bagimu hanya sejarak rumahku dan rumahmu yang 10 km itu. Aku juga tahu, selain bersamaku, sering kali kau bertamasya dengan teman lain, malah adakalanya kau ke laut sendirian. “Cobalah baca sajak ini,” katamu ketika tak juga aku bisa merumuskan laut, baik laut yang pernah kujejaki maupun laut di matamu. Rupanya kau tak pernah berhenti membaca sajak. Aku jadi malu, sebab sajak bagiku telah menjadi nomor sekian di belakang rutinitas kehidupan. Sajak persis cuma kubaca dulu semasih sekolah. Itu pun karena tugas guru bahasa dan lebih-lebih karena aku berteman denganmu. Aku baca juga sajak itu semata-mata agar aku tak kehilangan jejakmu. Agar aku bisa menjawab kalau suatu hari kau bertanya lagi tentang laut di matamu. Tetapi anehnya aku semakin tak mengerti apakah laut dan bagaimana merumuskannya. Bagian mana pula yang dianggap sebagai rahang laut dalam sajak yang kauberikan itu. Aku tahu sajak itu berlatar laut, respons kuat dari seorang penyair terhadap laut. Aku memang melihat gambaran laut dalam sajak itu. Tetapi, sekali lagi, aku tak pernah bisa menyelami laut sepekat penyair itu, apalagi sampai ke lekuk likat geliat laut yang sesungguhnya. “Berceritalah sedikit saja penghayatanmu terhadap laut, meski bukan tentang lautku,” pintamu ketika masih saja aku tidak berkomentar. Dan aku hanya diam, lekat menatap laut yang bergemuruh di matamu. Sejak itu kau tak mau berjumpa lagi denganku. Tetapi pada suatu sore tiba-tiba saja kau sudah duduk di kursi beranda rumahku. Rambutmu kusut, parasmu kisut, senyummu kecut, dan matamu, ah matamu, bola mata laut itu mulai surut. Sore memang tidak seredup kehadiranmu. Langit bersih, awan cuma tipis, dan lembayung memuncratkan warna emas ke seluruh penjuru angkasa. Kuseduh teh hangat agar lenyap segala pucat dan hasrat meloncat dari tatapmu. Tapi kau cuma mengucap terima kasih dan mengatakan bahwa kau mampir hanya sekejap. Hampir lepas cangkir dari genggaman ketika kemudian kau berkata lagi tanpa menunggu respons dari mulutku: “Aku hampir sekarat dan esok-lusa mungkin menjadi mayat.” Aku termangu dengan cangkir tertahan di bawah dagu. Langit terasa jauh seperti keluh pada matamu. Jarak membengkak dan jantung nyaris kehilangan detak. “Lautku mulai surut,” katamu lagi seperti membaca yang meriak di benakku. “Esok lusa mungkin aku benar-benar menjadi laut.” Langit belum tertutup. Cakrawala masih terbuka. Burung-burung kapinis meliuk di keluasan senja. Anak-anak masih bermain pasir, bersepeda, dibimbing orangtua atau pembantunya. Menara mesjid kukuh di kejauhan menadah langit seakan menunjuk akhir segala alir. Dari beranda rumah di pemukiman berbukit ini kulihat hamparan bangunan di pusat kota, juga kemuning padi di tepi bukit, lembah yang tak henti menyimpan gairah bagi para penggarap sawah. Tapi memang laut tak ada, juga di bola matamu. Laut mungkin tetap bergemuruh di sebalik gunung-gunung itu, tapi deburnya tertahan seperti juga ombak pada matamu. “Bantu aku dengan doa karena itulah yang kini kuperlukan!” Aku selalu tak mengerti keberadaanmu. Sejak dulu kau hadir menggelisir di sisiku, berkisar-kisar dalam perjalanan hidupku, tetapi aku selalu tak berhasil menafsir, tak berdaya menggambar apa yang ada dalam dirimu, juga dalam mata yang sampai hari ini pun sulit kubaca. Aku tak pernah bisa menerka dan kau memang selalu berada jauh di balik duga. Juga kehadiranmu sore ini setelah sekian lama kau dan aku tak bertemu, setelah kau berhenti kerja, dan betapa sulit aku menjumpaimu. Pernah beberapa kali aku ke rumahmu, ke kantor kawanmu yang aku kenal, tapi selalu saja kau tak ada. Hanya kabar dari sekitar, dari kawan-kawanmu, yang kuterima sejak kau meninggalkan beranda terakhir kalinya pada suatu senja. Sejak dulu aku selalu tak mengerti keberadaanmu. Juga pada suatu hari, ketika usiamu dan usiaku seranum pagi, kukatakan aku mencintaimu dan kau menolakku. Aku juga tak mengerti ketika di hari lain, kurang lebih sebulan setelah menolakku, kau malah memperkenalkanku pada seorang perempuan yang kini jadi istriku. Waktu aku menikah dengan perempuan itu kau datang dengan seorang lelaki yang kuduga kekasihmu sebagai jawaban menolak cintaku. Tapi dugaanku salah karena setahun kemudian lelaki itu menikah dengan perempuan yang konon juga kawanmu. Bertahun-tahun aku tak bisa memahamimu, juga ketika akhirnya kini kau dan aku telah menjadi tua dan kau belum juga berkeluarga. “Kau tidak pernah mencintai laut, jadi tidak mungkin kita berpagut,” katamu dulu memberi alasan menolak cintaku. Dan selalu begitu ketika kemudian beberapa kali kutanyakan kembali mengapa tidak menerima cintaku. Ketika suatu hari aku setengah memaksa, betul-betul memaksa, minta agar kau mengatakan alasan sebenarnya menolakku dan menolak banyak lelaki yang menyatakan cinta padamu, kau hanya menjawab ringkas: “Kau harus berusaha menyelami laut!” Sejak itulah aku selalu mencoba belajar keras mengamati laut, menyelami, menghayatinya setiap tamasya, setiap mengamati lengkung alismu, bulu matamu, tulang di sekitar matamu, dan bola matamu yang laut itu. Aku memang berhasil mengamati laut, memetakan bagian-bagiannya, tetapi selalu gagal menafsir dan menghayati. Jujur kukatakan bahwa memang sampai hari ini pun aku tak pernah bisa bersungguh-sungguh mencintai laut. Dapatkah itu dikatakan bahwa aku tak pernah sungguh-sungguh mencintaimu? Baiklah, baiklah aku akan berdoa khusus untukmu, meski sebetulnya selama ini di setiap waktu, di jeda napas dan detak bintang, aku tak pernah berhenti mendoakanmu. Tetapi kalau boleh tahu, mengapa pula sore-sore begini datang ke rumahku, setelah sekian lama menghilang, hanya untuk meminta doa? Mengapa hanya doa yang kau pinta padahal setelah mengamati kusut rambutmu, kisut parasmu, kecut senyummu, aku merasa sudah mulai bisa menerjemahkan laut di matamu? “Kau tidak akan pernah bisa memahami laut, apalagi laut di mataku.” Kau sakit? “Aku sehat walafiat.” Apa kau punya masalah? “Setiap orang punya masalah.” Masalah besar maksudku? “Ah andai kau bisa memahami laut…” Laut katamu? Aku akan coba menafsirkannya sekarang. “Sudah terlambat.” Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan? “Mengapa kata-katamu sering klise?” Tapi mengapa kaubilang terlambat? “Maaf, aku harus segera pulang.” Tidakkah kau mau dengar tafsirku tentang laut, juga laut di matamu? “Laut telah berubah, pasir mungkin akan segera gelap.” Sejenak saja! “Laut telah memanggilku.” Kapan kita bisa bertemu lagi? “Tidak tahu.” Minggu depan! “Ya, kalau aku belum dijemput peri- peri dari laut.” Peri dari laut? Apa maksudmu? Jangan kau buat aku selalu dungu di hadapanmu! Tapi kau keburu ngeloyor pergi meninggalkanku yang ternganga seperti rahang laut dalam sajak yang pernah kau berikan padaku. Aku memang tak pernah bisa memahamimu, tetapi jangan sekali-kali kau tuduh aku tak pernah mencintaimu. Aku sadar bahwa aku tak pernah bisa memahamimu. Juga laut, laut di matamu. Sebaliknya, aku semakin sadar bahwa kau memang telah bersungguh-sungguh mencintai laut. Tiga hari setelah kau dan aku bercakap terakhir kali di beranda, setelah kau memintaku berdoa, setelah tiap malam meluangkan waktu khusus berdoa penuh untukmu, di koran kubaca berita: “Wanita Cantik Tewas di Laut”. Kubaca lebih rinci berita itu, juga sambungannya di halaman 6 kolom 4, maka yakinlah maut telah menjemputmu di laut. Dua orang saksi, seorang ibu penunggu warung dan seorang penjala ikan, mengaku pada suatu sore melihatmu-seorang perempuan cantik-mengenakan switer biru, berjalan tegap dengan pandangan mantap lurus ke laut. Menurut ibu penunggu warung, ia sempat curiga karena rambutmu kusut, parasmu kisut, senyummu kecut. Ia keluar dari warungnya dan melihatmu telah memasuki laut. Ia berteriak tetapi hanya penjala ikan yang mendengar teriakannya. Dan ketika mereka sampai di tepi laut, tubuhmu telah menjauh dan kemudian lenyap ditelan laut. Setelah dilaporkan ke pengelola laut dan setelah tiga penyelam diturunkan, baru tengah malam jasadmu ditemukan. Pada bagian tengah berita itu dituliskan desas-desus yang beredar tentangmu. Menurut sebuah sumber, sudah lebih dari sebulan kau selalu merasa dikejar- kejar sesuatu. Setiap menjelang magrib, lanjut sumber itu, selalu ada yang berbisik di telingamu dan bisikan itu datangnya dari arah laut. Tidak begitu jelas apa bunyi bisikan itu. Selain sumber tadi, sumber lain mengatakan belakangan ini kau sering mendatangi seseorang yang bisa melihat laut dalam matamu. Menurut sumber itu, tindak-tandukmu agak aneh, paras sering tampak pias, gerak mata lebih banyak terlihat cemas. Tapi ketika ditanya, kau selalu bilang tak ada apa-apa, selain bisik menjelang magrib. Entah sumber mana yang paling benar, yang jelas kedua sumber mengatakan bahwa dalam banyak kesempatan, kau juga sering menggumamkan sebaris kata: mata laut…mata maut… Koran jatuh dari genggaman, ludah basa di lidah, keluh jadi gemuruh, pandangan hampa membentur kaca, uap teh hangat di cangkir mengepul ke celah jendela, beranda menyisakan sepenggal bayangan: sepasang mata yang mendeburkan laut, mengkelebatkan maut. Sepasang mata itu tiba-tiba memancarkan sorot cahaya ke mataku, dan aku tersedot gemuruhnya. Pelan-pelan sekali sepasang mata itu bangkit, mengedipkan kelopaknya untukku, membisikkan kata-kata ajakan ke telingaku, membetotku meninggalkan beranda, melintasi jalan di kompleks perumahan, turun ke jalan raya, ke arah laut, hari demi hari, minggu demi minggu, menyisir deret pohon kelapa, menginjak rumputan di tepi laut, membawaku memasuki gemuruh laut, dan sepasang mata itu tiba-tiba berubah menjadi sepasang maut. Serang – Raha, 2004
""Sepasang Maut""
Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang. Ia menatap saya dengan pancaran mata riang. Syahdu meliputi butir-butir hujan yang jatuh menimpa tubuh kami yang diam-diam menggelinjang. Sembunyi-sembunyi, kami menikmati denyar-denyar di lautan perasaan paling dalam. Sementara kilat mencabik-cabik langit hingga berupa potongan-potongan gambar pantulan kami berjumlah jutaan. Ada yang hanya bagian kepala, ada yang hanya bagian kaki, dan ada yang hanya bagian tangan. Tak jarang kepingan-kepingan yang terlihat bagai pecahan kaca yang beterbangan itu saling berhantaman. Lantas jatuh menghajar kepala kami kala tak sedang ingin penuh. Menusuk ke dalam kekosongan otak yang terasa ringan. Hingga ada satu pecahan jatuh tepat di antara bibir kami yang tengah berciuman. Seolah dengan sengaja ingin memisahkan. Malam berenang dalam kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas pasir basah. Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan merinding. Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan yang sering kali jauh lebih memabukkan daripada kesadaran. Bukankah kita semua membayar mahal untuk sebuah entah? Kafe di pinggir pantai itu pun terisi orang-orang yang rela mengeluarkan ratusan hingga jutaan rupiah untuk tidak sadar. Untuk saling bertukar lidah berludah dengan orang yang baru dikenal. Untuk muntah di atas jamban lantas terpingkal-pingkal. Untuk saling bersentuhan dan mendesah massal. Untuk larut dalam satu malam yang menawarkan sejuta gombal. Phuih! Ombak meludahi wajah kami yang ingin tak peduli. Tapi lendir ombak itu melekat begitu kental, begitu tengik! Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik. Dan ia terpana. Girangnya sirna. Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang berenang. Dan ia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang terbalut kulit kerang. Muka badak, begitu istilah orang-orang. Maka saya tahu, hampir tiba saatnya waktu bersenang-senang hilang. Kebenaran dan kesalahan dipertanyakan. Saat penghakiman. Suara musik di kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang. Sendawa alkohol di permukaan udara. Bahana tawa. Bercinta di bawah para-para. Pesta pora. Sentuhan menggoda. Senyum manja. Membuat saya begitu jengah dengan segala aturan-aturan. Membuat saya muak mendengar melulu kebajikan. Maka… Phuih! Saya meludah ke mukanya. Lantas saya berlari sambil menarik dahak sebanyak-banyaknya di tenggorokan untuk segera melimpahkannya kepada ombak yang kurang ajar. Saya pun tak mau membuang waktu lebih panjang. Saya berlari kencang menuju kafe dengan kaki-kaki telanjang. Meninggalkannya dalam diam yang haru. Rajaman semu. Saya menunggu. “Buset! Lama amat di luar?” “Udah ngapain aja?” “Kayak gak tau aja barbeque under the stars!” “Feeling hot hot hot!” Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa berkepanjangan. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa dalam penantian. Musik kian mengentak. Undak-undakan telah disiapkan di pinggir bar. Para model menunggu giliran untuk sebuah peragaan. Entah peragaan busana. Entah peragaan gaya. Entah peragaan yang bisa memancing rasa terpana. Entah peragaan untuk sekadar pertunjukan. Pertunjukan berarti menunjukkan sesuatu. Tapi sesuatu yang ingin dipertunjukkan itu tetaplah entah. Di sebuah tempat antah berantah. Mereka yang berada di sana tertawa untuk entah. Sementara saya pun pura-pura tertawa, mengelabui pikiran sendiri yang sedang secara diam-diam mencari makna. Berlaku nyaris sama dengan yang lainnya supaya tak terlihat sebagai pembodoh di dalam magma yang siap memuntahkan laharnya kepada siapa pun yang berusaha meredam dengan dingin tanya. Apa pula pentingnya bertanya jika ada liukan pinggul di depan mata, rok-rok dengan panjang ala kadarnya, dan kaki-kaki jenjang mengentak di atas meja? Bukankah yang selayaknya terdengar adalah tanya semisal, berapa kira-kira umur mereka, bisa atau tidak mereka diajak kencan setelah acara, pertanyaan-pertanyaan yang tidak saja tertuju kepada para model itu, tapi juga kepada setiap pengunjung yang rela dan masyuk berimpit di dalam ruangan dipenuhi asap rokok meraja tiap penjuru? Dan pertanyaan itu pun berdesing di telinga saya. “Sendiri?” Saya menatapnya. Tapi pandangan saya bagai menembus segala bentuk yang ada. Saya melihat seringai serigala di bibirnya yang tipis itu. Saya melihat anak-anak yang tengah tertidur di atas tempat tidur berkelambu. Saya melihat jajaran kartu kredit di dompetnya yang berwarna abu-abu. Saya melihat seekor burung yang seperti baru terjaga dari mati suri nyaris sewindu. Saya melihat diri saya sendiri terpaku. Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia pun langsung mengambil langkah seribu. Namun seperti pekik senapan lagi-lagi pertanyaan itu kembali memburu. “Sendiri?” Dan sesudahnya, saya melihat sepasang manusia bercengkerama, lalu memisahkan diri. Alkohol, sebagaimana fungsi malam ialah sarana untuk bersembunyi dari terang. Mata pun meredup menciptakan pemandangan yang makin samar. Ada surga yang akan segera terjangkau. Ada nama yang akan segera dilupakan. Ada luka yang akan segera hilang. Luka yang menyadarkan bahwa masa lalu kita nyata. Masa lalu yang pernah menguatkan perasaan bahwa dosa tak akan pernah cukup berarti ketika hati nurani mengatakan apa yang benar. “Huahahahaha…mata bintitan, mulut bau alkohol gitu masih berani ngomongin surga, dosa, yang pantas juga ngomongin syahwat!” Selalu harus ada yang pantas. Di tempat yang begitu tanpa batas ini pun mengenal kata pantas. Mata saya pun memanas. Ada yang mendesak ingin keluar. Maka bening berkumpul menyelimuti hitam bola mata. Namun ada keinginan kuat untuk segera menahan sedu sedan. Pertahanan yang dibangun untuk satu kata pantas, pantas, dan pantas. Padahal saya begitu ingin mendengar pantas sebagai pantat. Saya ingin melihat bubur sebagai dubur. Saya ingin merasa kosong sebagai bokong. Saya ingin merasa pantas yang lain dan lain yang pantas. Maka…. dengan mata telanjang saya melihat ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Lalu semakin banyak ikan yang terbang. Semakin banyak burung yang berenang. Lalu semakin bertambah banyak ikan yang terbang. Semakin bertambah banyak burung yang berenang. Dan semua adalah ikan yang terbang. Semua burung yang berenang. Namun saya mencari mata yang menatap girang. Tapi tak juga saya temukan ia di tengah hiruk-pikuk gelepar sayap ikan dan sirip burung-burung berkepakan. Ia masih berada dalam diam yang haru. Rajaman semu. Saya menunggu. Jakarta, Agustus 2004
""Ikan""
Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng rumah kami. Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba. Meski begitu, tidak ada yang lebih menggelitik fantasiku selain cerita misteri. Aku selalu menganggap diriku detektif cilik dengan rasa ingin tahu berlebih. Malam hari yang kerap diwarnai bunyi-bunyian gaduh dari arah loteng mengundang jiwa penyelidikku. Sebenarnya bunyi itu hanyalah tikus yang berlari-larian, namun masa kecil membuka ruang imajinasi tak berujung. Aku berkhayal di sana ada harta karun tersembunyi dalam peti. Untuk membukanya kita harus terlebih dahulu melawan penjaganya, yakni seekor laba-laba raksasa yang membungkus tubuh korbannya dengan jaring sebelum menyantapnya. Ruangan itu begitu gelap, namun begitu menyalakan lilin kau akan melihat mayat-mayat manusia tergantung kaku. Siang dan malam kucoba mengintip loteng rumahku, namun Ibu selalu menguncinya. Aku senantiasa berharap, saat kutempelkan telingaku di pintu loteng yang tertutup, aku akan mendengar teriakan seorang anak. Ia adalah putri perompak yang disekap musuh-musuh ayahnya. Jika anak itu kutemukan, ia akan menunjukkan padaku rahasia harta karun terbesar abad ini. Rupanya daya khayalku yang terlalu tinggi membuatku tak bergairah melakukan apa pun selain memikirkan rahasia di balik pintu itu. Kalaupun kucoretkan krayon pada buku gambarku, yang kugambar adalah loteng kelam dengan harta karun bersinar-sinar di dalamnya. Di lain waktu, kugambar ular raksasa yang melingkar-lingkar dan siap menerkam mangsanya. Berbagai versi isi loteng itu telah kureka, sampai akhirnya ibuku bercerita tentang apa yang menurutnya benar ada di dalamnya. Ia, rahasia terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut panjang terurai yang selalu duduk di depan alat pemintal. Wajahnya penuh guratan merah kecokelatan, seperti luka yang mengering setelah dicakar habis-habisan oleh macan. Bola matanya berwarna merah seperti kobaran api. Bila ia membuka mulutnya, kau akan melihat taring-taring yang panjang. Ia begitu khusyuk di depan pemintal itu karena ia tengah membuat selimut untuk kekasihnya. Ia telah jatuh cinta pada seorang laki-laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan. Hantu itu mampu berubah wujud di siang hari, saat ia ingin berbaur dengan manusia. Ia bisa menjadi apa saja dari perempuan, laki-laki, anak kecil, sampai seorang tua renta. Tatkala melihat si pemburu, hantu perempuan itu mengubah wujudnya menjadi seorang gadis jelita. Lelaki itu terpesona. Mereka lantas bertemu di padang ilalang keemasan demi sekadar berbagi cerita. Lelaki itu tak tahu bahwa setiap kali si perempuan hadir, burung-burung beterbangan tak tentu arah; siput dan binatang-binatang kecil mulai gelisah. Dibandingkan manusia, indera binatang memang lebih terasah. Suatu hari, lelaki itu pamit untuk pergi beberapa lama. Ia ingin menjelajahi hutan di seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu emas. Singa itu, konon, merupakan harta tak ternilai yang menjadikan pemiliknya kaya raya. Hantu perempuan sedih tak terkira, tapi ia tahu dengan berat hati harus direlakannya sang kekasih. Sebelum si lelaki memulai petualangannya, mereka berjanji bertemu di hutan. Sore itu cahaya matahari mirip neon yang meredup. Lelaki pemburu bersandar di bawah pohon bersama kekasihnya, bicara tentang mimpi-mimpi indah yang akan terwujud setelah pencarian singa berbulu emas itu berakhir. Mari jadi istriku dan hiduplah kita di tepi sungai. Rumah kita kecil, tapi setiap saat terdengar gemercik air dan derai tawa anak-anak. Si hantu perempuan begitu terbuai mendengarnya. Ia tidak menyadari bahwa malam mulai mengancam. Pohon-pohon kekar menghitam dipagut awan gelap. Anjing-anjing mulai melolong, menyadari adanya makhluk gaib yang menegakkan bulu kuduk. Dari peraduannya, bulan purnama merayap naik tanpa suara. Hantu malang itu lupa kalau hanya di siang hari ia bisa berubah rupa. Malam telah menanggalkan topengnya, dan sinar bulan menyinari wajah telanjangnya. Laki-laki kekasihnya sekonyong-konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa takut laki-laki itu. Ia lari terbirit-birit meninggalkan hantu perempuan itu sendirian. “Untunglah laki-laki itu berhasil menyelamatkan diri!” aku berseru sambil mendekap bantalku, takut bercampur lega. “Kau belum tahu apa yang terjadi pada hantu perempuan,” sela ibuku. “Pentingkah?” “Hei! Dia tokoh utama kita!” O, ya, ya, kuanggukkan kepalaku. Kita memang sering kehilangan fokus dengan meniadakan hal-hal yang kita anggap tak penting. Kata ibuku, hantu perempuan itu terpukul sekali. Sebelum ia sempat mengungkapkan siapa dirinya, kekasihnya sudah lari menjauh. Sungguh-sungguh ia murka. Ia terbang dari rumah ke rumah, membuat gaduh, mengganggu ketenangan manusia. Bayi menangis kala merasakan kehadirannya dan para pemuka agama sibuk berkomat-kamit mengusirnya. Tetapi, suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia tetap tidak mampu mematikan rasa cintanya pada si pemburu. Ia ingat, kekasihnya tidak punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut tebal yang akan melindunginya jika ia kedinginan di hutan. Hantu perempuan itu pun memilih sebuah tempat persembunyian yang gelap untuk membuat selimut bagi kekasihnya. Ya, di loteng rumah kami lah ia bekerja dengan alat pemintal selama beribu-ribu malam. “Dan ia masih melakukannya sekarang?” Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan. Aku berhenti memikirkan si Pemintal Kegelapan ketika Ibu bercerai dengan Ayah. Sejak usiaku menginjak 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. Ia masih bercerita, namun entah mengapa, ceritanya mulai terasa hambar. Perkiraanku, ibuku mulai bosan mendongeng. Matanya kosong. Ceritanya tidak berenergi. Tidak seperti ketika ayahku masih tinggal bersama kami, kini Ibu terlihat kelelahan karena sering pulang larut malam. Ibuku berupaya membuat kehidupan kami tetap seperti semula. Ia tetap mengantarku sekolah, menyiapkan sarapan, meneleponku dari kantornya di siang hari, dan mencium pipiku sebelum tidur. Ia selalu bersikap manis, tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ia kehilangan greget. Ketika aku beranjak remaja, aku mulai jenuh dengan sepinya suasana rumah dan lebih suka pergi bersama teman-teman sekolahku. Frekuensi pertemuanku dengan Ibu pun semakin jarang, tapi ia tetap melakukan segalanya: mengantar sekolah, menyiapkan makanan, menelepon, mencium. Ketika usiaku 16 tahun, Ibu mulai memiliki kekasih. Seorang laki-laki tinggi besar sering datang ke rumahku. Aku memanggilnya Om Ferry. Aku menyukainya karena ia selalu bercerita tentang petualangannya di luar negeri. Namun, beberapa bulan kemudian ada laki-laki lain. Om Riza. Setelah itu, laki-laki berbeda datang silih berganti hingga aku tidak bisa mengingat nama mereka semua. Seorang tetangga sempat bertanya saat aku menyiram bunga di pekarangan, “Yang mana yang akan jadi ayah barumu?” Terlalu banyak laki-laki yang singgah di rumah, dan ini menyebabkan timbulnya gosip-gosip yang memerahkan telinga. “Sebetulnya apa kerja ibumu?” tanya Nina, anak tetangga di depan rumahku. Aku mengangkat bahu. Ibuku membuat sarapan pagi dan mencium pipiku di malam hari. Haruskah aku tahu lebih banyak jika itu sudah cukup bagiku? “Ibuku bilang ada yang disembunyikan ibumu,” kata Nina, setengah berbisik. “Apa ibumu benar-benar bisa menghidupimu hanya dengan bekerja di kantor?” Gunjingan tetangga semakin ramai. Ibu dituduh memanfaatkan pacar-pacarnya dengan menguras saku mereka. Sebagian lagi meragukan kalau Ibu benar-benar berpacaran. Ada pula yang menyebar berita bahwa Ibu menggelapkan uang kantor. Inti dari semua tudingan itu adalah bahwa ibuku memiliki posisi yang membahayakan sebagai seorang janda. Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal pun yang berani kutanyakan pada Ibu. Semakin bertambah usiaku, semakin kuyakin bahwa ibuku memang menyimpan sesuatu. Kusadari bahwa sejak lama ia sering bersikap aneh. Aku ingat pernah terbangun suatu malam ketika ayah dan ibuku bertengkar dan saling melempar kata-kata kasar yang tidak seharusnya terucap. Keesokan harinya, Ibu membuatkanku roti isi selai stroberi dan susu cokelat sambil bersenandung riang. Suaranya seindah kicau burung kenari. Di hari Minggu, aku pernah mendengar Ibu memecahkan piring sambil berteriak di dapur. Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu licin sehingga piring itu terlepas dari genggamannya. Menurutku tidak. Aku yakin ia sengaja memecahkannya. Tapi setelah itu Ibu langsung menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop. Sesekali aku juga mendengar suara ganjil dari kamarnya. Suatu ketika, malam yang lengang dikejutkan oleh teriakan bercampur tangis penuh amarah. Aku keluar dari kamarku dan bergegas menghampiri kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama menunggu, barulah ia membuka pintu. Katanya aku telah mengganggu tidur lelapnya. Ia menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang. “Kau hanya bermimpi buruk,” tukasnya. Padahal, aku yakin sekali suara Ibu-lah yang kudengar. Kekasih-kekasih ibu sekaligus gosip panas yang menyertainya menghilang bersama waktu yang terkikis. Ibuku akhirnya pensiun dan giliranku membiayai hidup kami karena aku sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu ada misteri dalam dirinya yang tidak pernah dapat kubongkar. Ia selalu menyimpan sesuatu, termasuk tentang penyakit yang ternyata sudah lama menggerogoti tubuhnya. Ia mengidap kanker leher rahim. Ibuku pergi ke dokter diam-diam dengan uang tabungannya. Ketika aku mulai curiga, ia katakan bahwa masalahnya hanya kista yang baru tumbuh, bukan kanker ganas. Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Kucoba untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Aku ingin membuatnya bahagia. Entah bagaimana caranya, karena kurasa aku tak pernah benar-benar mengenal Ibu. Suatu hari ia berkata waktunya tak akan lama lagi. Tanpa mendengar protesku, ia menggandeng tanganku, “Aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Ia mengajakku ke loteng. Ya, loteng yang dulu luar biasa menarik. Aku sudah melupakannya, seperti aku lupa wajah Ibu semasa ia menjadi tukang cerita nomor satu. Begitu pintu terbuka setelah Ibu memutar kuncinya, aku melihat pemandangan yang cukup mengecewakan. Loteng itu berbau apek, penuh debu, dan sarang laba-laba. Di dalamnya ada satu set sofa kuno yang suram dan dimakan rayap. Gelap dan sesak, tapi tak ada harta karun atau ular raksasa. Tanpa menghiraukan wajahku yang penuh keengganan, Ibu menuntunku menuju sebuah cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, lalu menunjuk bayangan di dalamnya. Ia berujar pasti, “Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.” Aku melongo, sama sekali tidak mengira Ibu mengatakannya. Pemintal Kegelapan hanya percikan masa kecil yang telah kubuang jauh dan kukira telah Ibu lupakan. Namun demi menghormati Ibu, kulihat sekilas pantulan di cermin itu. Bayangan Ibu. Tentu saja. “Ayo, lihat sekali lagi!” desak Ibu. Kutajamkan penglihatanku. Kubawa ingatanku pada masa-masa kami masih menikmati misteri loteng itu, mengucapkan selamat datang pada imajinasi liar tanpa batas dan malam-malam meringkuk di balik selimut. Tiba-tiba kusadari aku tengah merinding. Aku memang melihat Ibu. Ya, perempuan itu. Rambutnya terurai, wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari-nari melumatkan siapa pun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu, sakit, nafsu, amarah-memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai. Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka-teki. Ibuku Pemintal Kegelapan. Jakarta, 21 Agustus 2004
""Pemintal Kegelapan""
Matahari bersinar lembut. Tadi malam hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-orang kaget namun berlega hati. Kemarau tiba-tiba terputus sejenak walaupun mungkin akan diteruskan selama dua atau tiga bulan mendatang. Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut September karena berarti sumberé kasèp¹. Perempuan tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di langit: Jumadil Akhir, Ruwah…. Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah tampak di ambang waktu. Keluarga Bu Guru yang tinggal di rumah depan mengatakan bahwa hujan itu sebagai tanda bumi Mataram berduka dengan terjadinya ontran-ontran² di Surakarta. Karena menurut dia, meskipun Kartosuro dan Mataram sudah terpisah menjadi dua kerajaan, sesungguhnya masih terjalin kental. Bagaimanapun juga, setelah meninggalkan keramaian Pasar Ndemangan, ketika Mbah Jum tiba di tanjakan yang membelok, tubuhnya masih terasa segar karena matahari yang redup. Padahal kemarin sore, untuk ke sekian kalinya dia menerima hantaman keras di dada kirinya. Dia tidak terlalu mempersoalkan dari mana asalnya rasa ngilu tersebut. Hingga saat keluarga Bu Guru menyuruh pembantu memanggil dia supaya makan di dapur, Mbah Jum masih tergeletak di ambèn-nya. Selesai makan, dia mengerok sendiri leher, dada, dan bahunya. Merah nyaris ungu warna bilur-bilurnya. Rupanya dia memang menderita masuk angin. Langit mendung. Tampaknya kemurungan masih akan berlanjut hari itu. Pengaruh kelakuan dan suasana batin para priyagung³ sangat besar, kata seorang dari cucu Bu Guru. Mbah Jum percaya itu. Ketika Ngerso Dalem4 yang sepuh dulu kondur5 ke alam langgeng, bersama warga kota raja, wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana selama tiga malam, bulan berwajah cemberut di langit kelam, seluas dua depa pandangan mata dilingkari sapuan benang kabut. Untunglah alam tidak terlalu mengubah kondisinya jika orang kecil seperti dirinya bersedih hati. Karena jika hal sebaliknya yang terjadi, betapa akan mawut6-nya suasana dunia. Sebab jumlah kawulo7 di kota raja saja jauh lebih banyak daripada kaum njeron bètèng8. Belum terhitung yang berada di tempat-tempat lain. “Mana galahnya, Mak?” seseorang menegur, berteriak dari seberang ketika dia tiba di puncak tanjakan. Jalan yang dulu hanya dilalui kereta kuda, becak dan sepeda itu kini bisa dimuati empat bahkan mungkin enam berjejeran dari masing-masing jenis kendaraan tersebut. Ujung selendang dia angkat ke tentangan dahi guna melindungi mata dari cahaya yang telah berubah, bersinar menyilaukan. Sambil mengawasi dari jauh siapa yang berseru, otak perempuan itu sempat berpikir. Panggilan kepadanya dimulai dari Lik, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah9 dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia. Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur. Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia berseru menjawab. Tetapi, suaranya ditelan kegaduhan mesin kendaraan roda empat maupun dua, dikacaukan oleh putaran angin yang membawa debu siluman yang terangkat dari gerakan setiap benda di sana. Setelah dua kali kerongkongannya menggembung oleh teriakan, akhirnya wanita itu terdiam. Tangannya menunjuk ke arah belokan terdekat di hadapannya. Lelaki di seberang jalan mengangguk sambil sekali lagi mengangkat lengan kanan memberi isyarat bahwa dia sudah paham. Lalu pandangannya tertuju ke kelokan. Di pojok sedang dibangun sesuatu, tampak luas dan besar. Bagian tepi dikelilingi pagar dari seng, namun tepat di belokan muncul dahan-dahan pohon waru, berkilau dalam kehijauannya yang pekat. Setiap daun tampak segar. Nyata masing-masing merupa dalam bentuk jantung. Barangkali mereka gembira setelah mandi-mandi air hujan malam kemarin. “Berangkat cari daun waru, Lik Jum?” “Sudah mendapat banyak daunnya, Mbah Jum?” “Mari saya bantu menghitung daun warunya ya Mak Jum!” Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan bertanya: siapa Mak atau Mbah Jum itu? Dia tidak tahu usianya yang pasti. Pak Dukuh10 memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Waktu itu penduduk harus didata karena negara sudah teratur dan merdeka, kata Pak Bayan11. Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangsu12 dari sumur di tengah kampung. Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja. Dia hanya mampu mengikuti pelajaran hingga kelas 3 Sekolah Rakyat13. Untuk seterusnya dia turut mengasuh anak-anak Bu Guru hingga besar, hingga Bu Guru meninggal dan anak-anak bergiliran berumah-tangga. Sekarang, seorang dari cucu Bu Guru juga menjadi pengajar di salah satu sekolah tinggi. Mbah Jum sulit mengingat sebutan tepat untuk guru di sana. Di usia KTP 78 tahun, dia menjadi nenek bagi seisi kampung. Apa pun yang dipanggilkan warga kepadanya, Mbah Jum selalu menoleh dan menanggapi. Sejak tabrakan bus, sebelum Bu Guru meninggal, Mbah Jum tidak dapat mengerjakan apa pun yang membutuhkan kekuatan pundak, punggung, dan pinggulnya. Dia tetap menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena di mana-mana orang mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak. Nasi lengkap dengan masakan hari itu. Di dalam kardus di tentangan kepala ambèn, dia selalu mempunyai dua pakaian bersih dan cukup bagus untuk dikenakan buat réwang. Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur. Namun, pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru. Pembuat tempe dan tahu berderet nyaris sepanjang kampung. Tetapi, yang mengerjakan tempe gembus hanya satu. Sejak dia disebut Lik sampai kini, Mbah Jum merupakan satu-satunya pemasok daun waru sebagai pembungkus tempe gembus spesial dari kampung tersebut. Daun pisang sudah lumrah digunakan. Tetapi harganya lebih mahal, karena tempe lebih bergengsi daripada ampas tahu. Apalagi jika dikemas di dalam daun pisang. Untuk mengurangi pengeluaran, seorang pedagang membungkus limbah tersebut dengan daun waru. Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru. “Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah,” katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu. “Nuwun, Mas, nuwun,”14 kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakkannya di dalam tenggok15 di tanah. Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa dia gapai. Maka berjatuhanlah puluhan tangkai sarat dengan daun-daun waru. Benar, semuanya bersih. Bahkan yang terlindung dari pancaran matahari pagi masih mengandung titik-titik air bekas hujan semalam. Dari sisi jalan belokan, Mbah Jum pindah ke sisi Jalan Colombo. Beberapa ranting tersangkut di pagar seng. “Sebentar lagi panas terik, Mbah,” kata seorang kuli bangunan yang mengaduk pasir dan semen, “ini sedang ketigo16. Kalau yang nyangkut tidak diambil, sebentar lagi kering.” “Biar nanti saya bantu mengambilnya, Mbah,” kata kuli yang lain. Mbah Jum mendengar komentar itu, tetapi tidak peduli. Dia terus menengadah. Terus mengait dan ranting berdaun waru terus berjatuhan. Di sana, di dekat, tersangkut di pagar seng, lalu ada yang menimpa dirinya. Masih terus saja Mbah Jum menengadah. Untuk mendapatkan uang paling sedikit Rp 3.000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya. Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu dapur kondangan lalu, tetapi dia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan. Dia harus memanfaatkan waktu. Pedagang tempe sekarang sudah hampir semua tidak menggunakan daun pisang lagi. Juragan tempe gembus bahkan berkata akan meniru orang-orang di lain kampung, menggunakan kantongan plastik ukuran kecil. Jika saat itu tiba, Mbah Jum akan kehilangan satu-satunya andalan pemasukan nafkahnya yang pasti. Kadang kala semut-semut ngangrang merah menggandul dan merambat turut jatuh. Sekali-sekali Mbah Jum menebaskan tangannya ke tubuh untuk mengusir binatang-binatang itu dari pakaiannya. Kepalanya terasa basah oleh keringat. Udara panas menekan. Pelipis dan dahi dialiri peluh, menitik dan menetes masuk ke mata. “Hari ini tidak bawa capingnya to Mbah?” kuli bangunan bersuara lagi. Kali itu Mbah Jum menyahut, “Sudah bolong-bolong dan jepitan pinggirannya lepas.” “Harus beli lagi. Di Pasar Ndemangan ’kan ada!” “Tidak, harus di Beringarjo kalau mau beli itu,” kuli lain membantah temannya. “Ya jauh kalau dari Ndemangan,” kuli lain menggumam, seolah-olah kalimat itu ditujukan kepada dirinya sendiri. Percakapan itu lamat-lamat sampai di telinga Mbah Jum. Mendadak terasa tusukan ribuan jarum di dada kirinya. “Lho Mbah! Lho Mbah! Ada apa?” Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar. “Di, lepaskan paculmu. Kemari!” “Ini adukan kedua! Nanti mengering!” “Gebyur air yang banyak. Cepat panggil tukang-tukang becak situ!” “Ya, benar. Di antara mereka ada yang tahu rumah simbah ini, cepat, Di!” Sayup-sayup Mbah Jum merasakan kain yang basah disentuhkan, digosokkan di leher, kemudian dikompreskan di dahinya. Dia sempat berpikir bahwa pasti itu adalah ujung selendangnya yang telah dicelup ke ember buat mengaduk semen. Sesudah itu, dia tidak merasa apa pun. Tidak mendengar apa pun. Sendowo September 2004 Catatan: 1. sumbernya terlambat, tidak ada hujan/air 2. kekacauan 3. bangsawan, petinggi 4. Yang Dipertuan 5. pulang 6. jungkir balik 7. rakyat biasa 8. orang-orang bangsawan 9. Lik, dari kata bulik = tante. Mbah dari kata simbah = nenek 10. Lurah, kepala kawasan 11. sekretaris kelurahan 12. menimba dan mengusung air 13. SD 14. terima kasih 15. wadah seperti keranjang bulat, terbuat dari anyaman bambu padat 16. musim kemarau
""Daun-daun Waru di Samirono""
Berkedip-kedik kelopak mata Lasmi, menahan silau matahari pagi. Sekarang cabe merah di panggung kian terasa berat setelah berjalan hampir tiga kilo meter. Butir-butir keringat terus menetes di seputar wajah, membuat bedaknya luntur dan terlihatlah wajah aslinya yang justru tampak lebih ayu dan matang. Nun di kejauhan, di antara lalu lalang kendaraan, Lasmi melihat suasana pasar cukup ramai. Lasmi kian mempercepat langkah tak ingin kehilangan kesempatan menjual cabenya pada Kartopal, juragan cabe di pasar. Hari ini Lasmi perlu uang. Puput, anak semata wayangnya yang baru masuk TK, sudah empat hari sakit, tak bisa berangkat sekolah. Lasmi sedih melihat keceriaan Puput yang baru masuk TK pudar gara-gara sakitnya tak kunjung sembuh. Sudah lama Puput merengek minta sekolah. Meski baru empat tahun, Lasmi rela menggadai kalung untuk mendaftarkan Puput di TK. Setiap pagi, sebelum pergi ke sawah Lasmi mengantar Puput ke sekolah dan tersembul rasa bangga melihat Puput berseragam TK, rambut poninya berkibar-kibar, matanya binar-binar. Lasmi sudah berusaha membawa Puput ke Puskesmas, tapi sakit Puput justru bertambah parah. Kini Lasmi bermaksud membawa Puput ke dokter. Lasmi tahu, biaya dokter tidak murah. Terpaksa kemarin sore Lasmi memetik sebagian cabenya-dipilih yang sudah tua-tua-untuk dijual di pasar, meski harga cabe saat ini sedang turun. Tapi Lasmi perlu uang untuk membawa Puput ke dokter. Puput harus segera sembuh dan bisa kembali berangkat sekolah. Terengah napas Lasmi sampai di depan kios Kartopal. Meletakkan sekarung cabe dari punggung, Lasmi menyeka keringat dengan ujung kain selendang. Terlihat lelah dan pucat wajah Lasmi usai menempuh perjalanan tiga setengah kilometer. Berkali-kali Lasmi menelan ludah untuk menghilangkan rasa haus. Kartopal yang melihat kedatangan Lasmi segera datang menghampiri. Senyum Kartopal mengembang. “Kenapa hanya sedikit? Belum dipanen semua, ya?” tanya Kartopal melihat sekarung cabe yang dibawa Lasmi. “Aku baru petik sebagian. Bukankah harga cabe sedang turun? Tapi aku perlu uang untuk Puput….” Mendengar nama Puput, jidat Kartopal berkerut. Kartopal yang hingga kini belum dikaruniai anak senang bermain dengan Puput yang cantik dan imut. Sesekali Kartopal menggendong Puput keliling pasar. Lalu, pulangnya dibelikan jajanan. Tapi rupanya keakraban Kartopal dan Puput kurang berkenan di hati Mantosam, suami Lasmi. Sudah menjadi rahasia umum antara Lasmi dan Kartopal dulu pernah terjalin hubungan asmara meski akhirnya putus di tengah jalan. “Ada apa dengan Puput?” tanya Kartopal jidatnya masih berkerut. “Sudah empat hari sakit. Rencananya mau kubawa ke dokter….” “Sakit apa?’ “Entahlah, badannya panas. Kejang….” Kartopal mengangguk-angguk, paham. “Tunggu di sini sebentar,” berkata begitu Kartopal beringsut masuk ke dalam kios. Lasmi ditinggal sendirian menikmati sengat matahari yang mulai merangkak naik. Lasmi mengedar pandang ke sekeliling. Tampak suasana pasar semakin ramai. Tapi tiba-tiba Lasmi gelisah, teringat Mantosam yang sudah dua malam tidak pulang. Ketika pergi Mantosam berjanji akan membelikan boneka barbie untuk Puput. Tapi hingga tadi pagi Mantosam belum pulang. Puput kerap mengingau menanyakan boneka barbienya. Kartopal keluar dari kios menyerahkan sejumlah uang kepada Lasmi. Kini giliran dahi Lasmi berkerut menatap uang itu. Uang dari penjualan cabe tak mungkin sebanyak itu. Lasmi urung menerima uang dari Kartopal. “Kok banyak sekali? Bukankah harga cabe turun?” Lasmi keheranan. “Ini sekalian untuk periksa Puput ke dokter. Biaya dokter mahal. Ayo, terima saja. Aku sedih kalau dengar Puput sakit….” Kartopal terus mengangsurkan uangnya. Matanya tulus. Lasmi menatap Kartopal sejenak. Lalu menggeleng. “Kami tidak boleh menolak. Ini bukan untuk kamu. Tapi untuk Puput!” berkata begitu Kartopal meletakkan uangnya di atas karung cabe Lasmi. Nanar pandangan Lasmi menatap lembar-lembar uang itu. Gemetar tangannya sewaktu meraup uang itu, diletakkan di atas kain selendang lalu diikat sedemikian rupa. Ini bukan untuk yang pertama kalinya Kartopal membantu dirinya. Aroma alkohol mengendap dalam kamar lima kali empat meter. Puntung rokok, botol minuman, gelas, dan kartu domino berserak di sana-sini. Laki-laki itu, Mantosam, menggosok-gosok mata baru bangun tidur. Jengah, menggerak-gerakkan tubuhnya yang terasa pegal Mantosam melirik perempuan di sebelahnya. Serta-merta mata Mantosam yang kuyu menyala. Perempuan itu, Monik, selimutnya tersingkap hingga pahanya yang putih menantang Mantosam. Berkali-kali Mantosam menelan ludah, tak kuat menahan hasrat. Mantosam buru-buru melihat uang di dompet. Tersenyum. Uangnya masih cukup untuk bersenang-senang. Mantosam segera membangunkan Monik. Tapi rupanya tidur Monik sangat lelap, mendengkur lirih. Agak jengkel Mantosam, dalam satu hentakan kuat menyibak selimut Monik. Sejenak Monik menggeliat dan tersentak kaget sewaktu menyadari apa yang dilakukan Mantosam. Monik melotot menatap Mantosam. Sumpah serapah hampir muntah dari mulut Monik jika Mantosam tidak segera mengeluarkan lembar-lembar uang dari dompet dikipas-kipaskan di depan wajah Monik. Gelagapan dan salah tingkah Monik, bibirnya tersenyum. Di luar siang terik. Tapi di kamar itu udara remang-remang. Seperti semalam mata Mantosam menyala-nyala. Monik paham apa yang harus ia lakukan. Ia tak ingin membuat waktu percuma. Sejurus kemudian kamar yang semula sunyi itu berubah hiruk-pikuk. Bantal, guling dan sprei terbadai berhamburan di lantai. Mantosam begitu bersemangat hingga lupa di rumah anak semata wayangnya sakit keras. LASMI pucat. Dokter menyarankan agar Puput dibawa ke rumah sakit. Tanpa kata-kata Lasmi meninggalkan ruang praktik dokter, kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Tak pernah terbayangkan oleh Lasmi jika suatu hari ia harus berurusan dengan rumah sakit. Berurusan dengan rumah sakit seperti berurusan dengan polisi yang pasti berbelit dan selalu berhubungan dengan duit. Hal terakhir ini yang membuat kepala Lasmi terus berdenyut nyeri. Menggendong Puput yang semakin tak berdaya, Lasmi sampai di rumah sakit. Lasmi merasakan suhu badan Puput semakin panas, tubuhnya kejang. Tiba-tiba Lasmi teringat Mantosam yang hanya sesekali pulang ke rumah. Tapi ia berharap Mantosam bisa mengantar Puput ke dokter. Tapi ditunggu hingga siang, Mantosam tak kunjung datang. Lasmi tidak tahu ke mana Mantosam pergi. Jika sedang banyak uang, laki-laki itu memang sering tidak pulang berhari-hari. Seorang petugas UGD menyambut Lasmi dengan senyum dingin, menunjuk loket pendaftaran pasien baru. Lasmi segera menghampiri loket dan bicara dengan seseorang yang duduk di balik kaca transparan. Seorang perempuan gemuk yang sesekali menatap Lasmi dengan tatapan ganjil. “Ada KTP?” tanya perempuan gemuk, acuh, tanpa menatap Lasmi. “Maaf, tadi saya buru-buru. Tidak sempat bawa KTP….” “Kalau begitu ibu harus menyerahkan uang empat ratus ribu untuk jaminan.” “Apa?” “Empat ratus ribu untuk jaminan anak ibu dirawat di sini.” Perempuan gemuk kembali menegaskan, kali ini mendongak menatap Lasmi. Lasmi terngungun tak bisa berkata. Gemetar tubuhnya seperti disambar petir, Lasmi merasakan kepalanya kian berdenyut nyeri dan berputar-putar. Cukup lama Lasmi berdiri di depan loket, berpikir keras mencari ide agar Puput bisa dirawat di rumah sakit. Tapi otaknya selalu buntu. Apalagi saat melihat perempuan gemuk di balik loket yang terus menatap ganjil. Tertunduk lesu Lasmi akhirnya beranjak meninggalkan loket. Langkahnya berat menggendong Puput yang terus kejang. Tapi baru beberapa langkah, Lasmi mendengar seseorang memanggil namanya. Lasmi menoleh mencari arah sumber suara. Tampak di depan pintu masuk rumah sakit, Kartopal berdiri, senyumnya mengembang. Lasmi buru-buru menghampiri Kartopal. Lasmi yakin Kartopal pasti mau membantunya keluar dari kesulitan. Mantosam kaget mendengar kabar dari tetangga sebelah bahwa Puput dirawat di rumah sakit. Saat itulah Mantosam baru ingat jika beberapa hari ini Puput sakit. Tapi Mantosam tidak menduga kalau akhirnya Puput masuk rumah sakit. Mantosam tiba-tiba merasa bersalah. Perasaan bersalah itu kian menusuk ketika ingat dalam sakitnya Puput merengek-rengek minta dibelikan boneka barbie. Tapi Mantosam lupa, belum sempat membelikan boneka barbie. Untuk menebus kesalahannya, kini Mantosam beli boneka barbie kesukaan Puput. Sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang lengang, boneka cantik itu ditimang-timang. Berkali-kali Mantosam tersenyum membayangkan kegembiraan Puput menerima boneka barbie itu. Mata Puput yang bulat pasti akan mengerjap-ngerjap. Bibir mungilnya tersenyum manis. Ah, Mantosam benar-benar sudah tak sabar ingin memberi kejutan pada Puput. Puput pasti tak menyangka jika akan mendapat boneka barbie kesukaannya. Mantosam kian mempercepat langkah. Kamar Puput tidak jauh lagi. Berdiri di depan pintu kamar Puput, mendadak tubuh Mantosam bergetar gemetar. Berkali-kali Mantosam menggosok mata, tapi pemandangan di dalam kamar tetap tidak berubah. Tampak Kartopal sedang menyuapi Puput yang terbaring lemah di atas ranjang. Tidak jauh dari situ, Lasmi duduk kelelahan terkantuk-kantuk. Cukup lama Mantosam menyaksikan pemandangan itu, darahnya berdesir. Tapi Mantosam mencoba menahan diri, melangkah pelan masuk ke dalam kamar. Ia ingin memberikan boneka barbie pada Puput. Kartopal yang sedang menyuapi Puput kaget melihat kedatangan Mantosam. Tapi Kartopal cepat bisa menguasai diri, tersenyum. Mantosam membalas dengan senyum yang dipaksakan. Sesaat dua laki-laki itu saling berpandangan. Tapi tiba-tiba Mantosam gugup, menunduk, sembari menyembunyikan boneka barbienya. Tampak di atas meja boneka barbie cantik ukuran besar. Mantosam tahu siapa yang membawa boneka barbie itu. Darah Mantosam kembali berdesir. Tapi selain menunduk, Mantosam nyaris tak memiliki ruang untuk melepas pandang matanya di kamar yang mulai terasa panas itu. Mantosam tiba-tiba teringat Monik, boneka barbie besarnya yang juga tak kalah cantik…. Depok, 2004
""Barbie & Monik""
Entah sudah berapa kali Taka bangkit dari duduknya di bangku taman itu. Bangku yang terbuat dari batu alam utuh, dipahat menjadi balok panjang yang nyaman diduduki. Semak-semak rhododendron di belakang bangku itu masih menampakkan rona ungu dari bunga-bunga yang telah mekar sejak awal musim semi. Mungkin karena perdu itu terlindungi dari sinar matahari langsung oleh sederetan pohon cemara rendah, bunga-bunga ungu itu tak cepat menjadi layu. Sebentar lagi musim panas akan tiba. Dan rhododendron akan layu dibakar matahari yang terik. Anicca-tiada makhluk yang abadi di dunia ini. Kolam air di dekat bangku taman itu memantulkan warna langit yang biru tak berawan. Dedaunan pohon willow yang berderet di salah satu sisi kolam berdesir ditiup angin sepoi. Yanagi, begitu nama pohon itu dalam bahasa Taka. Daun-daunnya yang lembut, dan berdesir-desir bila ditiup angin, selalu mengingatkan Taka akan butir-butir air mata dan desah tangis. Sosok pohon yang selalu menciptakan suasana melankolis. Teduh dan tenang di sekitar bangku tempat Taka menanti. Sesekali melintas pasangan-pasangan yang sengaja berjalan menyimpang dari tapak jalan utama menuju Bethesda Fountain atau Cherry Hill yang tak jauh dari tempat itu. Dari bangku itu, ujung-ujung Belvedere Castle tampak menjulang di utara. Masataka Sueyoshi berjalan beberapa langkah ke barat. Matanya nanar memandang ke sekeliling. Lalu ia buru-buru kembali ke bangku taman itu. Seolah- olah ia tak pernah ingin pergi terlalu jauh dari bangku itu. Ia duduk kembali di bangku itu. Dipandanginya beberapa lembar koran yang terlipat rapi di atas bangku batu itu. Ia telah membaca habis semua halaman koran itu. Tak ada lagi yang tersisa. Tetapi, Yuki tetap belum hadir di bangku batu itu. Bangku batu di Central Park, tempat ia melewatkan setiap petangnya. Siang terakhirnya di New York, tentu saja, Taka makan siang di “Fugakyu”. Tugas dari kantor pusat untuk merestrukturisasi kantor cabang di New York membuatnya harus berada di kota ingar-bingar itu selama dua bulan. Menemukan “Fugakyu”, sebuah restoran kecil di lantai lima sebuah gedung tak jauh dari pertigaan dengan 72nd Street di Midpark, adalah sebuah takdir-sebuah destiny-bagi Taka. Di sana ia menemukan Yuki. Ia tak mencari. Tetapi ia menemukannya. Dan ia tak pernah lagi melepaskan temuannya itu. Siang itu – seperti semua siang selama dua bulan terakhir – Taka selalu duduk di ruang yang sama. Memesan menu yang sama pula. Ia tak pernah menyia-nyiakan waktu untuk melihat daftar menu. Ia memanfaatkan setiap detiknya bersama Yuki untuk memandangi wajah bening yang tertunduk takzim di hadapannya. Taka tahu, setelah itu ia tak akan melihat Yuki lagi sampai saatnya meminta bon makan. Seorang pelayan lain akan membawakan minuman dan makanan, dan kemudian meninggalkan Taka sendiri menyelesaikan santap siangnya sendiri. Taka menepukkan kedua tangannya untuk memanggil bon makan. Dan seperti sebuah keniscayaan, sebentar lagi ia akan mendengar dekak-dekak geta yang dipakai Yuki mendekati pintu. Dan pintu sorong itu kemudian terkuak-hampir tanpa suara. Seperti semua perempuan Jepang, Yuki selalu berlutut sebelum membuka pintu. Ia membungkukkan badannya untuk menghormat sehingga hanya ubun-ubun dan rambutnya saja yang tampak oleh Taka. “Please come in, Snowflake,” kata Taka. Bahkan dalam menunduk seperti itu Taka bisa melihat wajah Yuki merona merah. Ah, betapa inginnya Taka menyentuh pipi selembut itu. “Kenapa Tuan selalu memanggilku Hablur Salju?” “Yuki dalam bahasa kita berarti Hablur Salju, bukan? Dan, sekali lagi, namaku bukan Tuan. Panggil aku Taka saja. Masataka! Semua orang sudah memanggilmu Yuki, hanya aku seorang yang memanggilmu Hablur Salju. Aku mau kau mengenangku dengan cara itu.” Yuki mengingsut masuk ke dalam ruang tatami, menyodorkan baki kecil dengan bon makan yang diminta Taka. Taka tak segera mengambilnya. Dipandanginya jari-jemari lembut Yuki berlama-lama. Jari-jemari itu begitu bersih dan terpelihara, putih, dengan buku-buku berwarna merah muda. Taka sedang kasmaran. Yuki memang cantik. Bening. Tetapi, bukan hal besar bernama kecantikan itu yang membuat Taka jatuh. Ia jatuh karena berbagai hal kecil yang dimiliki Yuki. Pipinya yang merona merah ketika tersipu. Buku-buku jari-jemarinya yang merah muda. Geliginya yang tak beraturan, tetapi menampilkan harmoni indah. Butir-butir keringat halus di puncak hidungnya. Taka meletakkan kartu kredit di atas baki kecil itu tanpa melihat bon makan yang disodorkan secara terbalik. Dan ia segera menyesali mengapa ia begitu cepat meletakkan kartu kredit itu. Ia masih ingin memandangi jari-jemari itu lebih lama lagi. Jari-jemari yang polos, tanpa sebentuk perhiasan pun. Kuku-kuku yang terawat rapi tanpa pewarna. Ah, alangkah inginnya Taka membawa jari-jemari lembut itu ke bibirnya dan mengecupnya. Ah, alangkah inginnya Taka membawa punggung tangan yang bening itu untuk mengelus pipinya. Yuki menghilang di balik pintu yang kemudian ditutup kembali. “Aku ingin menemuimu di taman pukul empat petang nanti, Snowflake. Di tempat yang sama.” Taka tahu, ia tak akan mendapat jawaban apa pun dari Yuki. Tetapi, ia juga tahu bahwa Yuki akan berada di taman, di seberang restoran, ketika suaminya tidur siang untuk mempersiapkan kerja restoran menerima tamu-tamu makan malam. Di sanalah Yuki melewatkan hampir setiap petangnya. Bersama burung-burung dara pada musim panas, dan bebek-bebek Kanada di musim dingin. “Ini hari terakhirku di New York. Besok pagi aku pulang ke Tokyo.” Yuki mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah Taka. Dibiarkannya Taka melihat wajahnya tanpa berkedip. Ah, air matakah yang dilihat Taka menggantung di sudut-sudut mata Yuki? Sosok di hadapannya itu tiba-tiba tampak seperti sebuah bidang transparan. Begitu beningnya sehingga pandangan Taka seolah bisa menembus permukaan kulit perempuan ringkih di hadapannya. Di dalam raga rapuh itu Taka melihat sebuah cinta. Sebuah cinta yang teramat besar! Dari bangku taman di Central Park itu, jendela-jendela restoran “Fugakyu” di Central Park West dapat terlihat dengan jelas. Tetapi, sebaliknya, dari jendela restoran, bangku taman itu tak kelihatan karena terlindung oleh daun-daun pohon willow di sisi kolam. Diperlukan teropong yang kuat untuk bisa mengenali sosok yang dikaburkan oleh daun-daun willow. Dan Osamu, suami Yuki, tak pernah mempunyai alasan untuk mengintai istrinya duduk di bangku itu dengan teropong. Di sanalah Taka melihat Yuki pertama kali. Seorang perempuan yang tampak rapuh karena tubuhnya yang teramat ramping. Seorang perempuan sendiri di bangku taman. Bukankah itu selalu merupakan pemandangan yang romantis? “Snowflake-chan, aku menyayangimu. Aku tak bisa hidup tanpa kamu,” kata Taka pada perjumpaan kedua belas di taman itu. Tangannya mengelus jari-jari lembut Hablur Salju yang tertumpang di tangannya yang lain. Yuki bergeming. Matanya menatap jauh ke arah puncak Belvedere Castle. Ia tak mengatakan apa-apa. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Dua butir air mata di sudut-sudut matanya yang bening adalah jawaban untuk pernyataan Taka. Mungkin! Mungkin sekali Yuki memang mempunyai perasaan cinta terhadap Taka. Ia hanya tak pernah mengatakannya. Ia terlalu menghargai ikatan perkawinannya dengan Osamu sehingga ia tak akan pernah mengatakan apa pun yang dapat mencederai ikatan suci itu. Kekecewaannya terhadap Osamu, kekecewaannya terhadap dirinya sendiri, tersimpan rapat dalam bilik hatinya. Yuki adalah perempuan Jepang yang selalu mampu menyublimasikan penderitaannya ke berbagai bentuk penampilan yang indah. Tetapi, Yuki juga tahu, hatinya bergetar keras setiap kali Taka mencuri-curi mengelus jari-jemarinya. Yuki juga tahu, betapa ia menggigil lemas setiap kali Taka mengecup pipinya sebelum meninggalkan Yuki di depan pintu restoran. Yuki kembali ke suaminya-dan pekerjaan rutinnya di restoran. Yuki tahu betapa kosong perasaannya setiap Taka pergi. Hatinya kembali beku ketika gelombang cahaya kehangatan itu mendadak lenyap dari sisinya. Dan Taka kembali ke kamar hotelnya. Membawa degup yang kian mengeras di dadanya. Jantungnya selalu berdegup kencang bila memikirkan Yuki. Rongga dadanya meluap dipenuhi kemewahan dan kemegahan cinta. Sebelum mengenal Yuki, kehidupan Taka begitu mudah dan tak bermasalah. Ia mempunyai seorang istri yang menyayanginya, dan seorang anak yang sudah berangkat dewasa. Sebuah kehidupan keluarga menengah ke atas yang nyaris tanpa pergumulan. Dengan kedudukannya yang tinggi di perusahaan besar itu, Taka bisa memberi keluarganya lebih dari rata-rata kesejahteraan warga Jepang. Selama ini Taka seperti hidup di sebuah menara gading yang tak tersentuh persoalan. Pekerjaannya aman. Kehidupan rumah tangganya tenteram. Lalu, sebuah perjumpaan innocent dalam perjalanan dinasnya membuat segalanya berubah bagi Taka. Taka seperti hidup dalam sebuah dunia yang sama sekali baru. Sebuah dunia baru yang penuh rona. Sebuah dunia baru yang penuh rasa bahagia. Taka merasa seperti terlontar ke dalam lorong waktu dan kembali ke masa remajanya. Ah, betapa indahnya perasaan Taka setiap kali ia berjalan bergegas menuju tempatnya makan siang di “Fugakyu”. Ia berjalan ke ruang tatami yang seolah-olah sudah menjadi miliknya karena ia selalu memakai tempat itu setiap jam makan siang. Dekak-dekak cepat suara geta Yuki mengikutinya dari belakang. Dengan kimono yang dipakainya, langkah-langkah Yuki menjadi lebih pendek. Malam telah lama menggantikan petang. Taka masih memandang lurus-lurus ke arah jendela “Fugakyu”. Ketika akhirnya lampu-lampu di balik jendela itu padam karena restoran sudah tutup, diam-diam Taka mengharap Yuki justru sedang hadir di jendela itu untuk memandanginya. Hablur Salju, aku menyayangimu! Aku tak bisa hidup tanpa kamu. Taka mendengar suaranya sendiri menjerit di relung kalbunya. Matanya menatap lurus-lurus ke arah jendela “Fugakyu”. Tidak. Ia tidak melihat bayangan Yuki di sana. Yuki tidak menampakkan dirinya di sana untuk mengucapkan selamat jalan kepada Taka. Dan Taka kehilangan keberanian untuk mengetuk pintu restoran itu. Ah, alangkah berbahayanya musim semi. Ketika bunga-bunga bermekaran, hati manusia pun menjadi bunga, dan menjadi lahan subur untuk menumbuhkan cinta. Taka berdiri dari duduknya. Ia mengecup kedua tangannya dan melambaikan kecupan itu ke arah jendela itu. “Kau tak akan pergi dari hatiku, Hablur Salju. Aku telah memerangkapmu di sana. Dan kau tak akan pernah bisa pergi dari sana,” kata Taka dalam hati. Langit bertabur bintang. Biru yang kelam menyungkup semesta. Taka memandangi bulatan bundar di langit. Ia bahkan sudah tidak tahu lagi, apakah itu rembulan atau matahari. Hatinya kosong. Otaknya kosong. Taka tak ingin merasakan apa-apa lagi. Ia tak ingin berpikir apa-apa lagi. Pikiran tentang masa depan tanpa Yuki hanya membuatnya merujit pilu. Ada gumpalan tercekat di tenggorokannya. Bulu kuduk Taka meremang. Gelombang hawa dingin tiba-tiba muncul dalam tubuhnya. Ia tak kuasa menahan tubuhnya terguncang-guncang dalam isakan tangis yang datang begitu saja. Dari jauh ia mendengar suara tapak-tapak kaki kuda penarik kereta mengelilingi Central Park. Seperti dekak-dekak suara geta yang dipakai Yuki di restoran. Di tepi Sungai Sarawak, Juli 2004 yuki = salju, kristal salju, hablur salju, juga berarti kekuatan chan = panggilan sayang geta = bakiak/kelompen kayu khas Jepang
""Petang Panjang di Central Park""
Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota tampak gamang disepuh cahaya. Orang-orang panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung- gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya rontok sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga. Tepat ketika kereta bergerak di tepi kepanikan itu, aku terbangun. Ini mimpi paling buruk yang pernah kualami di saat- saat pergantian hari. Saat itu juga kuputuskan pergi ke stasiun. Senja yang baru saja tumbuh terus bergerak melewati gedung-gedung yang menjulang. Aku mulai mencemaskan Rhea dan anak-anak. Beberapa waktu lalu mereka kulepas di stasiun. Sampai kereta menghilang di sebuah tikungan yang mengantarkan mereka menuju sebuah kota aku belum juga beranjak. Senja terasa aneh. Angin seperti menampar-nampar pucuk cemara yang tumbuh di taman sebuah tugu dekat stasiun. Dalam waktu yang tak lama, daun-daun dan kertas-kertas bekas beterbangan sebelum akhirnya terhempas membentur- bentur pilar stasiun. Beberapa pedagang kaki lima yang tadinya terkantuk-kantuk menjerit karena dagangannya berhamburan. Ada yang tak biasa terjadi malam ini. Aku putuskan menunggu beberapa jam. Tetapi sampai jam kota berdentang sembilan kali tidak terjadi apa-apa, kecuali orang-orang yang bergegas pergi atau kembali dari suatu tempat yang jauh. Esok paginya lewat SMS Rhea berkabar, kakek dan nenek sudah menunggu di stasiun. Lama tak kubalas SMS itu. Tak biasa ayah dan ibu ikut-ikutan menjemput cucu-cucunya sepagi itu. Kukatakan kepada Rhea, mestinya ayah dan ibu jangan diperkenankan ikut menjemput. Tapi menurut Phuja, adik iparku, ayah dan ibu memaksa pergi ke stasiun. Katanya mereka tidak sekadar ingin menjemput, tetapi kebetulan hari itu ulang tahun perkawinan mereka yang ke-40. “Mengapa harus ke stasiun?” kataku kepada Rhea lewat telepon kemudian. “Lho ayah dan ibu itu ingin mengenangkan pertemuan mereka terjadi justru di stasiun ini, pagi lagi. Waktu itu ayah masih kuliah di Jakarta, pas pulang kampung eh ibu yang masih sepupu itu ikut- ikutan menjemput. Jadi, menjemput buat mereka itu peristiwa istimewa lho… Sayang kamu tak turut serta ya. Pasti perayaan ini menjadi lebih meriah….” “Kan sudah kubilang tak bisa meninggalkan pekerjaan.” Aku agak tenang setelah mendengar penuturan Rhea. Setidaknya sampai aku diganggu mimpi di senja hari itu, tak pernah kucemaskan akan terjadi sesuatu pada mereka. Aku yakin pastilah setiap saat Rhea bisa berkabar, terutama tentang keadaan anak-anak kami. Apalagi ada ayah dan ibu, yang sudah pasti sangat gembira kedatangan cucu-cucu mereka dari kota yang jauh. Aku tak pernah berpikiran ini perilaku aneh. Sejak diganggu mimpi di senja yang gamang, aku setiap hari pergi ke stasiun. Tak ada alasan yang bisa kujelaskan kepadamu karena aku sendiri pun tak bisa merumuskan dengan terang: mengapa aku tiba-tiba harus berada di stasiun setiap senja tiba. Sepulang kerja aku turut larut dalam kerumunan orang-orang yang bergegas- gegas seakan ada sesuatu yang penting sedang menunggu. Ketika tubuh-tubuh mereka ditelan gerbong yang sesak, aku hanya duduk di sebuah kursi seolah sedang menunggu sesuatu yang istimewa. Seorang perempuan tua tampak tergencet di antara para lelaki yang berdiri sembari merokok. Orang-orang lain mengipas- ngipas koran untuk mengusir asap rokok yang mengepul. Seorang perempuan bercelana jeans ketat dan t-shirt putih tampak sibuk dengan telepon genggamnya. Ah, ini pemandangan yang biasa di kota seperti Jakarta. Orang-orang terbiasa memencet-mencet tombol handphone di sembarang tempat sehingga mereka seperti asing berada di antara orang lain. Aku sering membahasakan ini di lingkungan kantorku dengan mengatakan, orang-orang yang berada di tempat tetapi tidak berada di tempat. Kedengarannya rada filosofis, bukan? Tetapi itulah kenyataan manusia modern sekarang. Mereka boleh hadir di antara kita, tetapi sedang berbicara dengan seseorang lain yang berada di suatu tempat. Lalu, apa makna kehadiran kalau begitu? Aku sedang mempertanyakan diriku. Sebagaimana telah kau tahu, aku sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba kehadiranku di stasiun ini akhirnya menjadi keharusan. Dan kemudian bergegas pulang setelah hampir seluruh kereta berangkat. Padahal, Rhea lewat SMS sudah bilang ia kira-kira akan pulang menjelang liburan anak-anak usai. Katanya, mungkin sekitar akhir bulan ini. Sekarang baru tanggal 15, artinya ia akan berada di kota itu sekitar dua minggu lagi. Karena itu tidak ada alasan kalau aku mencemaskan keberadaannya. Kalau misalnya sebuah kereta mengalami kecelakaan, sebagaimana cerita dalam mimpiku itu, pastilah Rhea dan anak-anak tidak ada di dalamnya. Pada hari berikut ketika aku duduk di kursi yang sama lalu mengamati kereta- kereta yang datang dan pergi, senja menjadi semakin aneh. Pelan-pelan perangainya seperti berubah menjadi semacam gua waktu yang dengan rakus menelan hari. Aku tak pernah tahu, apakah kereta yang pergi akan tiba di suatu tempat dan orang-orang bergegas seperti mesin. Apakah juga kereta-kereta akan datang setelah mengunjungi kota-kota yang jauh dari jangkauan pikiranku dan orang- orang seperti dimuntahkan dari mulut gerbong, bergegas dan bergegas. Kesibukan mereka seperti sebuah lingkaran yang samar-samar. Belum tentu mereka yang pergi dan datang adalah orang-orang yang sama. Barangkali sebagian di antaranya telah menyinggahi kota-kota yang asing dan memutuskan untuk menetap. Kepergian bisa berarti pula tak pernah kembali. Tetapi, sebaliknya kedatangan bisa dipastikan akan berakhir lagi dengan kepergian. Pergi ke suatu tempat yang entah, sebagaimana aku tak pernah tahu ke mana tujuan orang-orang yang bergegas itu. Pada sebuah senja yang buram, seseorang yang sudah lama tidak pernah kujumpai tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Setelah berpelukan, sebagai basa-basi ia mengatakan akan pergi menengok keluarganya yang tinggal di kota lain. Ketika ia bertanya kepadaku apakah sedang menunggu seseorang, cepat-cepat kujawab, “Aku sedang menunggu istriku.” “Ooh sedang liburan rupanya?” “Ya, kebetulan menengok orangtuanya di kampung.” “Aneh ya kita tinggal di kota yang sama, tapi hampir tidak pernah bertemu,” kata dia sembari mengerutkan alisnya. Saat-saat ia mengucapkan itu, tiba-tiba kulihat ada lubang hitam di keningnya. Dan dari lubang itu keluar suara dengung yang menusuk genderang telingaku. “Kenapa tiba-tiba kau menutup telinga?” tanyanya. “Ah, aku paling tidak tahan mendengar derit roda kereta…,” kataku mencari alasan. Untung saja ia cepat-cepat menyadari kalau kereta yang akan membawanya ke sebuah kota segera berangkat. “Eehh, sampai ketemu lagi. Ini kartu namaku…,” katanya. Sebelum meloncat ke dalam gerbong, ia sempat melemparkan sebuah kartu nama berwarna kelabu. Aku tak begitu memerhatikannya, langsung saja kumasukkan ke dalam saku baju. Sore berikut aku lihat begitu banyak polisi di stasiun. Mereka bahkan tampak sangat sibuk memeriksa orang-orang yang naik ke atas gerbong. Secara bisik- bisik kudengar kemarin malam terjadi perampokan bersenjata api di atas gerbong kereta. Cepat-cepat kupanggil penjual koran. Setelah yakin akan koran yang kupilih, sebuah koran kota yang dipenuhi berita-berita kriminal, aku duduk di kursi di mana biasa aku menunggu. Ini sebuah kebetulan atau bukan, kawanku yang sampai kulihat gambarnya di koran itu belum kuingat namanya roboh bersimbah darah di dalam sebuah gerbong. Ialah kawan yang kemarin sore sepintas bercakap denganku lalu melemparkan kartu namanya. Cepat-cepat kuperiksa saku baju. Dengan tangan gemetar kubaca Sam Kapoor, kawanku yang malang itu, memiliki toko bahan-bahan tekstil di satu kawasan di kota ini. Barangkali ketika perampokan itu terjadi ia berangkat menagih piutang ke sebuah kota lain kepada para pelanggannya. Ah, aku tiba-tiba merasa lelah. Kulorotkan tubuh untuk kemudian mengambil posisi terlentang di sebuah bangku panjang. Stasiun mulai tampak sepi. Kereta itu lagi-lagi bergerak di tepi senja. Lanskap kota tampak rembang disiram cahaya. Orang-orang panik, berlari tak tentu arah, seperti baru saja terjadi sebuah ledakan dahsyat di sini. Tiba-tiba membayang wajah Rhea dan anak-anak tersekap dalam sebuah gerbong yang gosong…. “Aahhh, Tuhan, aku tidak sedang ingin pembuktian…!!” Seorang polisi tiba-tiba memegang pundakku. “Saudara sedang apa di sini?” tanyanya. Dengan gugup karena mimpi sialan tadi kujawab, “Saya sedang menunggu istri dan anak-anak, Pak? Ah maaf apakah tadi saya bermimpi?” “Saya tidak tahu. Mimpi bukan urusan saya.” “Apakah masih ada kereta yang akan tiba?” “Kereta terakhir sudah tiba setengah jam yang lalu.” “Apakah istri dan anak-anak saya sudah tiba?” “Itu urusan Saudara. Mungkin mereka sudah pulang.” “Kalau begitu alangkah bodohnya saya.” “Sudah beberapa hari ini Saudara tidur di sini. Dan, kami mencurigai Saudara salah satu anggota komplotan perampok itu.” “Bagaimana mungkin orang yang tertidur dituduh komplotan rampok.” “Ah, Saudara jelaskan saja nanti di kantor. Ikut kami….” Dua orang polisi lainnya tiba-tiba nongol dari balik pilar-pilar stasiun. Rupanya mereka sejak beberapa hari ini menguntitku. Berbagai kejadian perampokan di atas gerbong memang telah diberitakan koran kota. Di kantor polisi aku disodori gambar-gambar para korban perampokan yang selalu tergeletak dengan kening berlubang karena tembusan peluru. “Apakah Saudara yang menembak perempuan ini?” tanya seorang polisi yang lain. Kuperhatikan seorang perempuan dengan celana jeans ketat dan t-shirt putih tergeletak di lantai gerbong. “Apakah juga Saudara menembak yang ini?” Polisi itu melemparkan foto wajah seorang lelaki yang kuingat selalu mengepulkan asap rokoknya di dalam gerbong. “Ayo jawab, sebelum kami bertindak kasar!” bentak polisi. “Apakah tampang saya terlihat seperti perampok?” Aku memberanikan diri bertanya. “Kami yang bertanya. Saudara hanya dibolehkan menjawab, tahu!” “Pasti bukan saya Pak. Tetapi, kalau saya menjelaskan sesuatu pasti bapak-bapak tidak akan percaya,” kataku. “Kami membutuhkan pengakuan, bukan penjelasan!” “Kalau itu, bukan saya pelakunya Pak. Saya hanya datang ke stasiun untuk menjemput istri dan anak-anak. Itu saja.” “Apakah Saudara menembak orang- orang ini?” desak seorang polisi yang lain. “Bagaimana saya menembak, pistol pun tak punya.” “Saudara minta orang lain.” “Atas kepentingan apa?” “Ini kasus perampokan, Saudara! Jangan berbelit-belit.” Seseorang yang bertampang kalem masuk ke ruangan. Setelah beberapa saat tak bicara, lalu ia meminta para polisi itu melepaskan aku. Justru di saat telah terbebas dari tangan para polisi itu, aku merasa berkewajiban menceritakan sesuatu. “Sebelum dirampok kebetulan orang-orang itu saya lihat di dalam gerbong, dan di kening mereka terlihat lubang hitam tembus sampai ke kepala bagian belakang,” kataku meyakinkan. Aku belum sempat menceritakan mimpiku tentang kereta di batas senja dengan orang-orang yang panik, polisi itu memotong, “Ah itu tak menjelaskan apa pun. Pasti banyak yang melihat mereka sebelum dirampok. Sudah silakan Saudara pulang.” Aku tidak datang ke stasiun selama beberapa hari. Sampai Rhea memberi tahu ia dan anak-anak akan pulang dalam beberapa hari ini, aku tidak bercerita tentang interogasi polisi. Kalau kuceritakan kebiasaanku mendatangi stasiun saban senja, pastilah tak masuk di akal Rhea. Ia perempuan yang sangat rasional. Tak bakalan menerima alasan-alasan seperti firasat atau semacam kecemasan, apalagi mimpi. Baginya semua harus masuk akal. Kalau aku pergi ke stasiun, haruslah untuk mengantar atau menjemput seseorang, bukan sekadar menyaksikan orang-orang yang datang dan pergi. Padahal, sekarang justru mengantar dan menjemput itulah yang sedang menjadi persoalan bagiku. Aku merasa sedang berhadapan dengan ambang batas yang samar-samar. Seperti senja yang menganga menelan hari. Kita tak tahu apakah esok akan ada kehidupan lagi. Jangan-jangan senja telah memerangkap kita ke dalam labirin-labirin hari. Maka itu orang-orang terus bergegas, hanya karena mereka merasa dikejar waktu. Padahal, sebagian di antaranya akan tersesat dalam lingkaran yang mengembalikan mereka ke waktu, ruang, dan tempat yang sama. Sebagian lagi mungkin menghilang di ujung rel ditelan kabut. Aku tidak ingin menjadi bagian dari kehilangan itu. Aku merasa mengantar dan menjemput menjadi sesuatu yang selalu berujung dengan keperihan. Apakah orang-orang yang kita antar dan jemput akan tiba di stasiun? Derit kereta menjadi semacam sembilu yang menyayat tubuh hari. Dan kita tak tahu untuk apa ada di sini dan untuk apa kita pergi. Stasiun di mana sekarang aku menunggu terasa lengang dan dingin. Ini tak biasa. Ketibaan seperti gambar-gambar kabur dari masa lalu, menderit-derit ke tepi malam. Rhea berkabar ia bersama anak-anak akan tiba dengan kereta senja hari ini. Seorang petugas mengatakan kalau tidak ada hambatan kereta akan tiba sekitar pukul 18.15 petang hari. Ketika kutanyakan apa maksudnya dengan tak ada hambatan itu, sembari bergegas ia menjawab, “Sekarang banyak kendaraan nyelonong memotong rel.” Aku ingat pekan lalu kecelakaan menimpa sebuah mobil pick-up yang mengangkut rombongan keluarga pengantin. Ketika mobil melintas rel yang tak berpalang pintu, tiba-tiba sebuah kereta menyeretnya sampai beberapa meter. Seluruh penumpangnya tewas. Barangkali bagi petugas tadi berita horor itu menjadi berita biasa. Sebuah peristiwa yang tak mampu lagi mengugah rasa ngeri-nya. Karena waktu tiba masih cukup lama, kuputuskan menyelonjorkan tubuhku di bangku panjang. Persis seperti ketika aku digiring ke kantor polisi beberapa hari lalu. Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota remang-remang oleh jatuhan cahaya. Orang-orang panik, berlarian di antara kaca-kaca gedung yang rontok. Dan lagi-lagi jendela-jendela yang hangus seperti mulut-mulut raksasa yang mengaum… Baru saja sebuah ledakan dahsyat meluluhlantakkan kota. Suara loudspeaker yang mengabarkan penundaan kedatangan kereta mengagetkan aku. Katanya, karena ada kejadian yang tidak terduga di tepi sebuah kota kecil, kedatangan seluruh kereta dari arah selatan terpaksa tertunda. Dengan tergesa-gesa aku mendatangi counter informasi. Rupanya sejak tadi orang-orang sudah berkerumun. Samar-samar di dekat pilar stasiun beberapa orang bercakap tentang sebuah kecelakaan yang menimpa kereta senja dari arah selatan. Sementara petugas informasi hanya memberi tahu seluruh kedatangan kereta dari jalur selatan ditunda. “Jalur sedang dibersihkan, Pak. Harap sabar, tunggu saja kabar berikutnya,” kata petugas perempuan yang tampak ogah-ogahan bekerja. “Apa yang sedang terjadi? Tolong beri tahu saya,” pintaku. “Bukan kewenangan saya untuk memberi tahu,” kata perempuan itu ketus. “Ini menyangkut kepastian orang- orang yang saya cintai. Anda masih saja bisa bermain-main!” bentakku. Bentakan itu rupanya mengalihkan semua pandangan orang. Mereka semua mendekat lalu berteriak-teriak minta petugas segera memberi tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Seorang lelaki yang berkacamata hitam bahkan menggedor-gedor loket. Beberapa kaca terdengar mulai pecah. Aku diam-diam menyelinap ke belakang karena tidak ingin dicap sebagai pemimpin keributan ini. Aku lihat petugas informasi mulai panik. Mereka tak tahu mesti menjelaskan apa kepada orang-orang yang mulai kalap ini. Tiba-tiba seseorang yang mengaku kepala polisi berbicara lewat pengeras suara. “Saudara-saudara harap tenang. Tenang dulu, kami akan segera informasikan tentang kecelakaan yang menimpa kereta senja dari arah selatan beberapa waktu lalu….” Kakiku tiba-tiba terasa lemas. “Baru saja kami dapat kabar satu gerbong kereta Mahabaratha Ekspres yang berangkat tadi pagi mengalami kebakaran. Sementara belum diketahui jumlah korbannya…. Harap Saudara-saudara tenang menunggu pemberitahuan selanjutnya. Sekian dan terima kasih,” kata kepala polisi itu. Secepat kilat kupencet tombol-tombol handphone untuk menghubungi Rhea. Tetapi, teleponnya tidak bisa dihubungi. Berkali-kali hanya terdengar suara Rhea dalam mailbox yang minta ditinggali pesan. Sebentar lagi senja berlari meninggalkan jejak-jejak gelap. Bayangan mimpi yang akhir-akhir ini selalu datang ketika aku tidak dalam keadaan siap hilang-muncul di kaca-kaca buram stasiun. Setengah putus asa kulemparkan tubuhku di kursi tunggu. Inilah mungkin saatnya melihat mimpi perlahan merembes menjadi kenyataan. Kenyataan yang tentu saja jauh dari harapanku. Aku cemas memikirkan nasib Rhea dan anak-anak. Merekalah yang selama ini membuat hidupku jadi penuh warna. Aku tak bisa memikirkan apa yang terjadi dengan hidupku esok hari jika benar-benar kehilangan mereka. Aku khawatir pengalamanku melihat orang-orang yang berlubang keningnya itu terulang pada mereka. Tuhan, kataku dalam hati, aku tidak sedang ingin pembuktian atas kebenaran yang Kau sodorkan kepadaku. Di tengah rasa cemas dan temaran lampu-lampu stasiun, tiba-tiba sebuah SMS masuk. Katanya, “Ayah, kami tak jadi pulang hari ini. Kakek tiba-tiba sakit. Ayah baik-baik, kan? Dari Rheda.” Dengan sangat terburu-buru aku menelepon mereka. Anak sulungku bilang, kakeknya kini sedang dirawat di rumah sakit karena stroke. Jakarta, September 2004
""Kereta Senja""
Satu dua langkah ia berjalan mondar-mandir di depan jendela. Di luar gerimis turun perlahan mengusapkan kabut ke kaca. Sesekali ia menoleh ke kartu undangan kawin yang bertaburan di atas meja dan kemudian ia duduk menghadap meja dan membolak-balik kartu-kartu undangan itu. Bermacam-macam bentuk kartu itu, ada yang berlipat dua, tiga, dan ada pula yang hanya satu halaman saja. Sampulnya aneka ragam berlukisan dua ekor burung, ada yang gambar calon pengantin, ada pula yang bermotif kain batik dan rumah adat dan pakaian adat. Menarik dan indah. Berulang-ulang ia membaca kata-kata yang tertera di dalam kartu undangan itu, di dalamnya terdapat kata-kata yang manis, kutipan dari Kitab Suci, nama yang dihiasi dengan gelar-gelar, teks yang berbahasa Inggris, Indonesia, dan daerah. Kata, kalimat, huruf, merupakan pilihan yang indah, sangat sopan, dan sarat dengan kata klise. Telah lama ia mengimpikan kartu undangan seperti itu, impian untuk membuatnya, bukan sekadar menerima. Suatu kali ia mengeluh kepada seorang kawannya, “Ah, hidup ini tidak adil. Dalam usia setengah abad ini saya belum pernah mengedarkan undangan, hanya menerima saja. Rasanya, semakin banyak utang saya.” Kawannya tersenyum dan berkata, “Segala sesuatu ada waktunya, sabarlah.” “Mereka sudah besar-besar semua. Sudah ada yang tamat dari perguruan tinggi. Tetapi mengapa mereka belum menemukan jodoh?” “Jodoh dari Tuhan,” sambung kawannya. “Selalu begitu. Kata-kata itu selalu menggema dari waktu ke waktu. Dari setiap mulut orang. Meluncur begitu saja. Apa tidak ada kata yang lain?” Dialog terhenti di situ. Kawannya tidak berani melanjutkan karena ia takut tersinggung. Setiap orangtua ingin anak-anaknya menikah setelah dewasa, apalagi sudah mulai berumur. Barangkali itu naluri. Naluri yang menjadi obsesi setiap keluarga. Sekarang, ia memilih-milih undangan mana yang paling menarik, paling cantik, dan paling mengesankan. Tidak tampak seragam. Hatinya ingin sedikit berbeda dan hendak menciptakan sesuatu yang sederhana namun lain daripada yang lain. Ada bahasa daerahnya, ada bahasa Indonesia, dan tentu saja ada bahasa Inggrisnya. Bukankah pernikahan putrinya akan dilangsungkan di Los Angeles? Sejak istrinya menunjukkan surat pendek itu kepadanya, hatinya selalu bersyukur, seperti mendapat durian runtuh. Ada sebuah tembok yang runtuh dari dalam dirinya, tembok yang memisahkannya dari masa depan. Dan ke depan, masa depan itu sudah terbuka lebar. Orang-orang tidak akan mencemoohnya lagi, kapan ia akan memberikan undangan karena putra putrinya sudah dewasa dan tamat dari berbagai perguruan tinggi. Dadanya merasa lapang seakan-akan oksigen mengalir dengan lancar, sejuk dan nyaman. Dari balik kaca meja itu ia mengambil surat pendek dari putrinya. “Ibu dan Bapa yang kusayangi. Kami berniat menikah tiga bulan di depan. Kami mengharapkan kehadiran Ibu dan Bapa. Tiket akan kami kirimkan dengan segera. Kami akan sangat berbahagia kalau Bapa dan Ibu merestui pernikahan kami. Salam dari ananda, putrimu.” Pertama kali menerima surat itu ia bertanya kepada istrinya, “Anak kita mau kawin dengan siapa?” Istrinya menjawab, “Dengan orang kita juga.” “Marga apa?” “Ah, pusing amat dengan segala marga. Asal jangan dengan bule saja!” “Apa salahnya dengan bule?” tanyanya. “Ya, hilang dong!” jawab istrinya. “Budaya saja sudah menjauhkan kita.” “O, begitu.” “Ah, bapa ini bagaimana. Kita harus mensyukurinya.” Ia perhatikan istrinya sudah mulai sibuk bertanya ke sana ke mari, bagaimana cara mengadakan pesta pernikahan. Apa-apa saja yang harus disediakan. Berulang-ulang ia membaca surat putrinya. Surat singkat yang sarat dengan harapan hidupnya selama ini. Sekalipun surat itu pendek, itu sangat membahagiakannya. Rasa sunyi selama ini berangsur meredup, bunga-bunga harapan mulai menguncup. Kerinduan untuk memomong cucu sudah lama dipendamnya. Kini harapan itu mulai berbunga-bunga. Orang yang lebih muda dari dia sudah memiliki beberapa cucu, dia belum. Tiap kali orang menanyakan kepadanya kapan akan memiliki cucu, selalu dijawabnya dengan jawaban menghindar, “Akan ada waktunya.” Padahal pertanyaan itu sebenarnya amat menggusarkan hatinya. Selama ini ia senang berkumpul dengan anak-anaknya yang lima orang. Senang melihat mereka semua sehat-sehat dan berambisi mau ini dan itu. Tetapi tiap kali ia menanyakan kepada mereka kapan membentuk keluarga sendiri, selalu dijawab, “Ah, Bapa ini rupanya sudah bosan melihat kami.” Hal ini pun membuatnya merasa sunyi dan lebih banyak berdiam diri soal itu. Lagi pula, sejak mereka belajar di perguruan tinggi dan di luar negeri, ia dan istrinya kembali ke dalam suasana sunyi dari hiruk-pikuk anak-anak. Kembali berdua sejak menikah tiga puluh tahun yang lalu. Benteng kesunyian itu semakin mendalam ketika istrinya ikut anaknya ke Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Hanya untuk “menjaga” dan memberi kemungkinan “masa depan” anaknya, harus meninggalkannya, seorang diri di rumah, di Tanah Air. Adapun ketika ia menyusulnya, dan tinggal di sana setengah tahun, itu tidak membuat benteng kesunyian itu runtuh atau retak karena ia pun mengingat anak-anaknya yang lain yang tinggal di Tanah Air. Ia kembali seorang diri karena istrinya berharap putrinya tamat dan ada yang melamarnya. Ketika saat penantian itu berlalu, istrinya kembali dan tinggallah mereka berdua di rumah. Hanya ketika musim libur, anak-anak kembali ke rumah. BAGI yang menikah, perkawinan adalah sebuah tujuan untuk mencari kebahagiaan, memenuhi kodrat sebagai manusia, yang sukar dihindari. Pikiran mereka tertuju kepada hari yang penuh kebahagiaan itu, yang harus diawali dengan upacara sakral sesuai dengan keyakinan, bahwa manusia sesungguhnya menuruti petunjuk Tuhan. Manusia mewarnai jalan menuju upacara ini dengan hal-hal yang rinci, sarat dengan emosi, dan terikat kepada norma, kaidah, dan rambu-rambu lintas budaya yang sukar dilalui. Sejumlah aturan yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan tujuan pernikahan itu muncul ke permukaan, lalu syarat-syarat tertentu saling melengkapi dan harus dipenuhi. Tanpa itu, jangan harapkan pernikahan akan berjalan dengan lancar. Kecuali kedua hati yang muda itu, dengan berani menempuh jalur-jalur jalan berduri dengan “kawin lari” dan yang lain-lain tidak dipedulikan, sekalipun jalan itu membuat rasa malu kepada ayah dan ibunya-karena ayah dan ibunya mengingkari utang yang selama ini mereka terima melalui undangan-undangan dari kenalan-yang tidak “terbayar” olehnya. Seperangkat pakaian adat dan undangan tercetak dalam tiga bahasa sudah disiapkannya dan dimasukkan ke dalam koper. Ia tidak mau kehilangan momentum yang sangat ditunggu-tunggunya itu. Apa pun biaya dan risikonya, ia mau supaya perhelatan ini sukses. Sukses untuk anak pertama adalah awal yang baik untuk sukses bagi anak-anak berikutnya. Menurut calon besannya, “adat penuh” pun akan dilakukan, sekalipun itu di negeri asing. Adat baginya, adalah bayang-bayang dirinya, sekalipun ia sendiri benci bayang-bayang, yang selama ini jarang diperhatikannya karena Matahari kota membuatnya jarang berjalan di panas terik-dan selalu berada di atas kendaraan pribadi maupun umum. Adat, adalah bagaikan sebuah topi yang harus dikenakan ketika Matahari menggigit ubun-ubun. Manusia yang terlahir di dalam lingkup adat sukar melepaskan diri dari simbol-simbolnya walaupun itu harus dibayar dengan harga mahal. Perkawinan memang sangat bersifat privasi, tetapi melibatkan komunitas dari rumpun marga yang berbeda. Lalu lahirlah pelangi keluarga. Itukah kebahagiaan itu? Akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa kebahagiaan harus dibayar dengan harga yang mahal! Upacara adat yang melelahkan berlangsung di Los Angeles (LA) di rumah kerabat dekat yang merelakan tempat, waktu, dan simpati maupun empati, sesuatu yang sangat sulit diperoleh di LA. Ia harus mengorbankan kamar tidur anak-anaknya demi menampung orang-orang yang menghadiri upacara adat sebelum pesta pernikahan itu sendiri dilakukan. Betapa pun singkatnya, betapa pun mereka itu berpikir praktis, toh upacara itu melelahkan. Tapi itu baru pendahuluan. Sesudah resepsi, masih dilanjutkan dengan “adat penuh” yang membuat orang-orang asing tercengang dan geleng-geleng kepala. Mungkin bagi mereka, jenis upacara itu sebuah hal yang amat mistis dan magis. Penuh dengan simbol dan retorika yang sarat repetisi. Protokol pada upacara pernikahan menguraikan acara pernikahan dengan bahasa Inggris yang transparan bagi kuping orang Timur. Barangkali bagi kuping penduduk pribumi alias bule yang banyak juga hadir pada upacara pernikahan, bahasa Inggris yang demikian adalah bunyi simfoni dialek karena sesekali diselingi dengan pepatah-petitih bahasa leluhur. Mereka mengangguk-angguk, mungkin tanda kagum. Usai resepsi, upacara adat berlangsung. Kata-kata indah berhamburan dari bibir-bibir yang berbahasa ibu. Tampaknya pengucap kata itu sendiri “hanyut” dalam emosi, mungkin sekali ia rindu tanah air karena suaranya gemetar menimbulkan rasa haru. Uang-uang rupiah berbaur dengan uang dollar. Orang-orang menari dan menari. Ada band yang mengiringi dengan lagu-lagu syahdu, dalam bahasa ibu yang membuat orang-orang Amerika, Filipina, dan China larut dalam mimpi oriental yang magis dan sunyi. Lagu-lagu cinta dalam bahasa ibu dan sesekali lagu cinta dalam bahasa Inggris. Ayah pengantin perempuan yang paling berbahagia. Ia tersenyum terus menerima salam dari hadirin. Lunaslah sudah utang-undangan-pernikahan yang selama ini selalu diterimanya. Riak-riak kegembiraan yang muncul di wajahnya menandakan sunyi hati yang selama ini terpendam, pudarlah sudah. Ia berharap, beberapa tahun mendatang seorang cucu telah dapat ditimang-timangnya. Beberapa bulan sesudah pernikahan putrinya yang pertama, ia mendengar kejutan baru dari istrinya. “Kudengar dari putri kita, mereka tidak ingin cepat-cepat punya anak. Mereka belum siap karena penghasilan mereka belum memadai. Lagi pula, kata mereka, biaya merawat seorang anak cukup mahal. Kalau mereka punya anak, mereka akan keluar dari apartemen ini. Apartemen ini khusus bagi penghuni yang belum punya anak.” “Bukankah Tuhan akan mencukupkan keperluan hidup mereka? Kalau perlu, kau tinggal di sini dulu, untuk menjaga dan merawat anak mereka,” jawabnya. “Justru mereka tidak mau merepotkan orangtua, dan tidak mau direpotkan orangtua,” katanya. “Maksudmu?” “Mengurus anak itu tidak gampang, Pak. Mantu kita harus bekerja siang hari, putri kita juga. Nanti kalau ada anak, mereka terpaksa harus cari pekerjaan siang dan malam, silih berganti supaya dapat menjaga anak. Untuk itu, mereka belum siap. Begitu menurut mereka.” Ia manggut-manggut. Harapan yang sudah mulai berbunga-bunga beberapa bulan lalu mulai melayu. Belum membentuk arah pembuahan. Hanya bunga-bunga yang menguncup dan kemudian melayu dan redup, gugur ke tanah. Berbulan-bulan tembok kesunyian mulai terbangun di dalam dirinya. Ia jarang bertemu dengan orang. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Anak dan mantunya, kalau sudah pulang kerja-yang kadang-kadang larut senja karena lembur-langsung tidur dan pagi-pagi sekali sudah bangun dan berangkat ke tempat kerja. Tidak ada lagi kunjungan ke taman hiburan semisal Disneyland atau Hollywood. Hanya sesekali ke pantai LA atau pertemuan singkat ibadah di gereja. Hidup menjadi monoton antara bangun tidur, makan, nonton TV, jalan-jalan di sekitar rumah. Siklus yang sangat menjemukan. Setelah lima bulan di LA, kejutan baru muncul dari istrinya. “Pak, anak kita menanyakan kapan kita akan kembali.” “Oh ya?” jawabnya. Memang pikiran itu pernah timbul di dalam benaknya. Ketika pertanyaan muncul dari bibir anaknya sendiri, maknanya menjadi lain. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ini karena putrinya dapat mengajuk pikirannya ataukah ungkapan atas rasa ketidaksetujuannya atas kehadiran mereka di sana? Apakah mereka menjadi beban bagi anak dan mantunya? Ia tidak menjawab istrinya. Tidak juga timbul niat di dalam dirinya untuk bertanya kepada putrinya. Takut kalau-kalau begitulah kenyataan yang sebenarnya. Ia takut menghadapi kenyataan seperti itu. Pikiran yang muncul dalam benaknya ialah, pernikahan itu sudah berlangsung. Rumah tangga anaknya sudah terbentuk. Barangkali tugas mereka sudah selesai sampai di situ. Selebihnya, adalah kerisauan dan gangguan-gangguan hati nurani tidak pantas ditanyakan. Ia ingat burung-burung. Burung yang sudah layak terbang, ya, membentuk sarangnya sendiri. Burung itu sudah menjadi masyarakat burung, tak lagi bergantung kepada induknya. Kita tidak tahu apakah anak burung mengucapkan terima kasih kepada induknya karena telah memeliharanya. Kita juga tidak tahu apakah induknya pernah merasa kecewa. Pada suatu tengah malam, ketika ia terbangun, ia membangunkan istrinya. “Besok kita berangkat pulang,” katanya. Istrinya mengusap-usap matanya dan kemudian berkata, “Apakah saya bermimpi?” “Tidak,” jawabnya, “Kau tidak bermimpi.” “Oh ya? Apa kaubilang tadi?” “Besok kita pulang. Anak-anak di Tanah Air lebih memerlukan perhatian kita.” “Begitu cepat?” “Sudah waktunya,” katanya, “rasanya anak dan mantu kita kurang memerlukan kita di sini.” “Kau terlalu perasa.” “Mungkin ya, mungkin tidak. Dunia mereka berbeda dari dunia kita. Sebaiknya kita pulang saja.” Keesokan harinya, anak dan mantunya mengantar mereka ke airport. Setelah pesawat tinggal landas, ia berkata kepada istrinya, “Nah, kau perhatikan tadi, bukan? Ketika kau mengatakan bahwa kita akan pulang, mereka segera konfirmasi pesawat dan sore ini kita berada di dalam pesawat ini? Mereka tidak mengucapkan kata basa-basi mengapa pulang mendadak. Tidak ada kata tanya. Tidak ada kata terima kasih karena kita telah menemani mereka di rumah setelah upacara pernikahan mereka…” Istrinya mengunjurkan kaki dan menyandarkan punggungnya ke kursi yang dilengkungkan ke belakang. Sambil memejamkan matanya, acuh tak acuh ia menjawab, “Kau terlalu mudah tersinggung. Budaya penduduk negeri ini telah menjadi budaya hidup mereka. Mereka hidup di sini, dan untuk itu, mereka harus menyesuaikan diri dengan situasi. Mereka adalah pekerja keras dan kita patut menghargai mereka.” Ia mencoba melihat ke awan-awan di luar lewat jendela kaca. Perjalanan panjang menuju Tanah Air sedang berlangsung. Rasa sunyi yang lain mengusik sepi yang mulai melekat dalam lubuk hatinya. Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia terbangun karena pesawat terasa seperti berjalan di atas batu-batu, seperti pedati. Pramugari memberitahukan bahwa pesawat melintasi perubahan hari-batas siang dan tengah malam yang pekat. Dan sunyi itu, semakin dalam mengendap dalam perjalanan enam belas jam yang menjemukan. Bandung, 14 Juli 2004
""Ketika Sunyi Mengusik Sepi""
“Saya kira ini kejahatan yang luar bisa, bukan saja datang dari pihak Hastinapura, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku memilihnya!” Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya? “Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu).” Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku! Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya di muka suami-suamiku. Seharusnya suamiku tidak perlu menepati janji akibat dari kecurangan dalam perjudian ini. Di kaputren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para Pandawa pasti kalah. Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan. Menurut pendapat mereka, dengan permainan ini mereka berharap akan terjadi sebuah perjanjian bahwa Hastinapura akan dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan terhindar dari perang saudara. Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan perasaan tidak dengan otak. “Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!” Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda. Duh Gusti………., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati. Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja (apakah mereka kali ini begitu bodoh, tidak melihat kecurangan itu?). Pada saat itu aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada dihina seperti ini. Di mana orang-orang bersorak-sorai memberi semangat kepada Dursosono dengan menari-nari. Nampak olehku nafsu liar yang luar biasa dari mereka. Padahal mereka memiliki seorang perempuan juga, yaitu istri, ibu-ibu mereka, saudara perempuan, dan anak-anak mereka. Tapi, bagaimana aku bisa menuntut seperti angan-anganku ini. Aku sama sekali tidak mengerti ketika melihat Yudistira yang bijak cuma bisa menundukkan kepalanya. Padahal perempuan selalu menganggap suamilah yang akan melindungi dia melawan musuh-musuhnya. Begitulah, aku sekian lama bermimpi suami-suamiku satria yang gagah perkasa akan menumbangkan darah demi melindungi istrinya. Tapi, kenyatannya mereka cuma diam-diam saja. Aku tidak tahu apakah dalam kejadian ini aku masih hidup atau sudah mati? Yang jelas aku mengatupkan bibirku karena aku tidak ingin sentuhan-sentuhan yang menjijikkan itu yang akan segera menikmati apa yang ada dalam tubuhku. SEJAK kecil ibu sering berkata, “Hormatilah tubuhmu sendiri.” Oleh karena itu, sejak kecil aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami mereka. Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. Padahal aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya pada waktu itu. Yang ada pada waktu itu, rasa sakit yang luar biasa di seluruh urat nadiku. Kalau saja Dewata pada waktu itu berdiri di mukaku yang kumohonkan adalah kematian! Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat aku ceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur dengan telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura. Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tapi mereka tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah ditanggapi oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu. Sesungguhnya, pada saat itu aku ingin sekali bumi ini terbelah dan aku masuk ke dalamnya. Namun, ketika mendengar sorak-sorai mereka dengan nafsu hewaninya dan ketidakberdayaan suami-suamiku ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku. Aku tiba-tiba ingin menyelesaikan masalah ini dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, aku mencintai suami-suamiku dan inikah balasan mereka? Pernikahan kami yang bahagia berakhir dengan kepicikan mereka. Suami-suamiku seperti tidak menghargai lagi ekspresi tubuhku dan keberadaanku di tengah-tengah mereka. Aku tidak tahu bagaimana mungkin suami-suamiku bisa terjebak dengan peristiwa ini. Dayang-dayangku saja tidak punya suami yang kelakuannya begitu hina-dina seperti ini. Bisakah kau bayangkan? Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama beberapa tahun lamanya. Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara. Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus? Dan pada saat ini mereka menafikan cintaku, penderitaanku, dan mimpi- mimpi indahku. Menjadi bayang-bayang suram yang menaungi diriku. Aku merasa pusing dan muntah-muntah. Sungguh aku tidak bisa menangis. Kupejamkan mataku hingga tidak kulihat kenyataan yang begitu dahsyat di mana suami-suamiku cuma pandai menundukkan kepala saja di tengah keliaran nafsu para Kurawa yang semakin kulihat sebagai iblis-iblis. Untuk berapa saat aku pingsan. Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal untuk menghentikan kejadian ini. Tiba-tiba, kemarahan membuat aku berteriak-teriak, “Destarata ambillah sikapmu, engkau tetap ayahanda dari mereka.” Aku lihat Destarata menjadi gemetar dan terduduk di kursinya. Eyang Bisma dan paman Widuri seperti blingsatan. Kukatakan sekali lagi, “Baginda raja, tidak adakah lagi kebenaran di istana Hastinapura ini?” Aku lihat Destarata seperti dihantam dan akhirnya Widuri berkata, “Atas nama raja hentikan semua itu Baginda!” Para Kurawa seperti mengaum. Aku merasa bertarung sendirian di sepanjang waktu itu. Tiba-tiba air mataku jadi kering, kulihat Destarata yang tangannya terluka. Aku mencoba menahan seluruh kemarahan dan rasa benciku ketika Destarata memintaku membalut tangannya yang terluka. Akhirnya Destarata berkata, “Mintalah apa saja kepadaku Drupadi, aku akan mengabulkan permintaanmu.” Aku berkata, “Bebaskan Bima dan saudara-saudaranya.” Dan Destarata berkata kembali, “Kukembalikan Pandawa kepada kau sebagai suami-suamimu dan ini adalah anugerah dari raja Hastinapura.” Kemarahan semakin meledak-ledak di dalam hatiku. Kurasakan penghinaan itu sampai ke urat nadiku. Aku kira ini bukan anugerah dari Destarata. Kurebut mimpiku sebagai perempuan. Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka, tak secuil pun yang akan menjadi milikku? Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan ragaku kepada Pandawa tanpa seculi pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya, “Siapakah diriku?” Lantas “Aku bersumpah tidak akan menggulung rambutku sebelum keramas dengan darahnya Dursosono.” Halilintar saling sambar-menyambar, Dewata menyaksikan sumpahku. Para Kurawa dan suami-suamiku terpana! * Malang, 1 September 2004
""Baju""
Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut. Dalam seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan sesekali aku membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari plastik. Pada pukul sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar, biasanya aku tergoda untuk membuka bekal dan menggigit roti tawar itu dengan perasaan iseng. “Boleh minta separuh?” suatu saat Nila memergoki. Aku memotong bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?” “Apa saja.” Ia tersenyum. Matanya tampak lebih lapar. “Terima kasih.” Akhirnya aku menghentikan pekerjaan dan memandang cara Nila makan. Sungguh tak tebersit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud meracuninya. Tentu dia tak akan bertahan lebih dari lima menit. Selanjutnya terjungkal dari kusi dengan – atau tanpa- mulut berbusa. Aku tersenyum, karena memang tidak bermaksud membuatnya celaka. Aku menyelesaikan separuh roti tawar dengan selai kacang itu lebih perlahan. Perutku memang belum sepenuhnya lapar. “Kamu mau kopi? Aku baru saja membuatnya.” Nila berjalan menuju meja kerjanya di ujung ruang. Lalu kembali dengan cangkir yang tampak mengepulkan asap. Aroma kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi kopi itu. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Nila menuang kopi dari cangkirnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin di rumah, dia sudah biasa melakukannya. Terhadap suami atau anak-anaknya. Eh, apakah dia sudah tak lajang lagi? sependengaranku, Nila tak pernah menceritakan perihal anak atau suami. Kini aku mengamati caranya menyeruput kopi. Begitu khidmat. Tidak dengan sambil-lalu. Barangkali kopi adalah bagian dari ritualnya sehari-hari. Seperti roti tawar bagiku. “Terima kasih roti tawarnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir. Menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan. “Terimakasih juga kopinya…” “Tapi kamu belum mencobanya,” Nila memotong. “Oh ya, sebentar lagi. Masih panas.” Aku sengaja menyentuh gelas dengan telapak tangan. “Percayalah, justru kalau sudah dingin akan kehilangan rasa sedapnya. Itu yang penting.” Nila menyebut ’yang penting’ dengan cara seolah benar-benar penting. Maka aku pun mengangkat gelas dengan sergapan wangi kopi ke dalam lorong hidung. Kuhirup dan kucecap dengan lidah. Astaga… pahit! Tapi, tentu saja tidak kutunjukkan keterkejutan dengan ekspresi bibir dan lidah yang terjulur tanda menolak. “Enak, bukan?” Nila tersenyum memandangku lurus. “Hm, ya. Tapi…” “Pahitkah?” pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Aku tidak suka kopi manis,” katanya kemudian. Dengan demikian, pikirku, besok pagi jika memang ditawari lagi, sebaiknya kutolak. Sepanjang dia tak tersinggung, tentu. Nila bangkit dari duduk. “Kuambilkan gula di pantry Mbak Mimi?” “Oh, tidak usah.” “Ayolah, Seto! Daripada kopiku nanti kamu buang.” “Pasti kuminum.” Heran. Aku berjanji, mengatakan pasti, tapi setengah hati. “Terima kasih. Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?” Aku menyebutkan sebuah nama. Nila pasti sudah sering mendengar nama itu. Tidak terlalu populer, tapi mudah dicari di supermarket, bahkan di circle-K. “Eh, jam berapa ini? Sudah waktunya kerja lagi.” Nila tertawa dan berdiri. “Apakah kamu selalu meluangkan waktu untuk coffee break?” “Kadang-kadang.” Aku tersenyum. Dari seberang sana, Nila akan sulit melihat kebiasaanku. Ada berderet meja karyawan lain. Hanya saat mengambil air dari dispenser, sesekali dia bisa menoleh kepadaku. “Ok, selamat bekerja kembali.” Nila melenggang. Justru setelah dia pergi, wangi parfumnya tertinggal. Light Blue. Dolce & Gabbana! Harum jasmin yang meruap. Ah, aku teringat sesuatu! Tapi segera kutepis, karena orang-orang secara bersamaan keluar dari ruang rapat menuju ke meja masing-masing. Kini ruangan dengan gaya open space itu kembali ramai. Saat perjalanan pulang ke rumah, aku teringat kembali percakapan singkat dengan Nila. Kukira itu terjadi tiga tahun sekali. Maksudku, setelah aku bekerja di kantor ini selama tiga tahun, peristiwa itu terjadi. Padahal aku kerap membawa bekal roti tawar ke kantor dan pada pukul sepuluh sering tergoda untuk menggigitnya. Entah kenapa, sebelum tiba di rumah aku sengaja mampir ke sebuah toko bakery langganan. Entah kenapa aku sengaja membeli roti tawar dua kali lebih banyak daripada biasanya. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuk esok pagi. Aku akan membawa bekal dan menunggu hingga jam sepuluh. Menunggu mataku (bukan perutku) tergoda untuk menggigit roti tawarku. Menunggu Nila melangkah mendekat dan menawariku kopi. Tapi … apakah sebaiknya kopi itu kutolak? Kasir menyebut harga yang harus kubayar untuk dua pak roti tawar tanpa kulit. Aku teringat pujian Nila: Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya? Kubaca nama toko bakery itu seperti berusaha menghafal dari awal. Lalu kuingat-ingat, sejak kapan aku mulai menetapkan pilihan padanya? Banyak sekali roti tawar yang pernah kucoba, tapi yang ini memang berbeda. Begitu lembut. Ada semacam rasa ketagihan saat mengunyahnya. Perjalananku berakhir di depan pagar rumah. Cahaya kuning temaram menyambutku. Seseorang telah menyalakan menjelang petang tadi. Mungkin Isah, atau ibuku. Hanya dengan mereka berdua aku tinggal di rumah tipe 45 berhalaman sempit ini. Karena itulah kupilih mobil Karimun yang tak begitu panjang. Sebelum kuletakkan segala bawaan dari kantor, yang terdiri dari lap-top dan majalah, aku mencari Isah hanya untuk mengatakan: “Besok pagi, siapkan roti tawar lebih banyak.” “Semua dengan selai kacang?” Aku tertegun. Apakah sungguh-sungguh Nila menyukai roti tawar dengan selai kacang? Kebetulan tadi pagi aku membawa selai kacang, tidak ada pilihan lain. Dan Nila mengatakan: Apa saja. Dengan mata yang tampak lapar. “Kalau begitu, buatkan juga dengan stroberi dan nenas.” Setelah itu aku menjenguk Ibu di kamar tidurnya. Tampaknya sedang sibuk membereskan lemari bajunya. Padahal aku tak sabar ingin menyampaikan berita agak penting: “Tadi pagi ada seorang perempuan, namanya Nila, minta roti tawarku.” Lalu pertanyaan dalam hati itu mengusik kembali: apakah Nila sudah tak lajang? Kegemarannya akan kopi pahit terasa agak unik. Karena seingatku dia salah seorang sekretaris, bukan desainer atau arsitek yang umumnya bekerja begadang. ENTAH kenapa, kemudian, aku bangun di pagi berikutnya lebih lekas daripada biasa dan penuh semangat. Entah kenapa, sebelum ke kamar mandi aku menengok persiapan di meja makan. Tentu saja belum ada apa-apa. Mungkin Isah baru saja terjaga. Ini hari Rabu, membayangkan Nila tidak mengenakan seragam seperti hari Senin dan Selasa. Mungkin hari ini dia akan mengenakan setelan baju ketat dengan celana panjang atau justru rok mini. Ah, mengapa serentak hatiku berdebar? Aku mandi melupakan air dingin, sambil menggosok tubuhku lebih teliti ketimbang kemarin. Ketika aku memasukkan empat tangkup roti tawar dengan aneka rasa itu (satu di antaranya diisi taburan cokelat) ke dalam tempat yang terbuat dari plastik dengan ukuran lebih besar, tebersit keraguan. Bagaimana aku membawa turun dari mobil dan masuk ke dalam lift bersama karyawan lain di gedung 12 lantai itu? Bisa jadi menimbulkan pertanyaan yang agak menggoda: “Mau piknik ke mana, Seto?” Aku harus tiba lebih awal, saat lift masih kosong. Tapi keraguan kedua muncul. Jangan-jangan, pada pukul sepuluh nanti, tidak ada rapat seperti kemarin, sehingga tentu banyak kawan-kawan lain di sekitar kami. Aku duduk berderet dengan karyawan lain. Bagaimana mungkin ’mengundang’ Nila ke mejaku? Atau aku yang mendatanginya? Itu justru semakin tidak mungkin, menenteng tempat roti ke wilayah sekretaris, yang berdekatan dengan tempat duduk direktur, bukan pada jam istirahat pula. Tentu nanti ada akal! Aku pun pamit kepada Ibu dan mengurungkan niatku untuk menyampaikan peristiwa kemarin karena sedang mengejar waktu. Pandangan Ibu agak heran dengan bekal yang kubawa. “Seto, kamu tidak akan ke luar kota, kan?” “Oh, tidak. Kebetulan aku belum sarapan, sekalian untuk makan siang.” “Apakah tidak ada kantin di kantormu? Kamu pernah cerita ada tempat makan yang selalu ramai.” Aku mulai gelisah. “Kadang-kadang pekerjaan sangat padat, membuat aku harus tetap berada di tempat.” Ibu tersenyum. Mungkin karena bangga terhadap cara kerjaku. Atau karena memergoki alasan yang kurang masuk akal? Atau hanya ingin terpingkal lantaran sejak kecil aku begitu menyukai roti tawar? “Hati-hati di jalan.” Pesannya sewaktu kucium tangannya. “Apakah di kantormu tidak ada gadis cantik yang menjadi teman kerjamu?” Aku nyaris tersengal. Apakah sebaiknya kuceritakan sekarang? Mungkin tak cukup seperempat jam. “Ada. Tapi tidak kenal dekat. Nanti malam kuceritakan pada Ibu.” Aku segera berlalu sebelum bertambah banyak pertanyaan. Percayalah, nanti malam kuceritakan. Aku sedang mencoba mempertaruhkan hari ini. Sebagai tanda dibukanya kembali pintu hatiku. Sepanjang perjalanan, banyak hal melintas di kepala. Ingatan yang berlompatan, mendesak untuk tampil di ruang benakku. Beberapa nama yang sempat tertanam lama meskipun telah jauh berlalu. Saling tumpang-tindih awalnya, kemudian mulai tersusun seperti sebuah peristiwa yang diputar ulang. Kekasihku yang pertama, Putri, melompat dari balkon hotel lantai 23. Dia patah hati dengan Rangga dan aku mencoba menyembuhkan lukanya. Namun undangan bertemu bekas kekasihnya itu, di hotel berbintang lima, membuatnya pergi secara misterius tanpa sepengetahuanku. Beberapa lama sesudah peristiwa menyedihkan itu, aku mencoba menghibur ibunya yang tak pernah menghapus tulisan terakhir anaknya di cermin riasnya. Untuk melupakan kenangan itu aku pindah bekerja, dari sebuah rumah produksi beralih menjadi pembuat program acara radio. Aku menjadi jarang jalan-jalan karena lebih banyak bekerja di studio. Temanku seorang dara yang gagal menjadi penyanyi dan kemudian menjadi penyiar. Ia menyukai segala sesuatu yang bergambar babi: mulai dari tas, dompet, gelas minum, t-shirt, saputangan, bahkan sprei dan boneka babi. Yang tak pernah kusangka, ia ternyata memelihara babi mungil yang boleh berkeliaran di dalam rumahnya. Itu kuketahui saat aku mengantarnya pulang sesudah acara siaran langsung pertunjukan festival band kampus. “Meristin, apakah itu bukan robot babi?” kataku kaget ketika kulihat babi merah jambu menyerbu di depan pintu yang dibuka oleh ibunya, suatu tengah malam. “Sembarangan ngomong!” tegurnya sambil tertawa. “Dia tak akan pergi tidur sebelum aku pulang.” Aku lebih terkesima saat Meristin memeluk dan mencium moncong babi yang basah itu. Astaga! Seandainya aku menjadi kekasihnya, apakah aku harus berbagi bibir Meristin dengan babi itu? Aku mencoba menahan muntah. Padahal, aku mulai jatuh cinta dengan penyanyi gagal itu. Selanjutnya aku mulai menjaga jarak agar tidak terlampau jatuh hati dan mungkin lambatlaun menjadi teman sejawat saja. Bahkan untuk sekadar berjabat tangan saja aku mulai berpikir, jangan-jangan sebelumnya Meristin mengelus-elus hidung babi kesayangannya. Dan ketika untuk kedua kalinya aku terpaksa mengantar Meristin pulang menjelang pagi, babi itu juga belum tidur. Sesungguhnya aku tak percaya pada pernyataan Meristin. Babi sialan itu pasti sudah tidur mendengkur sejak sore dan terbangun menyambut majikannya ketika mendengar suara gaduh di pagar halaman. “Hei, Baby! Kasihan kamu belum tidur…” sambut Meristin. Saat itu aku pun ingin muntah. Lekas-lekas aku pamit. Namun rupanya Meristin gadis yang sopan, sehingga ia mengantarku sampai ke pintu pagar. Aku tak melihat babi kesayangannya meluncur dari gendongannya persis ketika aku menjalankan mobil dengan gas penuh. Bunyi ’nguik!’ dan mobil yang berguncang oleh tubuh babi yang mungkin terlindas ban membuatku menginjak rem mendadak. Maka gemparlah pagi buta itu dengan tangis Meristin dan orangtuanya yang marah-marah. Ketika dua orang satpam melangkah dari gardu di ujung jalan, aku punya pikiran kerdil untuk segera melarikan diri. Itulah yang kulakukan. Aku akan bertanggung jawab, misalnya dengan membeli babi sebagai penggantinya, tetapi tak ingin babakbelur seandainya dua orang satpam yang kurang tidur itu lepas kendali. Selamat tinggal Meristin! Aku pun pindah kerja lagi dan kini diterima pada bagian distribusi unit di perusahaan otomotif. Tahun-tahun berjalan dengan berusaha melupakan Putri dan Meristin. Pada suatu acara pertemuan dealer mobil seluruh Indonesia, aku bertemu dengan seorang gadis wiraniaga yang selalu meninggalkan wangi jasmin setiap kali melintas di depanku. Tiga hari tiga malam di Lido Resort membuat kami dekat satu sama lain. Namun pada malam terakhir aku kecewa karena kupergoki dia menghuni kamar yang salah bersama seorang laki-laki. Aku lebih mudah melupakannya karena ia segera kembali ke kotanya di luar Jawa, namun tak mudah melupakan aroma parfumnya. Aku mencoba mengenali jenis dan mereknya. Kemarin Nila memiliki aroma yang sama! Light Blue! Kini aku melambatkan mobil, memasuki halaman parkir gedung kantor. Hatiku mulai berdebar. Aku merencanakan sesuatu pada jam sepuluh nanti. Akankah Nila kali ini curiga dengan bekalku yang bertambah banyak? Aku gembira mendapatkan kantor masih lengang. Dan segera meletakkan bekalku di bawah meja kerja. Tentu belum ada yang datang kecuali office boy yang sedang merapikan ruangan. Ketika jam kerja dimulai, perhatianku mulai terpecah pada hal-hal yang kurencanakan. Aku tidak jadi sarapan, agar jam sepuluh nanti perutku cukup lapar. Dari jauh aku melihat Nila mengenakan blouse warna ungu muda ditutup blazer dan pada lehernya tersimpul scarf. Warna yang mengganggu perasaan. Warna yang dikenakan gadis wiraniaga dari luar Jawa itu pada hari penghabisan rapat nasional. Ternyata aku masih kecewa. Tapi, pasti tak ada hubungan antara Nila dengan peristiwa itu. Mengapa jam terasa begitu lambat? Dan rupanya aku menjadi tidak produktif. Entah kenapa, saat Nila berjalan dari ujung ruang menuju dispenser, aku seperti telah mengenal ketukan langkahnya. Seperti sebuah gerakan perlambatan, sengaja kuambil bekal dan kuletakkan di atas meja. Pagi ini tidak ada rapat, semua karyawan sedang sibuk di meja masing-masing. Sementara yang kutunggu dengan perasaan berdebar tak kunjung tiba. Nila tidak menoleh sama sekali ke arahku. Saat itu teman sebelah-menyebelahku memergoki sejumlah roti tawar dari tempat transparan dengan mata bersinar. “Seto, bagi rotinya ya!” Entah siapa yang memiliki gagasan itu, sekitar empat orang mendekat. Adi, Yong, Yudi, dan Ibnu berkerumun. Mau tak mau aku membuka kotak bekalku. Mataku mencoba mencari Nila, tapi perempuan itu sudah kembali ke mejanya. Bahkan agaknya tak mendengar kata ’roti’ yang diucapkan teman sebelahku. Sayup aroma kopi yang diseduhnya terbang ke hidungku… Rencana pukul sepuluhku berlalu menyedihkan. Di kotak bekal tinggal setangkup roti berisi selai nenas yang tidak kusukai. Tapi tak mungkin juga kutawarkan kepada Nila, seolah menyodorkan penganan sisa. Aku tak perlu mendengar ucapan terima kasih kawan-kawan yang juga memuji lezat dan lembutnya roti tawarku. Mereka tak pernah tahu, bahwa roti tawar itu untuk Nila! Sisa hari yang panjang tak memberi semangat, tapi mungkin aku masih punya kesempatan mengajaknya makan siang bersama. Maka menjelang pukul dua belas aku sengaja menunggu di depan elevator, pura-pura hendak turun makan. Nanti, ketika Nila muncul dari ruangan untuk istirahat makan siang, bisa turun bersama-sama. Saat pintu lift terbuka, seorang tamu laki-laki keluar dari kabin menuju resepsionis. Sementara itu beberapa orang keluar ruangan, sebagian dengan kotak rokok di tangan, siap turun makan siang. Lantai tujuh ini memang paling banyak memiliki karyawan. Lobi segera meriah oleh suara mereka yang antri di depan lift. Tak lama kemudian, Nila muncul dari ruangan dengan wajah sumringah. Aku menanti berdebar, siap berebut tempat jika Nila masuk ke dalam lift. Namun yang terjadi, Nila berjalan lurus menuju seorang laki-laki yang berdiri di depan meja resepsionis. “Hai, tepat waktu kamu!” ujar Nila pada laki-laki itu. Lalu mengucapkan terima kasih pada Sofie, resepsionis yang memanggilnya melalui telepon internal. Perasaanku ciut. Kekasih atau suaminya? Kami bersama-sama menunggu lift yang selalu penuh di kala jam makan siang. Aku tersenyum kepada Nila. Ia membalas senyumku, tapi seperti lupa kejadian kemarin. Aku tentu tak bermaksud mengingatkan, apalagi di depan laki-laki lain. Entah kenapa, aku bersyukur Nila tak memperkenalkan temannya itu. Dan entah kenapa, sewaktu pintu elevator terbuka, aku tak ikut masuk ke dalamnya. Aku memilih lewat tangga darurat. Dalam perjalanan pulang ada yang kurasakan hilang. Tapi seperti biasa aku tetap singgah di toko roti langganan. Lama aku berdiri, sampai seorang pramuniaga mengambilkan roti tawar kegemaranku. “Oh ya, terima kasih. Tapi satu saja.” Ketika tiba di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan dengan wajah yang tampak segar. Aku tersenyum dan mengatakan hendak mandi dulu. Isah menyambut roti tawar yang kubawa seraya bertanya: “Besok pagi mau bawa berapa tangkup?” “Seperti biasa satu saja. Isi selai kacang.” Aku pun mandi dengan perasaan ngungun. Ibu masih di meja makan begitu aku selesai mengenakan baju rumah. “Ibu buatkan kopi, agar letihmu hilang.” “Wah, terima kasih.” Aku pun duduk di depannya. “Kamu janji mau ceritakan sesuatu, bukan?” Kini aku gelisah. Kemudian mencoba mencari cangkir baru. “Kopinya dibagi dua saja.” Aromanya begitu wangi menyergap hidung. Mengingatkan harum kopi Nila kemarin pagi. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Ibu menuang kopi dari satu cangkir ke cangkir lainnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin sebelumnya sudah biasa melakukannya. Terhadap Ayah, semasa masih hidup. Eh, bukankah Ayah sudah lama tiada? Tentu sudah lama pula Ibu tak membagi secangkir kopi menjadi dua. “Bagaimana tentang perempuan kawan kerjamu?” tanya Ibu. “Boleh aku minum kopi dulu?” aku mengulur waktu. Aku pun menyeruput, dan… ah! Aku menahan lidahku dalam geletar. “Pahitkah?” tanya Ibu. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Ayah tak pernah minum kopi manis. Itu yang membuat ayahmu kuat, tabah, dan tak mudah putus asa untuk mencapai keinginannya.” Mungkinkah Ibu menyindirku? Kini aku harus lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Sebenarnya sejak kapan aku gemar roti tawar?’ Ibu nyaris tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin kedengaran aneh. Tapi aku serius ingin tahu. Kadang-kadang terpikir, apa enaknya roti tawar? Kata ’tawar’ boleh jadi membuat perasaanku selalu tawar. Kata ’tawar’ menyebabkan segala yang kulakukan berada dalam keragu-raguan: selalu dalam keadaan tawar-menawar. Sedangkan kopi pahit, sebagaimana kata Ibu, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah, dan tidak putus asa. Nila menyukai kopi pahit seperti Ayah! “Pasti Ibu ingat, kapan aku mulai menyukai roti tawar?” Kini Ibu benar-benar tertawa. Jakarta, 15 Agustus 2004
""Roti Tawar""
Di sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah. Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan “tutup praktik” ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya. Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu. Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan. Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu. Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik. “Cepat pergi!” Lelaki setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri. Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal. Malam telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa. Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu. Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya. Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana. Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi. Sebelum subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan. “Mampus kau, anjing kurapan!” sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat. Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat. Beberapa minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan. Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.* Rawamangun, 3 Oktober 2004
""Persahabatan Sunyi""
“Lai1), Mis?!” Sabe meneriakkan tanya sehabis menyelam ke arah Simis yang juga baru muncul. Terus mengibas-kibaskan rambut seleher seperti itik baru keluar dari air. Simis tak peduli. Dia kembali membenamkan tubuh ke dalam Batang Sukam. Sambil mengatupkan mulut untuk menahan napas, lelaki berdegap itu menyalangkan mata, memerhatikan serpihan pasir yang masih bersisa di atas batu layah. Dengan mimik optimis, dikipas-kipasnya serpihan pasir menggunakan tangan kiri. Sabe menggerutap menjejak tepi sungai. Menyeka telapak tangan dengan handuk lusuh, kekumuhan handuk hijau itu berbanding terbalik dengan kejernihan air Batang Sukam. Tapi dia tak peduli malah mengalihkan perhatian dengan melinting tembakau ke dalam daun enau. Sedang Simis, tersenyum manis dalam air. Setelah serpihan pasir tersibak, matanya terbelalak melihat sebutir emas sebesar kacang hijau tergeletak indah di atas batu layah. Dengan mulut masih dikatupkan, ditekannya emas itu dengan jari tengah. Dan dikempitnya dengan ibu jari. Sabe semakin menggerutu. Rokoknya yang baru saja dibakar terjatuh ke dalam sungai, “Kalera! Kanciang!2)” carut bungkangnya tak menghilangkan gigil. Maka sambil mengerinyitkan kening yang lebar, menyipitkan mata yang berlensa merah, serta menggeretukkan geraham berbalut rahang kekurangan daging, dia kembali menggulung tembakau ke dalam daun enau yang baru. Sambil berdiri di pinggir kali, Sabe menyalakan korek api. Tapi Simis langsung memadamkannya dengan menyembul tiba-tiba dari Batang Sukam, yang hanya berdalam lebih kurang setengah depa. Lalu pemuda berambut sesenti itu berseru, “Aku berhasil, Be!” terus menggigit telunjuk kanan untuk mendarahi emas yang dipegang sangat erat pada telapak tangan kiri. “Kanciang!” maki Sabe sambil menggeser diri lebih ke darat. Dicampakkannya rokok kedua yang juga telah basah. Melinting sebatang lagi sambil mencangkung di bawah batang beringin. Simis terkekeh, “Hei!” gigi hitamnya kelihatan mengilap dibakar Matahari. “Karena waang3) sedang takut air, sebaiknya waang alihkan kuda kita ke tempat rumput yang masih segar,” ujarnya sambil memasukkan emas sebesar kacang hijau yang sudah selesai didarahi ke dalam kantong kecil dari kain hitam. Dan menyelipkan pada saku celana sambil kembali tersenyum. “Kenapa tak waang masukkan ke dalam botol?!” sorak Sabe masih dalam keadaan mencangkung. “lni emas terbesar yang berhasil kutemukan dalam dua tahun ini. Makanya harus disimpan dalam kantong khusus untuk dijadikan jimat keberuntungan!” Sabe terbatuk. Dahak hampir saja terserak dekat botol emasnya yang terletak di depan ujung kaki kiri. Dia menekur untuk meraih botol sebesar ibu jari kaki itu. Terus menimang-nimang memerhatikan beberapa miang4) emas yang seakan berenang karena botol memang sengaja diisi air jernih. “Be!” Simis menyorakkan ejekan. “Jika waang mengalihkan kuda kita, waang akan kuhadiahi emas dalam botol ini!” diacungkannya botol kecil berair yang juga hanya berisi beberapa miang. Sabe langsung berdiri. Menghirup rokok dalam-dalam. Baru melangkah gontai untuk memindahkan dua ekor kuda milik mereka. “Dasar cangok!5) Kerja sedikit saja mengharapkan upah!” umpat Simis sebelum kembali menyelam. Sabe mendongak memandang Matahari. Sang lbu Cahaya seakan mengejeknya karena terlalu suka memelihara perasaan dingin untuk menyurukkan sifat malas, dengan menusukkan keris terik. Punai dan barabah turut mencemooh dengan memperkeras kicau. Dan sepasang sipatung merah serta kupu-kupu ungu tak mau ketinggalan, mereka terbang saling berselisih di udara, sejenak melupakan bunga-bunga. Beberapa saat kemudian, “Be!” sorak optimis Simis kembali memecah kesunyian belantara. Sabe bergegas menambatkan kuda, “Apo!?” balasnya sambil kembali dengan berlari kecil. Simis mengacungkan sebutir emas sebesar biji jagung. Terus berjalan dari tengah Batang Sukam, ke arah Sabe. Memberikan botol emasnya dan berujar, “Pindahkan isi botolku itu ke dalam botol waang.” Sabe memindahkan beberapa miang emas upah mengalihkan kuda dengan kerut kening mengukir cemburu. Lalu mengembalikan botol yang sudah kosong dengan napas memburu. Simis memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol sambil bersiul-siul. Dan, terus saja menekur memerhatikan emas dalam botol seperti kuduknya telah diganduli bisul. Sabe beringsut ke belakang Simis. Seluruh mukanya menegang menahan cemburu. Dan…, kraak! Trinting! Tush! Botol dalam genggaman Simis terjatuh dan meletus. Pecah. Ternyata emas paduan itu mendadak menjadi semakin besar. Semakin besar. Membesar. Berbadan. Berkepala. Berkaki. Dan berlari! Simis tentu langsung mengejar emas yang telah menjelma kuda itu ke dalam hutan belantara…. Sabe berdehem, “Begitulah cerita lengkapnya, Fuah,” ditusuknya mata Marfuah, istri Simis, dengan pandangan sungguh-sungguh. “Kenapa Uda Abe tidak mengikuti Da Mis, mengejar emas sebesar kuda itu?” tak ada nada curiga dalam pertanyaan Marfuah. Karena memang hampir seluruh penduduk dusun terisolasi Ranah Pudak, pernah mendengar dan bahkan percaya -walau belum pernah melihat- tentang emas sebesar kuda, sebagai penjaga Batang Sukam yang mengalir di tengah hutan larangan. Malah ada rasa bangga bersemayam di dada Marfuah. Hanya suaminya, Simis, dan suami Leli, Sabe, yang berani mencari emas ke Batang Sukam yang mengalir berkelok-liku di tengah serakan pohon-pohon besar berhantu bela-u. “Saya sengaja pulang sebentar untuk memberi kabar,” Sabe terdehem sambil tersenyum miring. “Jika kami pulang berdua, tentu kami akan kehilangan jejak. Makanya, setelah nanti saya kembali ke dalam hutan larangan, tolong sampaikan pengejaran kami pada Leli,” diakhirinya pesan sambil memecut kuda. “Kalian memang pantas menjadi keturunan orang bagak6),” lambai Marfuah sangat antusias. Kuda belang tiga berlari kencang. Pikiran Sabe menggigil mengulang kembali cerita yang sebenarnya: Setelah Simis selesai memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol, Sabe langsung memukul kepala sobatnya itu dengan batu sebesar lipatan lutut orang dewasa. Simis tertelungkup pingsan. Botol berisi emas sebesar biji jagung dikantongi. Dan…. “Tapi…, bukankah masih ada sebutir emas lagi dalam saku celana panjang Simis?” gumamnya sambil menarik kekang kuda. Kuda belang tiga meringkik. Binatang berkaki empat itu seakan tak suka perjalanannya menempuh jalan setapak beraspal tanah, menuju pasar, tiba-tiba ditunda. Sabe tak peduli. Kuda dibelokkan ke arah jalan kuda beban pengangkut kayu bakar, kembali memasuki hutan larangan. “Mudah-mudahan tubuh Simis belum dimakan Raja Hutan,” gumamnya seakan auman harimau. Tapi dia tetap merinding, karena tiba-tiba teringat peristiwa seminggu yang lalu. Waktu itu mayat Ociak ditemukan di tengah hutan pinggir ngarai-tak jauh dari tempat Sabe dan Simis mencari emas-dalam keadaan cabik-mabik. Namun, panggilan emas ternyata lebih buas ketimbang ngeri pada harimau. Hingga, setelah lebih dari dua jam berkuda melewati kerimbunan hutan larangan, Sabe bersorak tapi hanya berani dalam hati. Ternyata tubuh Simis masih dalam posisi seperti tadi. Badan berdegap tak berbaju itu tertelungkup dengan kepala bagian belakang penuh darah. Separuh badannya tersekat di darat dan separuh tubuhnya terendam dalam Batang Sukam. Entah kenapa, Sabe terpaku agak lama setelah turun dari kuda. Dicobanya mendongak untuk mengalihkan perhatian pada daun-daun beringin yang sedang bercumbu dibantu angin. Pucuk hijau muda gembira melanjutkan tugas fotosintesa. Sedang daun coklat tua tak berduka gugur penyubur tanah. Tap! Sabe tersentak. Sebatang ranting melenting dari dahan untuk menimpuk hidung peseknya, “Kanciang! Kalera!” kebiasaan carut bungkangnya kembali berkumandang. Terus dengan gegas diperiksanya saku celana panjang Simis. Mengambil kantong kecil berisi emas sebesar biji kacang hijau. Membuka kain itu, mengeluarkan emasnya. Dan memasukkan ke dalam botol sebesar ibu jari kaki dengan mimik penuh kemenangan. “Hiy! Ya!” kuda dinaiki dan dihalau, sedang tangan kiri masih menggenggam botol. Namun, setelah kuda berlari hanya sejarak sembilan tombak. Klotak! Ting! Botol berisi emas terjatuh. Thas! Terinjak kaki depan kuda belang tiga. Khiik!! Kuda meringkik. Keterkejutan mengubah arah larian. Khiik! Kuda belang tiga terus berlari tak terkendali. Terus dan terus berlari… * Padang, Maret 2004 Bahasa Minangkabau yang perlu diterangkan: Lai1) =Ada. Kalera dan Kanciang2) = kata makian. Waang3) = kau/kamu untuk lelaki. Miang4) = ukuran paling kecil untuk emas juga sebutan untuk bulu-bulu tumbuhan yang menggatal. Cangok5) = rakus tanpa berusaha. Bagak6) = pemberani.
""Emas Sebesar Kuda""
Aku mendarat, dan seperti biasa-aku sudah diberi tahu sebelumnya-Joni-lah yang akan menjemputku di airport. Kota tempat tinggal Ros, kakak perempuanku, masih sekitar satu setengah jam dari kota di mana airport ini berada. “Om…” Kudengar teriakan anak perempuan. Aku menoleh. Dua keponakan perempuanku-alasan utama aku selalu datang ke sini-menghambur ke arahku. Ini hari istimewa, terutama bagi si kecil, Wida (kelas V SD), yang hari ini berulang tahun. Dia berlari-lari ke arahku, diikuti kakaknya, Vivi (kelas II SMP), yang setahun tak kulihat, dalam pandanganku sekarang terlihat begitu cepat besar dan manis. Di belakang keduanya, ada Joni yang senyum-senyum-satu ekspresi paling khas pada dirinya. “Kalian tidak sekolah?” tanyaku. “Kan libur, Natal…,” jawab Wida sambil menggeleyot manja. Si adik ini memang selalu begitu. “Om dulu kalau Natal tidak libur ya?” sela Vivi. Ini khas ekspresi sang kakak: agak jahil. Coba kucubit pipinya. Dia menghindar sambil tersenyum meledek. Joni mengambil alih bawaanku. Kami berendengan menuju area parkir. “Kamu apa kabar Jon?” “Baik.” Dia kulihat juga bertambah dewasa kalau mengingat pertama ikut Mama di kota kelahiran kami dulu, ia baru lulus SD. Kecil, udik, dan penakut. Bahkan kalau bicara pun, sering bergemetaran. Dia ikut keluarga kami, bersekolah sampai lulus SMA, sebelum kemudian pindah ke kota ini, ikut Ros. Ia kelihatan gagah dan penuh kepercayaan diri sekarang. Kudengar, dia aktif berlatih silat, bahkan kadang sudah bertindak sebagai pelatih. “Umur kamu sekarang berapa Jon?” tanyaku. “Dua empat, eh, dua lima,” jawabnya. “Sudah punya pacar?” Ia cuma tersenyum. “Ibu di rumah?” aku bertanya tentang Ros. “Tidak,” kata Joni. “Pergi, pelayanan…,” tambahnya. Ia selalu berkata satu-satu begitu, dan cenderung tidak bersuara kalau tidak ditanya. Siang ini cuaca mendung. Udara menjadi agak dingin, sejuk. Nasi kuning dengan sejumlah lauk-pauk termasuk ikan asin yang dibakar-makanan yang menurut hematku terenak di dunia-terhidang di meja. Beberapa anak tetangga teman-teman Wida menunggu di rumah. Satu lagi yang kusukai dari lingkungan kota kecil: kesederhanaan semacam ini. “Selamat ulang tahun…,” seruku sambil mencium Wida. “Siapa yang membikin nasi kuning luar biasa ini? Mama?” tanyaku. “Bukan,” jawab Wida. “Mas Joni.” Aku melirik Joni. “Kamu yang membikin, ya Jon?” Lagi-lagi ia cuma tersenyum, sembari sibuk menurun-nurunkan dan mengatur barang bawaanku. “Gila, kamu makin pandai memasak,” aku bicara sambil mencomot tempe yang dipotong kecil-kecil, dimasak dengan bumbu manis-manis pedas. Kepiawaian memasak Mama rupanya Joni yang mewarisinya. Bukan Ros. Aku tahu Ros tidak suka memasak, dan barangkali tidak punya waktu. Apalagi, sejak dia makin sibuk melakukan pelayanan rohani di tahun-tahun belakangan ini. “Kita akan makan nasi kuning ini bersama Mama?” tanyaku pada anak-anak. “Mama bilang dia akan pergi seharian. Mama pesan kita-kita saja yang pesta…,” kata Vivi. Aku mencari penegasan pada Joni. “Ya, ibu pesan begitu,” ujar Joni. “Ooh, pelayanan…,” Tiba-tiba telepon rumah berdering. Vivi mengangkatnya, bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian menyodorkan gagang telepon padaku. “Mama,” ucapnya memberitahuku. “Hai Ros…,” kataku. “Ya, kamu baru datang ya? Perjalanan lancar? Di rumah semua sudah siap. Sudah ada nasi kuning segala, dibikin oleh Joni. Kamu makan saja sama anak-anak, tidak usah menunggu aku. Hari ini aku sibuk sekali. Pagi tadi sudah ke gereja, mengurusi persiapan bazar. Lalu aku harus segera lari ke Efatta karena harus ceramah di situ mengenai kesiapan wanita kalau harus hidup sendiri, memimpin keluarga sendiri…,” ia bicara seperti berondongan mitraliur, tentang topik yang terus terang sangat tidak menarik perhatianku. Itulah Ros. Sejak berpisah dengan suaminya, dia menjadi sangat sibuk dengan kegiatan gereja, melakukan pelayanan rohani, ceramah dengan topik seperti disinggungnya tadi (yang tampaknya didasarkan pengalaman pribadi, bagaimana sebagai orangtua tunggal dia membesarkan dua anak), memberi kursus bahasa Inggris pada para mahasiswa sekolah theologia yang tidak sanggup membayar kursus di tempat-tempat kursus resmi, dan lain-lain. “Nah, dari Efatta nanti aku harus ke desa tempat kami mendirikan taman bacaan untuk anak-anak. Kasihan sekali lho, anak-anak di desa itu. Mereka sama sekali tidak punya fasilitas apa-apa. Kamu mbok kalau punya buku, entah buku apa saja, dikirimkan kesini, disumbangkan kepada mereka. Tempatnya jauh. Aku pulang mungkin agak malam….” Aku mulai jemu mendengar bicaranya. Nasi kuning di meja lebih menarik perhatianku daripada taman bacaan di desa. “Ros, anak-anak sepertinya ingin pesta ulang tahun segera dimulai,” aku memotong pembicaraannya. “Oke, oke, oke… baik. Tuhan memberkati,” katanya. Kututup telepon. “Mari kita makan…,” aku berseru di hadapan anak-anak, berlagak seperti bajak laut memimpin perompakan. Semuanya siap menyerbu. “Eh, tunggu, berdoa dulu,” sela Vivi. “Oh, ya… Siapa yang memimpin doa? Kamu Joni. Kamu yang menghadirkan berkah ini,” selorohku pada Joni. Joni tersenyum. “Ayo…,” seruku. “Saya tidak bisa berdoa,” ucap Joni malu-malu. Entah siapa yang kemudian memimpin doa. Yang jelas, nasi kuning tersebut sangat istimewa, dan anak- anak semua bergembira. Ada beberapa penganan lain lagi setelah itu. Tuhan memberkati Joni… Seusai makan, aku merasa sangat ngantuk. Ada tetesan air. Hujan agaknya akan segera turun. Kesejukan udara inikah yang menstimulasi kantuk? Atau mungkin karena tadi aku bangun terlalu pagi, untuk penerbangan yang sangat awal? “Om ingin tidur, kalian jangan terlalu ribut,” ujarku kepada anak- anak. Aku masuk kamar dan menutup pintu. Rumah ini dipimpin Joni. Kubayangkan betapa repot kalau tidak ada dia. Mataku terasa semakin berat, sementara di luar terdengar berisiknya keponakanku dan teman- teman kecilnya-entah melakukan apa mereka. Rasanya belum terlalu lama aku terlelap ketika aku dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar yang cukup keras. Aku mendengar suara keponakanku berseru-seru membangunkanku. Apa yang terjadi? “Om, bangun, bangun… Mas Joni sakit….” Aku meloncat dari tempat tidur dan membuka pintu. Wida berada di depan pintu dengan wajah cemas. “Mas Joni sakit…” katanya. “Di mana?” “Di depan.” Kudapati Joni tengah duduk di kursi di teras, bersama Vivi yang kebingungan. Tak jelas bagiku, apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa Jon?” Joni mencoba menjawab, tapi tampaknya membuka bibir pun dia kesulitan. Kulihat bibirnya bahkan agak miring. Dari matanya, kulihat dia juga berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. “Ada apa?” tanyaku lagi. Ia mencoba bangkit dari kursi, tetapi tiba-tiba hampir saja dia jatuh. Dengan cepat aku memegangnya. Tubuhnya sangat dingin. Tangan kanannya, kaki kanannya, bibir, dan sorot mata itu…. “Ya Tuhan,” seruku dalam hati. “Mungkinkah stroke…” “Di mana rumah sakit terdekat?” tanyaku kepada Vivi. “Maranatha, tidak jauh dari sini…,” jawab Vivi. “Kalian semua siap-siap. Kita bawa Mas Joni ke Maranatha. Kamu Vivi, menunjukkan jalan. Om yang nyetir.” Kuangkat Joni ke dalam mobil. Ia duduk di belakang, ditemani si kecil Wida. Duduk di jok depan, di sebelahku, Vivi terus sibuk memencet- mencet handphone, untuk coba menghubungi mama-nya, Ros, kakak perempuanku. “Tidak bisa Om, handphone Mama tidak aktif,” katanya. “Mungkin Mama sedang ceramah, atau melakukan pelayanan….” Sulit rasanya memercayai kejadian ini. Betapa tak terduga kehidupan. Beberapa saat lalu aku melihat Joni yang sehat, cenderung perkasa. Tiba-tiba, ia tergeletak tak berdaya seperti ini. Di ruang gawat darurat Rumah Sakit Maranatha beberapa selang segera ditancapkan ke Joni, setelah sebelumnya aku mengisi berbagai formulir, termasuk menandatangani beberapa persetujuan untuk tindakan medis yang akan diambil. Apa yang disebut CT Scan Kepala (NK) segera dilakukan. Hasilnya keluar berupa film besar, yang dengan singkat diterangkan oleh dokter padaku apa artinya semua itu. “Gejala semacam ini umumnya disebabkan dua hal, pendarahan di otak atau penyumbatan,” kata dokter yang bisa kuingat. “Dari foto ini bisa kita lihat. Tidak terjadi pendarahan. Hanya terlihat di situ ada suatu titik yang tampaknya merupakan penyumbatan. Ini bisa dianggap cukup melegakan,” tambah dokter, berusaha menenangkan kepanikanku. “Oke, tindakan pertama saya akan memberikan lovenox injection, itu untuk coba mencairkan sumbatan tadi….” Aku mengangguk. Ia memang menginformasikan semua tindakan medisnya padaku, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya. Ia katakan pula, ia adalah dokter umum, yang beberapa saat lagi akan dibantu oleh dokter khusus untuk kasus ini, seorang neurolog. “Kasus semacam ini sering terjadi?” aku bertanya. “Ya, tapi jarang terkena pada mereka yang berusia muda. Berapa umur dia tadi?” “Dua empat, eh, dua lima….” Dokter menggeleng-gelengkan kepala. Vivi terus sibuk dengan handphone-nya, namun tak kunjung bisa berkomunikasi dengan mamanya. Natal yang penuh kepanikan, tetapi neurolog atau dokter khusus ahli saraf yang beberapa saat kemudian datang, memberi penjelasan padaku secara lebih rinci lagi mengenai keadaan Joni sehingga kami bisa merasa lebih tenang. Tak lama kemudian, Joni dipindahkan dari ruang gawat darurat ke kamar rawat inap biasa. Dalam semua proses itu, aku bersama dua keponakanku terus mendampingi Joni. Dua keponakanku itu kulihat seperti malaikat-malaikat kecil. Beberapa waktu kemudian pula, Joni juga membuka mata, dalam tatapan yang berbeda dibanding ketika dia di rumah dan kami larikan ke rumah sakit tadi. Meski dengan sangat susah payah, ia mulai bisa berkomunikasi. Saat itu pula Vivi tergopoh-gopoh mendatangiku, dan menyodorkan handphone-nya. Rupanya Ros telah bisa dihubungi. “Mama ingin bicara…,” kata Vivi. “Ya Ros…,” kataku. “Apa yang terjadi? Kenapa dia? Tidak apa-apa? Kamu bisa menangani semuanya? Sudah di rumah sakit, jadi apa hasilnya? Waduh, bagaimana ya, aku sangat sibuk. Ini Natal, kamu tahu kan… aku tidak segera bisa ke situ karena aku masih harus melakukan pelayanan di dua tempat berbeda, jaraknya berjauhan….” Segera kupotong omongan Ros yang membuat kepalaku mendadak pusing. Kataku, “Ya Ros, kamu selesaikan urusanmu dulu, nanti kita bicara lagi….” “Nanti kuberi tahu lagi aku di mana. Tuhan memberkati…,” kata Ros sebelum menutup telepon. Aku kurang peduli. DI luar, hujan kelihatannya mulai turun. Aku menatap mata Joni, yang balik menatapku, dengan pantulan seperti paduan antara pasrah dan terima kasih. Bahkan matanya kelihatan berkaca-kaca. Aku ingat, di kampungnya, Joni sudah tak punya siapa-siapa. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Adik-adiknya tersebar di berbagai tempat, salah satunya ikut Mama di kota asalku. “Kita sama-sama tidak bisa berdoa Jon, tapi percayalah, Tuhan akan menolong kita. Dia mungkin sudah turun, bersama hujan…” kataku mengajaknya sedikit bercanda. Mata Joni makin berkaca-kaca. Hujan terdengar semakin deras. “Nah, ya kan, Tuhan makin deras…,” ujarku lagi melucu. Kali ini Joni terlihat tersenyum. Entah di mana Ros. Aku tak berpikir mengenai dia. Ini memang Natal, dan tahu kan, seperti dikatakannya tadi, dia sibuk…. Aku hanya berpikir satu hal: mudah-mudahan Tuhan benar-benar datang bersama hujan, dan Joni cepat sembuh. Banjarsari, Ciawi, Desember 2004
""Pelayanan Kudus""
Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa laundry. “Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru. Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun. Maharayi membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan serbuk lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati tangannya bergerak, seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang itu. “Bapak dulu tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum. Barangkali, jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu. “Nama saya Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias wajah Bapak.” Maharayi tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia biasa bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat mendengar dan bahkan menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa berbahagia memperlakukan seorang almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering kali seperti terdapat senyum dari bibir jenazah itu saat ia pamit meninggalkan ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar. “Akhirnya selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih luas. Saya akan pulang.” Maharayi memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan rias lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali lagi wajah Sugondo sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena bukan istri atau kerabatnya. Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang perias jenazah. Di depan pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang kerabat almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih. Maharayi sedikit terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang kerap tampil di halaman majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin, celak di bawah mata serta selapis pemerah bibir yang samar. “Keluarga yang lain di mana?” “Kebetulan sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?” “Oh, tidak,” Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.” “Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak terlalu sipit itu sedikit membungkukkan badan. Mereka pasti orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas. SEJAK suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil sendiri. Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu masuk ke dalam rumah, dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito, kelas I SMP, yang meringkuk dalam dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi malam ini bukan Kemal yang siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara penyiar radio ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium pipinya. Listy masih terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu ibunya membuka pintu kamar. “Besok tidak ada ulangan, Nak?” “Sudah belajar,” sahut Listy tanpa memandang. “Ibu mandi dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap sebuah potret yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?” “Alessandro.” “Pemain sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu berkelebat dalam ingatan. Wajah itu! “Peragawan.” “Kamu kenal?” Terdengar nada kagum. “Hampir semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.” Maharayi menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih menggayut saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah dalam ingatannya. “O, hebat! Kamu berteman dengan bintang televisi.” Kepala Listy tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir. Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak. “Ibu aneh.” Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu aku kenal.” “Apakah menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?” “Zaman sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak laki-laki, Bu.” “Ya, sudah.” Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap kelebat wajah yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro! Anak atau cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang peragawan sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka Alessandro menjadi bintang film? Maharayi melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.” Sinar matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan mobil, melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang meninggalkan bunyi bip dua kali. Langkah sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu mengetuk pintu karena ternyata tidak dikunci. “Dito!” Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi. “Listy!” Di ruang tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak biasa. Dan Maharayi mengulang pertanyaannya. “Kak Listy pergi.” “Ke mana?” Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban. “Apakah Ibu tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap dengan raut cemas. Cemas yang tidak biasa. “Ya Tuhan…” Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga Sugondo, tapi tak terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari kunjungan rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu. Mungkin Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan? Dito berlari ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan segera meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri. Sekarang ia lebih menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang favoritnya. Dapat dibayangkan, tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus itu kini tak mungkin tampil lagi di depan penggemarnya kecuali memutar ulang film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat dibayangkan kesedihan macam apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi… ke mana sebenarnya Listy? “Kalau begitu, Ibu mau melawat ke rumah…” “Lihat, Bu! Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi tertegun memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah jurang sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun benturan di kepala membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah suasana rumah sakit saat jenazahnya turun dari ambulans. Maharayi hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya sendiri di rumah. Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga Alessandro seandainya sulit membujuk Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler Listy tidak diaktifkan? “Ibu akan menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus mencarinya.” Itu keputusan Maharayi. Sunyi memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut kedatangan Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang memintanya beberapa hari lalu untuk merias wajah Pak Sugondo. “Saya tak tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu. Maharayi menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut berduka. “Dia masih muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.” “Sayang sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang baik.” Ingin Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…” tapi urung. Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan. “Saya minta Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.” “Terima kasih atas kepercayaan Ibu.” Seseorang mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu, sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka tas yang dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak terdapat di dalamnya. Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas besarnya? Atau justru tertinggal di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini. “Kenapa?” tanya pengantar itu. “Tidak apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.” “Apakah boleh saya tinggal?” “Ya. Biarkan saya sendiri.” Maharayi menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah. Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki. Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa alat rias? Maharayi belum hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya dari dekat. Tertegun ia memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar. Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu ditangani selama ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak tepat pada tempatnya. Wajah yang tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi yang kemerahan… “Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi sendiri. “Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.” Tiba-tiba mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap jenazah selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang tak pernah dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy. “Benar pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir Maharayi gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?” Pandangan Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka perlahan. Mata yang kemudian tersenyum. “Ibu tak perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat gerakan bibir pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa dengan santun tiga hari lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo. Mata itu kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar, tertegun dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan dan membuat sepasang kakinya berangsur dingin. Listy? Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser mundur. Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap mengertap. Tak ada suara burung gereja yang biasanya bercericit di lubang angin. Tak ada suara angin yang biasanya menggerakkan daunan pohon di sisi krematorium. Tapi ia mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa membentur lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang menggigil dengan wajah basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case coklat muda miliknya. “Maafkan aku, Ibu.” Maharayi memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara padanya? Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya mulai basah oleh air mata Listy.* Jakarta, 15 Agustus 2004
""Juru Rias dan Seorang Pesolek""
Dalam hening waktu aku tidak mau diganggu. Lepas subuh aku mengambil saat teduh dan mencoba merenungkan sesuatu dan membiarkan pikiran, hati, dan kalbuku mengembara. Kurasakan suatu suasana gairah bertemu dengan Sang Tuhan dan berdialog dengan-Nya setelah menjelajah angkasa mahaluas yang biru. Sebuah suasana syahdu menggelegak dalam kalbu. Saat teduhku terkadang terentak membuat tubuhku seolah-olah terangkat, mengapung tanpa berat, ketika dering telepon pagi itu berdering. Aku mengadakan konsentrasi lagi, tidak mengabaikan dering telepon yang bertalu-talu, ketika pikiranku mengelana ke batas ruang dan waktu, dan tubuhku terhempas ke padang rumput yang hijau. Suasana nyaman tiba-tiba terganggu lagi, juga, oleh bunyi telepon itu. Aku tidak mengangkatnya. Telah kutetapkan dalam hati, setiap pagi lepas subuh, aku tidak mau diganggu oleh siapa dan oleh apa pun! Mengapa aku tidak bisa menjadi diriku sendiri, bebas dari usikan orang-orang di sekelilingku? Untuk ketujuh kalinya saat teduhku terganggu lagi. Ah, Jakarta! Jakarta lagi! Mengapa aku terhempas ke Jakarta ini? Di luar hiruk pikuk kendaraan yang tidak ada putus-putusnya. Siang malam jalan-jalan raya padat kendaraan berbagai macam. Orang-orang yang mengejar waktu, mengejar kendaraan, dan dikejar waktu yang tidak berkesudahan membuat diriku terpenjara di belantara gedung-gedung pencakar langit ini. Mengapa mereka menarik aku ke kota yang tidak mengenal batas waktu ini? Di jemaatku di pedesaan, orang-orang ramah kepadaku. Mereka datang ke rumahku atau aku mendatangi rumah mereka, tanpa bunyi telepon segala. Saat teduhku sangat tidak terganggu. Aku dapat membuka jendela dan menghirup udara pegunungan yang segar. Aku dapat menatap puncak gunung dan menyaksikan rombongan burung gagak terbang riuh pada senja hari dan kemudian sepi menyentuh kalbu. Air pegunungan yang jernih, dingin, bersih, melebihi kemurnian air aqua yang tersedia di balik bangunan tinggi ini. Udara pegunungan jauh lebih sejuk daripada AC yang terus-menerus merayapi ruangan tinggalku di tingkat tiga ini. Sempurna sudah keterperangkapanku di udara Jakarta yang menyesakkan ini. Dering telepon lagi untuk kedelapan kalinya. Suasana hening kulepaskan dari benakku. Aku turun ke kantor di lantai satu. Barangkali ada anggota jemaatku yang betul-betul memerlukan pertolonganku. Keterlaluan telepon itu. Tetapi, siapa tahu ada anggota jemaat yang meninggal dunia dan memerlukan simpati dan doa-doa yang lebih hidup daripada “saat teduhku” ini? Kuturuni tangga dan kucoba menghalau pikiran buruk dari benakku. Biasanya panggilan telepon pagi hari memang bersuasana duka. Sama seperti dering telepon tengah malam. “Halo? Saya berbicara dengan siapa? Ada sesuatu yang dapat kutolong?” tanyaku. Di seberang sana hening sejenak, lalu kemudian diikuti desah isak yang tertahan. Aku menunggu dengan ragu-ragu. “Siapa? halo?” Setelah berlalu hening dalam beberapa detik, kudengar suara perempuan, “Halo? Pak Pendeta?” “Ya, ada apa, Bu?” “Bolehkah saya mengganggu?” “Ya, tidak apa-apa. Ada yang dapat kubantu?” “Boleh saya datang ke kantor Pendeta?” “Ya. Tentu. Tentu.” Kudengar isakan dan kemudian disusul suara serak. “Pak Pendeta, di tangan kananku ada botol Baygon, sudah lama hendak kuminum dalam ragu….” “Bu, kedatangan Ibu kutunggu. Datanglah segera. Lepaskan Baygon itu. Datanglah! Saya akan mendengar keluhan Ibu. Sungguh, kutunggu.” “Baiklah,” jawabnya pelahan. Terdengar bunyi botol diletakkan di atas meja. Lalu, gagang telepon yang ditaruh kembali. Gawat! Gawat! kataku kepada diriku sendiri. Di pedalaman, jarang ada anggota jemaatku menggantung diri sekalipun kemarau panjang atau hama wereng menggasak padi mereka, atau tikus yang merajalela dan merusak padi yang sedang membesar. Aku tidak tahu seberapa jauh ia dari tempatku tinggal. Ibu itu tidak menyebut namanya dan itu hal biasa karena setiap anggota jemaat menyangka pendeta pastilah mengenali suara anggota jemaatnya. Tak peduli aku sebagai orang baru di kota ini. Sejam kemudian terdengar bunyi bel pintu. Kubuka pintu dan tampak di depanku seorang ibu berusia kira-kira empat puluhan. Berpakaian rapi. Rupanya manis dan lembut. Pastilah ia seorang ibu yang baik di dalam keluarga. “Masuklah, Bu,” kataku. “Saya Dian, Pak Pendeta. Ibu Dian Kesuma.” “Oh ya! Saya tahu. Saya ingat sekarang,” kataku sambil mengingat-ingat kembali bahwa selang beberapa bulan yang lalu, aku bertemu dengan suaminya di gereja, dan istrinya di sampingnya. Kesan pertama yang kuperoleh, pastilah mereka keluarga bahagia. Dua anak mereka yang masih duduk di bangku SD juga duduk di samping mereka. “Ada apa, Bu Dian?” Bu Dian mengeluarkan saputangannya dan menutupi wajahnya dengan saputangan itu. Ia menahan isak. Lama suasana hening. Ia menangis. Setelah tangisnya reda, kudengar suaranya mulai normal. “Pak Pendeta. Telah berkali-kali Pak Pendeta kutelepon pagi hari, tetapi tidak ada yang mengangkat. Apakah saya mengganggu?” tanyanya. Aku mengingat kembali saat teduhku, saat aku tidak mau diganggu. Ketika hening waktu aku bergumul dengan perasaanku sendiri dan mencari keteduhan di bawah sayap Yang Mahakuasa. Pada saat yang bersamaan, di sini ada seorang anak manusia yang memerlukan pertolongan dariku. Tuhan, ampuni aku, kataku kepada diriku sendiri. Betapa egois sikapku. Aku merasa bersalah. “Maafkanlah saya, Bu Dian,” jawabku, “Ibu tidak mengganggu.” “Saya mempunyai masalah, Pak Pendeta. Bolehkah saya menceritakannya?” “Saya akan mendengar,” jawabku. Aku selalu siap untuk mendengar dan memang itulah tugas penting yang diberikan Tuhan kepadaku. Mendengar dan mendengar. Mamahami, menaruh simpati, dan sedikit berkata-kata. “Pak Pendeta, tadi pagi saya sudah bertekad untuk meminum Baygon kalau telepon kali terakhir itu tidak diangkat. Saya mengatakan kepada Tuhan apabila telepon pendeta ini tidak diangkat sama sekali berarti niatku harus kulaksanakan. Itulah sebuah pertanda bahwa tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Tetapi, ketika dering telepon yang terakhir diangkat, saya meletakkan Baygon di atas meja dan buru-buru datang kemari. Tidak ada lagi tempatku mengadu, tidak ada. Pertama kali saya ketahui bahwa suamiku jatuh cinta lagi kepada seorang sahabatku yang karib, kuberitahukan kepada mertuaku, tetapi mereka mengatakan bahwa itu fitnah. Saya tanyakan gosip itu kepada suamiku, dijawabnya tidak ada apa-apa. Hubunganku dengan pihak keluarga suami menjadi retak. Mereka mengatakan bahwa saya menantu yang tidak tahu diri. Hal ini pun kuberitahukan kepada pihak keluargaku, mereka mengerti keadaanku dan memahami persoalanku, tapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukan sesuatu karena kami menikah atas dasar suka sama suka sekalipun mereka tidak merestuinya. Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang campur aduk. Suamiku bersikap biasa-biasa saja. Kalau ia pergi ke luar kota karena dinas, ia memberitahukan sebagaimana adanya. Kecurigaanku tidak mungkin kuceritakan kepada temanku yang paling dekat pun karena mereka pun dekat dengan perempuan yang kucurigai. Tetapi, hati nuraniku mengatakan lain. Kerap kali kami bertengkar ketika anak-anak sudah tidur, hanya karena soal-soal kecil saja. Di mata suamiku, saya mendapat kesan, saya seperti penghalang bagi dirinya. Entah mengapa saya beroleh kesan seperti itu, saya tidak tahu. Sering ia marah-marah tanpa alasan. Kucoba mengalah, berdamai dengan diriku sendiri. Semua prasangka burukku kuhalau dari kalbu. Saya berusaha menjadi ibu yang baik kepada anak-anakku. Segala kasih sayangku kucurahkan kepada kedua anakku. Merekalah tumpuan harapanku. Mereka tidak mengetahui apa yang terjadi antara saya dan ayah mereka. Berbulan-bulan saya berusaha mendamaikan diriku sendiri. Tetapi, belakangan saya sering mendapat telepon entah dari siapa. Dari seorang perempuan yang selalu bertanya di mana suamiku. Saya merasa risau mengapa ia begitu peduli dengan suamiku. Kukatakan hal ini kepada suamiku, tetapi ia mengatakan supaya hal itu dilupakan saja. ’Sekarang ini banyak perempuan iseng yang sekadar mengganggu keluarga orang.’ Akan tetapi, saya justru bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa perempuan itu menanyakan suamiku pada jam-jam kantor ke rumah. Pastilah ia tahu bahwa suamiku ada di kantornya. Beberapa waktu belakangan ini, telepon dari perempuan yang sama (walaupun volume suara yang agak berbeda) menanyakan di mana suamiku dan ia ingin meminta pertanggungjawaban. ’Pertanggungjawaban apa?’ tanyaku. ’Atas perbuatannya!’ jawabnya singkat, lalu memutus telepon. Malam hari kutanyakan hal itu kepada suamiku. Tampaknya ia grogi dan berdiam diri. Kali ini tidak bereaksi dengan kemarahan seperti biasanya. Malah ia berdiam diri, sampai akhirnya saya mendesaknya. Ajaib, kali ini ia minta maaf kepadaku. ’Maafkanlah saya, Dian. Terlalu lama saya bersandiwara denganmu. Maafkanlah saya!’ ’Apa yang harus kumaafkan? Kau terlibat dengan perempuan yang kucurigai itu?’ ’Ya,’ jawabnya perlahan. Saya merasa tanah tempatku berpijak runtuh, menganga, dan saya tenggelam ke dalamnya. Saya menangis sejadi-jadinya. Semalam-malaman air mataku membasahi bantalku. Saya tidak tahu hendak berbuat apa. Suamiku dengan terus terang mengakui kesalahannya kali ini dan memohon kepadaku maaf. Tetapi, maaf apa yang hendak kuberikan kepadanya? Haruskah saya melupakan peristiwa itu, sementara teror telepon datang dari waktu ke waktu? Pak Pendeta, beberapa waktu yang lalu, ketika bangun pagi, saya menemukan sebuah surat di atas meja. Kubuka surat itu. Isinya? Aduh, dunia sudah kiamat bagiku. Ia meminta maaf dan pergi untuk selamanya dari sampingku dan samping anak-anakku. Ia memberitahukan bahwa kedua rumah yang dibeli dan ditempati atas namaku diserahkan padaku. Kuhubungi keluarga pihak suamiku di mana keberadaan putra mereka, suamiku, tetapi mereka menjawab ’Tidak tahu.’ Bahkan, mereka balik bertanya mengapa seorang suami meninggalkan istri dan anak-anak, pastilah karena istri yang tidak becus. Saya sakit hati sekali. Berminggu-minggu saya mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak berhasil menemukannya. Orang kantornya pun mengatakan bahwa sudah lama ia tidak masuk kantor. Anak-anak menanyakan di mana ayah mereka, kujawab bahwa ia sedang bepergian ke luar kota untuk waktu yang lama. Dalam situasi kemelut ini saya dikejutkan lagi berita bahwa kedua anak saya diambil pihak keluarga suamiku dari sekolah. Kiamat yang lain menimpaku lagi. Apa arti hidup ini bagiku, tanpa suami, tanpa anak dan tanpa keluarga? Di mana Tuhan, Pak Pendeta? Mengapa Dia membiarkan ini semua terjadi kepada diriku?…” Perlahan aku menjawabnya, “Tuhan selalu mengasihi orang yang teraniaya, Bu Dian. Ia melihat deritamu, Ia memberi kekuatan kepadamu sampai suatu saat jalan terbaik ditunjukkan-Nya kepadamu.” Kulihat ia menarik napas dalam-dalam sambil menghapus titik-titik air mata dari pipinya. “Saya mendoakanmu, Bu Dian. Jangan putus asa. Tuhan akan menunjukkan jalan terbaik bagimu. Sabarlah. Jangan ikuti jalan iblis yang menggodamu, yang membawamu ke tempat yang tidak kaukehendaki. Serahkan jalan hidupmu kepada Tuhan, maka Ia akan menyelamatkanmu….” Kata itu frase dari Kitab Suci, yang kupetik untuknya. Aku tidak tahu apakah itu dapat menghiburnya dan memberi kelegaan baginya. Aku sendiri pun pada saat teduh lebih memikirkan hening waktu daripada kenyataan yang kuhadapi. Tapi pasti, Tuhan yang ada di seberang sana tetaplah Tuhan yang memerhatikan jalan hidup manusia. Manusia adalah pelakon bagi hidupnya dan perannya yang dipilih sendiri berlangsung di pentas kehidupan itu sendiri. Beberapa minggu kemudian dering telepon subuh hari mengentakkanku dari saat teduh yang terganggu. Segera kuangkat telepon. “Halo?” Dari seberang sana ada suara yang mudah kukenali. “Halo, Pak Pendeta. Ini Ibu Dian Kesuma. Perlu Pendeta kukabari bahwa kedua rumahku yang ada di Jakarta telah kujual. Sebagai anggota jemaat Anda, saya pamit. Saya akan pergi ke negeri seberang. Mencoba melupakan segala sesuatu. Kendaraan pun telah saya jual karena di negeri yang baru itu saya akan belajar melupakan sesuatu yang pernah singgah dalam hidupku. Terima kasih atas nasihat Pak Pendeta. Saya akan naik pesawat pertama pagi ini. Maafkan saya yang telah mengganggu saat teduh Pak Pendeta. Semoga di angkasa sana, kalau Tuhan mengizinkan, saya dapat merenungkan ciptaan kemuliaan Tuhan. Dari angkasa kita tahu bahwa manusia tak lebih dari setitik air yang akan lenyap dan menguap di udara. Selamat tinggal….” Aku pun tenggelam dalam hening waktu. Bandung, 8 November 2004
""Dalam Hening Waktu""
Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya. Tak dia pedulikan apa kata orang. Dia kelihatannya hanya mendengar dan mengikuti suara-suara yang selalu bergalau di dalam dirinya. Suara-suara yang tak bisa dijelaskan datang dari mana, namun selalu menggema dan memburunya untuk berbuat sesuatu bagi kemerduan suaranya. Suatu ketika, kota nelayan kami gempar ketika dia bergabung dengan serombongan nelayan dan pergi melaut mendekati pinggang Selat Malaka. Dia bukannya benar-benar berniat mau menangkap ikan, tetapi hanya sekedar hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan itu menarik suara, ber-sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. Dia terpikat dengan irama sinandong yang dibawakan dengan nada tinggi untuk menitipkan kabar kepada anak-istri lewat angin tentang hasil tangkapan mereka seharian. Lagu itu mulai dilantunkan ketika perahu dikelokkan di tanjung yang kelihatan menjorok dari arus sungai, sekitar dua kilometer jauhnya dari kota. Tentu saja orang-orang tersentak mendengarkan suaranya yang bernada tinggi dengan alunan yang indah, tapi patah-patah, khas sinandong. Dengan begitu dia telah membuat sejarah, karena sepanjang usia seni suara yang sudah ratusan tahun, baru sekali inilah seorang perempuan yang melagukannya. Alasan mengapa dia ikut melaut, katanya, karena kelompok kasidah yang berlatih seminggu sekali sudah tak memadai untuk kebutuhan latihannya. Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satunya yang terdapat di kota kami. Oh Tuhan, untunglah niat itu dibenamkannya. Kalau tidak, oi makjang, apa kata orang? Seorang dara Melayu, anak haji pula, menyanyi di gereja! Suara-suara yang berdesakan di dalam pikirannya membuat kamauannya seperti angin yang tak terkendalikan. Suatu ketika, matanya berapi-api mendengar kabar bahwa guru mengaji kami, Haji Maksoem, yang hafal Al Quran, dikabarkan memakan rio-rio, semacam jengkerik yang bersuara nyaring. Karena itulah mengapa suara sang guru begitu merdu, garing. Begitulah kata kabar burung itu. Aku tak tahu pasti apakah dia benar-benar keluar malam hari, sendirian membawa suluh, untuk mencari binatang penggirik itu, lantas menggoreng dan memakannya laksana udang. Yang jelas, alunan suaranya memang tak tertandingi. Dia menjadi juara seriosa maupun hiburan untuk seluruh kabupaten, dan setahun kemudian dia mengalahkan semua pesaingnya di tingkat provinsi. Pada masa itu, belum ada gadis yang berniat meninggalkan kota kecil kami dan pindah ke ibukota provinsi sekalipun itu untuk kebutuhan mendesak, melanjutkan pelajaran, misalnya. Dia hanyut dibawa oleh suara yang berdesakan dari dalam dirinya sendiri dan nekad mengambil keputusan untuk pindah ke Jakarta, mengadu nasib sebagai biduan. Suara dan gayanya menyanyi yang membuat orang terlena, ditambah nasib yang baik, tentu, dengan cepat melambungkannya ke puncak kesohoran. Kurang dari setahun dia sudah menjadi juara bintang radio tingkat nasional. Dia menjadi orang yang paling diburu wartawan. Matanya, yang bagaikan bintang yang tak kenal redup, dan bibirnya yang sensual bak delima kematangan, menghiasai berbagai majalah. Sungguhpun warna kulit majalah waktu itu cuma hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaannya. Ketika tampil di Gedung Kesenian, presiden republik dan seluruh keluarganya datang menyaksikan. Dan manakala pertunjukan selesai, orang paling penting di negeri ini menyelinap ke belakang panggung untuk memberikan sekuntum mawar sebagai isyarat pujian akan suara dan penampilannya. Sesudah pertunjukan malam itu, beberapa kali dia diundang ke istana untuk menyanyi sebagai selingan acara resmi. Dan entah berapa kali pula presiden mengirim ajudan untuk menjemput sang biduan guna menemaninya sarapan pagi. Suara-suara yang memburu dari dalam dirinya tiada pernah padam, memicu ambisinya untuk selalu paling atas. Sampai datanglah pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tanggga terakhir bagi kariernya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya. Sang suami bertekad untuk menyembuhkan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segala-galanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya jadi tergantung pada obat. Dan, perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya. Kupikir Marwah Juwita adalah biduan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Suaranya adalah puncak kemampuan seorang seniman mencurahkan bakatnya. Kalau mengalunkan suara, jiwanya benar-benar luluh dengan lagu yang dibawakannya, dan di atas panggung gerak tubuhnya mengisyaratkan betapa menderita sukmanya ketika mengalunkan lirik lagu yang melukiskan cinta yang patah, dan betapa menggelora pula hatinya menakala dia beralih ke lagu yang ringan suka cita. Aku menyesal tak memiliki satu pun piringan hitamnya. Kalau melintasi para pedagang barang loakan yang bertebaran di ibukota ini, aku selalu teringat padanya, dan mencari-cari kalau mereka menyimpan barang sekeping piringan hitamnya. Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengannya. Sampai pada satu senja, ketika aku sedang duduk menikmati kopi di kafe yang terletak di seberang Gedung Kesenian, tiba-tiba sepasang tangan meraba bahuku dari belakang. Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memoles bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar. “Pinora…!” katanya setengah berteriak menyebutkan namaku. Aku terdiam beberapa detik sebelum ingatanku padanya membulat, dan kataku dengan mulut agak ternganga, “Marwah Juwita! Aku takkan pernah lupa.” Dan kami berpelukan menenggelamkan kenangan yang bertimbun berpuluh tahun. Setelah pertemuan itu, boleh dikatakan Marwah menjadi pengunjung tetap kafe yang terletak di seberang gedung pertunjukan di tepi Kali Ciliwung itu, tempat di mana para seniman dari berbagai bidang sering bertemu. Katanya, sudah lama dia mencari-cariku. Dia terutama tedorong mau bertemu setelah beberapa kali membaca puisi-puisi pendekku yang dimuat di koran-koran yang beroplah kecil. Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya akhirnya kalah juga pada suara-suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya. Suara-suara itu tidak mengenal usia. Ketergantungan pada obat penenang ternyata tak kuasa mempertahankan tali perkawinannya. Dia memilih menyerah pada desakan suara daripada terus menjadi seorang istri pingitan. Kini, dia hidup bersama putra sulungnya, seorang insinyur, yang tetap membujang. Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan. Bisa kurasakan bagaimana susah-payahnya dia menekan suara-suara yang berdesakan di dalam hatinya, yang menuntut semacam pengakuan bahwa pada suatu masa dia pernah menjadi yang terbaik dari semua orang yang bergulat di bidang yang sama. Namun, kini dia hanya sesosok tubuh yang renta. Tak bernama. Karena itu, dalam setiap kesempatan selalu kuingatkan para seniman muda di sekelilingku tentang siapa wanita gaek yang bergigi palsu itu sebenarnya. Prestasi apa yang telah dia capai. Namun, upayaku tak banyak menolong. Buat para seniman muda itu Marwah Juwita tak lebih dari seorang janda tua yang ingin menunda kematian dengan membuang-buang waktu di sebuah kafe. Suasana menjadi semakin buruk bagi Marwah. Suatu kali, dia muncul dengan membawa setumpuk sketsa di atas kertas-kerta folio. Rupanya, ketika berada dalam penanganan psikiater tempo hari, dia juga menjalani terapi khusus, melukis. Di antara sketsa itu ada satu yang mengesankan bagiku, yaitu lukisan tentang seorang ibu yang sedang mendekap anaknya sambil berlari melepaskan diri dari cengkeraman badai. Tetapi, buat para pelukis muda yang sempat melihatnya, sketsa-sketsa itu tak lebih berharga dari coret-coret anak kecil yang baru belajar menggambar. Semingggu kemudian, Marwah datang dengan mengempit map. Dia menggeser kursi dari meja kosong di sebelah dan duduk berjejer dengan seniman-seniman, yang dari segi usia, pantas jadi anak-anaknya. Seperti menahan malu dia membuka map itu dan mengeluarkan selembar foto dari situ. Di situ kelihatan Marwah Juwita yang baru berusia 22 tahun, diapit presiden dan istrinya. Meskipun Marwah berkali-kali menyebutkan gadis yang berfoto bersama Soekarno dan istrinya itu adalah dia, namun para seniman yang mengelilinginya cuma melengos. Seperti tak percaya. Atau mereka juga barangkali tidak begitu hirau. Atau mungkin juga mereka tidak kenal dengan Soekarno. “Sudahlah Juwita,” kataku membujuknya, “orang zaman sekarang memang gampang lupa.” Dan matanya berseri-seri menahan kebahagiaan ketika kukatakan bahwa aku akan mencarikan teman yang bersedia mencarikan sponsor untuk memamerkan sketsa-sketsanya itu di satu galeri kecil. Episode pada satu senja dengan selembar foto di dalam map yang diletakkan di atas meja kafe, dengan seniman muda yang tak acuh mengelilinginnya, begitu memukul perasaan Marwah, sehingga dua hari kemudian dia mengatakan kepadaku bahwa dia akan membawakakan foto kopi kliping dari sebuah majalah yang meliput kejuaran nasional seriosa tahun 1952, lengkap dengan foto sang juara, Marwah Juwita tentu, diapit dua penyanyi yang dia kalahkan. “Aku tak akan bosan mengingatkan anak-anak muda itu tentang sepenggal perjuangan hidupku,” ucapnya. Aku datang jauh lebih awal dari janji yang kami sepakati. Sebagaimana biasa, kupilih kursi yang paling dekat ke tepi Kali Ciliwung, sehinga aku bisa memandang lalulintas di seberang dengan leluasa sambil menghirup kopiku. Ketika itu Teluk Jakarta sedang pasang. Air kali di bawah kakiku mengalir dengan berat. Tiba-tiba aku melihat dua lembar kertas yang putih bersih mengapung diseret air mendekati undakan batu di bawah kafe. Aku bangkit, menuruni undakan batu dan menyelamatkan kertas tersebut dari permukaan air. Lembar pertama merupakan foto kopi dari satu halaman penuh majalah Star Weekly tahun 1952, dengan tanggal dan bulan yang sudah tak terbaca. Walaupun halamannya sudah kabus, namun laporan lengkap majalah itu dari kejuaraan nasional seriosa masih bisa dibaca. Di tengah halaman terpampang foto Marwah Juwita, sang kampiun, dan dua penyanyi yang kurang mujur di kiri-kanannya. Sedangkan pada lembar yang satu lagi, yang dijepitkan pada kliping tersebut, terbaca tulisan tangan: “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…” Dua lembar kertas yang masih basah itu kulipat dengan hati-hati. Aku keluar dari kafe menuju perahu penyeberangan yang terletak kurang dari seratus meter di sebelah timur. “Apakah Bang Ote menyeberangkan Mama tadi?” tanyaku kepada pemilik perahu. “Ya. Dua kali dia menyeberang. Seperti orang kebingungan. Membawa segulung kertas. Waktu disapa, dia tak menjawab.” Dua hari berturut-turut mataku seperti berbulu menyimak koran-koran yang haus sensasi, mencari-cari di antara kalimat-kalimat mereka yang ditulis dengan tak berperasaan tentang seorang wanita tua yang tenggelam di Ciliwung atau menghembuskan nafas setelah ditabrak bus kota yang berlari dengan kejam. Aku juga menunggu kalau-kalau koran nasional yang berwibawa menuliskan obituari pendek tentang seorang biduan tenar tahun 1950-an. Tapi, aku tak menemukan nasib Marwah. Hari ketiga setelah kliping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berperangko kepadaku. Di dalamnya terselip dua lembar kertas yang sama seperti yang kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya, pada kata-kata “Hanya seorang biduan…,” stabilo merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan dari seseorang yang menyesali diri.*
""Suara""
Tubuh Ratri bergetar turun dari taksi, mengenakan kruk di bawah ketiak tangan kanan. Memandang sejenak bias purnama di atas gedung-gedung kota lama. Bimbang. Termangu. Menggenggam tanganku. Ratri menyatu dengan cahaya bulan yang samar di antara kelelawar yang terbang di atas atap-atap bangunan tanpa penghuni. Bangunan-bangunan tua, gelap, dan tersia-siakan sepanjang musim membuatku terhenyak, terkesima. Masih seperti sedia kala, kota lama yang ditinggalkan penghuninya diramaikan dengan cericit kelelawar. Perempuan-perempuan berdandan seronok menggoda lelaki lewat. Pedagang berlampu minyak redup di sudut-sudut gang menanti pembeli. Bau lumut lembab di dinding-dinding bangunan tua yang mengelupas tajam menyengat. Aku tersekap ke masa silam yang tertimbun berbagai kenangan. Di antara perempuan-perempuan yang turun dari mobil beraroma harum dengan ketenangan yang memantul dari wajah mereka, Ratri tetaplah wanita yang menjadi pusat perhatian karena kehalusan pancaran wajahnya. Ia serupa cermin yang menyimpan purnama. Beribu-ribu purnama yang pernah singgah di kota lama terpendam dalam wajahnya. “Mestinya aku menari mengiringi resital piano malam ini,” kata Ratri, yang wajahnya memancarkan keteduhan bulan. Kulitnya bening, rambutnya lurus sebahu, menyempurnakan kecantikan wajahnya-sebagai wanita yang lahir pada tengah malam purnama. Aku kehilangan kesanggupan untuk menghiburnya. “Lama aku mempersiapkan diri untuk bisa mencapai pentas hari ini,” kata Ratri, “sampai datang malapetaka itu, pesawat yang kutumpangi tergelincir di bandara, kaki kananku remuk dan mesti diamputasi.” “Barangkali kau akan menemukan cara untuk tetap menjadi penari,” balasku. Ratri menyembunyikan kegelisahan yang mahadahsyat di balik wajah lembutnya, wajah yang memendam senyum bibir merah menyala. Rambutnya lurus sebahu, disusupi cahaya bulan. Kami memasuki ruang pertunjukan. Cahaya serupa pancaran purnama menerangi piano di tengah panggung. Sang pianis setengah baya yang sempurna ketampanannya berdiri, membungkuk hormat, menanti tepuk tangan mereda. Panggung dalam kesunyian yang agung. Sang pianis tersenyum, berlinang air mata. “Saudara-saudara sekalian, di malam terang bulan ini, mestinya saya tak bermain piano sendiri di sini. Mestinya saya ditemani seorang penari kenamaan kita, Ratri Purnamasidhi Dewi. Tapi sayang, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah menyebabkan kaki kanannya mesti diamputasi. Saya persembahkan resital piano ini padanya sebagai rasa simpati yang mahadalam.” Ratri berdiri, dengan kruk di bawah ketiak tangan kanannya, membungkuk hormat pada penonton, yang memandanginya dalam sunyi, dalam kegagapan. “Saya berharap, suatu saat, pada terang bulan macam ini, di gedung pertunjukan ini, bisa bersamanya untuk menuntaskan harapan pentas yang urung malam ini!” Sang pianis itu mengusap lelehan di sudut matanya. “Hadirin sekalian, terimalah persembahan saya yang pertama!” Cahaya yang menerangi gedung pertunjukan padam. Tinggal redup lampu yang terpusat di tengah panggung, terpusat pada piano dan sang pianis. Dengan mata terpejam, pianis itu memperdengarkan alunan musik yang menyihir hadirin di gedung pertunjukan kota lama. Ratri menikmati alunan musik itu dengan tubuh yang tertahan. Lama-kelamaan, ia tampak menahan penderitaan yang munculnya dari dalam dirinya. Aku menyaksikan kelembutan wajah yang tersiksa. DI luar gedung pertunjukan, usai semua penonton menyalami sang pianis, Ratri mengasingkan diri, menyepi, dan menghindar bertegur sapa dengan banyak orang. Aku mengikutinya dan berharap ia akan mengadukan kesedihan hatinya. Tapi ia berhenti melangkah. “Biarkan aku sendirian. Aku ingin berjalan-jalan,” pinta Ratri. “Apa kau memang tak lagi perlu teman?” “Bahkan suami pun tak kuperlukan kehadirannya saat ini. Aku benar-benar ingin sendiri.” “Apa kau tak ingin menemaniku minum?” Tersentak, dia mempertimbangkan permintaanku. Aku tahu, dia sulit menolak ajakanku. Apalagi terang bulan begini, berbagi cerita di sebuah warung minum kesukaan kami, sambil berbincang-bincang, dia bisa larut dan suntuk. Dan purnama baginya membawa kenangan masa kecil ketika kami masih suka bermain petak umpet. Pada saat aku bersembunyi di balik semak belukar tanpa sengaja melihat Ratri kencing persis di depanku. Tubuhku yang bersembunyi di balik perdu bisa mengawasinya dengan sangat dekat. Bulan berkilauan di atas semak-semak dan perdu saat itu. Mendengar aku tertawa tertahan, dia menyergapku dengan seruan marah, “Kurang ajar! Kamu melihatku sedang pipis! Kelak kamu harus menjadi suamiku!” Tapi dia sendiri, yang ketika tumbuh dewasa menjadi seorang penari cantik, memilih Andre sebagai suaminya dan berpamitan padaku, “Aku tak mungkin menikah dengan lelaki lain, kecuali dengan Andre.” Saat dia memutuskan untuk menikah dengan Andre, kami duduk berhadapan di sebuah warung minum kesukaan kami dalam lembut cahaya bulan purnama. Dia tampak sangat serius saat itu dan aku menertawakannya. Tak tega aku mengungkit-ungkit janjinya di masa kecil, yang diucapkannya dengan merengek hampir menangis. Hati seseorang tak pernah tetap. Ratri tentu tak pernah memancangkan hatinya pada suatu janji masa kecil, sementara keinginannya ketika dewasa mengalami perubahan. Juga saat ini, ketika ia menolak permintaanku untuk bersantai di warung minum kesukaan kami, aku mesti menghormatinya. Ia naik taksi yang tadi membawanya ke gedung pertunjukan kota lama ini. Rembulan pudar saat tengah malam ketika gedung pertunjukan telah menjadi sepi dan kota lama kembali pada kesunyiannya yang merapuh. Kelelawar-kelelawar makin banyak berseliweran di atap-atap gedung tanpa penghuni. Perempuan-perempuan penghibur, dengan bedak tebal, dengan langkah penuh godaan dan penantian yang letih, masih berlenggang di jalan-jalan kota lama. Andre menghentikan mobilnya, menghampiriku. Wajahnya pucat berembun, menampakkan kecemasan. “Kamu bertemu Ratri?” “Dia sudah lama meninggalkan gedung pertunjukan,” balasku. Lampu gedung pertunjukan di kota lama ini dipadamkan. Pintu gedung yang tinggi dan tebal ditutup. Dikunci dari luar. Sama sekali tak menyisakan kesan baru saja digunakan sebagai tempat pertunjukan resital piano yang mahadahsyat. “Mestinya aku tak melepaskannya pergi sendiri. Dia sangat menderita kehilangan sebagian kaki kanannya yang indah,” gumam Andre. Ditinggalkannya aku begitu saja dengan langkah limbung, langkah pencarian yang sia-sia. Tampak dia sangat letih dan gusar. Sebuah rumah tua, tak terawat, di sebuah desa di lereng pegunungan-milik almarhum kakek Ratri-hampir-hampir tanpa cahaya. Hanya ada sebuah ruangan yang terang benderang meski hari menjelang dini hari. Ada bayangan perempuan di dalamnya. Di depannya sebuah kanvas, di tangan kanannya kuas, dan di tangan kirinya lempeng palet berisi cairan cat minyak. Ia terus melukis. Aku tahu, pasti Ratri sedang melukis. Pada masa kecil dulu, dia paling senang menari. Di mana pun ia selalu menggerakkan tangan, kaki, dan lehernya untuk menari. Dalam sepi ia suka melukis, dan biasanya melukiskan wajahnya dalam kesedihan, gambar dirinya sendiri, yang berperangai murung, marah, atau menangis. Apakah kali ini ia juga melukis kesedihannya yang mengerak sampai ke dasar hati? Aku tak tahu, apakah ia akan marah, menangis, atau mengusirku. Sunyi pelataran rumahnya menggetarkan. Sunyi ketukan pintu mendebarkan. Tetap saja rapat setangkup pintu kusam tua di hadapanku. Ratri tak berkenan membukakan pintu itu untukku. Berada di pelataran, aku memandangi sebuah rumah tua yang tak terawat, kotor, kusam, dengan dinding mengelupas, dan kerisik sayap kelelawar mencari tempat bergantung di bawah lajur kayu usuk, menyungkup Ratri. Dari jendela yang terbuka menjelang dini hari, ia seperti menyerahkan peristiwa dalam rumah tua itu pada cahaya bulan dan alam. Aku mendekati jendela yang terbuka itu. Dia melenyapkan diri dalam sapuan kuas dalam kanvasnya, seperti mencari dirinya sendiri di masa silam. Dia melukis dirinya sendiri dalam kecantikan, kemolekan, pancaran gairah menari. Kakinya ramping, singsat, kukuh, dan lincah. Di depan jendela aku memandangi Ratri. Ia berada di sebuah ruang yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan dirinya, dalam kecantikan mahasempurna. Tanpa cela. Tanpa cacat. Ia menjelma: bidadari, seorang dewi, atau seorang putri yang mengundang dambaan pangeran tampan dermawan. “Aku tak mengundangmu kemari,” kata Ratri, ketus. “Aku pun tak ingin kemari. Aku hanya ingin memberitahukanmu, Andre mencarimu.” Tak ada keinginan Ratri untuk mengundangku ke dalam rumahnya. Dia membiarkanku tetap berdiri di bawah jendela, terpisah tembok tua dengannya. Aku memandanginya dari jendela yang aus termakan rayap. Ia terus melukis dan tak mau kehilangan goresan kuasnya. “Dia berpura-pura kehilanganku,” tukas Ratri, seperti ingin mengejek. “Telah lama ia ingin menceraikanku. Telah lama ia ingin menyingkirkanku dari kehidupannya. Kalau ia memang mencemaskan kepergianku, tentu akan menyusulku kemari. Aku yakin, dia tak ke mana pun, kecuali berpura-pura mencariku. Pada akhirnya aku harus merelakan Andre, seperti aku merelakan kaki kananku terpotong.” Suara Ratri terluka, dalam, dan tak terselubung kerahasiaan. Dia kehilangan pandangan yang merajuk seperti pada masa menjelang remaja dulu saat kami sering menghabiskan waktu untuk bermain bersama di pelataran di balik semak belukar di kebun. Aku tak tega membiarkan Ratri sendirian. Tapi aku mesti meninggalkannya. Bagaimanapun aku tak ingin dia terus-menerus meradang dalam luka, mimpi, dan dendam masa lalunya. Aku melihat begitu banyak lukisan seorang putri yang menari dalam cahaya bulan dengan kesempurnaan kaki yang lincah dan mulus. Menjelang dini hari, rembulan pudar, udara merembeskan embun. Aku berpamitan pada Ratri, tanpa menoleh lagi, dan mendengar isak tangis yang tertahan, tersengal-sengal. Aku tak ingin berpaling, menoleh, apalagi kembali menghampirinya. Lain kali barangkali akan kukunjungi Ratri ketika luka hatinya sudah sembuh dan penyerahannya pada dunia tak dilapisi dendam. Di gedung pertunjukan kota lama, ia bisa memamerkan lukisan-lukisannya, pada saat terang purnama bulan-bulan mendatang. Sebelum aku benar-benar menjauhi jendela kamar yang terbentang menyambut purnama, kudengar percakapan Ratri dengan seorang lelaki. Tanpa menoleh, aku tahu pasti, itu suara sang pianis. Terdengar merajuk dan menenteramkan.* Pandana Merdeka, Desember 2004
""Tarian Terang Bulan""
Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang. Karena itu, hujan dan kabut di sana seolah-olah turun sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari. Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya-bahkan ketika kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kotamu. Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat ketika kabut mendadak turun dari bukit dan gunung, atau hujan tiba-tiba menderap laksana suara kaki belasan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka kembangkan payung, melenggang tenang-tenang di atas trotoar sambil bersiul, bercakap-cakap, atau makan kacang goreng. Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca cerah, orang-orang di jalan-jalan kau lihat membawa payung atau mempertongkatnya, mirip dengan warga kota-kota besar Eropa pada masa lalu. Dengan tongkat-payung itu pula mereka saling melambai dan menyapa. “Hoi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!” Tetapi, jangan pula payung, sedang jas pun (yang dikukuhkan sebagai pakaian resmi sebab konon menimbulkan kesan “lain” bagi yang memakai juga yang melihat), bukan suatu yang istimewa di kota kami. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria memakai jas. Tidak kecuali para kusir bendi dan tukang kacang goreng yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan dalam kabut, di belakang lampu semprong mereka yang temaram. Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dengan melihat jas yang dia pakai. Karena, walau kerap membungkus tubuh mereka dengan jas, tapi jarang sekali pria kota kami membuat jas dua kali dalam hidupnya. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki gatal atau yang punya istri lagi. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai jaket daripada jas, betapapun elok bahan dan potongan jas itu-untuk menghindarkan salah tafsir. Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang kacang goreng. Ya, di kota kami hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang serabi, tukang serbat, tukang rokok, tukang emas, dan seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka, tukang kacang goreng dan penggemar makanan ringan itu. Sekalipun kota kecil, tukang kacang goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak pukul lima petang hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar bioskop. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau dan masjid. Tukang-tukang kacang goreng itu pakai jas, duduk berkelumun sarung atau melekat ke karung goni kacang goreng mereka yang hangat. Lampu-lampu semprong mereka dari jauh mirip bintang-bintang di langit, kedap kedip di balik tirai kabut dan gerimis. Empat atau lima orang di antaranya juga mangkal di muka dua bioskop yang ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame film, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang dingin. Tentu ada hubungan erat antara tukang kacang goreng yang sangat banyak itu dan iklim kota kami yang dingin, serta kegemaran orang memakan kacang goreng. Tetapi, apakah itu yang menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sembilan, sepuluh atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya. Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian di antaranya tumbuh berkat uang kacang goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari kacang goreng, tidak ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah. Alhasil, tukang kacang goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi tukang kacang goreng. Malah bangga. Dalam KTP mereka pun tercantum: pekerjaan, tukang kacang goreng. Dan, penggemar kacang goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat kacang goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena kulit ari kacang goreng ikut menyelusup ketika bibir-bibir bertemu pada malam Minggu. Namun, selera menyantap kacang goreng tak kunjung patah. Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan kacang goreng jalan terus. “Habis, memang lain kacang goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan kacang goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar sebuah kacang goreng ke atas meja. Gemuk, panjang, sebesar jempol. “Di tempat lain kecil-kecil kurus kulihat!” “Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada yang sanggup mengalahkan kacang goreng Mak Sanin!” “Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!” “Ya, Mak Sanin adalah maestro kacang goreng!” jawab si istri bersemangat. “Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat… . “… perempuan ia adalah engkau seorang!” potong sang suami buru-buru dan si istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami. Mak Sanin satu dari sekian banyak tukang kacang goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas kacang gorengnya memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai lelaki itu karena dia tidak pernah pakai jas baru. Sudah barang tentu jasnya pun telah lapuk, sebab dipakai setiap malam selama bertahun-tahun, dan warnanya hampir tidak jelas lagi. Tetapi, istrinya pandai dan rajin menyisik sehingga tak kentara benar tambal- tambalan pada jas yang dipakai Mak Sanin. Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Sanin. Mungkin karena tubuhnya tinggi besar, mata rada sipit, dan selalu merah menyala. Kumisnya pun lebat melintang. Juga karena dia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Katan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Katan pun disentil Mak Sanin. Berhari-hari daun telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Sanin tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Sanin berjualan. Mak Sanin adalah satu-satunya tukang kacang goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang kacang goreng yang lain. Biasanya, dia keluar sesudah magrib atau isya dan akan berakhir kira-kira pukul tiga dini hari atau saat beduk subuh mulai berkumandang di seantero kota dari masjid dan surau. Begitu keluar rumah di pangkal malam itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai seperti di muka bioskop atau kawasan pasar. Dengan jas itu-itu juga, dan sarung dililit ikat pinggang lebar, dia susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi kacang goreng di atas kepala. Seolah ringan saja karung goni itu baginya. Tenang- tenang saja dia melangkah, mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang kacang goreng di kota kami. Makin malam, kian gencar pula Mak Sanin mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke Lubuak Mato Kuciang, Cubadak Bungkuak, Bancah Laweh, dan Bak Aie yang merupakan pinggiran- pinggiran kota kami. Suara serta bunyi tangkelek atau bakiaknya berirama memecah udara: “Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…! Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…!” Pada larut malam yang dingin berkabut itu Mak Sanin benar-benar menjelma jadi pelayan tunggal sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan kacang goreng. Pasangan-pasangan yang tengah bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Sanin!” ujar si suami. “Beli dulu kacang gorengnya.” Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya dengan girang: “Tiga liter, Mak Sanin!” Dan, sewaktu pesanan mereka ditakar tangan mereka menyelusup ke karung goni, meraup kacang goreng bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang kacang goreng membiarkan saja. Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Sanin mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam. “Mak Sanin!” “Hoooi!” Tukang kacang goreng itu menghampir ke makhluk elok itu. Dengan jas yang itu-itu juga. “Seliter saja ah, Mak Sanin.” “Yo! Eh, cukup seliter?” “Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke karung-goni yang hangat. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati kacang goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Sanin dan bunyi tangkelek-nya yang menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui kisi- kisi jendela. Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun ’66, cuma sebagian warga kota yang mendengar suara dan bunyi tangkelek itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami gempar tak alang kepalang. “Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan. “Padahal, tahu benar aku, mata si Sanin itu merah hanya karena menukar siang dengan malam!” Tukang kacang goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi kali. Ada sebelas bekas bacokan merobek jas tua dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru. Karung goninya entah di mana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga kini. Orang-orang akan mencela tukang kacang goreng bila kacangnya tidak enak atau dia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Sanin!” ujar mereka. Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang kacang goreng di kota kami yang berkata kepadamu: “Ha, kacang enak ini! Tak sembarangan kuali dan pasir buat merendangnya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar merendang kacang pada Mak Sanin!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak Sanin. Dan, mungkin juga tidak mau tahu. Jakarta, Desember 2004
""Warga Kota Kacang Goreng""
Tidak seperti biasa, Sisi yang meneleponku. Ia memintaku-tentu amat mengharap-agar menemaninya jalan di malam Tahun Baru. Bukan semata karena ia kalau segera kusanggupi, tapi disebabkan Nina. Aku ingin menghiburnya, aku sudah amat rindu berjalan dengannya. “Nina menyuruhku meneleponmu. Ia mengharap sekali kau mau menemani kami. Yang terpenting ia ingin kau ada di sisinya saat ia merayakan ulang tahun…,” ujar Sisi. Nina lahir pada 31 Desember pukul 19.00 dan kini di usia ke-13 ia minta dirayakan bersamaku. “Katanya, ia telah mengundang teman-teman sekolah.” Aku pikir apa salahnya membahagiakan putriku yang tengah masuki usia remaja? Selama ini, sejak aku berpisah dengan Sisi, aku cuma mengucapkan ulang tahun melalui telepon. Atau menyuruh office boy mengantarkan kue ulang tahun buat Nina. Dan, sesekali membawanya ke pantai atau tempat bermain di mal. Tetapi, apakah mungkin Rosa mengizinkan aku menemani Nina dan Sisi? Di malam Tahun Baru lagi? Bukankah ia tahu, karena aku selalu terbuka dan bercerita, kalau malam Tahun Baru punya kenangan tersendiri bagi aku, Sisi, dan Nina? Meski sekarang Sisi bukan lagi istriku. Kami bercerai sewaktu Nina berusia 7 tahun. Nina memang butuh figur seorang ayah. Dan itu tentu hanya ada pada diriku. Sayangnya, aku begitu sibuk dengan tugas di kantor. Ditambah lagi kini aku sudah berkeluarga. Rosa yang dulu anak buahku di kantor kini menjadi istriku. Dari Rosa, aku memang belum memperoleh anak, padahal usia perkawinan kami sudah 3 tahun. Meskipun tanpa anak, rumah tanggaku tetap bahagia. Aku sangat mencintai Rosa, begitu sebaliknya. Bagi Rosa, demikian selalu ia utarakan, perkawinan tak harus membuahkan anak. “Rumah tangga adalah soal cinta dan kasih sayang,” katanya suatu kesempatan. Aku mengangguk. Memeluknya dan berbisik, “Rumah ini sudah terasa indah dan nyaman karena setiap hari cinta dan kasih sayang selalu bertunas.” Apalagi Rosa tetap bekerja, menjadi wanita karier di lain perusahaan. Kesibukan itulah yang kemudian seperti mengubur impian kami untuk memiliki anak. Lalu, apakah itu cukup bagi Rosa mengizinkan aku jalan bersama Sisi? Meski di antara kami ada Nina sebagai pembatas? Perempuan mana yang bakal mengikhlaskan suaminya pergi dengan mantan istri atau kekasihnya? Aku harus ekstra hati-hati, mesti menjaga perasaan Rosa sehingga ia tidak tersinggung. Cemburu. Betapa pun aku tak akan mungkin kembali kepada Sisi. Tetapi, jalan bersama orang yang pernah hidup di hati tentu amat rentan. “Apa? Kau mau jalan bersama Sisi?” Rosa mendelikkan kedua matanya. Aku amat paham, itu pertanda ia amat tidak suka. Padahal, aku sudah sangat hati-hati mengutarakan maksudku. Aku juga sengaja mengajaknya makan malam di sebuah restoran kesukaannya. Itu pun didahului dengan mengajaknya mengelilingi kota. Bahkan, semula aku hendak masuk ke Bioskop 21, tetapi Rosa mengaku malas menonton film Indonesia yang dirasa rendah kualitasnya. “Jujur saja kalau mau bernostalgia!” suaranya meninggi. “Sudah pergilah, aku bisa pulang sendiri!” “Jangan cepat marah begitu, Rosa. Dengar aku dulu, aku belum selesai bicara,” kataku menenangkan istriku. “Kalau bukan karena permintaan Nina, sumpah aku tak akan mau. Untuk apa aku jujur dan minta padamu kalau aku sengaja ingin jalan dengan dia,” lanjutku. Sengaja aku menyebut Sisi dengan “dia” supaya Rosa memaklumi kalau aku dengan mantan istriku sekarang sudah tak ada lagi yang harus dicurigai. “Ya, sekalian nostalgia kan?” potong Rosa. “Siapa pun tahu kalian berkenalan di malam Tahun Baru. Lalu sewaktu belum bercerai, kau sering mengajaknya jalan-jalan pada malam Tahun Baru. Alasannya, mengenang malam pertama perkenalan. Iya kan?” “Ya. Apa yang kau katakan benar. Tapi, itu dulu sebelum kau menjadi istriku….” “Kau sendiri tak pernah mengajakku, aku ini kan istrimu?” Rosa makin protes. “Kalau begitu kau ikut bersama kami,” ujarku segera. Aku mulai digayuti perasaan emosi. Kenapa tiba-tiba Rosa demikian sentimentil? Kutahu ia perempuan tegar selama ini. Lalu, ada apa sekarang ia cemburu, justru pada Sisi yang semua orang tahu kalau sudah kuceraikan. “Kau terlalu cemburu, Rosa!” imbuhku tanpa dapat kutahan kata itu meluncur. “Jelas aku cemburu! Karena aku tahu ia bekas istrimu. Karena kau sengaja ingin mendekatinya kembali lewat Nina. Aku tahu malam Tahun Baru amat spesial bagi kalian dulu. Ditambah Sisi masih belum menikah lagi…,” suara Rosa memberondong. “Terus apa lagi. Apa lagi yang akan kaukatakan? Ayo keluarkan, ucapkan. Sampai kau puas,” kata-kataku meninggi. “Tapi, perlu kau ketahui, aku paling tak suka mengenang-ngenang masa silam. Dan, sejak kau jadi istriku, aku sangat mencintaimu, aku menyayangimu. Itu sebabnya aku selalu terbuka, sekecil apa pun, walau harus berisiko….” “Pokoknya, aku tak mengizinkan kau jalan bersama dia! Aku juga tak sudi menemani kalian!” kata Rosa setelah beberapa jenak terdiam. “Aku tak jalan dengan dia. Tapi karena Nina, ia amat mengharapkan aku menemaninya merayakan ulang tahunnya. Bagaimanapun Nina tak bisa dipisahkan dariku. Ia anakku….” “Aku tahu. Aku juga tidak lupa kalau kau sudah punya anak sewaktu menikahiku,” ia memotong. “Apa maksudmu, Rosa?” aku tersinggung. “Kenapa kau begitu kasar?” Ia diam. Aku segera mengajaknya meninggalkan restoran kesukaannya ini. Membayar apa yang kami makan pada kasir. Suasana makan malam kami kali ini koyak moyak. Sepanjang jalan pulang benar-benar hening. Wajah Rosa selalu berpaling ke kiri. Berkali-kali aku ingin memulai percakapan, tapi selalu saja gagal. Rosa sengaja tak memberi ruang untuk sebuah percakapan. Kota BL terasa lengang. Mobil kupacu kencang. Rosa menentang, “Aku belum ingin mati. Tapi, kalaupun mati tak ada yang menangisi kematianku. Lain kau, ada yang menangis dan menyesali….” “Siapa yang mau mati?” “Kalau begitu, pelankan sedikit mobil ini….” Kembali ia memandang ke samping. Tiang listrik yang bercat hitam bagai tubuh lelaki legam yang tengah berpacu ke belakang. Aku menatap ke depan. Habis sudah harapanku agar Rosa mengizinkan aku menemani Nina merayakan ulang tahun di malam Tahun Baru. SISI kembali meneleponku. Ia ingin mendapat kepastian apakah aku bisa menemani Nina pada malam Tahun Baru dua hari mendatang? “Nina selalu bertanya kepadaku. Kalau kau ingin berbicara padanya, Nina di sebelahku,” kata Sisi siang ini ke telepon kantorku. “Ya, biar aku bicara pada Nina,” ujarku cepat. “Hallo sayang… kamu sehat kan? Bagaimana ulangan, pasti nilaimu bagus-bagus kan. Anak papa….” “Papa mau kan nemenin Nina, sekali-sekali Pa,” ia merajuk. “Nina kangen jalan ama papa dan mama di malam Tahun Baru. Nina pengin sekali ulang tahun Nina dirayain bersama papa dan mama. Papa bisa kan? Papa mau kan?” Nina memberondong, yang intinya mendesakku agar menemaninya di malam Tahun Baru. “Ya, ya! Tentu, sayang! Papa akan usahakan….” “Yang pasti dong, Pa?” desak putriku. “Ya! Papa janji, pasti!” jawabku. Tetapi, setelah ucapanku itu meluncur, aku kembali teringat Rosa yang sudah jelas-jelas tak memberi izinku. Aku mendesah. Mengenyakkan punggungku ke kursi setelah meletakkan gagang telepon. Kuputar kursiku…. Dulu aku biasa mengajak jalan Nina berkeliling kota di malam Tahan Baru. Sejak ia berusia setahun. Tentu bersama mamanya, Sisi, yang kala itu masih menjadi istriku. Aku sendiri yang menyetir mobil, Sisi duduk di sebelah kiriku sambil menggendong Nina yang kadang terlelap. Sebenarnya bukan kami ingin menghibur Nina, tapi setiap malam Tahun Baru kami punya kerinduan bernostalgia. “Bukankah kita berkenalan di malam Tahun Baru?” kenangan itu selalu diungkapkan Sisi setiap menjelang pergantian tahun setelah kami berkeluarga. “Waktu itu kau bersama teman-temanmu dengan mengendarai mobil, sedang aku dengan teman-temanku juga dengan kendaraan. Kita bertemu di tepi pantai. Kau menggangguku dengan terompetmu yang diteriakkan dekat di telingaku….” “Tapi, waktu itu kau bukannya marah. Malah tersenyum. Amat menggodaku,” selaku. “Padahal aku sudah siap dimarahimu, waktu itu.” “Soalnya kau gan…” “Kau juga cantik, itu sebabnya aku menggodamu.” Lalu kami tertawa. Bahagia sekali. Mengelilingi Kota BL ini, kota yang pernah mendapatkan Adipura. Kami ulang mengelilingi kota di malam Tahun Baru setelah berumah tangga. Aku melamar Sisi setelah tiga tahun kami berpacaran. Dua tahun berumah tangga kami dikaruniai anak yang kami beri nama Nina Sekarningrum. Saat Nina berusia setahun, aku dan Sisi nekat membawanya keluar pada malam Tahun Baru. Bahagianya kala itu. Nina yang belum mengerti apa-apa tetap kubelikan terompet. Tentu saja tak lama kuberikan ke Nina, terompet itu sudah lecek dan kucel. Sisi hanya tersenyum-senyum dengan terompetnya. “Ada-ada saja kau, anak sekecil ini ngerti apa?” Lalu meneriakkan terompetnya dekat telingaku, seperti hendak balas dendam. Melihatku kaget, segera berderai tawanya. “Ya ngerti. Buktinya terompet itu dirusaknya,” jawabku sekenanya. Ah, entah mengapa kenangan-kenangan itu tiba-tiba datang. Padahal, aku tidak mengundangnya. Seperti selalu sering kukatakan, aku selalu melupakan masa lalu-juga di dalamnya kenangan-kenangan. Aku tak punya masa lalu dan aku selalu optimis pada masa depan. Begitu rumah tanggaku dengan Sisi hancur, aku tak pernah mengingatnya. Kalaupun harus menganggapnya, tak lebih ia hanyalah ibu dari anakku. Tiada kenangan yang mesti kutiti lagi, tiada angan yang dapat kuurai…. “Sisi sudah meneleponmu tadi siang?” Rosa membuyarkan lamunanku. Aku tak segera menyahut. Kutatap wajahnya. Kini ingin sekali kumasuki seluruh tubuhnya. Mencari apa yang tersembunyi dari ucapannya. Tetapi gagal. Ternyata aku belum tahu banyak tentangnya, aku seperti masih berjarak justru dengan istriku sendiri. Beginikah hidup rumah tangga: sebuah rumah yang dihuni oleh dua manusia dari sejarah yang berbeda, tetapi hidup di bawah satu atap? Terkadang, ada banyak yang tak terselami. “Sebelumnya ia meneleponku. Minta izinku….” “Apa jawabmu?” “Aku diam. Segera kututup telepon,” jawab Rosa ringan. “Aku yakin setelah itu dia meneleponmu. Benar kan?” Aku mengangguk. “Tapi dia tak bilang kalau baru saja menghubungimu, tapi kau tak mau menerimanya,” jawabku. Aku masih memandang wajah Rosa. “Kukira ia mengadu….” “Dugaanmu meleset kali ini,” kataku segera. Terdengar ketus. “Dia masih mengharapmu menemaninya?” “Aku diminta menemani Nina yang berulang tahun. Kebetulan malam Tahun Baru. Aku bicara dengan Nina….” “Tapi, yang menghubungimu Sisi kan?” Aku kembali mengangguk. “Cuma menghubungi dan ia bilang, ’Nina selalu bertanya padaku. Kalau kau ingin bicara padanya, Nina di sebelahku.’ Lalu kujawab, biar aku bicara pada Nina. Hanya itu, tidak lebih.” “Hanya itu? Bohong!” “Kau masih tak percaya? Kamu seperti mengenalku baru kemarin saja!” aku membentak. “Aku tak pernah berlebihan bicara padanya, aku tahu batas. Masih juga kau tak paham?” “Aku tetap tak mengizinkan kau pergi esok malam. Pokoknya, tidak!” ucap Rosa. Kemudian meninggalkan aku di ruang tengah sendirian. Ia masuk ke kamar tidur. Mengunci dari dalam. Kuketuk pintu kamar. Sekali dengan pelan, dua kali sedikit keras. Ketika tak ada tanda Rosa akan membuka, kuketuk pintu kamar dengan punggung tanganku. Cukup keras. Namun, Rosa tetap tak membuka. “Kau memberi izin atau tidak, aku tetap akan pergi. Aku bukan berurusan dengan dia, tapi ingin menemani Nina sebab sebagai papanya aku berkewajiban membahagiakannya!” kataku keras. Aku yakin, Rosa mendengar suaraku. Benar. Ia membuka pintu. Melempar bantal dan guling. “Tidurlah kau di kursi!” lalu kembali menutup pintu kamar. Aku tak pulang ke rumah. Dari kantor aku makan malam dulu di restoran kesukaan Rosa. Setelah itu menuju rumah Sisi. Nina sudah menantiku di depan rumah dan menyambut kedatangan. Kulihat ia bahagia sekali begitu melihatku turun dari mobil. Kupeluk anakku yang kini sudah remaja itu. Kucium kedua pipinya dan keningnya. Ia juga balas menciumku: pipi dan keningku. “Sudah siap, sayang?” Nina mengangguk riang. “Papa belum mandi?” “Kenapa, bau?” Kembali Nina mengangguk. “Papa mandi dulu ya. Nina siapin handuk, sabun, sikat gigi.” Nina segera menarikku ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Setelah itu kuganti pakaian yang sengaja kubawa dari dalam tas. Sisi sudah menunggu di ruang tengah, begitu aku keluar dari kamar Nina. “Maaf aku numpang mandi di kamar Nina. Aku tadi tidak sempat pulang dulu, dari kantor langsung ke sini,” kataku pada Sisi. “Istrimu tak mengizinkan? Kalau belum makan, baiknya makan dulu. Sudah kusiapkan. Ajak Nina….” Tiga pertanyaan Sisi itu kujawab dengan menggelengkan kepala. “Kalau begitu kita pergi sekarang,” Nina mencairkan suasana. “Cemburu itu penting, itulah tanda cinta. Jadi aku tak menyalahi istrimu…,” kata Sisi yang duduk di kursi belakang setelah mobilku berada di jalan utama. “Dan itu yang kulakukan dulu….” “Sudahlah, tak usah bicara soal masa silam,” ujarku agar suasana romantis dan sentimentil tidak terjadi malam ini. Lalu kualihkan pada Nina, “Ke mana kita malam ini sayang? Mau dirayakan di mana acara ulang tahunmu? Papa siap ke mana pun Nina minta….” Nina menunjuk sebuah kafe di Hotel Indra Puri. Aku segera menyetujui meski Sisi setengah mencegah. “Kenapa harus di sana, Nina? Pasti mahal. Lagi pula, kamu kan sudah janji sama mama tak mau membebani papa. Tempat itu juga tidak pas buat kita….” “Ah, mama sekali-sekali. Lagian papa tidak keberatan. Iya kan, Pa?” Nina protes pada Sisi. “Ya, enggak apa sekali-sekali. Tetapi, janji ya, kita hanya sebentar di sana?” “Oke deh, Pa,” jawab Nina sambil mencium pipiku. Ternyata Nina sudah memesan tempat. Terbukti begitu kami sampai, sekitar sepuluh orang teman sekolahnya sudah lebih dulu tiba. Duduk di beberapa meja yang di atasnya menyala 13 lilin. Nina disambut dengan nyanyian “Selamat Ulang Tahun” dari teman-temannya. Sejurus kemudian, ia meniup lilin-lilin itu. Prosesnya cepat sekali. Tak lama keluar makanan yang juga telah dipesan Nina. “Uang dari mana Nina bisa bayar tempat ini?” Ia pun tertawa. “Hiii… papa mau tahu aja!” “Jelas dong! Dari mana sayang?” aku berbisik di telinganya. “Tabungan Nina. Kemarin Nina ambil di ATM….” “Kalau begitu, papa ganti.” “Enggak usah Pa… Papa sudah bisa datang saja Nina senang sekali.” Dalam hati aku tetap akan mentransfer uang ke tabungannya. Setelah selesai, kami tinggalkan tempat itu. Kukira seusai perayaan ulang tahun, aku bisa segera pulang, tapi Nina mengajakku menemaninya menghabisi malam Tahun Baru. Aku tak dapat menolak. Aku memang sangat menyayanginya. Ingin menghiburnya. Dan, mobil pun melaju di jalan utama Kota BL ini. Di simping Tugu Gajah kubeli tiga terompet. Satu untuk Nina, yang lain untukku dan Sisi. Tak dapat kuelak, kenangan masa silam pun kembali kutiti-bahkan dengan sendiri kenangan itu mengurai. Suara terompet dari dalam mobilku saling bersahutan. Nina meniup, aku menyambut, dan Sisi membalas. Begitu sebaliknya. Terus-menerus. Hingga aku lupa ternyata aku tak mampu mencegah masa lalu agar tak masuk dalam kenanganku. Aku larut ke dalam kenangan yang indah sewaktu aku masih bersama Sisi dan Nina…. Ah! Mengapa roda kehidupan ini seperti berulang dan datang? Aku berkeras hendak mengubur kenangan itu, tapi sekeras itu pula kenangan itu mendesakku. Kupandangi Nina yang duduk di sebelahku. Ia tampak sekali bahagia. Tak henti-henti, sejak di Hotel Indra Puri tadi, ia mengumbar senyum. Nina memang manis. Cantik. Dan, sesekali kucuri pandang ke Sisi yang duduk di belakang lewat spion. Ia pun tak kurang riangnya. Terompet selalu berada di antara bibirnya yang dipoles lipstik warna ungu. Dalam hati aku mengagumi kecantikannya yang belum pudar. Cuma aku tak sampai hati bertanya, kenapa ia belum juga menikah lagi? Mungkin ia sudah bertekad hendak membesarkan Nina seorang diri sambil tetap menjadi wanita karier. Oleh karena itu, kembali kulirik Nina. Ia membalasku sambil meniup kencang-kencang terompetnya ke dekat telingaku. Aku pun tak mau kalah. Kuarahkan corong terompetku ke wajah anakku itu dan segera kutiup keras-keras. Dan Sisi membalas, mengarahkan terompetnya ke Nina. Nina protes. “Ih curang. Nina dikeroyok. Nina dikeroyok. Kalau berani sendiri-sendiri dong….” Ia terus protes. Kami tertawa. Berderai. Malam sudah meninggi. Konvoi kendaraan makin menambah. Suara terompet terdengar di mana-mana dan dari arah mana-mana. Saling bersahut. Balas-membalas. Kami larut, aku terlena. Kami seperti menarik kembali waktu yang telah lenyap di masa silam. Seperti ingin kembali memeluknya. Itu sebabnya, ketika Nina memintaku mengarahkan mobil ke arah timur-ke tepi pantai-aku segera mengangguk. Aku lupa kalau Rosa sekarang mungkin tak bisa tidur di rumah, memainkan perasaan perempuannya. Atau mungkin sudah terlelap di luar kamar? Aku tak bisa bayangkan, aku tak mampu mengangankan. Hidup memang sulit diduga. Karena itu, aku tak mau menyesali kenapa aku mau menemani anakku dan Sisi kalau sudah dapat kutahu akan berakhir di rumah sakit ini. Kami harus menjalani rawat inap beberapa hari. Aku cuma ingat mobilku tergelincir lantaran ingin menghindari tabrakan dengan bis luar kota. Aku hanya luka-luka di kedua lenganku, keningku karena terkena pecahan kaca. Sementara Sisi, tangannya patah, kepalanya bocor karena benturan atap mobil. Sedang Nina paling parah: kedua kakinya patah dan aku pesimis ia bisa berjalan tanpa kursi roda. Aku menangis, memeluk tubuh Nina. Berkali-kali aku pingsan di sisi ranjang Nina. Aku baru terbangun ketika Rosa membelai kepalaku. “Kau tak apa-apa? Aku tahu kalian di sini, tadi aku ditelepon dokter….” Aku memandang Rosa. Aku mengharap sekali ia mau memaafkan aku. Rosa mengangguk, tersenyum. Kemudian kembali membelai kepalaku. Setelah itu, ia berbalik ke Nina. Mencium anakku (tentu anaknya pula bukan?) dengan segenap kasih sayang. Ia leburkan tangannya ke tubuh Nina. “Kau anak baik, Nak. Mama juga mencintaimu….” Dalam keadaan terisak, kudengar Rosa membisikkan sesuatu ke telingaku. Kudengar jelas sekali: “Kalau kau masih mencintaiku dan demi Nina… aku ikhlas jadi istri pertamamu.” Lampung, Desember 2004
""Terompet""
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.” Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.” Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.” Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.” Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.” Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi. Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan. Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu. Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata. Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh. Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu. Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu. Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku. Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku. Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh. Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri. Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran. Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri. Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun. Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya. Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku. Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan. Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi? Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat. Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan. Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia. Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran. Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget. Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.” Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.” Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah. Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap. Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. *
""Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu""
Keinginan perempuan itu makin kuat untuk merendamkan diri dalam bathtub justru ketika suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya karena hari sudah malam. Keramas malam-malam tak bagus untuk kesehatan,” kata suaminya. “Oya?” celetuk perempuan itu datar ala kadarnya. Perempuan itu merasa senang atas peringatan suaminya. Berarti suaminya memerhatikannya. Memerhatikan kesehatannya. “Ya. Gara-gara sering mandi malam, suami teman sekantorku kena paru-paru basah,” kata suaminya menjelaskan. “Ooo, kan dia mandi malam. Bukan keramas,” pancing perempuan itu. Peringatan suaminya dia maknai sebagai bentuk perhatian yang memang membuat hatinya berkembang-kembang. “Lha, mandi saja kena paru-paru basah, apalagi keramas. Kan kulit kepala lebih rentan dibanding badan,” kata suaminya masih membeberkan. Perempuan itu makin yakin bahwa dia tidak salah telah memilih lelaki itu sebagai pendamping dalam hidupnya. Perempuan itu makin merasa tak bersalah langkah meninggalkan lelaki lain yang menjadi kekasihnya sekalipun para kekasih itu telah lebih dulu mengisi rongga hatinya, jauh sebelum lelaki yang kini menjadi suaminya itu dia kenal. Perempuan itu bersetuju dengan yang diomongkan suaminya: batok kepala-sebetapa pun kerasnya, termasuk keras kepala- teramat mudah untuk disergap demam atau rasa sakit lainnya. Jangankan terkena air hujan, rincik hujan yang menempias dan memercik kepala suaminya pun sudah bisa menjadikan kepala suaminya berdentam-dentam seperti digodam-godam. Namun, diam-diam perempuan itu merumuskan: rambut boleh sama hitam, tapi kekuatan tengkorak kepala bisa berlain-lainan. Buktinya, perempuan itu bahkan senang berhujan-hujan. Dan itu bukan semata dia lakukan saat dia masih kanak-kanak di desanya, melainkan juga senantiasa ingin dia lakukan bahkan ketika dia sudah pindah ke Ibu Kota, memiliki kekasih, dan kemudian menikah. Dia bahkan kurang berkenan jika hanya rintik hujan yang menitik. Karena perkiraan ketebalan tulang kepalanya berbeda dibandingkan dengan tengkorak kepala suaminya itulah diam-diam pula perempuan itu melanggar peringatan suaminya. Dia tetap saja membasahi kepalanya, meraup lendiran sampo, dan meruapkannya ke sela-sela rambutnya. Itu dia lakukan terutama jika dia benar-benar merasa gerah-jika tak keramas, saat tidur dia malah menjadi digusah gelisah. Tetap, untuk menghindari kemungkinan pertanyaan suaminya, dia senantiasa lebih dulu mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Perempuan itu tak akan meninggalkan kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar kering. Untuk waktu lama yang dia gunakan di dalam kamar mandi, suaminya tak pernah mempertanyakan karena sejak mereka masih berpacaran lelaki itu tahu benar bahwa perempuan itu senantiasa banyak menghabiskan waktunya dalam kamar mandi. Memang, perempuan itu jauh lebih bergegas saat berdandan di depan meja rias ketimbang berendam dalam kamar mandi. Suaminya sangat memahami perempuan itu. Itu sebabnya saat merenovasi rumah mereka, suaminya merancang kamar mandi ber-bathtub, tak hanya ber-shower. “Air yang memancur memang lebih mirip air yang menggerojok dari talang rumah waktu kamu berhujan-hujan dulu, waktu kanak-kanak. Tapi, aku ingin kamu lebih menikmati berendam dalam bathtub…,” kilah suaminya saat perempuan itu bertanya kenapa kamar mandinya harus juga ber-bathtub. Perempuan itu tahu, suaminya tak menyelesaikan kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Istrinya paham bahwa suaminya paham pula saat di desa dulu-saat perempuan itu masih kanak-kanak-juga kerap berendam di kolam mirip kubangan bersama-sama kerbau milik tetangganya yang digembala kawan sekolahnya. Di kemudian hari, setelah rumah mereka selesai direnovasi, perempuan itu tak hanya berendam dalam bak mandi, tetapi juga sekaligus menyalakan shower-nya sehingga dia merasa berendam dalam kubangan di dalam guyuran air hujan. Suaminya tak pernah mempersoalkan perempuan itu hanya berendam ataukah hanya membiarkan dirinya diguyur air pancuran kamar mandi atau mempergunakan dua-duanya dan lantai kamar mandi bukan saja basah-melainkan cipratan air juga menggenang menggeremang-karenanya. Suaminya hanya berkomentar: “Jangan mandi, apalagi keramas, malam-malam; nanti kedinginan. Nanti bisa sakit.” Ujaran suaminya yang bernada larangan itu tak semata diucapkan sebelum perempuan itu masuk kamar mandi, tetapi bahkan juga setelah perempuan itu selesai mandi. Jika perempuan itu sudah selesai mandi, untuk apa pula peringatan dan larangan itu? Keinginan perempuan itu makin mendesak-desak untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi justru karena suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya-dengan alasan: hari sudah larut malam. Perempuan itu ingin mengenang makna peringatan suaminya sebagai bentuk lain dari rasa sayang. Perempuan itu merasa sudah kehilangan makna peringatan suaminya sebagai rasa cinta yang tak pernah bisa ditakar dan ditimbang-timbang. Dia merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Atau yang berubah justru diriku sendiri? Perempuan itu menggumam. Perempuan itu merasa, jangankan peringatan, perhatian dari suaminya pun makin dia rasakan sebagai bentuk lain pelarangan. “Suamiku makin menyia-nyiakan enerjinya untuk hal-hal yang tak perlu,” katanya suatu kali pada karibnya, yang juga karib suaminya. Mereka sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dalam istirahat jam kantor. “Memperingatkan kamu untuk enggak keramas itu bukan larangan, dong. Kalaupun larangan, itu justru menunjukkan dia sayang kamu,” kata karibnya menanggapi. “Ya, tapi kalau omongan itu terus diulang-ulang, bukan lagi kasih sayang namanya. Itu rutinitas. Itu mesin. Mechanical. Enggak ada yang spesial,” bantah perempuan itu. “Lho, kamu memilih yang mana? Pilih dia diam saja tak memerhatikan atau pilih dia bicara memperingatkan?” sergah karibnya-yang juga perempuan. “Kamu lebih pilih yang kedua?” perempuan itu balik bertanya. “Sejujurnya, honestly, aku pilih suamiku mengomeli aku daripada sama sekali bungkam. Justru dengan begitu, aku merasa suamiku ada. He is exist beside me!” Perempuan itu, waktu itu, membatin: hanya lantaran ingin menunjukkan dirinya ada, suamiku terus saja melarang-larangku. Padahal, tanpa omong sehuruf pun aku tahu dia ada bersamaku. Belakang hari perempuan itu mencoba menimbang-nimbang bahwa suaminya sesungguhnya tak ada bersamanya, justru karena itu suaminya ingin menunjuk-nunjukkan diri bahwa dirinya senantiasa ada dengan cara melarang dan melarang-larang perempuan itu, istrinya, untuk berkeramas di malam hari. Apalagi menjelang tidur. Perempuan itu makin yakin bahwa suaminya tak ada bersamanya-yang ada hanya raganya, sementara hatinya entah berada di titik koordinat mana-ketika suatu kali telinganya menerima bisikan karibnya bahwa suaminya kerap berjalan bersama dengan lain perempuan. “Apakah aku mengenal perempuan lain itu?” tanya perempuan itu pada karib yang membisikinya. “Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal perempuan itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan kan?” ujar karibnya. “Ya, tapi apa salahnya berjalan bersama sih?” perempuan itu mencoba menghibur diri. Dia merasa, dia hanya membatin, namun ternyata karibnya mendengar kalimat penghibur itu. Apakah aku tak sekadar membatin, tapi malah melisankan suara batinku? Atau kawanku yang justru bisa mendengar suara batinku? “Tak ada yang salah memang. Tapi kalau selalu bersama- bukan hanya sesekali-apa namanya?” karibnya berucap datar. Tak ada niat untuk membakar-bakar. Karib itu kemudian menambahkan: dia tak hanya sekali melihat suami sahabatnya itu makan siang bersama di sebuah resto bersamaan dengan jam istirahat siang. Bahkan, sahabatnya mengaku pernah memergoki suaminya bersama perempuan lain itu di sebuah hotel di saat senja menjelang temaram malam. “Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” sergah perempuan itu. “Apakah kamu melihat suamiku dan perempuan itu masuk kamar hotel?” “Terus terang, aku tak melihatnya. Tapi….” Itulah awal mula perempuan itu merasa jengah saat saban kali suaminya mengingatkannya agar dia tak mengeramasi kepalanya jika hari sudah semakin malam. Perempuan itu bahkan terang-terangan menanggapi omongan suaminya tanpa sama sekali menahan gemuruh kecurigaan yang dalam dadanya tak mungkin luruh atau dia tanggalkan. “Kepala ini kepalaku sendiri, rambut ini rambutku sendiri. Risikonya jadi tanggunganku sendiri,” katanya sambil menuju pintu kamar mandi. Perempuan itu berharap sebelum dia kuakkan pintu kamar mandi suaminya segera menambahi omongan atau menimpali. Ternyata, suaminya hanya sedikit mengangkat bahu-yang kira-kira bisa dimaknakan: ada apa dengan istriku?-itu pun tak diketahui perempuan itu karena suaminya ada di belakangnya dalam posisi yang tak terekam mata perempuan itu, selain di hadapan perempuan itu tiada cermin yang bisa memantulkan bayangan gerak-gerik suaminya. Itu sebabnya, usai mandi, perempuan itu tak ingin berlama-lama memendam tanda tanya penuh penasaran atas suaminya. Perempuan itu membiarkan handuk masih menggelung kepalanya. Perempuan itu mau menunjukkan bahwa dia habis keramas. Perempuan itu ingin menandaskan bahwa larangan suaminya kali ini terang-terangan-tak lagi diam-diam-dia langgar. “Habis keramas?” tanya suaminya sambil memandang gelungan handuk di kepalanya. Perempuan itu kecewa, suaminya tak menunjukkan amarah dalam kalimat tanya itu. Perempuan itu ingin suaminya murka sehingga dia mempunyai alasan untuk juga murka dan mengerkah suaminya dengan deretan pertanyaan perihal perempuan lain yang senantiasa makan siang dan masuk hotel bersama itu. “Kamu enggak marah aku keramas?” pancing perempuan itu. “Aku pernah marah sama kamu?” suaminya balik bertanya. Benar, suamiku tak pernah marah padaku. Apa pun musababnya. Itu sebabnya aku merasa bersyukur menjadi pilihan hidupnya. “Kita sudah deal tak akan membawa problem kantor ke dalam kehidupan rumah tangga kita kan?” kata suaminya. Perempuan itu masih ingat, itu kesepakatan bersama mereka. Bahkan perempuan itu sendiri yang merumuskan kalimat kesepakatan itu. Tapi, apakah makan siang dan masuk hotel bersama itu termasuk pekerjaan kantor suamiku? “Ada persoalan pekerjaan yang mendesak untuk di-share bersama, Meisj?” kata suaminya yang dirasakan perempuan itu benar-benar penuh perhatian. Perhatian yang penuh dari suaminya itu pula yang kerap dengan cepat membuat hati perempuan itu menjadi trenyuh dan tenteram. Itu pula yang kemudian membuat perempuan itu merontokkan gemuruh kemurkaan dalam dadanya, sekalipun tetap saja dia melaporkan bisikan karib mereka perihal kebersamaan suaminya dengan lain perempuan. “Siapa yang memberi informasi itu, Meisj? Aku mengenalnya?” “Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal pemberi informasi itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan antara kamu mengenal dan tidak kan?” ucap perempuan itu. Dia sadar, itu kalimat karibnya yang dia kutip begitu saja dan apa adanya. “Ya, apa salahnya berjalan bersama sih?” kata suaminya. Ah, kalimat yang sama pula yang kulontarkan pada karib kami! “Tak ada yang salah memang. Tapi kalau tak hanya sesekali- tapi selalu-bersama, namanya apa itu, Schaat?” perempuan itu menyergah, tetapi dengan irama yang tetap tak sedang terbakar kemungkinan kemurkaan. “Apakah mata informanmu itu benar-benar melihatku booking dan ngamar di hotel itu, Meisj?” masih dalam irama terjaga suaminya berucap. Diam-diam perempuan itu mencatat, dialog dengan suaminya begitu bersejajar dengan dialognya dengan karib mereka. Hanya pengucapnya yang berbeda. Kalimat yang dia lontarkan pada sahabatnya, kini kalimat itu justru diucapkan suaminya. Kami benar-benar bersehati. Bukan sebatas bersekata dan bersekalimat! Itu juga yang pernah dikatakan suamiku. “Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” tiba-tiba kalimat suaminya memenggal pengembaraan perempuan itu pada permenungan singkat masa silam mereka. “Maafkan aku, Schaat. Aku sudah salah sangka terhadapmu.” Perempuan itu kemudian membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan suaminya yang dengan serta-merta menjemba dan merengkuhnya. Perempuan itu meminta maaf karena merasa terlalu simplistis menafsirkan sebuah informasi yang belum terbuktikan kebenarannya. Memang, tak ada yang salah dengan makan siang bersama. Perempuan itu juga pernah melakukan hal sama dengan teman lelaki sekantornya dan suaminya tahu itu karena dia memberi tahu lebih dulu suaminya sebelum dia berangkat menuju tempat makan siang di sebuah mal. Suaminya juga pernah makan siang bersama karib mereka yang menginformasikan perihal kebersamaan suaminya dengan perempuan lain-dan perempuan itu tahu karena suaminya meneleponnya lebih dulu. Perempuan itu juga pernah ke sebuah hotel bersama lelaki sekantor lainnya. Mereka mengudap menu di sebuah kafe yang ada dalam bangunan hotel itu. Mereka menunggu longgarnya lalu lintas jalanan yang senantiasa mampet saban jam-jam pulang kantor. Suaminya tahu itu. Bahkan, suaminya kemudian menjemput perempuan itu dan perempuan itu memperkenalkan suaminya kepada lelaki sekantornya. Sama dengan yang pernah dilakukan perempuan itu saat menjemput suaminya di sebuah resto di simpang sembilan jalan. Hanya saja perempuan itu tak dikenalkan pada perempuan yang minum-minum bersama suaminya di saat senja itu lantaran mereka sudah saling kenal. Perempuan yang bersama suaminya adalah kawan karib mereka berdua. MALAM itu, perempuan itu sangat ingin berkeramas sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya. Keinginan memberontak itu begitu mendesak-desak. Tapi suaminya belum pulang dari dinas luar kota. Bahkan luar pulau. Perempuan itu tak lagi ingat jam berapa hari ini suaminya akan mendarat di bandara. Sepanjang jam telepon seluler suaminya gagal dia hubungi. Setiap kali dia kontak ke nomor suaminya, jawabanya selalu: “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area….” Senja itu, dalam perjalanan pulang kantor, karib yang memberi informasi perihal suaminya yang jalan bersama perempuan lain itu bersemobil dengan perempuan itu. “Ada yang ingin kuinformasikan padamu,” ucap karibnya di telepon sebelum menyatakan hendak menemani perempuan itu pulang kantor. “Tapi, aku enggak mampir kafe, lho. Aku mau langsung pulang,” jelas perempuan itu. “Enggak apa-apa. Aku juga enggak bawa mobil kok. Mobilku sedang turun mesin. Gampang, kau turunkan aku di mana, nanti aku sambung pakai taksi saja,” kata karibnya sebelum mengatupkan gagang telepon. Tak penting benar bagaimana rincian skenario karibnya pulang ke rumahnya yang lokasinya memang bertolak jauh dari rumah perempuan itu. Yang penting adalah yang diinformasikan karib itu perihal perempuan yang senantiasa bersama dengan suaminya. “Perempuan lain itu kamu sangat kenal,” kata karibnya membuka informasi. “Oya?” kata perempuan itu berdebar. Bersamaan dengan itu, sepeda motor tanpa pelat nomor polisi yang bergegas melintas nyaris menyenggol moncong mobilnya. “Ya. Perempuan itu: aku….” Perempuan itu menganggap karibnya sedang mencandainya. Ketika karibnya kemudian menyebutkan bahwa dia tahu persis letak bekas tancapan kuku di pinggul suaminya, barulah perempuan itu tersadarkan bahwa suaminya telah benar-benar mengkhianatinya. Bekas tancapan kuku di pinggul itu begitu tersembunyi letaknya. Bahkan suaminya sendiri selalu gagal untuk menengok dan memastikan rinciannya. Perempuan itu tahu benar detailnya karena kuku-kuku tangannya sendiri yang menancapnya saat dia menggapai gemuruh magma dalam persekelaminan pada malam pertama mereka. Keinginan perempuan itu tak lagi meletup-letup untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi. Perempuan itu merasa dirinya tak lagi punya arti. Bukan saja suaminya yang telah mengkhianatinya, tapi juga sahabat karibnya yang sekaligus karib suaminya itu yang mengadalinya. Jika tak lagi punya makna dalam hidup ini, untuk apa pula aku hidup? Perempuan itu tak lagi ingin mengeramasi rambutnya karena dia memang baru saja selesai membilas-bilas rambutnya. Dia tak merendamkan diri di bak mandi rumahnya. Dia tak mengguyur kepalanya dengan air pancuran di kamar mandinya. Sebuah cottage di sebuah pantai di pinggiran kota, kamar mandinya penuh bercak merah. Dalam bak mandi maupun lantainya. Bak mandinya sengaja ditutup katupnya, lubang aliran pembuangan di lantai kamar mandi juga tertutup entah apa sehingga bercak-bercak merah itu tetap menggenang. Ada yang usai keramas di kamar mandi itu. Bukan sampo yang diraup dan diruapkan ke rambut kepala seseorang yang usai berkeramas. Yang dikeramaskan adalah gumpalan darah dari sepasang manusia yang kini terkapar di kamar tidur di sebelah kamar mandi. Yang usai mengeramasi rambutnya adalah seorang perempuan yang pernah membaca legenda tentang perempuan yang moksa setelah mengeramasi rambutnya dengan darah seorang lelaki yang pernah memerkosanya. Perempuan itu merasa sudah saatnya moksa. Perempuan itu merasa kinilah saatnya dia bertemu Tuhan. Dua malam lampau, dalam tidur lelap lantaran lelah menunggu suaminya yang tak juga pulang dari luar pulau, perempuan itu bermimpi ketemu Tuhan dan Tuhan berkata: “Sucikanlah dirimu sebelum Kujemput pulang.” Perempuan itu merasa habis menyucikan dirinya dengan mengeramasi rambut, kepala, dan seluruh tubuhnya dengan darah suami dan kekasihnya. Perempuan itu menyimpulkan: hidup dan mati hanyalah untuk Tuhan. Dia pernah mendengar kalimat itu-entah di mana. Hidupku selama ini hanya untuk urusan duniawi. Urusan duniawi terpuncakku adalah menggorok suami dan perempuan-kekasihnya. Perempuan itu merasa puncak keduniawian itulah titik untuk menyucikan diri dan meniti jalanan Tuhan. Perempuan itu kini meniti jalanan kota yang dipadati kendaraan yang lalu lalang dan basah karena guyuran hujan. Perempuan itu sedari kanak-kanak suka berhujan-hujan. Perempuan itu: aku…. * Legian, 9 April 2004
""Perempuan yang Keramas Sebelum Tidur""
Saya ingin bertemu Bapak Presiden. Ada kisah yang ingin saya ceritakan. Saya beroleh kabar, beliau adalah pendengar yang baik. Konon, sewaktu mau jadi presiden, beliau rajin bertandang ke rumah-rumah penduduk, mendengarkan dengan tekun apa yang menjadi keluh kesah dan harapan para penduduk yang didatanginya itu. Pernah, suatu hari, beliau berkunjung ke rumah sederhana milik Pak Mayar, seorang petani renta berusia 85 tahun yang hanya punya sepetak kebun. “Saya datang ke sini untuk mendengarkan….” Begitu kira-kira, kata beliau kepada Pak Mayar yang terheran-heran oleh kemunculan beliau yang tiba-tiba. “Ceritakan saja semuanya… Sampaikan secara terbuka, terus terang, dan tidak usah takut-takut….” Di rumah Pak Mayar itulah beliau kemudian mengadakan pertemuan. Disorot puluhan kamera para wartawan, beliau mendengarkan semua yang diceritakan dengan sabar, tekun, dan penuh perhatian.1 Saat ini, amat sulit menemukan pendengar yang baik. Padahal, sebagai tukang cerita, sudah tentu saya sangat membutuhkan pendengar. Apalah artinya tukang cerita kalau tak ada lagi yang mau mendengarkan kisah-kisah yang diceritakannya? Saya berharap, beliau mau mendengar cerita saya…. Ini cerita tentang Kadosta. Ia penjual buah duku keliling di kota kami. Perawakannya sedikit gempal, dengan leher yang bagai melesak ke dalam pundak-mungkin disebabkan karena ia selalu mengusung keranjang jualannya di atas kepala. Meski usianya belum terlalu tua, baru sekitar 47 tahunan, seluruh kepalanya yang terlihat peyot di sana sini nyaris dipenuhi uban. Kepala itu jadi terlihat lucu ketika ia berjalan keliling menjajakan buah duku-kau seperti melihat bola voli kempes ditindih keranjang yang berat. Bila musim duku tiba, kami akan melihat Kadosta seharian berjalan keliling kota. Ia tak pernah berteriak-teriak ketika menjajakan. Ia hanya berjalan diam. Sementara matanya yang bulat dan gelap bergerak-gerak pelan. Ia melayani pembeli dengan diam, terkesan lamban, tetapi sikapnya membuat setiap pembeli merasa kerasan dan ingin berlama-lama berada di dekatnya. Kediamannya terasa menenteramkan, dan membuat kami seperti menemukan seseorang yang mau mendengarkan. Dan itulah yang membuat Kadosta sangat istimewa! Ada baiknya kami ceritakan terlebih dahulu perihal kota kami, agar kau bisa mengerti bagaimana orang seperti Kadosta terasa begitu istimewa. Bila kau datang ke kota kami, segera akan kau rasakan kebisuan dan keremangan yang panjang, karena segala hal di kota kami terlihat bagaikan bayang-bayang. Pepohonan, tiang listrik, patung- patung taman, sepeda yang bergerak lamban, sado dan becak, juga puluhan kucing dan anjing yang berkeliaran di antara tong-tong sampah di sudut jalan-semuanya tampak tak nyata, seperti bayangan yang tak bisa kau sentuh wujudnya. Apalagi langit di kota kami selalu tampak redup, seperti kain satin lusuh kecoklatan yang dibentangkan, halus tapi membosankan. Kadang-kadang angin menggeremang gamang, seakan ingin menghapus semua kenangan sepanjang lorong-lorong jalan yang lebuh oleh debu kelabu. Sedang siluet gedung-gedung tua tampak seperti wajah berjerawat seorang perjaka yang baru putus cinta. Sementara cahaya selalu memilih bersembunyi di bawah kolong rumah-rumah panggung dari kayu yang sudah lapuk dan terus-menerus menguap pengap. “Seperti ada kebosanan yang mengendap di kota ini…, seperti ada sesuatu yang disembunyikan…” kata para pendatang, yang selalu merasa heran dengan segala kelemban lamban di kota kami. Segala sesuatunya nyaris tanpa suara. Tanpa percakapan. Memang, di kota kami yang remang, kami terbiasa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa percakapan. Apabila kami saling berpapasan di jalan, kami cukup saling melambai atau mengangkat bahu atau sekadar bersalaman. Sedang di kantor, kami bekerja tanpa percakapan, hanya saling mengangguk atau menggeleng andaikan ada urusan yang mesti diselesaikan. Kami bangun, berkumur dan sikat gigi, mandi dan sarapan pagi-semuanya sedapat mungkin kami lakukan tanpa menimbulkan suara. Bila kami pergi ke toko kelontong atau berbelanja ke pasar, kami cukup menunjuk apa yang kami inginkan: cabe, lengkuas, ketumbar, kunyit, biji pala atau merica…, dan penjual akan segera membungkus apa yang kami inginkan. Seberapa banyak kunyit atau merica atau biji pala yang kami perlukan, pedagang-pedagang itu sepertinya sudah mafhum. Para pedagang selalu memberikan apa yang kami inginkan dalam takaran yang pas, sebagaimana yang kami butuhkan. Sementara itu, berapa harga setakar ketumbar atau sejumput jewawut atau segenggam garam, yang membeli pun seperti sudah tahu. Hingga ketika kami membeli apa pun, kami hanya perlu menyerahkan uang tanpa khawatir akan kurang dan tak perlu repot menunggu kembalian. Ini tentu menyenangkan, karena kami jadi tak perlu pusing meributkan kenaikan harga-harga-seperti yang kami dengar banyak terjadi di kota-kota lain. Kota kami memang remang, tetapi terasa tenang…. Tentu saja, pada awalnya, kota kami juga penuh suara dan nyanyian. Hatta, menurut satu legenda, kota kami pada mulanya merupakan permukaan danau yang sangat bening-kau dapat melihat kerut di lipatan matamu, bila kau menjenguk ke permukaan danau itu. Lalu, pada suatu hari, dari dasar danau itu perlahan-lahan muncul sebuah kota dengan istana-istana dan kastil-kastil yang terlihat bening berkilauan, seperti pahatan patung-patung dari balok es. Pohon-pohon cemara dan kelapa, hamparan rumput, biji-biji palawija, bahkan burung-burung yang terbang melintas, semuanya seolah-olah terbuat dari tatahan batu onyx yang bening transparan berkilauan. Dan langitnya serupa lengkung bola kristal kaca-konon, kau bisa melihat bayangan surga melalui kejernihannya. Orang-orang yang terpesona pun segera berdatangan dan menetap. Keindahan kota itu membuat mereka tak bosan-bosan berbincang dan bercerita. Sepanjang hari mereka bercakap-cakap dan saling bercerita dengan riang. Seakan- akan setiap orang selalu punya cerita yang ingin disampaikan kepada yang lainnya. Maka setiap orang pun terus-menerus bercerita. Seakan- akan cerita yang disampaikannya itu adalah yang paling penting dan merupakan satu-satunya cerita yang harus didengarkan. Begitulah, mereka terus saja suka bercakap- cakap dan bercerita tentang capung yang bisa menembus kaca, kuda sembrani berbulu gading, dan cerita-cerita ajaib lainnya. Lama-kelamaan, bersamaan dengan kota yang semakin ramai, mereka lebih banyak cerita dan bicara soal udara kota yang mulai terasa gerah, jalanan yang rusak berlubang-lubang, got-got mampet dan jadi sarang nyamuk, bau bacin pengolahan limbah, pohon-pohon yang ditebang serampangan, bangunan-bangunan liar yang bikin sesak kota, kakus-kakus yang tak terurus, para opas yang malas, polisi-polisi yang selalu tak pernah ada saat dibutuhkan, tumpukan kasus di pengadilan, uang sogokan di bawah meja…. Sudah barang tentu, karena setiap orang sibuk berkata-kata dan bercerita, makin lama kota kami pun makin penuh percakapan menjemukan dan menjengkelkan-seperti kawanan sapi malas yang terus-menerus melenguh-sedangkan jalan-jalan terus saja bertambah parah, kantor-kantor jadi tambah sumpek, gubeg-gubug liar makin menjalar, istana-istana dan kastil- kastil indah bening berkilauan yang dulu banyak berdiri di kota kami perlahan-lahan menguap dan memudar, sementara langit di kota kami tahu-tahu sudah berubah seperti cermin buram. Kemudian mereka saling bertengkar dan menyalahkan…. “Saya sudah menceritakan semua itu, tapi kalian tak mau dengar….” “Sejak dulu sudah kukatakan, tapi kamu tetap tak mau mendengar….” “Sekarang kamu mesti dengan apa yang akan saya ceritakan….” “Elu yang mesti dengar….”” “Kenapa sih kamu enggak pernah mau dengar?!” “Dengar dong apa yang saya katakan!” Dan mereka terus-menerus bertengkar karena tak ada yang mau mendengar. Lalu sebagian orang kemudian memilih untuk diam-bukan diam karena mau mendengar, tetapi diam karena malas mendengarkan. Sebagian lagi mulai enggan melakukan percakapan, sebab merasa bosan dikarenakan tak ada seorang pun yang mau mendengarkan. Maka, pelan-pelan, kota kami pun mulai kehilangan percakapan. Semuanya memilih diam. Mereka tak lagi mempercakapkan jalan-jalan yang sudah rusak parah; tak lagi memperbincangkan bau bacin selokan yang membuat kota bertambah suram. Kebisuan seperti karung yang membungkus kota kami. Bahkan, ketika suatu kali terjadi pembunuhan besar-besaran di kota kami, semua warga lebih memilih diam. Mereka tak pernah mau mempercakapkan ribuan warga yang diculik segerombolan berseragam, dibawa ke kebun karet, kemudian dihabisi dengan serentetan tembakan. Sebagian lagi mati di gantung atau dibuang ke jurang. Saat itu, di kota kami, sepertinya ada hantu palasik yang siap mengisap otak setiap orang yang masih saja suka kasak- kusuk melakukan percakapan. Karena semuanya diam-tahukah kau, bahkan kucing, anjing dan unggas di kota kami pun ikut-ikutan membisu ketakutan-maka cerita dan peristiwa itu pun bagaikan bayangan samar-samar yang makin membuat redup kota kami. Sejak itu segala sesuatu berlangsung lebih pelan, serupa bisikan dan gunjingan yang dipenuhi kisah-kisah menyeramkan yang beredar diam-diam. Seperti ada trauma yang membuat setiap warga memilih untuk terus-terusan diam. Kami pun menjadi terbiasa hidup tanpa percakapan. Kami terbiasa diam ketika terjadi banyak kejanggalan. Kami terbiasa diam dengan segala kerumitan ketika kami mengurus surat-surat di kantor- kantor jawatan; terbiasa dengan trem yang selalu tabrakan dan terlambat melulu; terbiasa menerima tanpa percakapan semua peristiwa yang tak pernah jelas penyelesaiannya. Begitulah, dari tahun ke tahun, kota kami pun makin diam dan terasa muram. Kini kami terbiasa menyaksikan langit kota kami yang selalu tampak redup, seperti kain satin lusuh kecoklatan dibentangkan, halus tapi membosankan. Seperti kota yang kehilangan harapan…. Begitulah, kenapa Kadosta terasa begitu istimewa. Sebagai penjual duku, tentu saja ia hanya terlihat berkeliling kota setiap musim duku tiba. Ia berjalan diam menyusuri lorong-lorong kota. Mereka yang ingin membeli duku tinggal melambai, dan Kadosta akan mendekat. Dengan tanpa suara Kadosta akan segera menurunkan keranjang dari kepalanya, duduk bersimpuh, membungkus duku dan menyerahkannya pada pembeli. Semua berlangsung tanpa percakapan. Tapi itulah…, begitu menerima sebungkus duku yang diberikan Kadosta, para pembeli itu seperti enggan beranjak. Para pembeli itu akan betah berlama- lama memandangi Kadosta yang duduk bersimpuh menundukkan wajahnya yang dipenuhi bintil-bintil kemerahan. Dan Kadosta akan terus duduk seperti itu sembari mengusap-usap keringat yang membasahi lehernya dengan handuk kecil yang sudah kucel, seakan- akan ia tahu bahwa pembeli itu masih menginginkannya untuk tetap berada di dekatnya. Dan Kadosta bisa duduk bersimpuh seperti itu berjam-jam, seperti orang yang dengar sabar mau mendengar. Sungguh, ia seperti memiliki bakat luar biasa untuk jadi pendengar. Kami tak pernah mengetahui secara pasti, kapan persisnya kami menyadari keistimewaan Kadosta itu. Mungkin sudah lama, tapi kami tak pernah menyadarinya. (Hanya kadang-kadang saja kami seperti diusik perasaan kehilangan bila tak melihat Kadosta berjalan keliling kota berjualan duku. Dan itu selalu terjadi bila sedang tak musim duku). Tapi yang jelas, lima bulan sebelum penyelenggaraan pemilu, kami makin menyadari keistimewaan Kadosta. Saat itu puluhan orang asing datang ke kota kami. Mereka berteriak-teriak dan terus-menerus berbicara tentang apa saja yang sudah kami lupa karena selama ini kami tak pernah mempercakapkannya. Sepanjang hari mereka memekikkan yel-yel, menggelar orasi dan pidato, menghamburkan jutaan kata. Kami sampai gemetaran mendengarnya. Maklumlah, sudah bertahun-tahun kota kami tak pernah diusik keriuhan seperti itu. Awalnya kami cukup merasa senang, menganggap itu sebagai sebuah hiburan setelah sekian lama kami tak mendengar ocehan. Tetapi, lama-kelamaan kami justru merasa bosan dan sedih-karena kami kemudian menyadari: betapa mereka semua yang sibuk berkata-kata memang hanya sibuk dengan apa yang mereka katakana tanpa pernah ada di antara mereka yang mau mendengar…. Sejarah buruk kota kami seperti akan menjadi kutukan yang berulang! Dan saat itulah kami teringat Kadosta. Kami seperti tercerahkan: betapa istimewanya dia karena punya kemampuan mendengar yang luar biasa. Kami jadi teringat bagaimana dia duduk bersimpuh penuh kesabaran, hingga kami yang berada di dekatnya merasa nyaman-seperti menemukan sesuatu yang selama ini kami rindukan. Kami terkesan dengan telinga Kadosta yang bergerak-gerak pelan, seakan menyediakan diri untuk mendengarkan. Kami pun menyukai bentuk telinganya yang agak besar kecoklatan. Ada benjolan sebesar biji salak di bagian belakang telinga kirinya. Bukan telinga yang indah memang. Malah banyak daki kering di seputar liangnya. Tapi kami menyukai telinga itu, karena selalu membuat kami senang. Telinga itu selalu membikin kami betah. Setiap kali berada di dekat Kadosta, perlahan-lahan kami merasakan ada yang mendesir lembut dalam darah kami, merayapi saraf- saraf di seputar pipi kami hingga membuat mulut kami terasa ringan… lalu tanpa sadar mulut kami pun terpulas senyum. Dan pada saat bersamaan bagaikan ada yang ingin meloncat keluar dari kerongkongan kami-sesuatu yang selama ini memepat di dada. Begitulah, mula-mula seulas senyuman. Lalu geremang yang mengambang, batuk-batuk kecil yang dipaksakan, kerecap lidah, siulan patah-patah, gumam yang disertai tawa pelan. Lalu sapaan, “Halo…”, “Hai…”, “Hmmm…”, “Yap!”, “Ahaa…”, “Oooo…” yang terdengar makin lama-makin panjang. Dan kami, tahu-tahu, sudah berbicara setiap kali bertemu Kadosta, “Apa kabar…,” sapa Mak Katen. “Mampirlah sini, Kadosta….” kata Mbok Mawawi. “Kemarilah Kadosta, ada yang ingin saya ceritakan…,” ujar Kang Kawurjan. Kami pun jadi seperti tersadarkan, betapa kami sesungguhnya punya nama. Pitados, Sakedik, Samanten, Utawi, Wangsulan, Tumitah, Saweg, Kapisan. Kami semua jadi suka duduk lama-lama bercerita kepada Kadosta yang dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan omongan kami. Alangkah nikmatnya bisa menemukan seorang yang mau mendengarkan… Seperti ada mukjizat yang membuat kota kami menggeliat. Dan beberapa warga pun mulai terlihat senang kumpul-kumpul, bercakap- cakap. “Kenapa ya dulu kita tak bisa begini ceria?” kata Wangsulan. “Ini pasti karena Kadosta!” tegas Utawi. “Saya sudah mengatakan ini dari dulu! Kamu saja yang enggak dengar!” sergah Kapisan. “Coba kalau kamu mau mendengar apa yang saya katakan…,” Tumitah berkata tak mau kalah. “Kenapa aku mesti mendengar omonganmu, he?! Mestinya kamu yang belajar mendengar!” bentak Mang Kono. “Enak aja! Kamu tuh yang mestinya dengar!” “Dengar sebentar kenapa, sih!” “Kamu yang harus dengar!!” ‘Dengar, kamu yang mesti dengar!” “Kenapa sih kamu enggak mau dengar?!” Upp…, ternyata tak gampang mau jadi pendengar. Alhasil, kami selalu memerlukan Kadosta untuk jadi pendengar. Pitados yang marah kepada dinas tata kota karena anaknya terperosok gorong-gorong melontarkan dampratannya kepada Kadosta. Utawi yang baru putus cinta meratapkan dukalaranya kepada Kadosta. Sakedik yang jengkel karena tak bisa merampungkan teka-teki silang meluapkan kejengkelannya kepada Kadosta. Klilipan dan Pitaya yang sudah lama bermusuhan saling melontarkan makian dan kegeraman di hadapan Kadosta-hingga keduanya merasa lega, lalu tertawa-tawa dan pulang berangkulan. Setiap ada persoalan, setiap ada urusan yang harus dibereskan, kami segera mendatangi Kadosta. Dan dengan cara mendengarkannya yang luar biasa, ia mampu membuat setiap persoalan atau urusan terasa lebih mudah diselesaikan…. Karena itulah, di musim pemilu itu, kami segera menyadari keistimewaan Kadosta. Ketimbang mendengarkan teriakan dan pidato-pidato yang membosankan, kami lebih memilih mendatangi Kadosta untuk menyampaikan semua harapan dan keinginan kami. Dan Kadosta mendengarkan dengan sabar. Caranya tersenyum seperti membuat langit di kota kami menjadi lebih cerah. Dan warga kota pun saling tersenyum, seperti hendak saling meyakinkan, betapa mereka sudah menemukan apa yang selama ini mereka rindukan: seorang pemimpin yang mau mendengarkan…. Tak mengherankan, saat pemilu diumumkan, Kadosta terpilih menjadi pemimpin di kota kami. Kami bahagia karena telah memilih “seorang yang mau mendengar” sebagai seorang pemimpin. Sebab, sepanjang yang kami alami, tak pernah kami menjumpai pemimpin yang mau mendengar. Beda dengan Kadosta. Ia membuat kami tak perlu merasa sungkan bila kami ingin menceritakan semua persoalan, keinginan dan harapan kami. Bukankah ia orang yang bisa mendengar! Tapi karena sekarang Kadosta menjadi pemimpin, kami harus cukup tahu diri apabila ingin menemui. Kami mesti mengisi buku tamu terlebih dulu. Lalu dipersilakan menunggu. Karena dari hari ke hari yang datang kepada Kadosta bertambah banyak, maka kami pun rela ketika setiap pertemuan dengan Kadosta mesti diatur terlebih dahulu. Setiap jadwal pertemuan sudah harus ditentukan! Tentu saja, karena kesibukan Kadosta, setiap pertemuan jadi sangat terbatas. Agar adil dan merata, setiap yang datang diberi kesempatan secukupnya untuk bercerita. Namun, karena “secukupnya” tak jelas ukurannya (hingga kadang seseorang bisa begitu lama bercerita sementara yang lain gelisah menunggu gilirannya) maka dibuatlah aturan yang lebih tegas: satu jam per orang. Tetapi, menimbang dan memperhatikan jumlah yang datang dari waktu ke waktu selalu bertambah, maka lama setiap pertemuan pun mengalami “penyesuaian”: setengah jam per orang… kemudian disesuaikan menjadi 15 menit/orang…, 5 menit/orang…, 1 menit/ orang…, 10 detik/ orang… 5 detik/orang…. Petugas akan memanggil, dan yang dipanggil bergegas menemui Kadosta, lalu segera mengungkapkan keinginannya, “Eee, begini, Kadosta… Saya rasa….” “Stop! Waktu habis!” teriak petugas mengingatkan, kemudian segera membawa orang itu keluar ruangan…. Begitulah, sebagian dari kami kemudian mulai mengeluh, betapa sulitnya kini bila ingin bertemu Kadosta. Yang lain mengatakan, kalau Kadosta sekarang tak lagi punya waktu untuk mendengarkan. Di sana-sani terdengar gumam kekecewaan. Tapi siapa yang mau mendengar? Di kota kami, hanya Kadosta yang mau mendengar. Sampai kemudian kasak-kusuk terjadi: Kadosta sudah sangat kewalahan membagi waktu untuk mendengarkan. Bahkan kabarnya Kadosta sudah mulai menganggap konyol itu semua. “Bagaimana saya bisa bekerja kalau sepanjang hari saya hanya mendengarkan omongan dan cerita kalian?!” teriak Kadosta. Alangkah menakjubkan, itulah kali pertama kami mendengar Kadosta bersuara. Sejak itu Kadosta mulai banyak bicara kepada kami, mengatur dan memberi perintah, agar kami tak selalu mendatanginya hanya karena perkara-perkara yang menurutnya bisa diselesaikan kami sendiri. “Banyak yang harus saya kerjakan selain mendengarkan kalian…,” katanya, sebagaimana dikutip koran- koran. Ia pun memerintahkan “agar seluruh warga kota mendengarkan apa saja yang dikatakannya”, agar semuanya bisa “berjalan efektif, efisien, terukur. dan terencana….” Kadosta mulai suka berpidato dan berbicara. Biasanya, setiap akhir pekan, ia mengumpulkan semua warga untuk mendengarkannya bicara di atas podium di alun-alun kota. Suaranya mantap dan meyakinkan. Tapi pada saat seperti itulah, kami seperti menyaksikan gelembung-gelembung busa yang mendadak pecah di udara…. Demikianlah, kenapa saya ingin bertemu Bapak Presiden. Tapi saya tak tahu, bagaimana caranya agar saya bisa bertemu beliau, dan bisa menyampaikan ini cerita. Membayangkan bagaimana caranya ketemu beliau saja sudah merupakan kerumitan bagi tukang cerita macam saya. Yeah, katakanlah saya bisa bertemu beliau, dan punya kesempatan untuk bercerita…. Tapi apakah beliau mau mendengar? Yogyakarta, 2005 Catatan: ¹ Lihat berita Kompas (Kamis, 27 Januari 2005, hal 8), “Melihat Perubahan dari Beranda Rumah Pak Mayar”, yang mengilhami cerpen ini. Di rumah Pak Mayar itulah, SBY dan rombongan tim suksesnya semasa Pemilu Presiden mendeklarasikan Koalisi Kerakyatan.
""Cerita Buat Bapak Presiden""
Kami membawa pulang satu ekor, untuk dipelihara. Baby, bayi kami yang empat tahun itu sangat menyukainya. Bagaimana tidak, ia menyerupai boneka benar, dan hidup pula. Dan lebih jinak dari jenis anjing mana pun. Yang kami khawatirkan hanyalah orang segera tahu bahwa binatang ini bukanlah anjing biasa. Di tempat asalnya ia disebut caronang, cirinya yang paling spesifik adalah bahwa ia berjalan dengan dua kaki. Awalnya kupikir ia sejenis beruang yang bisa mengangkat tubuhnya untuk menyerang. Tapi ternyata tidak. Tubuhnya bahkan lebih kecil dari anjing kebanyakan, seukuran pudel. Ia nyaris tak pernah lagi merangkak, tapi berdiri tegak. Anatomi tubuhnya telah jauh berkembang yang memungkinkannya berjalan dengan dua kaki: lihat, pahanya memanjang sehingga lututnya semakin turun ke bawah, tak lagi menempel di perut; kemudian betisnya juga memanjang sehingga tumitnya turun ke tanah (tumit ini sering dikira lutut pada anjing biasa, padahal lutut selalu menyiku ke depan, dan tumit menyiku ke belakang); bagian telapak kakinya memendek, dan sepenuhnya rata dengan tanah. Jari-jarinya memang menyerupai beruang, atau kucing, tapi dalam buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu yang kubaca, ia sekeluarga dengan anjing. Mereka menyebutnya dalam bahasa Latin sebagai Lupus erectus. Dalam bahasa Indonesia ia tak bernama, juga dalam bahasa Inggris. Buku itu menyebutkan caronang telah punah jauh lebih dulu daripada harimau jawa; mereka tak tahu di rumahku ada satu ekor. Bagaimanapun ia masih mewarisi bentuk nenek moyangnya: kepalanya serupa betul dengan kepala anjing, meski di bagian-bagian tertentu lebih mengingatkanku kepada kelelawar. Lonjong dan ramping seperti anjing jenis Borzoi, dengan bulu lebat putih berbercak-bercak hitam. Ia juga menggonggong, dan di malam hari kadang-kadang melolong. Kami tak pernah memberinya kesempatan keluar rumah, dan menyembunyikannya jika tamu datang. Satu-satunya orang yang tahu kami memelihara caronang adalah seorang teman lama yang memperkenalkanku dengan binatang ini di habitatnya. Tapi binatangnya sendiri cepat belajar bahwa itu baik bagi dirinya sendiri, dan jika orang lain tahu keberadaannya, kehidupan damainya akan segera berakhir. Waktu itu kami belum tahu justru kehidupan damai kamilah yang akan berakhir. Kami tahu hal menyenangkan dari seekor anjing adalah kita bisa mengajarinya hal-hal tak bermutu bagi seekor anjing. Istriku melatihnya mengambil koran dari bawah pintu, mengambil sepatuku di pagi hari, sebelum kami menyadari ia bisa diajari lebih banyak daripada seekor anjing biasa. Saat itulah kami terpesona melihatnya duduk bersama Baby dan memulas-mulas pensil warna di buku gambar. Belakangan hari ia pergi mandi sendiri, memberi sampo ke tubuhnya, meskipun tentu saja dengan kesembronoan yang menggelikan. Seandainya ia bukan seekor caronang, dan tak lebih dari seekor pudel cerdas, kami bakalan kaya raya dengan membawanya ke sirkus. Segalanya serba menyenangkan sebelum pagi yang mengerikan itu. Tanpa kami ketahui kapan ia mempelajarinya, ia telah menenteng senapan berburu, mengisi peluru, dan menarik pelatuknya. Tak hanya tahu bagaimana mempergunakan, namun juga mengerti untuk apa benda seperti itu. Semuanya berawal dari Don Jarot, teman lamaku itu. Pada umur delapan belas tahun ia datang ke Yogya untuk menjadi seniman, tapi malahan kuliah filsafat. Ia hanya bertahan tiga tahun, dikeluarkan dengan sangat tidak terhormat, karena membunuh seorang lelaki gara-gara rebutan perempuan. Ia menghabiskan tiga tahun di penjara Wirogunan, membunuh seorang jeger dalam perkelahian, dan segera dipindahkan ke Nusa Kambangan. Seperti siapa pun yang tinggal di sana, ia segera menjadi tak betah. Sebuah pelarian segera dipersiapkan. Bukan benteng kuat dan penjaga galak yang harus ia hadapi, tapi sungai buas selebar anak samudra dengan buaya hidup di dasarnya. Orang setempat menyebut muara sungai itu sebagai Sagara Anakan, laut beranak, dan ia harus menyeberanginya, bersembunyi dari satu delta ke delta lain yang penuh dengan binatang-binatang pemangsa manusia. Tapi itulah yang ia lakukan. Ia berenang separuh malam, nyaris mati tertabrak kapal minyak yang hendak mendarat, tenggelam dan terbawa arus sebelum menemukan kekuatannya kembali, dan terdampar di sebuah delta kecil berupa rawa penuh ilalang. “Makanan pertamaku adalah lintah yang menempel di tubuh,” katanya. Selama berminggu-minggu ia bersembunyi di delta-delta itu, berenang menyeberangi selat-selat kecil, berendam di rawa-rawa, sementara satu pasukan militer mencari-carinya. Ia berhasil terbebas dari perangkap delta-delta itu, berjalan menuju hulu sungai, dan lenyap di kampung-kampung serta kota-kota. Satu-satunya hal tolol yang ia lakukan adalah, ia merindukan kekasihnya. Ke sanalah ia pergi di suatu hari, dan di sanalah mereka menangkapnya kembali. Ia harus menyelesaikan sisa hukumannya dengan rasa lelah dan tak percaya diri. Semua pengalaman gilanya telah dibuat film tak lama setelah pembebasannya, ia sendiri memerankan dirinya. Meskipun film itu demikian terkenal, ia tak pernah membintangi film apa pun lagi, dan lebih suka kawin dengan kekasihnya serta berjualan batu-batuan dengan sedikit bualan filsafat. Filmnya sungguh-sungguh berdasarkan kisah nyata, kecuali satu bagian yang hanya ia ceritakan kepada kami: Suatu hari, barangkali terserang demam malaria, ia jatuh sakit dalam persembunyian di delta-delta Sagara Anakan. Ia pikir dirinya nyaris mati, dan segera tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia menemukan dirinya di semacam kandang babi, rumpun belukar yang dibuat menyerupai gua, dikelilingi anjing-anjing kecil. Waktu itu ia berpikir tengah menghadapi gambaran salah mengenai malaikat, namun ketika mereka menyodorkan ikan-ikan kecil untuk dimakannya mentah-mentah, ia segera menyadarinya sebagai si binatang legenda caronang. Jauh sebelum ini kami pernah mendiskusikan soal binatang-binatang punah. Kami mengumpulkan ensiklopedi dan catatan perjalanan serta cerita-cerita rakyat dan sama-sama mengambil kesimpulan barangkali mereka belum sungguh-sungguh punah. Kami berencana melakukan satu petualangan gila-gilaan untuk mencari harimau jawa, dan tentu saja juga caronang, sebelum Don Jarot harus masuk tahanan dan tahun-tahun kemudian berlalu. Tak lama setelah pemutaran perdana filmnya, Don Jarot datang kepadaku dan menceritakan soal pertemuannya dengan caronang itu. Idenya untuk menemui mereka kembali sungguh-sungguh menggairahkanku, maka kami pun berangkat. Binatang ini sangat endemik, hanya ada di beberapa delta sekitar Sagara Anakan. Di masa lalu barangkali mereka berkeliaran di hutan-hutan Jawa sebelum terdesak ke sana. Kami berangkat pukul tujuh pagi dari pelabuhan Cilacap, dengan kapal feri yang dipenuhi petani dan pedagang, serta guru-guru yang mengajar di bagian pedalaman, bergerak melawan arus sungai Citanduy. Panoramanya sangat mengagumkan: keluar dari kepungan kapal-kapal minyak dan kargo, dengan laju yang perlahan, kami terapung-apung di muara yang mahaluas itu. Bangau beterbangan dan monyet bergelantungan di dahan bakau. Ada sampan-sampan nelayan yang bergerak malas. Aku membawa perkakas berkemah dan alat berburu dalam satu carrier besar, meskipun tak ada niat untuk memburu apa pun kecuali persiapan kecil menghadapi binatang-binatang buas. Don Jarot tengah sibuk dengan handycam dan buku catatan, sejak dari pelabuhan ia terus merekam apa pun. Kami telah merencanakan dokumentasi ini sejak awal keberangkatan: barangkali bisa membuat video bagus untuk Discovery Channel atau National Geographic. Tadinya aku berpikir untuk menyewa seorang penunjuk jalan, tapi Don Jarot meyakinkanku bahwa ia mengenal tempat ini seperti mengenal ujung hidungnya sendiri. Lagipula ia tak ingin orang lain tahu masih ada caronang hidup di delta-delta, sebab bahkan penduduk setempat hanya mengenal namanya dan mengira itu hanya binatang mitologis belaka. Kami berhenti di tempat yang sangat aneh: di perbatasan antara laut dan sungai. Don Jarot menunjukkan garis pemisahnya, kecoklatan dan membentang ke kiri-ke kanan, tak hilang oleh riak air. Aku berpikir seseorang membentangkan pita coklat di dasar sungai, tapi Don Jarot menegaskanku bahwa garis itu sungguh-sungguh alami, semesta sendiri yang menciptakannya. Karena di sekitar tempat itu tak ada dermaga untuk berlabuh, kami dijemput perahu kayu tanpa kitir yang mengerikan, dan diturunkan di satu pulau terdekat dengan penghuni hanya tiga keluarga nelayan. Perahunya kami sewa untuk masuk ke daerah pedalaman. Aku sebenarnya agak mengeluh dan bertanya apakah tidak ada baiknya menyewa perahu berkitir. Don Jarot hanya tertawa, menjelaskan bahwa perahu berkitir hanya dibutuhkan untuk menghadapi gelombang-gelombang besar. Di sungai tak ada gelombang, katanya. Lagipula kemudian kami masuk ke anak-anak sungai yang sempit, dengan permukaan air yang tertutup hamparan lumut dan pakis. Selama perjalanan, sementara ia mendayung, aku dilanda kepanikan tertentu. Meskipun memang benar perahunya tampak stabil, fakta bahwa di dasar sungai buaya dan biawak masih hidup sungguh-sungguh tak membuat perjalanan ini menyenangkan. “Tunggulah, keajaiban segera datang,” kata Don Jarot. Itu benar. Hal-hal ajaib segera menunggu kami begitu menerobos daerah pedalaman berawa-rawa. Aku melihat seekor ikan sebesar telapak tangan berjalan di lumpur, dengan sirip yang sungguh-sungguh telah menyerupai kaki. Kemudian di sebuah lubuk, aku menemukan ikan hiu kecil. Sangat kecil, hanya sebesar pergelangan, dan hidup di air tawar. Dengan penuh sukacita Don Jarot merekam semuanya sambil berteriak-teriak, eureka, inilah keajaiban evolusi, demi Dewa Darwin! Ada keajaiban-keajaiban lain yang membuatku lupa kepada buaya, sebelum bertemu keajaiban sesungguhnya: caronang. Selama hari-hari tanpa kerja, aku sering bermalas-malasan di halaman rumah untuk melumasi senapan berburuku-yang tak pernah dipakai. Kadang-kadang aku membuang-buang peluru ke langit, sambil berpikir itu bisa membuat awan mencair dan menurunkan hujan di udara yang panas. Barangkali saat-saat seperti itulah, tanpa aku sadari, caronang kami mengintip dari kaca jendela dan melihat bagaimana aku memperlakukan senapan tersebut. Lagipula ia pernah melihatku menembak tikus besar di dapur, setelah serangannya yang menjengkelkan di malam-malam terakhir. Semalam caronang itu bertengkar hebat dengan Baby untuk hal yang membingungkan. “Mereka berebut selimut,” kata istriku. Memang benar, keduanya tidur satu ranjang sejak kami membawa binatang itu ke rumah. Pertengkaran itu, di mana Baby menjerit-jerit dan si caronang menggonggong, berakhir dengan ditendangnya caronang oleh Baby dari tempat tidur. Caronang lari ke kamar istriku, bersembunyi di ketiaknya, dan kami menemukannya tengah menangis. Itu hal yang tak mengejutkan. Beberapa waktu lalu kami pernah memelihara seekor lutung dengan perilaku yang serupa itu: cengeng dan gampang menangis. Barangkali karena ia masih begitu muda. Aku berhasil membawanya setelah Don Jarot membius satu gerombolan keluarga caronang, sebab jika tidak bisa dipastikan mereka tak akan membiarkan kami membawa seekor di antara mereka. Demikianlah kemudian bagaimana hari paling malang dalam hidup kami datang. Pagi-pagi sekali binatang itu telah turun dari tempat tidur istriku, mengambil senapan dan pelurunya di gudang, lalu mengetuk pintu kamar Baby. Baby belum juga terbebas dari tidurnya, masih terduduk dengan kebingungan, sebelum senapan meletus dan mengakhiri hidupnya. Ia hendak masuk taman kanak-kanak dua bulan ke depan, mati dalam dua tembakan seekor caronang. Bahkan di tengah-tengah kesedihan yang begitu rupa, tak mungkin bagiku untuk menceritakan fakta tersebut. Tidak juga istriku. Maka setelah pemakaman yang juga dihadiri Don Jarot (ia mencoba menghiburku dengan sia-sia), polisi segera menahanku. Kepada mereka aku tak membantah apa pun, dan membenarkan semua tuduhan terhadapku. Bersama polisi, kami membangun kisah fiktif yang meyakinkan ini: Di ujung malam aku mendengar suara-suara mencurigakan dan segera berpikir ada seorang pencuri. Aku mengambil senapan berburuku dan mengira suara itu datang dari kamar Baby. Aku memanggil-manggil namanya, tapi Baby tak juga menjawab. Aku mendobrak pintu dan melihat sosok besar di hadapanku. Sebenarnya itu Baby yang berdiri di atas tempat tidur, tapi aku telanjur menembaknya, dua kali dalam rasa terkejut. Pengadilannya berjalan tanpa kerumitan apa pun. Istriku bersaksi memang begitulah kejadiannya. Mereka menghukumku tiga tahun, disebabkan perilakuku yang baik, belum pernah ditahan, masih muda, dan sangat menyesal. Selama itu, satu-satunya yang aku inginkan adalah pulang dan membunuh sendiri caronang itu. “Tak perlu,” kata istriku, “Don Jarot telah membunuhnya, disembelih dan dijual ke warung sate anjing.” Itu lebih baik. Bagaimanapun sangatlah berbahaya membiarkan mereka terus hidup, terutama membiarkan mereka semakin cerdas, hingga suatu ketika bisa memanggil diri mereka sendiri Lupus sapien.*
""Caronang""
Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer. Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.” Mata Ayah memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya. Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar. Tetapi, hatiku terkesiap mendengarnya. “Aku akan berangkat pagi ini juga, sebelum orang ramai ke jalan-jalan. Sebelum banyak ibu-ibu antri di kamar mandi umum. Sebelum tampak asap di dapur terbuka itu. Aku percaya, kamu akan sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat ototmu yang kuat, badanmu yang sehat, dan terutama perasaanmu yang tabah. Ingat! Jangan pernah menangis lagi.” Bibirku mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata berkerumun di ujung lidah. Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi. Membuat rahangku keras seperti terbuat dari logam. Tetapi, tak ada suara yang sanggup keluar dari mulutku. “Aku menulis surat untukmu, karena kukira kamu tak akan bangun saat subuh. Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu tak mungkin kudengar lagi.” Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah-olah aku sendiri yang berduka dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. “Maafkan aku jika selama menjadi ayahmu tak pernah membuatmu bahagia.” Tidak ada pelukan dari Ayah. Tangannya mengusap pipiku, terasa kasar. Keriput yang terbentuk dari serangkaian kerja keras itu berusaha melekat di paras mukaku. Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu. Dan kini Ayah telah melangkah memunggungiku. Ke arah selatan. Seperti memberikan isyarat bahwa di sana akan menjadi akhir dari pengembaraannya. Begitu sadar Ayah telah semakin jauh: hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk dan segerumbul pohon yang miring di ujung pandangan siap mengaburkannya, aku segera berlari ke dalam tenda. Jika benar Ayah menulis surat untukku, tentu disimpan tak jauh dari alas tidurku. Memang kutemukan selipat kertas lembap yang tampak baru saja disisipkan ke bawah timbunan sarung. Aku berdebar membuka lipatan surat itu seakan-akan hendak membaca isi testamen. Ternyata hanya beberapa baris kalimat yang mudah dihapal setelah membaca dua kali. “Mustafa, anakku. Aku terlampau sedih dalam peristiwa kehilangan ini, dan mungkin sebentar lagi menjadi gila. Aku akan pergi. Mudah-mudahan kamu tetap kuat untuk tinggal. Aku ternyata seorang pengecut. Selamat tinggal.” Aku melompat bagai tersengat kalajengking. Tanpa sadar aku telah melanggar permintaannya untuk tidak memanggilnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju arah Ayah berjalan. Tapi sampai aku terengah-engah, tak kutemui lagi bayangan Ayah. Mungkin tikungan, atau bekas tikungan, telah menyembunyikan arah langkahnya. Sandalku telah lepas entah ke mana. Tanah becek dan kerikil yang menghunjam telapak kakiku tak benar-benar kurasakan sakitnya. Lebih sakit perasaan dalam relung dadaku. Pisau sepi menoreh begitu dalam. Baru saja Ayah pergi, tapi kesepian begitu lekas menyergap. Aku seperti menjadi seorang diri di dunia. Dari seorang piatu menjadi sekaligus yatim dan sebatang kara. Terasa hidup sendiri di bawah langit yang selalu mendung. Jauh dari laut tapi gemuruh itu tak pernah mau hilang dari rongga telingaku. Kini aku berjalan lunglai kembali ke permukiman sementara. Kata sementara itu mulai terasa tak terbatas. Terutama bagiku yang kini sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Satu-satunya tumpuan harapan telah meninggalkanku. Pergi begitu saja. Hanya meninggalkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk. Memang sekarang bukan lagi saatnya untuk terus menangis. Setiap hari kuhabiskan waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan, dan utara. Dari seluruh penjuru mata angin. Adakah yang menemukan Meutia? Adakah yang mendapatkan sosok Hasan? Adakah yang sempat bersimpang jalan dengan Siti Salamah? Bahkan andai kata telah berbentuk jenazah! Atau mungkin tinggal serangkai belulang dari tubuhnya yang terhimpit rangka bangunan. Bekas perjalanan yang tak lazim: terseret sekian kilometer bersama puing dan ombak berwarna coklat. Terhempas dan hanyut berkali-kali. Atau sekadar sobekan pakaian terakhir yang dikenakannya menjelang gelombang tsunami datang. Mungkin aku masih sanggup mencium aroma sisa tubuhnya, di antara lumpur dan segala yang hancur. Aku akan memeluknya untuk penghabisan kali sebelum kurelakan masuk ke dalam lubang bersama mayat lain yang baru ditemukan. Tanpa nama, kecuali jika aku menandainya dengan setulus hati, lalu berusaha mengingat letaknya. “Ayah, mungkinkah kita akan sanggup menziarahi mereka?” Namun, aku tidak lagi bersama Ayah. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah tiba di wilayah lain yang juga tidak dikenalnya karena suasananya sudah berubah. Sementara aku akan tetap tinggal di sini, bersama beberapa penduduk yang masih bertahan dengan keadaan seperti ini. Bersama beberapa tentara yang kulihat juga mulai bosan dan kusut mukanya. Ketika Ayah memberiku sepucuk rencong, aku baru saja selesai menunaikan SMP. Umurku menjelang lima belas tahun. Usai menerima pengumuman kelulusan, aku bersama teman- teman merayakan dengan cara membakar baju seragam di tengah ladang. Anak seorang juragan kambing menyumbangkan seekor domba untuk pesta syukuran. Aku pulang menjelang magrib dengan perasaan mekar sumringah. Setelah libur panjang aku akan memasuki dunia sekolah yang lain. Seolah- olah ada selembar kertas harapan untuk ditulisi segala keinginan. Dicoret-coret dengan gambar impian sekehendak hati. Aku pun berjalan sambil bersiul-siul. Di pintu pagar rumah aku mendapatkan mata Ayah yang nyalang seperti elang. Aku serentak menduga ada hal yang sangat penting dan mungkin akan disampaikan dengan nada marah. Firasat itu begitu kuat, membuat dadaku berdegup kencang. Rasa takut menjalar. Semua ingar-bingar yang tadi mengepung api unggun perayaan pesta lulus sekolah, langsung sirna. “Mustafa!” panggil Ayah. “Ya, Ayah.” Aku mempercepat langkah. Dengan dada terbuka seperti ini, tentu tampak bagai menantang. Tapi, ya, bajuku sudah sempurna menjadi abu di persawahan kering dua jam yang lalu. “Ayah mau amanatkan sesuatu kepadamu! Duduklah!” Perasaanku mengkerut. Serambi rumah tampak sepi. Langit redup. Sebentar lagi akan terdengar suara azan dari surau di belakang rumah. Aku segera duduk di bangku kayu yang terletak setengah miring di teras. “Ayah, hari ini aku lulus sekolah.” Aku mencoba meredakan gejolak dengan cara menyampaikan berita gembira. Siapa tahu akan menurunkan temperamen Ayah. Tapi ternyata tak mengubah apa pun. “Aku tahu! Karena itulah aku memanggilmu. Sudah saatnya kamu menerima ini,” Ayah mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih, “Bukalah!” Dengan agak gentar, aku melolos kain kafan yang sudah tidak baru lagi. Serta merta terkejut, meski sudah menduga dari bentuknya, ketika mendapatkan sebuah rencong yang masih mengkilat meskipun gagangnya berupa kayu yang sudah berumur panjang. Mendadak tanganku gemetar. Apa maksud Ayah memberiku sebuah benda tajam yang berbahaya ini? Setiap menghadapi logam tajam, apalagi dengan beberapa lengkung yang mirip ukiran, aku merasa sedang berhadapan dengan masalah besar. “Ayah… ini sebuah rencong….” “Syukurlah kamu tahu. Aku tak bisa menunda waktu lagi. Sudah saatnya kamu memahami arti bahaya di luar sana.” Aku memandang sekitar. Kukira Ayah keliru dalam menilai situasi. Desa kami daerah yang paling aman. Bahkan, jarang menjadi lintasan anggota Gerakan Aceh Merdeka, secara terang-terangan maupun menyamar. “Kamu mulai bertanggung jawab melindungi keluargamu. Bahu-membahu dengan Ayah. Jaga keselamatan Meutia dan Hasan. Sementara aku akan menjaga Salamah, ibumu.” Tanganku semakin gemetar mendengar penjelasan Ayah. Seperti sebentar lagi akan meletus perang. Sementara angin senja kala bertiup lebih dingin dari biasa. Kemudian terdengar azan magrib berkumandang. Entah siapa yang menjadi muadzin sore ini, suaranya terdengar mendayu-dayu. Mengiris liang telinga seperti pipih sembilu. “Ayo lekas simpan rencong itu! Kini menjadi milikmu. Jangan dibiarkan telanjang, salah-salah disambar iblis.” Ayah mengingatkan. “Sekarang kita ke surau.” Sehabis sembahyang aku merenung di dalam bilik. Rupanya hari ini berlangsung dihiasi berbagai peristiwa yang mendebarkan. Sejak pagi aku sudah berdebar-debar menunggu pengumuman ujian akhir. Aku tidak terlampau bodoh. Tetapi, bukan berarti pasti lulus. Ketika membuat api unggun dan membakar baju-baju, angin bertiup cukup kencang. Kemarau telah berhasil membuat setiap petak ladang menjadi kering, tumpukan jerami bertebaran di mana-mana. Tentu kami berdebar-debar dan selalu terkesiap setiap kali melihat api meliuk ke arah gubuk. Dan, senja ini: sebuah rencong diwariskan kepadaku! Begitu mendadak, seakan-akan musuh sudah berada di balik dinding rumah. Telinga kami menduga, ada semacam keresek langkah kaki orang jahat yang mendekat. Ya. Aku telah menjadi pemuda! Ketika Ayah memintaku untuk khitan, Hasan belum lahir. Ia masih berada dalam perut Ibu yang membuncit seperti mendekap ember di balik kain sarungnya. Sedangkan Meutia mulai sekolah seminggu tiga kali di madrasah terdekat. “Sudah waktunya kamu memotong ujung kulupmu. Itu sumber penyakit! Mau berangkat sendiri atau kuantar?” Aku terkesima. Mengapa Ayah tidak menunggu aku benar-benar khatam Al Quran dengan tartil dan lafal yang benar? Atau membiarkan aku mengalami mimpi basah yang pertama? “Tidak!” Seolah Ayah mendengar keragu-raguanku. “Sunat sekarang atau tidak usah masuk ke dalam rumah.” “Ambillah kain sarung yang baru, Mustafa.” Ucapan Ibu lebih lembut. “Sudah kusiapkan di ranjangmu.” Aku pun mengangguk. Aku tak pernah tega menolak permintaan Ibu. Sesulit apa pun. Setakut apa pun. Aku belum menjumpai petualangan yang seru, selain lomba berenang di arus sungai yang deras. Tapi pengalaman dipotong ujung penisku tentu merupakan salah satu keberanian seorang anak laki-laki. Jangan menangis! Ya, jangan menangis Mustafa! “Aku percaya, kamu bukan anak cengeng, Mustafa!” ujar Ayah membekali perjalananku. Maka, berangkatlah aku ke seorang mantri sunat. Menyerahkan kelaminku yang gemetar untuk dipotong, dijahit, dan diperban, setelah sebelumnya dibius dengan suntikan di sekitar “burung”-ku itu. Aku meringis saat perih menjalar, menembus tabir anestesi. Akan tetapi, aku berhasil mempertahankan agar mataku tetap nyalang, tanpa setitik air menggenang di sudutnya. Aku berhasil dan begitu bangga. Aku seorang anak yang berani. Tidak cengeng! Aku hanya malu kepada Ibu yang tak pernah takut untuk melahirkan. Sebentar lagi akan ada bayi ketiga yang melewati pintu rahimnya. Pasti sakit luar biasa, karena ukuran bayi tidak sebanding dengan diameter lubang yang hendak dilaluinya. Itu menurut akalku, yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar. “Inilah anak Ayah yang pemberani.” Ayah menepuk bahuku, ketika sedang kunikmati seekor ayam panggang yang khusus dimasak oleh Ibu. “Aku percaya, kamu bukan anak cengeng!” Akan tetapi, lihatlah hari ini, di ambang waktu dhuha: ternyata akhirnya aku menangis! Dadaku seperti mau meledak oleh himpitan kesepian. Padahal, aku tahu, di sekitarku masih ada orang-orang lain yang setengah gila akibat perasaan kehilangan. Ibu-ibu yang putus asa. Anak-anak kecil yang bermain tapi tidak tahu meski mencari pelukan siapa ketika lapar datang. Dan, beberapa tentara yang rindu keluarganya. Juga para relawan yang sudah nyaris mabuk oleh aroma busuk yang melayang-layang sepanjang pekan. Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, yang terdiri dari tenda-tenda militer dan sebagian lagi berupa bangunan kayu yang berdiri tanpa fondasi, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan di sana-sini, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya, karena diperolehnya dari kardus yang dilempar oleh sebuah helikopter yang gemuruh di suatu siang bermega pekat. Ia tadi berjalan tidak terlampau cepat, tapi jarak antara kami demikian pasti menjadi semakin jauh. Semakin terasa bahwa telah terbentang ruang yang memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer. Apakah aku masih perlu mencari Meutia? Hasan? Atau ibuku? Yang entah berkubur di mana. Tsunami yang perkasa telah merebutnya dari kami tanpa memberi kesempatan untuk belajar cemburu lebih dulu. Maafkan aku. * (Tanda simpati untuk Azhari, cerpenis dari Aceh) Jakarta, 29 Januari 2005 Catatan : Judul “Laut Lepas Kita Pergi” dipetik dari judul lagu Leo Kristi di album “Nyanyian Malam”, 1977
""Laut Lepas Kita Pergi""
Dari sepasang garis bibir, sebuah cerita akan sebait ingatan dituturkan: di tempatku ada wanita berwajah penyok. Jika kau selalu berpikir bahwa hidup adalah berkah, maka kau tak akan setuju lagi setelah melihatnya. Tetapi, jika kau senantiasa setuju bahwa hidup adalah kutukan, maka kau akan kian meyakini apa yang telah lama kau percaya. Wanita itu tinggal dipasung pada ruang sempit yang tak bisa disebut manusiawi. Dia buruk rupa dan gagu. Konon kapasitas otaknya pun kurang hingga orang menyebutnya idiot. Orang akan takut kala melihatnya. Saat ingin berkata-kata hanya ada vokal yang keluar tanpa pernah benar-benar ada konsonan yang menyertainya. Mulutnya pun hanya bisa mengerjap-ngerjap. Orang akan teringat akan bentuk mulut ikan serta mengeluarkan bau tak sedap. Orang akan tertarik dengan bentuk mulutnya saat ia mencoba berbicara. Mereka yang berbaik hati karena kasihan dan awalnya berusaha untuk mengerti apa yang akan dituturkannya, lalu berubah menikmati sebuah keanehan sekaligus kejijikan oral yang tak dimiliki orang pada umumnya. Ruangan pasung itu tanpa jendela. Hanya sebuah pintu kayu yang selalu tertutup. Satu-satunya bolongan yang ada hanyalah lubang kotak kecil di pintu tempat ibunya atau orang lain memberi makan dari situ sehari dua atau sekali. Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya. Konon dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandung dari seorang perempuan. Hasil sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan. Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya inang yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayinya sendiri dan bayi berwajah penyok yang dibuang orang di pinggir kampung. Dulu, wanita berwajah penyok tidak dipasung. Kala itu dia sudah mulai besar dan suka berjalan keliling kampung. Dia tidak suka mandi dan cenderung membiarkan tubuhnya berkotor-kotor ria dengan pakaian yang tak pernah diganti. Dia sangat dekil. Anak-anak kecil suka membuntutinya, berjalan di belakang lalu menyambitinya dengan kerikil. Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling kampung sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambiti punggungnya di belakang. Awalnya, ulah anak-anak itu tak terlalu dipedulikannya. Tetapi semakin dia berdiam, semakin jadi anak-anak itu menyambiti, seperti diberi pintu lebar untuk menyakiti dirinya. Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengocor dari situ, mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bubar satu-satu. Selanjutnya, sebuah drama yang bisa diduga terjadi. Sore itu juga ibu si anak datang ke rumah wanita berwajah penyok. Ia mengomel dan menggoblok-gobloki wanita berwajah penyok yang ketakutan bersembunyi di pojokan. Ibu si anak menunjukkan luka perban di kepala anaknya akibat perbuatan wanita berwajah penyok. Ia bahkan mengutuki dan berkata bahwa wanita berwajah penyok hanyalah pembawa petaka yang seharusnya dipasung saja sebab dia mirip dengan manusia pun tidak. Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk memasung dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan. Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu malam atau siang. Wanita berwajah penyok tetap di dalamnya tanpa ada orang yang mengingat keberadaannya. Ia hanya dikunjungi orang yang mengantar makanannya saja. Saat dia merasa lapar, kupingnya ditajamkan akan langkah kaki yang akan mendekat ke ruang pasungnya. Lalu menanti lubang kecil di bawah pintu itu dibuka hingga sebuah tangan akan mengulurkan makanan seadanya. Ia mulai terbiasa; makan, pipis, dan eek di tempat yang sama. Orang yang membersihkan ruang pasungnya pun sangat jarang hingga suatu hari tak pernah ada lagi yang datang membersihkannya. Ah, lagi pula hidungnya pun telah kedap terhadap bau yang tak sedap. Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka, yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan. Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada orang yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia pernah benar-benar menguasainya. Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya; bagaimana ia bisa bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi: sendiri. Ruang pasungnya kian reot dan suram. Selayaknya pekuburan pada umumnya, orang segan memasang penerang sebab orang segan melihat kematian. Ruangan itu juga kian termakan usia. Wanita berwajah penyok sendiri pun telah terlupakan. Hingga rayap dan karat datang membuat lubang pada langit-langit ruang kecil itu. Kini ada celah di sana. Sinar bisa masuk dari celah sempit itu. Berbaur dengan debu yang berterbangan di ruang sumpek sebab angin diam duduk menahun di dalamnya. Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa mendapat segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa melihat rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah rembulan. Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung dan bercakap-cakap dengannya setiap malam. Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi. Semakin hari bulan terlihat semakin sedih. Wanita berwajah penyok mengajaknya bicara. Dengan bahasa yang hanya bisa ia mengerti, ia mencoba untuk menghiburnya. Setiap malam. Dan selalu ditunggunya malam. Saat rembulan datang mengunjungi. Dan setiap malam pula ia kembali menghibur rembulan dengan bahasanya sendiri yang hanya bisa ia mengerti. Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi. Saat bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya berhasil menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti yang sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu. Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis. Maka dia ikut menangis pula, merasakan kesedihan mendalam sahabatnya. Dan sekali lagi, dengan bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan dan menghiburnya. Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berwajah penyok dan membuat dirinya kebasahan. Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar kecil itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan. Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalaman bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah rembulan malam tadi. Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna cokelat karena bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. Ia tersenyum… dan menemukan wajah rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama sahabat di dekatnya.
""Wanita Berwajah Penyok""
Gerimis yang turun seperti jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum tanah dan hawa sejuk ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater memang tetap melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah berapa kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun meluncur dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling mendesak, saling menindih, saling menghantam, dan saling memagut. Saudara tahu, belasan warga desa kami mati gara-gara sumur dan sawahnya tercemar limbah pabrik saudara! Apa pun alasannya, pabrik jeans itu harus ditutup jika saudara tidak becus mengelola limbahnya. Jangan paksa kami meminum air wenternya!!” Jajak menggebrak meja. Laki-laki botak dan tambun yang disebut “saudara” itu kaget. Urat-urat di wajahnya seperti mungkret. Tangannya cepat-cepat meraih gelas dan meminumnya. “Pakai sopan santun, Bung!” hardik lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah laki-laki botak. “Bos kami tidak seburuk yang bung sangka!” Hardikan itu tidak menyurutkan amarah Jajak. “Apa yang masih tersisa dari manusia berhati batu macam bos kamu! Apa?!” “Sekali lagi saya ingatkan. Bung jangan merasa diri sendiri paling benar. Soal produksi jeans, bos kami sudah mengantongi izin,” gertak si Gempal. “Tapi soal limbah?” “Itu sudah include, Bung… include…!” Orang-orang yang duduk di samping dan belakang Jajak saling memandang. Si Gempal memainkan asap rokoknya menjadi bulatan-bulatan seperti donat. Donat-donat asap itu menari-menari di depan wajah Jajak. “Kami tak peduli itu sudah include atau kentut! Pokoknya, pabrik itu harus ditutup.” “Jangan anarki, Bung! Di belakang kami, ribuan mulut buruh menganga!” “Jangan mengatasnamakan nasib pekerja yang sesungguhnya kalian peras!” “Mustahil kami menutup pabrik kami!” Si Gempal meraih bir, langsung menenggaknya. “Kami akan mengerahkan demonstrasi yang lebih besar lagi!” Jajak berdiri, diikuti yang lain, lalu ramai-ramai meninggalkan ruangan itu. Lelaki botak dan Si Kekar tersenyum. Sinis. Di luar gerimis putih masih menaburkan jarum-jarum logam. Di dalam rongga masih terasa pukulan berdentam-dentam. Mobil ambulan menyimak tirai hujan, menyibak kerumunan orang-orang desa. Sirene meraung-raung mempertajam garis-garis kepanikan yang tergurat di wajah warga desa. Dari dalam mobil, Jajak dibantu tiga laki-laki mengusung tubuh membeku, membiru. Belum sampai di halaman rumah, mayat laki-laki itu langsung dipeluk seorang perempuan paruh baya dan tiga perempuan muda. Kata-kata mereka tenggelam dalam raung tangis. Jajak beringsut dari kerumunan orang itu ketika posisinya digantikan seorang laki-laki. Ia membatalkan niatnya untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. Membiarkan bendungan kesedihan jebol, jauh lebih baik daripada mengumbar kata-kata yang tidak perlu, pikirnya. Ia berjalan menuju pojok rumah dan duduk di deretan kursi pelayat. “Siapa yang akan menyusul Kang Marno. Cepat atau lambat limbah pabrik itu kan menggulung riwayat kita. Kita telah dibunuh surat keputusan yang dikeluarkan pemerintah… ” ujar seorang laki-laki yang mendekati Jajak. Jajak hanya memandang laki-laki itu. Lalu tersenyum kecil. Pahit. Ia mencoba mengusir kepahitan itu dengan asap tembakau yang diisapnya kuat-kuat lalu diembuskannya. Ia merasakan impitan di dadanya sedikit melonggar. Namun, ketika ia mengedarkan pandangan, menyapu ruang sekitar hingga menanap jauh, dadanya mendadak kembali sesak. Pabrik jeans itu masih mengepulkan asap, masih membanjiri sungai dengan limbah wenter biru-menghitam. Aliran sungai keruh itu terasa berbalik menuju ke nadinya. Arusnya terasa sangat kuat, hingga wenter biru-hitam itu memenuhi seluruh rongga dalam tubuhnya. Sesak dadanya makin menghebat. Jantungnya terasa penuh air limbah. Juga rongga kepalanya, hingga ia merasakan otaknya terapung-apung di atas genangan limbah biru-hitam. “Dokter hanya bilang, kamu kecapekan. Besok kamu boleh pulang,” ujar Mutia, istri Jajak sambil merapatkan selimut Jajak. Jajak tak merasakan lagi panas tubuhnya. Kepalanya yang semula dirasakan berat kini terasa ringan. Lambungnya juga tidak merasa mual. Selang infus juga telah dilepas dari tangannya. “Setelah Kang Marno, siapa lagi yang dibunuh air wenter itu?” ujar Jajak lirih. Mutia terdiam, namun perasaannya bergolak. Ia merasa tidak perlu mencukil serpihan ingatan dari kepalanya. Ia tidak ingin suaminya kembali terguncang. Ia mencoba menekan seluruh perasaannya untuk bercerita bahwa sesudah kematian Kang Marno, korban yang jatuh jauh lebih banyak. Wajah-wajah korban itu kini terbayang di matanya: Khalil, Anwar, Idrus, Afandi, Yati, Marjuki, Hanif, Nirmala, Rodat, Seruni, dan entah siapa lagi. Wajah-wajah itu membiru, tapi di balik bola mata mereka tampak kobaran api. Mereka muncul silih berganti di layar ingatan Mutia. Mereka seperti mengucapkan kata-kata dengan tangan terkepal. “Aku mendengar jeritan mereka…,” ujar Jajak tiba-tiba. Mutia terenyak. Bagaimana mungkin suaminya membaca pikirannya? “Kamu mendengarnya? Kamu melihatnya?” Jajak tersenyum. Pahit. Matanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. “Aku melihat mereka di sana. Ya, mereka berjalan di balik gumpalan awan hitam sambil memegang perut mereka yang meletus. Darah mereka biru-menghitam…. Dan, tangan itu, ya tangan itu gemetar memegang usus mereka yang terburai….” Mutia terguncang. Galau. Ia langsung meraba kening suami. Tapi ia tak merasakan kening itu panas. “Aku sehat Mutia… Sehat….” “Sebaiknya besok kamu tidak jadi pulang….” Mutia menghapus matanya yang basah. “Kenapa, Mutia… Kenapa?” “Kamu belum sehat….” “Kamu khawatir aku gila?” Jajak tersenyum. Jari-jarinya meremas jari-jari Mutia. Air mata mengalir di parit-parit pipi Mutia. Parit-parit itu terus mengalirkan wenter biru hitam ke sungai. Bangkai-bangkai ikan mengambang di genangan sungai yang dikencingi pabrik itu. Gemericik air hitam itu menjadi orkes sunyi bagi iring-iringan pelayat yang menuju makam di ujung desa. Kaki-kaki mereka menghajar daun-daun kering yang berguguran di kompleks makam itu. Sebelum mayat dimasukkan ke liang lahat, tampak seorang laki-laki paruh baya berpidato. Gayanya khas pejabat Orde Baru. “Selaku daripada lurah, saya harapken daripada sodara-sodara sekalian jangan salah paham. Meninggalnya daripada Bapak Engkos ini bukan karena daripada limbah pabrik itu. Bukan. Tapi, karena e..e… daripada penyakit perut… Ya…ya disentri….” Orang-orang menatap lurah itu dengan mata nanar. “Perlu daripada sodara-sodara ketahui, soal limbah pabrik itu sudah kami bicaraken guna mencari daripada penyelesaiannya. Kami mengharapken daripada sodara-sodara sedikit sabar. Semoga, dalam lima anem hari nanti sudah ada kabar….” Pak Lurah berpidato makin bergairah. Kata-katanya berbuncah-buncah. Tapi orang-orang tetap saja resah. Satu per satu para pelayat meninggalkan kerumunan. Beberapa orang tanpa dikomando memasukkan jenazah itu ke liang lahat. Pak Modin segera melantunkan doa-doa panjang. Pacul-pacul menghajar tanah merah, menimbun liang lahat. Iring-iringan pelayat bergerak menuju pabrik. Mereka menyatu dengan kaum perempuan yang memancangkan amarah di ujung galah. Mereka berjalan berderap-derap. Merangsek ke gerbang pabrik. Serombongan satpam mencoba menghadang mereka. Terjadi dorong-mendorong. Rombongan satpam itu terpental. Para pengunjuk rasa terus merangsek ke depan. Pintu gerbang itu menjadi sasaran pukulan massa. Galah, kayu, lonjoran besi menghajar pintu logam itu. Berdentang-dentang. Menghajar gendang telinga. Kerumunan pengunjuk rasa itu tersibak, memberi jalan puluhan orang yang menghantamkan gelondongan kayu ke pintu gerbang. Seperti dam jebol, pintu gerbang itu sia-sia menahan arus massa yang deras bergelombang. Satuan polisi mencoba menghadang dengan tembakan ke udara. Tapi nyali para pengunjuk rasa itu tidak seinci pun surut. Mereka terus bergerak. Terus merangsek. Para polisi menghalau mereka dengan pentungan. Kepala-kepala para pengunjuk rasa bocor. Ada yang terkapar. Ada yang terinjak. Massa makin kalap. Mereka balik menyerang polisi. Beberapa polisi berlumuran darah. Beberapa orang pengunjuk rasa roboh terkena timah panas. Gerimis menghamburkan jarum logam. Menikami bumi. Menikam kicau burung-burung. Menikam cuaca yang murung. Jajak membuka matanya. Ia merasa asing di ruangan itu. Asing juga menjumpai beberapa laki-laki yang duduk mengepung dirinya. Hanya ada satu yang ia kenal. Laki-laki berbadan gempal, yang seingatnya pernah ia jumpai dalam pertemuan antara warga dan pemilik pabrik jeans beberapa bulan yang lalu. “Sorry… kedatangan kami mengejutkan Bung.” Suara si Gempal dengan tawa berderai. Membahana. Jajak terdiam. Menganggap semua itu tak lebih dari lelucon basi. “Untuk apa kalian harus menculik saya? Untuk apa kalian meneror istri saya, keluarga saya?” Jajak meradang. “Ahhh… itu kan tak lebih dari kejutan manis. Siapa tahu, Bung jadi terkesan. Semua itu kan hanya bumbu agar kisah perjuangan Bung terasa lebih sedap dikenang….” ujar si Gempal masih dengan tawa yang berderai. Jajak menggebrak meja. Hingga tawa itu terhenti mendadak. “Aku sangat bangga. Bung ini sangat heroik. Tapi sudahlah… Tak ada gunanya… Kisah-kisah kepahlawanan itu sudah lama mengabu dalam asbak,” si Gempal mendekati Jajak sambil menawarkan rokok. Jajak menolak. “Siapa Anda? Dan Anda tak punya hak bicara seperti itu. Posisi kita berbeda!” “Dulu aku juga seperti kamu, Bung. Bahkan lebih heroik! Kakiku yang pincang ini telah kuserahkan untuk perjuangan. Kepalaku yang jadi langganan vertigo ini entah sudah berapa kali disengat listrik dalam interogasi yang menyakitkan. Tapi yang aku dapatkan? Apa? Hanya penderitaan. Hanya kemiskinan. Dan rakyat yang aku bela itu? Puah….” “Kalau Anda capek miskin, jangan ajak orang lain jadi seperti Anda! Sia-sia Anda meracuni saya!” “Aku bukan sejenis pengecut yang menyimpan kejahatan untuk melumpuhkan musuhnya. Apalagi, aku tak pernah menganggap Bung ini musuh. Tak pernah itu!” Jajak mencoba menerka-nerka ke mana arah pembicaraan si Gempal itu. “Aku hanya mengajak Bung untuk berpikir realistis!” “Realistis atau kompromis?” sergah Jajak. “Terserah kau lah… Tapi begini Bung. Sekarang suasana sudah berubah. Konstelasi sudah berubah. Apa yang dulu kita anggap musuh, sekarang sudah tidak jelas. Jadi lucu kan, kalau kita masih berpikir hitam-putih… Bung lihat sendiri. Banyak orang yang dulu jadi legenda kini telah mencair jadi orang biasa. Kepala mereka yang semula berisi kalimat-kalimat gagah kini berganti kartu kredit. Bung lihat sendiri, berapa puluh pejuang kini hanya jadi kelangenan kekuasaan dan uang….” Jajak memandang ke arah jendela. Gerimis masih menaburkan jarum-jarum logam. “Aku hanya minta satu hal dari Bung. Hentikan demonstrasi itu sebelum makin banyak korban jatuh… Okay?” Jajak membuang muka. Kembali menatap gerimis jarum logam yang memahat kaca jendela. Si Gempal mendekati laki-laki botak. Mereka bicara dengan bahasa isyarat. Si Botak mengeluarkan selembar kertas. “Ini untuk Bung. Terserah Anda mau mengisi berapa. Mau enam digit, delapan digit, sepuluh digit, dua belas, lima belas, dua puluh digit… Terserah. Yang penting tidak ada lagi demonstrasi. Capek Bung… Capek….” “Anda pikir kepalaku ini hanya berisi lumpur? Maaf, aku masih bisa hidup dengan jalan yang tidak menjijikkan ini,” Jajak membuang cek. “Bung pikir ini semacam prostitusi? Bukan Bung. Bukan. Ini deal profesional. Ini biasa dalam perjuangan.” “Atau Bung menghendaki tawaran lain. Pom bensin? Mall? Atau jadi staf ahli perusahaan? Bisa… bisa… kalau cara itu lebih elegan. Nanti setelah kaya, Bung tinggal bikin memoar perjuangan. Sedikit didramatisasi, tak masalah. Yang penting, legenda Bung ini tetap terawat. Simpel kan?!” Jajak merasakan dadanya sesak. Jatungnya terasa diremas-remas. Wajahnya terasa diguyur bergalon-galon ludah. Ia meronta. Menjerit sekeras-kerasnya. Ia mengamuk. Menerjang orang- orang itu. Si Gempal menyarangkan pukulan tepat ke ulu hatinya. Jajak jatuh berderak. Roboh. Yang lain menendang kepalanya. Yang lain menghajar kakinya dengan lonjoran besi. Yang lain menginjak-injak dadanya, menendang-nendang kepalanya. Darah muncrat dari mulutnya. Gerimis jarum logam masih menikami bumi dan menjelma tirai raksasa yang ditembus iring-iringan pelayat. Mereka menyemut menuju makam. Dengan kruk, Jajak berjalan terseok- seok di atas jalanan yang becek. Sampai di makam, Jajak duduk menerawang pohon randu alas sambil menatap daun-daun berguguran. Di langit ia menatap puluhan orang dengan perut meletus berjalan di antara gumpalan awan hitam. Tangan mereka gemetar memegang usus mereka yang terburai. Wajah-wajah mereka yang semula membiru kini berubah merah terbakar. Mata mereka nanar memandang pabrik jeans yang terus mengencingi sungai dengan limbah hitam. Jogjakarta, Februari 2004
""Gerimis Logam""
Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi. Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini, dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di balik kelopak yang malas. Kabar tentang kematian pedagang kopiah itu dengan cepat menular ke seluruh penjuru kota. Tetapi, ini bukan kabar kematian orang sembarangan. Walau Haji Johansyah Kuala bukan seorang penganjur agama yang berpengaruh dan disegani. Bahwa dia adalah juga seorang pendakwah memang benar. Tetapi, sebagai penganjur dia punya cara sendiri. Bagaimana membuat umat, terutama kaum kerabat, tertawa terbahak berkepanjangan, dan terbawa-bawa sampai menjelang tidur, itulah kehendaknya, misinya, panggilannya sebagai seorang haji. Karena lelucon-lelucon yang diciptakannya menjadi buah bibir dan bertahan lama di hati umat, maka teringat akan namanya saja orang bisa mesem-mesem sendirian menahan tawa. Haji Johansyah Kuala meninggal. Ah… siapa pula yang percaya. Ada semacam campuran perasaan mengilik dan duka yang menyentak begitu kawan-kawan dekatnya mendengar kabar kemalangan itu. Jangan-jangan ini hanya permainan Haji Johansyah Kuala lagi untuk menggelitik warga kota, begitulah pikir mereka. Semua pasang kuda-kuda, jangan sampai ada yang termakan permainan. Semua mengirim pembantu, atau malah anak sendiri, untuk mengintai bahwa tokoh mereka itu tidak sedang melemparkan lelucon, dan bahwa dia memang benar-benar telah tiada… Haji Johansyah Kuala menemukan panggung yang tepat di kota kecil kami, yang dijepit dua batang sungai yang besar, dan dua daerah rawa yang perawan sepanjang masa. Membuat kota jadi pemukiman yang masif. Penduduk saling mengenal. Tidak sebagaimana para pedagang Tionghoa yang semata-mata mengandalkan penghasilan dari perdagangan yang berpusat di wilayah kedai panjang itu, orang-orang Melayu yang bertempat tinggal dan berniaga di situ juga menguasai perkebunan kelapa yang luas. Boleh dikatakan berdagang buat mereka adalah pekerjaan sambilan. Tak terkecuali Haji Johansyah Kuala. Sehari-hari Pak Haji kita itu tidak begitu sibuk. Kopiahnya baru berjibun dikerumuni pembeli pada hari-hari menjelang Idul Fitri atau hari raya haji. Karena itu dia punya banyak waktu. Juga ilham. Garis keturunannya membuat dia seorang warga yang tak perlu diragukan kata-katanya. Ayahnya, yang mewariskan toko kopiah itu, melaksanakan ibadah haji dengan mengendarai sepeda. Dia menyeberang ke Semenanjung Malaya waktu itu, dan dari sana mengembara dengan sepedanya sambil menuntut ilmu sepanjang perjalanan ke tanah suci. Pulang-pulang dia membawa kemahiran yang membikin orang tercengang dan kagum: khatam Al Quran. Dia juga jadi pawang yang andal. Kalau polisi kewalahan mengatasi harimau yang mengganas dan memangsa penderes karet di wilayah sempadan, maka dialah yang dipanggil untuk menjinakkan binatang buas itu. Dia menaklukkan binatang itu dengan mengibas-ngibaskan sorban yang dia beli di Pakistan. Johansyah Kuala sendiri sudah melaksanakan ibadah haji ketika dia masih remaja, dengan menumpang kapal laut. Sejarah keluarga dan sikapnya yang selalu menunjukkan keinginan bersahabat, membuat dia jadi tumpuan orang yang sedang memerlukan bantuan. Adalah seorang laki-laki setengah baya yang mampir ke tokonya. Bukan untuk membeli kopiah, tetapi meminta nasihat. Soalnya, dua gigi depannya rompal diterjang kelapa yang jatuh dia kait. Orang yang malang itu terus-menerus menyembunyikan ompongnya dengan menutup mulut dengan tapak tangan. Haji Johansyah Kuala menganjurkan orang itu berangkat ke Medan untuk memasang gigi palsu. Diberikannya uang pembeli gigi palsu dan ongkos perjalanan secukupnya. Dengan satu syarat: dia tak boleh menutup mulut menyembunyikan ompongnya sepanjang perjalanan. Mula-mula orang itu malu dan ragu-ragu mendengar tawaran tersebut. Tetapi, Haji Johansyah Kuala memberi nasihat yang menarik, dan bisa dia terima. Begini. Sepanjang perjalanan ke Medan, dengan menumpang kereta api, kalau ada yang bertanya dia mau ke mana, maka untuk menyembunyikan ompongnya dia supaya mengatakan bahwa tujuannya bukan Medan, karena dengan melafalkan nama kota itu, maka bibirnya akan terbuka dan akan mengangalah giginya yang ompong. “Kalau ada yang menyapa dan bertanya, jawablah bahwa kau mau ke Lubuk Pakam,” ujar Haji Johansyah Kuala. Dengan mengucapkan nama kota itu, maka praktis mulutnya akan tertutup. “Waktu pulang nanti, kau boleh bersorak. Kalau ada yang bertanya, jawab saja sekenanya, bahwa kau mau ke Batangkuis. Ya, Batangkuis….” Itu artinya dengan menyebutkan kota kecil itu, maka dia akan punya kesempatan untuk memamerkan gigi barunya. Walhasil, begitulah jadinya. Dalam perjalanan ke Medan dia menyebutkan tujuannya adalah Lubuk Pakam. Ompongnya pun tersembunyi. Dalam perjalanan pulang tujuannya adalah Batangkuis. Dengan begitu gigi palsunya kelihatan berkilau, meskipun kota itu sudah tertinggal jauh di belakang. Di kota kecil kami tak ada yang serius. Hidup ini diperlakukan enteng-enteng saja. Orang bisa mengobrol di kedai kopi sepanjang hari, bertukar kelakar, berdebat soal politik sambil meninju-ninju meja, hanya ditemani secangkir kopi. Dan, jangankan gusar, pemilik kedai malah ikut nimbrung. Kadang-kadang Haji Johansyah Kuala juga meluangkan waktu mampir ke situ, sekadar hendak mengetahui apa yang jadi buah bibir. Di kedai kopi itu jugalah dia menceritakan kisah perjalanan si ompong tadi. Dari kedai kopi itu kelakar tadi dengan cepat menyebar ke seluruh pojok kota, membuat yang mendengarkan maupun yang menceritakannya kembali cekikikan. Kalau ada orang yang mampir ke tokonya, sekadar melihat-lihat, pasti kena. Rayuannya maut, membikin orang kesengsem. Dia pandai mengumbang hati calon pembeli, membuat mereka bangga dan dengan begitu gampang mengeluarkan uang untuk membeli. Tak ada yang lolos dari perangkap kata-katanya yang membujuk. “Ah,” katanya tersenyum seraya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mematut-matut kopiah di kepala tamunya. “Aimak jang, macam Soekarno kau, ah….” Dibandingkan dengan seorang presiden yang gagah, tentu hati orang itu pun kontan luluh dibuatnya. Suatu ketika, di depan tokonya mondar-mandirlah seseorang yang kelihatannya sedang berpikir keras. Secepat kilat datanglah ilham menyambar Haji Johansyah Kuala. Dengan hangat dia ajak orang itu masuk ke tokonya. “Nampakku adik seperti kebingungan. Ada apa rupanya?” tanyanya dalam dialek Melayu. “Tak ada apa-apa.” Tahu kalau orang itu datang dari luar kota, Haji Johansyah Kuala berkata: “Begini. Ini, ada can [dari bahasa Inggris chance]. Bisa awak carikan lintah barang dua ember besar?” “Ah, bisalah, kenapa rupanya?” “Itu,” katanya menunjuk ke arah apotek yang terletak tak jauh di persimpangan jalan. “Sudah lama apotek itu mencari-cari lintah, bakal obat. Kalau mau, bawalah barang beberapa ember. Jangan lagi awak tanya, bawa sajalah langsung ke situ….” Percaya. Orang itu cepat-cepat pulang ke kampung. Pergilah dia ke rawa-rawa mencari sarang lintah. Dicemplungkannya kaki sampai sebatas paha, menunggunya beberapa lama, maka bergelayutanlah lintah di kakinya itu. Dia tinggal memungut. Tak sampai setengah hari terkumpullah dua ember besar lintah. Dengan perasaan enteng orang itu menenteng lintah tadi ke kota, dan membawanya ke apotek di persimpangan jalan tadi. “Hah…?! Pak Haji Johan yang menyuruhku membawa kemari. Hah…?! Haji dia, mana mungkin mambongak [berbohong]. Katanya, sudah lama Bapak mencari-cari lintah,” tangkis orang itu ketika pemilik apotek terduduk karena terperanjat melihat dua ember penuh lintah bergerak mengingsut-ingsut menjijikkan. Begitu mendengar nama Haji Johansyah Kuala, wajah pemilik apotek cepat berubah dari kaget menjadi senyum yang ditahan. “Kena aku…,” gerutunya dalam hati. Tanpa banyak pikir langsung dia bayar. Orang dari kampung itu pulang dengan kantong yang padat. Sementara si pemilik apotek harus mencari seseorang untuk menyingkirkan ribuan lintah tadi. Satu yang tidak akan dikerjakan pemilik apotek itu, menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Tetapi, buat Haji Johansyah Kuala kejadian yang dia rancang itu harus selekas mungkin disampaikan kepada seluruh warga kota. Sorenya, dia mampir ke kedai kopi. Dan seisi kota pun terbahak-bahak dibuatnya. Lelucon terkadang memakan tuannya. Kami, anak-anak di perguruan Gubahan Islam, suatu hari datang menyampaikan keluhan kepadanya. Pasalnya, guru mengaji kami, Haji Saibun Keramat, terlalu keras. Tangannya tak lepas dari cambuk. Keliru sedikit saja, salah melafalkan H kecil menjadi H besar, misalnya, cambuk rotan itu menyambar lengan atau paha. “Ah, mudah nya itu. Ambil kalian cambuknya itu, surukkan,” kata Haji Johansyah Kuala enteng. Kami pulang. Dengan nekat cambuk rotan yang selalu mengancam itu dicuri oleh seorang teman. Teman yang pemberani itu pula yang menyuruk-nyuruk masuk ke toko Haji Johansyah Kuala dan menyembunyikan cambuk di kolong mejanya. Tempat pengajian geger. Haji Saibun Keramat mogok. Berhenti mengajar, tak apa-apa, toh bukan aku yang rugi, aku tak dibayar, katanya dalam hati. Dia hanya mau mengajar lagi kalau cambuk itu dikembalikan. Kami, anak-anak, tak kehilangan akal. Berangkatlah kami ke kedai kopi dan membocorkan kabar kalau cambuk itu disembunyikan Haji Johansyah Kuala di kolong mejanya. Kota kecil kami terkekeh-kekeh mendengar Haji Johansyah Kuala yang menyembunyikan cambuk rotan Haji Saibun Keramat. Bagi kami, anak-anak di Gubahan Islam, lelucon ini membawa berkah. Entah apa yang dikatakan pedagang kopiah satu-satunya itu. Nyatanya guru mengaji kami sudah tidak mengamang- amangkan cambuknya lagi. Ayahku juga pernah kena. Dan aku tahu mengapa Haji Johansyah Kuala memilihnya sebagai korban. Ayah memang satu-satunya pedagang yang bisa bersaing dan paling maju, sekalipun di sekelilingnya para pedagang Tionghoa. Tetapi, kedekutnya bukan main. Bergaul, mampir di kedai kopi tak pernah mau. Suatu pagi, ketika aku membuka pintu hendak menyapu, di kaki lima menimbun kangkung, membenteng seperti bukit. Sehingga orang tak bisa lewat. Tertegun sebentar, aku pun tahu ini perbuatan siapa. Untuk pertama kali aku melihat hidung ayah, yang besar seperti hidung Yahudi, memerah, kembang kempis, dengan tawa yang tertahan, membuat dia jadi sosok yang ramah dan murah hati. “Udahlah, kalau bukan ulah Si Haji Johan, siapa lagi,” katanya dan memerintahkan aku menyingkirkan kangkung itu. Diperlukan enam becak untuk memindahkannya ke pasar. Sesaat, dalam jarak sekitar lima puluh meter, dari balik tiang toko kopiah satu-satunya di kota kami, menyembul separuh wajah. Aku tahu itu pasti Haji Johansyah Kuala yang sedang menikmati skenario yang dia tulis. Dan sebentar lagi kedai kopi akan riuh- rendah dan seluruh kota tertawa. Seumur hidupnya hanya sekali dia ditimpa duka. Pada akhir tahun 1965 tentara datang mengambilnya dan menahannya beberapa bulan. Tuduhannya: dia menyumbangkan kopiah untuk pementasan teater guna meramaikan ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Dalam adegan teater itu tampil Soekarno dan Hatta yang berkopiah, memproklamasikan Indonesia merdeka. Dicekam ketakutan, bertahun-tahun kota kami murung. Diam-diam kami sadari betapa berharganya tawa, hikmah hidup yang diturunkan Tuhan dan dijaga Haji Johansyah Kuala selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya. Sementara kekuasaan yang lalim membungkamnya. Jasad Haji Johansyah Kuala dibaringkan di atas lantai kereta jenazah yang terbuat dari sebilah papan lebar, dari batang pohon pilihan, yang ditebang di rimba Nantalu. Empat roda sepeda menjadi alat peluncurnya. Di belakang, mengiringi para pembaca salawat, yaitu orang-orang pilihan, teman-teman dekatnya, yang tahan tidak akan tersenyum, apalagi tertawa sepanjang perjalanan menuju pekuburan. Suasana duka memang terasa menindih. Tetapi, ada perasaan lain yang lebih mengimpit: kehilangan seorang penghibur dengan lelucon-lelucon yang bisa menjadi bahan tertawaan berbulan-bulan lamanya. Mereka yang pernah jadi korban dalam lelucon-leluconnya bergerombol di bagian tengah prosesi. Di bagian iring-iringan ini suasana duka bercampur gelitik tawa amat terasa. Di antara mereka kulihat bekas guru mengajiku. Juga ayahku, dengan hidungnya yang besar memerah, bibir yang dikulum menahan senyum, supaya jangan sampai pecah menjadi tawa. Sebentar-sebentar mereka saling berbisik, kemudian nyengir. Wajah memerah dikilik kenangan pada lelucon almarhum. Aku ingat, ribuan penduduk kota mengantar penganjur Islam paling berpengaruh, Haji Hubban Haitami, ketika dia meninggal. Tetapi, untuk kehilangan yang satu ini, tidak hanya ribuan pelayat, jantung kota pun ikut berhenti dibuatnya. Untuk pertama kali orang-orang Tionghoa menutup rumahtoko mereka sebagai tanda duka atas kehilangan seorang haji, yang buat mereka tidak hanya menenteramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah.*
""Salawat untuk Pendakwah Kami""
Aku sudah merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, “Kami tetap berdiri di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir (pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai pendamping anak-anak pelacur.” Apa pun kata Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu. Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, “Tujuan pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak.” “Mas, anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya, itu kerja maksimal kita.” Mas Obet cuma tertawa dan bilang, “Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.” Aku merasa hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu juga dengan seorang perempuan, Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku. “Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Ketika baru sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ’Para pelacur berutang transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’. Aku betul-betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu meniduriku.” “Mengapa Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran.” Tini tertawa lebar. “Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena cacat. Apa ada tempat yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah, dan tidak membebani kami.” “Lantas, bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD seperti gurunya.” Tini tersenyum, “Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri make up dan lipstikku.” Aku terkejut, sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang. (Eyang putri serumah dengan kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang, bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah bayang-bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah, tidak sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang diceritakan eyang. “Pelacur adalah perempuan yang menjual diri karena malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi.” Aku tidak bisa mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang-orang yang membeli, kemudian mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain, pelacur atau tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, “Saya mau bicara dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu yang lain. Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha….” Aku merasa terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, “Jadilah pendengar yang baik.” Dan aku membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC yang disewa di seputar kompleks ini. Rasanya memang aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang bukan bapaknya, mereka biasa-biasa saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara dengan kata-kata tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks ini, mereka anak-anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur di sini diberi keterampilan menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua, dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir sebagian besar terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan kematian. Aku melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga adalah Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya.” Kala pulang, di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku dan bilang, “Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat, kamu diterima di perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket pesawat buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita impikan bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas Obet untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang pengacara. Yah, Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju, karena kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau putri kami.” Mama yang pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas Obet, untuk menceritakan aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut beberapa orang, impianku tidak masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan anak-anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik! Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka berada di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini, penjaja itu akan berkata dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini. “Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya kembali.” Aku tidak senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan seperti itu sejak awal kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan pelacur-pelacur itu maupun orang yang di kompleks ini terbiasa bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku kenal Tini, aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa membangkitkan selera makan anaknya di saat sakit. Aku semakin akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar, bernyanyi. Dan mas Obet bilang, “Itu sudah keberhasilan kita, melihat anak-anak di kompleks ini masih bisa menikmati masa anak-anaknya.” Aku tidak paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari tempat ini. Sering aku bilang kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat ini. “Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau sudah besar.” Ada satu hal yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh mereka, seolah aku sudah melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang mendengar ucapan mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas Obet sekali lagi bilang kepadaku, “Mbak Gita, jangan romantis, target kita bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata ibu-ibu, sejak kehadiran Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada omongan orangtuanya. Mereka mulai bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka akan menjadi orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan mengenakkan kita semua kan.” Aku merasa tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak mencegah ketika ada satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur. Obet berkata, “Kita cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur, ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul kalau terlampau dekat dengan ikatan itu.” Diam-diam aku tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan membawa anak-anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak muncul untuk bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang, ibu-ibu mereka melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang. “Kalau Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku sebagai pelacur.” Aku merasa ada kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak-anak bimbinganku, semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata, “Mbak Gita harus menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan petani.” Malam itu, aku merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari pekerjaan ini, aku mencoba membicarakan hal itu pada Tini. “Yah, hidup kami memang sudah terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya terhadap orang-orang itu semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat ini, seandainya saya mau. Mereka akan menghalang-halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa dengan kekerasan, mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati. Kalau utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini mungkin yang akan menggantikan saya,” katanya sambil menyedot rokoknya. “Diti memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak membayar.” Aku mungkin cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-anak binaanku ikut menangis, kala melihatku, menangis! Di Jakarta, aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja, di antara perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik! Malang, 2005
""Peniup Seruling""
Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan. Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku. “Kalau dia terbangun dan menangis?” “Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.” Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya terkesan mengancam, “Betul lho, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang, aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperhatikan!” Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin sering kualami. Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku hormat kepada, berbicara nyaris kuanggap berlebihan terlalu sopan bagiku. Di saat-saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan pandang ering 1) yang acapkali membuat aku merasa risi sendiri. Meskipun aku tahu pasti bahwa kelakuan mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan yang tidak bisa dibantah. Karena selain disebabkan oleh kedudukanku, upayaku pengembanan usaha kami ke lain daerah yang berhasil, lebih-lebih sebagai perempuan aku mampu mengendalikan serta mempertahankan kesuksesan wiraswasta yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu “hanya” berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke tanganku tidak secara otomatis, dengan cuma-cuma. Aku harus melewati tes di antara empat saudara kandungku. Dalam sebuah dongeng diceritakan bahwa raja di suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia mempunyai empat anak, putra dan putri. Masing-masing berpenampilan cakap, dan sepintas lalu kelihatan berperilaku baik. Namun, sang raja tidak yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta akan memerintah secara adil sehingga rakyat akan bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya. Walaupun pandai berulah senjata, namun kebiasaannya mabuk-mabukan dan berjudi merupakan ancaman besar bagi kelangsungan pemerintahan yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati tenang. Anak yang ketiga dan keempat adalah perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mumpuni dalam mengatur urusan rumah tangga ataupun penerimaan tamu. Keduanya juga sudah diajari dasar-dasar mempergunakan senjata seperlunya sehingga jika bahaya datang, mereka tahu mempertahankan diri atau keraton bahkan kerajaan. Pendek kata, sang raja kebingungan memilih satu di antara empat anak tersebut. Maka agar tidak menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh anak-anaknya mengembara selama kurun waktu tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pasangan masing-masing, juga harus pulang membawa tambahan pengetahuan yang bisa digunakan untuk masyarakatnya. Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan keturunan bangsawan. Tapi mereka telah membangun satu usaha kecil dari cucuran keringatnya. Sebagai modal, ayahku tidak berutang atau meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari memotong, menjahit dan menjual sendiri sandal-sandal hasil buatannya dari pintu ke pintu calon pembeli, sampai kemudian mempunyai toko. Lalu ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan aneka anyaman dari bahan alami yang dikeringkan. Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk memanfaatkan limbah kulit asli atau sintetis. Ketika akan menambah karyawan, aku baru lulus sekolah menengah atas. Kukatakan, mengapa tidak mempekerjakan orang-orang sekampung saja di rumah mereka masing-masing. Mereka diberi bahan sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli. Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko. Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat kami tinggal, sekarang terdapat begitu banyak pengrajin sandal, sepatu, dan tas yang terbuat dari aneka bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula mendirikan toko. Tapi hingga sekarang, hanya produk kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan memadai, bahkan melayani pesanan dari luar negeri. Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku masih duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya terhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua perempuan lebih berhasil menjadi penjual makanan matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah selesai shalat asar, setiap sore dia menyorong gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik lagi sambil mengusung dadangan bersama istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak mereka bersekolah di akademi akuntansi dan informatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA. Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus SMP, bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang disewakan sebagai angkutan. Kadang terdengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya. Tapi di depan keluarga, dia tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya. Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan limbah apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan. Ketika duduk di taman kanak-kanak, aku memberikan sebuah bantalan tempat mencocok jarum berbentuk ikan kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang, benda tersebut masih digunakan, mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami. Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan pencapaian gelarku tersebut. Apa lagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah ataupun gelar. Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru Tanah Air untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan ataupun kerja sama di bidang niaga kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan kami. Setiap hari Kamis harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari kami yang dianggap paling berhasil akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir pengrajinnya sekalian. Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau teman bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan kakakku perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung berkata akan ke Bandar Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya diriku yang bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul. Bekas teman-teman sekolah atau kuliah tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota, tidak kuketahui di mana mereka lainnya menetap. Setelah berpuasa dan berdoa menuruti ajaran orangtua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orangtuaku hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya. Di waktu itu, pariwisata baru sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya jika kami kirim pula hasil dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar yang bisa diajak bekerja sama dalam hal pemasaran produk kami. Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat mengirim ratusan mungkin ribuan benda dagangan ke berbagai kios dan toko di Pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang anak pemilik sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat menjadi anak oleh seorang pegawai rumah makan itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan upacara Hindu Bali. Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelombang dan alun yang melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantakkan ketegaranku. Aku mensyukuri “kebebasan” ibuku sebagai perempuan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian, namun tidak membosankan. Yang dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak terlalu mengekang atau menyita waktu. Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir kehabisan napas karena kekurangan waktu ataupun ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serba-neka ajaran menganyam serta mendekor sesaji. Tapi, aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mertuaku perempuan. Dia menginginkan aku mengganti kedudukannya kelak sebagai tetua wanita dalam keluarga. Padahal ada dua menantu perempuan lain. Semua impitan keharusan untuk melaksanakan upacara itu membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu bongkahan yang mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang di ambang stres. Lalu kuputuskan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan keutuhan kepribadianku sendiri. Aku purik 2). Satu anak perempuan yang sudah sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi kubawa. Satu bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang ke rumah tanggaku. Akhirnya, suami menjemput dan berkata bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku untuk kurang berperan sebagai penyelenggara aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan bahwa tidak ada gunanya sekolahku bertahun-tahun jika akhirnya harus hanya mengurusi upacara-upacara yang sebenarnya dapat diserahkan kepada orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual tersebut! Waktuku memang untuk keluarga, namun aku juga mempunyai tanggung jawab perusahaan yang di masa itu sudah diserahkan total kepadaku oleh orangtua dan kakak-kakakku. Setiap akhir tahun, mereka tinggal menerima bagian keuntungannya saja. Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika didengar. Tapi bagi yang menjalani, merupakan tahun-tahun penuh tekanan. Sebab, yang disebut upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari setiap saat. Sedangkan perempuan adalah tiang utama bagi pelaksanaan tradisi karena merekalah yang menyiapkan serba uborampe 2)-nya. Kini di usia yang mendekati enam puluh tahun, aku mendapat ajaran lain, yaitu bagaimana mengendalikan perasaan sebagai seorang nenek. Aku tidak dihadapkan kepada cucuku, melainkan kepada ibu si cucu itu. Anak terkejut. Mentalku tidak siap untuk itu. Di sekolah dan perguruan tinggi aku tidak pernah mendapat pelajaran bagaimana menjadi seorang nenek. Anak sulungku yang biasanya tidak membantah atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya, kini setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela jari tanganku. Sewaktu dia melahirkan, aku diminta datang untuk menemani di klinik, lalu mendampingi sebagai ibu baru di rumahnya. Karena suaminya orang Jawa, selamatan yang kujalankan adalah brokohan. Secara sederhana, kami mengirim nasi beserta sayuran bumbu urap 3) dengan kerupuk dan gereh 4) layur ke lingkungan tetangga maupun teman dekat. Selama selapan 5) bisa dikatakan beberapa kali aku mondar-mandir memantau keadaan anakku dan bayinya. Tak tersirat gejala-gejala kepemilikannya yang ekstrem mengenai anaknya. Tiga bulan kemudian mereka berangkat ke Australia di mana si suami akan meneruskan belajar. Di waktu itu pun, belum terlihat tanda-tanda “kebengisan” anak sulungku terhadapku. Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama tidak menggendong atau menimang bahkan memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya. Apalagi cucuku sendiri, manusia mungil yang keluar dari rongga perut anakku perempuan yang dulu pada waktunya juga keluar dari badanku. Keesokan hari dari kedatanganku, setelah mendapat berbagai indoktrinasi mengenai aturan dalam rumahnya, aku mendapat teguran lagi, “Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu, Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah memandikan! Biar sekarang kutangani….” dengan gerakan setengah merebut, anakku mendesakku ke samping. Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi barang-barang, ke kamar mandi akan membuang air dari wadah. “Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu tidak tahu tempat benda-benda…!” dari jauh anakku berseru menggangguku dengan “perintah”-nya. Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut kain handuk dari tanganku, aku setengah memaksa mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi usia delapan bulan sudah diberi makanan agak ketat. Tidak seperti ibunya yang dulu kuberi makan pisang dicampur nasi lembek, cucuku diberi makanan spesial untuk bayi yang dijual di toko-toko tertentu. “Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan sembarangan menyuapinya! Nanti dia tersedak!” Nyaris kujawab: aku suda berpengalaman menyuap bayi-bayi lain, termasuk kamu. Tapi aku berhasil mendinginkan kuping, berusaha mengabaikan si ibu sekaligus anak yang maunya sok paling tahu itu. Selesai memberi makan, ketika ibunya mandi, kumanfaatkan waktu bersama cucuku sebaik mungkin. Untuk mengeluarkan udara dari perutnya, dia kudekap ke arah bahu dalam posisi tegak. Aku berjalan ke sana kemari, singgah ke depan jendela besar yang memantulkan bayangan kami berdua di kacanya. Walaupun yang tampak hanya bayangan punggung si bayi dan wajahku, aku puas melihat diriku memeluk cucu. Kuajak dia berbicara, kuayun-ayunkan tubuhku. Dan sewaktu sendawa sudah keluar, kugendong dia dengan cara semestinya, melekat di dada menghadap ke depan sambil kami berpandangan. Aku terus mengucapkan kata-kata apa saja agar dia mendengar suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku ingin bersahabat dengan dia. Karena menerima sambutan anakku yang tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat kunjunganku. Di saat aku sedang menimbang-nimbang keputusanku, adikku menelepon memberi tahu bahwa ibu kami masuk rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya selama sebulan ibu harus diopname. Jadi aku akan segera pulang. Barangkali memang harus demikian. Setiap orangtua menganggap dirinya yang paling tahu, yang paling “kuasa” menentukan segalanya, padahal kenyataannya masih ada yang lebih kuasa lagi, yaitu Tuhan. Jika sekarang anakku mengira dia berhak melarangku berbuat sesuatu terhadap anaknya, cucuku, mungkin dia benar. Lingkungannya telah menempanya bersikap begitu. Aku hanya seorang nenek, sedangkan dia adalah ibu bagi anaknya. Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku lainnya. Untuk kesekian kalinya kunyatakan bahwa belajar tidak ada batasan waktu dan usia. Sendowo, Januari 2005 1) segan 2) istri pulang ke rumah orangtua, tidak mau kembali sebelum suami datang dan berunding hingga mencapai satu kesepakatan. 3) pernik-pernik keperluan 4) ikan asing 5) 40 hari
""Ajaran Kehidupan Seorang Nenek""
Sudah hampir seminggu Eyang Putri mengurung diri di kamar. Kecemasan pun tergambar pada wajah bapak-ibu dan para cucu. Bubur yang disediakan Mbok Nah hanya sedikit yang dimakan. Dua-tiga kali bubur itu hanya disisir bagian pinggir, kemudian dibiarkannya mencair. Eyang juga jauh dari bantal dan guling. Kalau toh ia tertidur, itu bukan karena ia ingin. Mungkin hanya karena terlalu lelah. Tapi tidur itu tak pernah panjang. Sangat sering ia mendadak terjaga dan membangunkan Mbok Nah yang tidur di bawah samping ranjang. “Gendut sudah datang?” ujarnya pelan. Mbok Nah diam. Kantuk masih menggelayutinya. Pertanyaan serupa diulang, namun tetap tanpa jawaban. Eyang Putri tak tega bertanya lagi, melihat wajah Mbok Nah yang tertidur lelap dikeroyok kelelahan. Mobil sedan putih mengilap menembus tirai hujan, memasuki pekarangan luas yang ditumbuhi pohon sawo dan pohon melinjo. Pada siang yang murung itu, seorang laki-laki tambun keluar dari perut mobil dan berlari menuju beranda rumah bergaya limasan. Bajunya yang merah maroon dipahat rapat jarum-jarum hujan, hingga warna itu berubah tua. Kedatangan laki-laki itu disambut seorang perempuan yang langsung menyodorkan handuk. Laki-laki itu menggosokkan handuk di kepalanya, “Mana Eyang Putri?” “Masih di kamar. Kami juga sudah menunggu lama. Bagaimana kabarmu, Ndut? Anak dan istrimu sehat?” ujar perempuan itu. “Ya, mereka sehat… Kapan Mbak Ambar datang?” “Kemarin. Tapi sayang, Masmu Jito tidak ikut. Katanya sedang ada kunjungan ke Nias dan Aceh…” “Yang lain mana?” “Di ruang tengah. Mereka sudah lama menunggumu.” Ambar membimbing Gendut masuk ruang tengah. “Ndut…” suara kakak-kakak Gendut kompak, seperti koor. Gendut langsung memeluk mereka satu per satu: Kunthi, yang kini bekerja di Jakarta menjadi redaktur majalah wanita, Swandaru yang anggota DPRD, dan Drajat yang pengusaha real estate. Gendut merasakan kehangatan mengalir di tubuhnya, kehangatan yang sangat ia harapkan setelah hampir setahun tidak bertemu dengan mereka, persisnya sejak Lebaran tahun lalu. “Di mana Eyang Putri?” bisik Gendut di telinga Drajat. “Di kamar. Sudah hampir satu jam kami menunggu…” “Ada apa? Apa beliau sakit?” “Tidak. Tapi, entahlah. Sebaiknya ditunggu saja…” Gendut mengeluarkan rokok kreteknya, hendak menyulut, tapi dicegah Ambar. “Eyang Putri tidak senang bau rokok..” Gendut memasukkan rokok di sakunya. Swandaru merangkul Gendut, “Ndut, coba kamu temui Eyang Putri. Kamu kan cucunya yang paling disayangi.” “Lho apa bedanya aku dengan Mas Ndaru, Mbak Kunti, Mbak Ambar, atau Mas Drajat?” “Beda Ndut… beda… Sejak tadi Eyang Putri menyebut-nyebut namamu. Cepatlah kamu ketuk pintu kamar.” Gendut termangu. Empat pasang mata mengepung dirinya. Tatapan mata saudara-saudaranya seperti bilah-bilah tombak yang mengungkit pantatnya untuk beranjak dan segera mengetuk pintu kamar Eyang Putri. Setelah diam beberapa jenak, Gendut pun beranjak. Pintu kamar itu diketuknya, perlahan. “Siapa?” suara lirih dari dalam kamar. “Saya Gendut, Eyang…” “Gendut? Tunggu…” Pintu pelan dibuka, namun hanya beberapa puluh senti. Gendut langsung menyelinap masuk. Semua kakaknya saling memandang. Aku tidak terlalu kaget ketika Bapak mengontak anak-anaknya untuk sowan Eyang Putri. Aku menebak, pasti Eyang memanggil kami karena persoalan Mbak Ratri. Dalam minggu terakhir wajah Mbak Ratri muncul di banyak koran dan televisi. Namanya dihapal jutaan orang dalam pembicaraan yang dilumuri prasangka. Ketika menonton televisi, mataku disergap gambar yang bikin jantungku berdebar. Mbak Ratri tampak turun dari mobil dan langsung dirubung para wartawan. Ada satu dua polisi tampak berjaga-jaga di situ. Seperti yang kami kenal, wajah Mbak Ratri tetap tegar meski dicecar berbagai pertanyaan. “Saya memang mengelola dana pembangunan rumah untuk masyarakat miskin itu. Perkara pembangunan itu macet, ya bukan urusan saya. Kalian mesti tanya developernya.” “Tapi kenapa Anda diperiksa? Ini terkait dengan dugaan penggelapan anggaran yang katanya sampai 150 miliar?” desak wartawan. “Itu insinuasi! Tuduhan itu sangat tak berdasar! Mengada-ada! You mesti lihat reputasi saya, dong. Sudah puluhan ribu unit rumah rakyat yang saya tangani, semua beres. Nggak ada komplain.” “Tapi kenapa perumahan untuk para korban tsunami itu hingga kini macet?” “Tanya itu developer. Tanya mereka…” “Tapi developer itu sudah bikin statement, mereka juga belum dibayar lunas… Ini bagaimana?” “Ah… tanya saja penasihat hukum saya. Temui saja Pak Rambela!” Aku pun merasa ikut terpojok oleh cecaran pertanyaan para wartawan itu. Aku ngomel sendiri, mencoba membela Mbak Ratri sambil menuding-nuding layar televisi. Anak dan istriku tampak cemas. Mereka menangis. Aku terus mengomel, hingga commercial break memotong tayangan berita itu. Ternyata kecemasan juga dirasakan kakak-kakakku. Mereka berulang kali menelponku mengungkapkan galau hatinya. Berita di televisi itu bagi kami telah menjelma pisau karatan yang menikam-nikam harga diri kami. Kami mencoba menghubungi Mbak Ratri, tapi HP-nya off. Begitu juga ketika telpon rumahnya kami hubungi. Ke mana anak-anak Mbak Ratri? Ke mana suaminya? Pasti mereka kini jadi lintang pukang dihajar kabar yang sangat mengejutkan itu. Kami pun mencoba menemui Mbak Ratri di rumah tahanan, tapi gagal. Penahanan Mbak Ratri membuat bapak dan ibu terguncang. Mereka pun langsung masuk rumah sakit. Kami sama sekali tidak menyangka, Mbak Ratri yang selama ini kami kenal sebagai pribadi yang mengagumkan, yang gigih menentang setiap penyimpangan, berada dalam pusaran persoalan yang bukan hanya membikin kami terpukul, malu, tapi juga sangat sedih. Aku pun sering membentak kepada setiap teman sekantor yang sok tahu soal berita itu yang nada bicaranya setengah memojokkan Mbak Ratri. “Maaf-maaf kalau omongan saya menyinggung Pak Gendut. Tapi kami kan sekadar menganalisis… eh menduga-duga. Jangan-jangan…” ujar Pak Nano. “Jangan-jangan apa?! Kalian ini tahu apa sih? Sok analitis!” DI kamar itu, Gendut belum berani bicara. Ia melihat, wajah Eyang Putri tampak pucat. Kerut merut di wajahnya pun semakin tampak jelas, semakin tumpang-tindih, semakin bersilangan. Gendut merasa tidak tega untuk mengajak bicara, takut menambah beban perasaan Eyang Putri. Ia hanya mematung di samping ranjang. Di antara para cucu, Mbak Ratrilah yang paling mewarisi sikap Eyang Putri yang berwatak keras, jujur, dan berani. Watak dasar ini-ditambah kecerdasannya yang terpancar di matanya yang berkilat-kilat saat berdebat-yang mengantarkan Mbak Ratri memegang jabatan penting di sebuah departemen yang berurusan dengan program pengentasan kemiskinan masyarakat. “Jangan sampai kamu mencurangi Ratri. Walau cuma serupiah, dia akan mengejarmu sampai neraka,” pesan bapak belasan tahun lalu, dengan bangga. Sesungguhnya, bukan hanya bapak dan ibu yang bangga, kami pun sangat bangga kepada kakak kami tertua itu. Namun, ucapan bapak yang terngiang kembali itu seakan mencair ketika Mbak Ratri dalam posisi sulit. Di layar televisi siang tadi, wajahnya tampak lelah. Ketika keluar dari ruang pemeriksaan kantor kejaksaan, ia hanya berucap “no comment… no comment” Setegar apa pun hati keluarga kami, toh akhirnya goyah juga. Berita penangkapan Mbak Ratri itu kini menjelma menjadi bongkahan batu yang mengganjal di rongga dada kami. Makin lama bongkahan batu itu makin membesar. Aku mencoba meyakinkan dan menghibur bapak-ibu bahwa Mbak Ratri belum tentu menggelapkan uang. Tapi, kalimat-kalimatku seperti lumer dan menyatu dalam butiran-butiran keringat dingin bapak-ibu yang kemudian pingsan. Kami dan Mbak Ratri tumbuh dalam dekapan kasih sayang Eyang Putri. Meskipun usianya di atas delapan puluh, Eyang Putri masih tampak seperti perempuan berusia 50-an. Tubuhnya masih cukup tegap. Matanya masih bercahaya. Dan ingatannya masih tajam. Dengan runtut, ia mampu bercerita tentang masa kanak-kanak kami. Bahkan juga masa kanak-kanak ayah kami. Eyang Putri juga masih ingat berapa nomor telpon rumah kami. Juga nama cicit-cicitnya. Padahal jumlahnya belasan. Eyang Putri itulah sosok yang sesungguhnya mendidik kami. Kebetulan sejak kecil kami tinggal di rumah Eyang Putri bersama bapak dan Ibu. Eyang Putri melarang kami pindah rumah. “Untuk apa? Rumah ini masih terlalu besar untuk kita,” ujarnya. Setelah Eyang Kakung meninggal, Eyang Putri tak mau hanya mengandalkan hidup dari uang pensiun suaminya sebagai guru. Eyang Putri memanfaatkan keterampilannya membuat jamu. Setiap pagi, Eyang Putri pergi ke pasar membeli rempah-rempah: kencur, jahe, dlingo bengle, adas pula waras, cabe puyang, dan entah apa lagi. Rimpang-rimpang jahe, kencur, dan berbagai dedaunan melimpah di atas balai-balai bambu di dapur. Dibantu Yu Jum dan Yu Gik, Eyang Putri meracik dan memasak jamu itu. Rumah kami pun penuh aroma jamu. Harum tapi juga semegrak. Jamu itu kemudian dijual di pasar. Banyak pembeli merasa cocok dengan jamu itu, hingga nama Eyang Putri menjadi sangat terkenal. Ketika kami kecil, Eyang Putri selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu saja ada kisah yang diceritakan dalam setiap malam. Entah sudah berapa ratus cerita yang membawa kami ke alam yang indah: rimbun hutan, sungai yang mengalir, sawah yang membentang, laut yang bergelombang, gunung yang menjulang atau langit yang biru. Gaya bercerita Eyang Putri yang mempesona, menjelma menjadi kereta kencana yang membawa kami ke dalam petualangan yang menggairahkan. Kami bertemu dengan tokoh-tokoh cerita, dengan berbagai wataknya. Ada yang culas, jujur, pemberani, licik, atau penjilat. Watak-watak tokoh rekaan itu menjelma seperti wayang yang berkebat dalam benak. Kami pun merasa menjadi seperti tokoh pujaan kami: seorang satria yang membela yang lemah, meskipun akhirnya tidak hidup bahagia. “Nama baik dan kejujuran itu jauh lebih penting dari semua kekayaan,” pesan Eyang Putri. “Kalau saya ya pilih kaya,” ujar Mas Swandaru sambil bercanda. “Ah kamu, yang dipikir cuma perut,” sergah Mbak Ratri. Eyang Putri mengangguk-angguk sambil mengelus kepala Mbak Ratri. “Kalau kamu bagaimana, Gendhut,” Eyang menatapku. Aku kelimpungan. Bingung. Semua tertawa. “Aku nggak tau Eyang…” jawabku sekenanya. “Bicaralah. Ayo, nggak apa-apa…” “Kalau aku ya pilih kaya… tapi juga punya nama baik.” Semua tertawa. “Pintar kamu, Ndhut…” Eyang Putri terkekeh. “Eyang-eyang… gimana kalau Eyang sekarang ndongeng kancil?” ujar Mbak Ambar. Eyang Putri diam. Mendadak, ketakutan diam-diam merambat, mengurung kami. “Eyang tidak suka kancil!” ujar Eyang tandas. “Tapi dia itu pintar lho Eyang…” Mbak Ambar masih mengejar. “Dia bukan pintar, tapi licik. Dia punya banyak akal, tapi hanya untuk mengakali. Kalian ingat ketika kancil ditangkap dan hendak disembelih Pak Tani gara-gara mencuri mentimun?” Kami mengangguk. “Iya, tapi kancil akhirnya lolos setelah menipu anjing milik Pak Tani. Dia bilang, dirinya akan dikawinkan dengan putri Pak Tani….” ujar Mbak Kunthi. “Dan anjing yang celaka itu dirayu kancil untuk menggantikannya sebagai calon mempelai,…”sahut Mas Swandaru. “Akhirnya, dalam gelap malam, anjing itulah yang dipukul Pak Tani, hingga kepalanya remuk…” kataku meramaikan suasana. “Maka, kalau kalian besar nanti, jangan mau jadi kancil…” ujar Eyang. Ratri menyahut, “Benar Eyang. Kita harus membunuh kancil!” “Bukan… bukan begitu Ratri. Yang harus kita bunuh adalah sifatnya.” Malam makin larut. Kantuk pun bergelayut. Satu per satu kami tertidur. Sayup-sayup kami mendengar pembicaraan Eyang Putri dengan Mbak Ratri. Kenangan itu masih basah melekat di benak Gendut. Juga saat ia terpaku di depan Eyang Putrinya yang sejak tadi tetap diam. Hanya terdengar suara isak tangis yang tertahan. “Eyang sakit?” Gendut mencoba membuka pembicaraan. Eyang Putri menggeleng, lemah. Gendut kaget. Ternyata dari mata Eyang Putri tidak mengalir air mata setetes pun. Mata tua itu tetap bening dan bercahaya. Ke mana air mata itu, Eyang, pikir Gendut. Di luar kamar, empat kakak Gandut masih menunggu. Urat-urat wajah mereka menegang. Jam dinding berdetak terdengar sangat keras. Mereka hanya saling memandang. Gendut berhasil membujuk Eyang Putri untuk keluar dari kamar. Perempuan renta itu berjalan pelan, tapi masih tetap tegap. Para cucunya ramai-ramai menghambur dan mencoba memeluknya. Tapi Eyang Putri tak begitu menanggapinya. “Biar aku duduk…,” ujarnya pelan. “Ndut, apa benar kini Ratri telah berubah menjadi kancil? Atau bahkan sudah jadi ular piton yang kelaparan? Ahh… katanya dia mau membunuh kancil?” Ucapan itu terasa sangat menyentak. Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah cucu-cucunya. Tak satu pun dari mereka yang berani menatapnya. Wajah mereka tertunduk. Dalam beberapa kejap, tak ada suara terucap. Tapi Gendut memberanikan diri bicara, “Kita berdoa, semoga ia tetap Ratri seperti yang kita kenal selama ini. Bukan kancil atau ular piton…” “Bagaimana kamu tahu, Ndut? Bukankah kamu tak berada di sana? Di tempat yang gemerlap dan bisa membuat siapa saja berubah?” Gendut terdiam. “Mestinya sejak dulu, Ratri membunuh kancil itu…” ujar Eyang Putri lirih, merintih. “Tapi maaf Eyang. Bukankah… Eyang sendiri yang dulu mencegah Ratri untuk…,” ujar Gendut. “Itu yang aku sesalkan. Mestinya kancil itu sejak dulu dibunuh dalam pikirannya….” “Tapi, kami percaya dan yakin, Mbak Ratri tidak mungkin menjadi kancil. Ya, meskipun kami tidak punya bukti. Bukankah sudah hampir tiga tahun dia menutup diri?” Swandaru melepaskan napasnya. “Kalian berani menjamin keyakinan itu?” “Maaf Eyang, kami hanya bisa percaya… hanya bisa berharap…” “Terus bagaimana? Apakah aib yang telah tercoreng di wajah kita ini bisa hilang sendiri? Mungkin saja dia bukan kancil yang suka nyolong timun. Mungkin…. Tapi kini ia telah berada dalam kurungan. Itu masalahnya,” ujar Eyang setengah meradang. “Kebenaran akan membersihkan namanya, akan mengembalikan martabatnya…,” ujar Kunthi. Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah para cucunya. Mereka merasa dilucuti, ditelanjangi. Tubuh mereka serasa berubah transparan. Berbagai borok dan lendir yang tersimpan di balik tubuh mereka, seperti terbaca. Eyang Putri berkali-kali menarik napas, sebelum akhirnya pingsan. Di rumah itu, kami tak lagi menemukan aroma harum jamu, atau mencium semerbak kisah-kisah kepahlawanan yang indah dan mendebarkan. Semua mendadak terasa terlepas. Kami justru mencium bau keringat kami yang mengandung miliaran bakteri…. * Bantul-Yogyakarta-Mendut 2004-2005
""Kulihat Eyang Menangis""