content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
“Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.” Kulipat lagi surat yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba. Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini, setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya. Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti. Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami. Siapa pun yang melihat bisa membacanya. Suatu malam, waktu itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik. Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah, mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja. Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan. Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis. Waktu aku keluar dari rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja. Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara sungguh-sungguh. Menurut Ichiro, Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian, ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu, jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara terus-menerus. Salju kian menderas. Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan; sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini aku ingin berlama-lama berada dalam salju. Memasuki pelataran kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri, melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya. Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro. Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya sangat terkenal di negeri perantauanku. Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan. Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti. Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan wajah serius. “Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa. Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti. Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku melayang ke peristiwa itu. “Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya. Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah hati dan perasaan kami sendiri. “Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai. Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan, keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya. “Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara keras. Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan. Kehidupan tak pernah mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah, tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh! Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!” kata Nagayama panjang lebar. Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam. Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku. Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu. Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa. Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu saja membuatku kaget bukan main. Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang. Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!” Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil membakar Si Gendon sampai mati? Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima, mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya, berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat resah oleh ulahnya?” Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku! Tokyo, Oktober 2002 Catatan: 1. apaato: apartemen sederhana 2. ikkodate: rumah yang berdiri sendiri 3. jyooryokujyu: pohon segala musim 4. osyogatsu: tahun baru 5. taiso : gerak badan 6. tatami: tikarala Jepang asmudjo jono irianto
""Surat Keramik""
Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah. Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar. Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu. Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi. Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi. “Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan. “Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon. “Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik. “Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.” “Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.” “Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?” “Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.” “Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?” “Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.” Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang. Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh. Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar. “Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari. “Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi. “Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa. “Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional. “Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya. “Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar. Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama. Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun. “Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi. “Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.” “Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi. “Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu. Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam. Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik. Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking. Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.” “….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah. “Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…” “Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.” “Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…” Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?” “Mungkin begitu.” “Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.” “Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.” “Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!” Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.” Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan. Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa. Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa. Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu. Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya. Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik. “Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya. “Kamu jadi ke Jakarta, Luh?” “Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…” “Jadi pembantu?” “Jadi pelayan toko.” Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur… Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002 Putu suta wijaya
""Bunga Jepun""
Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut. Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif tiga bulan. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan kini ia akan menjadikannya Hadiah Utama Toto (gelap) Singapura, di kisaran empat angka, per lima puluh ribu tombok. Kemungkinan cuma sepersepuluh ribu,” kata Nasir, serius. Khairan tersenyum dan mengiyakan dengan sungguhsungguh. “Pokoknya kamu tenang-tenang saja, Sad,” kata Nasir. “Kamu duduk-duduklah, megang surat-suratnya-sementara itu masih bisa dipakai ngojek sama Sitol, dengan setoran biasa.” Setengah berbisik, menghindarkan pendengaran Khairan, “Dan sementara itu kamu pun bisa aman-aman saja ngeloni Saimah. Beres! Bapaknya pasti meneng. Lha wong kowe melu mbandari …” Khairan menatap, curiga, “Apa? Ngomong apa?” Nasir memberi isyarat telunjuk di mulut. “Sudah sana!” katanya sambil mendorong Arsad pelan menegakkan sepeda motor. Melangkah. Melemparkan kunci kontak ke arah Nasir. Jalan ke pintu belakang warung. Menyelinap dan masuk kamar yang pengap dan remang. Saimah menyusul dari depan. Menyibak tirai pudar dan merangkul Arsad dari belakang, Arsad menangkap dan meremas dua belahan pantat yang bagai punuk dan tanpa berlapiskan celana dalam. Saimah menjerit artifisial sambil mendorong Arsad ke arah pembaringan yang berantakan, dengan payudara yang berdenyut. Radio menyerukan dangdut. Itu hari keduapuluh delapan berada di luar rumah. Dan mungkin tepat pada hari yang keseratus satu, Arsad mengenal Suimah. Perkenalan tidak disengaja sebenarnya. Ia membolos bersama Taberi. Menghindar dari sekolah, menjauh dari keramaian, dan menyuruh di pangkalan ojek di mulut jalan ke Perumahan Ganda Mekar. Abai bergabung dengan banyak orang-para pengojek, preman dan pemabuk, dan utamanya pemalas yang hanya omong dan terus omong sambil berjudi. Motornya dipakai ngojek sembarang orang, dan karenanya mendapat duit buat modal ngombe atau ngepil. Mungkin cuma memesan kopi, makan jajan, dan makan diawali dan ditutup oleh merokok di warung Khairan. Terkadang Arsad hanya nongkrong, bermalasan di warung itu, berbincang dengan istri Khairan, atau menggoda Saimah. Itulah awalnya, Saimah makin genit, orangtuanya semakin permisif, dan Arsad pun menikmati hari-hari manis, dengan semena-mena merangkul, menggerayangi dan menciumi Saimah. Orang-orang mendelik. Tapi, Khairan-setengah preman karena istrinya yang sebenarnya membanting tulang menyambung hidup-lembut menenangkan mereka. “Biarlah,” katanya, “Toh kita tahu ia berduit dan orangtuanya sugih.” Orang-orang tersentak. Khairan menenangkan. “Kita ini orang dagang,” katanya. “Dan mempunyai anak perawan bermakna mempunyai barang dagangan. Berharap, siapa tahu akan mendapat jodoh lelaki yang genah. Nakal sedikit kayak si Arsad lumayanlah, biar bisa kompak dengan mertua. Ya kan?” Orang-orang pada tertawa. Terlebih karena Arsad semakin sering membawa Topi Miring, yang diedarkan berkeliling di antara orang yang berbual atau main kartu. Berjoget dengan tape dan terbahak-bahak. Sepanjang waktu. Lantas mereka pun mulai memanggil Arsad dengan sebutan bos. Sekaligus itu membuat Arsad semakin butuh duit untuk menyenangkan banyak orang. Utamanya Saimah, yang melingkar manja tanpa celana dalam dan bra-meski masih memakai rok terusan longgar. Dan Arsad pun semakin jarang pulang sekaligus semakin jarang masuk sekolah, karenanya semakin tidak mempunyai duit. Sekali-empat puluh hari lalu -menyelinap ke rumah ketika orangtuanya masih di kantor, dan menjebol lemari untuk mengambil perhiasan. Memberikan sebagian kepada Saimah, dan menjual sisanya. Khairan-matanya berkilau-cepat-cepat mengundang tetangga dan menikahkan Arsad dengan Saimah dalam perkawinan siri. Dan disusul pesta mabuk semalam suntuk. Orang-orang kampung menggeleng-gelengkan kepala. Pak RT tak berdaya, bahkan untuk sekedar mengusik keasyikan mereka. Mungkin karena lega karena kini Arsad resmi jadi suami Saimah. Ia menganjurkan agar Khairan mau mengurusnya ke KUA agar semakin kukuh. Khairan cuma tertawa. Ibunya Saimah lembut mengangguk. Saimah tersenyum dan terus tersenyum. Menemani Arsad mabuk lalu menyeretnya ke kamar meski tak lagi ada bulan madu. Siklus haid Saimah sudah telat seminggu. Dua minggu kemudian Arsad benar-benar bangkrut. Cemberut dan makin sering marah. Khairan bungkam. Istrinya mulai menyindir. Arsad semakin sebel kepada Saimah-dan yang direcoki balas memaki. Arsad pun menyuruh Nasir untuk menjualkan sepeda motornya. Akan tetapi, Nasir malah memunculkan gagasan yang sangat kontroversial. Menjadikan sepeda motor itu modal untuk hadiah tombokan Toto (gelap) Singapura. “Seminggu bisa empat kali,” katanya. Khairan tersenyum. Itulah awalnya Arsad pun jadi orang yang berpenghasilan. Dan Saimah makin manja, sedangkan Ibu Mertuanya sukarela menyervis. Surga telah kembali. Hari itu-seperti biasa-Nasir akan berkeliling dengan sepeda motor Arsad. Ia seorang sales yang gigih, ia seorang sales yang agresif, dan karena itu ia mampu mencukupi Arsad dan dirinya sendiri. Membawa tas pinggang, memboncengkan si Krowak atau Brewok sebagai pengawal pribadi, dan berkeliling ke mana saja. Akan tetapi, terkadang orang masih datang untuk tombok nomor di warung Khairan. Duyunan orang yang menyetor keberuntungan, pikir Khairan-yang punya dukun kuat sehingga selalu yakin tebakan mereka tidak akan tembus. Meski begitu, selalu, menjelang momen bukaan Arsad memilih mabuk dan tidur agar tidak disentakkan oleh fakta ada yang tembus dan sepeda motornya melayang. Hal yang tidak gampang meski telah dibantu minuman, pil, dan rayuan Saimah. Hari itu-setelah sarapan nasi goreng, telur dadar setengah matang, dan minum Topi Miring-Nasir memboncengkan Krowak. Menyulut rokok, mblesar-kan gas, meraung saat membuat belokan besar dari jalan hancur arah Perumahan ke jalan utama. Belokan liar itu, penyelonongan itu, memakan marka jalan meski mereka cuma mencari jalur kiri. Pada saat yang sama, dari hadapan, melaju di kelempangan jalan yang lengang seusai jam mengantor, sebuah Station Wagon-dengan bemper depan tambahan dari pipa baja. Dan alur arah lajunya sepeda motor Arsa, yang dikemudikan Nasir, meliuk-liuk, tertekuk-tekuk pendek, bergetar karena tangan si pengendaranya goyah oleh kaget dan mabuk. Tetapi kecepatan sepeda motor itu, akselerasi pertamanya, tak bisa diturunkan. Sedangkan kecepatan Station Wagon itu tetap tinggi meski telah dicoba direm dan dibanting ke kiri. Berderit direm dan dicoba dibanting ke kiri, tetapi kemudian diluruskan lagi ke kanan ke kelurusan karena di tepi jalan itu berjajar kios-kios-bahkan sebuah Angkot berwarna kuning sedang parkir sambil kernetnya, ada di tengah jalan, menyeru ke seberang. Bunyi tumbukan dan jeritan orang-orang menghias siang itu. Kemudian teriakan memaki dan derap orang berlari memburu. Sebagian menolong Nasir, yang lainnya memburu supir Station Wagon itu. Serentak menghajarnya-bus dalam kondisi setengah mabok yang belum sirna. Menggulingkan kendaraannya dan menghajarnya sampai kacanya remuk dan body-nya penyok. Mungkin akan segera dibakar-dan sopirnya mati-kalau tak kebetulan muncul patroli. PJR yang dengan sigap meletuskan pistol. Lalu lintas sigap diatur. Ambulan menyusul datang setelah pasukan pengaman bantuan didatangkan untuk melokalisasi masalah dan menenangkan warga. Akan tetapi, itu sudah amat terlambat karena si korban spontan diangkut dengan kendaraan yang lewat dan mau mengantarkannya ke RS. Nasir mati. Kaki, tangan, dan sisi rusuk kanannya remuk. Krowak tertolong, tetapi kaki kanannya diamputasi sedang tangan kanannya hancur tepat di sikut dibiarkan utuh-tergantung lumpuh. Sopir Station Wagon geger otak ringan. Kendaraannya diperbaiki dengan biaya asuransi. Sedangkan motor Arsad jadi sumber masalah. Arsad dipaksa Ayahnya untuk pulang, dan diungsikan ke Panarukan-dipondokkan. Sepeda motornya dituntut dikembalikan utuh kepada keluarga Nasir dan utamanya Khairan. Ia marah ketika mengetahui kalau sepeda motor itu telah berkali-kali dijadikan barang taruhan judi Toto (gelap) Singapur. Ia menuntut. Tetapi Khairan tidak kalah sengit menuntut. Menyatakan bahwa Arsad itu suaminya Saimah sehingga Arsad itu harus bertanggung jawab sebagai suami-dengan menafkahi Saimah. “Tapi aku tak pernah mengawinkannya!” “Ya! Betul! Karena aku yang mengawinkannya.” “Sembarangan! Kalau tahu aku tidak akan sudi menyetujuinya-kamu dengan anakmu yang menyebabkan ia mutung sekolah, mencuri perhiasan ibunya, dan…” “Betul! Tapi, apakah aku harus menunggu izin Bapak, sementara mereka telah bablas? Anak saya itu, belum pernah pacaran, sudah meteng. Halim! Halim!” “Terus? Terus?” “Balikkan ia ke kondisi asal. Utuhkan lagi. Bisa apa ’ndak?” Kadang Arsad mengirim uang belanja untuk Saimah. Mengeluh tak bisa ke luar dari Pondok. “Aku tidak betah. Aku seperti masuk penjara,” tulisnya. Saimah menangis. Khairan menelan ludah. Kembali mendatangi orangtua Arsad dan minta agar mereka tidak memutuskan tali kasih antara Arsad dan Saimah. Menghiba-hiba sambil lembut mengingatkan anaknya Arsad yang dikandung Saimah. Tetapi kedua orangtua Arsad cuma bungkam. Dua kali lagi Khairan mengiba-iba, tapi tidak pernah dilayani. Dipantati bahkan. Karena itu, Khairan, istrinya, dan Saimah tiba pada kesepakatan kontroversial: Akan membungkus si bayi dan langsung menyerahkannya-pada kesempatan pertama-kepada orangtua Arsad. “Nih,” kalimatnya. “Hasil karya anakmu. Lebih jos ketimbang sepeda motor yang remuk itu!” Dan memang begitu. Dua hari setelah persalinan, dengan mobil carteran, dengan dikawal Brewok, Dominik, dan Yudiono-yang setengah mabuk-, mereka langsung mendatanginya. Segera, tanpa mampir dulu, dari rumah Bidan. Berparkir di halaman. Mengawal Saimah yang menggendong bayi-diam-diam Khairan menyelipkan celurit-dan langsung ke ruang keluarga lewat pintu ruang tamu yang terbuka di rembang petang. Lantang meneriakkan salam sambil menyelonong. Ibunya Arsad terpekik. Khairan mendelik dan membentakkannya. Ayahnya Arsad bergegas dari kamar. Kedua lelaki itu liar bertatapan. Si bayi santun disodorkan oleh Saimah, tapi liar ditepiskan sehingga Saimah terdorong ke kursi. Khairan loncat mencabut celurit dan membabatkannya kepada bapaknya Arsad-sekitar delapanpuluh kali. Ibunya Arsad berteriak-teriak. Tetangga berdatangan, tapi mereka pada mundur (surut) ketakutan melihat amuk Khairan. Menyisih ketika Khairan melemparkan celurit pada cacahan bersimbah darah tubuh bapaknya Arsyad. Dan dengan mobil itu juga, bersama si bayi-yang lantas diberi nama Caca Handika-, Khairan melapor ke Polisi. Catatan: Tombok, “tombokan”: Memasang nomor judi dengan membayar uang taruhan. Ngeloni: Meniduri Meneng: Diam, membisu tanda setuju Kowe melu mbandari: Kamu ikut menjadi bandar Sugih: Kaya, berharta Genah: Enak dipandang, artinya orang baik-baik Topi Miring: Merek minuman lokal beralkohol Mblesar: memainkan gas sehingga mesin meraung-raung Dipondokkan: Dimasukkan ke pesantren untuk belajar dan sekalian tinggal di sana. Mutung: Berhenti di tengah jalan Meteng: Mengandung, hamil Jos: Langsung jadi sempurna, instan Celurit: Senjata mirip sabit, khas Madura, meski tak selalu milik orang Madura.
""Senja Merah Khairan""
Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya. Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo. “Negara memerlukan tanahmu,” kata Camat. “Jangan jual mahal.” “Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.” “Ini demi pembangunan, lho.” Pada waktu itu kata “pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut mark up). “Coba tanda tangani kuitansi ini,” pinta Camat. “Lha kok besar betul,” katanya. “Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.” Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia tidak lulus. Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (“Kader” artinya juru kampanye). Sutarjo yang juga sudah mendengar soal “tidak bersih lingkungan” menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?” “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”) “Gampang saja,” katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandraguna. Sutarjo merasa lega. Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar [“jer basuki mawa beya”] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya, lhadalah! “Haram, syirik,” teriaknya. Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr. Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya. “Itu kesalahan,” komentarnya. Lho! Ia seperti disambar petir. Kata penasihat, “Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur kemudian.” Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu. Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa. Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun. “Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu], pukul [anu sampai anu]….” Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa. Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan memulai dengan, “Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih ’Padi’.” Atau, “Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar ’Senapan’.” Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh. Perintahnya pada seorang kader, “Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai ’Senapan’ mencopot gambar-gambar itu. Buatlah ’Padi’ banyak-banyak, tempel di tembok-tembok, tiang listrik, dan pohon.” Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin memenangkan pilihan. Pesaingnya, “Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius). Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa “Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara. Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis. “Padi” yakin menang karena dia selalu ada di tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan pener. “Senapan” juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru. Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu, tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan, “Senapan” tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata “Padi” kalah telak. Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya. “Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria. ’Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri tahu.” Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur, dan petrus. “Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.” Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya. “Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya. “Pokoknya bukan itu semua.” Sutarjo suka menghibur diri. “Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada.” Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri. Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades. Ia yakin benar, “Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.” Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. “Begitu saja kok repot. Kalah dan menang dalam politik itu lumrah,” komentar sang penasihat. “Saya pikirnya dulu.” Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: “Padi” dan “Senapan”. Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD, bahkan takziyah. Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, “Eureka!” Penasihat menemui cakades gagal kita. “Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.” “O, ya?” Mukanya jadi cerah, byar! “Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika untuk hadir dan memberi sambutan.” Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya. Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang “Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa). “Sukses!” kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo. “Sukses!” kata Danramil waktu pamitan. “Sukses!” kata Kapolsek. Hati Sutarjo seperti diiris-iris. Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat. “Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?” “Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng. Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian melongo. Yogyakarta, 1 Maret 2003
""Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi""
Tujuh hari setelah Mama mangkat, musyawarah memutuskan Kiai Genggong sebagai pengganti Mama. Sebagian keluarga memang ada yang kurang sreg. Menurut mereka, Kiai Sabar atau Kiai Behbar lebih pantas memimpin Pesantren Gupitan. Pasalnya, Kiai Genggong agak nyeleneh–waktu kecil suka berkelahi, semasa remaja sering kebut-kebutan, menjelang dewasa berkali-kali menampar orang, dan kini suka hidup menyendiri. Hanya sebagian keluarga, sejumlah warga Gupitan juga merasa risau dengan terpilihnya Kiai Genggong. Kelembutan dan kewibawaan Mama berbeda sekali dengan watak keras Kiai Genggong. Tapi semua sudah diputus, lagi pula sebelum meninggal Mama berwasiat demikian. Kiai Sabar dan Kiai Behbar sendiri mengakui adik merekalah yang paling layak memimpin pesantren itu. Mulailah Kiai Genggong memimpin pesantren. Tiap Senin pagi dan Kamis malam, orang-orang menuju pesantrennya, berduyun bagai domba putih yang akan dimandikan. Mereka menyimak pengajian kiai muda itu. Pada awalnya kegiatan berlangsung seperti di zaman Mama meski kecemasan terus bergayut dalam diri jemaah kalau-kalau watak keras Kiai Genggong muncul tak terduga. Benar saja, seperti gempa longsor di Gunung Gede, tiba-tiba pesantren guncang. Kecemasan itu terbukti. Suatu hari, tanpa alasan jelas, Kiai Genggong menampar Jamhuri, pedagang kambing. Jamhuri tidak melawan. Ia segera meninggalkan pesantren agar pengajian terus berjalan. Namun, pada hari lain, peristiwa terjadi lagi, kali ini Mustofa yang kena. Juga tak melawan. Berikutnya Mang Yusuf, Kang Baban, Wak Jana, dan entah siapa lagi. Sejak peristiwa itu, jemaah Kiai Genggong berkurang. Hanya beberapa puluh saja yang bertahan. Kiai Sabar dan Kiai Behbar tidak bertindak apa-apa. Mereka menghormati wasiat Mama. Mereka mencintai ayah mereka dan ayah mereka sangat menyayangi Kiai Genggong. Sewaktu pengajian tinggal hanya dihadiri pencinta keras kepala, Kiai Genggong tetap tegar seperti pohon mahoni sepanjang jalan menuju pesantren. Suasana memang agak lengang, seperti Gupitan malam-malam. Hanya kemersik daunan gugur atau bunyi jangkrik dan suara kodok, selebihnya gema kata-kata Kiai Genggong. Setahun sejak Kiai Genggong menampar beberapa jemaah, pesantren memang mirip kuburan. Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar. Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama. Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas. Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus. Seiring dengan banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu gilinding itu diangkat ke tempat semula. Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya de- ngan mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda. Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh jemaah shalat di tikar itu. Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut. Kiai Genggong makin termasyhur setelah beredar desas-desus bahwa orang-orang yang dulu pernah ditamparnya kini sudah pada menjadi kaya. Jamhuri bukan Jamhuri lagi. Ia telah jadi haji, punya sawah berhektar-herktar, dan domba beribu-ribu. Juga Mustofa, Haji Mustofa, kini punya angkot 15, ojek 35, dan 2 penggilingan padi. Masyarakat mengingat-ingat lagi nama yang dulu ditampar Kiai Genggong dan setiap ingat sebuah nama selalu saja orang itu memang telah menjadi kaya. Diam-diam masyarakat yakin tamparan Kiai Genggong memang bertuah. Itu sebabnya orang makin berbondong mendatangi Pesantren Gupitan. Kali ini mereka justru berharap ditampar Kiai Genggong. Kisah kesaktian tamparan menyebar ke berbagai kota. Ada yang percaya, ada yang ragu, ada pula yang menganggapnya sekadar dongeng. Namun, apa pun tanggapan mereka, yang jelas mereka berusaha datang ke Gupitan. Dan diam-diam di hati mereka tumbuh harapan siapa tahu ditampar Kiai Genggong. Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong. Berkali-kali Bung Hamid dan Bung Jamal datang ke Gupitan. Bahkan pada kedatangan ketiga, strategi dibicarakan matang. Intinya, Bung Hamid dan Bung Jamal sepakat mengusahakan bagaimana caranya agar telapak tangan Kiai Genggong mendarat di muka mereka. Mereka berjanji kalau salah seorang ditampar, kekayaan yang kelak diperoleh akan dibagi dua. Itu sebabnya, dana keberangkatan ke Gupitan ditanggung bersama. Bung Hamid dan Bung Jamal bukan tipe orang gampang putus asa. Dibuatlah strategi lain ketika sudah berkali-kali ke Gupitan be- lum juga tamparan berkhasiat itu mendarat di muka mereka. Kali ini mereka mengajak anak buahnya ke Gupitan. Anak buahnya diinstruk- sikan berusaha maksimal agar ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal menegaskan kalau ada yang kena tampar dan ke- lak jadi kaya, sebagian kekayaan itu harus di- serahkan ke kas partai dan ke saham perusahaan. Itu sebabnya, seluruh dana ke Gupit- an ditanggung Bung Hamid dan Bung Jamal. Tapi Tuhan itu Zat yang sulit dibaca, berkali- kali ke sana masih tak terjadi apa-apa juga. Padahal pada kedatangan kesembilan, bukan hanya 100 anak buah yang dibawa, tapi 500 sampai kemudian 1.000 pada kedatangan kesepuluh. Tuhan sebenarnya maha pengasih dan hidup selalu bervariasi. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Entah bagaimana mulanya, Bung Hamid dan Bung Jamal tiba-tiba kenal dengan Mang Cecep. Rupanya Mang Cecep menyarankan Bung Hamid dan Bung Jamal mendatangi dulu seorang dukun. Wak Makbul nama dukun itu. Dan atas saran Wak Makbul, Bung Hamid dan Bung Jamal membeli 7 ekor kerbau, 70 ekor kambing, dan 700 ekor ayam untuk disedekahkan kepada sebanyak-banyaknya fakir miskin di sekitar tempat tinggal Wak Makbul. Tak ada masalah bagi Bung Hamid dan Bung Jamal, yang penting bisa bertemu dan lalu ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal nyaris setiap minggu, Senin pagi atau Kamis malam, datang ke Gupitan karena-menurut petunjuk Wak Makbul-suatu hari secara tak terduga mereka akan langsung ditampar Kiai Genggong. Tapi ingat, harus sabar, serahkan semuanya kepada Tuhan, begitu pesan Wak Makbul. Beberapa bulan berlalu, tak ada hasil. Malah terasa semakin mustahil mendapatkan anugerah tamparan itu. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali menemui Mang Cecep, tetapi apa daya Wak Makbul sudah dibunuh orang-orang bertopeng karena dicurigai sebagai dukun teluh. Tapi bukan Bung Hamid dan Bung Jamal kalau tak penasaran. Meski tabungan sudah menipis, perusahaan terancam pailit, partai digugat massa, utang ke bank bertambah, Bung Hamid dan Bung Jamal terus mencari akal agar bisa ditampar Kiai Genggong. Dan pada suatu hari berkenalanlah Bung Hamid dan Bung Jamal dengan Om Sarjono, kepala keamanan di lokasi parkir pesantren. Perkenalan tak terduga sebenarnya, ketika Bung Hamid dan Bung Jamal hampir koit dikeroyok massa gara-gara mobil mereka menyerempet pedagang yang berjejer sepanjang jalan menuju pesantren. Om Sarjono-lah yang menyelamatkannya dari amarah massa yang sudah siap menguyurkan bensin untuk membakar mobil itu. Lewat Om Sarjono inilah akhirnya Bung Hamid dan Bung Jamal bisa bertemu malam-malam dengan Kiai Genggong. Om Sarjono, kata orang, memang teman kebut-kebutan Kiai Genggong dulu ketika muda. Om Sarjono ini jugalah yang suka menyelesaikan urusan bila sepeda motor Genggong bermasalah dengan polisi. Dan inilah yang terjadi malam itu: Malam yang dingin. Harum bunga-bunga padi di sawah, deru daun-daun mahoni, angker rimbun beringin, kelepak pelepah palma yang jatuh, dan desah rumpun bambu di sudut pesantren mengiringi gairah-gelisah Bung Hamid dan Bung Jamal. Aku harus kembali kaya, gumam mereka. Partai boleh bubar, perusahaan boleh bangkrut, tapi aku harus tetap kaya! Begitu tekad mereka. Dan kini sebentar lagi akan berhadapan dengan Kiai Genggong. Suara kodok di selokan mengguncang-guncang gairah-gelisah mereka. Begitu Kiai Genggong tiba di amben, duduk di tikar berlapis karpet buatan Turki, sepasang matanya langsung menyerbu muka Bung Hamid dan Bung Jamal. Seperti ada pasir longsor di dada mereka, tapi mereka berusaha menguasai detak jantung dan irama aliran darah. “Assalamualaikum…” sapa mereka terbata-bata. Tapi anehnya Kiai Genggong justru menggerakkan badan hingga menghadap ke bilik kiri. Deg, jantung Bung Hamid dan Bung Jamal seakan copot. Tapi mereka segera ingat cita-cita. Mereka menggeser duduknya ke sebelah kiri dan kemudian berhadapan kembali dengan Kiai. Mereka kembali ucapkan salam. Deg, darah di jantung mereka serasa berhenti. Kiai Genggong kembali menggerakkan tubuhnya ke tempat semula. Bung Hamid dan Bung Jamal bersitatap, tapi tak ada kata yang terloncat. Mereka gelisah dan seperti akan lenyap segala gairah. Tapi mereka teguh pada cita-cita. Mereka menggeser kembali tubuh mereka hingga tepat berhadapan dengan Kiai. Kembali mengucap salam. Dan deg, seperti ada gada menonjok dada mereka. Kiai Genggong membalik tubuhnya, kali ini ke arah kanan. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali bertatapan seperti dua kucing menunggu pemilik rumah lengah saat menje- mur ikan. Tapi cita-cita setia memandu mere- ka. Mereka geser tempat duduk ke arah kanan hingga bisa sedikit menatap wajah Kiai. Mereka dengan pelan kembali mengucap salam. Tetapi lagi-lagi deg, sebongkah batu seakan mengimpit tubuh mereka. Kiai kembali menggeser tubuhnya ke tempat semula. Lurus menatap kejauhan depan rumahnya yang berseberangan dengan pesantren. Tapi Bung Hamid dan Bung Jamal tak mau menyerah. Mereka kembali ke tempat semula dan mengucap salam. “Waalaikum salam…” jawab Kiai sambil terus komat-kamit. Plong, paru-paru Bung Hamid dan Bung Jamal seperti dibasuh angin Gupitan yang segar dan sejuk itu. Benar-benar eksentrik kiai ini, kata mereka dalam hati. Mereka merapikan posisi duduk, kemudian Kiai bertanya. “Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!” “Pertama-tama.…” “Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!” “Kami ingin bersilaturahmi.…” “Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?” “Kami… ehm… ingin belajar.…” “Niat yang mulia.…” “Maksud kami…, kami… punya masalah.” “Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak. “Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…” “Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…” “Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….” “Bacalah kitab suci dan….” “Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…” “Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.” “Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas. “Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal. “Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam. “Kami banyak kehilangan harta….” “Carilah kembali dengan jalan yang benar.” “Kami ingin kembali kaya.” “Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.” “Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas. “Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak. Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!” Kiai Genggong benar-benar meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak, “Tamparlah kami, tamparlah Kiai!” Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka, tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!” “Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!” “Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…” Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!” Malam itu-karena Bung Hamid dan Bung Jamal belum siuman-Om Sarjono terpaksa memanggul tubuh mereka keluar dari kompleks pesantren sambil bergumam, “Untung saya bertindak cepat. Kalau tidak, tulang kalian bisa remuk, kulit muka kalian bisa hangus!” Cianjur-Serang, 2002 Keterangan mama = panggilan untuk kiai sepuh gilinding = stoom, alat berat untuk meratakan aspal haolan = ulang tahun wafatnya seseorang teluh = sejenis santet koit = mati teh, atuh = kata-kata penegas nuhun = terima kasih Dyan Anggaeni
""Kiai Genggong""
Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga, kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki, ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya. “Tak apa-apa. Sebaiknya begitulah.” “Sudah seharusnya?” “Ya. Tak perlu dicari sebab dan alasannya. Yang pasti sudah terjadi. Entah dengan lelaki siapa pun, aku tak peduli.” “Ayah tak cemburu? Sebagai laki-laki ayah tak menuntut, tak merasa kalah?” “Pertanyaanmu bagus. Tetapi, memang, sudah sebaiknya.” Ia tercekat, mengulum ludah. Memandang hamparan ladang tembakau, selintas masih dilihatnya para pemetik tembakau mengenakan mantel anti-air hujan. Ayahnya meluruskan kaki di meja beranda. Ia memutuskan diri untuk berkuda, meninggalkan ayahnya. Begitu hampir setiap hari, waktu berjalan dingin. Di daerah S, ayahnya dikenal sebagai juragan, orang kaya yang memiliki ladang tembakau cukup luas. Hampir semua pekerja yang merawat ladang tembakau itu adalah warga daerah S sendiri, yang merasa cocok bekerja untuk ayahnya. Orang-orang yang bekerja pada ayahnya hanya ingin mengabdi, ayahnya sendiri tipe orang yang bisa menghargai siapa pun. Itulah yang membuat warga daerah S selalu tunduk, bahkan ada yang tak segan berjalan munduk-munduk, berjalan sangat sopan dan hati-hati jika di depan ayahnya. Pada setiap sore, ayahnya akan selalu menghibur diri, menginginkan kegundahannya bisa bebas dengan berkuda. Sengaja ayahnya berkuda sendirian, mengelilingi keluasan ladang tembakau. Sengaja ayahnya menghirup udara sesegar dan sebanyak mungkin, tak mau merasa tertekan. Kalau pada suatu sore sang ayah berpapasan dengan sang anak yang kebetulan juga sedang berkuda, maka sang anak akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Ternyata, benarlah, antara ayah dan anak tak perlu menganggap ada yang istimewa, ayah dan anak cukup hanya bertegur sapa ringan, tak perlu menampakkan kasih sayang berlebihan. Bahkan, kalau tegur sapa itu sudah dilakukan berkali-kali, terhitung berkali-kali dalam satu minggu, misalnya, bukankah yang kemudian muncul justru rasa bosan? Karenanya, ia memutuskan, jika bertegur sapa cukup jika dinilai penting, dan terlebih lagi kalau memang mau, jika berkehendak. Jika tak berkehendak, apalah yang bisa dipaksakan? Berkuda dan mengelilingi ladang tembakau yang luas. Dua hal itulah yang memberikan jaminan kebebasan. Siapa pun yang menempuhnya pasti merasa lapang dada. Kawasan tanah dataran tinggi mampu memberikan kenyamanan, terutama bagi orang yang memilih hidup untuk frustrasi, seperti ayahnya. Kadang-kadang, ia sengaja memandang ayahnya dari kejauhan, melihat kemungkinan bahwa ayahnya akan mengisi waktu luang sebagai alasan frustrasi. Hal wajar yang selayaknya diterima laki-laki, tak perlu memberontak, lebih baik dibikin abadi. Kadang-kadang, dari kejauhan itulah ia melihat ayahnya berkuda dengan tatapan mata kosong, seperti seorang pangeran yang tak lagi punya wibawa. Kuda yang ditungganginya lumayan gagah, namun kekosongan matanya bisa sebagai bukti bahwa sang ayah adalah laki-laki yang harus rela menghancurkan kelelakiannya. Entah sudah berapa kali putaran dalam sekali jalan ia melihat ayahnya mengelilingi ladang tembakau, entah berapa waktu lagi yang dibutuhkan ayahnya untuk sekadar menghibur diri. Hari berpilin, berubah, berganti. Pagi, siang, sore, malam, seperti piranha beku yang tak sanggup menjelaskan makna. Waktu menjadi bernilai kosong. Ayahnya masih berkuda. Rumah seperti terkuburkan, serta-merta. Kalau ada yang sedikit istimewa dalam ruang tamu hanyalah sebiji foto keluarga yang bertengger di dinding. Ia, ayah, dan ibunya, tersenyum. Tak masam. Kejenakaan yang tersisa, kebahagiaan yang memancar dari senyuman. Sampai kapan pun, ketiga orang dalam foto itu akan terus tersenyum. Siapa pun yang memandangnya akan ikut merasakan bahagia. Foto yang akan bergoyang ringan ketika ditiup angin dari arah ladang tembakau, melewati beranda, melewati jendela, ngungun di ketiga wajah yang tersenyum. Ia sendiri hanya mengenakan celana pendek, buntek, sementara ayah dan ibunya mengenakan busana Jawa, sempurna dengan belangkon. Ia kerap membayangkan, ibunya akan bergumul dengan entah siapa, tepat di depan mata kepalanya sendiri. Atau, ia akan melihat bersama-sama dengan ayahnya? Pasti, dengan perasaan ikhlas. Wajarlah. Sampai suatu kesempatan, dalam rutinitas hari-hari yang memuncak beku, ia jumpai ayahnya yang gantung diri, tepat di tengah ruang tamu, menghadap foto keluarga yang tersenyum. Tak mesti menjulurkan lidah, tak mesti membelalakkan mata, ayahnya mati. Ia memastikan ibunya akan biasa-biasa saja melihatnya, justru dengan ringan akan menurunkan mayat suaminya dari tali gantungan, pun menguburkannya sendiri. Ia tahu, ketika ia melihat ayahnya dalam keadaan gantung diri, ibunya masih bergumul dengan entah siapa di gudang belakang rumah, dekat kandang kuda. Kerap ia tergoda, sekali waktu ingin membakar tumpukan jerami yang ada di pinggir-pinggir dinding papan kayu, di luar gudang. Biarlah ibunya mati saat tengah bergumul. Namun, hal itu urung ia lakukan. Ia menggagalkannya sendiri. Ia memang akan terus merasakan suasana rumah semakin membusuk, tanpa ada alasan dan jawaban atas pertanyaan. Ia justru sangat bersyukur ayahnya memilih gantung diri dengan semangat yang penuh tawa. Ia kasihan melihat ayahnya menghibur diri dengan berkuda, mengelilingi ladang tembakau, setiap sore. Yogyakarta, 2001 Wiediantoro
""Rumah yang Dikuburkan""
Kabar gembira datang pagi hari. Selasa, 19 Agustus 1997. Di hadapan lebih dari 500 undangan yang memenuhi Aula Serbaguna RW 18, Kelurahan Pondok Petir, pinggir selatan ibukota, telah dinikahkan secara resmi Ir Gulian Putra Ariandaru, M.A, 29 tahun, dengan Arsih, 22 tahun. Senyum itu. Misteri. Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu, salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah. Perempuan-perempuan Picasso yang merambati gelap dengan cahayanya. Namanya Arsih. Kujumpai pertama, kedua, dan ketiga kalinya selalu di pertengahan pertunjukan wayang kulit. Ketika punakawan muncul hanya untuk menihilkan awal dan akhir cerita. Suara tawanya, entah kenapa, mengejutkan dan membuatku segera berpaling ke arahnya. Suara itu mengembang dan mengambang seperti langkah tak berjejak dan memaksaku tersenyum. “Itu, Arsih. Anak Yu Katiyem.” Sudri, informan dalam kerja risetku, menyahut cepat pertanyaanku. “Baru 20 tahun,” sambungnya. Entah dengan maksud apa. Pertemuan kelima di panggung dangdut. Kami berkenalan. Bapaknya petani palawija, ibunya membuka kios gado-gado. Aku meraih master enam bulan kemudian. Tiga tahun berikutnya, kami, aku dan Arsih, hampir memiliki anak. Kandungannya lemah, ia gugur hanya karena Arsih bersepeda ke pasar. Dia? Ah, biasa saja. Anak kota. Gayanya. Bajunya selalu putih, mentereng. Jadi, kelihatannya bersih terus. Ngomongnya juga di-sopan-sopanin. Biar lancar kerjaannya. Kerjaannya apa sih? Nyatet melulu, kayak juru tulis kelurahan. Aku tahu dia sering melirik aku. Sejak wayang Petruk Dadi Ratu-nya kiai Sumprit, dalang edan itu. Kenalan? Aku dipaksa Mbakyu Tumi. Kan ndak ada ruginya, kata Mbakyu. Mauku, mau mbok dan bapakku, kawin di kampung. Cara kawin di kota, aku gak ngerti. Gak kerasa. Tapi, sudahlah. Mas Guli memang baik. Aku mau apa saja dikasih. Kebetulan, kata Mbakyu Tumi. Porotin saja, katanya. Aku gak mau. Bukan ndak setuju, tapi males saja. Tapi, Mas Guli jarang di rumah. Temanku pembantu. Lebih dari teman. Seperti saudara. Lebih dekat dari Mas Guli sendiri. Aku nonton video porno, diajak Yu Ti, pembantu. Juga gambar-gambar asli. Asli bener. Aku kok jadi pusing. Gak tahan. Minum pil dan tidur. Mimpi ndak? tanya Yu Ti. Enggak tuh. Enak gak tidurnya? Biasa saja, tuh. Mau nonton lagi? Enggak dulu. Tak bikinin jamu, ya? Buat apa, Yu? Perempuan tiga puluhan itu tersenyum. Ke dapur, membuat jamu. Tidak kuminum sampai esoknya. Ini jamu siapa, kata Mas Guli saat datang agak malam. Yu Ti, kataku gugup. Bibir Mas monyong. Dia lihat agak lama gelas jamu itu. Lalu, pergi mandi. Lebih tiga tahun perkawinan, kami belum sukses memproduksi anak. Dia sudah lima kali keguguran. Dokter bilang, sudah sulit sekali. Dan aku tak menunggu mukjizat. Aku tak percaya keajaiban, terutama kalau berhubungan denganku. Usaha keras, hanya itu prinsip hidupku. Begitu aku bekerja. Entah untuk apa. Karier? Uang? Gengsi? Rasanya bukan. Sekadar kewajiban. Termasuk, utamanya, kewajiban memenuhi hajat dan keinginan istriku. Arsih tidak banya minta, melalui mulutnya. Tapi, lewat sudut mata dan sikap tubuhnya. Aku harus mengerti apa yang ia mau. Selendang biru, tempat tidur baru, piring makan, penyejuk udara, kiriman tambahan orangtuanya, modal dagang mbakyunya, atau sandal jepit dari Jepang, katanya. Entah dari mana ia tahu itu semua. Hampir sebagian besar permintaannya tak terpakai. Dia tetap Arsih. Daster kembang, rambut digulung atau kepang, dan radio wayang kulit. Juga tentu televisi, melulu dua program: India dan dangdut. Stasiun teve seperti setia meladeninya. Bicara? Hampir seluruh topik adalah keluarga dan tetangganya di desa. Jangan bicara soal pekerjaan, film Dustin Hoffman terbaru, atau roman Vikram Seth yang membuat silau pikiranku. Buku? Satu hal yang, baginya, tak lebih penting dari satu ons bawang putih. Aku masih terpukau oleh senyumnya. Begitu purba. Seperti waktu berlalu tanpa bekas, masa lalu, hidup senantiasa, hingga di masa nanti. Untuknya, aku harus pandai mencari pergelaran wayang kulit di seantero ibu kota. Atau, sesekali ke Wayang Orang Bharata. Tapi, Arsih tak begitu suka yang terakhir ini. Ia memang berpendirian. Tegas bahkan. Aku betul menyukainya. Aku betul tidak menyukainya ketika pendirian itu tak dapat didiskusikan lagi. Ia boleh diam, seperti mengalah. Tapi tidak sama sekali. Ia menyimpannya sebagai dendam. Untuk diledakkan di saat yang baginya tepat. Dan saat itu tiba. Bom waktunya meledak! Mas Guli, gantian ya kamu di bawah. Cuma itu yang kuminta. Kenapa lalu dia uring-uringan. Sampai pagi tidak tidur. Sampai malam datang lagi, ia tak kerja. Duduk di kebun merokok dan ngopi tiada habisnya. Ada apa? Aku mau arisan dan undangan majelis taklim. Ada yang jual ehmm…apa itu, gelas kristal! Bagus dan keren, katanya. Pergi saja! Katanya pendek waktu aku minta izin. Ada apa sih, Mas? Tanyaku ketika pulang, menjelang 10 malam. Dia malah pergi tidur. Aku mau minta lagi agar ia mau di bawah. Tapi, kudengar ia mendengkur keras. Bohongan, aku tahu. Ada apa sih? Sengaja bikin aku kesel? Ada apa, Mas? Mas Guli mengecapkan bibirnya seperti ngigau. Dan dengkur lagi. Bohong lagi. Kenapa sih? Apa-apaan? Dari siapa kau mempelajari itu? Tak ada jawaban. Ini keistimewaan lain Arsih. Tutup rapat rahasia hati atau pikirannya. Berbalik habis denganku. Semangatku membagi info dan pengetahuan, berbagi hati dan pikiran. Dan Arsih tidak menunduk. Ia tentang mataku dalam bisu. Ia bukan saja merokok, pergi ke kafe, atau mampir ke kabin karaoke, tapi juga membuat kelompok-entah apa namanya-dengan beberapa ibu muda, bahkan yang datang jauh dari kompleks perumahan kami. Aku memergokinya. Ketika semua sudah lebih setahun berlangsung. Kamu juga minum bir? Ndak. Aku tak tahu, ia jujur atau kembali berahasia. Itu mungkin belum seberapa. Bagiku. Dimulai dengan permintaan aneh agar aku mau bermain di bawah, Arsih melanjutkan dengan beberapa permintaan lain. Dan imajinasiku tak dapat menjangkaunya. Aku yang nungging atau Mas saja? Tanyanya suatu kali. Aku tak mengerti. Dan terasa sangat tolol di depannya. Ia tersenyum. Aku membuang bantal. Senyumnya hilang. Pintu kubanting. Dua malam berikutnya, aku tidur di sofa. Apa-apan ini ? Dari siapa ia mempelajarinya ? AKU mau pulang saja, Mas ! Mas Guli memandangku. Seolah aku ini kethek sirkus. Wong mau pulang saja, kok susah. Ditanya ini ditanya itu. Aku gak ngerti pertanyaannya. Katanya apa ? Aku tidak memahami dia, aku keblinger, aku membawa karepku dhewe, aku…wah banyak lagi. Gak aku jawab. Wong gak ngerti. Kasihan juga Mas Guli lamalama. Ia capek ngomongi aku. Mukanya pucat dan masam. Aku bikinkan ia air jeruk dingin. Dia minum sambil geleng kepala. Aku pulang saja ya, Mas? kataku lagi. Dia menghela napas. Panjang sekali. Kenapa? Tanyanya. Dia ulang lagi. Ya, mau pulang saja. Masak gak boleh tho, Mas. Sudah lebih setahun aku memang belum pulang. Lebaran cuma ngirimi bingkisan dan uang ke desa. Mas Guli banyak kerjaan. Jujurnya, aku juga mulai bosan dengan teman-temanku, ibu-ibu sekompleks. Dengan Yu Ti. Dengan Romi, kucingku. Dengan Mas Guli. Aku gak tahu, harus bagaimana. Aku ini kenapa. Aku mau pulang, Mas ! Suamiku membanting pintu. Keluar. Jadi, diizinkan ya, Mas?! Tak ada suara. Aku pun berkemas. Arsih pulang seminggu, aku sakit. Keras, bahkan. Sekonyong kolesterol dan asam uratku meningkat drastis. Aku harus opname, seminggu kemudian, karena mulai ada gangguan jantung. Arsih sudah datang dan langsung mendampingiku, 24 jam di rumah sakit. Aku sangat tertolong. Aku pandang wajahnya dengan seluruh rasa sayang yang paling mungkin dalam imajinasiku. Dan aku tak pandai untuk itu. Arsih tersenyum. Sama seperti dulu, pertama kulihat dia. Tak ada perubahan. Tiga tahun perkawinan, untuknya, seolah waktu bermain yang lepas begitu saja. Tapi, cukuplah senyum itu untukku. Namun, ternyata tak cukup untuk penyakitku. Sebulan keluar dari rumah sakit, aku malah terkena stroke ringan. Aku mulai panik. Melulu karena pekerjaan yang tak tergarap. Perusahaan tak ikut mengeluh. Tapi, gosip miring mulai mampir di telingaku. Arsih tetap rajin seperti biasa. Dua bulan setelah stroke, aku sudah mulai lancar menggerakkan anggota tubuh. Di tempat tidur, Arsih datang dan bertanya ringan sekali: sudah bisa belum, Mas? Baju tidurnya oranye tipis. Aku mau tertawa, mungkin juga teriak. Tak bisa keduanya. Besoknya kuterima uang cukup besar dari perusahaan. Bukan santunan. Pensiun dini. Arsih memberi selamat dan bilang, mobil Karimun Bu Wondo, temannya, lucu dan asyik ya Mas. Maksudmu kita ganti Starlet lama kita? Dia tak menjawab. Wajahnya menunduk kecil dengan posisi miring, bibir senyum di sudut, seperti serbuk sari mengintai dan menghisap kumbang yang mendekatinya. Aku sakit, Sih, kataku. Dan Karimun baru datang seminggu kemudian. Sudah setengah tahun Mas Guli tak berdaya. Uang sih masih ada. Cukup untuk makan dan kebutuhan beli baju atau vcd baru. Tapi, aku tak bisa lagi mengajaknya pergi. Jalan-jalan di Mal Bintaro kesukaanku, nonton wayang kulit di hotel atau gelanggang remaja, bakar ikan di gunung, atau cuma sekadar makan nasi uduk pagipagi di Kampung Betawi. Mas Guli seperti bisu. Diam saja di kamarnya. Baca, baca, baca. Nulis, nulis, nulis. Kalau ditanya, jawabnya sepatah saja. Dia memang masih sakit. Tapi anunya kan gak sakit, tho. Aku mau, pengin banget. Mas Guli seperti patung ukiran kalau diminta. Kaku membesi. Kalau lelaki sudah membesi begitu berarti tak lagi bernafsu. Apa…aku sudah gak merangsang lagi? Sering kuladeni tubuh bugilku di kamar mandi. Sehat. Seksi, kata Manto, tetangga sebelah, kata Juri, tukang kebun, kata Dani, teman Mas Guli. Lalu? Seksi, kataku. Aku suka tubuhku sendiri. Cermin kamar mandi kini jadi temanku. Aku melihatnya, jadi nafsu. Aku merabanya, jadi mau. Aku menciumnya, tak keburu. Ahhh…… Mas Guli masih bergelimang buku. Dani temannya datang dan melirikku. Lengkap setahun sudah aku tak disentuh. Tabungan tipis. Aku mulai utang untuk lipenstip dan fondesyen. Suamiku bisu. BISA jadi aku sengaja. Sakitku bertambah berat, memang keinginan bawah sadarku. Ketika segala cara rasional jadi invalid untuk mendapatkan penyelesaian masalah, biarkan intuisi purba yang bekerja. Mungkin emosi ada gunanya. Sesungguhnya badanku baik, tapi dapat kubuat lumpuh. Dengan kursi roda kulaksanakan semua kegiatan. Sendiri. Mang Juri kupecat dan kebun mengganas dengan serangga dan ular satu-dua. Yu Ti bersih rumah dan cuci-cuci. Arsih memasak dan mengelola uang. Sekarang tak ada lagi yang ia kelola. Apa yang akan dia perbuat? Pulang? Tidak. Ia mulai jual segala barang bahkan tanpa permisiku. Aku tertawa dalam hati. Sampai mana? Berulang kali ia hendak marah dan membentak, demi melihat kelumpuhanku, ia diam. Pergi setengah hari. Entah ke mana. Bagiku, surga adalah saat ia tak ada. Masihkah ada surga? Betulkah aku menyimpan harapan? Sedang mimpi pun aku tak lagi bisa. Arsih, di mana tempatnya ia kini? Bahkan senyumnya pun tak kuingin (setahun sudah ia tak tersenyum). Kecuali saat ia keluar dari kamar mandi. Wajahnya bersih dan terang. Air memberinya bahagia. Serius jika aku sirik dan cemburu pada air bak mandi. Selebihnya: muak! Aku mau cerai. Aku tak berani. Aku mau ia pergi. Mulutku tak kuasa mengusirnya. Aku mau ia diam saat malam di tempat tidur. Mulutnya tak henti mengeluh. Bahkan membentak. Aku tampar. Pertama kalinya. Ia diam. Sungguh terdiam. Aku mau bunuh diri. Tak bisa. Sudah kucoba beberapa kali. Tak enak. Bagaimana bunuh diri yang enak? Dengan pistol di mulut, seperti film-film di teve? Tak ada yang minjami. Pil tidur? Apotek curiga. Apa aku benar mau bunuh diri? Tak tahu. Aku tak tahu apa yang aku mau. Mas Guli tidur di kursi roda, aku lebih banyak di sofa. Aku makan cah kangkung kesukaannya, dia minta jajan warung. Aku ingatkan kewajiban suaminya, pipiku dihajar. Entah kali berapa sudah. Sekali aku gak tahan, kulempar ia dengan piring. Kepalanya bocor. Ia pergi ke puskesmas sendiri. Dengan kursi roda. Aku menangis setengah hari. Dan tidur di kuburan dekat rumah. Maaf? Minta maaf? Siapa yang harus memulainya? Dan untuk apa? Apa yang harus dimaafkan dari lelaki yang 24 jam menatapmu dengan benci? Yang menyebut seluruh keluargamu dengan caci maki? Yang menggapai dirimu dengan jijik hingga di ujung jari? Maaf? Aku serius gak ngerti arti kata itu. Yang kutahu, sejak sebulan terakhir ini, aku menyimpan satu hal yang menentukan, di hatiku, di mataku, di bibirku, di balik bajuku. Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun mengasingkan diri. Kata-kata jadi seperangkap jala yang menyergap semua mimpi kita. Dan emosi yang tersisa hanya berguna ketika kau selesai dengan upacara buang air kecil dan air besarmu. Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuperbuat dengan rumah tangga ini. Mestinya ia segera selesai. Terutama ketika kudapatkan ia menumpahkan seluruh perbendaharaan makiannya di lembar-lembar kertas, yang ia simpan seperti pusaka. Juga ketika ia menuang air ludahnya pada cangkir teh yang hendak kuminum. Termasuk juga saat ia mengatakan, perceraian tak perlu karena aku punya penyelesaian tersendiri. Satu-satunya pendapat yang sama ada dalam pikiranku. Dan itu harus terjadi. Hanya karena peristiwa kecil, mungkin. Di kamar mandi. Tidak sengaja aku masuk kamar mandi, yang kebetulan tak terkunci, dan kutemukan ia terengahengah hebat karena onani. Di hadapannya cermin dan sebuah foto ditempel selotip. Aku terdiam. Menatapnya dingin. Ia pun menatapku. Tidak diam. Tidak dingin. Panas sekali. Tubuhnya bergetar. Tangannya kian cepat bergerak. Hingga akhirnya….Cuaahhh!! Kami sama-sama muntah. Hanya dua hari setelah itu. Kami tidur bersama lagi. Pertama setelah setahun setengah. Tentu tidak berdekatan. Ia di ujung utara, aku sebaliknya. Sejak menit pertama, kami tak bicara. Hingga ia mendengkur, aku pun. Hingga malam terlampau larut, aku tercenung. Di luar hening, malam tak suara. Bahkan pun kepak serangga malam tak terdengar. Sepi seperti menari. Hingga hari hampir tiba di tepi. Aku merasa waktuku tiba kini. Mataku terbuka. Bibir mengeras. Kepalanku menggenggam kuat. Aku menarik nafas panjang. Dan sekonyong…aku berbalik. Menancapkan sesuatu di genggamanku, tepat di dada manusia di sampingku. Aaacchhh…. Sesuatu yang tipis dan dingin terasa di dadaku, melesak dalam sekali. Dingin. Dingin sekali. Aku memandangnya. Begitu pun ia. Kami tersenyum. Untuk kali pertama. Sepi datang lagi. Dan menari. Hari pun menepi. Kabar duka datang senja hari. Kamis, 23 September 2002. Sepasang suami istri ditemukan bunuh diri. Di dada mereka tertancap sebilah belati. Namun satu tangan mereka menggenggam erat jari-jari. Jakarta, 2003
""Sepi Pun Menari di Tepi Hari""
(Penjudi Togel dan Warisannya) Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena. Dia mulai berangan- angan jadi kaya dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menggoda hidup Huripto. Kata-kata tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. Dia tak pernah menyesal bahwa sebagian dari keuntungan yang dia petik dari gerobak rokoknya telah terbang ke kantong bandar judi. Huripto selalu berpandangan positif. Dia beranggapan uangnya yang lenyap ditarik bandar merupakan sumbangan yang akan memperbesar kebahagiaan teman-temannya yang beruntung. Jalan pikiran dan ketulusan hati seperti itu terutama muncul ketika saban minggu dia membeli lembar-lembar Undian Harapan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial. Dia bukannya tak tahu, sebagaimana yang dikatakan berbagai laporan koran, bahwa uang undian itu bukannya mengalir untuk membantu penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Sekalipun dia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat tingkah laku pejabat yang korup. Hanya saja dengan gampang dia bisa berdamai dengan kekesalannya. Yang penting buatnya kesempatan bertaruh selalu terbuka. Menang atau kalah soal belakangan. Dan yang paling utama adalah bahwa dengan secarik kertas taruhan, dia bisa berangan-angan. Dia punya kredo sendiri: Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa. Angan-angan membuat hatinya sejuk tenteram. Dia merasa regangan sarafnya menjadi kendur. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang meninggal disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan dia yakin ketenteraman yang ditawarkan oleh angan-angan yang dipersembahkan kertas judilah yang membuat pembuluh darah jantungnya tetap lentur walaupun tubuhnya gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dari ambang batas normal, jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yang membuai. Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. Dia berpantang berjudi dengan teman sendiri. Lawan-lawannya dalam perjudian haruslah pihak yang tidak dia kenal, mereka yang ingin membangun kekuasaan dengan uang. Baginya tak ada lagi pekerjaan yang lebih hina daripada hidup di atas nasib buruk handai tolannya sendiri. Di tepi jalan, sepelemparan batu dari jalan tol yang melayang di atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas wajahnya dengan karton bekas pembungkus rokok, menyedot kreteknya dalam-dalam, dan meningkahi kepulan asapnya dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang membawa nikmat yang sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dari kakinya yang terus dia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar dia menghela napas. Beberapa saat kemudian, dia menghentikan kibasan karton di tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yang dia buat di situ beberapa jam yang lalu. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dengan angka tiga. Tiga! Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu seperti menampilkan satu sketsa yang acak-acakan, yang melukiskan sekawanan besar burung terbang menutup langit, dengan balon-balon awan tercecer di sana-sini. Dia menyedot kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya supaya tegak lurus, bukan miring sebagaimana biasanya orang yang kalah berjudi. Pengecer rokok merangkap penjudi yang tekun itu lantas bangkit dan meninggalkan gerobaknya menuju ke gang yang terbentang di belakang. Sesiang seperti itu, tentu belum ada yang berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi penglaris bagi agen togel yang menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang itu. Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya kuat-kuat sampai lumat. Dia ambil bolpen dan dengan mantap dia memasang 3033. Seluruh kekayaan dalam bentuk uang tunai yang dimiliki penjudi bujangan yang sudah bangkotan itu, dia tumpahkan untuk nomor itu. Dia tidak khawatir kalau akan kalah lagi karena stok rokok dan barang dagangan yang lain masih cukup. Dia juga menutup taisen maupun kemungkinan keluarnya “angka setan” dari nomor itu. Dan dia kepung angka itu dengan memasang semua kemungkinan yang bisa muncul dari angka yang dia simpulkan dari tanda-tanda alam yang dia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah datang dari mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak rokoknya. Dan yang muncul sebagai pembeli paling awal adalah tiga anak kecil yang baru dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara di jalan tol yang membentang di atas, tiga truk yang bertabrakan tadi malam masih belum juga disingkirkan. Dia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka 3, yang bersimbol angsa, juga berarti kematian, kekosongan. Maka tafsir perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0. Biasanya dia luangkan waktu barang sebentar untuk memperbincangkan angka-angka taruhan dengan penjual kertas togel atau para petaruh yang lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. Dia langsung meninggalkan meja togel dan kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak pernah dia melihat orang memasang sebesar taruhan Huripto yang menjadi penglarisnya siang itu. Dia mengikuti pelanggan yang selalu bernasib buruk itu dengan mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang. Bertambah tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi muncul dan berkerumun di meja togel yang terletak di gang sempit itu. Semua melirik, menatap, memelototi, menafsir rupa-rupa kode yang terhampar di meja. Penjual togel berupaya membuka pembicaraan dengan menyampaikan keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yang begitu besar. Sejak meja togel dia gelar di situ, tak pernah ada orang yang bertaruh sebanyak itu. Tetapi, cerita pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dengan nasib yang apes. Menjadi pemasok rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang pun yang mau meletakkan taruhan pada 3, dalam variasi angka yang bagaimanapun. Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua band. Dia tak perlu datang ke agen hanya untuk mengetahui nomor yang keluar. Cukup menyetel stasiun radio tertentu. Sebagai seorang penjudi yang tekun, maka jarum penunjuk pemancar radionya tak pernah bergeser dari stasiun radio itu. Angan-angannya melayang ke Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin dia tidak mudik. Panen bawang berhasil, tapi harganya anjlok habis-habisan, sampai-sampai para petani membuang hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap pemerintah yang tidak punya perhatian terhadap petani. Tahun ini dia sudah mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena seluruh sanak famili dalam garis keturunannya sudah tiada. Melawan gerah, dia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok yang penuh coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu meninabobokan matanya hingga terpejam. Dia tak pernah menyetel jam weker untuk membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah terbiasanya, bawah sadarnyalah yang akan menyentakkan matanya, persis beberapa menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping menyimak radio. Renowo, agen togel di gang sempit itu, mendadak melompat keluar dari ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yang bertabur kode. Cepat seperti tupai, dia meloncat ke jalan. “Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol dia! Bandar jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” dia melompat-lompat seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu dan berlari-lari kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yang bertempat tinggal di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dari jendela dan pintu rumah, ingin melihat apa yang terjadi dengan agen togel itu. “Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh gila).” Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak. Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dalam gerobak, kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan, menutupi jidatnya. Ada sesuatu, seperti ujung pojok kertas menyembul dari bawah kupiah itu. Sudut mulutnya tampak menahan cairan yang mau muncrat. Perlahan, radio yang terletak dekat ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya lurus melonjor. Perasaan suka cita agen togel yang kesurupan itu jadi tertahan ketika dia sadar bahwa orang yang dia sapa, yang mestinya gembira bukan main karena telah memenangi taruhan dalam jumlah yang belum pernah dia dengar, cuma tergolek kaku. “Pak…, Pak Ripto…,” dia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang diajak bicara cuma diam. Dia raba dan goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak menyahut. Dia tetap menyenderkan kepala ke dinding. “Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dengan cepat berubah menjadi pucat. Lekas dia menarik anggota tubuhnya dari gerobak rokok itu. Lantas dia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati! Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” dia berlari-lari dari ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar gembira dan kemalangan dalam sekali tarikan napas. Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga manusia tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yang menunggu di ujung gang. Ketua rukun tetangga di lingkungan daerah padat itu menjorokkan kepalanya ke dalam gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. Dia maju lebih menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yang membikin gempar itu. Pembuluh darah itu juga diam. Dia menyingkapkan baju dari tubuh tukang rokok yang diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa saat ke dada warganya yang tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti. “Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. Dia memungut kupiah Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, dan memberikannya kepada Renowo. “Apakah dia tahu nomor yang dia pasang mengena?” “Saya yakin. Ya…, ya, dia tahu dia menang. Pak RT lihat sendiri tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dalam kupiahnya. Biasanya kertas togel dia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo. “Syukurlah. Saya kira dia tak tahan menerima kemenangan ini. Jantungnya, gulanya….” Ketua rukun tetangga memutuskan untuk mengeluarkan jasad Huripto dari gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dengan senang hati menyediakan rumahnya sebagai rumah duka. Segala perangkat togel dengan cepat disingkirkan dan sekat di dalam rumahnya dijebol untuk memberikan ruang kepada Huripto dan para pelayat. Jasad penjudi yang gigih itu diletakkan dengan terhormat di tengah ruang dan ditutupi dengan selendang batik, sebelum disembahyangkan. “Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yang datang duduk mengerubung. “Bersediakah kamu menguruskan uang almarhum?” Agen togel itu kelihatan agak gentar. Dia tak pernah melihat uang sebanyak yang “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum. “Saya siap. Tetapi, harus dibantu teman-teman. Uangnya terlalu banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya. “Tak masalah, banyak yang mau menolong. Saya juga bersedia. Tetapi, soalnya mau diapakan uang sebanyak itu?” Ke arah pelayat yang duduk berkerumun, dia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yang pernah mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berkeinginan, atau pernah mengatakan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila dia meninggal?” Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak ragu-ragu, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau dia punya uang banyak dia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya, Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-minta kepada para penumpang bus, truk, atau yang lain, apalagi dengan cara mempersempit jalan di pantai utara Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.” “Ingat. Uang hasil togel memang tak masalah kalau disalurkan untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah uang judi boleh disumbangkan untuk masjid?! Saya hanya ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yang dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi. Renowo memberanikan diri berbicara dan katanya, “Yang penjudi kan orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?” Tak ada tanggapan. Ketua rukun tetangga yang memimpin pertemuan juga tak bersuara. Sementara itu, angka togel Huripto dan jumlah uang yang dimenangkannya secepat listrik tersebar sampai ke pojok-pojok kota yang jauh. Sudah tentu banyak yang berangan-angan ketiban nasib serupa dia. Tetapi, banyak pula yang mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu sebagai jalan mudah untuk memperoleh uang. Seorang berbaju hijau agak luntur, setelah mengucapkan salam, langsung masuk ke gelanggang, menempel bahu ketua rukun tetangga. Orang itu membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin pertemuan. Ketua rukun tetangga kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yang tak rela dia lakukan, tapi harus dia perbuat. Dia merogoh kantong, menempelkan tangannya kepada orang yang baru masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi. “Apakah dia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke Mekkah, atau apa?” pemimpin pertemuan melanjutkan. Hadirin saling memandang. “Mana mungkin uang judi dibuat naik haji. Saya ngerti, cita-cita Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dengan diganti oleh teman-teman dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dari pojok seseorang mengutarakan pikiran. “Saya pernah dengar dia ingin berbuat baik dengan membiayai mereka yang sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus suara dari dekat pintu. “Yang berkaitan dengan haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada yang pernah mendengar cita-cita, keinginan, atawa kehendak Huripto yang lain?” “Dia sayang pada anak-anak. Semua kita mengetahui itu. Anak kecil saya sering dia persenin permen, anak-anak remaja dia belikan bola. Dia juga suka memberikan uang jajan kepada anak-anak yang dia sayangi. Jadi, saya kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk anak-anak.” “Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.” Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul pintu. Mereka datang bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk dan merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru bicara geng berbaju loreng ini juga membisikkan kata-kata yang kelihatannya diterima dengan sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, dia berupaya untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip dia memindahkan isi genggamannya kepada tamu itu. Seperti kucing yang diusir dengan makanan, tiga sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam. Setelah orang berbaju loreng itu, muncul pula kelompok berbaju loreng yang lain dengan warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tidak mengenakkan kelihatannya adalah ketika beberapa orang yang berbadan tegap, berkaus ketat, yang sebentar-sebentar memegangi sesuatu yang terselip di pinggang mereka, memasuki gelanggang yang sedang berkabung. Ketua rukun tetangga mulai gerah dengan tamu-tamu yang sama sekali tidak bisa menghormati Huripto yang diam terbaring di tengah ruang. Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke sekeliling. “Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yang datang menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka yang hidup dengan menguntit, lantas menowel, dan tanpa malu meminta uang kepada orang-orang yang baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok bisa mengganti uang yang sudah saya keluarkan. Tapi, kita harus hentikan ini sampai di sini saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yang sudah mati masih mau diperas. Saya kira perkabungan langsung saja kita sudahi setelah sembahyang jenazah. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yang akan membawa almarhum ke Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yang mengganggu. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto langsung ke pangkalan mobil jenazah. Dari sana ke Brebes.” Seperti mau berbicara kepada Huripto yang sudah terbaring diam untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya, karena telah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh, mengumpat orang-orang yang saya kira memang pantas dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa lama kau menunggu sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat kami tergesa-gesa, kelimpungan dalam mengenang menghormatimu. Maafkan.” Di jalan raya yang membentang di pantai utara Jawa, mobil jenazah yang membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan bahkan ratusan motor yang mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik dari orang yang sekarang terbaring dengan tenang di dalam keranda yang mereka kuntiti. Di dalam mobil jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan almarhum, yang sejak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dengan suara yang sengaja ditahan supaya tidak mengganggu ketenteraman Huripto, masih belum juga menemukan ilham akan dikemanakan uang dari penjudi yang terbaring berbedung kafan di dalam keranda yang membujur di depan mereka.
""3033""
Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam sepuluh malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh tubuhnya (dokter itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya). “Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini resepnya.” “Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline, dokter apa bisa hilang dalam berapa jam lagi?” “Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok saja mengetiknya.” “Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh! Saya mengejar deadline untuk berita besok!” Dokter Bambang tersenyum. Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu dengan Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya). Pertemuan berikutnya, begitu dicari-cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama mendesaknya berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir-akhir ini memang sering dibicarakan, bukan saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah membicarakan, “Saya kira ada banyak lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak kamu pilih salah satu dari mereka?” “Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?” “Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal, apakah tidak ingin serius dengannya?” Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.” Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama pacaran dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami tidak suka kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang memilihkan. Kau tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki-lakimu, dia bakal menjadi suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang Kemal kelihatan bisa sabar kepadamu.” Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum menikah dan masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki-lakimu akan menikah persoalannya tidak jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika orang melihatmu dengan mata penuh kasihan, karena adik laki-lakimu menikah lebih dahulu.” “Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir berteriak. Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai larut malam! Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan lelaki itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan pernah suka lelaki yang dominan terhadap perempuan mana pun). Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan baik-baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus bapaknya. MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang-kadang mengherankan Dini, dia sering melihat suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya gelisah. Pernah ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat. Dini menghormati privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami-istri, masih butuh ruang pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing-masing. Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat-lompat, tetapi tetap dengan interes yang sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain sebagai wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam wacana. Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari kotanya. Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan rasanya, aku punya ikatan emosional dengan pasienku.” Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya sebagai wartawati juga sering berada di luar kota. Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan sejak mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk praktik di luar kota. Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela-sela jas-lab: baju perempuan berikut alat-alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun, yang dilakukan Dini ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan Bambang. Yang pasti, Bambang sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu semodel apa perempuan yang bisa merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya! Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di sebuh kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang bermimpi? Yang memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan kemayunya, tertawa bahagia bersama beberapa teman se-gengnya! Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu dirinya dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun strategi untuk mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia akan mencari potensi yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah bagian yang indah dalam dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih dahsyat dari itu. Bisa jadi, Bambang seorang biseks yang mencintai laki-laki lain. Bambang menangkap kesedihan itu dan berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya tidak pernah ingin menyakiti istriku.” Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi! Sebab yang terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju perempuannya, dia kelihatan begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat binar-binar kebahagiaan. Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis-habisan. Dini kepingin segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu bahagia tersebar di mana-mana dan tiba-tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan Bambang untuk membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki-laki, sedang kita adalah perempuan.” Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama ini, sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti layaknya setiap persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan mereka berdua sebagai simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang begitu salah dan dahsyat di balik itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit baginya untuk berbicara kepada siapa pun, juga pada mamanya (Padahal, dia selalu menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga keanehan-keanehan Bambang). Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang, padahal masalah ini tidak sesederhana itu. Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi jujur lagi! Sekalipun berulang-ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak manusia dan pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.” “Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti ketemu adik perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera menyukai kamu.” “Sebagai adik perempuanmu?” Bambang menganggukkan kepalanya. Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang-ulang, “Kamu penipu kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini sungguh menjijikkan dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku denganmu.” Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya kepingin menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku segera menikahimu sebagai laki-laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa sebenarnya diriku sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki-laki.” Bambang menangis. Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik-baik. Sebelum Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka mengantarmu kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang suka kasar kepadamu.” Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga demi aku, kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.” Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas. Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang. Dini, yang saya sayangi, Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa menerima aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita sampai dia dewasa. O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu menceritakan semua tentang kita…. Dini yang baik, Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi kau. Mudah-mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan. Beberapa tahun yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa harga dirimu terbanting dan kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa. My dearest, Dini. Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang diriku sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa diterima seutuh-utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan tentu saja aku akan tetap menyayangi anak perempuanku. Salamku. Kadang-kadang Bambang masih mengirim e-mail kepadanya dan setiap menerima surat Bambang dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan Bambang (yang disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati dirinya. Dan mencari tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk Dini dan anaknya (Dini selalu sedih membaca e-mail-nya). Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah dengan Kemal! Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir! Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini! Malang, Januari-Mei 2003
""Kabar dari Bambang""
Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh. Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu. Benar dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal dari tulang, daging, atau rambut. “Bukankah ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu. “Benar. Abu jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.” “Waktu ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut. “Usiaku sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.” “Kamu sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan inspiratif, lho!” usul Agni. “Wah, apakah itu di tepi Kalimas?” Pesawat melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri? Kuputar kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan hidangan. Tiba di Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms, termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku. Aku tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi, kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di Kalimas. “Kenapa harus di Kalimas?” tanya Banu. “Karena ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.” “Bagaimana perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman. Air mataku benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu. Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya. “Aku sangat kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.” “Aku turut berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni. “Karena tak ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar dari ingatan itu.” “Mana lebih dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu. “Ketika ibu hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.” “Jam berapa kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman. Adakah aku dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai. “Biarkan air yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai, atau hanyut ke arah kerajaan laut.” “Pamanmu mungkin seorang penyair,” komentar Agni. “Ia yang menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.” “Hidupmu, dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu. “Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.” Keluar dari ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan. “Kita makan soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang. “Boleh. Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?” “Tak jauh dari sini.” Kami naik Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah setiap hari macet seperti ini?” “Ini karena kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa. “Ah, ini hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.” “Sepagi ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.” Kusisir kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu. Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu. Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun menemui ibumu.” “Mungkin pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan mata?” tanya Ery. Aku tak ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio. “Ia pemuja Dewi Kwan Im?” tanya Hilman. “Mungkin. Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.” O, jadi ini yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva, tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya. Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang. “Habis ini kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery. Aku hanya mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda. Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung. “Jangan lupa beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan. “Kukira sore nanti. Ketika matahari mulai surup.” Boleh jadi, pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.” Setiap kali mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas gunting sensor. “Apakah kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni. Gagasan itu bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius. “Apakah kamu menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling bijak adalah menjawab sekenanya. “Dua juta delapan ratus enam puluh empat butir.” “Apakah roh ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu. Aku mencoba mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku, tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!” Hardikan ibu betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur. Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat. Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa. Aku terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat. “Kukira sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery. “Baiklah, kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.” Hari mulai redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras. Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku, dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah. Aku berdoa. Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu. Karena yang kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….” Suara derit rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke tubuhku! Ah, aku lupa mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya! Jakarta, 9 Februari 2003
""Abu Jenazah Ayah""
Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang. Ah lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu. “Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini “…dan kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.” “Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?” “Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita… zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu. “Wong dokter kok, enggak optimis.” “Biar dokter, wong aku juga manusia… kaya’ kamu.” Timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doo Little-yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu. Karena itu pulalah kadang- kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia yang lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku-atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri-entah apa maksudnya. Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian-kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi… kepalanya ternyata babi! Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku-ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil. Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku-dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya. Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. “Ya, kan, Mas… dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja. “Memang babi, kok.” Jawabku serius. “Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi…” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. “Orang kok sirik terus sama penampilan orang lain…” tambahnya enteng saja. “Siapa yang…” aku tak melanjutkan ucapanku, percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan. Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai lagi apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain. “Kita ke dokter mata, yuk.” Ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku. “Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?” “Ya, enggak, tapi… paling tidak, kita kan jadi tahu… kenapa sih, mata kamu enggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel. Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu, karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang enggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan enggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian. “Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara Dik Tony membuyarkan lamunanku. Aku menjawabnya dengan tersenyum saja. “Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku. “Oh, enggak. Enggak sulit, kok, cuma akunya yang lagi enggak mood.” Kilahku sambil menyalakan rokok. Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu. Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. “Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!” “Titik dua, atau titik-koma?” tangkisku sekenanya. “Dasar copywriter!” Aku cuma mengepulkan asap rokokku saja menanggapi kemarahannya yang enggak jelas itu. Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses. Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat-lihat potret-potret, patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda: “Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai. Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. “Zems. Selamat tinggal bau naga!” Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap! Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami. Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske-sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja “memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya… tapi, ah… seekor naga? Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahuinya. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, namun tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan. Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajahnya yang penuh duka-cita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku. Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis. “Kenapa?” “Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?” Aku mengangguk. “Aku baru pinjam VCD dari Enggar… nonton yuk.” “Film apa?” “Dragon Heart.” Aku terdiam. Apa maksudnya? “Yang ini, naganya bisa ngomong… suaranya Sean Connery… keren, lho…” Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film. “Aku mau nonton,” kataku lembut, “…tapi, kamu harus percaya padaku….” “Apa?” “Aku memang melihat manusia berkepala naga….” Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku. “Aku percaya, kok… Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga… kata orang di sana tenang sekali….” “Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga….” “Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu. Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua. Pinang, 982
""Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…""
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun. Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga. “Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka. Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria. Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu. Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan. Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam. Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur. Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.” Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.” “Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.” “Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.” “Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.” “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” “Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.” Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial, tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka. Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting. Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan lambaian terkulai. Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?” “Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit. Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik. “Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki. “Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita. Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang. “Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki. Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik jadi hari baik untuk nikah.” Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi itu. “Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki. Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.” Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!” “Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.” “O ya?” Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama. “Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca. “Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?” Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.” Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.” Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan. Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita itu. “Peluk daku,” pinta si wanita. “Ah, sejak tadi kupeluk dikau.” “Lebih erat lagi. Ciummm…!” Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu semakin ke tepi tebing. Hening. “Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita. “Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.” “Kalau begitu, mari…!” “Ayo…!” Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai menutup mata dan telinganya. “Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!” “Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki. “Ciummm…!” Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh, tanpa batas. Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir. Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa. Jimbaran, Juli 2003
""Hari Baik""
Ibu saya baru saja menebar bunga kembang telon di kuburan Tini yang sudah tidak jelas pusaranya. Kelopak-kelopak bunga mawar, kenanga dan kembang gading dengan pasti ditaburkan, dan dengan elok dikomposisikan. Bunga merah dikumpulkan merah, bunga kuning dikumpulkan kuning. Indah. Padahal tadinya, Ibu ragu-ragu, apakah benar itu kuburan Tini yang ia cari. Karena kompleks pemakaman kecil di dusun Kebalen di kecamatan Rogojampi itu sudah lama tidak terurus. Beberapa belas tahun silam konon tanahnya pernah ambles, dan berusaha diuruk lagi. Bahkan kabarnya, sudah terjadi penumpukan jenazah di kuburan yang sama, karena banyak orang yang meninggal tak menemukan tempat pemakaman baru. Kabar kepastian tempat makam Tini datang beberapa tahun lalu. Kepastian ini berawal ketika ada dealer sepeda motor dari Surabaya berhasrat membeli tanah pekuburan tersebut untuk dibanguni gedung yang difungsikan sebagai gudang motor dan suku cadang. Namun, masyarakat sekitar kompleks pemakaman menolak niat itu dengan menyebar berbagai gosip mistik. Di antaranya informasi bahwa mereka sering melihat sesosok arwah menyembul dari pekuburannya di malam-malam tertentu. Arwah itu berjalan melayang, dan kemudian berdiri di bawah pohon sawo di pintulingkung kecilpekuburan itu. Ia menteng kelek seperti berjaga-jaga agar makam tidak diganggu orang. Entah benar atau tidak, arwah tersebut adalah wanita berkebaya yang menyerupai Tini. Seorang tua di desa itu merasa pernah melihatnya dengan jelas. Dan, ia percaya betul dengan matanya. Apalagi ia mengaku kenal dengan Tini, wanita yang seumur-umur berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Dan orang tua itu berkata, ketika sekeping bulan sudah jatuh di ufuk sebelum dini hari, arwah Tini kembali ke tanah kediamannya, atau masuk ke pekuburannya. Dari orang tua inilah Ibuku percaya bahwa itulah pusara Tini. Prahara di hutan jati Ibu saya bercerita betapa sebagai pembantu rumah tangga Tini sudah menjadi bagian dari keluarga. “Mbok Tini sudah ikut Engkong, sejak Mami berusia tujuh tahun,” kata Ibu. Dalam perjalanan pulang dari kuburan, Ibu saya bercerita mengenai pembantu yang sangat disayanginya itu. Tini pergi dari desanya, pedalaman kota Lasem pada awal tahun 1930-an. Tak jelas benar apa perkara yang menyebabkan Tini pergi dari sana. Konon lantaran pada waktu itu sekompi serdadu Belanda masuk ke Lasem dalam rangka mencari lahan-lahan yang menghasilkan kayu jati. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Dalam kaitan dengan proyek tersebut Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Suami Tini tercatat sebagai lelaki yang harus bekerja melakukan penebangan besar-besaran itu. Namun, suami Tini menolak. Sejumlah tentara Belanda agaknya merasa tersinggung, dan setiap penolakan dianggap sebagai awal pemberontakan. Keluarga Tini pun dianggap sebagai buron dan rumahnya dibikin porak poranda. Prahara di hutan jati pun terjadilah. Tini oleh suaminya disembunyikan di rumah kakaknya untuk kemudian dilarikan ke luar desa. Dan suami Tini, dengan seorang anak lelakinya yang masih balita, memisahkan diri serta bersembunyi di suatu tempat, di selisik hutan jati yang dalam dan gelap. Dalam melangkahi waktu, mungkin Tini pernah berencana banyak tentang sesuatu. Namun, garis nasib sering merancang hal ihwal terlebih dahulu. Karenanya, setelah berdiam sejenak di rumah kakaknya, dan setelah tak tahu lagi nasib suami dan anaknya, Tini diperkenalkan kepada seseorang yang biasa mencarikan pekerjaan untuk wanita yang sebatangkara. Dari sini ia mencoba kehidupan yang mungkin dirasa aneh. Tini di Rogojampi Syahdan di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Lim Len Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Liem Len Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. Tuan Lim melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia yang bernama Sindudarsono Sudjojono untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro . Apa yang dipikirkan Lim Len Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Tini terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong saya. Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Lim itu. Di rumah itulah Tini bekerja. Tini tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Tini memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik dekat sepen. YANG letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat situ. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. Hal lain menyebabkan bahagia situ adalah karena, seperti dituturkannya, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika menderita sakit, diminta kamar saya. dengan serta-merta memasang tikar kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu. Bahkan, kemudian bertahun-tahun, karena Ibu saya ingin ia meninggalkannya. Dan, Tini tak pernah sedikit pun menolak. Tini bertemu utusan Brosot Tahun berbilang, sampai Engkong meninggal. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Dan Ibu saya akhirnya ketemu jodoh, menikah dengan seorang lelaki tinggi besar, berwibawa, aktivis sosial, yang kemudian saya sebut sebagai ayah saya. Karena merasa mubazir bila menempati rumah terlalu besar, Ibu dan Ayah mencari rumah yang lebih kecil. Dan Tini dengan setia ikut serta sebagai pembantu rumah tangga. Pada suatu hari, Ibu saya bertanya kepada Tini, apakah tak ada kabar sama sekali tentang suami dan anaknya. Ia menjawab, tidak. Apakah ia tidak ingin kawin lagi. Ia menjawab, belum. Bahkan, Ibu saya menawari, apabila ia ketemu jodoh di Rogojampi, Ibu bersedia menjadi wali, dan siap untuk membuat pestanya. Gandrung Banyuwangi atau angklung carok akan mengisi keramaian perhelatannya. Bahkan, seorang anak Ibu yang jadi pelukis, Tan Khing Hoo namanya, akan mengabadikan mempelai dalam kanvas dan cat penuh warna. Namun, Tini belum ingin kawin lagi. Ia berkata bahwa sebelum tahu dengan pasti nasib suaminya, dan belum bertemu dengan anaknya, dirinya tak akan memutuskan apa-apa. Meskipun jauh hari ia mendengar kabar bahwa suaminya telah mati dan anaknya pergi ke medan kehidupan yang jauh, jauh, jauh entah di mana. Berpuluh tahun kemudian, sekonyong-konyong datang seorang pemuda ke Rogojampi. Ia mencari seorang wanita. Usianya sekitar 55 tahun, berwajah lumayan cantik, kulitnya agak hitam dan bagus. Suaranya jernih dan termasuk suka tertawa. Alisnya tebal dengan mata yang bersinar seperti milik pilemsetar Miss Rukiah. Wanita ini diinformasikan sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan desanya, di Utara Lasem. Dan wanita itu bernama Tini. Pemuda itu datang dari Lasem, dan mengaku diutus seorang lelaki bernama Brosot untuk mencari ibunya. Tini sesenggukan mendengar kabar bahwa anaknya, Brosot, ternyata masih sehat-sehat saja dan masih ingat kepadanya. Dan ia lebih bersyukur ketika tahu bahwa anaknya masih tinggal di daerah Lasem. Setidaknya kabar gembira tentang anaknya ini menutup kesedihannya yang mendalam, yang berkait dengan suaminya, yang dikabarkan sudah benar-benar tiada. Tini memohon kepada Ibu agar diizinkan pergi menuju Lasem. Tentu saja Ibu mengizinkan dengan penuh bahagia. Ibu berkata, apabila Tini kerasan hidup di Lasem bersama anaknya, ya, tak usah kembali ke Rogojampi. Setelah Ibu memberikan seluruh gaji yang dititipkan, Tini mohon pamit. Ibu dan Tini berpelukan dengan disaksikan Ayah dan sejumlah anaknya. (Sayang saya tak sempat ikut melihatnya). Di Lasem Tini bertemu Brosot. Tini yakin benar itu adalah Brosot, walaupun tiada surat atau identifikasi satu pun yang bisa dipakai sebagai bukti. Oleh karena itu, uang yang dibawanya dari Rogojampi ia belikan sepasang sapi, dua pasang kambing, tujuh bebek serta seekor pejantan. Ia beli tanah beberapa ratus meter persegi untuk pemeliharaan dan pembiakan hewan-hewan itu. Hati Tini berseri-seri menghadapi kehidupan yang baru. Tapi belum seratus hari Tini tinggal bersama anaknya, perasaan tidak kerasan sudah mulai menganggu. Hidupnya merasa disia-siakan. Ia merasa tidak dihargai sebagai Ibu. Brosot sering tidak ada di rumah, dan menganggap rindu-rindu Ibunya bagai tidak ada sentuhannya, bagai tak pernah ada serta tiada gunanya. Namun, Tini tetap sangat menyayangi anaknya, dan tak pernah sekalipun menggugat perilaku Brosot yang sangat mengecewakan itu. Tini lalu memutuskan untuk balik ke Rogojampi. Dan sebelum pergi ia berkata. “Setahun lagi Ibu balik, Nak. Ibu akan selalu rindu kepadamu”. Tini dan “Tabik-tabik Noni” Setahun kali ini, sungguh terasa bagai sepuluh tahun bagi Tini. Brosot dan segenap hewan ternak pemberiannya seperti terus memanggil-manggil. Dan Rogojampi yang pernah memeluk kehidupannya selama berberapa windu, setiap kali seperti membujuknya untuk pulang lagi ke Lasem. Ia ingin mencium kening anaknya. Ia ingin melihat bagaimana sapi-sapi, kambing-kambing serta bebek-bebek berkembang biak dan memberikan kehidupan yang bagus kepada anaknya. Ketika kerinduan itu sudah tiada terbilang, ia pun berpamitan kepada Ibu. Kali ini dengan isak tangis yang sangat mendalam, karena Tini bilang ia tidak akan balik lagi ke Rogojampi. Ia akan hidup bersama anaknya di Lasem, sampai hayat dikandung badan. Ibu juga terharu. Namun, Tini mungkin tersadar bahwa perpisahan itu tidak perlu dimasukkan benar dalam ceruk-ceruk perasaan. Dan lucu, mungkin sambil berusaha menghibur-hibur, ia lalu menyanyikan lagu Tabik-tabik Noni atawa Baboe Maoe Poelang. Lagu yang katanya sering ia dengar di Jaarbeurs, atau pasar malam tahunan zaman Belanda, ketika ia sering mengantar Ibu dan kakak-kakak Ibu dulu. Tabik-tabik Noni, Baboe maoe poelang Poelang ke tana moela, si Baboe soeda toea Kaloe Baboe mati, djangan kasi boenga Kirim aermata, si Baboe soeda trima. Caca marica oe oe… cacamarica oe oe… Cacamarica, si Baboe soeda toea… Syair tersebut dinyanyikan seperti lagu “Mana di mana, anak kambing saya…”. Ibu tersenyum mendengar lagu itu. Tini juga.Ibu kemudianmengantar Tinisampai dipertelon>jmp -2008m<>kern199m<>h 6024m,0<>w6024m<5>jmp 0m<>kern200m<>h 8333m,0<>w8333m<, dan menghilang di selinapan pintu bus yang mengangkutnya ke kampung halaman. Namun, siklus perjalanan hidup Tini semakin sempit saja. Belum seminggu ia sudah muncul lagi di hadapan Ibu, di Rogojampi. Wajahnya kusut. Setelah ia menaruh sepuluh kue lepat sebagai buah tangan dari Lasem, dan sambil menyeret kopor kulitnya yang lusuh ke kamar yang masih saja disediakan oleh Ibu, Tini mengomel. “Brosot sudah tak ada di kampung. Sapi, kambing, bebek, semua sudah tidak ada. Orang kampung juga tidak tahu dia ke mana. Dia minggat dari kampung. Minggat. Ada yang bilang Brosot jadi pedagang sepeda motor di Surabaya! Apa iya Brosot…. Brosot! Aku kok tidak percaya….” Tini menangis dengan suara yang dalam teredam. Sejak itu, Tini menjadi sakit-sakitan. Meski dirinya memaksa diri bekerja, namun ia tidak mau makan. Badannya kurus tak kepalang. Kondisi kesehatannya terus merosot. Ia sering mengigau dan linglung. Nama Brosot setiap kali disebutnya dengan lirih, dengan rasa derita yang sulit diterjemahkan.. Sampai akhirnya sang waktu menutup pintu. Tini meninggal dengan ditunggui Ibu. Sebagai penutup “Tahun ini, berarti tahun ke-30 kematian Mbok Tini. Rasanya belum lama”, kata saya kepada Ibu di sebuah pematang kering yang kami lewati. Ibu tak menyahut. Di kerut pipinya yang sangat tua terlihat setitik air mata. (Untuk mendiang Mbok Tini dan Mbok Barina, pembantu keluarga saya)
""Tabik dari Tini""
Setiap kali aku menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya. Aku tidak ingin tahu namanya. Aku tidak ingin tahu cerita tentangnya. Aku sungguh tidak ingin menambah teror yang sudah merayap di tengkukku hanya lantaran sepasang matanya. Orang-orang di kampung ini pun sepertinya tidak memasukkan orang pemilik sepasang mata yang misterius itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang bercerita tentangnya. Ia tidak ada pada setiap hajatan dan upacara kematian. Ia tidak ada di warung kopi dan pos ronda. Ia mungkin juga tidak tercatat sebagai warga kampung ini, tidak direcoki oleh kewajiban membayar berbagai pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah rumah dan punya dua ekor sapi-dan aku sangat yakin dia tidak pernah ikut pemilu. Tapi bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Bukan karena aku sudah merasa terteror dengan sepasang matanya. Tapi aku sekarang tinggal tepat di depan rumahnya! Aku datang kurang lebih empat bulan yang lalu di kampung ini untuk keperluan penelitian. Dan, oleh seorang kenalan kemudian aku mendapatkan sebuah rumah kecil yang bisa kutempati dengan biaya yang sangat murah. Rumah kecil tepat di depan rumah sepasang mata yang penuh dengan teror itu. Pada malam ketiga setelah kedatanganku, aku bertemu dengannya. Tiga hari dan dua malam setelah kedatanganku kuhabiskan dengan menata dan membersihkan rumah yang kutinggali. Malamnya tentu saja aku sangat lalah dan kupakai untuk istirahat. Baru pada malam ketiga, aku keluar untuk bersilaturahmi dengan tetangga kiri-kanan. Tapi aku urung mengetuk pintu rumah di depan rumah yang kutinggal karena gelap tidak berlampu. Aku berpikir untuk mengunjunginya besok pagi saja. Dan kemudian aku menuju ke rumah kenalanku satu-satunya, lalu kami berdua pergi ke sebuah warung kopi yang cukup ramai. Di sana kenalanku bertambah banyak, apalagi setelah saling bersulang arak. Saat aku pulang, dengan kepala yang begitu berat, aku melihatnya. Saat itu, ketika aku hendak membuka pintu rumahku, aku merasa ada yang mengawasiku. Lalu aku menoleh ke belakang, namun tidak kudapati siapa pun. Gelap ada di mana-mana. Hanya beberapa kelip lampu yang menerobos dari dinding kayu tetangga kiri-kananku, dan lampu redup yang menyala di pagar rumah yang kutinggali. Dan, ketika aku hendak melangkah masuk, aku tetap merasa ada yang mengawasiku. Lalu kuputuskan untuk keluar lagi, dan kuedarkan pandangku sekalipun segalanya tampak lamur karena bersloki-sloki arak. Dan kudapati sepasang mata itu. Aku mendapatinya dari pendar lampu di dekat pagar rumahku. Awalnya aku tidak yakin bahwa itu sepasang mata. Tapi memang kutangkap bayang-bayang tubuh yang sedang berdiri di pintu rumahnya yang gelap. Dan kemudian baru kuyakini bahwa itu sepasang mata. Aku mencoba tersenyum dan ingin menghampirinya. Tapi entah kenapa, langkah kakiku seperti tertahan. Sepasang mata orang itu seperti menjelma menjadi tembok kokoh yang menahanku untuk maju mendekatinya. Sepasang mata seperti bolam susu yang kotor karena debu, sepasang mata yang usai dari badai, sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena. Aku hanya bisa membalikkan tubuh, menutup pintu. Senyum yang kulemparkan bukan hanya sia-sia, senyum yang kulemparkan balik dengan kekuatan ganda melabrakku penuh beda rasa. Aku pikir, aku bukan seorang penakut. Tapi begitu kututup pintu, menguncinya, aku merasa tatap mata orang itu masih terus lekat di tubuhku, seperti mengintaiku dari balik dinding-dinding kayu, dari lubang ventilasi, bahkan ketika aku mencoba tidur, aku merasa sepasang matanya terus menyorotku dari segala benda yang mencipta ruang-ruang gelapnya; dari lubang kunci, dari sela-sela buku, dari atap dan di bawah dipan yang kutiduri. Aku baru saja tidur ketika hari mulai pagi. Dan semenjak itu, aku hanya bisa tidur ketika sudah ada sinar matahari. Aku sudah mencobanya dengan mengganti bolam di kamarku dengan yang lebih terang, dan aku mencoba tidur dengan lampu yang menyala terang itu. Tapi sungguh sia-sia. Aku justru merasa seperti ada di sebuah akuarium, dan sepasang mata itu terus melihatku dengan begitu leluasa. Di siang hari, aku merasa tak ada gangguan dengan sepasang mata itu. Siang hari, ketika aku bangun dari tidur yang kumulai di pagi hari, aku bisa mendapati rumah di depan sebuah rumah yang biasa saja. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon buah- buahan. Di sampingnya agak jarak, aku melihat sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Di sekeliling kandang itu tumbuh subur pohon-pohon pisang dan sayur-sayur. Aku melihat laki- laki itu pulang pada senja hari dengan sekeranjang penuh rumput di atas kepalanya, cangkul dan sabit, juga lintingan rokok besar di tangannya. Tapi sepasang mata yang penuh teror itu selalu tak bisa terlihat. Aku pikir mungkin karena ada topi lusuh yang bertengger di kepalanya, juga keranjang penuh rumput yang di sana-sini rumputnya jatuh di kepala dan punggungnya. Tapi kemudian aku benar-benar menyerah. Dari berbagai arah, berkali-kali pada saat bertemu dengannya di siang hari, aku tetap tak bisa melihat sepasang matanya. Aku ingin menantang tatapan matanya di siang hari. Mata yang membuat malam-malamku menjadi resah dan menakutkan. Ia dan sepasang matanya berkuasa padaku di malam hari. Pernah pada niat yang begitu bulat, kukerahkan dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk menemaninya di malam hari. Tapi sekali lagi entah karena apa, aku hanya bisa sampai pada pagar hidup rumahnya. Rumah yang masih tetap gelap. Aku melewatinya berkali-kali dengan perasaan tak menentu. Akhirnya kuputuskan untuk menemui kenalan-kenalanku di warung kopi sambil minum arak, berusaha melupakan kebulatan tekatku yang tidak menghasilkan apa-apa. Dan peristiwa yang makin memojokkanku datang di malam itu. Aku merasa ingin kencing, lalu aku keluar dari warung menuju arah jalan yang agak sepi untuk kencing. Sebetulnya begitu keluar dari warung, aku merasa malam segera menyambutku dengan tusukan sepasang mata yang ada di mana-mana, ada di balik setiap gelap. Tapi aku mencoba tidak peduli, juga karena aku memang harus kencing. Namun tiba-tiba langkahku terhenti, di dekat sebuah satu tiang listrik, yang lampunya di sekitarnya menyala redup, aku melihat sosok itu. Dan aku menatap matanya dengan cukup jelas saat itu. Mata yang seperti selesai namun maih menyimpan sisa badai. Aku gemetar. Tubuhku dingin namun mengeluarkan keringat. Suaraku seperti hilang, dan aku seperti tak punya napas. Seluruh kulit di tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri. Aku hampir dihabisi oleh ketakutan yang terkutuk. Lalu kulihat kemudian ia pergi, melenggang dengan langkah-langkah pendek dan nyala api dari tangannya. Api lintingan rokok yang besar. Beberapa saat kemudian, aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Segera aku diburu oleh rasa marah yang sangat pada diriku, dan balik ke warung kopi, minum bersloki-sloki arak, lalu kupinjam parang dari pemilik warung. Beberapa orang agak heran, tapi kemudian aku bisa berdalih. Dengan tubuh yang menahan marah aku melangkah menuju rumahnya. Aku masukkan parang di balik jaketku, setelah aku sadar betapa memalukannya diriku. Apa salahnya padaku? Kenapa aku bisa begitu terganggu dan ketakutan? Tapi aku tetap melangkah menuju rumahnya. Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya, paling tidak berkenalan, dan aku ingin memastikan bahwa sepasang mata itu sesungguhnya tidak penuh dengan teror. Tapi jika kemudian memang marabahaya yang ditawarkannya, aku meraba gagang parang di balik jaketku, seperti meraba kemungkinanku untuk mempertahankan diri. Dan kudapati ia di depan pintu rumahnya, masih dengan nyala rokok yang jika dihisap menjadi bertambah nyalanya, dan sepasang matanya semakin terlihat mengerikan. Aku tetap hanya bisa tertegun di pagar hidup rumahnya. Kami berdua hanya dibatasi dengan pagar hidup pohon beluntas setinggi perutku , dan beberapa meter kemudian tubuhnya bersandar pada salah satu sisi pintu yang terbuka, seperti menungguku. Aku habis kata dan keberanian. Aku tetap mendapati sepasang matanya sebagai teror menakutkan. Sangat menakutkan. Aku berbalik arah, dan seiring dengan pengaruh arak yang merayap turun, aku semakin dirundung takut yang menyesakkan. Sampai pagi tiba. Sebulan sekali, aku ke kota untuk berkonsultasi dengan peneliti seniorku. Dan pada saat yang agak jauh dari kampung itu, dari sepasang mata itu, aku bisa berpikir dengan agak jernih. Itu sepasang mata orang yang telah mati, mata yang keruh. Tapi kenapa di tubuh yang tegap dan hidup bisa memiliki mata orang yang telah mati? Dan mengapa itu hanya terjadi di malam hari? Atau baiklah, aku tidak bisa mengatakan itu hanya terjadi di malam hari, sebab aku tidak pernah melihat matanya di siang hari. Tapi menurutku pertanyaan itu bisa kuganti dengan: mengapa aku merasa ada sepasang matanya yang menakutkan itu, hanya menerorku di malam hari? Mungkin banyak orang akan menjawab, mereka mengira aku takut hantu dan sejenisnya, yang selalu hadir di malam hari. Itulah masalahnya. Aku tidak pernah percaya hantu, dan malam hari bukan sesuatu yang selama ini menakutkan. Aku hanya takut pada dua hal selama ini: kecoa dan ulat bulu. Lalu sesungguhnya apa yang menakutkanku, sehingga aku harus tidak nyaman tidur, tidak leluasa berpergian ketika malam, dan beberapa kali gemetar tak karuan ketika bertatapan mata dengan bertemu dengan orang itu? Dan lalu muncul keinginan-keinginan untuk tahu siapa pemilik sepasang mata itu. Tapi setiap kali aku balik lagi ke kampung itu, segala keingintahuanku tiba-tiba lenyap, bahkan aku tidak ingin mengerti dan tahu apa-apa tentang orang tersebut. Tiba-tiba aku seperti berada dalam sebuah situasi dimana pemilik sepasang mata yang menerorku itu tidak pernah ada di kampung itu. Tidak pernah ada orang yang membicarakannya, menyebut namanya. Dan aku merasa bahwa memang sepasang mata yang seperti orang yang telah mati itu memang hanya untukku dan itu hanya ada di malam hari. Selalu saja, jika aku ada di kampung itu, aku selalu merasa seperti tidak perlu dan tidak butuh semacam latar belakang dan cerita tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin menambah derajat ketakutanku. Biarlah dia hadir dengan sorot matanya ketika malam. Toh aku tidak selamanya ada di sana. Tapi pada saat jauh dari kampung dan orang itu, selalu saja aku dirundung tanya dengan begitu saja. Umur laki-laki itu kira-kira seumur dengan pamanku, lima tahun lebih muda dari ayahku. Tubuhnya gempal berisi dengan kulit yang agak gelap terbakar matahari. Tidak pernah kulihat beralas kaki. Selalu melangkah dalam langkah-langkah pendek dan mantap. Benar-benar tubuh orang hidup. Tapi sepasang matanya…. Suatu saat, dalam sebuah perjalanan balik menuju ke kampung itu, aku berhenti di kota kecil. Dari kota itu ke kampung yang hendak kutuju masih berkisar satu setengah jam masuk ke dalam bebukitan penuh ladang naik angkutan yang sehari paling hanya ada tiga atau empat kali dalam sehari. Aku berhenti untuk berbelanja beberapa kebutuhanku yang lupa kubeli. Selesai berbelanja, sambil menunggu angkutan, aku masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Begitu masuk, entah mengapa, perhatianku langsung tertuju pada seseorang berbaju dan bercelana hitam, baju dan celana yang komprang dan warna hitamnya mulai pudar. Aku duduk di sampingnya. Kuperhatikan lagi orang di sampingku. Cukup tua. Kutangkap keriput di wajahnya. Hampir semua kumisnya berwarna putih. Ia memakai ikat kepala dari kain. Diam. Asyik dengan rokok dan secangkir kopinya yang hampir tandas. Ia menoleh padaku, melempar senyum. “Mau ke Dalam, Anak?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya, memberiku tempat agak leluasa. Aku mengangguk. ‘Dalam’ adalah istilah untuk menyebut daerah yang kutuju. Lalu aku memesan kopi dan makan. “Saya juga mau ke sana.” Aku merasa agak lega. Setidaknya aku merasa ada teman menuju satu tujuan. Sebab kadang-kadang memang tidak ada angkutan yang pasti ke sana. Aku berharap, dalam hari yang masih siang seperti itu, masih ada sisa angkutan ke Dalam. “Bapak berasal dari sana?” “Dulu. Tapi sudah lama saya keluar dari sana.” Aku meneruskan makan, dan berharap tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya enggan di jawab. Ia nampak masih asyik dengan kopi dan rokoknya. Sudah beberapa saat kami berdua menunggu. Tapi angkutan menuju Dalam tak juga muncul. Lalu kami putuskan untuk menunggu tepat di jalan menuju Dalam, siapa tahu ada mobil maupun truk yang lewat dan kami bisa numpang. Hari berangkat menuju sore. Di sebuah rumah-rumahan yang mungkin bekas warung makan sederhana, kami menunggu. Kami tidak banyak bercakap. Laki-laki itu lebih sering memunggungiku, menebarkan pandangnya ke lanskap, ke arah Dalam, yang dari jauh terlihat hanya sebagai bebukitan. “Waktu aku kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau.” Laki-laki itu berucap, tapi tidak seperti ditujukan padaku, sedangkan ia masih juga memunggungiku. “Bapak pernah tinggal di sana?” “Hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana. Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa, jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa yang baru, dan membawa pergi apa-apa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi.” Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, dan kulihat wajah yang mengeruh. Murung. “Mau tidak mau kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah, hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka. Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan. Mereka menjaga hutan seperti menjaga barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka mendiamkannya, bahkan ada yang diam-diam dari mereka sengaja melindungi dan membantu menjualnya.” Ia berhenti sejenak, melinting rokok dalam ukuran besar, mengingatkanku pada orang bermata teror. “Mereka bilang akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bolong. Diam-diam di antara mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat dan besar. Kami berubah dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orang- orang mereka. Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya, tapi mendapatkan hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena. Rumah-rumah kami digeledah, atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata dan menangkapi kami. Harus tetap ada yang dianggap mencuri, sekalipun hasil terbesarnya ada pada mereka sendiri.” Orang tua itu membalikkan tubuhnya lagi, memandang Dalam dari kejauhan. Senja mulai jatuh. “Sekarang, hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat, pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan, dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukit-bukit itu juga akan rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan batu.” Aku terperanjat seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu di daerah Dalam. Senja beranjak gelap. Orang tua itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba aku merasa gemetar. Aku mencari-cari sesuatu, dan pandangku berhenti pada sepasang matanya. Sepasang mata itu! *
""Sisa Badai di Sepasang Mata""

No dataset card yet

Downloads last month
8