input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 426 /KMK.06/2003
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI
DAN PERUSAHAAN REASURANSI
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan
nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh
terhadap ketentuan mengenai Perizinan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
223/KMK.017/1993 Tahun 1993;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001;
MEMUTUSKAN..
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
2
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi
atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.
2. Direksi adalah direksi untuk perseroan terbatas atau
persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan
usaha bersama.
persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan
usaha bersama.
4. Kantor Pemasaran adalah kantor selain kantor cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
1999.
5. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan-perusahaan
Asuransi Kerugian, Perusahaan-perusahaan Asuransi Jiwa,
atau Perusahaan-perusahaan Reasuransi.
BAB II.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INOONE
-3-
BAB II
IZIN USAHA
Bagian Pertama
Perusalaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional
Pasal 2
(1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal
sebagai berikut
a. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
Pemerintah Nomor .73 Tahun 1992 tentang
Renjdengaran Usaha Perasuransiat
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 1999; dan
b. dokumen pendukung lainnya yang meliputi
1) susunan organisasi dan kepengurusan, termasuk
uraian tugas dan wewenangnya;
2) neraca pembukaan, yang dilengkapi dengan bukti
terdiri dari proyeksi neraca, perhitungan laba rugi,
dan arus kas, yang didukung olch asumsi-asumsi
yang wajar untuk periode sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun mendatang
pengembangan sumber daya manusia untu.
Sekurang-kurangnya tiga tahun mendatang
4) daftar riwayat hidup Direksi, Komisaris dan tenaga
ahli yang dipekerjakan, yang dilengkapi dengan
bukti pendukungnya
5) pemyataan tidak merangkap bekerja pada
tenaga ahli;
6) Nomor ..
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan,
Direksi, dewan komisaris dan pemegang saham;
7) bukti pemenuhan modal disetor,
8) bukti penempatan deposito jaminan;
9) uraian tentang sistem administrasi dan sistem
pengolahan data yang digunakan;
10) alamat lengkap perusahaan; dan
11) pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber
dana yang dijadikan modal tidak berasal dari
Tindak Pidana Kejahatan Asal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
(2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh
pihak asing, selain harus memenuhi ketentuan ayat (1)
maka pihak asing dimaksud harus pula memenuhi
ketentuan
a. memiliki rating sekurang-kurangnya A atau yang
setara dengan itu dari lembaga pemeringkat yang
diakui secara internasional;
b. menuiliki modal sendiri sekurang-kurangnya 5 (lima)
kali dari besarnya penyertaan langsung pada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
akan didirikan;
c. menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit
tingkat keschatan keuangan yang sehat; dan
d. menyampaikan perjanjian kerjasama antara pihak
Indonesia, yang sekurang-kurangnya memuat
1) komposisi...
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
-5
dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
1999;
2) susunan anggota dewan komisaris dan Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan
3) kewajiban pihak asing untuk menyusun dan
melaksanakan program pendidikan dan pelatihan
sesuai bidang keahliannya.
Bagian Kedua
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan Prinsip Syariah
Pasal 3
Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
rcasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara
a. pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi dengan Prinsip Syariah,
b. konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip
konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip
prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi
dengan Pririsip Syariah;
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan
Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan
prinsip konvensional, atau konversi dari bonto
menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari
Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
Pasal 4
(1) Untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a,
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
(2) Konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis,
b. memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang
polis; dan
c. memindahkan portofolio pertanggungan ke
perusahaan asuransi konvensional lain atau
membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi
menjadi tertanggung atau pemegang polis dari
perusahaan asuransi dengan Prinsip Syarial.
(3) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1),
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula
menyampaikan:
a. bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan
memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau
ekonomi syariah;
b. bukti..
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
-7-
b. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang
penunjukkan anggota Dewan Pengawas Syariah
Perusahaan
c. bukti, pengesahan Dewan Pengawas Syariah
dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan
Asuransijiwa;
2) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan
proyeksi underwriting bagi Perusahaan Asuransi
Kerugian,
3) cara pemasaran;
4) rencana dukungan reasuransi otomatis bagi
Perusahaan Asuransi dan rencana dukungar
retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; dan
5) contoh polis, surat permohonan penutupan
asuransi (SPPA) dan brosur.
syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai
penempatan investasi baik batasan jenis maupun
jumlah;
. pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang
sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran
risiko; dan
bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) bagi konversi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b.
Bagian Ketiga
Pemberian atau Penolakan Permohonan Ilzin Usaha
Pasal 5...
End of Page 7
REPUBLIK INDONESIA
-8 -
Pasal 5
(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi
diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerj
sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus disertai dengan penjelasan secara tertulis.
Pasal 6
Perusahaan Asuransi -atau Perusahaan Reasuransi yang
ditolak atau yang membatalkan permohonan izin usalianya,
dapat mengajukan permohonan pencairan deposito jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan
Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
Pasal 7
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
pemberian izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi harus menyampaikan program dukungan
reasuransi otomatis.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Susunan Organisasi
Pasal 8
Susunan organisasi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi harus memenuhi persyaratan
a. sekurang-kurangnya ...
End of Page 8
REPUBLIK INDONESIA
-9 -
fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan
dan fungsi pelayanan, yang terpisah satu dengan yang
lainnya; dan
b. dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung
organisasi.
Bagian Kedua
Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham
Pasal 9
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota Direksi.
Pasal 10
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus
memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris independen,
dengan pemegang saham dan atau Direksi.
Pasal 11
(I) Setiap Direksi, Komisaris atau pemegang saham
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus
telah Julus pengujian penilaian kemampuan dan
kepatutan.
0 Dalamhalketentuan mengenai penuilalan ke
kepatutan bagi pemegang saham belum diberlakukan,
pemegang saham dianggap memenuhi ketentuan
yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang
tercela di bidang perbankan.
Bagian ....
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
- 10
Bagian Ketiga
Tenaga Ahli
Paragraf 1
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Kerugian
Pasal 12
(1) Perusahaan Asuransi Kerugian harus mmengangkat
seorang tenaga abli asuransi kerugian.
(2) Tenaga ahli asuransi kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut
kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi
Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar
negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan
dari AAMAI,
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan
risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi
profesinya; dan
4. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 13 '
(i) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib
melakukan evaluasi terhadap aspek teknis
penyelenggaraan usaha asuransi kerugian.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahii harus
berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi
yang berlaku.
Pasal 14 ..
End of Page 10
REPUBLIK INDONESIA
11
Pasal 14
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat
mempekerjakan tenaga underwriting yang telah mengikuti
pendidikan dan atau pelatihan mengenai cabang asuransi
yang dipasarkan.
Paragraf 2
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa
Pasal 15
(1) Perusahaan Asuransi jiwa harus mempekerjakan sekurang
jiwa.
(2) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia
(AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri
setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari
AAMAI
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan
zisiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun,
. tidak sedang dalam pengertaan sanksi dari asosiasi
profesinya; dan
d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi jiwa di Direktorat
Jenderal Lembaga Keuangan.
(3) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1),, wajib melakukan evaluasi
terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha asuransi
Pasal 16..
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
12
Pasal 16
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang
aktuaris sebagai aktuaris perusahaan.
(2) Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris dari Persatuan
Aktuaris Indonesia atau asosiasi sejenis dari luar
negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh dari
mendapat pengakuan dariRersatan
Aktuaris Indonesia;
s. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria
asuransi jiwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
mendapat rekomendast dari Persatuan Aktuaris
bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada
Perusahaan Asuransi Jiwa di Indonesia, bagi aktuaris
Selain anggota Persatuan Aktuaris Indonesia; dan
d. terdaftar sebagai aktuaris di Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan.
Pasal 17
(1) Aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal
16 ayat (1) wajib melakukan valuasi terhadap kewajiban
Perusahaan Asuransi Jiwa dan aspek teknis aktuaria
lainnya.
harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik
profesi yang berlaku.
Pasal 18 ..
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
- 13-
Pasal 18
Perusahaan Asuransi Jiwa wajib menunjuk Perusahaan
Konsultan Aktuaria yang tidak memiliki hubungan afiliasi
melakukan valuasi kewajiban perusahaan sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
Paragraf 3
Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi
Pasal 19
(1) Perusahaan Reasuransi harus mengangkat seorang tenaga
ahli asuransi kerugian.
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi
kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi
Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar
negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan
dari AAMAI,
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan
risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi
profesinya; dan
d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 20
(1) wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis
penyelenggaraan usaha reasuransi
(2) Dalam ..
End of Page 13
K INDONESIA
- 14 -
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus
berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi
yang berlaku
Paragraf 4
Tenaga Ahli atau Aktuaris Perusahaan
Pasal 21
melaporkan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris
perusahaan kepada Menteri, selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari sejak tanggal pengangkatan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya laporan pengangkatan tenaga ahli dan atau
aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1),
Menteri tidak memberikan tanggapan, maka proses
nkatan tenaga ahli dan atau aktars
perusahaan dimaksud dinyatakan telah dilakukan.
Pasal 22
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
memberhentikan tenaga ahli asuransi atau aktuaris
perusahaan yang melanggar peraturan perundangan di
bidang usaha perasuransian selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari sejak ditensukannya pelanggaran.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
memberhentikan tenaga alli asuransi atau aktuaris
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
tengangiat tenaga ahli asuransi ataltaktois
14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberhentian.
Paragtaf 5
Tenaga Ahli pada Kantor Cabang
Pasal 23 .
End of Page 14
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 23
(1) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi
wajib mengangkat seorang tenaga ajun ahli asuransi
kerugian pada setiap kantor cabang.
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen
asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen
Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis
dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh
pengakuan dari AAMAI,
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi
kerugian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi
profesi.
Pasal 24
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang
tenaga ajun ahli asuransi jiwa pada setiap kantor cabang -
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen
asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi
Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar
negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan
dari AAMAI:
b. meniliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi
jiwa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
protesi.
End of Page 15
WENTERI KEUANGAN
- 16 -
Paragraf 6
Pasal 25
Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib mendaftarkan
tertulis kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dengan
melampirkan:
a. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data
pendukungnya,
b. copy sertifikat gelar profesi; dan
keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesi.
Paragraf 7
dan Aktuaris
Pasal 26
Pendaftaran tenaga ahli asuransi dan aktuaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dapat dibatalkan apabila tenaga ahli
asuransi dan aktuaris dimaksud:
a. dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang
mengeluarkan gelar tersebut,
b. sedang dalam pengenaan sanksi oleh asosiasi profesi;
c. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-
undangan di bidang usaha perasuransian;
d. tidak lujus pengujian kemampuan dan kepatutan karena
faktor integritas, dalam hal tenaga ahli atau aktuaris
pernah mengikuti pengujian dimaksud.
Bagian Keempat
Sistem Administrasi dan Pengolahan Data
Pasal 27...
End of Page 16
REPUBLIK INDONESIA
- 17-
Pasal 27
Pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurang-kurangnya
didukung dengan :
a. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia;
p. sistem administrasi yang memenuhi fungsi pengendalian
intern; dan
c sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam pengambilan keputusan.
Bagian Kelima
Penggunaan Tenaga Asing
Pasal 28
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat
mempekerjakan tenaga asing sebagai tenaga ahli,
penasihat atau konsultan, atau sebagai tenaga eksekutif di
penyertaan langsung pihak asing, dengan ketentuan
tenaga asing dimaksud:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang
akan menjadi tanggung jawabnya; dan
b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang ketenagakerjaan.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
mempekerjakan tenaga asing sebagaimana dimaksuc
dalam ayat (1) wajib menyampaikan kepada Menteri :
a. program kerja tenaga asing tersebut sesuai dengan
tugasnya; dan
b. program pendidikan dan pelatihan di bidang
kepada karyawan dari Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang mempekerjakannya.
(3) Laporan ..
End of Page 17
REPUBLIK INDONESIA
-18 -
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk setiap
semester yang berakhir pada bulan Juni dan Desember
wajib disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya
pada akhir bulan berikutnya.
(4) Tenaga asing yang bekerja sebagai penasihat atau
konsultan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilarang menjalankan fungsi di luar fungsi penasihat atau
konsultan.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 29
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan
jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian
di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya.
penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk setiap periode satu tahun yang berakhir pada
tanggal 31 Desember, dilaporkan kepada Menteri
selambat-lambatnya pada tanggal 31 Januari tahun
berikutnya.
Bagian Ketujuh
Keanggotaan Asosiasi
Pasal 30
(1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
(2) Asosiasi...
End of Page 18
MENTERI KEUANGAN
- 19
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai tugas antara lain :
. menyusun standar praktek dan kode etik pemasaran
produk asuransi dalam rangka memelihara
terciptanya persaingan pasar yang sehat;
b. mengkoordinir pelaksanaan pembentukan profil
risiko, tabel mortalita, dan produk semacamnya;
. mengkoordinir upaya untuk mengoptimalka
kapasitas retensi asuransi nasional;
. mengkoordinir upaya bersama atau pembentukan
perusahaan asuransi untuk menutup risiko khusus,
e. melaksanakan pendidikan dan pelatihan keagenan
dan
f. melaksanakan dan menetapkan sertifikasi keagenan.
(3) Pelaksanaan kegiatan Asosiasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dikonsultasikan secara berkala kepada
Menteri
BAB IV
KANTOR CABANG DAN KANTOR PEMASARAN
Bagian Pertama
Perusahaan Reasuransi Konvensional
Pasal 31
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat
membuka kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999, dengan ketentuan:
a. memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas untuk 4
(empat) triwulan terakhir,
b. memiliki .
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
20
b. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam
secara penuh pada kantor cabang yang bersangkutan;
dan
tidak sedang dalam pengenaan sanksi administratif.
(2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi
ketentuan ayat (1) dan mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Menteri dengan melampirkan :
a. uraian tentang sistem administrasi dan sistem
pengelolaan data yang memenuhi fungsi
pengendalian intern berkenaan dengan kegiatan
kantor cabang
b. uraian tentang rincian kewenangan pimpinan cabang
dalam penutupan asuransi, penetapan . premi,
penetapan besarnya komisi dan penyelesaian klaim,
c. identitas pimpinan kantor cabang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b yang
akan dipekerjakan pada kantor cabang dimaksud,
berikut bukti kualifikasi keahliannya dan daftar
riwayat hidup dengan bukti pendukungnya;
e. alamat lengkap kantor cabang; dan
f. proyeksi keuangan kantor cabang yang meliputi
proyeksi pendapatan & biaya serta arus kas, untuk
Sekurang-kurangnya 3 tahun mendatang.
Bagian Kedua
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional
End of Page 20
MENTERI KEUANGAN
21
Pasal 32
(1) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
maksud dan tujuan perusahaan hanya menjalankan
usaha asuransi kerugian, asuransi jiwa, atau usaha
reasuransi termasuk usaha dengan Prinsip Syariah;
b. memiliki modal kerja kantor cabang paling sedikit
Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah); dan
c. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2), yang memiliki
keallian di bidang asuransi dan atau ekonomi
syariah.
(2) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1),
permohonan pembukaan kantor cabang dengan Prinsip
Syariah harus pula dilengkapi dengan buktit
a. pengesahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c yang
dilengkapi dengan bukti kualifikasi, daftar riwayat
hidup termasuk bukti pendukungnya;
c. pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang
penunjukkan anggota Dewan Pengawas Syariah
d. pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan
atas:
1) sumber modal kerja kantor cabang
2) sistem akuntansi yang terpisah/tersendiri
khusus untuk cabang dengan Prinsip Syariah
4) dasar .
End of Page 21
MENTERI KEUANGAN
- 22 -
4) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi
dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan
Asuransi jiwa,
5) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi
dan proyeksi underoriting bagi perusahaan
asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi;
6) cara pemasaran
7) rencana' dukungan reasuransi otomatis bagi
retrosesi bagi perusahaan reasuransi; dan
8) contoh polis, surat permohonan penutupan
asuransi (SPPA) dan brosur.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah
Pasal 33
Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) huruf c.
Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Pemasaran
Pasal 34
Pembukaan Kantor Pemasaran harus terlebih dahulu
dilaporkan secara tertulis kepada Menteri selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pembukaan kantor
pimpinan kantor tersebut.
Pasal 35..
End of Page 22
REPUBUK INDONESIA
- 23
Pasal 35
(1) Kantor Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
pelayanan informasi kepada masyarakat pemegang polis
atau tertanggunig
(2) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang
a. menerima atau menolak penutupan asuiransi;
b. menandatangani polis; dan
c. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim.
Bagian Kelima
Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Pemasaran
Pasal 36
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan
dan atau Kantor Pemasaran harus melaporkan teriebih dahulu
kepada Menteri selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima
belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian atau penutupan
kantor dimaksud.
Pasal 37
Pencabutan izin pembukaan suatu kantor cabang akan
dilakukan dalam hal
a adanya laporan penghentian atau penutupat
cabang tersebut oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1);
b. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan
operasional dalam waktu tiga bulan sejak tanggal
penetapan izin pembukaan; dan atau
c. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan
operasional dalam waktu enam bulan secara terus
menerus.
BAB V..
End of Page 23
REPUBLIK INDONESIA
24
BAB V
PEMASARAN MELALUIJASA AGEN DAN MELALUI
KERJASAMA DENGAN PIHAK BANK
Bagian Pertama
Pemasaran Melalui Jasa Agen
Pasal 38
(1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan
dengan agen asuransi yang memasarkan produk
asuransinya.
masih terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan
Asuransi lain kecuali agen yang bersangkutan telah
mengakhiri perjanjian keagenannya sekurang-kurangnya
6 (enam) bulan.
(3) Dalan hal Perusahaan Asuransi menggunakan jasa
pemasaran selain agen asuransi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka Perusahaan Asuransi tersebut
bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi yang
timbul dari penutupan asuransi dimaksud.
Bagian Kedua
Pemasaran Melalui Kerjasama dengan Bank
Pasal 39
(1) Perusahaan Asuransi dapat melakukan pemasaran
melalui kerjasama dengan bank (bancassurance).
(2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran
dalam ayat (1) bertanggung jawab atas semua tindakan
bank yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang
Pasal 40...
End of Page 24
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
Pasal 40
(I) Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran
melalui kerjasama dengan bank harus memperoleh
persetujuan Menteri
() Uhtik memperoleh persetujuan Me
Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui
kerjasama dengan bank harus mengajukan permohonan
kepada Menteri dengan menyampaikan :
a. produk yang akan dipasarkan;
b. prosedur penutupan dan pembayaran premi;
c. prosedur penyelesaian klaim,; dan
Kansep perjanjian kerja sama dengan bank yang telah
diparaf oleh para pihak.
(3) Petugas bank yang akan melakukan pemasaran produk
asuransi harus memenuhi ketentuan sebagai berikut
a. memiliki sertifikasi keagenan asuransi yang
dikeluarkan oleh asosiasi terkait; dan
. telah memperoleh pelatihan mengenai produk
asuransiyang akan dipasarkan.
(4) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib menyampaikan perjanjian kerjasama dengan
pihak bank yang telah ditandatangani, paling lambat 14
(empat belas) hari sejak memperoleh persetujuan Menteri.
BAB VI
LAPORAN PERUBAHAN
Pasal 41
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
menyampaikan laporan mengenai setiap perubahan :
a. alamat kantor perusahaan baik kantor pusat, kantor
cabang maupun Kantor Pemasaran,
b. tenaga .
End of Page 25
MENTERI KEUANGAN
- 26-
b. tenaga ahli;
penggunaan tenaga asing
susunan organisasi;
e. pemimpin kantor cabang maupun Kantor Pemasaran
f. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
8. produk asuransi yang dipasarkan.
(2) Perubahan alamat kantor cabang atau selain kantor
cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dimungkinkan:
a. bagi perubahan alamat di dalam wilayah Kotamadya
yang sama atau Kabupaten yang sama:
b. bagi perubahan alamat antar wilayah Kotamadya pada
Ibukota Propinsi;
c. bagi perubahan alamat dari kabupaten ke kotamadya
yang merupakan pengembangan wilayah kabupaten
dimaksud, atau sebaliknya.
Pasal 42
(I) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
melakukan perubahan anggaran dasar harus
menyampaikan bukti persetujuan dari instansi yang
berwenang kepada Menteri, selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja sejak tanggal diperoleh
(2) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan
perubahan yang sudah dimuat dalam akta notaris
disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 14
Pasal 43..
End of Page 26
REPUBLK INDONESIA
27-
Pasal 43
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
akan melakukan 'perubahan kepemilikan, harus terlebih
tersebut kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) merupakan perubahan kepemilikan yang
asing di dalam perusahaan asuransi atau perusahaan
reasuransi tersebut, maka pihak asing dimaksud harus
Perusahaan Asuransi sejenis atau perusahaan induk
(holding company) yang sebagian besar portofolic anak
perusahaannya di bidang asuransi.
(3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (2).
(4) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf b, c, dan
d.
BAB VII
MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI
Bagian Pertama
Pasal 44
(I) Merger dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau
lebih porusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
perusahaan dengan atau tanpa melikuidasi perusahaan
lainnya.
(2) Konsolidasi .
End of Page 27
MENTERI KEUANGAN
REPUBLK INDONESIA
28
(2) Konsolidasi dapat dilakukan Perusalaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dengan melebur dua atau lebih
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan
cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi
perusahaan yang dilebur.
(3) Merger dan konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan
memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan
Pamemtah Nomor 73 Tahi 1007
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
1999.
Pasal 45
(1) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
1999, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan
melampirkan bukti sebagai berikut ;
a. Perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai
pengalihan semua hak dan kewajiban dari perusahaan-
perusahaan yang akan melakukan merger atau
konsolidasi dengan tidak mengurangi hak tertanggung
b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
perusahaan-perusahaan yang akan melakukan merger
atau konsolidasi;
. laporan keuangan proforma dari perusahaan hasil
merger atau konsolidasi yang memenuhi ketentuan
mengenai tingkat solvabilitas; dan
d. rancangan perubahan anggaran dasar.
(2) Perjanjan ..
End of Page 28
MENTERI KEUANGAN
29 -
(2) Perjanjian pengalihan hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, antara lain harus
mencantumkan bahwa hak dan kewajiban yang timbul
oleh perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi,
wpeusahan baru hasi meg
atau konsolidasi.
Pasal 46
(1) Perusahaan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, wajib
melaporkan hasil pelaksanaan merger atau konsolidasi
melaporkan hasil pelaksanaan merger
kepada Menteri dengan melampirkan
a. anggaran dasar perusahaan yang telah disahkan oleh
instansiyang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan perusahaan,
. surat pengangkatani tenaga ahli;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan,
Direksi, dewan komisaris dan pemegang saham; dan
e. alamat lengkap perusahaan.
ayat (i) harus disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan atau
pengesahah anggaran dasar perusahaan dari instansi yang
berwenang.
(3) Setelah mendapatkan laporan hasil merger atau
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Menteri mencabut izin usaha yang sudah tidak
digunakan lagi oleh perusahaan yang melakukan merger,
konsolidasi dan menerbitkan izin usaha perusahaan hasil
End of Page 29
MENTERI KEUANGAN
30
Akuisisi
Pasal 47
(1) Akuisisi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dengan mengambil-alih seluruh
atau sebagian besar saham perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi lain sehingga mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut.
(2) Untuk melaksanakan akuisisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), perusahaan asuransi atau perusahaan
reasuransi harus memperoleh persetujuan dari Menteri.
(3) Pelaksanaan akuisisi terhadap perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai
berikut .
a. perusahaan yang melakukan akuisisi adalah
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
sejenis;
b. pelaksanaan akuisisi tersebut tidak mengakibatkan
berkurangnya hak tertanggung,; dan
pelaksanaan akuisisi tersebut harus memperhatikan
diperkenankan dalam bentuk investasi sehingga tidak
mengakibatkan perusahaan yang melakukan akuisisi
menjadi tidak memenuhi ketentuan tentang tingkat
solvabilitas.
(4) Untuk memperoleh persetujuan melakukan akuisisi,
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus
permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan
melampirkan bukti sebagai berikut :
a. perjanjian.
End of Page 30
WENTERI KEUANGA
REPUBLIK INDONESIA
-31 -
pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan yang
akan diakuisisi kepada perusahaan yang akan
mengakuisisi, dengan tidak mengurangi hak
tertanggung
b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
perusahaan yang akan diakuisisi dan yang akan
mengakuisisi;
c. laporan keuangan proforma dari perusahaan setelah
pelaksanaan akuisisi, yang memenuhi ketentuan
mengenai tingkat solvabilitas; dan
d. rancangan perubahan anggaran dasar dari perusahaan
yang diakuisisi.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 48
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang
melakukan penutupan pertanggungan melalui jasa
keperantaraan perusahaan pialang asuransi atau pialang
reasuransi yang tidak memiliki izin usaha dari Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
(I) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib
melakukan penyesuaian terhadap. ketentuan-ketentuan
dalam Keputusan Menteri Keuangan ini paling lambat 1
(satu) tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini
ditetapkan.
(2) Setiap .
End of Page 31
MENTERI KEUANGAN
32
(2) Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling
lambat 6 (enam) bulan sejak Keputusan Menteri
Keuangan ini ditetapkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993
tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusai Menteri Keuangan ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,-
KEPALA BIRO UMUM
KEPALA BIRO UMUM BOEDIONO
KEPALA BAGIANEPARTN
KOEMORO WARSITO, S.H.
NIP 060041898
End of Page 32
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 30 September 2003 </set_date>
<effective_date> 30 September 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '223/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '73/PP/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001', '2/UU/1992' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 423/KMK.06/2003
TENTANG
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap para
pemegang polis pada perusahaan perasuransian, perlu
dilakukan pembinaan dan pengawasan yang lebih berdaya guna
dan berhasil guna;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap perusahaan
perasuransian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf
Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13 dan
Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 1
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor : 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
63 Talun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 118 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun
2001,
MEMUTUSKAN.
End of Page 1
E KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan iniyang dimaksud dengan
1. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Perasuransian
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Usaha
Perasuransian.
2. Pemeriksa adalah pegawai Direktorat Asuransi atau pihak lain
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
3. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencari, mengolah, . dan mengevaluasi data dan informasi
mengenai kegiatan usaha Perasuransian, yang bertujuan untuk
kepatuhan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang Usaha Perasuransian serta memastikan
bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan perusahaan yang
sebenarnya.
4. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh
Direktur Asuransi atas nama Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk
melakukan Pemeriksaan.
5. Surat . Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Direktur Asuransi atas nama Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan yang disampaikan kepada Perusahaan
Perasuransian yang akan diperiksa.
6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-3 -
BAB II
FUNGSI, DASAR DAN RENCANA PEMERIKSAAN
Pasal 2
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan,
Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dilakukan oleh
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 3
(1) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun atau setiap waktu bila
diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat tengkap yang meliputi kebenaran aspek substansi
keatuhan terhadap peraturan penunang
manajemen.
(3) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dimaksud dalam Pasal 4 dan disesuaikan dengan skala
prioritas dari jenis usaha perasuransian yang ditetapkan oleh
Direktur Asuransi.
(4) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah bersifat khusus dan dilakukan apabila:
a berlisarkan basilanalisis atas laporan pen
perasuransian, patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan usaha perasuransian dimaksud menyimpang dari
ketentuan Undang-undang tentang Usaha Perasuransian
dan , peraturan pelaksanaannya, sehingga dapa
membahayakan kepentingan para pemegang polis,
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau
surat pengaduan yang diterima oleh Direktorat Asuransi,
perasuransian...
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
perasuransian dimaksud menyimpang dari Undang-
undang tentang Usaha Perasuransian dan peraturan
pelaksanaannya sehingga dapat membahayakan
kepentingan para pemegang polis,
. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan
pemeriksaan termasuk dalam hal terjadi merger, akuisisi
atau pengalihan portofolio pertanggungan.
Pasal 4
(1) Tiga bulan sebelum berakhirnya tahun takwin Direktur
Asuransi wajib menyampaikan Rencana Pemeriksaan untuk 1
(satu) tahun takwin berikutnya kepada Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan.
(2) Setiap 6 (enam) bulan sekali Direktur Asuransi melaporkan
hasil pelaksanaan pemeriksaan kepada Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan sesudah
pelaksanaan pemeriksaan.
(3) Setiap tahun Direktur Jenderal Lembaga Keuangan melaporkan
pelaksanaan pemeriksaan kepada Menteri paling lambat 2
(dua) bulan sesudah tahun takwin berakhir.
4) Laporan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan (3) berisi sekurang-kurangnya
a. rencana pemeriksaan,
b. pelaksanaan dari rencana pemeriksaan;
c. temuan dari hasil pemeriksaan;
d. hambatan pemeriksaan; dan
e. usulan pemecahan masalah..
BAB III
TATA CARA PEMERIKSAAN
Pasal 5
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
(2) Sebelum..
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
.5
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Perusahaan
Perasuransian.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
Pemberitahuan Pemeriksaan apabila diduga bahwa
penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan akan dapat
memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan
keadaan yang sebenarnya atau , tindakan untuk
menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang
diperiukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan.
Pasal 6
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
(2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (i)
meliputi sekurang-kurangnya
a. Penentuan obyek pemeriksaan;
b. Prosedur dan program pemeriksaan;
c. Penyusunan kertas kerja pemeriksaan
d. Pelaporan penieriksaan;
e. Tindak lanjut pemeriksaan; dan
f Pengawasan pemeriksaan.
BAB IV
TAHAPAN PEMERIKSAAN
Pasal7
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan Pemeriksaan;
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
End of Page 5
REPUBLIK INDONESIA
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a harus dibuat berdasarkan hasil analisis laporan
periodik dan data lain yang mendukung.
(3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b dilakukan di kantor perusahaan perasuransian yang
diperiksa, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan
konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf c harus disusun segera setelah pelaksanaan
Pemeriksaan selesai dan harus berdasarkan atas data atau
keterangan yang diperolceh selama proses pemeriksaan
berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan.
Pasal 8
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan di kantor perusahaan
perasuransian, Pemeriksa wajib menunjukkan Surat Perintah
Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (4), Pemeriksa wajib menunjukkan Surat
Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
(3) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan dalam
ayat (1) dan atau ayat (2), perusahaan yang akan diperiksa
wajib menolak dilakukan Pemeriksaan.
(4) Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2), Pemeriksa berhak:
. memeriksa dan atau meminjam buku-buku, catatan-catatan,
dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk keluaran
(oniput) dari pengolahan data atau media komputer dan
perangkat elektronik pengolah data lainnya;
. mendapatkan keterangan lisan dan atau tertulis dari
Perusalaan Perasuransian yang diperiksa.
tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang yang
Perasuransian yang diperiksa;
d. mendapatkan..
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
7-
d. mendapatkan kelerangan dan atau data yang diperlukan
dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan
dari pihak ketiga yang mempunyai he
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
5) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan atau keterangan yang
diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak
berhak.
Pasal 9
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak
dan atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Perusahaan Perasuransian
yang diperiksa berkewajiban untuk:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan
dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal penyampaian surat
permintaan;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis
dan atau lisan,
c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dipandang perlu;
d. memberikan keterangan dan atau data yang diperlukan
dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
(3) Perusahaan Perasuransian dianggap menghambat kelancaran
proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) atau meminjamkan
buku, memberikan catatan, dokumen atau keterangan yang
(4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka
Perusahaan Perasuransian wajib menandatangani Berita Acara
Pasal 10..
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
DEDUBLIKINDONESIA
Pasal 10
(1) Setelah berakhir pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pemeriksa wajib
menyusun laporan hasil Pemeriksaan.
2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri dari
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara,
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Direktur
Asuransi.
BAB V
PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
Pasal 11
(1) Direktur Asuransi menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
sementara kepada Pengurus atau Direksi Perusahaan
Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirya pelaksanaan Pemeriksaan.
(2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan
tanggapan atas, laporan hasil Pemeriksaan sementara
Asuransi paling lama 15 (lima belas) hari setelah diterimanya
laporan hasil Pemeriksaan sementara.
disampaikan kepada Direktur Asuransi dan disertai alasannya.
dianikan pembahasan dalam jangka waktt pa
(sepuluh) hari sejak diterimanya surat tanggapan dari
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
(5) Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak
mengajukan tanggapan atau berdasarkan hasil pembahasan
atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara, maka
Direktur.
End of Page 8
NENTERI KEUANGH
REPUBLIK INDONESIA
9-
Direktur Asuransi menetapkan laporan hasil Pemeriksaan
sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final.
(6) Direktur Asuransi menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
final sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada Pengurus
atau Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa.
BAB VI
SANKSI
Pasal 12
Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dan atau
menghambat kelancaran proses pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Menteri mengenakan sanksi administratif
sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 13
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN.
Salinan sesuai dengan aslinya
Salinan sesuai dengan aslinya ttd.-
KEPALA BIRO UMUM
BOEDIONO
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMI
KOEMORO VRKSITO. SH
NIP 060041898
End of Page 9
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 423/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 30 September 2003 </set_date>
<effective_date> 30 September 2003 </effective_date>
<related_reg> '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
KMK Nomor 344 Tahun 1998 Tentang Perubahan KMK Nomor 227 Tahun 1993
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 344/KMK.017/1998
TENTANG
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN
PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA, PENYESUAIAN YAYASAN DANA
PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja,
penyesuaian Yayasan Dana Pensiun dan pengesahan atas perubahan Peraturan
Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja telah diatur bentuk dan susunan
formulir permohonan;
b. bahwa sesuai dengan perkembangan keadaan, dipandang perlu untuk mengubah
bentuk dan susunan formulir permohonan tersebut dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja
(Lembatan Negara Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3507);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang
Kedudukan, Tugas, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN
PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA,
PENYESUAIAN YAYASAN DANA PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS
PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN
PEMBERI KERJA.
Pasal I
Mengubah Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 227/KMK.017/1993,
sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 2
Untuk mendapat pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau penyesuaian Yayasan
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pendiri mengajukan permohonan kepada
Menteri Keuangan sesuai dengan contoh Formulir A lampiran Keputusan ini.”
Pasal II
Mengubah contoh Formulir A dan contoh Formulir B lampiran Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor : 227/KMK.017/1993 sehingga berbunyi sebagaimana contoh Formulir
A dan contoh Formulir B lampiran Keputusan ini.
Pasal III
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
KMK Nomor 344 Tahun 1998 Tentang Perubahan KMK Nomor 227 Tahun 1993
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 1998
MENTERI KEUANGAN
ttd
BAMBANG SUBIANTO
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 344/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA, PENYESUAIAN YAYASAN DANA PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title>
<set_date> 13 Juli 1998 </set_date>
<effective_date> 13 Juli 1998 </effective_date>
<changed_reg> '227/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </changed_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '61/KEPPRES/1998', '122/M|KEPPRES/1998' </related_reg>
|
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 512 /KMK.06/2002
TENTANG
PEMERIKSAAN LANGSUNG DANA PENSIUN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Dana Pensiun yang
berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan
oleh Menteri Keuangan;
b. bahwa pemeriksaan langsung terhadap Dana Pensiun merupakan salah satu
alat pembinaan dan pengawasan Dana Pensiun;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pemeriksaan terhadap Dana
Pensiun, maka ketentuan mengenai pemeriksaan terhadap Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
40/KMK.017/1997 perlu disempurnakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b
dan c, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemeriksaan
Langsung Dana Pensiun;
Mengingat 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
3 . Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508);
4. Keputusan Presiden Nomor 998/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN: ...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN
LANGSUNG DANA PENSIUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan,
mengolah, dan mengevaluasi data dan atau keterangan mengenai Dana
Pensiun yang dilakukan di kantor Dana Pensiun dan di tempat lain yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Dana Pensiun.
2. Pemeriksa adalah pegawai Direktorat Dana Pensiun yang memenuhi
persyaratan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung.
BAB II
DASAR PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 2
(1) Pemeriksaan Langsung dilakukan atas dasar pertimbangan risiko pada Dana
Pensiun yang ditetapkan berdasarkan :
a. analisis laporan periodik Dana Pensiun yang mengindikasikan adanya
penyimpangan penyelenggaraan program
pensiun dari ketentuan
perundang-undangan di bidang Dana Pensiun atau Dana Pensiun
dikelola secara tidak efisien;
b. penelitian atas pengaduan atau informasi yang diterima dari sumber
yang dapat dipercaya yang menimbulkan dugaan bahwa
penyelenggaraan program
pensiun menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan di bidang Dana Pensiun atau Dana Pensiun
dikelola secara tidak efisien; dan atau
c. alasan ...
- 3 -
c. alasan khusus, termasuk dalam hal terjadi pembubaran, penggabungan
atau pemisahan Dana Pensiun.
(2) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam rencana Pemeriksaan Langsung oleh Direktur Dana Pensiun.
(3) Dalam hal terdapat Dana Pensiun yang harus diprioritaskan untuk diperiksa,
Direktur Dana Pensiun dapat memerintahkan Pemeriksaan Langsung selain
Pemeriksaan Langsung sebagaiinana dimaksud dalam ayat (2).
BAB III
TUJUAN PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal3
Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk,
tetapi tidak terbatas pada :
a. memperoleh keyakinan yang memadai atas tingkat risiko kesesuaian
penyelenggaraan Dana Pensiun terhadap Undangundang Dana Pensiun dan
peraturan pelaksanaannya;
b. memperoleh keyakinan yang memadai atas tingkat risiko kegiatan Dana
Pensiun selain tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam butir a; dan atau
c. memperoleh keyakinan yang memadai tentang kinerja kegiatan Dana
Pensiun.
BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 4
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalani Pasal 2 ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemeriksa.
(2)
Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) melaksanakan
Pemeriksaan Langsung berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Langsung
dari Direktur Dana Pensiun.
Pasal 5 ...
- 4 -
Pasal 5
(1) Sebelum Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilaksanakan, Direktur Dana Pensiun terlebih dahulu mengirimkan
pemberitahuan tertulis kepada Dana Pensiun yang akan diperiksa mengenai
Pemeriksaan Langsung dimaksud.
(2) Pemeriksaan Langsung dapat dilaksanakan tanpa pemberitahuan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila ada dugaan bahwa
pemberitahuan tersebut akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk
mengaburkan keadaan yang sebenarnya sehingga Pemeriksaan Langsung
yang dilaksanakan tidak mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. nomor dan tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Langsung;
b. nama Pemeriksa;
c. tujuan Pemeriksaan Langsung;
d. jangka waktu Pemeriksaan Langsung; dan
e. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan Langsung.
Pasal 6
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan
berdasarkan Standar Pemeriksaan Langsung.
(2) Standar Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas :
a. Pedoman Manajemen Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal lembaga Keuangan; dan
b. Pedoman Operasional Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun yang
ditetapkan oleh Direktur Dana Pensiun.
Pasal 7 ...
- 5 -
Pasal 7
(1) Dana Pensiun yang diperiksa berhak meminta Pemeriksa untuk
menunjukkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
Langsung.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat menunjukkan Tanda Pengenal Pemeriksa
atau Surat Perintah Pemeriksaan Langsung, Dana Pensiun berhak menolak
dilakukannya Pemeriksaan Langsung.
Pasal 8
(1) Setiap pihak dilarang menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung.
(2) Dalam rangka pencocokan, klarifikasi, atau konfirmasi data dan atau
informasi selama Pemeriksaan Langsung berlangsung, Pengurus wajib
membantu Pemeriksa untuk memperoleh data atau informasi dari akuntan
publik, penerima titipan, aktuaris, atau pihak lain yang terkait dengan
kegiatan Dana Pensiun.
(3) Dalam rangka lebih memperoleh keyakinan pencocokan, klarifikasi, atau
konfirmasi data dan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Pengurus wajib memberikan ijin kepada Pemeriksa untuk memperoleh
langsung data dan atau informasi dari akuntan publik, penerima titipan,
aktuaris, atau pihak lain yang terkait dengan kegiatan Dana Pensiun.
(4) Setiap pihak dianggap menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung
apabila paling sedikit melakukan salah satu tindakan tersebut di bawah irii :
a. tidak memperlihatkan dan atau meminjamkan buku, catatan, laporan,
serta dokumen yang diperlukan dengan segera dalam batas waktu yang
wajar;
b. tidak bersedia untuk memberikan konfirmasi atau klarifikasi dalam
batas waktu yang ditetapkan oleh Pemeriksa;
c. tidak ...
- 6 -
c. tidak memberikan informasi yang diperlukan;
d. memperlihatkan, meminjamkan, atau memberikan data atau informasi
palsu atau yang dipalsukan; dan atau
e. tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
atau ayat (3).
Pasal 9
(1) Setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung, Pemeriksa dan Pengurus wajib
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Langsung.
(2) Dalam hal Pengurus menolak menandatangani Berita Acara Pemeriksaan
Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemeriksa dan Pengurus
wajib menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita
Acara Pemeriksaan Langsung.
(3) Dalam hal Pengurus menolak menandatangani Berita Acara Penolakan
Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Pemeriksa wajib membuat Surat Pernyataan
mengenai penolakan Pengurus dimaksud.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 10
(1) Setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung, Pemeriksa wajib menyusun
Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara.
(2) Direktur Dana Pensiun menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan
Langsung Sementara kepada Pendiri dan Pengurus paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung.
Pasal 11 ...
- 7 -
Pasal 11
(1) Pendiri atau Pengurus dapat mengajukan permohonan pembahasan atas
Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara kepada Direktur Dana
Pensiun.
(2) Pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara, hanya
dapat dilakukan apabila permohonan pembahasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sudah diterima oleh Direktur Dana Pensiun paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat pengantar pengiriman Laporan
Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di kantor
Direktorat Dana Pensiun dan dipimpin oleh Direktur Dana Pensiun, dan
hasilnya ditetapkan dalam Berita Acara Pembahasan atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Langsung Sementara.
(4) Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara dan Berita Acara
Pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara
digunakan sebagai dasar penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung.
Pasal 12
Direktur Dana Pensiun menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) kepada Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan, Pendiri, dan Pengurus paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung
Sementara, atau setelah berakhirnya batas waktu pengajuan permohonan
pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
BAB VI...
- 8 -
BAB VI
PENGAJUAN KEBERATAN
ATAS LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 13
(1) Pendiri dan Pengurus dapat mengajukan keberatan atas Laporan Hasil
Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 kepada
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal surat pengantar pengiriman
Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dijadikan bahan
pertimbangan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dalam mengambil
kebijaksanaan yang menyangkut Dana Pensiun yang bersangkutan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 14
(1) Dalam hal Pengurus :
a. menolak dilakukannya Pemeriksaan, kecuali untuk penolakan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2); dan atau
b. menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat (4);
Pendiri wajib mengganti Pengurus.
(2) Pengenaan sanksi bagi Pendiri untuk mengganti Pengurus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan.
BAB VIII
- 9 -
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 15
Pada saat mulai berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 40/KMK.017/1997 tentang Pemeriksaan Dana Pensiun
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BOEDIONO
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 512/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2002 </set_date>
<effective_date> 4 Desember 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '40/KMK.017/1997|KEP-MENKEU/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '11/UU/1992', '998/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 646/KMK.010/1995
TENTANG
PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA
OLEH PEMODAL ASING
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
Mengingat
:
:
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
dipandang perlu untuk mengatur pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana oleh
Pemodal Asing dengan Keputusan Menteri Keuangan;
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617);
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di
Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMILIKAN SAHAM ATAU
UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing.
2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Pasal 2
Saham atau unit penyertaan Reksa Dana dapat dimiliki oleh Pemodal Asing atau Pemodal Dalam Negeri, baik
sebagian maupun seluruhnya.
Pasal 3
Manajer Investasi Reksa Dana wajib melaporkan komposisi pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana
kepada Bapepam.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI KEUANGAN,
MAR’IE MUHAMMAD
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 646/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995 </reg_id>
<reg_title> PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING </reg_title>
<set_date> 30 Desember 1995 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
|
No.: 645/KMK.010/1995
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 645/KMK.010/1995
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 1548/KMK.013/1990 TENTANG PASAR MODAL
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 284/KMK.010/1995
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan
untuk mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990
tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 284/KMK.010/1995;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 87,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENCABUTAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1548/KMK.013/1990
TENTANG PASAR MODAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
284/KMK.010/1995.
Pasal 1
Mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 tentang Pasar Modal
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 284/KMK.010/1995.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI KEUANGAN,
MAR’IE MUHAMMAD
III- 1
No.: 646/KMK.010/1995
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 646/KMK.010/1995
TENTANG
PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA
OLEH PEMODAL ASING
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengatur pemilikan saham atau unit
penyertaan Reksa Dana oleh Pemodal Asing dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMILIKAN SAHAM
ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing.
2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia.
Pasal 2
Saham atau unit penyertaan Reksa Dana dapat dimiliki oleh Pemodal Asing atau Pemodal Dalam
Negeri, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pasal 3
Manajer Investasi Reksa Dana wajib melaporkan komposisi pemilikan saham atau unit penyertaan
Reksa Dana kepada Bapepam.
III- 1
No.: 646/KMK.010/1995
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Desember 1995
MENTERI KEUANGAN,
MAR’IE MUHAMMAD
III- 2
No.: 455/KMK.01/1997
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 455/KMK.01/1997
TENTANG
PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal dan sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden dalam Sidang
kabinet Terbatas bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September
1997, maka dipandang perlu untuk meninjau kembali ketentuan mengenai
pembatasan pemilikan saham oleh pemodal asing dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor.3618);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL
Pasal 1
Mencabut ketentuan pembatasan pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal
dan Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor:1055/KMK.013/1989.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 4 September 1997
MENTERI KEUANGAN,
MAR’IE MUHAMMAD
III- 1
No.: 179/KMK.010/2003
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 179/KMK.010/2003
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan
efisien serta mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, diperlukan
upaya untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek antara lain kualitas
pelayanan, kualitas sumber daya manusia, ketaatan terhadap peraturan
dan kualitas sistem back office;
b. bahwa untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek, perlu memperkuat
kondisi keuangan dan kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui
peningkatan modal disetor Perusahaan Efek;
c. bahwa peningkatan modal disetor Perusahaan Efek dimaksud sejalan
dengan General Principles International Organization of Securities
Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa harus ada peningkatan
secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi perusahaan
efek yang memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti struktur
permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan
perkembangan potensi resiko yang ditanggung oleh perusahaan efek;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b dan c tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Keuangan tentang Kepemilikan Saham dan Permodalan
Perusahaan Efek;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM
DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK.
III- 1
No.: 179/KMK.010/2003
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing.
2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia.
3. Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah adalah kegiatan menerima pembukaan
rekening Efek nasabah, melakukan mutasi rekening Efek nasabah dan menyimpan
rekening Efek nasabah.
Pasal 2
(1) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak
di bidang keuangan selain sekuritas maksimal 85% (delapan puluh lima perseratus) dari
modal disetor.
(2) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak
di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan regulator Pasar
Modal di negara asalnya maksimal 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal
disetor.
Pasal 3
(1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan melakukan Penawaran Umum, maka
saham Perusahaan Efek tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh Pemodal Dalam Negeri
atau Pemodal Asing.
(2) Pemodal Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula Pemodal Asing yang
tidak bergerak di bidang keuangan.
Pasal 4
(1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki
modal disetor paling sedikit sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
(3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
tidak mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib memiliki
modal disetor paling sedikit sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer
Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 55.000.000.000,00
(lima puluh lima miliar rupiah).
(6) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).
III- 2
No.: 179/KMK.010/2003
Pasal 5
(1) Bagi Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek yang telah
memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan
ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Bagi Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam
sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
(3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi yang telah memperoleh
izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer
Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya
Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), dengan ketentuan sebagai berikut :
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 28.000.000.000,00 (dua puluh delapan miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp 55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah);
III- 3
No.: 179/KMK.010/2003
(5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Manajer Investasi yang telah memperoleh
izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 18.000.000.000,00 (delapan belas miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).
Pasal 6
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 90/KMK.010/2001 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 7
Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
BOEDIONO
III- 4
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 645/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1548/KMK.013/1990 TENTANG PASAR MODAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 284/KMK.010/1995 </reg_title>
<set_date> 30 Desember 1995 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date>
<replaced_reg> '1548/KMK.013/1990|KEP-MENKEU/1990', '284/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
|
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 509 /KMK.06/2002
TENTANG
LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa laporan keuangan Dana Pensiun merupakan sumber informasi
bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan
Dana Pensiun;
b. bahwa informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus dapat
menggambarkan kondisi keuangan yang sesungguhnya dari Dana
Pensiun;
c. bahwa dengan adanya perkembangan kebutuhan terhadap laporan
keuangan Dana Pensiun, ketentuan mengenai laporan keuangan Dana
Pensiun dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
76/KMK.017/1995 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 658/KMK.017/1997 perlu disempurnakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b, dan c di atas perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Laporan Keuangan
Dana Pensiun;
Mengingat 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3507);
3. Peraturan ...
- 2 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508);
4. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG LAPORAN
KEUANGAN DANA PENSIUN.
Pasal 1
(1) Pengurus Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan keuangan
kepada Menteri Keuangan.
(2) Kewajiban menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berlaku sejak Dana Pensiun disahkan pendiriannya
oleh Menteri Keuangan.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a.
b. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Pasal 2
Untuk Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh Menteri Keuangan
dalam periode 3 (tiga) bulan sebelum akhir tahun buku, audit akuntan
publik atas laporan keuangan untuk tahun buku saat Dana Pensiun
disahkan dapat dilakukan bersamaan dengan audit tahun buku berikutnya.
Pasal 3
laporan keuangan semesteran yang ditandatangani oleh
Pengurus; dan
- 3 -
Pasal 3
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf b harus memuat:
a. pernyataan akuntan; dan
b. laporan keuangan.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
terdiri dari :
a. laporan aktiva bersih;
b. laporan perubahan aktiva bersih;
c. neraca;
d. perhitungan hasil usaha;
e. laporan arus kas; dan
f. catatan atas laporan keuangan.
Pasal 4
Dasar penilaian kekayaan Dana Pensiun dalam laporan aktiva bersih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. investasi, berdasar nilai sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan tentang Investasi Dana Pensiun;
b. kas, rekening giro dan tabungan, berdasar nilai nominal;
c. piutang iuran beserta bunga atas keterlambatan pembayaran iuran,
berdasar nilai nominal;
d. piutang hasil investasi, berdasar nilai nominal; dan
e. aktiva selain dari huruf a sampai dengan huruf d, berdasar Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Pasal 5
- 4 -
Pasal 5
Tahun buku Dana Pensiun adalah 1 Januari sampai dengan 31 Desember
dalam tahun yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
harus laporan keuangan asli.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
harus disertai data elektronik yang sama dengan data pada laporan
keuangan tersebut.
Pasal 7
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) harus
menggunakan bahasa Indonesia dengan huruf Latin, angka Arab, dan
satuan mata uang Rupiah.
Pasal 8
Bentuk dan susunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan.
Pasal 9
(1) Dalam
rangka audit atas laporan keuangan Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) huruf b, Dewan
Pengawas Dana Pensiun dilarang menunjuk akuntan publik yang
sama dalam hal :
a. akuntan ...
- 5 -
a. akuntan publik tersebut telah melakukan audit atas laporan
keuangan Dana Pensiun bersangkutan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut; dan atau
b. akuntan publik dimaksud dinyatakan telah melanggar standar
praktik akuntan publik yang berlaku di Indonesia oleh asosiasi
akuntan atau Menteri Keuangan.
(2) Kantor akuntan publik yang sama tidak dapat ditunjuk untuk
melakukan audit atas laporan keuangan Dana Pensiun lebih dari 5
(lima) kali berturut-turut.
Pasal 10
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan
data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Dana
Pensiun.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf a disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya
periode laporan keuangan.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf b, disampaikan paling lambat 5 (Ihna) bulan setelah
berakhimya tahun buku Dana Pensiun.
(4) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
Pasal 11
- 6 -
Pasal 11
(1) Dalam hal penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) terlambat dilakukan, Pendiri Dana Pensiun
dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas
akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (2) dan ayat (3), paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tanggal penyampaian laporan keuangan adalah :
a.
tanggal penerimaan laporan, apabila laporan diserahkan
langsung ke kantor Direktur Dana Pensiun; atau
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila
laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
(3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Denda sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan ke
Kas Negara.
(5) Copy bukti setoran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
wajib disampaikan Pendiri kepada Direktur Dana Pensiun.
Pasal 12
- 7 -
Pasal 12
(1) Penyampaian laporan keuangan setelah melewati jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) tidak
menghapuskan kewajiban pembayaran denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1);
(2) Dalam
hal Pendiri belum membayar denda, denda tersebut
dinyatakan sebagai utang Pendiri pada Negara yang harus
dicantumkan dalam neraca Pendiri yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Dana Pensiun Lembaga Keuangan wajib memuat laporan keuangan
yang telah diaudit akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf b selain catatan atas laporan keuangan, dalam
surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tanggal penyampaian laporan keuangan kepada Menteri
Keuangan.
(2) Bukti pemuatan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur
Dana Pensiun.
Pasal 14
(1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 76/KMK.017/1995 tentang
Laporan Keuangan Dana Pensiun sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 658/KMK.017/1997
dinyatakan tidak berlaku untuk laporan keuangan sejak tahun buku
2003.
(2) Ketentuan ...
- 8 -
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku
untuk laporan keuangan sejak tahun buku 2002.
Pasal 15
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BOEDIONO
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2002 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '658/KMK.017/1997|KEP-MENKEU/1997', '76/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 11' </penalty_list>
|
KMK No. 343 Th. 1998
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 343/KMK.017/1998
TENTANG
IURAN DAN MANFAAT PENSIUN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan penyelenggaraan program pensiun,
maka besar iuran dan manfaat pensiun perlu disesuaikan sampai pada tingkat yang
wajar;
b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut di atas, pengaturan maksimum iuran dan
manfaat pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor : 230/KMK.017/1993 perlu disempurnakan;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Iuran dan Manfaat Pensiun;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 126 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3507);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3508);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan,
Tugas, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1988.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Asumsi aktuaria adalah kumpulan estimasi mengenai perubahan-perubahan di masa yang akan
datang, yang dipergunakan untuk menghitung Nilai Sekarang suatu pembayaran atau pembayaran-
pembayaran di masa depan, dan mencakup antara lain tingkat bunga, tingkat probabilitas terjadinya
kematian dan cacat, serta tingkat kenaikan Penghasilan Dasar Pensiun;
2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
3. Nilai Sekarang adalah nilai, pada suatu tanggal tertentu, dari pembayaran atau pembayaran-
pembayaran yang akan dilakukan setelah tanggal tersebut, yang dihitung dengan mendiskonto
pembayaran atau pembayaran-pembayaran termaksud secara aktuaria berdasarkan asumsi tingkat
bunga dan tingkat probabilitas tertentu untuk terjadinya pembayaran atau pembayaran-pembayaran
tersebut;
4. Penghasilan adalah penghasilan seseorang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan digunakan untuk menghitung iuran Peserta Dana
Pensiun Lembaga Keuangan;
3. Penghasilan Dasar Pensiun adalah sebagian atau seluruh penghasilan karyawan yang diterima dari
Pemberi Kerja dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun suatu Dana Pensiun Pemberi Kerja,
sebagai dasar perhitungan besar iuran dan atau Manfaat Pensiun Peserta;
4. Pihak Yang Berhak adalah Janda/Duda, Anak, atau seseorang yang ditunjuk oleh Peserta dalam hal
Peserta tidak menikah dan tidak mempunyai Anak;
Page 1 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
BAB II
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
Bagian Pertama
Manfaat Pensiun
Program Pensiun Manfaat Pasti
Pasal 2
(1) Besar Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan :
a Rumus Bulanan; atau
b Rumus Sekaligus.
(2) Dalam hal menggunakan Rumus Bulanan, Manfaat Pensiun merupakan hasil perkalian dari :
a faktor penghargaan per tahun masa kerja yang dinyatakan dalam persentase;
b masa kerja; dan
c Penghasilan Dasar Pensiun bulan terakhir, atau rata-rata Penghasilan Dasar Pensiun selama
beberapa bulan terakhir.
(3) Dalam hal menggunakan Rumus Sekaligus, Manfaat Pensiun merupakan hasil perkalian dari :
a faktor penghargaan per tahun masa kerja yang dinyatakan dalam bilangan desimal;
b masa kerja; dan
c Penghasilan Dasar Pensiun bulan terakhir, atau rata-rata Penghasilan Dasar Pensiun selama
beberapa bulan terakhir.
(4) Rumus Manfaat Pensiun yang digunakan wajib dimuat dalam Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 3
(1) Dalam hal Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan, besar faktor
penghargaan per tahun masa kerja tidak boleh melebihi 2,5% (dua setengah per seratus), dan
Manfaat Pensiun per bulan tidak boleh melebihi 80% (delapan puluh per seratus) dari Penghasilan
Dasar Pensiun per bulan.
(2) Dalam hal Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, besar faktor
penghargaan per tahun masa kerja tidak boleh melebihi 2,5 (dua setengah), dan Manfaat Pensiun
tidak boleh melebihi 80 (delapan puluh) kali Penghasilan Dasar Pensiun per bulan.
Pasal 4
(1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan perbedaan besarnya faktor penghargaan per
tahun masa kerja, dengan ketentuan sebagai berikut :
a perbedaan dimaksud harus berupa kenaikan yang dikaitkan dengan masa kerja Peserta atau
usia Peserta;
b tingkat kenaikan faktor penghargaan per tahun masa kerja dari faktor penghargaan
sebelumnya tidak boleh lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus);
c maksimum perbandingan antara faktor penghargaan per tahun masa kerja tertinggi dan
terendah adalah 250% (dua ratus lima puluh per seratus).
(2) Penetapan faktor penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengakibatkan
Manfaat Pensiun yang melampaui batas maksimum Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
Pasal 5
(1) Peserta yang berhenti bekerja dan dipekerjakan kembali oleh Pemberi Kerja yang sama dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, masa kepesertaannya dalam rangka penyelenggaraan Program
Pensiun harus diperhitungkan tanpa terputus.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila Peserta telah menerima
pembayaran atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dana
Pensiun atau telah mengalihkan haknya atas Pensiun Ditunda ke Dana Pensiun lain, kecuali jika
hak yang telah dibayarkan atau telah dialihkan dimaksud dikembalikan ke Dana Pensiun yang
bersangkutan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
Page 2 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
Pasal 6
(1) Dalam Program Pensiun Manfaat Pasti, masa kerja yang diakui tidak boleh melebihi jumlah masa
kerja pada Pemberi Kerja sekarang dan masa kerja pada Pemberi Kerja sebelumnya.
(2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila Peserta meninggal
dunia atau cacat sebelum pensiun, maka masa kerja maksimum yang diakui dapat termasuk masa
sampai dengan tanggal Peserta mencapai usia pensiun normal.
Pasal 7
(1) Untuk karyawan yang pindah bekerja, pengakuan masa kerja pada Pemberi Kerja lama dapat
dilakukan hanya apabila :
a ada dana yang dialihkan dari Dana Pensiun Pemberi Kerja yang lama ke Dana Pensiun
Pemberi Kerja yang baru; atau
b Pemberi Kerja yang baru mencukupi kebutuhan dana untuk pengakuan masa kerja pada
Pemberi Kerja yang lama, dan masa kerja dimaksud belum diakui sebagai unsur perhitungan
Manfaat Pensiun pada Pemberi Kerja yang lama.
(2) Pengakuan masa kerja karena adanya pengalihan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a harus ditentukan sedemikian rupa sehingga jumlah dana yang dialihkan sama dengan Nilai
Sekarang Manfaat Pensiun menurut rumus Manfaat Pensiun yang diterapkan Pemberi Kerja baru
dan Penghasilan Dasar Pensiun karyawan yang bersangkutan, yang berlaku pada saat dana tersebut
diterima Dana Pensiun yang baru.
(3) Dalam hal masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih pendek dari masa kerja yang
sesungguhnya pada Pemberi Kerja yang lama, maka pengakuan masa kerja yang lebih panjang dari
masa kerja sesuai dengan dana yang dialihkan dapat dilakukan hanya bila Pemberi Kerja baru
memenuhi kekurangan dana yang terjadi dan tidak boleh melebihi masa kerja yang sesungguhnya
pada Pemberi Kerja yang lama.
(4) Dalam hal dana yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a lebih besar dari pada
kewajiban yang timbul akibat pengakuan seluruh masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama,
kepada peserta yang bersangkutan harus diberikan masa kerja tambahan yang besarnya ditentukan
sedemikian rupa sehingga kewajiban akibat masa kerja tambahan tersebut sama dengan kelebihan
dana yang tersedia.
(5) Pengakuan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) atau masa
kerja tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan setelah ada :
a perjanjian tertulis antara peserta dan Pemberi Kerja yang baru yang memuat persetujuan
kedua belah pihak mengenai pengalihan kewajiban dan kekayaan yang berkaitan dengan masa
kerja pada Pemberi Kerja yang lama; atau
b pernyataan tertulis Pemberi Kerja baru mengenai kesediaannya untuk melakukan pendanaan
atas pengakuan masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama.
Pasal 8
Bagian dari 1 (satu) tahun masa kerja harus diperhitungkan secara prorata terhadap Manfaat Pensiun dan
iuran.
Pasal 9
Pembayaran Manfaat Pensiun, baik yang dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan maupun yang
dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, harus dilaksanakan secara bulanan.
Pasal 10
Dalam rangka pembayaran Manfaat Pensiun, jumlah yang dibayarkan dihitung dengan memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a untuk Manfaat Pensiun yang dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan, harus didasarkan pada
rumus yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
b untuk Manfaat Pensiun yang dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, harus didasarkan
pada tabel yang dibuat berdasarkan Asumsi Aktuaria yang memuat faktor untuk mengkonversikan
Manfaat Pensiun yang dihitung sekaligus menjadi pembayaran bulanan.
Page 3 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
Pasal 11
Besar Manfaat Pensiun Dipercepat bagi peserta yang berhenti bekerja pada usia sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun sebelum usia pensiun normal atau karena cacat, setinggi-tingginya sama dengan jumlah
yang dihitung dengan menggunakan rumus Manfaat Pensiun yang tercantum dalam Peraturan Dana
Pensiun.
Pasal 12
(1) Jumlah yang dibayarkan dalam rangka pembayaran sekaligus atau pengalihan hak Peserta ke Dana
Pensiun lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang
Dana Pensiun adalah sebesar Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun yang dihitung berdasarkan
Asumsi Aktuaria yang dipergunakan dalam laporan aktuaria terakhir, kecuali proyeksi tingkat
kenaikan Penghasilan Dasar Pensiun dan tingkat pengunduran diri.
(2) Jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sekurang-kurangnya sebesar akumulasi iuran
Peserta beserta hasil pengembangannya, yang dihitung berdasarkan tingkat bunga deposito Bank
Umum milik Pemerintah yang paling menguntungkan bagi Peserta yang berlaku pada masa
kepesertaan yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Dalam hal jumlah yang akan dibayarkan per bulan oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan rumus bulanan kurang dari Rp 300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah), Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
(2) Dalam hal Manfaat Pensiun yang menjadi hak Peserta pada Program Pensiun Manfaat Pasti yang
menggunakan Rumus Sekaligus lebih kecil dari Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),
Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
Pasal 14
(1) Bekas karyawan yang berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Dana Pensiun, dapat memperoleh pembayaran Manfaat Pensiun sejak yang
bersangkutan mencapai usia pensiun dipercepat.
(2) Dalam hal bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meninggal dunia sebelum
dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, berlaku ketentuan tentang hak-hak yang timbul apabila
Peserta meninggal dunia.
Bagian Kedua
Iuran bagi Peserta
Program Pensiun Manfaat Pasti
Pasal 15
(1) Iuran Peserta dalam 1 (satu) tahun untuk Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan
Rumus Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, sebanyak-sebanyaknya 3
(tiga) kali faktor penghargaan per tahun masa kerja kali Penghasilan Dasar Pensiun per tahun.
(2) Iuran Peserta dalam 1 (satu) tahun untuk Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan
Rumus Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, sebanyak-banyaknya 3%
(tiga per seratus) kali faktor penghargaan per tahun masa kerja kali Penghasilan Dasar Pensiun per
tahun.
Bagian Ketiga
Iuran bagi Peserta
Program Pensiun Iuran Pasti
Pasal 16
(1) Jumlah iuran per tahun yang dibukukan atas nama masing-masing Peserta dalam Program Pensiun
Iuran Pasti, sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh per seratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun per
tahun.
(2) Dalam hal Peserta turut mengiur, iuran Peserta sebanyak-banyaknya 60% (enam puluh per
seratus) dari iuran Pemberi Kerja
Page 4 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
Pasal 17
(1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan perbedaan besarnya iuran Pemberi Kerja yang
dibukukan atas nama masing-masing Peserta, dengan ketentuan sebagai berikut :
a perbedaan harus berupa kenaikan yang dikaitkan dengan masa kerja Peserta atau usia Peserta;
b kenaikan tingkat iuran dari iuran sebelumnya tidak boleh lebih 25% (dua puluh lima per
seratus);
c maksimum perbandingan antara iuran tertinggi dan terendah sebanyak-banyaknya 250% (dua
ratus lima puluh per seratus).
(2) Penetapan perbedaan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengakibatkan
jumlah iuran melampaui batas maksimum iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
Bagian Keempat
Iuran bagi Peserta
Pada Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan
Pasal 18
(1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan wajib ditetapkan
rumus besarnya iuran Pemberi Kerja.
(2) Rumus besarnya iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyatakan persentase
tertentu dari keuntungan Pemberi Kerja dalam 1 (satu) tahun sebelum dikurangi pajak
penghasilan, yang akan dibayarkan sebagai Iuran Pemberi Kerja.
(3) Dalam hal Pemberi Kerja tidak memperoleh keuntungan, maka Pemberi Kerja wajib membayar
iuran dalam jumlah sekurang-kurangnya 1% (satu per seratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun
Peserta dalam 1 (satu) tahun.
(4) Apabila jumlah iuran berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ternyata lebih kecil
dari jumlah iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka Pemberi Kerja wajib membayar
iuran berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 19
Dalam hal Peserta dari Dana Pensiun Pemberi Kerja berhenti bekerja sebelum memiliki hak atas
Pensiun Ditunda, maka akumulasi iuran Pemberi Kerja yang telah dibayarkan kepada Dana Pensiun yang
bukan merupakan hak Peserta, harus digunakan sebagai iuran Pemberi Kerja untuk Peserta yang lain.
Bagian Kelima
Manfaat Pensiun
Program Pensiun Iuran Pasti
Pasal 20
Manfaat Pensiun dari Program Pensiun Iuran Pasti yang jumlah akumulasi iuran dan hasil
pengembangannya lebih kecil dari Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), dapat dibayarkan sekaligus.
Pasal 21
(1) Bekas karyawan yang berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
Undang-undang Dana Pensiun, dapat memperoleh pembayaran Manfaat Pensiun sejak yang
bersangkutan mencapai usia pensiun dipercepat.
(2) Manfaat Pensiun yang dibayarkan kepada bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ,
harus dihitung dan ditetapkan pada saat yang bersangkutan akan pensiun.
(3) Dalam hal bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meninggal dunia sebelum
dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, berlaku ketentuan tentang hak-hak yang timbul apabila
Peserta meninggal dunia.
Pasal 22
(1) Dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum pembayaran Manfaat Pensiun, Peserta
tidak melakukan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 76
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pengurus wajib membeli anuitas seumur hidup
Page 5 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
yang memberikan pembayaran kepada Janda/Duda atau Anak yang sama besarnya dengan
pembayaran kepada pensiunan.
(2) Pilihan anuitas yang telah ditentukan Peserta dinyatakan batal apabila Peserta meninggal dunia
sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun.
BAB III
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
Bagian Pertama
Iuran Peserta
Pasal 23
(1) Jumlah iuran Peserta per tahun bagi Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang tidak menjadi
Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebanyak-banyak 20% (dua puluh per seratus) dari
Penghasilan Peserta per tahun.
(2) Jumlah iuran Peserta per tahun bagi Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang juga menjadi
Peserta pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh per seratus) dari
Penghasilan Peserta per tahun.
Pasal 24
(1) Pemberi Kerja yang sebelum mengikutsertakan karyawannya pada Dana Pensiun Lembaga
Keuangan telah menghimpun dana baik yang berasal dari pemberi kerja maupun dari karyawan,
dapat mengalihkan dana tersebut ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan untuk dan atas nama
Peserta.
(2) Pengalihan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibayarkan secara sekaligus dan
dinikmati pada saat peserta pensiun.
Bagian Kedua
Manfaat Pensiun Peserta
Pasal 25
(1) Dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum pembayaran Manfaat Pensiun, Peserta
tidak melakukan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Pengurus wajib membeli anuitas seumur
hidup yang memberikan pembayaran kepada Janda/Duda atau Anak yang sama besarnya dengan
pembayaran kepada pensiunan.
(2) Pilihan anuitas yang telah ditentukan Peserta dinyatakan batal apabila Peserta meninggal dunia
sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun.
Pasal 26
(1) Manfaat Pensiun untuk setiap Peserta berupa dana yang terdiri dari jumlah yang telah disetor atas
namanya dan pengalihan dana dari Dana Pensiun Pemberi Kerja serta hasil pengembangannya.
(2) Perhitungan hasil pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tiap Peserta harus
dilakukan sejak dana dibukukan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai saat pembayaran
kepada Peserta atau pada saat pembelian anuitas pada perusahaan asuransi jiwa.
(3) Dalam hal jumlah dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih kecil dari Rp 36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah) dapat dibayarkan sekaligus.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 27
(1) Manfaat Pensiun kepada Anak dapat dibayarkan sampai Anak mencapai usia setinggi-tingginya 25
(dua puluh lima) tahun.
(2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peraturan Dana Pensiun
dapat memuat ketentuan bahwa dalam hal Anak mengalami Cacat sebelum melampaui batas usia
Page 6 of 7
KMK No. 343 Th. 1998
pembayaran Manfaat Pensiun Anak, Manfaat Pensiun kepada Anak tersebut dapat dibayarkan
melebihi usia sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
230/KMK.017/1993 tentang Maksimum Iuran dan Manfaat Pensiun dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 1998
MENTERI KEUANGAN
ttd.
BAMBANG SUBIANTO
Page 7 of 7
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998 </reg_id>
<reg_title> IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title>
<set_date> 13 Juli 1998 </set_date>
<effective_date> 13 Juli 1998 </effective_date>
<replaced_reg> '230/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '61/KEPPRES/1998', '122/M|KEPPRES/1988' </related_reg>
|
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 455/KMK.01/1997
TENTANG
PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan sesuai
dengan petunujuk Bapak Presiden dalam Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekku Wasbang dan
Prodis 3 September 1997, maka dipandang perlu dipandang perlu untuk meninjau kembali
ketentuan mengenai pembatasan pemilikan saham oleh pemodal asing dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBELIAN SAHAM
OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL
Pasal 1
Mencabut ketentuan pembatasan pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal dan
Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
1055/KMK.013/1989
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 September 1997
MENTERI KEUANGAN,
MAR’IE MUHAMMAD
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 455/KMK.01/1997|KEP-MENKEU/1997 </reg_id>
<reg_title> PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 4 September 1997 </set_date>
<effective_date> 4 September 1997 </effective_date>
<replaced_reg> '1055/KMK.013/1989|KEP-MENKEU/1989' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
|
KMK No. 80 Th. 1993
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 802/KMK.01/1993
TENTANG
PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI 1993 TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN
LEMBAGA KEUANGAN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN
DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dipandang perlu
untuk merubah ketentuan persyaratan dalam Pasal 3 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Tata
Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dana
pengesahan atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga
Keuangan;
b. bahwa perubahan dimaksud perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508):
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI
1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN
PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN
PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN
LEMBAGA KEUANGAN
Pasal I
Mengubah Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari
1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dan
Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan,
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
Untuk dapat mendirikan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian sekurang-kurangnya selama 8 (delapan) triwulan terakhir;
Page 1 of 2
KMK No. 80 Th. 1993
2. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
3. memiliki kinerja investasi yang sehat;
4. memiliki tingkat kesinambungan pertanggungan yang sehat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua)
tahun terakhir;
5. menyanggupi untuk menyampaikan laporan hasil penilaian solvabilitas Perusahaan Asuransi Jiwa
dan laporan investasi Perusahaan Asuransi Jiwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang
usaha perasuransian setiap triwulan.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 26
Februari 1993.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : JAKARTA
pada tanggal : 27 Agustus 1993
MENTERI KEUANGAN
ttd.
MARI’E MUHAMMAD
Page 2 of 2
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 802/KMK.01/1993|KEP-MENKEU/1993 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI 1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 27 Agustus 1993 </set_date>
<effective_date> 27 Agustus 1993 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 26 Februari 1993 </effective_date>
<changed_reg> '228/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </changed_reg>
<related_reg> '77/PP/1992', '11/UU/1992', '15/KEPPRES/1984', '96/M|KEPPRES/1993' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
FEPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 422/KMK.06/2003
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan
penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai
Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 225/KMK.017/1993;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan scbagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaraan Usaha, Petasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN..
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan
Polis Asuransi adalah polis atau perjanjian asuransi, atau dengan
nama apapun, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan perjanjan asuransi, termasuk
tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan,
antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau
tertanggung.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PRODUK ASURANSI BARU
Pasal 2
Suatu produk asuransi dinyatakan sebagai produk asuransi baru
apabila:
(a) produk, asuransi tersebut belum pernah dipasarkan oleh
Perusahaan Asuransi yang bersangkutan; atau
) produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk
asuransi yang sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi
risiko yang ditutup, ketentuan polis, rumusan premi, metode
cadangan premi atau nilai tunai.
Pasal 3..
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-3-
Pasal 3
(1) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi
baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan
Pemerintaht Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk
asuransi kerugian harus dilengkapi dengan
a. spesimen Polis Asuransi;
b. pernyataan tenaga ahli yang berisi uraian dan dasar
perhitungan tingkat premi dan cadangan teknis, Jengkap
dengan asumsi-asumsi dan data pendukungnya;
c. proyeksi underwriting untuk 3 (tiga) tahun mendatang
d. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud;
. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang
dipergunakan;
perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud
dipasarkan bersama pihak lain,
s. pengesahan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi Perusahaan
Asuransi atau kantor cabang, Perusahaan Asuransi yang
diselenggarakan dengan prinsip syariah.
(2) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk
asuransi jiwa harus dilengkapi dengan
a. spesimen Polis Asuransi;
b. pernyataan aktuaris yang berisi uraian dan perhitungan
tarip premi, cadangan teknis, berikut asumsi aktuaria
dan data pendukungnya;
ii. nilai.tunai, dividen polis atau yang sejenis dalam hal
produk asuransi terscbut mengandung nilai tunai,
dividen polis atau yang sejenis;
c. profit testing atau asset share;
d. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud;
e. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang
dipergunakan
f. contoh .
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
EPUKNDO
t. contoh perjanijian kerja sama dalam hal produk asuransi
dimaksud dipasarkan bersama pihak lain,
Asuransi atau kantor cabang Perusahaan Asuransi yang
diselenggarakan dengan prinsip syariah.
Pasal 4
Perusahaan Asuransi Kerugian yang akan memasarkan produk
asuransi baru surety bond dan atau yang sejenis, selain harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut
a. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ajun ahli manajemen
asuransi kerugian dengan pengalaman di bidang surety bond
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun,
b. jenis jaminan yang ditutup terbatas hanya pada penjaminan
konstruksi (construction bond) dan custom bond.
Pasal 5
(1) Perusahaan Asuransi jiwa yang akan memasarkan produk
asuransi baru yang dikaitkan dengan investasi, antara lain
untuk produk asuransi unit link, dan atau yang sejenis, selain
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi wakit manajer
investasi dengan pengalaman di bidangnya sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun;
b. memiliki sistim informasi yang memadai;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengehai produk asuransi baru
sebagaimana. dimaksud dalam ayat (i) diatur dengan
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 6
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 harus
memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tidak sedang
dikenakan sanksi administratif,
BAB III...............
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
-5-
BAB III
POLIS
Pasal 7
Dalam setiap penutupan asuransi, Polis Asuransi harus sesuai
spesimen Polis Asuransi yang dilaporkan kepada Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 8
Polis Asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan
mengenai:
a. saat berlakunya pertanggungan,
b. uraian manfaat yang diperjanjikan,
c. cara pembayaran premi,
d. tenggang waktu (grnce period) pembayaran premi
c. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang
asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan
mata uang rupiah,
f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,
8. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayarar
premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;
keabsahan kontrak asuransi (incontestable period);
i. tabel nilai tunai, bagi Polis Asuransi jiwa yang mengandung nilai
ba.
tunai;
perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuran
iwa yang menjanjikan dividen polis atau yang sejenis
k. penghentian pertanggungan, bajk dari pihak penanggung
maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan
1. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung
yang diperlukan dalam mengajukan klaim;
m. pemilihan,tempat penyelesaian perselisihan,
t bhasa yang diadikan acuan dalam hal terjadi sengeta
pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua)
bahasa atau lebih.
Pasal 9.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Pasal 9
Polis Asuransi harus dicetak dengan jelas schingga dapat dibaca
langsung oleh pemegang polis dan atau tertanggung.
Pasal 10
(1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di
wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam Bahasa
Indonesia.
(2) Dalam hal diperiukan, Polis Asuransi dapat dibuat dalam
bahasa asing berdampingan dengan Bahasa Indonesia.
Pasal 11
(1) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat
ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab
bersangkutan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau
dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudal
diketahui adanya pengecualian atau pembatasan tersebut.
(2) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat
ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau
dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga
dapat dengan mudah diketahui adanya pengurangan,
pembatasan, atau pembebasan penanggung tersebut.
Pasal 12
Besarnya nilai tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf (i)
untuk polis-polis yang diterbitkan sejak ditetapkannya keputusan
ini, sekurang-kurangnya sebesar:
a. 95% (sembilan puluh lima per seratus) dari cadangan premi,
untuk produk asuransi jiwa seumur hidup:
b. 809...........
End of Page 6
REPUBLIK INDONESIA
-7-
b. 809 (delapan puluh per seratus) dari cadangan premi, untuk
produk asuransi jiwa lainnya;, atau
c. Akumulasi dana pemegang polis untuk polis yang dikaitkan
dengan investasi dan polis lainnya yang sejenis.
Pasal 13
(1) Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari Polis
Asuransi dengan mata uang asing dilakukan dengan mata uang
rupiah, pembayaran tersebut harus menggunakan kurs yang
ekivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat
pembayaran.
(2) Kurs yang ekivalen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang seharusnya
diterima oleh si penerima pembayaran tersebut apabila
pembayaran dilakukan dengan mata uang asing dimaksud.
(3) Dalam polis asuransi dengan indeks rupiah, pembayaran premi
atau manfaat harus didasarkan pada tasio indeks yang berlaku
pada saat pembayaran.
Pasal 14
(1) Dalam Polis Asuransi yang diterbitkan oleh Perusahaan
Asuransi yang berbentuk usaha bersama harus dicantumkan
ketentuan tentang menuiliki atau tidak memiliki hak suara bagi
pemegang polis.
(2) Ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan
anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 15
Dalam Polis Asuransi dilarang dicantuhkan suatu ketentuan yang
dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya
hukum sehingga tertanggung harus menerima penolakan
pembayaran klaim.
Pasal 16.............
Pasal 16
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
Pasal 16
Dalam Polis Asuransi dilarang dicantumkan ketentuan yang dapat
ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam
hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan polis.
Pasal 17
pengadilan dalam hal terjadi perselisihan yang menyangkut
perjanjian asuransi, tidak boleh membatasi pemilihan pengadilan
hanya pada pengadilan negeri di tempat kedudukan penanggung.
Pasal 18
Apabila Menteri menilai bahwa dalam ketentuan polis terdapat hal-
hal yang dapat merugikan pihak tertanggung atau pihak
Perusahaan Reasuransi untuk meninjau ulang ketentuan polis
dimaksud.
BAB IV
PREMI
Pasal 19
(1) Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang
wajar dan praktek asuransi yang berlaku umum
(2) Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan
dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya
a. premi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk
and loss profile) jenis asuransi yang yang bersangkutan untuk
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir;
b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
(3) Penetapan ......
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-9-
(3) Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan
mempertimbangkan sekurang-kurangnya
. premi murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel
mortalita, atau tabel morbidita yang dipergunakan;
b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan
b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya,
c. prakiraan hasil investasi dari premi.
BAB V
PENGHENTIAN PERTANGGUNGAN
Pasal 20
(1) Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak penanggung
maupun tertanggung, harus dilakukan dengan pemberitahuan
secara tertulis.
(2) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis
Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan, maka besar
pengembalian premi sekurang-kurangnya sebesar jumlah yang
dihiting sacara proporsional berdasarkani.
pertanggungan, setelah dikurangi bagian premi yang telah
dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan atau
(3) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis
Asuransi yang memiliki unsur tabungan, Perusahaan Asuransi
harus membayar paling sedikit sejumlah nilai tunai pada saat
penghentian tersebut.
BAB VI
REASURANSI
Pasal 21
(1) Perusahaap Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi
otomatis untuk setiap produk asuransi pada sctiap cabang
asuransi yang dipasarkan.
(2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk..
End of Page 9
TER KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
a. untuk Perusahaan Asuransi Kerugian, sekurang-kurangnya
diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi dan 1 (satu)
Perusahaan Asuransi Kerugian lainnya di dalam negeri;
b. untuk Perusahaan Asuransi Jiwa, sekurang-kurangnya
diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku
dalam hal tidak ada Perusahaan Reasuransi yang memberikan
dipasarkan tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama.
(4) Dukungan reasuransi otomatis dari penanggung ulang di luar
dilakukan apabila perusahaan dimaksud telah terlebih dahulu
memperoleh dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri
dalam jumlah atau prosentase tertentu.
5) Dukungan reasuransi fakultatif hanya dapat dilakukan dalam
risiko yang ditutup tidak termasuk dalam dukungan reasuransi
otomatis, dengan mempertimbangkan ketersediaan kapasitas
dalam negeri.
ssthagairnana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 22
(1) Dukungan reasuransi dari perusahaan penanggung ulang di
Juar negeri hanya dapat dilakukan pada perusahaan
penanggung ulang yang pada saat penempatan memiliki
peringkat sekurang-kurangnya BBB atau yang setara dengan
itu.
(2) Dalam hal penanggung ulang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memiliki peringkat yang berbeda maka peringkat yang
digunakan adalah peringkat yang terendah.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-11-
3) Dalam hal perusahaan penanggung ulang di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memiliki peringkat
dari badan pemeringkat, maka perusahaan penanggung ulang
dimaksud harus memiliki reputasi baik yang dapat dibuktikan
dengan surat keterangan dari badan pembina dan pengawas
asuransi setempat, yang menjelaskan bahwa
a. perusahaan yang bersangkutan masih memiliki izin usaha;
b. perusahaan yang bersangkutan tidak sedang dikenakan
sanksi oleh badan pembina dan pengawas asuransi
setempat; dan
modal sendiri sekurang-kurangnya 1509 (seratus lima
puluh per seratus) dari minimum modal disetor Perusahaan
Reasuransi di dalam negeri.
(4) Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau ayat (2) diajukan oleh Perusahaan Asuransi kepada
Menteri bersamaan dengan waktu penyampaian laporan
program reasuransi otomatis.
BAB VII
PENGALIHAN PORTOFOLIO PERTANGGUNGAN
Pasal 23
(1) Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan
dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
Menteri.
(2) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan
dimaksud:
a. tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggungy, atau
ahli waris;
. dilakukan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi sejenis; dan
c. tidak menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menerima pengalihan dimaksud melanggar
ketentuan yang berlaku di bidang usaha perasuransian.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
- 12 -
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan, Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud harus
menyampaikan permohonan pemegang saham untuk
mengembalikan irin usaha setelah selesainya pengalihan
portofolio pertanggungan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
oleh Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) Menteri tidak menolak persetujuan dimaksud,
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
bersangkutan dapat melakukan pengalihan portofolio
pertanggungan yang diajukan.
(6) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ajat (S),Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransiyang
akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib tericbih
dahulu niemberitahukan secara tertulis kepada setiap
pemegang polis.
(7) Perusalaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
mengalihkan portofolio pertanggungan harus mengumumkan
pengalihan tersebut pada surat kabar harian Indonesia yang
berperedaran luas sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) hari
berturut-turut.
(8) Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan,
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus
melaporkan kepada Menteri hasil pelaksanaan pengalihan
portofolio pertanggungan dimaksud.
Pasal 24
Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang telah selesai mengalihkan seluruh portofolio
pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (3).
End of Page 12
NENTERI KEUANGA
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
BAB VIII
PENYELESAIAN KLAIM
Pasal 25
Tindakan yang dapat dikategorikan memperlambat penyelesaian
atau pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, adalah
tindakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
a. memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta
penyerahan dokumen tertentu, yang kemudian dikuti dengan
hal yang sama,
b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim dengan
mengaitkannya pada penyelesaian dan atau pembayaran klaim
reasuransinya,
c. tidak melakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagian
dari penutupan asuransi dengan mengaitkannya pada
penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan
penyelesaian klaim yang merupakan bagi
asuransi dalam 1 (satu) polis yang, sama;
d. memperlambat penunjukan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi, apabila jasa Penilai Kerugian Asuransi dibutuhka
dalam proses penyelesaian klaim; atau
e. menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai
dengan praktek usaha asuransi yang berlaku umum.
Pasal 26
(I) Perusahaan Asuransi hanya dapat meminta dokumen sebagai
syarat pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam Polis
Asuransi.
(2) Dalam hal Polis Asuransi mencantumkan syarat lain-lain
scbagai persyaratan pengajuan klaim, syarat lain-lain tersebut
harus
a. relevan dengan pertanggungan; dan
(3) Ketentuan mengenai syarat lain-lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus dimuat dalam Polis Asuransi.
Pasal 27 .
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 14-
Pasal 27
Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30
(igp pluh) hari sejak adanya kesepakatan antara
penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus
dibayar.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 28
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap tahun wajib
menyampaikan laporan progyam reasuransi otomatis (treaty) untuk
kegiatan tahun berjalan kepada Menteri, paling lambat pada tanggal
15 Januari.
Pasal 29
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
menyampaikan laporan operasional tahunan untuk periode
yang berakhir per 31 Desember kepada Menteri.
(2) Laporan operasional tahunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 30
April tahun berikutnya.
Pasal 30
(1) Perusahaan Asuransi dan . Perusahaan Reasuransi wajib
menyampaikan laporan operasional untuk kegiatan setiap satu
triwulan yang berakhir per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan
31 Desember, kepada Menteri.
(2) Laporan operasional sebagaimana dimaksud ayat (1) masing-
masing, harus disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
(3) Laporar........
End of Page 14
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Laporan Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
prinsip Syariah, atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang memiliki cabang dengan prinsip Syariah, harus
bahwa penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dimaksud untuk triwulan yang
bersangkutan tidak menyimpang dari prinsip syariah.
Pasal 31
(1) Aktuaris Perusahaan wajib menyampaikan laporan mengenai
perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya S
(lima) tahun mendatang.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat () disampaikan
kepada Menteri paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
Pasal 32
Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
BAB X
DENDA ADMINISTRATIF
Pasal 33
(1) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal I angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
1999dilakukan dengan tata cara sebagai berikut
a. mengisi formulir Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan
Pajak (SSBP) yang menunjuk rekening kas negara dengan
menyebutkan uraian penerimaan sebagai pendapatan
anggaran lainnya;
b. membayar ......
End of Page 15
REPUBLIK INDONESIA
16.
b. membayar denda melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara, atau bank yang ditunjuk olch Pemerintah (bank
persepsi), atau kantor Pos.
(2) Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyampaian laporan tahunan.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dikenakan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha karena tidak
Pemtatasan Kegalan Usaha hanya dapat oaua
laporan tahunan dan bukti pembayaran denda telah
disampaikan kepada Menteri.
(4) Bukti pembayaran denda berupa tembusan SSBP disampaikar
Kepada Direktorat Asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak tanggal pembayaran denda dimaksud.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah
mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib
melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan dalam
Keputusan ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
keputusan ini ditetapkan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Dengan ditetapkarinya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36............
End of Page 16
MENTERI KEUANGAN
- 17-
Pasal 36
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,-
Salinan sesuai dengan aslinya R0FDIONO
KEPALA BIRO UMUM
KEPALATAGIAN T.U DEPARTEMBN
NIP 060041898
End of Page 17
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 30 September 2003 </set_date>
<effective_date> 30 September 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '225/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '63/PP/1999', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
|
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 510/KMK.06/2002
TENTANG
PENDANAAN DAN SOLVABILITAS
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a bahwa untuk memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan
penghasilan Peserta pada saat pensiun atau Pihak Yang Berhak apabila
Peserta meninggal dunia, pendanaan Program
diselenggarakan secara terarah an terpadu;
Pensiun perlu
b. bahwa dengan adanya perkembangan keadaan perekonomian di
Indonesia dan perkembangan pemahaman terhadap pendanaan Dana
Pensiun, pengaturan mengenai pendanaan dan solvabilitas Dana
Pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 77/KMK.017/1995 perlu disempurnakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir
a dan b perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan ...
- 2 -
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3507);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENDANAAN
DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Aktuaris adalah aktuaris yang bekerja pada Perusahaan Konsultan
Aktuaria yang telah memperoleh ijin usaha dari Menteri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang usaha
perasuransian.
2. Laporan Aktuaris Berkala adalah laporan aktuaris yang disampaikan
secara berkala kepada Menteri, bukan dalam rangka pengesahan
pembentukan Dana Pensiun atau perubahan Peraturan Dana Pensiun.
3. Kekayaan Untuk Pendanaan adalah kekayaan Dana Pensiun yang
diperhitungkan untuk menentukan kualitas pendanaan Dana Pensiun.
4. Kewajiban ...
- 3 -
4. Kewajiban Solvabilitas adalah kewajiban Dana Pensiun yang
dihitung berdasarkan anggapan bahwa Dana Pensiun dibubarkan
pada tanggal perhitungan aktuaria.
5. Kewajiban Aktuaria adalah kewajiban Dana Pensiun yang dihitung
berdasarkan anggapan bahwa Dana Pensiun terus berlangsung sampai
dipenuhinya seluruh kewajiban kepada Peserta dan Pihak Yang
Berhak.
6. Surplus adalah kelebihan Kekayaan Untuk Pendanaan atas
Kewajiban Aktuaria.
7. Defisit adalah kekurangan Kekayaan Untuk Pendanaan dari
Kewajiban Aktuaria.
8. Defisit Pra-Undang-undang adalah bagian dari Defisit yang timbul
pada Program Pensiun yang telah ada sebelum berlakunya Undang-
undang Dana Pensiun dan berkaitan dengan masa kerja sebelum
berlakunya Undang-undang dimaksud.
9. Kekurangan Solvabilitas adalah kekurangan Kekayaan Untuk
Pendanaan dari Kewajiban Solvabilitas.
10. Rasio Pendanaan adalah hasil bagi Kekayaan Untuk Pendanaan
dengan Kewajiban Aktuaria.
11. Rasio Solvabilitas adalah hasil bagi Kekayaan Untuk Pendanaan
dengan Kewajiban Solvabilitas.
12. Dana Terpenuhi adalah keadaan Dana Pensiun yang Kekayaan Untuk
Pendanaannya tidak kurang dari Kewajiban Aktuarianya.
13. Iuran ...
- 4 -
13. Iuran Normal adalah iuran yang diperlukan dalam satu tahun untuk
mendanai bagian dari nilai sekarang Manfaat Pensiun yang
dialokasikan pada tahun yang bersangkutan yang dihitung
berdasarkan jumlah yang lebih besar di antara jumlah iuran Peserta
yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun, dan bagian dari nilai
sekarang Manfaat Pensiun yang dialokasikan pada tahun yang
bersangkutan, sesuai dengan metode perhitungan aktuaria yang
dipergunakan.
14. Iuran Tambahan adalah iuran yang disetor dalam rangka melunasi
Defisit.
15. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
TANGGUNG JAWAB PENDIRI
TERHADAP PENDANAAN DANA PENSIUN
Pasal 2
(1) Pendiri bertanggung jawab untuk menjaga agar Dana Pensiun berada
dalam keadaan Dana Terpenuhi, atau dalam hal keadaan tersebut
belum tercapai, bertanggung jawab agar Dana Pensiun secara
bertahap mencapai keadaan Dana Terpenuhi.
(2) Pemberi Kerja berkewajiban membayar Iuran Normal dan Iuran
Tambahan, apabila ada, yang menjadi tanggung jawabnya dan
menyetorkan seluruh iuran, baik yang berasal dari Pemberi Kerja
maupun dari Peserta, ke Dana Pensiun.
(3) Pemberi ...
- 5 -
(3) Pemberi Kerja bertanggung jawab agar iuran-iuran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) disetorkan ke Dana Pensiun sesuai dengan
junilah dan waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun
atau pernyataan aktuaris.
BAB III
PENDANAAN PROGRAM PENSIUN IURAN PASTI
Pasal 3
(1) Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti
berada dalam keadaan Dana Terpenuhi apabila iuran bulanan yang
jatuh tempo telah disetorkan kepada Dana Pensiun.
(2) Iuran bulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah
iuran-iuran untuk seluruh Peserta, baik yang berasal dari Pemberi
Kerja maupun Peserta, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Dana Pensiun.
BAB IV
PENDANAAN DAN SOLVABILITAS
PROGRAM PENSIUN MANFAAT PASTI
Bagian Pertama
Kualitas Pendanaan Dana Pensiun
Pasal 4
(1) Pengurus wajib melaporkan kualitas pendanaan Dana Pensiun secara
berkala kepada Menteri.
(2) Kualitas …
- 6 -
(2) Kualitas pendanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Tingkat Pertama, yaitu apabila Dana Pensiun berada dalam
keadaan Dana Terpenuhi;
b. Tingkat kedua, yaitu apabila Kekayaan Untuk Pendanaan kurang
dari Kewajiban Aktuaria dan tidak kurang dari Kewajiban
Solvabilitas;
c. Tingkat ketiga, yaitu apabila Kekayaan Untuk Pendanaan kurang
dari Kewajiban Solvabilitas.
Pasal 5
(1) Kualitas pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinilai
berdasarkan perhitungan aktuaria.
(2) Perhitungan aktuaria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
dilakukan dengan menentukan:
a. Kewajiban Aktuaria; dan
b. Kewajiban Solvabilitas.
(3) Kewajiban Solvabilitas dihitung berdasarkan jumlah yang lebih besar
di antara himpunan iuran Peserta beserta hasil pengembangannya,
dan nilai sekarang Manfaat Pensiun yang dihitung berdasarkan
asumsi bahwa Peserta berhenti bekerja pada tanggal perhitungan
aktuaria dan seluruhnya telah memiliki hak atas dana.
(4) Kewajiban ...
- 7 -
(4) Kewajiban Aktuaria dihitung berdasarkan jurnlah yang lebih besar di
antara Kewajiban Solvabilitas dan bagian dari nilai sekarang manfaat
Pensiun yang dialokasikan pada masa sebelum tanggal perhitungan
aktuaria menurut metode perhitungan aktuaria yang digunakart untuk
menentukan Iuran Normal.
Pasal 6
(1) Dalam
rangka penetapan kualitas pendanaan, aktuaris harus
menetapkan besar Kekayaan Untuk Pendanaan.
(2) Kekayaan Untuk Pendanaan dihitung dari aktiva bersih dikurangi
dengan:
a. Kekayaan dalam sengketa, atau yang diblokir oleh pihak yang
berwenang;
b. Iuran, baik sebagian atau seluruhnya, yang pada tanggal
perhitungan aktuaria belum disetor ke Dana Pensiun lebih dari 3
(tiga) bulan sejak tanggal jatuh temponya;
c. Kekayaan yang ditempatkan di luar negeri; dan atau
d. Jenis kekayaan yang dikategorikan sebagai piutang lain-lain dan
aktiva lain-lain.
(3) Dalam hal terdapat pelanggaran atas ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun, maka kekayaan yang diagunkan, dipinjamkan atau
diinvestasikan sebagaimana dirilaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan
ayat (3) tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Kekayaan Untuk
Pendanaan.
Pasal 7 ...
- 8 -
Pasal 7
(1) Aktiva Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk
Laporan Aktuaris Berkala atau laporan aktuaris yang disusun dalam
rangka pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun diperoleh dari
laporan keuangan yang diaudit per tanggal perhitungan aktuaria.
(2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan yang diaudit per tanggal
perhitungan aktuaria, aktiva bersih untuk laporan aktuaris yang
disusun dalam rangka,pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun
diperoleh dari laporan keuangan yang ditandatangani Pengurus.
(3) Kekayaan Untuk Pendanaan dalam rangka pengesahan pembentukan
Dana Pensiun ditetapkan nihil atau dihitung sebesar dana tunai yang
dialihkan ke Dana Pensiun sebagaimana ditetapkan oleh Pendiri.
Bagian Kedua
Iuran
Pasal 8
(1) Iuran yang harus disetor Pemberi Kerja ke Dana Pensiun terdiri dari:
a. Iuran Normal; dan
b. Iuran Tambahan, dalam hal terdapat defisit.
(2) Iuran Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat
terdiri dari:
a. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Pra-Undang-
Undang;
b. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Masa Kerja Lalu
yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; dan atau
c. Iuran ...
- 9 -
c. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Masa Kerja Lalu di
luar yang telah diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas.
Pasal 9
(1) Besar Iuran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir tahun buku
pertama setelah tanggal perhitungan aktuaria ditetapkan dengan salah
satu cara sebagai berikut:
a. berdasarkan nilai nominal; atau
b. berdasarkan persentase dari Penghasilan Dasar Pensiun.
(2) Besar Iuran Normal yang menjadi tanggung jawab Pemberi Kerja per
bulan ditetapkan sebagai berikut:
a. 1/12 (seperdua belas) dari nilai nominal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) butir a; atau
b. persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir b
dikalikan Penghasilan Dasar Pensiun per bulan.
(3) Besar Iuran Normal yang menjadi tanggung jawab Peserta per bulan,
apabila ada, dihitung berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Dana
Pensiun.
(4) Besar Iuran Normal yang harus dibayarkan untuk tahun-tahun
sesudah tahun buku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung
berdasarkan persentase dari Penghasilan Dasar Pensiun sebagaimana
ditetapkan dalam pernyataan aktuaris.
Bagian Ketiga ...
- 10 -
Bagian Ketiga
Defisit dan Surplus
Pasal 10
(1) Dengan membandingkan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terhadap Kekayaan Untuk
Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Aktuaris harus
menetapkan Surplus atau Defisit.
(2) Defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipisahkan
menjadi:
a. bagian dari Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan
Solvabilitas; dan
b. bagian dari Defisit di luar yang telah diperhitungkan sebagai
Kekurangan Solvabilitas.
(3) Dalam
hal terdapat sisa Defisit Pra-Undang-undang, Defisit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi lebih dulu dengan
sisa Defisit Pra-Undang-undang.
Pasal 11
(1) Masing-masing bagian dari Defisit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) harus dilunasi dengan Iuran Tambahan dalam
jangka waktu paling lama:
a. 36 (tiga puluh enam) bulan, untuk Defisit yang diperhitungkan
sebagai Kekurangan Solvabilitas; atau
b. 180 (seratus delapan puluh) bulan, untuk Defisit di luar yang
telah diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas.
(2) Dalam ...
- 11 -
(2) Dalam
hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara sekaligus, pemba.yaran Iuran Tambahan ditetapkan
sebesar bagian Defisit yang harus dilunasi dan harus dilakukan dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak :
a. diterimanya Laporan Aktuaris Berkala yang memuat hal
pelunasan defisit secara sekaligus tersebut oleh Menteri; atau
b. disahkannya Peraturan Dana Pensiun oleh Menteri.
(3) Dalam hal penyetoran Iuran Tambahan secara sekaligus melewati
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Iuran
Tambahan tersebut harus dikenakan bunga yang dihitung sejak
tanggal perhitungan aktuaria.
(4) Dalam
hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara bulanan, besar Iuran Tambahan setiap bulan
dihitung sedemikian rupa sehingga, nilai sekarang dari rangkaian
Iuran Tambahan bulanan yang akan dilakukan dalam periode
pengangsuran sama dengan besar bagian Defisit yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai sekarang
dari sisa rangkaian Iuran Tambahan bulanan yang ditetapkan dalam
Pernyataan Aktuaris sebelumnya lebih kecil daripada Defisit yang
bersesuaian yang ditetapkan pada tanggal perhitungan aktuaria, maka
selisihnya dilunasi dengan Iuran Tambahan baru yang pelunasannya diatur
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11.
Pasal 13 ...
- 12 -
Pasal 13
(1) Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai
sekarang dari sisa rangkaian Iuran Tambahan untuk bagian Defisit
tertentu lebih besar daripada bagian Defisit yang bersesuaian menurut
perhitungan aktuaria baru yang ditetapkan pada tanggal perhitungan
aktuaria, maka bagian Defisit yang bersesuaian dapat dilunasi dengan
Iuran Tambahan baru.
(2) Dalam hal Iuran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus,
maka pelunasan Iuran Tambahan baru tersebut diatur sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Dalam hal Iuran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bulanan,
maka Iuran Tambahan bulanan baru dihitung sedemikian rupa
sehingga nilai sekarang rangkaian Iuran Tambahan bulanan baru
tersebut sama dengan bagian Defisit yang bersangkutan dan
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Iuran Tambahan bulanan baru sama atau lebih besar daripada
Iuran Tambahan bulanan sebelumnya, dengan masa pelunasan
lebih pendek dari sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan
dalam laporan aktuaris sebelumnya; atau
b. Iuran Tambahan bulanan baru lebih kecil daripada Iuran
Tambahan bulanan sebelumya, dengan masa pelunasan sama
dengan sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan dalam
laporan aktuaris sebelumnya.
(4) Dalam ...
- 13 -
(4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode
perhitungan aktuaria pada laporan aktuaris baru, rangkaian Iuran
Tambahan bulanan harus terus dibayarkan sesuai dengan penetapan
pada laporan aktuaris sebelumnya.
Pasal 14
(1) Dalam hal Pemberi Kerja tidak dapat melakukan penyetoran Iuran
Tambahan secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2), dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Pemberi
Kerja harus melakukan pembayaran iuran Tambahan bulanan yang
cukup untuk menutupi kebutuhan pendanaan minimum yang
dituangkan dalam pernyataan aktuaris.
(2) Keterlambatan penyetoran Iuran Tambahan bulanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dikenakan bunga yang dihitung sejak
tanggal perhitungan aktuaria.
Pasal 15
(1) Pemberi Kerja dari Dana Pensiun yang sampai disahkannya
Keputusan Menteri Keuangan ini masih memiliki sisa Defisit Pra-
Undang-undang wajib melunasi sisa Defisit Pra-Undang-undang
tersebut.
(2) Sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah nilai sekarang dari sisa rangkaian Iuran Tambahan untuk
melunasi Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana telah ditetapkan
dalam laporan aktuaris pertama.
(3) Masa ...
- 14 -
(3) Masa angsuran dari sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah sisa masa angsuran sebagaimana
telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama kecuali apabila
terdapat perubahan pada laporan aktuaris berikutnya sebelum tanggal
Keputusan Menteri Keuangan ini.
Pasal 16
Dalam Iuran Tambahan bulanan terkandung beban tambahan sebagai
akibat pelunasan Defisit secara bulanan dan beban tambahan tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari Iuran Tambahan bulanan dimaksud.
Pasal 17
(1) Bila laporan aktuaris menunjukkan adanya Surplus, sisa Iuran
Tambahan bulanan yang belum jatuh tempo pada tanggal perhitungan
aktuaria baru harus dihapus.
(2) Iuran Normal Pemberi Kerja dapat diperhitungkan dari Surplus.
(3) Dalam hal Surplus melebihi jumlah yang lebih besar di antara:
a. 20% (dua puluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; dan
b. bagian Iuran Normal Pemberi Kerja ditambah 10% (sepuluh
perseratus) dari Kewajiban Aktuaria;
maka kelebihan Surplus dimaksud wajib diperhitungkan sebagai
Iuran Normal Pemberi Kerja.
(4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode
perhitungan aktuaria pada laporan aktuaris baru, Surplus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperhitungkan
sebagai Iuran Normal Pemberi Kerja.
Pasal 18 ...
- 15 -
Pasal 18
(1) Iuran yang rnenjadi tanggung jawab Pemberi Kerja yang ditetapkan
dalam Laporan Aktuaris Berkala atau dalam rangka pengesahan
perubahan Peraturan Dana Pensiun dibayarkan terhitung sejak
tanggal perhitungan aktuaria.
(2) Iuran yang menjadi tanggung jawab Pemberi Kerja yang ditetapkan
dalam laporan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan
pembentukan Dana Pensiun dibayarkan terhitung sejak tanggal
pengesahan dimaksud.
(3) Awal masa pelunasan atas Defisit yang ditetapkan dalam laporan
aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan pembentukan Dana
Pensiun dimulai sejak tanggal pengesahan.
(4) Sebelum
pernyataan aktuaris dalam Laporan Aktuaris Berkala
ditandatangani, iuran Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun
dibayarkan sebesar jumlah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan di
dalam pernyataan aktuaris sebelunmya.
(5) Sebelum pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun ditetapkan,
iuran Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun dibayarkan sebesar jun-
dah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan di dalam pernyataan
aktuaris sebelumnya.
Pasal 19
(1) Dalam hal jumlah iuran Pemberi Kerja berdasarkan pernyataan
aktuaris yang baru lebih besar daripada jumlah iuran Pemberi Kerja
yang ditetapkan dalam pernyataan aktuaris sebelumnya, kekurangan
iuran yang terjadi harus dilunasi dalam tahun buku yang
bersangkutan.
(2) Dalam ...
- 16 -
(2) Dalam hal kekurangan iuran tidak dilunasi dalam tahun yang
bersangkutan atau laporan aktuaris disampaikan kepada Menteri
melewati tahun buku yang bersangkutan, maka penyetoran Iuran
Tambahan harus dikenakan bunga yang dihitung sejak tanggal
perhitungan aktuaria.
(3) Dalam hal jumlah iuran Pemberi Kerja berdasarkan pernyataan
aktuaris yang baru lebih kecil daripada jumlah iuran Pemberi Kerja
yang ditetapkan dalam pernyataan aktuaris sebelumnya, kelebihan
iuran yang terjadi harus diperhitungkan sebagai iuran-iuran Pemberi
Kerja berikutnya.
(4) Dalam hal terjadi kelebihan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), Pemberi Kerja dilarang membayar iuran ke Dana Pensiun sampai
seluruh kelebihan iuran termaksud habis diperhitungkan sebagai
iuran Pemberi Kerja.
BAB V
LAPORAN AKTUARIS DAN PERNYATAAN AKTUARIS
Bagian Pertama
Laporan Aktuaris
Pasal 20
(1) Laporan aktuaris sekurang-kurangnya harus memuat:
a. pernyataan Aktuaris;
b. tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan dan tanggal
perhitungan aktuaria sebelumnya;
c. tujuan penyusunan laporan aktuaris;
d. ringkasan ...
- 17 -
d. ringkasan Peraturan Dana Pensiun dan perubahan-perubahan
yang terjadi pada Peraturan Dana Pensiun sejak tanggal
perhitungan aktuaria sebeluninya;
e. ringkasan jumlah Peserta dan jurnlah Pihak Yang Berhak beserta
perubahan yang terjadi sejak tanggal perhitungan aktuaria
sebelumnya;
f. metode perhitungan aktuaria yang digunakan disertai penjelasan
mengenai pemilihan metode tersebut;
g.
asumsi aktuaria yang digunakan dalam
perhitungan
kewajibankewajiban dan perubahan dari yang digunakan dalam
perhitungan aktuaria sebelumnya disertai dengan penjelasan
mengenai pemilihan dan perubahan asumsi tersebut;
h. nilai Kekayaan Untuk Pendanaan;
i. analisis perubahan Surplus atau Defisit;
j. hasil perhitungan aktuaria secara keseluruhan, baik per tanggal
perhitungan aktuaria yang dilaporkan maupun sebelumnya; dan
k. nama dan alamat Aktuaris dan penjelasan apakah Aktuaris yang
bersangkutan juga menandatangani pernyataan aktuaris dalam
laporan aktuaris sebeluninya.
(2) Laporan aktuaris harus dilengkapi dengan pernyataan yang
ditandatangani Pendiri, yang memuat:
a. Pernyataan bahwa data dan Peraturan Dana Pensiun yang
disampaikan kepada Aktuaris lengkap dan benar;
b. Pernyataan bahwa Pendiri sanggup membayar iuran-iuran sesuai
dengan pendanaan minimum yang dituangkan dalam pemyataan
aktuaris; dan
c. Pernyataan bahwa Pendiri bermaksud menggunakan Surplus
yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
untuk mengurangi luran Normal Pemberi Kerja, dalam hal
terdanat Surplus.
(3) Dalam ...
- 18 -
(3) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan Pemberi
Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan program pensiun
secara merata (sharing pension cost), maka pernyataan Pendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir c harus memuat
penegasan penggunaan Surplus untuk masing-masing Pemberi Kerja
yang mengalami surplus.
Pasal 21
(1) Pernyataan Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf a harus memuat:
a. pernyataan bahwa data yang diterima aktuaris, sepanjang
pengetahuannya, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan
untuk maksud penyusunan laporan aktuaris, dan untuk itu telah
dilakukan pengujian guna menilai keandalannya;
b. pernyataan bahwa laporan aktuaris dimaksud:
1. harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam
peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang Dana Pensiun;
2. telah disusun berdasarkan Peraturan Dana Pensiun; dan
3. telah disusun berdasarkan standar praktik aktuaria untuk
Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia.
c penegasan mengenai Surplus atau Defisit, Rasio Solvabilitas,
Rasio Pendanaan dan kualitas pendanaan,
d. penegasan mengenai:
1. besar Iuran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir
tahun buku pertama setolah tanggal perhitungan aktuaria
serta diperinci untuk bagian yang harus dibayarkan Peserta
dan Pemberi Kerja;
2. persentase...
- 19 -
2. persentase Iuran Normal terhadap penghasilan dasar pensiun
untuk tahun-tahun sesudah tahun buku sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, saat penyampaian laporan aktuaris
berikutnya; dan
3. bagian dari Iuran Normal yang pemenuhannya menjadi
tanggung jawab Pemberi Kerjaa yang dapat dibayar dari
Surplus yang terjadi beserta periods penggunaannya.
e.
penegasan mengenai besar Iuran Tambahan bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) beserta periods
pembayarannya.
(2) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan Pemberi
Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan program pensiun
secara merata (sharing pension cost), pernyataan aktuaris harus
memuat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir c, d,
dan e untuk masing-masing Pemberi Kerja.
(3) Pernyataan aktuaris yang disusun dalam
rangka pengesahan
perubahan Peraturan Dana Pensiun atau. pengalihan kepesertaan
harus memuat informasi sebagaimana dimaksud dalarri ayat (1) butir
c, d, dan e untuk keadaan sebelum dan sesudah berlakunya perubahan
tersebut.
Pasal 22
(1) Tanggal perhitungan aktuaria dalam
laporan aktuaris untuk
permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun atau
pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun adalah tanggal
pemyataan tertulis Pendiri.
(2) Tanggal perhitungan aktuaria dalam rangka Laporan Aktuaris
Berkala adalah per tanggal 31 Desember.
Pasal 23 ...
- 20 -
Pasal 23
(1) Dalam hal isi Laporan Aktuaris Berkala atau penyataan akttiaris tidak
sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangetn ini
yang menyebabkan terjadinya informasi yang salah terhadap
kewajiban Pemberi Kerja untuk mendanai. program pensiun, Menteri
dapat memerintahkan Pengurus meiiyampaikan Laporan Aktuaris
Berkala baru.
(2) Tanggal perhitungan aktuaria yang digunakan dalam Laporan
Aktuaris Berkala baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Direktur Dana Pensiun.
(3) Dalam hal aktuaris yang sama tidak dapat atau tidak bersedia
membuat Laporan Aktuaris Berkala baru yang sesuai dengan
ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, Dewan Pengawas
dilarang menunjuk Aktuaris tersebut untuk menyusun laporan
aktuaris untuk periode-periode berikutnya.
(4) Dalam rangka penyusunan Laporan Aktuaris, Dewan Pengawas
dilarang menunjuk Aktuaris yang telah diinyatakan oleh asosiasi
aktuaris melanggar standar praktik aktuaria untuk Dana Pensiun yang
berlaku di Indonesia.
Pasal 24
Dalam hal hasil perhitungan aktuaria. menunjukkan bahwa Dana Pensiun
mempunyai kualitas pendanaan tingkat tiga, maka Dana Pensiun dimaksud
wajib melakukan valuasi aktuaria untuk tahun buku berikutnya.
Bagian Kedua ...
- 21 -
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan Aktuaris
Pasal 25
(1) Setiap laporan aktuaris yang dijadikan dasar dalam penetapan iuran
Pemberi Kerja wajib disampaikan kepada Menteri melalui Direktur
Dana Pensiun dilengkapi dengan pernyataan Pendiri sebagaimana
dirnaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus laporan asli dan disertai dengan data elektronik yang sama
dengan data pada laporan aktuaris tersebut.
(3) Laporan Aktuaris Berkala dan data elektronik sebagaimana.dirnaksud
dalam ayat (2) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sejak
tanggal perhitungan aktuaria.
(4) Penyampaian Laporan Aktuaris Berkala atau laporan aktuaris dalam
rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun atau pengesahan
perubahan Peraturan Dana Pensiun, laporan tersebut dijadikan dasar
dalam
penetapan kewajiban menyampaikan laporan aktuaris
berikutnya.
(5) Bentuk dan susunan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
(6) Penyampaian laporan seba aimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
Pasal 26 ...
- 22 -
Pasal 26
(1) Dalam hal penyampaian Laporan Aktuaris Berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) terlambat dilakukan, Pendiri
dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas
akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (3), paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tanggal penyampaian laporan aktuaris adalah:
a. tanggal penerimaan pengiriman, apabila laporan aktuaris
diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun; atau
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila
laporan aktuaris dikirim melalui kantor pos atau jasa
pengiriman/titipan.
(3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan
aktuaris atau pada tanggal perhitungan aktuaria periode berikutnya
apabila dilakukan valuasi aktuaria kembali.
(4) Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan ke
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
(5) Pendiri wajib menyampaikan copy bukti setoran pelunasan atas
denda dimaksud kepada Menteri melalui Direktur Dana Pensiun.
(6) Penyampaian laporan aktuaris setelah melewati, jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) tidak menghapuskan
kewajiban pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dan dalam hal Pendiri belum membayar denda, denda tersebut
dinyatakan sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan
dalam neraca Pendiri yang bersangkutan.
BAB VI …
- 23 -
BAB VI
PEMBAYARAN SEKALIGUS, PENGALIHAN DANA
DAN PERUBAHAN PROGRAM
Bagian Pertama
Pembayaran Manfaat Pensiun Secara Sekaligus atau
Pengalihan ke Dana Pensiun Lain
Pasal 27
Dalam hal Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun
Manfaat Pasti memiliki Kekurangan Solvabilitas, maka setiap pembayaran
manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana Pensiun
lain hanya dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan berikut
terpenuhi:
a. Peserta atau janda/Duda atau Anak meninggal dunia, dan
pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan ke
Dana Pensiun lain diperkenankan oleh perundang-undangan di
bidang Dana Pensiun;
b. Peserta pensiun dan pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus
diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan di bidang Dana
Pensiun; dan atau
c. Laporan aktuaris berikutnya menunjukan bahwa pembayaran
Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana
Pensiun lain dimaksud tidak mengurangi Rasio Pendanaan yang telah
dicapai sebelumnya, atau Pendiri menjamin bahwa Rasio Pendanaan
tidak berkurang, yang dinyatakan dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) butir b.
pernyataan Pendiri
Bagian Kedua ...
- 24 -
Bagian Kedua
Perubahan Program Pensiun
Pasal 28
(1) Perubahan Program Pensiun Manfaat Pasti menjadi Program Pensiun
Iuran Pasti dapat dilakukan Pendiri hanya jika Dana Pensiun tidak
mengalami kekurangan solvabilitas.
(2) Dalam hal Dana Pensiun mengalai-ni kekurangan solvabilitas dan
Pendiri bermaksud mengubah Program Pensiun Manfaat Pasti
menjadi Program Pensiun Iuran Pasti, kekurangan solvabilitas
tersebut wajib dilunasi terlebih dabulu.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat mulai berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 77/KMK.017/1995 tentang Pendanaan dan
Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan Menteti Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BOEDIONO
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id>
<reg_title> PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2002 </set_date>
<effective_date> 4 Desember 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '77/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V Bagian Kedua Pasal 26' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 425/KMK.06/2003
TENTANG
PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA
PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan
yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu
dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap
ketentuan mengenai Perizinan dan Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 226/KMK.017/1993 Tahun 1993,
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan
Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3467)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999
118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);:
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001;
MEMUTUSKAN ...
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
USAHA PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud
dengan
Direksi adalah direksi pada perseroan terbatas atau
persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan
usaha bersama.
2. Komisaris adalah komisaris pada perseroan terbatas atau
usaha bersama.
3. Asosiasi adalah asosiasi dari perusahaan yang
mempunyai lingkup usaha penunjang usaha asuransi
atau profesi keallian di lingkup usaha penunjang usaha
asuransi.
4. Menteri adalah Menteri Kcuangan Republik Indonesia.
BAB II
IZIN USAHA
Bagian Pertama
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Iizin Usaha
Pasal 2
(1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi harus mengajukan permohonan tertulis
kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal sebagai
berikut
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-3 -
a. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Talun
1999,
b. dokumen pendukung lainnya yang meliputi :
1) susunan organisasi dan kepengurusan,
termasuk uraian tugas dan sistem pengolahan
data;
2) surat keterangan dari lembaga pembina dan
pengawas usaha perbankan bahwa pemegang
saham tidak termasuk dalam daftar orang
tercela;
3) neraca pembukaan yang dilengkapi dengan
bukti pendukungnya;
4) studi kelayakan usaha yang antara lain memuat
rencana pengembangan usaha dan
pengembangan sumber daya manusia;
5) bukti mempekerjakan tenaga ahli;
6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan
berikut NPWP dari Direksi, Komisaris, dan
pemegang sahamnya:
7) bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup
Direksi, Komisaris, pemegang sahan, dan
tenaga ahli yang dipekerjakan
8) pernyataan Direksi fidak merangkap jabatan
pada perusahaan lain,
pernyataan tenaga ahli tidak bekerja di
perusahaan lain; dan
F0) bukti perjanjian keagenan dengan Perusahaan
Asuransi, khusus bagi Agen Asuransi yang
berbentuk badan hukum.
(2) Bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang
terdapat kepemilikan pihak asing, selain harus
memenuhi ketentuan ayat (1) harus pula menyampaikan
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
RI IK INDONESA
a. referensi atau rekomendasi dari badan pembina dan
pengawas usaha perasuransian pihak asing tempat
yang bersangkutan berdomisili, yang sekurang-
kurangnya menyatakan bahwa pihak asing tersebut
memiliki izin usaha dan reputasi baik; dan
peranijan keriasama antara pihak Indonesia dan
pihak asing.
Pasal 3
Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan
sekurang-kurangnya memuat :
. komposisi permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999,
b. susunan anggota dewan Direksi dan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63
Talun 1999; dan
kewajiban pihak asing untuk membuat dan
rogam pendidikan dan pelatihan sesua
bidang keabliannya.
Pemberian atau Penolakan Permohonan
Izin Usaha
Pasal 4
(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap.
(2) Setiap
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
S
(2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus disertai dengan penjelasan secara tertulis.
BAB III
PERSYARATAN UMUM
Bagian Pertama
Susunan Organisasi
Pasal5
Susunan organisasi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut
. sekurang-kurangnya menggambarkan secara jclas adanya:
yang terpisah satu dengan yang lainnya, bagi
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi; dan
2) fungsi teknis sesuai dengan bidang usaha yang
Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria,
dan Perusahaan Agen Asuransi; dan
b. dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung
organisasi.
Bagian Kedua
* Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham
Pasal 6
(1) Setiap Direksi, Komisaris, dan pemegang saham
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi setiap saat harus
memenuhi ketentuan mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan.
(2) Dalam.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
KINDONS
6.
(2) Dalam hal ketentuan mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan bagi penegang saham belum
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan apabila yang bersangkutan tidak termasuk
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Bagian Ketiga
Pasal 7
(1) Perusalaan Penunjang Usaha Asuransi harus
mengangkat tenaga ahli.
(2) Tenaga alli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
memiliki kualifikasi sebagai :
1) ahli pialang asuransi bersertifikat dari Asosiasi
asuransi dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi
Indonesia (AAMAD, atau dari asosiasi sejenis di
Iuar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh
pengakuan dari ABAI atau pengakuan dari
AAMAL bagi Perusahaan Pialang Asuransi;
2) ahli asuransi bersertifikat dari Asosiasi Ahli
Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI), atau
dari asosiasi sejenis di luar negeri setelah
terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari
3) adjuster bersertifikat dari Asosiasi Adjuster
Asuransi Indonesia (AAAI) atau dari asosiasi
memperoleh pengakuan dari AAAI, bagi
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
4) aktuaris bersertifikat dari Persatuan Aktuaris
negeri setelah terlebih dahulu memperoleh
pengakuan dari PAI, bagi Perusahaan
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBUK INDONESIA
-7-
5) agen bersertifikat dari asosiasi industri asuransi
sejenis di Indonesia, bagi Agen Asuransi;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
perasuransian sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi
profesinya; dan
d. terdaftar sebagai tenaga ahli di Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan.
(3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi harus
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pengangkatan.
Pasal 8
Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 wajib
melakukan tugasnya dengan berpedoman pada standar
praktek dan kode etik profesi yang berlaku.
Pasal 9
(1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib
memberhentikan tenaga ahli yang melanggar peraturan
perundang-undangan di bidang usaha perasuransian
paling lambat 7 (tujuh) hari scjak ditemukannya
pelanggaran.
(2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang
memberhentikan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib mengangkat tenaga ahli baru dan
melaporkan kepada Menteri paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak tanggal pemberhentian.
Pasal 10
Setiap tenaga alli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib
mehdaftarkan diri dengan mengajukan permohonan
pendaftaran secara tertulis kepada Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan dengan melampirkan:
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
RINDON
-8 -
a. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data
pendukungnya,
b. copy sertifikat gelar profesi; dan
c. keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesi.
Pasal 11
Pendaftaran tenaga abli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dapat dibatalkan apabila tenaga ahli dimaksud:
a. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktek oleh
asosiasi profesi tenaga ahli yang bersangkutan,
. dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang
mengeluarkan gelar tersebut;
. melakukan perbuatan tercela di bidang usaha
perasuransian; atau
d. tidak lulus pengujian kemampuan dan kepatutan karena
faktor integritas, dalam hal tenaga ahli pernah mengikuti
pengujian dimaksud.
Bagian Keempat
Sistem Administrasi dan Pengolahan Data
Pasal 12
Pengelolaan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
sekurang-kurangnya harus didukung dengan :
. sistem administrasi yang memenuhi fungsi pengendalian
intern;
. sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam pengambilan keputusan; dan
c. program pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia.
Bagian Kelima
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
9
Pasal 13
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dapat mempekerjakan
tenaga asing sebagai penasihat dengan ketentuan tenaga asing
dimaksud:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan
menjadi tanggung jawabnya,
b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenaga-kerjaan; dan
c. memiliki program kerja sesuai dengan tugasnya.
Bagian Keenam
Dana Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 14
(1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib
menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan
dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris untuk
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian
di bidang usaha asuransi bagi karyawannya.
(2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) .untuk setiap tahun, wajib
31 Januari tahun berikutnya.
BAB IV.
End of Page 9
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
BAB IV
LAPORAN PERUBAHAN
Pasal 15
(1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib
a. anggaran dasar,
b. alamat kantor perusahaan; dan
c. perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi,
bagi Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum.
(2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang melakukan
perubahan anggaran dasar harus menyampaikan bukti
Menteri, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal diperoleh persetujuan dimaksud.
(3) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan
persetujuan dari instansi yang berwenang, maka
disampaikan kepada Menteri paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak tanggal perubahan.
BAB V
PENGGABUNGAN BADAN USAHA
Pasal 16
(1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dapat
melakukan penggabungan badan usaha dengan
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sejenis.
(2) Perusahaan ..
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
11-
(2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang akan
melakukan penggabungan badan usaha wajib
melaporkan rencana penggabungan dimaksud kepada
Menteri untuk mendapat persetujuan.
(3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib
usaha dimaksud paling lambat 14 (empat belas) hari
sejak tanggal penggabungan badan usaha.
BAB VI
PENYELENGGARAAN USAHA
Pasal 17
Dalam rangka menjaga perimbangan sebagaimana dimaksud
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999,jumlah premi yang belum disetor oleh
Perusahaan Pialang Asuransi kepada Perusahaan Asuransi
senantiasa tidak boleh melebihi modal sendiri Perusahaan
Pialang Asuransi yang bersangkutan.
BAB VII
LAPORAN OPERASIONAL DAN KEUANGAN
Pasal 18
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan
Konsuitan Aktuaria wajib. menyampaikan kepada
Menteri laporan operasional untuk kegiatan selama 1
(satu) tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember,
paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib menyampaikan kepada Menteri:
a. laporan operasional tahunan yang berakhir pada
lambat tanggal 30 April tahun berikutnya,
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
12
b. laporan keuangan tahunan yang berakhir pada
auditor independen, disampaikan paling lambat
tanggal 30 April tahun berikutnya; dan
c. laporan kcuangan semesteran yang berakhir pada
paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya
semester yang bersangkutan.
(3) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 19
(1) Setiap Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib
menjadi anggota Asosiasi perusahaan sejenis.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai tugas antara lain
a. mengkoordinir penyusunan standar praktek dan
kode etik profesi usaha penunjang usaha asuransi;,
b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan; dan
c. melakukan pengendalian mutu terhadap tenaga ahli
profesi usaha Penunjang Usaha Asuransi.
Menteri.
Pasal 20
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
DRLKINDONESA
- 13 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Setiap pihak yang telah mengajukan permohonan izin
usala Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sebelum
mengajukan permohonan untuk memenuhi ketentuan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak memperoleh izin usaha.
Asuransi wajib mendaftarkan diri kepada Direktur
Tedemal lembaga Keuangan sebagalmana
dalam Pasal 10 paling lambat 6 (enam) bulan sejak
Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan.
(3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang telah
memperoleh izin usaha wajib menyesuaikan dengan
tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 226/KMK.017/1993
tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 23
euangan ini mulaiberhaku pala bangei
ditetapkan.
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
- 14-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintalkan
pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,-
Salinan sesuai dengan aslinya BOEDIONO
KEPALA BAGIAN-T.U. DEPARTEMEN
NIP 060041898
End of Page 14
| <reg_type> KEP-MEN </reg_type>
<reg_id> 425/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI </reg_title>
<set_date> 30 September 2003 </set_date>
<effective_date> 30 September 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '226/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII Pasal 20' </penalty_list>
|
End of preview. Expand
in Dataset Viewer.
No dataset card yet
- Downloads last month
- 6