input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 426 /KMK.06/2003 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993 Tahun 1993; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN.. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN 2 MEMUTUSKAN Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan: Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah. 2. Direksi adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama. persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama. 4. Kantor Pemasaran adalah kantor selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. 5. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan-perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan-perusahaan Asuransi Jiwa, atau Perusahaan-perusahaan Reasuransi. BAB II. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INOONE -3- BAB II IZIN USAHA Bagian Pertama Perusalaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional Pasal 2 (1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut a. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud Pemerintah Nomor .73 Tahun 1992 tentang Renjdengaran Usaha Perasuransiat telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan b. dokumen pendukung lainnya yang meliputi 1) susunan organisasi dan kepengurusan, termasuk uraian tugas dan wewenangnya; 2) neraca pembukaan, yang dilengkapi dengan bukti terdiri dari proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, yang didukung olch asumsi-asumsi yang wajar untuk periode sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang pengembangan sumber daya manusia untu. Sekurang-kurangnya tiga tahun mendatang 4) daftar riwayat hidup Direksi, Komisaris dan tenaga ahli yang dipekerjakan, yang dilengkapi dengan bukti pendukungnya 5) pemyataan tidak merangkap bekerja pada tenaga ahli; 6) Nomor .. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN 6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris dan pemegang saham; 7) bukti pemenuhan modal disetor, 8) bukti penempatan deposito jaminan; 9) uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengolahan data yang digunakan; 10) alamat lengkap perusahaan; dan 11) pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber dana yang dijadikan modal tidak berasal dari Tindak Pidana Kejahatan Asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. (2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, selain harus memenuhi ketentuan ayat (1) maka pihak asing dimaksud harus pula memenuhi ketentuan a. memiliki rating sekurang-kurangnya A atau yang setara dengan itu dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional; b. menuiliki modal sendiri sekurang-kurangnya 5 (lima) kali dari besarnya penyertaan langsung pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan didirikan; c. menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit tingkat keschatan keuangan yang sehat; dan d. menyampaikan perjanjian kerjasama antara pihak Indonesia, yang sekurang-kurangnya memuat 1) komposisi... End of Page 4 MENTERI KEUANGAN -5 dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; 2) susunan anggota dewan komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan 3) kewajiban pihak asing untuk menyusun dan melaksanakan program pendidikan dan pelatihan sesuai bidang keahliannya. Bagian Kedua Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah Pasal 3 Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha rcasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara a. pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah, b. konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi dengan Pririsip Syariah; End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari bonto menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional. Pasal 4 (1) Untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis, b. memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis; dan c. memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip Syarial. (3) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan: a. bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah; b. bukti.. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN -7- b. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukkan anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan c. bukti, pengesahan Dewan Pengawas Syariah dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan Asuransijiwa; 2) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan proyeksi underwriting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, 3) cara pemasaran; 4) rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana dukungar retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; dan 5) contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur. syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penempatan investasi baik batasan jenis maupun jumlah; . pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko; dan bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b. Bagian Ketiga Pemberian atau Penolakan Permohonan Ilzin Usaha Pasal 5... End of Page 7 REPUBLIK INDONESIA -8 - Pasal 5 (1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerj sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan penjelasan secara tertulis. Pasal 6 Perusahaan Asuransi -atau Perusahaan Reasuransi yang ditolak atau yang membatalkan permohonan izin usalianya, dapat mengajukan permohonan pencairan deposito jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. Pasal 7 Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus menyampaikan program dukungan reasuransi otomatis. BAB III KELEMBAGAAN Bagian Pertama Susunan Organisasi Pasal 8 Susunan organisasi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi persyaratan a. sekurang-kurangnya ... End of Page 8 REPUBLIK INDONESIA -9 - fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan, yang terpisah satu dengan yang lainnya; dan b. dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung organisasi. Bagian Kedua Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham Pasal 9 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota Direksi. Pasal 10 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris independen, dengan pemegang saham dan atau Direksi. Pasal 11 (I) Setiap Direksi, Komisaris atau pemegang saham Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus telah Julus pengujian penilaian kemampuan dan kepatutan. 0 Dalamhalketentuan mengenai penuilalan ke kepatutan bagi pemegang saham belum diberlakukan, pemegang saham dianggap memenuhi ketentuan yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Bagian .... End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA - 10 Bagian Ketiga Tenaga Ahli Paragraf 1 Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Kerugian Pasal 12 (1) Perusahaan Asuransi Kerugian harus mmengangkat seorang tenaga abli asuransi kerugian. (2) Tenaga ahli asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI, b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; . tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan 4. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 13 ' (i) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha asuransi kerugian. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahii harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi yang berlaku. Pasal 14 .. End of Page 10 REPUBLIK INDONESIA 11 Pasal 14 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat mempekerjakan tenaga underwriting yang telah mengikuti pendidikan dan atau pelatihan mengenai cabang asuransi yang dipasarkan. Paragraf 2 Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa Pasal 15 (1) Perusahaan Asuransi jiwa harus mempekerjakan sekurang jiwa. (2) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan zisiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun, . tidak sedang dalam pengertaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi jiwa di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. (3) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),, wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha asuransi Pasal 16.. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN 12 Pasal 16 (1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang aktuaris sebagai aktuaris perusahaan. (2) Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris dari Persatuan Aktuaris Indonesia atau asosiasi sejenis dari luar negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh dari mendapat pengakuan dariRersatan Aktuaris Indonesia; s. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi jiwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; mendapat rekomendast dari Persatuan Aktuaris bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan Asuransi Jiwa di Indonesia, bagi aktuaris Selain anggota Persatuan Aktuaris Indonesia; dan d. terdaftar sebagai aktuaris di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 17 (1) Aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) wajib melakukan valuasi terhadap kewajiban Perusahaan Asuransi Jiwa dan aspek teknis aktuaria lainnya. harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi yang berlaku. Pasal 18 .. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN - 13- Pasal 18 Perusahaan Asuransi Jiwa wajib menunjuk Perusahaan Konsultan Aktuaria yang tidak memiliki hubungan afiliasi melakukan valuasi kewajiban perusahaan sekurang- kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. Paragraf 3 Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi Pasal 19 (1) Perusahaan Reasuransi harus mengangkat seorang tenaga ahli asuransi kerugian. (2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI, b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan d. terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 20 (1) wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha reasuransi (2) Dalam .. End of Page 13 K INDONESIA - 14 - (2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi yang berlaku Paragraf 4 Tenaga Ahli atau Aktuaris Perusahaan Pasal 21 melaporkan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan kepada Menteri, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengangkatan. (2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Menteri tidak memberikan tanggapan, maka proses nkatan tenaga ahli dan atau aktars perusahaan dimaksud dinyatakan telah dilakukan. Pasal 22 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memberhentikan tenaga ahli asuransi atau aktuaris perusahaan yang melanggar peraturan perundangan di bidang usaha perasuransian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditensukannya pelanggaran. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memberhentikan tenaga alli asuransi atau aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib tengangiat tenaga ahli asuransi ataltaktois 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberhentian. Paragtaf 5 Tenaga Ahli pada Kantor Cabang Pasal 23 . End of Page 14 REPUBLIK INDONESIA - 15 - Pasal 23 (1) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi wajib mengangkat seorang tenaga ajun ahli asuransi kerugian pada setiap kantor cabang. (2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI, b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi kerugian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi. Pasal 24 (1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang tenaga ajun ahli asuransi jiwa pada setiap kantor cabang - (2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI: b. meniliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi jiwa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan protesi. End of Page 15 WENTERI KEUANGAN - 16 - Paragraf 6 Pasal 25 Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib mendaftarkan tertulis kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dengan melampirkan: a. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data pendukungnya, b. copy sertifikat gelar profesi; dan keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi. Paragraf 7 dan Aktuaris Pasal 26 Pendaftaran tenaga ahli asuransi dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dibatalkan apabila tenaga ahli asuransi dan aktuaris dimaksud: a. dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang mengeluarkan gelar tersebut, b. sedang dalam pengenaan sanksi oleh asosiasi profesi; c. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang- undangan di bidang usaha perasuransian; d. tidak lujus pengujian kemampuan dan kepatutan karena faktor integritas, dalam hal tenaga ahli atau aktuaris pernah mengikuti pengujian dimaksud. Bagian Keempat Sistem Administrasi dan Pengolahan Data Pasal 27... End of Page 16 REPUBLIK INDONESIA - 17- Pasal 27 Pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurang-kurangnya didukung dengan : a. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia; p. sistem administrasi yang memenuhi fungsi pengendalian intern; dan c sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan. Bagian Kelima Penggunaan Tenaga Asing Pasal 28 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mempekerjakan tenaga asing sebagai tenaga ahli, penasihat atau konsultan, atau sebagai tenaga eksekutif di penyertaan langsung pihak asing, dengan ketentuan tenaga asing dimaksud: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; dan b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mempekerjakan tenaga asing sebagaimana dimaksuc dalam ayat (1) wajib menyampaikan kepada Menteri : a. program kerja tenaga asing tersebut sesuai dengan tugasnya; dan b. program pendidikan dan pelatihan di bidang kepada karyawan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mempekerjakannya. (3) Laporan .. End of Page 17 REPUBLIK INDONESIA -18 - sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk setiap semester yang berakhir pada bulan Juni dan Desember wajib disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya. (4) Tenaga asing yang bekerja sebagai penasihat atau konsultan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang menjalankan fungsi di luar fungsi penasihat atau konsultan. Bagian Keenam Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pasal 29 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dan jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha perasuransian bagi karyawannya. penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk setiap periode satu tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember, dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya pada tanggal 31 Januari tahun berikutnya. Bagian Ketujuh Keanggotaan Asosiasi Pasal 30 (1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi (2) Asosiasi... End of Page 18 MENTERI KEUANGAN - 19 (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas antara lain : . menyusun standar praktek dan kode etik pemasaran produk asuransi dalam rangka memelihara terciptanya persaingan pasar yang sehat; b. mengkoordinir pelaksanaan pembentukan profil risiko, tabel mortalita, dan produk semacamnya; . mengkoordinir upaya untuk mengoptimalka kapasitas retensi asuransi nasional; . mengkoordinir upaya bersama atau pembentukan perusahaan asuransi untuk menutup risiko khusus, e. melaksanakan pendidikan dan pelatihan keagenan dan f. melaksanakan dan menetapkan sertifikasi keagenan. (3) Pelaksanaan kegiatan Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikonsultasikan secara berkala kepada Menteri BAB IV KANTOR CABANG DAN KANTOR PEMASARAN Bagian Pertama Perusahaan Reasuransi Konvensional Pasal 31 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat membuka kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, dengan ketentuan: a. memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas untuk 4 (empat) triwulan terakhir, b. memiliki . End of Page 19 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 20 b. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam secara penuh pada kantor cabang yang bersangkutan; dan tidak sedang dalam pengenaan sanksi administratif. (2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan ayat (1) dan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan melampirkan : a. uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengelolaan data yang memenuhi fungsi pengendalian intern berkenaan dengan kegiatan kantor cabang b. uraian tentang rincian kewenangan pimpinan cabang dalam penutupan asuransi, penetapan . premi, penetapan besarnya komisi dan penyelesaian klaim, c. identitas pimpinan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b yang akan dipekerjakan pada kantor cabang dimaksud, berikut bukti kualifikasi keahliannya dan daftar riwayat hidup dengan bukti pendukungnya; e. alamat lengkap kantor cabang; dan f. proyeksi keuangan kantor cabang yang meliputi proyeksi pendapatan & biaya serta arus kas, untuk Sekurang-kurangnya 3 tahun mendatang. Bagian Kedua Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional End of Page 20 MENTERI KEUANGAN 21 Pasal 32 (1) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: maksud dan tujuan perusahaan hanya menjalankan usaha asuransi kerugian, asuransi jiwa, atau usaha reasuransi termasuk usaha dengan Prinsip Syariah; b. memiliki modal kerja kantor cabang paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah); dan c. memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2), yang memiliki keallian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah. (2) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), permohonan pembukaan kantor cabang dengan Prinsip Syariah harus pula dilengkapi dengan buktit a. pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c yang dilengkapi dengan bukti kualifikasi, daftar riwayat hidup termasuk bukti pendukungnya; c. pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukkan anggota Dewan Pengawas Syariah d. pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas: 1) sumber modal kerja kantor cabang 2) sistem akuntansi yang terpisah/tersendiri khusus untuk cabang dengan Prinsip Syariah 4) dasar . End of Page 21 MENTERI KEUANGAN - 22 - 4) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi jiwa, 5) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan proyeksi underoriting bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi; 6) cara pemasaran 7) rencana' dukungan reasuransi otomatis bagi retrosesi bagi perusahaan reasuransi; dan 8) contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah Pasal 33 Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) huruf c. Bagian Keempat Pembukaan Kantor Pemasaran Pasal 34 Pembukaan Kantor Pemasaran harus terlebih dahulu dilaporkan secara tertulis kepada Menteri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pembukaan kantor pimpinan kantor tersebut. Pasal 35.. End of Page 22 REPUBUK INDONESIA - 23 Pasal 35 (1) Kantor Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal pelayanan informasi kepada masyarakat pemegang polis atau tertanggunig (2) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang a. menerima atau menolak penutupan asuiransi; b. menandatangani polis; dan c. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim. Bagian Kelima Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Pemasaran Pasal 36 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan dan atau Kantor Pemasaran harus melaporkan teriebih dahulu kepada Menteri selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian atau penutupan kantor dimaksud. Pasal 37 Pencabutan izin pembukaan suatu kantor cabang akan dilakukan dalam hal a adanya laporan penghentian atau penutupat cabang tersebut oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu tiga bulan sejak tanggal penetapan izin pembukaan; dan atau c. kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu enam bulan secara terus menerus. BAB V.. End of Page 23 REPUBLIK INDONESIA 24 BAB V PEMASARAN MELALUIJASA AGEN DAN MELALUI KERJASAMA DENGAN PIHAK BANK Bagian Pertama Pemasaran Melalui Jasa Agen Pasal 38 (1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen asuransi yang memasarkan produk asuransinya. masih terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi lain kecuali agen yang bersangkutan telah mengakhiri perjanjian keagenannya sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan. (3) Dalan hal Perusahaan Asuransi menggunakan jasa pemasaran selain agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka Perusahaan Asuransi tersebut bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi dimaksud. Bagian Kedua Pemasaran Melalui Kerjasama dengan Bank Pasal 39 (1) Perusahaan Asuransi dapat melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank (bancassurance). (2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran dalam ayat (1) bertanggung jawab atas semua tindakan bank yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang Pasal 40... End of Page 24 REPUBLIK INDONESIA - 25 - Pasal 40 (I) Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank harus memperoleh persetujuan Menteri () Uhtik memperoleh persetujuan Me Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan menyampaikan : a. produk yang akan dipasarkan; b. prosedur penutupan dan pembayaran premi; c. prosedur penyelesaian klaim,; dan Kansep perjanjian kerja sama dengan bank yang telah diparaf oleh para pihak. (3) Petugas bank yang akan melakukan pemasaran produk asuransi harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. memiliki sertifikasi keagenan asuransi yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait; dan . telah memperoleh pelatihan mengenai produk asuransiyang akan dipasarkan. (4) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan perjanjian kerjasama dengan pihak bank yang telah ditandatangani, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak memperoleh persetujuan Menteri. BAB VI LAPORAN PERUBAHAN Pasal 41 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan mengenai setiap perubahan : a. alamat kantor perusahaan baik kantor pusat, kantor cabang maupun Kantor Pemasaran, b. tenaga . End of Page 25 MENTERI KEUANGAN - 26- b. tenaga ahli; penggunaan tenaga asing susunan organisasi; e. pemimpin kantor cabang maupun Kantor Pemasaran f. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan 8. produk asuransi yang dipasarkan. (2) Perubahan alamat kantor cabang atau selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dimungkinkan: a. bagi perubahan alamat di dalam wilayah Kotamadya yang sama atau Kabupaten yang sama: b. bagi perubahan alamat antar wilayah Kotamadya pada Ibukota Propinsi; c. bagi perubahan alamat dari kabupaten ke kotamadya yang merupakan pengembangan wilayah kabupaten dimaksud, atau sebaliknya. Pasal 42 (I) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan perubahan anggaran dasar harus menyampaikan bukti persetujuan dari instansi yang berwenang kepada Menteri, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diperoleh (2) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan perubahan yang sudah dimuat dalam akta notaris disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 14 Pasal 43.. End of Page 26 REPUBLK INDONESIA 27- Pasal 43 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan 'perubahan kepemilikan, harus terlebih tersebut kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan. (2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perubahan kepemilikan yang asing di dalam perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut, maka pihak asing dimaksud harus Perusahaan Asuransi sejenis atau perusahaan induk (holding company) yang sebagian besar portofolic anak perusahaannya di bidang asuransi. (3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2). (4) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf b, c, dan d. BAB VII MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI Bagian Pertama Pasal 44 (I) Merger dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau lebih porusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dengan atau tanpa melikuidasi perusahaan lainnya. (2) Konsolidasi . End of Page 27 MENTERI KEUANGAN REPUBLK INDONESIA 28 (2) Konsolidasi dapat dilakukan Perusalaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan melebur dua atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan yang dilebur. (3) Merger dan konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pamemtah Nomor 73 Tahi 1007 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. Pasal 45 (1) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah 1999, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan melampirkan bukti sebagai berikut ; a. Perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai pengalihan semua hak dan kewajiban dari perusahaan- perusahaan yang akan melakukan merger atau konsolidasi dengan tidak mengurangi hak tertanggung b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan merger atau konsolidasi; . laporan keuangan proforma dari perusahaan hasil merger atau konsolidasi yang memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas; dan d. rancangan perubahan anggaran dasar. (2) Perjanjan .. End of Page 28 MENTERI KEUANGAN 29 - (2) Perjanjian pengalihan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, antara lain harus mencantumkan bahwa hak dan kewajiban yang timbul oleh perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi, wpeusahan baru hasi meg atau konsolidasi. Pasal 46 (1) Perusahaan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, wajib melaporkan hasil pelaksanaan merger atau konsolidasi melaporkan hasil pelaksanaan merger kepada Menteri dengan melampirkan a. anggaran dasar perusahaan yang telah disahkan oleh instansiyang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan perusahaan, . surat pengangkatani tenaga ahli; d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris dan pemegang saham; dan e. alamat lengkap perusahaan. ayat (i) harus disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan atau pengesahah anggaran dasar perusahaan dari instansi yang berwenang. (3) Setelah mendapatkan laporan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mencabut izin usaha yang sudah tidak digunakan lagi oleh perusahaan yang melakukan merger, konsolidasi dan menerbitkan izin usaha perusahaan hasil End of Page 29 MENTERI KEUANGAN 30 Akuisisi Pasal 47 (1) Akuisisi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan mengambil-alih seluruh atau sebagian besar saham perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi lain sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut. (2) Untuk melaksanakan akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi harus memperoleh persetujuan dari Menteri. (3) Pelaksanaan akuisisi terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut . a. perusahaan yang melakukan akuisisi adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sejenis; b. pelaksanaan akuisisi tersebut tidak mengakibatkan berkurangnya hak tertanggung,; dan pelaksanaan akuisisi tersebut harus memperhatikan diperkenankan dalam bentuk investasi sehingga tidak mengakibatkan perusahaan yang melakukan akuisisi menjadi tidak memenuhi ketentuan tentang tingkat solvabilitas. (4) Untuk memperoleh persetujuan melakukan akuisisi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan melampirkan bukti sebagai berikut : a. perjanjian. End of Page 30 WENTERI KEUANGA REPUBLIK INDONESIA -31 - pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan yang akan diakuisisi kepada perusahaan yang akan mengakuisisi, dengan tidak mengurangi hak tertanggung b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan yang akan diakuisisi dan yang akan mengakuisisi; c. laporan keuangan proforma dari perusahaan setelah pelaksanaan akuisisi, yang memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas; dan d. rancangan perubahan anggaran dasar dari perusahaan yang diakuisisi. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 48 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan penutupan pertanggungan melalui jasa keperantaraan perusahaan pialang asuransi atau pialang reasuransi yang tidak memiliki izin usaha dari Menteri. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 49 (I) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap. ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan. (2) Setiap . End of Page 31 MENTERI KEUANGAN 32 (2) Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling lambat 6 (enam) bulan sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 50 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tidak berlaku. Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusai Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2003 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd,- KEPALA BIRO UMUM KEPALA BIRO UMUM BOEDIONO KEPALA BAGIANEPARTN KOEMORO WARSITO, S.H. NIP 060041898 End of Page 32
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 426/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 30 September 2003 </set_date> <effective_date> 30 September 2003 </effective_date> <replaced_reg> '223/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg> <related_reg> '73/PP/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001', '2/UU/1992' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN SALINAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 423/KMK.06/2003 TENTANG PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap para pemegang polis pada perusahaan perasuransian, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan yang lebih berdaya guna dan berhasil guna; b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13 dan Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor : 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Talun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 118 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001, MEMUTUSKAN. End of Page 1 E KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan iniyang dimaksud dengan 1. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Usaha Perasuransian. 2. Pemeriksa adalah pegawai Direktorat Asuransi atau pihak lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. 3. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, . dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha Perasuransian, yang bertujuan untuk kepatuhan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang- undangan di bidang Usaha Perasuransian serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya. 4. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Direktur Asuransi atas nama Direktur Jenderal Lembaga Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. 5. Surat . Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Direktur Asuransi atas nama Direktur Jenderal Lembaga Keuangan yang disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa. 6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -3 - BAB II FUNGSI, DASAR DAN RENCANA PEMERIKSAAN Pasal 2 Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dilakukan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 3 (1) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara berkala sekurang- kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun atau setiap waktu bila diperlukan. (2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat tengkap yang meliputi kebenaran aspek substansi keatuhan terhadap peraturan penunang manajemen. (3) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksud dalam Pasal 4 dan disesuaikan dengan skala prioritas dari jenis usaha perasuransian yang ditetapkan oleh Direktur Asuransi. (4) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bersifat khusus dan dilakukan apabila: a berlisarkan basilanalisis atas laporan pen perasuransian, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian dimaksud menyimpang dari ketentuan Undang-undang tentang Usaha Perasuransian dan , peraturan pelaksanaannya, sehingga dapa membahayakan kepentingan para pemegang polis, b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh Direktorat Asuransi, perasuransian... End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA perasuransian dimaksud menyimpang dari Undang- undang tentang Usaha Perasuransian dan peraturan pelaksanaannya sehingga dapat membahayakan kepentingan para pemegang polis, . terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan pemeriksaan termasuk dalam hal terjadi merger, akuisisi atau pengalihan portofolio pertanggungan. Pasal 4 (1) Tiga bulan sebelum berakhirnya tahun takwin Direktur Asuransi wajib menyampaikan Rencana Pemeriksaan untuk 1 (satu) tahun takwin berikutnya kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. (2) Setiap 6 (enam) bulan sekali Direktur Asuransi melaporkan hasil pelaksanaan pemeriksaan kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan sesudah pelaksanaan pemeriksaan. (3) Setiap tahun Direktur Jenderal Lembaga Keuangan melaporkan pelaksanaan pemeriksaan kepada Menteri paling lambat 2 (dua) bulan sesudah tahun takwin berakhir. 4) Laporan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) berisi sekurang-kurangnya a. rencana pemeriksaan, b. pelaksanaan dari rencana pemeriksaan; c. temuan dari hasil pemeriksaan; d. hambatan pemeriksaan; dan e. usulan pemecahan masalah.. BAB III TATA CARA PEMERIKSAAN Pasal 5 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Sebelum.. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN .5 (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Perusahaan Perasuransian. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat Pemberitahuan Pemeriksaan apabila diduga bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan akan dapat memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau , tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperiukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan. Pasal 6 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. (2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) meliputi sekurang-kurangnya a. Penentuan obyek pemeriksaan; b. Prosedur dan program pemeriksaan; c. Penyusunan kertas kerja pemeriksaan d. Pelaporan penieriksaan; e. Tindak lanjut pemeriksaan; dan f Pengawasan pemeriksaan. BAB IV TAHAPAN PEMERIKSAAN Pasal7 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan Pemeriksaan; c. pelaporan hasil Pemeriksaan. End of Page 5 REPUBLIK INDONESIA (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a harus dibuat berdasarkan hasil analisis laporan periodik dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan di kantor perusahaan perasuransian yang diperiksa, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan perusahaan yang bersangkutan. (4) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c harus disusun segera setelah pelaksanaan Pemeriksaan selesai dan harus berdasarkan atas data atau keterangan yang diperolceh selama proses pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan. Pasal 8 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan di kantor perusahaan perasuransian, Pemeriksa wajib menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan. (2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Pemeriksa wajib menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (3) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan dalam ayat (1) dan atau ayat (2), perusahaan yang akan diperiksa wajib menolak dilakukan Pemeriksaan. (4) Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2), Pemeriksa berhak: . memeriksa dan atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk keluaran (oniput) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya; . mendapatkan keterangan lisan dan atau tertulis dari Perusalaan Perasuransian yang diperiksa. tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang yang Perasuransian yang diperiksa; d. mendapatkan.. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7- d. mendapatkan kelerangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan dari pihak ketiga yang mempunyai he Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. 5) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak. Pasal 9 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak dan atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Perusahaan Perasuransian yang diperiksa berkewajiban untuk: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal penyampaian surat permintaan; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan atau lisan, c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu; d. memberikan keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (3) Perusahaan Perasuransian dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen atau keterangan yang (4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Perusahaan Perasuransian wajib menandatangani Berita Acara Pasal 10.. End of Page 7 MENTERI KEUANGAN DEDUBLIKINDONESIA Pasal 10 (1) Setelah berakhir pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pemeriksa wajib menyusun laporan hasil Pemeriksaan. 2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari a. laporan hasil Pemeriksaan sementara, b. laporan hasil Pemeriksaan final. (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Direktur Asuransi. BAB V PEMBAHASAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN Pasal 11 (1) Direktur Asuransi menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada Pengurus atau Direksi Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirya pelaksanaan Pemeriksaan. (2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas, laporan hasil Pemeriksaan sementara Asuransi paling lama 15 (lima belas) hari setelah diterimanya laporan hasil Pemeriksaan sementara. disampaikan kepada Direktur Asuransi dan disertai alasannya. dianikan pembahasan dalam jangka waktt pa (sepuluh) hari sejak diterimanya surat tanggapan dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (5) Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak mengajukan tanggapan atau berdasarkan hasil pembahasan atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara, maka Direktur. End of Page 8 NENTERI KEUANGH REPUBLIK INDONESIA 9- Direktur Asuransi menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final. (6) Direktur Asuransi menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) kepada Pengurus atau Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. BAB VI SANKSI Pasal 12 Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dan atau menghambat kelancaran proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Menteri mengenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku. BAB VII PENUTUP Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2003 MENTERI KEUANGAN. Salinan sesuai dengan aslinya Salinan sesuai dengan aslinya ttd.- KEPALA BIRO UMUM BOEDIONO u.b. KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMI KOEMORO VRKSITO. SH NIP 060041898 End of Page 9
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 423/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 30 September 2003 </set_date> <effective_date> 30 September 2003 </effective_date> <related_reg> '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
KMK Nomor 344 Tahun 1998 Tentang Perubahan KMK Nomor 227 Tahun 1993 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 344/KMK.017/1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA, PENYESUAIAN YAYASAN DANA PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja, penyesuaian Yayasan Dana Pensiun dan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja telah diatur bentuk dan susunan formulir permohonan; b. bahwa sesuai dengan perkembangan keadaan, dipandang perlu untuk mengubah bentuk dan susunan formulir permohonan tersebut dengan Keputusan Menteri Keuangan. Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembatan Negara Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Departemen; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998. M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA, PENYESUAIAN YAYASAN DANA PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA. Pasal I Mengubah Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 227/KMK.017/1993, sehingga berbunyi sebagai berikut : “Pasal 2 Untuk mendapat pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau penyesuaian Yayasan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pendiri mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan contoh Formulir A lampiran Keputusan ini.” Pasal II Mengubah contoh Formulir A dan contoh Formulir B lampiran Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 227/KMK.017/1993 sehingga berbunyi sebagaimana contoh Formulir A dan contoh Formulir B lampiran Keputusan ini. Pasal III Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. KMK Nomor 344 Tahun 1998 Tentang Perubahan KMK Nomor 227 Tahun 1993 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juli 1998 MENTERI KEUANGAN ttd BAMBANG SUBIANTO
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 344/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 227/KMK.017/1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA, PENYESUAIAN YAYASAN DANA PENSIUN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title> <set_date> 13 Juli 1998 </set_date> <effective_date> 13 Juli 1998 </effective_date> <changed_reg> '227/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </changed_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '61/KEPPRES/1998', '122/M|KEPPRES/1998' </related_reg>
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 512 /KMK.06/2002 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG DANA PENSIUN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Dana Pensiun yang berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh Menteri Keuangan; b. bahwa pemeriksaan langsung terhadap Dana Pensiun merupakan salah satu alat pembinaan dan pengawasan Dana Pensiun; c. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pemeriksaan terhadap Dana Pensiun, maka ketentuan mengenai pemeriksaan terhadap Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.017/1997 perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun; Mengingat 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3 . Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 4. Keputusan Presiden Nomor 998/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN: ... - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG DANA PENSIUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan atau keterangan mengenai Dana Pensiun yang dilakukan di kantor Dana Pensiun dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Dana Pensiun. 2. Pemeriksa adalah pegawai Direktorat Dana Pensiun yang memenuhi persyaratan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung. BAB II DASAR PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 2 (1) Pemeriksaan Langsung dilakukan atas dasar pertimbangan risiko pada Dana Pensiun yang ditetapkan berdasarkan : a. analisis laporan periodik Dana Pensiun yang mengindikasikan adanya penyimpangan penyelenggaraan program pensiun dari ketentuan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun atau Dana Pensiun dikelola secara tidak efisien; b. penelitian atas pengaduan atau informasi yang diterima dari sumber yang dapat dipercaya yang menimbulkan dugaan bahwa penyelenggaraan program pensiun menyimpang dari ketentuan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun atau Dana Pensiun dikelola secara tidak efisien; dan atau c. alasan ... - 3 - c. alasan khusus, termasuk dalam hal terjadi pembubaran, penggabungan atau pemisahan Dana Pensiun. (2) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam rencana Pemeriksaan Langsung oleh Direktur Dana Pensiun. (3) Dalam hal terdapat Dana Pensiun yang harus diprioritaskan untuk diperiksa, Direktur Dana Pensiun dapat memerintahkan Pemeriksaan Langsung selain Pemeriksaan Langsung sebagaiinana dimaksud dalam ayat (2). BAB III TUJUAN PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal3 Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk, tetapi tidak terbatas pada : a. memperoleh keyakinan yang memadai atas tingkat risiko kesesuaian penyelenggaraan Dana Pensiun terhadap Undangundang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya; b. memperoleh keyakinan yang memadai atas tingkat risiko kegiatan Dana Pensiun selain tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam butir a; dan atau c. memperoleh keyakinan yang memadai tentang kinerja kegiatan Dana Pensiun. BAB IV TATA CARA PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 4 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalani Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan oleh Pemeriksa. (2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan Pemeriksaan Langsung berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Langsung dari Direktur Dana Pensiun. Pasal 5 ... - 4 - Pasal 5 (1) Sebelum Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan, Direktur Dana Pensiun terlebih dahulu mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Dana Pensiun yang akan diperiksa mengenai Pemeriksaan Langsung dimaksud. (2) Pemeriksaan Langsung dapat dilaksanakan tanpa pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila ada dugaan bahwa pemberitahuan tersebut akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya sehingga Pemeriksaan Langsung yang dilaksanakan tidak mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat: a. nomor dan tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Langsung; b. nama Pemeriksa; c. tujuan Pemeriksaan Langsung; d. jangka waktu Pemeriksaan Langsung; dan e. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan Langsung. Pasal 6 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Langsung. (2) Standar Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas : a. Pedoman Manajemen Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal lembaga Keuangan; dan b. Pedoman Operasional Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun yang ditetapkan oleh Direktur Dana Pensiun. Pasal 7 ... - 5 - Pasal 7 (1) Dana Pensiun yang diperiksa berhak meminta Pemeriksa untuk menunjukkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan Langsung. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat menunjukkan Tanda Pengenal Pemeriksa atau Surat Perintah Pemeriksaan Langsung, Dana Pensiun berhak menolak dilakukannya Pemeriksaan Langsung. Pasal 8 (1) Setiap pihak dilarang menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung. (2) Dalam rangka pencocokan, klarifikasi, atau konfirmasi data dan atau informasi selama Pemeriksaan Langsung berlangsung, Pengurus wajib membantu Pemeriksa untuk memperoleh data atau informasi dari akuntan publik, penerima titipan, aktuaris, atau pihak lain yang terkait dengan kegiatan Dana Pensiun. (3) Dalam rangka lebih memperoleh keyakinan pencocokan, klarifikasi, atau konfirmasi data dan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengurus wajib memberikan ijin kepada Pemeriksa untuk memperoleh langsung data dan atau informasi dari akuntan publik, penerima titipan, aktuaris, atau pihak lain yang terkait dengan kegiatan Dana Pensiun. (4) Setiap pihak dianggap menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung apabila paling sedikit melakukan salah satu tindakan tersebut di bawah irii : a. tidak memperlihatkan dan atau meminjamkan buku, catatan, laporan, serta dokumen yang diperlukan dengan segera dalam batas waktu yang wajar; b. tidak bersedia untuk memberikan konfirmasi atau klarifikasi dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Pemeriksa; c. tidak ... - 6 - c. tidak memberikan informasi yang diperlukan; d. memperlihatkan, meminjamkan, atau memberikan data atau informasi palsu atau yang dipalsukan; dan atau e. tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan atau ayat (3). Pasal 9 (1) Setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung, Pemeriksa dan Pengurus wajib menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Langsung. (2) Dalam hal Pengurus menolak menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemeriksa dan Pengurus wajib menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan Langsung. (3) Dalam hal Pengurus menolak menandatangani Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemeriksa wajib membuat Surat Pernyataan mengenai penolakan Pengurus dimaksud. BAB V PELAPORAN Pasal 10 (1) Setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung, Pemeriksa wajib menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara. (2) Direktur Dana Pensiun menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara kepada Pendiri dan Pengurus paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah berakhirnya Pemeriksaan Langsung. Pasal 11 ... - 7 - Pasal 11 (1) Pendiri atau Pengurus dapat mengajukan permohonan pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara kepada Direktur Dana Pensiun. (2) Pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara, hanya dapat dilakukan apabila permohonan pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah diterima oleh Direktur Dana Pensiun paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat pengantar pengiriman Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara. (3) Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di kantor Direktorat Dana Pensiun dan dipimpin oleh Direktur Dana Pensiun, dan hasilnya ditetapkan dalam Berita Acara Pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara. (4) Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara dan Berita Acara Pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara digunakan sebagai dasar penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung. Pasal 12 Direktur Dana Pensiun menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Pendiri, dan Pengurus paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal pembahasan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung Sementara, atau setelah berakhirnya batas waktu pengajuan permohonan pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). BAB VI... - 8 - BAB VI PENGAJUAN KEBERATAN ATAS LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 13 (1) Pendiri dan Pengurus dapat mengajukan keberatan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal surat pengantar pengiriman Laporan Hasil Pemeriksaan Langsung. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dalam mengambil kebijaksanaan yang menyangkut Dana Pensiun yang bersangkutan. BAB VII SANKSI Pasal 14 (1) Dalam hal Pengurus : a. menolak dilakukannya Pemeriksaan, kecuali untuk penolakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2); dan atau b. menghambat kelancaran Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4); Pendiri wajib mengganti Pengurus. (2) Pengenaan sanksi bagi Pendiri untuk mengganti Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. BAB VIII - 9 - BAB VIII PENUTUP Pasal 15 Pada saat mulai berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.017/1997 tentang Pemeriksaan Dana Pensiun dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Desember 2002 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BOEDIONO
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 512/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 4 Desember 2002 </set_date> <effective_date> 4 Desember 2002 </effective_date> <replaced_reg> '40/KMK.017/1997|KEP-MENKEU/1997' </replaced_reg> <related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '11/UU/1992', '998/M|KEPPRES/2001' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 646/KMK.010/1995 TENTANG PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengatur pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana oleh Pemodal Asing dengan Keputusan Menteri Keuangan; 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing. 2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pasal 2 Saham atau unit penyertaan Reksa Dana dapat dimiliki oleh Pemodal Asing atau Pemodal Dalam Negeri, baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal 3 Manajer Investasi Reksa Dana wajib melaporkan komposisi pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana kepada Bapepam. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995 MENTERI KEUANGAN, MAR’IE MUHAMMAD
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 646/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995 </reg_id> <reg_title> PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING </reg_title> <set_date> 30 Desember 1995 </set_date> <effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
No.: 645/KMK.010/1995 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 645/KMK.010/1995 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1548/KMK.013/1990 TENTANG PASAR MODAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 284/KMK.010/1995 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan untuk mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 284/KMK.010/1995; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1548/KMK.013/1990 TENTANG PASAR MODAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 284/KMK.010/1995. Pasal 1 Mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 284/KMK.010/1995. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995 MENTERI KEUANGAN, MAR’IE MUHAMMAD III- 1 No.: 646/KMK.010/1995 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 646/KMK.010/1995 TENTANG PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengatur pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana oleh Pemodal Asing dengan Keputusan Menteri Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMILIKAN SAHAM ATAU UNIT PENYERTAAN REKSA DANA OLEH PEMODAL ASING. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing. 2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pasal 2 Saham atau unit penyertaan Reksa Dana dapat dimiliki oleh Pemodal Asing atau Pemodal Dalam Negeri, baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal 3 Manajer Investasi Reksa Dana wajib melaporkan komposisi pemilikan saham atau unit penyertaan Reksa Dana kepada Bapepam. III- 1 No.: 646/KMK.010/1995 Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Desember 1995 MENTERI KEUANGAN, MAR’IE MUHAMMAD III- 2 No.: 455/KMK.01/1997 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 455/KMK.01/1997 TENTANG PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden dalam Sidang kabinet Terbatas bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997, maka dipandang perlu untuk meninjau kembali ketentuan mengenai pembatasan pemilikan saham oleh pemodal asing dengan Keputusan Menteri Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor.3618); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL Pasal 1 Mencabut ketentuan pembatasan pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal dan Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:1055/KMK.013/1989. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 4 September 1997 MENTERI KEUANGAN, MAR’IE MUHAMMAD III- 1 No.: 179/KMK.010/2003 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 179/KMK.010/2003 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan efisien serta mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek antara lain kualitas pelayanan, kualitas sumber daya manusia, ketaatan terhadap peraturan dan kualitas sistem back office; b. bahwa untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek, perlu memperkuat kondisi keuangan dan kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui peningkatan modal disetor Perusahaan Efek; c. bahwa peningkatan modal disetor Perusahaan Efek dimaksud sejalan dengan General Principles International Organization of Securities Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa harus ada peningkatan secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi perusahaan efek yang memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti struktur permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan perkembangan potensi resiko yang ditanggung oleh perusahaan efek; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kepemilikan Saham dan Permodalan Perusahaan Efek; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK. III- 1 No.: 179/KMK.010/2003 Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing. 2. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. 3. Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah adalah kegiatan menerima pembukaan rekening Efek nasabah, melakukan mutasi rekening Efek nasabah dan menyimpan rekening Efek nasabah. Pasal 2 (1) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di bidang keuangan selain sekuritas maksimal 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor. (2) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan regulator Pasar Modal di negara asalnya maksimal 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor. Pasal 3 (1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan melakukan Penawaran Umum, maka saham Perusahaan Efek tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh Pemodal Dalam Negeri atau Pemodal Asing. (2) Pemodal Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula Pemodal Asing yang tidak bergerak di bidang keuangan. Pasal 4 (1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang tidak mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah). (6) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). III- 2 No.: 179/KMK.010/2003 Pasal 5 (1) Bagi Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut : a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Bagi Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dengan ketentuan sebagai berikut : a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dengan ketentuan sebagai berikut : a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), dengan ketentuan sebagai berikut : a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 28.000.000.000,00 (dua puluh delapan miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah); III- 3 No.: 179/KMK.010/2003 (5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), dengan ketentuan sebagai berikut : a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2003 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 18.000.000.000,00 (delapan belas miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). Pasal 6 Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 90/KMK.010/2001 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 2003 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, BOEDIONO III- 4
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 645/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 1548/KMK.013/1990 TENTANG PASAR MODAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 284/KMK.010/1995 </reg_title> <set_date> 30 Desember 1995 </set_date> <effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date> <replaced_reg> '1548/KMK.013/1990|KEP-MENKEU/1990', '284/KMK.010/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 509 /KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa laporan keuangan Dana Pensiun merupakan sumber informasi bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Dana Pensiun; b. bahwa informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus dapat menggambarkan kondisi keuangan yang sesungguhnya dari Dana Pensiun; c. bahwa dengan adanya perkembangan kebutuhan terhadap laporan keuangan Dana Pensiun, ketentuan mengenai laporan keuangan Dana Pensiun dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 76/KMK.017/1995 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 658/KMK.017/1997 perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b, dan c di atas perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun; Mengingat 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan ... - 2 - 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 4. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2001; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN. Pasal 1 (1) Pengurus Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan keuangan kepada Menteri Keuangan. (2) Kewajiban menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku sejak Dana Pensiun disahkan pendiriannya oleh Menteri Keuangan. (3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: a. b. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Pasal 2 Untuk Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh Menteri Keuangan dalam periode 3 (tiga) bulan sebelum akhir tahun buku, audit akuntan publik atas laporan keuangan untuk tahun buku saat Dana Pensiun disahkan dapat dilakukan bersamaan dengan audit tahun buku berikutnya. Pasal 3 laporan keuangan semesteran yang ditandatangani oleh Pengurus; dan - 3 - Pasal 3 (1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b harus memuat: a. pernyataan akuntan; dan b. laporan keuangan. (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) terdiri dari : a. laporan aktiva bersih; b. laporan perubahan aktiva bersih; c. neraca; d. perhitungan hasil usaha; e. laporan arus kas; dan f. catatan atas laporan keuangan. Pasal 4 Dasar penilaian kekayaan Dana Pensiun dalam laporan aktiva bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a adalah sebagai berikut: a. investasi, berdasar nilai sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang Investasi Dana Pensiun; b. kas, rekening giro dan tabungan, berdasar nilai nominal; c. piutang iuran beserta bunga atas keterlambatan pembayaran iuran, berdasar nilai nominal; d. piutang hasil investasi, berdasar nilai nominal; dan e. aktiva selain dari huruf a sampai dengan huruf d, berdasar Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Pasal 5 - 4 - Pasal 5 Tahun buku Dana Pensiun adalah 1 Januari sampai dengan 31 Desember dalam tahun yang bersangkutan. Pasal 6 (1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) harus laporan keuangan asli. (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) harus disertai data elektronik yang sama dengan data pada laporan keuangan tersebut. Pasal 7 Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) harus menggunakan bahasa Indonesia dengan huruf Latin, angka Arab, dan satuan mata uang Rupiah. Pasal 8 Bentuk dan susunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 9 (1) Dalam rangka audit atas laporan keuangan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) huruf b, Dewan Pengawas Dana Pensiun dilarang menunjuk akuntan publik yang sama dalam hal : a. akuntan ... - 5 - a. akuntan publik tersebut telah melakukan audit atas laporan keuangan Dana Pensiun bersangkutan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut; dan atau b. akuntan publik dimaksud dinyatakan telah melanggar standar praktik akuntan publik yang berlaku di Indonesia oleh asosiasi akuntan atau Menteri Keuangan. (2) Kantor akuntan publik yang sama tidak dapat ditunjuk untuk melakukan audit atas laporan keuangan Dana Pensiun lebih dari 5 (lima) kali berturut-turut. Pasal 10 (1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Dana Pensiun. (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya periode laporan keuangan. (3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, disampaikan paling lambat 5 (Ihna) bulan setelah berakhimya tahun buku Dana Pensiun. (4) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. Pasal 11 - 6 - Pasal 11 (1) Dalam hal penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) terlambat dilakukan, Pendiri Dana Pensiun dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tanggal penyampaian laporan keuangan adalah : a. tanggal penerimaan laporan, apabila laporan diserahkan langsung ke kantor Direktur Dana Pensiun; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. (3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Denda sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan ke Kas Negara. (5) Copy bukti setoran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disampaikan Pendiri kepada Direktur Dana Pensiun. Pasal 12 - 7 - Pasal 12 (1) Penyampaian laporan keuangan setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapuskan kewajiban pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); (2) Dalam hal Pendiri belum membayar denda, denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri pada Negara yang harus dicantumkan dalam neraca Pendiri yang bersangkutan. Pasal 13 (1) Dana Pensiun Lembaga Keuangan wajib memuat laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b selain catatan atas laporan keuangan, dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal penyampaian laporan keuangan kepada Menteri Keuangan. (2) Bukti pemuatan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Dana Pensiun. Pasal 14 (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 76/KMK.017/1995 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 658/KMK.017/1997 dinyatakan tidak berlaku untuk laporan keuangan sejak tahun buku 2003. (2) Ketentuan ... - 8 - (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku untuk laporan keuangan sejak tahun buku 2002. Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Desember 2002 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BOEDIONO
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 4 Desember 2002 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2003 </effective_date> <replaced_reg> '658/KMK.017/1997|KEP-MENKEU/1997', '76/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 11' </penalty_list>
KMK No. 343 Th. 1998 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan penyelenggaraan program pensiun, maka besar iuran dan manfaat pensiun perlu disesuaikan sampai pada tingkat yang wajar; b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut di atas, pengaturan maksimum iuran dan manfaat pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 230/KMK.017/1993 perlu disempurnakan; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Iuran dan Manfaat Pensiun; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 126 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Departemen; 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1988. MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Asumsi aktuaria adalah kumpulan estimasi mengenai perubahan-perubahan di masa yang akan datang, yang dipergunakan untuk menghitung Nilai Sekarang suatu pembayaran atau pembayaran- pembayaran di masa depan, dan mencakup antara lain tingkat bunga, tingkat probabilitas terjadinya kematian dan cacat, serta tingkat kenaikan Penghasilan Dasar Pensiun; 2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 3. Nilai Sekarang adalah nilai, pada suatu tanggal tertentu, dari pembayaran atau pembayaran- pembayaran yang akan dilakukan setelah tanggal tersebut, yang dihitung dengan mendiskonto pembayaran atau pembayaran-pembayaran termaksud secara aktuaria berdasarkan asumsi tingkat bunga dan tingkat probabilitas tertentu untuk terjadinya pembayaran atau pembayaran-pembayaran tersebut; 4. Penghasilan adalah penghasilan seseorang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan digunakan untuk menghitung iuran Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 3. Penghasilan Dasar Pensiun adalah sebagian atau seluruh penghasilan karyawan yang diterima dari Pemberi Kerja dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun suatu Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebagai dasar perhitungan besar iuran dan atau Manfaat Pensiun Peserta; 4. Pihak Yang Berhak adalah Janda/Duda, Anak, atau seseorang yang ditunjuk oleh Peserta dalam hal Peserta tidak menikah dan tidak mempunyai Anak; Page 1 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 BAB II DANA PENSIUN PEMBERI KERJA Bagian Pertama Manfaat Pensiun Program Pensiun Manfaat Pasti Pasal 2 (1) Besar Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan : a Rumus Bulanan; atau b Rumus Sekaligus. (2) Dalam hal menggunakan Rumus Bulanan, Manfaat Pensiun merupakan hasil perkalian dari : a faktor penghargaan per tahun masa kerja yang dinyatakan dalam persentase; b masa kerja; dan c Penghasilan Dasar Pensiun bulan terakhir, atau rata-rata Penghasilan Dasar Pensiun selama beberapa bulan terakhir. (3) Dalam hal menggunakan Rumus Sekaligus, Manfaat Pensiun merupakan hasil perkalian dari : a faktor penghargaan per tahun masa kerja yang dinyatakan dalam bilangan desimal; b masa kerja; dan c Penghasilan Dasar Pensiun bulan terakhir, atau rata-rata Penghasilan Dasar Pensiun selama beberapa bulan terakhir. (4) Rumus Manfaat Pensiun yang digunakan wajib dimuat dalam Peraturan Dana Pensiun. Pasal 3 (1) Dalam hal Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan, besar faktor penghargaan per tahun masa kerja tidak boleh melebihi 2,5% (dua setengah per seratus), dan Manfaat Pensiun per bulan tidak boleh melebihi 80% (delapan puluh per seratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun per bulan. (2) Dalam hal Manfaat Pensiun dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, besar faktor penghargaan per tahun masa kerja tidak boleh melebihi 2,5 (dua setengah), dan Manfaat Pensiun tidak boleh melebihi 80 (delapan puluh) kali Penghasilan Dasar Pensiun per bulan. Pasal 4 (1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan perbedaan besarnya faktor penghargaan per tahun masa kerja, dengan ketentuan sebagai berikut : a perbedaan dimaksud harus berupa kenaikan yang dikaitkan dengan masa kerja Peserta atau usia Peserta; b tingkat kenaikan faktor penghargaan per tahun masa kerja dari faktor penghargaan sebelumnya tidak boleh lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus); c maksimum perbandingan antara faktor penghargaan per tahun masa kerja tertinggi dan terendah adalah 250% (dua ratus lima puluh per seratus). (2) Penetapan faktor penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengakibatkan Manfaat Pensiun yang melampaui batas maksimum Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 5 (1) Peserta yang berhenti bekerja dan dipekerjakan kembali oleh Pemberi Kerja yang sama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, masa kepesertaannya dalam rangka penyelenggaraan Program Pensiun harus diperhitungkan tanpa terputus. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila Peserta telah menerima pembayaran atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dana Pensiun atau telah mengalihkan haknya atas Pensiun Ditunda ke Dana Pensiun lain, kecuali jika hak yang telah dibayarkan atau telah dialihkan dimaksud dikembalikan ke Dana Pensiun yang bersangkutan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Page 2 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 Pasal 6 (1) Dalam Program Pensiun Manfaat Pasti, masa kerja yang diakui tidak boleh melebihi jumlah masa kerja pada Pemberi Kerja sekarang dan masa kerja pada Pemberi Kerja sebelumnya. (2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila Peserta meninggal dunia atau cacat sebelum pensiun, maka masa kerja maksimum yang diakui dapat termasuk masa sampai dengan tanggal Peserta mencapai usia pensiun normal. Pasal 7 (1) Untuk karyawan yang pindah bekerja, pengakuan masa kerja pada Pemberi Kerja lama dapat dilakukan hanya apabila : a ada dana yang dialihkan dari Dana Pensiun Pemberi Kerja yang lama ke Dana Pensiun Pemberi Kerja yang baru; atau b Pemberi Kerja yang baru mencukupi kebutuhan dana untuk pengakuan masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama, dan masa kerja dimaksud belum diakui sebagai unsur perhitungan Manfaat Pensiun pada Pemberi Kerja yang lama. (2) Pengakuan masa kerja karena adanya pengalihan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a harus ditentukan sedemikian rupa sehingga jumlah dana yang dialihkan sama dengan Nilai Sekarang Manfaat Pensiun menurut rumus Manfaat Pensiun yang diterapkan Pemberi Kerja baru dan Penghasilan Dasar Pensiun karyawan yang bersangkutan, yang berlaku pada saat dana tersebut diterima Dana Pensiun yang baru. (3) Dalam hal masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih pendek dari masa kerja yang sesungguhnya pada Pemberi Kerja yang lama, maka pengakuan masa kerja yang lebih panjang dari masa kerja sesuai dengan dana yang dialihkan dapat dilakukan hanya bila Pemberi Kerja baru memenuhi kekurangan dana yang terjadi dan tidak boleh melebihi masa kerja yang sesungguhnya pada Pemberi Kerja yang lama. (4) Dalam hal dana yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a lebih besar dari pada kewajiban yang timbul akibat pengakuan seluruh masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama, kepada peserta yang bersangkutan harus diberikan masa kerja tambahan yang besarnya ditentukan sedemikian rupa sehingga kewajiban akibat masa kerja tambahan tersebut sama dengan kelebihan dana yang tersedia. (5) Pengakuan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) atau masa kerja tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan setelah ada : a perjanjian tertulis antara peserta dan Pemberi Kerja yang baru yang memuat persetujuan kedua belah pihak mengenai pengalihan kewajiban dan kekayaan yang berkaitan dengan masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama; atau b pernyataan tertulis Pemberi Kerja baru mengenai kesediaannya untuk melakukan pendanaan atas pengakuan masa kerja pada Pemberi Kerja yang lama. Pasal 8 Bagian dari 1 (satu) tahun masa kerja harus diperhitungkan secara prorata terhadap Manfaat Pensiun dan iuran. Pasal 9 Pembayaran Manfaat Pensiun, baik yang dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan maupun yang dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, harus dilaksanakan secara bulanan. Pasal 10 Dalam rangka pembayaran Manfaat Pensiun, jumlah yang dibayarkan dihitung dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut : a untuk Manfaat Pensiun yang dihitung dengan menggunakan Rumus Bulanan, harus didasarkan pada rumus yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. b untuk Manfaat Pensiun yang dihitung dengan menggunakan Rumus Sekaligus, harus didasarkan pada tabel yang dibuat berdasarkan Asumsi Aktuaria yang memuat faktor untuk mengkonversikan Manfaat Pensiun yang dihitung sekaligus menjadi pembayaran bulanan. Page 3 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 Pasal 11 Besar Manfaat Pensiun Dipercepat bagi peserta yang berhenti bekerja pada usia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebelum usia pensiun normal atau karena cacat, setinggi-tingginya sama dengan jumlah yang dihitung dengan menggunakan rumus Manfaat Pensiun yang tercantum dalam Peraturan Dana Pensiun. Pasal 12 (1) Jumlah yang dibayarkan dalam rangka pembayaran sekaligus atau pengalihan hak Peserta ke Dana Pensiun lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Dana Pensiun adalah sebesar Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun yang dihitung berdasarkan Asumsi Aktuaria yang dipergunakan dalam laporan aktuaria terakhir, kecuali proyeksi tingkat kenaikan Penghasilan Dasar Pensiun dan tingkat pengunduran diri. (2) Jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sekurang-kurangnya sebesar akumulasi iuran Peserta beserta hasil pengembangannya, yang dihitung berdasarkan tingkat bunga deposito Bank Umum milik Pemerintah yang paling menguntungkan bagi Peserta yang berlaku pada masa kepesertaan yang bersangkutan. Pasal 13 (1) Dalam hal jumlah yang akan dibayarkan per bulan oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan rumus bulanan kurang dari Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (2) Dalam hal Manfaat Pensiun yang menjadi hak Peserta pada Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan Rumus Sekaligus lebih kecil dari Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah), Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. Pasal 14 (1) Bekas karyawan yang berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dana Pensiun, dapat memperoleh pembayaran Manfaat Pensiun sejak yang bersangkutan mencapai usia pensiun dipercepat. (2) Dalam hal bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meninggal dunia sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, berlaku ketentuan tentang hak-hak yang timbul apabila Peserta meninggal dunia. Bagian Kedua Iuran bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti Pasal 15 (1) Iuran Peserta dalam 1 (satu) tahun untuk Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan Rumus Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, sebanyak-sebanyaknya 3 (tiga) kali faktor penghargaan per tahun masa kerja kali Penghasilan Dasar Pensiun per tahun. (2) Iuran Peserta dalam 1 (satu) tahun untuk Program Pensiun Manfaat Pasti yang menggunakan Rumus Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, sebanyak-banyaknya 3% (tiga per seratus) kali faktor penghargaan per tahun masa kerja kali Penghasilan Dasar Pensiun per tahun. Bagian Ketiga Iuran bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti Pasal 16 (1) Jumlah iuran per tahun yang dibukukan atas nama masing-masing Peserta dalam Program Pensiun Iuran Pasti, sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh per seratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun per tahun. (2) Dalam hal Peserta turut mengiur, iuran Peserta sebanyak-banyaknya 60% (enam puluh per seratus) dari iuran Pemberi Kerja Page 4 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 Pasal 17 (1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan perbedaan besarnya iuran Pemberi Kerja yang dibukukan atas nama masing-masing Peserta, dengan ketentuan sebagai berikut : a perbedaan harus berupa kenaikan yang dikaitkan dengan masa kerja Peserta atau usia Peserta; b kenaikan tingkat iuran dari iuran sebelumnya tidak boleh lebih 25% (dua puluh lima per seratus); c maksimum perbandingan antara iuran tertinggi dan terendah sebanyak-banyaknya 250% (dua ratus lima puluh per seratus). (2) Penetapan perbedaan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengakibatkan jumlah iuran melampaui batas maksimum iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). Bagian Keempat Iuran bagi Peserta Pada Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan Pasal 18 (1) Dalam Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan wajib ditetapkan rumus besarnya iuran Pemberi Kerja. (2) Rumus besarnya iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyatakan persentase tertentu dari keuntungan Pemberi Kerja dalam 1 (satu) tahun sebelum dikurangi pajak penghasilan, yang akan dibayarkan sebagai Iuran Pemberi Kerja. (3) Dalam hal Pemberi Kerja tidak memperoleh keuntungan, maka Pemberi Kerja wajib membayar iuran dalam jumlah sekurang-kurangnya 1% (satu per seratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun Peserta dalam 1 (satu) tahun. (4) Apabila jumlah iuran berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ternyata lebih kecil dari jumlah iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka Pemberi Kerja wajib membayar iuran berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 19 Dalam hal Peserta dari Dana Pensiun Pemberi Kerja berhenti bekerja sebelum memiliki hak atas Pensiun Ditunda, maka akumulasi iuran Pemberi Kerja yang telah dibayarkan kepada Dana Pensiun yang bukan merupakan hak Peserta, harus digunakan sebagai iuran Pemberi Kerja untuk Peserta yang lain. Bagian Kelima Manfaat Pensiun Program Pensiun Iuran Pasti Pasal 20 Manfaat Pensiun dari Program Pensiun Iuran Pasti yang jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangannya lebih kecil dari Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), dapat dibayarkan sekaligus. Pasal 21 (1) Bekas karyawan yang berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dana Pensiun, dapat memperoleh pembayaran Manfaat Pensiun sejak yang bersangkutan mencapai usia pensiun dipercepat. (2) Manfaat Pensiun yang dibayarkan kepada bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , harus dihitung dan ditetapkan pada saat yang bersangkutan akan pensiun. (3) Dalam hal bekas karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meninggal dunia sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun, berlaku ketentuan tentang hak-hak yang timbul apabila Peserta meninggal dunia. Pasal 22 (1) Dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum pembayaran Manfaat Pensiun, Peserta tidak melakukan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pengurus wajib membeli anuitas seumur hidup Page 5 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 yang memberikan pembayaran kepada Janda/Duda atau Anak yang sama besarnya dengan pembayaran kepada pensiunan. (2) Pilihan anuitas yang telah ditentukan Peserta dinyatakan batal apabila Peserta meninggal dunia sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun. BAB III DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN Bagian Pertama Iuran Peserta Pasal 23 (1) Jumlah iuran Peserta per tahun bagi Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang tidak menjadi Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebanyak-banyak 20% (dua puluh per seratus) dari Penghasilan Peserta per tahun. (2) Jumlah iuran Peserta per tahun bagi Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang juga menjadi Peserta pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh per seratus) dari Penghasilan Peserta per tahun. Pasal 24 (1) Pemberi Kerja yang sebelum mengikutsertakan karyawannya pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan telah menghimpun dana baik yang berasal dari pemberi kerja maupun dari karyawan, dapat mengalihkan dana tersebut ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan untuk dan atas nama Peserta. (2) Pengalihan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibayarkan secara sekaligus dan dinikmati pada saat peserta pensiun. Bagian Kedua Manfaat Pensiun Peserta Pasal 25 (1) Dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum pembayaran Manfaat Pensiun, Peserta tidak melakukan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Pengurus wajib membeli anuitas seumur hidup yang memberikan pembayaran kepada Janda/Duda atau Anak yang sama besarnya dengan pembayaran kepada pensiunan. (2) Pilihan anuitas yang telah ditentukan Peserta dinyatakan batal apabila Peserta meninggal dunia sebelum dimulainya pembayaran Manfaat Pensiun. Pasal 26 (1) Manfaat Pensiun untuk setiap Peserta berupa dana yang terdiri dari jumlah yang telah disetor atas namanya dan pengalihan dana dari Dana Pensiun Pemberi Kerja serta hasil pengembangannya. (2) Perhitungan hasil pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tiap Peserta harus dilakukan sejak dana dibukukan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai saat pembayaran kepada Peserta atau pada saat pembelian anuitas pada perusahaan asuransi jiwa. (3) Dalam hal jumlah dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih kecil dari Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dapat dibayarkan sekaligus. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 27 (1) Manfaat Pensiun kepada Anak dapat dibayarkan sampai Anak mencapai usia setinggi-tingginya 25 (dua puluh lima) tahun. (2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan bahwa dalam hal Anak mengalami Cacat sebelum melampaui batas usia Page 6 of 7 KMK No. 343 Th. 1998 pembayaran Manfaat Pensiun Anak, Manfaat Pensiun kepada Anak tersebut dapat dibayarkan melebihi usia sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1). BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 230/KMK.017/1993 tentang Maksimum Iuran dan Manfaat Pensiun dinyatakan tidak berlaku. Pasal 29 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1998 MENTERI KEUANGAN ttd. BAMBANG SUBIANTO Page 7 of 7
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998 </reg_id> <reg_title> IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title> <set_date> 13 Juli 1998 </set_date> <effective_date> 13 Juli 1998 </effective_date> <replaced_reg> '230/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '61/KEPPRES/1998', '122/M|KEPPRES/1988' </related_reg>
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 455/KMK.01/1997 TENTANG PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan sesuai dengan petunujuk Bapak Presiden dalam Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekku Wasbang dan Prodis 3 September 1997, maka dipandang perlu dipandang perlu untuk meninjau kembali ketentuan mengenai pembatasan pemilikan saham oleh pemodal asing dengan Keputusan Menteri Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL Pasal 1 Mencabut ketentuan pembatasan pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal dan Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1055/KMK.013/1989 Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 September 1997 MENTERI KEUANGAN, MAR’IE MUHAMMAD
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 455/KMK.01/1997|KEP-MENKEU/1997 </reg_id> <reg_title> PEMBELIAN SAHAM OLEH PEMODAL ASING MELALUI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 4 September 1997 </set_date> <effective_date> 4 September 1997 </effective_date> <replaced_reg> '1055/KMK.013/1989|KEP-MENKEU/1989' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995' </related_reg>
KMK No. 80 Th. 1993 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 802/KMK.01/1993 TENTANG PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI 1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dipandang perlu untuk merubah ketentuan persyaratan dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dana pengesahan atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan; b. bahwa perubahan dimaksud perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508): 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI; MEMUTUSKAN Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI 1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN Pasal I Mengubah Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 3 Untuk dapat mendirikan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian sekurang-kurangnya selama 8 (delapan) triwulan terakhir; Page 1 of 2 KMK No. 80 Th. 1993 2. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 3. memiliki kinerja investasi yang sehat; 4. memiliki tingkat kesinambungan pertanggungan yang sehat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) tahun terakhir; 5. menyanggupi untuk menyampaikan laporan hasil penilaian solvabilitas Perusahaan Asuransi Jiwa dan laporan investasi Perusahaan Asuransi Jiwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang usaha perasuransian setiap triwulan. Pasal II Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 26 Februari 1993. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : JAKARTA pada tanggal : 27 Agustus 1993 MENTERI KEUANGAN ttd. MARI’E MUHAMMAD Page 2 of 2
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 802/KMK.01/1993|KEP-MENKEU/1993 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 228/KMK.017/1993 TANGGAL 26 FEBRUARI 1993 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 27 Agustus 1993 </set_date> <effective_date> 27 Agustus 1993 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 26 Februari 1993 </effective_date> <changed_reg> '228/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </changed_reg> <related_reg> '77/PP/1992', '11/UU/1992', '15/KEPPRES/1984', '96/M|KEPPRES/1993' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN FEPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 422/KMK.06/2003 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993; b. bahwa berdasarkan pertimbangan scbagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha, Petasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN.. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan Polis Asuransi adalah polis atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjan asuransi, termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan, antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung. 2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PRODUK ASURANSI BARU Pasal 2 Suatu produk asuransi dinyatakan sebagai produk asuransi baru apabila: (a) produk, asuransi tersebut belum pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi yang bersangkutan; atau ) produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk asuransi yang sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi risiko yang ditutup, ketentuan polis, rumusan premi, metode cadangan premi atau nilai tunai. Pasal 3.. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -3- Pasal 3 (1) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintaht Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi kerugian harus dilengkapi dengan a. spesimen Polis Asuransi; b. pernyataan tenaga ahli yang berisi uraian dan dasar perhitungan tingkat premi dan cadangan teknis, Jengkap dengan asumsi-asumsi dan data pendukungnya; c. proyeksi underwriting untuk 3 (tiga) tahun mendatang d. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud; . uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan; perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud dipasarkan bersama pihak lain, s. pengesahan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi Perusahaan Asuransi atau kantor cabang, Perusahaan Asuransi yang diselenggarakan dengan prinsip syariah. (2) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi jiwa harus dilengkapi dengan a. spesimen Polis Asuransi; b. pernyataan aktuaris yang berisi uraian dan perhitungan tarip premi, cadangan teknis, berikut asumsi aktuaria dan data pendukungnya; ii. nilai.tunai, dividen polis atau yang sejenis dalam hal produk asuransi terscbut mengandung nilai tunai, dividen polis atau yang sejenis; c. profit testing atau asset share; d. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud; e. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan f. contoh . End of Page 3 MENTERI KEUANGAN EPUKNDO t. contoh perjanijian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud dipasarkan bersama pihak lain, Asuransi atau kantor cabang Perusahaan Asuransi yang diselenggarakan dengan prinsip syariah. Pasal 4 Perusahaan Asuransi Kerugian yang akan memasarkan produk asuransi baru surety bond dan atau yang sejenis, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ajun ahli manajemen asuransi kerugian dengan pengalaman di bidang surety bond sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun, b. jenis jaminan yang ditutup terbatas hanya pada penjaminan konstruksi (construction bond) dan custom bond. Pasal 5 (1) Perusahaan Asuransi jiwa yang akan memasarkan produk asuransi baru yang dikaitkan dengan investasi, antara lain untuk produk asuransi unit link, dan atau yang sejenis, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi wakit manajer investasi dengan pengalaman di bidangnya sekurang- kurangnya 3 (tiga) tahun; b. memiliki sistim informasi yang memadai; (2) Ketentuan lebih lanjut mengehai produk asuransi baru sebagaimana. dimaksud dalam ayat (i) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 harus memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tidak sedang dikenakan sanksi administratif, BAB III............... End of Page 4 MENTERI KEUANGAN -5- BAB III POLIS Pasal 7 Dalam setiap penutupan asuransi, Polis Asuransi harus sesuai spesimen Polis Asuransi yang dilaporkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 8 Polis Asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai: a. saat berlakunya pertanggungan, b. uraian manfaat yang diperjanjikan, c. cara pembayaran premi, d. tenggang waktu (grnce period) pembayaran premi c. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah, f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi, 8. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayarar premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati; keabsahan kontrak asuransi (incontestable period); i. tabel nilai tunai, bagi Polis Asuransi jiwa yang mengandung nilai ba. tunai; perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuran iwa yang menjanjikan dividen polis atau yang sejenis k. penghentian pertanggungan, bajk dari pihak penanggung maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan 1. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim; m. pemilihan,tempat penyelesaian perselisihan, t bhasa yang diadikan acuan dalam hal terjadi sengeta pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih. Pasal 9. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- Pasal 9 Polis Asuransi harus dicetak dengan jelas schingga dapat dibaca langsung oleh pemegang polis dan atau tertanggung. Pasal 10 (1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. (2) Dalam hal diperiukan, Polis Asuransi dapat dibuat dalam bahasa asing berdampingan dengan Bahasa Indonesia. Pasal 11 (1) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab bersangkutan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudal diketahui adanya pengecualian atau pembatasan tersebut. (2) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan penanggung tersebut. Pasal 12 Besarnya nilai tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf (i) untuk polis-polis yang diterbitkan sejak ditetapkannya keputusan ini, sekurang-kurangnya sebesar: a. 95% (sembilan puluh lima per seratus) dari cadangan premi, untuk produk asuransi jiwa seumur hidup: b. 809........... End of Page 6 REPUBLIK INDONESIA -7- b. 809 (delapan puluh per seratus) dari cadangan premi, untuk produk asuransi jiwa lainnya;, atau c. Akumulasi dana pemegang polis untuk polis yang dikaitkan dengan investasi dan polis lainnya yang sejenis. Pasal 13 (1) Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari Polis Asuransi dengan mata uang asing dilakukan dengan mata uang rupiah, pembayaran tersebut harus menggunakan kurs yang ekivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran. (2) Kurs yang ekivalen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang seharusnya diterima oleh si penerima pembayaran tersebut apabila pembayaran dilakukan dengan mata uang asing dimaksud. (3) Dalam polis asuransi dengan indeks rupiah, pembayaran premi atau manfaat harus didasarkan pada tasio indeks yang berlaku pada saat pembayaran. Pasal 14 (1) Dalam Polis Asuransi yang diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi yang berbentuk usaha bersama harus dicantumkan ketentuan tentang menuiliki atau tidak memiliki hak suara bagi pemegang polis. (2) Ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan. Pasal 15 Dalam Polis Asuransi dilarang dicantuhkan suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga tertanggung harus menerima penolakan pembayaran klaim. Pasal 16............. Pasal 16 End of Page 7 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -8- Pasal 16 Dalam Polis Asuransi dilarang dicantumkan ketentuan yang dapat ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan polis. Pasal 17 pengadilan dalam hal terjadi perselisihan yang menyangkut perjanjian asuransi, tidak boleh membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di tempat kedudukan penanggung. Pasal 18 Apabila Menteri menilai bahwa dalam ketentuan polis terdapat hal- hal yang dapat merugikan pihak tertanggung atau pihak Perusahaan Reasuransi untuk meninjau ulang ketentuan polis dimaksud. BAB IV PREMI Pasal 19 (1) Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi yang berlaku umum (2) Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya a. premi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis asuransi yang yang bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir; b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya. (3) Penetapan ...... End of Page 8 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -9- (3) Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya . premi murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel morbidita yang dipergunakan; b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan b. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya, c. prakiraan hasil investasi dari premi. BAB V PENGHENTIAN PERTANGGUNGAN Pasal 20 (1) Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak penanggung maupun tertanggung, harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis. (2) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan, maka besar pengembalian premi sekurang-kurangnya sebesar jumlah yang dihiting sacara proporsional berdasarkani. pertanggungan, setelah dikurangi bagian premi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan atau (3) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang memiliki unsur tabungan, Perusahaan Asuransi harus membayar paling sedikit sejumlah nilai tunai pada saat penghentian tersebut. BAB VI REASURANSI Pasal 21 (1) Perusahaap Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap produk asuransi pada sctiap cabang asuransi yang dipasarkan. (2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk.. End of Page 9 TER KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 10 - a. untuk Perusahaan Asuransi Kerugian, sekurang-kurangnya diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Kerugian lainnya di dalam negeri; b. untuk Perusahaan Asuransi Jiwa, sekurang-kurangnya diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku dalam hal tidak ada Perusahaan Reasuransi yang memberikan dipasarkan tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. (4) Dukungan reasuransi otomatis dari penanggung ulang di luar dilakukan apabila perusahaan dimaksud telah terlebih dahulu memperoleh dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri dalam jumlah atau prosentase tertentu. 5) Dukungan reasuransi fakultatif hanya dapat dilakukan dalam risiko yang ditutup tidak termasuk dalam dukungan reasuransi otomatis, dengan mempertimbangkan ketersediaan kapasitas dalam negeri. ssthagairnana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 22 (1) Dukungan reasuransi dari perusahaan penanggung ulang di Juar negeri hanya dapat dilakukan pada perusahaan penanggung ulang yang pada saat penempatan memiliki peringkat sekurang-kurangnya BBB atau yang setara dengan itu. (2) Dalam hal penanggung ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki peringkat yang berbeda maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang terendah. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -11- 3) Dalam hal perusahaan penanggung ulang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memiliki peringkat dari badan pemeringkat, maka perusahaan penanggung ulang dimaksud harus memiliki reputasi baik yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari badan pembina dan pengawas asuransi setempat, yang menjelaskan bahwa a. perusahaan yang bersangkutan masih memiliki izin usaha; b. perusahaan yang bersangkutan tidak sedang dikenakan sanksi oleh badan pembina dan pengawas asuransi setempat; dan modal sendiri sekurang-kurangnya 1509 (seratus lima puluh per seratus) dari minimum modal disetor Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (4) Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) diajukan oleh Perusahaan Asuransi kepada Menteri bersamaan dengan waktu penyampaian laporan program reasuransi otomatis. BAB VII PENGALIHAN PORTOFOLIO PERTANGGUNGAN Pasal 23 (1) Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri. (2) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan dimaksud: a. tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggungy, atau ahli waris; . dilakukan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sejenis; dan c. tidak menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menerima pengalihan dimaksud melanggar ketentuan yang berlaku di bidang usaha perasuransian. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN - 12 - (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud harus menyampaikan permohonan pemegang saham untuk mengembalikan irin usaha setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Menteri tidak menolak persetujuan dimaksud, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan dapat melakukan pengalihan portofolio pertanggungan yang diajukan. (6) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ajat (S),Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransiyang akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib tericbih dahulu niemberitahukan secara tertulis kepada setiap pemegang polis. (7) Perusalaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mengalihkan portofolio pertanggungan harus mengumumkan pengalihan tersebut pada surat kabar harian Indonesia yang berperedaran luas sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) hari berturut-turut. (8) Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus melaporkan kepada Menteri hasil pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan dimaksud. Pasal 24 Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah selesai mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (3). End of Page 12 NENTERI KEUANGA REPUBLIK INDONESIA - 13 - BAB VIII PENYELESAIAN KLAIM Pasal 25 Tindakan yang dapat dikategorikan memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, adalah tindakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang a. memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyerahan dokumen tertentu, yang kemudian dikuti dengan hal yang sama, b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim dengan mengaitkannya pada penyelesaian dan atau pembayaran klaim reasuransinya, c. tidak melakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagian dari penutupan asuransi dengan mengaitkannya pada penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan penyelesaian klaim yang merupakan bagi asuransi dalam 1 (satu) polis yang, sama; d. memperlambat penunjukan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, apabila jasa Penilai Kerugian Asuransi dibutuhka dalam proses penyelesaian klaim; atau e. menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai dengan praktek usaha asuransi yang berlaku umum. Pasal 26 (I) Perusahaan Asuransi hanya dapat meminta dokumen sebagai syarat pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam Polis Asuransi. (2) Dalam hal Polis Asuransi mencantumkan syarat lain-lain scbagai persyaratan pengajuan klaim, syarat lain-lain tersebut harus a. relevan dengan pertanggungan; dan (3) Ketentuan mengenai syarat lain-lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dimuat dalam Polis Asuransi. Pasal 27 . End of Page 13 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 14- Pasal 27 Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30 (igp pluh) hari sejak adanya kesepakatan antara penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar. BAB IX PELAPORAN Pasal 28 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap tahun wajib menyampaikan laporan progyam reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatan tahun berjalan kepada Menteri, paling lambat pada tanggal 15 Januari. Pasal 29 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional tahunan untuk periode yang berakhir per 31 Desember kepada Menteri. (2) Laporan operasional tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 30 April tahun berikutnya. Pasal 30 (1) Perusahaan Asuransi dan . Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional untuk kegiatan setiap satu triwulan yang berakhir per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, kepada Menteri. (2) Laporan operasional sebagaimana dimaksud ayat (1) masing- masing, harus disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. (3) Laporar........ End of Page 14 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (3) Laporan Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip Syariah, atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki cabang dengan prinsip Syariah, harus bahwa penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud untuk triwulan yang bersangkutan tidak menyimpang dari prinsip syariah. Pasal 31 (1) Aktuaris Perusahaan wajib menyampaikan laporan mengenai perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya S (lima) tahun mendatang. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat () disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. Pasal 32 Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. BAB X DENDA ADMINISTRATIF Pasal 33 (1) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal I angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999dilakukan dengan tata cara sebagai berikut a. mengisi formulir Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSBP) yang menunjuk rekening kas negara dengan menyebutkan uraian penerimaan sebagai pendapatan anggaran lainnya; b. membayar ...... End of Page 15 REPUBLIK INDONESIA 16. b. membayar denda melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, atau bank yang ditunjuk olch Pemerintah (bank persepsi), atau kantor Pos. (2) Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyampaian laporan tahunan. (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dikenakan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha karena tidak Pemtatasan Kegalan Usaha hanya dapat oaua laporan tahunan dan bukti pembayaran denda telah disampaikan kepada Menteri. (4) Bukti pembayaran denda berupa tembusan SSBP disampaikar Kepada Direktorat Asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pembayaran denda dimaksud. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keputusan ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak keputusan ini ditetapkan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Dengan ditetapkarinya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36............ End of Page 16 MENTERI KEUANGAN - 17- Pasal 36 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2003 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd,- Salinan sesuai dengan aslinya R0FDIONO KEPALA BIRO UMUM KEPALATAGIAN T.U DEPARTEMBN NIP 060041898 End of Page 17
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 30 September 2003 </set_date> <effective_date> 30 September 2003 </effective_date> <replaced_reg> '225/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg> <related_reg> '63/PP/1999', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg>
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a bahwa untuk memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan penghasilan Peserta pada saat pensiun atau Pihak Yang Berhak apabila Peserta meninggal dunia, pendanaan Program diselenggarakan secara terarah an terpadu; Pensiun perlu b. bahwa dengan adanya perkembangan keadaan perekonomian di Indonesia dan perkembangan pemahaman terhadap pendanaan Dana Pensiun, pengaturan mengenai pendanaan dan solvabilitas Dana Pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK.017/1995 perlu disempurnakan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan ... - 2 - 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Aktuaris adalah aktuaris yang bekerja pada Perusahaan Konsultan Aktuaria yang telah memperoleh ijin usaha dari Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian. 2. Laporan Aktuaris Berkala adalah laporan aktuaris yang disampaikan secara berkala kepada Menteri, bukan dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun atau perubahan Peraturan Dana Pensiun. 3. Kekayaan Untuk Pendanaan adalah kekayaan Dana Pensiun yang diperhitungkan untuk menentukan kualitas pendanaan Dana Pensiun. 4. Kewajiban ... - 3 - 4. Kewajiban Solvabilitas adalah kewajiban Dana Pensiun yang dihitung berdasarkan anggapan bahwa Dana Pensiun dibubarkan pada tanggal perhitungan aktuaria. 5. Kewajiban Aktuaria adalah kewajiban Dana Pensiun yang dihitung berdasarkan anggapan bahwa Dana Pensiun terus berlangsung sampai dipenuhinya seluruh kewajiban kepada Peserta dan Pihak Yang Berhak. 6. Surplus adalah kelebihan Kekayaan Untuk Pendanaan atas Kewajiban Aktuaria. 7. Defisit adalah kekurangan Kekayaan Untuk Pendanaan dari Kewajiban Aktuaria. 8. Defisit Pra-Undang-undang adalah bagian dari Defisit yang timbul pada Program Pensiun yang telah ada sebelum berlakunya Undang- undang Dana Pensiun dan berkaitan dengan masa kerja sebelum berlakunya Undang-undang dimaksud. 9. Kekurangan Solvabilitas adalah kekurangan Kekayaan Untuk Pendanaan dari Kewajiban Solvabilitas. 10. Rasio Pendanaan adalah hasil bagi Kekayaan Untuk Pendanaan dengan Kewajiban Aktuaria. 11. Rasio Solvabilitas adalah hasil bagi Kekayaan Untuk Pendanaan dengan Kewajiban Solvabilitas. 12. Dana Terpenuhi adalah keadaan Dana Pensiun yang Kekayaan Untuk Pendanaannya tidak kurang dari Kewajiban Aktuarianya. 13. Iuran ... - 4 - 13. Iuran Normal adalah iuran yang diperlukan dalam satu tahun untuk mendanai bagian dari nilai sekarang Manfaat Pensiun yang dialokasikan pada tahun yang bersangkutan yang dihitung berdasarkan jumlah yang lebih besar di antara jumlah iuran Peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun, dan bagian dari nilai sekarang Manfaat Pensiun yang dialokasikan pada tahun yang bersangkutan, sesuai dengan metode perhitungan aktuaria yang dipergunakan. 14. Iuran Tambahan adalah iuran yang disetor dalam rangka melunasi Defisit. 15. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II TANGGUNG JAWAB PENDIRI TERHADAP PENDANAAN DANA PENSIUN Pasal 2 (1) Pendiri bertanggung jawab untuk menjaga agar Dana Pensiun berada dalam keadaan Dana Terpenuhi, atau dalam hal keadaan tersebut belum tercapai, bertanggung jawab agar Dana Pensiun secara bertahap mencapai keadaan Dana Terpenuhi. (2) Pemberi Kerja berkewajiban membayar Iuran Normal dan Iuran Tambahan, apabila ada, yang menjadi tanggung jawabnya dan menyetorkan seluruh iuran, baik yang berasal dari Pemberi Kerja maupun dari Peserta, ke Dana Pensiun. (3) Pemberi ... - 5 - (3) Pemberi Kerja bertanggung jawab agar iuran-iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetorkan ke Dana Pensiun sesuai dengan junilah dan waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau pernyataan aktuaris. BAB III PENDANAAN PROGRAM PENSIUN IURAN PASTI Pasal 3 (1) Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti berada dalam keadaan Dana Terpenuhi apabila iuran bulanan yang jatuh tempo telah disetorkan kepada Dana Pensiun. (2) Iuran bulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah iuran-iuran untuk seluruh Peserta, baik yang berasal dari Pemberi Kerja maupun Peserta, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. BAB IV PENDANAAN DAN SOLVABILITAS PROGRAM PENSIUN MANFAAT PASTI Bagian Pertama Kualitas Pendanaan Dana Pensiun Pasal 4 (1) Pengurus wajib melaporkan kualitas pendanaan Dana Pensiun secara berkala kepada Menteri. (2) Kualitas … - 6 - (2) Kualitas pendanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi keadaan-keadaan sebagai berikut: a. Tingkat Pertama, yaitu apabila Dana Pensiun berada dalam keadaan Dana Terpenuhi; b. Tingkat kedua, yaitu apabila Kekayaan Untuk Pendanaan kurang dari Kewajiban Aktuaria dan tidak kurang dari Kewajiban Solvabilitas; c. Tingkat ketiga, yaitu apabila Kekayaan Untuk Pendanaan kurang dari Kewajiban Solvabilitas. Pasal 5 (1) Kualitas pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinilai berdasarkan perhitungan aktuaria. (2) Perhitungan aktuaria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dilakukan dengan menentukan: a. Kewajiban Aktuaria; dan b. Kewajiban Solvabilitas. (3) Kewajiban Solvabilitas dihitung berdasarkan jumlah yang lebih besar di antara himpunan iuran Peserta beserta hasil pengembangannya, dan nilai sekarang Manfaat Pensiun yang dihitung berdasarkan asumsi bahwa Peserta berhenti bekerja pada tanggal perhitungan aktuaria dan seluruhnya telah memiliki hak atas dana. (4) Kewajiban ... - 7 - (4) Kewajiban Aktuaria dihitung berdasarkan jurnlah yang lebih besar di antara Kewajiban Solvabilitas dan bagian dari nilai sekarang manfaat Pensiun yang dialokasikan pada masa sebelum tanggal perhitungan aktuaria menurut metode perhitungan aktuaria yang digunakart untuk menentukan Iuran Normal. Pasal 6 (1) Dalam rangka penetapan kualitas pendanaan, aktuaris harus menetapkan besar Kekayaan Untuk Pendanaan. (2) Kekayaan Untuk Pendanaan dihitung dari aktiva bersih dikurangi dengan: a. Kekayaan dalam sengketa, atau yang diblokir oleh pihak yang berwenang; b. Iuran, baik sebagian atau seluruhnya, yang pada tanggal perhitungan aktuaria belum disetor ke Dana Pensiun lebih dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal jatuh temponya; c. Kekayaan yang ditempatkan di luar negeri; dan atau d. Jenis kekayaan yang dikategorikan sebagai piutang lain-lain dan aktiva lain-lain. (3) Dalam hal terdapat pelanggaran atas ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, maka kekayaan yang diagunkan, dipinjamkan atau diinvestasikan sebagaimana dirilaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Kekayaan Untuk Pendanaan. Pasal 7 ... - 8 - Pasal 7 (1) Aktiva Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk Laporan Aktuaris Berkala atau laporan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun diperoleh dari laporan keuangan yang diaudit per tanggal perhitungan aktuaria. (2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan yang diaudit per tanggal perhitungan aktuaria, aktiva bersih untuk laporan aktuaris yang disusun dalam rangka,pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun diperoleh dari laporan keuangan yang ditandatangani Pengurus. (3) Kekayaan Untuk Pendanaan dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun ditetapkan nihil atau dihitung sebesar dana tunai yang dialihkan ke Dana Pensiun sebagaimana ditetapkan oleh Pendiri. Bagian Kedua Iuran Pasal 8 (1) Iuran yang harus disetor Pemberi Kerja ke Dana Pensiun terdiri dari: a. Iuran Normal; dan b. Iuran Tambahan, dalam hal terdapat defisit. (2) Iuran Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat terdiri dari: a. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Pra-Undang- Undang; b. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Masa Kerja Lalu yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; dan atau c. Iuran ... - 9 - c. Iuran Tambahan dalam rangka melunasi Defisit Masa Kerja Lalu di luar yang telah diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas. Pasal 9 (1) Besar Iuran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir tahun buku pertama setelah tanggal perhitungan aktuaria ditetapkan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. berdasarkan nilai nominal; atau b. berdasarkan persentase dari Penghasilan Dasar Pensiun. (2) Besar Iuran Normal yang menjadi tanggung jawab Pemberi Kerja per bulan ditetapkan sebagai berikut: a. 1/12 (seperdua belas) dari nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a; atau b. persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir b dikalikan Penghasilan Dasar Pensiun per bulan. (3) Besar Iuran Normal yang menjadi tanggung jawab Peserta per bulan, apabila ada, dihitung berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Dana Pensiun. (4) Besar Iuran Normal yang harus dibayarkan untuk tahun-tahun sesudah tahun buku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung berdasarkan persentase dari Penghasilan Dasar Pensiun sebagaimana ditetapkan dalam pernyataan aktuaris. Bagian Ketiga ... - 10 - Bagian Ketiga Defisit dan Surplus Pasal 10 (1) Dengan membandingkan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terhadap Kekayaan Untuk Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Aktuaris harus menetapkan Surplus atau Defisit. (2) Defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipisahkan menjadi: a. bagian dari Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; dan b. bagian dari Defisit di luar yang telah diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas. (3) Dalam hal terdapat sisa Defisit Pra-Undang-undang, Defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi lebih dulu dengan sisa Defisit Pra-Undang-undang. Pasal 11 (1) Masing-masing bagian dari Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) harus dilunasi dengan Iuran Tambahan dalam jangka waktu paling lama: a. 36 (tiga puluh enam) bulan, untuk Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; atau b. 180 (seratus delapan puluh) bulan, untuk Defisit di luar yang telah diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas. (2) Dalam ... - 11 - (2) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus, pemba.yaran Iuran Tambahan ditetapkan sebesar bagian Defisit yang harus dilunasi dan harus dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak : a. diterimanya Laporan Aktuaris Berkala yang memuat hal pelunasan defisit secara sekaligus tersebut oleh Menteri; atau b. disahkannya Peraturan Dana Pensiun oleh Menteri. (3) Dalam hal penyetoran Iuran Tambahan secara sekaligus melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Iuran Tambahan tersebut harus dikenakan bunga yang dihitung sejak tanggal perhitungan aktuaria. (4) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bulanan, besar Iuran Tambahan setiap bulan dihitung sedemikian rupa sehingga, nilai sekarang dari rangkaian Iuran Tambahan bulanan yang akan dilakukan dalam periode pengangsuran sama dengan besar bagian Defisit yang bersangkutan. Pasal 12 Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai sekarang dari sisa rangkaian Iuran Tambahan bulanan yang ditetapkan dalam Pernyataan Aktuaris sebelumnya lebih kecil daripada Defisit yang bersesuaian yang ditetapkan pada tanggal perhitungan aktuaria, maka selisihnya dilunasi dengan Iuran Tambahan baru yang pelunasannya diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11. Pasal 13 ... - 12 - Pasal 13 (1) Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai sekarang dari sisa rangkaian Iuran Tambahan untuk bagian Defisit tertentu lebih besar daripada bagian Defisit yang bersesuaian menurut perhitungan aktuaria baru yang ditetapkan pada tanggal perhitungan aktuaria, maka bagian Defisit yang bersesuaian dapat dilunasi dengan Iuran Tambahan baru. (2) Dalam hal Iuran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus, maka pelunasan Iuran Tambahan baru tersebut diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3). (3) Dalam hal Iuran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bulanan, maka Iuran Tambahan bulanan baru dihitung sedemikian rupa sehingga nilai sekarang rangkaian Iuran Tambahan bulanan baru tersebut sama dengan bagian Defisit yang bersangkutan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Iuran Tambahan bulanan baru sama atau lebih besar daripada Iuran Tambahan bulanan sebelumnya, dengan masa pelunasan lebih pendek dari sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan dalam laporan aktuaris sebelumnya; atau b. Iuran Tambahan bulanan baru lebih kecil daripada Iuran Tambahan bulanan sebelumya, dengan masa pelunasan sama dengan sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan dalam laporan aktuaris sebelumnya. (4) Dalam ... - 13 - (4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode perhitungan aktuaria pada laporan aktuaris baru, rangkaian Iuran Tambahan bulanan harus terus dibayarkan sesuai dengan penetapan pada laporan aktuaris sebelumnya. Pasal 14 (1) Dalam hal Pemberi Kerja tidak dapat melakukan penyetoran Iuran Tambahan secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Pemberi Kerja harus melakukan pembayaran iuran Tambahan bulanan yang cukup untuk menutupi kebutuhan pendanaan minimum yang dituangkan dalam pernyataan aktuaris. (2) Keterlambatan penyetoran Iuran Tambahan bulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dikenakan bunga yang dihitung sejak tanggal perhitungan aktuaria. Pasal 15 (1) Pemberi Kerja dari Dana Pensiun yang sampai disahkannya Keputusan Menteri Keuangan ini masih memiliki sisa Defisit Pra- Undang-undang wajib melunasi sisa Defisit Pra-Undang-undang tersebut. (2) Sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai sekarang dari sisa rangkaian Iuran Tambahan untuk melunasi Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama. (3) Masa ... - 14 - (3) Masa angsuran dari sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sisa masa angsuran sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama kecuali apabila terdapat perubahan pada laporan aktuaris berikutnya sebelum tanggal Keputusan Menteri Keuangan ini. Pasal 16 Dalam Iuran Tambahan bulanan terkandung beban tambahan sebagai akibat pelunasan Defisit secara bulanan dan beban tambahan tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Iuran Tambahan bulanan dimaksud. Pasal 17 (1) Bila laporan aktuaris menunjukkan adanya Surplus, sisa Iuran Tambahan bulanan yang belum jatuh tempo pada tanggal perhitungan aktuaria baru harus dihapus. (2) Iuran Normal Pemberi Kerja dapat diperhitungkan dari Surplus. (3) Dalam hal Surplus melebihi jumlah yang lebih besar di antara: a. 20% (dua puluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; dan b. bagian Iuran Normal Pemberi Kerja ditambah 10% (sepuluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; maka kelebihan Surplus dimaksud wajib diperhitungkan sebagai Iuran Normal Pemberi Kerja. (4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode perhitungan aktuaria pada laporan aktuaris baru, Surplus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperhitungkan sebagai Iuran Normal Pemberi Kerja. Pasal 18 ... - 15 - Pasal 18 (1) Iuran yang rnenjadi tanggung jawab Pemberi Kerja yang ditetapkan dalam Laporan Aktuaris Berkala atau dalam rangka pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun dibayarkan terhitung sejak tanggal perhitungan aktuaria. (2) Iuran yang menjadi tanggung jawab Pemberi Kerja yang ditetapkan dalam laporan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun dibayarkan terhitung sejak tanggal pengesahan dimaksud. (3) Awal masa pelunasan atas Defisit yang ditetapkan dalam laporan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun dimulai sejak tanggal pengesahan. (4) Sebelum pernyataan aktuaris dalam Laporan Aktuaris Berkala ditandatangani, iuran Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun dibayarkan sebesar jumlah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan di dalam pernyataan aktuaris sebelunmya. (5) Sebelum pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun ditetapkan, iuran Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun dibayarkan sebesar jun- dah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan di dalam pernyataan aktuaris sebelumnya. Pasal 19 (1) Dalam hal jumlah iuran Pemberi Kerja berdasarkan pernyataan aktuaris yang baru lebih besar daripada jumlah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan dalam pernyataan aktuaris sebelumnya, kekurangan iuran yang terjadi harus dilunasi dalam tahun buku yang bersangkutan. (2) Dalam ... - 16 - (2) Dalam hal kekurangan iuran tidak dilunasi dalam tahun yang bersangkutan atau laporan aktuaris disampaikan kepada Menteri melewati tahun buku yang bersangkutan, maka penyetoran Iuran Tambahan harus dikenakan bunga yang dihitung sejak tanggal perhitungan aktuaria. (3) Dalam hal jumlah iuran Pemberi Kerja berdasarkan pernyataan aktuaris yang baru lebih kecil daripada jumlah iuran Pemberi Kerja yang ditetapkan dalam pernyataan aktuaris sebelumnya, kelebihan iuran yang terjadi harus diperhitungkan sebagai iuran-iuran Pemberi Kerja berikutnya. (4) Dalam hal terjadi kelebihan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Pemberi Kerja dilarang membayar iuran ke Dana Pensiun sampai seluruh kelebihan iuran termaksud habis diperhitungkan sebagai iuran Pemberi Kerja. BAB V LAPORAN AKTUARIS DAN PERNYATAAN AKTUARIS Bagian Pertama Laporan Aktuaris Pasal 20 (1) Laporan aktuaris sekurang-kurangnya harus memuat: a. pernyataan Aktuaris; b. tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan dan tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya; c. tujuan penyusunan laporan aktuaris; d. ringkasan ... - 17 - d. ringkasan Peraturan Dana Pensiun dan perubahan-perubahan yang terjadi pada Peraturan Dana Pensiun sejak tanggal perhitungan aktuaria sebeluninya; e. ringkasan jumlah Peserta dan jurnlah Pihak Yang Berhak beserta perubahan yang terjadi sejak tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya; f. metode perhitungan aktuaria yang digunakan disertai penjelasan mengenai pemilihan metode tersebut; g. asumsi aktuaria yang digunakan dalam perhitungan kewajibankewajiban dan perubahan dari yang digunakan dalam perhitungan aktuaria sebelumnya disertai dengan penjelasan mengenai pemilihan dan perubahan asumsi tersebut; h. nilai Kekayaan Untuk Pendanaan; i. analisis perubahan Surplus atau Defisit; j. hasil perhitungan aktuaria secara keseluruhan, baik per tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan maupun sebelumnya; dan k. nama dan alamat Aktuaris dan penjelasan apakah Aktuaris yang bersangkutan juga menandatangani pernyataan aktuaris dalam laporan aktuaris sebeluninya. (2) Laporan aktuaris harus dilengkapi dengan pernyataan yang ditandatangani Pendiri, yang memuat: a. Pernyataan bahwa data dan Peraturan Dana Pensiun yang disampaikan kepada Aktuaris lengkap dan benar; b. Pernyataan bahwa Pendiri sanggup membayar iuran-iuran sesuai dengan pendanaan minimum yang dituangkan dalam pemyataan aktuaris; dan c. Pernyataan bahwa Pendiri bermaksud menggunakan Surplus yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) untuk mengurangi luran Normal Pemberi Kerja, dalam hal terdanat Surplus. (3) Dalam ... - 18 - (3) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan Pemberi Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan program pensiun secara merata (sharing pension cost), maka pernyataan Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir c harus memuat penegasan penggunaan Surplus untuk masing-masing Pemberi Kerja yang mengalami surplus. Pasal 21 (1) Pernyataan Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a harus memuat: a. pernyataan bahwa data yang diterima aktuaris, sepanjang pengetahuannya, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan untuk maksud penyusunan laporan aktuaris, dan untuk itu telah dilakukan pengujian guna menilai keandalannya; b. pernyataan bahwa laporan aktuaris dimaksud: 1. harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Dana Pensiun; 2. telah disusun berdasarkan Peraturan Dana Pensiun; dan 3. telah disusun berdasarkan standar praktik aktuaria untuk Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia. c penegasan mengenai Surplus atau Defisit, Rasio Solvabilitas, Rasio Pendanaan dan kualitas pendanaan, d. penegasan mengenai: 1. besar Iuran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir tahun buku pertama setolah tanggal perhitungan aktuaria serta diperinci untuk bagian yang harus dibayarkan Peserta dan Pemberi Kerja; 2. persentase... - 19 - 2. persentase Iuran Normal terhadap penghasilan dasar pensiun untuk tahun-tahun sesudah tahun buku sebagaimana dimaksud dalam angka 1, saat penyampaian laporan aktuaris berikutnya; dan 3. bagian dari Iuran Normal yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab Pemberi Kerjaa yang dapat dibayar dari Surplus yang terjadi beserta periods penggunaannya. e. penegasan mengenai besar Iuran Tambahan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) beserta periods pembayarannya. (2) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan Pemberi Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan program pensiun secara merata (sharing pension cost), pernyataan aktuaris harus memuat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir c, d, dan e untuk masing-masing Pemberi Kerja. (3) Pernyataan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun atau. pengalihan kepesertaan harus memuat informasi sebagaimana dimaksud dalarri ayat (1) butir c, d, dan e untuk keadaan sebelum dan sesudah berlakunya perubahan tersebut. Pasal 22 (1) Tanggal perhitungan aktuaria dalam laporan aktuaris untuk permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun atau pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun adalah tanggal pemyataan tertulis Pendiri. (2) Tanggal perhitungan aktuaria dalam rangka Laporan Aktuaris Berkala adalah per tanggal 31 Desember. Pasal 23 ... - 20 - Pasal 23 (1) Dalam hal isi Laporan Aktuaris Berkala atau penyataan akttiaris tidak sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangetn ini yang menyebabkan terjadinya informasi yang salah terhadap kewajiban Pemberi Kerja untuk mendanai. program pensiun, Menteri dapat memerintahkan Pengurus meiiyampaikan Laporan Aktuaris Berkala baru. (2) Tanggal perhitungan aktuaria yang digunakan dalam Laporan Aktuaris Berkala baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Dana Pensiun. (3) Dalam hal aktuaris yang sama tidak dapat atau tidak bersedia membuat Laporan Aktuaris Berkala baru yang sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, Dewan Pengawas dilarang menunjuk Aktuaris tersebut untuk menyusun laporan aktuaris untuk periode-periode berikutnya. (4) Dalam rangka penyusunan Laporan Aktuaris, Dewan Pengawas dilarang menunjuk Aktuaris yang telah diinyatakan oleh asosiasi aktuaris melanggar standar praktik aktuaria untuk Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia. Pasal 24 Dalam hal hasil perhitungan aktuaria. menunjukkan bahwa Dana Pensiun mempunyai kualitas pendanaan tingkat tiga, maka Dana Pensiun dimaksud wajib melakukan valuasi aktuaria untuk tahun buku berikutnya. Bagian Kedua ... - 21 - Bagian Kedua Penyampaian Laporan Aktuaris Pasal 25 (1) Setiap laporan aktuaris yang dijadikan dasar dalam penetapan iuran Pemberi Kerja wajib disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Dana Pensiun dilengkapi dengan pernyataan Pendiri sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 20 ayat (2). (2) Penyampaian laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus laporan asli dan disertai dengan data elektronik yang sama dengan data pada laporan aktuaris tersebut. (3) Laporan Aktuaris Berkala dan data elektronik sebagaimana.dirnaksud dalam ayat (2) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sejak tanggal perhitungan aktuaria. (4) Penyampaian Laporan Aktuaris Berkala atau laporan aktuaris dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun atau pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun, laporan tersebut dijadikan dasar dalam penetapan kewajiban menyampaikan laporan aktuaris berikutnya. (5) Bentuk dan susunan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. (6) Penyampaian laporan seba aimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. Pasal 26 ... - 22 - Pasal 26 (1) Dalam hal penyampaian Laporan Aktuaris Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) terlambat dilakukan, Pendiri dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tanggal penyampaian laporan aktuaris adalah: a. tanggal penerimaan pengiriman, apabila laporan aktuaris diserahkan langsung ke kantor Direktorat Dana Pensiun; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila laporan aktuaris dikirim melalui kantor pos atau jasa pengiriman/titipan. (3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan aktuaris atau pada tanggal perhitungan aktuaria periode berikutnya apabila dilakukan valuasi aktuaria kembali. (4) Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. (5) Pendiri wajib menyampaikan copy bukti setoran pelunasan atas denda dimaksud kepada Menteri melalui Direktur Dana Pensiun. (6) Penyampaian laporan aktuaris setelah melewati, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) tidak menghapuskan kewajiban pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan dalam hal Pendiri belum membayar denda, denda tersebut dinyatakan sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam neraca Pendiri yang bersangkutan. BAB VI … - 23 - BAB VI PEMBAYARAN SEKALIGUS, PENGALIHAN DANA DAN PERUBAHAN PROGRAM Bagian Pertama Pembayaran Manfaat Pensiun Secara Sekaligus atau Pengalihan ke Dana Pensiun Lain Pasal 27 Dalam hal Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti memiliki Kekurangan Solvabilitas, maka setiap pembayaran manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana Pensiun lain hanya dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan berikut terpenuhi: a. Peserta atau janda/Duda atau Anak meninggal dunia, dan pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan ke Dana Pensiun lain diperkenankan oleh perundang-undangan di bidang Dana Pensiun; b. Peserta pensiun dan pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun; dan atau c. Laporan aktuaris berikutnya menunjukan bahwa pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana Pensiun lain dimaksud tidak mengurangi Rasio Pendanaan yang telah dicapai sebelumnya, atau Pendiri menjamin bahwa Rasio Pendanaan tidak berkurang, yang dinyatakan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) butir b. pernyataan Pendiri Bagian Kedua ... - 24 - Bagian Kedua Perubahan Program Pensiun Pasal 28 (1) Perubahan Program Pensiun Manfaat Pasti menjadi Program Pensiun Iuran Pasti dapat dilakukan Pendiri hanya jika Dana Pensiun tidak mengalami kekurangan solvabilitas. (2) Dalam hal Dana Pensiun mengalai-ni kekurangan solvabilitas dan Pendiri bermaksud mengubah Program Pensiun Manfaat Pasti menjadi Program Pensiun Iuran Pasti, kekurangan solvabilitas tersebut wajib dilunasi terlebih dabulu. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat mulai berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK.017/1995 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteti Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Desember 2002 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BOEDIONO
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002 </reg_id> <reg_title> PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title> <set_date> 4 Desember 2002 </set_date> <effective_date> 4 Desember 2002 </effective_date> <replaced_reg> '77/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V Bagian Kedua Pasal 26' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 425/KMK.06/2003 TENTANG PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 226/KMK.017/1993 Tahun 1993, b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467) 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);: 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001; MEMUTUSKAN ... End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- MEMUTUSKAN Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan Direksi adalah direksi pada perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama. 2. Komisaris adalah komisaris pada perseroan terbatas atau usaha bersama. 3. Asosiasi adalah asosiasi dari perusahaan yang mempunyai lingkup usaha penunjang usaha asuransi atau profesi keallian di lingkup usaha penunjang usaha asuransi. 4. Menteri adalah Menteri Kcuangan Republik Indonesia. BAB II IZIN USAHA Bagian Pertama Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Iizin Usaha Pasal 2 (1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -3 - a. bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Talun 1999, b. dokumen pendukung lainnya yang meliputi : 1) susunan organisasi dan kepengurusan, termasuk uraian tugas dan sistem pengolahan data; 2) surat keterangan dari lembaga pembina dan pengawas usaha perbankan bahwa pemegang saham tidak termasuk dalam daftar orang tercela; 3) neraca pembukaan yang dilengkapi dengan bukti pendukungnya; 4) studi kelayakan usaha yang antara lain memuat rencana pengembangan usaha dan pengembangan sumber daya manusia; 5) bukti mempekerjakan tenaga ahli; 6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan berikut NPWP dari Direksi, Komisaris, dan pemegang sahamnya: 7) bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup Direksi, Komisaris, pemegang sahan, dan tenaga ahli yang dipekerjakan 8) pernyataan Direksi fidak merangkap jabatan pada perusahaan lain, pernyataan tenaga ahli tidak bekerja di perusahaan lain; dan F0) bukti perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi, khusus bagi Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum. (2) Bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang terdapat kepemilikan pihak asing, selain harus memenuhi ketentuan ayat (1) harus pula menyampaikan End of Page 3 MENTERI KEUANGAN RI IK INDONESA a. referensi atau rekomendasi dari badan pembina dan pengawas usaha perasuransian pihak asing tempat yang bersangkutan berdomisili, yang sekurang- kurangnya menyatakan bahwa pihak asing tersebut memiliki izin usaha dan reputasi baik; dan peranijan keriasama antara pihak Indonesia dan pihak asing. Pasal 3 Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan sekurang-kurangnya memuat : . komposisi permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, b. susunan anggota dewan Direksi dan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Talun 1999; dan kewajiban pihak asing untuk membuat dan rogam pendidikan dan pelatihan sesua bidang keabliannya. Pemberian atau Penolakan Permohonan Izin Usaha Pasal 4 (1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (2) Setiap End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA S (2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan penjelasan secara tertulis. BAB III PERSYARATAN UMUM Bagian Pertama Susunan Organisasi Pasal5 Susunan organisasi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut . sekurang-kurangnya menggambarkan secara jclas adanya: yang terpisah satu dengan yang lainnya, bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi; dan 2) fungsi teknis sesuai dengan bidang usaha yang Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi; dan b. dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung organisasi. Bagian Kedua * Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham Pasal 6 (1) Setiap Direksi, Komisaris, dan pemegang saham Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi setiap saat harus memenuhi ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Dalam. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN KINDONS 6. (2) Dalam hal ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi penegang saham belum ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan apabila yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Bagian Ketiga Pasal 7 (1) Perusalaan Penunjang Usaha Asuransi harus mengangkat tenaga ahli. (2) Tenaga alli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki kualifikasi sebagai : 1) ahli pialang asuransi bersertifikat dari Asosiasi asuransi dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAD, atau dari asosiasi sejenis di Iuar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari ABAI atau pengakuan dari AAMAL bagi Perusahaan Pialang Asuransi; 2) ahli asuransi bersertifikat dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI), atau dari asosiasi sejenis di luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari 3) adjuster bersertifikat dari Asosiasi Adjuster Asuransi Indonesia (AAAI) atau dari asosiasi memperoleh pengakuan dari AAAI, bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; 4) aktuaris bersertifikat dari Persatuan Aktuaris negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari PAI, bagi Perusahaan End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBUK INDONESIA -7- 5) agen bersertifikat dari asosiasi industri asuransi sejenis di Indonesia, bagi Agen Asuransi; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang perasuransian sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan d. terdaftar sebagai tenaga ahli di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan. (3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi harus paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengangkatan. Pasal 8 Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 wajib melakukan tugasnya dengan berpedoman pada standar praktek dan kode etik profesi yang berlaku. Pasal 9 (1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib memberhentikan tenaga ahli yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian paling lambat 7 (tujuh) hari scjak ditemukannya pelanggaran. (2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang memberhentikan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengangkat tenaga ahli baru dan melaporkan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberhentian. Pasal 10 Setiap tenaga alli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib mehdaftarkan diri dengan mengajukan permohonan pendaftaran secara tertulis kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dengan melampirkan: End of Page 7 MENTERI KEUANGAN RINDON -8 - a. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data pendukungnya, b. copy sertifikat gelar profesi; dan c. keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi. Pasal 11 Pendaftaran tenaga abli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dibatalkan apabila tenaga ahli dimaksud: a. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktek oleh asosiasi profesi tenaga ahli yang bersangkutan, . dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang mengeluarkan gelar tersebut; . melakukan perbuatan tercela di bidang usaha perasuransian; atau d. tidak lulus pengujian kemampuan dan kepatutan karena faktor integritas, dalam hal tenaga ahli pernah mengikuti pengujian dimaksud. Bagian Keempat Sistem Administrasi dan Pengolahan Data Pasal 12 Pengelolaan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sekurang-kurangnya harus didukung dengan : . sistem administrasi yang memenuhi fungsi pengendalian intern; . sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan; dan c. program pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia. Bagian Kelima End of Page 8 MENTERI KEUANGAN 9 Pasal 13 Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dapat mempekerjakan tenaga asing sebagai penasihat dengan ketentuan tenaga asing dimaksud: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya, b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaga-kerjaan; dan c. memiliki program kerja sesuai dengan tugasnya. Bagian Keenam Dana Pendidikan dan Pelatihan Pasal 14 (1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan pendidikan dari jumlah biaya pegawai, Direksi dan Komisaris untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha asuransi bagi karyawannya. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) .untuk setiap tahun, wajib 31 Januari tahun berikutnya. BAB IV. End of Page 9 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 10 - BAB IV LAPORAN PERUBAHAN Pasal 15 (1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib a. anggaran dasar, b. alamat kantor perusahaan; dan c. perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi, bagi Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum. (2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang melakukan perubahan anggaran dasar harus menyampaikan bukti Menteri, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diperoleh persetujuan dimaksud. (3) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang, maka disampaikan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal perubahan. BAB V PENGGABUNGAN BADAN USAHA Pasal 16 (1) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dapat melakukan penggabungan badan usaha dengan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sejenis. (2) Perusahaan .. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN 11- (2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang akan melakukan penggabungan badan usaha wajib melaporkan rencana penggabungan dimaksud kepada Menteri untuk mendapat persetujuan. (3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib usaha dimaksud paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penggabungan badan usaha. BAB VI PENYELENGGARAAN USAHA Pasal 17 Dalam rangka menjaga perimbangan sebagaimana dimaksud Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999,jumlah premi yang belum disetor oleh Perusahaan Pialang Asuransi kepada Perusahaan Asuransi senantiasa tidak boleh melebihi modal sendiri Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan. BAB VII LAPORAN OPERASIONAL DAN KEUANGAN Pasal 18 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsuitan Aktuaria wajib. menyampaikan kepada Menteri laporan operasional untuk kegiatan selama 1 (satu) tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan kepada Menteri: a. laporan operasional tahunan yang berakhir pada lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, End of Page 11 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 12 b. laporan keuangan tahunan yang berakhir pada auditor independen, disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya; dan c. laporan kcuangan semesteran yang berakhir pada paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya semester yang bersangkutan. (3) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal. BAB VIII KETENTUAN LAIN Pasal 19 (1) Setiap Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib menjadi anggota Asosiasi perusahaan sejenis. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas antara lain a. mengkoordinir penyusunan standar praktek dan kode etik profesi usaha penunjang usaha asuransi;, b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan; dan c. melakukan pengendalian mutu terhadap tenaga ahli profesi usaha Penunjang Usaha Asuransi. Menteri. Pasal 20 End of Page 12 MENTERI KEUANGAN DRLKINDONESA - 13 - BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 (1) Setiap pihak yang telah mengajukan permohonan izin usala Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi sebelum mengajukan permohonan untuk memenuhi ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak memperoleh izin usaha. Asuransi wajib mendaftarkan diri kepada Direktur Tedemal lembaga Keuangan sebagalmana dalam Pasal 10 paling lambat 6 (enam) bulan sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan. (3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang telah memperoleh izin usaha wajib menyesuaikan dengan tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 226/KMK.017/1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 euangan ini mulaiberhaku pala bangei ditetapkan. End of Page 13 MENTERI KEUANGAN - 14- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintalkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2003 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd,- Salinan sesuai dengan aslinya BOEDIONO KEPALA BAGIAN-T.U. DEPARTEMEN NIP 060041898 End of Page 14
<reg_type> KEP-MEN </reg_type> <reg_id> 425/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERUSAHAN PENUNJANG USAHA ASURANSI </reg_title> <set_date> 30 September 2003 </set_date> <effective_date> 30 September 2003 </effective_date> <replaced_reg> '226/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg> <related_reg> '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999', '228/M|KEPPRES/2001' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII Pasal 20' </penalty_list>

No dataset card yet

Downloads last month
6