input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/8/PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan layanan transfer dana dan layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia, diperlukan percepatan penerusan dana baik oleh peserta pengirim maupun oleh peserta penerima; b. bahwa untuk memastikan peserta memenuhi percepatan batas waktu pengiriman dan penerusan dana dalam layanan pembayaran reguler, diperlukan penyesuaian terhadap sanksi atas setiap keterlambatan dari pelaksanaan pengiriman dan penerusan dana; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 4 - 2. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Transfer Dana yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1). (3) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan antara nama atau nomor rekening nasabah penerima yang tercantum pada perintah transfer dana dengan nama atau nomor rekening nasabah penerima yang tercatat pada Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 5 - 3. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal yang tercantum pada perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pengiriman DKE Pembayaran pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 4. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Pembayaran yang diterima sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai verifikasi data keuangan elektronik pembayaran. (2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Pembayaran yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal - 6 - Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). (3) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan antara nama atau nomor rekening nasabah penerima yang tercantum pada perintah transfer dana dengan nama atau nomor rekening nasabah penerima yang tercatat pada Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 5. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga sebagai akibat dari: a. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan/atau; b. permasalahan yang timbul dalam penyelesaian transaksi karena kesalahan yang dilakukan oleh Peserta. - 7 - 6. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A (1) Peserta pengirim yang tidak mengirimkan DKE Pembayaran kepada Peserta penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (2) Peserta penerima yang tidak melakukan penerusan dana kepada nasabah penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2019. - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 103 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/8/PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan SKNBI yang aman, lancar, dan efisien, Bank Indonesia telah menetapkan batas waktu pengiriman DKE Transfer Dana oleh Peserta pengirim dan batas waktu penerusan dana oleh Peserta penerima dalam Layanan Transfer Dana. Untuk meningkatkan layanan penyelenggaraan SKNBI maka dilakukan penyempurnaan melalui percepatan penetapan batas waktu pengiriman DKE Transfer Dana oleh Peserta pengirim dan penerusan dana oleh Peserta penerima dari masing-masing 2 (dua) jam menjadi masing- masing 1 (satu) jam. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, percepatan batas waktu tersebut selain berlaku untuk Layanan Transfer Dana, juga berlaku untuk Layanan Pembayaran Reguler. Guna memberikan kepastian bahwa transaksi yang diproses melalui Layanan Pembayaran Reguler SKNBI diselesaikan oleh Peserta pengirim dan Peserta penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan maka dilakukan penyempurnaan terhadap sanksi atas setiap keterlambatan dari pelaksanaan pengiriman DKE Pembayaran dan penerusan dana, sebagaimana yang telah diberlakukan pada Layanan Transfer Dana. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 39 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 55 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “permasalahan yang timbul dalam penyelesaian transaksi karena kesalahan yang dilakukan oleh Peserta” antara lain berupa: a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen Dana yang diakibatkan karena kelalaian Peserta; b. pengiriman DKE dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; c. kesalahan DKE yang dikirimkan oleh Peserta; dan d. gangguan jaringan komunikasi dan/atau sistem pada Peserta yang mengakibatkan keterlambatan Setelmen Dana. - 3 - Angka 6 Pasal 69A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan” adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan” adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6355
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/8/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 24 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 1 September 2019 </effective_date> <issued_date> 24 Mei 2019 </issued_date> <changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg> <extension_of> '19/15/PBI/2017' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '17/9/PBI/2015', '19/15/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 69A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/1/PBI/2013 TENTANG LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia berwenang untuk mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di bidang keuangan, khususnya dalam rangka memperoleh dan menyediakan informasi perkreditan; b. bahwa selama ini penyelenggaraan sistem informasi debitur yang dilakukan oleh Bank Indonesia mencakup data penyediaan dana yang bersumber dari lembaga keuangan dan menghasilkan informasi perkreditan yang bersifat standar; c. bahwa dalam rangka meminimalkan asymmetric information untuk mendukung proses pelaksanaan manajemen risiko khususnya risiko kredit oleh lembaga keuangan; menurunkan potensi terjadinya adverse selection dan moral hazard dalam penyediaan dana; mengurangi kredit bermasalah; mendorong penurunan biaya akuisisi kredit … - 2 - kredit; mendorong penerapan risk-based pricing dan reputational collateral; serta meningkatkan akses pembiayaan yang inklusif, dibutuhkan perluasan cakupan pertukaran dan pengelolaan data perkreditan yang juga bersumber dari non lembaga keuangan, serta tersedianya ragam produk dan layanan informasi perkreditan yang memiliki nilai tambah (value added services); d. bahwa dalam rangka menetapkan kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, makroprudensial dan mikroprudensial, Bank Indonesia memerlukan informasi perkreditan yang andal, komprehensif, dan terintegrasi; mencakup data dari lembaga keuangan dan juga data non lembaga keuangan; e. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi perkreditan yang beragam, komprehensif, dan memiliki nilai tambah pengembangan pengelolaan informasi perkreditan yang dilakukan oleh pihak lain selain Bank Indonesia; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … diperlukan - 3 - Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN. BAB I … - 4 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan yang selanjutnya disingkat LPIP adalah lembaga atau badan yang menghimpun dan mengolah data kredit dan data lainnya untuk menghasilkan informasi perkreditan. 2. Informasi Perkreditan adalah produk dan/atau layanan yang dihasilkan oleh LPIP secara tertulis, lisan, atau dengan metode lainnya, yang bersumber dari data kredit dan data lainnya yang dimiliki oleh LPIP. 3. Data Kredit adalah data mengenai kondisi fasilitas penyediaan dana, pembiayaan dari lembaga keuangan non bank, dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Data Lainnya adalah data selain Data Kredit yang dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan pihak tertentu dalam memenuhi kewajiban keuangan. 5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana lembaga keuangan baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, tagihan lainnya, dan transaksi rekening administratif, serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu, termasuk pembiayaan syariah. 6. Pembiayaan Syariah adalah Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Lembaga … - 5 - 7. Lembaga Keuangan adalah lembaga yang melakukan kegiatan di bidang keuangan meliputi: a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; c. Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; d. Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian; e. Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan f. Lembaga atau perusahaan lainnya, yang melakukan kegiatan Penyediaan Dana atau yang dapat dipersamakan dengan itu. 8. Debitur atau Nasabah adalah setiap pihak baik perorangan maupun badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas Penyediaan Dana dan/atau kewajiban keuangan. BAB II … - 6 - BAB II KEGIATAN USAHA LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN Pasal 2 Kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPIP terdiri dari: a. menghimpun Data Kredit dan/atau Data Lainnya; dan b. mengolah Data Kredit dan/atau Data Lainnya, untuk menghasilkan Informasi Perkreditan. Pasal 3 (1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPIP dapat menghasilkan Informasi Perkreditan berdasarkan kategori Debitur atau Nasabah, antara lain: a. ritel (consumer); b. komersial (commercial); dan/atau c. usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta LPIP untuk menghasilkan Informasi Perkreditan berdasarkan kategori tertentu, untuk mendukung program dalam rangka memajukan perekonomian Indonesia. Pasal 4 Informasi Perkreditan yang dihasilkan oleh LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik yang bersifat individual maupun agregat, memuat antara lain mengenai: a. kelayakan … - 7 - a. kelayakan Debitur atau Nasabah untuk memperoleh Penyediaan Dana; b. rekam jejak reputasi Debitur atau Nasabah dalam memenuhi kewajiban Penyediaan Dana; c. kemampuan Debitur atau Nasabah untuk memenuhi kewajiban Penyediaan Dana; d. karakter Debitur atau Nasabah; dan e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan Debitur atau Nasabah. BAB III KELEMBAGAAN LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN Bagian Kesatu Badan Hukum dan Modal Disetor Pasal 5 (1) Setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai LPIP wajib memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. (2) Bentuk hukum LPIP wajib berupa Perseroan Terbatas. Pasal 6 (1) Modal disetor untuk mendirikan LPIP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Sumber dana untuk kepemilikan LPIP: a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. (3) LPIP … - 8 - (3) LPIP wajib mencadangkan sebagian dari profitnya untuk peningkatan teknologi, infrastruktur dan sumber daya manusia. Bagian Kedua Pemegang Saham Pasal 7 (1) Pemegang saham LPIP wajib berbentuk badan hukum Indonesia. (2) Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki oleh: a. badan hukum Indonesia; atau b. badan hukum Indonesia dengan badan hukum asing secara kemitraan. Pasal 8 (1) Kepemilikan saham LPIP oleh setiap pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) paling tinggi sebesar 51% (lima puluh satu persen) dari modal disetor. (2) Batas maksimal kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap kepemilikan berdasarkan keterkaitan antar pemegang saham. (3) Dalam hal pemegang saham LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) juga memiliki saham di LPIP lainnya, maka total kepemilikan saham terhadap seluruh LPIP yang dimilikinya paling tinggi sebesar 51% (lima puluh satu persen). (4) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat_(2) huruf b wajib memiliki pengalaman di industri pengelolaan informasi perkreditan. Pasal 9 … - 9 - Pasal 9 Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional LPIP yang sehat; dan c. tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet. Bagian Ketiga Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 10 (1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris LPIP wajib memenuhi persyaratan: a. integritas, yang paling kurang mencakup: 1) memiliki akhlak dan moral yang baik; 2) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) memiliki komitmen untuk melaksanakan prinsip Good Corporate Governance; 4) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional LPIP yang sehat; dan 5) memiliki komitmen yang tinggi untuk menjaga kerahasiaan serta keamanan data dan informasi; b. kompetensi, yang paling kurang mencakup: 1) pengetahuan di bidang yang relevan dengan jabatannya; dan 2) kemampuan … - 10 - 2) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan LPIP; c. reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup: 1) tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet; dan 2) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum mengajukan permohonan. (2) Paling kurang salah satu anggota Direksi wajib memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di industri pengelolaan informasi perkreditan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Jumlah anggota Direksi paling kurang berjumlah 3 (tiga) orang. (2) Paling kurang 50% (lima puluh persen) anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Warga Negara Indonesia. (3) Anggota Direksi hanya dapat merangkap jabatan sebagai Direktur, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif dari perusahaan, organisasi, atau lembaga yang bersifat nirlaba. Pasal 12 (1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling kurang berjumlah 2 (dua) orang … - 11 - orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. (2) Paling kurang 50% (lima puluh persen) anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan warga negara Indonesia. Bagian Keempat Tenaga Kerja Asing Pasal 13 (1) LPIP dapat memanfaatkan tenaga kerja asing dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) LPIP hanya dapat memanfaatkan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jabatan-jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau tenaga ahli/konsultan. (3) Dalam menggunakan tenaga ahli/konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPIP wajib: a. mempertimbangkan terlebih dahulu ketersediaan tenaga ahli/konsultan lokal untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; b. menyediakan 2 (dua) orang tenaga ahli/konsultan lokal untuk mendampingi masing-masing tenaga kerja asing; dan c. memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. (4) Penggunaan tenaga kerja asing wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 14 … - 12 - Pasal 14 (1) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan: a. memenuhi kualifikasi keahlian; b. tidak memiliki jabatan di Lembaga Keuangan baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar Indonesia; dan c. memiliki pengetahuan mengenai ekonomi, bahasa, dan budaya Indonesia. (2) Untuk tenaga kerja asing yang menjabat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 15 (1) Masa jabatan tenaga kerja asing wajib berpedoman pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. (2) LPIP wajib menyampaikan rencana penggunaan tenaga kerja asing beserta perubahannya kepada Bank Indonesia setiap tahun. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV … - 13 - BAB IV PERIZINAN LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN Pasal 17 (1) LPIP hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin dari Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. Bagian Kesatu Persetujuan Prinsip Pasal 18 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, paling kurang oleh salah satu calon pemegang saham kepada Bank Indonesia, disertai dengan: a. rancangan akta pendirian Perseroan Terbatas, termasuk rancangan anggaran dasar; b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; c. daftar susunan calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; d. rencana susunan dan struktur organisasi serta sumber daya manusia; e. rencana … - 14 - e. rencana bisnis untuk 3 (tiga) tahun pertama; f. rencana strategis jangka menengah dan panjang; g. rancangan sistem teknologi informasi yang akan digunakan; h. rancangan kebutuhan Data Kredit dari Lembaga Keuangan yang akan diperoleh dari Bank Indonesia; i. pedoman sistem pengendalian intern dan pedoman mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance; kebijakan dan prosedur operasional; j. k. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah satu calon pemegang saham untuk pendirian LPIP yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan l. surat pernyataan dari calon pemegang saham LPIP, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf k: 1) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2) tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dokumen permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 … - 15 - Pasal 19 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan oleh Bank Indonesia paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis terhadap hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j; dan c. wawancara terhadap calon pemegang saham, calon anggota Direksi, dan/atau calon anggota Dewan Komisaris, apabila diperlukan. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), calon pemegang saham yang mengajukan permohonan pendirian LPIP wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian LPIP. Pasal 20 (1) Persetujuan prinsip berlaku paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai LPIP, sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan … - 16 - mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat kembali mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip setelah 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Pihak yang tidak mendapat persetujuan prinsip dari Bank Indonesia dapat kembali mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal penolakan dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Izin Usaha Pasal 21 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia oleh Direksi dari LPIP yang telah mendapat persetujuan prinsip, disertai dengan: a. akta pendirian Perseroan Terbatas, yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham; c. daftar susunan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j, dalam hal terjadi perubahan; e. arsitektur sistem teknologi informasi yang akan digunakan; f. bukti … - 17 - f. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dalam bentuk: 1) dana tunai, yang dibuktikan dengan fotokopi bilyet deposito pada bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah satu pemegang saham LPIP yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan/atau 2) bentuk lainnya, yang besarnya ditentukan oleh LPIP berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan LPIP; g. bukti kesiapan operasional; dan h. surat pernyataan dari pemegang saham LPIP, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf f: 1) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2) tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dokumen permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 … - 18 - Pasal 22 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan oleh Bank Indonesia paling lama 80 (delapan puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d; c. penilaian terhadap sistem teknologi informasi yang akan digunakan berdasarkan arsitektur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; dan d. analisis lainnya berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia. Pasal 23 (1) LPIP yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia oleh Direksi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPIP belum melakukan kegiatan usaha, izin usaha yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. (4) LPIP yang izin usahanya tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat kembali mengajukan permohonan untuk mendapatkan … - 19 - mendapatkan persetujuan prinsip, setelah 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 24 LPIP yang tidak mendapat izin usaha dari Bank Indonesia, dapat mengajukan permohonan kembali untuk mendapatkan persetujuan prinsip, setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal penolakan dari Bank Indonesia. BAB V PERUBAHAN MODAL DISETOR, PEMEGANG SAHAM, ANGGOTA DIREKSI, DAN/ATAU ANGGOTA DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Perubahan Modal Disetor Pasal 25 (1) LPIP wajib melaporkan penambahan jumlah modal disetor kepada Bank Indonesia. (2) Perubahan jumlah modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan mengenai batasan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2). (3) Laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat_(1) disertai dengan surat pernyataan dari pemegang saham LPIP bahwa perubahan modal disetor: a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. Bagian Kedua … - 20 - Bagian Kedua Perubahan Pemegang Saham, Anggota Direksi, dan/atau Anggota Dewan Komisaris Pasal 26 (1) Perubahan terhadap komposisi kepemilikan LPIP baik yang mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian, pengurangan, dan/atau penambahan jumlah pemilik wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis, disertai dengan data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham. Pasal 27 (1) Dalam hal LPIP akan melakukan perubahan susunan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, maka calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPIP kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c. (3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan ketentuan perundang-undangan … - 21 - perundang-undangan yang berlaku. (4) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat_(1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak seluruh persyaratan terpenuhi. (5) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia. (6) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan secara tertulis oleh LPIP kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang saham. Pasal 28 Calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dilarang menjalankan tugas dan fungsi sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris walaupun sudah mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 29 (1) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang akan berhenti dan/atau mengundurkan diri, LPIP wajib memastikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 tetap terpenuhi. (2) Pemberhentian … - 22 - (2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan secara tertulis oleh LPIP kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal efektif pemberhentian dan/atau pengunduran diri. Pasal 30 (1) Dalam hal LPIP akan melakukan akuisisi, merger, atau konsolidasi dengan LPIP lain, masing-masing LPIP wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan akuisisi, merger, atau konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis, disertai dengan data rencana akuisisi, merger, atau konsolidasi. Pasal 31 (1) Persetujuan atau diberikan penolakan terhadap oleh Bank Indonesia permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (2) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) LPIP wajib menyampaikan laporan mengenai perubahan komposisi kepemilikan, jumlah modal disetor, dan/atau pelaksanaan akuisisi, merger, atau konsolidasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal selesainya proses tersebut. Pasal 32 … - 23 - Pasal 32 Rincian tata cara perubahan komposisi kepemilikan, jumlah modal disetor, dan/atau pelaksanaan akuisisi, merger, atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN LPIP Pasal 33 (1) LPIP yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat menghimpun dan mengolah Data Kredit dan Data Lainnya. (2) Data Kredit dan Data Lainnya yang dihimpun dan diolah oleh LPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk menghasilkan Informasi Perkreditan. Pasal 34 LPIP wajib: a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data; b. memiliki sistem yang andal; c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang dituangkan dalam pedoman tertulis; dan d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang menggunakan Informasi Perkreditan. Pasal 35 … - 24 - Pasal 35 Kebijakan dan prosedur operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal_34 huruf c paling kurang meliputi: a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data; b. level akses; c. prosedur pengubahan data; d. pengamanan informasi; e. Business Continuity Plan; f. End-user computing; g. Disaster Recovery Plan; h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit trail; i. prosedur pemberian Informasi Perkreditan; dan j. prosedur penanganan dan penyelesaian pengaduan. BAB VII PENGELOLAAN DATA OLEH LPIP Bagian Kesatu Sumber dan Alur Data Pasal 36 (1) Dalam menyelenggarakan kegiatan menghimpun dan mengolah data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPIP memperoleh Data Kredit dari Bank Indonesia. (2) Data Kredit dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat_(1) merupakan data yang disajikan dan dilaporkan kepada Bank Indonesia oleh Lembaga Keuangan sebagai Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai … - 25 - mengenai pelaporan Data Kredit.Ketenhan Data Kredit daran donesia . (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme perolehan Data Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan Data Kredit dan Data Lainnya, LPIP dapat melakukan kerjasama dengan: a. Lembaga Keuangan, untuk Data Kredit; dan/atau b. Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan, untuk Data Lainnya. (2) LPIP dapat memperoleh data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara langsung berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 38 (1) Perolehan Data Kredit oleh LPIP dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dikenakan biaya perolehan data. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia dapat meminta … - 26 - meminta data yang diperoleh LPIP secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme permintaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Pengelolaan Data Pasal 40 LPIP wajib melakukan upaya untuk meyakini bahwa pemanfaatan Data Kredit dan Data Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 telah diinformasikan oleh sumber data kepada Debitur atau Nasabah yang bersangkutan. Pasal 41 (1) Pengelolaan Data Kredit dan Data Lainnya oleh LPIP mencakup kegiatan namun tidak terbatas pada penghimpunan, pengolahan, dan pendistribusian data. (2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat_(1), LPIP wajib berpedoman pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. (3) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat_(1), LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Pasal 42 … - 27 - Pasal 42 (1) Dalam melakukan pengelolaan Data Kredit dan Data Lainnya, LPIP dilarang: a. dengan sengaja mengubah Data Kredit dan/atau Data Lainnya yang diperoleh LPIP dari Bank Indonesia, Lembaga Keuangan, dan/atau non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37; dan/atau b. memindahkan, menyalin, dan/atau membuat dapat diaksesnya Data Kredit dan Data Lainnya kepada/oleh pihak lain baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi LPIP dalam hal: a. Lembaga Keuangan dan non Lembaga Keuangan yang memberikan Data Kredit dan/atau Data Lainnya secara langsung kepada LPIP, tidak dapat melakukan pengkinian data; b. LPIP melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi LPIP yang memindahkan Data Kredit dan Data Lainnya kepada LPIP lain di dalam wilayah Republik Indonesia, berdasarkan perjanjian dan telah mendapatkan persetujuan dari Lembaga Keuangan dan non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. (4) LPIP melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat_(2) huruf a apabila: a. Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan dicabut … - 28 - dicabut izin usahanya; atau b. secara teknis Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan tidak mampu melakukan pengkinian data karena sebab lainnya. (5) Pengkinian data oleh LPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari: a. pihak yang ditunjuk untuk melakukan penyelesaian kewajiban Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan, dalam hal Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan dicabut izin usahanya; atau b. Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, Debitur atau Nasabah yang bersangkutan, dalam hal Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan secara teknis tidak mampu melakukan pengkinian data karena sebab lainnya. Pasal 43 Dalam rangka menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, LPIP wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik Indonesia. Pasal 44 (1) LPIP dapat menggunakan jasa pihak lain dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan operasional LPIP. (2) LPIP wajib memastikan bahwa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan data dan Informasi … - 29 - Informasi Perkreditan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini dan seluruh ketentuan pelaksanaannya. BAB VIII INFORMASI PERKREDITAN Bagian Kesatu Informasi Perkreditan Pasal 45 (1) LPIP wajib menghasilkan Informasi Perkreditan yang mempunyai nilai tambah. (2) Informasi Perkreditan yang mempunyai nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah informasi yang dihasilkan dari pengolahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya oleh LPIP selain informasi standar. Pasal 46 Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilarang memuat data yang: a. sedang dalam proses pengaduan atau klarifikasi keakuratan; b. tidak diketahui sumbernya; c. tidak diketahui secara jelas identitasnya; d. mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan; dan e. dinyatakan rahasia berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Pasal 47 … - 30 - Pasal 47 (1) Periode Data Kredit yang diolah oleh LPIP untuk menghasilkan Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diatur sebagai berikut: a. Data Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), paling singkat untuk posisi 2 (dua) tahun ke belakang terhitung sejak tanggal kondisi terkini; b. khusus Data Kredit mengenai tunggakan Penyediaan Dana, tetap diolah oleh LPIP sampai dengan Penyediaan Dana tersebut dilunasi, atau dihapustagihkan oleh Lembaga Keuangan. (2) Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan: a. data jumlah permintaan terhadap Informasi Perkreditan atas nama Debitur atau Nasabah tertentu, selama paling singkat 1_(satu) tahun ke belakang terhitung sejak tanggal kondisi terkini; b. data mengenai Informasi Perkreditan atas nama Debitur atau Nasabah tertentu yang menjadi obyek pengaduan, selama paling singkat 1 (satu) tahun sejak tanggal diselesaikannya pengaduan tersebut. (3) Periode untuk data yang dapat disajikan dalam Informasi Perkreditan selain dari ketentuan yang diatur pada ayat (1) dan ayat_(2) ditetapkan oleh LPIP. Pasal 48 … - 31 - Pasal 48 Jadwal retensi penyimpanan seluruh data yang dikelola oleh LPIP wajib berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. Pasal 49 (1) LPIP wajib menyediakan Informasi Perkreditan dalam Bahasa Indonesia. (2) Dalam hal dibutuhkan, LPIP dapat menyediakan Informasi Perkreditan dalam bahasa lainnya dengan tetap memperhatikan ketentuan pada ayat (1). Bagian Kedua Pemberian Informasi Perkreditan Pasal 50 Pihak yang dapat memperoleh Informasi Perkreditan adalah: a. Lembaga Keuangan yang menjadi anggota dari LPIP; b. non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat_(1) huruf b yang menjadi sumber data LPIP yang bersangkutan; c. LPIP lain; d. Debitur atau Nasabah; dan/atau e. pihak lain. Pasal 51 … - 32 - Pasal 51 Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, huruf b, huruf_c, dan huruf d dapat memperoleh Informasi Perkreditan sesuai dengan tata cara yang dipersyaratkan oleh LPIP dan/atau berdasarkan perjanjian para pihak. Pasal 52 (1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e dapat memperoleh Informasi Perkreditan dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (2) Permohonan Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dengan menyebutkan maksud dan tujuan permintaan Informasi Perkreditan dan nama pejabat yang berwenang. Pasal 53 LPIP wajib mengadministrasikan seluruh permintaan terhadap Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45. Pasal 54 Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a hanya dapat menggunakan Informasi Perkreditan yang berupa informasi … - 33 - informasi standar dan/atau yang mempunyai nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk keperluan Lembaga Keuangan yang bersangkutan dalam rangka: a. kelancaran proses Penyediaan Dana untuk menilai kondisi keuangan Debitur atau calon Debitur Lembaga Keuangan; b. penerapan manajemen risiko dalam menunjang kegiatan operasional Lembaga Keuangan; dan/atau c. pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 Pemberian Informasi Perkreditan oleh LPIP kepada non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b hanya dapat diberikan dalam rangka: a. memperlancar dan mengamankan kegiatan operasional non Lembaga Keuangan; dan/atau b. pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 56 Pemberian Informasi Perkreditan kepada LPIP lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 huruf c hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal_2. Pasal 57 … - 34 - Pasal 57 Pemberian Informasi Perkreditan oleh LPIP kepada Debitur atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d terbatas pada Informasi Perkreditan atas nama Debitur atau Nasabah yang bersangkutan. Pasal 58 (1) LPIP dapat mengenakan biaya terhadap pemberian Informasi Perkreditan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal_50. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal permintaan Informasi Perkreditan diajukan: a. dalam rangka verifikasi pengaduan Debitur atau Nasabah terhadap kesalahan data dalam Informasi Perkreditan yang telah dikoreksi; b. dalam rangka melaksanakan perintah dari pengadilan; dan/atau c. oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf_e. (3) Debitur atau Nasabah dapat memperoleh Informasi Perkreditan tanpa dikenakan biaya oleh LPIP sebanyak 1 (satu) kali dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan. BAB IX … - 35 - BAB IX PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN Pasal 59 (1) LPIP wajib menindaklanjuti pengaduan yang diajukan oleh setiap pihak mengenai ketidakakuratan data pada Informasi Perkreditan yang dihasilkan oleh LPIP. (2) Dalam menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPIP melakukan penelitian atas permasalahan yang diadukan berdasarkan dokumen dan/atau data yang dimiliki oleh LPIP. (3) Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPIP dapat berkoordinasi dengan pihak yang memberikan Data Kredit atau Data Lainnya kepada LPIP. Pasal 60 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat_(3), pengaduan Debitur atau Nasabah disebabkan karena ketidakakuratan hasil olahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya oleh LPIP maka LPIP wajib menindaklanjuti dengan melakukan koreksi. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat_(3), pengaduan Debitur atau Nasabah disebabkan karena ketidakakuratan Data Kredit atau Data Lainnya dari: a. Lembaga … - 36 - a. Lembaga Keuangan yang merupakan anggota LPIP, dan/atau non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal_37 ayat (1) huruf b, maka LPIP meneruskan pengaduan Debitur atau Nasabah secara langsung kepada Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan tersebut, dengan tembusan kepada Bank Indonesia. b. Lembaga Keuangan yang bukan merupakan anggota LPIP dimaksud, maka LPIP meneruskan pengaduan Debitur atau Nasabah kepada Bank Indonesia. (3) Dalam rangka menyelesaikan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1), LPIP wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang meliputi: a. penerimaan pengaduan; b. penanganan dan penyelesaian pengaduan; c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan d. perangkat organisasi yang menangani pengaduan. Pasal 61 (1) LPIP wajib menyelesaikan pengaduan Debitur atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) yang disebabkan ketidakakuratan hasil olahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya oleh LPIP paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya pengaduan. (2) Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPIP dapat meminta kepada Debitur atau Nasabah untuk perpanjangan batas waktu penyelesaian pengaduan paling lama 20_(dua puluh) hari kerja. (3) LPIP … - 37 - (3) LPIP wajib menginformasikan batas waktu penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pihak yang mengajukan pengaduan. (4) Dalam hal LPIP telah menyelesaikan pengaduan Debitur atau Nasabah, LPIP wajib menginformasikan hasil penyelesaian pengaduan dimaksud kepada Debitur atau Nasabah secara tertulis dan/atau menggunakan sarana teknologi informasi sesuai permintaan Debitur atau Nasabah. Pasal 62 (1) LPIP wajib memberikan tanda terhadap data dalam Informasi Perkreditan yang sedang dalam proses pengaduan sampai dengan seluruh proses pengaduan selesai. (2) LPIP wajib mengadministrasikan seluruh pengaduan yang diterima. BAB X PENGAWASAN Pasal 63 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap LPIP. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia secara langsung (on-site) dan/atau tidak langsung (off-site). Pasal 64 … - 38 - Pasal 64 (1) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Bank Indonesia melakukan pemeriksaan secara berkala dan setiap waktu apabila diperlukan. (2) Pemeriksaan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sekali. Pasal 65 (1) Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 mencakup teknologi yang digunakan, governance terhadap pengelolaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pengamanan data, dan penanganan pengaduan, serta hal lainnya yang dipandang perlu oleh Bank lndonesia. (2) Untuk cakupan tertentu, pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dilakukan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 66 LPIP wajib memberikan kepada Bank Indonesia keterangan dan data yang diminta, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, dan hal-hal lain yang diperlukan. Pasal 67 … - 39 - Pasal 67 Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), LPIP wajib menyampaikan laporan tertulis berupa: a. laporan bulanan; b. laporan semesteran; c. laporan tahunan; d. rencana bisnis tahunan; dan e. laporan lainnya yang bersifat insidentil. Pasal 68 (1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a memuat statistik data yang tercatat di LPIP, paling kurang terdiri dari: a. data total Debitur atau Nasabah; b. data total fasilitas Penyediaan Dana; c. data jumlah Lembaga Keuangan yang menjadi anggota LPIP dan non Lembaga Keuangan yang menjadi sumber data; d. data mengenai jumlah permintaan Informasi Perkreditan; dan e. data mengenai penanganan pengaduan Debitur atau Nasabah. (2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan apabila penyampaian laporan bulanan melampaui batas waktu sebagaimana … - 40 - sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan akhir bulan setelah bulan laporan yang bersangkutan. (4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan bulanan apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 69 (1) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf_b memuat laporan keuangan LPIP. (2) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya periode laporan yang bersangkutan. (3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan semesteran apabila penyampaian laporan semesteran melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi belum melampaui 1_(satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan. (4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan semesteran apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 70 (1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c paling kurang memuat: a. informasi… - 41 - a. informasi umum yang meliputi: kepengurusan, kepemilikan, perkembangan usaha LPIP, dan laporan manajemen; b. laporan keuangan tahunan yang meliputi laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas; c. opini dari akuntan publik; dan d. aspek pengungkapan lain yang diwajibkan dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diaudit oleh akuntan publik. (3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lama tanggal 31 Mei tahun berikutnya. (4) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan tahunan apabila penyampaian laporan tahunan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum melampaui 1_(satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan tahunan. (5) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan tahunan apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 71 (1) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf d paling kurang meliputi: a. kebijakan dan strategi manajemen; b. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; c. rencana permodalan; d. rencana … - 42 - d. rencana pengembangan teknologi sistem informasi; dan e. rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. (2) LPIP wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lama pada akhir bulan November sebelum tahun rencana bisnis tahunan dimulai. (3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan rencana bisnis tahunan apabila penyampaian rencana bisnis tahunan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian rencana bisnis tahunan. (4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan rencana bisnis tahunan apabila rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat_(1) belum disampaikan oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB XI PENGHENTIAN DAN PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 72 (1) LPIP yang akan menghentikan kegiatan usahanya wajib menyampaikan permohonan penghentian tersebut kepada Bank Indonesia secara tertulis yang wajib dilampiri dengan: a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai rencana penghentian kegiatan usaha LPIP; b. alasan penghentian; c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban (action plan); d. laporan keuangan terakhir; dan e. bukti … - 43 - e. bukti penyelesaian pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak untuk 3 (tiga) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan surat penghentian kegiatan usaha LPIP dan mewajibkan LPIP untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha LPIP; b. mengumumkan rencana pembubaran Perseroan Terbatas LPIP dan rencana penyelesaian kewajiban LPIP dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerbitan surat penghentian kegiatan usaha; c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban LPIP; dan d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas penyelesaian kewajiban LPIP. Pasal 73 (1) Apabila seluruh kewajiban LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal_72 ayat (2) huruf c telah diselesaikan, Direksi LPIP mengajukan permohonan pencabutan izin usaha LPIP kepada Bank Indonesia, disertai dengan laporan yang paling kurang memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha; b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal_72 ayat (2) huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban LPIP; d. laporan hasil verifikasi dari kantor akuntan publik atas penyelesaian kewajiban LPIP; dan e. surat … - 44 - e. surat pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah- langkah penyelesaian kewajiban LPIP telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham. (2) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan surat keputusan pencabutan izin usaha LPIP dan meminta LPIP untuk melakukan pembubaran Perseroan Terbatas sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Sejak tanggal surat keputusan pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila di kemudian hari masih terdapat kewajiban yang belum diselesaikan, maka segala kewajiban dimaksud menjadi tanggung jawab pemegang saham LPIP. Pasal 74 (1) Bank Indonesia berwenang mencabut izin usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dengan menerbitkan surat keputusan, apabila: a. LPIP melakukan pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan sanksi berupa pencabutan izin usaha; dan/atau b. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat_(2) dan Pasal 73. Pasal 75 … - 45 - Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XII SANKSI Pasal 76 (1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 77 (1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 78 … - 46 - Pasal 78 (1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) dan/atau rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) dan/atau rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan. Pasal 79 LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4), Pasal 69 ayat (4), Pasal 70 ayat (5), dan Pasal 71 ayat (4) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 80 Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia diketahui LPIP memberikan Informasi Perkreditan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Informasi Perkreditan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 81 … - 47 - Pasal 81 (1) LPIP yang melakukan pengolahan Data Kredit dan Data Lainnya yang menyebabkan ketidakakuratan Informasi Perkreditan yang dihasilkan LPIP, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap Debitur atau Nasabah, dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) LPIP yang melakukan pengolahan Data Kredit dan Data Lainnya yang menyebabkan ketidakakuratan Informasi Perkreditan yang dihasilkan LPIP, selain dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPIP dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian layanan Informasi Perkreditan dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) LPIP yang tidak menyelesaikan pengaduan Debitur atau Nasabah dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat_(1) dan ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per pengaduan. Pasal 82 (1) LPIP yang diketahui melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 6, Pasal 7, dan/atau Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), yang menyebabkan terganggunya operasional LPIP secara signifikan; dan/atau b. Pasal … - 48 - b. Pasal 42 dan/atau Pasal 43 yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat luas dan/atau kepentingan negara, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis, Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis kedua, Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis ketiga. (4) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis ketiga, Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1). (5) Sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat_(4) dilakukan dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. Pasal 83 LPIP yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (4), Pasal_14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26, Pasal 27 ayat_(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 34, Pasal 40, Pasal_41 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 … - 49 - Pasal 45 ayat_(1), Pasal 46, Pasal_47 ayat (2), Pasal_48, Pasal 49 ayat_(1), Pasal 50, Pasal_53, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59 ayat_(1), Pasal 60 ayat_(1) dan ayat (3), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68 ayat (2), Pasal 69 ayat (2), Pasal_70 ayat (2) dan ayat_(3), Pasal 71 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal_73 ayat (1), Pasal_79, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 84 (1) Pihak yang telah melakukan kegiatan usaha LPIP sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku wajib memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal_17 ayat (2) huruf b. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia paling lama 1 (satu) tahun dan 6_(enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi kondisi yang menjadi prasyarat untuk memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat_(2). (4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penilaian melalui penelitian dan wawancara terhadap pemegang saham, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris. (5) Pihak … - 50 - (5) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia, dilarang melakukan kegiatan usaha LPIP. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 86 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 51 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Februari 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Februari 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 36 DPIP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/1/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN </reg_title> <set_date> 18 Februari 2013 </set_date> <effective_date> 18 Februari 2013 </effective_date> <issued_date> 18 Februari 2013 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI Pasal 74', 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/15/PBI/201820/ TENTANG HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, /PBI/2018 Menimbang : a. bahwa penanganan permasalahan solvabilitas bank merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan; b. bahwa salah satu upaya penanganan permasalahan solvabilitas bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilakukan melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank perantara; c. bahwa untuk menjamin terlaksananya kegiatan operasional bank perantara diperlukan pengaturan terkait hubungan operasional bank perantara dengan Bank Indonesia termasuk pengalihan persetujuan dan/atau izin secara cepat dan hati-hati; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Hubungan Operasional Bank Perantara dengan Bank Indonesia; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. - 3 - 2. Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. 3. Bank Asal adalah bank yang sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajibannya dialihkan kepada Bank Perantara untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 4. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6. Sistem Pembayaran Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SPBI adalah penyelenggaraan pembayaran oleh Bank Indonesia. 7. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disingkat PJSP adalah Bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 8. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. 9. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. sistem - 4 - Pasal 2 (1) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan SPBI setelah memperoleh konfirmasi pengalihan persetujuan kepesertaan dari Bank Indonesia. (2) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan dalam Operasi Moneter setelah memperoleh konfirmasi pengalihan izin kepesertaan dari Bank Indonesia. (3) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan sebagai PJSP setelah memperoleh konfirmasi pengalihan izin dari Bank Indonesia. Pasal 3 Pemberian konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan setelah LPS memenuhi ketentuan: a. penyampaian rencana pendirian Bank Perantara; b. penyampaian persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara yang diperoleh dari OJK; c. penyampaian permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP bagi Bank Perantara; dan d. penyampaian izin usaha Bank Perantara yang diperoleh dari OJK. - 5 - BAB II PENGALIHAN PERSETUJUAN DAN/ATAU IZIN Bagian Kesatu Penyampaian Rencana Pendirian dan Persetujuan Prinsip Pendirian Bank Perantara Pasal 4 (1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yang memuat informasi mengenai permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara kepada OJK dengan melampirkan fotokopi surat dan dokumen terkait. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal yang sama dengan penyampaian surat permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara kepada OJK. Pasal 5 (1) Selain informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), LPS juga menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana penanganan permasalahan solvabilitas Bank oleh LPS. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. pada tanggal yang sama dengan penyampaian surat permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara kepada OJK; atau b. segera setelah LPS menerima informasi dari OJK mengenai Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas untuk dilakukan persiapan penanganan oleh LPS. - 6 - Pasal 6 Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Bank Indonesia berwenang melakukan penilaian awal terhadap rencana pendirian Bank Perantara. Pasal 7 (1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara yang diperoleh dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan fotokopi surat persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara yang diperoleh dari OJK. Bagian Kedua Pengajuan Permohonan Pengalihan Persetujuan dan/atau Izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP bagi Bank Perantara Pasal 8 LPS hanya dapat mengajukan permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sepanjang kegiatan terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP tersebut telah dilakukan oleh Bank Asal. Pasal 9 (1) LPS mengajukan permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c secara tertulis kepada Bank Indonesia pada tanggal yang sama dengan pengajuan permohonan izin usaha Bank Perantara kepada OJK. - 7 - (2) Permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan: a. permintaan pembukaan sandi Bank termasuk sandi Bank bagi kantor cabang Bank Perantara; b. permintaan pembukaan rekening giro dalam rupiah di Bank Indonesia; dan c. permintaan pembukaan rekening giro dalam valuta asing di Bank Indonesia, dalam hal Bank Perantara akan melanjutkan kegiatan dalam valuta asing yang telah dilakukan oleh Bank Asal. (3) Permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian dan/atau anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia serta seluruh perubahan anggaran dasar Bank Perantara berikut salinan surat persetujuan/penerimaan pemberitahuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; b. rencana tindak yang paling sedikit memuat cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan sumber daya manusia, migrasi infrastruktur, serta jenis kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang akan dimintakan pengalihan persetujuan dan/atau izin dari Bank Indonesia; c. data kepesertaan SPBI; dan d. surat pernyataan LPS yang berisi: 1. kesiapan serta keamanan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk operasional SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP; 2. penggunaan sistem dan infrastruktur Bank Perantara dari Bank Asal untuk SPBI, Operasi Moneter, PJSP, dan pelaporan yang akan diselenggarakan; dan - 8 - 3. jenis kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang akan dialihkan dari Bank Asal kepada Bank Perantara. Pasal 10 Bank Perantara menggunakan sebagian atau seluruh sarana dan prasarana Bank Asal dalam melaksanakan kegiatan operasional yang terkait dengan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penyampaian Izin Usaha Bank Perantara Pasal 11 (1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai izin usaha Bank Perantara yang diperoleh dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan: a. permintaan connected user dan digital certificate SPBI; b. permintaan hak akses terkait pelaporan; c. permintaan pendaftaran petugas Bank Perantara untuk kegiatan penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank Perantara di Bank Indonesia; d. permintaan pendaftaran petugas Bank Perantara untuk user access di Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas; e. fotokopi izin usaha Bank Perantara dari OJK; f. susunan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan pemegang saham termasuk struktur organisasi Bank Perantara; g. nama dan jabatan direksi Bank Perantara yang akan melakukan penandatanganan perjanjian kepesertaan SPBI; h. surat kuasa untuk keperluan terkait hubungan rekening giro dan kepesertaan SPBI; dan - 9 - i. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan yang ditandatangani oleh direksi atau pejabat yang menerima kuasa dari direksi Bank Perantara. Bagian Keempat Pemberian Konfirmasi Pengalihan Persetujuan dan/atau Izin dari Bank Indonesia Pasal 12 (1) Bank Indonesia memberikan konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berdasarkan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank Indonesia dapat meminta LPS untuk melengkapi dan/atau melakukan perbaikan dokumen yang diperlukan untuk pemenuhan persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 13 Pemberian konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP dilakukan oleh Bank Indonesia setelah Bank Perantara memperoleh izin usaha Bank Perantara dari OJK. Pasal 14 (1) LPS menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi akta pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal kepada Bank Perantara. (2) Penyampaian fotokopi akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal penandatanganan akta. Pasal 15 Konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang diberikan oleh Bank Indonesia berlaku efektif sejak akta pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal kepada Bank Perantara ditandatangani. - 10 - Pasal 16 Bank Indonesia berwenang untuk melakukan peninjauan kembali atas konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang telah diberikan. Pasal 17 Bank Perantara yang telah melaksanakan kegiatan operasional harus menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. laporan realisasi pelaksanaan kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan; dan b. dokumen terkait kegiatan operasional SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan. Pasal 18 (1) LPS memberitahukan rencana penggunaan jasa PJPUR kepada Bank Indonesia apabila Bank Perantara menggunakan jasa PJPUR dalam kegiatan pengolahan uang rupiah. (2) Pemberitahuan rencana penggunaan jasa PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada tanggal yang sama dengan penyampaian permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 19 (1) Dalam hal LPS membatalkan pendirian Bank Perantara maka LPS menyampaikan informasi pembatalan pendirian Bank Perantara tersebut secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menghentikan proses pemberian konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin atau konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin yang telah diberikan menjadi batal dan tidak berlaku. - 11 - BAB III OPERASIONAL BANK PERANTARA Pasal 20 Dalam hal Bank Perantara yang telah melaksanakan kegiatan operasional akan menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal lain dan membutuhkan pengalihan persetujuan dan/atau izin kegiatan baru terkait SPBI, Operasi Moneter, PJSP, dan/atau pembukaan rekening giro dalam valuta asing yang belum dimiliki oleh Bank Perantara, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana penanganan permasalahan solvabilitas Bank Asal lain oleh LPS dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; b. LPS mengajukan permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; c. Bank Perantara menggunakan infrastruktur Bank Asal lain untuk kegiatan baru yang membutuhkan pengalihan persetujuan dan/atau izin Bank Indonesia; d. LPS melengkapi dan/atau melakukan perbaikan dokumen yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; e. LPS menyampaikan fotokopi akta pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal lain kepada Bank Perantara dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan f. Bank Perantara menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan kegiatan baru terkait SPBI, Operasi Moneter, dan/atau PJSP serta dokumen terkait kegiatan operasional SPBI, Operasi Moneter, dan/atau PJSP baru dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 21 Dalam hal Bank Perantara akan melakukan kegiatan baru terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP maka Bank Perantara - 12 - mengajukan permohonan persetujuan dan/atau izin kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Pasal 22 Bank Perantara wajib memenuhi seluruh ketentuan terkait Bank sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia, kecuali diatur lain dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 23 Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada Bank Perantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Bank Perantara harus menyesuaikan kegiatan usaha Bank terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sesuai dengan pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK. Pasal 25 (1) Bank Perantara wajib memenuhi giro wajib minimum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. (2) Bank Perantara wajib memenuhi penyangga likuiditas makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. (3) Pemenuhan giro wajib minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemenuhan penyangga likuiditas makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) - 13 - dilakukan setelah 1 (satu) bulan sejak Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional. Pasal 26 (1) Bank Perantara wajib memenuhi rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. (2) Dalam menetapkan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Perantara menghitung rasio kredit bermasalah, rasio kredit properti bermasalah, rasio kredit kendaraan bermotor bermasalah, rasio pembiayaan bermasalah, rasio pembiayaan properti bermasalah, dan/atau rasio pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah, dengan ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan data berdasarkan neraca Bank Perantara pada awal hari pertama Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional yang dilakukan sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah tanggal Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional; dan b. menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, setelah 2 (dua) bulan sejak Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional. - 14 - Pasal 27 Bank Indonesia mengenakan kewajiban pemenuhan: a. giro rasio intermediasi makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; dan b. countercyclical buffer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pembentukan countercyclical buffer, terhitung sejak LPS menjual saham Bank Perantara kepada pihak lain. Pasal 28 (1) Bank Perantara yang merupakan peserta Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang memiliki fungsi sebagai sub-registry wajib memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS dengan rata-rata bulanan paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). (2) Pemenuhan kewajiban jumlah minimum pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional. Pasal 29 (1) Bank Perantara wajib memenuhi ketentuan mengenai pelaporan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank Perantara belum dapat melakukan pelaporan secara online melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, Bank Perantara dapat menyampaikan laporan secara offline melalui surat dengan melampirkan salinan lunak (soft copy). - 15 - (3) Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Bank Perantara melaksanakan kegiatan operasional. (4) Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada: a. satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi pengelolaan kepatuhan laporan dengan alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Perantara yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. Pasal 30 LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana pengakhiran Bank Perantara dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. BAB IV KORESPONDENSI Pasal 31 Penyampaian permohonan, informasi, laporan, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 ditujukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran dengan alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. - 16 - BAB V SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 32 (1) Bank Perantara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia terkait. (2) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. (3) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. (4) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. (5) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI- SSSS). - 17 - (6) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 33 (1) LPS mengajukan permohonan penutupan kepesertaan SPBI, pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter, pencabutan izin sebagai PJSP, penutupan rekening giro, dan penutupan sandi Bank dari Bank Asal pada tanggal yang sama dengan pengajuan permohonan pencabutan izin usaha Bank Asal kepada OJK. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada satuan kerja di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menutup kepesertaan SPBI, mencabut izin kepesertaan Operasi Moneter, pencabutan izin sebagai PJSP, menutup rekening giro, dan menutup sandi Bank dari Bank Asal setelah OJK mencabut izin usaha Bank Asal. (4) Bank Indonesia dapat mengubah status kepesertaan SPBI Bank Asal menjadi dibekukan selama OJK belum mencabut izin usaha Bank Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 34 Bank Indonesia dapat memproses dan mengambil keputusan dan/atau kebijakan atas pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP bagi Bank Perantara di luar hari kerja dan jam kerja Bank Indonesia. - 18 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 250 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/15/PBI/201820/ TENTANG HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan mengatur bahwa untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan dilakukan upaya pencegahan dan penanganan krisis melalui penanganan permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas Bank. Penanganan permasalahan solvabilitas untuk Bank yang dilakukan oleh LPS antara lain melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Asal kepada Bank Perantara. Sehubungan dengan opsi penanganan permasalahan solvabilitas Bank tersebut, diperlukan upaya untuk menjamin tetap terlaksananya operasional Bank Perantara melalui pengaturan hubungan operasional Bank Perantara dengan Bank Indonesia. Pengaturan hubungan operasional tersebut termasuk mengatur pengalihan persetujuan dan/atau izin Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran dan Operasi Moneter bagi Bank Perantara secara cepat dan hati-hati. Selanjutnya dengan memperhatikan hal di atas, perlu disusun ketentuan mengenai hubungan operasional Bank Perantara dengan Bank Indonesia yang mengatur mengenai mekanisme pengalihan persetujuan dan/atau izin Bank Perantara terkait sistem pembayaran dan Operasi Moneter, operasional Bank Perantara berupa kewajiban Bank Perantara, serta pengawasan dan penerapan kebijakan terhadap Bank Perantara. /PBI/2018 - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Persetujuan kepesertaan SPBI terdiri atas persetujuan kepesertaan pada: a. sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP) untuk kegiatan transaksi; b. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI- SSSS) untuk kegiatan penatausahaan surat berharga; c. sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI- RTGS) untuk kegiatan setelmen dana seketika; dan d. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) untuk kegiatan transfer dana dan kliring berjadwal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Izin sebagai PJSP antara lain izin sebagai penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), uang elektronik, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan PJSP lainnya. APMK dapat berupa kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat dan dokumen terkait” adalah dokumen permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara yang disampaikan oleh LPS kepada OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai bank perantara. - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Informasi mengenai rencana penanganan permasalahan solvabilitas Bank oleh LPS antara lain cara penanganan permasalahan solvabilitas dan ruang lingkup kegiatan Bank Asal yang akan dialihkan kepada Bank Perantara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Penilaian awal yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain melalui pengecekan terhadap infrastruktur di Bank Asal. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “rekening giro dalam rupiah” adalah rekening giro dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. - 4 - Huruf c Yang dimaksud dengan “rekening giro dalam valuta asing” adalah rekening giro dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana tindak atau action plan terkait kegiatan PJSP dilengkapi dengan dokumen profil jasa sistem pembayaran yang akan dialihkan penyelenggaraannya dari Bank Asal kepada Bank Perantara yang berisi uraian singkat antara lain mengenai jenis kegiatan jasa sistem pembayaran, nama produk atau jasa, data jumlah pemegang, daftar pihak yang bekerja sama, dan data transaksi. Huruf c Format data kepesertaan SPBI menggunakan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Surat pernyataan ditandatangani di atas meterai. Angka 1 Yang dimaksud dengan “kesiapan serta keamanan infrastruktur dan sumber daya manusia” antara lain memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penerapan keamanan sistem informasi. Kesiapan serta keamanan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk operasional PJSP juga mencakup kebijakan dan prosedur program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta kebijakan dan prosedur penerapan perlindungan konsumen. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. - 5 - Pasal 10 Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana” antara lain infrastruktur, sistem, sumber daya manusia, dan prosedur kerja yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan SPBI, Operasi Moneter, PJSP, dan pelaporan kepada Bank Indonesia. Infrastruktur dan sistem yang digunakan dalam kegiatan SPBI, Operasi Moneter, PJSP, dan pelaporan kepada Bank Indonesia menggunakan seluruh infrastruktur dan sistem dari Bank Asal. Dalam hal Bank Perantara berasal dari beberapa Bank Asal maka digunakan salah satu sarana dan prasarana Bank Asal untuk jenis kegiatan yang sama. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Hak akses berupa user id dan password. Huruf c Yang dimaksud dengan “penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank Perantara di Bank Indonesia” adalah penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank Perantara di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank di Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas” adalah Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas. Huruf e Cukup jelas. - 6 - Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “surat kuasa” adalah surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: 1. penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform; 2. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 3. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan 4. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Huruf i Yang dimaksud dengan “surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan” adalah surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: 1. penyelenggaran Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform; 2. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 3. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan 4. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 7 - Pasal 14 Ayat (1) Akta pengalihan antara lain memuat informasi kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang beralih dari Bank Asal kepada Bank Perantara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Bank Indonesia melakukan peninjauan kembali atas konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP antara lain dalam hal terdapat perbedaan antara persetujuan dan/atau izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia dengan perizinan atas kegiatan yang dialihkan sebagaimana tercantum dalam akta pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal kepada Bank Perantara. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dokumen terkait kegiatan operasional SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP paling sedikit berupa security audit infrastruktur, kebijakan dan prosedur manajemen risiko, penerapan keamanan sistem informasi, penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, penerapan perlindungan konsumen, prosedur internal penerapan kode etik pasar, business continuity plan terkait transaksi Operasi Moneter atau kegiatan tresuri, prosedur internal terkait pemisahan fungsi front office dan back office, perjanjian kerja sama dengan penyedia sarana dealing system transaksi Operasi Moneter, kompetensi sumber daya manusia, dan kode etik dealer. - 8 - Pasal 18 Ayat (1) Informasi mengenai penggunaan jasa PJPUR paling sedikit memuat nama PJPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Persetujuan kegiatan baru terkait SPBI antara lain persetujuan sebagai sub-registry. Pasal 21 Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: a. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan kegiatan b. penyelenggaraan menggunakan kartu. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Yang dimaksud dengan “ketentuan OJK” antara lain ketentuan OJK yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank dan ketentuan OJK yang mengatur mengenai bank perantara. alat pembayaran dengan - 9 - Pasal 25 Ayat (1) Giro wajib minimum mencakup giro wajib minimum rupiah dan/atau valuta asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 7 Januari 2019. Pemenuhan giro wajib minimum dan penyangga likuiditas makroprudensial dilakukan sejak tanggal 7 Februari 2019. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor” adalah rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. Ayat (2) Huruf a Contoh: Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 8 Januari 2019. Untuk pertama kali, perhitungan rasio kredit bermasalah, rasio kredit properti bermasalah, rasio kredit kendaraan bermotor bermasalah, rasio pembiayaan bermasalah, rasio pembiayaan properti bermasalah, dan/atau rasio pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah menggunakan data neraca pada awal hari tanggal 8 Januari 2019. Perhitungan tersebut digunakan sejak tanggal 8 Januari 2019 sampai dengan 28 Februari 2019. - 10 - Huruf b Contoh: Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 8 Januari 2019. Sejak tanggal 1 Maret 2019, perhitungan rasio kredit bermasalah, rasio kredit properti bermasalah, rasio kredit kendaraan bermotor bermasalah, rasio pembiayaan bermasalah, rasio pembiayaan properti bermasalah, dan/atau rasio pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah didasarkan pada laporan bulanan bank umum, laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah, atau laporan lain yang ditetapkan untuk posisi akhir bulan Januari 2019. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat berharga di BI-SSSS” adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada BI-SSSS. Ayat (2) Contoh: Bank Perantara yang memiliki fungsi sebagai sub-registry beroperasi sejak tanggal 28 Januari 2019. Pada saat beroperasi, Bank Perantara tersebut mempunyai rata- rata bulanan pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS kurang dari jumlah minimum sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Bank Perantara tersebut wajib memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS dengan rata- rata bulanan sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), paling lama bulan Januari 2020. - 11 - Pasal 29 Ayat (1) Sistem pelaporan Bank Indonesia antara lain laporan kantor pusat bank umum, laporan harian bank umum, sistem informasi utang luar negeri, laporan bulanan bank umum, laporan berkala bank umum, serta laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Lampiran dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dapat disampaikan melalui media perekam data elektronik antara lain compact disc atau flash disk. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 30 Yang dimaksud dengan “pengakhiran Bank Perantara” adalah pengakhiran Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai bank perantara. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. - 12 - Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6280
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/15/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 21 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 21 Desember 2018 </effective_date> <issued_date> 21 Desember 2018 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/9/PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaan; b. bahwa untuk menjaga kualitas pembiayaan, salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah; c. bahwa pelaksanaan restrukturisasi di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian yang bersifat universal yang berlaku di perbankan, serta sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perbankan syariah di Indonesia, dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengubah ketentuan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit ... - 2 - Unit Usaha Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal ... - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS, adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan ... - 4 - memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak ... - 5 - pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi: 1) perubahan jadwal pembayaran; 2) perubahan jumlah angsuran; 3) perubahan jangka waktu; 4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; 5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau 6) pemberian potongan. c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi: 1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; 2) konversi ... - 6 - 2) konversi akad Pembiayaan; 3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau 4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. 8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad mudharabah atau musyarakah. 9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 2. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) diubah, serta penjelasan Pasal 5 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut : Pasal 5 (1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah ... - 7 - nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (2) Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : Pasal 6 (1) Restrukturisasi untuk Pembiayaan dengan kualitas Lancar atau Dalam Perhatian Khusus, hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. (2) Pembatasan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud ... - 8 - dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk restrukturisasi berupa persyaratan kembali (reconditioning) dalam hal terjadi perubahan nisbah dan/atau perubahan proyeksi bagi hasil pada pembiayaan mudharabah atau musyarakah. 4. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), serta ketentuan Pasal 10 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. (1a) Kebijakan dan Standard Operating Procedure sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi atas Pembiayaan yang tergolong Kurang Lancar, Diragukan atau Macet. (2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui oleh Direksi. (4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi ... - 9 - diawasi secara aktif oleh Komisaris. (5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah dan ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut : Pasal 11 (1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan ... - 10 - dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai; (3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan; (4) Dihapus. 6. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 12 (1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan paling tinggi Kurang Lancar untuk restrukturisasi lebih dari 1 (satu) kali atas Pembiayaan dengan kualitas Lancar atau Dalam Perhatian Khusus. (2) Kualitas Pembiayaan ditetapkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas untuk restrukturisasi atas Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet yang dilakukan dengan melebihi batas maksimal yang ditetapkan Bank ... - 11 - Bank sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1a). 7. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13, disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 12 A yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 12 A Bank Indonesia berwenang menetapkan kualitas Pembiayaan yang berbeda dengan Bank, apabila Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. 8. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) diubah, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. 9. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 20 A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 A (1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib disampaikan secara on- line kepada Bank Indonesia. (2) Kewajiban penyampaian laporan Restrukturisasi Pembiayaan ... - 12 - Pembiayaan secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap: a. BPRS yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi terkait, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line; b. BPRS yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah mulai melakukan kegiatan operasional; atau c. BPRS yang mengalami gangguan teknis. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi BPRS apabila Bank Indonesia telah menerima pemberitahuan tertulis dari BPRS tersebut. (4) BPRS yang tidak dapat menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau tidak menyampaikan Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), wajib menyampaikan Laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line. (5) Dalam hal terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada sistem database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka: a. bagi BPRS yang belum menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan, wajib menyampaikan laporan dimaksud secara off-line; atau b. bagi ... - 13 - b. bagi BPRS yang telah menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan, menyampaikan ulang laporan Restrukturisasi Pembiayaan tersebut apabila diminta oleh Bank Indonesia. 10. Ketentuan Pasal 22 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut : Pasal 22 (1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). (2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) BPRS yang menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line namun tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line dimaksud. 11. Ketentuan ... - 14 - 11. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1a) Peraturan Bank Indonesia ini. 12. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 25 A yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 25 A (1) Penyampaian laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 A ayat (1), mulai diberlakukan untuk pelaporan bulan Mei 2011 yang disampaikan pada bulan Juni 2011. (2) Selama masa transisi dari sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan diberlakukannya penyampaian secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank Indonesia secara off-line dan on- line. Pasal ... - 15 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Februari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Februari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 19 DPbS - 16 - PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/9/PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Keberlangsungan usaha suatu Bank yang didominasi oleh aktivitas Pembiayaan, dipengaruhi oleh kualitas Pembiayaan yang merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan Bank yang optimal dalam aktivitas Pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi. Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar namun dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk membayar setelah restrukturisasi. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank, harus tetap memenuhi prinsip syariah disamping mengacu kepada prinsip kehati-hatian yang bersifat universal yang berlaku pada industri perbankan. Selain itu, aspek kebutuhan dan kesesuaian dengan perkembangan industri perbankan syariah menjadi pertimbangan dalam penyempurnaan ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Penyempurnaan ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri ... - 17 - industri akan mendukung pengembangan industri perbankan syariah secara optimal. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja baru yang diperoleh nasabah atau adanya sumber pembayaran lain yang jelas. Angka ... - 18 - Angka 3 Pasal 6 Ayat (1) Termasuk pengertian restrukturisasi 1 (satu) kali adalah apabila pernah dilakukan restrukturisasi terhadap Pembiayaan dengan kualitas Lancar maka tidak dapat dilakukan restrukturisasi kembali atas Pembiayaan tersebut yang telah menurun menjadi Dalam Perhatian Khusus, atau sebaliknya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 10 Ayat (1) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Penyusunan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan yang terkait dengan aspek pemenuhan prinsip syariah, dilakukan secara koordinatif dengan Dewan Pengawas Syariah. Ayat ... - 19 - Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengkinian Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan terkait aspek pemenuhan prinsip syariah, dilakukan secara koordinatif dengan Dewan Pengawas Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan, limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan. Angka 5 Pasal 11 Cukup jelas. Angka ... - 20 - Angka 6 Pasal 12 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 12 A Cukup jelas. Angka 8 Pasal 15 Ayat (3) Tidak termasuk Restrukturisasi Pembiayaan adalah perpanjangan atas Pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas Lancar dan telah jatuh tempo, serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar. Angka 9 Pasal 20 A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat ... - 21 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang menyebabkan BPRS tidak dapat menyampaikan laporan secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran gedung dan/atau pemadaman listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 22 Cukup jelas. Angka ... - 22 - Angka 11 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 25 A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masa transisi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada BPRS untuk mempersiapkan penyampaian laporan secara on-line. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5198
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/9/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 8 Februari 2011 </set_date> <effective_date> 8 Februari 2011 </effective_date> <issued_date> 8 Februari 2011 </issued_date> <changed_reg> '10/18/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 10 Pasal 22' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/4/PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mengenali diperlukan penyesuaian ciri uang Rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan . . . tanda pengaman uang Rupiah -2- Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Ketentuan Pasal 4A dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 102) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 11/8/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 45); b. Nomor 13/17/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 76); diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 adalah: a. Warna . . . -3- a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai, dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”; b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “50000”; d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; f) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna ungu yang terasa kasar apabila diraba; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; j) pada . . . -4- j) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; k) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; l) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis- garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Bali; n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; 2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai latar belakang ornamen daerah Bali; 3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal ”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal; 4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000” yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA” dan ”BI50000” yang tersusun diagonal; 5) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah berupa logo Bank Indonesia yang membentuk pola dasar uang; o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk . . . -5- berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali dan di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU BERATAN, BEDUGUL” dengan arah vertikal; b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; d) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; j) pada . . . -6- j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”; k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.” dan angka tahun pengeluaran “2005”; l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANKINDONESIA” yang tersusun diagonal; 2) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal; 3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk ornamen daerah Bali; 4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm; 3. warna biru muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen daerah Bali; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda. Pasal II . . . -7- Pasal II 1. Uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Maret 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Maret 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 53 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/4/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 18 Maret 2014 </set_date> <effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date> <issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date> <changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '11/18/PBI/2009', '13/17/PBI/2011' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/38/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang - 2 - Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 282 (dua ratus delapan puluh dua) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 705 (tujuh ratus lima) milimeter dan lebar 650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a) gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b) frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c) sebutan pecahan dalam angka “1000” dan tulisan “SERIBU RUPIAH”; d) tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e) tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f) gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Tjut Meutia beserta tulisan “TJUT MEUTIA”; g) gambar ornamen batik; dan h) gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; - 5 - d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” dan angka “1” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI1”, tulisan “BI1000”, dan angka “1”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “1000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “1000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari tifa beserta tulisan “TARI TIFA”, pemandangan alam Banda Neira beserta tulisan “Banda Neira”, dan bunga anggrek larat; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; - 6 - h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “1000”; d. mikroteks yang memuat tulisan “BI1000” dan angka “1000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan e. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga anggrek larat; 2. gambar sebagian pemandangan alam Banda Neira; dan 3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna krem; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan - 7 - b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar - 8 - (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 222
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/38/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/14/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan kondisi perekonomian nasional saat ini dibutuhkan bauran kebijakan; b. bahwa bauran kebijakan yang dibutuhkan tersebut diarahkan dalam rangka memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan domestik seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan Giro Wajib Minimum Primer dan penurunan suku bunga; c. bahwa dalam rangka memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan domestik melalui pertumbuhan kredit diperlukan penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum terkait batas bawah Loan to Funding Ratio; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang perubahan keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib - 2 - Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 17/11/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 - 3 - Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5712); b. Nomor 17/21/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5769); c. Nomor 18/3/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5856), diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan puluh persen); b. batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). - 4 - (2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar 94% (sembilan puluh empat persen) dalam hal Bank: a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah; b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (3) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan GWM LFR diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 2. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Penjelasan Pasal 17A diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2016. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 174 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/14/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Bank Indonesia telah melakukan berbagai pelonggaran kebijakan moneter baik melalui penurunan suku bunga kebijakan dan penurunan Giro Wajib Minimum Primer untuk menambah likuiditas perbankan. Pelonggaran kebijakan tersebut perlu secara optimal disalurkan oleh perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam rangka mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia menetapkan kebijakan di bidang makroprudensial melalui penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum yang terkait batas bawah Loan to Funding Ratio untuk meningkatkan pertumbuhan kredit. Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut diharapkan dapat semakin memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan domestik guna terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, di tengah masih lemahnya perekonomian global. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 - 2 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan persentase LFR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 12 Huruf a Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar 90% (sembilan puluh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sehingga LFR Bank berada dalam kisaran LFR Target. Dengan demikian GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. - 3 - GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah: a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LFR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Huruf b Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar 77% (tujuh puluh tujuh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol koma satu). LFR Bank lebih kecil dari batas bawah LFR Target, sehingga GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar: Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah LFR Target - LFR Bank) x DPK dalam Rupiah - 4 - = 0,1 x (80% - 77%) x DPK dalam Rupiah = 0,1 x 3% x DPK dalam Rupiah = 0,3% x DPK dalam Rupiah GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah: a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LFR sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Huruf c Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni 2016 sebesar 12% (dua belas persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). - 5 - b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar: Parameter Disinsentif Atas x (LFR Bank – batas atas LFR Target) x DPK dalam Rupiah = 0,2 x (97% – 92%) x DPK dalam Rupiah = 0,2 x 5% x DPK dalam Rupiah = 1% x DPK dalam Rupiah GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah: a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Huruf d Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar - 6 - Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar 100% (seratus persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni 2016 sebesar 15% (lima belas persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah: a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LFR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). - 7 - Angka 3 Pasal 17A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Contoh: Pada tanggal 24 November 2016, Bank A telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah yang meliputi GWM Primer, GWM Sekunder, dan GWM LFR sehingga Bank A memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer. Berdasarkan data Laporan Realisasi Pemberian Kredit UMKM melalui Kerja Sama Pola Executing posisi September 2016 dan Laporan Bulanan Bank Umum posisi September 2016, pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A adalah sebesar 6% (enam persen), Rasio NPL Total Kredit Bank A sebesar 4% (empat persen), dan Rasio NPL Kredit UMKM sebesar 5,5% (lima koma lima persen). Jasa giro yang diperoleh Bank A adalah sebesar jasa giro yang berlaku yaitu 2,5% (dua koma lima persen) dan dikenakan pengurangan jasa giro sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sehingga Bank A mendapatkan jasa giro 2% (dua persen). Huruf b Pengurangan jasa giro dilakukan dengan memperhatikan target pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank - 8 - Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015, dengan perhitungan sebagai berikut: 1) Mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai dengan tanggal 31 Januari 2017 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 5% (lima persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 5% (lima persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 2) Mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan tanggal 31 Januari 2018 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 10% (sepuluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 10% (sepuluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (10% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 3) Mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan tanggal 31 Januari 2019 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 15% (lima belas persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 - 9 - (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 15% (lima belas persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (15% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 4) Sejak tanggal 1 Februari 2019 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 20% (dua puluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 20% (dua puluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (20% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. Contoh: Bank A memiliki data sebagai berikut: a. rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah); b. LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen); c. KPMM Bank posisi akhir bulan Juni 2016 sebesar 12% (dua belas persen); dan d. pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum posisi 30 September 2016 dan Laporan - 10 - Realisasi Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing posisi September 2016 adalah sebesar 3% (tiga persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sehingga LFR Bank berada di atas kisaran LFR Target. Dengan demikian GWM LFR harian Bank untuk tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah yang diperoleh dari Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua) dikali selisih antara LFR Bank dan batas atas LFR Target yaitu 97% (sembilan puluh tujuh persen) dikurangi 92% (sembilan puluh dua persen). Untuk tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30 November 2016, Bank A wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian sebagai berikut: a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah); b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). d. GWM Primer dan GWM LFR sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari DPK dalam - 11 - Rupiah yaitu sebesar Rp3.750.000.000.000,00 (tiga triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. e. Pada tanggal 24 November 2016, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus miliar rupiah), sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer. Mengingat pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum posisi 30 September 2016 dan Laporan Realisasi Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing posisi September 2016 adalah sebesar 3% (tiga persen) maka jasa giro yang diperoleh Bank A adalah sebesar: = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5%-3%)}] = 1,8%. Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar: = 1,5% x Rp50.000.000.000.000,00 = Rp750.000.000.000,00. - 12 - Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 1,8% (satu koma delapan persen) per tahun untuk tanggal 24 November 2016 adalah sebagai berikut: = [(1 + 1,8%)(1/360) – 1] x Rp750.000.000.000,00 = Rp37.167.417,02 Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5921
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/14/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 18 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 24 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 22 Agustus 2016 </issued_date> <changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg> <extension_of> '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015', '18/3/PBI/2016' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tergantung dari kemampuan bank dalam melakukan penanaman dana dengan mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian yang tercermin pada pemenuhan kualitas aktiva dan penyisihan penghapusan aktiva yang memadai baik terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif; b. bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah perlu dilakukan penyesuaian pengaturan terkait dengan kualitas aktiva; c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva sangat berpengaruh dengan pengembangan industri perbankan syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor ... - 3 - Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana BPRS untuk mendapatkan penghasilan, antara lain dalam bentuk Pembiayaan dan Penempatan Pada Bank Lain sesuai dengan Prinsip Syariah. 3. Aktiva Non Produktif adalah aset BPRS selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, yaitu dalam bentuk Agunan Yang Diambil Alih. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. b. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. d. e. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 5. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Mudharabah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerjasama suatu usaha antara BPRS yang menyediakan seluruh modal dan nasabah yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh BPRS kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. 6. Pembiayaan ... - 4 - 6. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Musyarakah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara BPRS dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. 7. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Murabahah, adalah Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 8. Pembiayaan berdasarkan akad salam, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Salam, adalah Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. 9. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Istishna’, adalah Pembiayaan suatu barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara nasabah dan penjual atau pembuat barang. 10. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiyya bittamlik, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 12. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Qardh, adalah Pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan ... - 5 - ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 13. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan Prinsip Syariah antara lain dalam bentuk giro, tabungan, dan/atau deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk- bentuk penempatan lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah. 14. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima BPRS dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil, dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan nasabah. 15. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang diterima BPRS dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil. 16. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan kewajiban untuk dicairkan kembali. 17. Penyisihan Penghapusan Aktiva, yang selanjutnya disebut PPA, adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva. 18. Penilai Independen adalah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang: a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan BPRS maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan- ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. memiliki ... - 6 - d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. BAB II KUALITAS AKTIVA Pasal 2 (1) Penanaman dan/atau penyediaan dana BPRS wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. (2) BPRS wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kualitas aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar. Pasal 3 (1) BPRS wajib melakukan penilaian kualitas aktiva baik terhadap Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penilaian kualitas aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bulanan. BAB III AKTIVA PRODUKTIF Pasal 4 (1) BPRS wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada BPRS yang sama. (2) Dalam hal terdapat kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk 1 (satu) nasabah pada BPRS yang sama, BPRS wajib menggolongkan kualitas yang sama untuk ... - 7 - untuk masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. Pasal 5 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. (2) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh nasabah. Pasal 6 (1) Penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada pencapaian rasio RBH terhadap PBH dan/atau ketepatan pembayaran pokok. (2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan. (3) PBH dihitung berdasarkan pada analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. (4) BPRS dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (5) BPRS wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara BPRS dengan nasabah. Pasal ... - 8 - Pasal 7 (1) Dalam Pembiayaan Mudharabah, BPRS tidak diwajibkan menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala kepada nasabah. (2) BPRS wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo, apabila dalam Pembiayaan Mudharabah disepakati tidak ada pembayaran angsuran pokok secara berkala. (3) Untuk Pembiayaan Musyarakah dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, BPRS wajib menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (4) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah. Pasal 8 (1) Penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Salam, Pembiayaan Istishna’, Pembiayaan Ijarah, Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, Pembiayaan multijasa, dan Pembiayaan Qardh dilakukan berdasarkan ketepatan pembayaran angsuran, yang dibedakan sebagai berikut: a. angsuran di luar Kredit Pemilikan Rumah; b. angsuran untuk Kredit Pemilikan Rumah. (2) Pembayaran angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah yang didukung dengan dokumen lengkap, paling kurang memuat porsi pokok, marjin/ujrah, dan/atau jadwal pembayaran. Pasal ... - 9 - Pasal 9 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) 2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Pembiayaan Qardh; atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80% (delapan puluh persen) dan/atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Pembiayaan Mudharabah dan untuk Pembiayaan Musyarakah; b. Kurang Lancar, apabila: 1) 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Qardh; atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari 30% (tiga puluh persen) dan kurang dari 80% (delapan puluh persen) atau rasio RBH terhadap PBH sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran dan/atau terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Mudharabah dan untuk Pembiayaan Musyarakah; c. Macet, apabila: 1) BPRS atau Bank Umum Syariah yang menerima penempatan telah ditetapkan dalam pengawasan khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha, atau telah dicabut izin usaha; 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Pembiayaan Qardh; dan/atau 3) rasio RBH terhadap PBH sama dengan atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) selama lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran dan/atau terdapat tunggakan pembayaran pokok selama lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Mudharabah dan untuk Pembiayaan Musyarakah. Pasal ... - 10 - Pasal 10 (1) Penanaman dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap dan informasi yang cukup. (2) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Aktiva Produktif yang oleh BPRS digolongkan Lancar menjadi paling tinggi Kurang Lancar, apabila dokumen penyediaan dana tidak memberikan informasi yang cukup. BAB IV AKTIVA NON PRODUKTIF Pasal 11 (1) BPRS dapat mengambilalih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. (2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. Pasal 12 BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai AYDA. Pasal 13 (1) BPRS wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net realizable value. (2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih. (3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Pembiayaan yang diselesaikan dengan AYDA. Pasal ... - 11 - Pasal 14 (1) BPRS yang mengambilalih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengambilalihan. (2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 15 Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun. BAB V PENEMPATAN DANA PADA BANK UMUM KONVENSIONAL Pasal 16 (1) BPRS dilarang melakukan penempatan dana dalam bentuk deposito pada bank umum konvensional dan/atau dalam bentuk tabungan dan deposito pada bank perkreditan rakyat. (2) BPRS hanya dapat melakukan penempatan dana pada bank umum konvensional dalam bentuk giro dan/atau tabungan untuk kepentingan transfer dana bagi BPRS dan nasabah BPRS. (3) Penempatan dana BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk dalam kategori Aktiva Produktif. Pasal 17 Kualitas aktiva dalam bentuk penempatan dana pada bank umum konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (2) digolongkan sebagai berikut: a. Lancar ... - 12 - a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok; b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima) hari kerja; c. Macet, apabila: 1) bank umum konvensional yang menerima penempatan dana BPRS telah ditetapkan dalam pengawasan khusus atau telah dicabut izin usahanya; dan/atau 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok selama lebih dari 5 (lima) hari kerja. BAB VI PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA Bagian Kesatu Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Pasal 18 (1) BPRS wajib membentuk PPA untuk Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif, dan penempatan dana pada bank umum konvensional. (2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif; dan c. cadangan umum dan cadangan khusus untuk penempatan dana pada bank umum konvensional. Bagian Kedua Tata Cara Pembentukan Pasal 19 (1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf c ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ... - 13 - persen) dari seluruh Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional yang digolongkan Lancar. (2) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf b. (3) Pembentukan cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 10% (sepuluh persen) dari Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional yang digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; b. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau c. 100% (seratus persen) dari Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif, dan penempatan dana pada bank umum konvensional yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. (4) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam penghitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan untuk Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional. Pasal 20 (1) Kewajiban membentuk PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah atau Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik. (2) BPRS wajib membentuk penyusutan atau amortisasi Aktiva Produktif dalam bentuk: a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi BPRS ... - 14 - BPRS bagi aktiva yang sejenis; dan b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa. Pasal 21 Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan sebagai berikut: a. Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Istishna’, dan Pembiayaan multijasa dihitung berdasarkan saldo harga pokok; b. Pembiayaan Salam dihitung berdasarkan harga perolehan; dan c. Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Qardh dihitung berdasarkan saldo baki debet. Bagian Ketiga Penilaian Agunan Pasal 22 (1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional ditetapkan paling tinggi sebesar: a. 100% (seratus persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia; b. 100% (seratus persen) untuk agunan tunai berupa uang kertas asing, emas, tabungan dan/atau deposito yang diblokir pada BPRS bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan; c. 80% (delapan puluh persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang dijamin oleh pemerintah daerah; d. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah dengan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) ... - 15 - (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diikat dengan hak tanggungan; e. 70% (tujuh puluh persen) dari nilai hasil penilaian untuk agunan berupa resi gudang yang penilaiannya dilakukan kurang dari atau sampai dengan 12 (dua belas) bulan; f. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan berupa tanah, bangunan, dan rumah dengan bukti kepemilikan SHM atau SHGB, hak pakai tanpa hak tanggungan; g. 50% (lima puluh persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang dijamin oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); h. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual obyek pajak atau nilai taksiran untuk agunan berupa tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir, tempat usaha atau los atau kios yang dikelola oleh badan pengelola, atau resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 12 (dua belas) bulan sampai dengan 18 (delapan belas) bulan; i. 50% (lima puluh persen) dari nilai pasar untuk agunan berupa kendaraan bermotor, kapal laut yang disertai bukti kepemilikan dan telah dilakukan pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku; dan j. 30% (tiga puluh persen) dari nilai pasar atau nilai taksiran untuk agunan berupa kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan surat kuasa menjual atau resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 18 (delapan belas) bulan namun belum melebihi 30 (tiga puluh) bulan. (2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional. Pasal ... - 16 - Pasal 23 (1) Penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 wajib dilakukan oleh Penilai Independen atau penilai intern BPRS berdasarkan analisis terhadap fakta- fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip yang berlaku umum. (2) Kewajiban penilaian agunan menggunakan Penilai Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pembiayaan dengan nilai lebih besar atau sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPA. Pasal 24 Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, apabila BPRS tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 28. BAB VII HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 25 (1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih. (2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. (3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan (partial write off). (4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun untuk seluruh Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan. Pasal ... - 17 - Pasal 26 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 hanya dapat dilakukan setelah BPRS melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang diberikan. (2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih. (3) BPRS wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. BAB VIII SANKSI Pasal 27 BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28 (1) BPRS yang memiliki penempatan dana dalam bentuk deposito pada bank umum konvensional dan dalam bentuk deposito dan tabungan pada bank perkreditan rakyat yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib mencairkan ... - 18 - mencairkan penempatan dana tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penilaian terhadap kualitas penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini. (3) BPRS wajib membentuk PPA untuk penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengacu pada Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 29 Penggolongan kualitas dan pembentukan PPA untuk Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA yang dimiliki BPRS sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; b. Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang ... - 19 - tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Maret 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Maret 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 41 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Kelangsungan usaha BPRS tergantung pada kinerja, yang salah satu indikatornya adalah kualitas dari penanaman dana BPRS. Dalam melakukan penanaman dana, BPRS harus selalu memperbaiki kebijakan dan prosedur pembiayaan termasuk penetapan kualitasnya, melakukan pengelolaan portofolio aset dengan baik serta kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas pembiayaan. Salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap BPRS adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Untuk mendukung pengembangan industri perbankan syariah dari sisi penanaman dana, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai penilaian kualitas aktiva. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal ... -2- Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana” yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan: a. analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling kurang faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy & Collateral); dan/atau b. penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance) dan kemampuan membayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai. Yang dimaksud dengan “memantau” adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Yang dimaksud dengan “mengambil langkah-langkah antisipasi” adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penilaian dilakukan secara bulanan” adalah penyajian dalam laporan bulanan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan BPRS. Pasal ... -3- Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: BPRS A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Murabahah kepada debitur X. Hasil penilaian yang dilakukan BPRS A untuk masing-masing Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan adalah sebagai berikut: a. Lancar, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan b. Kurang Lancar, untuk Pembiayaan Murabahah. Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan BPRS A kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang Lancar . Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan yang telah berjalan” adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal Pembiayaan sampai dengan posisi bulan penilaian. Contoh: Pembiayaan Mudharabah diberikan pada bulan Maret 2011, dengan jangka ... -4- jangka waktu selama 1 (satu) tahun. Penghitungan akumulasi PBH yang dilakukan pada bulan Juni 2011 adalah PBH bulan Maret 2011 ditambah PBH bulan April 2011 ditambah PBH bulan Mei 2011 ditambah PBH bulan Juni 2011. Ayat (3) Penetapan PBH dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BPRS dengan nasabah dengan mempertimbangkan antara lain siklus usaha dan arus kas masuk nasabah sehingga tidak harus ditetapkan secara bulanan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah disesuaikan dengan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko” antara lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat ... -5- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pembiayaan multijasa” adalah Pembiayaan BPRS kepada nasabah dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen penanaman dana yang paling kurang meliputi aplikasi, analisa, keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta perubahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mengambilalih agunan” adalah membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan ... -6- berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” antara lain berupa mekanisme pengambilan AYDA dan persyaratan AYDA. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah nilai pasar agunan dikurangi estimasi biaya dalam rangka pengambilalihan AYDA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada saat pengambilalihan AYDA, BPRS melakukan pencatatan sebagai berikut: - apabila net realizable value nilai AYDA lebih besar dari nilai Aktiva Produktif (hutang nasabah) maka BPRS mencatat nilai AYDA sebesar nilai Aktiva Produktif hutang nasabah dan selisih lebihnya dicatat dalam rekening administratif BPRS karena merupakan hak nasabah; atau - apabila net realizable value nilai AYDA lebih kecil dari nilai Aktiva Produktif (hutang nasabah) maka BPRS mencatat nilai AYDA sebesar net realizable value nilai AYDA dan selisih kurangnya dicatat dalam pembukuan BPRS sebagai hutang kewajiban ... -7- kewajiban nasabah. Pasal 14 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar BPRS segera menjual AYDA dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan bukan untuk memiliki agunan lebih dari jangka waktu tersebut. Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih besar dari hutang nasabah maka selisih lebihnya merupakan hak nasabah. Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih kecil dari hutang nasabah maka selisih kurangnya tetap merupakan kewajiban nasabah. Dalam hal BPRS tidak dapat menagih kewajiban nasabah tersebut maka BPRS dapat mencatatnya sebagai kerugian BPRS. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal ... -8- Pasal 18 Ayat (1) Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong BPRS melakukan upaya pencairan dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pembentukan cadangan khusus PPA paling rendah sebesar 10% (sepuluh persen) tidak termasuk Aktiva Non Produktif karena kualitas Aktiva Non Produktif hanya digolongkan Lancar dan Macet. Huruf b Pembentukan cadangan khusus PPA paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif tidak termasuk: - Penempatan Pada Bank Lain dan penempatan dana pada bank umum konvensional karena kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain dan penempatan dana pada bank umum konvensional hanya digolongkan Lancar, Kurang Lancar dan Macet; dan - Aktiva ... -9- - Aktiva Non Produktif karena kualitas Aktiva Non Produktif hanya digolongkan Lancar dan Macet. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Kebijakan penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah dan/atau Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah. Kebijakan penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf ... -10- Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” misalnya ketentuan mengenai fidusia dan gadai. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “metode dan prinsip yang berlaku umum” adalah metode dan prinsip penilaian yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Ayat ... -11- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif BPRS untuk menghapus buku penyediaan dana atau tagihan yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih BPRS kepada nasabah. Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan BPRS menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain mencakup persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hapus tagih terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan hanya dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. Pasal ... -12- Pasal 26 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada nasabah, restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal ... -13- Pasal 32 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5206
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/14/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Maret 2011 </set_date> <effective_date> 24 Maret 2011 </effective_date> <issued_date> 24 Maret 2011 </issued_date> <replaced_reg> '8/24/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 19 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, pemantauan dan pengendalian stabilitas sistem keuangan, serta pemantauan kondisi bank yang lebih efektif dalam penerapan pengawasan bank berdasarkan risiko, diperlukan dukungan data dan informasi bank yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; b. bahwa dalam memperoleh informasi yang tepat waktu dan lengkap, diperlukan penyesuaian periode penyampaian dan penambahan beberapa laporan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu untuk mengubah ketentuan mengenai laporan berkala bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat . . . - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN . . . - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4629), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha konvensional, yang selanjutnya disebut sebagai Bank Umum Konvensional, termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Unit . . . - 4 - 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor, atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 4. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank secara berkala kepada Bank Indonesia. 5. Penyampaian laporan secara online adalah penyampaian laporan oleh Bank yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau melalui saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS) Bank Indonesia. 6. Penyampaian laporan secara offline adalah penyampaian laporan oleh Bank yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), ayat (5) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (6), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank dan UUS wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia secara akurat, lengkap, dan tepat waktu. (2) Penyusunan . . . - 5 - (2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat Bank dan UUS. (3) Bagi Bank Umum Konvensional, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. profil maturitas (maturity profile); e. f. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan 3. penyediaan dana; restrukturisasi kredit; g. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar; h. deposan dan debitur inti; i. j. k. sensitivity to market risk; aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit; dan suku bunga dasar kredit. (4) Bagi Bank Umum Syariah, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. profil maturitas (maturity profile); e. batas . . . - 6 - e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan 3. penyediaan dana; f. g. deposito investasi mudharabah; restrukturisasi pembiayaan; h. deposan dan debitur inti; dan i. sensitivity to market risk – nilai tukar. (5) Bagi UUS, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. profil maturitas (maturity profile); e. f. deposito investasi mudharabah; restrukturisasi pembiayaan; dan g. deposan dan debitur inti. (6) Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain meliputi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pula data secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak mengenai: a. batas maksimum pemberian kredit; b. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar; dan c. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit. 3. Ketentuan . . . - 7 - 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Data LBBU berupa profil maturitas, batas maksimum pemberian kredit, restrukturisasi kredit, kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar, deposan dan debitur inti, aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dan suku bunga dasar kredit, bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf k disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. (2) Data LBBU berupa profil maturitas, batas maksimum pemberian kredit, deposito investasi mudharabah, restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti bagi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. (3) Data LBBU berupa profil maturitas, deposito investasi mudharabah, restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti bagi UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Data LBBU berupa sensitivity to market risk, batas maksimum pemberian kredit secara konsolidasi, kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan . . . - 8 - memperhitungkan risiko pasar secara konsolidasi, dan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf i dan ayat (4) huruf i, ayat (6) huruf a, huruf b, dan huruf c, disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank Umum Konvensional ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 5. batas maksimum pemberian kredit bagi Bank secara individu untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 6. restrukturisasi kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 7. kewajiban . . . - 9 - 7. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar bagi Bank secara individu untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 8. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 9. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan; 10. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit bagi Bank secara individu untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 11. suku bunga dasar kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 4. batas . . . - 10 - 4. batas maksimum pemberian kredit bagi Bank secara konsolidasi untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan; 5. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar bagi Bank secara konsolidasi untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan; dan 6. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit bagi Bank secara konsolidasi untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank Umum Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos . . . - 11 - 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 5. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 6. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 7. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 8. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 9. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga yang dimiliki oleh pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos . . . - 12 - 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. 7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi UUS ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 4. profil . . . - 13 - 4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 5. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 6. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 7. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga yang dimiliki oleh pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana . . . - 14 - 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. 8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tetap dilakukan pada hari yang sama. (2) Dalam hal terdapat pertimbangan tertentu, waktu penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank Indonesia. 9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU diterima oleh Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sampai dengan 7 (tujuh) hari setelah batas akhir periode penyampaian dimaksud. (2) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU untuk satu periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima oleh Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sampai dengan 7 (tujuh) hari setelah batas akhir periode penyampaian dimaksud. 10. Ketentuan . . . - 15 - 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Bank dan UUS dinyatakan tidak menyampaikan LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas akhir waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia. 11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU dalam periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 12 kepada Bank Indonesia secara online. (2) Kewajiban penyampaian secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Bank dan UUS yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online. b. Bank dan UUS yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional. c. Bank dan UUS yang mengalami gangguan teknis dalam pengiriman LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online. (3) Bank . . . - 16 - (3) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis yang ditandatangani oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing atau pimpinan UUS pada saat penyampaian LBBU kepada Bank Indonesia. (4) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online karena hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari kerja setelah periode penyampaian yang sama. 12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline. 13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank . . . - 17 - (2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan. (4) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (5) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas inisiatif Bank dan UUS setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan. (6) Kesalahan data LBBU yang ditemukan Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dengan jumlah maksimum sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per laporan. (7) Bank . . . - 18 - (7) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar hasil audit tahunan oleh akuntan publik melampaui batas waktu penyampaian koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 12 tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). 14. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A (1) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a angka 5, angka 6, angka 7, angka 8, dan angka 9 untuk posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 sampai dengan posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 bagi Bank Umum Konvensional wajib dilakukan pada periode penyampaian II. (2) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a angka 5, angka 7, angka 8, dan angka 9 untuk posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 sampai dengan posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 bagi Bank Umum Syariah wajib dilakukan pada periode penyampaian II. (3) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a angka 6 dan angka 7 untuk posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 sampai dengan posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 bagi UUS wajib dilakukan pada periode penyampaian II. 15. Diantara . . . - 19 - 15. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 27A (1) Kewajiban melaporkan data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a angka 10, angka 11, dan huruf c angka 6 secara online mulai berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud di LBBU, sesuai pemberitahuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a angka 10 dan angka 11 untuk posisi laporan sampai dengan tanggal akhir bulan Maret 2012 telah dapat dilakukan secara online, data dimaksud wajib disampaikan pada periode penyampaian II. 16. Diantara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 28A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A Ketentuan yang terkait dengan suku bunga dasar kredit yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum dinyatakan tidak berlaku sejak data mengenai suku bunga dasar kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a angka 11 telah wajib disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1). Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 September 2011. Agar . . . - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 91 DPNP/DPbS/DSM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 19 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM I. UMUM Dalam rangka mendukung tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter. Penetapan kebijakan moneter dapat berjalan dengan efektif apabila didukung oleh pemantauan dan pengendalian stabilitas sistem keuangan serta pemantauan kondisi bank yang lebih efektif dalam rangka penerapan pengawasan bank berdasarkan risiko. Hal tersebut memerlukan data dan informasi bank yang akurat, lengkap, dan tepat waktu. Agar data dan informasi diperoleh secara tepat waktu dan lengkap, maka perlu adanya penyesuaian dengan mempercepat waktu penyampaian dan penambahan beberapa laporan. Dengan adanya percepatan waktu penyampaian dan penambahan beberapa laporan untuk mendukung perolehan informasi yang tepat waktu dan lengkap, perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang laporan berkala bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL . . . - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing penyusunan dan penyampaian LBBU dilakukan oleh Kantor Cabang Bank Asing tersebut. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan yang memuat rincian pos-pos tertentu neraca. Huruf c . . . - 3 - Huruf c Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah giro, tabungan, dan deposito yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi dan/atau kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Huruf d Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)” adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas. Huruf e Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit” adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Huruf f Yang dimaksud dengan “restrukturisasi kredit” adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Huruf g . . . - 4 - Huruf g Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar” adalah kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening administratif serta transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar (market risk). Huruf h Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh), 25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut: 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) deposan terbesar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar. 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 50 (lima puluh) deposan terbesar. Yang . . . - 5 - Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai berikut: 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) debitur/ grup besar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar. 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) debitur/grup besar. Huruf i Yang dimaksud dengan “sensitivity to market risk” adalah tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh risiko nilai tukar dan risiko suku bunga. Huruf j Yang dimaksud dengan “aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit” adalah perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit. Huruf k Yang dimaksud dengan “suku bunga dasar kredit” adalah perhitungan suku bunga dasar kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi suku bunga dasar kredit. Ayat (4) . . . - 6 - Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi Bank Umum Syariah. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, dan/atau kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Huruf d Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)” adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas. Huruf e . . . - 7 - Huruf e Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit” adalah persentase maksimum penyediaan dana terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit. Istilah batas maksimum pemberian kredit dalam konteks perbankan syariah adalah batas maksimum penyaluran dana. Huruf f Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka waktunya. Huruf g Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank Umum Syariah. Huruf h Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh), 25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut: 1) bagi . . . - 8 - 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) deposan terbesar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar. 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 50 (lima puluh) deposan terbesar. Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai berikut: 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) debitur/ grup besar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar. 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) debitur/grup besar. Huruf i Yang dimaksud dengan ”sensitivity to market risk” adalah tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh risiko nilai tukar. Ayat (5) . . . - 9 - Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi UUS. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, dan/atau kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Huruf d Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)” adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas. Huruf e . . . - 10 - Huruf e Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka waktunya. Huruf f Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan pembiayaan, piutang, dan/atau ijarah terhadap nasabah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank Umum Syariah. Huruf g Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh), 25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut: 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) deposan terbesar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar. 3) bagi . . . - 11 - 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 50 (lima puluh) deposan terbesar. Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai berikut: 1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10 (sepuluh) debitur/ grup besar. 2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar. 3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi 25 (dua puluh lima) debitur/grup besar. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “Pengendalian” adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi kondisi keuangan Bank. Yang dimaksud dengan “Perusahaan Anak” adalah Perusahaan Anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. Angka 3 . . . - 12 - Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7 Posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan adalah data pada posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Angka 5 Pasal 9 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 . . . - 13 - Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk suku bunga dan sensitivity to market risk nilai tukar. Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian I bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan September. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan September. Angka 5 . . . - 14 - Angka 5 Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan September. Angka 6 Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan September. Huruf d Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 . . . - 15 - Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Data ini merupakan data sensitivity to market risk nilai tukar. Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian I bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan September. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Angka 7 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional dan/atau . . . - 16 - dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat termasuk cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain dalam hal terdapat beberapa hari libur umum dan/atau hari libur khusus yang berurutan. Angka 9 Pasal 14 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Batas waktu untuk UUS adalah 2 (dua) bulan setelah kantor cabang syariah atau unit syariah yang pertama melakukan kegiatan operasional. Huruf c . . . - 17 - Huruf c Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Bank dan UUS tidak dapat menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, gangguan pada sistem di Bank dan di Bank Indonesia, kebakaran gedung dan/atau pemadaman listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . - 18 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan “per laporan” adalah LBBU yang terdiri dari beberapa laporan sesuai periode penyampaian LBBU. Yang dimaksud dengan “per item koreksi” adalah koreksi data per field data. Contoh: Bank A menyampaikan koreksi atas Formulir 8 - Laporan Kredit yang direstrukturisasi untuk posisi bulan September 2011, pada tanggal 3 November 2011. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi data debitur X yaitu data nilai agunan, suku bunga, dan tunggakan bunga. Sanksi kewajiban membayar yang dibebankan kepada Bank A adalah sebesar 3 (tiga) item x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 26A Ayat (1) Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Ayat (2) . . . - 19 - Ayat (2) Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Ayat (3) Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Angka 15 Pasal 27A Ayat (1) Pemberitahuan dari Bank Indonesia dapat dilakukan secara tertulis atau melalui sarana lainnya antara lain melalui website Bank Indonesia dan e-mail. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 28A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5240
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/19/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 22 September 2011 </set_date> <effective_date> 30 September 2011 </effective_date> <issued_date> 22 September 2011 </issued_date> <changed_reg> '8/12/PBI/2006' </changed_reg> <replaced_reg> '13/8/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 20' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 1 /PBI/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kualitas keterangan dan data yang dihasilkan dari pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa perlu lebih ditingkatkan dalam rangka penyusunan statistik neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan bagi Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan untuk memenuhi ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa, Bank Indonesia memandang perlu untuk menunda pemberlakuan pengenaan sanksi administratif atas pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 2 - Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN. Pasal I Mengubah ketentuan dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 11 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 mulai diberlakukan untuk pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan bulan Januari 2004.” Pasal II ... - 3 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Januari 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 11 DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/1/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 31 Januari 2003 </set_date> <effective_date> 31 Januari 2003 dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002 </effective_date> <changed_reg> '4/2/PBI/2002' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/7/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi ekonomi dan keuangan global yang semakin terintegrasi membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan perekonomian dan keuangan domestik antara lain melalui terciptanya pasar valuta asing yang efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap gejolak; b. bahwa dalam rangka terciptanya pasar valuta asing yang efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap gejolak, perlu dilakukan percepatan pendalaman pasar valuta asing domestik; c. bahwa percepatan pendalaman pasar valuta asing dilakukan melalui upaya peningkatan likuiditas dan variasi instrumen derivatif valuta asing terhadap Rupiah dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan sehingga menciptakan kondisi pasar yang kondusif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi lindung nilai; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing; Mengingat… - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan… - 3 - 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Pihak Asing adalah: a. Warga Negara Asing; b. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk: a. kantor cabang Bank asing di Indonesia; b. perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA); c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba. 5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk: a. Transaksi… - 4 - a. Transaksi Spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau valuta tomorrow; b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option, dan cross currency swap (CCS). 6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 7. Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; atau c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 8. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana Rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank ataupun nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan antar rekening pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening Rupiah penerima dana. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia, termasuk surat berharga yang berdasarkan prinsip syariah. 10. Transaksi… - 5 - 10. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 11. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing dan Rupiah, atau gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing dan Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan Rupiah), sepanjang bukan merupakan structured product valuta asing terhadap Rupiah. 12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s Almanac. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib: a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank; b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing; c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank; d. melakukan… - 6 - d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen risiko Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan tingkat kesehatan Bank Umum; e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko bank; dan f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. 3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 3 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi perdagangan barang dan jasa dan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income and expense estimation). (4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. Penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan b. Penempatan… - 7 - b. Penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa tabungan, giro, deposito dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD). 4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b maka Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terdapat realisasi investasi; dan b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. 5. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 9 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). 10. Ketentuan… - 8 - 10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Bank memastikan Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 pada tanggal transaksi untuk setiap transaksi. (2) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (3) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (4) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang penyelesaiannya akan dilakukan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) … - 9 - (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja. (6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib diterima oleh Bank paling lambat pada saat terjadinya penambahan dana Rupiah Pihak Asing. 11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal 25 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total… - 10 - b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan netting. (3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. 12. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A Semua istilah Transaksi Derivatif yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing dan peraturan pelaksanaannya, harus dibaca sebagai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar… - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 117 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/7/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk mempercepat pendalaman pasar valuta asing domestik. Pendalaman pasar valuta asing domestik merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan melalui peningkatan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi dan keuangan nasional dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing, melalui pengaturan yang komprehensif untuk mendorong terciptanya pasar valuta asing yang efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap gejolak. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Yang… - 2 - Yang dimaksud dengan “kontrak’ adalah konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya. Ayat (2) Huruf a Pedoman internal tertulis berisi antara lain pencatatan akuntansi, sumber daya manusia, sistem dan penerapan manajemen risiko yang disetujui oleh manajemen Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan. Huruf b Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas perbankan bahwa Bank yang dapat melakukan transaksi valuta asing, baik Transaksi Spot maupun transaksi derivatif plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank BUKU 2. Huruf c Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas perbankan bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling kurang mencakup: (a) pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; (b) kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; (c) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; (d) sistem… - 3 - (d) sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman kepada Pihak Asing mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “foreign direct investment” adalah investasi langsung Pihak Asing ke dalam negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses penyelesaian. Huruf b Cukup jelas. Angka… - 4 - Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 32A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5702
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/7/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title> <set_date> 29 Mei 2015 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 1 Juni 2015 </issued_date> <changed_reg> '16/17/PBI/2014' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 11 Pasal 30' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 11 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter diperlukan penyesuaian terhadap perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan Pasar Uang Antar Bank; b. bahwa sehubungan dengan penyempurnaan atas ketentuan maksimum suku hal tersebut perlu dilakukan bunga penjaminan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI tanggal 12 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana … - 2 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tahun 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4383) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan… - 3 - 1. Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 2 (4) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga deposito dalam US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah atau dikurangi Marjin tertentu. 2. Penjelasan Pasal 2 Ayat (6) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Bank dapat menetapkan sendiri suku bunga PUAB berdasarkan suku bunga pasar. (2) Dalam rangka Program Penjaminan, bagi Bank yang memberikan suku bunga PUAB lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang ditetapkan, Pemerintah hanya menjamin PUAB sebesar pokok pinjaman ditambah bunga sesuai suku bunga maksimum yang ditetapkan. (3) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah dan US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight dalam Rupiah dan US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah atau dikurangi Marjin tertentu. Pasal II … - 4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Maret 2005 25 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 34 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 11 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (6) Contoh perhitungan konversi simpanan pihak ketiga dalam valuta asing non-US Dollar. Seorang nasabah memiliki deposito sebesar Singapore Dollar (SGD) 10.000 dengan suku bunga 1,25%. Dengan asumsi bahwa suku bunga yang berlaku untuk deposito US Dollar (USD) 1,00%, maka besarnya pokok dan bunga deposito yang dijamin oleh Pemerintah adalah sebagai berikut: - Konversi … - 2 - - Konversi nominal deposito SGD 10.000 ke dalam USD adalah SGD 10.000 : 1,6692 = USD 5.991 (dengan asumsi kurs: USD 1 = SGD 1,6692). - Bunga deposito SGD per tahun adalah SGD 10.000 x 1,25% = SGD 125 atau bila dikonversi ke dalam USD menjadi sebesar SGD 125 : 1,6692 = USD 74,9. - Bunga deposito SGD per tahun yang dijamin adalah SGD 10.000 x 1,00% = SGD 100 atau bila dikonversi ke dalam USD menjadi SGD 100 : 1,6692 = USD 59,9. Dengan demikian, jumlah yang dijamin untuk deposito SGD tersebut adalah sebesar jumlah pokok setelah dikonversi ke dalam USD yakni USD 5.991 ditambah dengan hasil konversi bunga dengan menggunakan suku bunga US Dollar yang berlaku yakni USD 59,9. Selisih bunga deposito SGD tersebut yang melebihi dari maksimum yang dijamin untuk deposito USD yaitu sebesar USD 74,9 – USD 59,9 = USD 15,0 tidak dijamin. Angka 3 Pasal 7 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4491 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/11/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title> <set_date> 31 Maret 2005 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2005 </effective_date> <changed_reg> '6/11/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3 / 8 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka membiayai pengusaha mikro diperlukan penyediaan kredit dengan jumlah yang memadai; b. bahwa dengan memperhatikan perkembangan harga barang dan jasa diperlukan penyesuaian terhadap jumlah plafon kredit untuk membiayai pengusaha mikro dalam rangka Proyek Kredit Mikro sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu mengubah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor….. Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO Pasal I Mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagai berikut : Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 20 (1) Jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah pengusaha mikro ditetapkan sebagai berikut : a. Untuk kredit yang pertama kali, diberikan maksimal sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) per nasabah sesuai kebutuhan usaha. b. Untuk kredit selanjutnya dapat dipertimbangkan secara bertahap diberikan maksimal sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) per nasabah sesuai kelancaran pembayaran kredit dan kebutuhan usaha. (2) Apabila….. (2) Apabila diperlukan perubahan atas jumlah kredit di atas maka akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 25 April 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 39 BKr/TPP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 8 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO UMUM Seperti diketahui bahwa dalam pemberian kredit kepada pengusaha mikro salah satu syarat yang harus dipenuhi agar usaha mikro tersebut berjalan dengan baik adalah kredit yang diberikan jumlahnya memadai sesuai kebutuhan modal usaha mikro yang bersangkutan. Dengan adanya perkembangan harga barang dan jasa yang cenderung meningkat dewasa ini jumlah kredit untuk pengusaha mikro tersebut sudah tidak memadai lagi. Untuk itu, ketentuan besarnya plafon kredit kepada pengusaha mikro perlu disesuaikan. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Besarnya kredit untuk nasabah mikro yang baru pertama kali maksimal Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Huruf….. Huruf b Setelah kredit pertama lunas maka nasabah mikro yang bersangkutan dapat mengajukan kembali kredit dengan jumlah maksimal Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat 2 Dalam hal pada kemudian hari perlu penyesuaian atas besarnya kredit maksimal pada ayat (1) tersebut di atas, maka penyesuaian dimaksud dapat dituangkan dalam Surat Edaran berdasarkan suatu keputusan Rapat Dewan Gubernur. Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4089 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/8/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO </reg_title> <set_date> 25 April 2001 </set_date> <effective_date> 25 April 2001 </effective_date> <changed_reg> '3/1/PBI/2001' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 25 /PBI/2011 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan, kegiatan usaha Bank menjadi semakin kompleks dan beragam; b. bahwa agar dapat lebih fokus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundang- undangan yang berlaku, Bank dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain; c. bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko bagi Bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan pengaturan tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: . . . - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN . . . - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 2. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain yang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja; 3. Perusahaan Penyedia Jasa adalah perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan yang diserahkan Bank melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja; 4. Dewan . . . - 4 - 4. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; 5. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Alih Daya kepada Perusahaan Penyedia Jasa. (2) Dalam . . . - 5 - (2) Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. BAB II ALIH DAYA Pasal 3 (1) Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan Bank melalui perjanjian: a. pemborongan pekerjaan; dan/atau b. penyediaan jasa tenaga kerja. (2) Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa. Pasal 4 (1) Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank dikategorikan sebagai berikut : a. kegiatan usaha; dan b. kegiatan pendukung usaha. (2) Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan pendukung usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. (3) Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank. Pasal 5 . . . - 6 - Pasal 5 (1) Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. berisiko rendah; b. tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijabarkan dalam kebijakan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b. (3) Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa. Pasal 6 Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya; c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; d. memiliki sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya. BAB III . . . - 7 - BAB III PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO Bagian Pertama Pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa Pasal 7 Untuk memastikan pemenuhan persyaratan dalam rangka pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa, Bank wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. meneliti dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b; dan b. melakukan analisis dan penilaian terhadap aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, huruf d, dan huruf e, sebagai berikut: 1. kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; 2. sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan 3. sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya. Pasal 8 Hasil penelitian, analisis dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan dengan baik. Pasal 9 (1) Bank wajib memantau dan mengevaluasi pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa secara berkala, paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi perubahan kinerja dan/atau reputasi Perusahaan Penyedia Jasa. (2) Hasil . . . - 8 - (2) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan dengan baik. Bagian Kedua Perjanjian Alih Daya Pasal 10 (1) Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib membuat perjanjian dengan Perusahaan Penyedia Jasa secara tertulis. (2) Perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. ruang lingkup pekerjaan; jangka waktu perjanjian; c. nilai kontrak; d. struktur biaya dan mekanisme pembayaran; e. hak, kewajiban, dan tanggung jawab Bank maupun Perusahaan Penyedia Jasa, antara lain: 1. kewenangan Bank untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap Perusahaan Penyedia Jasa terkait dengan pelaksanaan perjanjian Alih Daya; 2. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa termasuk tenaga kerja yang digunakan dalam Alih Daya untuk menjaga kerahasiaan dan pengamanan informasi Bank dan/atau nasabah Bank; 3. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa untuk menyampaikan laporan dan informasi kepada Bank secara tertulis dan berkala; 4. kewajiban . . . - 9 - 4. kewajiban masing-masing pihak untuk mematuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. kewajiban para pihak untuk melindungi hak dan kepentingan nasabah Bank terkait dengan pekerjaan yang dialihdayakan; 6. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa memiliki contingency plan; dan 7. kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan akses pemeriksaan kepada Bank Indonesia bersama- sama dengan Bank dalam hal diperlukan; f. ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan; g. kriteria atau kondisi pengakhiran perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian (early termination); h. sanksi dan penalti; dan i. penyelesaian perselisihan. Bagian Ketiga Penerapan Manajemen Risiko Pasal 11 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan Alih Daya sesuai dengan skala, karakteristik, dan kompleksitas pekerjaan yang dialihdaya. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan dan prosedur; c. kecukupan . . . - 10 - c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern. Pasal 12 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Alih Daya termasuk penyempurnaan atas kebijakan Alih Daya tersebut; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan manajemen risiko atas Alih Daya. Pasal 13 Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup: a. menyusun dan menyempurnakan kebijakan Alih Daya; b. menetapkan prosedur Alih Daya; c. menyetujui rencana Bank untuk melaksanakan Alih Daya; d. memantau, mengevaluasi, dan bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko atas Alih Daya; dan e. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Alih Daya secara keseluruhan. Pasal 14 (1) Bank wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Alih Daya. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. tujuan . . . - 11 - a. tujuan Alih Daya; b. kriteria pekerjaan yang dialihdaya; c. cakupan analisis; d. kebijakan mitigasi risiko dalam pelaksanaan Alih Daya; e. kriteria Perusahaan Penyedia Jasa; f. cakupan minimum perjanjian Alih Daya; g. prosedur standar dalam melakukan Alih Daya; dan h. penetapan unit atau fungsi khusus yang melaksanakan proses Alih Daya dan kejelasan tugas dan tanggung jawabnya. (3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikaji ulang secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 15 (1) Bank wajib melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap seluruh risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan Alih Daya. (2) Pelaksanaan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu dan dapat memberikan laporan yang akurat dan informatif mengenai risiko pada pelaksanaan Alih Daya. Pasal 16 (1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang efektif atas Alih Daya. (2) Sistem . . . - 12 - (2) Sistem pengendalian intern yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi: a. pengawasan terhadap proses Alih Daya; dan b. pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh Perusahaan Penyedia Jasa. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dilakukan oleh pihak yang independen terhadap pihak yang melakukan proses Alih Daya. BAB IV PELAPORAN Pasal 17 (1) Bank wajib menyampaikan laporan mengenai Alih Daya kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar dan tepat waktu. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. rencana Alih Daya; dan b. Alih Daya yang bermasalah. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling kurang memuat informasi mengenai: a. jenis pekerjaan yang dialihdayakan; b. gambaran umum dan cakupan pekerjaan; c. jenis perjanjian Alih Daya; d. perkiraan jumlah tenaga kerja Alih Daya yang dibutuhkan; e. f. jangka waktu perjanjian; tujuan Alih Daya; dan g. analisis perkiraan biaya dan manfaat, risiko dan mitigasinya. (4) Laporan . . . - 13 - (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling kurang memuat informasi mengenai: a. jenis pekerjaan yang dialihdayakan; b. nama Perusahan Penyedia Jasa; c. gambaran permasalahan yang terjadi; dan d. langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank untuk mengatasi permasalahan tersebut. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan setiap tahun paling lambat setiap tanggal 31 Desember. (6) Bank hanya dapat melakukan penambahan dan/atau perubahan rencana pekerjaan yang dialihdayakan yang sudah dilaporkan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling banyak 1 (satu) kali, dan wajib menyampaikan Laporan Perubahan Rencana Alih Daya dimaksud paling lambat pada tanggal 30 Juni tahun berjalan. (7) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) jatuh pada hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diketahuinya permasalahan oleh Bank. Pasal 18 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21 ayat (1) huruf d, dan Pasal 21 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: a. bagi . . . - 14 - a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. BAB V SANKSI Pasal 19 (1) Bank yang menyampaikan laporan Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21 ayat (1) huruf d dan Pasal 21 ayat (2) melampaui batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5), ayat (6) dan ayat (8), serta dalam Pasal 21 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagai berikut: a. terlambat 1 (satu) hari kerja sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja dikenakan sanksi sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; b. terlambat 11 (sebelas) hari kerja sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja, dikenakan sanksi sebagaimana pada huruf a ditambah dengan sanksi sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan berikutnya; c. terlambat 21 (dua puluh satu) hari kerja atau lebih dikenakan sanksi sebagaimana pada huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari . . . - 15 - per hari kerja keterlambatan berikutnya, dengan maksimum total sanksi keterlambatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Bank yang diketahui oleh Bank Indonesia telah melakukan Alih Daya tetapi belum menyampaikan laporan rencana Alih Daya dan/atau penambahan atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 17 ayat (6) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah). Pasal 20 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha tertentu. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 (1) Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) wajib melakukan langkah-langkah berikut: a. dalam . . . - 16 - a. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian Alih Daya kurang dari 1 (satu) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan perjanjian Alih Daya paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) dalam rangka penyesuaian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c. e. laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada huruf d paling kurang memuat informasi mengenai: 1. strategi dan langkah untuk melanjutkan pelaksanaan pekerjaan termasuk pemenuhan kebutuhan tenaga kerja; dan 2. jangka waktu rencana mengakhiri Alih Daya pekerjaan. (2) Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib menyampaikan laporan Alih Daya yang sedang berjalan. (3) Laporan . . . - 17 - (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang memuat informasi mengenai: a. jenis pekerjaan yang dialihdayakan; b. gambaran umum dan cakupan pekerjaan; c. jenis perjanjian Alih Daya; d. e. jumlah tenaga kerja Alih Daya yang digunakan; dan jangka waktu Alih Daya dan berakhirnya perjanjian. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 22 Bank yang telah melakukan Alih Daya sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib melakukan penyesuaian sebagai berikut: a. Bank yang belum memiliki atau telah memiliki kebijakan dan prosedur Alih Daya namun belum sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini wajib memiliki atau menyesuaikan kebijakan dan prosedur paling kurang dengan memenuhi pengaturan dalam Pasal 14 ayat (2), paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. b. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini namun Perusahaan Penyedia Jasa dan/atau cakupan perjanjian Alih Daya belum memenuhi ketentuan Pasal 6 dan/atau Pasal 10 ayat (2): 1. dapat melanjutkan pelaksanaan Alih Daya sampai dengan berakhirnya perjanjian; dan 2. dalam hal akan melakukan perpanjangan perjanjian Alih Daya, Bank wajib: a) melakukan . . . - 18 - a) melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan/atau b) menyesuaikan perjanjian sesuai Pasal 10 ayat (2). BAB VII LAIN-LAIN Pasal 23 Alih Daya yang dilakukan oleh Bank selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini juga tunduk pada Peraturan Bank Indonesia lainnya yang terkait dengan Alih Daya. Khusus persyaratan badan hukum Indonesia bagi Perusahaan Penyedia Jasa yang menyelenggarakan pemrosesan transaksi tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank Umum. Pasal 24 Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank apabila menurut penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut berpotensi membahayakan kelangsungan usaha Bank. BAB VIII PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 . . . - 19 - Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 Desember 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 9 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 131 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 25 /PBI/2011 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN UMUM Semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan mendorong semakin kompleks dan beragamnya kegiatan usaha Bank. Hal ini menyebabkan Bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank untuk lebih berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya adalah dengan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain, sehingga sumber daya Bank dapat dikerahkan pada pekerjaan- pekerjaan pokok. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain ini juga sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku. Disisi lain, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko yang dihadapi Bank, sehingga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai. Disamping itu, kejelasan atas tanggung jawab Bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut dan . . . - 2 - dan aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain yang diiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam Alih Daya oleh Bank adalah Alih Daya yang dilakukan oleh Unit Usaha Syariah pada Bank konvensional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang, misalnya pengadaan slip setoran, buku tabungan, inventaris kantor, pembangunan gedung kantor, dan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Huruf b . . . - 3 - Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank atas akibat dari tindakan yang dilakukan oleh Perusahaan Penyedia Jasa dalam melaksanakan pekerjaan yang dialihkan, termasuk apabila terdapat tindakan yang merugikan nasabah Bank. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Termasuk kegiatan usaha antara lain adalah penghimpunan dana dari masyarakat (funding), pemberian kredit/pembiayaan (lending/ financing), serta membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Huruf b . . . - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan “kegiatan pendukung usaha” adalah kegiatan lain yang dilakukan Bank di luar kegiatan usaha Bank. Termasuk kegiatan pendukung usaha antara lain adalah kegiatan yang terkait dengan sumber daya manusia, manajemen risiko, kepatuhan, internal audit, akunting dan keuangan, teknologi informasi, logistik dan pengamanan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pekerjaan pokok” adalah pekerjaan yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha Bank, sehingga apabila pekerjaan tersebut tidak ada, maka kegiatan dimaksud akan sangat terganggu atau tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan “alur” adalah serangkaian pekerjaan dari awal sampai akhir dari suatu kegiatan usaha atau kegiatan pendukung usaha, misalnya alur pemberian kredit mencakup pekerjaan pemasaran, analisis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, dan penagihan kredit. Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan usaha Bank misalnya alur kegiatan pemberian kredit antara lain pekerjaan account officer dan analis kredit; pada alur kegiatan penghimpunan dana antara lain pekerjaan customer service, customer relation dan teller. Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan pendukung usaha Bank misalnya alur kegiatan manajemen risiko antara lain pekerjaan analisis risiko; pada alur pengembangan organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia antara lain pekerjaaan perencanaan dan pengembangan organisasi serta perencanaan . . . - 5 - perencanaan sumber daya manusia; pada alur kegiatan pengelolaan teknologi informasi antara lain pekerjaan perencanaan dan pengembangan teknologi informasi; dan pada alur kegiatan pengendalian internal antara lain pekerjaan audit internal. Yang dimaksud dengan “pekerjaan penunjang” adalah pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha Bank, sehingga apabila pekerjaan tersebut tidak ada kegiatan dimaksud masih dapat terlaksana tanpa gangguan yang berarti. Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank misalnya alur kegiatan pemberian kredit antara lain pekerjaan call center, pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative) dan penagihan; dan pada alur kegiatan perkasan misalnya pekerjaan jasa pengelolaan kas Bank. Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung usaha antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris, agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas keamanan, pramubakti, kurir, data entry dan pengemudi. Ayat (3) Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan ayat (2). Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pekerjaan berisiko rendah” adalah pekerjaan yang apabila terjadi kegagalan tidak akan . . . - 6 - akan mengganggu aktivitas operasional bank secara signifikan. Huruf b Yang dimaksud dengan “kualifikasi kompetensi di bidang perbankan” antara lain mencakup pendidikan formal dan pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan. Huruf c Proses pengambilan keputusan mencakup proses analisis dan proses judgement dalam rangka pengambilan keputusan. Keputusan yang mempengaruhi operasional bank adalah keputusan yang dapat meningkatkan risiko secara signifikan dan/atau mengganggu berjalannya operasional bank apabila tidak dilakukan dengan benar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh, dalam Alih Daya penagihan kredit melalui perjanjian pemborongan, Bank dilarang mengalihkan risiko kredit yang ditimbulkan oleh tidak tertagihnya kredit dengan menggunakan cara seperti mekanisme penjualan tagihan kredit melalui skim anjak piutang. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 . . . - 7 - Pasal 7 Huruf a Penelitian dokumen dilakukan terhadap informasi dan kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Dalam hal diperlukan dapat dilakukan konfirmasi atau klarifikasi kepada instansi yang berwenang. Huruf b Analisis dan penilaian dilakukan untuk meyakini bahwa Perusahaan Penyedia Jasa telah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan dan mampu melakukan Alih Daya. Analisis dan penilaian menggunakan informasi dan kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Kedalaman dan intensitas analisis dan penilaian disesuaikan dengan skala dan kompleksitas pekerjaan yang dialihdayakan. Angka 1 Penilaian terhadap kinerja keuangan bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai perjanjian yang telah disepakati, yang antara lain mencakup penilaian terhadap modal, likuiditas dan profitabilitas Perusahaan Penyedia Jasa. Penilaian terhadap reputasi termasuk penilaian terhadap track record Perusahaan Penyedia Jasa bertujuan untuk menilai kepatuhan Perusahaan Penyedia Jasa terhadap ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang antara lain mencakup: 1. permasalahan . . . - 8 - 1. permasalahan hukum yang pernah atau sedang dihadapi yang dapat berdampak negatif; 2. kepatuhan terhadap ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau 3. kepatuhan terhadap perjanjian Alih Daya dengan Bank lain atau pemberi kerja sebelumnya. Penilaian terhadap pengalaman Perusahaan Penyedia Jasa bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki pengalaman yang memadai untuk melaksanakan pekerjaaan yang dialihkan, antara lain mencakup: 1. pengalaman perusahaan dalam menangani pekerjaan yang dialihdayakan; dan/atau 2. pengalaman manajemen perusahaan dalam menangani pekerjaan yang dialihdayakan. Angka 2 Penilaian terhadap sumber daya manusia bertujuan untuk memastikan pemenuhan kecukupan kuantitas dan kualitas (keahlian) sumber daya manusia. Angka 3 Penilaian terhadap sarana dan prasarana bertujuan untuk memastikan kecukupan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya, termasuk pemenuhan kecukupan kuantitas dan kualitas serta spesifikasi khusus yang dibutuhkan dalam Alih Daya. Pasal 8 . . . - 9 - Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam struktur biaya adalah biaya-biaya selain nilai kontrak yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan. Dalam mekanisme pembayaran diatur mengenai pihak yang harus membayar biaya tersebut dan tata cara pembayarannya. Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 . . . - 10 - Angka 2 Kewajiban menjaga kerahasiaan dan pengamanan informasi nasabah mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain mengenai rahasia Bank dan ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Angka 3 Cakupan dan frekuensi laporan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Angka 4 Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain di bidang ketenagakerjaan dan perbankan. Angka 5 Perlindungan hak dan kepentingan nasabah mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku antara lain mengenai perlindungan konsumen dan ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Angka 6 Yang dimaksud dengan “contingency plan” adalah upaya-upaya yang harus dilakukan oleh Perusahaan Penyedia Jasa untuk mengatasi keadaan memaksa atau gangguan yang signifikan dalam pelaksanaan pekerjaan, antara lain yang disebabkan oleh bencana alam, demonstrasi, pemogokan . . . - 11 - pemogokan tenaga kerja, gangguan sistem dan/atau perselisihan. Angka 7 Cukup jelas. Huruf f Ukuran pelaksanaan pekerjaan meliputi ukuran atas kuantitas dan/atau kualitas pekerjaan. Standar pelaksanaan pekerjaan merupakan prosedur yang paling kurang harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan. Standar dimaksud dapat pula mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP) yang dimiliki oleh Bank. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 . . . - 12 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Tujuan mencakup penjabaran atas hasil yang ingin dicapai melalui pelaksanaan Alih Daya, sesuai dengan strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan. Huruf b Kriteria pekerjaan yang dapat dialihdaya paling kurang mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf c Cakupan analisis mencakup aspek-aspek antara lain risiko, biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh Alih Daya. Dalam analisis manfaat dan biaya perlu memperhatikan pula pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan pengawasan oleh Bank atas Alih Daya tersebut. Huruf d . . . - 13 - Huruf d Dalam kebijakan mitigasi risiko mencakup jenis pekerjaan yang harus dilakukan upaya mitigasi risiko serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan atas pekerjaan tersebut. Huruf e Kriteria Perusahaan Penyedia Jasa paling kurang mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf f Cakupan minimum perjanjian Alih Daya paling kurang mengacu pada cakupan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf g Prosedur standar dalam melakukan Alih Daya antara lain mencakup prosedur pemilihan dan penetapan Perusahaan Penyedia Jasa, pengikatan perjanjian, dan pengawasan pelaksanaan Alih Daya. Huruf h Unit atau fungsi khusus tersebut dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari unit yang mengalihdayakan pekerjaannya. Ayat (3) Frekuensi pengkajian ulang dilakukan sesuai kebutuhan Bank dan perkembangan aktivitas Bank, terutama untuk memastikan kesesuaian dengan strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan. Pasal 15 . . . - 14 - Pasal 15 Cukup Jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Proses Alih Daya merupakan serangkaian proses yang harus dilakukan dalam rangka penunjukan dan penggunaan Perusahaan Penyedia Jasa dalam Alih Daya. Huruf b Pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan merupakan pengawasan atas pemenuhan perjanjian Alih Daya termasuk pemenuhan ukuran dan standar yang ditetapkan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak independen adalah : a. unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang tidak terkait dengan proses Alih Daya. Unit kerja atau fungsi khusus tersebut dapat berdiri sendiri atau dapat merupakan bagian dari unit atau fungsi khusus yang berdiri sendiri sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) huruf h; atau b. bagian dari unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang melakukan pengawasan secara independen, antara lain internal audit, manajemen risiko, atau kepatuhan. Pasal 17 . . . - 15 - Pasal 17 Ayat (1) Laporan mencakup laporan Bank secara gabungan untuk seluruh kantor Bank. Laporan disampaikan oleh Bank yang telah melakukan maupun yang merencanakan melakukan Alih Daya. Ayat (2) Huruf a Laporan rencana Alih Daya memuat rencana Alih Daya atas pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan. Tidak termasuk dalam pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan adalah perpanjangan perjanjian Alih Daya. Huruf b Alih Daya dianggap bermasalah apabila terjadi permasalahan baik pada pelaksanaan Alih Daya maupun pada Perusahaan Penyedia Jasa yang berpotensi meningkatkan risiko Bank secara signifikan dan/atau akan mengganggu kelangsungan pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan, terlepas dari mengakibatkan atau tidak mengakibatkan penghentian perjanjian dan/atau penggantian Perusahaan Penyedia Jasa. Contoh permasalahan: pelanggaran ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pelanggaran perjanjian, gugatan, pengaduan nasabah, perselisihan intern pada Perusahaan Penyedia Jasa baik antar manajemen maupun antara manajemen dengan karyawan. Ayat (3) . . . - 16 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan dan lokasi kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan. Huruf c Perjanjian Alih Daya yang dibuat berupa perjanjian pemborongan dan/atau penyediaan jasa tenaga kerja. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Gambaran permasalahan menguraikan secara singkat permasalahan yang terjadi, potensi risiko yang ditimbulkan, lokasi, waktu terjadinya permasalahan dan waktu diketahuinya permasalahan. Huruf d . . . - 17 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Laporan yang disampaikan mencakup rencana Alih Daya yang akan dilakukan selama 1 (satu) tahun yang akan datang. Ayat (6) Laporan Perubahan Rencana Alih Daya memuat paling kurang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) serta uraian singkat latar belakang dan tujuan penambahan dan/atau perubahan rencana Alih Daya. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 . . . - 18 - Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Contoh: Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 3 (tiga) bulan ke depan. Pada saat perjanjian berakhir, Bank dapat menghentikan Alih Daya atau memperpanjang perjanjian paling lama 9 (sembilan) bulan. Huruf b Contoh: Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 18 (delapan belas) bulan ke depan. Pada saat perjanjian berakhir, Bank dapat menghentikan Alih Daya atau memperpanjang perjanjian paling lama 6 (enam) bulan. Huruf c Contoh: Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 30 (tiga puluh) bulan ke depan. Dengan demikian, bank wajib menghentikan perjanjian tersebut paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan atau 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 19 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan; lokasi kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan; kesesuaian dengan Peraturan Bank Indonesia dan informasi lain yang relevan. Huruf c Jenis perjanjian Alih Daya meliputi perjanjian pemborongan dan atau penyediaan jasa tenaga kerja. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Antara lain penyesuaian kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Alih Daya, pelaksanaan analisis dan penilaian atas pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa, dan pengawasan Alih Daya. Huruf b . . . - 20 - Huruf b Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5263
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/25/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN </reg_title> <set_date> 9 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 9 Desember 2011 </effective_date> <issued_date> 9 Desember 2011 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/17/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank; b. bahwa penerapan prinsip syariah dalam pengelolaan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistem penilaian tingkat kesehatan; c. bahwa penyempurnaan standar keuangan syariah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistem penilaian tingkat kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur sistem penilaian tingkat kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan … - 3 - melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Direksi: a. bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPRS berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 3. Dewan Komisaris: a. bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPRS berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Tingkat Kesehatan BPRS adalah hasil penilaian kuantitatif dan kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja BPRS melalui: a. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas; dan b. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen. 5. Penilaian … - 4 - 5. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan dan proyeksi rasio-rasio keuangan BPRS. 6. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor manajemen dan faktor- faktor hasil penilaian kuantitatif dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan. 7. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha BPRS. 8. Faktor Keuangan adalah salah satu faktor pembentuk Tingkat Kesehatan BPRS yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas. 9. Peringkat Faktor Keuangan adalah hasil akhir penilaian gabungan dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas. 10. Peringkat Komposit adalah hasil akhir penilaian Tingkat Kesehatan BPRS yang merupakan gabungan dari Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat manajemen. BAB II PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BPRS Pasal 2 (1) BPRS wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan BPRS. (2) Dewan Komisaris dan Direksi BPRS wajib memantau dan mengambil langkah- langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipenuhi. Pasal 3 Penilaian Tingkat Kesehatan BPRS mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai … - 5 - sebagai berikut: a. permodalan (capital); b. kualitas aset (asset quality); c. rentabilitas (earning); d. likuiditas (liquidity); dan e. manajemen (management). Pasal 4 (1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kecukupan, proyeksi dan kemampuan permodalan dalam mengantisipasi risiko; dan b. fungsi intermediasi atas dana investasi dengan metode profit sharing. (2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas aktiva produktif dan konsentrasi eksposur risiko; dan b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem dokumentasi dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. (3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba; dan b. tingkat efisiensi operasional. (4) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, dan potensi maturity mismatch; dan b. kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas. (5) Penilaian … - 6 - (5) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas manajemen umum, termasuk pelaksanaan pemenuhan komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain; b. penerapan manajemen risiko terutama pemahaman manajemen atas risiko BPRS; dan c. kepatuhan BPRS terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi sosial. Pasal 5 (1) Penilaian atas komponen dari faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor rentabilitas, dan faktor likuiditas dihitung secara kuantitatif. (2) Penilaian atas komponen dari faktor manajemen dilakukan secara kualitatif dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan/atau pembanding yang relevan. (3) Berdasarkan hasil penilaian atas setiap komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan peringkat komponen. (4) Peringkat setiap komponen dalam bentuk rasio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu: a. peringkat 1; b. peringkat 2; c. peringkat 3; d. peringkat 4; atau e. peringkat 5. (5) Peringkat setiap komponen dari faktor manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam 4 (empat) peringkat, yaitu: a. peringkat A; b. peringkat B; c. peringkat … - 7 - c. peringkat C; atau d. peringkat D. Pasal 6 (1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dinilai dan ditetapkan peringkat setiap faktor. (2) Penilaian dan penetapan peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas dilakukan melalui analisis atas peringkat rasio utama dan peringkat rasio penunjang dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan/atau pembanding yang relevan. (3) Penilaian dan penetapan peringkat faktor manajemen dilakukan melalui analisis atas peringkat komponen dari faktor manajemen dengan mempertimbangkan informasi lain yang relevan. Pasal 7 (1) Peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dibagi dalam 5 (lima) peringkat, yaitu: a. peringkat 1; b. peringkat 2; c. peringkat 3; d. peringkat 4; atau e. peringkat 5. (2) Penilaian peringkat faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dibagi dalam 4 (empat) peringkat sebagai berikut: a. Peringkat manajemen A mencerminkan bahwa BPRS memiliki: 1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang baik; 2). manajemen risiko yang kuat; dan/atau 3). kepatuhan … - 8 - 3). kepatuhan yang tinggi terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi sosial. b. Peringkat manajemen B mencerminkan bahwa BPRS memiliki: 1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang cukup baik; 2). manajemen risiko memadai; dan/atau 3). kepatuhan yang cukup tinggi terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi sosial. c. Peringkat manajemen C mencerminkan bahwa BPRS memiliki: 1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang kurang baik; 2). manajemen risiko yang cukup; dan/atau 3). kepatuhan yang rendah terhadap prinsip syariah dan atau pelaksanaan fungsi sosial. d. Peringkat manajemen D mencerminkan bahwa BPRS memiliki: 1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang tidak baik; 2). manajemen risiko yang lemah; dan/atau 3). kepatuhan sangat rendah terhadap peraturan yang berlaku dan/atau prinsip syariah dan atau pelaksanaan fungsi sosial. Pasal 8 (1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dinilai dan ditetapkan Peringkat Faktor Keuangan. (2) Proses penilaian Peringkat Faktor Keuangan dilaksanakan dengan menjumlahkan hasil pembobotan atas nilai peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas. (3) Peringkat … - 9 - (3) Peringkat Faktor Keuangan dibagi dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut: a. Peringkat Faktor Keuangan 1, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki kinerja keuangan yang sangat baik. b. Peringkat Faktor Keuangan 2, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki kinerja keuangan yang baik. c. Peringkat Faktor Keuangan 3, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki kinerja keuangan yang cukup baik. d. Peringkat Faktor Keuangan 4, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki kinerja keuangan yang kurang baik. e. Peringkat Faktor Keuangan 5, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki kinerja keuangan yang tidak baik. Pasal 9 (1) Berdasarkan Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat faktor manajemen, ditetapkan Peringkat Komposit. (2) Proses penilaian Peringkat Komposit dilaksanakan melalui penggabungan atas Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat faktor manajemen dengan menggunakan tabel konversi serta mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan. (3) Peringkat Komposit dibagi dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut: a. Peringkat Komposit 1, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang sangat baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang sangat baik. b. Peringkat Komposit 2, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang baik. c. Peringkat Komposit 3, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang cukup baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup baik … - 10 - baik. d. Peringkat Komposit 4, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang kurang baik sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang kurang baik. e. Peringkat Komposit 5, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang tidak baik sebagai akibat dari pengeloaan usaha yang tidak baik. Pasal 10 BPRS wajib melakukan penghitungan rasio-rasio keuangan yang terkait dengan penilaian Tingkat Kesehatan BPRS secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember. BAB III MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN Pasal 11 (1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan bank, Bank Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan BPRS secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember. (2) Penilaian Tingkat Kesehatan BPRS dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala yang disampaikan BPRS dan/atau informasi lain. (3) Dalam rangka melakukan penilaian tingkat kesehatan yang dapat mencerminkan kondisi BPRS, Bank Indonesia dapat meminta informasi dan penjelasan tambahan dari BPRS. Pasal 12 (1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank Indonesia meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham untuk … - 11 - untuk menyampaikan rencana tindakan (action plan) apabila hasil penilaian Tingkat Kesehatan BPRS menunjukkan: a. satu atau lebih faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor rentabilitas, dan faktor likuiditas memiliki peringkat 4 atau 5; b. faktor manajemen memiliki peringkat C atau D; dan/atau c. memiliki Peringkat Komposit 4 atau 5. (2) BPRS wajib menyampaikan rencana tindakan secara tertulis (written action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah tanggal permintaan dari Bank Indonesia. (3) Rencana tindakan (action plan) yang disampaikan BPRS kepada Bank Indonesia merupakan komitmen BPRS yang wajib dipenuhi. Pasal 13 (1) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindakan (action plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan rencana tindakan (action plan). (2) Dalam hal pelaksanaan rencana tindakan (action plan) dilakukan secara bertahap, BPRS wajib melaporkan pelaksanaan setiap tahapan rencana tindakan (action plan) dimaksud paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan setiap tahapan. (3) Dalam hal BPRS belum melaksanakan dan atau menyelesaikan rencana tindakan (action plan) yang telah disepakati, maka BPRS wajib melaporkan alasan dan penyebab belum dilaksanakan dan atau diselesaikannya rencana tindakan (action plan) dimaksud paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah target waktu penyelesaian yang ditetapkan. BAB IV … - 12 - BAB IV SANKSI Pasal 14 BPRS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, pasal 10, Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank. Pasal 15 BPRS yang tidak memenuhi atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah); dan/atau c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 16 Kewajiban BPRS untuk melakukan penghitungan rasio-rasio keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk pertama kalinya menggunakan data posisi akhir bulan Maret 2008. BAB VI … - 13 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2007 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 146 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/ 17/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS) merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengurus bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank maupun pihak lainnya. Tingkat kesehatan BPRS tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengevaluasi kinerja BPRS dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. BPRS selain dituntut untuk memenuhi prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko, juga harus mampu melaksanakan operasional perbankan sesuai dengan prinsip syariah dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta kegiatan jasa perbankan lainnya. Dalam proses penilaian tingkat kesehatan BPRS juga perlu dimasukkan penilaian atas risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas bank. Di samping itu, perkembangan kondisi bank yang bersifat dinamis mendorong sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS yang dinamis pula sehingga perlu diatur tersendiri agar dapat memberikan gambaran tentang kondisi saat ini dan di waktu mendatang termasuk dalam penerapan prinsip-prinsip syariah. Pengaturan sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS dilakukan dengan melalui … - 2 - melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas serta manajemen. Hasil akhir penilaian dimaksud dapat digunakan BPRS sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang, dan bagi Bank Indonesia dapat digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pembinaan dan pengawasan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Penilaian permodalan merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap kecukupan modal BPRS untuk mengantisipasi eksposur risiko saat ini dan di masa datang. Huruf b Penilaian kualitas aset merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap kondisi aset BPRS dan kecukupan manajemen risiko pembiayaan. Huruf c Penilaian rentabilitas merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap kondisi dan kemampuan BPRS untuk menghasilkan keuntungan dalam rangka mendukung kegiatan operasional dan permodalan. Huruf d Penilaian … - 3 - Penilaian likuiditas merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap kemampuan BPRS untuk memelihara tingkat kemampuan BPRS dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Huruf e Penilaian manajemen merupakan Penilaian Kualitatif terhadap kemampuan manajerial pengurus BPRS untuk menjalankan usaha termasuk komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain, kecukupan manajemen risiko, dan kepatuhan BPRS terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi sosial, berupa peranan bank dalam pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah (ZIS), wakaf uang dan lain-lain yang relevan. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan fungsi intermediasi atas dana profit sharing adalah peran BPRS sebagai lembaga pengelola dana investasi terikat maupun tidak terikat yang menggunakan metode profit sharing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Pemahaman manajemen BPRS atas risiko BPRS dapat dinilai atas pernyataan manajemen, strategi, kinerja BPRS atau informasi lain. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) … - 4 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Komponen dari faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor rentabilitas, dan faktor likuiditas berupa rasio-rasio keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Peringkat 1 mencerminkan kondisi BPRS yang paling baik dan peringkat 5 mencerminkan kondisi BPRS yang paling buruk. Ayat (5) Peringkat A mencerminkan kualitas tata kelola (corporate governance) paling baik dan peringkat D mencerminkan kualitas tata kelola (corporate governance) paling buruk. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “rasio utama” adalah rasio sebagai pembentuk nilai peringkat faktor. Yang dimaksud dengan “rasio penunjang” adalah rasio sebagai penambah atau … - 5 - atau pengurang nilai peringkat faktor. Yang dimaksud dengan “indikator pendukung” adalah informasi lain yang dapat mempengaruhi hasil penilaian atas peringkat faktor antara lain rasio pengamatan (observasi) Yang dimaksud dengan “pembanding yang relevan” adalah informasi sejenis dalam industri yang dapat diperbandingkan antara lain informasi rata-rata tingkat rasio kecukupan modal bagi industri BPRS Ayat (3) Yang dimaksud dengan “informasi lain yang relevan” adalah informasi yang terkait dengan faktor yang dinilai. Pasal 7 Ayat (1) Peringkat 1 mencerminkan kondisi BPRS yang paling baik dan peringkat 5 mencerminkan kondisi BPRS yang paling buruk. Ayat (2) Dalam penilaian tata kelola BPRS termasuk penilaian atas tingkat kepatuhan BPRS terhadap ketentuan yang berlaku. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang sangat baik adalah BPRS yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat … - 6 - tingkat efisiensi operasi yang tinggi sehingga mampu berkembang secara optimal. Huruf b Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang baik adalah BPRS memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat efisiensi operasi yang cukup tinggi sehingga mampu berkembang. Huruf c Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang cukup baik adalah BPRS memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat efisiensi operasi yang sedang namun BPRS masih memiliki beberapa kelemahan dalam pengelolaan BPRS yang dapat menurunkan kondisi keuangan BPRS. Huruf d Yang dimaksud kinerja keuangan yang kurang baik adalah BPRS mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha. Huruf e Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang tidak baik adalah BPRS mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan kelangsungan usaha dan kecil kemungkinan untuk dapat diselamatkan. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 7 - Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang sangat baik” adalah apabila dalam pengelolaan kegiatan usaha, BPRS relatif tidak memiliki kelemahan administratif dan operasional. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang baik” adalah apabila dalam pengelolaan kegiatan usaha, BPRS masih memiliki kelemahan administratif dan operasional yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang cukup baik” adalah apabila BPRS memiliki kelemahan yang dapat menurunkan peringkat komposit apabila BPRS tidak segera melakukan tindakan korektif. Huruf d Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang kurang baik” adalah apabila BPRS memiliki kelemahan yang serius dan apabila tidak dilakukan tindakan yang efektif berpotensi mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha. Huruf e Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang tidak baik” adalah apabila BPRS memiliki kelemahan yang sangat serius dan apabila tidak dilakukan tindakan yang efektif dan segera akan mengalami kesulitan yang dapat menghentikan kelangsungan usaha. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Informasi lain meliputi antara lain hasil penilaian oleh otoritas atau lembaga lain yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Rencana tindakan (action plan) memuat langkah-langkah perbaikan terhadap permasalahan yang berdampak besar (significant) dengan target waktu penyelesaian selama periode tertentu. Ayat (2) Yang dimasud tanggal pemintaan adalah tanggal surat Bank Indonesia atau tanggal risalah pertemuan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Laporan pelaksanaan rencana tindakan (action plan) yang disampaikan BPRS antara lain memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung terkait. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4787
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/17/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 4 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 4 Desember 2007 </effective_date> <replaced_reg> '30/12/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
Dicabut dengan PBI No. 2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/1/PBI/2000 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan lembaga perbankan yang tangguh dan efisien diperlukan dukungan sumber daya manusia perbankan yang memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi dalam mengelola bank; b. bahwa dalam rangka menegakkan integritas dan kompetensi sumber daya manusia perbankan diperlukan adanya penilaian kemampuan dan kepatutan secara berkesinambungan; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang … -2- 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST). Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan adalah hasil proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia terhadap integritas pemegang saham pengendali, serta integritas dan kompetensi dari pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan operasional Bank; 3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang telah dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara, atau memiliki saham kurang dari 25% (dua 4. puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang telah dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian puluh … -3- Bank baik secara langsung maupun tidak langsung; 5. Pengurus adalah pengurus Bank yang terdiri dari komisaris dan direksi; 6. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 7. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 7. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan 7. Pejabat … -4- dan operasional Bank serta bertanggung jawab langsung kepada Direksi. Pasal 2 (1) Penilaian Kemampuan dan Kepatutan dilakukan terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan Pejabat Eksekutif Bank. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Ruang lingkup Penilaian Kemampuan dan Kepatutan meliputi faktor integritas dan kompetensi. (2) Kriteria faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. rekayasa dan praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; b. perbuatan yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah; c. perbuatan yang dapat dikategorikan memberikan keuntungan kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank; d. perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap d. perbuatan … -5- ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; dan e. perbuatan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang dapat dikategorikan tidak independen. (3) Kriteria faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai; b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan; dan c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. Pasal 4 Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kriteria yaitu: a. lulus; b. lulus bersyarat; atau c. tidak lulus. Pasal 5 … -6- Pasal 5 Dalam hal pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a diketahui memiliki kredit macet pada bank akan diklasifikasikan menjadi lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b. Pasal 6 Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diwajibkan untuk: a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang serupa; b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); dan atau c. melakukan perbaikan-perbaikan atau menambah pengetahuan yang diperlukan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan. Pasal 7 Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dan Pasal 5, diwajibkan untuk menyelesaikan kredit macet yang dimiliki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. Pasal 8 Pasal 8 … -7- Pihak-pihak yang diklasifikasikan tidak lulus dalam Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c: a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif wajib segera mengundurkan diri sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank; b. bagi Pemegang Saham Pengendali wajib melepaskan seluruh atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 9 (1) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan telah membuat pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b, dikenakan sanksi: a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank; b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; apabila setiap saat melakukan lagi perbuatan serupa atau perbuatan penyimpangan lainnya. (2) Bagi … -8- (2) Bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan ditetapkan untuk melakukan perbaikan atau menambah pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, dikenakan sanksi pemberhentian sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank, apabila tidak mampu memenuhinya dalam waktu 1 (satu) tahun. (3) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan tidak bersedia memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi: a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank; b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. (4) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan ditetapkan untuk menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dikenakan sanksi : a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank; b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; apabila tidak mampu menyelesaikan kredit macetnya dalam waktu 1 (satu) tahun. -9- Pasal 10 Pasal 10 … Pihak-pihak yang dinyatakan tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan pihak-pihak yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dapat dimasukkan dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pasal 11 Proses dan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bersifat rahasia dan hanya dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk tugas-tugas dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan pemeriksaan Bank. Pasal 12 (1) Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diberitahukan oleh Bank Indonesia kepada Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat rahasia. (3) Dalam hal Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang dinilai memberitahukan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang Pasal 13 … -10- timbul adalah menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 13 Tata cara penentuan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Januari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 3 -11- DPNP -12- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 2/1/PBI/2000 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) I. UMUM Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan- perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-prektek perbankan yang sehat (good corporate governance) serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga kepercayaan maka lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi dan kompetensi yang memadai. -13- Dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank, kepada Bank Indonesia telah diberikan wewenang pengaturan dan perizinan bagi kelembagaan, termasuk kepengurusan dan kepemilikan Bank dan kegiatan usaha Bank. Dalam kaitan tersebut, Bank Indonesia perlu melakukan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan pemilik dan Pengurus serta Pejabat Eksekutif Bank. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya kualitas sumber daya manusia perbankan yang berintegritas dan kompeten. manusia … Disadari bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan yang selain memperhatikan faktor-faktor integritas dan kompetensi serta kualifikasi lainnya maka penilaian dimaksud juga mengandung faktor pertimbangan yang bersumber pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Penilaian kemampuan dan kepatutan seperti tersebut diatas merupakan kegiatan atau praktek-praktek pengawasan bank yang lazim diterapkan secara internasional oleh otoritas perbankan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum, dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah. Kantor cabang bank asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor -14- Cabang Pembantu Dan Kantor Perwakilan Dari Bank Yang Berkedudukan Di Luar Negeri. Angka 2 Penilaian Kemampuan dan Kepatutan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengawasan dan pemeriksaan Bank oleh Bank Indonesia Angka 3 Angka 3 Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, termasuk besan yang secara bersama-sama memiliki saham Bank. Yang termasuk dengan kelompok usaha adalah : a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. -15- Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum dilakukan terhadap pemegang saham pengendali dari badan hukum tersebut. Pengendali … Dalam hal Bank merupakan bagian dari suatu kepemilikan badan hukum yang berjenjang, maka pendekatan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang terbukti mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas badan hukum yang berada pada setiap jenjang. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan terhadap Pejabat Eksekutif dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan indikasi peranan yang -16- bersangkutan dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Ayat (2) Pemeriksaan secara berkala atau sewaktu-waktu dimaksudkan agar kualitas sumber daya manusia perbankan dapat terpelihara secara berkesinambungan baik yang menyangkut integritas maupun kompetensi. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Huruf a Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang dilakukan Bank untuk menyembunyikan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk mengaburkan kondisi keuangan dan atau transaksi yang sebenarnya. Huruf b Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan sebelumnya, baik secara formal maupun informal, kepada pihak lain yang berkepentingan secara konsisten dan konsekuen. Huruf c Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja Ayat (2) ketentuan … -17- secara tetap, memperoleh penghasilan dan fasilitas dari Bank, serta tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank. Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang menimbulkan kesulitan keuangan dan atau potensi kesulitan keuangan Bank Huruf d Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara lain berupa ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Kualitas Aktiva Produktif dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, Pemantauan Likuiditas Bank Umum dan Restrukturisasi Kredit. Huruf e Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai dengan profesi secara mandiri, berdasarkan pada peraturan perundang- undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank. dengan … Ayat (3) Penilaian terhadap faktor kompetensi disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan uraian tugas dari setiap Pengurus atau Pejabat Eksekutif. Huruf a -18- Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan meliputi pengetahuan tentang peraturan dan sistem operasional bank. Huruf b Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan hukum perundang-undangan, yang berkaitan dengan bidang perbankan dan atau lembaga keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan dimasa yang akan datang, menginterpretasikan visi menjadi misi Bank, dan analisa situasi industri perbankan. Pasal 4 … -19- Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ketentuan mengenai kualitas kredit macet berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan atau Pejabat Eksekutif, yang menjadi pengurus suatu badan hukum yang mempunyai kredit macet, akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang bersangkutan. Pasal 6 Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Penyimpangan peraturan yang dilakukan sepanjang memenuhi kriteria lulus bersyarat dan telah : 1) membuat pernyataan tertulis sesuai ketentuan pada huruf a dan huruf b; 2) menyelesaikan kredit macet yang dimiliki; tidak dianggap sebagai suatu tindakan tercela yang menjadi persyaratan untuk menjadi pengurus di bank lain. Pasal 7 Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis dari Bank pemberi kredit yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah telah … -20- dilunasi atau kredit dimaksud tidak termasuk dalam kualitas macet. Penyelesaian kredit macet tersebut juga dapat diakui apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan atau mengalihkan sahamnya pada perusahaan atau badan hukum yang tercatat memiliki kredit macet dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ketentuan mengenai daftar orang tercela di bidang perbankan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia tentang Kriteria Perbuatan Tercela Di Bidang Perbankan. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … -21- Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3922 DPNP -22-
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/1/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title> <set_date> 14 Januari 2000 </set_date> <effective_date> 14 Januari 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/22/PBI/2006 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah pengembangan usaha perlu didukung yang dapat melakukan oleh struktur permodalan yang kuat yang sesuai dengan karakteristik bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka diperlukan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang … bank -2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. BAB II … -3 - BAB II ASPEK PERMODALAN Pasal 2 BPRS wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko. Pasal 3 (1) Modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terdiri dari: a. modal inti; dan b. modal pelengkap. (2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti. Pasal 4 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. modal disetor; b. agio saham; c. dana setoran modal; d. modal sumbangan; e. cadangan umum; f. cadangan tujuan; g. laba yang ditahan setelah diperhitungkan pajak; h. laba tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; i. laba … -4 - i. laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak dan kekurangan penyisihan penghapusan aktiva produktif paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus); (2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa pos: a. goodwill; b. disagio; c. rugi tahun lalu; d. rugi tahun berjalan. (3) Dalam perhitungan laba rugi tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus dikeluarkan pengaruh pajak tangguhan (deferred tax). Pasal 5 Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri dari: a. selisih penilaian kembali aktiva tetap; b. cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif paling tinggi 1,25% (seratus dua puluh lima persepuluhribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko; c. modal pinjaman (modal kuasi) yaitu pinjaman yang didukung oleh instrumen atau warkat yang mempunyai persyaratan sebagai berikut: 1. berdasarkan prinsip qardh; 2. tidak dijamin oleh BPRS penerbit (issuer) dan sifatnya dipersamakan dengan modal serta telah dibayar penuh; 3. tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia; dan 4. mempunyai … -5 - 4. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi. d. investasi subordinasi paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal inti dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah; 2. ada perjanjian tertulis antara BPRS dengan investor; 3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia, dalam hubungan ini pada saat BPRS mengajukan permohonan persetujuan, BPRS harus menyampaikan program pembayaran kembali subordinasi tersebut; saldo laba dan cadangan-cadangan yang investasi 4. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh; 5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun; 6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat; dan 7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal); Pasal 6 BPRS dilarang melakukan distribusi modal atau laba apabila menyebabkan rasio permodalan BPRS tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. BAB III … -6 - BAB III ASPEK RISIKO PENYEDIAAN DANA Pasal 7 Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: a. Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko penyediaan dana atau tagihan yang melekat pada setiap pos aktiva; b. Pos tertentu dalam daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi (off- balance sheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar risiko penyediaan dana yang melekat pada setiap pos setelah terlebih dahulu diperhitungkan dengan bobot faktor konversi. BAB IV PELAPORAN Pasal 8 (1) BPRS wajib melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum sesuai ketentuan ini secara bulanan sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Pelaporan sebagaimana diatur pada ayat (1) harus sudah disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 21 pada bulan berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan. (3) BPRS dinyatakan terlambat melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum apabila disampaikan melampaui tanggal 21 pada bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan akhir bulan. (4) BPRS dinyatakan tidak melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum apabila Bank Indonesia belum menerima perhitungan kewajiban … -7 - kewajiban penyediaan modal minimum sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Alamat penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. Bagi BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Direktorat Perbankan Syariah, MH.Thamrin No.2 Jakarta 10110; atau Jl. b. Bagi BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. BAB V SANKSI Pasal 9 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 6 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan tingkat kesehatan, dan tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam pengawasan khusus. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis. BAB VI … -8 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 79 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/22/PBI/2006 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Permodalan merupakan salah satu indikator utama kemampuan BPRS dalam melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari maupun dalam rangka pengembangan usaha kedepan, sehingga berkenaan dengan hal itu diperlukan pengaturan tersendiri tentang permodalan minimum yang harus dipertahankan oleh BPRS sehingga dapat mengantisipasi risiko untuk kelangsungan usaha dan pengembangan usaha. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … -2 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal yang telah disetor secara riil dan efektif oleh pemilik serta telah disetujui oleh Bank Indonesia. Bagi BPRS yang berbentuk hukum koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam ketentuan perkoperasian. Di dalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan modal yang dipesan (subsribed capital stock) yang berasal dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku tentang Ekuitas. Huruf b Yang dimaksud dengan agio saham adalah selisih lebih tambahan modal yang diterima BPRS sebagai akibat harga saham melebihi nilai nominalnya. Huruf c Yang dimaksud dengan dana setoran modal adalah dana yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Untuk … -3 - Untuk dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal maka dana tersebut harus ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) dan tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham. Penggunaan dana dalam escrow account tersebut harus dengan persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal dana setoran modal berasal dari calon pemilik BPRS maka jika berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon pemilik BPRS atau dana tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau modal, maka dana tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen modal, dan dapat ditarik kembali oleh calon pemilik. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan cadangan umum adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Yang dimaksud dengan cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sesuai perundang-undangan yang berlaku. Huruf g sampai i Cukup jelas. Ayat (2) … dengan ketentuan -4 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pajak tangguhan (deferred tax) adalah transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan laba/rugi maka aktiva pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus). Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan distribusi modal atau laba antara lain berupa konversi cadangan (umum atau tujuan) menjadi pembayaran deviden dan/atau pembayaran bonus kepada pengurus (management fee). Apabila dalam periode kepengurusan yang bersangkutan BPRS menunjukkan kinerja yang membaik namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk membayar bonus kepada pengurus (management fee), maka pembayaran bonus dapat ditunda sampai dengan kondisi permodalan BPRS memungkinkan untuk dilakukan pembayaran bonus (management fee). Pasal 7 Yang dimaksud dengan bobot faktor konversi adalah bobot yang diberikan terhadap kewajiban komitmen dan kontinjensi sehingga dapat dipersamakan dengan aktiva neraca. Pasal 8 … -5 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4648
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/22/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date> <replaced_reg> '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7 / 20 / PBI / 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana telah diubah oleh Pemerintah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 45/PMK.06/2005 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana ; b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 45/PMK.06/2005 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana tersebut ditetapkan bahwa Perusahaan Pialang Pasar Uang dapat menjadi peserta Lelang hanya untuk Lelang Surat Utang Negara jenis Surat Perbendaharaan Negara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b tersebut di atas terhadap dipandang perlu untuk melakukan perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; Mengingat... -2- Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Lintas Devisa Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan… -3- 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya . 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dengan telah Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing. 4. Dihapus. 5. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 6. Dihapus. 7. Direksi adalah organ perusahaan pialang yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan dan diubah tujuan perusahaan serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 8. Komisaris… -4- 8. Komisaris adalah organ perusahaan pialang yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perusahaan pialang. 9. Hari adalah hari kalender kecuali ditetapkan sebagai hari kerja. 2. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 disisipkan 1(satu) ayat, yakni ayat (1a), dan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut : Pasal 2 (1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang adalah melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing (1a) Perusahaan Pialang dapat pula melakukan kegiatan jasa perantara dalam transaksi Surat Perbendaharaan Negara. (2) (3) Dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) Perusahaan Pialang dapat memperoleh imbalan Pengguna jasa Perusahaan Pialang dalam pasar uang Rupiah dan valuta asing adalah bank, kecuali dalam hal jasa perantara untuk transaksi Surat Perbendaharaan Negara, pengguna jasa dapat berupa bank dan non bank. (4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa Perusahaan Pialang. 3. Ketentuan Pasal 4 huruf c diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : Pasal 4 Pasal 4… -5- Perusahaan Pialang dilarang : a. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas namanya sendiri dan atau dananya sendiri ; b. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana pemilik Perusahaan Pialang yang bersangkutan ; c. memberikan jasa perantara di pasar modal ; d. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa ; dan e. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi disepakati. 4. Ketentuan Pasal 20 ayat (4) huruf e diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut : Pasal 20 (1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut : a. b. peringatan pertama ; peringatan kedua ; c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham ; d. pencabutan izin usaha. (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut : a. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi disepakati ; atau a. memberikan… -6- b. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa ; atau c. kepemilikan Perusahaan Pialang oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing melebihi 99% (sembilan puluh sembilan per seratus) ; atau d. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional ; atau e. tidak menyampaikan laporan berkala bulanan, laporan tahunan dan laporan khusus secara benar dan akurat hingga batas waktu yang ditetapkan. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut : a. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya sanksi peringatan pertama ; atau b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk kedua kali. (4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut : a. melakukan kegiatan usaha pialang sebelum memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia ; atau b. tidak mengajukan permohonan ijin kepada Bank Indonesia apabila terjadi perubahan atas kepemilikan, susunan direksi dan komisaris b. tidak… -7- dan atau tidak melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi pergantian nama perusahaan ; atau c. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas namanya sendiri dan atau dananya sendiri ; atau d. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama pemilik Perusahaan Pialang pialang ; atau dan atau dana perusahaan e. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau ayat (1a) ; atau f. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan kedua selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan kedua ; atau (5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal perusahaan pialang tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham. Pasal II… -8- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 67 DPD
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/20/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 26 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 26 Juli 2005 </effective_date> <changed_reg> '5/5/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 20' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/ 7 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa program sertifikasi manajemen risiko diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian pengurus dan pejabat bank umum dalam bidang manajemen risiko; b. bahwa dalam implementasi program sertifikasi manajemen risiko khususnya terkait masalah kelembagaan Lembaga Sertifikasi Profesi diperlukan adanya sinergi dengan otoritas sertifikasi profesi; c. bahwa kualitas materi sertifikasi manajemen risiko juga perlu dipelihara dan ditingkatkan agar selalu sejalan dengan perkembangan terkini industri perbankan dan tetap mengacu pada standar internasional; d. bahwa jumlah pengurus dan pejabat bank umum yang belum memiliki sertifikat manajemen risiko masih cukup banyak sementara jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi yang menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko masih terbatas, maka dianggap perlu untuk menyesuaikan batas waktu ... - 2 - waktu pemenuhan kewajiban sertifikasi manajemen risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor ... - 3 - Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5011); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5011) diubah sebagai berikut: 1. Penjelasan Pasal 15 huruf a diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 2. Penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf a diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Kewajiban pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) wajib dipenuhi paling lambat tanggal 3 Agustus 2011. Pasal II ... - 4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 63 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/ 7 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM I. UMUM Pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko sejauh ini telah memberikan hasil berupa mulai tumbuhnya risk awareness dan risk culture pada industri perbankan, meningkatkan kemampuan bank dalam mengelola risiko, dan menghasilkan sumber daya manusia perbankan yang qualified dan memiliki kompetensi di bidang manajemen risiko. Untuk mendorong akselerasi pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko dan memperluas kesempatan pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi maka Bank Indonesia perlu meningkatkan sinergi dengan otoritas lain yang menangani sertifikasi profesi khususnya berupa pemberian rekomendasi dari Bank Indonesia kepada otoritas sertifikasi profesi. Disamping itu, kualitas materi sertifikasi manajemen risiko juga perlu dipelihara dan ditingkatkan agar selalu sejalan dengan perkembangan terkini industri perbankan dan tetap mengacu pada standar internasional. Berdasarkan realisasi pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko sampai saat ini masih cukup banyak pengurus dan pejabat bank umum yang belum memiliki sertifikat manajemen risiko sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku sementara itu jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi yang ... - 2 - yang menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko masih terbatas, sehingga perlu juga dilakukan penyesuaian batas waktu pemenuhan kewajiban sertifikasi manajemen risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia menganggap perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 15 Huruf a Bank Indonesia dapat memberikan rekomendasi kepada otoritas yang berwenang terkait dengan permohonan lisensi yang diajukan oleh calon Lembaga Sertifikasi Profesi untuk menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko. Angka 2 Pasal 16 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan Sertifikasi Manajemen Risiko yang mengacu pada international best practices adalah: 1) sertifikasi ... - 3 - 1) sertifikasi yang mendapat pengakuan secara internasional dan diterbitkan oleh lembaga sertifikasi internasional; 2) sertifikasi yang materinya mendapat pengakuan secara internasional melalui kerjasama dalam hal review materi sertifikasi dengan lembaga sertifikasi internasional; atau 3) sertifikasi yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia materinya mengacu kepada standar internasional di bidang manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision. Angka 3 Pasal 25 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5129 DPNP/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/7/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 19 April 2010 </set_date> <effective_date> 19 April 2010 </effective_date> <issued_date> 19 April 2010 </issued_date> <changed_reg> '11/19/PBI/2009' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '11/19/PBI/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis, khususnya dalam perkembangan pasar valuta asing domestik; b. bahwa dalam upaya mendukung peningkatan penerimaan devisa nasional melalui pengembangan pariwisata maka pelayanan dan kemampuan pedagang valuta asing perlu ditingkatkan; c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang berkesinambungan, pedagang valuta asing perlu melaksanakan kegiatan usaha dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian, termasuk penerapan prinsip mengenal nasabah; d. bahwa dalam upaya turut menanggulangi tindak pidana pencucian uang, pedagang valuta asing mempunyai peranan yang cukup strategis dalam membantu instansi yang berwenang; e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut maka ketentuan tentang pedagang valuta asing perlu diatur kembali dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); 4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4324); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing, yang selanjutnya disebut UKA, adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender). 2. Traveller’s Cheque, yang selanjutnya disebut TC, adalah cek perjalanan dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. 3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. 4. Bank adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. 5. Pedagang Valuta Asing, yang selanjutnya disebut PVA, adalah perusahaan yang melakukan jual beli UKA dan pembelian TC. 6. PVA bukan bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC. 7. PVA bank adalah bank umum bukan bank devisa, kantor cabang bank umum devisa yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa, Unit Usaha Syariah dari bank umum devisa, dan Bank Perkreditan Rakyat, yang melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC. 8. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah; 9. Prinsip … - 4 - 9. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip yang diterapkan oleh PVA untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan; 10. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PVA. BAB II BIDANG USAHA Pasal 2 Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah jual beli UKA dan pembelian TC. Pasal 3 PVA dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: a. memelihara hubungan korespondensi dengan bank-bank di luar negeri guna mengeluarkan langsung perintah pembayaran yang diuangkan di luar negeri; b. mentransfer/menagih sendiri ke luar negeri; c. bertindak sebagai agen penjualan TC; dan atau d. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi derivatif lainnya. Pasal 4 Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan mekanisme pasar. BAB III … - 5 - BAB III PERSYARATAN PEDAGANG VALUTA ASING Bagian I PVA bukan bank Pasal 5 PVA bukan bank melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 6 Persyaratan izin usaha bagi PVA bukan bank adalah sebagai berikut : a. perusahaan merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC dan telah mendapat pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas dari instansi berwenang; b. kepemilikan perusahaan adalah perorangan warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemilik dan pengurusnya terdiri dari warga negara Indonesia; c. modal disetor sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama PVA yang bersangkutan; e. pengurus adalah perorangan warga negara Indonesia; f. pengurus dan pemegang saham tidak tercatat sebagai penarik cek dan atau bilyet giro kosong dan tidak memiliki kredit macet yang tercatat pada administrasi Bank Indonesia; g. memiliki tempat usaha dengan alamat yang jelas, sumber daya manusia dan sarana penunjang kegiatan yang memadai. Pasal 7 … - 6 - Pasal 7 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha PVA bukan bank untuk mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat usaha. Pasal 8 (1) PVA bukan bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib melaksanakan pembukaan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA. (2) PVA bukan bank yang telah melaksanakan pembukaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kegiatan usaha dimaksud selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya kegiatan usaha. Pasal 9 PVA bukan bank melakukan pembukaan kantor cabang setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 10 Persyaratan pembukaan kantor cabang bagi PVA bukan bank adalah sebagai berikut: a. untuk pembukaan kantor cabang di propinsi yang sama dengan kedudukan kantor pusat, sekurang-kurangnya PVA bukan bank telah beroperasi 2 (dua) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA; b. untuk pembukaan kantor cabang di luar propinsi kedudukan kantor pusat, sekurang-kurangnya PVA bukan bank telah beroperasi 3 (tiga) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA; c. memiliki… - 7 - c. memiliki lokasi usaha dengan alamat yang jelas; d. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir belum pernah memperoleh sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 (1) PVA bukan bank yang memperoleh izin pembukaan kantor cabang dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib melaksanakan pembukaan kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin pembukaan kantor cabang. yang (2) PVA bukan bank telah cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kantor cabang selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya pembukaan kantor cabang yang bersangkutan. Pasal 12 PVA bukan bank melaksanakan pemindahan alamat kantor setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 13 (1) PVA bukan bank yang telah mendapat izin pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaksanakan pemindahan alamat kantor selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin pemindahan alamat kantor. melaksanakan pembukaan kantor (2) PVA … - 8 - (2) PVA bukan bank yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor tersebut selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dilaksanakannya pemindahan alamat kantor. Pasal 14 PVA bukan bank melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 15 Calon pengurus dan atau pemegang saham bagi PVA bukan bank yang diusulkan sebagai pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 16 (1) PVA bukan bank wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang baik yang bersifat sementara maupun permanen. (2) Penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan maksimal 1 (satu) tahun. (3) Dalam hal PVA bukan bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin usaha PVA bukan bank dinyatakan tidak berlaku. (4) Dalam hal PVA bukan bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin pembukaan kantor cabang PVA bukan bank dinyatakan tidak berlaku. (5) PVA … - 9 - (5) PVA bukan bank wajib melakukan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat dan atau kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (6) PVA bukan bank wajib melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat dan atau kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) selambat- lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dibukanya kembali kegiatan usaha. Bagian II PVA bank Pasal 17 (1) PVA bank melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapat izin atau persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi bank umum bukan devisa dan Bank Perkreditan Rakyat. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi kantor cabang bank umum devisa yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa dan UUS bank umum devisa. Pasal 18 (1) Bank umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA wajib mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut: a. bagi… - 10 - a. bagi bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada: i. Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, bagi bank umum bukan bank devisa; ii. Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, bagi UUS bank umum bukan bank devisa; iii. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, bagi Bank Perkreditan Rakyat. b. bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; c. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Kantor pusat bank umum devisa wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal kantor cabang bank yang bersangkutan yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa atau UUS bank yang bersangkutan akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada : i. Bank … - 11 - i. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 bagi kantor cabang konvensional; ii. Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 bagi UUS bank umum devisa; b. bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; c. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu pada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Bank umum bukan bank devisa yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan; c. menyertakan rencana persiapan operasional dan hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi dan peluang pasar. (2) Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir sehat; b. dalam… - 12 - b. dalam 12 (duabelas) bulan terakhir memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan; d. ketersediaan sarana penunjang. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan b berdasarkan data administrasi Bank Indonesia. Pasal 21 Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha sebagai PVA hanya diperbolehkan memiliki saldo harian pos aktiva dalam valuta asing sebesar maksimal 20% dari modal disetor. Pasal 22 Izin atau persetujuan bagi PVA bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dinyatakan tidak berlaku dalam hal: a. kantor pusat Bank yang bersangkutan dinyatakan dibekukan atau dicabut izin usahanya oleh otoritas yang berwenang; atau b. kantor cabang Bank atau UUS dinyatakan ditutup atau tidak beroperasi oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan; atau c. kantor cabang Bank atau UUS dinyatakan tidak melakukan lagi kegiatan usaha sebagai PVA oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan. Pasal 23 (1) Bank Perkreditan Rakyat yang ditetapkan dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia tidak dapat melakukan kegiatan usaha sebagai PVA. (2) Kegiatan … - 13 - (2) Kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan kembali setelah Bank Perkreditan Rakyat yang bersangkutan dikeluarkan dari status pengawasan khusus. BAB IV PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PVA Pasal 24 (1) PVA wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). (2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), PVA wajib: a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (3) PVA bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sesuai dengan ketentuan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang berlaku bagi Bank. Pasal 25 (1) Direksi PVA bertanggung jawab atas penerapan dan pengawasan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Direksi PVA bertanggung jawab atas pemberian pengetahuan dan atau pelatihan bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 26 … - 14 - Pasal 26 PVA bukan bank wajib menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB V PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 27 Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA. Pasal 28 (1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA bukan bank, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang ditunjuk Bank Indonesia. (2) Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang bekerja sama dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib: a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan pembinaan yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan b. menyampaikan laporan hasil pengawasan dan pembinaan kepada Bank Indonesia. Pasal 29 (1) PVA wajib menyampaikan laporan berkala, meliputi laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan, serta laporan khusus secara benar dan akurat. (2) Laporan… - 15 - (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan oleh PVA bank hanya berupa laporan kegiatan usaha. (3) PVA wajib menyimpan warkat transaksi jual-beli UKA dan pembelian TC dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. (4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Administrasi Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi PVA yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 30 (1) Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), PVA wajib menyampaikan: a. laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa; b. laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun dalam beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku. BAB VI … - 16 - BAB VI SANKSI Pasal 31 (1) Dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut: a. peringatan pertama; b. peringatan kedua; c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham; d. pencabutan izin usaha. (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak melaksanakan pembukaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau b. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau c. tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau d. tidak menyampaikan laporan keuangan hingga batas waktu yang ditetapkan; atau e. tidak menyampaikan laporan khusus hingga batas waktu yang ditetapkan. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan pertama … - 17 - pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat- lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan pertama; atau b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk kedua kali. (4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau b. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau c. melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau d. menyampaikan laporan berkala serta laporan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) secara tidak benar dan akurat; atau e. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan kedua selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan kedua; atau f. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang bersifat sementara; atau g. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau h. tidak menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip Mengenal Nasabah hingga batas waktu yang ditetapkan; atau i. tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25. (5) Bank … - 18 - (5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA bukan bank tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham. Pasal 32 PVA yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 33 Dalam hal PVA bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 35 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/2/PBI/2003 tentang Pedagang Valuta Asing dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. - 19 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 2 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING UMUM Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing. Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga penunjang sektor keuangan, pedagang valuta asing yang terdiri dari bank (yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah) serta bukan bank, memiliki peranan yang cukup strategis dalam mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan pembelian traveller’s cheque. Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum perseroan terbatas memiliki sifat/ … - 2 - sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari sisi pengaturan akuntabilitas dan transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain. Selanjutnya, dalam upaya mencegah industri pedagang valuta asing digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan, serta dengan memperhatikan rekomendasi The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), maka pedagang valuta asing perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu dilakukan desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia ke Kantor Bank Indonesia setempat. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas - 3 - Huruf d Yang dimaksud margin trading adalah transaksi jual beli mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih kurs. Yang dimaksud spot adalah transaksi jual/beli tunai antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud forward adalah transaksi jual/beli berjangka antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud swap adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara bersamaan. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 … - 4 - Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas - 5 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 20… - 6 - Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 21 Yang dimaksud dengan pos aktiva dalam valuta asing adalah pos dalam laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Penetapan status pengawasan khusus yang dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 25 … - 7 - Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi kegiatan pengawasan langsung atau pemeriksaan (on the spot) dan pengawasan tidak langsung, antara lain pemantauan terhadap pelaksanaan ketentuan yang berlaku dan penelitian terhadap kebenaran laporan yang disampaikan. Pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain pelatihan penyusunan laporan dan penyuluhan mengenai keaslian uang. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bekerja sama dalam ayat ini adalah bahwa dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA bukan bank, Bank Indonesia dapat bermitra atau menunjuk Asosiasi PVA atau pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 … - 8 - Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan laporan khusus adalah laporan yang bersifat insidentil yang dapat diminta Bank Indonesia dalam hal diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah atau pengguna jasa bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah atau pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat 2 … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Hal-hal yang diatur antara lain meliputi tatacara perizinan, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, pengawasan, pelaporan, dan pengenaan sanksi. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4354 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/1/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 6 Januari 2004 </set_date> <effective_date> 6 Januari 2004 </effective_date> <replaced_reg> '5/2/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '25/UU/2003', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999', '15/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya, bank dapat melakukan kegiatan penyediaan dana dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; b. bahwa dalam melakukan kegiatan penyediaan dana dalam bentuk penyertaan modal tersebut, bank wajib memperhatikan kecukupan modal, prinsip kehati-hatian, pengendalian intern, profil risiko dan prinsip keterbukaan kepada publik; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: … - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank; 3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; 4. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan; 5. Investee … - 3 - 5. Investee adalah Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal; 6. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank dalam Perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, termasuk dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada Perusahaan Debitur; 7. Perusahaan Debitur adalah perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara. BAB II RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN PENYERTAAN MODAL Pasal 2 Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati- hatian. Pasal 3 Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan apabila: a. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai ketentuan yang berlaku; b. tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank dan tidak secara material meningkatkan profil risiko Bank; c. Bank memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk kegiatan Penyertaan Modal, sekurang-kurangnya untuk memastikan bahwa: 1. analisis … - 4 - 1. analisis dan prosedur pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dilakukan sesuai dengan profil risiko Bank; 2. terdapat dokumentasi dan pemantauan secara periodik; 3. terdapat prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat; dan 4. terdapat kemudahan untuk dilakukan jejak audit (audit trail); d. rencana Penyertaan Modal telah dicantumkan dalam Rencana Kerja Tahunan Bank; e. Bank tidak sedang dalam status pengawasan intensif, kecuali penempatan Bank dalam status pengawasan intensif hanya karena Bank berperan cukup signifikan terhadap risiko sistemik dalam sistem perbankan dan atau memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional; f. Bank tidak sedang dalam status pengawasan khusus sesuai ketentuan yang berlaku; dan g. Bank tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha tertentu dalam 12 (dua belas) bulan terakhir oleh Bank Indonesia dan atau oleh otoritas lain. Pasal 4 (1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau melalui pasar modal. (2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 (1) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) setinggi- tingginya sebesar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal setinggi-tingginya 25% (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank. (3) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk peningkatan Penyertaan Modal karena penerapan metode ekuitas sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku sepanjang tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak akhir tahun buku Investee. Pasal 6 (1) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk setiap Penyertaan Modal yang akan dilakukan. lanjutan (subsequent (2) Penyertaan Modal sama juga wajib memperoleh persetujuan terlebih Indonesia. Pasal 7 (1) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila jumlah Penyertaan Modal Bank melampaui 25 % (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank yang disebabkan karena menurunnya Modal Bank atau perubahan nilai tukar. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri dengan action plan untuk menyelesaikan pelampauan jumlah Penyertaan Modal tersebut. (3) Jangka … investment) pada Investee yang dahulu dari Bank - 6 - (3) Jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. (4) Laporan pelampauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah terjadinya pelampauan. Pasal 8 (1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal apabila Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan Bank dan atau peningkatan profil risiko Bank secara signifikan. (2) Rencana divestasi Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum divestasi Penyertaan Modal dilaksanakan. Pasal 9 (1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk mengambil langkah- langkah perbaikan (corrective actions) dan atau merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Investee. (2) Perintah dan atau rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia kegiatan usaha Investee: a. mencerminkan kondisi keuangan dan non keuangan yang tidak sehat; dan atau b. mengganggu kondisi keuangan dan non keuangan Bank. BAB III … perbaikan atau - 7 - BAB III TATA CARA PERSETUJUAN PENYERTAAN MODAL Pasal 10 (1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Penyertaan Modal dilakukan, dengan dilampiri: a. hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank, termasuk proyeksi kecukupan permodalan sebelum dan sesudah pelaksanaan Penyertaan Modal; b. hasil analisis profil risiko Bank, sebelum dan sesudah pelaksanaan Penyertaan Modal; c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal; d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal; e. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa Penyertaan Modal yang dilakukan adalah dalam rangka investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham; f. perlakuan akuntansi Penyertaan Modal yang diterapkan Bank; g. Penyertaan Modal dan atau rencana Penyertaan Modal yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank pada Investee yang sama; h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee; i. laporan keuangan tahun terakhir dan laporan keuangan interim triwulanan terakhir, serta proyeksi keuangan Investee; j. struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir Investee; k. identitas … - 8 - k. identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak yang melakukan pengendalian terhadap Investee atau pihak lain yang akan melakukan Penyertaan Modal bersama-sama dengan Bank; l. perjanjian dan atau rencana perjanjian yang ada: 1. antara pemegang saham Investee; dan atau 2. antara Bank dengan pemegang saham Investee yang menjual saham kepada Bank; m. hasil due dilligence dari Investee, apabila diminta oleh Bank Indonesia; n. surat keterangan dari otoritas berwenang yang mengawasi kegiatan usaha Investee; dan o. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran dasar Investee. (2) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal 20% (dua puluh perseratus) atau lebih dari modal Investee atau memenuhi kriteria pengendalian, selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga wajib menyampaikan dokumen berupa: a. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan peluang pasar Investee; b. informasi mengenai kompetensi dan integritas dari pengurus, dan pejabat eksekutif dan integritas pemegang saham mayoritas dari Investee. Pasal 11 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang disampaikan dalam rangka permohonan persetujuan Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia. Pasal 12 … - 9 - Pasal 12 Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disampaikan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10010 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. luar analisis atas kemampuan Bank dan kelayakan kegiatan Penyertaan Modal, berdasarkan informasi atau dokumen yang disampaikan dan informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta Bank dan atau Investee untuk memberikan komitmen tertulis. (4) Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap komitmen sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia dapat memerintahkan kepada Bank untuk mengambil tindakan tertentu. Pasal 14 … - 10 - Pasal 14 Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal atau menolak permohonan Penyertaan Modal divestasi apabila Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal Bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia. BAB IV PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL Bagian Pertama Perlakuan Akuntansi Pasal 15 (1) Penyertaan Modal wajib dicatat dalam portofolio investasi jangka panjang dan dinilai berdasarkan: a. metode ekuitas (equity method) apabila Penyertaan Modal mencapai 20% (dua puluh perseratus) atau lebih dari modal Investee atau Penyertaan Modal memenuhi kriteria unsur pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); atau b. metode biaya (cost method) apabila Penyertaan Modal kurang dari 20% (dua puluh perseratus) dari modal Investee. (2) Bank wajib mengkonsolidasikan laporan keuangan Investee apabila telah memenuhi persyaratan untuk melakukan konsolidasi laporan keuangan sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan dan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 16 … - 11 - Pasal 16 (1) Penyertaan Modal wajib dinilai berdasarkan nilai pasar (mark to market) apabila Penyertaan Modal yang dicatat dengan metode biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b memiliki nilai pasar. (2) Laba atau rugi yang belum direalisasi dari Penyertaan Modal yang didasarkan atas nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam pos modal dalam neraca Bank komprehensif lain (other comprehensive income). Pasal 17 (1) Bank wajib mengakui kerugian karena adanya penurunan nilai permanen (permanent impairment) dari Penyertaan Modal. (2) Definisi dan perlakuan atas penurunan nilai permanen Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bagian Kedua Kualitas Penyertaan Modal Pasal 18 Kualitas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) ditetapkan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. sebagai pendapatan BAB V … - 12 - BAB V PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Bagian Pertama Perlakuan Akuntansi dan Penilaian Penyertaan Modal Sementara Pasal 19 (1) Nilai Penyertaan Modal Sementara pada saat dilakukan restrukturisasi kredit wajib didasarkan pada nilai wajar dari Perusahaan Debitur. (2) Penyertaan Modal Sementara wajib dinilai dengan metode biaya (cost method). (3) Bank tidak perlu melakukan konsolidasi laporan keuangan atas Penyertaan Modal Sementara kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil pengawasan. Pasal 20 (1) Bank wajib mengakui kerugian karena adanya penurunan nilai permanen (permanent impairment) dari Penyertaan Modal Sementara. (2) Definisi dan perlakuan atas penurunan nilai permanen Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bagian Kedua Kualitas Penyertaan Modal Sementara Pasal 21 (1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara dinilai berdasarkan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku dan kemungkinan penjualan Penyertaan … - 13 - Penyertaan Modal Sementara dalam batas waktu tersebut. (2) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut: a. lancar, apabila belum melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun; b. kurang lancar, apabila telah melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun namun belum melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun; c. diragukan, apabila telah melebihi jangka waktu 4 (empat) belum melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun; tahun dan d. macet, apabila Penyertaan Modal Sementara belum ditarik kembali meskipun Perusahaan Debitur telah memiliki laba kumulatif. (3) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai bahwa: a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan atau b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan. Pasal 22 Bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva terhadap Penyertaan Modal Sementara berdasarkan kualitas produktif (PPAP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 23 Dalam pelaksanaan Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan Bank Indonesia lain yang berlaku. BAB VI … - 14 - BAB VI TRANSPARANSI PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 24 (1) Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dalam Laporan Tahunan. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB VII PENGELOLAAN KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 25 (1) Bank wajib memiliki kebijakan tertulis mengenai Modal dan Penyertaan Modal Sementara. kegiatan Penyertaan (2) Direksi Bank wajib terlibat langsung dalam perumusan kebijakan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. (3) Kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disetujui komisaris Bank. (4) Komisaris Bank wajib mengawasi pelaksanaan kebijakan oleh kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 26 … - 15 - Pasal 26 (1) Bank wajib menetapkan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara. (2) Prosedur pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. analisa dan proses persetujuan; b. evaluasi secara berkala; c. perlakuan akuntansi dan metode penilaian (valuation method); d. jejak audit (audit trail); e. laporan berkala dari Investee dan Perusahaan Debitur; dan f. tindakan Bank apabila terjadi penurunan nilai Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara (contingency plan). Pasal 27 (1) Bank wajib membuat sistem pengendalian intern mengenai pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara secara tertulis. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang- kurangnya mencakup: a. kecukupan dan kesesuaian kebijakan serta prosedur; b. kecukupan metode penilaian; c. identifikasi risiko; d. kepatuhan terhadap ketentuan intern Bank dan peraturan perundang- undangan yang berlaku; e. pelaporan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara kepada direksi dan atau dewan komisaris Bank. BAB VIII … - 16 - BAB VIII LAIN-LAIN Pasal 28 Bank dilarang: a. melakukan penyertaan modal pada perusahaan bukan di bidang keuangan; b. melakukan divestasi Penyertaan Modal, kecuali kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; c. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan Penyertaan Modal pada perusahaan pemegang saham Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; d. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank memiliki kewajiban yang tidak terbatas atau kerugian yang tidak terbatas pada Investee. Pasal 29 Penyertaan pada Investee berupa Bank selain tunduk pada ketentuan ini juga mengacu kepada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku tentang Pembelian Saham Bank Umum dan tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. BAB IX SANKSI Pasal 30 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 dikenakan sanksi administratif… divestasi - 17 - administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan nilai tingkat kesehatan; c. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Bank wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 28 huruf c dan huruf d Peraturan Bank Indonesia ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Peraturan pelaksanaan lebih lanjut yang diperlukan dari Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 … Peraturan Bank - 18 - Pasal 33 (1) Definisi dan perlakuan terhadap Penyertaan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Pasal 10 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif yang mengatur mengenai kualitas Penyertaan Sementara disesuaikan dengan ketentuan ini. b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/66/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Penyertaan pada Bank dan Lembaga Keuangan Lain di Luar Negeri, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 Juni 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 66 DPNP Modal PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL UMUM Kegiatan penyertaan modal oleh Bank merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank untuk memperoleh pendapatan disamping kegiatan lainnya seperti penyaluran kredit, penanaman dana dalam bentuk surat- surat berharga dan kegiatan pasar uang antar Bank. Kegiatan penyertaan modal ini disatu pihak berpotensi mendatangkan keuntungan, namun di lain pihak perusahaan tempat penyertaan modal tersebut tetap memiliki risiko. Sementara itu, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan atau melakukan penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur dalam rangka restrukturisasi kredit. Oleh karena penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan juga mengandung risiko bagi Bank, maka Bank perlu mempertimbangkan secara mendalam mengenai kemampuan Bank, khususnya kondisi permodalan untuk pelaksanaan penyertaan modal. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria Bank yang layak melakukan penyertaan modal, batasan maksimum penyertaan modal, dan tata cara persetujuan atau penolakan permohonan untuk melakukan kegiatan penyertaan modal tertentu, serta larangan-larangan tertentu dalam kegiatan penyertaan modal. Dalam… - 2 - memperhatikan Dalam rangka meningkatkan prinsip kehati-hatian, Bank juga wajib perlakuan akuntansi dan kualitas penyertaan modal atau penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit. Disamping itu, Bank juga wajib menyusun kebijakan dan prosedur kegiatan penyertaan modal atau penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko dan pengendalian intern terhadap kegiatan dimaksud. Sementara itu, dalam rangka penilaian kualitas penyertaan modal yang dilakukan oleh Bank untuk kepentingan publik, kepada Bank juga diwajibkan untuk mengungkapkan eksposur penanaman dana tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Sebelum dan sesudah dilakukan Penyertaan Modal, rasio KPMM Bank wajib memenuhi ketentuan yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan mengganggu kelangsungan usaha Bank adalah penurunan kondisi usaha Bank secara signifikan antara lain dari aspek solvabilitas dan likuiditas, jika tidak dilakukan langkah- langkah perbaikan (corrective actions). Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat pada seluruh bidang usaha Bank (inherent risk) dan kecukupan sistem pengendalian … - 3 - pengendalian risiko (risk control system). Peningkatan profil risiko Bank secara material dapat berupa profil risiko yang semula diklasifikasikan berisiko rendah (low risk) menjadi berisiko moderat (moderate risk) atau berisiko tinggi (high risk). Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e dan Huruf f Kriteria Bank sedang dalam status pengawasan intensif atau pengawasan khusus mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Huruf g Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Penyertaan Modal merupakan komponen penyediaan dana yang diperhitungkan dalam BMPK. Jumlah Penyertaan Modal termasuk tambahan Penyertaan Modal karena penerimaan dividen dalam bentuk … - 4 - bentuk dividen saham. Ayat (2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal termasuk tambahan Penyertaan Modal karena penerimaan dividen dalam bentuk dividen saham. Ayat (3) Peningkatan Penyertaan Modal karena penerapan metode ekuitas tidak diperhitungkan dalam batasan Penyertaan Modal karena penambahan nilai Penyertaan Modal hanya bersifat sementara, yaitu hingga saat dividen dibagikan. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 … - 5 - Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penurunan permodalan Bank secara signifikan adalah apabila Modal Bank mengalami penurunan atau diperkirakan mengalami penurunan sehingga lebih rendah dari ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku. Peningkatan profil risiko Bank secara signifikan antara lain disebabkan oleh meningkatnya risiko reputasi atau risiko hukum yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Investee. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Termasuk dalam tindakan perbaikan (corrective actions) sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain divestasi seluruh atau sebagian Penyertaan Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Analisis profil risiko dilakukan tidak hanya terhadap Bank secara … - 6 - secara individual, namun konsolidasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Huruf h Dalam pelaksanaan analisis, Bank wajib mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: 1. karakteristik usaha Investee; 2. Penyertaan Modal yang telah dan akan dilakukan oleh Investee; 3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Huruf i Laporan keuangan tahun terakhir yang disampaikan adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Huruf j Cukup jelas. Huruf k … juga terhadap Bank secara - 7 - Huruf k Cukup jelas. Huruf l Termasuk perjanjian atau rencana perjanjian adalah perjanjian jual beli saham serta perjanjian atau rencana perjanjian yang merujuk pada Anggaran Dasar Investee. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan modal Investee dalam ayat ini adalah modal disetor Investee. Termasuk dalam kriteria pengendalian dalam ayat ini adalah: 1. Bank memiliki hak suara lebih dari 20% (dua puluh perseratus) berdasarkan suatu perjanjian dengan investor lainnya; 2. Bank memiliki hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional Investee, berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian; 3. Bank memiliki kewenangan untuk menunjuk memberhentikan mayoritas pengurus Investee; atau 4. Bank mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus Investee; 5. Bank … - 8 - 5. Bank memiliki atau mengendalikan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh perseratus) saham Investee dan merupakan pemegang saham terbesar dibandingkan dengan kepemilikan pihak lain dalam Investee; 6. Bank dan pihak terkait dengan Bank memiliki jumlah saham lebih dari 20% (dua puluh perseratus) dari modal Investee; 7. Aktivitas utama Investee memberikan manfaat bagi Bank; 8. Bank memiliki hak suara dan menjadi kreditur terbesar dari Investee; 9. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Huruf a Yang dimaksud perkiraan usaha adalah perkiraan usaha dari aspek keuangan dan non keuangan dari Investee sedangkan peluang pasar adalah peluang industri/pasar lembaga keuangan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 … dalam - 9 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam kaitan dengan prinsip kehati-hatian dan kesehatan Bank, Bank Indonesia dapat meminta komitmen tertulis dari pengurus Bank sebagai bagian dari persetujuan yang diberikan. Komitmen tersebut antara lain dapat berupa komitmen Bank bahwa Investee tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang diperkirakan mempengaruhi kondisi keuangan dan non keuangan Bank. Ayat (4) Termasuk dalam tindakan tertentu adalah perintah divestasi atas Penyertaan Modal. Pasal 14 Indikasi kesulitan pengawasan antara lain: 1. kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data dan informasi Investee; 2. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Investee; 3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas Investee di tempat kedudukan Investee; 4. Investee digunakan sebagai media untuk melakukan rekayasa keuangan. Pasal 15 … - 10 - Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah nilai yang terbentuk di bursa efek dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terakhir dan dengan volume transaksi yang cukup signifikan Penyertaan Modal yang dimiliki Bank. dibandingkan jumlah Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aktiva produktif. Pasal 19 … - 11 - Pasal 19 Ayat (1) Nilai wajar Perusahaan Debitur adalah jumlah yang dapat diperoleh dari suatu transaksi antara pihak-pihak yang bebas (arm’s length transaction), paham (knowledgeable) dan bukan karena paksaan atau likuidasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Bank wajib menarik kembali Penyertaan Modal Sementara apabila: a. telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Dalam ketentuan yang berlaku juga diatur bahwa Bank wajib menghapus buku … - 12 - menghapus buku dari neraca Bank apabila Penyertaan Modal Sementara telah melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun. Penetapan kualitas berdasarkan batas waktu pemilikan Penyertaan Modal Sementara dan kewajiban pembentukan PPAP sesuai kualitas tersebut dimaksudkan agar Bank tidak membentuk PPAP yang besar untuk penghapusbukuan pada akhir jangka waktu Penyertaan Modal Sementara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a dan Huruf b Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau kesulitan penjualan dalam jangka waktu 5 tahun antara lain disebabkan karena kelemahan dalam kondisi keuangan, manajemen perusahaan, kondisi pasar atau permintaan terhadap saham perusahaan. Pasal 22 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur mengenai penyisihan penghapusan aktiva produktif. Pasal 23 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengatur mengenai restrukturisasi kredit. rendahnya Pasal 24 … - 13 - Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam pengelolaan risiko dan pengendalian Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Kewajiban pembuatan prosedur tertulis berlaku bagi Bank yang memiliki kebijakan untuk melakukan atau akan melakukan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara. Ayat (2) Cukup jelas. intern dalam Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara. kegiatan Pasal 27 … - 14 - Pasal 27 Ayat (1) Sistem pengendalian intern secara tertulis merupakan bagian dari sistem pengendalian intern yang telah dimiliki Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Sistem pengendalian intern dimaksudkan sebagai mekanisme pengendalian dalam rangka checks and balance serta jejak audit yang jelas. Kewajiban pembuatan sistem pengendalian intern berlaku bagi Bank yang memiliki kebijakan untuk melakukan atau akan melakukan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Larangan ini dimaksudkan agar Bank terhindar dari eksposur Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki open-ended liability, seperti adanya letter of undertaking yang mengikat Investee secara akuntansi maupun secara hukum kepada pihak lain sedemikian rupa sehingga bank memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas. Pasal 29 … - 15 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis adalah perintah untuk melakukan divestasi. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4296
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/10/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title> <set_date> 11 Juni 2003 </set_date> <effective_date> 11 Juni 2003 </effective_date> <replaced_reg> '23/66/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 6 /PBI/2011 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka mendorong tumbuhnya industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat; b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status pengawasan khusus; c. bahwa dalam rangka penyehatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam status pengawasan khusus, diperlukan pengaturan yang memberikan landasan bagi penyehatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); 3. Undang-Undang ... - 3 - 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang ... - 4 - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang. 3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. BAB II BPRS DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPRS mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka BPRS tersebut ditetapkan dalam status pengawasan khusus. (2) Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen). (3) Bank ... - 5 - (3) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPRS yang bersangkutan mengenai penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus. Pasal 3 Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 antara lain: a. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi dan pemegang saham; b. meminta pemegang saham menambah modal; c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi BPRS; d. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian BPRS dengan modalnya; e. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain; f. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya; g. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS kepada pihak lain; dan/atau h. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS kepada pihak lain; dan/atau i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 ... - 6 - Pasal 4 BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib: a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak BPRS ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham Pengendali BPRS; b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPRS. (2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS. Pasal 6 ... - 7 - Pasal 6 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus. (2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan. BAB III LARANGAN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA Pasal 7 (1) BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki: a. rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. (2) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS keluar dari status pengawasan khusus. BAB IV ... - 8 - BAB IV JANGKA WAKTU Pasal 8 (1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk waktu yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap upaya- upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila waktu yang digunakan untuk penelitian melampaui batas waktu pengawasan khusus. (3) Dalam hal jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka jangka waktu pengawasan khusus tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya. BAB V PENAMBAHAN MODAL DAN PENCAIRAN SETORAN MODAL PADA ESCROW ACCOUNT Pasal 9 (1) Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah. (2) Bank... - 9 - (2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas penambahan modal BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memastikan bahwa penambahan modal tersebut telah sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia penambahan modal BPRS tidak memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka penambahan modal tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal. (4) BPRS dalam status pengawasan khusus yang telah melakukan penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan pencairan dana dalam escrow account dengan persetujuan Bank Indonesia. (5) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pencairan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah Bank Indonesia melakukan penelitian atas dana setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PERPANJANGAN JANGKA WAKTU Pasal 10 (1) Jangka waktu status pengawasan khusus BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. (2) BPRS dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat BPRS telah meningkatkan: a. rasio ... - 10 - a. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1% (satu persen). (3) BPRS yang tidak memenuhi ayat (2) namun sumber dana setoran modalnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen). (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama dalam batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sejak BPRS ditetapkan dalam pengawasan khusus. (5) Apabila BPRS menyampaikan permohonan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka dianggap tidak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. (6) Dalam hal batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka penyampaian permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Bank ... - 11 - (7) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus setelah melakukan penelitian atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). BAB VII BPRS DIKELUARKAN DARI STATUS PENGAWASAN KHUSUS Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen); dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen). (2) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bahwa: a. BPRS tersebut dikeluarkan dari status pengawasan khusus Bank Indonesia; dan b. larangan melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dicabut. (3) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang dikeluarkan dari status pengawasan khusus. BAB VIII ... - 12 - BAB VIII PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 12 (1) Selama jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dan b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata- rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen). (2) Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen). Pasal 13 ... - 13 - Pasal 13 Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS. Pasal 14 (1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada BPRS yang bersangkutan dan LPS. (2) Penyelesaian lebih lanjut BPRS yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB IX PENGUMUMAN Pasal 15 (1) Bank Indonesia mengumumkan BPRS yang ditetapkan: a. dalam status pengawasan khusus; b. dikeluarkan dari status pengawasan khusus; pada hari yang sama dengan tanggal penetapan. (2) Bank Indonesia mengumumkan penetapan BPRS yang: a. dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana; b. diperkenankan kembali melakukan penghimpunan dan penyaluran dana; pada ... - 14 - pada hari yang sama dengan tanggal penetapan. (3) BPRS wajib mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pada hari yang sama dengan tanggal penetapan larangan. (4) Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat. (5) Tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X PELAPORAN Pasal 16 (1) BPRS dalam status pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan neraca harian secara mingguan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada hari kerja pertama minggu berikutnya. BAB XI SANKSI Pasal 17 (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... - 15 - Pasal 7 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 15 ayat (3) dan/atau Pasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai uji kemampuan dan kepatutan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 (1) Tindak lanjut penanganan terhadap BPRS yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Jangka waktu pengawasan khusus yang telah dilalui oleh BPRS yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Larangan ... - 16 - (3) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPRS dalam pengawasan khusus yang ditetapkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku sampai dengan BPRS keluar dari status pengawasan khusus. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 21 ... - 17 - Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 12 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 6 /PBI/2011 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS I. UMUM Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri BPRS, diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat. Agar upaya penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPRS, komitmen pemilik dan alternatif peluang yang dimiliki. Menyadari pentingnya upaya tindak lanjut yang tepat sasaran maka diperlukan suatu ketentuan yang dapat memberikan pedoman sekaligus memberikan ruang bagi penanganan BPRS dalam status pengawasan khusus, dengan tetap memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas guna melindungi kepentingan publik. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang ... - 2 - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963), penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus serta dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh Bank Indonesia dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang mendalam atas laporan bulanan BPRS dan hasil pemeriksaan Bank Indonesia dan/atau informasi lain yang diterima Bank Indonesia, sebelum BPRS dinyatakan sebagai BPRS DPK. Keadaan ... - 3 - Keadaan suatu BPRS dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha BPRS semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan BPRS yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Ayat (2) Rasio KPMM dan CR merupakan posisi terakhir hasil penilaian Bank Indonesia sebelum BPRS dinyatakan sebagai BPRS DPK. Huruf a Rasio KPMM dihitung berdasarkan laporan bulanan, hasil pemeriksaan dan/atau informasi lain yang diterima Bank Indonesia. Huruf b CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung berdasarkan posisi laporan bulanan BPRS selama 6 (enam) bulan terakhir. Ayat (3) Pemberitahuan mengenai penetapan status BPRS dalam pengawasan khusus dilakukan melalui surat yang dapat disampaikan secara langsung dalam pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang saham BPRS, atau disampaikan secara tidak langsung melalui pos atau sarana lain. Pasal 3 ... - 4 - Pasal 3 Wewenang Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Huruf a Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus (tantiem) kepada Dewan Komisaris dan Direksi BPRS, pembayaran dividen, atau kenaikan gaji bagi pegawai, Dewan Komisaris dan Direksi BPRS. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h ... - 5 - Huruf h Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar BPRS yang bersangkutan, baik BPRS lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan. Huruf i Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud “action plan yang realistis” adalah telah mempertimbangkan kemampuan BPRS untuk melakukan penyehatan terutama perbaikan permodalan dan/atau likuiditas sehingga dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan action plan yaitu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan tersebut melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lama pada tanggal berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. Huruf d ... - 6 - Huruf d Permintaan penyesuaian action plan oleh Bank Indonesia dilakukan antara lain apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dan/atau target waktu penyelesaian yang disusun BPRS tidak sesuai dengan perkembangan kondisi BPRS sehingga action plan BPRS menjadi tidak realistis dan berpotensi tidak mencapai target. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan penghimpunan dana yang dilarang” adalah penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan/atau deposito yang sumber dananya berasal dari: a. Fresh money, berupa setoran tunai dan/atau melalui transfer ke rekening BPRS di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasan pembiayaan; b. Pemindahbukuan ... - 7 - b. Pemindahbukuan selain dari: 1) 2) akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama, akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dan karyawan BPRS yang bersangkutan ke akun tabungan. Yang dimaksud dengan “kegiatan penyaluran dana yang dilarang” adalah penyaluran pembiayaan baru, termasuk komitmen penyaluran pembiayaan yang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka restrukturisasi pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya perbaikan yang dilakukan oleh BPRS antara lain berupa penambahan modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 ... - 8 - Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penambahan modal” adalah dana setoran modal dari pemilik/calon pemilik yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah di Indonesia, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq BPRS yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan “Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penambahan modal telah sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku” adalah: a. Sumber dana setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. b. Bagi calon pemegang saham, yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan administratif, antara lain tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. c. Bagi calon pemegang saham pengendali, yang bersangkutan telah lulus uji kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) ... - 9 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan alasan yang mendukung dan action plan yang telah disesuaikan dengan adanya perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. Ayat (2) Contoh: Untuk dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus: 1. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio KPMM 1%, wajib meningkatkan rasio KPMM sebesar 75% x (4%-1%) atau sama dengan 2,25%, sehingga menjadi 3,25% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. 2. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio KPMM -14%, wajib meningkatkan rasio KPMM paling kurang sebesar 75% x [4%-(-14%)] atau sama dengan 13,5% sehingga menjadi -0,5%. Mengingat BPRS wajib meningkatkan rasio KPMM lebih besar 0%, maka BPRS wajib meningkatkan rasio ... - 10 - rasio KPMM lebih dari 14% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. Ayat (3) Bentuk komitmen antara lain berupa surat dari pemegang saham (gubernur/walikota/bupati) kepada Bank Indonesia yang menyatakan akan menambah modal disetor sesuai action plan paling lama sampai dengan berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang diberikan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “disampaikan kepada Bank Indonesia” adalah permohonan perpanjangan status pengawasan khusus telah diterima Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Dalam hal permohonan perpanjangan status pengawasan khusus disampaikan melalui pos, BPRS dalam status pengawasan khusus wajib pula mengirimkan surat beserta dokumen terkait melalui faksimili kepada Bank Indonesia pada hari yang sama. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 11 ... - 11 - Pasal 11 Ayat (1) Penetapan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus dilakukan tanpa menunggu penyelesaian proses hukum. Yang termasuk dalam proses hukum adalah proses yang dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku antara lain dalam rangka penambahan modal disetor, merger, konsolidasi, dan/atau akuisisi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Apabila pelaksanaan action plan BPRS dinilai tidak sesuai, tidak terdapat perbaikan kondisi keuangan dan/atau kondisi keuangan semakin memburuk maka Bank Indonesia setelah memberikan surat pembinaan kepada BPRS, meminta kepada LPS untuk memutuskan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 ... - 12 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. Pasal 15 Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPRS. Dalam hal dianggap perlu, selain pengumuman di kantor BPRS, dapat pula dilakukan pengumuman pada kantor kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPRS yang bersangkutan dan/atau melalui media massa setempat antara lain media cetak dan/atau media elektronik. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 13 - Ayat (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan neraca harian secara mingguan yaitu paling lambat pada hari kerja pertama minggu berikutnya melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5192 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/6/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title> <set_date> 24 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 24 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 24 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '7/34/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/25 /PBI/2003 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat, perlu ditingkatkan praktek-praktek good corporate governance di industri perbankan ; b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance tersebut, industri perbankan perlu dikelola dan dimiliki oleh pihak-pihak yang senantiasa memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan lain sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. bahwa sejalan dengan perkembangan perbankan yang dinamis dan tuntutan masyarakat akan sistem perbankan yang sehat, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang mempunyai pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan bank; d. bahwa … - 2 - d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3840); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3841); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 4. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; b. memiliki … - 4 - b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 5. Pengurus adalah Komisaris dan Direksi perusahaan atau Bank, atau yang setara dengan itu, termasuk antara lain tim pengawas dan tim pengelola Bank dalam penyehatan. 6. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud … - 5 - dimaksud dalam Pasal 29 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Cabang; e. bagi Kantor Perwakilan Bank Asing adalah Pemimpin Kantor Perwakilan. 8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang dan kepala Satuan Kerja Audit Intern; 9. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif. Pasal 2 (1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk namun tidak terbatas pada Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank. (3) Pengendalian terhadap Bank dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain sebagai berikut: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank; b. secara … Undang-undang Nomor 25 Tahun - 6 - b. secara langsung menjalankan manajemen dan atau mempengaruhi kebijakan Bank; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama- sama memiliki dan atau mengendalikan 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis; e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama- sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank; f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank; g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan atau memberhentikan Pengurus Bank; h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan manajemen dan atau kebijakan Bank; i. melakukan … - 7 - i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank; j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 3 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap: a. calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank; b. Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank; dan c. Pejabat Eksekutif Bank dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan: 1) dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank; dan atau 2) atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan operasional Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing. BAB II PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI Bagian Pertama Faktor Yang Dinilai Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pemegang Saham Pengendali memenuhi persyaratan: a. integritas; dan b. kelayakan keuangan. Pasal 5 … - 8 - Pasal 5 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL. Pasal 6 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi: a. persyaratan kemampuan keuangan; b. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian kemampuan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai: 1) tidak termasuk dalam daftar kredit macet; 2) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan; dan 3) bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; c. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah. antara lain Bagian … - 9 - Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 7 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham Pengendali diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pembelian saham Bank melalui program divestasi saham negara dalam rangka penyertaan modal sementara oleh instansi Pemerintah yang berwenang, maka permohonan persetujuan dapat diajukan oleh instansi Pemerintah yang berwenang tersebut. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) diberikan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 8 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; b. wawancara. (2) Sebagai bagian dari proses persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta Bank, Pemegang Saham Pengendali dan atau pihak-pihak yang melakukan Pengendalian untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka pengembangan operasional Bank yang sehat. Pasal 9 … - 10 - Pasal 9 (1) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan dan pengurusnya, serta pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders). (2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders tersebut memberikan data dan dokumen yang dipersyaratkan dalam penilaian kemampuan dan kepatutan, Bank Indonesia dapat menetapkan ultimate shareholders lain yang dapat mewakili pemerintah dengan didukung oleh dokumen yang sah. (3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan persyaratan administratif dan menjalani wawancara. (4) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat menetapkan pihak-pihak lain yang juga melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan atau menjalani wawancara. (5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 10 … - 11 - Pasal 10 Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank adalah pemerintah, maka pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b hanya dilakukan apabila dianggap perlu. Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 11 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan atau hasil wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Lulus; b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44, maka apabila dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 12 … - 12 - Pasal 12 (1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Bank dimaksud. (2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Bank dimaksud. (3) Calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat diajukan kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, apabila telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 13 (1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang belum disetujui oleh Bank Indonesia, namun telah memiliki saham Bank, dilarang melakukan tindakan sebagai Pemegang Saham Pengendali. (2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki saham Bank, namun dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dinyatakan Tidak Lulus, diwajibkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada Bank yang bersangkutan. (3) Apabila … - 13 - (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon Pemegang Saham Pengendali yang memiliki saham tersebut tidak mengalihkan kepemilikan sahamnya, maka yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham Bank. (4) Bank dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 14 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara tertulis kepada Bank dalam bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (2) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. BAB III PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS BANK Bagian Pertama Faktor Yang Dinilai Pasal 15 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pengurus memenuhi persyaratan: a. integritas … - 14 - a. integritas; b. kompetensi; dan c. reputasi keuangan. Pasal 16 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL. Pasal 17 (1) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 15 huruf b meliputi: a. bagi calon Komisaris: 1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan atau 2) pengalaman di bidang perbankan; b. bagi calon Direksi: 1) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1); 2) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau bidang keuangan; dan 3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. (2) Pemenuhan … - 15 - (2) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau bidang keuangan bagi calon Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b angka 2), tunduk pula pada Peraturan Bank Indonesia yang berlaku yang mengatur bahwa mayoritas anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional Bank sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada Bank. Pasal 18 Persyaratan reputasi keuangan bagi calon Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi: a. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan. Bagian kedua Tata Cara Penilaian Pasal 19 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pengurus diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (2) Calon Pengurus yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maksimal berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam … - 16 - (3) Dalam hal Bank berada dalam program penyehatan oleh instansi Pemerintah yang berwenang, maka permohonan persetujuan calon Pengurus dapat diajukan oleh instansi Pemerintah yang berwenang tersebut. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 20 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; b. wawancara. (2) Dalam hal calon yang dimintakan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai Pengurus Bank sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota, namun yang bersangkutan tidak disetujui oleh Bank Indonesia, maka Bank melalui Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota wajib memberhentikan yang bersangkutan. (3) Calon Pengurus Bank yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang melakukan tugas sebagai Direksi atau Komisaris dalam kegiatan operasional Bank dan atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Bank, walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Bagian … - 17 - Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 21 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan atau wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Lulus; b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon Pengurus pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44, maka apabila yang bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 22 (1) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi Komisaris atau Direksi Bank dimaksud. (2) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi Komisaris atau Direksi Bank dimaksud. Pasal 23 … - 18 - Pasal 23 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 secara tertulis kepada Bank dalam bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4). (2) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. BAB IV PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Pertama Faktor yang Dinilai Pasal 24 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai: a. faktor integritas dan kelayakan keuangan dari Pemegang Saham Pengendali; b. faktor integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif. Pasal 25 (1) Faktor integritas bagi Pemegang Saham Pengendali yaitu tidak pernah dilakukannya tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa: a. perbuatan … - 19 - a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah; c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank; dan atau d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan. (2) Faktor kelayakan keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, yaitu: a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan atau c. kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank. Pasal 26 (1) Faktor integritas bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif, yaitu tidak pernah dilakukannya tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: a. tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan b. perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak independen. (2) Faktor kompetensi bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. keahlian … - 20 - b. keahlian dan pengalaman di bidang perbankan dan atau bidang keuangan; dan c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. (3) Faktor reputasi keuangan bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi: a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan atau b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit. Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 27 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. pengumpulan informasi; b. pelaksanaan pemeriksaan; c. konfirmasi hasil penilaian sementara berdasarkan temuan pemeriksaan dengan pihak-pihak yang dinilai; d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil penilaian sementara; e. pembahasan … - 21 - e. pembahasan atas tanggapan/keberatan dari pihak-pihak yang dinilai serta penyesuaian hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia; f. penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e kepada pihak-pihak yang dinilai; g. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf f; h. pembahasan ulang terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang dinilai oleh Bank Indonesia; i. pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Bank Indonesia; j. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. (2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal konfirmasi hasil penilaian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c. (3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f. (4) Dalam hal pihak-pihak yang dinilai tidak menggunakan hak untuk menyampaikan tanggapan atau keberatan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), maka hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sepenuhnya didasarkan pada hasil penilaian Bank Indonesia. Pasal 29 … - 22 - Pasal 29 Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dapat meliputi cakupan pemeriksaan sebelumnya. Pasal 30 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali yang akan dinilai. (2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. (3) Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh pihak- pihak yang bersangkutan dalam tahapan-tahapan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 31 (1) Berdasarkan tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) predikat, yaitu: a. Lulus … - 23 - a. Lulus; b. Lulus Bersyarat; c. Tidak Lulus. (2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot terhadap aspek yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Bagian Keempat Konsekuensi Hasil Penilaian Pasal 32 (1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif. (2) Dalam hal pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus, kemudian diketahui memiliki kredit macet pada Bank dan atau BPR, maka predikat yang diberikan akan diturunkan menjadi Lulus Bersyarat. (3) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan Pengurus dari suatu badan hukum yang memiliki kredit macet. Pasal 33 Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat dinyatakan memenuhi syarat untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif dengan kewajiban memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Pasal 34 … - 24 - Pasal 34 (1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat diwajibkan untuk: a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan perbuatan serupa; b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau Pasal 26 ayat (1); c. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun; d. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki pada Bank dan atau BPR dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun; dan atau e. menyampaikan dan melaksanakan langkah-langkah berupa action plan dalam rangka memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan pemodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c. (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan atau huruf b wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Pasal 35 (1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat karena memiliki kredit macet dan telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d dan atau telah memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e, dapat diberikan predikat Lulus. (2) Pihak … - 25 - (2) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat yang disebabkan oleh faktor kompetensi dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c, dapat diberikan predikat Lulus. Pasal 36 Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi: a. Pemegang Saham Pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus) pada Bank atau BPR; dan atau b. Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank dan atau BPR. Pasal 37 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a wajib menyampaikan pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta dalam Pengendalian Bank dan atau BPR, baik langsung maupun tidak langsung. (2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus), yang bersangkutan wajib menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. Pasal 38 … - 26 - Pasal 38 (1) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a tidak dapat menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak- haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus); dan b. Bank wajib melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang bersangkutan sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus). (2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada keluarga dan atau kelompok usaha dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, Bank dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-haknya sebagai Pemegang Saham. (3) Bank Indonesia dapat mengecualikan atau memperpanjang jangka waktu kewajiban penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. (4) Apabila setelah pemberian pengecualian atau perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang bersangkutan tidak dapat memenuhi komitmen yang diberikan kepada Bank Indonesia dan atau Pemerintah, maka yang bersangkutan akan dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu pengenaan larangan selama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 39 … - 27 - Pasal 39 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1), wajib mengundurkan diri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan tugas operasional Bank dan atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Bank. (3) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri, maka: a. pemegang saham Bank wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memberhentikan yang bersangkutan; b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan Bank yang diwakili oleh Pengurus Bank yang bersangkutan; dan c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. Pasal 40 (1) Atas kewajiban pengunduran diri Pengurus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) ditetapkan hal-hal sebagai berikut: a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus Bersyarat, dan Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan kegiatan … - 28 - kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pemegang saham wajib segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota dalam diri atau pemberhentian Pengurus yang jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari untuk mengesahkan pengunduran Tidak Lulus; dinyatakan b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus Bersyarat, dan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka waktu yang ditetapkan, atau kepengurusan Bank yang masih ada dinilai dapat mengganggu kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Bank wajib melaporkan pengunduran diri atau pemberhentian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Pasal 41 (1) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri, maka Bank bersangkutan. wajib memberhentikan yang …(2) Bank … - 29 - (2) Bank wajib melaporkan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) atau pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan pengunduran atau pemberhentian. Pasal 42 (1) Pengenaan larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ditetapkan dengan jangka waktu sebagai berikut: a. selama 2 (dua) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh tidak material pada permodalan Bank; b. selama 3 (tiga) tahun, apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh cukup material pada permodalan Bank; c. selama 5 (lima) tahun, apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan: 1) mengakibatkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada permodalan Bank; atau 2) merupakan penyimpangan manajerial dan atau operasional perbankan yang bersifat serius (serious misconduct). (2) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun: a. tidak dapat menyelesaikan kewajiban kredit macet dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d; atau b. dinilai … - 30 - b. dinilai tidak dapat meningkatkan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c, dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu pengenaan larangan ditetapkan selama 2 (dua) tahun. (3) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun tidak bersedia memenuhi ketentuan atau melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a atau huruf b dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu pengenaan larangan ditetapkan selama 5 (lima) tahun. (4) Pengurus Bank yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu pengenaan larangan ditetapkan selama 3 (tiga) tahun, setelah yang bersangkutan diberikan 2 (dua) kali surat teguran dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari. Pasal 43 Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif dapat dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila: a. Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus tidak bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. Pemegang Saham Pengendali melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); c. Pemegang … - 31 - c. Pemegang Saham Pengendali tidak memenuhi komitmen kepada Bank Indonesia dan atau Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4); d. Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat dalam rangka penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3); atau e. Pengurus dan Pejabat Eksekutif dinyatakan memiliki predikat Tidak Lulus, namun tidak bersedia mengundurkan diri. Pasal 44 (1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Bank Indonesia dapat menetapkan pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagai pihak-pihak yang Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun, apabila: a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan menggunakan Bank sebagai sarana atau sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan; atau c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penetapan … - 32 - (2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal 45 (1) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 dilarang menjadi pihak yang melakukan Pengendalian, pemegang saham, Pengurus dan Pejabat Eksekutif pada seluruh Bank dan atau BPR. (2) Pihak-pihak yang dilarang melakukan Pengendalian atau menjadi pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib segera melepaskan seluruh kepemilikannya pada seluruh Bank dan atau BPR dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat melepaskan seluruh kepemilikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak- haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR; dan b. Bank dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang bersangkutan. (4) Bank Indonesia dapat mengecualikan atau memperpanjang jangka waktu kewajiban melepaskan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 46 … - 33 - Pasal 46 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan secara tertulis kepada Bank dan kepada pihak yang dinilai. (2) Selain kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Bagian Kelima Permohonan Kembali untuk Menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pemegang Saham, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank, dan Peninjauan Kembali Pasal 47 (1) Pihak-pihak yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1), dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif, apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 telah terlampaui. (2) Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1) dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali dan atau calon pemegang saham pada Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus) sebelum berakhirnya … - 34 - berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, sepanjang badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam penilaian kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus. (3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan telah dinilai memenuhi persyaratan oleh Bank Indonesia untuk menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif Bank memperoleh penilaian dengan predikat Lulus Bersyarat dan wajib membuat pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau kembali menjadi pemilik dan calon Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. (5) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pejabat Eksekutif Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. (6) Bank Indonesia dapat menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain apabila: a. yang bersangkutan masih mempunyai perkara yang belum diselesaikan dalam proses pengadilan; b. yang bersangkutan melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 48 … - 35 - Pasal 48 (1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat atau Tidak Lulus, dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat bukti baru yang kuat dan relevan. (2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan wewenang Bank Indonesia sepenuhnya. BAB V PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF KANTOR CABANG DAN PEMIMPIN KANTOR PERWAKILAN DARI BANK ASING Pasal 49 (1) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Pengurus dari Kantor Cabang Bank Asing atau calon pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif dari Kantor Cabang Bank Asing dan pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VI … - 36 - BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 50 Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila berdasarkan proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius (serious misconduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c angka 2, dan patut diduga mengandung unsur tindak pidana dengan menggunakan Bank sebagai sarana atau sasaran. Pasal 51 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank. (2) Dalam hal Bank, pihak-pihak yang dinilai dan pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46 memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 52 Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari: a. Pemegang Saham Pengendali dan atau pemegang saham yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan melepaskan kepemilikan; tidak bersedia menurunkan kepemilikan dan atau b. Pengurus… - 37 - b. Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif; dan atau c. Pengurus yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif yang dinyatakan Tidak Lulus. Pasal 53 (1) Bank wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali Bank. (2) Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun. (3) Rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum terjadinya perubahan. (4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali Bank atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Bank wajib mengajukan calon Pemegang Saham Pengendali dan Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Bab II Peraturan Bank Indonesia ini. (5) Penilaian … - 38 - (5) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 54 Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali Bank, apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank. Pasal 55 (1) Bank wajib mengungkapkan ultimate shareholders Bank dalam Laporan Keuangan Publikasi Bank Triwulanan dan Laporan Tahunan Bank. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang saham Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 56 Calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank selain wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan … - 39 - persyaratan mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku beserta perubahan dan atau penggantinya. BAB VII SANKSI Pasal 57 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pasal 20 ayat (2), Pasal 38 ayat (1) huruf b dan ayat (2), atau Pasal 45 ayat (3) huruf b, dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis; b. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), dan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dengan jumlah setinggi-tingginya Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Bank … - 40 - (3) Bank yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dikenakan sanksi karena tidak menyajikan informasi sesuai ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank. (4) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 huruf a, Pasal 39 ayat (3) huruf a, Pasal 40 ayat (1) huruf a dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (5) Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 58 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 59 … - 41 - Pasal 59 (1) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka pihak-pihak yang masuk dalam daftar mengenai orang-orang tertentu yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang Dilarang menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, khususnya pihak-pihak yang berasal dari Bank Umum, dinyatakan sebagai pihak-pihak yang Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun. (2) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimulai sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 Ketentuan pelaksanaan tentang penilaian kemampuan dan kepatutan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 61 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang Yang Dilarang Menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum; b. Peraturan … - 42 - b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 62 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 10 November 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 124 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/25 /PBI/2003 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) UMUM Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan- perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Bank sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi, mempunyai kompetensi yang memadai, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik. Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan yang berkualitas dan mampu setiap saat menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang dinilai mempunyai pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan Bank. Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek pengawasan Bank yang lazim diterapkan secara internasional. Penilaian … - 2 - Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pengawasan Bank oleh Bank Indonesia dan perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya pengelolaan Bank oleh sumber daya manusia perbankan yang berintegritas, kompeten, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik. Selain memperhatikan faktor-faktor integritas, kompetensi, serta kelayakan keuangan atau reputasi keuangan, penilaian kemampuan dan kepatutan juga mengandung faktor pertimbangan (judgement) yang bersumber pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta proses yang transparan. Penilaian kemampuan dan kepatutan ini selain dilakukan terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank juga dilakukan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank. Terhadap pihak-pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, Bank Indonesia akan melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan atau dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk: a. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank; b. saham Bank yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank; c. saham Bank yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali Bank; d. saham Bank yang dimiliki e. oleh anak perusahaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank; saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama pengendali Bank (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu; f. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali Bank; g. saham Bank lainnya selain saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh pengendali Bank. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah: a. Komisaris … - 4 - a. b. Komisaris, Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali Bank; pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali Bank, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali Bank; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali Bank baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus. Pasal 3 Huruf a Bank dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Pemegang Saham Pengendali. Termasuk dalam pengertian calon Pemegang Saham Pengendali antara lain adalah pemegang saham yang menjadi Pemegang Saham Pengendali karena terjadinya pengalihan saham Bank secara internal atau … - 5 - atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank, right issue saham Bank dan atau pengajuan diri secara sukarela menjadi Pemegang Saham Pengendali. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan pula apabila terjadi peralihan jabatan dari Komisaris menjadi Direksi pada Bank yang sama. Terhadap peralihan jabatan dari Direksi menjadi Komisaris dan atau dari anggota Direksi atau anggota Komisaris ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank yang sama, hanya dilakukan penilaian secara administratif. Penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan dalam hal perpanjangan jabatan Direksi atau Komisaris. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Huruf a Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum … - 6 - dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan Bank sebagai sarana atau sasaran dan atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan atau negara secara tidak wajar dan atau melawan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Termasuk dalam hal ini adalah komitmen calon Pemegang Saham Pengendali untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas dan permodalan Bank sesuai ketentuan yang berlaku. Huruf d Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali merupakan badan hukum maka yang bersangkutan wajib menyampaikan hasil analisa kemampuan keuangan badan hukum pada saat ini dan proyeksinya untuk jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh konsultan independen. Huruf b Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila calon Pemegang Saham Pengendali mempunyai kredit macet dan atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf c … - 7 - Huruf c Yang dimaksud dengan hutang dalam huruf ini termasuk hutang dari perusahaan atau kelompok usaha yang dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali. Yang dimaksud dengan hutang yang jatuh tempo dan bermasalah adalah hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi kredit sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 7 Ayat (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham Pengendali diajukan oleh Bank berdasarkan inisiatif Bank, inisiatif calon Pemegang Saham Pengendali atau atas permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, track record, penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur kepemilikan calon Pemegang Saham Pengendali. Penelitian … - 8 - Penelitian terhadap track record termasuk penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus, namun dalam penilaian kembali telah dinilai memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau menjadi pemilik Bank. Huruf b Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Ayat (2) Komitmen tertulis tersebut antara lain berupa: a. komitmen Bank untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang diperkirakan memperburuk kondisi keuangan dan non keuangan Bank, seperti pembagian dividen. b. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk secara transparan melaporkan rencana pengalihan kepemilikan saham perusahaan yang mengakibatkan perubahan pengendali Bank. c. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak yang melakukan Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan kepemilikan sahamnya di Bank dalam jangka waktu tertentu. d. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian termasuk ultimate shareholders untuk tidak menerima penyediaan dana dan atau fasilitas apapun yang tidak wajar dari Bank. Pasal 9 … - 9 - Pasal 9 Ayat (1) Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka ultimate shareholders adalah orang-perseorangan yang memiliki saham dan merupakan pengendali badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank. Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank tidak memiliki pengendali maka badan hukum tersebut merupakan ultimate shareholders. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan persyaratan administratif dalam ayat ini adalah persyaratan dokumen bagi calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 10 Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia, baik tingkat Pusat maupun Daerah. Pasal 11 … - 10 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan sebagai Pemegang Saham Pengendali dalam ayat ini antara lain: a. mempengaruhi kebijakan Bank; b. hadir dan atau memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dalam kapasitas sebagai Pemegang Saham Pengendali; c. menerima dividen sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya sebagai Pemegang Saham Pengendali. Ayat (2) … - 11 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dan hak untuk memperoleh dividen. Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal Bank sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan pemegang saham. Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Persyaratan integritas pihak yang dinilai didasarkan antara lain dari track record, predikat hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan … - 12 - diberikan kepada calon Pengurus Bank baik Lulus atau Lulus Bersyarat, atau pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pengurus Bank. Huruf a Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan Bank sebagai sarana atau sasaran dan atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan atau negara secara tidak wajar dan atau melawan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional Bank. Angka 2)… - 13 - Angka 2) Yang dimaksud dengan pengalaman di bidang perbankan, antara lain adalah pengalaman di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan. Huruf b Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan keahlian di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum, yang berkaitan dengan bidang perbankan dan atau keuangan. Angka 3) Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi Bank dan analisa situasi industri perbankan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. Yang … - 14 - Yang dimaksud dengan Bank dalam ayat ini adalah Bank Umum konvensional dan atau Bank Syariah. Pasal 18 Huruf a Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila calon Pengurus mempunyai kredit macet dan atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf b Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank dimiliki oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, maka permohonan persetujuan calon Pengurus Bank dapat diajukan oleh Pemerintah atau instansi yang mewakili. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan Ketenagakerjaan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 … - 15 - Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian dokumen persyaratan administratif, track record serta penelitian reputasi keuangan calon Pengurus Bank. Huruf b Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan kegiatan operasional adalah kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 22 … - 16 - Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan pemegang saham. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan dan atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi keuangan dan atau transaksi yang sebenarnya, antara lain seperti: 1) penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan Bank; 2) transaksi … - 17 - 2) transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva Bank serta transaksi rekening administratif; 3) kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan Bank; 4) praktek Bank dalam Bank atau usaha Bank di luar pembukuan Bank; 5) window dressing dalam pembukuan atau laporan Bank yang secara materil berpengaruh terhadap keadaan keuangan Bank sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap Bank; atau 6) kerjasama yang tidak wajar sehingga salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri. Huruf b Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen. Huruf c Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank. Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan keuangan di masa yang akan datang. Huruf d … - 18 - Huruf d Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, Pemantauan Likuiditas Bank Umum dan Giro Wajib Minimum. Ayat (2) Huruf a Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali yang menjadi Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Komitmen yang dimaksud dalam huruf ini adalah pernyataan sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan (Letter of Comfort) yang dipersyaratkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 19 - Huruf b Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank. Ayat (2) Penilaian terhadap faktor kompetensi didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif sesuai uraian tugas yang ada pada Bank yang bersangkutan. Huruf a Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional Bank. Huruf b Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau bidang keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan dan atau keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan untuk perbankan … - 20 - perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi Bank dan analisa situasi industri perbankan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Penilaian sewaktu-waktu dilakukan apabila dari hasil pengawasan tidak langsung, pengawasan langsung (pemeriksaan), dan atau informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui adanya indikasi penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. Huruf b Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka penilaian kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan melalui pemeriksaan khusus atau secara bersamaan dengan pemeriksaan lainnya. Huruf c Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok usaha, maka konfirmasi hasil penilaian kemampuan dan kepatutan disampaikan kepada seluruh anggota kelompok usaha yang terkait dengan Bank. Huruf d … - 21 - Huruf d Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf e Cukup jelas Huruf f Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis. Huruf g Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 … - 22 - Pasal 30 Ayat (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank dilakukan apabila terdapat indikasi permasalahan integritas dan kelayakan keuangan. Ayat (2) Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah apabila Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali juga diberikan predikat Tidak Lulus. Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam kelompok Pemegang Saham Pengendali. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 … - 23 - Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Pernyataan tertulis dan kewajiban yang diminta untuk dilakukan disesuaikan dengan penyebab diberikannya predikat Lulus Bersyarat. Ayat (1) Huruf a dan huruf b Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Huruf c Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui upaya yang bersangkutan untuk menambah pengetahuan. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Huruf d Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis dari Bank dan atau BPR pemberi kredit yang … - 24 - yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah dilunasi atau kredit dimaksud tidak lagi termasuk dalam kualitas macet. Kewajiban penyelesaian kredit macet bagi pihak-pihak yang merupakan pengurus badan hukum yang tercatat memiliki kredit macet dianggap telah terpenuhi apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan hukum tersebut dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank Indonesia. Perhitungan jangka waktu penyelesaian kredit macet dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j . Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Pemenuhan kewajiban untuk menyampaikan surat pernyataan oleh pihak yang Lulus Bersyarat tidak mengakibatkan status yang bersangkutan menjadi Lulus namun yang bersangkutan dapat tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 36 … - 25 - Pasal 36 Pengenaan sanksi larangan dalam Pasal ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan atau tindakan yang diberikan predikat Tidak Lulus pada suatu Bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang bersangkutan telah menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank dan atau BPR lain. Pasal 37 Ayat (1) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud maka yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan wewenang sebagai Pemegang Saham Pengendali, kecuali hak untuk menerima dividen. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (2) Perhitungan jangka waktu 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 26 - Huruf b Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham hanya dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus). Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank. Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk memperoleh dividen. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur mengenai Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada instansi yang berwenang, Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, dan atau ketentuan serta perjanjian yang berkaitan dengan program rekapitalisasi perbankan nasional termasuk program penjaminan pemerintah. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengunduran diri dalam ayat ini adalah pengunduran diri yang bersangkutan dari Bank . Pernyataan … - 27 - Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 42 … - 28 - Pasal 42 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Termasuk dalam pengertian kerugian pada permodalan Bank adalah berkurangnya keuntungan Bank dan atau potensi kerugian yang ditimbulkan. Ayat (2) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (3) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 43 Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 44 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Huruf a … - 29 - Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan bertanggung jawab menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan, antara lain adalah: 1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan atau 2) melanggar ketentuan dan atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank bermasalah berat sehingga di take over Pemerintah, dibekukan kegiatan usahanya dan atau dicabut ijin usahanya. Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 30 - Huruf b Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk memperoleh dividen. Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun modal Bank sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada instansi yang berwenang atau ketentuan dan perjanjian yang berkaitan dengan program rekapitalisasi perbankan nasional. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan pemegang saham. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 31 - Ayat (2) Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan memuat pernyataan tidak akan melakukan dan atau mengulangi perbuatan dan atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan tentang faktor kompetensi, integritas dan atau kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan perkara dalam huruf ini adalah perkara yang terkait dengan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam huruf ini antara lain ketentuan tentang ketenagakerjaan atau keimigrasian. Pasal 48 … - 32 - Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini bersifat independen dengan mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan relevan yang dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan, informasi atau keputusan dari instansi atau lembaga lain akan digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan keputusan Bank Indonesia tersebut. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 33 - Ayat (2) Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada Pengurus Bank dan pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46. Pasal 52 Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website Bank Indonesia. Pasal 53 Ayat (1) Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat seluruh perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian dan atau memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders. Laporan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali dilaporkan untuk posisi 31 Desember 2003. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) … - 34 - Ayat (5) Cukup jelas Pasal 54 Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan Bank antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan pengendali Bank. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Contoh pengungkapan informasi pengendali terakhir (ultimate shareholders): 1. Tuan X melalui PT. ABC …% saham Bank. 2. Tuan Z melalui: - PT. A…% saham Bank, - PT. B …% saham Bank,dan - PT. C …% saham Bank. Pasal 56 Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan kepengurusan yang berlaku dalam ayat ini antara lain adalah ketentuan mengenai Bank Umum, Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang … - 35 - Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri, Pembelian Saham Bank Umum, dan Merger, Konsolidasi dan Akusisi Bank, serta Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan mengenai sanksi yang dimaksud dalam ayat ini saat ini adalah Pasal 38 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 58 Ayat (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain namun tidak terbatas pada penilaian kemampuan dan kepatutan yang didasarkan pada: a. Surat … - 36 - a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 52/KMK.017/1999 31/11/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 tentang Pembentukan Komite Kebijakan, Komite Evaluasi, dan Komite Tehnis dalam rangka pelaksanaan program rekapitalisasi Bank Umum; b. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum; c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit & Proper Test); dan d. Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit & Proper Test). Ayat (2) Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 … - 37 - Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4334 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/25/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title> <set_date> 10 November 2003 </set_date> <effective_date> 10 November 2003 </effective_date> <replaced_reg> '27/118/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '2/23/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '29/PP/1999', '28/PP/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/38/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah diperlukan dukungan pasar keuangan yang sehat, khususnya di pasar valuta asing domestik; c. bahwa transaksi valuta asing mencakup transaksi derivatif yang memiliki potensi risiko sehingga perlu dilakukan upaya untuk meminimalkan risiko melalui penerapan prinsip manajemen risiko dalam operasional Bank yang sehat dan berhati-hati; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia mengenai transaksi derivatif; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran ... -2- (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 85), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 dihapus. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 ... -3- Pasal 7 (1) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif yang merupakan turunan dari nilai tukar, suku bunga, dan/atau gabungan nilai tukar dan suku bunga. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperkenankan sepanjang bukan merupakan structured product yang terkait dengan transaksi valuta asing terhadap rupiah. 3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap: a. Pasal 2 ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar. b. Pasal 3 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. c. Pasal 4 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. d. Pasal 5 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank umum. e. Pasal 7, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dikenakan sanksi sebagai berikut: 1) teguran tertulis; 2) penurunan tingkat kesehatan bank; 3) pembekuan kegiatan usaha tertentu; 4) pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau 5) pemberhentian ... -4- 5) pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 199 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 38 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF I. UMUM Stabilitas nilai tukar rupiah perlu didukung oleh kegiatan operasional Bank yang sehat dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Kegiatan operasional Bank terutama transaksi keuangan, yang meliputi transaksi derivatif memiliki risiko sehingga perlu dilakukan penyesuaian pengaturan. Oleh karena itu pengaturan yang terkait dengan upaya stabilisasi nilai tukar seperti pelarangan transaksi margin trading valuta asing terhadap rupiah, pelarangan pemberian kredit dan/atau cerukan (overdraft) untuk transaksi derivatif, akan diatur tersendiri dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) ... -2- Ayat (2) Pengertian structured product mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang transaksi valuta asing terhadap rupiah. Angka 3 Pasal 11 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4946
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/38/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF </reg_title> <set_date> 16 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 16 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 16 Desember 2008 </issued_date> <changed_reg> '7/31/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 11 Huruf e' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/23/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa giro wajib minimum sebagai salah satu instrumen moneter dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan kondisi likuiditas perbankan, kemampuan perbankan, dan arah kebijakan Bank Indonesia; b. bahwa untuk menjaga likuiditas perbankan syariah, memberikan kepastian jumlah giro wajib minimum yang harus dipelihara dan lebih memudahkan pemahaman, perlu dilakukan penyesuaian atas perhitungan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga sebagai penentu tambahan giro wajib minimum bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam … asing bagi bank umum yang besarnya -2 - dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I … -3 - Pasal I Ketentuan Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dihitung dengan membandingkan jumlah Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya. (2) Pembiayaan dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data Pembiayaan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (3) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data giro, tabungan, deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pasal II … -4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 80 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/23/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Sebagai salah satu instrumen moneter, penetapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan, kemampuan perbankan melakukan fungsi intermediasi, dan arah kebijakan Bank Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut di atas, untuk lebih memudahkan pemahaman dan memberikan kepastian jumlah giro wajib minimum yang harus dipelihara oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan perhitungan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga. PASAL … -2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 11 Ayat (1) Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah adalah sebagai berikut: Jumlah Pembiayaan dalam rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya --------------------------------------------------------------- x 100% Jumlah DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan dan DPK Bank sebagai berikut: a. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal sebelumnya; 23 bulan b. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal bulan 15 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah pada akhir sebelumnya; c. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan … -3 - laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 7 bulan yang sama; d. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4649
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/23/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date> <changed_reg> '6/21/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 22 /PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika (koleksi uang) di Indonesia; b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika di Indonesia, dipandang perlu untuk mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan; c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 dalam bentuk uang kertas bersambung; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Khusus Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009 Dalam Bentuk Uang Kertas Bersambung; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara . . . -2- Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG. Pasal . . . -3- Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang adalah uang rupiah. 2. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya. 3. Uang Kertas Bersambung adalah lembaran Uang yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 50 (lima puluh) lembar (bilyet) dan masih merupakan satu kesatuan. Pasal 2 (1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 dalam bentuk Uang Kertas Bersambung. (2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 50 (lima puluh) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan. Pasal 3 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan paling banyak: a. 3.000 (tiga ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1.600 (seribu enam ratus) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang terdiri dari 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal . . . -4- Pasal 4 (1) Setiap lembar (bilyet) Uang dalam Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). (2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri dari: a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp4.000,00 (empat ribu rupiah); b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah); atau c. 50 (lima puluh) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pasal 5 (1) Jenis lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 141 mm x 130 mm; b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 141 mm x 260 mm; c. lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 705 mm x 650 mm. (2) Setiap lembaran Uang Khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. (3) Ciri setiap lembar (bilyet) Uang yang terdapat pada Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: a. Warna . . . -5- a. Warna bagian muka dan bagian belakang Uang dicetak dengan warna dominan abu-abu; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN ANTASARI”; b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “2000”; e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi (rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah kotak persegi panjang; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang . . . -6- panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; 2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah Kalimantan; 3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar; 4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa . . . -7- berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “2000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah Uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi “2009”; h) mikroteks . . . -8- h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; 2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal; 3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm; 3. warna abu-abu; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; 6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang- ulang. Pasal 6 Harga Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal . . . -9- Pasal 7 (1) Pengedaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, dengan cara penjualan secara langsung. (2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penjualan secara langsung dilakukan dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi: a. penjualan perdana (di awal periode pengeluaran); b. apabila terjadi kelebihan permintaan; c. untuk tujuan penggalangan dana sosial. (5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 8 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal. Pasal 9 (1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Dalam . . . -10- (2) Dalam hal Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan sebagai alat pembayaran maka setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai nominal. Pasal 10 (1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dalam kondisi rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia. (2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk Uang bukan Uang Khusus. (3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Pasal 11 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 10 Juli 2009. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . -11- Ditetapkan di Jakarta Pada 24 Juni 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/22/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG </reg_title> <set_date> 24 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 24 Juni 2009 </effective_date> <issued_date> 24 Juni 2009 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/8/PBI/2017 TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi maka kebijakan sistem pembayaran nasional perlu diarahkan pada pembangunan ketahanan, pengembangan yang terintegrasi dan berkesinambungan, serta peningkatan daya saing; b. bahwa untuk membangun ketahanan, melakukan pengembangan yang terintegrasi dan berkesinambungan, serta meningkatkan daya saing sistem pembayaran nasional, diperlukan penataan infrastruktur, kelembagaan, instrumen, dan mekanisme sistem pembayaran nasional dalam suatu tatanan yang mampu memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas; - 2 - c. bahwa pemrosesan transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas dalam kerangka penyelenggaraan gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) merupakan pemenuhan atas kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi secara nontunai dengan menggunakan instrumen pembayaran ritel dan untuk memfasilitasi serta memperluas akseptasi masyarakat untuk gerakan nasional nontunai; d. bahwa gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) perlu diselenggarakan dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional, berorientasi pada manajemen risiko, memperhatikan perlindungan konsumen, dan menerapkan standar serta praktik internasional; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang (Lembaran Negara Republik - 3 - Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. 2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan. 3. Switching adalah switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 4. Services adalah layanan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel. 5. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan mengelola Standar dalam GPN (NPG). - 4 - 6. Lembaga Switching adalah lembaga yang menyelenggarakan Switching dalam GPN (NPG). 7. Lembaga Services adalah lembaga yang mengelola fungsi Services dalam GPN (NPG). 8. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 9. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 10. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 11. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 12. Penyelenggara Payment Gateway adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 13. Anjungan Tunai Mandiri (Automated Teller Machine) yang selanjutnya disingkat ATM adalah mesin yang dipakai untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Bank Indonesia menetapkan kebijakan GPN (NPG) melalui interkoneksi Switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. - 5 - Pasal 3 Ruang lingkup GPN (NPG) mencakup transaksi pembayaran secara domestik yang meliputi: a. b. interkoneksi Switching; interkoneksi dan interoperabilitas kanal pembayaran berupa kanal ATM, electronic data captured (EDC), agen, payment gateway, dan kanal pembayaran lainnya; dan c. interoperabilitas instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, kartu kredit, uang elektronik, dan instrumen pembayaran lainnya. BAB III PIHAK DALAM GPN (NPG) Pasal 4 Pihak dalam GPN (NPG) meliputi: a. penyelenggara GPN (NPG); dan b. pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). Pasal 5 (1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a. Lembaga Standar; b. Lembaga Switching; dan c. Lembaga Services. (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi: a. Penerbit; b. Acquirer; c. Penyelenggara Payment Gateway; dan d. pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas bank umum, bank umum syariah, dan Lembaga Selain Bank. (4) Bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat syariah dapat terhubung dengan GPN (NPG) melalui bank umum atau bank umum syariah. - 6 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan antara penyelenggara GPN (NPG) dengan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PENYELENGGARA GPN (NPG) Bagian Kesatu Lembaga Standar Pasal 6 (1) Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Pihak yang dapat ditetapkan sebagai Lembaga Standar harus memenuhi kriteria paling sedikit: a. merupakan representasi dari industri sistem pembayaran nasional; b. berbadan hukum Indonesia; dan c. memiliki kompetensi untuk menyusun, mengembangkan, dan mengelola Standar dalam rangka interkoneksi dan interoperabilitas berbagai instrumen dan kanal pembayaran. Pasal 7 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Standar harus mengajukan permohonan penetapan sebagai Lembaga Standar secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (2) Dalam rangka memproses permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan - 7 - c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan penetapan yang diajukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan penetapan menjadi Lembaga Standar diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 8 (1) Lembaga Standar memiliki fungsi menyusun, mengembangkan, dan mengelola Standar untuk interkoneksi dan interoperabilitas instrumen pembayaran, kanal pembayaran, dan Switching, serta security. (2) Dalam rangka mengelola Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Standar memiliki tugas: a. mengelola dan melaksanakan proses sertifikasi untuk memastikan kesesuaian instrumen dan/atau kanal pembayaran dengan Standar; b. mengelola dan menatausahakan vendor dan produk terkait instrumen dan/atau kanal pembayaran yang telah memenuhi Standar; c. mengelola dan melaksanakan key management sebagai certificate authority; dan d. melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam rangka melindungi kepentingan publik, kepemilikan atas Standar yang disusun, dikembangkan, dan dikelola oleh Lembaga Standar berada pada Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan keandalan teknologi informasi yang - 8 - digunakan dalam penyusunan, pengembangan dan pengelolaan Standar. (2) Lembaga Standar wajib menjaga kerahasiaan data dan informasi terkait penyusunan dan pengelolaan Standar. Pasal 10 Lembaga Standar harus meminta persetujuan Bank Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Pasal 11 (1) Lembaga Standar mengimplementasikan Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Lembaga Standar harus melakukan evaluasi secara berkala terhadap Standar yang telah ditetapkan dan diimplementasikan. (3) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk meningkatkan pemahaman pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) mengenai Standar yang telah ditetapkan dan diimplementasikan. Bagian Kedua Lembaga Switching Pasal 12 (1) Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, Lembaga Switching harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. telah memperoleh izin sebagai penyelenggara switching sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; - 9 - b. telah melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik dengan menggunakan infrastruktur yang dimiliki di Indonesia; c. memenuhi kepemilikan saham paling sedikit 80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; dan d. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi Switching di GPN (NPG). (3) Pihak yang mengajukan permohonan sebagai Lembaga Switching, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (4) Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c maka perhitungan kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara langsung maupun secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia. (5) Lembaga Switching yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia wajib tetap memenuhi persentase kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. (6) Lembaga Switching harus meminta persetujuan Bank Indonesia dalam hal melakukan perubahan modal dan/atau susunan pemegang saham. Pasal 13 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Switching harus mengajukan permohonan persetujuan sebagai Lembaga Switching secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3). - 10 - (2) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan persetujuan yang diajukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan persetujuan menjadi Lembaga Switching diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14 Lembaga Switching berfungsi dan bertugas untuk memproses data transaksi pembayaran secara domestik untuk interkoneksi dan interoperabilitas. Pasal 15 (1) Setiap Lembaga Switching wajib melakukan interkoneksi dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching lainnya. (2) Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu mengenai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 Lembaga Switching wajib: a. mematuhi service level agreement (SLA) Lembaga Switching yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menerapkan Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar; dan c. terhubung dan memberikan akses data transaksi pembayaran dan kegiatan operasionalnya kepada Lembaga Services. interkoneksi antar-Lembaga Switching - 11 - Pasal 17 (1) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama dengan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) sepanjang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Lembaga Switching harus memastikan bahwa transaksi pembayaran domestik melalui pihak yang bekerja sama dengan Lembaga Switching diproses melalui GPN (NPG). Pasal 18 (1) Pemberian persetujuan kepada Lembaga Switching dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian persetujuan kerja sama kepada Lembaga Switching juga mempertimbangkan kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG). Bagian Ketiga Lembaga Services Pasal 19 (1) Lembaga Services sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Pihak yang ditetapkan sebagai Lembaga Services harus memenuhi kriteria paling sedikit: a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas; b. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi Services di GPN (NPG); dan c. sahamnya dimiliki bersama oleh: 1. Lembaga Switching; dan 2. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) yang mayoritas sahamnya - 12 - dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. (3) Kepemilikan saham pada Lembaga Services oleh Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 dapat berupa kepemilikan tidak langsung. Pasal 20 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Services harus mengajukan permohonan penetapan sebagai Lembaga Services secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). (2) Dalam rangka memproses permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan penetapan yang diajukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan penetapan menjadi Lembaga Services diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 21 (1) Lembaga Services memiliki tugas yaitu: a. menjaga keamanan transaksi pembayaran dan kerahasiaan data nasabah; b. melakukan rekonsiliasi, kliring, dan setelmen; c. mengembangkan sistem untuk pencegahan fraud, manajemen risiko, dan mitigasi risiko; - 13 - d. mengelola life cycle atas secure access module (SAM) dan mobile apps; e. menangani perselisihan transaksi pembayaran dalam rangka perlindungan konsumen; dan f. melaksanakan tugas lainnya yang diamanatkan oleh Bank Indonesia terkait kegiatan Services. (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Services berwenang: a. menetapkan ketentuan; dan b. memperoleh akses terhadap data transaksi pembayaran dan kegiatan operasional dari Lembaga Switching. Pasal 22 (1) Lembaga Services wajib mematuhi standar dan SLA Lembaga Services yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Lembaga Services harus meminta persetujuan Bank Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara GPN (NPG) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG) Pasal 24 Dalam rangka pelaksanaan interkoneksi dan interoperabilitas, pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib: a. mematuhi dan melaksanakan Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar; dan b. mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Lembaga Services. - 14 - Pasal 25 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib terhubung dengan GPN (NPG) dengan cara menjadi anggota pada paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk instrumen yang dapat saling interoperabilitas tanpa melalui Lembaga Switching. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PENYELENGGARAAN GPN (NPG) Bagian Kesatu Kewajiban Penyelesaian Akhir di Bank Indonesia Pasal 27 (1) Lembaga Switching wajib memproses penyelesaian akhir (setelmen) di Bank Indonesia untuk hasil perhitungan transaksi antaranggota dalam Lembaga Switching yang sama. (2) Lembaga Services wajib memproses penyelesaian akhir (setelmen) di Bank Indonesia untuk hasil perhitungan transaksi antar-Lembaga Switching dan/atau antar- Penerbit. (3) Tata cara dan mekanisme kepesertaan Lembaga Switching dan Lembaga Services untuk memproses penyelesaian akhir (setelmen) di Bank Indonesia mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. - 15 - Bagian Kedua Pemrosesan Transaksi Pembayaran Domestik Pasal 28 (1) Setiap transaksi pembayaran domestik wajib diproses melalui GPN (NPG). (2) Pemrosesan transaksi pembayaran domestik dalam penyelenggaraan GPN (NPG) dilaksanakan sebagai berikut: a. untuk kartu ATM dan/atau kartu debet tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan b. untuk instrumen pembayaran selain kartu ATM dan/atau kartu debet tunduk pada Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang akan ditetapkan kemudian oleh Bank Indonesia. Bagian Ketiga Branding Nasional Pasal 29 (1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai branding nasional. (2) Branding nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seperangkat aturan terkait logo, perluasan akseptasi nasional, dan pemrosesan domestik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata cara penggunaan branding nasional diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 30 (1) Bank Indonesia menetapkan logo nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2). - 16 - (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) wajib mencantumkan logo nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada setiap instrumen pembayaran yang diterbitkan. (3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyediakan kanal pembayaran berupa ATM, EDC, agen, payment gateway, dan/atau kanal pembayaran lainnya wajib: a. menggunakan logo nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. menerima instrumen pembayaran mencantumkan logo nasional dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Skema Harga Pasal 31 (1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai kebijakan skema harga. (2) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut: a. mendorong perluasan akseptasi, efisiensi, kompetisi, layanan, dan inovasi; b. didasarkan pada aspek cost of recovery ditambah margin yang wajar, risiko, dan kenyamanan; dan c. penetapan besaran dan struktur tarif dan bea. (3) Penetapan kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempertimbangkan masukan dari pihak lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan skema harga diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. yang sebagaimana - 17 - Bagian Kelima Fitur Layanan Pasal 32 (1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib menyediakan fitur layanan untuk transaksi pembayaran yang diproses melalui GPN (NPG). (2) Fitur layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pembayaran; b. c. transfer; tarik tunai; d. cek saldo; dan/atau e. fitur layanan lainnya. (3) Kewajiban penyediaan fitur layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. BAB VII LAPORAN Pasal 33 (1) Setiap penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan berkala; dan b. laporan insidental. Pasal 34 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Standar, terdiri atas: a. laporan triwulanan; dan - 18 - b. laporan tahunan. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Standar terdiri atas: a. laporan perubahan modal dan/atau susunan pemegang saham serta perubahan susunan pengurus Lembaga Standar; b. laporan perubahan data dan informasi pada dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan c. laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Pasal 35 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Switching merupakan laporan berkala bagi penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dengan menambahkan informasi mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Switching merupakan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 36 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Services, terdiri atas: a. b. c. laporan triwulanan; laporan tahunan; dan laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. switching - 19 - (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Services terdiri atas: a. b. c. d. laporan gangguan dalam penyelenggaraan Services dan tindak lanjut yang telah dilakukan; laporan perubahan susunan pengurus Lembaga Services; laporan terjadinya keadaan kahar atas penyelenggaraan Services; laporan perubahan data dan informasi pada dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan e. laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 38 Laporan bagi pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. BAB VIII PENGAWASAN Pasal 39 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang meliputi: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. - 20 - (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhadap pihak yang melakukan kerja sama dengan penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melaksanakan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 40 Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan bahwa penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara memadai, Bank Indonesia dapat: a. meminta penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk: 1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan 2. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan; dan b. mencabut penetapan atau persetujuan yang telah diberikan kepada penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). BAB IX SANKSI Pasal 41 Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 22 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), dan/atau Pasal 33 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: - 21 - a. teguran tertulis; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan; dan/atau d. pencabutan penetapan dan/atau persetujuan sebagai penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Pasal 42 Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. penghentian sementara atau permanen konektivitas dengan GPN (NPG). Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 44 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu dalam melakukan penetapan dan/atau memberikan persetujuan penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan antara lain: a. meningkatkan efisiensi nasional; b. mendukung kebijakan nasional; c. menjaga kepentingan publik; - 22 - d. menjaga pertumbuhan industri; dan e. menjaga persaingan usaha yang sehat. Pasal 45 (1) Standar nasional teknologi chip untuk kartu ATM dan/atau kartu debet yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu, ditetapkan sebagai Standar kartu ATM dan/atau kartu debet untuk digunakan di GPN (NPG). (2) Pihak yang menjadi pengelola standar nasional teknologi chip untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) untuk interoperabilitas instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 46 (1) Pihak yang telah memperoleh izin sebagai prinsipal sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dapat mengajukan permohonan persetujuan sebagai Lembaga Switching sesuai dengan izin prinsipal yang telah diperolehnya, sepanjang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d. (2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Ketentuan persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) tidak berlaku bagi pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 23 - (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap bertanggung jawab untuk menyediakan kegiatan Services kepada anggotanya. Pasal 47 Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a untuk prinsipal yang menjadi Lembaga Switching yaitu laporan berkala bagi prinsipal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dengan menambahkan informasi mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching. Pasal 48 Sebelum Lembaga Services ditetapkan, seluruh tugas dan wewenang Lembaga Services dilaksanakan oleh pihak yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dengan memperhatikan masukan dari industri sistem pembayaran. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen kartu ATM dan/atau kartu debet, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) paling lambat tanggal 30 Juni 2018. (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen selain kartu ATM dan/atau kartu debet, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) sesuai dengan ketentuan dan waktu yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 24 - (3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa Lembaga Selain Bank, dapat terhubung dengan GPN (NPG) sesuai dengan ketentuan dan waktu yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 50 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 134 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/8/PBI/2017 TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) I. UMUM Lanskap sistem pembayaran di Indonesia terus berkembang. Teknologi menjadi katalis dalam mengakselerasi perkembangan sistem pembayaran nasional. Kondisi ekosistem sistem pembayaran nasional relatif kompleks dan cenderung terfragmentasi. Fragmentasi yang timbul akibat belum terjadinya interkoneksi menjadikan infrastruktur sistem pembayaran belum efisien. Dari sisi kelembagaan belum terdapat pula aturan dan mekanisme (arrangement) kelembagaan nasional yang memayungi interkoneksi atau interoperabilitas industri sistem pembayaran ritel di dalam negeri. GPN (NPG) dikembangkan untuk menjadikan infrastruktur pembayaran lebih efisien, andal, dan aman. Aturan dan mekanisme (arrangement) kelembagaan dalam GPN (NPG) akan menjadi payung interkoneksi atau interoperabilitas industri sistem pembayaran ritel di dalam negeri. Inisiatif GPN (NPG) ini terselenggara melalui keterlibatan aktif industri sistem pembayaran secara terkoordinasi dengan mengedepankan aspek kepentingan nasional (national interest) sehingga dapat mewujudkan infrastruktur domestik yang terkoneksi, dapat dimanfaatkan secara bersama-sama, dan konvergen untuk mencapai interoperabilitas yang optimal. - 2 - Bank Indonesia sebagai otoritas yang diberi mandat oleh Undang- Undang untuk mengatur, menyelenggarakan perizinan, dan melakukan pengawasan sistem pembayaran nasional, perlu menetapkan kebijakan GPN (NPG) melalui interkoneksi Switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. Adapun transaksi pembayaran secara domestik yang menjadi cakupan dalam penyelenggaraan GPN (NPG) meliputi interoperabilitas instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, kartu kredit, uang elektronik, dan instrumen pembayaran lainnya, serta interkoneksi dan interoperabilitas kanal pembayaran berupa kanal ATM, EDC, agen, payment gateway, dan kanal pembayaran lainnya. Penyelenggara GPN (NPG) adalah Lembaga Standar, Lembaga Switching, dan Lembaga Services yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama serta didukung oleh pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) seperti Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Payment Gateway, maupun pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Lembaga Standar berperan dalam memastikan terjadinya interkoneksi dan interoperabilitas dalam penyusunan dan pengelolaan Standar, khususnya Standar instrumen pembayaran, Standar kanal pembayaran, serta Standar fitur layanan transaksi. Lembaga Switching bertugas untuk memfasilitasi penerusan data transaksi pembayaran secara domestik dalam rangka mewujudkan dan memelihara interkoneksi dan interoperabilitas secara aman dan efisien. Sementara Lembaga Services berperan dalam menyediakan akses transaksi pembayaran lintas jaringan, mengatur, serta memastikan keamanan transaksi pembayaran yang memadai. GPN (NPG) dapat menjadi landasan untuk pemrosesan transaksi pembayaran massal melalui proses integrasi atas seluruh kanal pembayaran dan pemrosesan domestik yang selama ini belum dapat terselenggara secara efisien. Oleh karena itu, dalam aturan dan mekanisme (arrangement) GPN (NPG) ditentukan bahwa untuk seluruh transaksi pembayaran domestik dan terhadap seluruh instrumen pembayaran yang diterbitkan di domestik oleh penerbit domestik, wajib dilakukan dengan pemrosesan domestik pula. Hal ini bertujuan untuk memperluas akseptasi masyarakat dalam melakukan transaksi pembayaran secara nontunai dengan menggunakan instrumen pembayaran ritel serta menjadi bagian yang menyatu dari upaya Bank Indonesia dalam memfasilitasi gerakan - 3 - nasional nontunai. Penyelenggaraan GPN (NPG) tetap perlu mengedepankan kepentingan nasional, mendorong penerapan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko dan perlindungan konsumen, sesuai dengan standar dan praktik internasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengaturan terhadap GPN (NPG) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “transaksi pembayaran secara domestik” adalah transaksi yang: 1. menggunakan instrumen pembayaran yang diterbitkan oleh Penerbit di Indonesia; dan 2. dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan “interkoneksi Switching” adalah keterhubungan antara jaringan Switching yang satu dengan jaringan Switching yang lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan “interkoneksi kanal pembayaran” adalah keterhubungan antara jaringan pada kanal pembayaran yang satu dengan kanal pembayaran yang lainnya. Yang dimaksud dengan “interoperabilitas kanal pembayaran” adalah kondisi dimana instrumen pembayaran dapat digunakan pada infrastruktur lain selain dari infrastruktur Penerbit instrumen pembayaran yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “EDC” adalah electronic data captured sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. - 4 - Yang dimaksud dengan “agen” adalah pihak yang bekerja sama dengan Penerbit dalam memberikan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan dengan menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis web. Yang dimaksud dengan “kanal pembayaran lainnya” adalah kanal pembayaran yang dimiliki oleh Bank (proprietary channel), kecuali kanal pembayaran yang transaksinya diproses melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/atau Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Huruf c Yang dimaksud dengan “interoperabilitas instrumen pembayaran” adalah kondisi dimana instrumen pembayaran dapat digunakan pada infrastruktur lain selain dari infrastruktur Penerbit instrumen pembayaran yang bersangkutan. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” adalah pihak selain Penerbit, Acquirer, dan Penyelenggara Payment Gateway yang menyelenggarakan layanan pembayaran kepada konsumen. Ayat (3) Cukup jelas. - 5 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Penetapan Lembaga Standar mencakup instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, uang elektronik, kartu kredit, dan/atau instrumen pembayaran lainnya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “industri sistem pembayaran nasional” meliputi prinsipal, penerbit, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam kompetensi untuk menyusun, mengembangkan, dan mengelola Standar adalah memiliki: 1. struktur organisasi; 2. sumber daya manusia yang memadai; 3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan 4. sistem pengendalian internal untuk memastikan penyusunan dan pengelolaan Standar dilakukan secara aman, efisien, dan memenuhi prinsip tata kelola yang baik (good governance). Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. acquirer, - 6 - Ayat (2) Huruf a Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen yang disampaikan. Huruf b Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak, kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional. Huruf c Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang mengajukan permohonan penetapan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Dalam hal instrumen pembayaran yang distandardisasi adalah uang elektronik chip based maka pengembangan Standar termasuk SAM untuk mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “key management” adalah fungsi pengelolaan kunci digital (key) yang mencakup penerbitan (issuing), modifikasi (modification), dan pencabutan (revoke) dalam rangka standardisasi pengamanan transaksi sistem pembayaran. - 7 - Yang dimaksud dengan “certificate authority” adalah fungsi penerbitan (issuing) dan pengelolaan kunci digital (key) dalam rangka menjamin serta menjaga keamanan transmisi data suatu transaksi pembayaran. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menjaga kerahasiaan data” termasuk memastikan kerahasiaan data dan informasi apabila penyusunan dan pengelolaan Standar dilaksanakan oleh pihak lain. Pasal 10 Hal yang bersifat strategis seperti: a. perencanaan dan pengembangan spesifikasi Standar; b. penetapan persyaratan, prosedur pelaksanaan, dan kategori pihak yang disertifikasi termasuk perubahannya; c. kerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan kegiatan penyusunan dan pengelolaan Standar; dan d. penetapan jenis dan besarnya biaya yang digunakan dalam kegiatan penyusunan dan pengelolaan Standar. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bentuk evaluasi terhadap Standar yang telah ditetapkan antara lain untuk memastikan kesesuaiannya dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. - 8 - Ayat (3) Salah satu bentuk peningkatan pemahaman pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) terkait Standar antara lain melalui pelaksanaan sosialisasi dan edukasi. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran” mencakup tahapan otorisasi, kliring, dan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Termasuk dalam tahapan otorisasi adalah penerusan data transaksi pembayaran. Yang dimaksud dengan “infrastruktur” antara lain sistem, aplikasi, pusat data (data center), dan disaster recovery enter. Huruf c Dokumen mengenai struktur dan porsi kepemilikan saham disertai dengan surat pernyataan yang berisi penegasan mengenai kebenaran data dan informasi yang disampaikan. Huruf d Yang dimaksud dengan “mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi Switching di GPN (NPG)” antara lain memiliki: 1. struktur organisasi; 2. sumber daya manusia yang memadai; 3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan 4. infrastruktur yang andal. Ayat (3) Dokumen mengenai modal disetor disertai dengan surat pernyataan yang berisi penegasan mengenai kebenaran data dan informasi yang disampaikan. - 9 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kepemilikan asing” adalah kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan usaha asing. Penilaian Bank Indonesia atas kepemilikan saham tidak langsung dapat dilakukan sampai dengan pemegang saham akhir (ultimate shareholder/beneficial owner). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen yang disampaikan. Huruf b Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak, kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional. Huruf c Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. - 10 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka memberikan akses kepada Lembaga Services, Lembaga Switching memperhatikan ketentuan Lembaga Services. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyelenggara Switching di luar GPN (NPG)” adalah pihak yang telah memperoleh izin sebagai penyelenggara switching berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dan/atau prinsipal berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu, namun bukan merupakan Lembaga Switching. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG)” antara lain perluasan akseptasi dan/atau alih teknologi. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. - 11 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk dalam kapasitas dan kapabilitas melaksanakan tugas Services adalah memiliki: 1. struktur organisasi; 2. sumber daya manusia yang memadai; 3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan 4. infrastruktur yang andal di Indonesia. Huruf c Lembaga Switching yang menjadi pemilik saham adalah seluruh Lembaga Switching. Bank umum yang menjadi pemilik saham adalah seluruh Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat). Pelaksanaan kepemilikan saham oleh seluruh Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing- masing Bank. Ayat (3) Kepemilikan tidak langsung dihitung berdasarkan 2 (dua) jenjang kepemilikan saham di atas Lembaga Services. Kepemilikan tidak langsung oleh Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) termasuk pula dalam hal Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) tersebut belum memiliki saham namun berwenang untuk ikut melakukan pengendalian terhadap Lembaga Services berdasarkan kesepakatan dengan pihak yang menjadi pemilik Lembaga Services. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. - 12 - Ayat (2) Huruf a Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen yang disampaikan. Huruf b Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak, kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional. Huruf c Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang mengajukan permohonan penetapan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Termasuk tugas menjaga keamanan transaksi pembayaran dan kerahasiaan data nasabah antara lain melalui pengembangan fitur keamanan dan penerapan end-to-end encryption dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf b Termasuk tugas melakukan rekonsiliasi, kliring, dan setelmen antara lain monitoring terhadap data dan kegiatan operasional Lembaga Switching. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “life cycle atas SAM” adalah siklus hidup terkait usia penggunaan SAM. - 13 - Yang dimaksud dengan “life cycle atas mobile apps” adalah siklus penggunaan terkait masa guna yang harus disesuaikan jika terdapat pembaharuan software. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Termasuk dalam hal yang bersifat strategis antara lain menetapkan ketentuan dan perubahan anggaran dasar Lembaga Services seperti perubahan modal, perubahan pengurus, dan/atau perubahan susunan pemegang saham, serta kegiatan terkait pelaksanaan tugas sebagai Lembaga Services. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Kewajiban terhubung dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching berlaku untuk masing-masing instrumen dan/atau kanal pembayaran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. - 14 - Pasal 27 Ayat (1) Hasil perhitungan transaksi antaranggota dalam Lembaga Switching yang sama mencakup transaksi menggunakan instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Transaksi yang wajib diproses melalui GPN (NPG) meliputi transaksi yang dilakukan melalui intra-Lembaga Switching dan melalui inter-Lembaga Switching. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran” mencakup tahapan otorisasi, kliring dan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Termasuk dalam tahapan otorisasi adalah penerusan data transaksi pembayaran. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Aturan terkait logo antara lain mengenai desain logo, pencantuman logo pada setiap instrumen dan kanal pembayaran yang digunakan dalam transaksi pembayaran melalui GPN (NPG), dan pihak yang wajib mencantumkan logo. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. - 15 - Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain: a. industri sistem pembayaran antara lain prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik; dan b. asosiasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional Lembaga Switching” adalah hal yang terkait dengan penyelenggaraan Lembaga Switching termasuk transaksi pembayaran antaranggota, transaksi pembayaran antar-Lembaga Switching, dan data spesifik untuk keperluan analisis. Ayat (2) Cukup jelas. - 16 - Pasal 36 Ayat (1) Laporan berkala untuk Lembaga Services antara lain mencakup laporan terkait seluruh kegiatan operasional penyelenggaraan Lembaga Services. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Dalam melaksanakan pengawasan, Bank Indonesia juga melakukan evaluasi terhadap kinerja masing-masing Lembaga Standar, Lembaga Switching, dan Lembaga Services. Pasal 40 Yang dimaksud dengan “hasil pengawasan Bank Indonesia” termasuk pula hasil evaluasi terhadap kinerja Lembaga Standar, Lembaga Switching, dan Lembaga Services. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan sanksi penghentian sementara atau permanen konektivitas dengan GPN (NPG) dilakukan melalui kerja sama dengan Lembaga Standar, Lembaga Switching, dan/atau Lembaga Services. - 17 - Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Kebijakan penetapan dan/atau persetujuan penyelenggara GPN (NPG) antara lain pembatasan jumlah dan persyaratan Lembaga Switching serta kepemilikan Lembaga Services. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prinsipal” adalah prinsipal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kegiatan Services kepada anggotanya” adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, tidak termasuk kegiatan pengelolaan life cycle atas SAM dan life cycle atas mobile apps. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Yang dimaksud dengan “industri sistem pembayaran” antara lain prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan - 18 - menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Pihak yang dapat ditunjuk oleh Bank Indonesia antara lain prinsipal, Penerbit, dan payment gateway. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6081
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/8/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/10/PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan ekonomi global memunculkan berbagai tantangan dalam perekonomian Indonesia; b. bahwa dalam menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan upaya untuk memperkokoh kestabilan moneter dan sistem keuangan guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang; c. bahwa salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik dengan tetap memperhatikan penerapan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; dan d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/37/PBI/2005 … - 3 - 7/37/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4538); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/37/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4538) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang telah … - 4 - telah memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 2. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum pada posisi akhir bulan sebelum bulan laporan. 3. Kurs Penutupan adalah kurs penutupan pada pukul 16.00 WIB setiap hari yang dapat dilihat pada informasi Laporan Harian Bank Umum yang dikelola Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (3) dihapus sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal. b. Dihapus. (2) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari: a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing; ditambah dengan b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. (3) Dihapus. … - 5 - (3) Dihapus. (4) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank Indonesia), deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, surat berharga, kredit yang diberikan, nilai bersih wesel ekspor yang telah diambil alih, rekening antar kantor aktiva dan tagihan lainnya, dalam valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan penduduk. (5) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor, rekening antar kantor pasiva, pendapatan komprehensif lainnya dari surat-surat berharga valuta asing selain saham dan kewajiban lainnya dalam valuta asing baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. (6) Rekening administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan dan atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan kontinjensi yang mencakup spot, bank garansi maupun L/C yang dipastikan menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, serta transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option, dan future maupun produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. 3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Selain wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal setiap 30 (tiga puluh) … - 6 - (tiga puluh) menit sejak sistem tresuri Bank dibuka sampai dengan sistem tresuri Bank ditutup. (2) Perhitungan Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Kurs Penutupan pada hari kerja sebelumnya. (3) Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan antara Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya dengan posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit. (4) Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih bersih antara transaksi beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang bersangkutan. (5) Perhitungan posisi terbuka tresuri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri. 4. Ketentuan Pasal 7A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Bank wajib menatausahakan informasi yang mendukung pemantauan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1). (2) Bank Indonesia dapat meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. (3) Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan atas Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit sebagaimana … - 7 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Bank wajib menyampaikan laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia dengan format sebagaimana dalam Lampiran 1 Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya pelanggaran. (5) Laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank. 5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A, Pasal 6 ayat (4), Pasal 7A ayat (1), dan Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap hari pelanggaran atau paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun kalender. (3) Bank yang melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selama lebih dari 1 (satu) hari kerja dan tidak menyampaikan laporan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (4), maka selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank juga dikenakan sanksi berupa … - 8 - berupa penurunan 1 (satu) peringkat penilaian faktor manajemen dan peningkatan penilaian profil risiko untuk Risiko Kepatuhan pada penilaian tingkat kesehatan Bank dalam 2 (dua) periode penilaian setelah exit meeting. 6. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan Pasal 10B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A (1) Dalam hal Bank melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selama 5 (lima) hari kerja secara berturut-turut atau 15 (lima belas) hari kerja dalam 1 (satu) tahun kalender, namun Bank telah menyampaikan laporan pelanggaran, maka selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), terhadap pengurus dan/atau pejabat eksekutif yang bertanggung jawab dilakukan proses penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). (2) Dalam hal Bank melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) lebih dari 1 (satu) hari kerja dan Bank tidak menyampaikan laporan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (4), maka selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (3) … - 9 - ayat (3), terhadap pengurus dan/atau pejabat eksekutif yang bertanggung jawab dilakukan proses penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 10B Sanksi terkait dengan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat (2) tidak berlaku dalam hal pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) lebih dari 1 (satu) hari kerja terjadi karena adanya koreksi perhitungan modal dari hasil pemeriksaan Bank Indonesia. Pasal II … - 10 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 83 DPNP/DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/10/PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM I. UMUM Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan memiliki ruang gerak yang memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian. Dalam kerangka tersebut, dilakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto Bank Umum. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 … - 2 - Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Modal yang digunakan adalah Modal setelah memperhitungkan faktor pengurang modal. Huruf b Dihapus. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dihapus. Ayat (4) Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama. Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva tetap kantor cabang di luar negeri (setelah dikurangi depresiasi), pendapatan bunga yang masih harus diterima (accrued interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan tagihan derivatif. Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh rekening antar kantor aktiva dengan kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha). Ayat (5) … - 3 - Ayat (5) Termasuk dalam pengertian kewajiban lainnya antara lain adalah surat berharga yang diterbitkan bank, biaya yang masih harus dibayar (accrued expense), kewajiban akseptasi, transaksi repo dan kewajiban derivatif. Rekening antar kantor pasiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh rekening antar kantor pasiva dari kantor-kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha). Ayat (6) Nilai rekening administratif yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku, yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Waktu 30 (tiga puluh menit) dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Bank untuk melakukan “squaring” atas posisi terbuka dari transaksi yang dilakukan. Contoh perhitungan setiap 30 (tiga puluh) menit sejak sistem tresuri dibuka adalah sebagai berikut: a. Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal 20% dari Modal setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit dihitung sejak pukul … - 4 - pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) menit yaitu:  Pukul 08.30 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal  Pukul 09.00 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal  Pukul 09.30 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal; dan  seterusnya hingga sistem tresuri ditutup. b. Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal 20% dari Modal setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit dihitung sejak pukul 07.45 WIB dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) menit yaitu:  Pukul 08.15 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal  Pukul 08.45 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal  Pukul 09.15 WIB : Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal; dan  seterusnya hingga sistem tresuri ditutup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 5 - Ayat (3) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya merupakan Posisi Devisa Neto masing- masing valuta asing sebelum diabsolutkan. Contoh: (Dalam rupiah) USD JPY Total Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja sebelumnya Posisi terbuka tresuri setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit pada hari kerja berjalan Posisi Devisa Neto Setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit 50 (40) (10) 20 40 (20) 20 Asumsi Modal = 100, maka Posisi Devisa Neto setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit = ( 20 / 100 ) x 100% = 20% Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kegiatan tresuri” antara lain transaksi beli dan jual valuta asing yang dilakukan di dealing room. Ayat (5) Contoh: Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB, maka transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan Posisi … - 6 - Posisi Devisa Neto setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit pada pukul 08.30 WIB. Angka 4 Pasal 7A Ayat (1) Informasi yang mendukung antara lain berupa deal conversation, deal confirmation, blotter, dan/atau informasi pendukung lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian laporan dari Bank kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada: a. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank yang membawahi pengawasan bank yang bersangkutan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten/Kota Tanggerang, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Kerawang); b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a. Ayat (4) … - 7 - Ayat (4) Contoh waktu pelaporan pelanggaran Posisi Devisa Neto yang melampaui batas paling tinggi 20% modal adalah sebagai berikut: a. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit terjadi pada hari Senin tanggal 2 Agustus 2010, maka Bank menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 2010 pukul 16.00 WIB. b. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit terjadi pada hari Jumat tanggal 17 September 2010, maka Bank menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat pada hari Selasa 21 September 2010 pukul 16.00 WIB. c. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja terjadi pada hari Senin tanggal 2 Agustus 2010, maka Bank menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 2010 pukul 16.00 WIB. d. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja terjadi pada hari Jumat tanggal 17 September 2010, maka Bank menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat pada hari Selasa 21 September 2010 pukul 16.00 WIB. Ayat (5) … - 8 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah. Angka 5 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10A Cukup jelas. Pasal 10B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5140
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/10/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Juli 2010 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2010 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2010 </issued_date> <changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/37/PBI/2005', '7/UU/1992', '5/13/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 10A', 'Pasal I Angka 5 Pasal 10', 'Pasal I Angka 6 Pasal 10B' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 23 /PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo beserta tulisan “FRANS KAISIEPO”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan ungu; - 4 - b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); g. gambar raster berupa tulisan “BI”; h. mikroteks yang memuat tulisan “BI10”, tulisan “BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan i. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “10000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “10000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT - 5 - PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari pakarena beserta tulisan “TARI PAKARENA”, pemandangan alam Taman Nasional Wakatobi beserta tulisan “Taman Nasional Wakatobi”, dan bunga cempaka hutan kasar; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan ungu; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari pakarena, tulisan “TARI PAKARENA”, dan tulisan “Taman Nasional Wakatobi”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “10000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga cempaka hutan kasar; 2. gambar penyelam dan ikan; 3. gambar hewan tangkasi; - 6 - 4. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna ungu muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI 10000” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 145 (seratus empat puluh lima) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. - 7 - Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 206
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/23/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 25 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 27 oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 14 /PBI/2014 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 DALAM BENTUK UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah kertas berfungsi sebagai alat pembayaran dan sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika (koleksi uang) di Indonesia; b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika di Indonesia, perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2014 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Kertas Khusus Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2014 Dalam Bentuk Uang Rupiah Kertas Bersambung; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia . . . -2- Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 DALAM BENTUK UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2014 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung. (2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. 2 (dua) lembar (bilyet); b. 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 45 (empat . . . -3- c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang merupakan satu kesatuan. Pasal 2 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 3 (1) Setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas: a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah); atau c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 4 (1) Bentuk dan ukuran lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas: a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 151 mm x 130 mm; b. lembaran . . . -4- b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 302 mm x 130 mm; dan c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 755 mm x 585 mm. (2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 5 Setiap lembar (bilyet) uang Rupiah yang terdapat pada uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memiliki ciri sebagai berikut: a. warna bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna dominan merah; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. (H.C.) Ir. Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan “Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi; c) di atas teks Proklamasi terdapat cetakan garis-garis lurus dalam bidang berbentuk segi empat yang apabila dilihat dari sudut pandang tertentu akan timbul efek warna pelangi (rainbow effect); d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah horizontal; e) pada sebelah kanan gambar utama di bawah gambar lambang negara Garuda Pancasila terdapat angka nominal “100000” dengan arah vertikal; f) pada . . . -5- f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; g) pada sebelah kiri gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; h) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat tulisan “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; i) pada sebelah kiri gambar utama di atas tulisan “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar apabila diraba; j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen tertentu; k) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar lambang negara Garuda Pancasila, dengan latar belakang berwarna hijau; l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran berwarna jingga yang letaknya tersebar; m) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang berbentuk perisai yang dicetak dengan tinta khusus yang akan berubah warna (colour shifting ink) dari kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah bidang berbentuk perisai terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau; o) pada . . . -6- o) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tanda air terdapat angka tahun emisi dengan tulisan “TE. 2014”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Menteri Keuangan beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; p) terdapat teks mikro (microtext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar pada: 1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; 2) bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi dengan warna merah; 3) sebelah kanan gambar utama di bawah gambar tersembunyi (latent image) yang berbentuk gambar bunga teratai; dan 4) tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan bawah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; q) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini (minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna merah dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; c) pada . . . -7- c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet; d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa bagian gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultraviolet; e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” yang berada dalam bidang persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultraviolet; f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran berwarna jingga yang letaknya tersebar; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; h) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tulisan “BANK INDONESIA” terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultraviolet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet; j) pada sebelah kanan gambar utama di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah horizontal; l) pada . . . -8- l) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah vertikal dan latar belakang berwarna hijau; m) pada sebelah kiri gambar utama di bawah nomor seri terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau; n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.” dan angka tahun cetak; o) terdapat teks mikro (microtext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar pada: 1) tepi kiri tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; 2) sebelah kiri gambar utama yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; dan 3) tepi kanan tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna berbeda; p) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini (minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna jingga dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar; c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultraviolet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen tertentu; dan 6. benang . . . -9- 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian. Pasal 6 Harga uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 kepada masyarakat dilakukan melalui penjualan secara langsung oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi: a. penjualan perdana; b. apabila terjadi kelebihan permintaan; atau c. untuk tujuan penggalangan dana sosial. (5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 8 . . . -10- Pasal 8 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai nominal. Pasal 9 (1) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dalam kondisi rusak maka dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia. (2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk uang Rupiah bukan uang Rupiah kertas khusus. (3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku. Pasal 10 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . -11- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 181 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/14/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 DALAM BENTUK UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG </reg_title> <set_date> 24 Juli 2014 </set_date> <effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date> <issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date> <related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/23/PBI/2004 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat, perlu ditingkatkan praktek-praktek good corporate governance di industri perbankan; b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance tersebut, industri Bank Perkreditan Rakyat sebagai bagian dari perbankan nasional perlu dikelola dan dimiliki oleh pihak-pihak yang senantiasa memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan lain sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku; c. bahwa sehubungan untuk mengatur dengan itu (Fit and Proper Test) pihak-pihak pengaruh besar dalam dipandang perlu penilaian kemampuan dan kepatutan yang mempunyai pengendalian dan pengelolaan Bank … - 2 - Bank Perkreditan Rakyat dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. 2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah. 3. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk bank, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 4. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah mempunyai hak suara; atau saham yang dikeluarkan dan b. memiliki … - 4 - b. memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR, baik secara langsung maupun tidak langsung. 5. Pengurus adalah Direksi dan Komisaris BPR atau perusahaan, atau yang setara dengan itu. 6. Direksi: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Komisaris: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi … - 5 - c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPR atau perusahaan, dan/atau bertanggung jawab langsung kepada Direksi, antara lain pemimpin kantor cabang. 9. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif. Pasal 2 (1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali BPR wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perorangan, badan hukum atau kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap BPR, termasuk namun tidak terbatas pada Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif BPR. (3) Pengendalian terhadap BPR dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain sebagai berikut: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham BPR; b. secara … - 6 - b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau mempengaruhi kebijakan BPR; c. memiliki hak opsi atau lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25 % (dua puluh lima perseratus) lebih saham BPR. d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan BPR (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama- sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham BPR, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis; e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan BPR dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham BPR; f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham BPR; g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan Pengurus BPR; h. secara … - 7 - h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan BPR; i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari BPR; j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 3 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap: a. calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR; b. Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus BPR; c. Pejabat Eksekutif BPR, dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan: 1. dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang mempengaruhi kegiatan usaha BPR; dan/atau 2. atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan operasional BPR. BAB II … - 8 - BAB II PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI Bagian Pertama Faktor Yang Dinilai Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pemegang Saham Pengendali memenuhi persyaratan: a. integritas; dan b. kelayakan keuangan. Pasal 5 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional BPR yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL. Pasal 6 … - 9 - Pasal 6 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi: a. persyaratan kemampuan keuangan; b. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian kemampuan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, antara lain namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan; dan 3. bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya; c. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah. Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 7 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham Pengendali diajukan oleh BPR kepada Bank Indonesia. (2) Persetujuan … - 10 - (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Pasal 8 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; b. wawancara. (2) Sebagai bagian dari proses persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta BPR, Pemegang Saham Pengendali dan/atau pihak-pihak yang melakukan Pengendalian untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka pengembangan operasional BPR yang sehat. Pasal 9 (1) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPR berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan dan pengurusnya, serta pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders). (2) Pihak-pihak … - 11 - (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan persyaratan administratif dan menjalani wawancara. (3) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menetapkan pihak-pihak lain yang juga melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan/atau menjalani wawancara. (4) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPR adalah pemerintah, maka pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b hanya dilakukan apabila dianggap perlu. Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 11 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan/atau hasil wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Lulus … - 12 - a. Lulus; b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44 maka apabila dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 12 (1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali pada BPR dimaksud. (2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada BPR dimaksud. (3) Calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diajukan kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, apabila telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 13 … - 13 - Pasal 13 (1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang belum disetujui oleh Bank Indonesia, namun telah memiliki saham BPR, dilarang melakukan tindakan sebagai Pemegang Saham Pengendali. (2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki saham BPR, namun dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dinyatakan Tidak Lulus, diwajibkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada BPR yang bersangkutan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon Pemegang Saham Pengendali yang memiliki saham tersebut tidak mengalihkan kepemilikan sahamnya, maka yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham BPR. (4) BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan/atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 14 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara tertulis kepada BPR dalam bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (2) Selain … - 14 - (2) Selain kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. BAB III PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS BPR Bagian Pertama Faktor Yang Dinilai Pasal 15 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pengurus memenuhi persyaratan: a. integritas; b. kompetensi; dan c. reputasi keuangan. Pasal 16 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki … - 15 - c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional BPR yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL. Pasal 17 (1) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 15 huruf b meliputi: a. bagi calon anggota Direksi: 1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya dan memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang persyaratan bagi calon anggota Direksi; berlaku mengenai 2. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan; dan 3. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPR yang sehat. b. bagi calon anggota dewan Komisaris: 1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau 2. pengalaman di bidang perbankan; (2) Pemenuhan persyaratan pengetahuan, pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan bagi calon anggota Direksi dan dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pula pada ketentuan yang … - 16 - yang berlaku mengenai persyaratan calon anggota Direksi dan dewan Komisaris BPR. Pasal 18 Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi: a. Tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan b. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan. Bagian kedua Tata Cara Penilaian Pasal 19 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pengurus diajukan oleh BPR kepada Bank Indonesia. (2) Calon Pengurus yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimal berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. Pasal 20 … - 17 - Pasal 20 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; b. wawancara. (2) Dalam hal calon yang dimintakan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai Pengurus BPR sesuai keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota, namun yang bersangkutan tidak disetujui oleh Bank Indonesia maka BPR melalui rapat umum pemegang saham atau rapat anggota wajib memberhentikan yang bersangkutan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Calon Pengurus BPR yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang melakukan tugas sebagai anggota Direksi atau Komisaris dalam kegiatan operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan BPR, walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Bagian … - 18 - Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 21 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan/atau wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Lulus; b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon Pengurus pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44 maka apabila yang bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 22 (1) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Direksi atau dewan Komisaris pada BPR dimaksud. (2) Calon … - 19 - (2) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Direksi atau dewan Komisaris pada BPR dimaksud. Pasal 23 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 secara tertulis kepada BPR dalam bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3). (2) Selain kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. BAB IV PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Pertama Faktor yang Dinilai Pasal 24 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai: a. faktor integritas dan kelayakan keuangan dari Pemegang Saham Pengendali; b. faktor … - 20 - b. faktor integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif. Pasal 25 (1) Faktor integritas bagi Pemegang Saham Pengendali yaitu bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan-tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, berupa: a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia; c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan BPR; dan/atau d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan. (2) Faktor kelayakan keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, yaitu: a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan/atau c. memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR. Pasal 26 … - 21 - Pasal 26 (1) Faktor integritas bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif, yaitu bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan-tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, berupa: a. tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan b. perbuatan dari Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif yang independen. (2) Faktor kompetensi bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. keahlian dan pengalaman di bidang keuangan; dan perbankan dan/atau bidang c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPR yang sehat. (3) Faktor reputasi keuangan bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi: a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan/atau b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit. tidak Bagian … - 22 - Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 27 Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan setiap waktu, apabila dianggap perlu. Pasal 28 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. pengumpulan informasi; b. pelaksanaan pemeriksaan; c. konfirmasi hasil penilaian sementara berdasarkan temuan pemeriksaan dengan pihak-pihak yang dinilai; d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil penilaian sementara; e. pembahasan atas tanggapan/keberatan dari pihak-pihak yang dinilai serta penyesuaian hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia; f. penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e kepada pihak-pihak yang dinilai; g. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf f; h. pembahasan … - 23 - h. pembahasan ulang terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang dinilai oleh Bank Indonesia; i. pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Bank Indonesia; j. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. (2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal konfirmasi hasil penilaian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f. (4) Dalam hal pihak-pihak yang dinilai tidak menggunakan hak tanggal penyampaian hasil pembahasan untuk menyampaikan tanggapan atau keberatan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), maka hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sepenuhnya didasarkan pada hasil penilaian Bank Indonesia. Pasal 29 Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dapat meliputi cakupan pemeriksaan sebelumnya. Pasal 30 … - 24 - Pasal 30 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali yang akan dinilai. (2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. (3) Pembuktian sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam tahapan-tahapan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Bagian Ketiga Hasil Penilaian Pasal 31 (1) Berdasarkan tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) predikat, yaitu: a. Lulus … - 25 - a. Lulus; b. Lulus Bersyarat; c. Tidak Lulus. (2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot terhadap faktor-faktor yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Bagian Keempat Konsekuensi Hasil Penilaian Pasal 32 (1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif. (2) Dalam hal pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus, kemudian diketahui memiliki kredit macet pada BPR dan/atau Bank Umum, maka predikat yang diberikan akan diturunkan menjadi Lulus Bersyarat. (3) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan Pengurus dari suatu badan hukum yang memiliki kredit macet. Pasal 33 … - 26 - Pasal 33 Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat dinyatakan memenuhi syarat untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif dengan kewajiban memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Pasal 34 (1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat diwajibkan untuk: a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau Pasal 26 ayat (1) dan/atau perbuatan yang menyebabkan yang bersangkutan diberikan predikat Lulus Bersyarat; b. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun; c. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki pada BPR dan/atau Bank Umum dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun; dan/atau d. menyampaikan dan melaksanakan langkah-langkah berupa action plan dalam rangka memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c. (2) Surat … - 27 - (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Pasal 35 (1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat karena memiliki kredit macet dan telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dan/atau telah memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d, dapat diberikan predikat Lulus. (2) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat yang disebabkan oleh faktor kompetensi dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b, dapat diberikan predikat Lulus. Pasal 36 Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi: a. Pemegang Saham Pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus) pada BPR atau Bank Umum; dan/atau b. Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif pada BPR dan/atau Bank Umum. Pasal 37 … - 28 - Pasal 37 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a wajib menyampaikan pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta dalam Pengendalian BPR dan/atau Bank Umum, baik langsung maupun tidak langsung. (2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus), yang bersangkutan wajib menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun. Pasal 38 (1) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a tidak dapat menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak- haknya sebagai pemegang saham BPR dan/atau Bank Umum paling tinggi 10% (sepuluh perseratus); dan b. BPR wajib melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan/atau memberikan hak-hak bersangkutan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus). (2) Dalam … sebagai pemegang saham kepada yang - 29 - (2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, BPR dilarang mencatat pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham BPR dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak- haknya sebagai pemegang saham. (3) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu kewajiban penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program penyehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. (4) Apabila setelah perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang bersangkutan tidak dapat memenuhi komitmen yang diberikan maka yang bersangkutan akan dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 39 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1), wajib mengundurkan diri dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang sangat mempengaruhi kebijakan dan kondisi keuangan BPR. (3) Dalam … - 30 - (3) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri, maka: a. pemegang saham BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota untuk memberhentikan yang bersangkutan; b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan BPR yang diwakili oleh Pengurus BPR yang bersangkutan; dan c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. Pasal 40 (1) Atas kewajiban pengunduran diri Pengurus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) ditetapkan hal-hal sebagai berikut: a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus Bersyarat, dan Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan kegiatan operasional BPR sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka pemegang saham wajib segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari, untuk mengesahkan pengunduran diri atau pemberhentian Pengurus yang dinyatakan Tidak Lulus; b. dalam … - 31 - b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus Bersyarat, dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka waktu yang ditetapkan, atau kepengurusan BPR yang masih ada dinilai dapat mengganggu kegiatan operasional BPR sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) BPR wajib melaporkan pengunduran diri atau pemberhentian Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Pasal 41 (1) Dalam hal pihak-pihak yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) tidak mengundurkan diri maka BPR wajib memberhentikan yang bersangkutan. dilarang menjadi Pejabat Eksekutif bersedia (2) BPR wajib melaporkan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) atau pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan pengunduran atau pemberhentian. Pasal 42 … - 32 - Pasal 42 (1) Jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ditetapkan sebagai berikut: a. selama 2 (dua) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh tidak material pada permodalan BPR; b. selama 3 (tiga) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh cukup material pada permodalan BPR; c. selama 5 (lima) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang bersangkutan: 1. mengakibatkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada permodalan BPR; atau 2. merupakan penyimpangan manajerial dan/atau perbankan yang bersifat serius. (2) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun: a. tidak dapat menyelesaikan kewajiban kredit macet dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c; atau b. dinilai tidak dapat meningkatkan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b, dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu larangan selama 2 (dua) tahun. (3) Pihak-pihak … operasional - 33 - (3) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun tidak bersedia memenuhi ketentuan atau melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu larangan selama 5 (lima) tahun. (4) Pengurus BPR yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 3 (tiga) tahun setelah yang bersangkutan diberikan 2 (dua) kali surat teguran dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari. Pasal 43 Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif dapat dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila: a. Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus tidak bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. Pemegang Saham Pengendali melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); c. Pemegang Saham Pengendali tidak memenuhi komitmen kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4); d. Pemegang … - 34 - d. Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat dalam rangka penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3); atau e. Pengurus dan Pejabat Eksekutif dinyatakan memiliki predikat Tidak Lulus, namun tidak bersedia mengundurkan diri. Pasal 44 (1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Bank Indonesia dapat menetapkan pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagai pihak-pihak yang Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun, apabila: a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab menyebabkan BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan; atau c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penetapan … - 35 - (2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal 45 (1) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 dilarang menjadi pihak yang melakukan Pengendalian, pemegang saham, Pengurus dan Pejabat Eksekutif pada seluruh BPR dan/atau Bank Umum. (2) Pihak-pihak yang dilarang melakukan Pengendalian atau menjadi pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib segera melepaskan seluruh kepemilikannya pada seluruh BPR dan/atau Bank Umum dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat melepaskan seluruh kepemilikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan maka: a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak- haknya sebagai pemegang saham BPR dan/atau Bank Umum; dan b. BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang bersangkutan. (4) Bank … saham kepada yang - 36 - (4) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu kewajiban melepaskan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program penyehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 46 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan secara tertulis kepada BPR dan kepada pihak yang dinilai. (2) Selain kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Bagian Kelima Permohonan Kembali untuk Menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pemegang Saham, Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif BPR, dan Peninjauan Kembali Pasal 47 (1) Pihak-pihak yang terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1), dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif, apabila jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 telah terlampaui. (2) Pemegang … - 37 - (2) Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum yang terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1) dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali dan/atau calon pemegang saham pada BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh perseratus) sebelum berakhirnya jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, sepanjang badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam penilaian kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus. (3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan telah dinilai memenuhi persyaratan oleh Bank Indonesia untuk menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif BPR memperoleh penilaian dengan predikat Lulus Bersyarat dan wajib membuat pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan/atau kembali menjadi pemilik dan calon Pengurus BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. (5) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pejabat Eksekutif BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. (6) Bank … - 38 - (6) Bank Indonesia dapat menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain apabila: a. yang bersangkutan mempunyai perkara yang masih dalam proses penyelesaian pengadilan; b. yang bersangkutan melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 48 (1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat atau Tidak Lulus, dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat bukti baru yang kuat dan relevan. (2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wewenang Bank Indonesia sepenuhnya. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 49 Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila berdasarkan proses dan/atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c angka 2, dan patut diduga mengandung unsur tindak pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran. Pasal 50 … - 39 - Pasal 50 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan BPR. (2) Dalam hal BPR, pihak-pihak yang dinilai dan pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46 memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 51 Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari: a. Pemegang Saham Pengendali dan/atau pemegang saham yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan tidak bersedia menurunkan kepemilikan dan/atau melepaskan kepemilikan; b. Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif; dan/atau c. Pengurus yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif yang dinyatakan Tidak Lulus. Pasal 52 … - 40 - Pasal 52 (1) BPR wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR termasuk badan hukum pemilik BPR sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BPR. (2) Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun. (3) Rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum terjadinya perubahan. (4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali BPR atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat pengendali BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka BPR wajib mengajukan calon Pemegang Saham Pengendali dan Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Bab II Peraturan Bank Indonesia ini. (5) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali BPR yang disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 53 … - 41 - Pasal 53 Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali BPR, apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan BPR. Pasal 54 (1) BPR wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPR dalam Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang saham BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 55 Calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR selain wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang penggantinya. berlaku beserta perubahan dan/atau BAB VI … - 42 - BAB VI SANKSI Pasal 56 (1) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pasal 20 ayat (2), Pasal 38 ayat (1) huruf b dan ayat (2) dan Pasal 45 ayat (3) huruf b dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. Teguran tertulis; b. Pemberhentian Pengurus BPR dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (3) Pemegang … - 43 - (3) Pemegang saham yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 huruf a, Pasal 39 ayat (3) huruf a, Pasal 40 ayat (1) huruf a dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (4) Anggota Direksi, dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 57 Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 58 (1) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang masuk dalam daftar mengenai orang-orang tertentu yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25 Januari … - 44 - Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang Dilarang menjadi Pemegang Saham dan/atau Pengurus Bank, khususnya pihak-pihak yang berasal dari BPR, dinyatakan sebagai pihak-pihak yang Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun. (2) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut tentang penilaian kemampuan dan kepatutan BPR akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 60 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang Yang Dilarang Menjadi Pemegang Saham dan/atau Pengurus Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 61 … - 45 - Pasal 61 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 9 Agustus 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR…81…. DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/23/PBI/2004 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan- perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. BPR sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu BPR perlu dikelola dan dimiliki oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi, mempunyai kompetensi yang memadai, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik. Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan yang berkualitas dan mampu setiap saat menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang dinilai … - 2 - dinilai mempunyai pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan BPR. Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek pengawasan yang lazim diterapkan secara internasional. Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pengawasan BPR oleh Bank Indonesia dan perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya pengelolaan BPR oleh sumber daya manusia perbankan yang berintegritas, kompeten, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik. Selain memperhatikan faktor-faktor integritas, kompetensi, serta kelayakan keuangan atau reputasi keuangan, penilaian kemampuan dan kepatutan juga mengandung faktor pertimbangan (judgement) yang bersumber pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta proses yang transparan. Penilaian kemampuan dan kepatutan ini selain dilakukan terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di BPR juga dilakukan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR. Terhadap pihak-pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, Bank Indonesia akan melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2… - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak dan/atau yang melakukan Pengendalian terhadap BPR, termasuk: a. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali BPR; b. saham BPR yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali BPR; c. saham BPR yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali BPR; d. saham BPR yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali BPR; e. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama pengendali BPR (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu; f. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali BPR; g. saham … - 4 - g. saham BPR lainnya selain saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh pengendali BPR. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali BPR sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah: a. Komisaris, Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali BPR; b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali BPR, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali BPR, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali BPR; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali BPR baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali BPR, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus. Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 Huruf a BPR dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Pemegang Saham Pengendali. Termasuk dalam pengertian calon Pemegang Saham Pengendali antara lain adalah pemegang saham yang menjadi Pemegang Saham Pengendali karena terjadinya pengalihan saham BPR secara internal atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham BPR, dan/atau pengajuan diri secara sukarela menjadi Pemegang Saham Pengendali. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan pula apabila terjadi peralihan jabatan dari Komisaris menjadi Direksi pada BPR yang sama. Terhadap peralihan jabatan dari Direksi menjadi Komisaris, dan/atau dari anggota Direksi atau dewan Komisaris ke jabatan yang lebih tinggi pada BPR yang sama, dan/atau terhadap perpanjangan jabatan Direksi atau Komisaris dilakukan penilaian secara administratif, antara lain penilaian terhadap track record dan penelitian untuk meyakini bahwa yang tercantum dalam daftar kredit macet. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5… bersangkutan tidak - 6 - Pasal 5 Huruf a Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran dan/atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan/atau negara secara tidak wajar dan/atau melawan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Termasuk dalam hal ini adalah komitmen calon Pemegang Saham Pengendali untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas dan permodalan BPR sesuai ketentuan yang berlaku. Huruf d Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali merupakan badan hukum maka yang bersangkutan wajib menyampaikan hasil analisa kemampuan keuangan badan hukum pada saat ini dan proyeksinya untuk jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh konsultan independen. Huruf b… - 7 - Huruf b Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila calon Pemegang Saham Pengendali mempunyai kredit macet dan/atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf c Yang dimaksud dengan hutang termasuk hutang dari perusahaan atau kelompok usaha yang Pengendali. dimiliki oleh Pemegang Saham Yang dimaksud dengan hutang yang jatuh tempo dan bermasalah adalah hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi kredit sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 7 Ayat (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham Pengendali diajukan oleh BPR berdasarkan inisiatif BPR, inisiatif calon Pemegang Saham Pengendali atau atas permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Dalam hal permohonan persetujuan calon Pemegang Saham Pengendali BPR diajukan pada saat permohonan persetujuan prinsip dalam rangka pendirian BPR, Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang BPR. Pasal 8… - 8 - Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, track record, penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, struktur kepemilikan calon Pemegang Saham Pengendali. Penelitian terhadap track record termasuk serta penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus, namun dalam penilaian kembali telah dinilai memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi Pemegang Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan/atau menjadi pemilik BPR. Huruf b Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Ayat (2) Komitmen tertulis tersebut antara lain berupa: a. komitmen BPR untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang diperkirakan memperburuk kondisi keuangan dan non keuangan BPR, seperti pembagian dividen. b. komitmen… Saham - 9 - b. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk secara transparan melaporkan rencana pengalihan kepemilikan saham perusahaan yang mengakibatkan perubahan pengendali BPR. c. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak yang melakukan Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan kepemilikan sahamnya di BPR dalam jangka waktu tertentu. d. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian termasuk ultimate shareholders untuk tidak menerima penyediaan dana dan/atau fasilitas apapun yang tidak wajar dari BPR. Pasal 9 Ayat (1) Dalam hal badan hukum pemegang saham BPR dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka ultimate shareholders adalah perorangan yang memiliki saham dan merupakan pengendali badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan BPR. Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan BPR tidak memiliki pengendali maka badan hukum tersebut merupakan ultimate shareholders. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan persyaratan administratif pada ayat ini adalah persyaratan dokumen bagi calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Yang dimaksud dengan pemerintah adalah Pemerintah Daerah. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan sebagai Pemegang Saham Pengendali pada ayat ini antara lain: a. mempengaruhi… - 11 - a. mempengaruhi kebijakan BPR; b. hadir dan/atau memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham dalam kapasitas sebagai Pemegang Saham Pengendali; c. menerima dividen sesuai dengan jumlah saham dimilikinya sebagai Pemegang Saham Pengendali. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham dan hak untuk memperoleh dividen. Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal BPR sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16… yang - 12 - Pasal 16 Persyaratan integritas pihak yang dinilai didasarkan antara lain pada track record, predikat hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan kepada calon Pengurus BPR baik Lulus atau Lulus Bersyarat, atau pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pengurus BPR. Huruf a Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran dan atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan/atau negara secara tidak wajar dan/atau melawan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Angka 1… - 13 - Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan keahlian di bidang pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, atau hukum, yang berkaitan dengan bidang perbankan dan/atau keuangan. Angka 3 Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional BPR. Angka 2 Yang dimaksud dengan pengalaman di bidang perbankan, antara lain adalah pengalaman di bidang pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan perekonomian… - 14 - perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BPR dan analisa situasi industri perbankan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Huruf a Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila calon Pengurus mempunyai kredit macet dan/atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf b Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham BPR dimiliki oleh Pemerintah Daerah, maka permohonan persetujuan calon Pengurus BPR dapat diajukan oleh Pemerintah Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan Ketenagakerjaan. Ayat (3) … - 15 - Ayat (3) Dalam hal permohonan persetujuan calon Pengurus BPR diajukan pada saat permohonan persetujuan prinsip dalam rangka pendirian BPR, Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang BPR. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian dokumen persyaratan administratif, track record serta penelitian reputasi keuangan calon Pengurus BPR. Huruf b Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan kegiatan operasional antara lain kegiatan di bidang pemasaran, pembukuan, pendanaan dan perkreditan. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 16 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3). Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain adalah pemegang saham. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain seperti: 1. penggelapan… - 17 - 1. penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan BPR; 2. transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva BPR serta transaksi rekening administratif; 3. kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan BPR; 4. praktek bank dalam bank atau usaha bank di luar pembukuan bank; 5. window dressing dalam pembukuan atau laporan BPR yang secara materil berpengaruh terhadap keadaan keuangan BPR sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap BPR; atau 6. kerjasama yang tidak wajar sehingga salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri. Huruf b Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen. telah Huruf c Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian BPR. Yang … - 18 - Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan BPR adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan keuangan di masa yang akan datang. Huruf d Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara lain Kualitas Aktiva Produktif, Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Ayat (2) Huruf a Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali yang menjadi Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Komitmen yang dimaksud dalam huruf ini adalah sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang dipersyaratkan dalam Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 26… - 19 - Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan BPR. Ayat (2) Penilaian terhadap faktor kompetensi didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif sesuai uraian tugas yang ada pada BPR yang bersangkutan. Huruf a Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional BPR. Huruf b Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan… - 20 - perkreditan, dan/atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan dan/atau keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BPR dan analisis situasi industri BPR. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Penilaian sewaktu-waktu dilakukan apabila dari hasil pengawasan tidak langsung, pengawasan langsung (pemeriksaan), dan/atau informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui adanya indikasi penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. Huruf b… - 21 - Huruf b Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka penilaian kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan melalui pemeriksaan khusus atau secara bersamaan dengan pemeriksaan lainnya. Huruf c Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok usaha, maka konfirmasi hasil penilaian kemampuan dan kepatutan disampaikan kepada seluruh anggota kelompok usaha yang terkait dengan BPR. Huruf d Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf e Cukup jelas Huruf f Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis. Huruf g Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf h… - 22 - Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR dilakukan apabila terdapat indikasi permasalahan integritas dan kelayakan keuangan. Ayat (2) … - 23 - Ayat (2) Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah apabila Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali juga diberikan predikat Tidak Lulus. Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam kelompok Pemegang Saham Pengendali. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Pernyataan tertulis dan kewajiban yang diminta untuk dilakukan disesuaikan dengan penyebab diberikannya predikat Lulus Bersyarat. Ayat (1)… - 24 - Ayat (1) Huruf a Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Huruf b Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui upaya yang bersangkutan untuk menambah pengetahuan. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Huruf c Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis dari BPR dan/atau Bank Umum pemberi kredit yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah dilunasi atau kredit dimaksud tidak lagi kualitas macet. Kewajiban penyelesaian kredit macet bagi pihak-pihak yang merupakan pengurus badan hukum yang tercatat memiliki kredit macet dianggap telah terpenuhi apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan hukum tersebut dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank Indonesia. Perhitungan… termasuk dalam - 25 - Perhitungan jangka waktu penyelesaian kredit macet dimulai sejak Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Pemenuhan kewajiban untuk menyampaikan surat pernyataan oleh pihak yang Lulus Bersyarat tidak mengakibatkan status yang bersangkutan menjadi Lulus namun yang bersangkutan dapat tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat Eksekutif. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Pengenaan sanksi larangan dalam Pasal ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan/atau tindakan yang diberikan predikat Tidak Lulus pada suatu bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang bersangkutan telah menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan/atau Pejabat Eksekutif pada BPR dan/atau Bank Umum lain. tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Pasal 37… - 26 - Pasal 37 Ayat (1) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud maka yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan wewenang sebagai Pemegang Saham Pengendali, kecuali hak untuk menerima dividen. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (2) Perhitungan jangka waktu 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham hanya dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus). Pencatatan… - 27 - Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank. Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham serta hak untuk memperoleh dividen. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai Penetapan Status BPR Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dan Persyaratan dan Tatacara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengunduran diri pada ayat ini adalah pengunduran diri yang bersangkutan dari BPR. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (2) … - 28 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Termasuk… - 29 - Termasuk dalam pengertian kerugian pada permodalan BPR adalah berkurangnya keuntungan BPR dan/atau potensi kerugian yang ditimbulkan. Ayat (2) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (3) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 43 Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 44 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Huruf a Cukup jelas Huruf b… - 30 - Huruf b Yang dimaksud dengan bertanggung jawab menyebabkan BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem perbankan, antara lain adalah: 1) memanfaatkan BPR untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia, yang menyebabkan BPR bermasalah berat sehingga dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut izin usahanya. Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 31 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham serta hak untuk memperoleh dividen. Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun modal BPR sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Ayat (4) Yang dimaksud ketentuan mengenai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Penetapan Status BPR Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha serta Persyaratan dan Tatacara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah pemegang saham. Pasal 47… - 32 - Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan memuat pernyataan tidak akan melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan tentang faktor kompetensi, integritas dan/atau kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan Bank Indonesia tentang BPR. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan perkara dalam huruf ini adalah perkara yang terkait dengan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b… - 33 - Huruf b Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketenagakerjaan atau keimigrasian. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan relevan yang dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan, informasi atau keputusan dari instansi atau lembaga lain akan digunakan sebagai pertimbangan keputusan Bank Indonesia tersebut. dalam Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas pada ayat ini bersifat independen dengan huruf ini antara lain ketentuan tentang penetapan Ayat (2) … - 34 - Ayat (2) Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada Pengurus BPR dan pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46. Pasal 51 Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website Bank Indonesia. Pasal 52 Ayat (1) Laporan struktur kelompok usaha pada ayat ini memuat seluruh perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham BPR dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian dan/atau memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders. Laporan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR sesuai Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali dilaporkan untuk posisi 31 Desember 2004. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … - 35 - Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 53 Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan BPR antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan pengendali BPR. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Contoh pengungkapan informasi pengendali shareholders): 1. Tuan X melalui PT ABC …% saham BPR. 2. Tuan Z melalui:  PT A…% saham BPR,  PT B …% saham BPR, dan  PT C …% saham BPR. terakhir (ultimate Pasal 55… - 36 - Pasal 55 dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan kepengurusan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai BPR. Yang Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 4410
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/23/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 9 Agustus 2004 </set_date> <effective_date> 9 Agustus 2004 </effective_date> <replaced_reg> '27/118/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 5 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi ekonomi global yang semakin terintegrasi membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan perekonomian domestik antara lain melalui penguatan pengelolaan moneter dan pengembangan pasar keuangan domestik; b. bahwa adanya aliran masuk devisa yang bersumber antara lain dari hasil ekspor, portofolio investasi, maupun investasi berjangka panjang di Indonesia merupakan potensi untuk peningkatan pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik; c. bahwa dalam rangka peningkatan pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik diperlukan pengkayaan instrumen operasi moneter; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter; Mengingat ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER. Pasal I ... - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dengan cara Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas. (2) Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Kegiatan OPT meliputi : a. penerbitan SBI; b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga; c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah; e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan g. transaksi ... - 4 - g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 5 huruf e dapat dicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. (2) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dapat dialihkan oleh peserta Operasi Moneter menjadi transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah Bank Indonesia. 4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dapat menjadi pengurang Posisi Devisa Neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara peserta Operasi Moneter pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. (2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari : a. Nilai Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; b. Nilai ... - 5 - b. Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; atau c. 5% (lima per seratus) dari modal peserta Operasi Moneter. (3) Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang, dengan format sebagaimana contoh pada Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang Posisi Devisa Neto. 5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki : a. rekening giro rupiah di Bank Indonesia; dan b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing. (2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di BI-SSSS atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi. (4) Peserta ... - 6 - (4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di pasar valuta asing wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi. (5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal. (6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan: a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian transaksi, untuk transaksi di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf a. 6. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 19 (1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a, peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban ... - 7 - b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam US Dollar; 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing non US Dollar. (3) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. 7. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Dalam hal peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di pasar valuta asing selain penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (6) huruf b tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), peserta Operasi Moneter dimaksud wajib membayar nominal transaksi pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian transaksi. (2) Peserta ... - 8 - (2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing US Dollar. 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar; atau 3. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah. (3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebet rekening giro valuta asing peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing US Dollar dan valuta asing non US Dollar. b. Perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan ... - 9 - menggunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 WIB pada tanggal pembebanan. c. Pendebetan rekening giro rupiah peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran peserta Operasi Moneter dalam rupiah. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Juni 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 130 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 5 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Dinamika perekonomian nasional dewasa ini dan ke depan dihadapkan pada sejumlah tantangan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dalam rangka merespon sekaligus mengantisipasi berbagai tantangan tersebut, Bank Indonesia memandang perlunya peningkatan pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik dengan menyediakan instrumen penempatan devisa untuk memfasilitasi masuknya devisa, termasuk yang berasal dari hasil ekspor. Sejalan dengan upaya tersebut, dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing domestik guna mendukung pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Cukup jelas. Angka 2 ... - 2 - Angka 2 Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI” adalah penjualan SBI oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta Operasi Moneter dan Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Yang ... - 3 - Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi tersebut dimungkinkan untuk dinegosiasikan dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang ... - 4 - yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Huruf g Cukup jelas. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah Bank Indonesia” adalah transaksi beli valuta asing oleh Bank Indonesia melalui pembelian tunai (spot), dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Angka 4 Pasal 7A Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan Posisi Devisa Neto peserta Operasi Moneter yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing adalah sebagai berikut : dalam ... - 5 - dalam juta rupiah No Modal* a 1 200.000 2 200.000 3 200.000 PDN sebelum TD Valas Absolut PDN b Rasio PDN c c = b/a 30.000 15% 35.000 30.000 15% 5.000 6.000 3% 8.000 d TD TD sebagai pengurang PDN TD ≤ PDN e d ≤ b 30.000 5.000 6.000 TD ≤ 5% Modal f d ≤ 5% x a 10.000 10.000 10.000 10.000 5.000 6.000 Maksimum TD pengurang PDN g** PDN sesudah TD Valas Absolut PDN h h = b-g 20.000 25.000 0 Rasio PDN i i = h/a 10% 12,5% 0% *) Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan BI yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum **) Nilai maksimum TD pengurang PDN (kolom g) adalah yang memenuhi syarat TD ≤ PDN ( kolom e) dan TD ≤ 5% dari modal (kolom f). Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. Ayat (3) Laporan harian Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang merupakan tambahan dari kewajiban pelaporan Posisi Devisa Neto melalui Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Penyampaian ... - 6 - Penyampaian laporan kepada Bank Indonesia dilakukan secara offline sampai pelaporan secara online melalui Sistem LHBU dapat dilaksanakan. Laporan Posisi Devisa Neto yang disampaikan secara offline merupakan Posisi Devisa Neto pada 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penyampaian laporan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam rupiah. Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 6 ... - 7 - Angka 6 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5321 LAMPIRAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 5 /PBI/2012 TANGGAL 8 JUNI 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER - 8 - CONTOH LAPORAN PDN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT VALAS Kepada Yth. Bank Indonesia cq.: Departemen Pengawasan Bank / Kantor Perwakilan BI1 Jl.............. 1. LAPORAN PDN GABUNGAN KANTOR DN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT VALAS Sandi Bank Jenis Kegiatan Usaha Jenis Term Deposit Valas PDN setelah dikurangi Term Deposit Valas Terlampir perhitungan PDN gabungan kantor DN setelah dikurangi term deposit valas.2 2. LAPORAN PDN GABUNGAN KANTOR DN DAN LN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT VALAS Sandi Bank Jenis Term Deposit Valas PDN setelah dikurangi Term Deposit Valas Terlampir perhitungan PDN gabungan kantor DN dan LN setelah dikurangi term deposit valas.2 Jakarta, (diisi tanggal/bulan/tahun) (....................)3 1 Diisi sesuai dengan Departemen Pengawasan Bank terkait atau kantor perwakilan BI setempat. 2 Dilampirkan perhitungan dengan mengacu pada contoh perhitungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7A ayat (2). 3 Ditandatangani dan diisi nama dan jabatan pejabat/pegawai yang bertanggung jawab . GUBERNUR BANK INDONESIA, Jenis Kegiatan Usaha Sandi Valuta Tgl Laporan No form Jumlah record isi Volume (jumlah dalam juta rupiah) Sandi Valuta Tgl Laporan No form Jumlah record isi Volume (jumlah dalam juta rupiah) DARMIN NASUTION
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/5/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 8 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 8 Juni 2012 </effective_date> <issued_date> 8 Juni 2012 </issued_date> <changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 19', 'Pasal I Angka 7 Pasal 20 Ayat 2','Pasal I Angka 7 Pasal 20 Ayat 3' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1 / 9 /PBI/1999 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat dibutuhkan dalam rangka penyusunan neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia; b. bahwa laporan kegiatan lalu lintas devisa yang lengkap, benar dan tepat waktu merupakan faktor penting dalam perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran dan perbankan; c. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dengan Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); M E M U T U S K A N … -2- M E M U T U S K A N : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1. Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri antar penduduk; 2. Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah aset dan kewajiban finansial terhadap bukan penduduk, antara lain dalam bentuk simpanan, surat-surat berharga dan pinjaman baik dalam valuta asing maupun rupiah; 3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri; 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 5. Lembaga Keuangan Non Bank meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Pasal 2 … -3- Pasal 2 Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib menyampaikan keterangan dan data kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya secara lengkap, benar dan tepat waktu. Pasal 3 Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia. BAB II PELAPORAN OLEH BANK Pasal 4 (1) Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi: a. Perpindahan devisa melalui Bank baik untuk kepentingan Bank maupun nasabah, yaitu transaksi: 1. Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; 2. Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; 3. Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk dalam valuta asing. b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Bank. (2) Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank dimaksud. (3) Nasabah … -4- …. (3) Nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank wajib memberikan keterangan dan data kepada Bank yang bersangkutan. BAB III PELAPORAN OLEH LEMBAGA KEUANGAN NON BANK Pasal 5 Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi: a. Perpindahan devisa dalam rangka transaksi: 1. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam Rupiah maupun valuta asing; 2. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan penduduk dalam valuta asing. b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Lembaga Keuangan Non Bank. BAB IV PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 6 Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya, Bank Indonesia dapat meneliti kebenaran keterangan dan data tersebut, termasuk meminta bukti pembukuan, catatan dan dokumen yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2. Pasal 7… -5- Pasal 7 Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan pembukuan, catatan dan dokumen yang ada padanya. Pasal 8 Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala pembukuan, catatan, dokumen dan penjelasan yang disampaikan oleh yang bersangkutan. BAB V SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 9 (1) Keterlambatan penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut : a. Bagi Bank sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah); b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); untuk setiap hari keterlambatan. (2) Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut : a. Bagi bank sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah); ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10… -6- Pasal 10 Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang menyampaikan laporan secara tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut: a. Bagi Bank paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank paling banyak sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah). Pasal 11 Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha bank. Pasal 12 Bagi Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang. Pasal 13 Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI… -7- BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Oktober 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 207 DSM -8- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR : 1 / 9 /PBI/1999 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK UMUM Seperti telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar bahwa Pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas. Dengan demikian setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa yang dimilikinya. Namun, mengingat di satu sisi, devisa merupakan salah satu sumber pembiayaan yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional dan di sisi lain, keterangan dan data mengenai kegiatan lalu-lintas devisa selama ini belum terpenuhi secara lengkap maka dibutuhkan suatu sistem pemantauan lalu lintas devisa yang efektif. Sistem pemantauan lalu lintas devisa yang efektif tersebut akan mendukung penerapan sistem devisa bebas agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa meliputi pemantauan semua transaksi yang menimbulkan terjadinya perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk. Disamping itu, dalam rangka memperoleh informasi mengenai pergerakan devisa dari dan ke sektor -9- finansial, pemantauan atas perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk perlu pula dilakukan. Pemantauan tersebut dimaksudkan terutama untuk keperluan penyusunan statistik neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia. Dengan adanya sistem pemantauan tersebut memungkinkan otoritas moneter memiliki statistik mengenai kegiatan lalu lintas devisa secara lengkap, akurat, dan tepat waktu sehingga dapat mendukung perumusan dan peningkatan efektivitas kebijakan di bidang moneter. Berkenaan dengan itu, maka untuk mewujudkan sistem pemantauan lalu lintas devisa yang efektif tersebut, seluruh Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa diwajibkan untuk menyampaikan laporan kegiatan lalu lintas devisa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Keterangan dan data yang bersifat rahasia adalah keterangan dan data yang bersifat individual. -10- Pasal 4 Ayat (1) Keterangan … -11- Keterangan dan data yang dilaporkan antara lain meliputi: a. Nilai dan jenis transaksi; b. Tujuan atau maksud transaksi; c. Pelaku transaksi; d. Negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. Ayat (2) Nasabah yang wajib dimintakan keterangan dan data oleh Bank adalah nasabah penduduk. Keterangan dan data tersebut diperlukan dalam rangka mendukung pelaporan Bank kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Kewajiban nasabah memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa kepada Bank merupakan laporan tidak langsung kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 24 tahun 1999. Keterangan dan data dimaksud meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Pasal 5 Keterangan dan data yang dilaporkan antara lain meliputi: a. Nilai dan jenis transaksi; b. Tujuan atau maksud transaksi; c. Pelaku transaksi; d. Negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Penempatan … -12- Penempatan dana oleh Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara lain dalam bentuk deposito, pembelian surat berharga dan penyertaan pada perusahaan. Pembayaran oleh Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara lain pelunasan utang, pembayaran dividen, pembayaran premi asuransi dan pembayaran fee. Penerimaan Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara lain penarikan pinjaman, pelunasan kredit yang diberikan, pelunasan surat- surat berharga, penerimaan dalam rangka penyertaan modal, penerimaan dividen, klaim asuransi, klaim penjaminan, penerimaan fee, penjualan piutang dan penarikan dana simpanan. Yang dimaksud dengan transaksi dalam valuta asing antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan penduduk adalah penempatan, pembayaran dan penerimaan Lembaga Keuangan Non Bank yang pelaksanaannya dilakukan dalam mata uang selain Rupiah. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Bank … -13- Bank dan LKNB dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila laporan Bank dan LKNB diterima oleh Bank Indonesia melewati masa penyampaian laporan sampai dengan batas waktu keterlambatan penyampaian laporan. Masa dan batas waktu keterlambatan penyampaian laporan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender. Ayat (2) Bank dan LKNB dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank Indonesia belum menerima laporan Bank dan LKNB sampai dengan batas waktu keterlambatan penyampaian laporan. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Hal-hal yang akan diatur dalam SE Bank Indonesia antara lain : a. batasan besarnya kegiatan lalu lintas devisa yang wajib dilaporkan secara rinci; b. prosedur dan tata cara penyampaian laporan; c. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi. Pasal 14 … -14- Pasal 14 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3915 DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/9/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK </reg_title> <set_date> 28 Oktober 1999 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 3 /PBI/2008 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara bulanan dan triwulanan yang tersedia secara tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a diperlukan suatu sistem pelaporan yang memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan moneter, pengawasan bank, dan pengawasan sistem pembayaran; c. bahwa pada saat ini laporan berbagai informasi yang disampaikan oleh bank belum terdapat keseragaman dalam penyajian laporan; d. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b diperlukan suatu penyajian laporan yang disusun dan disampaikan secara bulanan dan triwulanan dalam suatu sistematika yang ditetapkan … -2- ditetapkan dan disampaikan melalui suatu sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN… -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 4. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank, Kantor Cabang Bank Asing dan UUS. 5. Laporan … -4- 5. Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara bulanan (Laporan bulanan) dan/atau triwulanan (Laporan triwulanan) kepada Bank Indonesia melalui sistem laporan kantor pusat bank umum. 6. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LKPBU adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis web yang disampaikan Bank Pelapor melalui jaringan ekstranet. 7. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah akhir bulan Laporan untuk Laporan bulanan dan dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. 8. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut On-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan mengirim data secara langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia. 9. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut Off-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia. 10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor yang berada dalam satu wilayah propinsi dengan Bank Indonesia setempat. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENANGGUNG-JAWAB LAPORAN Pasal 2 Bank Pelapor menyusun Laporan yang meliputi: a. Kegiatan Kustodian; b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); c. Penyelenggaraan … -5- c. Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Instrumen Prabayar; d. Remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri; e. Mutasi Rekening Pemerintah; dan/atau f. Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pasal 3 (1) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, dan keakuratan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank Pelapor harus meminta keterangan dan data kepada nasabah terkait dengan kebenaran dan kelengkapan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan Person In-Charge (PIC) Laporan kepada Bank Indonesia. (4) Penunjukan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing atau Kepala UUS. (5) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Pelapor harus mengkinikan dan melaporkan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 4 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. (2) Bank … -6- (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari. (3) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan form header: a. paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e, dan/atau b. paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f. (4) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki izin untuk melaksanakan kegiatan kustodian atau Bank Pelapor tidak menyelenggarakan kegiatan APMK, Bank Pelapor tidak wajib menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU. Pasal 5 Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e secara lengkap, benar, dan akurat. Pasal 6 (1) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a apabila Bank Indonesia: a. menerima … -7- a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya atau b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. (2) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 4 ayat (2) dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b apabila Bank Indonesia: a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari atau b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari. (3) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan dan/atau form header yang belum disampaikan. Pasal 7 (1) Bank Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dalam hal terdapat koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e, koreksi Laporan tersebut wajib disampaikan dalam jangka waktu Periode Pelaporan. (3) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila koreksi Laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan koreksi Laporan yang belum disampaikan. (5) Bank … -8- (5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU. Pasal 8 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian: a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2); b. form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); dan/atau c. koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya. BAB IV PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 9 (1) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 melalui Sistem LKPBU secara On- Line. (2) Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan dan 1 (satu) bulan setelah masa Laporan. (3) Dalam hal penyampaian Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 melampaui waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian … -9- penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line. Pasal 10 (1) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dan/atau Pasal 7 ayat (2), Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line. (2) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis, yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang, dengan alamat: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis, maka Bank Indonesia memberitahukan kepada Bank Pelapor terjadinya gangguan tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dan/atau Pasal 7 ayat (2), Bank … -10- Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat Hari Kerja berikutnya secara Off-Line. (5) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Bank Pelapor dianggap terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan/atau Pasal 7 ayat (3). (6) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan kepada: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1), tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure). (2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure), yang ditandatangani oleh Pejabat Bank Pelapor yang berwenang. (3) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi. (4) Pemberitahuan … -11- (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas terjadinya keadaan memaksa (force majeure) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB V HAK AKSES LAPORAN Pasal 12 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap Sistem LKPBU dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap Sistem LKPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LKPBU yang diberikan oleh Bank Indonesia. BAB VI S A N K S I Pasal 13 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana dimaksud … -12- dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap form. (3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. (4) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. (5) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dalam batas waktu periode penyampaian On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Bank Pelapor dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak dikenakan sanksi terhadap penyampaian Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Bank … -13- (6) Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) karena kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode penyampaian secara On-Line, maka Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Bank Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal: a. belum menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai periode penyampaian Laporan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (4); dan/atau b. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (2). Pasal 14 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Nomor 27/31/ULN tanggal 10 Januari 1995 perihal Laporan Mengenai Transfer Valuta Asing … -14- Asing Oleh Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … -15- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 4 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 12 UKMI/DASP/DPNP/DINT/DSM -1- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/3/PBI/2008 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM UMUM Dalam menjalankan tugas sebagai otoritas moneter, pengawasan bank, dan sistem pembayaran nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Cerminan dari upaya tersebut adalah keputusan, kebijakan, dan ketentuan yang dihasilkan Bank Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dan konstruktif bagi pergerakan perekonomian nasional yang berkesinambungan. Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas terutama berasal dari bank mengingat industri perbankan merupakan transmisi kebijakan moneter secara makro. Data dan informasi dimaksud berupa kondisi keuangan bank yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan maupun kegiatan usaha bank berupa kegiatan transaksional dan kegiatan operasional lain seperti kustodian, Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), dan kegiatan pembayaran non tunai serta pengaduan nasabah bank. Selama ini pelaporan data dan informasi kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh bank secara manual melalui hardcopy. Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang didukung … -2- didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai dan bersifat sistematis seperti sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan kegiatan kustodian adalah kegiatan penitipan surat berharga (efek) untuk kepentingan nasabah berdasarkan suatu kontrak. Huruf b Yang dimaksud dengan SKBDN adalah setiap janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis pemohon (applicant) yang mengikat bank pembuka (issuing bank) untuk: a. melakukan pembayaran kepada penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima; b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima; atau c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh penerima. atas penyerahan dokumen, sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN dipenuhi. Huruf c Yang dimaksud dengan Penyelenggaraan Kegiatan APMK adalah penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran yang berupa kartu kredit … -3- kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet, dan/atau kartu prabayar. Kartu prabayar merupakan bagian dari instrumen prabayar. Yang dimaksud dengan Instrumen Prabayar adalah alat pembayaran yang diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit baik secara langsung atau melalui agen-agen penerbit dimana nilai uang tersebut dicatat secara elektronik dan disimpan dalam media penyimpan data elektronik yang berada dalam pengelolaan penerbit atau pemegang. Huruf d Yang dimaksud dengan Remittance TKI di Luar Negeri adalah penerimaan uang dari TKI di luar negeri melalui Bank Pelapor. Huruf e Yang dimaksud dengan Mutasi Rekening Pemerintah adalah mutasi yang terjadi pada rekening milik pemerintah pusat maupun daerah yang ada di Bank Pelapor. Bagi Bank Pelapor yang tidak menatausahakan rekening pemerintah, maka Mutasi Rekening Pemerintah tersebut berasal dari rekening antara atau rekening sejenis yang digunakan sebagai rekening penampungan pajak. Huruf f Yang dimaksud dengan pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … -4- Ayat (2) Yang dimaksud dengan keterangan dan data kepada nasabah adalah informasi tambahan yang diperlukan dari nasabah terkait dengan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Ayat (3) Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang ditunjuk oleh Bank Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait dengan Laporan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab Laporan tetap melekat pada Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing atau Kepala UUS. Ayat (5) Mengkinikan perubahan PIC dilakukan oleh Bank Pelapor dengan cara menyesuaikan informasi melalui form Informasi Pokok Pelapor di dalam Sistem LKPBU. Pasal 4 Ayat (1) Contoh: Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2008 sebagai berikut: a. Data yang dilaporkan dalam kegiatan kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a merupakan data posisi pada akhir bulan Maret 2008. b. Data … -5- b. Data yang dilaporkan dalam SKBDN sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf b merupakan data akumulasi pada bulan Maret 2008. c. Data yang dilaporkan dalam Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan Instrumen Prabayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c merupakan akumulasi transaksi pada bulan Maret 2008 dan/atau posisi data pada akhir bulan Maret 2008 sesuai jenis data yang dilaporkan. d. Data yang dilaporkan dalam Remittance TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d merupakan akumulasi data pada bulan Maret 2008. e. Data yang dilaporkan dalam Mutasi Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e merupakan mutasi harian pada bulan Maret 2008. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan tidak memiliki data adalah kondisi dimana Bank Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan melakukan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem LKPBU, namun sampai dengan akhir bulan Laporan dan/atau masa Laporan tidak ada data yang dilaporkan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud tanda terima dari Sistem LKPBU adalah tampilan atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. Pasal 5 … -6- Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Contoh: Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008. Ayat (2) Contoh: Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak benar, tidak akurat, dan/atau tidak terkini, baik yang diketahui oleh Bank Pelapor maupun Bank Indonesia. Ayat (2) Contoh: Koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2008. Ayat (3) … -7- Ayat (3) Contoh: Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur umum mengikuti keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setempat. Contoh: Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008. Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan tersebut paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan data bulan Maret 2008 secara On-line sampai dengan akhir bulan April 2008. Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai dengan akhir bulan April 2008. Yang … -8- Yang dimaksud dengan bulan Laporan adalah jangka waktu yang menunjukkan sumber data Laporan bulanan berasal. Contoh: data akumulasi kegiatan tanggal 1 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008 merupakan data bulan Laporan Maret tahun 2008. Yang dimaksud dengan masa Laporan adalah jangka waktu yang menunjukkan sumber data Laporan triwulanan berasal. Contoh: data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah dari tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008 merupakan data masa Laporan triwulan I tahun 2008. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Pelapor adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank Pelapor. Yang dimaksud dengan pada akhir Periode Pelaporan adalah tanggal 15 untuk Laporan bulanan dan tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan … -9- Laporan secara On-Line dari Bank Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Yang dimaksud dengan sarana lain antara lain: e-mail, telepon, faksimili. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan, antara lain yang diakibatkan karena kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi adalah keadaan dimana Bank Pelapor secara normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) … -10- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Pelapor untuk dapat mengirim Laporan, form header, dan/atau menerima hasil olahan Laporan melalui log- in ke dalam Sistem LKPBU di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Bank Pelapor menyampaikan data Remittance dari TKI di Luar Negeri untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp1.000.000,00. Bank Pelapor menyampaikan data SKBDN untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor seharusnya dikenakan sanksi sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja atau sebesar Rp15.500.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp7.500.000,00. Ayat (2) … -11- Ayat (2) Contoh: Bank Pelapor menyampaikan Laporan Periode Triwulan I tahun 2008 Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk form Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab Pengaduan, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp3.000.000,00. Bank Pelapor menyampaikan Laporan Periode Triwulan I tahun 2008 Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk form Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab Pengaduan, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 12 Juni 2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor seharusnya dikenakan sanksi sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 40 Hari Kerja atau sebesar Rp60.000.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 x 3 form atau sebesar Rp45.000.000,00. Ayat (3) Contoh: Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data Remittance TKI di Luar Negeri untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan koreksi tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00. Bank … -12- Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data SKBDN untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan tersebut Bank Pelapor seharusnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja atau sebesar Rp1.550.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp750.000,00. Ayat (4) Yang dimaksud dengan item adalah field-field pada setiap record dalam setiap form. Contoh: Data Kustodian terdapat kesalahan sebanyak 10 (sepuluh) item. Atas kesalahan tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar Rp500.000,00 untuk form Kustodian. Data SKBDN terdapat kesalahan sebanyak 100 (seratus) item. Atas kesalahan tersebut seharusnya Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar Rp50.000,00 x 100 item atau sebesar Rp5.000.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 untuk form SKBDN. Ayat (5) … -13- Ayat (5) Contoh: Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan terhadap 18 (delapan belas) item kesalahan data Remittance TKI di Luar Negeri untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Terhadap pelanggaran tersebut Bank Pelapor hanya dikenakan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan koreksi Laporan sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00. Atas penyampaian Laporan secara tidak benar sebanyak 18 (delapan belas) item kesalahan Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (6) Contoh: Laporan kegiatan kustodian Periode Laporan bulan Maret 2008, pada tanggal 5 Mei 2008 ditemukan 10 (sepuluh) item kesalahan. Berdasarkan kesalahan tersebut Bank Pelapor hanya dikenakan sanksi kewajiban membayar atas penyampaian Laporan secara tidak benar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15… -14- Pasal 15 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain: a. ruang lingkup data Laporan; b. format dan jenis Laporan; c. penyampaian dan koreksi Laporan; d. hak akses; dan biaya hak akses e. sanksi; f. hal-hal lain yang terkait. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4810 UKMI/ DASP/DPNP/DINT/DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/3/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 4 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date> <replaced_reg> '27/31/ULN|SE-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 23 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi perekonomian secara global telah mengalami krisis keuangan yang berpotensi memiliki dampak terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional; b. bahwa diperlukan upaya untuk dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional dengan menjaga ketersediaan dana (likuiditas) yang cukup, baik bagi pelaku perbankan maupun pelaku perekonomian di Indonesia; c. bahwa pengendalian likuiditas melalui penyesuaian instrumen moneter bank sentral yaitu berupa penyesuaian giro wajib minimum, merupakan salah satu pilihan (opsi) untuk menjaga ketersediaan likuiditas bagi pelaku perbankan dan pelaku perekonomian di Indonesia, terutama dalam hal ketersediaan dana valuta asing di pasar; d. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang berlaku perlu disesuaikan dengan kondisi likuiditas perbankan, kemampuan bank melakukan fungsi intermediasi maupun…… - 2 - maupun arah kebijakan Bank Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, butir b dan butir c, perlu untuk melakukan perubahan kedua mengenai ketentuan giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHANKEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I …… - 3 - Pasal I Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/23/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4649) diubah sebagai berikut : Pasal 4 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008. Agar …… - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 16 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 150 DPbS - 5 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 23 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Kondisi perekonomian global saat ini yang tengah mengalami krisis keuangan sebagai akibat dari dampak lanjutan terjadinya kasus subprime mortgage di lembaga keuangan Amerika Serikat, berdampak pula terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional. Terciptanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional dengan melakukan upaya pengendalian ketersediaan dana (likuiditas) merupakan salah satu tindakan yang penting dan berguna bagi pelaku perekonomian nasional. Upaya pengendalian ketersediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pelaku perekonomian nasional, termasuk didalamnya bagi pelaku perbankan antara lain dilakukan dengan melaksanakan penyesuaian instrumen moneter bank sentral berupa besaran pemeliharaan giro wajib minimum yang harus disimpan di Bank Indonesia. Sebagai salah satu instrumen moneter, penetapan kebijakan giro wajib minimum, dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan, kemampuan bank melakukan fungsi intermediasi, dan arah kebijakan Bank Indonesia dalam menyikapi situasi dan kondisi perekonomian …… - 2 - perekonomian yang bersifat global maupun nasional yang berpengaruh terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional. Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan kondisi likuiditas perbankan dewasa ini, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian besaran pemeliharaan giro wajib minimum di Bank Indonesia bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 4 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4908
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/23/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 16 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 16 Oktober 2018 </issued_date> <changed_reg> '6/21/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan perlu dijaga untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter; b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap memperhatikan peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi; c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas bank melalui kebijakan giro wajib minimum; d. bahwa dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan giro wajib minimum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat ... - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia atau OJK untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3. Otoritas ... - 3 - 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam Rupiah dan valuta asing. 5. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 7. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 8. Loan to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat LDR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank. 9. LDR Target adalah kisaran LDR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 10. Giro ... - 4 - 10. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 11. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 12. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 13. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR Target. 14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat JIBOR adalah suku bunga antar Bank untuk berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam mata uang Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 18. Excess ... - 5 - 18. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara di Bank Indonesia. 19. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. 20. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 21. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target. 22. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target. BAB II PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah. (2) GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari GWM Primer, GWM Sekunder, dan GWM LDR. (3) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing. Pasal 3 Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah. b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam ... - 6 - dalam Rupiah. c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. Pasal 4 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada Bank yang melakukan merger atau konsolidasi. (2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. (3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kewajiban pemenuhan GWM Sekunder dan GWM LDR. (4) Pemberian kelonggaran GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank Indonesia yang disertai persetujuan dari OJK mengenai pemberian insentif merger atau konsolidasi berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah. Pasal 5 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 6 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu. BAB III ... - 7 - BAB III REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 7 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan, dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. BAB IV PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 8 Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 secara harian. Pasal 9 Pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan GWM LDR dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, serta pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Pasal 10 ... - 8 - Pasal 10 (1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan sebagai berikut: a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen). b. Batas atas LDR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen). d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu). e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). (2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. (3) Tata cara pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 Pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dilakukan sebagai berikut: a. Dalam hal LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. b. Dalam hal LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK dalam Rupiah. c. Dalam ... - 9 - c. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam Rupiah. d. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. Pasal 13 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) terhadap Bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana. (2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar permintaan OJK. Pasal 14 (1) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b, Pasal 12, dan Pasal 17 ayat (2) serta DPK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperoleh dari Laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. (2) LDR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 12 diperoleh dari pos-pos neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. (3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11 adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan OJK yang digunakan dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan. (4) KPMM ... - 10 - (4) KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan KPMM Bank untuk posisi akhir triwulan, sebagai berikut: a. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan Desember, Januari, dan Februari. b. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan Maret, April, dan Mei. c. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus. d. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan September, Oktober, dan November. (5) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh OJK. Pasal 15 (1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 masing-masing terdiri atas: a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank; b. saldo Rekening Giro Valas Bank. (2) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. Pasal 16 ... - 11 - Pasal 16 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 12, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 5 terdiri atas: a. rata-rata harian total DPK dalam Rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam Rupiah meliputi kewajiban dalam Rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk Bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. BAB V JASA GIRO Pasal 17 (1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun. (4) Jasa ... - 12 - (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilaksanakan dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 7 bulan yang sama; b. jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang sama; c. jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 23 bulan yang sama; d. jasa giro periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan dikreditkan pada bulan berikutnya paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal akhir bulan. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pengkreditan yang terkait dengan pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. BAB VI ... - 13 - BAB VI PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 19 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung; b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau c. Bank Indonesia menggunakan data hasil pemeriksaan OJK. BAB VII SANKSI Pasal 20 Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut: 1. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran. 2. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening ... - 14 - Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. 3. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada angka 2 dibayarkan dalam Rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. Pasal 21 Sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf b angka 1 dikecualikan: a. bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), sepanjang kekurangan GWM Primer dalam Rupiah tidak lebih dari 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah; dan/atau b. bagi Bank yang mendapatkan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1). Pasal 22 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b angka 1 dan angka 2 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. (4) Apabila ... - 15 - (4) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b angka 1. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5200); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam ... - 16 - Dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5446), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5446), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2013. Agar ... - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 235 DKMP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Pengelolaan likuiditas perbankan perlu dilakukan agar transmisi kebijakan moneter melalui sistem perbankan dapat berlangsung secara optimal melalui peran Bank dalam sistem pembayaran, pasar uang, dan fungsi intermediasi dalam penyaluran kredit. Sebagai salah satu pelaku utama di sistem keuangan, kondisi likuiditas di sektor perbankan sangat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga upaya untuk menjaga kecukupan likuiditas Bank perlu terus dilakukan secara terukur agar kecukupan likuiditas Bank berjalan searah dengan pertumbuhan asetnya. Kebijakan penguatan likuiditas dilakukan dengan mempertimbangkan dampak terhadap kondisi makroekonomi, kondisi sistem perbankan secara keseluruhan, dan kondisi Bank secara individual. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 ... - 2 - Pasal 3 Huruf a Contoh perhitungan GWM Primer dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah). GWM Primer dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 15 sampai dengan 23 Januari 2014 yang wajib dipenuhi bank adalah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah). Huruf b Contoh perhitungan GWM Sekunder dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah). GWM Sekunder dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 15 sampai dengan tanggal 23 Januari 2014 yang wajib dipenuhi bank adalah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). Huruf c Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 8% (delapan persen) berubah menjadi sebesar 7% (tujuh persen). Ayat (3) ... - 3 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal 31 Januari 2014 adalah sebesar: 8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta dolar Amerika Serikat). Pasal 6 Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam rangka melaksanakan kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing, Bank melakukan penyetoran valuta asing untuk untung rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York, New York (FRB). Selanjutnya ... - 4 - Selanjutnya Bank mengirimkan informasi penyetoran valuta asing tersebut kepada Bank Indonesia secara tertulis antara lain melalui sarana SWIFT atau surat, paling lambat pukul 14.00 WIB pada tanggal valuta. Dalam hal Bank melakukan penarikan pada Rekening Giro Valas, permintaan penarikan telah diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta. Pasal 8 Perhitungan pemenuhan GWM secara harian dilakukan berdasarkan posisi akhir hari. Pasal 9 Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah serta GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan X100% Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah serta GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM ... - 5 - c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Pasal 10 Ayat (1) SBN terdiri dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. Yang dimaksud dengan “Surat Utang Negara” yang selanjutnya disingkat SUN adalah SUN sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri dari Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara, namun terbatas hanya dalam mata uang Rupiah. Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah Negara” atau dapat disebut Sukuk Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, adalah SBSN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan mengenai Surat Berharga Syariah Negara yang terdiri atas SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek namun terbatas hanya dalam mata uang Rupiah. Yang dimaksud dengan “Obligasi Negara” adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang dimaksud dengan “Surat Perbendaharaan Negara” adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang … - 6 - Yang dimaksud dengan “SBSN Jangka Panjang” adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Yang dimaksud dengan “SBSN Jangka Pendek” atau dapat disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder dalam Rupiah adalah sebagai berikut: SBI + SDBI + SBN + Excess Reserve Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya X 100% Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa … - 7 - masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan persentase LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar 90% (sembilan puluh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sehingga LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target. Dengan demikian GWM LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. GWM … - 8 - GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Huruf b Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol koma satu). LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target, sehingga GWM LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar: Parameter Disinsentif Bawah x (Batas bawah LDR Target - LDR Bank) x DPK dalam Rupiah = 0,1 … - 9 - = 0,1 x (78% - 75%) x DPK dalam Rupiah = 0,1 x 3% x DPK dalam Rupiah = 0,3% x DPK dalam Rupiah GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia Huruf c Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan September 2013 sebesar 12% (dua belas persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). b. Parameter … - 10 - b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar: Parameter Disinsentif Atas x (LDR Bank – batas atas LDR Target) x DPK dalam Rupiah = 0,2 x (97% – 92%) x DPK dalam Rupiah = 0,2 x 5% x DPK dalam Rupiah = 1% x DPK dalam Rupiah GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Huruf d Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah: Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15 Januari … - 11 - Januari 2014 sebesar 100% (seratus persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan September 2013 sebesar 15% (lima belas persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah. GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Pasal 13 Ayat (1) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR antara lain berupa perubahan persentase GWM LDR dari yang ditetapkan … - 12 - ditetapkan dalam Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) LDR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LDR dalam Rupiah didasarkan pada pos-pos neraca mingguan Laporan Berkala Bank Umum posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Dengan demikian, perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan sebagai berikut: a. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama Ayat (3) KPMM triwulanan yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LDR dalam Rupiah merupakan hasil olahan sistem aplikasi ... - 13 - aplikasi yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Bagi Bank Umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk saldo Rekening Giro unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, jumlah DPK dalam Rupiah dan jumlah DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK dalam Rupiah dan valuta asing yang dilaporkan unit usaha syariah. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” dalam Rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam Rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c ... - 14 - Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” dalam Rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam Rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam valuta asing adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d ... - 15 - Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan jasa giro harian dalam 1 (satu) masa laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Ayat (3) Tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari. Metode perhitungan persentase jasa giro harian dengan menggunakan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) sebagai berikut: Persentase jasa giro harian = {1 + tingkat bunga efektif tahunan}(1/360) -1 = {1 + 2,5%}(1/360) - 1 = 0,00686% Hasil perhitungan persentase jasa giro harian dibulatkan menjadi 5 (lima) angka di belakang koma. Ayat (4) … - 16 - Ayat (4) Bank yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah apabila Bank telah memenuhi kewajiban GWM Primer dalam Rupiah paling kurang 7% (tujuh persen) dari DPK dalam Rupiah dan memenuhi kewajiban GWM Sekunder dan GWM LDR dalam Rupiah sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (5) Cukup jelas. Contoh perhitungan jasa giro: Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank A wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah); b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. Pada … - 17 - Pada tanggal 24 Januari 2014, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus miliar rupiah) sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah. Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar: = 3%XRp50.000.000.000.000,00 = Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah) Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 2,5% (dua koma lima persen) per tahun untuk tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: = persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro = 0,00686% x 3% x Rp50.000.000.000.000,00 = Rp 102.900.000,00 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh perhitungan jasa giro: Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah); b. GWM … - 18 - b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. Untuk periode tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014, Bank memiliki Saldo Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebagai berikut: a. tanggal 24 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.800.000.000.000,00 (satu triliun delapan ratus miliar rupiah); b. tanggal 27 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.700.000.000.000,00 (empat triliun tujuh ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah); c. tanggal 28 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.300.000.000.000,00 (empat triliun tiga ratus miliar rupiah)serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar rupiah); d. tanggal ... - 19 - d. tanggal 29 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.600.000.000.000,00 (empat triliun enam ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); e. tanggal 30 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.800.000.000.000,00 (satu triliun delapan ratus miliar rupiah). Diasumsikan tanggal 25, 26 dan 31 Januari 2014 serta tanggal 1 dan 2 Februari 2014 adalah hari libur. Berdasarkan contoh tersebut maka Bank mendapatkan jasa giro hanya untuk tanggal 24 dan 29 Januari 2014 karena: a. pada tanggal 27 Januari 2014 Bank kekurangan jumlah SBI, SDBI, SBN, dan Excess Reserve untuk pemenuhan GWM Sekunder; b. pada tanggal 28 Januari 2014 Bank kekurangan Saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR; dan c. pada tanggal 30 Januari 2014 Bank kekurangan Saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR dan Bank kekurangan jumlah SBI, SDBI, SBN, dan Excess Reserve untuk pemenuhan GWM Sekunder. Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24 dan 29 Januari 2014 adalah sebagai berikut: = persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro = persentase jasa giro harian x (3% x DPK dalam rupiah) = 0,00686% x (3% x Rp50.000.000.000.000,00) = 0,00686% x Rp1.500.000.000.000,00 = Rp 102.900.000,00 Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24 dan 29 Januari 2014 dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening Giro ... - 20 - Giro Rupiah Bank paling lambat pada tanggal 4 Februari 2014 karena tanggal 1 dan 2 Februari 2014 jatuh pada hari libur. Jasa giro yang dikreditkan ke Rekening Giro Rupiah Bank selambat-lambatnya pada tanggal 4 Februari 2014 adalah sebesar: 2 x Rp102.900.000= Rp205.800.000,00 Pembulatan dalam rangka pengkreditan Rekening Giro Bank oleh Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem Akunting Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada OJK. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Contoh perhitungan sanksi: Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 18 ayat (2) 1. Pada tanggal 27 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.700.000.000.000,00 (empat triliun tujuh ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah). Bank memiliki Excess Reserve sebesar … - 21 - sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) yang dapat digunakan untuk pemenuhan kekurangan GWM Sekunder dalam Rupiah sehingga GWM Sekunder dalam Rupiah Bank menjadi sebesar: Rp1.700.000.000.000,00 +Rp200.000.000.000,00 = Rp1.900.000.000.000,00 Namun Excess Reserve belum dapat menutupi kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sehingga masih terdapat kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Jika suku bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 27 Januari 2014 adalah sebesar 6% (enam persen) maka perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 27 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja 360 yaitu: Rp100.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Selain itu pada tanggal 27 Januari 2014 Bank tidak memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR). 2. Pada tanggal 28 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.300.000.000.000,00 (empat triliun tiga ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar rupiah). Terdapat ... - 22 - Terdapat kekurangan pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Kekurangan GWM Primer dan GWM LDR tidak dapat dipenuhi dari kelebihan GWM Sekunder. Jika suku Bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 28 Januari 2014 adalah sebesar 6% (enam persen) maka perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 28 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja 360 yaitu: Rp200.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 3. Tanggal 30 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.800.000.000.000,00 (satu triliun delapan ratus miliar rupiah). Bank kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 30 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan … - 23 - Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja 360 yaitu Rp300.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Selain itu pada tanggal 30 Januari 2014 Bank tidak memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer dan GWM LDR serta kekurangan SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi kewajiban GWM Sekunder). Angka 2 Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar: 8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta dolar Amerika Serikat). Saldo Rekening Giro Valuta asing Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar USD7.900.000,00 (tujuh juta sembilan ratus ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: 0,04% ... - 24 - 0,04% x (USD8.000.000,00 – USD7.900.000,00) = USD40,00 (empat puluh dolar Amerika Serikat). Angka 3 Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh dolar Amerika Serikat) sebagaimana contoh perhitungan pada penjelasan angka 2 dan asumsi kurs tengah Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah Rp9.000,00/USD (sembilan ribu rupiah per dolar Amerika Serikat) maka sanksi kewajiban membayar yang harus dibayarkan adalah sebesar: 40 x Rp9.000,00 = Rp360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu rupiah). Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank A wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah); b. GWM ... - 25 - b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada penjelasan Pasal 12 huruf c. Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan Bank memiliki SBI, SBDI, dan SBN sebesar Rp1.600.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus miliar rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar Rp900.000.000.000,00 (sembilan ratus miliar rupiah) yaitu terdiri dari: a. kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan b. kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah). Pelanggaran GWM dalam Rupiah terjadi tanggal 24 Januari 2014 (Jumat), pembebanan rekening giro dilakukan paling lambat tanggal 29 Januari 2014 (Rabu) dan apabila tanggal 28 Januari 2014 adalah hari libur nasional maka sanksi dibebankan paling lambat tanggal 30 Januari 2014 (Kamis). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) ... - 26 - Ayat (5) Bank memiliki rata-rata harian DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan September 2013 sebesar 12% (dua belas persen). GWM harian dalam Rupiah yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah); b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Perhitungan GWM LDR sesuai contoh pada penjelasan Pasal 12 huruf c. Saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah) dan Bank tidak memiliki SBI, SDBI, dan SBN sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar Rp4.800.000.000.000,00 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar Rp2.800.000.000.000,00 (dua triliun delapan ratus miliar rupiah) ... - 27 - rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). Suku bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar 6% (enam persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM Rupiah untuk Bank pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja 360 Rp4.800.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 yaitu sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi atas kekurangan GWM dalam Rupiah yang terjadi pada tanggal 24 Januari 2014 dimaksud dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya. Apabila pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dilakukan pada tanggal 29 Januari 2014 dan saldo Rekening Giro Rupiah Bank adalah sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) sehingga tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi dan terdapat kekurangan dalam rangka pendebetan sanksi sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) maka atas kekurangan tersebut Bank dikenakan sanksi sebesar: Rp200.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 ... - 28 - Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5478
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/15/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 24 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date> <replaced_reg> '15/7/PBI/2013', '13/10/PBI/2011', '12/19/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/14/PBI/2012 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar (market discipline) dan sejalan dengan perkembangan standar internasional diperlukan upaya peningkatan transparansi kondisi keuangan dan kinerja bank melalui publikasi laporan bank untuk memudahkan penilaian oleh publik dan pelaku pasar; b. bahwa untuk meningkatkan transparansi, bank perlu menyediakan informasi kuantitatif dan kualitatif yang tepat waktu, akurat, relevan, dan memadai untuk mempermudah pengguna informasi dalam menilai kondisi keuangan, kinerja, profil risiko, dan penerapan manajemen risiko bank, serta aktivitas bisnis termasuk penetapan tingkat suku bunga; c. bahwa informasi yang diungkapkan kepada publik dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan kinerja ... - 2 - kinerja bank perlu tetap memperhatikan faktor kompetisi antar bank; d. bahwa dalam rangka memperoleh informasi yang komprehensif serta sejalan dengan penerapan pengawasan bank secara konsolidasi (consolidated supervision) diperlukan laporan tentang kondisi keuangan perusahaan induk, perusahaan anak, perusahaan afiliasi dan pihak terkait dengan bank; berdasarkan pertimbangan hal-hal e. bahwa sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai transparansi kondisi keuangan bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan ... - 3 - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Pengendalian ... - 4 - 2. Pengendalian adalah perseorangan atau perusahaan/badan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang: a. memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan/badan lain; b. memiliki 50% (lima puluh persen) atau kurang saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan/badan lain, tetapi: 1) terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain sehingga memiliki hak suara lebih dari 50 (lima puluh persen); 2) mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional perusahaan/badan lain berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian; 3) mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar direksi dan dewan komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan lain melalui direksi dan dewan komisaris atau organ lainnya tersebut; dan/atau 4) mampu menguasai suara mayoritas pada rapat direksi dan dewan komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan melalui direksi dan dewan komisaris atau organ lainnya tersebut. 3. Perusahaan Induk (parent company/holding company) adalah badan hukum/perusahaan yang mengkonsolidasikan satu atau lebih perusahaan anak dalam suatu kelompok usaha dan melakukan Pengendalian terhadap Bank. 4. Perusahaan ... - 5 - 4. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (financial parent company/financial holding company) adalah badan hukum/perusahaan yang mengkonsolidasikan seluruh aktivitas satu atau lebih perusahaan anak pada kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan dan melakukan Pengendalian terhadap Bank. 5. Perusahaan Anak adalah badan hukum yang dimiliki atau dikendalikan oleh Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang terdiri dari: a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); dan/atau b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan. 6. Perusahaan Afiliasi adalah Perusahaan Anak dari Perusahaan Induk atau dari Perusahaan Induk di Bidang Keuangan yang tergabung dalam suatu kelompok usaha yang sama dengan Bank karena dikendalikan oleh Perusahaan Induk yang sama. 7. Pihak Terkait adalah pihak yang terkait dengan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit. 8. Pihak-pihak Berelasi adalah pihak-pihak berelasi sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi. 9. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Akuntan Publik. 10. Laporan ... yaitu - 6 - 10. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu Bank dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. 11. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun Bank yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. 12. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan dan dipublikasikan setiap triwulan, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 13. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum dan dipublikasikan setiap bulan, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 14. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Pasal 2 Dalam rangka transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan, yang terdiri atas: a. Laporan Tahunan; b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan; c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan; d. Laporan Keuangan Konsolidasi; dan e. Laporan Publikasi Lain. BAB II ... - 7 - BAB II LAPORAN TAHUNAN Pasal 3 (1) Bank wajib menyusun Laporan Tahunan yang paling kurang mencakup: a. informasi umum yang meliputi: 1. kepengurusan; 2. kepemilikan; 3. perkembangan usaha Bank dan kelompok usaha Bank termasuk perkembangan usaha Unit Usaha Syariah (UUS); 4. strategi dan kebijakan manajemen termasuk strategi dan kebijakan manajemen UUS; dan 5. laporan manajemen termasuk laporan manajemen UUS; b. Laporan Keuangan Tahunan yang meliputi: 1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); 2. Laporan Laba Rugi Komprehensif; 3. Laporan Perubahan Ekuitas; 4. Laporan Arus Kas; 5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi mengenai komitmen dan kontinjensi; c. opini dari Akuntan Publik; d. jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposures) yang dihadapi Bank serta praktek manajemen risiko yang diterapkan Bank; e. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan; f. aspek ... - 8 - f. aspek pengungkapan (disclosure) lain sebagaimana g. diwajibkan dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, dalam hal belum tercakup dalam huruf a sampai dengan huruf e diatas; dan informasi lain. (2) Bagi Bank Umum Konvensional, selain pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan pengungkapan mengenai: a. permodalan bank; dan b. jenis risiko, potensi kerugian, dan penerapan manajemen risiko, paling kurang untuk risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko strategik, risiko reputasi, risiko kepatuhan, dan risiko hukum. (3) Bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib menyampaikan: a. b. c. laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh; dan laporan Perubahan Dana Investasi Terikat. (4) Laporan Keuangan Tahunan wajib diaudit oleh Akuntan Publik. (5) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan paling kurang dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya. (6) Dalam hal terdapat perubahan cakupan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 ... laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS); - 9 - Pasal 4 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain disampaikan kepada pemegang saham, wajib disampaikan paling kurang kepada: a. Bank Indonesia; b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); c. Lembaga Pemeringkat di Indonesia; d. Asosiasi perbankan di Indonesia; e. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI); f. 2 (dua) Lembaga Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan; g. 2 (dua) Majalah ekonomi dan keuangan, paling lama 5 (lima) bulan setelah Tahun Buku berakhir. (2) Penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dengan disertai surat pengantar penyampaian Laporan Tahunan yang memuat informasi mengenai penyampaian Laporan Tahunan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g. Pasal 5 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan apabila Bank menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila: a. Bank belum menyampaikan Laporan Tahunan; dan/atau b. Bank ... - 10 - b. Bank belum menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yang diaudit oleh Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia, sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan Laporan Tahunan. Pasal 6 (1) Bank wajib mengumumkan Laporan Tahunan dalam website Bank. (2) Pengumuman Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama dilakukan 1 (satu) hari kerja setelah batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipelihara dalam website Bank paling kurang untuk 2 (dua) periode laporan berturut-turut. BAB III LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI TRIWULANAN Pasal 7 (1) Bank wajib menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dalam mata uang rupiah, yang paling kurang mencakup: a. Laporan keuangan, yang terdiri atas: 1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); dan 2. Laporan Laba Rugi Komprehensif; b. komitmen ... - 11 - b. komitmen dan kontinjensi; c. d. transaksi spot dan transaksi derivatif; jumlah dan kualitas aset produktif dan informasi lainnya, antara lain untuk: 1. penyediaan dana kepada pihak terkait; 2. penyediaan dana kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); 3. kredit yang memerlukan perhatian khusus (antara lain kredit yang direstrukturisasi dan kredit properti); dan jumlah cadangan penyisihan kerugian; 4. e. rasio keuangan Bank, antara lain: 1. persentase pelanggaran dan pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); dan rasio Posisi Devisa Neto (PDN). 2. f. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); dan g. informasi mengenai komposisi pemegang saham dan susunan pengurus. (2) Bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib pula memuat: a. laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS); b. laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh; dan c. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, untuk pelaporan publikasi posisi bulan Juni danDesember. (3) Laporan ... - 12 - (3) Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disajikan paling kurang dalam bentuk perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan tahun sebelumnya. (4) Ketentuan mengenai penetapan periode pembanding untuk Laporan Publikasi Triwulanan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling kurang 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun yaitu laporan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. (2) Dalam hal diperlukan, selain mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk mengumumkan: a. laporan keuangan publikasi selain periode sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau b. informasi lain yang akan ditentukan oleh Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib ditandatangani oleh paling kurang 2 (dua) orang anggota Direksi Bank. (2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Desember sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib mencantumkan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan ... - 13 - melakukan audit Laporan Keuangan Tahunan berikut nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) serta opini yang diberikan. Pasal 10 (1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib dilakukan paling kurang dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor pusat Bank atau di tempat kedudukan Kantor Cabang Bank Asing. (2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada: a. tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September; b. tanggal 15 April tahun berikutnya untuk laporan posisi akhir bulan Desember. Pasal 11 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. bukti pengumuman berupa fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman di surat kabar; dan b. Laporan ... - 14 - b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan secara on-line melalui Laporan Kantor Pusat Bank Indonesia (LKPBU) sesuai tata cara, format, dan jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dalam ketentuan mengenai laporan kantor pusat bank umum. (2) Selama penyampaian laporan secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum dapat dilakukan, Bank harus menyampaikan softcopy laporan secara off-line kepada Bank Indonesia dalam bentuk compact disc. (3) Penyampaian softcopy laporan dalam bentuk compact disc kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pengumuman di surat kabar. Pasal 12 (1) Bank dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan apabila Bank mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan setelah batas akhir waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu pengumuman laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf apabila bukti pengumuman disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian bukti pengumuman. (3) Selama ... - 15 - (3) Selama belum dimungkinkan pelaporan secara on-line, Bank dinyatakan terlambat menyampaikan softcopy Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dalam bentuk compact disc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (4) Bank dinyatakan tidak mengumumkan atau tidak menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan apabila Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan belum diumumkan atau belum disampaikan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pasal 13 Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b atau ayat (2), pada website Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dalam website Bank. (2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah batas waktu pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dalam surat kabar. (3) Pengumuman ... - 16 - (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipelihara dalam website Bank paling kurang untuk 2 (dua) periode laporan berturut-turut. BAB IV LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BULANAN Pasal 15 (1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan melalui website Bank Indonesia. (2) Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. laporan keuangan, yang terdiri atas: 1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); dan 2. Laporan Laba Rugi; b. komitmen dan kontinjensi; c. Perhitungan KPMM; dan d. kualitas aset produktif dan informasi lainnya, antara lain: 1. jumlah penyediaan dana; 2. kredit kepada debitur UMKM; 3. kredit yang memerlukan perhatian khusus (antara lain kredit yang direstrukturisasi dan kredit properti); dan 4. cadangan penyisihan kerugian. Pasal 16 (1) Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) disusun berdasarkan data Laporan Bulanan ... - 17 - Bulanan Bank Umum (LBU) yang telah direklasifikasi oleh Bank Indonesia dengan berpedoman pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan ketentuan Bank Indonesia. (2) Sebelum dilakukan pengumuman, LBU yang telah direklasifikasi oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Bank secara on-line melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU) untuk dilakukan penelitian dan penyesuaian mengenai akurasi laporan serta penambahan informasi yang diperlukan dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan. (3) Bank wajib menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia secara on-line melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). (4) Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui website Bank Indonesia. (5) Tata cara, format, dan jangka waktu penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat bank umum. Pasal 17 (1) Selama penyampaian LBU yang telah direklasifikasi kepada Bank secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) belum dapat dilakukan, Bank Indonesia menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank secara off-line. (2) Selama ... - 18 - (2) Selama penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) belum dapat dilakukan secara on-line, Bank harus menyampaikan laporan dimaksud secara off-line dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Bank menerima LBU yang telah direklasifikasi. (3) Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan berdasarkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 60 (enam puluh) hari setelah bulan laporan. BAB V LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI Pasal 18 (1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. (2) Laporan keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan pada Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. (3) Bank Indonesia berwenang menetapkan cakupan perusahaan yang laporan keuangannya wajib dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Bank selain yang telah ditetapkan dalam standar akuntansi keuangan. (4) Penyertaan Bank yang mengakibatkan timbulnya Pengendalian namun hanya bersifat sementara dikecualikan dari penyusunan laporan ... - 19 - laporan keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kesatu Laporan Keuangan Konsolidasi yang Disajikan pada Laporan Tahunan Pasal 19 (1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak dalam menyusun Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara individual, juga wajib menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi. (2) Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diaudit oleh Akuntan Publik, terdiri atas: a. Laporan Keuangan Konsolidasi Bank; b. Laporan Keuangan Konsolidasi Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; dan c. Laporan Keuangan Konsolidasi Perusahaan Induk. (3) Dalam hal kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan Induk di Bidang Keuangan maka cukup disajikan Laporan Keuangan Konsolidasi Perusahaan Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. (4) Dalam hal audit Laporan Keuangan Tahunan perusahaan lain di luar Bank dilakukan oleh Akuntan Publik yang berbeda dengan Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan Bank maka Bank dalam menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencantumkan ... - 20 - mencantumkan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit Laporan Keuangan Tahunan berikut nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) serta opini yang diberikan. (5) Laporan Keuangan Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang meliputi: a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); b. Laporan Laba Rugi Komprehensif; c. Laporan Perubahan Ekuitas; dan d. komitmen dan kontinjensi. Pasal 20 Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dalam Laporan Tahunan selain wajib menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi, juga wajib menyampaikan informasi sebagai berikut: a. struktur kelompok usaha Bank; b. c. transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak Berelasi; transaksi dengan Pihak-pihak Berelasi yang dilakukan oleh setiap perusahaan di dalam kelompok usaha Bank yang bergerak di bidang keuangan; d. penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah memperoleh penyediaan dana dari Bank; dan e. pengungkapan ... - 21 - e. pengungkapan mengenai permodalan, jenis risiko, potensi kerugian, dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) secara konsolidasi, bagi Bank Umum Konvensional. Bagian Kedua Laporan Keuangan Konsolidasi yang Disajikan pada Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan Pasal 21 (1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak dalam menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, selain menyajikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan secara individual, juga wajib menyajikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan secara konsolidasi. (2) Bank yang memiliki Perusahaan Anak, dalam menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib menyajikan: a. b. laporan keuangan Bank secara individual; dan laporan keuangan Bank secara konsolidasi. (3) Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha, dalam menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember, wajib menyajikan: a. b. laporan keuangan Bank secara individual; dan laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; atau c. laporan ... - 22 - c. laporan keuangan Perusahaan Induk apabila tidak terdapat laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan. (4) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga memiliki perusahaan anak, dalam menyusun Laporan Triwulanan, juga wajib menyajikan laporan keuangan triwulanan Bank secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (5) Laporan Keuangan Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling kurang meliputi: a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); b. Laporan Laba Rugi Komprehensif; c. Laporan Perubahan Ekuitas; dan d. komitmen dan kontinjensi. (6) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) untuk posisi akhir bulan Desember wajib diaudit oleh Akuntan Publik. Bagian Ketiga Laporan Tertentu kepada Bank Indonesia Pasal 22 (1) Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak, selain menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Bank Indonesia, Bank wajib menyampaikan laporan tahunan tertentu. (2) Laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang mencakup: a. Laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; b. Laporan ... - 23 - b. Laporan tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham mayoritas atau laporan tahunan perusahaan yang melakukan Pengendalian langsung kepada Bank; dan c. Laporan tahunan Perusahaan Anak. (3) Apabila kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan Induk di Bidang Keuangan, maka laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank adalah laporan tahunan Perusahaan Induk. (4) Apabila kelompok usaha tidak memiliki laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan, maka laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank adalah laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk dan laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan. (5) Apabila kelompok usaha tidak memiliki perusahaan induk di bidang keuangan dan tidak memiliki laporan tahunan Perusahaan Induk maka laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank adalah laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk. (6) Batas waktu penyampaian laporan tahunan atau laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk dan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan kepada Bank Indonesia mengacu pada Pasal 4. Pasal 23 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan secara triwulanan mengenai transaksi antara Bank dengan Pihak-Pihak Berelasi. (2) Bagi ... - 24 - (2) Bagi Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha selain wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib menyampaikan laporan mengenai pemberian penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah memperoleh penyediaan dana dari Bank. (3) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 12. Pasal 24 Dalam hal terdapat perubahan cakupan Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI LAPORAN PUBLIKASI LAIN Pasal 25 (1) Laporan Publikasi Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi: a. Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK); dan b. Laporan Publikasi Lainnya. (2) Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala. (3) Bank ... - 25 - (3) Bank Indonesia berwenang meminta Bank untuk menyampaikan Laporan Publikasi Lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri perbankan diluar periode penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 26 (1) Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) huruf a wajib diumumkan di surat kabar yang memiliki peredaran luas paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Bank dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan SBDK apabila Bank mengumumkan Laporan SBDK setelah batas akhir waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu pengumuman laporan. (3) Bank dinyatakan tidak mengumumkan Laporan SBDK apabila Laporan SBDK belum diumumkan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Format, cakupan, dan tata cara penyampaian serta persyaratan Bank yang wajib mengumumkan laporan SBDK berpedoman pada Surat Edaran Bank Indonesia mengenai transparansi informasi suku bunga dasar kredit. BAB VII LAIN – LAIN Pasal 27 (1) Bagi Bank yang belum memiliki website untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 14, wajib ... - 26 - wajib memenuhi kewajiban tersebut paling lambat pada akhir bulan Desember 2012. (2) Bank wajib mencantumkan alamat website Bank pada Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan yang dicetak. Pasal 28 Laporan Tahunan, Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan, Laporan Keuangan Publikasi Bulanan, Laporan Keuangan Konsolidasi, dan Laporan Publikasi Lain yang diwajibkan kepada Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus Bank. Pasal 29 Kantor Cabang Bank Asing wajib menyusun laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan menggabungkan laporan keuangan Kantor Cabang Bank Asing dan seluruh laporan keuangan dari setiap kantor di Indonesia. BAB VIII SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Laporan Tahunan Pasal 30 (1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dikenakan ... - 27 - dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi: a. kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah; dan b. pengumuman nama yang dikenakan sanksi dan alasan pengenaan sanksi pada website Bank Indonesia. Pasal 31 Bank yang tidak mengumumkan Laporan Tahunan pada website Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari, paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 32 (1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau yang diumumkan di dalam website Bank secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, dikenakan: a. sanksi ... - 28 - a. sanksi teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran; b. sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) apabila setelah diberi teguran tertulis 2 (dua) kali, Bank tidak memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud pada website Bank; dan c. sanksi administratif lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: 1. penurunan tingkat kesehatan Bank; 2. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau 3. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (2) Nama Bank yang dikenakan sanksi dan alasan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diumumkan oleh Bank Indonesia melalui website Bank Indonesia berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia. Bagian Kedua Sanksi Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan Pasal 33 (1) Bank yang terlambat mengumumkan dan/atau terlambat menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana ... - 29 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan. (2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikenakan sanksi: a. kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan b. pengumuman nama Bank yang dikenakan sanksi dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia pada website Bank Indonesia. (3) Bank yang mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan namun tidak menyampaikan fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (4) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, atau Surat Komentar (Management Letter) dari Akuntan Publik menyatakan adanya kelemahan mendasar dari sistem pelaporan data Bank ke Bank Indonesia, dikenakan: a. sanksi teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran; b. sanksi ... - 30 - b. sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) apabila setelah diberi teguran tertulis 2 (dua) kali, Bank tidak memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud; dan c. sanksi administratif lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: 1. penurunan tingkat kesehatan Bank; 2. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau 3. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (5) Nama Bank yang dikenakan sanksi dan alasan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), akan diumumkan oleh Bank Indonesia melalui website Bank Indonesia berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia Bagian Ketiga Sanksi Laporan Keuangan Publikasi Bulanan Pasal 34 Sanksi atas keterlambatan penyampaian dan koreksi atas Laporan Keuangan Publikasi Bulanan berpedoman pada ketentuan mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). Bagian ... - 31 - Bagian Keempat Sanksi Laporan Keuangan Konsolidasi Pasal 35 (1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21ayat (2), dikenakan sanksi sebagai berikut: a. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan b. pengumuman nama Bank dan/atau perusahaan yang tidak menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasi. Bagian Kelima Sanksi Laporan Publikasi Lain Pasal 36 (1) Bank yang terlambat mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). BAB IX ... - 32 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 38 (1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Pasal 1 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40 sampai dengan Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... - 33 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 199 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/14/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title> <set_date> 18 Oktober 2012 </set_date> <effective_date> 18 Oktober 2012 </effective_date> <issued_date> 18 Oktober 2012 </issued_date> <replaced_reg> '3/22/PBI/2001 | Pasal 1 sampai dengan Pasal 15', '3/22/PBI/2001 | Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40', '3/22/PBI/2001 | Pasal 41' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tercapainya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement; b. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan transaksi melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999… -2- 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS, adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar Peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 2. Penyelenggara Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP). 3. Peserta Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah Bank Indonesia, Bank, dan Pihak Selain Bank yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 4. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah… -3- telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. 5. Pihak Selain Bank adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Keuangan Internasional, dan lembaga lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia dapat memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 6. Peserta Langsung (principal member), yang selanjutnya disebut Peserta Langsung, adalah Peserta yang dapat melakukan transaksi Sistem BI-RTGS secara langsung dengan menggunakan RTGS Terminal milik Peserta. 7. Peserta Tidak Langsung (subsidiary member), yang selanjutnya disebut Peserta Tidak Langsung, adalah Peserta yang dapat melakukan transaksi Sistem BI-RTGS secara tidak langsung yang pelaksanaannya dilakukan oleh petugas Bank Indonesia dengan menggunakan RTGS Terminal milik Bank Indonesia. 8. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 9. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan Rekening Giro para Peserta dan atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 10. RTGS Central Computer, yang selanjutnya disebut RCC, adalah sistem komputer yang berada di lokasi Penyelenggara, yang digunakan untuk memproses Penyelesaian Akhir semua transaksi yang dikirim oleh Peserta dan terdiri dari RTGS Central Computer Utama dan RTGS Central Computer Back-up. 11. RTGS Central Computer Utama, yang selanjutnya disebut RCC Utama, adalah RCC yang digunakan dalam kondisi normal. 12. RTGS… -4- 12. RTGS Central Computer Back-up, yang selanjutnya disebut RCC Back-up, adalah RCC yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan Penyelenggara tidak dapat menggunakan RCC Utama. 13. RTGS Terminal, yang selanjutnya disebut RT, adalah sistem komputer yang berada di lokasi Peserta yang terhubung dengan RCC secara on-line, yang digunakan Peserta untuk melakukan berbagai transaksi Sistem BI-RTGS dan terdiri dari RTGS Terminal Server, yaitu RTGS Terminal Server Utama dan RTGS Terminal Server Back-up, serta RTGS Terminal Workstation. 14. RTGS Terminal Server Utama, yang selanjutnya disebut RT Server Utama, adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan database Sistem BI-RTGS yang digunakan Peserta untuk memproses transaksi dalam kondisi normal. 15. RTGS Terminal Server Back-up, yang selanjutnya disebut RT Server Back- up, adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan database Sistem BI-RTGS yang digunakan Peserta untuk memproses transaksi apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan RT Server Utama. 16. RTGS Terminal Workstation, yang selanjutnya disebut RT Workstation, adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan terhubung dengan RT Server Utama atau RT Server Back-up yang digunakan Peserta untuk melakukan pembukuan transaksi dan berbagai fungsi Sistem BI-RTGS lainnya. 17. Sistem Antrian adalah mekanisme yang mengatur urutan transaksi pembayaran dari Peserta tertentu yang belum dapat dilakukan Penyelesaian Akhirnya oleh RCC Utama atau RCC Back-up karena saldo Rekening Giro Peserta tidak mencukupi. 18. Jam… -5- 18. Jam Operasional adalah waktu RT dapat menerima dan atau mengirimkan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. BAB II PENYELENGGARA Pasal 2 Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, Penyelenggara wajib melakukan hal- hal sebagai berikut : a. menyediakan RCC; b. menjamin RCC berfungsi dengan baik; c. menyediakan saluran komunikasi yang menghubungkan RT Server Utama atau RT Server Back-up dengan RCC Utama atau RCC Back-up; d. menyediakan aplikasi RT dan perubahannya; e. melakukan pemantauan terhadap : 1. keberhasilan akses komunikasi RT dengan RCC; dan 2. saldo Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia pada akhir hari; f. menyediakan help-desk berkaitan dengan masalah operasional Sistem BI-RTGS yang dihadapi Peserta; g. memberikan pelayanan kepada Peserta berkaitan dengan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS. Pasal 3 (1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan besarnya biaya penggunaan Sistem BI-RTGS yang wajib dibayar oleh Peserta. (2) Bank Indonesia sebagai Penyelenggara mengenakan biaya penggunaan Sistem BI-RTGS kepada Peserta. BAB… -6- BAB III PESERTA Bagian Pertama Syarat dan Status Kepesertaan Pasal 4 Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dituangkan dalam “Perjanjian Penggunaan Sistem BI-RTGS antara Bank Indonesia dan Peserta”. Pasal 5 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS terdiri atas : a. Bank Indonesia; b. Bank; c. Pihak Selain Bank. (2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b wajib menjadi Peserta. (3) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka kepesertaan kantor yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib dipisahkan dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang diwakili oleh unit usaha syariah. (4) Pihak Selain Bank dapat menjadi Peserta dengan persetujuan Bank Indonesia sepanjang kepesertaan pihak tersebut untuk memperlancar sistem pembayaran nasional. Pasal 6 (1) Peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi : a. Peserta Langsung; b. Peserta Tidak Langsung. (2) Bank… -7- (2) Bank dan Pihak Selain Bank yang akan menjadi Peserta Langsung wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan b. menyediakan RT Server Utama, RT Server Back-up, dan RT Workstation serta sarana pendukung yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Persetujuan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung dapat diberikan oleh Penyelenggara apabila Bank telah memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia tetapi belum dapat menyediakan RT dan sarana pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b. (4) Peserta Tidak Langsung yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menjadi Peserta Langsung paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal kepesertaan sebagai Peserta Tidak Langsung. (5) Penyelenggara dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) berdasarkan pertimbangan tertentu. (6) Penyelenggara dapat mengubah kepesertaan dari Peserta Langsung menjadi Peserta Tidak Langsung dalam hal terdapat : a. proses penyelesaian hak dan kewajiban Peserta sehubungan dengan pencabutan izin usaha Peserta oleh instansi atau pihak yang berwenang; dan atau b. permintaan khusus dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta. (7) Perubahan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak harus disertai dengan perubahan dokumen kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS. (8) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), hak dan kewajiban serta tanggung jawab Peserta tunduk pada ketentuan mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab Peserta Tidak Langsung. Pasal… -8- Pasal 7 Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi : a. aktif (active); b. ditangguhkan (suspend); c. dibekukan (freeze); dan d. ditutup (close). Pasal 8 Peserta dengan status kepesertaan aktif (active) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : a. mengirim transfer; b. menerima transfer; dan c. melakukan seluruh fungsi lainnya dalam RT. Pasal 9 (1) Peserta dengan status kepesertaan ditangguhkan (suspend) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat menerima transfer dan melakukan seluruh fungsi lainnya dalam RT kecuali mengirim transfer. (2) Perubahan status kepesertaan aktif (active) menjadi ditangguhkan (suspend) disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia bersaldo negatif sampai dengan waktu tutup Sistem BI-RTGS (cut-off time); dan atau b. adanya permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta. (3) Permintaan… -9- (3) Permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, sistem pembayaran, atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pihak Selain Bank, serta ketentuan internal Peserta; dan atau b. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Peserta yang bersangkutan dan atau sistem perbankan. (4) Peserta dengan status ditangguhkan (suspend) yang disebabkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dapat diubah menjadi Peserta aktif (active) apabila Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia tidak bersaldo negatif. (5) Peserta dengan status ditangguhkan (suspend) yang disebabkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dapat diubah menjadi Peserta aktif (active) apabila terdapat permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta untuk mengubah status kepesertaan tersebut. (6) Selama Peserta berstatus ditangguhkan (suspend), dana yang diterima Peserta tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan transaksi yang berada dalam Sistem Antrian. Pasal 10 (1) Peserta dengan status kepesertaan dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan fasilitas enquiry. (2) Perubahan status kepesertaan aktif (active) menjadi dibekukan (freeze) atau dari ditangguhkan (suspend) menjadi dibekukan (freeze) disebabkan oleh adanya… -10- adanya permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta karena adanya pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (3) Peserta dengan status kepesertaan dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah menjadi aktif (active) setelah terdapat permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta untuk mengubah status kepesertaan tersebut. Pasal 11 (1) Untuk Bank sebagai Peserta, Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi ditutup (close) berdasarkan permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta karena adanya pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), keputusan mengenai merger, akuisisi, konsolidasi, atau pencabutan izin usaha Bank. (2) Untuk Pihak Selain Bank sebagai Peserta, Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi ditutup (close) berdasarkan : a. permintaan tertulis dari Peserta; atau b. permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta karena adanya pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (3) Dengan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyelenggara memberhentikan kepesertaan Peserta dalam Sistem BI-RTGS. Pasal 12 (1) Perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan (suspend) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a berlaku sejak waktu buka Sistem BI-RTGS… -11- BI-RTGS (RCC Open) pada hari kerja berikutnya setelah Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia bersaldo negatif yang tidak dapat dipenuhi sampai dengan waktu tutup Sistem BI-RTGS (cut-off time). (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan oleh Bank Indonesia kepada seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message atau sarana lainnya pada pukul 09.00 WIB pada hari diberlakukannya perubahan status kepesertaan. (3) Perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan (suspend) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, perubahan status kepesertaan menjadi dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, serta perubahan status kepesertaan menjadi ditutup (close) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berlaku segera setelah Penyelenggara menyetujui permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta. (4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan oleh Bank Indonesia kepada seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message atau sarana lainnya bersamaan dengan diberlakukannya perubahan status kepesertaan. Bagian Kedua Kewajiban Peserta Pasal 13 (1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, setiap Peserta wajib : a. menjamin RT Server Utama, RT Server Back-up, dan RT Workstation berfungsi dengan baik; b. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS, termasuk… -12- termasuk prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-RTGS di lingkungan internal Peserta; c. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan setiap perubahannya kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut : 1. kebijakan dan prosedur tertulis secara keseluruhan disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS; 2. setiap perubahan disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak terjadinya perubahan; d. melakukan pemeriksaan internal yang menjamin keamanan operasional Sistem BI-RTGS sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah dilakukan pemeriksaan internal; e. melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal kepesertaan dan setiap terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait dengan Sistem BI-RTGS serta menyampaikan hasil security audit tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah dilakukan security audit; f. mengumumkan secara tertulis di setiap kantor Peserta besarnya biaya transaksi melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan g. memiliki pedoman Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, d, e, f, dan g wajib dilakukan dengan mengacu pada dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws). Pasal… -13- Pasal 14 Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta wajib melaksanakan langkah- langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Peserta terhadap Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IV PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS Bagian Pertama Transaksi dalam Sistem BI-RTGS Pasal 15 (1) Sistem BI-RTGS dapat digunakan untuk transfer kredit dan transfer debet. (2) Transfer kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. transaksi single credit; dan atau b. transaksi multiple credit. Pasal 16 (1) Bank Indonesia sebagai Peserta dapat melakukan transfer kredit dan transfer debet. (2) Peserta selain Bank Indonesia hanya dapat menggunakan Sistem BI-RTGS untuk transfer kredit. Pasal 17 (1) Berdasarkan asal instruksi transfer dan tujuan transfer, transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) meliputi transaksi : a. dari Peserta kepada Peserta lainnya; b. dari Peserta kepada nasabah Peserta lainnya dan sebaliknya; dan c. dari nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lainnya. (2) Peserta… -14- (2) Peserta Langsung dapat melakukan seluruh transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Peserta Tidak Langsung hanya dapat melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dengan pembatasan bahwa transaksi Peserta kepada nasabah Peserta lainnya hanya mencakup transaksi kepada nasabah Bank Indonesia. (4) Dalam hal terjadi gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3), Peserta Langsung hanya dapat melaksanakan transaksi yang dilakukan oleh Peserta Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 18 (1) Penyelenggara menetapkan Transaction Reference Number (TRN) dan tata cara pengisian informasi untuk setiap Transaction Reference Number (TRN) sebagai acuan bagi Peserta untuk mengirimkan transaksi melalui Sistem BI-RTGS. (2) Penyelenggara tidak melakukan penelitian atas kebenaran penggunaan Transaction Reference Number (TRN) oleh Peserta sehingga segala risiko yang timbul akibat penggunaan dan penyalahgunaan Transaction Reference Number (TRN) sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Pasal 19 (1) Dalam mengirimkan transaksi melalui Sistem BI-RTGS, Peserta wajib menggunakan Transaction Reference Number (TRN) sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi tata cara pengisian informasi Transaction Reference Number (TRN) yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (2) Dalam… -15- (2) Dalam hal Peserta pengirim menggunakan Transaction Reference Number (TRN) yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta penerima dapat mengembalikan transfer yang telah diterima dari Peserta pengirim. Pasal 20 (1) Khusus untuk transaksi dari Peserta pengirim kepada nasabah Peserta penerima, transaksi dari nasabah Peserta pengirim kepada Peserta penerima, atau transaksi dari nasabah Peserta pengirim kepada nasabah Peserta penerima, apabila dilakukan setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah dan Peserta pengirim tidak menggunakan Transaction Reference Number (TRN) : IFT00000, Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada Peserta penerima sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap transaksi. (2) Pengenaan kewajiban pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan laporan Peserta penerima kepada Penyelenggara. Bagian Kedua Penyelesaian Akhir Pasal 21 (1) Penyelesaian Akhir atas transaksi melalui Sistem BI-RTGS dilakukan apabila Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia memiliki saldo yang cukup. (2) Transaksi yang Penyelesaian Akhirnya telah dilakukan, bersifat final. (3) Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dibatalkan apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Pasal… -16- Pasal 22 (1) Dalam hal Peserta telah mengirimkan transaksi dan saldo Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia tidak mencukupi, transaksi yang telah dikirimkan Peserta akan masuk dalam Sistem Antrian. (2) Penyelenggara menetapkan tingkat kepentingan transaksi yang masuk dalam Sistem Antrian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut : a. tingkat kepentingan prioritas terdiri atas : 1. transaksi dari Peserta kepada rekening pemerintah Republik Indonesia di Bank Indonesia dan sebaliknya; 2. transaksi dari Peserta kepada Bank Indonesia dan sebaliknya; 3. transaksi dari Peserta kepada pihak lain yang memiliki rekening di Bank Indonesia dan sebaliknya; dan 4. transaksi dari nasabah Peserta kepada rekening pemerintah Republik Indonesia di Bank Indonesia dan sebaliknya. b. tingkat kepentingan normal terdiri atas : 1. transaksi antar Peserta selain Bank Indonesia; 2. transaksi antar Peserta selain Bank Indonesia untuk kepentingan nasabahnya. (3) Penyelenggara dapat mengubah urutan atau membatalkan antrian transaksi dengan tingkat kepentingan prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a berdasarkan : a. kepentingan Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan perbankan; atau b. permintaan Peserta dalam rangka memenuhi kewajiban Peserta kepada pemerintah Republik Indonesia dan Bank Indonesia dan atau dalam rangka memenuhi kebutuhan uang tunai Peserta. (4) Peserta… -17- (4) Peserta hanya dapat mengubah urutan atau membatalkan antrian transaksi secara langsung melalui RT milik Peserta untuk antrian transaksi dengan tingkat kepentingan normal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b. Bagian Ketiga Warkat dalam Sistem BI-RTGS Pasal 23 (1) Transaksi yang dilakukan oleh Peserta Langsung melalui Sistem BI-RTGS didasarkan pada warkat pembukuan yang formatnya diatur oleh masing- masing Peserta. (2) Peserta Langsung yang mengalami gangguan RT Server sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) serta Peserta Tidak Langsung wajib menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia atau, khusus untuk penarikan tunai, menggunakan Cek Bank Indonesia. Bagian Keempat Jam Operasional Pasal 24 (1) Sistem BI-RTGS diselenggarakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. (2) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada Jam Operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 25 (1) Perubahan Jam Operasional dapat dilakukan berdasarkan : a. kebijakan Penyelenggara; atau b. permintaan Peserta. (2) Perubahan Jam Operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal terjadi : a. gangguan… -18- a. gangguan atau kerusakan pada RCC; b. keterlambatan waktu Penyelesaian Akhir hasil kliring; atau c. adanya kebijakan yang menyebabkan Penyelenggara harus memperpanjang Jam Operasional. (3) Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan Jam Operasional dalam hal terjadi : a. keadaan darurat pada lokasi produksi; b. gangguan atau kerusakan pada RT Server Peserta sehingga waktu yang tersedia untuk melakukan transaksi menjadi terbatas; atau c. adanya alasan lain yang dapat disetujui oleh Penyelenggara. (4) Penyelenggara berwenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Permohonan perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b dan c yang disetujui oleh Penyelenggara dikenakan biaya. (6) Penyelenggara dapat membebaskan Peserta dari pengenaan biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) apabila permohonan perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c disebabkan oleh hal-hal di luar kontrol Peserta. BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PENGIRIM DAN PESERTA PENERIMA Bagian Pertama Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta Pengirim Pasal 26 (1) Peserta pengirim wajib mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi instruksi transfer secara lengkap dan benar serta memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Instruksi… -19- (2) Instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. identitas nasabah pengirim; b. identitas nasabah penerima; c. identitas Peserta penerima; dan d. jumlah dana yang ditransfer. (3) Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b meliputi sekurang-kurangnya nama dan nomor rekening atau, apabila nasabah pengirim atau nasabah penerima tidak memiliki rekening pada Peserta, identitas tersebut meliputi sekurang- kurangnya nama dan alamat. Pasal 27 (1) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk melaksanakan instruksi transfer dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib meneruskan instruksi transfer tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : a. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima paling lambat pada saat berakhirnya jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib meneruskan instruksi tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya instruksi transfer dari nasabah pengirim. b. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima setelah berakhirnya jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib meneruskan instruksi transfer paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b maka pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerbitan instruksi transfer oleh Peserta pengirim. (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan instruksi transfer dari nasabahnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan... -20- dan ayat (2), dan Peserta pengirim telah mendebet rekening nasabahnya, Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabah pengirim sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim pada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak berlaku untuk transfer yang berasal dari setoran tunai. Pasal 28 (1) Peserta pengirim bertanggungjawab atas kesesuaian penulisan instruksi transfer yang dikirim melalui Sistem BI-RTGS dengan instruksi yang dibuat oleh nasabah pengirim. (2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan instruksi transfer tidak sesuai dengan instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim, maka apabila melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 penerima dana yang berhak tidak akan menerima dana sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Peserta pengirim wajib atas beban Peserta pengirim menerbitkan instruksi transfer baru sesuai dengan instruksi transfer nasabah pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima atau nasabah penerima yang tidak berhak. (3) Penerbitan instruksi transfer baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan pada : a. tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila ketidaksesuaian diketahui paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu (window time) jenis transaksi tersebut; atau b. hari kerja berikutnya paling lambat pukul 09.00 waktu setempat, apabila ketidaksesuaian diketahui setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (4) Dalam… -21- (4) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabah pengirim sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim yang dibebani untuk transfer terkait, terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer yang baru. (5) Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka dana yang salah terkirim dapat diminta kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima dengan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Pasal 29 (1) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (2), penggunaan mekanisme Pasal ini oleh Peserta pengirim untuk memenuhi hak penerima dana hanya dapat dilakukan apabila Peserta pengirim mempunyai keyakinan bahwa penerima dana yang berhak akan menerima dana sesuai dengan ketentuan Pasal 35. (2) Mekanisme koreksi yang dilakukan oleh Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut : a. untuk ketidaksesuaian data identitas Peserta penerima, identitas nasabah penerima, dan atau jumlah dana yang ditransfer, Peserta pengirim melakukan permintaan koreksi kepada Peserta penerima dengan cara : 1. mengirimkan transaksi satu rupiah, yaitu transaksi dengan nominal Rp 1,00 (satu rupiah), kepada nomor rekening 1 (satu), dengan payment detail yang berisi perubahan identitas Peserta penerima dan atau identitas nasabah penerima (ultimate beneficiary) atau permintaan pengembalian dana; dan 2. mengirimkan administrative message yang berisi pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim. b. untuk… -22- b. untuk duplikasi pelaksanaan instruksi transfer, Peserta pengirim melakukan permintaan koreksi kepada Peserta penerima dengan cara : 1. mengirimkan transaksi satu rupiah, yaitu transaksi dengan nominal Rp 1,00 (satu rupiah), kepada nomor rekening 1 (satu), dengan payment detail yang berisi permintaan pengembalian dana; dan 2. mengirimkan administrative message yang berisi pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim. c. untuk ketidaksesuaian pada data selain data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, permintaan koreksi kepada Peserta penerima dilakukan dengan mengirimkan administrative message yang berisi : 1. permintaan perubahan data; dan 2. pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim. (3) Pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berisi pernyataan : a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh karyawannya dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pembayaran, terhadap berbagai kemungkinan klaim, gugatan, kewajiban, biaya-biaya termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, tuntutan atau kerugian yang diakibatkan oleh pengembalian dana yang dilakukan oleh Peserta penerima, baik atas permintaan Peserta pengirim atau karena Peserta penerima harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan pernyataan dalam pembebasan tanggung jawab (indemnity); dan b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala biaya yang terkait dengan klaim, gugatan, tuntutan, dan kewajiban lainnya, termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, serta kerugian yang dihadapi oleh Peserta penerima sebagai akibat dari penarikan kembali dana dari nasabah penerima yang tidak berhak. (4) Permintaan… -23- (4) Permintaan koreksi dari Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku apabila permintaan tersebut diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. (5) Dalam hal permintaan koreksi dilakukan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka Peserta penerima tidak wajib untuk memenuhi permintaan Peserta pengirim. (6) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), penagihan kepada penerima dana yang tidak berhak dilakukan oleh Peserta pengirim. (7) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Peserta penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima. Pasal 30 Dalam hal Peserta pengirim meminta pengembalian dana dari Peserta penerima atau meminta Peserta penerima untuk menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta penerima wajib segera melaksanakan permintaan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 32 dan Pasal 33. Bagian Kedua Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta Penerima Pasal 31 (1) Peserta penerima wajib menyampaikan dana kepada penerima dana sebagaimana tercantum dalam confirmation advice yang diterimanya dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Untuk… -24- (2) Untuk transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan nama dan nomor rekening penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice yang diterima melalui Sistem BI-RTGS dengan nama dan nomor rekening penerima dana yang tercantum dalam tata usaha rekening/administrasi di Peserta penerima. (3) Untuk transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan nama penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice dengan identitas penerima dana. Pasal 32 (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara nama dan nomor rekening penerima dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), atau antara nama penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice dengan identitas penerima dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), dan Peserta penerima mengambil keputusan untuk melaksanakan pembukuan atau pembayaran, maka apabila di kemudian hari terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim atau untuk menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak pada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta penerima wajib mengembalikan atau menyampaikan dana tersebut sesuai dengan permintaan Peserta pengirim. (2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan permintaan koreksi kepada Peserta penerima karena transfer seharusnya ditujukan kepada Peserta penerima yang lain, sedangkan Peserta penerima telah meneruskan instruksi transfer kepada penerima dana yang tidak berhak, maka Peserta penerima wajib mengembalikan dana kepada Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak. (3) Dalam… -25- (3) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan permintaan koreksi kepada Peserta penerima karena transfer seharusnya ditujukan kepada penerima dana yang lain di Peserta penerima, Peserta penerima wajib menyampaikan kepada penerima dana yang berhak tanpa menunggu pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak. (4) Pengembalian atau penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan koreksi dari Peserta pengirim. (5) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada Peserta pengirim sesuai dengan tingkat bunga yang diatur dalam kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye- Laws) terhitung sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima sampai tanggal pengembalian dana. (6) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada penerima dana yang berhak pada Peserta penerima sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening penerima dana yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima sampai tanggal penyampaian dana. Pasal 33 (1) Dalam hal Peserta penerima telah melaksanakan instruksi transfer sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dan Peserta pengirim mengajukan permintaan untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim atau untuk menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak pada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta penerima wajib memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan koreksi dari Peserta Pengirim. (2) Tanggapan… -26- (2) Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima. (3) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan atau menyampaikan dana sesuai dengan permintaan Peserta pengirim, Peserta pengirim melakukan penagihan dana yang salah terkirim tersebut secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak. (4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima dapat menarik kembali dana dari penerima dana yang tidak berhak, penarikan dana dan pengembalian dana kepada Peserta pengirim atau penyampaian dana kepada penerima dana yang berhak meliputi jumlah dana yang ditransfer dan bunga yang telah dibayarkan atau terhutang kepada penerima dana yang tidak berhak. Pasal 34 (1) Kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana atau memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan 33 hanya berlaku dalam hal permintaan pengembalian atau penyampaian dana dari Peserta pengirim diterima paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. (2) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk… -27- untuk melakukan pengembalian atau penyampaian dana sesuai dengan Pasal 32 dan Pasal 33, Peserta penerima dapat mempertimbangkan untuk menolak atau menerima permintaan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan koreksi dari Peserta pengirim. (3) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian atau penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta pengirim melakukan penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak. (4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima menyetujui permintaan Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pengembalian dana atau penyampaian dana meliputi seluruh dana yang ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5). Pasal 35 (1) Peserta penerima wajib menyampaikan dana yang ditujukan kepada penerima dana segera setelah Penyelenggara mengkredit Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut : a. Transfer untuk penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta penerima : 1. untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah, kantor Peserta penerima wajib mengkredit dana tersebut ke rekening penerima dana pada tanggal… -28- tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. 2. apabila Peserta penerima tidak dapat mengkredit dana ke rekening penerima dana pada tanggal valuta yang sama, kantor Peserta penerima wajib melakukan pengkreditan paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya dengan menggunakan tanggal valuta hari sebelumnya, atau memberikan bunga kepada penerima dana sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening penerima dana. 3. untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah atau pada periode perpanjangan waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah, kantor Peserta penerima wajib mengkredit dana tersebut ke rekening penerima dana paling lambat pada pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya. 4. apabila Peserta penerima tidak mengkredit dana ke rekening penerima dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan 3, Peserta penerima wajib membayar kompensasi kepada penerima dana sesuai bunga yang berlaku untuk jenis rekening tersebut ditambah dengan tingkat kompensasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan maksimum kompensasi sebesar 200 (dua ratus) basis points dengan ketentuan sebagai berikut : a) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, kompensasi bunga dihitung sejak tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. b) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, kompensasi bunga dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal… -29- tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tingkat kompensasi yang berlaku ditetapkan sebesar 200 (dua ratus) basis points. b. Transfer untuk penerima dana yang tidak memiliki rekening di kantor Peserta penerima : 1. kantor Peserta penerima wajib mengirim surat pemberitahuan mengenai tersedianya dana hasil transfer kepada penerima dana pada tanggal yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. 2. apabila berdasarkan pertimbangan tertentu kantor Peserta penerima tidak dapat mengirim surat pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1, surat pemberitahuan wajib dikirim pada tanggal diterimanya informasi transfer di kantor Peserta penerima atau paling lambat hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal Peserta pengirim telah melakukan instruksi transfer sesuai dengan instruksi transfer dari nasabah pengirim namun Peserta penerima melakukan pengkreditan dana kepada penerima dana yang berbeda dari penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice, Peserta penerima wajib menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya kesalahan tanpa menunggu pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak. (3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta penerima wajib membayar bunga kepada penerima dana yang berhak sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening penerima dana tersebut, terhitung sejak tanggal seharusnya rekening penerima dana yang berhak dikredit sesuai dengan ketentuan ayat (1) sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening penerima dana yang berhak tersebut. (4) Ketentuan… -30- (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta penerima. BAB VI KONDISI GANGGUAN DAN KEADAAN DARURAT Pasal 36 (1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap RCC Utama, atau dalam hal terjadi keadaan darurat di lokasi produksi Penyelenggara, sehingga Penyelenggara tidak dapat menggunakan RCC Utama, Penyelenggara menggunakan RCC Back-up dan memberitahukan kondisi tersebut kepada Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan. (2) Dalam hal Penyelenggara tidak dapat menggunakan RCC Back-up sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyelenggara menerapkan Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan dan memberitahukan kondisi tersebut kepada Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan. Pasal 37 (1) Dalam hal RCC tidak berfungsi sehingga menyebabkan Peserta tidak dapat melaksanakan transaksi melalui Sistem BI-RTGS, kewajiban Peserta yang terkait dengan pelaksanaan transaksi melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang tidak dapat terlaksana karena tidak berfungsinya RCC ditunda pelaksanaannya sampai dengan berakhirnya kondisi tidak berfungsinya RCC. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan penyesuaian Jam Operasional dan petunjuk lainnya yang ditetapkan Penyelenggara. (3) Dalam… -31- (3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta wajib melakukan langkah-langkah yang diperlukan yang terkait dengan penyelesaian dana transfer. Pasal 38 (1) Dalam hal RT Server Utama Peserta mengalami kondisi gangguan, Peserta melakukan transaksi Sistem BI-RTGS dengan menggunakan RT Server Back-up Peserta. (2) Dalam hal RT Server Back-up Peserta juga mengalami kondisi gangguan, Peserta melakukan transaksi Sistem BI-RTGS dengan menggunakan Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia untuk dibukukan oleh Penyelenggara. (3) Dengan tidak mengabaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyelenggara berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan kepada Peserta yang RT Server Utamanya mengalami kondisi gangguan untuk langsung menggunakan Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia dalam melakukan transaksi Sistem BI-RTGS. Pasal 39 Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada Peserta sehingga Peserta tidak dapat menggunakan RT Server Back-up atau Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, atau dalam hal terjadi keadaan darurat di Peserta, Peserta wajib memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara dan melakukan langkah-langkah sesuai dengan yang ditetapkan dalam Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan Peserta yang bersangkutan. BAB VII PENGAWASAN Pasal 40 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan Sistem BI-RTGS pada Peserta. (2) Pengawasan… -32- (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap kepatuhan Peserta pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta Perjanjian Penggunaan Sistem BI-RTGS antara Bank Indonesia dan Peserta. (4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta wajib memberikan : a. keterangan dan data yang terkait dengan pelaksanaan Sistem BI-RTGS; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional Sistem BI-RTGS; dan atau c. hal-hal lain yang diperlukan. BAB VIII SANKSI Pasal 41 (1) Peserta Langsung yang tidak menyediakan RT Server Back-up sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b atau menyediakan RT Server Back- up namun tidak berfungsi dengan baik, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta… -33- Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Dalam hal Peserta tidak menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak dikenakannya sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan tersedianya RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik. (6) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku apabila RT Server Back-up tidak berfungsi dengan baik karena : a. gangguan saluran komunikasi; b. keadaan darurat; atau c. alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh Penyelenggara. Pasal 42 (1) Peserta Tidak langsung yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi Peserta Langsung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan untuk menjadi Peserta Langsung paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi Peserta Langsung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi persyaratan. Pasal… -34- Pasal 43 (1) Peserta yang dalam menyusun kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b tidak mengacu atau bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, peraturan pelaksanaannya dan atau kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta wajib menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak menyusun kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis kedua. (5) Dalam hal Peserta tidak menyusun kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 44 (1) Peserta yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 1, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta … -35- (2) Peserta wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa surat teguran tertulis kedua. (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis kedua. (5) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 45 (1) Peserta yang diketahui atau ditemukan tidak menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta wajib menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat teguran tertulis kedua. (5) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan… -36- kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 46 (1) Peserta yang tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta wajib melakukan pemeriksaan internal dan atau menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib melakukan pemeriksaan internal dan atau menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat teguran tertulis kedua. (5) Dalam hal Peserta tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 47 (1) Peserta yang tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta… -37- (2) Peserta wajib melakukan security audit dan atau menyampaikan hasil security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib melakukan security audit dan atau menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis kedua. (5) Dalam hal Peserta tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 48 (1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengumumkan besarnya biaya transfer melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta wajib membuat pengumuman dan memberitahukan pelaksanaan pengumuman tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. Pasal 49 Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan pelanggaran tersebut akan dicatat dalam database track record pengurus atau pejabat eksekutif tersebut di Bank Indonesia. Pasal… -38- Pasal 50 Peserta penerima yang tidak mengirimkan pemberitahuan kepada nasabah penerima dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 51 (1) Peserta yang tidak memberikan keterangan dan data dan atau tidak memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Peserta wajib memberikan keterangan dan data paling lambat 7 (tujuh) hari kalender, atau memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung paling lambat 3 (tiga) hari kalender terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis. (3) Dalam hal Peserta tidak memberikan keterangan dan data atau tidak memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban. Pasal 52 Dalam hal Pihak Selain Bank menyimpang dari ketentuan Pasal 55 ayat (2), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend). BAB IX LAIN-LAIN Pasal 53 Kewajiban Peserta dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Bank Indonesia sebagai Peserta, kecuali ketentuan yang berkaitan dengan : a. pembayaran bunga dan kompensasi; b. pembuatan… -39- b. pembuatan perjanjian dengan Penyelenggara; dan c. sanksi administratif. Pasal 54 Untuk Bank Syariah dan unit usaha syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, ketentuan pengenaan bunga dan kompensasi dalam Peraturan Bank Indonesia ini disesuaikan dengan prinsip syariah yang berlaku. Pasal 55 (1) Kewajiban Peserta dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Pihak Selain Bank sebagai Peserta, kecuali ketentuan yang berkaitan dengan pembayaran bunga dan kompensasi. (2) Pihak Selain Bank wajib melaksanakan transaksi melalui Sistem BI-RTGS sesuai dengan tujuan penggunaan Rekening Giro sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian antara Bank Indonesia dan Pihak Selain Bank. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 Bank dan Pihak Selain Bank yang telah menjadi Peserta pada saat diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyediakan RT Server Back-up sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 1 dan huruf e paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 57 (1) Kewajiban Peserta penerima untuk mencocokkan nama dan nomor rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) diberlakukan mulai 6 (enam) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Selama … -40- (2) Selama masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila Peserta pengirim melakukan kesalahan transfer yang menyebabkan transfer diterima oleh penerima dana yang tidak berhak, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dan ayat (7) Pasal ini serta mekanisme koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima, Peserta penerima wajib menarik kembali dana dari penerima dana yang tidak berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya kesalahan transfer tersebut oleh Peserta penerima. (3) Dana yang ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dikembalikan kepada Peserta pengirim atau, dalam hal penerima dana yang berhak merupakan nasabah Peserta penerima, Peserta penerima wajib menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak, pada tanggal yang sama dengan tanggal ditariknya kembali dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) atau paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) telah ditarik oleh penerima dana yang tidak berhak, Peserta pengirim wajib mengirim instruksi transfer yang baru kepada penerima dana yang berhak tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan dana sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) karena dana telah ditarik oleh penerima dana yang tidak berhak, penagihan kepada penerima dana yang tidak berhak dilakukan oleh Peserta pengirim. (6) Dalam hal kesalahan diketahui berdasarkan informasi Peserta pengirim, kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana kepada Peserta pengirim atau penyampaian dana kepada penerima dana yang berhak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku apabila permintaan Peserta… -41- Peserta pengirim diterima dalam batas waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. (7) Batas waktu Peserta penerima untuk memberikan tanggapan atas permintaan Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) adalah paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Peserta Pengirim. (8) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk melakukan pengembalian atau penyampaian dana, Peserta penerima dapat mempertimbangkan untuk menolak atau menerima permintaan tersebut. (9) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian atau penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), Peserta pengirim melakukan penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak. (10) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9), Peserta penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima (11) Dalam hal penerima dana yang tidak berhak telah mengembalikan dana kepada Peserta penerima, namun Peserta penerima tidak mengembalikan atau menyampaikan dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta penerima wajib membayar bunga kepada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak sampai dilaksanakannya pengembalian dana kepada Peserta pengirim… -42- pengirim dengan tingkat bunga sebagaimana diatur dalam kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws). Pasal 58 Peraturan Sistem BI-RTGS, perjanjian yang berkaitan dengan Sistem BI-RTGS dan Buku Pedoman Teknis Sistem BI-RTGS yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui. Pasal 59 Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 Maret 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 28 DASP -1- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT UMUM Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dalam rangka mendukung terwujudnya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk mendukung stabilitas sistem keuangan. Upaya untuk mewujudkan sistem pembayaran yang dapat mendukung stabilitas sistem keuangan dilakukan secara berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko sistem pembayaran nasional. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) yang merupakan sistem transfer dana elektronik antar Peserta khususnya Bank dalam mata uang Rupiah yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. Manfaat diterapkannya Sistem BI-RTGS, selain menurunkan risiko sistem pembayaran nasional dengan meningkatkan kepastian Penyelesaian Akhir, juga menyediakan tambahan pilihan sarana transfer yang cepat, efisien, aman dan handal, serta menyediakan informasi saldo Rekening Giro Bank… -2- Bank secara real time dan menyeluruh sehingga dapat membantu Bank meningkatkan disiplin dan profesionalismenya dalam mengelola likuiditas. Sebagai salah satu pilihan sarana transfer bagi para pihak yang menggunakan sistem ini, penggunaan Sistem BI-RTGS memberikan pengertian real time tidak hanya pada level Bank, tetapi juga diharapkan pada level nasabah. Untuk lebih mendorong Bank menjalankan prinsip kehati-hatian dan lebih memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan transaksi melalui Sistem BI- RTGS, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sistem BI-RTGS dalam Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan ini antara lain mengatur syarat-syarat kepesertaan, status kepesertaan, hak dan kewajiban serta tanggung jawab Peserta dan Penyelenggara, mekanisme pelaksanaan penggunaan Sistem BI-RTGS dalam kondisi normal dan keadaan darurat serta pengamanan Sistem BI-RTGS. Sejalan dengan itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan penggunaan Sistem BI-RTGS dan menimimalkan risiko yang mungkin timbul, Bank Indonesia sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS, mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Peserta baik secara langsung maupun tidak langsung. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Cukup jelas Huruf b Untuk menjamin kehandalan RCC Back-up, Penyelenggara sewaktu- waktu dapat menggunakan RCC Back-up untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal. Huruf… -3- Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan aplikasi RT adalah program aplikasi Sistem BI-RTGS yang disediakan oleh Penyelenggara yang dipasang pada RT. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Pelayanan kepada Peserta berkaitan dengan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS antara lain meliputi pendaftaran, perubahan dan pencabutan kepesertaan. Pasal 3 Ayat (1) Jenis biaya penggunaan Sistem BI-RTGS antara lain biaya transaksi dan biaya perpanjangan Jam Operasional. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat… -4- Ayat (3) Unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. Ayat (4) Setiap pemegang Rekening Giro di Bank Indonesia tidak secara otomatis dapat menjadi Peserta. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan sarana pendukung antara lain printer dan modem untuk saluran komunikasi dial up. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud pertimbangan tertentu dalam ayat ini antara lain adanya rencana merger, akuisisi, konsolidasi, atau perubahan jenis usaha yang akan mempengaruhi keikutsertaan Peserta dalam Sistem BI-RTGS. Ayat… -5- Ayat (6) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan permintaan khusus dalam huruf ini antara lain berkaitan dengan perlunya dilakukan pengawasan khusus terhadap transaksi Peserta. Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan kepesertaan Bank dalam huruf ini adalah Bank Indonesia. Ayat (7) Yang dimaksud dokumen dalam ayat ini antara lain Perjanjian Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement antara Bank Indonesia dan Peserta, surat kuasa dari direksi Peserta kepada pejabatnya, dokumen spesimen tanda tangan, serta dokumen pendukung lainnya. Ayat (8) Cukup Jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan mengirim transfer termasuk penyelesaian transaksi pada Sistem Antrian dalam Sistem BI-RTGS. Huruf b Cukup jelas Huruf… -6- Huruf c Fungsi lainnya dalam RT antara lain system, utilities, audit trail, enquiry, administrative message, database maintenance dan queue management. Pasal 9 Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan tindakan preventif dalam huruf ini adalah antara lain pembekuan kegiatan usaha oleh instansi atau pihak yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 10 Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia. Ayat (1) Yang dimaksud fasilitas enquiry adalah fasilitas untuk melihat semua atau beberapa transaksi tertentu yang telah dibuat, diubah, ditolak, dibatalkan, dan… -7- dan disetujui, serta transaksi yang masih belum diselesaikan (pending) atau telah diselesaikan pada RCC atau RT, dan transaksi titipan (warehouse). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia. Pasal 12 Yang dimaksud sarana lainnya dalam Pasal ini adalah sarana lain yang digunakan untuk menyampaikan pengumuman apabila terdapat gangguan pada RCC sehingga Penyelenggara tidak dapat mengirimkan administrative message. Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan RT Server Utama, RT Server Back-up, dan RT Workstation berfungsi dengan baik adalah RT yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai transaksi Sistem BI-RTGS. Untuk memastikan RT Server Back-up dapat berfungsi dengan baik, Peserta sewaktu-waktu dapat menggunakan RT Server Back-up untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal. Huruf b Yang dimaksud dengan kebijakan dan prosedur tertulis dalam ayat ini adalah aturan tertulis yang ditetapkan oleh direksi dan atau pimpinan satuan kerja yang merupakan pelaksanaan kebijakan direksi, yang mengatur… -8- mengatur pembagian tugas dan tanggung jawab, mekanisme kerja, pengendalian (kontrol), dan akuntabilitas satuan kerja operasional Sistem BI-RTGS pada Peserta. Huruf c Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Perubahan yang wajib disampaikan adalah perubahan yang mendasar terhadap operasional Sistem BI-RTGS. Huruf d Yang dimaksud dengan pemeriksaan internal adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh satuan kerja audit intern. Yang dimaksud dengan keamanan operasional Sistem BI-RTGS meliputi pelaksanaan sistem dan prosedur operasional Sistem BI-RTGS di internal Peserta. Huruf e Yang dimaksud dengan security audit adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor internal yang independen dari satuan kerja operasional Sistem BI-RTGS atau auditor eksternal terhadap keamanan : a. teknologi informasi internal Peserta; b. hubungan (interface) antara aplikasi RT dengan sistem internal Peserta; dan c. kondisi lingkungan Peserta. Huruf f Pengumuman besarnya biaya transaksi dalam ayat ini dilakukan secara tertulis di setiap kantor Peserta dan diumumkan pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. Huruf g Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan sekurang- kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal terjadi… -9- terjadi gangguan untuk memastikan bahwa operasional Sistem BI-RTGS di Peserta tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem back-up tidak dapat digunakan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Yang dimaksud pengurus Bank adalah komisaris dan direksi Bank sesuai dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Yang dimaksud pejabat eksekutif Bank adalah pejabat eksekutif, sesuai dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain melakukan monitoring atas penerapan security audit dan monitoring atas pemeriksaan internal yang menjamin keamanan operasional Sistem BI-RTGS sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dapat mendukung diketahuinya secara dini terjadinya penyimpangan. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan transfer kredit dalam ayat ini adalah transaksi yang dilakukan oleh Peserta pengirim untuk mendebet Rekening Giro Peserta pengirim di Bank Indonesia dan mengkredit Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan transfer debet dalam ayat ini adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mendebet Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia dan mengkredit rekening lainnya yang ada di Bank Indonesia. Ayat… -10- Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud transaksi single credit dalam huruf ini adalah transfer kredit yang hanya berisi 1 (satu) instruksi transfer. Huruf b Yang dimaksud transaksi multiple credit dalam huruf ini adalah transfer kredit yang berisi lebih dari 1 (satu) dan maksimum 10 (sepuluh) instruksi transfer untuk diteruskan ke beberapa rekening nasabah penerima pada satu Peserta penerima. Pasal 16 Ayat (1) Transfer debet hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyelesaian kewajiban Peserta kepada Bank Indonesia atau kepada pemerintah Republik Indonesia dan koreksi atas transaksi yang diinput oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Transaction Reference Number (TRN) dalam ketentuan ini adalah kode yang terdiri dari 8 (delapan) karakter alfa numeric yang ditentukan oleh Penyelenggara yang berfungsi untuk mengidentifikasi asal dan tujuan transfer serta rekening yang dituju di Bank Indonesia. Ayat… -11- Ayat (2) Tidak dilakukannya penelitian atas kebenaran penggunaan Transaction Reference Number (TRN) dalam ayat ini antara lain karena Sistem BI- RTGS tidak melakukan pengecekan antara Transaction Reference Number (TRN) dengan kolom (field) ultimate beneficiary yang memuat informasi mengenai penerima dana dan dengan kolom (field) payment details yang memuat informasi tambahan lainnya yang terkait dengan transfer. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan transfer atas nama nasabah adalah transfer atas perintah dan atau untuk untung nasabah Peserta. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan saldo yang cukup termasuk pula fasilitas likuiditas intrahari yang dimiliki oleh Peserta. Ayat (2) Yang dimaksud dengan transaksi yang bersifat final adalah merupakan penjabaran dari pengecualian prinsip zero hour rule yang menyatakan bahwa apabila Peserta pengirim dicabut izin usaha dan dilikuidasi atau nasabah pengirim dipailitkan, transaksi yang telah dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau pailit tidak menjadi batal. Ayat (3) Cukup jelas Pasal… -12- Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan tingkat kepentingan transaksi yang masuk dalam antrian dimaksudkan untuk menentukan transaksi dalam antrian yang harus diselesaikan terlebih dahulu apabila terdapat dana yang cukup dalam Rekening Giro Peserta dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Perubahan Jam Operasional atas permintaan Peserta berupa perpanjangan Jam Operasional. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan gangguan atau kerusakan antara lain gangguan pada aplikasi dan atau perangkat keras RCC. Huruf… -13- Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan kebijakan antara lain adalah permintaan pemerintah dalam rangka pembayaran pajak atau untuk kepentingan Bank Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan keadaan darurat pada ayat ini adalah kondisi yang menyebabkan Peserta tidak dapat menjalankan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS untuk sementara waktu pada hari yang sama dengan terjadinya keadaan darurat yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, keadaan bahaya, huru hara, konflik bersenjata, ancaman bom dan kebakaran pada lokasi produksi. Yang dimaksud dengan lokasi produksi adalah lokasi kantor Peserta tempat Peserta yang bersangkutan dapat melakukan berbagai transaksi melalui Sistem BI-RTGS. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kontrol Peserta antara lain seperti gangguan saluran komunikasi. Pasal… -14- Pasal 26 Ayat (1) Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan Undang-undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) dan kepastian nasabah pengirim sebagai pemberi instruksi transfer dalam kedudukannya sebagai pihak yang bertindak untuk diri sendiri atau mewakili pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Peserta pengirim menyetujui instruksi transfer dari nasabah apabila instruksi transfer tersebut telah memuat informasi yang lengkap dan diisi dengan benar serta dana yang akan ditransfer telah tersedia. Yang dimaksud dengan jam pelayanan nasabah adalah batas waktu bagi nasabah untuk melakukan transfer melalui Sistem BI- RTGS di masing- masing Peserta sebagaimana diumumkan di kantor Peserta. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelaksanaan instruksi transfer. Yang dimaksud dengan tanggal pelaksanaan instruksi transfer adalah tanggal Penyelesaian Akhir instruksi transfer tersebut di Bank Indonesia. Dalam hal instruksi transfer masih dalam Sistem Antrian dan tidak terselesaikan sampai akhir hari sehingga instruksi tersebut dibatalkan oleh… -15- oleh RCC, Peserta pengirim tetap wajib membayar bunga terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal terjadinya Penyelesaian Akhir. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kewajiban Peserta pengirim merupakan konsekuensi dari kewajiban yang timbul dari hubungan hukum antara Peserta pengirim dengan nasabah pengirim yakni untuk mengirimkan dana kepada penerima dana sesuai instruksi transfer dari nasabah pengirim. Ayat (3) Ketidaksesuaian dapat diketahui oleh Peserta pengirim yang melakukan kesalahan atau diketahui langsung oleh Peserta penerima. Ayat (4) Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer yang baru adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelaksanaan instruksi transfer yang baru. Yang dimaksud dengan tanggal pelaksanaan instruksi transfer adalah tanggal Penyelesaian Akhir instruksi transfer tersebut di Bank Indonesia. Dalam hal instruksi transfer masih dalam Sistem Antrian dan tidak terselesaikan sampai akhir hari sehingga instruksi tersebut dibatalkan oleh RCC, Peserta pengirim tetap wajib membayar bunga terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal terjadinya Penyelesaian Akhir. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat… -16- Ayat (2) Pihak yang memberikan pembebasan tanggung jawab (indemnity) adalah Peserta pengirim (institutional indemnity) dan bukan nasabah Peserta pengirim (personal indemnity). Yang dimaksud dengan payment detail adalah informasi yang berkaitan dengan transfer yang diisi pada kolom (field) payment detail pada layar RT. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Confirmation advice dalam Pasal ini adalah hasil olahan komputer (computer print - out) yang tercetak di Peserta penerima, yang menunjukkan bahwa Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia telah dikredit. Kantor Peserta penerima dalam Pasal ini adalah kantor Peserta penerima yang mempunyai kewajiban langsung untuk menyampaikan dana kepada penerima dana. Ayat (1) Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan Undang- undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya… -17- khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) dan kepastian nasabah penerima sebagai penerima dana dalam kedudukannya sebagai pihak yang bertindak untuk diri sendiri atau mewakili pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Identitas penerima dana antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Paspor. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan sampai tanggal pengembalian dana adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal pengembalian dana. Pembayaran bunga kepada Peserta pengirim didasarkan pada prinsip pemanfaatan dana (use of funds) oleh Peserta penerima Ayat (6) Yang dimaksud dengan sampai tanggal penyampaian dana adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal penyampaian dana. Pasal 33 Ayat (1) Tanggapan Peserta penerima antara lain berisi dapat tidaknya dana dikembalikan atau disampaikan kepada penerima yang berhak, serta perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh penerima yang tidak berhak untuk melakukan rekonsiliasi. Ayat… -18- Ayat (2) Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima untuk menarik dana dari penerima dana yang tidak berhak dengan mengabaikan kebijakan dan ketentuan internal Peserta penerima, misalnya yang terkait dengan kewajiban meminta persetujuan dari penerima dana atau pemilik rekening untuk mendebet kembali rekeningnya, kecuali dalam perjanjian pembukaan rekening antara Peserta penerima dan nasabah Peserta penerima diatur bahwa dalam hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening nasabah Peserta penerima berhak melakukan pendebetan rekening nasabah Peserta penerima secara langsung tanpa perlu meminta persetujuan nasabah Peserta penerima terlebih dahulu. Hal yang sama berlaku juga untuk penerima dana tunai. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Kantor Peserta penerima dalam Pasal ini adalah kantor Peserta penerima yang mempunyai kewajiban langsung untuk menyampaikan dana kepada penerima dana. Ayat (1) Pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dibuktikan dengan confirmation advice. Huruf… -19- Huruf a Angka 1 Yang dimaksud batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah adalah batas waktu sesuai dengan Jam Operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Angka 2 Alasan yang dapat diterima untuk tidak mengkredit rekening penerima pada tanggal valuta yang sama antara lain karena sistem teknologi informasi di Peserta penerima belum terintegrasi dan atau kantor Peserta penerima berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak mendukung. Angka 3 Yang dimaksud batas waktu penyelesaian transfer atas nama nasabah adalah batas waktu sesuai dengan Jam Operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Angka 4 Cukup jelas Huruf b Angka 1 Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi penerima dana untuk mengambil dana di kantor Peserta penerima. Penyampaian surat pemberitahuan pada hari kerja berikutnya dilakukan apabila kantor Peserta penerima sudah tutup atau pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dilakukan dalam periode perpanjangan Jam Operasional. Angka 2 Penyampaian surat pemberitahuan pada hari diterimanya informasi transfer di kantor Peserta penerima atau paling lambat hari… -20- hari kerja berikutnya berlaku apabila kantor Peserta penerima berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak mendukung. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah: a. apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal yang sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut. b. apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu tanggal pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut. Ayat (3) Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening penerima dana yang berhak adalah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening penerima dana yang berhak. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan darurat antara lain bencana alam, keadaan bahaya, huru hara, konflik bersenjata, ancaman bom dan kebakaran pada lokasi Penyelenggara. Pemberitahuan oleh Penyelenggara disampaikan melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau sarana lainnya. Ayat (2) Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan sekurang- kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal terjadi gangguan untuk memastikan bahwa operasional BI-RTGS di Penyelenggara tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya, yang perlu dilakukan dalam hal RCC Back-up tidak dapat digunakan. Pasal… -21- Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kewajiban Peserta dalam ayat ini misalnya kewajiban pengiriman instruksi transfer dari nasabah pengirim, kewajiban pengembalian dana kepada Peserta pengirim, dan kewajiban pengkreditan rekening penerima karena tidak adanya informasi telah terlaksananya Penyelesaian Akhir. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Langkah-langkah yang diperlukan dalam ayat ini antara lain meliputi pemberitahuan kepada nasabah mengenai adanya kerusakan/gangguan di Sistem BI-RTGS dan pemberian alternatif penyelesaian dana yang ditransfer apakah akan diteruskan melalui sarana lain atau diambil secara tunai. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu dalam ayat ini antara lain waktu yang dibutuhkan untuk menghidupkan RT Server Back-up cukup lama sehingga Peserta tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan transaksi tertentu, seperti transaksi penarikan tunai, transaksi dengan pemerintah dan kewajiban antar Bank yang telah jatuh tempo, sesuai Jam Operasional. Pasal… -22- Pasal 39 Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar Penyelenggara dapat segera menentukan langkah-langkah yang perlu diambil seperti menyampaikan pemberitahuan kepada Peserta lainnya bahwa Peserta yang bersangkutan tidak dapat melakukan transaksi tertentu pada suatu waktu tertentu. Pemberitahuan ini disampaikan oleh Penyelenggara melalui administrative message atau sarana lainnya apabila terdapat gangguan pada RCC sehingga Penyelenggara tidak dapat mengirimkan administrative message. Pasal 40 Ayat (1) Pengawasan langsung berupa pemeriksaan Peserta baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Pengawasan tidak langsung berupa pengawasan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi atas laporan-laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada Bank Indonesia dan/atau data/informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud pihak lain adalah pihak yang memiliki keahlian dan kompetensi antara lain di bidang audit teknologi informasi. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan keterangan dan data dalam huruf ini antara lain data elektronik dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan pengawasan. Huruf… -23- Huruf b Yang dimaksud dengan sarana fisik dan aplikasi pendukungnya dalam huruf ini antara lain RT dan aplikasi RT, serta interface ke sistem internal Peserta. Huruf c Yang dimaksud dengan hal-hal lain yang diperlukan dalam huruf ini antara lain salinan dokumen yang terkait dengan obyek pengawasan. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh Penyelenggara antara lain lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghidupkan RT Server Back-up sehingga Peserta tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan transaksi sesuai Jam Operasional. Pasal… -24- Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal… -25- Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima untuk menarik dana dari penerima dana dengan mengabaikan kebijakan dan ketentuan internal Peserta penerima, misalnya yang terkait dengan kewajiban meminta persetujuan dari penerima dana atau pemilik rekening untuk mendebet kembali rekeningnya, kecuali dalam perjanjian pembukaan rekening antara Peserta penerima dan nasabah Peserta penerima diatur bahwa dalam hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening nasabah Peserta penerima berhak melakukan pendebetan rekening nasabah Peserta penerima secara langsung tanpa perlu meminta persetujuan nasabah Peserta penerima terlebih dahulu. Hal yang sama berlaku juga untuk penerima dana tunai. Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah: a. apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal yang sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut. b. apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu tanggal pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan rekonsiliasi… -26- rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut. Pelaksanaan verifikasi dan rekonsiliasi tersebut dilakukan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sesuai dengan ketentuan ayat (8). Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Kewajiban Peserta pengirim merupakan konsekuensi dari kewajiban yang timbul dari hubungan hukum antara Peserta pengirim dengan nasabah pengirim yakni untuk mengirimkan dana kepada penerima dana sesuai instruksi transfer dari nasabah pengirim. Ayat (5) Penagihan kepada penerima dana yang tidak berhak merupakan tanggung jawab Peserta pengirim karena Peserta pengirim merupakan pihak yang pertama kali melakukan kesalahan. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas Ayat (11) Yang dimaksud dengan sampai tanggal dilaksanakannya pengembalian dana kepada Peserta pengirim adalah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal dilaksanakannya pengembalian dana kepada Peserta pengirim. Pasal… -27- Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain mengenai : a. tata cara menjadi Peserta dan perubahan status kepesertaan; b. pedoman penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis, laporan hasil pemeriksaan internal dan hasil security audit; c. tata cara perpanjangan Jam Operasional; d. biaya penggunaan Sistem BI-RTGS; e. tata cara perhitungan bunga dan kompensasi, termasuk besarnya tingkat kompensasi; f. tata cara penyelesaian transaksi Sistem BI-RTGS dalam kondisi normal dan keadaan darurat; dan g. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung. Pasal 60 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4373 DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/8/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title> <set_date> 11 Maret 2004 </set_date> <effective_date> 11 Maret 2004 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa sangat diperlukan dalam rangka mendukung penerapan sistem devisa bebas; b. bahwa keterangan dan data yang lengkap, akurat dan tepat waktu yang dihasilkan dari pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik; c. bahwa statistik kegiatan Lalu Lintas Devisa terutama statistik neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia merupakan faktor penting dalam perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan; d. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dengan Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 ... -2- Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri antar Penduduk. 2. Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (selanjutnya disebut Perusahaan) adalah Badan Usaha yang melakukan kegiatan usaha selain sebagai Bank dan selain sebagai Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Aset Finansial Luar Negeri adalah aktiva Perusahaan yang merupakan tagihan terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan di luar negeri, simpanan ... -3- simpanan pada bank di luar negeri dan pemilikan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh bukan penduduk; 4. Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah pasiva Perusahaan yang merupakan kewajiban terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk utang luar negeri dan utang dagang kepada perusahaan di luar negeri; 5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. BAB II KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 2 (1) Perusahaan yang melakukan kegiatan Lalu Lintas Devisa wajib menyampaikan laporan yang berisi keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. (2) Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat rahasia. Pasal 3 (1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku bagi Perusahaan yang : a. memiliki total aset/aktiva sekurang-kurangnya Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau b. memiliki omset penjualan selama satu tahun sekurang-kurangnya Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam ... -4- (2) Dalam hal total aset/aktiva atau omset penjualan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengalami penurunan masing-masing menjadi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), Perusahaan tetap wajib menyampaikan laporan sepanjang masih melakukan kegiatan Lalu Lintas Devisa. (3) Besarnya total aset/aktiva dan omset penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah sesuai perkembangan, dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi laporan : a. Transaksi yang mempengaruhi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri, b. Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri per akhir periode laporan. (2) Transaksi yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah transaksi yang dilakukan tidak melalui Bank atau Lembaga Keuangan Non Bank di dalam negeri. BAB III PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 5 Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya, Bank Indonesia meneliti kebenaran keterangan dan data dimaksud, termasuk meminta bukti pembukuan, catatan, dan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Lalu Lintas Devisa. Pasal 6 ... -5- Pasal 6 Perusahaan wajib memberikan bukti pembukuan, catatan, dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 7 (1) Perusahaan yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a secara tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap keterangan dan data yang tidak lengkap dan atau tidak benar dan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (2) Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar ... -6- sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) ditambah denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Bagi Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang. Pasal 10 Bagi Perusahaan yang tidak memberikan bukti pembukuan, catatan, dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang. Pasal 11 Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Desember 2002 untuk kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan selama bulan November 2002. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Prosedur dan tata cara pelaporan, jumlah dan tata cara pengenaan sanksi serta keterangan dan data yang diminta, diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13 ... -7- Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2002. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Maret 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 15 DSM -8- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 2 /PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas. Dengan demikian, setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa yang dimilikinya. Namun, mengingat keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa selama ini belum terpenuhi secara lengkap maka dibutuhkan suatu sistem pemantauan Lalu Lintas Devisa. Dengan adanya sistem pemantauan tersebut memungkinkan otoritas moneter memiliki statistik mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa secara lengkap, akurat dan tepat waktu sehingga dapat mendukung perumusan dan peningkatan efektivitas kebijakan dibidang moneter. Sistem pemantauan Lalu Lintas Devisa tersebut akan mendukung penerapan sistem devisa bebas agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa meliputi pemantauan semua transaksi yang menimbulkan terjadinya perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk. Disamping itu, dalam rangka memperoleh informasi mengenai pergerakan devisa di sektor non finansial, pemantauan atas perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk perlu pula dilakukan. Laporan tersebut dimaksudkan terutama untuk keperluan penyusunan statistik ... -9- statistik neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia dalam rangka mendukung tercapainya stabilitas moneter. Berkenaan dengan itu, maka untuk mewujudkan sistem pemantauan Lalu Lintas Devisa tersebut, seluruh Perusahaan yang melakukan kegiatan Lalu Lintas Devisa diwajibkan untuk menyampaikan laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya kepada Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan ini, Perusahaan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan yang melakukan kegiatan usaha selain sebagai Bank dan selain Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998, Bank meliputi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, LKNB meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas ... -10- sekuritas, modal ventura, dan Perusahaan pembiayaan, serta badan- badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Berkenaan dengan itu, Perusahaan yang dimaksud dalam Pasal ini meliputi : a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu badan usaha milik negara yang didirikan sesuai Undang-undang No. 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang, dan badan usaha lainnya yang didirikan dengan Undang-undang tersendiri yang terdapat unsur kepemilikan negara, b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan, c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD di atas yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Yang dimaksud dengan keterangan dan data meliputi antara lain pelaku transaksi, tujuan transaksi dan nilai transaksi. Ayat (2) Keterangan dan data yang bersifat rahasia adalah keterangan dan data yang bersifat individual. Pasal 3 Ayat (1) Penetapan besarnya total aset dan omset penjualan didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit. Dalam hal laporan keuangan ... -11- keuangan yang telah diaudit belum tersedia, maka digunakan laporan keuangan yang belum diaudit. Ayat (2) Yang dimaksud dengan masih tetap melakukan kegiatan Lalu Lintas Devisa adalah Perusahaan melakukan transaksi Lalu Lintas Devisa dan atau memiliki Posisi Aset Finansial Luar Negeri dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Transaksi yang mempengaruhi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri, meliputi antara lain: 1. Penerimaan dan atau pembayaran antara Perusahaan dengan bukan Penduduk baik dalam rupiah maupun valuta asing, meliputi antara lain penerimaan hasil ekspor, pembayaran impor, penarikan dan pembayaran pinjaman luar negeri, penerimaan bunga simpanan, penerimaan pelunasan piutang dagang, pembayaran utang dagang, termasuk pengakuan utang/piutang dan penyelesaiannya secara netting; 2. Penerimaan dan atau pembayaran antara Perusahaan dengan Penduduk dalam valuta asing, meliputi antara lain penjualan atau pembelian mata uang asing, penerimaan dan pembayaran dalam rangka perdagangan barang dan jasa. Huruf b ... -12- Huruf b Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri mencakup baik yang sudah efektif menjadi tagihan dan atau kewajiban Perusahaan (on balance sheet) maupun yang masih merupakan catatan atas laporan keuangan seperti tagihan/kewajiban kontinjensi dan tagihan/kewajiban komitmen. Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit. Dalam hal laporan keuangan yang telah diaudit belum tersedia maka digunakan laporan keuangan yang belum diaudit. Ayat (2) Transaksi yang dilakukan tidak melalui Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank di dalam negeri meliputi antara lain penerimaan dan atau pembayaran melalui rekening giro Perusahaan pada bank di luar negeri dan penyelesaian transaksi melalui rekening antar kantor/Perusahaan. Dalam hal transaksi dilakukan melalui Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank di dalam negeri, maka pelaporannya dilakukan oleh Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang bersangkutan. Pasal 5 Dalam melakukan penelitian kebenaran keterangan dan data, Bank Indonesia meminta klarifikasi dan atau meneliti pembukuan, catatan, dan dokumen yang berkaitan dengan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan tersebut. Pasal 6 ... -13- Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Perusahaan dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila laporan Perusahaan diterima oleh Bank Indonesia melewati masa penyampaian laporan sampai dengan berakhirnya masa keterlambatan penyampaian laporan. Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender. Pasal 9 Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank Indonesia belum menerima laporan Perusahaan sampai dengan berakhirnya masa keterlambatan penyampaian laporan. Sanksi administratif dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pasal 10 Sanksi administratif dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 ... -14- Pasal 13 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 4178 DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/2/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 28 Maret 2002 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2002 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/4/PBI/2015 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pengendalian moneter khususnya pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, perlu dilakukan pengembangan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang berfungsi dengan baik; b. bahwa pengembangan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagai sarana pengelolaan risiko likuiditas diperlukan untuk mendukung ketahanan industri keuangan syariah, termasuk perbankan syariah; c. bahwa untuk pengembangan pasar uang antarbank, alternatif pemenuhan kebutuhan likuiditas perbankan syariah melalui transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah perlu diperkaya dengan transaksi surat berharga syariah dengan cara penjualan surat berharga syariah dengan janji membeli kembali (repurchase agreement); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah. Mengingat... - 2 - Mengingat: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah. 3. Unit... - 3 - 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah. 4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 5. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 6. Instrumen Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 7. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga syariah oleh peserta PUAS kepada peserta PUAS lainnya yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, dengan janji pembelian kembali pada waktu tertentu yang diperjanjikan. 8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah. BAB II PESERTA PUAS Pasal 2 (1) Peserta PUAS terdiri atas BUS, UUS, dan/atau BUK. (2) Dalam melakukan transaksi di PUAS, peserta PUAS dapat menggunakan Perusahaan Pialang. (3) Perusahaan... - 4 - (3) Perusahaan Pialang hanya dapat melakukan transaksi di PUAS untuk dan atas nama peserta PUAS. Pasal 3 Pada saat penerbitan Instrumen PUAS: a. BUS dan UUS dapat melakukan penempatan dana atau penerimaan dana. b. BUK hanya dapat melakukan penempatan dana. BAB III INSTRUMEN DAN TRANSAKSI PUAS Pasal 4 (1) Instrumen PUAS yang dapat ditransaksikan oleh peserta PUAS adalah instrumen yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai instrumen PUAS. (2) Peserta PUAS dilarang mentransaksikan Instrumen PUAS yang belum diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 5 (1) BUS atau UUS dapat mengajukan usulan Instrumen PUAS selain yang telah diatur oleh Bank Indonesia. (2) Usulan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) BUS atau UUS yang mengajukan usulan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu memperoleh fatwa mengenai kesesuaian Instrumen PUAS tersebut dengan prinsip syariah dari Dewan Syariah Nasional. (4) Setelah Bank Indonesia menyetujui usulan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengatur Instrumen… - 5 - Instrumen PUAS tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia, yang antara lain mencakup karakteristik dan persyaratan Instrumen PUAS, mekanisme transaksi, penyelesaian transaksi dan pelaporan. (5) Tata cara pengajuan usulan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 BUS atau UUS hanya dapat menerbitkan Instrumen PUAS setelah Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4). Pasal 7 (1) Peserta PUAS wajib menggunakan surat berharga syariah dalam Transaksi Repo Syariah. (2) Dalam hal Peserta PUAS melakukan transaksi repurchase agreement atas surat berharga syariah, peserta PUAS wajib melakukan transaksi tersebut melalui Transaksi Repo Syariah. (3) Transaksi Repo Syariah yang dilakukan di PUAS adalah Transaksi Repo Syariah dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun. (4) Mekanisme Transaksi Repo Syariah diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELAPORAN Pasal 8 Peserta PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi PUAS. BAB V… - 6 - BAB V PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 9 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada peserta PUAS untuk memastikan kepatuhan peserta PUAS terhadap pelaksanaan peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. pemeriksaan langsung; b. pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan; atau c. menggunakan data hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam melakukan pemeriksaan kepada peserta PUAS, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI SANKSI Pasal 10 (1) Peserta PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). (2) Peserta PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. Pasal… - 7 - Pasal 11 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan mendebet rekening giro rupiah peserta PUAS pada Bank Indonesia. Pasal 12 Peserta PUAS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi PUAS. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah; dan 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/1/PBI/2012 tanggal 4 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal… - 8 - Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 April 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 87 DKMP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/4/PBI/2015 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara pengendalian moneter yang dilakukan adalah pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah yaitu dengan pelaksanaan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. Dalam pelaksanaannya, efektifitas operasi moneter syariah memerlukan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang berfungsi dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, ketersediaan alternatif instrumen dan mekanisme transaksi pada pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah menjadi penting untuk terus dikembangkan. Peran industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah, yang semakin meningkat dalam membiayai pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan pengelolaan likuiditas yang semakin baik. Terbatasnya instrumen syariah untuk pengelolaan likuiditas di pasar keuangan domestik akan meningkatkan urgensi perlunya pengembangan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan alternatif pengelolaan likuiditas adalah dengan menambahkan mekanisme transaksi surat berharga syariah dengan cara repurchase agreement (penjualan surat berharga syariah dengan janji membeli kembali). Pada gilirannya, keberadaan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang berfungsi dengan baik diyakini berperan mendukung ketahanan industri keuangan syariah sebagai media pengelolaan risiko likuiditas. Instrumen... - 2 - Instrumen dan mekanisme transaksi di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah telah memperoleh fatwa dan/atau opini syariah dari otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a BUS dan UUS melakukan penerimaan dana sebagai penerbit Instrumen PUAS. Huruf b BUK tidak dapat menerbitkan instrumen PUAS. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal... - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Fatwa Dewan Syariah Nasional merupakan salah satu bahan yang dipertimbangkan Bank Indonesia dalam menyetujui usulan Instrumen PUAS yang diajukan. Adanya fatwa Dewan Syariah Nasional tidak serta merta mengakibatkan Bank Indonesia menyetujui usulan Instrumen PUAS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Surat Edaran Bank Indonesia dalam ayat ini adalah Surat Edaran yang mengatur mengenai PUAS. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan surat berharga syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, baik oleh Pemerintah maupun Korporasi, sebagai bukti penyertaan atas kepemilikan aset surat berharga syariah, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Yang... - 4 - Yang dimaksud dengan Korporasi adalah badan usaha selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Teguran tertulis memuat antara lain perintah penghentian transaksi atas Instrumen PUAS yang belum diatur oleh Bank Indonesia. Teguran tertulis tersebut ditembuskan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Ayat... - 5 - Ayat (2) Teguran tertulis memuat antara lain perintah penghentian Transaksi Repo Syariah atau transaksi repurchase agreement terkait. Teguran tertulis tersebut ditembuskan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5693
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/4/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 27 April 2015 </set_date> <effective_date> 27 April 2015 </effective_date> <issued_date> 27 April 2015 </issued_date> <replaced_reg> '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 2 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum yang lebih efektif, akurat, dan lengkap diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan Bank Pelapor dalam memenuhi ketentuan pelaporan Laporan Bulanan Bank Umum, diperlukan penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan dari Bank Pelapor kepada Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan kedua terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum; Mengingat… -2- Mengingat : : 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4962); 3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN… -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) diubah sebagai berikut : 1. Pasal 1 angka 12 dihapus. 2. Ketentuan Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : BAB III PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 8 (1) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) setiap bulan wajib menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) setiap bulan wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia… -4- Indonesia paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) setiap triwulan wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 23 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) setiap triwulan wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 23 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat pada tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. Pasal 10 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila : a. menyampaikan… -5- a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), sampai dengan tanggal 12 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; d. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; e. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 11 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. 3. Ketentuan… -6- 3. Ketentuan Pasal 16 ayat (4) diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut : Pasal 16 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan. (4) Kesalahan Laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan. (5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank atau temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan… -7- menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan. (6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Laporan. (7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan. (8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4) yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. 4. Ketentuan Pasal 22A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 22A Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Januari 2010 yang disampaikan pada bulan Februari 2010 sampai dengan data bulan Juni 2010 yang disampaikan pada bulan Juli 2010 diatur sebagai berikut : a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada… -8- kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. 5. Ketentuan Pasal 22B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 22B Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank Pelapor dinyatakan terlambat apabila : a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf a, sampai dengan tanggal 21 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf b, sampai… -9- sampai dengan tanggal 28 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf c, sampai dengan tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf d, sampai dengan tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. 6. Ketentuan Pasal 22C diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22C Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22B. 7. Di antara Pasal 22 C dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yaitu Pasal 22 D sampai dengan Pasal 22F yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 22D Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Juli 2010 yang disampaikan pada bulan Agustus 2010 sampai dengan data bulan Desember 2010 yang disampaikan pada bulan Januari 2011 diatur sebagai berikut : a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada… -10- kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 5 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 5 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 22E Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D, Bank Pelapor dinyatakan terlambat apabila : a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf a, sampai dengan tanggal 16 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf b, sampai dengan tanggal 23 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan… -11- c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf c, sampai dengan tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf d, sampai dengan tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 22F Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D, Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E. 8. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 25 (1) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (6) mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Oktober 2009 yang disampaikan bulan November 2009. (2) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 17 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Juli 2010 yang disampaikan pada bulan Agustus 2010. (3) Ketentuan… -12- (3) Ketentuan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 mulai berlaku bagi Bank Pelapor yang memenuhi ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan/atau Pasal 17 sejak pelaporan bulan Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar… -13- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Februari 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 5 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 40 DSM -14- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 2 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 2 Pasal 8 Ayat (1) Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Februari 2011. Ayat (2) Contoh : Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Januari 2011 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Februari 2011. Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan… -15- bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan Januari 2011 maka yang wajib dilaporkan adalah data akhir Januari 2011 atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Januari 2011. Ayat (3) Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2011 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 23 April 2011. Ayat (4) Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2011 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 23 April 2011. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup… -16- Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Contoh : Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 6 Februari 2011 sampai dengan tanggal 7 Februari 2011. Huruf b Contoh : Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 8 Februari 2011 sampai dengan tanggal 10 Februari 2011. Huruf c Contoh : Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Februari 2011 sampai dengan tanggal 12 Februari 2011. Huruf d Contoh : Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan… -17- dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 24 April 2011 sampai dengan tanggal 25 April 2011. Huruf e Contoh : Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 24 April 2011 sampai dengan tanggal 25 April 2011. Pasal 11 Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 7 Februari 2011. Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dinyatakan tidak disampaikan apabila koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 10 Februari 2011. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 12 Februari 2011. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan tidak disampaikan… -18- disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 25 April 2011. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 25 April 2011. Angka 3 Pasal 16 Ayat (1) Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Mei 2011 pada hari Selasa tanggal 7 Juni 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 2 hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (tanggal 6 dan 7 Juni 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Tanggal 5 Maret 2011 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Februari 2011 pada hari Minggu tanggal 6 Maret 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 1 hari, yaitu hari Minggu (tanggal 6 Maret 2011). Berhubung sanksi kewajiban membayar dikenakan per hari kerja, maka Bank A tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Laporan… -19- Laporan Gabungan; Tanggal 10 September 2011 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan data bulan Agustus 2011 pada hari Senin tanggal 12 September 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan selama 1 hari kerja yaitu Senin (12 September 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ayat (2) Contoh : Koreksi Laporan per Kantor; Tanggal 5 Februari 2011 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor data bulan Januari 2011 pada hari Senin tanggal 7 Februari 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor selama 1 hari kerja, yaitu Senin (tanggal 7 Februari 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Koreksi Laporan Gabungan; Tanggal 10 September 2011 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Gabungan data bulan Agustus 2011 pada hari Selasa tanggal 13 September 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2 hari… -20- hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (12 dan 13 September 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau item yang seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris yang bersangkutan. Contoh : Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kualitas, Sektor Ekonomi dan Jumlah, maka dihitung sebagai 3 item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan, maka perhitungan sanksi adalah 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan sanksi maksimum, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Ayat (5)… -21- Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal 7 Agustus 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Juli 2011 pada hari Senin tanggal 8 Agustus 2011, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Laporan Gabungan; Tanggal 10 Juli 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan data bulan Juni 2011 pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Angka 4 Pasal 22A Huruf a Contoh : Laporan… -22- Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Februari 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Maret 2010. Huruf b Contoh : Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Februari 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 25 Maret 2010. Huruf c Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010. Huruf d Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan… -23- Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010. Angka 5 Pasal 22B Huruf a Contoh : Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Februari 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan pada tanggal 21 Maret 2010. Huruf b Contoh : Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Februari 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 26 Maret 2010 sampai dengan tanggal 28 Maret 2010. Huruf c Contoh : Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Mei 2010 sampai dengan tanggal 15 Mei 2010. Huruf d… -24- Huruf d Contoh : Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Mei 2010 sampai dengan tanggal 15 Mei 2010. Angka 6 Pasal 22C Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Februari 2010 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Maret 2010. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Februari 2010 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 28 Maret 2010. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2010, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 15 Mei 2010. Laporan… -25- Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2010, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 15 Mei 2010. Angka 7 Pasal 22D Huruf a Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2010. Huruf b Contoh : Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Agustus 2010. Huruf c Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September… -26- September 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 5 November 2010. Huruf d Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2010 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 5 November 2010. Pasal 22E Huruf a Contoh : Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan pada tanggal 16 Agustus 2010. Huruf b Contoh : Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 21 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 23 Agustus 2010. Huruf c… -27- Huruf c Contoh : Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 6 November 2010 sampai dengan tanggal 10 November 2010. Huruf d Contoh : Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 6 November 2010 sampai dengan tanggal 10 November 2010. Pasal 22F Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 16 Agustus 2010. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 23 Agustus 2010. Laporan… -28- Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2010 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 10 November 2010. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2010, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 10 November 2010. Angka 8 Pasal 25 Cukup jelas Pasal II Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5113
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/2/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 5 Februari 2010 </set_date> <effective_date> 5 Februari 2010 </effective_date> <issued_date> 5 Februari 2010 </issued_date> <changed_reg> '10/40/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Bab III Pasal 16', 'Pasal I Bab III Pasal 25' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 1 /PBI/2009 TENTANG BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perbankan nasional yang sehat dan kuat mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional; b. bahwa dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, industri perbankan nasional mengalami perubahan yang sangat cepat, dinamis, dan semakin terintegrasi dalam menciptakan sinergi dan efisiensi pengelolaan bank; c. bahwa pengaturan kelembagaan perbankan perlu disesuaikan agar dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam memenuhi tuntutan dinamika perbankan dan meningkatkan pelayanan dan manfaat kepada masyarakat; d. bahwa dalam rangka mendorong terciptanya industri perbankan yang sehat dan kuat maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan kelembagaan bank; e. bahwa … - 2 - e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut Kanwil adalah kantor Bank yang membantu kantor pusatnya melakukan fungsi administrasi dan koordinasi terhadap beberapa kantor cabang di suatu wilayah tertentu. 3. Kantor Cabang yang selanjutnya disebut dengan KC adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana KC tersebut melakukan usahanya. 4. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disebut dengan KCP adalah kantor di bawah KC yang kegiatan usahanya membantu KC induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana KCP tersebut melakukan usahanya. 5. Kantor Kas yang selanjutnya disebut dengan KK adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana KK tersebut melakukan usahanya, termasuk memberikan pelayanan kepada nasabah baru. 6. Kantor Fungsional yang selanjutnya disebut dengan KF adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan operasional atau non operasional secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan fungsional. 7. Kegiatan … - 4 - 7. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disebut dengan KPK adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain: a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau konter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk pelayanan pembayaran atau penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik, gaji pegawai dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disebut dengan PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor Bank, yang dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri maupun melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automatic Deposit Machine (ADM), dan Electronic Data Capture (EDC). 8. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi … - 5 - b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 9. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain Kepala Divisi, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Cabang, Kepala Kantor Fungsional yang kedudukannya paling kurang setara dengan Kepala Kantor Cabang, Kepala Satuan Kerja Manajemen Risiko, Kepala Satuan Kerja Kepatuhan, dan Kepala Satuan Kerja Audit Intern dan/atau pejabat lainnya yg setara. 11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki … - 6 - b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Kelompok Usaha adalah : a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan, dan/atau hubungan keuangan. Pasal 2 Setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan penghimpunan dana dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Pasal 3 Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Perusahaan Daerah; atau c. Koperasi. BAB II … - 7 - BAB II PERIZINAN Bagian Kesatu Pendirian Bank Pasal 4 (1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 5 Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pasal 6 (1) Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan. (2) Kepemilikan … - 8 - (2) Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank. Bagian Kedua Persetujuan Prinsip dan Izin Usaha Pasal 7 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan paling kurang oleh salah satu calon pemilik kepada Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan: a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan Anggaran Dasar yang paling kurang memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Bank; 3. permodalan; 4. kepemilikan; 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Dewan Komisaris serta anggota Direksi; dan 6. persyaratan bahwa pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu; b. data kepemilikan berupa: daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; 2. daftar … - 9 - 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi; c. daftar calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai dengan: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3. riwayat hidup; 4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang tercantum dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan 5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia; e. rencana bisnis (business plan) untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling kurang memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana … - 10 - 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan kegiatan operasional; f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance; h. sistem dan prosedur kerja; i. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf i: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia; dan/atau 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). (2) Daftar … - 11 - (2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b: a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan: dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5; dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia; b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan: 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat Anggaran Dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut; 2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5; 3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; 4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi; 5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan 7. dokumen … - 12 - 7. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia; c. dalam hal pemerintah, baik pusat atau daerah, wajib disertai dengan: 1. fotokopi dokumen yang menyatakan keputusan pembentukan Pemerintah Daerah bagi Pemerintah Daerah; 2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5 dari pejabat yang berwenang mewakili pemerintah; 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja; dan 4. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan c. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap calon PSP, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi. (3) Selain … - 13 - (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank. Pasal 9 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. Pasal 10 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip kepada Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan: a. akta pendirian badan hukum, yang memuat Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan kepemilikan; c. daftar … - 14 - c. daftar susunan Dewan Komisaris dan Direksi, disertai dengan: 1. contoh tanda tangan dan paraf; 2. identitas dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; dan 3. fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing: i. untuk anggota Direksi; dan/atau ii. untuk anggota Dewan Komisaris yang bermaksud menetap di Indonesia; d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu pemilik Bank yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; f. bukti kesiapan operasional yang paling kurang berupa: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor; 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP); g. surat … - 15 - g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf e: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia, dan/atau 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering); h. surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank; i. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank; j. surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank; k. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank. Pasal 11 … - 16 - Pasal 11 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dalam hal terdapat penggantian atas calon PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang diajukan sebelumnya. Pasal 12 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha perbankan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum melakukan kegiatan usaha, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. Pasal 13 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Bank” pada penulisan namanya. (2) Dalam … - 17 - (2) Dalam hal Bank menggunakan logo sebagai identitas tambahan dalam melaksanakan hubungan hukum, Bank wajib mencantumkan nama Bank sebagai identitas utama. BAB III KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK Pasal 14 Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia; dan/atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 15 (1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. (2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank. Pasal 16 Kepemilikan saham Bank oleh Pemegang Saham Pengendali dilarang diagunkan atau dijaminkan kepada pihak lain. Pasal 17 … - 18 - Pasal 17 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank wajib memenuhi syarat: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; dan d. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus. (2) Dalam hal pemilik Bank berbentuk badan hukum maka persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik maupun pengurus dari badan hukum tersebut. Pasal 18 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP Bank wajib memenuhi persyaratan: a. Integritas, yang paling kurang mencakup : 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang- undangan yang berlaku; 3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; dan 4. tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemegang saham dan/atau Pengurus Bank dan/atau BPR; b. Kelayakan keuangan, yang paling kurang mencakup : 1. persyaratan kemampuan keuangan; 2. pemenuhan … - 19 - 2. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian kemampuan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku; dan 3. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a angka 2, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 7, atau Pasal 7 ayat (2) huruf c angka 4. (3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Pasal 19 (1) Pemegang saham dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan operasional Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemegang saham yang juga menjadi pengurus atau karyawan Bank. Pasal 20 Penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank dan/atau PSP tunduk kepada tata cara penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank dan/atau PSP yang mengakibatkan terjadinya perubahan pengendalian. Pasal 21 … - 20 - Pasal 21 Perubahan modal disetor yang disebabkan oleh adanya deviden yang dibagikan dalam bentuk saham Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan dilakukan dilampiri dengan: a. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; dan b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 22 (1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian, baik yang mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian, pengurangan, dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan dilakukan. (2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib disertai dengan: a. bukti penyetoran; b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf g; d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b; dan e. akta perubahan Anggaran Dasar berikut bukti penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dari berwenang. instansi yang (3) Laporan … - 21 - (3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d serta fotokopi dokumen pengalihan saham. (4) Bank wajib menyampaikan laporan perubahan komposisi kepemilikan yang diakibatkan penggantian dan/atau penambahan pemilik karena pembelian saham melalui bursa efek dan/atau laporan daftar pemegang saham Bank pada posisi tertentu, apabila diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Perubahan kepemilikan saham Bank yang disebabkan oleh hibah atau waris saham yang tidak menyebabkan perubahan modal disetor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan dilakukan, dengan dilampiri: a. akta hibah atau akta waris; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; dan c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5. (2) Dalam hal perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan penerima hibah atau waris saham menjadi PSP maka berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 20. Pasal 24 (1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia … - 22 - Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang, disertai dengan: a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham; dan b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. (2) Penambahan modal bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang, disertai dengan: a. Risalah Rapat Anggota; dan b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 (1) Penerbitan saham Bank melalui penawaran umum di bursa efek (go public) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (2) Rencana penerbitan saham Bank melalui penawaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Pelaporan penerbitan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling kurang 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum pelaksanaan penawaran umum, dengan dilampiri: a. jadwal … - 23 - jadwal rencana pelaksanaan penawaran umum; dan b. rencana penggunaan dana. a. Pasal 26 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi. (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. BAB IV DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DAN PEJABAT EKSEKUTIF Pasal 27 (1) Anggota Dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan: a. Integritas, yang paling kurang mencakup : 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang- undangan yang berlaku; 3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; dan 4. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus. b. Kompetensi, yang paling kurang mencakup: 1. pengetahuan … - 24 - 1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; 2. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan; dan 3. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam ketentuan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Pasal 28 (1) Bank wajib menugaskan salah seorang anggota Direksi sebagai Direktur Kepatuhan. (2) Ketentuan mengenai Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director). Pasal 29 … - 25 - Pasal 29 Susunan, jumlah dan persyaratan lain bagi anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya. Pasal 30 (1) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k. (3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). (5) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak seluruh persyaratan terpenuhi. (6) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. (7) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham dianggap belum efektif sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (8) Dewan … - 26 - (8) Dewan Komisaris atau Anggota Direksi yang dinyatakan belum efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat membuat keputusan yang secara hukum mengikat dan mempengaruhi kondisi keuangan Bank. (9) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota membatalkan pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pembatalan pengangkatan, disertai dengan notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau notulen Rapat Anggota. (10) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau notulen Rapat Anggota. Pasal 31 Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif, disertai dengan alasan pemberhentian dan/atau pengunduran diri. Pasal 32 (1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian efektif, disertai dengan: a. surat … - 27 - a. surat pengangkatan, pemberhentian, penggantian, dan/atau pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutif dari Direksi Bank atau pejabat yang berwenang; b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 10 huruf c angka 1; dan c. berita acara serah terima jabatan. (2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan efektif menduduki jabatannya apabila yang bersangkutan: a. b. telah menerima surat pengangkatan dan/atau pemberian kuasa atau dokumen lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; dan telah melakukan serah terima jabatan. (3) Apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki rekam jejak negatif maka Bank wajib segera membatalkan pengangkatan yang bersangkutan dari jabatan sebagai Pejabat Eksekutif paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 33 (1) Penggantian sementara Pejabat Eksekutif karena: a. adanya kekosongan jabatan dan Pejabat Eksekutif yang baru belum diangkat atau belum efektif menjalankan tugasnya; atau b. Pejabat Eksekutif yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal penggantian. (2) Pelaporan … - 28 - (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan dokumen: a. surat penunjukan, pemberian kuasa, berita acara serah terima jabatan sementara sebagai Pejabat Eksekutif dari Direksi Bank atau dokumen lain yang dapat dipersamakan dengan itu; dan b. identitas Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 10 huruf c angka 1. (3) Bank wajib menunjuk atau mengangkat Pejabat Eksekutif permanen atas penggantian sementara Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). . Pasal 34 Bank yang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing wajib mengikuti persyaratan dan tata cara pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. BAB V PEMBUKAAN KANTOR BANK Bagian Kesatu Pembukaan Kantor Bank di Dalam Negeri Paragraf 1 Pembukaan Kantor Cabang Pasal 35 (1) Pembukaan KC wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (2) Rencana … - 29 - (2) Rencana pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia, disertai dengan: a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan; b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan KC; c. hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank; dan d. rencana bisnis KC paling kurang selama 12 (dua belas) bulan. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh pejabat selain Direksi Bank sepanjang telah diatur dalam kebijakan mengenai pendelegasian wewenang Bank. (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan, kecukupan permodalan dan profil risiko. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 36 … - 30 - Pasal 36 (1) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan. (2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. Paragraf 2 Pembukaan Kantor Cabang Pembantu Pasal 37 (1) Pembukaan KCP hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan mendapat penegasan Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan: a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia; dan b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (4) Laporan keuangan KCP wajib digabungkan dengan laporan keuangan kantor induknya pada hari yang sama. Pasal 38 … - 31 - Pasal 38 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KCP kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (2) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan KCP wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Paragraf 3 Pembukaan Kantor Kas atau Kegiatan Pelayanan Kas Pasal 39 (1) Pembukaan KK atau KPK hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KK atau KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Pelaksanaan pembukaan KK atau KPK wajib dilaporkan Bank kepada Bank Indonesia dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. (4) Laporan keuangan KK atau KPK wajib digabungkan dengan laporan keuangan kantor induknya pada hari yang sama, kecuali untuk kegiatan PPE. (5) Bank … - 32 - (5) Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memerintahkan Bank untuk menunda pembukaan KK atau KPK. (6) Tidak termasuk sebagai pembukaan KPK adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening. Paragraf 4 Pembukaan Kantor Fungsional Pasal 40 (1) Pembukaan KF hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan mendapat penegasan Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Jenis KF terdiri dari: a. KF yang melakukan kegiatan operasional; atau b. KF yang tidak melakukan kegiatan operasional. (4) KF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib menggabungkan laporan keuangannya dengan laporan keuangan: a. KC Bank yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja Bank Indonesia; b. KC Bank terdekat atau Kantor Pusat Bank, apabila dalam wilayah kerja Bank Indonesia dimana KF tersebut berada tidak terdapat KC Bank, dengan persetujuan Bank Indonesia. (5) Laporan keuangan KF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Pusat Bank. (6) Bank … - 33 - (6) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KF kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pembukaan kantor. (7) Penyampaian rencana pembukaan KF yang bersifat operasional untuk pemberian kredit disertai dengan diskripsi rencana bank untuk mengutamakan pemberian kredit pada sektor produktif. (8) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (9) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan. Paragraf 5 Pembukaan Kantor Wilayah Pasal 41 (1) Rencana pembukaan Kanwil wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (2) Bank wajib melaporkan rencana pembukaan Kanwil kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, paling kurang disertai dengan dokumen yang memuat: a. alasan pembukaan Kanwil; b. cakupan wilayah kerja dan struktur organisasi; dan c. tugas dan kewenangan Kanwil. (3) Pelaksanaan pembukaan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. (4) Pembukaan … - 34 - (4) Pembukaan Kanwil yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC dengan kewenangan yang lebih luas dilakukan dengan mengikuti prosedur pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36. Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 42 (1) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya baik yang bersifat operasional maupun yang non operasional di luar negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (2) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup penghimpunan dana dan sistem pembayaran. (3) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya mencakup kegiatan pemasaran. (4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Pimpinan Bank Indonesia diterbitkan, dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (5) Rencana pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (6) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila: a. telah menjadi Bank devisa paling kurang 24 (dua puluh empat) bulan; b. telah mencantumkan rencana pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam Rencana Bisnis Bank; c. memenuhi … - 35 - c. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan modal dan profil risiko; dan d. mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor operasional yang jelas. (7) Permohonan izin membuka KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d serta hasil studi kelayakan yang memuat paling kurang peluang pasar dan potensi ekonomi. (8) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen berupa laporan keuangan gabungan 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan serta alasan pembukaan kantor. (9) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan dan hasil studi kelayakan. (10) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 43 … - 36 - Pasal 43 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pembukaan kantor, dan wajib disertai dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat. Bagian Ketiga Pencantuman Nama dan Jenis Kantor Bank Pasal 44 Bank wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis kantor Bank pada masing-masing kantor Bank. BAB VI PERUBAHAN STATUS KANTOR BANK Pasal 45 Perubahan status kantor Bank wajib memperoleh izin dari atau dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pasal 46 Peningkatan status kantor Bank dilakukan dengan cara memenuhi persyaratan dan tata cara sesuai pembukaan kantor Bank yang dikehendaki. Pasal 47 … - 37 - Pasal 47 (1) Penurunan status kantor Bank dari KC menjadi KCP, KK atau KPK wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (2) Penurunan status kantor Bank dari KCP menjadi KK atau KPK wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan. (3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan: a. alasan perubahan; b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban kantor Bank kepada nasabah dan pihak lainnya; dan c. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank. (4) Persetujuan atas permohonan atau penegasan atas pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pelaksanaan perubahan status kantor yang telah mendapat persetujuan atau penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan atau penegasan perubahan status. (6) Pelaksanaan … - 38 - (6) Pelaksanaan perubahan status kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan perubahan status kantor dimaksud. Pasal 48 (1) Perubahan jenis kantor dari KF menjadi KC atau KCP dilakukan dengan mengikuti persyaratan dan tata cara pembukaan KC atau KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 atau Pasal 37 dan Pasal 38. (2) Perubahan jenis kantor dari KF menjadi KK atau KPK dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK atau KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. (3) Perubahan jenis kantor dari KC menjadi KF dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KC menjadi KCP, KK atau KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. (4) Perubahan jenis kantor dari KCP menjadi KF dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK atau KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK Pasal 49 (1) Pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (2) Rencana pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Permohonan … - 39 - (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pemindahan alamat dilaksanakan. (4) Permohonan izin pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, dan tingkat kejenuhan jumlah Bank. (5) Pemindahan alamat KC yang dilakukan: a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia, namun berada di lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a; b. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia yang sama, namun berada di lokasi yang tidak berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b; c. di luar wilayah kerja Bank Indonesia, wajib memenuhi ketentuan penutupan KC dan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66, serta Pasal 35 dan Pasal 36. Pasal 50 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pemindahan alamat, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis … - 40 - b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin dari Pimpinan Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diumumkan oleh Bank dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat kantor pusat; atau b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang. (5) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (6) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. Pasal 51 (1) Rencana pemindahan alamat Kanwil, KCP, KF, KK dan/atau KPK wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (2) Rencana pemindahan alamat: a. Kanwil … - 41 - a. Kanwil, KCP dan KF di dalam negeri; atau b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan/atau c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang paling kurang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. Pasal 52 (1) Pemindahan alamat Kanwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a. (2) Pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a, yang dilakukan: a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama dan di lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a; b. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama dan di lokasi yang tidak berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a dan huruf b; c. di luar … - 42 - c. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38. (3) Pemindahan alamat KF wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. untuk KF yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur pada ayat (2) huruf a, huruf b, atau memenuhi ketentuan penutupan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dalam hal pemindahan KF di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya. b. untuk KF yang tidak melakukan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, persyaratan yang wajib disampaikan berupa dokumen mengikuti persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a. PemindaPasal 53 (1) Pemindahan alamat KCP atau KF yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. atau KPK di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasa55 (2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) atau KF yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan induknya paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan … - 43 - (3) Pelaksanaan pemindahan alamat KK atau KPK wajib diumumkan oleh Bank di lokasi lama paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat KK atau KPK. (4) Pelaksanaan pemindahan KCP atau KF yang melakukan kegiatan operasional wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (5) Pelaksanaan pemindahan alamat Kanwil, KK, KPK atau KF yang tidak melakukan kegiatan operasional wajib dilaporkan dalam laporan realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. (6) Pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksaanaan pemindahan alamat, disertai dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. BAB VIII PEMISAHAN LOKASI KANTOR PUSAT DAN PEMINDAHAN DIVISI Pasal 54 (1) Pemisahan Kantor Pusat Bank menjadi 2 (dua) kantor yang masing-masing melakukan kegiatan operasional dan non operasional secara terpisah hanya dapat dilakukan apabila kantor yang melakukan kegiatan operasional menjadi Kantor Cabang Bank, sedangkan kantor yang tidak melaksanakan kegiatan operasional tetap menjadi Kantor Pusat Bank. (2) Pemisahan … - 44 - (2) Pemisahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (3) Pemisahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia. (4) Rencana pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pemisahan kantor dilaksanakan disertai dengan: a. alasan pemisahan kantor; b. rencana lokasi kantor-kantor hasil pemisahan; dan c. persiapan operasional kantor yang baru. Pasal 55 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (5), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis kelayakan. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Pemisahan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin dari Pimpinan Bank Indonesia diterbitkan. (4) Pelaksanaan … - 45 - (4) Pelaksanaan pemisahan kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pemisahan kantor. (5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank tidak melaksanakan pemisahan kantor, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku. Pasal 56 (1) Pemindahan lokasi divisi/bagian dari lokasi Kantor Pusat wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan pemindahan. (2) Pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja Bank Indonesia, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB IX PERUBAHAN NAMA, LOGO, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR, DAN KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Perubahan Nama Bank Pasal 57 (1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan Anggaran Dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan … - 46 - permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah perubahan nama disertai dengan: a. alasan perubahan nama; dan b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. (4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia memberikan persetujuan tentang perubahan nama Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. Bagian Kedua Perubahan Logo Bank Pasal 58 (1) Perubahan logo Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum perubahan dilakukan. (2) Pelaksanaan perubahan logo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan perubahan dengan melampirkan dokumen antara lain berupa desain logo baru. Bagian … - 47 - Bagian Ketiga Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pasal 59 (1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan persetujuan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan bentuk badan hukum Bank; dan b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. Pasal 60 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memutuskan perubahan bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai dengan: a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan hukum lama; b. alasan perubahan bentuk badan hukum; c. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk Anggaran Dasar; d. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; e. daftar… - 48 - e. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 10 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; dan f. data kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi, dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan. (5) Dalam hal Bank tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 61 (1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan: a. akta … - 49 - a. akta pendirian badan hukum baru termasuk Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 10 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; dan d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah: a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (5) Pelaksanaan … - 50 - (5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. Bagian Keempat Perubahan Anggaran Dasar dan Dokumen Lainnya Pasal 62 Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap perubahan Anggaran Dasar Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang, sepanjang perubahan Anggaran Dasar dimaksud belum disampaikan sebagai kelengkapan dokumen dalam ketentuan ini atau ketentuan Bank Indonesia lainnya. Pasal 63 (1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, pada: a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material. (2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak jangka waktu yang ditetapkan atau sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam ketentuan tersendiri yang mengatur mengenai penyampaian dokumen tersebut. Bagian … - 51 - Bagian Kelima Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 64 Perubahan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum mengacu kepada ketentuan mengenai Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum. BAB X PENUTUPAN KANTOR BANK Pasal 65 (1) Penutupan KC di dalam negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (2) Rencana penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal penutupan KC dilakukan untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia. Pasal 66 (1) Pemberian izin penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan KC; dan b. persetujuan … - 52 - b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan KC. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib disertai dengan: a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah diselesaikan; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank. (4) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban KC yang akan ditutup. (5) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) masing-masing diberikan dalam batas waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 67 … - 53 - Pasal 67 (1) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. (2) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan penutupan dari Pimpinan Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal penutupan. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) Bank tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan KC, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak melaksanakan penutupan KC, maka persetujuan penutupan yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 68 (1) Rencana penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud, disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah … - 54 - b. langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban KCP atau KF kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal penutupan, disertai dengan: a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah diselesaikan; dan b. surat pernyataan dari pemimpin KC induknya bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban KCP atau KF kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin KC induk untuk dan atas nama Bank. (4) Rencana penutupan KK atau KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam Rencana Bisnis Bank dan pelaksanaan penutupan KK atau KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. Pasal 69 (1) Rencana penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tanggal penutupan disertai dengan alasan penutupan. (2) Pelaksanaan penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan. Pasal 70 … - 55 - Pasal 70 (1) Penutupan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan: a. alasan penutupan; langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan c. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin penutupan dari otoritas di negara setempat. (3) Permohonan untuk memperoleh izin penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan alasan penutupan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (6) Pelaksanaan penutupan KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penutupan, disertai dengan: a. dokumen … - 56 - a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah diselesaikan; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. (7) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan: a. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan b. salinan/fotokopi izin penutupan kantor dari otoritas di negara setempat. BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN PEMEGANG SAHAM Pasal 71 Gubernur Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank atas permintaan pemegang saham sendiri. Pasal 72 … - 57 - Pasal 72 Bank yang dapat dimintakan pencabutan izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Pasal 73 Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh nasabah dan kreditur lainnya. Pasal 74 Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan persiapan pencabutan izin usaha; b. keputusan pencabutan izin usaha. Pasal 75 Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a diajukan oleh Direksi Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan: a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengenai rencana penutupan Bank; b. alasan penutupan; c. rencana … - 58 - c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah dan kreditur lainnya; d. laporan keuangan terakhir; dan e. bukti penyelesaian pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak untuk 3 (tiga) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan. Pasal 76 Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, Bank Indonesia menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank, dan mewajibkan Bank untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank; b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum Bank dan rencana penyelesaian kewajiban Bank dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank; c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban Bank; dan d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas penyelesaian kewajiban Bank. Pasal 77 (1) Apabila seluruh kewajiban Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c telah diselesaikan, Direksi Bank mengajukan permohonan pencabutan izin usaha Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan laporan yang paling kurang memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Bank; b. pelaksanaan … - 59 - b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Bank; d. laporan hasil verifikasi dari kantor akuntan publik atas penyelesaian kewajiban Bank; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah-langkah penyelesaian kewajiban Bank telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham. (2) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan Surat Keputusan pencabutan izin usaha Bank dan meminta Bank untuk melakukan pembubaran badan hukum sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. (3) Sejak tanggal pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila dikemudian hari masih terdapat kewajiban yang belum diselesaikan, maka segala kewajiban dimaksud menjadi tanggung jawab pemegang saham Bank. Pasal 78 Status badan hukum Bank hapus sejak tanggal pengumuman berakhirnya badan hukum Bank dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB XII S A N K S I Pasal 79 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22 ayat (4), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 … - 60 - Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 35 ayat (1) dan (2), Pasal 37 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 42 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 54 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (4), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64, Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 87 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 ayat (3), Pasal 40 ayat (9), Pasal 41 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 47 ayat (6), Pasal 50 ayat (5), Pasal 53 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 55 ayat (4), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (2), Pasal 61 ayat (5), Pasal 62 , Pasal 63 ayat (2), Pasal 67 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 68 ayat (3), Pasal 70 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 84, Pasal 85 … - 61 - Pasal 85, dan Pasal 86 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan penyampaian laporan dan/atau pemuatan pengumuman untuk setiap laporan dan/atau pengumuman; b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak melaksanakan pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan atau Bank tidak menyampaikan laporan secara lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghapus kewajiban bank untuk menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman. (5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam laporan/pengumuman gabungan. (6) Setiap … - 62 - (6) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB XII LAIN-LAIN Pasal 80 Pengaturan bagi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam ketentuan tersendiri. Pasal 81 (1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional Bank wajib ditulis paling kurang dalam bahasa Indonesia. Pasal 82 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 83 (1) Rencana Bank dan/atau sebagian kantor Bank untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur dan/atau tidak beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan. (2) Rencana … - 63 - (2) Rencana Bank untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat. Pasal 84 Bank wajib menyampaikan risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham, sepanjang risalah Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud belum disampaikan sebagai kelengkapan dokumen dalam ketentuan ini atau ketentuan Bank Indonesia lainnya. Pasal 85 Bank wajib menyampaikan laporan mengenai jumlah dan alamat jenis-jenis kantor atau kegiatan Bank yang berbentuk Kanwil, KC, KCP, KK/KPK, KF, dan PPE untuk posisi tanggal 31 Desember 2008 paling lambat pada akhir triwulan pertama tahun 2009. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 86 Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XV … - 64 - BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 87 KK yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 wajib menyesuaikan kegiatannya paling lambat pada akhir tahun 2009. Pasal 88 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Edaran No. 11/30 UM/PU tanggal 27 Agustus 1963 perihal Penutupan Kantor Sdr. pada hari2 jang bukan Hari Raya Resmi atau Hari Minggu; b. Surat Edaran No. 23/3/BPPB tanggal 13 September 1990 tentang Izin Perubahan Waktu Kerja; c. Pasal - pasal yang berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank atas permintaan pemegang saham sendiri bagi Bank Umum yang tidak termasuk Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum; dan d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 89 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar … - 65 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 27 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/1/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM UMUM Dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional diperlukan adanya perbankan nasional yang kuat, sehat, dan mampu beradaptasi dengan tujuan dan arah pembangunan perekonomian. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut antara lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan, kepengurusan, pembukaan kantor bank dan perluasan jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank dan badan hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang dimaksud, antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian operasional … - 2 - operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah Bank, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana bisnis Bank, serta kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus dan pejabat Bank. Dari sisi industri perbankan, kondisi persaingan yang semakin tajam memaksa perbankan nasional bergerak lebih cepat, dinamis, dan terintegrasi dalam menciptakan peluang-peluang sinergi dan efisensi, dengan fokus kepada perluasan produk/jasa, pasar dan jaringan, dengan tetap melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Dalam PBI ini, Bank Indonesia memberi keleluasaan dalam pembukaan jaringan kantor Bank, khususnya untuk memperluas jangkauan pelayanan nasabah, dengan pertimbangan bahwa perluasan jaringan kantor Bank akan dapat meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Hal ini diharapkan tidak akan mengganggu kondisi keuangan Bank khususnya permodalan di waktu yang akan datang. Selain itu, secara umum perluasan jaringan kantor Bank tetap harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank, tingkat persaingan Bank yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional, selain kondisi keuangan Bank sendiri. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait … - 3 - terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam Pasal ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Namun, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga- lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha Perbankan berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Pasal 3 Huruf a Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 … - 4 - Pasal 5 Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) dalam Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai diluar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Modal disetor bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perkoperasian. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Salah satu calon pemilik ini bertindak mewakili pemilik lainnya. Dalam pelaksanaannya, permohonan dapat diajukan oleh PSP atau pemegang saham mayoritas. Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 … - 5 - Angka 4 Salah satu hal yang harus dimuat dalam Anggaran Dasar menyangkut kepemilikan antara lain bahwa pemegang saham Bank harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Huruf b Data kepemilikan harus memuat secara jelas struktur kepemilikan saham sampai dengan pemilik terakhir (ultimate shareholders) dan beneficial owners (apabila ada). Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Termasuk dokumen yang dilampirkan dalam Riwayat Hidup ini adalah surat keterangan atau bukti tertulis dari perusahaan tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota Dewan Komisaris yang mempunyai pengalaman, apabila ada. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 … - 6 - Angka 5 Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan permohonan adalah tanggal pada saat calon pemilik mengajukan permohonan pendirian Bank. Angka 6 Surat keterangan atau bukti tertulis tersebut dapat berupa surat referensi. Huruf d Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horisontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia paling kurang sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan Bank. Huruf g Penyusunan pedoman dan rencana sebagaimana dimaksud pada huruf ini mengacu kepada masing-masing ketentuan yang mengatur. Huruf h Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank. Huruf i … - 7 - Huruf i Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf j Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau lembaga lain yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelamatkan Bank. Angka 2 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 … - 8 - Angka 2 Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan bagi pemilik lain tersebut. Angka 7 … - 9 - Angka 7 Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Surat pernyataan calon PSP berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan juga oleh pemegang saham pengendali terakhir atau pihak- pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disebut dengan PSPT adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham Bank dan merupakan pengendali terakhir dari Bank dan/atau keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 … - 10 - Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam hal Pemerintah Pusat atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam hal Pemerintah Daerah. Angka 4 Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 11 - Huruf c Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Dalam hal KITAS, KITAP, atau surat izin bekerja masih dalam proses penyelesaian, untuk sementara Bank dapat menyampaikan surat keterangan atau bukti pengurusan dokumen dari … - 12 - dari instansi berwenang. KITAS, KITAP atau surat izin bekerja yang telah dikeluarkan oleh instansi berwenang disampaikan pada saat melaporkan pengangkatan yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bagi calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum maka surat pernyataan dibuat dan disampaikan oleh direksi/pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelamatkan Bank. Angka 2 Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i … - 13 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 14 - Ayat (2) Pencantuman nama Bank terkait dengan penggunaan logo dimaksudkan untuk memberikan kejelasan bagi nasabah dengan pihak siapa nasabah tersebut melakukan hubungan hukum. Kewajiban mencantumkan nama Bank terkait dengan penggunaan logo dalam pasal ini antara lain dalam bentuk promosi produk-produk Bank, surat menyurat, papan nama kantor Bank. Tidak termasuk dalam kewajiban ini adalah penggunaan logo untuk kepentingan identitas kelompok usaha. Pasal 14 Huruf a Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk menyelamatkan Bank. Huruf b Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih bagi: a. badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah adalah penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian; b. badan … - 15 - b. badan hukum Koperasi adalah penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian; c. badan hukum lainnya adalah perhitungan modal sendiri bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Tidak termasuk pihak lain adalah otoritas atau lembaga yang berwenang melakukan upaya penyehatan dan/atau penyelamatan Bank, termasuk lembaga lain yang ditunjuk oleh pihak otoritas untuk melaksanakan penyehatan dan/atau penyelamatan Bank. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak-pihak adalah perorangan dan/atau badan hukum. Bagi PSP yang merupakan badan hukum, pengertian PSP adalah sampai dengan PSP terakhir dari badan hukum yang bersangkutan. Dalam … - 16 - Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka PSP terakhir adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham Bank dan merupakan pengendali terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank. Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disebut dengan PSPT adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham Bank dan merupakan pengendali terakhir dari Bank dan/atau keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank. Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank tidak memiliki pengendali maka badan hukum tersebut merupakan PSPT. Pihak-pihak yang dapat mewakili PSPT yang berbentuk badan hukum tersebut adalah pihak- pihak yang sesuai Anggaran Dasar berwenang mewakili badan hukum dimaksud. Ayat (2) Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari PSP yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 … - 17 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam ayat ini adalah perubahan dalam hal nominal dan/atau prosentase kepemilikan. Penambahan modal disetor yang berasal dari realisasi Management Stock Option Program (MSOP) dan penambahan modal Bank Pembangunan Daerah (BPD) dapat dilaporkan secara triwulanan. Ayat (3) Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal disetor antara lain disebabkan karena jual beli, hibah atau waris saham di antara pemilik lama, dan pembelian langsung saham Bank yang bukan perusahaan publik (bukan Tbk). Ayat (4) … - 18 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya antara lain adalah: a. Ketentuan … - 19 - a. Ketentuan tentang Good Corporate Governance bagi Bank Umum; dan b. Ketentuan tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan. Pasal 30 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya. Khusus bagi anggota Direksi Bank yang menjadi Direktur Kepatuhan (Compliance Director), tata cara persetujuan anggota Direksi dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain adalah: a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; dan c. Ketentuan perundang-undangan lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 20 - Ayat (6) Dengan adanya ketentuan ini maka pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi wajib dilakukan paling lambat 6 bulan setelah diperolehnya persetujuan Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif adalah setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota, serah terima jabatan atau sebagaimana mekanisme yang diatur dalam Anggaran Dasar. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 21 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan memiliki track record negatif antara lain adalah: 1. 2. termasuk dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test); dan termasuk dalam Daftar Kredit Macet (DKM); Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet adalah daftar pengawasan bank yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia. Informasi sebagai dasar penilaian track record dapat berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Kekosongan jabatan dapat terjadi antara lain karena Pejabat Eksekutif yang sebelumnya pindah tugas, mengundurkan diri, diberhentikan, atau berhalangan tetap. Huruf b Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan tugas antara lain karena yang bersangkutan menjalani cuti, menjalankan ibadah haji, mengikuti pendidikan, atau sakit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 … - 22 - Pasal 34 Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal ini antara lain adalah: a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan pelaksanaannya; b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan pelaksanaannya; dan c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa perjanjian sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa menyewa dapat disampaikan kemudian pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2). Huruf c … - 23 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Rencana bisnis dimaksud paling kurang memuat rencana penghimpunan dan penyaluran dana, strategi pencapaiannya dan proyeksi keuangan KC. Ayat (4) Dalam hal Bank memiliki KC yang tidak bertanggung jawab secara langsung kepada Kantor Pusat, maka pertanggungjawaban KC dan mekanisme pendelegasian wewenang harus diatur dengan jelas. Ayat (5) Huruf a Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti kesiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. Pemeriksaan Bank Indonesia berkaitan dengan persiapan operasional dapat mencakup antara lain lokasi KC, bukti kepemilikan/sewa gedung, kesiapan ruangan termasuk ruang khasanah, daftar aktiva tetap inventaris, struktur organisasi kantor cabang dan sumber daya manusia, informasi mengenai jaringan telekomunikasi, dan warkat yang akan dipergunakan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) … - 24 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) KK atau KPK berfungsi secara terbatas sebagai sarana pembayaran dan penyetoran dalam hal pelayanan penyediaan dana (misalnya pencairan kredit kepada nasabah) dan/atau penghimpunan dana dari nasabah. Dengan demikian, KK atau KPK tidak berwenang untuk melakukan analisis dan membuat keputusan dalam proses penyediaan dana (pemberian kredit) kepada nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 25 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh kegiatan operasional yang dilakukan oleh Kantor Fungsional antara lain loan center dan card center. Huruf b Contoh kegiatan non operasional yang dilakukan oleh Kantor Fungsional antara lain kantor perwakilan pemasaran dan IT center. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 26 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Mengingat pada dasarnya Kanwil melakukan fungsi administratif dan koordinatif, maka apabila Kanwil juga diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan atas penyediaan dana yang dilakukan oleh KC yang berada di bawah koordinatornya, kewenangan dimaksud wajib dicantumkan dalam dokumen yang memuat tugas dan kewenangan Kanwil. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 27 - Ayat (4) Dengan demikian maka ketentuan Bank Indonesia yang berlaku bagi KC berlaku bagi jenis Kanwil yang melakukan kegiatan operasional. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup Jelas. Pasal 44 Pencantuman nama dan jenis kantor Bank dapat dilakukan antara lain melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan kantor Bank agar mudah terlihat oleh nasabah. Contoh : 1. PT Bank XXX Kantor Cabang YYY 2. PT Bank XXX Kantor Cabang Pembantu YYY Pasal 45 Yang dimaksud dengan perubahan status kantor Bank adalah peningkatan atau penurunan jenis kantor Bank. Secara struktural hirarki jenis kantor Bank diurut dari yang paling tinggi ke yang paling rendah setelah Kantor Pusat … - 28 - Pusat adalah Kanwil, KC, KCP, dan KK. Sedangkan KF dapat mempunyai hirarki pertanggungjawaban tersendiri sesuai fungsi kegiatannya, meskipun secara administratif dan pembukuan menginduk kepada KC. Pasal 46 Contoh: Peningkatan status dari KCP menjadi KC dilakukan dengan cara memenuhi persyaratan pembukaan KC. Selanjutnya, Bank Indonesia akan menerbitkan izin sebagai KC dan dengan diterbitkannya izin dimaksud maka status kantor Bank berubah dari KCP menjadi KC tanpa perlu dilakukan penutupan KCP. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dengan disetujuinya permohonan penurunan status KC menjadi KCP, KK atau KPK maka izin KC dicabut. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 48 … - 29 - Pasal 48 Ayat (1) Contoh: Perubahan jenis Kantor Fungsional Loan Center menjadi KC dilakukan dengan mengikuti persyaratan dan tata cara pembukaan KC. Selanjutnya, Bank Indonesia akan menerbitkan izin sebagai KC dan dengan diterbitkannya izin dimaksud maka status kantor Bank berubah dari KF menjadi KC tanpa perlu dilakukan penutupan KF. Ayat (2) Contoh: Perubahan jenis Kantor Fungsional Loan Center menjadi KK atau KPK dilakukan dengan mengacu tata cara penurunan KCP menjadi KK atau KPK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Dalam hal Bank akan memindahkan alamat Kantor Pusat ke lokasi yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai KC maka pemindahan alamat kantor pusat memenuhi ketentuan dalam ayat ini sedangkan untuk KC di lokasi yang lama memenuhi ketentuan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36. Ayat (2) … - 30 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan lokasi yang berdekatan adalah lokasi dalam jarak sekitar radius 5 km. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 50 … - 31 - Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Huruf a Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 32 - Ayat (3) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan untuk melakukan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat (4), ayat (5), atau ayat (6), sesuai dengan jenis kantor yang pindah. Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan lokasi yang berdekatan adalah lokasi dengan jarak paling jauh 5 km dari lokasi awal. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 … - 33 - Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman pelaksanaan pemindahan alamat KPK dapat ditempelkan di tempat yang mudah dilihat oleh nasabah Bank seperti di kaca depan kantor atau di mesin ATM. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Contoh : Apabila lokasi KC Bank yang berasal dari pemisahan Kantor Pusat tersebut berada pada lokasi yang sama dengan Kantor Pusat, KC dimaksud dapat disebut dengan nama Kantor Cabang Utama (KCU). Ayat (2) … - 34 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemisahan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan Bank Indonesia memuat persetujuan pemisahan kantor dan pemberian izin pembukaan KC baru. Izin pembukaan KC dimaksud diberikan secara otomatis karena kegiatan KC tersebut merupakan konversi dari kegiatan operasional yang selama ini telah dilakukan oleh Kantor Pusat Bank. Dengan dikeluarkannya izin pembukaan KC baru tersebut maka Kantor Pusat Bank tidak lagi melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC. Ayat (3) … - 35 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Tidak termasuk dalam perubahan nama dimaksud adalah pencantuman atau penghapusan status Tbk. di belakang nama Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 … - 36 - Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Ketentuan mengenai materi, tata cara dan penilaian terhadap calon PSP, calon anggota dewan Komisaris dan calon anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 37 - Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Ketentuan mengenai materi, tata cara dan penilaian terhadap calon PSP, calon anggota dewan Komisaris dan calon Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 62 Laporan perubahan Anggaran Dasar oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan fotokopi perubahan Anggaran Dasar. Yang dimaksud dengan ketentuan ini atau ketentuan Bank Indonesia lainnya antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 57, Pasal 60, Pasal 61 ketentuan ini atau ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi Bank Umum. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 … - 38 - Pasal 64 Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca KC yang menunjukkan seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lain telah diselesaikan. Huruf a Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk: a. Penitipan … - 39 - a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah; b. Pengalihan kredit kepada pihak lain termasuk kantor pusat atau Kantor Cabang lainnya; c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau d. Dokumen lain yang mendukung. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain. Huruf a … - 40 - Huruf a Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk: a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah; b. Kredit telah dialihkan kepada pihak lain termasuk kantor pusat atau Kantor Cabang lainnya; c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau d. Dokumen lain yang mendukung. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … - 41 - Ayat (5) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat dilakukan setelah adanya izin dari Bank Indonesia. Ayat (6) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Huruf a Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk: a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah; b. Pengalihan kredit kepada pihak lain termasuk kantor pusat atau Kantor Cabang lainnya; c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau d. Dokumen lain yang mendukung. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) … - 42 - Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup Jelas Pasal 75 Huruf a Risalah RUPS atau Rapat Anggota paling kurang memuat keputusan yang menyetujui pembubaran badan hukum dan memerintahkan kepada direksi untuk menyelesaikan kewajiban Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d … - 43 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 76 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam penyelesaian kewajiban dimaksud antara lain penyelesaian kewajiban kepada nasabah kreditur, pembayaran gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak terhutang dan biaya-biaya lain yang relevan. Huruf d Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 44 - Huruf c Termasuk penyelesaian kewajiban Bank adalah berupa penyediaan dana tunai yang dititipkan pada Bank Umum di Indonesia dalam rangka penyelesaian kewajiban pajak yang masih terutang dan dana nasabah yang belum diambil. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Dalam rangka mengeluarkan surat permohonan pencabutan izin usaha Bank Indonesia memperhatikan hasil pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan untuk memastikan ketaatan terhadap pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76. Ayat (3) Yang dimaksud dengan segala kewajiban kepada nasabah dalam ayat ini antara lain adalah kewajiban kepada debitur dalam hal masih ada agunan yang dikuasai oleh Bank, atau kewajiban di bidang perpajakan. Pasal 78 Cukup Jelas Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 45 - Ayat (2) Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. a. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal: b. Stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia; atau c. Penerimaan laporan di Kantor Bank Indonesia, apabila laporan disampaikan secara langsung oleh Bank atau dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman selain P.T. Pos Indonesia. Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = jumlah hari keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = Rp30.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. Bank yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 46 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan ayat ini maka petunjuk dan dokumen operasional Bank dapat ditulis dengan lebih dari 1 (satu) bahasa dimana salah satunya adalah bahasa Indonesia. Pasal 82 Termasuk dalam hal ini adalah dokumen yang dikeluarkan oleh instansi terkait atau pihak ketiga. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Yang dimaksud dengan ketentuan ini atau ketentuan lainnya antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 60 dan Pasal 75 ketentuan ini atau ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi Bank Umum. Pasal 85 … - 47 - Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Dalam pelayanan penyediaan dana kepada nasabah, KK hanya berfungsi secara terbatas sebagai sarana pembayaran. Dengan demikian, KK tidak berwenang untuk melakukan analisis dan membuat keputusan dalam proses penyediaan dana kepada nasabah. Penyesuaian kegiatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan status KK menjadi KCP sebagaimana diatur dalam Pasal 45 atau dengan menyesuaikan kegiatannya sebagai sarana pembayaran. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4976 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/1/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> BANK UMUM </reg_title> <set_date> 27 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2009 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2009 </issued_date> <replaced_reg> '32/53/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '2/27/PBI/2000', '11/30UM/PU|SE/1963', '23/3/BPPB|SE/1990' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/21/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan dana untuk mendorong pembangunan ekonomi dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta tersedianya informasi kualitas debitur yang dapat diandalkan, diperlukan adanya sistem informasi debitur yang lengkap, akurat, terkini dan utuh; b. bahwa untuk mendukung tersedianya informasi debitur yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh, serta untuk meningkatkan disiplin pasar, diperlukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan sistem informasi debitur; c. bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Bank_Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bekerjasama dan berkoordinasi terkait pertukaran informasi Lembaga Jasa Keuangan serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan; -2- d. bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tanggal 3 Desember 2015 tentang Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Informasi Debitur, Bank Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyempurnaan ketentuan terkait Sistem Informasi Debitur di Bank_Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank_Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4784) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Lembaga Keuangan Non-Bank adalah lembaga keuangan yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. 4. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank adalah perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai perusahaan pembiayaan, yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit. -4- 5. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkoperasian. 6. Pelapor adalah Bank Umum, BPR, Lembaga Keuangan Non-Bank, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam, yang meliputi kantor yang melakukan kegiatan operasional, antara lain: a. kantor pusat; b. kantor cabang; c. unit syariah; d. kantor cabang bank asing; dan e. kantor cabang pembantu bank asing, yang menyampaikan Laporan Debitur. 7. Debitur adalah perorangan, perusahaan, atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana. 8. Informasi Debitur adalah informasi dalam Sistem Informasi Debitur yang antara lain berupa data Debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur, agunan, penjamin, dan kolektibilitas. 9. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan adalah lembaga pengelola informasi perkreditan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pengelola informasi perkreditan. 10. Laporan Debitur adalah informasi yang disajikan dan dilaporkan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia menurut tata cara dan bentuk laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi Debitur yang merupakan hasil olahan dari Laporan Debitur yang diterima Bank_Indonesia. -5- 12. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Pelapor baik dalam Rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk Kredit, Surat Berharga, Penempatan, Penyertaan Modal, Penyertaan Modal Sementara, Tagihan Lainnya, dan Transaksi Rekening Administratif, serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 13. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Pelapor dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan/atau c. pengambilalihan atau pembelian Kredit dari pihak lain. 14. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. 15. Penempatan adalah penanaman dana Pelapor pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. -6- 16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Pelapor dalam bentuk saham pada bank dan/atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan/atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. 17. Penyertaan Modal Sementara adalah Penyertaan Modal oleh Pelapor dalam perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan Kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan Debitur. 18. Tagihan Lainnya adalah tagihan Pelapor kepada pihak lain antara lain berupa Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo), tagihan akseptasi, dan tagihan derivatif. 19. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain berupa penerbitan jaminan, letter of credit (LC), standby letter of credit (SBLC), dan/atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain. 2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online. -7- (2) Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui: a. kantor Pelapor yang bersangkutan; atau b. kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari Pelapor dimaksud, dengan tetap menggunakan sandi kantor Pelapor yang bersangkutan. (3) Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline. (4) Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur dengan surat pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen pendukung dari instansi yang terkait dengan kondisi gangguan dimaksud. (5) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline apabila menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online dan offline sampai dengan batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi atas Laporan Debitur, wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pengecualian penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur. -8- 3. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia. (2) Dalam hal Pelapor melakukan kegiatan operasional di luar wilayah Indonesia maka Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Pelapor. (3) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dan ayat (6), wajib disampaikan kepada: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengawasan Informasi Perkreditan Nasional Jl._M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur terdiri atas: a. Pelapor; b. Debitur; c. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan; atau d. pihak lain. -9- 5. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 25A dan Pasal 25B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A (1) Pelapor wajib menyampaikan informasi kepada Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam Sistem Informasi Debitur. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sarana antara lain formulir, surat elektronik (e-mail), dan pesan singkat (short messages service). Pasal 25B (1) Dalam hal Pelapor menerima pengaduan Debitur terkait Informasi Debitur dalam Sistem Informasi Debitur, Pelapor wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan. (2) Pelapor wajib menginformasikan batas waktu penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Debitur. (3) Dalam hal Pelapor telah menyelesaikan pengaduan Debitur, Pelapor wajib menginformasikan hasil penyelesaian pengaduan dimaksud kepada Debitur secara tertulis dan/atau menggunakan sarana teknologi informasi sesuai permintaan Debitur. wajib (4) Pelapor mengadministrasikan pengaduan yang diterima. seluruh -10- (5) Pelapor wajib melaporkan pengaduan Debitur dan tindak lanjut penyelesaian pengaduan Debitur kepada Bank Indonesia secara triwulanan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setelah akhir triwulan yang disampaikan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Tim Layanan Informasi Perkreditan dan Penanganan Pengaduan, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350. (6) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja berikutnya. 6. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Pelapor wajib menunjuk petugas pelaksana dan/atau pejabat yang bertanggung jawab dalam: a. menyampaikan Laporan Debitur; b. melakukan verifikasi Laporan Debitur; dan c. mengajukan permintaan dan menerima informasi Debitur. (2) Pelapor wajib membuat user-id petugas yang ditunjuk untuk menyampaikan Laporan Debitur, mengajukan permintaan, dan menerima informasi Debitur. (3) Pelapor wajib menyampaikan daftar pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan sejak Bank Indonesia memberikan user-id dan password web Sistem Informasi Debitur. -11- (4) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan/atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib menghapus user-id sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menyampaikan perubahan daftar dimaksud paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya perubahan. (5) Daftar pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan/atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Tim Layanan Informasi Perkreditan dan Penanganan Pengaduan, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank Umum sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor. -12- 8. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Pelapor yang menyampaikan Laporan Debitur atau koreksi Laporan Debitur secara offline yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap kantor Pelapor; dan b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap kantor Pelapor. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur secara offline atas dasar temuan Bank Indonesia; dan/atau b. Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur secara offline yang disampaikan melampaui akhir bulan setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan. (3) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur secara offline melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor; dan -13- b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor. (4) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur secara offline melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor. 9. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A Pelapor yang menolak permintaan Debitur yang ingin memperoleh Informasi Debitur atas nama Debitur yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), dikenakan sanksi teguran tertulis. -14- 10. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A (1) Pelapor yang tidak menyampaikan informasi kepada Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25A ayat (1), dikenakan sanksi teguran tertulis. (2) Pelapor yang tidak menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25B, dikenakan sanksi teguran tertulis. 11. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 mulai berlaku 9 (sembilan) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Pengenaan sanksi bagi Pelapor baru hasil merger atau konsolidasi mulai berlaku 3 (tiga) bulan sejak diberikannya user-id dan password Web Sistem Informasi Debitur. (3) Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 mulai berlaku sejak diberikannya akses Web Sistem Informasi Debitur. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -15- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 195 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/21 /PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR I. UMUM Kelancaran proses penyediaan dana dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas Debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh Sistem Informasi Debitur yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh, terutama mengenai Debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Untuk kepentingan manajemen risiko, Sistem Informasi Debitur dibutuhkan untuk menentukan profil Kredit Debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas Debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas Debitur di antara Pelapor. Berdasarkan Keputusan Bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/1/KEP.GBI/2013 PRJ-11/D.01/2013 tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bekerjasama dan berkoordinasi terkait pertukaran informasi Lembaga Jasa Keuangan serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Bersama Bank_Indonesia dan 5 tanggal 3 Desember 2015 tentang Otoritas Jasa Keuangan 17/3/NK/GBI/2015 PRJ-50A/D.01/2015 Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Informasi Debitur, Bank Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyempurnaan ketentuan terkait Sistem Informasi - 2 - Debitur di Bank Indonesia, dan Bank Indonesia melakukan penerbitan ketentuan. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur yang menghasilkan informasi Debitur yang lengkap, akurat, terkini dan utuh maka diperlukan penyempurnaan ketentuan mengenai sistem informasi debitur yang meliputi perubahan cakupan pelapor, pelaksanaan pengawasan, penyesuaian sanksi, serta penyempurnaan tata cara pelaporan atau permintaan Informasi Debitur. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online” adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara mengirim atau mentransfer rekaman data Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara langsung melalui jaringan telekomunikasi ekstranet Bank Indonesia atau melalui jaringan telekomunikasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. - 3 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi dan pemadaman listrik. Yang dimaksud dengan “penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline” adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada Bank Indonesia antara lain dalam bentuk compact disc. Ayat (4) Dokumen pendukung dari instansi yang terkait dengan kondisi gangguan teknis antara lain surat dari penyedia jaringan telekomunikasi dalam hal Pelapor mengalami gangguan telekomunikasi atau surat dari penyedia jaringan listrik dalam hal Pelapor mengalami pemadaman listrik. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, konflik bersenjata, sabotase, serta bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang mengganggu kegiatan operasional Pelapor. Angka 3 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 20 Cukup jelas. - 4 - Angka 5 Pasal 25A Cukup jelas. Pasal 25B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “mengadministrasikan” adalah melakukan penatausahaan atas setiap pengaduan baik yang dimintakan secara tertulis, lisan, atau menggunakan sarana elektronik. Penatausahaan tersebut dapat menggunakan sarana teknologi informasi. Ayat (5) Pelaporan dilakukan dalam bentuk laporan tertulis yang disampaikan oleh setiap kantor Pelapor melalui kantor pusat Pelapor yang bersangkutan. Laporan berkala pengaduan Debitur dan tindak lanjut penyelesaian pengaduan Debitur disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia antara lain berupa nama Debitur, tanggal pengaduan, ringkasan permasalahan dan penyelesaiannya, dan jangka waktu penyelesaian. Laporan berkala pengaduan Debitur dan tindak lanjut penyelesaian pengaduan Debitur untuk periode triwulan I disampaikan paling lambat pada tanggal 10 April, periode triwulan II disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Juli, periode triwulan III disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Oktober, dan periode triwulan IV disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Januari. Ayat (6) Cukup jelas. - 5 - Angka 6 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 30 Huruf a Contoh: Apabila 1 (satu) kantor cabang Bank Umum menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin tanggal 20 Juni 2016, kantor cabang Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 6 (enam) hari kerja sehingga kantor cabang Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) hari kerja x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah). Apabila 1 (satu) Pelapor kantor cabang Bank Umum menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin tanggal 22_Agustus 2016, kantor cabang Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 48 (empat puluh delapan) hari kerja, sehingga kantor cabang Bank Umum dikenakan sanksi sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah). Huruf b Contoh: Apabila kantor pusat BPR menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin tanggal 20 Juni 2016, kantor pusat BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 6 (enam) hari kerja sehingga kantor pusat BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) hari kerja x Rp25.000,000 (dua puluh lima ribu rupiah) = Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). - 6 - Apabila kantor pusat BPR menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2016, kantor pusat BPR dinyatakan terlambat 48 (empat puluh delapan) hari kerja, sehingga kantor pusat BPR tersebut dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah). Angka 8 Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Contoh: Satu kantor cabang Bank Umum mengalami gangguan teknis sampai dengan hari Selasa tanggal 12 Juli 2016 dan upaya penyampaian koreksi Laporan Debitur secara online tidak dapat dilakukan. Koreksi Laporan Debitur disampaikan secara offline pada hari Senin tanggal 18 Juli 2016 sehingga terlambat dari batas waktu yang ditetapkan yaitu pada hari Jumat tanggal 15 Juli 2016 (3 (tiga) hari kerja setelah tanggal 12 Juli 2016). Terhadap hal tersebut, kantor cabang Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) hari kerja x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). - 7 - Huruf b Contoh: Satu kantor cabang BPR mengalami gangguan teknis sampai dengan hari Selasa tanggal 12 Juli 2016 dan upaya penyampaian koreksi Laporan Debitur secara online tidak dapat dilakukan. Koreksi Laporan Debitur disampaikan secara offline pada hari Senin tanggal 18 Juli 2016 sehingga terlambat dari batas waktu yang ditetapkan yaitu pada hari Jumat tanggal 15 Juli 2016 (3 (tiga) hari kerja setelah tanggal 12 Juli 2016). Terhadap hal tersebut, kantor cabang BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1_(satu) hari kerja x Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) = Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Angka 9 Pasal 33A Cukup jelas. Angka 10 Pasal 34A Cukup jelas. Angka 11 Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor yang baru memulai kegiatan operasional atau baru menjadi Pelapor setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 8 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5933
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/21/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR </reg_title> <set_date> 3 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 7 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Oktober 2016 </issued_date> <changed_reg> '9/14/PBI/2007' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '6/UU/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 30', 'Pasal I Angka 8 Pasal 32', 'Pasal I Angka 9 Pasal 33A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 34A', 'Pasal I Angka 11 Pasal 35' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung program penjaminan pemerintah diperlukan penetapan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum; b. bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter khususnya kebijakan suku bunga diperlukan upaya penyelarasan struktur suku bunga melalui penyesuaian terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan pihak ketiga dalam Rupiah maupun valuta asing; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan maksimum suku bunga simpanan pihak ketiga dalam Rupiah maupun valuta asing sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Perubahan Surat … - 2 - Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang berbadan hukum Indonesia dan menjadi peserta program penjaminan ; 2. Simpanan Pihak Ketiga adalah dana dalam Rupiah dan valuta asing yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; 3 Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya; 4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek; 5. Bank-bank anggota Jakarta Inter Bank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah bank-bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang menjadi acuan dalam menetapkan suku bunga JIBOR. 6. Marjin adalah angka tertentu yang dinyatakan dalam basis point; 7. Basis point adalah angka satuan dengan nilai 1 (satu) basis point sama dengan satu per seratus. BAB II … - 4 - BAB II PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA Pasal 2 (1) Dalam rangka Program Penjaminan, Pemerintah hanya menjamin Simpanan Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga yang tidak lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang ditetapkan. (2) Dalam hal Simpanan Pihak Ketiga berupa valuta asing Non-US Dollar maka simpanan Non-US Dollar tersebut baik pokok maupun bunganya dikonversikan terlebih dahulu kedalam US Dollar dengan kurs rata-rata pasar pada hari pembayaran sampai dengan pukul 12.00 WIB yang dihitung (quote) oleh Bank Indonesia. (3)Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 (tiga) bulan pada lelang terakhir ditambah atau dikurangi Marjin tertentu. (4) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga deposito dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu ditambah atau dikurangi Marjin tertentu. (5) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing Non-US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan setinggi-tingginya adalah sebesar maksimum … - 5 - maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing US Dollar sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Dalam hal Bank memberikan suku bunga untuk simpanan valuta asing Non-US Dollar yang lebih tinggi dari batas maksimum bunga yang ditetapkan untuk simpanan valuta asing US Dollar sebagaimana diatur pada ayat (4) maka Pemerintah hanya menjamin sebesar pokok simpanan ditambah bunga sesuai suku bunga maksimum yang ditetapkan untuk simpanan valuta asing US Dollar. Pasal 3 Marjin tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Perubahan Marjin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) dapat disesuaikan dari waktu ke waktu oleh Bank Indonesia. (2) Perubahan Marjin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah dan valuta asing yang dijamin Pemerintah akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan. (2) Dalam … - 6 - (2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU). Pasal 6 (1) Bank wajib memasang pengumuman di tempat pelayanan nasabah atau tempat- tempat yang dengan mudah dapat dilihat oleh para nasabah di setiap kantornya mengenai suku bunga atas Simpanan Pihak Ketiga yang diterima Bank. (2) Bagi Bank yang menetapkan suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang berbeda- beda untuk jumlah simpanan sampai batas-batas tertentu (multiple deposit rates) wajib mengumumkan pula seluruh suku bunga tersebut dengan ketentuan suku bunga tertinggi yang ditawarkan tetap tidak boleh melampaui batas maksimum suku bunga yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4). (3) Bank wajib memasang pengumuman mengenai suku bunga maksimum yang diumumkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di tempat yang berdekatan dengan pengumuman atau pada papan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas. (4) Khusus bagi Bank yang ikut serta dalam Program Jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum, wajib memasang pengumuman yang berbunyi sebagai berikut: PENGUMUMAN … - 7 - PENGUMUMAN Bank Indonesia dan Menteri Keuangan dengan ini mengumumkan bahwa simpanan nasabah baik dalam Rupiah maupun valuta asing US Dollar pada Bank umum dengan suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga maksimum yang diumumkan oleh Bank Indonesia untuk masing-masing jangka waktu, tidak disediakan jaminan Pemerintah untuk keseluruhan jumlah nominal dan bunga simpanan tersebut. BAB III PENJAMINAN ATAS PASAR UANG ANTAR BANK Pasal 7 (1) Bank dapat menetapkan sendiri suku bunga PUAB berdasarkan suku bunga pasar. (2) Dalam rangka Program Penjaminan, bagi Bank yang memberikan suku bunga PUAB lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang ditetapkan, Pemerintah hanya menjamin PUAB sebesar pokok pinjaman ditambah bunga sesuai suku bunga maksimum yang ditetapkan. (3) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya. (4) Maksimum suku bunga PUAB overnight dalam valuta asing US Dollar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang suku bunga PUAB dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 8 … - 8 - Pasal 8 (1) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah dan valuta asing US Dollar yang dijamin Pemerintah akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU). BAB IV PENUTUP Pasal 9 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 … - 9 - Pasal 10 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 April 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 39 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK I. UMUM Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.06/2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum maka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan diakhirinya tugas dan dibubarkannya Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai maka sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Program Penjaminan Pemerintah … - 2 - Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum yang semula dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional selanjutnya dialihkan kepada Menteri Keuangan. Namun demikian dalam hal penetapan maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah sampai saat ini masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa penetapan maksimum suku bunga penjaminan tersebut sampai saat ini merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi kegiatan moneter. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter khususnya kebijakan suku bunga diperlukan upaya penyelarasan struktur suku bunga melalui penyesuaian terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan pihak ketiga dan pasar uang antar bank dalam Rupiah maupun valuta asing. Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 3 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan untuk memberikan kesempatan kepada Bank dalam menyebarkan informasi maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga kepada seluruh cabang-cabangnya. Ayat (2)… - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 5 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4383 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/11/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title> <set_date> 12 April 2004 </set_date> <effective_date> 12 April 2004 </effective_date> <replaced_reg> '3/5/PBI/2001', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 12 /PBI/2001 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank perkreditan rakyat, Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank perkreditan rakyat; b. bahwa sementara belum terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan bank perkreditan rakyat, pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank perkreditan rakyat dibantu oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Persyaratan Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang… dan Tata Cara Pelaksanaan - 2 - 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185); Memperhatikan : Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tentang Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat tanggal 31 Januari 2001; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank … - 3 - 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah; 2. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat; 3. Pengelola Sementara adalah pihak-pihak yang ditunjuk dan diangkat oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah; 4. Tim Likuidasi adalah suatu tim yang bertugas melakukan likuidasi BPR yang dicabut izin usahanya; 5. Bank Pembayar adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran simpanan pihak ketiga BPR dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah; 6. Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris adalah organ dalam Perseroan Terbatas atau organ serupa dalam Koperasi atau Perusahaan Daerah; 7. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP adalah lembaga yang memiliki izin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal 2 (1) Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR, kecuali: a. BPR yang izin usahanya telah dicabut sebelum tanggal 26 Januari 1998; dan b. Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357, dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. (2) Program … - 4 - (2) Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk sementara waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan BPR. (3) Penyediaan dana Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan dalam rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk. Pasal 3 Kewajiban pembayaran BPR yang dijamin Pemerintah adalah simpanan pihak ketiga yang tercatat dalam pembukuan BPR dengan ketentuan: a. BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sebesar: 1. nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; dan 2. bunga tabungan dan deposito berjangka setinggi-tingginya sebesar suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank Umum yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya. b. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebesar nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 4 (1) Perhitungan bunga simpanan pihak ketiga BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan: a. bunga tabungan dihitung sampai dengan akhir bulan sebelum tanggal pembekuan kegiatan usaha tertentu; b. bunga deposito berjangka dihitung sampai dengan tanggal pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. bunga … - 5 - c. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan pada saat pembekuan kegiatan usaha tertentu, tidak dijamin. (2) Dalam hal BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha, perhitungan bunga simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan: a. bunga tabungan dan deposito berjangka dihitung sampai dengan akhir bulan laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia; b. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan pada posisi laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia, tidak dijamin. Pasal 5 Simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin adalah: a. simpanan yang dimiliki oleh Bank Umum atau BPR; b. simpanan yang dimiliki oleh pemegang saham yang kepemilikannya lebih besar dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor BPR; c. simpanan yang dimiliki oleh anggota Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris BPR yang bersangkutan; d. simpanan yang dimiliki oleh suami/isteri/anak dari pihak-pihak yang dimaksud pada huruf b dan c; e. simpanan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki pihak- pihak yang dimaksud dalam huruf b dan c, yang kepemilikannya sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) atau lebih; f. simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah dan atau tidak tercatat dalam pembukuan BPR. BAB II … - 6 - BAB II PERSYARATAN PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH Pasal 6 BPR dapat mengikuti Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 7 Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah: a. menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan pemilik atau pemegang saham sesuai dengan yang tercatat di Bank Indonesia; b. membayar fee penjaminan sebesar 0,10% (satu perseribu) per tahun untuk BPR konvensional atau 0,07% (tujuh persepuluh ribu) per tahun untuk BPR Syariah dari simpanan pihak ketiga yang dijamin; dan c. menyerahkan: 1. daftar nominatif dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga untuk posisi tanggal 31 Maret 2001 atau posisi akhir bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah bagi BPR yang didirikan setelah tanggal 31 Maret 2001, kepada Bank Indonesia; dan 2. tembusan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga untuk posisi tanggal 31 Maret 2001 atau posisi akhir bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah bagi BPR yang didirikan setelah tanggal 31 Maret 2001, kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 8 … - 7 - Pasal 8 (1) Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib dipenuhi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan: a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia bagi BPR yang telah ada dan belum memenuhi persyaratan Program Penjaminan Pemerintah; atau b. sejak melakukan kegiatan usaha bagi BPR yang memperoleh izin usaha setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a masih mempunyai tunggakan fee, maka wajib melunasi tunggakan fee penjaminan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Surat Pernyataan Keikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak terjadi perubahan anggota Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris. Pasal 9 (1) Pembayaran fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b selanjutnya wajib dibayar di muka setiap 6 (enam) bulan selambat-lambatnya pada akhir bulan Januari untuk periode 1 Desember sampai dengan 31 Mei dan pada akhir bulan Juli untuk periode 1 Juni sampai dengan 30 November. (2) Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran fee penjaminan, BPR diberikan perpanjangan waktu pembayaran selama 2 (dua) bulan sejak batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 (1) Fee penjaminan dihitung sendiri oleh BPR berdasarkan simpanan pihak ketiga yang dijamin dari rata-rata posisi akhir bulan simpanan pihak ketiga yang dijamin selama 6 (enam) bulan. (2) Direksi BPR bertanggung jawab atas kebenaran perhitungan besarnya fee yang wajib dibayar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Direksi BPR wajib melakukan perhitungan kembali besarnya fee yang seharusnya dibayar berdasarkan realisasi simpanan pihak ketiga dalam periode pembayaran fee yang bersangkutan. (4) Dalam hal terdapat perbedaan antara besarnya fee yang telah dibayar dimuka dengan hasil perhitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka: a. kelebihan fee akan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pembayaran fee periode berikutnya; b. kekurangan fee wajib dibayarkan bersamaan dengan pembayaran fee periode berikutnya. Pasal 11 Pembayaran fee penjaminan oleh BPR dilakukan dengan cara setoran tunai atau transfer/kliring untuk untung rekening Pemerintah di Bank Indonesia Nomor 519.999001 dengan nama “Penerimaan Fee Penjaminan BPR”. Pasal 12 (1) BPR yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), dan atau melampaui batas waktu pembayaran fee yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. (2) BPR… - 9 - (2) BPR yang tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengumumkan kepada masyarakat selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak melakukan pengumuman dalam batas waktu yang ditentukan maka Bank Indonesia dapat mengumumkan nama BPR dimaksud kepada masyarakat. (4) Penyelesaian simpanan pihak ketiga dari BPR yang tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi tanggung jawab BPR dan diselesaikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 13 (1) BPR wajib menyampaikan laporan secara periodik kepada Bank Indonesia: a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap 6 (enam) bulan untuk posisi tanggal 30 Juni dan tanggal 31 Desember; dan b. rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap bulan. (2) Rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b disampaikan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, untuk posisi tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September dan 31 Desember. (3) Laporan daftar nominatif simpanan pihak ketiga dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga beserta tembusannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 setelah akhir bulan laporan. (4) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB III … - 10 - BAB III PELAKSANAAN PEMBAYARAN JAMINAN PEMERINTAH Pasal 14 (1) Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga BPR wajib menggunakan dana BPR yang bersangkutan. (2) BPR yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak dapat mengupayakan dana yang cukup untuk membayar kewajiban simpanan pihak ketiga melaporkan ketidakmampuannya kepada Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Bank Indonesia meneliti dan mengevaluasi kondisi BPR yang telah melaporkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (2) Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia dan atau hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia dapat membekukan kegiatan usaha tertentu BPR, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16 (1) Pembayaran jaminan Pemerintah dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu BPR. (2) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan atas dasar hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengelola Sementara dan telah diteliti kebenarannya oleh KAP. Pasal 17 … - 11 - Pasal 17 (1) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) ditunjuk dan diangkat oleh Bank Indonesia. (2) Jumlah Pengelola Sementara sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang dan dapat terdiri atas: a. pihak lain diluar anggota pengurus lama; atau b. gabungan antara 1 (satu) anggota pengurus lama dengan pihak lain diluar anggota pengurus lama. (3) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. (4) Pengelola Sementara melaksanakan tugas dalam jangka waktu selama- lamanya 6 (enam) bulan sejak ditandatanganinya surat penunjukan dan pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Pengelola Sementara menerima honorarium sebesar jumlah tertentu yang telah ditetapkan dalam surat penunjukan dan pengangkatan. Pasal 18 (1) Pengelola Sementara melakukan verifikasi atas: a. tabungan dan deposito berjangka dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu yang dijamin Pemerintah, yang hasilnya dicatat dalam daftar nominatif. b. aset BPR yang telah dibekukan yang hasilnya dicatat dalam daftar aset. (2) Pengelola Sementara bertanggungjawab atas kebenaran material terhadap hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Pengelola Sementara setiap bulan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai perkembangan pelaksanaan tugasnya. Pasal 19 … - 12 - Pasal 19 (1) Hasil verifikasi simpanan pihak ketiga yang dilakukan oleh Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a diteliti kebenarannya oleh KAP. (2) KAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (3) Bank Indonesia melakukan proses seleksi KAP untuk membantu Menteri Keuangan dalam pelaksanaan pemilihan dan penunjukan KAP. (4) KAP menerima professional fee yang besarnya telah ditetapkan dalam kontrak kerja. Pasal 20 (1) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan oleh Bank Pembayar. (2) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Bank Pembayar melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar. (4) Bank Pembayar menerima fee sebesar prosentase tertentu dari realisasi pembayaran simpanan pihak ketiga yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar. Pasal 21 (1) BPR wajib menyerahkan bukti tanda terima uang sebesar jumlah dana jaminan Pemerintah yang dibayarkan. (2) Dalam bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan bahwa BPR bersedia mengembalikan dana jaminan Pemerintah yang bersumber dari hasil pencairan aset BPR yang bersangkutan. (3) Bukti … - 13 - (3) Bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh Pengelola Sementara dan diserahkan kepada Bank Indonesia. Pasal 22 Pengelola Sementara mengajukan permohonan penyediaan dana jaminan Pemerintah dan biaya operasional Pengelola Sementara kepada Bank Indonesia, dilampiri dengan: a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga yang akan dibayar berdasarkan hasil verifikasi yang telah diteliti kebenarannya oleh KAP; b. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah diteliti dan ditandatangani oleh Pengelola Sementara; c. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah diteliti kembali dan ditandatangani oleh KAP; d. rincian biaya operasional pelaksanaan penjaminan Pemerintah. Pasal 23 Dalam hal terdapat nasabah penyimpan yang memiliki utang kepada BPR maka pembayaran simpanan nasabah dimaksud dilakukan setelah utang tersebut dikompensasikan terlebih dahulu dengan simpanan nasabah pada BPR, tanpa memperhitungkan tanggal jatuh tempo utang tersebut. Pasal 24 (1) Simpanan pihak ketiga yang belum dibayarkan dengan menggunakan dana jaminan Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa tugas Pengelola Sementara dilanjutkan pembayarannya oleh Tim Likuidasi selama-lamanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Tim Likuidasi terbentuk. (2) Tim… - 14 - (2) Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk setelah BPR dicabut izin usahanya. (3) Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui, Tim Likuidasi mengembalikan sisa dana jaminan Pemerintah yang belum diambil oleh nasabah penyimpan kepada Pemerintah melalui rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk. (4) Dalam hal Tim Likuidasi telah mengembalikan dana Jaminan Pemerintah yang belum diambil oleh nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka pembayaran kepada nasabah penyimpan selanjutnya menjadi beban BPR dan dilakukan oleh Tim Likuidasi sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 25 Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) menyelesaikan dana jaminan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV JANGKA WAKTU PENJAMINAN BPR Pasal 26 (1) Program Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal 26 Januari 1998 sampai dengan dinyatakan berakhir oleh Pemerintah. (2) Pemerintah mengumumkan berakhirnya Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum Program Penjaminan Pemerintah tersebut dinyatakan berakhir. BAB V … - 15 - BAB V LAIN-LAIN Pasal 27 (1) Pengelola Sementara dapat menerima setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR yang telah dibekukan kegiatan usahanya. (2) Setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib ditempatkan dalam rekening atas nama Pengelola Sementara di Bank Pembayar. (3) Penarikan hasil setoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. BAB VI SANKSI Pasal 28 BPR yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Pemerintah menjamin simpanan pihak ketiga dari: a. BPR … - 16 - a. BPR yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia tidak dapat diselamatkan sehingga dibekukan kegiatan usaha tertentunya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini; atau b. BPR yang telah dibekukan kegiatan usaha tertentu setelah berlakunya Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR, namun belum dilakukan pembayaran Program Penjaminan Pemerintah sampai dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penjaminan Pemerintah terhadap simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sepanjang simpanan pihak ketiga tersebut sah dan tercatat dalam pembukuan BPR dan tidak termasuk dalam jenis simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan pelaksanaan tentang persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR dan perubahannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/166/KEP/DIR dan Nomor 31/167/KEP/DIR masing-masing tanggal 11 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tatacara Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah dinyatakan tidak berlaku. Pasal 32 … - 17 - Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 Juli 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 98 DPNP/DPBPR - 18 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 12 /PBI/2001 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998 memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Pelaksanaan program penjaminan Pemerintah tersebut, Pemerintah dibantu untuk sementara waktu oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan Bank Perkreditan Rakyat atau Pemerintah menghentikan program penjaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah tersebut di atas, perlu ditetapkan kriteria simpanan pihak ketiga yang dijamin maupun yang tidak dijamin, dengan memperhatikan tujuan pengaturan Program Penjaminan Pemerintah itu sendiri yakni perlindungan dana nasabah dan kepentingan publik. Sementara itu untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah, BPR perlu memenuhi persyaratan yaitu pernyataan keikutsertaan, membayar fee penjaminan, dan penyampaian dokumen pendukung administratif. Dalam … - 19 - Dalam rangka memperlancar pelaksanaan program penjaminan tersebut juga perlu ditegaskan fungsi, persyaratan dan tugas-tugas Pengelola Sementara serta penetapan jangka waktu pelaksanaan oleh Pengelola Sementara tersebut. Dalam pelaksanaan tugas tersebut serta untuk mendukung keakuratan data simpanan pihak ketiga maka tugas Pengelola Sementara dibantu oleh kantor akuntan publik khususnya kegiatan verifikasi. Pembayaran jaminan Pemerintah tersebut dapat dilakukan berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengelola Sementara yang telah diteliti kebenarannya oleh kantor akuntan publik. Selanjutnya untuk memperlancar realisasi pembayaran simpanan pihak ketiga tersebut Bank Indonesia menunjuk bank pembayar yang tugas dan kewajibannya ditetapkan dalam perjanjian kerjasama. Dalam rangka mendorong keikutsertaan BPR sebagai peserta program penjaminan Pemerintah dan melindungi kepentingan nasabah maka diperlukan informasi yang lebih terbuka dan transparan kepada masyarakat mengenai keikutsertaan BPR sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah dimaksud. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk menetapkan Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas Angka 6 Pengertian pemegang saham untuk BPR yang berbadan hukum koperasi adalah anggota koperasi. Pengertian Direksi adalah sebagai berikut: a. bagi … - 20 - a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pengertian Komisaris adalah sebagai berikut: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Angka 7 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 3 … - 21 - Pasal 3 Huruf a Angka 1 Nominal deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dalam huruf ini adalah yang dimiliki oleh nasabah perorangan, perusahaan, organisasi, yayasan, dan lembaga bukan bank. Angka 2 Suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank Umum yang digunakan sebagai batas maksimum suku bunga yang dijamin adalah suku bunga penjaminan yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya, dengan ketentuan: a. untuk tabungan adalah suku bunga simpanan pihak ketiga jangka waktu 1 (satu) bulan; b. untuk deposito berjangka adalah suku bunga simpanan pihak ketiga sesuai dengan jangka waktunya. Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak ketiga lebih rendah daripada suku bunga penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar suku bunga yang ditetapkan oleh BPR kepada nasabah dimaksud. Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak ketiga lebih tinggi dari pada suku bunga penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar suku bunga penjaminan, sedangkan kelebihannya tidak dijamin oleh Pemerintah dan menjadi beban BPR. Huruf b Cukup jelas Pasal 4 … - 22 - Pasal 4 Ayat (1) Pada umumnya perhitungan bunga simpanan pihak ketiga untuk bunga tabungan dihitung pada akhir bulan, sedangkan untuk bunga deposito berjangka dihitung setiap bulan sesuai tanggal penerbitan bilyet deposito berjangka. Ayat (2) BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha, antara lain dibuktikan dengan: a. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir; b. laporan bulanan yang disampaikan BPR kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir tidak ada perubahan dalam pos-pos neraca; c. pengurus dan atau pemilik BPR tidak diketahui keberadaannya; atau d. adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha. Pasal 5 Huruf a sampai dengan huruf e Cukup jelas Huruf f Simpanan yang tidak didukung dengan dokumen yang sah adalah simpanan yang tidak memiliki dokumen pendukung yang mendasari terjadinya transaksi tersebut misalnya slip setoran, kartu tabungan, catatan/register, print out komputer, dan tembusan bilyet deposito berjangka. Simpanan yang tidak didukung dengan dokumen yang sah antara lain meliputi tabungan atau deposito berjangka fiktif. Pasal 6 … - 23 - Pasal 6 BPR yang dapat ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah adalah BPR yang telah memperoleh izin usaha, yaitu: a. b. c. d. BPR yang didirikan setelah Pakto 1988; Bank Karya Produksi Desa (BKPD); Bank Pasar/Bank Desa; BPR Eks Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) yaitu LDKP yang telah dikukuhkan menjadi BPR, yang sebelumnya adalah : (1) Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat; (2) Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Pekanbaru; (3) Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur; (4) Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat; (5) Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Daerah Istimewa Yogyakarta; (6) (7) Pasal 7 Huruf a Pemegang saham yang menandatangani dan menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan dari masing-masing BPR adalah mereka yang memiliki saham 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih, dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali. Bagi BPR yang dimiliki oleh badan hukum maka penandatanganan surat pernyataan dilakukan oleh pengurus yang berwenang mewakili badan hukum sesuai anggaran dasar masing-masing. Apabila … Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat; Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh. - 24 - Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham yang memiliki sekurang-kurangnya saham 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali maka BPR wajib menyampaikan surat pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham yang baru. Dalam hal perubahan Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham belum tercatat di Bank Indonesia maka surat pernyataan keikutsertaan ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham sesuai RUPS atau rapat anggota yang mengesahkan perubahan dimaksud. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan periode tunggakan fee adalah periode bulan: a. Desember 1998 – Mei 1999; b. Juni 1999 – Nopember 1999; c. Desember 1999 – Mei 2000; d. Juni 2000 – Nopember 2000; e. Desember 2000 – Mei 2001. Ayat (3) … - 25 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Periode bulan Juni 2001 sampai dengan November 2001, fee dihitung berdasarkan posisi akhir bulan Mei 2001 dari simpanan pihak ketiga yang dijamin dan pembayarannya dilakukan selambat-lambatnya akhir bulan Juli 2001. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) CUKUP JELAS Ayat (2) … - 26 - Ayat (2) Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah dimaksudkan untuk mendorong BPR untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah. Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah dalam waktu 3 (tiga) hari kerja dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau nasabah guna mengambil keputusan mengenai simpanannya yang terdapat di BPR yang bersangkutan dalam waktu singkat. Pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan di papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan yang mudah diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas selama BPR tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. Ayat (3) Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau papan pengumuman di kantor BPR atau kantor kecamatan/kelurahan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan atau di media elektronik. Ayat (4) Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, khususnya Pasal 24 yang menyatakan bahwa dalam hal harta kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank. Pasal 13 … - 27 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Tanggal penerimaan laporan adalah: a. tanggal tanda terima dari Bank Indonesia apabila diantar langsung ke Bank Indonesia; atau b. tanggal stempel pos atau tanda terima dari jasa pengiriman surat apabila melalui kantor pos atau jasa pengiriman surat lainnya. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) BPR yang mengalami kesulitan likuiditas antara lain BPR yang tidak memiliki alat likuid yang cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 … - 28 - Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Yang dapat menjadi Pengelola Sementara adalah para pihak yang tidak dilarang untuk menjadi pengurus atau pemegang saham bank sesuai ketentuan Bank Indonesia, serta memiliki pengalaman dan atau pengetahuan di bidang perbankan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak lain di luar anggota pengurus lama adalah karyawan, pejabat, pemegang saham BPR yang bersangkutan dan pihak lain. Pengelola Sementara hanya dapat merangkap sebagai anggota Pengelola Sementara sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 29 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 30 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. PASAL 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 … - 31 - Pasal 27 Ayat (1) Dalam hal debitur telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, Pengelola Sementara dapat menyerahkan agunan kredit yang dikuasai BPR kepada debitur disertai dengan bukti tanda terima. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan BPR tidak memenuhi persyaratan Program Penjaminan Pemerintah adalah BPR yang tidak dapat memenuhi persyaratan penjaminan karena pemilik dan atau pengurus tidak diketahui keberadaannya dan atau kantor BPR sudah tidak ada. Penilaian Bank Indonesia terhadap BPR yang tidak dapat diselamatkan didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2001 NOMOR 4123 DPNP/DPBPR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/12/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 9 Juli 2001 </set_date> <effective_date> 9 Juli 2001 </effective_date> <replaced_reg> '31/166/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '193/KEPPRES/1998', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah tergantung pada kesiapan untuk menghadapi risiko kerugian dari penanaman atau penempatan dana; b. bahwa untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman atau penempatan dana, maka Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif; c. bahwa produk penanaman atau penempatan dana dalam bentuk melakukan kegiatan usaha memiliki karakteristik yang khas; aktiva produktif Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan prinsip Syariah d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu untuk menetapkan ketentuan tentang.…. - 2 - tentang penyisihan penghapusan aktiva produktif bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH. BAB I …. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah; 2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan prinsip Syariah secara bersamaan; 3. Aktiva Produktif adalah penanaman atau penempatan dana BPRS dalam rupiah berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk Pembiayaan, Piutang, Ijarah, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan penempatan Dana Pada Bank Lain; 4. Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan dana dan atau tagihan oleh BPRS kepada Nasabah berdasarkan akad Mudharabah dan atau Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil; 5. Mudharabah .…. - 4 - 5. Mudharabah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan nasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung penyedia dana kecuali kerugian akibat kesalahan yang disengaja, kelalaian, dan atau pelanggaran kesepakatan yang dilakukan oleh pengelola dana ; 6. Musyarakah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan penyedia dana lainnya untuk membiayai usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan diantara penyedia dana berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung berdasarkan porsi dana masing-masing pihak; semua penyedia dana 7. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli berdasarkan akad Murabahah, Salam atau Istishna dan atau pinjam meminjam berdasarkan akad Qardh; 8. Murabahah adalah perjanjian jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati antara BPRS sebagai penjual dengan nasabah sebagai pembeli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh; 9. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan pembayaran lunas di muka oleh BPRS sebagai pembeli kepada nasabah sebagai penjual yang berkewajiban menyerahkan barang pesanan berdasarkan jangka waktu, kriteria, dan persyaratan yang disepakati, dan barang tersebut akan dijual kembali oleh BPRS kepada pihak lain; 10. Istishna…. - 5 - 10. Istishna adalah perjanjian jual beli barang dengan pesanan berdasarkan jangka waktu, kriteria, dan persyaratan yang disepakati, yang pembayarannya dilakukan secara tangguh oleh nasabah sebagai pembeli kepada BPRS sebagai penjual setelah barang pesanan diterima oleh nasabah; 11. Qardh adalah perjanjian pinjam meminjam dana antara BPRS sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pengembalian pokok pinjaman tanpa imbalan yang diperjanjikan di muka secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu; 12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang (Aktiva Ijarah atau Uang muka Ijarah ) antara BPRS sebagai pihak yang menyewakan dengan nasabah sebagai pihak penyewa dalam jangka waktu tertentu; 13. Aktiva Ijarah adalah aktiva yang diperoleh atau dibeli BPRS untuk tujuan disewakan; 14. Uang Muka Ijarah adalah uang muka sewa yang dibayar oleh BPRS kepada pihak pemilik barang, selanjutnya barang tersebut disewakan olah BPRS kepada nasabah; 15. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana BPRS pada Bank Syariah atau BPRS lainnya antara lain dalam bentuk giro dan atau tabungan Wadiah, deposito berjangka dan atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan dan atau bentuk-bentuk penempatan lainnya yang dipersamakan dengan itu; 16. Sertifikat …. - 6 - 16. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah bukti penitipan dana Wadiah pada Bank Indonesia; 17. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut; 18. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern BPRS mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal dan kendaraan bermotor, berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI); 19.Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi; 20.Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku. BAB II TATA CARA PEMBENTUKAN Pasal 2 (1) BPRS wajib membentuk PPAP berupa cadangan umum dan cadangan khusus guna menutup risiko kerugian. (2) Cadangan …. - 7 - (2) Cadangan umum PPAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 0,5% (lima permil) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. (3) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar : a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. Pasal 3 (1) Kewajiban untuk membentuk PPAP sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah tetapi BPRS wajib membentuk penyusutan aktiva Ijarah dan atau amortisasi uang muka Ijarah. (2) Penyusutan aktiva Ijarah dan atau amortisasi uang muka Ijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibentuk secara prorata selama umur ekonomis dari aktiva Ijarah dan atau jangka waktu sewa. BAB III …. - 8 - BAB III PENILAIAN AGUNAN Pasal 4 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terdiri dari : a. Tabungan Wadiah, tabungan dan atau deposito Mudharabah, emas, uang kertas asing, mata uang emas dan setoran jaminan yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah dilakukan pengikatan secara gadai; c. Tanah, gedung, rumah tinggal dan kendaraan bermotor yang telah dilakukan pengikatan. Pasal 5 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) ditetapkan : a. untuk agunan yang bersifat likuid yaitu SWBI, uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, tabungan Wadiah; tabungan dan atau deposito Mudharabah, yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan sebesar 100% (seratus perseratus); b. untuk …. - 9 - b. untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM atau SHGB) dengan hak tanggungan sebesar 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai tanggungan; c. untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM dan SHGB) tanpa hak tanggungan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); d. untuk agunan berupa tanah berdasarkan kepemilikan surat Girik (Letter C) dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang diakui selama 6 (enam) bulan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); e. untuk agunan berupa kendaraan bermotor dengan disertai bukti kepemilikan (BPKB) dihitung sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar yang wajar. Pasal 6 (1) Agunan wajib dilakukan penilaian oleh penilai intern BPRS berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 18. (2) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Pasal 7 …. - 10 - Pasal 7 Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang digunakan sebagai faktor pengurang dalam Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, apabila : a. agunan tidak dilengkapi dengan dokumen terkait dan atau pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; b. penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6. BAB IV SANKSI Pasal 8 Bank yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau c. penggantian pengurus. BAB V …. - 11 - BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif masing-masing tanggal tanggal 29 Mei 1993, sebagaimana telah diubah dengan Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/9/BPPP tentang Penyempurnaan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif masing-masing tanggal 29 Maret 1994, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS. Pasal 10…. - 12 - Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 60 DPbS - 13 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Dalam melakukan kegiatan penanaman dana, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mempunyai risiko kerugian atas kegagalan penanaman dananya. Untuk menjaga agar BPRS mampu dan siap menanggung risiko kerugian dari penanaman dana tersebut dan untuk menjaga kelangsungan usahanya, maka BPRS wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif. Dalam pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif, agunan memegang peranan yang penting sebagai unsur pengurang dari risiko kegagalan pengembalian penanaman dana (credit risk exposure). Untuk memperoleh nilai yang wajar, agunan harus dinilai secara periodik oleh penilai intern BPRS. Dengan…. - 14 - Dengan mempertimbangkan kekhasan produk BPRS dan dalam rangka mewujudkan tatacara penyisihan penghapusan aktiva produktif yang berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian, maka perlu diterbitkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi BPRS. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)…. - 15 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas Huruf d Pemberian jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah dalam pengurusan serfikat hak atas tanah yang pengurusan hak atas tanah dimaksud. diagunkan, dengan menyampaikan bukti Huruf e…. - 16 - Huruf e Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO 4394 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/19/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 1 Juli 2004 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date> <replaced_reg> '26/9/BPPP|SE-BI/1994', '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/4/BPPP|SE-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/7/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan perlu dijaga untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter; b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap memperhatikan peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi; c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas bank melalui kebijakan giro wajib minimum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat ... - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING. Pasal ... - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5200) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam Rupiah dan valuta asing. 4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 5. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau ... - 4 - atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 6. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 7. Loan to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat LDR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar Bank. 8. LDR Target adalah kisaran rasio LDR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 9. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 10. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 11. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 12. GWM ... - 5 - 12. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR Target. 13. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat JIBOR adalah suku bunga antar Bank untuk berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam mata uang Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 17. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara di Bank Indonesia. 18. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio perbandingan antara modal dengan aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. 19. KPMM ... - 6 - 19. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 20. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target. 21. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah. b. GWM Sekunder dalam Rupiah dengan pengaturan sebagai berikut: 1. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah sampai dengan tanggal 30 September 2013; 2. sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2013; 3. sebesar 3,5% (tiga koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 1 Desember 2013; dan 4. sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 2 Desember 2013. c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. 3. Ketentuan ... - 7 - 3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (2) Perhitungan SDBI sebagai komponen GWM Sekunder dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2013. (3) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan sebagai berikut: a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen). b. Batas atas LDR Target: 1) sebesar 100% (seratus persen) sampai dengan tanggal 1 Desember 2013; dan 2) sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sejak tanggal 2 Desember 2013. c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen). d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu). e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). (2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. (3) Tata cara pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Penjelasan ... - 8 - 5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 September 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 September 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 153 DKMP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/7/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 26 September 2013 </set_date> <effective_date> 26 September 2013 </effective_date> <issued_date> 26 September 2013 </issued_date> <changed_reg> '12/19/PBI/2010' </changed_reg> <extension_of> '13/10/PBI/2011' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung telah terjadi krisis keuangan secara global yang mempengaruhi perekonomian nasional, diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan; b. bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diberikan akses bagi Bank Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu diatur peraturan mengenai Fasilitas… - 2 - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I… - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. 2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, tidak termasuk Badan Kredit Desa (BKD). 3. Rasio Kebutuhan Kas adalah perhitungan kebutuhan kas BPR yang didasarkan pada Cash Ratio dengan menambahkan komponen Sertifikat Bank Indonesia serta aset antarbank dan kewajiban antarbank. 4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada BPR untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang dialami oleh BPR. 5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami BPR yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). 6. Sertifikat… - 4 - 6. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Aset Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP Pasal 2 (1) BPR yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) BPR dapat mengajukan permohonan FPJP sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Memiliki penilaian Tingkat Kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang Cukup Sehat; b. Memiliki Cash Ratio selama 6 (enam) bulan terakhir rata-rata paling kurang sebesar 4,05% (empat koma nol lima persen); c. Memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) paling kurang sebesar 8% (delapan persen); dan d. Memiliki… - 5 - d. Memiliki arus kas harian negatif selama 14 (empat belas) hari kalender terakhir. (3) Plafon FPJP diberikan paling banyak sebesar kebutuhan pendanaan jangka pendek BPR untuk mencapai Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh persen). Pasal 3 FPJP wajib dijamin oleh BPR dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 4 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa: a. SBI; dan/atau b. Aset Kredit. (2) Aset Kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Memiliki perjanjian kredit yang masih berlaku selama jangka waktu FPJP; b. Memiliki kolektibilitas Lancar selama paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir; c. Memiliki… - 6 - c. Memiliki agunan; d. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait BPR; dan e. Memiliki baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan Batas Maksimum Pemberian Kredit. (3) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal BPR tidak memiliki SBI atau SBI yang dimiliki tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. Pasal 5 Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut: a. Dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI yang diagunkan. b. Dalam hal agunan berupa Aset Kredit, nilai agunan ditetapkan paling kurang 150% (seratus lima puluh persen) dari plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan baki debet (outstanding) Aset Kredit yang diagunkan. Pasal 6 (1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan BPR kepada Bank Indonesia. (2) BPR… - 7 - (2) BPR wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) apabila: a. Agunan FPJP tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau b. Agunan FPJP berupa Aset Kredit mengalami penurunan kolektibilitas. Pasal 7 (1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP ditatausahakan oleh Bank Indonesia. Pasal 8 (1) BPR yang memerlukan FPJP mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. Surat pernyataan bahwa BPR mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; b. Surat… - 8 - b. Surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan FPJP tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. Surat pernyataan kesanggupan BPR untuk membayar segala kewajiban terkait FPJP pada saat jatuh tempo; d. Surat pernyataan mengenai kebenaran dan kelengkapan data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia; e. Surat Kuasa dari BPR kepada Bank Indonesia untuk melakukan pendebetan seluruh rekening BPR pada bank umum dalam rangka pembayaran segala kewajiban BPR terkait FPJP; f. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan pendanaan jangka pendek; g. Daftar SBI dan/atau Aset Kredit yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung; dan h. Akta pengikatan agunan FPJP. Pasal 9 (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan apabila: a. BPR memenuhi kriteria permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); b. BPR… - 9 - b. BPR memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan c. BPR diperkirakan tidak dapat memenuhi kewajiban pendanaan jangka pendek berdasarkan penilaian Bank Indonesia. (2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan BPR penerima FPJP secara notariil. (3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP secara gadai dan/atau fidusia. (4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan dengan mengkredit rekening BPR yang bersangkutan pada bank umum, setelah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani. Pasal 10 Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, apabila permohonan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan/atau persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 (1) Jangka waktu setiap FPJP adalah 30 (tiga puluh) hari kalender. (2) Jangka… - 10 - (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Pasal 12 Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila: a. BPR telah membayar seluruh bunga terhutang atas FPJP yang jatuh tempo; b. BPR tidak dapat memenuhi Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh persen); dan c. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 13 (1) BPR dapat mengajukan tambahan plafon FPJP yang dibutuhkan untuk menutupi kewajiban yang tidak dapat diselesaikan BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang: a. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan b. Penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). (2) Penambahan… - 11 - (2) Penambahan plafon FPJP dapat dilakukan sepanjang Rasio Kebutuhan Kas BPR kurang dari 10% (sepuluh persen). (3) Jangka waktu setiap tambahan plafon FPJP adalah sampai dengan jatuh tempo FPJP. x BAB III PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN BUNGA Pasal 14 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada BPR atas realisasi pemberian FPJP. (2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar suku bunga penjaminan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang berlaku terhadap simpanan nasabah BPR pada saat perjanjian pemberian FPJP atau addendum perjanjian FPJP ditandatangani. (3) Biaya bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan pada saat jatuh tempo FPJP yang dihitung secara harian berdasarkan baki debet FPJP. BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 15 (1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening BPR di bank umum sebesar baki debet ditambah bunga FPJP. (2) Dalam… - 12 - (2) Dalam hal FPJP jatuh tempo dan saldo rekening BPR di bank umum tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga FPJP dan/atau BPR tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJP maka Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh BPR maka BPR wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh BPR maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada BPR. BAB V PENGAWASAN Pasal 16 (1) BPR wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perjanjian pemberian FPJP atau addendumnya ditandatangani. (2) BPR… - 13 - (2) BPR wajib menyampaikan laporan secara mingguan kepada Bank Indonesia, berupa: a. Perhitungan Rasio Kebutuhan Kas harian; b. Kolektibilitas harian Aset Kredit yang dijaminkan; dan c. Penggunaan FPJP harian. Pasal 17 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap BPR yang bersangkutan. BAB VI BIAYA PEMBERIAN FPJP Pasal 18 Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban BPR. BAB VII SANKSI Pasal 19 Dalam hal BPR tidak melunasi FPJP, melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana… - 14 - sebagaimana dimaksud Pasal 17 diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJP, maka BPR dikenakan sanksi berupa: a. Tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan b. Sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian Pengurus BPR. Pasal 20 (1) Apabila Pengurus dan/atau pegawai BPR dengan sengaja memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Apabila Pengurus, Pemegang Saham Pengendali dan/atau pegawai BPR tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan BPR terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VIII… - 15 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta, Pada tanggal 5 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 5 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM, WIDODO A. S. BOEDIONO - 16 - LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 196 DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk sistem perbankan. Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan… - 2 - Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah- langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, baik bank umum maupun BPR. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset kredit kolektibilitas lancar. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada BPR dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha BPR dapat terpelihara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 3 - Ayat (2) Huruf a Penilaian Tingkat Kesehatan didasarkan pada data posisi akhir bulan sesuai dengan Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam) periode pelaporan sebelum tanggal pengajuan permohonan. Huruf b Perhitungan Cash Ratio didasarkan pada data posisi akhir bulan sesuai dengan Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam) periode pelaporan sebelum tanggal pengajuan permohonan. Huruf c Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (CAR) yang digunakan berdasarkan perhitungan Bank Indonesia sesuai dengan data posisi akhir bulan pada Laporan Bulanan BPR sebelum tanggal pengajuan permohonan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Kebutuhan pendanaan jangka pendek BPR dihitung berdasarkan posisi Rasio Kebutuhan Kas pada tanggal pengajuan permohonan FPJP. Pasal 3… - 4 - Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kolektibilitas Lancar adalah Kualitas Lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Produktif BPR untuk posisi akhir bulan sesuai dengan Laporan Bulanan BPR selama 3 (tiga) periode pelaporan sebelum tanggal pengajuan permohonan. Huruf c Adanya agunan dimaksudkan untuk memberi tambahan keyakinan mengenai kualitas Aset Kredit yang dijadikan agunan FPJP. Huruf d … - 5 - Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR. Huruf e Batas Maksimum Pemberian Kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penggantian dan/atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5. Pasal 7 … - 6 - Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur gadai atau fidusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP” antara lain perjanjian kredit antara BPR dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit BPR. Pasal 8 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d… - 7 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan pendanaan jangka pendek” adalah perhitungan Rasio Kebutuhan Kas. Huruf g Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain perjanjian kredit antara BPR dengan nasabah, pengikatan agunan atas kredit tersebut baik secara notariil maupun dibawah tangan, bukti kepemilikan agunan dari aset kredit, antara lain bukti kepemilikan kendaraan bermotor, sertifikat tanah, surat keputusan pengangkatan pegawai dan dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan. Huruf h Cukup jelas. Pasal 9… - 8 - Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penandatanganan perjanjian pemberian FPJP dan perjanjian pengikatan agunan dilakukan pada waktu bersamaan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Jangka waktu perpanjangan FPJP sama dengan jangka waktu pemberian FPJP yaitu 30 (tiga puluh) hari kalender. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah diagunkan BPR untuk menjamin FPJP yang diterima BPR sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga BPR perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJP. Pasal 13 Ayat (1) Tambahan plafon FPJP yang diajukan akan diakumulasikan terhadap jumlah FPJP yang belum dilunasi. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3)… - 10 - Ayat (3) Sebagai contoh: FPJP diberikan pada tanggal 1 Desember 2008 dengan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sehingga jatuh tempo FPJP adalah tanggal 30 Desember 2008. Tambahan FPJP diberikan kepada BPR pada tanggal 15 Desember 2008, maka jatuh tempo tambahan plafon FPJP adalah tetap pada tanggal 30 Desember 2008. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “suku bunga penjaminan LPS yang berlaku” adalah suku bunga penjaminan yang ditetapkan oleh LPS bagi simpanan nasabah BPR pada saat perjanjian pemberian FPJP atau addendumnya ditandatangani. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15… - 11 - Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jatuh tempo” adalah berakhirnya jangka waktu FPJP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan wajib disampaikan pada hari kerja pertama minggu berikutnya. Pasal 17… - 12 - Pasal 17 Pemeriksaan terhadap BPR yang menerima FPJP dapat dilakukan selama jangka waktu FPJP atau setelah jatuh tempo FPJP. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “biaya” antara lain biaya notaris untuk pengikatan perjanjian FPJP, pengikatan agunan dengan gadai dan/atau fidusia, biaya eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJP. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22… - 13 - Pasal 22 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4943 DKBU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/35/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 5 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 5 Desember 2008 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/ 45 /PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya bencana alam pada tanggal 26 Desember 2004 di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara dan bencana alam susulan pada tanggal 28 Maret 2005 di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara telah menimbulkan dampak yang mengganggu kondisi perekonomian; b. bahwa salah kondisi perekonomian satu upaya untuk mendukung pemulihan adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank umum pasca bencana alam di Propinsi Nanggroe … - 2 - Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias serta Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA. Pasal 1 … - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Pasal 2 (1) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain dari Bank bagi nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga. (2) Tata … - 4 - (2) Tata cara penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Plafon Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank. (4) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit dan atau penyediaan dana lain yang telah maupun yang akan disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini. (5) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit dan atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan atau Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Pasal 3 (1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak restrukturisasi sampai dengan akhir Januari 2008. (2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Restrukturisasi … - 5 - (3) Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik terhadap Kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini. Pasal 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku bagi Kredit yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi di Propinsi Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara; b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan atau Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara; dan c. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Pasal 5 Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan usaha atau Pasal 6 … - 6 - Pasal 6 (1) Bank dapat memberikan Kredit dan atau penyediaan dana lain baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan atau Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. (2) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana sebelumnya. (3) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 7 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain. Pasal 8 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/5/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Umum Pascabencana Nasional Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 … Nias, Propinsi Sumatera Utara dicabut dan - 7 - Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 123 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/ 45 /PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 yang disusul dengan bencana alam berupa gempa bumi di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 28 Maret 2005 diperkirakan akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat (2) Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Restrukturisasi Kredit dapat dilakukan terhadap seluruh Kredit yang diberikan. Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Pasal 6 Ayat (1) Pemberian Kredit dan atau peyediaan dana baru tersebut dilakukan secara selektif sesuai dengan kebijaksanaan perkreditan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan penetapan kualitas dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku yaitu untuk Kredit atau penyediaan dana lain dengan plafon keseluruhan kurang dari dan sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam … - 4 - dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini, sedangkan untuk plafon keseluruhan lebih dari Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dilakukan sesuai ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum atau Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4562
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/45/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA </reg_title> <set_date> 11 November 2005 </set_date> <effective_date> 11 November 2005 </effective_date> <replaced_reg> '7/5/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/27/PBI/2004 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa yang didirikan di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357, Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9 dan Tahun 1938 Nomor 3/H, merupakan kewenangan, tugas dan tanggung jawab Algemeene Volkscrediet Bank (AVB) yang kemudian diubah namanya menjadi Bank Rakyat Indonesia dan terakhir menjadi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero); b. bahwa oleh karena peraturan-peraturan tersebut dalam butir a di atas telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa menjadi kewenangan, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia; c. bahwa berhubung Badan Kredit Desa lokasinya tersebar sampai ke pelosok pedesaan, maka peranan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) dalam melakukan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa masih sangat diperlukan; d. bahwa … -2- d. bahwa berhubung dengan itu, untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan usaha Badan Kredit Desa serta untuk lebih mengintensifkan pelaksanaan pengawasan Badan Kredit Desa secara efektif dan efisien, maka dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan Badan Kredit Desa dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 41); MEMUTUSKAN … -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Badan Kredit Desa selanjutnya disebut BKD adalah Bank Desa dan Lumbung Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357, Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9 dan Tahun 1938 Nomor 3/H yang berkedudukan di Pulau Jawa dan Madura serta telah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan. 2. Bank adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 2 (1) Bank melaksanakan pengawasan BKD berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai petunjuk dan/atau pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat pula meminta Bank untuk melakukan pengawasan lain di luar pedoman yang dimaksud pada ayat (2). Pasal 3 … -4- Pasal 3 (1) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia berupa : a. Rekapitulasi neraca dan laba rugi BKD. b. Analisis mengenai perkembangan BKD, permasalahan atau kendala yang dihadapi, tindakan perbaikan yang telah dilakukan, serta usul dan/atau pertimbangan mengenai tindak-lanjut yang diperlukan. c. Analisis mengenai BKD yang mempunyai kemungkinan beroperasi sebagai Bank Perkreditan Rakyat, baik dilihat dari jumlah permodalan maupun total aset. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan secara triwulanan oleh: a. Kantor Pusat Bank kepada Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10010, untuk BKD seluruh Indonesia; dan b. Kantor Wilayah dan Kantor Cabang Bank kepada Kantor Bank Indonesia setempat, untuk BKD yang berada di wilayah kerja Kantor Wilayah dan Kantor Cabang Bank yang bersangkutan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan oleh Bank setiap akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember kepada Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10010. (4) Bank Indonesia dapat pula meminta Bank untuk menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia di luar yang tercantum pada ayat (1). Pasal 4 … -5- Pasal 4 (1) Biaya untuk pelaksanaan pengawasan BKD menjadi beban Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia akan menanggung biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan dialihkannya tugas pengawasan BKD kepada lembaga lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Bank wajib mengajukan rencana kegiatan dan anggaran biaya pengawasan BKD untuk tahun anggaran berikutnya selambat-lambatnya pada akhir bulan September, untuk dimintakan persetujuan Bank Indonesia. (4) Dalam memberikan persetujuan atas rencana kegiatan dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan penelitian atas kewajaran rencana kegiatan dan biaya yang diajukan oleh Bank dan mempertimbangkan realisasi sebelumnya. (5) Persetujuan atas rencana kegiatan dan anggaran biaya, diberitahukan secara tertulis selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan pertanggungjawaban atas realisasi anggaran tahun sebelumnya. (6) Anggaran biaya yang telah disetujui oleh Bank Indonesia bersifat final dan tidak dimungkinkan adanya penambahan. (7) Dalam hal realisasi biaya atas pelaksanaan pengawasan BKD lebih kecil dari jumlah anggaran biaya yang telah disetujui maka Bank wajib mengembalikan kelebihan anggaran tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 5 … -6- Pasal 5 (1) Dengan berlakunya PBI ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti dan diperbaharui. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 13 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 161 DPBPR -7- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/27/PBI/2004 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA UMUM Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal kerja masyarakat di pedesaan maka keberadaan Badan Kredit Desa masih dirasakan manfaatnya, oleh karena itu untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan usaha Badan Kredit Desa perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa menjadi kewenangan, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Karena keterbatasan Sumber Daya Manusia maka Bank Indonesia meminta kepada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) agar tetap melakukan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa dengan pertimbangan selama ini pengawasan Badan Kredit Desa dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia yang memiliki Sumber Daya Manusia serta jaringan kantor yang memadai untuk melakukan pengawasan Badan Kredit Desa. Untuk menegaskan hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur penugasan kepada PT Bank Rakyat Indonesia yaitu Surat Keputusan … -8- Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT Bank Rakyat Indonesia. Sesuai Pasal 34 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004, diatur bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Sejalan dengan hal tersebut, setelah terbentuknya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen maka tugas pengawasan Badan Kredit Desa beralih dan tidak lagi menjadi beban Bank Indonesia. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu ditetapkan penyempurnaan ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan Badan Kredit Desa dalam Peraturan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)… -9- Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Laporan triwulan disampaikan kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 1 bulan setelah triwulan berakhir. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004, tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang. Selama lembaga pengawas tersebut belum terbentuk … -10- terbentuk maka biaya pelaksanaan pengawasan BKD menjadi beban Bank Indonesia. Ayat (2) Dengan beralihnya wewenang pengawasan bank kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang telah terbentuk, maka biaya pelaksanaan pengawasan BKD tidak lagi menjadi beban Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Biaya pelaksanaan pengawasan BKD yang disetujui oleh Bank Indonesia bersifat final, yaitu Bank Indonesia tidak dapat memberikan tambahan anggaran apabila realisasi biaya pengawasan BKD melebihi jumlah biaya pengawasan BKD yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (7) … -11- Ayat (7) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 4460 DPBPR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/27/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA </reg_title> <set_date> 13 Desember 2004 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2005 </effective_date> <replaced_reg> '31/63/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '21/PP/1992', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/12/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan kredit atau pembiayaan dari perbankan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah diperlukan untuk memperkuat peran usaha mikro, kecil, dan menengah dalam struktur perekonomian nasional; b. bahwa untuk lebih meningkatkan penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah dimaksud, diperlukan kebijakan yang dapat lebih mendorong pertumbuhan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah antara lain berupa pemberian insentif dan pengenaan disinsentif bagi bank umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Mengingat:… -2- Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor… -3- Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5378) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank Umum wajib memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM. (2) Jumlah Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) yang dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan. (3) Pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap, sebagai berikut: a. tahun 2013: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank; b. tahun 2014: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank; c. tahun 2015: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 5% (lima persen); d. tahun 2016: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 10% (sepuluh persen); e. tahun 2017: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 15% (lima belas persen); dan f. sejak… -4- f. sejak tahun 2018: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 20% (dua puluh persen). (4) Perhitungan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM untuk Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan pada setiap akhir tahun. (5) Bank Umum konvensional harus menjaga rasio Kredit UMKM secara bulanan atas rasio Kredit UMKM yang telah ditentukan pada tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Perhitungan besarnya persentase pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara gabungan untuk seluruh kantor Bank Umum. 2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. 3. Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IIIA yang berbunyi sebagai berikut: BAB IIIA LAPORAN REALISASI PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM Pasal 5A (1) Bank Umum wajib menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Bank Indonesia secara online melalui Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan Bank Umum dan laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. (2) Dalam… -5- (2) Dalam hal penyampaian laporan secara online untuk laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing belum tersedia, Bank Umum wajib menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline. Pasal 5B (1) Bank Indonesia menetapkan batas waktu penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (2). (2) Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline apabila laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline apabila laporan belum diterima Bank Indonesia sampai dengan batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank Umum dapat melakukan koreksi atas laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (2). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu, prosedur dan tata cara penyampaian laporan secara offline diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Judul Bab VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VI PUBLIKASI, PENGHARGAAN, PEMBINAAN, DAN INSENTIF 5. Ketentuan… -6- 5. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Dalam hal pencapaian realisasi pemberian Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak terpenuhi pada akhir tahun, Bank Umum Syariah wajib menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang tidak sedang dan/atau belum pernah mendapat Pembiayaan UMKM. (2) Jumlah dana pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara rasio Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada setiap akhir tahun, dengan jumlah paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (3) Penyelenggaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling lambat 30 September tahun berikutnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase tertentu dari selisih antara rasio Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A Pencapaian rasio pemberian Kredit UMKM sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f oleh Bank Umum konvensional dapat menjadi faktor untuk memperoleh kelonggaran batas atas loan to funding ratio target atau pengurangan jasa giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur… -7- mengatur mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing bagi Bank Umum konvensional. Pasal 12B (1) Bank Indonesia dapat memberikan insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Bank Umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran yang melanggar Pasal 4 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Bank Umum Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 13A, Pasal 13B, dan Pasal 13C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A (1) Bank Umum yang terlambat menyampaikan laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5B ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar… -8- sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Umum yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5B ayat (3) dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Umum yang ada di Bank Indonesia. (4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mulai berlaku untuk penyampaian laporan secara offline untuk posisi Juni 2015. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13B Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank Umum untuk menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (2). Pasal 13C Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 13A, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas pengawas bank untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. Pasal II… -9- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 25 Juni 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 153 DPUM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/12/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Dalam rangka mendorong pemberian Kredit dan Pembiayaan perbankan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Bank Indonesia telah mewajibkan Bank Umum untuk memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM, dengan tahapan pencapaian pada tahun 2013 dan tahun 2014 yang disesuaikan dengan kemampuan Bank Umum, pada tahun 2015 yang ditetapkan paling rendah sebesar 5%, tahun 2016 paling rendah sebesar 10%, tahun 2017 paling rendah sebesar 15% dan sejak tahun 2018 paling rendah sebesar 20%. Dalam penerapannya, masih terdapat kendala dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM yang antara lain disebabkan rendahnya akses UMKM untuk mendapatkan Kredit atau Pembiayaan dari perbankan. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan untuk lebih meningkatkan penyaluran dana perbankan kepada UMKM. Kebijakan peningkatan penyaluran dana perbankan kepada UMKM tersebut dilakukan antara lain melalui bauran kebijakan terkait UMKM dengan kebijakan makroprudensial mengenai giro wajib minimum berdasarkan loan to funding ratio, dan pemberian insentif bagi Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM. Untuk mendukung peningkatan Kredit atau Pembiayaan UMKM tersebut, diperlukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. II. PASAL… -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pemantauan oleh Bank Indonesia terhadap kepatuhan Bank Umum konvensional atas pemenuhan rasio Kredit UMKM secara bulanan antara lain dilakukan melalui Laporan Bulanan Bank Umum. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Huruf a Pengertian kredit ekspor mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… -3- Ayat (2) Yang dimaksud dengan penyampaian laporan secara offline adalah penyampaian laporan melalui sarana elektronik berupa email, atau dengan hardcopy dan softcopy (compact disc/USB) dalam hal terdapat gangguan sistem email. Pasal 5B Ayat (1) Penetapan batas waktu penyampaian laporan mencakup pula penetapan batas waktu bahwa Bank Umum dinyatakan terlambat atau dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 12 Cukup Jelas. Angka 6 Pasal 12A Cukup jelas. Pasal 12B… -4- Pasal 12B Ayat (1) Pemberian insentif kepada Bank Umum berupa: a. pelatihan kepada pejabat kredit/account officer Bank Umum; b. pelatihan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil; c. fasilitasi dalam pemanfaatan peme- ringkatan kredit (credit rating) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah; dan d. publikasi keberhasilan serta pemberian penghargaan (award) kepada Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13A Cukup jelas. Pasal 13B Cukup jelas. Pasal 13C Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5713
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/12/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH </reg_title> <set_date> 25 Juni 2015 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2015 </effective_date> <issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date> <changed_reg> '14/22/PBI/2012' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '20/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 13', 'Pasal I Angka 8 Pasal 13A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian moneter yang dilakukan salah satunya melalui pengaturan lalu lintas pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia; b. bahwa dalam rangka pengendalian moneter, Bank Indonesia juga memerlukan data dan informasi terkait uang kertas asing yang masuk ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia; c. bahwa pengaturan mengenai perizinan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia juga sejalan dengan upaya mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mewujudkan gerakan nasional nontunai dan penerapan kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan. 2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan dan/atau mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau menggunakan jasa pihak lain, untuk kepentingan sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau barang bawaan penumpang. 3. Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. 4. Badan Berizin adalah pihak yang memperoleh Izin Pembawaan UKA dari Bank Indonesia. 5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin untuk setiap Pembawaan UKA. 6. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang- Undang mengenai kepabeanan. 7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud - 4 - dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. 9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. 10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah melakukan pendaftaran ke Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Pembawaan UKA. BAB II PIHAK YANG DAPAT MELAKUKAN PEMBAWAAN UKA Pasal 2 (1) Setiap pihak yang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib memperoleh Izin Pembawaan UKA dari Bank Indonesia. (2) Pihak yang dapat melakukan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Badan Berizin. (3) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Bank; dan b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (4) Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan pihak lain. - 5 - BAB III PERIZINAN DAN PERSETUJUAN PEMBAWAAN UKA Bagian Kesatu Perizinan Pembawaan UKA Pasal 3 (1) Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh Izin Pembawaan UKA. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang berwenang; dan b. memiliki izin sebagai bank devisa atau memperoleh persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran valuta asing dari otoritas yang berwenang. (3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dari Bank Indonesia; b. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan c. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Izin Pembawaan UKA yang diberikan Bank Indonesia kepada Badan Berizin berjangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin. (2) Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan pengajuan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan UKA dari Badan Berizin kepada Bank Indonesia. - 6 - (3) Pengajuan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum Izin Pembawaan UKA berakhir. Pasal 5 (1) Dalam rangka memproses permohonan Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (3). (2) Dalam rangka melakukan penelitian atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung. (3) Selain melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dengan otoritas terkait. Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara pengajuan, pemrosesan, dan perpanjangan Izin Pembawaan UKA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Persetujuan Pembawaan UKA Pasal 7 (1) Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setiap akan melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib terlebih dahulu mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA dari Bank Indonesia. (2) Untuk mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Berizin - 7 - mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan proyeksi kebutuhan UKA per mata uang dan detail rencana Pembawaan UKA untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan. (4) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung terkait dengan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sebelum periode Pembawaan UKA. Pasal 8 (1) Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan Pembawaan UKA dari Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berdasarkan pertimbangan: a. peruntukan Pembawaan UKA; b. aspek historis Pembawaan UKA; c. kondisi makroekonomi; dan/atau d. pertimbangan lainnya. (2) Persetujuan Pembawaan UKA yang diberikan oleh Bank Indonesia berupa kuota per mata uang untuk periode selama 3 (tiga) bulan. (3) Badan Berizin dilarang melakukan Pembawaan UKA melebihi kuota yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal terdapat kebutuhan penambahan kuota dalam periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Berizin dapat mengajukan permintaan penambahan kuota 1 (satu) kali dalam periode Persetujuan Pembawaan UKA yang telah diberikan Bank Indonesia. - 8 - (5) Permintaan penambahan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh Badan Berizin paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pembawaan UKA. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan, tata cara pemrosesan, tata cara penambahan kuota, dan periode Persetujuan Pembawaan UKA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PEMBAWAAN UKA OLEH BADAN BERIZIN Pasal 10 Badan Berizin dapat melakukan Pembawaan UKA secara sendiri atau menggunakan jasa PJPUR. Pasal 11 (1) Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA dengan menggunakan jasa PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib menggunakan PJPUR Terdaftar. (2) Pembawaan UKA oleh PJPUR Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan permintaan dari Badan Berizin. (3) Ketentuan mengenai PJPUR tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara Pembawaan UKA oleh Badan Berizin diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 9 - BAB V PENYAMPAIAN PERUBAHAN DATA BADAN BERIZIN Pasal 13 (1) Badan Berizin wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis apabila terdapat perubahan data dan/atau informasi pada dokumen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia saat pengajuan permohonan Izin Pembawaan UKA. (2) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. perubahan status; b. perubahan modal; c. perubahan nama; dan/atau d. perubahan alamat. (3) Penyampaian perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin berupa Bank dilakukan setelah perubahan tersebut disetujui oleh otoritas yang berwenang. (4) Penyampaian perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin berupa Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian perubahan data dan/atau informasi bagi Bank diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14 (1) Dalam rangka memastikan kebenaran perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank Indonesia dapat meminta laporan, keterangan, dan/atau data kepada Badan Berizin dan/atau otoritas terkait. (2) Selain meminta laporan, keterangan, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia - 10 - dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap Badan Berizin dimaksud. (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI EVALUASI PERIZINAN PEMBAWAAN UKA Pasal 15 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas perizinan Pembawaan UKA dengan mempertimbangkan: a. tingkat kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan yang berlaku; b. tingkat c. adanya utilitas dan perkembangan kegiatan Pembawaan UKA; rekomendasi, informasi, dan/atau permintaan dari pengawas atau otoritas lain; dan/atau d. pertimbangan lainnya. (2) Bank Indonesia berwenang untuk mencabut Izin Pembawaan UKA yang diberikan kepada Badan Berizin berdasarkan: a. hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. permintaan otoritas lain yang berwenang; c. permohonan yang diajukan sendiri oleh Badan Berizin; dan/atau d. pelanggaran ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA Pasal 16 Pelaksanaan ketentuan mengenai Pembawaan UKA ini menggunakan infrastruktur pendukung berupa sistem yang dikembangkan Bank Indonesia dan/atau sistem yang - 11 - dikembangkan oleh Pengelola Portal Indonesia National Single Window. Pasal 17 Bank Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta otoritas lain dalam rangka: a. pertukaran data dan informasi; b. penegakan ketentuan Pembawaan UKA sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan; dan/atau c. kerja sama lainnya. BAB VIII KURS KONVERSI Pasal 18 (1) Kurs yang digunakan dalam pelaksanaan ketentuan Pembawaan UKA ini mengacu pada kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (2) Dalam hal Pembawaan UKA menggunakan mata uang asing yang tidak terdapat dalam kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurs yang digunakan adalah kurs beli valuta asing oleh perbankan atau indikasi kurs yang dijadikan acuan pasar. BAB IX SANKSI Pasal 19 Setiap pihak yang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), tanpa memperoleh Izin Pembawaan UKA dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan sanksi berupa penegahan atas seluruh Pembawaan UKA sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan. - 12 - Pasal 20 Setiap Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), tanpa persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau melebihi kuota yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dikenakan sanksi berupa penegahan atas seluruh Pembawaan UKA sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan. Pasal 21 Sanksi yang dikenakan kepada Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak meniadakan sanksi administratif yang dikenakan oleh Bank Indonesia. Pasal 22 Badan Berizin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara kegiatan Pembawaan UKA; dan/atau c. pencabutan Izin Pembawaan UKA. Pasal 23 Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 22, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk mengenakan sanksi sesuai dengan kewenangannya. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 13 - BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 25 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Pembawaan UKA yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia. (2) Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah melakukan kegiatan Pembawaan UKA sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku harus mengajukan Izin Pembawaan UKA kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 23 mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 2018. Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 5 Maret 2018. - 14 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W.MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 94 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA I. UMUM Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian moneter. Adanya tren kenaikan volume transaksi UKA di domestik dan tingginya aktivitas Pembawaan UKA berpotensi mengganggu kestabilan nilai Rupiah apabila lalu lintas pembawaannya tidak diatur dan tidak dimonitor secara baik oleh otoritas moneter. Dengan memperhatikan hal tersebut maka dalam rangka pengendalian moneter, Bank Indonesia memerlukan data dan informasi terkait lalu lintas Pembawaan UKA dalam jumlah di atas nominal tertentu yang dilakukan oleh pihak yang selama ini telah melakukan Pembawaan UKA, yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Guna mendukung efektivitas pengendalian moneter tersebut, Pembawaan UKA di atas nominal tertentu perlu diatur mekanismenya sehingga Bank Indonesia dapat memonitor secara baik jumlah pasokan - 2 - dan kebutuhan UKA di domestik dan sekaligus memitigasi Pembawaan UKA yang tidak memiliki peruntukan transaksi yang wajar. Mekanisme yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah bahwa Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) hanya boleh dilakukan oleh Badan Berizin, yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. Pertimbangan Bank Indonesia untuk membatasi pelaku Pembawaan UKA dimaksud, antara lain karena kedua lembaga keuangan tersebut, yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, merupakan pemasok utama UKA di pasar domestik serta memiliki kompetensi dan sistem yang cukup memadai yang diharapkan dapat memitigasi risiko terkait peredaran UKA di masyarakat. Sementara itu, penetapan ambang batas, yaitu jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan aspek kewajaran pembawaan uang tunai oleh individu, mitigasi risiko terganggunya sektor pariwisata, sektor perdagangan dan jasa di pasar domestik, kesiapan lembaga keuangan domestik dalam memfasilitasi jasa keuangan nontunai, serta untuk mendukung efektivitas ketentuan tentang kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi barang dan jasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pengaturan ini tidak bermaksud untuk melakukan kontrol devisa, sehingga individu baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang memerlukan UKA di atas ambang batas Izin Pembawaan UKA, tetap dapat memenuhi kebutuhan valuta asing dengan cara nontunai. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) UKA termasuk UKA yang berbahan dasar plastik. - 3 - Hasil cetak uang kertas asing yang dilakukan oleh perusahaan percetakan uang di Indonesia tidak dianggap sebagai UKA mengingat hasil cetak uang kertas asing tersebut belum diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh negara yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan yang diberikan kewenangan untuk melakukan pencetakan uang atas dasar permintaan otoritas negara lain dapat membawa hasil cetak uang kertas asing sebagaimana ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah modal disetor untuk pendirian Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dimaksud. Huruf c Yang dimaksud “persyaratan operasional” antara lain memiliki: a. sumber daya manusia yang memadai; b. sistem informasi dan sistem manajemen risiko; dan c. sarana dan prasarana pendukung kegiatan operasional terkait kegiatan usaha perdagangan valuta asing. - 4 - Pasal 4 Ayat (1) Jangka waktu Izin Pembawaan UKA untuk Penyelenggara KUPVA Bukan Bank paling lama sama dengan jangka waktu dari izin sebagai Penyelengara KUPVA Bukan Bank yang diberikan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Periode Pembawaan UKA adalah 3 (tiga) bulanan, yaitu periode Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan Oktober sampai dengan Desember. Pasal 8 Ayat (1) Penolakan Persetujuan Pembawaan UKA oleh Bank Indonesia antara lain mempertimbangkan peruntukan Pembawaan UKA misalnya Badan Berizin yang mengajukan permohonan - 5 - Persetujuan Pembawaan UKA melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak berizin dan/atau penyelenggara transfer dana tidak berizin. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permintaan dari Badan Berizin kepada PJPUR Terdaftar untuk melakukan Pembawaan UKA dilakukan dengan surat permintaan dari Badan Berizin. PJPUR Terdaftar yang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tanpa permintaan dari Badan Berizin dianggap sebagai pihak yang tidak memperoleh Izin Pembawaan UKA. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 6 - Pasal 13 Ayat (1) Perubahan data dan/atau informasi antara lain disebabkan peleburan, penggabungan, pemisahan, self liquidation, dan/atau penghentian kegiatan usaha yang dilakukan oleh Badan Berizin. Ayat (2) Contoh perubahan status adalah perubahan status bank devisa menjadi bank nondevisa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “Indonesia National Single Window” adalah sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for custom release and clearance of cargoes). Pasal 17 Yang dimaksud dengan “otoritas lain” antara lain Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan. Pertukaran data dan informasi terkait Pembawaan UKA antara lain memuat penyampaian dan perubahan daftar Badan Berizin dan - 7 - PJPUR Terdaftar, pelaporan Pembawaan UKA, serta pembawaan uang tunai. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Indikasi kurs yang umum digunakan sebagai acuan pasar, antara lain kurs beli Bloomberg atau Reuters. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. - 8 - Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6050
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/7/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 3 Mei 2017 </set_date> <effective_date> 5 Maret 2018 </effective_date> <issued_date> 5 Mei 2017 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 19 /PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka standarisasi ukuran dan meningkatkan unsur pengamanan pada uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 1992 yang telah beredar sembilan tahun, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001; b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 perlu ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001. Pasal 1 ………. - 2 - Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp 5.000 (lima ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: A. WARNA 1. Bagian muka dicetak dengan warna hijau, violet, merah jambu, coklat muda dan coklat tua; 2. Bagian belakang dicetak dengan warna coklat muda, violet, coklat tua, hijau, hitam dan coklat kemerahan; B. GAMBAR 1. Bagian Muka a. gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bondjol, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “TUANKU IMAM BONDJOL”; b. di sebelah ………. - 3 - b. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah horizontal, sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embosse berbentuk roset dengan cetak tanpa tinta, anti foto copy dalam bentuk tulisan “RI”, anti fotoreproduksi dalam bentuk tulisan “BI” yang berulang dan berseling terbalik, tulisan “BANK INDONESIA” dan tulisan “LIMA RIBU RUPIAH”; c. di sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, gambar Lambang Negara Garuda Pancasila, angka nominal “5000” arah vertikal, angka “2001”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Syahril Sabirin) beserta tulisan “GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur (Miranda S. Goeltom) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP 2001” (angka 2001 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang); d. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari : - garis-garis lengkung dan lingkaran yang membentuk hiasan bunga; - garis-garis guilloche, gelombang, vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan; - garis-garis horizontal dan vertikal yang memuat tulisan mikro “BANKINDONESIA5000” berulang-ulang tanpa spasi; - ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat; 2. Bagian Belakang a. gambar utama berupa gambar Pengrajin Tenun; b. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU RUPIAH”, dan tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian membentuk kain tenun; c. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah vertikal, nomor seri berwarna hitam (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet, dan cetakan tidak kasat mata berupa angka “5000” yang akan tampak berwarna kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; d. di sebelah ………. - 4 - d. di sebelah kanan gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”, nomor seri berwarna merah (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan memendar merah kekuningan di bawah sinar ultra violet, sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, anti foto copy dalam bentuk tulisan “RI”, tulisan “PENGRAJIN TENUN PANDAI SIKEK – SUMATERA BARAT”, angka nominal “5000” arah horizontal; e. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari : - garis-garis guilloche yang bergelombang; - tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi; - - garis-garis lingkaran, bergelombang yang membentuk hiasan bunga; garis-garis horizontal, vertikal, lengkung dan lingkaran memuat teks “RI” - ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat; C. BAHAN Jenis bahan terbuat dari 100% serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. ukuran 143 mm x 65 mm; 2. warna krem (putih kekuning-kuningan); 3. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 4. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia; 5. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong sebagian, dan memendar hijau dan kuning secara berseling di bawah sinar ultra violet. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 6 November 2001. Pasal 6 ………. - 5 - Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Oktober 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 131 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/19/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2001 </set_date> <effective_date> 26 Oktober 2001 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/34/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang - 2 - Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 151 (seratus lima puluh satu) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 302 (tiga ratus dua) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 755 (tujuh ratus lima puluh lima) milimeter dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima) milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “100000” dan tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. (H.C.) Ir. Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta beserta tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan “Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan merah; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; - 5 - d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI100”, tulisan “BI”, dan angka “100”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “100000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “100000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; - 7 - e. gambar utama yaitu tari topeng betawi beserta tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, pemandangan alam Raja Ampat beserta tulisan “Raja Ampat”, dan bunga anggrek bulan; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan merah; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari topeng betawi, tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, dan tulisan “Raja Ampat”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “100000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI100000” dan angka “100000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga anggrek bulan; 2. gambar burung elang bondol; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan - 8 - 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna merah muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional W. R. Soepratman dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” secara berulang, yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); dan b. ukuran yaitu panjang 151 (seratus lima puluh satu) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 8 - Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 218
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/34/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/ 21 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa fasilitas untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank sepanjang memiliki agunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. bahwa untuk kepentingan perhitungan biaya bunga Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP diperlukan data terkini; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang- …. - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA 5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4317) diubah sebagai berikut : 1. Penjelasan Pasal 3 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan dan 1. Ketentuan Pasal 3 dihapusdiubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 3 Bank dapat menggunakan FPJP sepanjang memiliki agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah FPJP yang diterima. 2. Ketentuan …. NOMOR - 3 - 2. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank penggunaan FPJP. (2) atas Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) termasuk perpanjangannya ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari: a. suku bunga PUAB ditambah marjin tertentu; atau b. tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan pada lelang terakhir ditambah marjin tertentu. (3) Penetapan suku bunga PUAB atau diskonto SBI, dan marjin tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH - 4 - LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 68 .…. DPM/DPNPAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR DPNP/DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 21 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM UMUM Sehubungan dengan perubahan persyaratan Bank penerima FPJP dan perhitungan biaya bunga FPJP berdasarkan data terkini, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Termasuk dalam “penggunaan FPJP” adalah perpanjangan FPJP dan pengalihan FLI menjadi FPJP. Angka 2 Pasal 13 Ayat (1) Pengenaan biaya bunga FPJP dilakukan dengan rumus sebagai berikut : (Jumlah FPJP)x(suku bunga FPJP)x(jangka waktu dalam hari) 360 C:\Documents and Settings\erwinsoer\Local Settings\Temporary Internet Files\OLK3\PBI FPJP Revisi TKS - Juni06 LR 13 Juni 05.docD:\file kerja\konsep ketentuan\DPM\FPJP\PBI FPJP Revisi TKS - Juni06 LR 13 Juni 05.doc Ayat …. - 2 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Data untuk penetapan suku bunga PUAB diperoleh dari PIPU yang merupakan hasil olahan keluaran Laporan Harian Bank Umum (LHBU) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …..4518 - 3 - DPNP/DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/21/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <changed_reg> '5/15/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 13 /PBI/1999 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 150.000 (SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA TAHUN 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperingati ulang tahun UNICEF ke -50 dan menghimpun dana untuk kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia, Bank Indonesia memandang perlu untuk berpartisipasi dalam program “The UNICEF Children of the World Coin Collection”; b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000 (seratus lima puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For The Children of The World” tanda tahun 1999; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000 (seratus lima puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For The Children of The World” tanda tahun 1999 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 12 /PBI/1999 tanggal 29 Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus (Commemora-tive), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia ); Nomor MEMUTUSKAN ..... - 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 150.000 (SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA TAHUN 1999 Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000 (seratus lima puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For The Children of The World” tanda tahun 1999 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas. Pasal 3 Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pasal 1 adalah : A. Pecahan 150.000 (Seratus Lima Puluh Ribu) 1. Bahan 2. Kadar 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : Logam Emas : 0,999 : : 1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas 3). Logo UNICEF, di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun Penerbitan “1999” di bagian tengah sisi kanan b. Sisi ....... - 3 - b. Sisi Belakang : 1). Gambar Utama Anak laki-laki bermain kuda lumping 2). Teks “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD”, di bagian atas 3). Nilai Nominal “Rp 150000”, di bagian bawah c. Sisi Samping 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas : : : : : Bergerigi Kuning emas Bulat (lingkaran) : 22,00 mm 6,22 gram Proof B. Pecahan 10.000 (sepuluh ribu) 1. Bahan 2. Kadar 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : : : : 1). Gambar Utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas 3). Logo UNICEF, di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun Penerbitan “1999” di bagian tengah sisi kanan b. Sisi Belakang : 1). Gambar utama Kegiatan Pramuka dalam penanaman sejuta pohon 2). Teks “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD”, di bagian atas 3). Nilai Nominal “Rp 10000”, di bagian bawah c. Sisi Samping 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas : : : : : Bergerigi Putih Perak Bulat (lingkaran) : 38,61 mm 28,28 gram Proof Logam Perak 0,925 Pasal 4 ....... - 4 - Pasal 4 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 31 Januari 2000. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 229 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/13/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 150.000 (SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA TAHUN 1999 </reg_title> <set_date> 29 Desember 1999 </set_date> <effective_date> 29 Desember 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/36/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang - 2 - Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 143 (seratus empat puluh tiga) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 286 (dua ratus delapan puluh enam) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 715 (tujuh ratus lima belas) milimeter dan lebar 650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “5000” dan tulisan “LIMA RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. K.H. Idham Chalid beserta tulisan “Dr. K.H. IDHAM CHALID”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan cokelat; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; - 5 - d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” dan angka “5” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI5”, tulisan “BI5000”, dan angka “5”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “5000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “5000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari gambyong beserta tulisan “TARI GAMBYONG”, pemandangan alam Gunung Bromo beserta tulisan “Gunung Bromo”, dan bunga sedap malam; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; - 6 - h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan cokelat; b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “5000”; d. mikroteks yang memuat tulisan “BI5000”, tulisan “BANKINDONESIA5000”, dan angka “5000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan e. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga sedap malam; 2. gambar sebagian pemandangan alam Gunung Bromo; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. bidang yang berisi rangkaian gambar belah ketupat; 5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna krem; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan - 7 - 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 143 (seratus empat puluh tiga) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. - 8 - Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 220
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/36/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/ 10 /PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa terjadinya bencana alam yang melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah telah menimbulkan dampak yang mengganggu perekonomian di daerah tersebut secara cukup signifikan; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian di daerah tersebut adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank dengan jumlah tertentu dan kredit yang direstrukturisasi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank pasca bencana alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana … - 3 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kredit Bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 3. Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pasal 2 (1) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain dari Bank Umum bagi nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. (2) Tata cara penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Plafon … - 4 - (3) Plafon Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank Umum. (4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan atau penyediaan dana lain yang telah maupun yang akan disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini. (5) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah. (6) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 3 (1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak restrukturisasi sampai dengan akhir Juni 2009. (2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan … - 5 - dilakukan baik terhadap kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini. Pasal 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah; b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah; dan c. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Pasal 5 Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum yang direstrukturisasi setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut : a. Untuk kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. Untuk kredit dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 6 … - 6 - Pasal 6 (1) Bank dapat memberikan kredit dan/atau penyediaan dana lain baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah. (2) Penetapan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya. (3) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut : a. Untuk kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. Untuk kredit dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 7 (1) Yang termasuk daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah Kabupaten Klaten. (2) Penentuan mengenai daerah lain di sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 … - 7 - Pasal 8 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 31 Mei 2006. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 7 Juni 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 51 DPNP/DPBPR/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/ 10 /PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam yang melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah diperkirakan akan memberikan dampak yang mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat (2) Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dapat dilakukan terhadap seluruh kredit yang diberikan. Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan melalui penyelamatan kredit, berupa penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), atau penataan kembali (restructuring), sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Pasal 6 … - 4 - Pasal 6 Ayat (1) Pemberian kredit dan/atau penyediaan dana baru tersebut dilakukan secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4626 DPNP/DPBPR/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/10/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH </reg_title> <set_date> 7 Juni 2006 </set_date> <effective_date> 7 Juni 2006 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 31 Mei 2006. </effective_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/ 24 /PBI/2010 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam upaya meningkatkan keberhasilan pengendalian moneter diperlukan data dan informasi mengenai kewajiban finansial penduduk terhadap bukan penduduk, khususnya utang luar negeri; b. bahwa kualitas data dan informasi yang berasal dari pelaporan utang luar negeri oleh penduduk perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung penyusunan statistik utang luar negeri, statistik neraca pembayaran, pengelolaan cadangan devisa, dan perumusan kebijakan moneter; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang kewajiban pelaporan utang luar negeri; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik… -2- Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. 2. Pelapor adalah Penduduk yang memiliki kewajiban utang luar negeri kepada bukan Penduduk. 3. Utang Luar Negeri atau selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing dan atau rupiah, berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat utang (debt securities), utang dagang (trade credits) dan/atau utang lainnya (other loans), kecuali penerusan pinjaman utang pemerintah (two step loan), giro, tabungan, dan deposito. 4. Laporan Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Laporan ULN adalah laporan yang terdiri dari laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya dan laporan data realisasi ULN. 5. Perjanjian… -3- 5. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya plafon kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya. 6. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri. 7. Utang Dagang (Trade Credits) adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang dan/atau jasa. 8. Utang Lainnya (Other Loans) adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), dan Utang Dagang (Trade Credits). 9. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. BAB II PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan ULN serta ketepatan waktu penyampaian Laporan ULN kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 3 ULN yang wajib dilaporkan meliputi: a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement); b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities); c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans). Pasal 4… -4- Pasal 4 Pelapor harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan ULN. Pasal 5 Laporan ULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia. Pasal 6 (1) Bank Indonesia dapat meneliti kebenaran Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), termasuk meminta bukti pembukuan, catatan, dokumen, dan/atau informasi lainnya yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan. (2) Pelapor harus memberikan bantuan yang diperlukan Bank Indonesia dalam rangka meneliti kebenaran atas Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 7 (1) Laporan ULN terdiri dari: a. Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya; dan b. Laporan data realisasi ULN. (2) Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi profil Pelapor dan profil ULN. Pasal 8 Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan ULN yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. BAB IV… -5- BAB IV JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 9 (1) Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), penerbitan Surat Utang (Debt Securities) dan/atau pengakuan utang atas Utang Dagang (Trade Credits) dan/atau Utang Lainnya (Other Loans). (2) Laporan data realisasi ULN wajib disampaikan secara bulanan kepada Bank Indonesia dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya. (3) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 10 (1) Koreksi atas Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan penyampaian laporan. (2) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka koreksi atas Laporan ULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB V PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 11 (1) Laporan ULN disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media online, media offline atau hard copy. (2) Setiap… -6- (2) Setiap Laporan ULN harus disampaikan dengan dokumen pendukung sesuai jenis ULN kepada Bank Indonesia. BAB VI SANKSI Pasal 12 (1) Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pelapor tidak menyampaikan Laporan ULN. Pasal 13 (1) Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data pokok, perubahan data pokok dan/atau laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor. (2) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN, perubahan laporan data pokok ULN dan/atau laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor. (3) Jumlah keseluruhan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Pelapor. (4) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan ULN apabila menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN melampaui batas… -7- batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. Pasal 14 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 disetorkan ke rekening kas negara yang berada di Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelapor setelah diterbitkan surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia kepada Pelapor dengan tembusan kepada kantor kas negara. BAB VII LAIN – LAIN Pasal 15 (1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. (2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB VIII… -8- BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 mulai diberlakukan untuk Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN bulan Juni 2011 yang disampaikan pada bulan Juli 2011. Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini: 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. 2. Peraturan Bank Indonesia No. 11/17/PBI/2009 tanggal 5 Mei 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 2/22/PBI/2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/19/DInt tanggal 22 Juli 2010 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia yang baru. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar… -9- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2010 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 156 DInt -10- PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/ 24 /PBI/2010 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka implementasi kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter melalui berbagai cara yang dianggap efektif. Untuk merumuskan kebijakan moneter tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan data yang lengkap, akurat dan tepat waktu. Salah satu data yang mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam perumusan kebijakan moneter adalah data Utang Luar Negeri (ULN). Sebagaimana diketahui bahwa ULN merupakan salah satu sumber pembiayaan yang penting untuk melanjutkan pembangunan. Namun di sisi lain ULN yang mengalir deras tanpa disertai pemantauan yang ketat dan pengelolaan yang hati- hati dapat berpotensi menjadi ancaman yang serius pada pembangunan ekonomi. Mengingat pentingnya data ULN tersebut, maka Penduduk yang mempunyai ULN dari bukan Penduduk wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Selama ini data ULN dipergunakan untuk mendukung penyusunan neraca pembayaran, pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter. Oleh karena itu sudah seharusnya kualitas data dan cakupan informasi ULN perlu terus menerus ditingkatkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyempurnaan pada ketentuan tentang kewajiban pelaporan ULN yang berlaku saat ini. Dalam penyempurnaan tersebut dilakukan perubahan sistem pelaporan yang diharapkan mempermudah para Pelapor menyampaikan Laporan ULN ke Bank Indonesia. Pengenaan sanksi denda… -11- denda kepada Pelapor yang melanggar ketentuan diubah dengan harapan dapat menjadi pendorong agar Pelapor mematuhi ketentuan yang berlaku, namun juga tidak memberatkan Pelapor. Selain perubahan tersebut, cakupan pelaporan juga diperluas. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, diharapkan kualitas data ULN semakin meningkat sehingga kebijakan moneter yang dirumuskan Bank Indonesia juga semakin efektif. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Laporan ULN dianggap benar apabila data/informasi ULN yang disampaikan sesuai dengan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credits), dan/atau Utang Lainnya (Other Loans) dan realisasinya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi. Laporan ULN dianggap lengkap apabila laporan yang disampaikan oleh Pelapor memenuhi cakupan laporan sebagaimana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Surat Utang (Debt Securities) meliputi antara lain Letter of Credits (LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Bankers Acceptance), obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory Notes (PN) dan Medium Term Notes (MTN). Huruf c… -12- Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 4 Petugas dan/atau penanggung jawab dapat berasal dari internal Pelapor atau berasal dari pihak lain yang diberikan kuasa untuk menyampaikan Laporan ULN. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “data/informasi individual” adalah data/informasi ULN yang diterima oleh Bank Indonesia dari masing-masing Pelapor yang memuat antara lain nama dan alamat pemberi pinjaman maupun peminjam, jumlah pinjaman serta data pokok lainnya terkait dengan pemberi pinjaman dan peminjam. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Laporan data realisasi ULN adalah laporan yang disampaikan secara bulanan atas transaksi penarikan dan pembayaran ULN pada periode laporan. Ayat (2) Profil Pelapor berisi data/informasi mengenai data Pelapor yang memuat antara lain nama, alamat, NPWP, status kepemilikan dan jenis usaha. Profil ULN berisi data/informasi mengenai utang Pelapor yang memuat antara lain status ULN, tanggal penandatanganan, jenis valuta dan jangka waktu. Pasal 8… -13- Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Penyampaian Laporan ULN secara online adalah penyampaian laporan dengan aplikasi Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL) Bank Indonesia menggunakan media internet. Penyampaian Laporan ULN secara offline adalah penyampaian laporan dengan aplikasi SIUL menggunakan antara lain media compact disk, email, USB, dan/atau media sejenis. Penyampaian Laporan ULN secara hardcopy adalah penyampaian laporan tanpa aplikasi SIUL sesuai ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (2) Dokumen pendukung dapat disampaikan dalam bentuk hardcopy maupun melalui faksimili, email, atau sarana lainnya. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15… -14- Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 16 Hal-hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain mengenai tata cara penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5181
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/24/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI </reg_title> <set_date> 29 Desember 2010 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2010 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2010 </issued_date> <replaced_reg> '2/22/PBI/2000', '11/17/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
1 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung sistem pembayaran yang telah berlangsung saat ini diperlukan penyelenggaraan kliring antar Bank yang efisien, lancar, dan aman; b. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan kliring antar Bank yang efisien, lancar, dan aman diperlukan perluasan akses kepesertaan dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang tidak terbatas pada Bank, penambahan jasa layanan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam rangka mengakomodir kebutuhan masyarakat atas transaksi yang bersifat rutin, serta peningkatan perlindungan nasabah pengguna layanan dalam sistem pembayaran; c bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun… -2- Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan dalam rangka memproses perhitungan hak dan kewajiban antar Peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu tertentu. 2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses… -3- memproses Data Keuangan Elektronik pada Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler. 3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik Warkat Debit. 6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 9. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Transfer Dana. 10. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit. 11. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler. 12. DKE… -4- 12. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler. 13. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau Bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit. 14. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 15. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI dan Setelmen Dana dilakukan ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang bersangkutan. 16. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI dan pelaksanaan Setelmen Dana dilakukan melalui bank pembayar. 17. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara dan pelaksanaan Setelmen Dana dilakukan melalui bank penerus. 18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 20. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 21. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. 22. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler. 23. Prefund… -5- 23. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler. 24. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 25. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan transfer dana. 26. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI. 27. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional SKNBI tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, dan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat setempat yang berwenang, termasuk Bank Indonesia. BAB II PRINSIP PENYELENGGARAAN Pasal 2 Penyelenggaraan SKNBI terdiri atas 4 (empat) layanan yaitu: a. Layanan Transfer Dana; b. Layanan Kliring Warkat Debit; c. Layanan Pembayaran Reguler; dan d. Layanan Penagihan Reguler. Pasal… -6- Pasal 3 (1) Setelmen Dana untuk masing-masing layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan hasil perhitungan secara multilateral netting. (2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pembaharuan utang dengan memperhatikan kecukupan dana dari Peserta. (3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. (4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip same day settlement. BAB III PENYELENGGARA Pasal 4 (1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Penyelenggara melakukan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI; b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan SKNBI; c. melaksanakan kegiatan operasional SKNBI; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan SKNBI; dan e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta dan pihak selain Kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dilakukan oleh Penyelenggara dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal… -7- Pasal 5 (1) Penyelenggara dapat menetapkan batas nilai nominal transaksi yang diperhitungkan dalam penyelenggaraan SKNBI. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas nilai nominal transaksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV KEPESERTAAN Bagian Kesatu Peserta Pasal 6 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu: a. Bank Indonesia; b. Bank; dan c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank. (2) Dalam hal Peserta merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan SKNBI untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pasal 7 (1) Berdasarkan jenis kepesertaan, Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri atas: a. PLU; b. PLA; atau c. PTL. (2) Untuk menjadi PLU, PLA, atau PTL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (3) Ketentuan… -8- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan persetujuan kepesertaan dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 PLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b harus menunjuk PLU sebagai bank pembayar. Pasal 9 (1) PTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c harus menunjuk PLU sebagai bank penerus. (2) PLU sebagai bank penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan persetujuan sebagai bank penerus diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 Berdasarkan jenis kepesertaan, pihak yang dapat menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia hanya dapat menjadi PLU; b. Bank hanya dapat menjadi PLU; dan c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya dapat menjadi PLA atau PTL. Pasal 11 (1) Berdasarkan jenis layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, keikutsertaan pihak yang dapat menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia dapat mengikuti seluruh layanan dalam penyelenggaraan SKNBI; b. Bank… -9- b. Bank harus mengikuti seluruh layanan dalam penyelenggaraan SKNBI; dan c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya dapat mengikuti Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Regular. (2) Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang dapat ikut serta dalam Layanan Pembayaran Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang mengelola rekening nasabah. Pasal 12 Dalam hal diperlukan, hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dalam rangka penyelenggaraan SKNBI dapat diatur dalam perjanjian. Bagian Kedua Status dan Perubahan Status Peserta Pasal 13 (1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, berlaku 4 (empat) jenis status kepesertaan yaitu: a. aktif; b. ditangguhkan; c. dibekukan; dan d. ditutup. (2) Dalam hal status Peserta berubah menjadi ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. Pasal 14 (1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (2) Perubahan… -10- (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. dilakukan dalam rangka pengenaan sanksi oleh Penyelenggara; b. dilakukan karena adanya perubahan status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS; c. dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta; dan/atau d. dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan. (3) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberlakukan terhadap seluruh atau sebagian kegiatan dalam layanan SKNBI. (4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat berupa perubahan status dari: a. aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya; b. aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya; c. ditangguhkan menjadi dibekukan atau sebaliknya; d. aktif menjadi ditutup; e. ditangguhkan menjadi ditutup; atau f. dibekukan menjadi ditutup. (5) Perubahan status kepesertaan yang dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya dapat berupa permintaan perubahan status dari aktif menjadi ditutup. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status kepesertaan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian… -11- Bagian Ketiga Kewajiban Peserta Pasal 15 (1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI; b. bertanggungjawab atas kebenaran DKE dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui SKNBI; c. melaksanakan perjanjian dengan Penyelenggara apabila diperlukan dalam rangka penyelenggaraan SKNBI; d. menginformasikan biaya transaksi melalui SKNBI kepada nasabah secara transparan; e. memberikan data dan informasi terkait penyelenggaraan SKNBI kepada Bank Indonesia; f. mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran yang telah disetujui oleh Bank Indonesia; dan g. mematuhi ketentuan lain terkait operasional penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Peserta dalam SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PREFUND Bagian Kesatu Prefund Kredit Pasal 16 (1) Peserta wajib menyediakan Prefund Kredit sesuai waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam melakukan kewajiban penyediaan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk… -12- a. untuk PLU, penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan; dan b. untuk PLA, penyediaan Prefund Kredit dilakukan melalui PLU yang ditunjuk sebagai bank pembayar. (3) Prefund Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dana tunai (cash Prefund). (4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS dalam rekening milik Penyelenggara yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash Prefund). (5) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada SKNBI untuk masing-masing PLU dan PLA. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan Prefund Kredit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Prefund Debit Pasal 17 (1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit sesuai waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Besarnya Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Penyelenggara untuk masing-masing Peserta. (3) Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. dana tunai (cash Prefund); dan/atau b. surat berharga (collateral Prefund). (4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS dalam rekening milik Penyelenggara yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash Prefund). (5) Surat… -13- (5) Surat berharga (collateral Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dalam rekening surat berharga masing-masing PLU yang digunakan khusus untuk menampung surat berharga (collateral Prefund). (6) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan surat berharga (collateral Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada SKNBI untuk masing- masing PLU. (7) Surat berharga (collateral Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat digunakan untuk transaksi lainnya dan tidak dapat dipindahkan ke rekening surat berharga lainnya sampai dengan Setelmen Dana atas Layanan Kliring Debit dan Layanan Penagihan Reguler dilakukan. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan Prefund Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penambahan Prefund Kredit dan Prefund Debit Pasal 18 (1) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Reguler. (2) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. confirmed incoming yaitu DKE Transfer Dana dan/atau DKE Pembayaran masuk dari Peserta lain yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit. (3) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Debit dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam Layanan Kliring Warkat Debit dan/atau Layanan Penagihan Reguler. (4) Total… -14- (4) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari: a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit dan/atau DKE Penagihan masuk dari Peserta lain yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit. Pasal 19 (1) Dalam hal Peserta tidak melakukan penambahan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau tidak melakukan penambahan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka DKE yang tidak didukung oleh Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit yang cukup dibatalkan oleh sistem. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan waktu penambahan Prefund Kredit dan Prefund Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Pengembalian Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit Pasal 20 (1) Penyelenggara akan mengembalikan dana tunai (cash Prefund) yang telah disediakan untuk Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit ke Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank pembayar sesuai periode waktu yang ditetapkan Penyelenggara, dalam hal setelah perhitungan akhir masih terdapat saldo dana tunai (cash Prefund) yang tidak dipergunakan. (2) Pengembalian surat berharga (collateral Prefund) yang telah disediakan untuk Prefund Debit dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dana tunai (cash Prefund)… -15- Prefund) dan surat berharga (collateral Prefund) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI LAYANAN TRANSFER DANA Bagian Kesatu Jenis Transfer Dana Pasal 21 Jenis transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Transfer Dana adalah transfer dana yang berasal dari: a. perintah transfer dana dari Peserta kepada Peserta lainnya; b. perintah transfer dana dari Peserta kepada nasabah Peserta lainnya dan sebaliknya; dan c. perintah transfer dana dari nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lainnya. Bagian Kedua Pelaksanaan Perintah Transfer Dana Pasal 22 (1) Dalam hal nasabah menggunakan Layanan Transfer Dana, Peserta pengirim harus mempersyaratkan kepada nasabah pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk meneruskan perintah transfer dana kepada Peserta penerima, Peserta pengirim harus membuat DKE Transfer Dana sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam membuat DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar. Pasal… -16- Pasal 23 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Peserta pengirim sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Proses Perhitungan Pasal 24 (1) Selama periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan DKE Transfer Dana yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung dengan dana yang cukup. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil perhitungan dalam Layanan Transfer Dana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian… -17- Bagian Keempat Setelmen Dana Pasal 25 (1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank pembayar. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan Transfer Dana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima Pasal 26 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Transfer Dana yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1). (3) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan sesegera mungkin atau paling lama 2 (dua) jam setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku untuk penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada nasabah… -18- nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII LAYANAN KLIRING WARKAT DEBIT Bagian Kesatu Jenis Kegiatan Pasal 27 (1) Layanan Kliring Warkat Debit terdiri atas 2 (dua) kegiatan yaitu: a. kliring penyerahan; dan b. kliring pengembalian. (2) Kegiatan kliring penyerahan dan kliring pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kesatuan siklus dalam Layanan Kliring Warkat Debit. Bagian Kedua Jenis Transfer Debit Pasal 28 (1) Jenis transfer debit yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit adalah transfer debit yang berasal dari Warkat Debit. (2) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. cek; b. bilyet giro; c. nota debit; dan d. Warkat Debit lainnya yang disetujui oleh Penyelenggara untuk dikliringkan. (3) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dikliringkan di wilayah kliring yang terdapat kantor Peserta yang menerbitkan Warkat Debit. (4) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicetak di perusahaan… -19- perusahaan percetakan dokumen sekuriti yang telah memperoleh izin dari lembaga yang berwenang. (5) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Pelaksanaan Perintah Transfer Debit Pasal 29 (1) Dalam menerima Warkat Debit dari nasabah yang akan dikliringkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit, Peserta pengirim harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk mengkliringkan Warkat Debit, Peserta pengirim harus membuat DKE Warkat Debit sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam membuat DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar. Pasal 30 (1) Peserta Pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya Warkat Debit dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer debit dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal… -20- Pasal 31 (1) Pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus disertai dengan penyampaian Warkat Debit kepada kantor Peserta penerima dimana Warkat Debit tersebut dikliringkan. (2) Penyampaian Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan mekanisme pertukaran Warkat Debit yang diselenggarakan oleh kantor Bank Indonesia atau pihak selain kantor Bank Indonesia. (3) Dalam pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kantor Bank Indonesia atau pihak selain kantor Bank Indonesia bertanggung jawab: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan pertukaran Warkat Debit; b. menjaga kelancaran pelaksanaan pertukaran Warkat Debit; c. mengelola administrasi kepesertaan pertukaran Warkat Debit; d. menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka pertukaran Warkat Debit; e. menyediakan fasilitas penyelesaian permasalahan dalam proses Warkat Debit; dan/atau f. menyediakan fasilitas kontinjensi bagi Peserta pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pertukaran Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 (1) Pihak selain kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) yang akan melaksanakan pertukaran Warkat Debit di suatu wilayah kliring harus memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Penyelenggara… -21- (2) Penyelenggara dapat memberikan bantuan keuangan kepada pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah kliring, persetujuan terhadap pihak selain kantor Bank Indonesia yang akan melaksanakan pertukaran Warkat Debit, dan bantuan keuangan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Proses Perhitungan Pasal 33 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan DKE Warkat Debit yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung dengan dana yang cukup. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta. (3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Setelmen Dana Pasal 34 (1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke masing-masing Rekening Setelmen Dana PLU. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan Kliring Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian… -22- Bagian Keenam Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima Pasal 35 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang diterima pada kliring penyerahan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan adanya DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang tidak memenuhi syarat untuk diperhitungkan maka Peserta penerima menolak DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit dalam kliring pengembalian dengan disertai alasan penolakan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan penolakan dan mekanisme penolakan DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 36 (1) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang diterima maka Peserta pengirim wajib meneruskan dana ke rekening nasabah penerima setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana ke rekening nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB… -23- BAB VIII LAYANAN PEMBAYARAN REGULER Bagian Kesatu Jenis Transfer Dana Pasal 37 Jenis transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Pembayaran Reguler adalah transfer dana yang berasal dari: a. perintah transfer dana dari 1 (satu) Peserta pengirim kepada beberapa nasabah di Peserta penerima; b. perintah transfer dana dari beberapa nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu) Peserta penerima; c. perintah transfer dana dari 1 (satu) nasabah di Peserta pengirim kepada beberapa nasabah di Peserta penerima; dan d. perintah transfer dana dari beberapa nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu) nasabah di Peserta penerima. Bagian Kedua Pelaksanaan Perintah Transfer Dana Pasal 38 (1) Dalam hal nasabah menggunakan Layanan Pembayaran Reguler, Peserta pengirim harus mempersyaratkan kepada nasabah pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk meneruskan perintah transfer dana kepada Peserta penerima, Peserta pengirim harus membuat DKE Pembayaran sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam membuat DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar. Pasal… -24- Pasal 39 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Proses Perhitungan Pasal 40 (1) Selama periode waktu pengiriman DKE Pembayaran, Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan DKE Pembayaran yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung dengan dana yang cukup. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Setelmen Dana Pasal 41 (1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat… -25- ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank pembayar. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan Pembayaran Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima Pasal 42 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Pembayaran yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Pembayaran yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima segera setelah pelaksanaan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX LAYANAN PENAGIHAN REGULER Bagian Kesatu Jenis Kegiatan Pasal 43 (1) Layanan Penagihan Reguler terdiri atas 2 (dua) kegiatan yaitu: a. penyerahan tagihan; dan b. pengembalian tagihan. (2) Kegiatan… -26- (2) Kegiatan penyerahan tagihan dan pengembalian tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kesatuan siklus dalam Layanan Penagihan Reguler. Bagian Kedua Jenis Transfer Debit Pasal 44 Jenis transfer debit yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Penagihan Reguler adalah transfer debit yang berasal dari perintah transfer debit dari 1 (satu) nasabah di Peserta pengirim kepada beberapa nasabah di Peserta penerima. Bagian Ketiga Pelaksanaan Perintah Transfer Debit Pasal 45 (1) Peserta pengirim wajib membuat perjanjian dalam rangka pelaksanaan perintah transfer debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan atas perintah transfer debit, Peserta pengirim harus membuat DKE Penagihan sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam membuat DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar. Pasal 46 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal yang tercantum dalam perjanjian sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Penagihan sebagaimana… -27- sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer debit dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Proses Perhitungan Pasal 47 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan DKE Penagihan yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung dengan dana yang cukup. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta. (3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Setelmen Dana Pasal 48 (1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke masing-masing Rekening Setelmen Dana PLU. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan Penagihan Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian… -28- Bagian Keenam Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima Pasal 49 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Penagihan yang diterima pada kegiatan penyerahan tagihan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan adanya DKE Penagihan yang tidak memenuhi syarat untuk diperhitungkan maka Peserta penerima menolak DKE Penagihan dalam kegiatan pengembalian tagihan dengan disertai alasan penolakan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan penolakan dan mekanisme penolakan DKE Penagihan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 50 (1) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas DKE Penagihan yang diterima maka Peserta pengirim wajib meneruskan dana ke rekening nasabah setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1). (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana ke rekening nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X WAKTU OPERASIONAL SKNBI Pasal 51 (1) Penyelenggaraan SKNBI dilakukan pada waktu operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Waktu… -29- (2) Waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. hari operasional; b. jam operasional; c. jam layanan; dan d. periode waktu kegiatan. (3) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional SKNBI sesuai dengan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Penyelenggara dapat melakukan perubahan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Peserta hanya dapat mengajukan permohonan perubahan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu operasional diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN SKNBI Pasal 52 (1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan SKNBI. (2) Penyelenggara dapat membebaskan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (3) Penyelenggara dapat menetapkan batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah. Pasal 53 (1) Penyelenggara dapat meminta kepada Peserta untuk menyampaikan besarnya biaya yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan SKNBI. (2) Penyelenggara dapat mengumumkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. (3) Ketentuan… -30- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XII PENANGANAN DALAM KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Pasal 54 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal pada penyelenggaraan SKNBI dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Penyelenggara, Penyelenggara memberitahukan keadaan tersebut kepada Peserta berikut langkah- langkah penanganan untuk mengatasi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat mengirimkan DKE ke Penyelenggara maka pengiriman DKE dapat dilakukan dengan menggunakan sarana yang disediakan oleh Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Keadaan Tidak Normal dan Keadaan Darurat diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XIII PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA Pasal 55 Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga. BAB XIV PEMANTAUAN KEPATUHAN Pasal 56 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan: a. Peserta; dan b. pihak… -31- b. pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit, terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung. (3) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan, Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib: a. menyampaikan laporan berkala; b. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang diperlukan Penyelenggara terkait penyelenggaraan SKNBI; c. memberikan akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap dokumen, sarana fisik, aplikasi pendukung yang terkait penyelenggaraan SKNBI, dan kegiatan operasional Peserta; dan d. menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan oleh Penyelenggara. (4) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan, pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus menyampaikan laporan berkala kepada Penyelenggara. (5) Dalam rangka pemantauan, Penyelenggara dapat meminta Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk melakukan pengujian terhadap infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional SKNBI. Pasal 57 (1) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara dalam rangka melaksanakan pemantauan kepatuhan Peserta. (2) Pihak lain yang melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemantauan. (3) Ketentuan… -32- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan kepatuhan Peserta dan pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 58 (1) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a wajib dilakukan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu, Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu penyampaian laporan berkala yang ditetapkan Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penyampaian laporan berkala diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 59 Penyelenggara Kliring Lokal beralih fungsi menjadi pihak yang melakukan pertukaran Warkat Debit. Pasal 60 Implementasi penyelenggaraan SKNBI dilakukan secara bertahap. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai (1) tahapan implementasi penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XVI SANKSI Pasal 61 (1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal… -33- Pasal 15 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan. Pasal 62 Peserta yang tidak menginformasikan biaya transaksi dalam penyelenggaraan SKNBI kepada nasabah secara transparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 63 (1) Peserta yang tidak menyediakan Prefund Debit atau menyediakan Prefund Debit namun kurang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), dalam hal tidak tersedianya atau kurangnya Prefund Debit dikarenakan kelalaian Peserta; atau b. penurunan status kepesertaan dalam hal Peserta tidak mampu menyediakan Prefund Debit. (2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Peserta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) sebanyak 6 (enam) kali, Peserta dapat dikenakan sanksi berupa penurunan status kepesertaan. Pasal 64 (1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit dalam Layanan Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu… -34- ribu rupiah) per DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit dalam Layanan Pembayaran Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Pembayaran, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (3) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit dalam Layanan Kliring Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Warkat Debit, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (4) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit dalam Layanan Penagihan Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Penagihan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. Pasal 65 (1) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Tranfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (2) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Warkat Debit sebagaimana… -35- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (3) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Pembayaran, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (4) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Penagihan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. Pasal 66 (1) Peserta pengirim yang tidak mengirimkan DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (2) Peserta penerima yang tidak melakukan penerusan dana kepada nasabah penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. Pasal… -36- Pasal 67 Peserta yang tidak mencetak Warkat Debit di perusahaan percetakan dokumen sekuriti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 68 (1) Peserta yang menerbitkan Warkat Debit tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak melaksanakan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengganggu proses pertukaran Warkat Debit secara otomasi, kantor Bank Indonesia atau pihak selain kantor Bank Indonesia dapat tidak memproses Warkat Debit Peserta dalam pertukaran Warkat Debit. Pasal 69 (1) Dalam hal terjadi penolakan atas DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) yang didasarkan pada alasan tertentu, Peserta pengirim, Peserta penerima, nasabah Peserta pengirim, atau nasabah Peserta penerima dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Warkat Debit yang ditolak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan tertentu penolakan DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang dikenakan sanksi dan pihak yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pihak yang mengenakan sanksi diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 70 Peserta yang tidak memberikan data, informasi, dan/atau dokumen terkait penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal… -37- Pasal 71 (1) Peserta yang tidak memberikan akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan. Pasal 72 (1) Peserta yang tidak menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan. Pasal 73 (1) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejak batas waktu penyampaian pelaporan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 ayat (2), dikenakan sanksi teguran tertulis. (3) Peserta yang tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal teguran tertulis dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan. BAB… -38- BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 75 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/5/PBI/2010 tanggal 12 Maret 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 76 Ketentuan mengenai sanksi pelanggaran atas: a. pembuatan DKE Transfer Dana khusus untuk pengisian kode kota asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1); b. pembuatan DKE Warkat Debit khusus untuk pengisian kode kota asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) c. pembuatan DKE Pembayaran khusus untuk pengisian kode kota asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3); d. pembuatan DKE Penagihan khusus untuk pengisian kode kota asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4); e. batas waktu pengiriman DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1); dan f. batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Pasal… -39- Pasal 77 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 122 DPSP 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia menyelenggarakan kliring antarbank. Infrastruktur yang digunakan dalam penyelenggaraan kliring antarbank adalah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Untuk lebih meningkatkan keamanan, efisiensi, dan kelancaran serta untuk meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas sistem keuangan nasional dengan memperhatikan perluasan akses dan kepentingan nasional, Bank Indonesia memandang perlu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan SKNBI yang telah digunakan sejak 2005 melalui penyempurnaan penyelenggaraan SKNBI. Pokok-pokok penyempurnaan dalam penyelenggaraan SKNBI adalah sebagai berikut: 1. Perluasan akses kepesertaan yang tidak terbatas pada Bank Umum Saat ini kepesertaan SKNBI terbatas pada Bank Umum sehingga transfer dana melalui SKNBI belum dapat sepenuhnya menjangkau masyarakat baik yang belum memiliki rekening maupun masyarakat yang berada di daerah terpencil. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu menetapkan kebijakan untuk memperluas akses… -2- akses kepesertaan SKNBI kepada Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank untuk mendorong masyarakat dapat melakukan transfer dana melalui SKNBI ke seluruh wilayah Indonesia secara aman, murah, dan efisien. Hal ini juga selaras dengan Undang-Undang tentang Transfer Dana dimana penyelenggara transfer dana tidak terbatas pada Bank. 2. Penambahan jasa layanan untuk transaksi yang bersifat rutin Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat atas layanan transaksi yang bersifat rutin seperti pembayaran atau penagihan listrik, telepon, air, dan pembayaran gaji dilakukan penambahan layanan dalam penyelenggaraan SKNBI berupa Layanan Pembayaran Reguler dan Layanan Penagihan Reguler. Kedua jenis layanan baru ini untuk memfasilitasi pembayaran/penagihan rutin yang sudah mulai tumbuh namun masih terbatas pada praktek di perbankan, sehingga selanjutnya dapat menjadi transaksi dari/ke seluruh Peserta melalui SKNBI. 3. Sentralisasi penyelenggaraan Layanan Kliring Warkat Debit Saat ini penyelenggaraan kliring debit dilakukan secara desentralisasi yang tersebar di wilayah kliring di Indonesia. Untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan SKNBI, Layanan Kliring Warkat Debit dilakukan secara sentralisasi. 4. Peningkatan perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI Dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI, dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai: a. kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dalam meneruskan perintah transfer dana melalui SKNBI; b. kewajiban dan tanggung jawab Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabahnya; dan c. penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah. Selain itu, dalam rangka mempercepat efektivitas dana kepada nasabah penerima, pelaksanaan Setelmen Dana akan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional SKNBI. Dengan… -3- Dengan adanya pokok-pokok perubahan tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “multilateral netting” adalah mekanisme perhitungan hak dan kewajiban seluruh Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (2) Pembaharuan utang terjadi karena Penyelenggara menggantikan kedudukan Peserta sebagai pihak yang memiliki hak dari Peserta lainnya atau kewajiban kepada Peserta lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. Dalam hal menggantikan kedudukan Peserta untuk melakukan perhitungan terhadap DKE Peserta yang didukung dana yang cukup. Ayat (3) Setelmen Dana yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules. Oleh karena itu, apabila Peserta dibekukan kegiatan usaha, dicabut izin usaha, dipailitkan dan/atau dilikuidasi, transaksi yang sudah dilakukan sebelum keputusan pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, pailit dan/atau likuidasi tidak menjadi batal dan harus diteruskan dan/atau diperhitungkan. Ayat… ini Penyelenggara -4- Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah prinsip Setelmen Dana yang diterapkan pada tingkat Peserta yaitu: a. Dalam Layanan Transfer Dana, Setelmen Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Transfer Dana oleh Penyelenggara. b. Dalam Layanan Kliring Warkat Debit, Setelmen Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Warkat Debit pada kliring pengembalian oleh Penyelenggara. c. Dalam Layanan Pembayaran Reguler, Setelmen Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Pembayaran oleh Penyelenggara. d. Dalam Layanan Penagihan Reguler, Setelmen Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Penagihan pada kegiatan pengembalian tagihan oleh Penyelenggara. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI antara lain meliputi ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI dalam keadaan normal, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat. Huruf b Yang dimaksud “sarana dan prasarana” antara lain helpdesk, sistem informasi, dan sarana kontinjensi bagi Peserta. Huruf c Yang dimaksud “kegiatan operasional” antara lain melaksanakan kegiatan operasional Sistem Sentral Kliring sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Huruf… -5- Huruf d Upaya menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanaan penyelenggaraan SKNBI antara lain dilakukan dengan menyusun standar layanan minimum penyelenggaraan SKNBI, prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Huruf e Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dan ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan transaksi melalui SKNBI dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Penunjukan bank pembayar oleh PLA dilakukan dalam rangka pelaksanaan Setelmen Dana, penyediaan dan pengembalian Prefund, dan pembayaran kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. Pasal 9 Ayat (1) Penunjukan bank penerus oleh PTL dilakukan dalam rangka pengiriman dan penerimaan DKE, Setelmen Dana, penyediaan dan pengembalian… -6- pengembalian Prefund, dan pembayaran kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat melakukan seluruh fungsi dalam SKNBI sesuai jenis kepesertaan yang bersangkutan. Huruf b Yang dimaksud dengan status “ditangguhkan” adalah Peserta dibatasi kegiatannya dalam layanan SKNBI. Huruf c Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam layanan SKNBI. Huruf d Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam SKNBI dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Ayat… -7- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang melakukan pengawasan” antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran, serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Permintaan tertulis dari lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta didasarkan antara lain atas pertimbangan sebagai berikut: a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Peserta; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha Peserta, pencabutan izin usaha, putusan kepailitan dan/atau likuidasi. Huruf d Cukup jelas. Ayat… -8- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari Peserta antara lain karena peleburan, penggabungan, pemisahan, self-liquidation yang telah disetujui oleh otoritas berwenang, dan pengunduran diri sebagai Peserta. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI, Peserta antara lain melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional SKNBI, termasuk prosedur pengamanan penggunaan SKNBI di lingkungan internal Peserta; b. melakukan pemeriksaan internal yang menjamin keamanan operasional SKNBI; c. melakukan security audit; dan d. memiliki pedoman business continuity plan atau disaster recovery plan. Huruf b Untuk kebenaran DKE, Peserta melakukan pengiriman DKE berdasarkan perintah transfer dana dan perintah transfer debit… -9- debit sesuai format yang diatur oleh masing-masing Peserta, atau berdasarkan Warkat Debit, termasuk menyampaikan data dan informasi yang benar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “biaya transaksi” adalah biaya yang dibebankan oleh Penyelenggara kepada Peserta dan biaya transaksi yang dibebankan oleh Peserta kepada nasabah. Huruf e Yang dimaksud dengan “data dan informasi terkait penyelenggaraan SKNBI” adalah semua data dan informasi sehubungan dengan penyelenggaraan SKNBI oleh Peserta. Huruf f Cukup jelas Huruf g Yang dimaksud dengan “ketentuan lain” antara lain ketentuan mengenai dokumen perusahaan dan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kewajiban penyediaan Prefund Kredit oleh PLU termasuk untuk memenuhi kewajiban penyediaan Prefund Kredit bagi PTL apabila PLU yang bersangkutan bertindak sebagai bank penerus. Huruf… -10- Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System” adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia, penatausahaan surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah, penatausahaan transaksi pasar keuangan, dan penatausahaan surat berharga dalam rangka fasilitas likuiditas intrahari, yang dilakukan secara elektronik. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat… -11- Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki rekening di Peserta dan nasabah yang tidak memiliki rekening di Peserta. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta pengirim yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi perintah transfer dana. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal… -12- Pasal 24 Ayat (1) Perhitungan dalam Layanan Transfer Dana merupakan selisih antara total dana yang dimiliki Peserta dengan total nominal batch DKE Transfer Dana yang dikirim oleh Peserta. Dukungan dana dapat bersumber dari: a. confirmed incoming yaitu DKE Pembayaran yang masuk dari Peserta lainnya yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta penerima yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi DKE Transfer Dana yang diterima. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat… -13- Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kliring penyerahan” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui Penyelenggara. Huruf b Yang dimaksud dengan “kliring pengembalian” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang diperhitungkan dalam kliring penyerahan namun ditolak oleh Peserta penerima berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “cek” adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang ditarik baik atas beban nasabah Peserta atau atas beban Peserta. Huruf… -14- Huruf b Yang dimaksud dengan “bilyet giro” adalah bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro. Huruf c Yang dimaksud dengan “nota debit” adalah Warkat Debit yang digunakan untuk menagih dana kepada peserta lain untuk untung nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan nota debit tersebut. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, ketentuan yang mengatur mengenai bilyet giro, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat… -15- Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta pengirim yang menunjukkan persetujuan untuk mengkliringkan Warkat Debit. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mekanisme pertukaran Warkat Debit di suatu wilayah dapat dilakukan secara otomasi atau manual. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit untuk masing- masing Peserta merupakan off-setting atas DKE Warkat Debit pada Kliring Penyerahan dengan DKE Warkat Debit pada Kliring Pengembalian. Dukungan dana dapat bersumber dari: a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit Peserta pengirim yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta penerima; dan/atau b. dana… -16- b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki rekening di Peserta. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal… -17- Pasal 40 Ayat (1) Perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler merupakan selisih antara total dana yang dimiliki Peserta dengan total nominal batch DKE Pembayaran yang dikirim oleh Peserta. Dukungan dana bersumber dari: a. confirmed incoming yaitu DKE Pembayaran yang masuk dari Peserta lainnya yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”penyerahan tagihan” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui Penyelenggara. Huruf… -18- Huruf b Yang dimaksud dengan ”pengembalian tagihan” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang diperhitungkan dalam penyerahan tagihan namun ditolak oleh Peserta penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perjanjian antara Peserta pengirim dengan billing company untuk menagih kepada Peserta penerima yang telah menerima kuasa pendebetan rekening dari nasabah Peserta penerima yang mempunyai kewajiban pembayaran tagihan kepada billing company. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler untuk masing- masing Peserta merupakan hasil offsetting antara DKE Penagihan pada kegiatan penyerahan tagihan dengan DKE Penagihan pada kegiatan pengembalian tagihan. Dukungan… -19- Dukungan dana dapat bersumber dari: a. confirmed outgoing yaitu DKE Penagihan Peserta pengirim yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta penerima; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya operasional SKNBI. Huruf b Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang ditetapkan Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya operasional SKNBI pada setiap hari operasional. Huruf… -20- Huruf c Yang dimaksud dengan “jam layanan” adalah jam yang ditetapkan Penyelenggara untuk setiap layanan dalam SKNBI, seperti jam Layanan Transfer Dana dan jam Layanan Kliring Warkat Debit. Huruf d Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan dalam SKNBI, seperti periode waktu pengiriman DKE dan periode waktu penyediaan Prefund. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Perubahan waktu operasional antara lain disebabkan: a. adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Penyelenggara; b. adanya perubahan jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; c. adanya permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan dari Peserta; d. adanya permohonan perpanjangan jam Layanan Kliring Warkat Debit suatu wilayah pertukaran Warkat Debit dari kantor Bank Indonesia dan/atau pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit; dan/atau e. alasan lain dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ayat (5) Alasan perubahan periode waktu kegiatan oleh Peserta antara lain disebabkan karena adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Peserta. Ayat… -21- Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Jenis biaya dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain biaya proses DKE dan biaya penggunaan sarana kontijensi di lokasi Penyelenggara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membebaskan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI” adalah membebaskan biaya tertentu pada saat Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Ayat (3) Penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dilakukan dalam rangka perlindungan konsumen. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengumuman besarnya biaya kepada masyarakat dilakukan dalam rangka perlindungan konsumen, antara lain melalui website Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat… -22- Ayat (2) Pemantauan secara langsung dilakukan melalui kunjungan ke lokasi Peserta (onsite visit) secara periodik atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pemantauan tidak langsung dilakukan dengan mekanisme analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara, data dan/atau informasi yang diperoleh Penyelenggara baik dari Peserta, pihak lain, maupun data dan/atau informasi yang ada di Penyelenggara. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pengujian infrastruktur dilakukan dalam rangka memastikan infrastruktur utama dan cadangan yang digunakan oleh Peserta berfungsi dengan baik. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki keahlian antara lain di bidang pengembangan sistem pembayaran, jaringan komunikasi data, dan audit teknologi informasi. Ayat (2) Pihak lain yang wajib merahasiakan keterangan dan data yaitu seluruh anggota komisaris, anggota direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pelaksanaan pemantauan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal… -23- Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Yang dimaksud dengan 1 (satu) periode pemantauan adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta. Pasal 66 Yang dimaksud dengan 1 (satu) periode pemantauan adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Pengenaan sanksi atas penolakan DKE Warkat Debit dalam ayat ini dimaksudkan untuk menjaga integritas Warkat Debit sebagai alat pembayaran nontunai dan memberikan edukasi kepada Bank dan nasabah agar lebih berhati-hati dengan memperhatikan persyaratan formal dalam melakukan penarikan Warkat Debit sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat… -24- masyarakat yang menerima pembayaran dengan menggunakan Warkat Debit tersebut. Contoh alasan penolakan Warkat Debit antara lain saldo tidak cukup, rekening telah ditutup. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5704
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/9/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 29 Mei 2015 </set_date> <effective_date> 5 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 5 Juni 2015 </issued_date> <replaced_reg> '12/5/PBI/2010', '7/18/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA per NOMOR: 7/35/PBI/2005 pas TENTANG pa PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA pa NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM pa YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA p BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan dan perkembangan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah agar dapat melayani seluruh lapisan masyarakat, maka diperlukan penyesuaian terhadap kebijakan yang permodalan; berkaitan dengan pengaturan b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor … -2 - Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN:pass Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I Passa Ketentuan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4434) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Pasal Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Pasal II … -3 - Pasal II pasal Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 29 September 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 90 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/35/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Dengan meningkatnya preferensi masyarakat perbankan syariah saat ini, maka kebutuhan melaksanakankan kegiatan meningkat. Dalam rangka memenuhi pelayanan perbankan syariah pertambahan agar mampu melayani akan terhadap jasa pelayanan bank usaha berdasarkan prinsip syariah kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan jumlah bank umum yang melaksanakan kegiatan umum yang semakin jasa tersebut, maka usaha berdasarkan prinsip syariah beserta jaringan kantornya merupakan suatu keharusan seluruh lapisan masyarakat membutuhkan. Sehubungan dengan hal memungkinkan hal tersebut yang tersebut, maka diperlukan kebijakan yang terwujud dengan tetap memperhatian prinsip kehati-hatian dan semangat dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yaitu program penguatan struktur perbankan nasional. Kebijakan tersebut berupa penyesuaian ketentuan permodalan bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. PASAL … -2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Modal disetor sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai di luar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perkoperasian. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4536
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/35/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 29 September 2005 </set_date> <effective_date> 29 September 2005 </effective_date> <changed_reg> '6/24/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 19 /PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mengakomodasi perkembangan transaksi operasi moneter dan transaksi di pasar keuangan, Bank Indonesia melakukan pengembangan infrastruktur transaksi operasi moneter dan transaksi di pasar keuangan; b. bahwa ketentuan Bank Indonesia mengenai lelang dan penatausahaan Surat Berharga Negara belum mengakomodasi penggunaan infrastruktur untuk transaksi di pasar keuangan yang telah dikembangkan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun -2- 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); dan 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA. -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5457), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 10, dan angka 11 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah Surat Berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana -4- dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat mengikuti lelang SBN sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 9. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 10. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 11. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 12. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia. 13. Free of Payment yang selanjutnya disingkat FoP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen -5- surat berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan fungsi sebagai agen lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: a. mengumumkan rencana lelang SBN; b. melaksanakan lelang SBN; c. menyampaikan hasil penawaran lelang SBN kepada Menteri; dan d. mengumumkan keputusan hasil lelang SBN. (2) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN dengan menggunakan sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Sarana yang digunakan dalam pelaksanaan lelang SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015. -6- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 November 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 274 -1- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/19/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA I. UMUM Dalam rangka mendukung peran Bank Indonesia sebagai agen lelang, Bank Indonesia mengembangkan infrastruktur transaksi pasar keuangan yang dapat mengakomodasi perkembangan transaksi Pemerintah yang terintegrasi dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. -2- Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5763
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/19/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title> <set_date> 12 November 2015 </set_date> <effective_date> 16 November 2015 </effective_date> <issued_date> 12 November 2015 </issued_date> <changed_reg> '10/13/PBI/2008' </changed_reg> <extension_of> '15/9/PBI/2013' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/30/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan Operasi Pasar Terbuka, Bank Indonesia perlu mengatur kembali kegiatan Operasi Pasar Terbuka di pasar uang baik Rupiah maupun valuta asing; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan … -2- 2. Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No.6/33/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4463), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 4 Kegiatan OPT di pasar uang Rupiah meliputi : a. penerbitan SBI; b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. penyediaan ... -3- c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI); d. fine tune operation (FTO).” 2. Diantara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 2 pasal baru yaitu Pasal 4B dan Pasal 4C yang berbunyi sebagai berikut : ”Pasal 4B Kegiatan OPT di pasar valuta asing dalam rangka sterilisasi/intervensi Bank Indonesia dilakukan melalui kegiatan jual beli valuta asing terhadap Rupiah antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap. Pasal 4C Kegiatan OPT di pasar valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4B untuk transaksi swap ditetapkan memiliki jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari.” 3. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah serta menambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 14 (1) Bank yang mengikuti kegiatan OPT di pasar uang Rupiah secara langsung (untuk kepentingan sendiri atau kepentingan pihak lain non bank) maupun tidak langsung wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dan atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi. (2) Pihak lain yang mengikuti kegiatan OPT di pasar uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank yang ditunjuknya untuk penyelesaian pembayaran dan atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi. (3) Dalam ... -4- (3) Dalam hal Bank atau pihak lain yang mengikuti OPT di pasar uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), transaksi OPT di pasar uang Rupiah yang bersangkutan dinyatakan batal. (4) Bank yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi.” 4. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 16A (1) Dalam hal Bank yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) , Bank wajib membayar nominal transaksi pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b.kewajiban membayar yang dihitung atas dasar : 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta US Dollar; 2. suku ... -5- 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar; 3. suku bunga Bank Indonesia (BI rate ) yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. (3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui : a. pendebetan rekening giro valuta US Dollar Bank pada Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran Bank dalam valuta asing. Untuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar, digunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 W.I.B. pada tanggal pembebanan, b. pendebetan rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran Bank dalam Rupiah.” Pasal ... -6- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 15 September 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 September 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 84 DPD/DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/30/ PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4B Yang dimaksud dengan spot adalah transaksi jual/beli antara 2 (dua) valuta dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi tersebut dimungkinkan untuk dinegosiasikan dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan forward adalah transaksi jual/beli antara 2 (dua) valuta dengan penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang … - 2 - Yang dimaksud dengan swap adalah transaksi pertukaran 2 (dua) valuta melalui pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Pasal 4C Cukup jelas. Angka 3 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam Rupiah. Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang ditunjuk. Angka 4 Pasal 16A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4533 DPD/DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/30/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 13 September 2005 </set_date> <effective_date> 15 September 2005 </effective_date> <changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg> <extension_of> '6/33/PBI/2004' </extension_of> <related_reg> '3/UU/2004', '4/9/PBI/2002', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 16A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/16/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan syariah perlu dijaga untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter; b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas perbankan syariah dengan tetap memperhatikan peran perbankan syariah dalam menjalankan fungsi intermediasi; c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas perbankan syariah melalui kebijakan giro wajib minimum; d. bahwa dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan giro wajib minimum; e. bahwa ... - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank ... - 3 - 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia atau OJK untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam Rupiah dan valuta asing. 7. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 8. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 9. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 10. Pembiayaan ... - 4 - 10. Pembiayaan Bank yang selanjutnya disebut Pembiayaan adalah aktiva Bank dalam bentuk pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah, piutang, dan ijarah. 11. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 12. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam Rupiah maupun valuta asing. 13. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah. 14. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam Rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 15. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh bank secara harian kepada Bank Indonesia, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. BAB II PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah. (2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing. Pasal 3 ... - 5 - Pasal 3 (1) GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam Rupiah. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah kurang dari 80% (delapan puluh persen) dan: a. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah; b. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam Rupiah; atau c. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah. (3) Bagi Bank: a. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah sebesar 80% (delapan puluh persen) atau lebih; dan/atau b. yang memiliki DPK dalam Rupiah sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah), tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 4 ... - 6 - Pasal 4 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) kepada Bank yang melakukan merger atau konsolidasi. (2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. (3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kewajiban pemenuhan tambahan GWM dalam Rupiah. (4) Pemberian kelonggaran GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank Indonesia yang disertai persetujuan dari OJK mengenai pemberian insentif merger atau konsolidasi berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah. Pasal 5 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 6 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu. BAB III REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 7 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2) Bank ... - 7 - (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukuan, penyetoran, penarikan, dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. Pasal 8 Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas kewajiban memelihara Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). BAB IV PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 9 (1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 secara harian. (2) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membandingkan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Pasal 10 (1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) masing-masing terdiri dari: a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank; b. saldo Rekening Giro Valas Bank. (2) Informasi ... - 8 - (2) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. Pasal 11 (1) DPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) terdiri dari: a. jumlah DPK dalam Rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam Rupiah meliputi kewajiban dalam Rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. simpanan berjangka; dan c. kewajiban-kewajiban lainnya. (4) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diperoleh dari data DPK dalam Rupiah dan valuta asing yang disampaikan Bank pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. BAB V... - 9 - BAB V TATA CARA PERHITUNGAN RASIO PEMBIAYAAN DALAM RUPIAH TERHADAP DANA PIHAK KETIGA DALAM RUPIAH Pasal 12 (1) Rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah dihitung dengan membandingkan jumlah Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya. (2) Pembiayaan dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data Pembiayaan yang disampaikan Bank pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. (3) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data giro, tabungan, deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu yang disampaikan Bank pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. BAB VI PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 13 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung; b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau c. Bank Indonesia menggunakan data hasil pemeriksaan OJK. BAB VII ... - 10 - BAB VII SANKSI Pasal 14 Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut: 1. Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari pelanggaran. 2. Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh Bank. 3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. 4. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada angka 3 dibayarkan dalam Rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. Pasal 15 ... - 11 - Pasal 15 Sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b angka 1 dan 2 dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), sepanjang kekurangan GWM dalam Rupiah tidak lebih dari 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah. Pasal 16 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui kekurangan atau kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. (4) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka atas kekurangan tersebut dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA. (6) Dalam ... - 12 - (6) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kewajiban membayar dihitung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b angka 2. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/23/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4649); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/23/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4908), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2013. Agar ... - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 236 DKMP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/16/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Pengelolaan likuiditas perbankan syariah perlu dilakukan agar transmisi kebijakan moneter melalui sistem perbankan dapat berlangsung secara optimal melalui peran Bank dalam sistem pembayaran, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan fungsi intermediasi dalam penyaluran kredit. Sebagai salah satu pelaku di sistem keuangan, kondisi likuiditas perbankan syariah dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, sehingga upaya untuk menjaga kecukupan likuiditas perbankan syariah perlu terus dilakukan secara terukur agar berjalan searah dengan pertumbuhan asetnya. Kebijakan penguatan likuiditas perbankan syariah dilakukan dengan mempertimbangkan dampak terhadap kondisi makroekonomi, kondisi sistem perbankan syariah secara keseluruhan, dan kondisi Bank secara individual. Selain itu, mengingat karakteristik operasional Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah berbeda dengan bank umum konvensional maka ketentuan mengenai GWM bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tetap harus mempertimbangkan karakteristik operasionalnya dan kesesuaian dengan kaedah-kaedah fikih. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 ... - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pemenuhan GWM dalam Rupiah dilakukan tanpa memperhatikan rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah dan jumlah DPK dalam Rupiah yang dimiliki Bank. Ayat (2) Huruf a Contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah DPK dalam Rupiah Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah sebesar: 1. 5% (lima persen) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); ditambah dengan 2. 1% (satu persen) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Huruf b Contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah DPK dalam Rupiah Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah sebesar: 1. 5% (lima persen) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan 2. 2% (dua persen) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Huruf c ... - 3 - Huruf c Contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah DPK dalam Rupiah Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah sebesar: 1. 5% (lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan 2. 3% (tiga persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 5% (lima persen) berubah menjadi sebesar 4% (empat persen). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing : Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). GWM ... - 4 - GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal 31 Januari 2014 adalah sebesar : 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pasal 6 Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter dan sistem keuangan. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam rangka melaksanakan kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing, Bank melakukan penyetoran valuta asing untuk untung rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York, New York (FRB). Selanjutnya Bank mengirimkan informasi penyetoran valuta asing tersebut kepada Bank Indonesia secara tertulis antara lain melalui sarana SWIFT atau surat, paling lambat pukul 14.00 WIB pada tanggal valuta. Dalam hal Bank melakukan penarikan pada Rekening Giro Valas, permintaan penarikan telah diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 5 - Ayat (2) Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Persentase GWM Bank dalam Rupiah atau valuta asing sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Pasal 10 Ayat (1) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank adalah saldo Rekening Giro UUS. Ayat (2) ... x 100% - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, DPK adalah DPK yang dilaporkan UUS. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” dalam Rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam Rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka” dalam Rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam Rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (3) ... - 7 - Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka” dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah adalah sebagai berikut: Jumlah Pembiayaan dalam Rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya Jumlah DPK dalam Rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya Rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan dan DPK Bank sebagai berikut: a. penentuan ... x 100% - 8 - a. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam Rupiah tanggal 23 bulan sebelumnya; b. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam Rupiah pada tanggal akhir bulan sebelumnya; c. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam Rupiah tanggal 7 bulan yang sama; d. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam Rupiah tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada OJK. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... - 9 - Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja. Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU. Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM dalam Rupiah yaitu: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x hari pelanggaran 360 Contoh 1 perhitungan sanksi: Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan rata-rata harian DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank A adalah sebesar: a. 5% (lima persen) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); ditambah dengan b. 1% (satu persen) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau 5% (lima persen) dari DPK dalam Rupiah maka terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Apabila ... - 10 - Apabila Tingkat Indikasi Imbalan SIMA di tanggal 24 Januari 2014 sebesar 5% (lima persen), perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM Rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x hari pelanggaran 360 yaitu Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5% x 1 360 Contoh 2 perhitungan sanksi: Bank B memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dan rata-rata harian DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah). GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31Januari 2014 adalah sebesar 5% (lima persen) dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) yaitu sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah). Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Apabila Tingkat Indikasi Imbalan SIMA di tanggal 24 Januari 2014 sebesar 5% (lima persen), perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam Rupiah untuk Bank B pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: Kekurangan ... - 11 - Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x hari pelanggaran 360 yaitu Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5% x 1 360 Angka 2 Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan adalah rata-rata tingkat imbalan deposito mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada LHBU. Angka 3 Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar: 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut: 0,04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat puluh dolar Amerika Serikat). Angka 4 ... - 12 - Angka 4 Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA di pasar perdana yang diperoleh dari LHBU. Contoh: Tanggal 20 Januari 2014: Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM Rp120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah). Maka jumlah tambahan kewajiban membayar adalah: (120.000.000.000-100.000.000.000) x 150% X Tingkat Indikasi Imbalan SIMA X 1 360 Tanggal 23 Januari 2014: Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah). Sanksi kewajiban membayar kekurangan ... - 13 - kekurangan GWM Rp130.000.000.000,00 (seratus tiga puluh miliar rupiah). Maka jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal 23 Januari 2014 hanya sebesar: (130.000.000.000-80.000.000.000) x 150% X Tingkat Indikasi Imbalan SIMA X 1 360 tanpa memperhitungkan jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal 20 Januari 2014 yang belum dapat dipenuhi oleh Bank yang bersangkutan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5479
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/16/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date> <replaced_reg> '8/23/PBI/2006', '6/21/PBI/2004', '10/23/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/22/PBI/2010 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis, khususnya dalam perkembangan pasar valuta asing domestik; b. bahwa dengan perkembangan kegiatan pengiriman uang di luar jasa perbankan, pedagang valuta asing dapat turut berperan dalam kegiatan pengiriman uang; c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang berkesinambungan, pedagang valuta asing perlu melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati- hatian dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pedagang valuta asing; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 3 - 5. Tahun 2010 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing (banknotes), yang selanjutnya disebut UKA, adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender). 2. Traveller’s Cheque, yang selanjutnya disebut TC, adalah cek perjalanan dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. 3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 4. Pedagang Valuta Asing (money changer), yang selanjutnya disebut PVA, adalah perusahaan yang melakukan jual beli UKA dan pembelian TC. 5. PVA … - 4 - 5. PVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas bukan bank yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 6. PVA Bank adalah bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, Bank Perkreditan Rakyat, atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 7. Bank Umum Bukan Bank Devisa adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang belum memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 8. Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang belum memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 9. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 10. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 11. Pengiriman … - 5 - 11. Pengiriman Uang (money remittance) adalah kegiatan pengiriman uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang. 12. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, yang untuk selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT, adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada PVA Bukan Bank. 13. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 14. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 15. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PVA. 16. Laporan Kegiatan Usaha, yang selanjutnya disebut LKU, adalah laporan transaksi pembelian dan penjualan UKA, laporan transaksi pembelian dan pencairan TC, serta laporan transaksi kegiatan usaha Pengiriman Uang. BAB II JENIS DAN KEGIATAN USAHA PVA Pasal 2 PVA terdiri dari: a. PVA Bukan Bank; b. PVA Bank Pasal … - 6 - Pasal 3 (1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA terdiri dari: a. jual dan beli UKA; dan b. pembelian TC. (2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang dengan tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha pengiriman uang. Pasal 4 PVA dilarang: a. bertindak sebagai agen penjual TC; b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi derivatif lainnya untuk kepentingan nasabah; dan/atau c. melakukan kegiatan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 5 Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan mekanisme pasar. BAB … - 7 - BAB III PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK Bagian Kesatu Badan Hukum dan Modal Disetor PVA Bukan Bank Pasal 6 PVA Bukan Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dengan ketentuan : a. maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan jual beli UKA dan pembelian TC; dan b. pemegang saham perseroan terdiri dari warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Pasal 7 (1) Modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank ditetapkan paling sedikit sebesar : a. Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah), bagi PVA Bukan Bank yang didirikan di wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam; atau b. Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), bagi PVA Bukan Bank yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a. (2) Modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Bagian … - 8 - Bagian Kedua Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham Pasal 8 Direksi dan Dewan Komisaris PVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. c. d. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem informasi kredit pada Bank Indonesia; tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; f. tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Dewan Komisaris dari suatu perseroan terbatas dengan kegiatan usaha PVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia karena pelanggaran, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan g. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan mengenai pedagang valuta asing dan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal … - 9 - Pasal 9 Pemegang saham PVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. perorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; c. d. tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem informasi kredit pada Bank Indonesia; tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan f. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 10 Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank dilarang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan PVA Bukan Bank sebagai sarana. Bagian … - 10 - Bagian Ketiga Perizinan PVA Bukan Bank Paragraf 1 PVA Bukan Bank Pasal 11 (1) PVA Bukan Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) setelah mendapat izin usaha sebagai PVA dari Bank Indonesia. (2) Izin usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dialihkan kepada pihak lain. (3) Persyaratan dan tata cara permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi tempat usaha pemohon izin usaha PVA Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen permohonan izin usaha PVA Bukan Bank dengan kondisi di lapangan, kelayakan lokasi dan kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pemohon izin usaha PVA Bukan Bank memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. (3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon. Pasal … - 11 - Pasal 13 (1) Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pemohon izin usaha PVA Bukan Bank harus menghadiri penyuluhan ketentuan terkait dengan PVA yang diadakan oleh Bank Indonesia. (2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah hasil pemeriksaan di lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dinyatakan layak oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pemohon izin usaha PVA Bukan Bank tidak menghadiri penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia, maka pemohon izin usaha PVA Bukan Bank dinyatakan membatalkan permohonannya. (4) Dalam hal seluruh Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pemohon izin usaha PVA Bukan Bank telah menghadiri penyuluhan ketentuan terkait dengan PVA yang diadakan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia menerbitkan izin usaha sebagai PVA. Paragraf 2 PVA Bukan Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang Pasal 14 (1) PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. (2) PVA Bukan Bank yang memperoleh izin kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib melakukan penyesuaian atas kebijakan dan prosedur penerapan program … - 12 - program APU dan PPT dengan memuat kebijakan dan prosedur APU dan PPT untuk kegiatan usaha Pengiriman Uang. (3) Persyaratan dalam pengajuan permohonan izin untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam melaksanakan kegiatan usaha Pengiriman Uang, PVA Bukan Bank wajib tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 15 (1) Bagi pemohon izin usaha PVA Bukan Bank yang sekaligus mengajukan permohonan izin untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pedagang valuta asing dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang. (2) Jangka waktu pemberian izin atau penolakan secara tertulis permohonan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang, tidak berlaku bagi permohonan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diajukan bersamaan dengan permohonan izin usaha PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Persyaratan dan tata cara permohonan untuk mendapatkan izin usaha PVA Bukan Bank yang sekaligus mengajukan permohonan izin untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … - 13 - Bagian Keempat Kewajiban PVA Bukan Bank Pasal 16 PVA Bukan Bank wajib memasang: a. logo PVA berizin; b. tulisan “Pedagang Valuta Asing Berizin” (“Authorized Money Changer”); dan c. sertifikat izin usaha. Bagian Kelima Pembukaan Kantor Cabang dan Gerai (Counter) PVA Bukan Bank Paragraf 1 Pembukaan Kantor Cabang Pasal 17 (1) Pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan pembukaan kantor cabang PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dialihkan kepada pihak lain. (3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … - 14 - Pasal 18 Bagi PVA Bukan Bank yang akan membuka kantor cabang di wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung, dan/atau Kotamadya Batam harus mempunyai modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah). Pasal 19 (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi tempat usaha kantor cabang PVA Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen permohonan persetujuan pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank dengan kondisi di lapangan, kelayakan lokasi dan kesiapan pembukaan kantor cabang. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 18. (3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada PVA Bukan Bank. Pasal 20 Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan pembukaan kantor cabang, dalam hal lokasi usaha kantor cabang PVA Bukan Bank dinyatakan layak. Paragraf … - 15 - Paragraf 2 Pembukaan Gerai (Counter) Pasal 21 (1) Pembukaan gerai (counter) di luar kantor PVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (2) Gerai (counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dengan jangka waktu tertentu dan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. (3) Persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan pembukaan gerai (counter) oleh PVA Bukan Bank diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam Pemindahan Alamat Kantor PVA Bukan Bank Pasal 22 (1) Pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Persyaratan dan tata cara permohonan pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Bagi PVA Bukan Bank yang akan memindahkan alamat kantor pusat dan/atau kantor cabang ke wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung, dan/atau Kotamadya Batam harus mempunyai modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah). Pasal … - 16 - Pasal 24 (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi baru alamat kantor PVA Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen permohonan persetujuan pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank dengan kondisi di lapangan, kelayakan lokasi dan kesiapan kantor yang baru. (2) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada PVA Bukan Bank. Pasal 25 Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan pemindahan alamat kantor, dalam hal lokasi usaha PVA Bukan Bank dinyatakan layak. Bagian Ketujuh Perubahan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pemegang Saham PVA Bukan Bank Pasal 26 (1) Dalam hal PVA Bukan Bank akan melakukan perubahan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham, maka calon Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya. (2) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau perubahan pemegang saham PVA Bukan Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia wajib dilaporkan oleh PVA Bukan Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. Pasal … - 17 - Pasal 27 Calon Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 harus : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau Pasal 9; dan b. menghadiri penyuluhan mengenai ketentuan yang terkait dengan PVA yang diadakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 28 (1) Bank Indonesia memerintahkan kepada pemegang saham untuk melakukan penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris, dalam hal Direksi dan/atau Dewan Komisaris terlibat tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (2) Bank Indonesia memerintahkan kepada pemegang saham untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak lain, dalam hal pemegang saham terlibat tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bagian Kedelapan Perubahan Nama, Modal Dasar dan/atau Modal Disetor PVA Bukan Bank Pasal … - 18 - Pasal 29 Perubahan nama Perseroan Terbatas PVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia setelah perubahan tersebut memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang. Pasal 30 (1) Perubahan modal dasar dan/atau modal disetor PVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia setelah memperoleh persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (2) Jumlah modal disetor PVA Bukan Bank setelah mengalami perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Bagian Kesepuluh Penghentian Sementara atau Permanen Kegiatan Usaha PVA Bukan Bank Paragraf 1 Penghentian Sementara Kegiatan Usaha PVA Bukan Bank Pasal 31 (1) PVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam hal melakukan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang bersifat sementara. (2) Penghentian … - 19 - (2) Penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 6 (enam) bulan. (3) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara wajib membuka kembali kegiatan usaha kantor pusat dan/atau kantor cabang setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melaporkan pembukaan tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara. (4) PVA Bukan Bank dapat membuka kembali kegiatan usaha yang bersifat sementara sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan wajib melaporkan pembukaan tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak dibukanya kembali kegiatan usaha. Paragraf 2 Penghentian Permanen Kegiatan Usaha PVA Bukan Bank Pasal 32 (1) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha secara permanen, wajib melaporkan penghentian tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal penghentian kegiatan usaha secara permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kantor pusat dan seluruh kantor cabang, maka laporan wajib melampirkan dokumen: a. alasan penghentian; b. fotokopi … - 20 - b. fotokopi risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penghentian kegiatan usaha PVA Bukan Bank; c. pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah-langkah penyelesaian kewajiban yang terkait dengan kegiatan PVA Bukan Bank telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham. (3) Dalam hal penghentian kegiatan usaha secara permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap seluruh atau sebagian kantor cabang, maka laporan wajib memuat alasan penghentian. (4) Atas penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan seluruh kantor cabang secara permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin usaha PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku. (5) Atas penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), persetujuan pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku. BAB IV PEDAGANG VALUTA ASING BANK Bagian Pertama Perizinan PVA Bank Pasal 33 PVA Bank melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal … - 21 - Pasal 34 (1) Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa, BPR, atau BPRS yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. mencantumkan rencana kegiatan usaha sebagai PVA dalam Rencana Bisnis Bank bagi bank umum bukan bank devisa dan Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja bagi BPR atau BPRS; dan c. menyertakan rencana kesiapan operasional. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus untuk BPR atau BPRS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki tingkat kesehatan selama 12 (dua belas) bulan terakhir tergolong sehat; dan b. memenuhi persyaratan modal disetor dan kepengurusan sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) berdasarkan data Bank Indonesia. Pasal 35 Penyampaian permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut: a. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat … - 22 - Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; b. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang juga melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; c. bagi Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Perkreditan Rakyat; atau e. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa, BPR atau BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang mewilayahi bank dimaksud. Pasal 36 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan … - 23 - (2) Pelaksanaan kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal persetujuan dari Bank Indonesia dikeluarkan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PVA Bank tidak melaksanakan kegiatan PVA, persetujuan yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (4) Pelaksanaan kegiatan PVA wajib dilaporkan oleh kantor pusat bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan PVA. Bagian Kedua Pelaksanaan Kegiatan PVA pada Kantor-Kantor Bank Pasal 37 (1) PVA Bank dapat melakukan kegiatan PVA pada kantor-kantor di luar kantor pusat sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rencana kantor bank yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA telah tercantum dalam Rencana Bisnis Bank bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa dan Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa, atau Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja bagi BPR dan BPRS; dan b. melaporkan rencana tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan kegiatan PVA disertai dengan rencana kesiapan operasional. (2) PVA Bank wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan PVA di kantor bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan PVA. Bagian … - 24 - Bagian Ketiga Penghentian Kegiatan Usaha PVA Bank Pasal 38 (1) PVA Bank dapat menghentikan seluruh kegiatan usaha sebagai PVA di kantor pusat dan di kantor-kantor lainnya dengan terlebih dahulu menyampaikan rencana penghentian tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tanggal penghentian kegiatan usaha sebagai PVA, dilampiri dengan dokumen: a. alasan penghentian; b. pernyataan dari PVA Bank bahwa seluruh hak dan kewajiban yang terkait dengan kegiatan PVA Bank yang dilaksanakan sebelum tanggal penghentian telah diselesaikan dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PVA Bank. (2) Persetujuan penghentian kegiatan usaha sebagai PVA disampaikan oleh Bank Indonesia kepada PVA Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah surat permohonan penghentian kegiatan usaha sebagai PVA diterima lengkap oleh Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penghentian kegiatan PVA. Pasal 39 (1) PVA Bank dapat menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA pada satu atau lebih kantor-kantor di luar kantor pusat bank. (2) Pelaksanaan … - 25 - (2) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor-kantor di luar kantor pusat bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor bank dengan disertai alasan penghentian. Pasal 40 Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (3), Pasal 39 ayat (2) dilakukan oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut: a. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; b. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang juga melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; c. bagi Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350; atau e. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa, BPR, dan/atau BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor … - 26 - Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang mewilayahi bank dimaksud. Bagian Keempat Saldo Harian Pos Aktiva Dalam Valuta Asing Pasal 41 PVA Bank diperbolehkan memiliki saldo harian pos aktiva dalam valuta asing paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor. Bagian Kelima Status PVA Bagi Bank Yang Dibekukan atau Dicabut Izin Usaha Pasal 42 Persetujuan PVA Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dinyatakan tidak berlaku dalam hal seluruh kegiatan usaha Bank yang bersangkutan dibekukan atau izin usaha Bank dicabut oleh otoritas yang berwenang. Pasal 43 (1) BPR dan BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus, belum memenuhi ketentuan modal disetor, atau kepengurusan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat melakukan kegiatan usaha sebagai PVA. (2) Kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kembali setelah BPR dan BPRS yang bersangkutan dikeluarkan dari … - 27 - dari status pengawasan khusus, memenuhi ketentuan modal disetor dan kepengurusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB V ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME (APU DAN PPT) Pasal 44 PVA wajib menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 45 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA. (2) Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung. (3) Dalam melakukan pengawasan terhadap PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat menyampaikan surat pembinaan yang wajib ditindaklanjuti oleh PVA Bukan Bank. (4) Pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bank dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengawasan bank. Pasal … - 28 - Pasal 46 (1) Pengawasan langsung bagi PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap PVA Bukan Bank. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara umum dan/atau khusus. Pasal 47 (1) Dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap PVA Bukan Bank. (2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pemeriksaan yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan b. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia. Pasal 48 (1) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), PVA wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan akurat. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. bagi … - 29 - a. bagi PVA Bank: 1. laporan berkala berupa LKU 2. laporan lainnya setiap waktu apabila diperlukan. b. bagi PVA Bukan Bank: 1. laporan berkala yang terdiri dari LKU dan laporan keuangan. 2. laporan lainnya setiap waktu apabila diperlukan. (3) PVA wajib melakukan pencatatan transaksi dan menyimpan dokumen dan warkat yang berhubungan dengan transaksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 49 Batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) diatur sebagai berikut: a. PVA Bank dan PVA Bukan Bank wajib menyampaikan LKU setiap triwulan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. b. PVA Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib menyampaikan LKU setiap bulan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. c. PVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan keuangan paling lambat pada akhir bulan Maret tahun berikutnya. Pasal 50 (1) PVA Bukan Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala, apabila laporan berkala tidak disampaikan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (2) Dalam … - 30 - (2) Dalam hal tanggal berakhirnya jangka waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka laporan berkala disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 51 (1) PVA Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala, apabila laporan berkala disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya batas waktu tersebut. (2) PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala, apabila Bank Indonesia belum menerima laporan berkala sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala, hal tersebut tidak meniadakan kewajiban PVA Bank untuk menyampaikan laporan berkala kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka laporan berkala disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 52 (1) Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), PVA wajib menyampaikan: a. laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa; dan b. laporan … - 31 - b. laporan transaksi keuangan mencurigakan, dan laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif tertentu. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII SANKSI Bagian Pertama PVA Bukan Bank Pasal 53 Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut: a. b. teguran tertulis pertama; teguran tertulis kedua; c. peringatan khusus; d. pencabutan izin usaha. Pasal 54 (1) Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak … - 32 - a. tidak memasang logo PVA berizin, tulisan “Pedagang Valuta Asing Berizin” (“Authorized Money Changer”), dan sertifikat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; b. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; c. tidak melaporkan pembukaan gerai (counter) di luar kantor PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; e. melakukan perubahan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; f. g. h. tidak melaporkan perubahan nama Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; tidak melaporkan perubahan modal dasar dan/atau modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); i. tidak melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha setelah penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dan (4); j. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; k. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b secara lengkap, benar dan akurat; l. terlambat … - 33 - l. terlambat menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan lainnya hingga batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49; dan/atau m. tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang. (2) Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak menindaklanjuti teguran tertulis pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis pertama; dan/atau b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kedua kali dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis pertama. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. melakukan kegiatan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan PVA Bukan Bank sebagai sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; c. tidak … - 34 - c. tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; d. tidak menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44; e. tidak menindaklanjuti surat pembinaan berdasarkan hasil pemeriksaan hingga batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); dan/atau f. tidak menindaklanjuti teguran tertulis kedua paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis kedua; (4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA Bukan Bank: a. tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan khusus; atau b. apabila diketahui kemudian bahwa modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang. Pasal 55 PVA Bukan Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), izin usahanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal … - 35 - Pasal 56 Dalam hal PVA Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang melakukan pelanggaran pada kegiatan usaha PVA dan/atau kegiatan usaha Pengiriman Uang, maka pengenaan sanksi tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pedagang Valuta Asing. Bagian Kedua PVA Bank Pasal 57 (1) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau c. persetujuan kegiatan PVA yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (2) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak-pihak yang mendapatkan predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. (3) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) dikenakan sanksi sebagai berikut: a. bagi … - 36 - a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap keterlambatan. b. bagi BPR dan BPRS: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap keterlambatan. (4) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dikenakan sanksi sebagai berikut: a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor. b. bagi BPR dan BPRS 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor. (5) PVA Bank yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dikenakan sanksi sebagai berikut: a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap laporan. b. bagi … - 37 - b. bagi BPR dan BPRS: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap laporan. (6) PVA Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3), dikenakan sanksi sebagai berikut: a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap laporan. b. bagi BPR dan BPRS: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap laporan. (7) PVA Bank yang menyampaikan laporan secara tidak benar dan tidak akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), dikenakan sanksi sebagai berikut: a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap laporan. b. bagi BPR dan BPRS: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap laporan. BAB … - 38 - BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 58 (1) PVA Bukan Bank di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam yang mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia dan PVA Bukan Bank yang telah memiliki kantor cabang di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam berdasarkan persetujuan pembukaan kantor cabang dari Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib memenuhi modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah) paling lambat tanggal 5 September 2012. (2) Permohonan izin usaha PVA Bukan Bank yang sudah diterima oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini akan diproses sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta Asing. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 59 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 60 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan … - 39 - a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; b. Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4764) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 61 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Desember 2010 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION - 40 - Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 146 DPM/DPNP/DPbS/DKBU - 41 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/22/PBI/2010 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK I. UMUM Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing. Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga penunjang sektor keuangan, pedagang valuta asing yang terdiri dari bank (yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah) dan bukan bank, memiliki peranan yang cukup strategis dalam mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan pembelian traveller’s cheque. Selain itu, dengan berkembangnya kegiatan pengiriman uang di luar jasa perbankan, pedagang valuta asing bukan bank dapat turut berperan dalam kegiatan usaha pengiriman uang Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum perseroan … - 42 - perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum perseroan terbatas memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari sisi pengaturan akuntabilitas dan transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain. Di samping itu, pedagang valuta asing perlu melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu dilakukan desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia ke Kantor Bank Indonesia setempat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang … - 43 - Yang dimaksud dengan “margin trading” adalah transaksi jual beli mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih kurs. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual/beli tunai antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual/beliberjangka antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara bersamaan. Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen. Huruf c Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Pengaturan … - 44 - Pengaturan modal disetor dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing PVA Bukan Bank di wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung serta Kotamadya Batam. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan kepentingan pribadi adalah kegiatan jual beli UKA, pembelian TC dan Pengiriman Uang yang tidak dicatat dalam pembukuan PVA Bukan Bank yang bersangkutan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank antara lain dilihat dari sarana dan prasarana, serta mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal … - 45 - Pasal 13 Ayat (1) Penyuluhan ketentuan yang terkait dengan PVA bertujuan untuk: 1. Menyampaikan ketentuan mengenai pedagang valuta asing dan perundang-undangan lain yang berlaku; 2. Menambah pemahaman calon pelaku usaha dalam menerapkan ketentuan dan menjalankan kegiatan usaha; dan 3. Memperoleh masukan (feedback) dari pemohon izin usaha PVA Bukan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pemenuhan persyaratan termasuk penyesuaian anggaran dasar PVA Bukan Bank dengan menambahkan maksud dan tujuan perseroan berupa kegiatan usaha Pengiriman Uang. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal … - 46 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank antara lain dilihat dari sarana dan prasarana, serta mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank adalah pemindahan alamat kantor pusat dan/atau kantor cabang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal … - 47 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Dengan mengajukan penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang bersifat permanen maka hanya kantor cabang yang ditutup sedangkan kantor pusat masih beroperasi secara normal. Namun apabila, kantor pusat yang mengajukan penghentian kegiatan yang bersifat pemanen maka seluruh kegiatan usaha termasuk kantor cabangnya tidak beroperasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat … - 48 - Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud rencana kesiapan operasional adalah: a. menyebutkan kantor bank yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA. b. memiliki tempat usaha di kantor bank yang diajukan. c. sumber daya manusia yang memadai. d. sarana penunjang kegiatan yang memadai termasuk kebijakan, sistem dan prosedur secara tertulis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup … - 49 - Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Untuk BPR dan BPRS, yang dimaksud dengan pos aktiva dalam valuta asing adalah pos dalam laporan bulanan BPR dan BPRS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain Kantor Akuntan Publik dan Asosiasi PVA. Ayat … - 50 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lengkap untuk laporan keuangan adalah apabila telah mencakup Neraca, Laporan Laba/Rugi dan Laporan Perubahan Ekuitas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b LKU dan laporan keuangan yang disampaikan kepada Badank Indonesia merupakan laporan konsolidasi dari laporan kantor pusat, kantor cabang dan gerai (counter). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf … - 51 - Huruf b Yang dimaksud dengan laporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai adalah transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Setiap kelebihan di bawah 1% dibulatkan ke atas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat … - 52 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5177
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/22/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 22 Desember 2010 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2010 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2010 </issued_date> <replaced_reg> '9/11/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '8/UU/2010', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 16 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya pemulihan perekonomian nasional, program restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan pada saat ini perlu didorong agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan; b. bahwa restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi kredit yang dilaksanakan oleh perbankan dan lembaga resmi mengalami beberapa kendala antara lain ketentuan pelampauan batas maksimum pemberian kredit; c. bahwa pelampauan batas maksimum pemberian kredit yang dialami oleh bank-bank lebih disebabkan adanya peningkatan kurs valuta asing dan penurunan modal bank; d. bahwa … d. bahwa untuk mendorong program restrukturisasi perusahaan perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan batas waktu penyelesaian pelampauan batas maksimum pemberian kredit bank umum; e. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum; MEMUTUSKAN … MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) diubah sehingga Pasal 15 ayat (3) seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 15 (3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk Pelanggaran BMPK selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak action plan disetujui Bank Indonesia; b. Untuk setiap Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diatur sebagai berikut: i). untuk Pelampauan BMPK yang terjadi sebelum dan sampai dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini selambat- lambatnya pada tanggal 31 Mei 2001; ii) untuk … ii) untuk Pelampauan BMPK yang terjadi setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah selambat-lambatnya dalam jangka waktu yang lebih lama antara 9 (sembilan) bulan sejak action plan disetujui oleh Bank Indonesia dengan batas waktu tanggal 31 Mei 2001.” 2. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yang dijadikan Pasal 15A dan Pasal 15B, yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 15A Khusus untuk kredit yang direstrukturisasi oleh lembaga resmi, target waktu penyelesaian Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu yang lebih lama antara 9 (sembilan) bulan sejak disetujuinya action plan oleh Bank Indonesia dengan batas waktu tanggal 31 Desember 2002. Pasal 15B (1) Penyelesaian Pelampauan BMPK dapat dilakukan dengan pemberian jaminan dari BPPN kepada Bank. (2) Jaminan yang diberikan oleh BPPN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. bersifat irrevocable; b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diajukannya klaim; c. jangka waktu jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jangka waktu penyelesaian Pelampauan BMPK; dan d. nilai … d. nilai jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jumlah Pelampauan BMPK yang ada.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Juni 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 90 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 19 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM I. UMUM Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai dengan penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program penjaminan pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan restrukturisasi kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program pemulihan perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi perusahaan. Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi kredit. Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami berbagai kendala dan salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank. Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan pada … pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan mendorong pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian sementara terhadap ketentuan kehati-hatian khususnya mengenai perpanjangan batas waktu penyelesaian Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Perpanjangan batas waktu penyelesaian Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit diberikan mengingat adanya fakta bahwa dalam masa krisis ekonomi pelampauan tersebut diakibatkan oleh peningkatan kurs valuta asing dan penurunan modal Bank, serta untuk memberikan dukungan terhadap program restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh lembaga resmi yaitu Prakarsa Jakarta dan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia. Selain penyesuaian sementara terhadap ketentuan kehati-hatian tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat membantu mengatasi permasalahan Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit perbankan melalui pemberian jaminan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 15 Ayat (3) Huruf a dan huruf b Cukup Jelas Angka 2 … Angka 2 Pasal 15A Yang dimaksud dengan lembaga resmi adalah Prakarsa Jakarta dan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia. Pasal 15B Ayat (1) Dalam penyelesaian Pelampauan BMPK, pemberian jaminan oleh BPPN disetarakan dengan jaminan oleh Pemerintah Pusat sehingga dikecualikan dari perhitungan BMPK. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan irrevocable adalah jaminan dengan kondisi tidak dapat diubah dan atau ditarik kembali atau dibatalkan tanpa persetujuan Bank dan BPPN. Huruf b Klaim diajukan apabila Pelampauan BMPK belum terselesaikan sampai dengan batas waktu penyelesaian Pelampauan BMPK sesuai jadwal angsuran kredit yang ada. Huruf c Cukup jelas Huruf d … Huruf d Nilai jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini wajib disesuaikan apabila terjadi peningkatan nilai Pelampauan BMPK. Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3973 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/16/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 Juni 2000 </set_date> <effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date> <changed_reg> '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/20/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; b. bahwa dalam rangka menjalankan tugas Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, perlu didukung infrastruktur sesuai dengan perkembangan terkini dan efektifitas pengaturan serta keselarasan pengaturan kebijakan moneter dan sistem pembayaran; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter; -2- Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 14/5/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5321); b. Nomor 15/5/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5440); diubah sebagai berikut: -3- 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12 dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities). 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 6. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7a. Sertifikat Deposito Bank Indonesia, yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia -4- sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-Bank. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang berlaku. 11. Dihapus. 12. Dihapus. 2. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis (Book Entry Registry) di Bank Indonesia. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian transaksi dan pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). -5- (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan. 3. Penjelasan Pasal 15 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 4. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki: a. b. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing. (2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi. (4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di pasar valuta asing wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank -6- Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi. (5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal. (6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan: a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian transaksi, untuk transaksi di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf a. 5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta Operasi Moneter. 6. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5), peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Operasi Moneter yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan -7- paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); -8- (2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi Operasi Moneter yang batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah nilai transaksi pada saat first leg. (3) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a, peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam US dollar; 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing non US dollar. (4) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3), peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. (5) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk transaksi Repo Lending Facility peserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas. -9- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.…………….. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 November 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 275 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/20/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan kegiatan Operasi Moneter. Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanaan kebijakan moneter, perlu memperhatikan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran. Salah satu upaya Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah melalui penyediaan Fasilitas Likuiditas Intrahari. Untuk itu, diperlukan keselarasan pengaturan di bidang moneter dan sistem pembayaran. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. - 2 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah Sub-Registry. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum non-Bank dan badan lainnya. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) - 3 - Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam Rupiah. Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi repo dan reverse repo. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5764
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/20/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 12 November 2015 </set_date> <effective_date> 12 November 2015 </effective_date> <issued_date> 12 November 2015 </issued_date> <changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg> <extension_of> '14/5/PBI/2012', '15/5/PBI/2013' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 19' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 19 /PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan internal dan eksternal perbankan mengalami perubahan pesat yang ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha perbankan sehingga risiko yang dihadapi juga semakin besar; b. bahwa semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola usaha yang baik (good corporate governance) dan fungsi Manajemen Risiko yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko Bank; c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Manajemen Risiko bagi kegiatan usaha Bank diperlukan Pengurus dan Pejabat Bank yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang Manajemen Risiko; d. bahwa peningkatan kompetensi Pengurus dan Pejabat Bank merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas Manajemen ... - 2 - Manajemen Risiko perbankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API); e. bahwa untuk mendukung pengelolaan risiko bagi kegiatan usaha Bank diperlukan syarat minimum dan standarisasi kompetensi serta keahlian bagi Pengurus dan Pejabat Bank sesuai dengan kompleksitas usahanya; f. bahwa untuk mencapai syarat minimum dan standarisasi kompetensi serta keahlian bagi Pengurus dan Pejabat Bank diperlukan adanya Sertifikasi Manajemen Risiko yang sejalan dengan perkembangan terkini industri perbankan dan diprioritaskan pada bidang tugas perbankan yang bersifat core; g. bahwa dengan Sertifikasi Manajemen Risiko Pengurus dan Pejabat Bank setidaknya memiliki risk awareness yang sangat diperlukan dalam kegiatan usaha Bank; h. bahwa kualitas penyelenggaraan program Sertifikasi Manajemen Risiko perlu dipelihara dan ditingkatkan baik dari sisi lembaga penyelenggara Sertifikasi Manajemen Risiko maupun dari materi yang diujikan; i. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun ... - 3 - Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM. BAB I ... - 4 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 3. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. d. bagi ... - 5 - d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Cabang. 4. Pengurus adalah Komisaris dan Direksi Bank; 5. Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang menduduki jabatan di bawah Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha, termasuk pegawai Bank yang mempunyai pengaruh atas kebijakan dan atau operasional Bank; 6. Core Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional utama yang mengambil dan melaksanakan keputusan atas risiko yang antara lain meliputi namun tidak terbatas pada kegiatan perkreditan, treasury, sistem informasi, dan akunting termasuk kantor operasional; 7. Supporting Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional pendukung yang antara lain namun tidak terbatas pada kegiatan yang berkaitan dengan hukum, logistik, pengamanan, corporate secretary, learning center, sumber daya manusia, serta fungsi administrasi dan umum pada Core Risk Taking Unit; 8. Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit) adalah Satuan Kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum; 9. Satuan Kerja Kepatuhan adalah satuan kerja yang melakukan kegiatan untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku; 10. Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) adalah satuan kerja yang melaksanakan fungsi audit intern; 11. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank; 12. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melakukan Sertifikasi Manajemen Risiko; 13. Sertifikasi Manajemen Risiko adalah proses pengujian kompetensi di bidang ... - 6 - bidang Manajemen Risiko Bank; 14. Sertifikat Manajemen Risiko adalah tanda bukti kelulusan mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko; 15. Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah program peningkatan kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko bagi Pengurus Bank; 16. Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah tanda bukti mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif; 17. Program Pemeliharaan adalah program pengkinian pengetahuan dan kompetensi di bidang Manajemen Risiko yang antara lain dilaksanakan dalam bentuk ujian tertulis atau lisan, observasi langsung, laporan hasil kerja, job enhancement, job enrichment, couching, counselling, kursus, in house training, seminar, atau lokakarya; 18. Penyelenggara Pendidikan adalah organisasi atau institusi yang telah diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bertujuan untuk memberikan pelatihan bagi peserta ujian Sertifikasi Manajemen Risiko; Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan terencana. (2) Dalam menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan terencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengisi jabatan Pengurus dan Pejabat Bank dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko. (3) Pengurus dan Pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki Sertifikat Manajemen Risiko. (4) Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pasal 3 ... - 7 - Pasal 3 Kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) bagi Pengurus dan Pejabat Bank merupakan salah satu aspek penilaian faktor kompetensi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test). Pasal 4 (1) Bank wajib menyusun rencana dan melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko. (2) Program pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana bisnis Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum. BAB II TINGKATAN SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO Pasal 5 Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan dalam 5 (lima) tingkat berdasarkan jenjang jabatan dan struktur organisasi Bank, sebagai berikut: a. b. c. d. e. tingkat 1; tingkat 2; tingkat 3; tingkat 4; tingkat 5. Pasal 6 ... - 8 - Pasal 6 (1) Pengurus dan Pejabat Bank wajib mengikuti ujian pada setiap tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara berjenjang dari tingkat 1 sampai dengan tingkat sertifikat yang dipersyaratkan. (2) Kewajiban mengikuti ujian secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Direksi dan Pejabat Bank yang sesuai dengan jenjang jabatan, struktur organisasi dan skala usaha bank dipersyaratkan memiliki Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 dan tingkat 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali kesempatan mengikuti ujian Sertifikasi Manajemen Risiko. (4) Dalam hal Direksi dan Pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak lulus ujian tingkat 4 atau tingkat 5 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka yang bersangkutan wajib mengikuti ujian Sertifikasi Manajemen Risiko secara berjenjang sesuai ketentuan yang ditetapkan pada ayat (1). Pasal 7 Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a wajib dimiliki oleh: a. b. setiap Komisaris; setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; c. setiap ... - 9 - c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 3 (tiga) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; d. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 4 (empat) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; e. setiap Pejabat Bank yang berada pada jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Supporting Risk Taking Unit. Pasal 8 Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b wajib dimiliki oleh: a. b. setiap komisaris independen; setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang membawahi Supporting Risk Taking Unit; c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; d. setiap ... - 10 - d. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; e. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 3 (tiga) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan. Pasal 9 Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c wajib dimiliki oleh: a. setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset di bawah Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang membawahi Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; b. setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Supporting Risk Taking Unit; c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen ... - 11 - Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; d. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan. Pasal 10 Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d wajib dimiliki oleh: a. setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan; b. setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Supporting Risk Taking Unit; c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan. Pasal 11 ... - 12 - Pasal 11 Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e wajib dimiliki oleh setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan. BAB III PROGRAM PEMELIHARAAN Pasal 12 Bank wajib mengikutsertakan setiap Pengurus dan Pejabat Bank yang dipersyaratkan memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 dalam Program Pemeliharaan secara berkala. Pasal 13 (1) Pengurus dan Pejabat Bank yang telah memiliki Sertifikat Manajemen Risiko wajib mengikuti Program Pemeliharaan paling kurang: a. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 1; b. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 2; c. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 3; d. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 4; e. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 5; (2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak Sertifikat Manajemen Risiko terakhir diterbitkan atau sejak Program Pemeliharaan yang terakhir kali diikuti. (3) Program ... - 13 - (3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Penyelenggara Pendidikan, learning center bank, lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang manajemen risiko, atau atasan langsung pemilik Sertifikat Manajemen Risiko. (4) Bank wajib mengadministrasikan Program Pemeliharaan bagi Pengurus dan Pejabat Bank yang telah memiliki Sertifikat Manajemen Risiko. BAB IV PENYELENGGARA SERTIFIKASI Pasal 14 Sertifikasi Manajemen Risiko hanya dapat diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 15 Pengakuan Bank Indonesia atas Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diberikan apabila Lembaga Sertifikasi Profesi telah memenuhi persyaratan paling kurang: a. memperoleh lisensi sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang manajemen risiko perbankan dari lembaga yang berwenang; b. didirikan oleh organisasi profesi manajemen risiko sektor keuangan yang dikelola oleh pengurus yang mayoritas memiliki pengalaman paling kurang 10 (sepuluh) tahun di bidang perbankan dan memiliki kompetensi di bidang Manajemen Risiko; c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang peningkatan kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko; d. mampu bertindak secara independen dan secara kelembagaan bersifat independen serta terbebas dari pengaruh industri perbankan; e. memiliki ... - 14 - e. memiliki pengalaman yang memadai dalam menyelenggarakan program sertifikasi profesi; f. memiliki perangkat organisasi paling kurang sebagai berikut: 1. Dewan Kode Etik; 2. Dewan Sertifikasi; 3. Pengurus Harian. g. memiliki Pengurus Harian yang independen dan tidak memiliki jabatan rangkap di Bank. Pasal 16 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib meminta persetujuan Bank Indonesia dalam hal: a. menetapkan atau merubah kurikulum, silabus dan materi Sertifikasi Manajemen Risiko; b. menetapkan persyaratan pengakuan (recognition) Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri; c. mengatur persyaratan Sertifikasi Manajemen Risiko; d. melakukan penyusunan atau perubahan kode etik profesi. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memiliki tugas dan wewenang: a. Menyelenggarakan Sertifikasi Manajemen Risiko yang mengacu pada international best practices; b. Menyesuaikan materi Sertifikasi Manajemen Risiko dengan perkembangan pengetahuan di bidang Manajemen Risiko, kebutuhan industri perbankan, dan international best practices; c. menerbitkan Sertifikat Manajemen Risiko; d. mencabut ... - 15 - d. mencabut Sertifikat Manajemen Risiko apabila pemilik Sertifikat Manajemen Risiko terbukti bersalah melakukan tindak pidana di bidang keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau pelanggaran kode etik profesi; e. melaporkan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan Sertifikasi Manajemen Risiko secara berkala kepada Bank Indonesia. Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas dan tanggung jawab Dewan Kode Etik, Dewan Sertifikasi dan Pengurus Harian ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. BAB V PENGAKUAN TERHADAP SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO LAIN Pasal 18 (1) Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh lembaga internasional atau lembaga lain di luar negeri dapat dipertimbangkan untuk diakui setara dengan Sertifikat Manajemen Risiko oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. (2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Lembaga penerbit sertifikat tersebut telah diakui dan diterima secara internasional; b. Penerbitan sertifikat tersebut dikeluarkan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terakhir. BAB VI ... - 16 - BAB VI LAIN-LAIN Pasal 19 Bank Indonesia berwenang untuk: a. tidak mengakui Sertifikat Manajemen Risiko yang dimiliki oleh Pengurus dan Pejabat Bank apabila ditemukan permasalahan kompetensi dan integritas berdasarkan hasil pengawasan dan pemeriksaan Bank Indonesia; b. meminta laporan dan informasi pelaksanaan program kerja Lembaga Sertifikasi Profesi dalam hal diperlukan; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program Sertifikasi Manajemen Risiko maupun terhadap materi yang diujikan dalam Sertifikasi Manajemen Risiko; d. Menerbitkan daftar Lembaga Sertifikasi Profesi bidang Manajemen Risiko yang diakui Bank Indonesia dan menyampaikan daftar tersebut kepada seluruh Bank. Pasal 20 Bank wajib mengganti Pengurus dan Pejabat Bank yang tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sesuai dengan persyaratan jenjang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 paling lambat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 21 Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh suatu Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia, dinyatakan berlaku setara pada Lembaga Sertifikasi Profesi lainnya pada tingkatan yang sama tanpa memerlukan proses penyetaraan. BAB VII ... - 17 - BAB VII SANKSI Pasal 22 (1) Bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 20 dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa penurunan aspek manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 16, Pasal 18 dan atau tidak melaksanakan hal-hal yang diminta Bank Indonesia dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Lembaga Sertifikasi Profesi dimaksud dikeluarkan dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia. (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Bank Indonesia menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan jangka waktu surat peringatan masing-masing selama 1 (satu) bulan. Pasal 23 (1) Dalam hal pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan pasal 11 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 maka Sertifikat Manajemen Risiko tingkat terakhir yang dimilikinya dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko dari pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui adalah satu tingkat dibawah Sertifikat Manajemen Risiko yang telah dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 ... - 18 - Pasal 24 Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hanya dapat menduduki jabatan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 sesuai tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko yang diakui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Kewajiban pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) wajib dipenuhi paling lambat tanggal 3 Agustus 2010. Pasal 26 (1) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan berlaku tanpa batas waktu. (2) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sebagai Sertifikat Manajemen Risiko. (3) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif untuk Komisaris diakui setara dengan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b. (4) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif untuk Direksi diakui setara dengan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf e. (5) Pemilik ... - 19 - (5) Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mengikuti Program Pemeliharaan sesuai dengan ketentuan program pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/25/PBI/2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4522) sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/9/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4622) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 29 ... - 20 - Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Juni 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 80 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 19 /PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM I. UMUM Pertumbuhan industri perbankan yang sangat pesat disertai dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha bank menyebabkan eksposur risiko kegiatan usaha Bank juga semakin besar. Agar bank tetap dapat melakukan kegiatan usaha secara berkesinambungan dan mengikuti prinsip kehati-hatian maka perlu penerapan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance) dan manajemen risiko secara efektif. Hal tersebut juga sejalan dengan penerapan Basel II Accord yang mensyaratkan manajemen risiko yang memadai bagi kegiatan usaha Bank. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan efektivitas manajemen risiko pada industri perbankan adalah keahlian dan kompetensi sumber daya manusia di bidang manajemen risiko bank, baik yang menjalankan fungsi kegiatan operasional, fungsi manajemen risiko maupun fungsi pengendalian intern. Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian manajemen risiko yang lebih memadai, maka Pengurus dan Pejabat Bank perlu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan manajemen risiko melalui Sertifikasi Manajemen Risiko. Sertifikasi ... - 2 - Sertifikasi Manajemen Risiko merupakan bentuk standarisasi kompetensi dan keahlian minimal yang harus dimiliki oleh pengurus dan pejabat di industri perbankan untuk memastikan bahwa kegiatan usaha Bank dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya. Mengingat adanya perbedaan tingkat kompleksitas kegiatan usaha bank, maka ditetapkan tingkatan sertifikasi yang berbeda bagi pengurus dan pejabat sesuai masing-masing kelompok jabatan dan kelompok Bank. Pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko sejauh ini telah memberikan hasil berupa mulai tumbuhnya risk awareness dan risk culture pada industri perbankan, meningkatkan kemampuan bank dalam mengelola risiko, dan menghasilkan sumber daya manusia perbankan yang qualified dan memiliki kompetensi di bidang manajemen risiko. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko, program yang ada perlu disempurnakan dengan memberikan perhatian lebih besar pada bidang-bidang tugas perbankan yang bersifat core serta mempertimbangkan adanya kelangkaan tenaga ahli pada bidang-bidang tugas tertentu. Selain penyempurnaan di atas, kualitas penyelenggaraan sertifikasi manajemen risiko juga perlu dipelihara dan ditingkatkan agar kredibilitas program Sertifikasi Manajemen Risiko tetap terjaga dan diakui secara internasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia menganggap perlu untuk mewajibkan Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat bank dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. PASAL ... - 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Uraian tentang program pengembangan sumber daya manusia berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum. Pasal 5 ... - 4 - Pasal 5 Termasuk dalam pengertian 1 (satu) jenjang jabatan dan struktur organisasi adalah pimpinan dan wakil pimpinan satuan unit kerja, misalnya wakil kepala divisi berada dalam satu jenjang jabatan dengan kepala divisinya atau wakil pemimpin cabang berada dalam satu jenjang dengan pemimpin cabangnya. Mengingat adanya keragaman jenjang jabatan dan struktur organisasi dari berbagai Bank maka Bank Indonesia dapat menetapkan pegawai-pegawai tertentu sebagai Pejabat Bank sesuai dengan batasan kewenangan yang bersangkutan. Huruf a Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 mencakup pemahaman dasar mengenai Manajemen Risiko perbankan. Huruf b Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 mencakup kemampuan minimal untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko Bank. Huruf c Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 mencakup kemampuan minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang cukup kompleks. Huruf d Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 mencakup kemampuan minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang kompleks. Huruf e ... - 5 - Huruf e Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 mencakup kemampuan minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang lebih kompleks. Pasal 6 Ayat (1) Sebagai contoh, untuk menduduki jabatan kepala divisi kredit dari Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang mensyaratkan pemilikan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4, maka yang bersangkutan harus memiliki Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 sampai dengan tingkat 3 sebagai prasyarat untuk mengikuti ujian tingkat 4. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberian kesempatan mengikuti ujian sertifikasi langsung pada tingkat 4 atau tingkat 5 ditujukan untuk memperoleh keyakinan atas kompetensi dan keahlian Direksi dan Pejabat Bank dalam bidang Manajemen Risiko. Pemberian kesempatan 1 (satu) kali mengikuti ujian dianggap cukup untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud di atas. Ayat (4) Ujian sertifikasi secara berjenjang bagi Direksi dan Pejabat Bank yang tidak lulus ujian tingkat 4 atau tingkat 5 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan tingkatan sertifikat terakhir ... - 6 - terakhir yang dimiliki. Contoh 1: Apabila Direksi Bank tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko dan jenjang jabatan yang bersangkutan mempersyaratkan kepemilikan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5, maka yang bersangkutan wajib mengikuti ujian sertifikasi mulai dari tingkat 1 sampai dengan tingkat 5 secara berjenjang. Contoh 2: Apabila Direksi dan Pejabat Bank sudah memiliki Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 yang masih berlaku dan jenjang jabatan yang bersangkutan mempersyaratkan kepemilikan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4, maka yang bersangkutan wajib mengikuti ujian sertifikasi tingkat 3 dan tingkat 4 secara berjenjang. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan komisaris independen adalah salah seorang Komisaris yang diwajibkan berasal dari pihak yang independen terhadap pemilik Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d ... - 7 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Program Pemeliharaan bertujuan agar Pengurus dan Pejabat Bank mengikuti perkembangan terbaru dan melakukan pengkinian aspek teknis dan manajerial serta pengawasan di bidang Manajemen Risiko. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 ... - 8 - Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kompetensi di bidang Manajemen Risiko dibuktikan antara lain dengan kepemilikan Sertifikat Manajemen Risiko, pengalaman sebagai pembicara seminar Manajemen Risiko atau penelitian di bidang Manajemen Risiko. Huruf c Visi, misi, dan strategi Lembaga Sertifikasi Profesi dituangkan dalam rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang Lembaga Sertifikasi Profesi. Huruf d Pengertian independen adalah mampu untuk menolak pengaruh dan intervensi dari pihak manapun juga. Huruf e Pengalaman penyelenggaraan program sertifikasi profesi dibuktikan dengan laporan penyelenggaraan program sertifikasi profesi yang paling kurang memuat jumlah kegiatan sertifikasi profesi yang telah dilaksanakan dan daftar peserta yang telah mengikuti program sertifikasi. Huruf f Angka 1 Dewan Kode Etik merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi yang memiliki tugas antara lain memutuskan pencabutan Sertifikat Manajemen Risiko serta menjaga kredibilitas dan integritas Sertifikasi Manajemen Risiko. Angka 2 ... - 9 - Angka 2 Dewan Sertifikasi merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi yang memiliki tugas menetapkan kebijakan Sertifikasi Manajemen Risiko. Angka 3 Pengurus Harian merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi yang memiliki tugas di bidang teknis, administrasi dan operasional Lembaga Sertifikasi Profesi serta mewakili Lembaga Sertifikasi Profesi di dalam maupun di luar pengadilan. Huruf g Independensi dan tidak memiliki jabatan rangkap di Bank dimaksudkan untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan Sertifikasi Manajemen Risiko yang mengacu pada international best practices adalah sertifikasi yang telah mendapat pengakuan secara internasional dan diterbitkan oleh lembaga sertifikasi internasional, misalnya Bank Risk and Regulation Certificate (BRRC) dari Global Association of Risk Professional (GARP) dan Professional Risk Manager (PRM) dari Professional Risk Managers’ International Association (PRMIA). Huruf b ... - 10 - Huruf b Penyesuaian dan pengkinian materi Sertifikasi Manajemen Risiko diperlukan agar materi yang diujikan sesuai dengan perkembangan terakhir Manajemen Risiko, memenuhi kebutuhan perbankan dalam menerapkan manajemen risiko serta sejalan dengan international best practices. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Laporan kegiatan-kegiatan yang terkait antara lain berupa laporan mengenai pelaksanaan dan jumlah peserta yang telah mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 ... - 11 - Pasal 19 Huruf a Termasuk dalam hasil pengawasan dan pemeriksaan antara lain hasil penilaian kemampuan dan kepatutan (fit & proper test). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia ditujukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan program Sertifikasi Manajemen Risiko maupun materi yang diujikan tidak menyimpang dari tujuan Sertifikasi Manajemen Risiko yaitu untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian pengurus dan pejabat Bank dalam bidang Manajemen Risiko. Pengawasan juga ditujukan untuk menjaga standar kualitas pelaksanaan program Sertifikasi Manajemen Risiko. Huruf d Bank Indonesia dapat meninjau kembali daftar lembaga sertifikasi profesi bidang manajemen risiko yang diakui Bank Indonesia. Pasal 20 Perhitungan jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari berlaku sejak yang bersangkutan tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sesuai dengan persyaratan jenjang jabatan. Untuk pertama kali perhitungan 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak berlakunya kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Pasal 21 ... - 12 - Pasal 21 Penetapan kesetaraan Sertifikat Manajemen Risiko pada setiap Lembaga Sertifikasi Manajemen Risiko dimaksudkan untuk memberikan kepastian atas status Sertifikat Manajemen Risiko yang sudah diterbitkan. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberian surat peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Lembaga Sertifikasi Profesi melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan dalam rangka menjaga kualitas pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 ... - 13 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5011 DPNP/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/19/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 4 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 4 Juni 2009 </effective_date> <issued_date> 4 Juni 2009 </issued_date> <replaced_reg> '8/9/PBI/2006', '7/25/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 40 /PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi guna mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan, diperlukan informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha bank, baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk kegiatan usaha bank dan perusahaan anak yang dilakukan di luar negeri; b. bahwa guna mendukung pengawasan perbankan yang efektif agar sejalan dengan perkembangan produk dan usaha bank yang semakin kompleks, penyempurnaan sistem pengawasan perbankan berbasis risiko, penerapan ketentuan kehati-hatian, penyempurnaan standar akuntansi keuangan, dan penerapan Basel II, diperlukan informasi perbankan secara lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas; c. bahwa... -2- c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai penyusunan laporan bulanan bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan... -3- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Perusahaan Anak adalah perusahaan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. 3. Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya. 4. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada... -4- kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 5. Kantor Cabang Pembantu Bank Asing adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor cabang bank asing yang berkedudukan di Indonesia, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 6. Bank Pelapor adalah kantor bank yang meliputi kantor pusat, kantor cabang bank yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang bank asing dan/atau kantor cabang pembantu bank asing yang berkedudukan di Indonesia. 7. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan keuangan yang disusun oleh bank untuk kepentingan Bank Indonesia yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka. 8. Laporan per Kantor adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat bank yang melakukan kegiatan operasional, kantor cabang bank, kantor cabang bank asing dan kantor cabang pembantu bank asing, termasuk kantor- kantor bank yang berada di bawah koordinasinya. 9. Laporan Gabungan adalah : a. laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat bank yang mencakup data keuangan dari kantor pusat bank dan seluruh kantor cabangnya baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, termasuk kantor cabang syariah bagi bank yang memiliki unit usaha syariah; atau b. laporan keuangan yang disusun oleh kantor cabang bank asing yang mencakup data keuangan dari kantor cabang bank asing dan seluruh kantor... -5- kantor cabang pembantunya yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, termasuk kantor cabang pembantu syariah bagi kantor cabang bank asing yang memiliki unit usaha syariah. 10. Laporan Perusahaan Anak adalah laporan keuangan kantor pusat perusahaan anak dan seluruh kantor cabangnya baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia. 11. Laporan Konsolidasi adalah laporan keuangan yang merupakan konsolidasi dari laporan gabungan bank dan laporan perusahaan anak termasuk perusahaan anak yang berbentuk bank. 12. Laporan Koreksi adalah laporan yang merupakan koreksi atas kesalahan laporan yang telah disusun dan disampaikan oleh bank pelapor kepada Bank Indonesia. 13. Penyampaian Laporan secara online adalah penyampaian laporan oleh bank pelapor yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau melalui saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS) Bank Indonesia. 14. Penyampaian Laporan secara offline adalah penyampaian laporan oleh bank pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya disertai hard copy kepada Bank Indonesia. 15. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi bank pelapor. 16. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi bank pelapor. Pasal 2... -6- Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu sejak Bank Pelapor melakukan kegiatan operasional. (2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 3 Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis, sehingga memungkinkan Bank Pelapor untuk menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern menjadi format Laporan. Pasal 4 Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Bank Indonesia. BAB II JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN, DAN BANK PELAPOR Pasal 5 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari Laporan per Kantor, Laporan Gabungan, Laporan Perusahaan Anak, dan Laporan Konsolidasi. (2) Laporan... -7- (2) Laporan per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor Cabang Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing. (3) Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank yang memiliki Kantor Cabang atau Kantor Cabang Bank Asing yang memiliki Kantor Cabang Pembantu. (4) Laporan Perusahaan Anak selain yang berbentuk Bank wajib disampaikan oleh kantor pusat Bank. (5) Laporan Konsolidasi wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank. Pasal 6 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Dalam hal terdapat koreksi Laporan per Kantor atau koreksi Laporan Perusahaan Anak yang berdampak pada Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi maka Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi. Pasal 7 (1) Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau sentralisasi, laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor pusat Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator. (2) Laporan... -8- (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap dapat diidentifikasi untuk masing-masing kantor. (3) Dalam hal kantor pusat atau kantor wilayah Bank tidak melakukan kegiatan operasional, laporan keuangan kantor pusat atau kantor wilayah Bank digabungkan dengan Laporan dari kantor Bank Pelapor yang ditunjuk. BAB III PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 8 (1) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) setiap bulan wajib menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) setiap bulan wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) setiap triwulan wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (4) Bank... -9- (4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) setiap triwulan wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat pada tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. Pasal 10 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila : a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), sampai dengan tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), sampai... -10- sampai dengan tanggal 19 (sembilan belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; d. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), sampai dengan tanggal 7 (tujuh) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; e. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), sampai dengan tanggal 7 (tujuh) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 11 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 10. BAB IV PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 12 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 10 huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e. (2) Kewajiban... -11- (2) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap : a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan secara online; b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, dengan disertai pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab–sebab terjadinya gangguan teknis tersebut, yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline; atau d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan yang disebabkan karena gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia. Dalam hal ini, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank Pelapor mengenai terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau dengan menggunakan sarana lain. (3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy). (4) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy). (5) Bank… -12- (5) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tetap wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy). (6) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) wajib disampaikan pada hari kerja. (7) Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor terjadi pada batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10, Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya secara offline. (2) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank Pelapor dianggap terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 14... -13- Pasal 14 (1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib menyampaikan : a. Laporan secara online kepada Bank Indonesia. b. Laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) kepada : 1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah Kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1. c. Laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) kepada : 1. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q Bagian Data Perbankan, Menara Radius Prawiro, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah Kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1. (2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank Pelapor kepada Bank Indonesia, sesuai dengan kedudukan kantor pusat Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank... -14- (3) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan secara terpusat atau sentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat menyampaikan Laporan secara langsung kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal. BAB V LAIN - LAIN Pasal 15 (1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu periode penyampaian Laporan atau lebih, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6. (2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1). (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 setelah Bank Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia... -15- Indonesia dengan alamat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami. (5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berlaku setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur pada ayat (4). BAB VI SANKSI Pasal 16 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per koreksi Laporan per penyampaian per hari kerja keterlambatan. (3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan. (4) Bank... -16- (4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan. (5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank atau temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan. (6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Laporan. (7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan. (8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4) yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Pasal 17... -17- Pasal 17 Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline pada periode penyampaian online tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan. Pasal 18 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 16 ayat (3) dan ayat (4), dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan atas dasar hasil audit tahunan oleh akuntan publik. Pasal 19 Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 20 Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank. Pasal 21 Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, dapat dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank. BAB VII... -18- BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan sampai dengan data bulan April 2009 sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan Bulanan Bank Umum. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum. Pasal 24 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak pelaporan data bulan Mei 2009. Pasal 25... -19- Pasal 25 (1) Ketentuan di dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan data bulan Januari 2009 yang disampaikan pada bulan Februari 2009. (2) Ketentuan sanksi pelaporan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Mei 2009 yang disampaikan pada bulan Juni 2009, kecuali untuk sanksi tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6). (3) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar... -20- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 205 DSM -21- PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 40 /PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM I. UMUM Dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan dan moneter guna mendukung pengambilan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data keuangan dan kegiatan usaha Bank secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk kegiatan usaha Bank dan perusahaan anaknya yang dilakukan di luar negeri, yang menggambarkan kondisi Bank sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam. Berkaitan dengan hal tersebut... -22- tersebut, maka Bank diwajibkan menyusun laporan secara benar dan lengkap serta disampaikan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan “petugas dan/atau penanggung jawab” adalah petugas dan/atau penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang dan/atau tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, setiap Laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia dianggap sah. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) ... -23- Ayat (2) Bagi Kantor Bank yang status kantornya di bawah Kantor Cabang, antara lain unit syariah, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, dan Payment Point, Laporannya digabungkan dengan kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan operasional atau Kantor Cabang yang menjadi induknya. Sedangkan bagi Kantor Bank Asing yang status kantornya di bawah Kantor Cabang Pembantu, Laporannya digabung dengan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu yang menjadi induknya. Ayat (3) Bagi Bank yang tidak memiliki Kantor Cabang, tidak diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan. Ayat (4) Bank yang memiliki Perusahaan Anak yang berbentuk Bank termasuk yang berbentuk bank syariah tidak perlu menyampaikan Laporan Perusahaan Anak karena Perusahaan Anak tersebut merupakan Bank Pelapor. Ayat (5) Bagi Bank yang tidak memiliki Perusahaan Anak, tidak perlu menyusun dan menyampaikan Laporan Konsolidasi. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)... -24- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Laporan secara terpusat atau sentralisasi” adalah Laporan dari seluruh atau sebagian kantor Bank Pelapor yang disusun dan disampaikan oleh kantor pusat atau kantor yang ditunjuk. Ayat (2) Laporan masing-masing kantor dinyatakan dapat teridentifikasi apabila Laporan dimaksud tetap dapat menunjukkan sandi dari Kantor Bank Pelapor. Sebagai contoh, apabila kantor pusat Bank atau kantor koordinator mampu menyusun Laporan per Kantor untuk 10 (sepuluh) Kantor Cabangnya, maka Laporan yang disampaikan harus terdiri dari 10 (sepuluh) Laporan per Kantor yang sesuai dengan sandi masing-masing Kantor Bank Pelapor, ditambah dengan Laporan per Kantor dari kantor Bank yang bersangkutan sebagai Bank Pelapor. Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 8 Ayat (1) Contoh... -25- Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan Juni 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Juli 2009. Ayat (2) Contoh : Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan April 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Mei 2009. Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan April 2009 maka yang wajib dilaporkan adalah data akhir April 2009 atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan April 2009. Ayat (3) Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan laporan Maret 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 30 April 2009. Ayat (4)... -26- Ayat (4) Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Maret 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 30 April 2009. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Contoh : Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Agustus 2009 sampai dengan tanggal 13 Agustus 2009. Huruf b Contoh : Penyampaian... -27- Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan Juli 2009 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 14 Agustus 2009 sampai dengan tanggal 19 Agustus 2009. Huruf c Contoh : Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 16 Juli 2009 sampai dengan tanggal 21 Juli 2009. Huruf d Contoh : Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 1 Agustus 2009 sampai dengan tanggal 7 Agustus 2009. Huruf e Contoh : Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 1 Agustus 2009 sampai dengan tanggal 7 Agustus 2009. Pasal 11 Contoh : Laporan... -28- Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor; Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan Juli 2009 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 13 Agustus 2009. Koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang; Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan Juli 2009 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan, apabila koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 19 Agustus 2009. Laporan Gabungan dan/atau dan/atau koreksi Laporan Gabungan; Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Juli 2009. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak; Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 7 Agustus 2009. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi; Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 7 Agustus 2009. Pasal 12... -29- Pasal 12 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas Huruf b. Cukup jelas Huruf c. Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank Pelapor. Huruf d. Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dari Bank Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4)... -30- Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Ayat (6) Cukup Jelas Ayat (7) Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor yang disampaikan secara online untuk bulan laporan April 2009 dapat disampaikan paling lambat tanggal 10 Mei 2009 yang jatuh pada hari Minggu. Pasal 13 Ayat (1) Contoh : Pada Tanggal 10 Mei 2009 yang jatuh pada hari Minggu, Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor online untuk data bulan April 2009. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan per Kantor pada tanggal 11 Mei 2009 yang jatuh pada hari Senin secara offline. Pada Tanggal 13 Juni 2009 yang jatuh pada hari Sabtu, Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia... -31- Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian koreksi Laporan per kantor online untuk data bulan Mei 2009. Bank diperkenankan menyampaikan koreksi Laporan per Kantor pada tanggal 15 Juni 2009 yang jatuh pada hari Senin secara offline. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Apabila Laporan disampaikan secara online, maka Bank Pelapor akan menerima tanda bukti penyampaian Laporan berikut nomor registrasinya yang tercetak secara otomatis pada komputer Bank Pelapor, setelah Bank Pelapor selesai menyampaikan Laporan. Sementara itu, apabila Laporan disampaikan secara offline, maka Bank Pelapor akan menerima tanda bukti nomor register penerimaan Laporan dari Bank Indonesia. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a. Cukup jelas Huruf b. Cukup jelas Huruf c. Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)... -32- Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat dilakukan baik oleh Bank Pelapor, kantor pusat maupun oleh kantor lainnya yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Contoh... -33- Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal 10 Mei 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan April 2009 pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2009. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 2 hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (tanggal 11 dan 12 Mei 2009), sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Laporan Gabungan; Tanggal 15 Maret 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan Februari 2009 pada hari Senin tanggal 16 Maret 2009. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan selama 1 hari kerja yaitu Senin (16 Maret 2009), sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ayat (2) Contoh : Koreksi Laporan per Kantor; Tanggal 10 Mei 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor periode data bulan April 2009 pada hari Senin tanggal 11 Mei 2009. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor selama 1 hari kerja, yaitu Senin (tanggal 11 Mei 2009), sehingga... -34- sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Koreksi Laporan Gabungan; Tanggal 15 Maret 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Gabungan periode data bulan Februari 2009 pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2009. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2 hari kerja kerja, yaitu Senin dan Selasa (16 dan 17 Maret 2009), sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau item yang seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris yang bersangkutan. Contoh : Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas, Sektor Ekonomi dan Jumlah, maka dihitung sebagai 3 item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan, maka perhitungan Sanksi adalah 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan Sanksi maksimum, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (4)... -35- Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal 13 Juni 2009 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan Mei 2009 pada hari Senin tanggal 15 Juni 2009, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Laporan Gabungan; Tanggal 21 Maret 2009 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan Februari 2009 pada hari Senin tanggal 23 Maret 2009, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 17... -36- Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)... -37- Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4950
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/40/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 24 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 24 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2008 </issued_date> <replaced_reg> '2/21/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 27 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan telah terjadi krisis ekonomi secara global yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, diperlukan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan; b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang … - 2 - 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK. Pasal I Ketentuan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4378) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4539) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Bank Indonesia mengumumkan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus yang: a. memiliki … - 3 - a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam persen); b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan; c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan tidak melaksanakan rencana perbaikan permodalan; d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan Bank Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan; dan/atau e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengumuman tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7. (3) Bank Indonesia mengumumkan pula: a. Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7; dan/atau b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% (delapan persen) atau lebih, dan/atau memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam Rupiah sebesar rasio yang ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank atau lebih. (4) Bank Indonesia dapat tidak mengumumkan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan mempertimbangkan kepentingan umum. Pasal II … - 4 - Pasal II Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 161 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 27 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK I. UMUM Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk sistem perbankan. Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas diperlukan langkah- langkah tertentu dalam upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sejalan … - 2 - Sejalan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 9 Ayat (1) Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id Huruf a sampai dengan huruf d Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id. Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum yang berlaku. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam ayat ini adalah kepentingan untuk menghindari timbulnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis keuangan dan dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4913
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/27/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK </reg_title> <set_date> 30 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 30 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 30 Oktober 2008 </issued_date> <changed_reg> '6/9/PBI/2004' </changed_reg> <extension_of> '7/38/PBI/2005' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/7/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya tercermin pada kestabilan nilai tukar Rupiah perlu didukung dengan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan valuta asing tertentu dan meningkatkan kelancaran pembayaran yang dibutuhkan dalam kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung; c. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Bank Indonesia menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas moneter negara lain; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia Dalam Rangka Bilateral Currency Swap Arrangement; -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Umum Syariah. 2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 3. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 -3- Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 4. Bilateral Currency Swap Arrangement yang selanjutnya disingkat BCSA adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain dalam rangka meningkatkan transaksi perdagangan bilateral, dan/atau tujuan lain yang disepakati guna pengembangan ekonomi dua negara. 5. Transaksi adalah transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA. 6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA. 7. Valuta Asing adalah jenis valuta yang digunakan dalam perjanjian BCSA antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain. BAB II PRINSIP DASAR Pasal 2 (1) Bank Indonesia dapat melaksanakan transaksi swap Valuta Asing terhadap Rupiah dengan bank sentral dan/atau otoritas moneter negara lain sesuai perjanjian BCSA. (2) Berdasarkan perjanjian BCSA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menyelenggarakan Transaksi untuk memenuhi kebutuhan Valuta Asing Bank. (3) Kebutuhan Valuta Asing Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan antara lain untuk pembayaran perdagangan internasional dan/atau investasi langsung. -4- Pasal 3 Transaksi dapat dilaksanakan pada hari kerja. Pasal 4 (1) Bank yang dapat mengajukan Transaksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter. (2) Bank mengajukan Transaksi sesuai tata cara pengajuan dan persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat menolak dan/atau tidak memproses pengajuan Transaksi. Pasal 5 Bank Indonesia menetapkan antara lain window time, pricing, kurs, dan/atau haircut atas Transaksi. Pasal 6 (1) Bank wajib memiliki Underlying Transaksi antara lain berupa kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung yang didukung oleh dokumen Underlying Transaksi. (2) Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi. (3) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III PENGAJUAN TRANSAKSI Pasal 7 (1) Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang. -5- (2) Jenis Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa transaksi repurchase agreement (repo) atau transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank mengajukan Transaksi melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank yang telah mengajukan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang membatalkan Transaksi yang telah diajukan kepada Bank Indonesia. Pasal 9 Transaksi dilakukan dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 10 (1) Nilai nominal pengajuan Transaksi paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi. (2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan Transaksi pada hari yang sama untuk masing-masing jangka waktu. Pasal 11 Bank bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan Transaksi dan dokumen Underlying Transaksi. BAB IV PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 12 (1) Bank yang mengikuti Transaksi wajib: a. menyediakan surat berharga yang mencukupi; b. melakukan transfer Valuta Asing yang cukup ke rekening yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; dan/atau c. menyediakan dana yang cukup di rekening giro -6- Rupiah Bank di Bank Indonesia, untuk penyelesaian kewajiban Transaksi. (2) Dalam hal Bank tidak memenuhi kewajiban transfer Valuta Asing yang cukup ke rekening yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank wajib memenuhi kewajiban transaksi Valuta Asing dimaksud sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 Dalam rangka penyelesaian Transaksi, Bank Indonesia berwenang antara lain melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menghentikan pledge surat berharga yang digunakan dalam Transaksi; b. memindahkan surat berharga yang digunakan dalam Transaksi dari rekening Bank ke rekening Bank Indonesia; c. menjual surat berharga Bank yang digunakan dalam Transaksi; d. melakukan pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) atas surat berharga Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia atau Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang digunakan dalam Transaksi; dan/atau e. mendebet rekening giro Rupiah dan/atau valuta asing Bank di Bank Indonesia. BAB V PENGHENTIAN TRANSAKSI SEBELUM JATUH WAKTU (EARLY TERMINATION) Pasal 14 (1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) terhadap Transaksi apabila Bank yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain terhadap Peraturan -7- Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terjadi penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyelesaikan Transaksi dan memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (3) Bank dilarang melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) atas Transaksi. BAB VI SANKSI Pasal 15 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan/atau huruf c dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar nilai yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. -8- Pasal 17 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/6/PBI/2010 tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5127) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Mei 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 93 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/7/ PBI/ 2016 TENTANG TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT I. UMUM Sebagai salah satu upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dengan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan valuta asing tertentu, Bank Indonesia melaksanakan perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas moneter negara lain. Perjanjian tersebut dapat dimanfaatkan oleh Bank sebagai lembaga perantara dalam pembayaran internasional yang bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi khususnya perdagangan internasional dan/atau investasi langsung melalui transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu pengelolaan likuiditas valuta asing sekaligus memberikan kontribusi positif bagi kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan internasional dan/atau investasi langsung serta mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing berdasarkan ketentuan mengenai Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank Indonesia dapat menolak pengajuan transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA antara lain karena batasan limit transaksi antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain. Bank Indonesia tidak memproses pengajuan transaksi Bank antara lain karena Bank tidak memenuhi tata cara pengajuan dan persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 5 Penetapan window time juga mencakup pengumuman window time atau peniadaan window time Transaksi. Pasal 6 Ayat (1) Underlying Transaksi mencakup Underlying Transaksi milik Bank dan/atau nasabah Bank. Ayat (2) Cukup jelas. - 3 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga dalam denominasi Rupiah oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk memperoleh Valuta Asing, dengan kewajiban membeli kembali surat berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati dengan menggunakan Valuta Asing. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud “membatalkan Transaksi” adalah Bank menarik kembali Transaksi yang telah diajukan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan surat berharga yang mencukupi meliputi kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri surat berharga. - 4 - Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pendebetan rekening giro Rupiah dan/atau valuta asing Bank di Bank Indonesia antara lain untuk pemenuhan kewajiban penyelesaian transaksi dan/atau pengenaan sanksi kewajiban membayar. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Nilai sanksi kewajiban membayar akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Cukup jelas. - 5 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5880
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/7/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT </reg_title> <set_date> 16 Mei 2016 </set_date> <effective_date> 17 Mei 2016 </effective_date> <issued_date> 17 Mei 2016 </issued_date> <replaced_reg> '12/6/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/9/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang perlu didukung salah satunya oleh pasar uang yang likuid dan efisien; c. bahwa untuk mencapai pasar uang yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang; d. bahwa tersedianya instrumen pasar uang berdasarkan prinsip syariah juga memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas bagi pelaku pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi nasional; dan e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang; -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); dan 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum syariah dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Syariah adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. -3- 4. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 5. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 6. Sertifikat Deposito Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Sertifikat Deposito Syariah adalah Instrumen Pasar Uang berupa simpanan dalam bentuk deposito berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. 7. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah pemindahtanganan secara jual-beli Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan melalui Pasar Uang dengan kesepakatan harga, mekanisme penyelesaian, dan penatausahaan tertentu. 8. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pelaku pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 9. Penerbit Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya disebut Penerbit adalah pihak yang menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah. 10. Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya disebut Pelaku Transaksi adalah pihak yang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. -4- 11. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah lembaga pendukung pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 12. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. 13. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. 14. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 15. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 16. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 17. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disebut LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah dalam bentuk tanpa warkat. 18. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia. -5- 19. Repurchase Agreement Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Repo Syariah adalah penjualan Sertifikat Deposito Syariah oleh pemilik Sertifikat Deposito Syariah kepada investor Sertifikat Deposito Syariah lainnya yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, dengan janji pembelian kembali pada waktu tertentu yang diperjanjikan. 20. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 21. Mudarabah adalah kerja sama antara pihak pertama yaitu malik, shahibul mal, atau nasabah, sebagai pemilik dana dan pihak kedua yaitu ‘amil, mudarib, atau Bank, yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Sertifikat Deposito Syariah yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini yaitu Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. BAB III KRITERIA SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH YANG DITRANSAKSIKAN DI PASAR UANG Pasal 3 (1) Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. b. c. diterbitkan dan ditatausahakan dalam bentuk tanpa warkat (scripless); diterbitkan dalam mata uang rupiah atau valuta asing; diterbitkan dengan tidak menggunakan mekanisme bunga, termasuk mekanisme diskonto; -6- d. diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; e. memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga puluh enam) bulan; f. g. dialihkan secara elektronik; didaftarkan dan ditatausahakan di Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; h. diterbitkan dengan akad Mudarabah; dan i. imbalan diberikan dalam bentuk bagi hasil. (2) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dihitung berdasarkan kegiatan usaha yang didanai oleh Sertifikat Deposito Syariah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PELAKU PASAR DAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG Pasal 4 (1) Pelaku Pasar dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah meliputi: a. Penerbit; dan b. Pelaku Transaksi. (2) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu Bank. (3) Pelaku Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. bank; b. Perusahaan Efek; dan c. nasabah. (4) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi: a. bank; -7- b. Perusahaan Efek; c. korporasi; d. orang perseorangan; dan e. Bukan Penduduk. Pasal 5 (1) Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah meliputi: a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah; dan b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (2) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Perusahaan Efek; dan b. Perusahaan Pialang. (3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian; dan b. Perusahaan Efek. (4) Pelaku Transaksi berupa bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dapat melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. (5) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah secara langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (6) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri. -8- (7) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang terdaftar di Bank Indonesia. BAB V KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 6 (1) Bank sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mencantumkan informasi dalam dokumen informasi penawaran kepada investor paling sedikit berupa: a. pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang”; b. akad; c. persentase nisbah bagi hasil nasabah; d. persentase tingkat indikasi imbalan; e. tata cara perhitungan bagi hasil; f. g. tanggal pembayaran bagi hasil; informasi pajak atas bagi hasil; dan h. kegiatan usaha yang didanai, dalam hal menggunakan akad Mudarabah muqayyadah. (2) Selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank sebagai Penerbit juga wajib mencantumkan pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan pembelian Sertifikat Deposito Syariah di pasar perdana maupun pembelian dan/atau penjualan Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder untuk menyetujui pemberian data dan/atau informasi kepada Bank Indonesia mengenai kepemilikan, transaksi, dan penyelesaian transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan. (3) Bank sebagai Penerbit wajib menginformasikan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbukaan informasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -9- BAB VI PERIZINAN PENERBIT Pasal 7 (1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk Bank yang pertama kali menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal Bank telah: a. memperoleh persetujuan untuk menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah dalam bentuk tanpa warkat (scripless) dari otoritas yang berwenang; dan b. memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Sertifikat Deposito Syariah yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh izin sebagai Penerbit ditransaksikan di Pasar Uang. tidak dapat (5) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk LPP, Bank sebagai Penerbit yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan fotokopi surat izin penerbitan tersebut kepada LPP sebagai bagian dari dokumen pendukung pendaftaran instrumen Sertifikat Deposito Syariah dalam penatausahaan LPP. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan dan persyaratan penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -10- BAB VII PENDAFTARAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG Bagian Kesatu Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Pasal 8 (1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang bertindak sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah wajib memperoleh persetujuan pendaftaran dari Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang telah: a. memiliki izin kegiatan usaha perantara pelaksanaan transaksi dari otoritas yang berwenang; dan b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Pasal 9 (1) Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek, yang melakukan kegiatan penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah wajib memperoleh persetujuan pendaftaran dari Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. -11- (2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek telah: a. memiliki izin kegiatan usaha sebagai Kustodian dari otoritas yang berwenang; dan b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito untuk Menjadi Lembaga Pendukung Transaksi dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah Pasal 10 (1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi sertifikat deposito di pasar uang, dapat menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah setelah mendapat persetujuan pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dari Bank Indonesia. (2) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito untuk -12- menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 11 (1) Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi sertifikat deposito di pasar uang, dapat menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (2) Lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan pendaftaran kepada Bank Indonesia untuk menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian transaksi sertifikat deposito untuk menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VIII TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR SEKUNDER Pasal 12 Pelaku Transaksi dilarang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebelum dana Sertifikat Deposito Syariah digunakan dalam kegiatan usaha Bank Penerbit. -13- Pasal 13 Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek serta Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder dengan menggunakan mekanisme bunga, termasuk mekanisme diskonto. Pasal 14 Sertifikat Deposito Syariah dapat ditransaksikan di pasar sekunder dengan cara: a. jual beli putus (outright) dengan menggunakan akad jual beli (ba’i); atau b. Repo Syariah dengan menggunakan akad al-bai’ ma’a al- wa’d bi al-syira’. Pasal 15 (1) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dilakukan secara: a. langsung; atau b. melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (2) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan akad wakalah bil ujrah. (3) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk transaksi antarnasabah yang dilakukan tanpa melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. (4) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dianggap telah menyetujui untuk memberikan akses kepada Bank Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian transaksi, dan posisi kepemilikan Sertifikat Deposito Syariah. (5) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dan Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah harus secara aktif -14- menyampaikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada nasabah Sertifikat Deposito Syariah. Pasal 16 Penyelesaian atas Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal transaksi. Pasal 17 Pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang lazim digunakan di pasar uang. Pasal 18 (1) Pelaku Transaksi berupa Bank dan Perusahaan Efek dilarang menjual Sertifikat Deposito Syariah kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder. (2) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder. Pasal 19 (1) Harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah merupakan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak dengan memperhitungkan: a. nominal Sertifikat Deposito Syariah; b. c. realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah; dan proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito Syariah sebelumnya. (2) Perhitungan harga transaksi Sertifikat Deposito Syariah menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu actual/360. -15- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IX PENATAUSAHAAN DAN PENYELESAIAN TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH Pasal 20 (1) Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilaksanakan melalui sarana yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilakukan di Bank Indonesia maka penatausahaan dan penyelesaian transaksi Sertifikat Deposito Syariah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penatausahaan surat berharga. (3) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilakukan di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia maka penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait LPP atau ketentuan yang diterbitkan oleh LPP. BAB X PENERAPAN PRINSIP SYARIAH, PRINSIP KEHATI-HATIAN, DAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 21 Bank, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini wajib menerapkan Prinsip Syariah. Pasal 22 (1) Bank sebagai Penerbit, bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang -16- melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini wajib menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Bank sebagai Penerbit paling sedikit mencakup: a. transparansi dan keterbukaan informasi; b. perlindungan konsumen; dan c. mekanisme penyelesaian sengketa. (3) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek dan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang paling sedikit mencakup: a. etika bertransaksi dan kode etik pasar (market code of conduct) atau pedoman lain yang sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. perlindungan konsumen; dan d. mekanisme penyelesaian sengketa. (4) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek paling sedikit mencakup: a. transparansi dan keterbukaan informasi; b. perlindungan konsumen; dan c. mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 23 Bank sebagai Penerbit, bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif. Pasal 24 Kewajiban penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan kewajiban penerapan manajemen -17- risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dikecualikan bagi Pelaku Pasar berupa nasabah korporasi, nasabah orang- perseorangan, dan nasabah Bukan Penduduk. BAB XI PENGAWASAN Pasal 25 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerbitan dan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada: a. Bank sebagai Penerbit; b. Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek; c. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang; dan d. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek. (4) Pengawasan terhadap penerbitan dan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (5) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. -18- (6) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang dipeoleh dari hasil pemeriksaan. Pasal 26 (1) Bank sebagai Penerbit, bank sebagai Pelaku Transaksi, bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank sebagai Penerbit, bank sebagai Pelaku Transaksi, bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB XII PELAPORAN Pasal 27 (1) Bank sebagai Penerbit wajib menyampaikan informasi realisasi penerbitan Sertifikat Deposito Syariah kepada Bank Indonesia setiap kali penerbitan. (2) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk LPP, informasi realiasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank sebagai Penerbit kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah Sertifikat Deposito Syariah diterbitkan dan dicatat secara efektif pada LPP. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi realisasi penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -19- Pasal 28 (1) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b yang melakukan transaksi untuk kepentingan sendiri wajib menyampaikan laporan mengenai Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan kepada Bank Indonesia. (2) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c harus melaporkan informasi mengenai Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan kepada Bank Indonesia melalui: a. bank, apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilakukan melalui bank; b. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilakukan melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan/atau Perusahaan Pialang; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa melibatkan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan/atau Perusahaan Pialang. (3) Pihak yang terlibat dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. bank; b. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah -20- berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan/atau Perusahaan Efek, wajib menyampaikan laporan mengenai Transaksi Sertifikat Deposito Syariah tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. (5) Tata cara penyampaian laporan oleh bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (6) Tata cara penyampaian laporan oleh: a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; dan b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan pasar uang nonbank dan kustodian. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 29 (1) LPP yang ditunjuk Bank Indonesia menyampaikan laporan atas penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah secara periodik kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara penyampaian laporan oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dituangkan dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan LPP. -21- BAB XIII PENCABUTAN IZIN DAN STATUS TERDAFTAR Pasal 30 Bank Indonesia dapat mencabut izin Penerbit dan status terdaftar Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang telah diberikan dalam hal: a. berdasarkan penilaian dan evaluasi Bank Indonesia terdapat permasalahan yang mengganggu kemampuan Penerbit, Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dalam melaksanakan kegiatan di Pasar Uang; b. berdasarkan permintaan dari otoritas atau lembaga profesi terkait; c. berdasarkan permintaan dari lembaga atau individu yang bersangkutan; dan/atau d. terdapat pengenaan sanksi atas pelanggaran dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XIV SANKSI Pasal 31 (1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai: a. keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), dan/atau Pasal 6 ayat (3); b. pendaftaran sebagai Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2); -22- c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau Pasal 13; d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; e. penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); f. penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2); dan/atau h. penyampaian informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan mengenai: a. pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan/atau b. izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal penerbitan, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per penerbitan. (3) Bank yang melanggar ketentuan mengenai penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. (4) Bank yang melanggar ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan/atau Pasal 28 ayat (3) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan -23- ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. Pasal 32 (1) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai: a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2); b. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2); c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau Pasal 13; d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; e. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); f. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. -24- Pasal 33 (1) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai: a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2); b. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; c. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); e. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau f. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dikenakan denda kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi. Pasal 34 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, dan/atau Pasal 27 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang berupa penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah, tersebut, paling sedikit -25- dan/atau kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan. (2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 23, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang berupa Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah dan/atau kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan. (3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 23, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang berupa kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah selama 1 (satu) bulan. Pasal 35 (1) Bank yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi pencabutan izin dan/atau status terdaftar yang telah diberikan. (2) Perusahaan Efek yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah diberikan. -26- (3) Perusahaan Pialang yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah diberikan. Pasal 36 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Bank sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan bank sebagai Pelaku Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebit rekening giro bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan dengan cara melakukan penyetoran kepada rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat pengenaan sanksi kewajiban membayar dari Bank Indonesia. (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dilakukan dengan cara melakukan setoran kepada rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat pengenaan sanksi kewajiban membayar dari Bank Indonesia. Pasal 37 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi terhadap: a. Bank sebagai Penerbit; b. bank sebagai Pelaku Transaksi dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah; c. Perusahaan Efek sebagai Pelaku Transaksi, Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, -27- dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah; dan/atau d. Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, kepada otoritas yang berwenang. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Sertifikat Deposito Syariah yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat ditransaksikan di Pasar Uang sampai dengan jatuh waktu. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Kewajiban pelaporan yang disampaikan oleh: a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b; dan b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, mulai berlaku 6 (enam) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -28- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 121 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/9/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG I. UMUM Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Kebijakan tersebut di atas perlu didukung dengan kondisi pasar keuangan termasuk pasar keuangan syariah yang likuid dan efisien. Pengembangan pasar keuangan syariah dilakukan antara lain melalui pengembangan instrumen, infrastruktur, regulasi dan basis investor pada pasar uang. Pengembangan instrumen diarahkan untuk menambah ketersediaan likuiditas untuk memperdalam Pasar Uang dan berperan memperkuat stabilitas sistem keuangan. Salah satu instrumen pasar keuangan syariah yaitu Sertifikat Deposito Syariah. Sertifikat Deposito Syariah dapat menjadi salah satu instrumen yang likuid yang dapat mendukung perbaikan struktur pendanaan perbankan syariah melalui jangka waktu pendanaan yang lebih panjang, mendukung potensi penambahan dana pihak ketiga, mendorong efisiensi pendanaan, dan menjadi salah satu sumber pembiayaan ekonomi nasional. Pengaturan Sertifikat Deposito Syariah oleh Bank Indonesia sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2015 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank yang mengatur bahwa pemindahtanganan sertifikat deposito termasuk yang berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk tanpa warkat yang -2- dilakukan melalui Pasar Uang, tunduk pada ketentuan yang diatur oleh otoritas yang berwenang, yaitu dalam hal ini Bank Indonesia sebagai otoritas Pasar Uang. Kewenangan Bank Indonesia ini ditegaskan pula dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang. Selanjutnya, untuk menciptakan pasar Sertifikat Deposito Syariah yang mendukung pembentukan Pasar Uang yang likuid, dalam, dan efisien perlu diatur Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang. Selain itu, pengaturan ini dimaksudkan untuk memitigasi potensi risiko sistemik dalam sistem keuangan, melalui penguatan aspek governance, kejelasan mekanisme transaksi, dan kewenangan pengawasan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik Sertifikat Deposito Syariah dan bukti kepemilikan bagi pemegang Sertifikat Deposito Syariah berupa pencatatan elektronis di LPP. Penerbitan dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah tanpa warkat (scripless) dimaksudkan untuk memudahkan transaksi antarinvestor. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “diskonto” adalah menjual Sertifikat Deposito Syariah di bawah harga nominal (below par). -3- Huruf d Penetapan besaran nominal (issue size) paling sedikit dilakukan untuk mendorong penggunaan instrumen Sertifikat Deposito Syariah sebagai sumber pendanaan besar (wholesale funding) dan meningkatkan potensinya untuk ditransaksikan di pasar sekunder. Huruf e Penetapan jangka waktu standar dilakukan untuk mendorong likuiditas transaksi di pasar sekunder dan terciptanya benchmark imbalan atau bagi hasil untuk instrumen Sertifikat Deposito Syariah. Huruf f Pengalihan secara elektronik meliputi pula pemindahan atau mutasi pencatatan. Huruf g Yang dimaksud dengan “LPP” antara lain PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Huruf h Pembagian keuntungan usaha dalam akad mudarabah dinyatakan dalam bentuk nisbah bagi hasil. Akad mudarabah dapat berupa Mudarabah mutlaqoh atau Mudarabah muqayyadah. Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad Mudarabah mutlaqoh, Bank tidak dibatasi untuk menggunakan dana nasabah dalam aktivitas penyaluran dana sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad Mudarabah muqayyadah, nasabah selaku pemilik dana memberikan persyaratan dan batasan tertentu kepada Bank antara lain mengenai tempat, cara, dan/atau obyek investasi yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian. Huruf i Imbalan bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah dapat dibayarkan secara periodik atau pada saat jatuh tempo. Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau tahunan. -4- Ayat (2) Kegiatan usaha yang didanai oleh Sertifikat Deposito Syariah dapat berasal dari kegiatan usaha yang memiliki imbal hasil tetap dan/atau yang memiliki imbal hasil tidak tetap sesuai dengan akad. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pelaku yang menggunakan perantara pelaksanaan transaksi. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. -5- Pasal 6 Ayat (1) Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain dalam bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis yang lazim dipergunakan. Huruf a Pencantuman pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang” dilakukan untuk mempertegas bahwa Sertifikat Deposito Syariah dapat ditransaksikan di Pasar Uang. Huruf b Akad yang digunakan dapat berupa Mudarabah mutlaqoh atau Mudarabah muqayyadah. Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad Mudarabah mutlaqoh, Bank tidak dibatasi untuk menggunakan dana nasabah dalam aktivitas penyaluran dana sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad Mudarabah muqayyadah, nasabah selaku pemilik dana memberikan persyaratan dan batasan tertentu kepada Bank antara lain mengenai tempat, cara, dan/atau obyek investasi yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian. Huruf c Yang dimaksud dengan “persentase nisbah bagi hasil nasabah” adalah persentase keuntungan yang menjadi porsi nasabah. Huruf d Yang dimaksud dengan “persentase tingkat indikasi imbalan” adalah persentase proyeksi bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah. Huruf e Salah satu informasi dalam perhitungan bagi hasil yaitu informasi metode bagi hasil yaitu profit sharing atau non-profit sharing. -6- Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Informasi tingkat realisasi imbalan bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah dapat disampaikan secara periodik atau pada saat jatuh tempo. Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau tahunan. Informasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah digunakan sebagai salah satu acuan bagi Pelaku Transaksi dalam penetapan harga Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di pasar sekunder. Media yang dapat digunakan oleh Bank untuk menginformasikan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah antara lain berupa media papan pengumuman di kantor bank, media laman resmi Bank, dan/atau media lainnya. Pengumuman atas tingkat realisasi imbalan juga dapat dilakukan oleh LPP berdasarkan informasi dari Bank Penerbit Sertifikat Deposito Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. -7- Huruf b Pemenuhan persyaratan dari Bank Indonesia antara lain surat pernyataan yang ditandatangani pengurus Bank terkait pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar Uang, penerapan Prinsip Syariah, penerapan prinsip kehati-hatian, penerapan manajemen risiko, dan pertimbangan risiko sistemik. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemenuhan persyaratan administratif dari Bank Indonesia antara lain surat pernyataan yang ditandatangani pengurus terkait penerapan Prinsip Syariah, penerapan prinsip kehati- hatian, dan penerapan manajemen risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemenuhan persyaratan administrasi dari Bank Indonesia antara lain surat pernyataan yang ditandatangani pengurus -8- terkait penerapan Prinsip Syariah, penerapan prinsip kehati- hatian, dan penerapan manajemen risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Repo syariah, jual beli atas Sertifikat Deposito Syariah dilakukan dengan akad jual beli yang sesungguhnya (al-bai’ al- haqiqi) yang antara lain diikuti dengan berpindahnya kepemilikan Sertifikat Deposito Syariah yang diperjualbelikan termasuk segala akibat hukum lain yang melekat pada Sertifikat Deposito Syariah tersebut antara lain namun tidak terbatas pada hak atas imbalan Sertifikat Deposito Syariah dan perubahan harga. Yang dimaksud dengan “al-bai’ ma’a al-wa’d bi al-syira’” adalah penjualan dengan janji pembelian kembali pada waktu tertentu yang diperjanjikan. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. -9- Ayat (2) Yang dimaksud dengan “wakalah bil ujroh” adalah pemberian kuasa dari investor Sertifikat Deposito Syariah kepada Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dengan imbalan pemberian biaya (ujrah). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Pengaturan penyelesaian waktu Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dimaksudkan untuk mencapai pasar yang teratur dan berlandaskan prinsip kehati-hatian serta mengurangi risiko counterparty transaksi mengalami default yang menyebabkan transaksi yang telah disepakati menjadi tidak dapat diselesaikan. Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Larangan penjualan Sertifikat Deposito Syariah kepada Bukan Penduduk ditetapkan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dari risiko peningkatan eksposur pinjaman Bank kepada Bukan Penduduk secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh transaksi di pasar sekunder. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. -10- Larangan pemberian jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk ditetapkan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dari risiko peningkatan eksposur pinjaman Bank kepada Bukan Penduduk secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh transaksi di pasar sekunder. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah antara lain berupa pencatatan kepemilikan, penyimpanan dokumen, pemindahan kepemilikan, pemindahan atau mutasi pencatatan, dan pembayaran pelunasan Sertifikat Deposito Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Kegiatan penerbitan dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang sesuai dengan Prinsip Syariah merupakan kegiatan yang tidak mengandung unsur: a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; -11- d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Penerapan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemenuhan prinsip kehati-hatian oleh Bank sebagai Penerbit dimulai sejak persiapan penerbitan, penerbitan, dan pascapenerbitan sampai dengan pelunasan kewajiban Penerbit. Pemenuhan prinsip kehatian-hatian bertujuan untuk memastikan bahwa Penerbit dapat memenuhi kewajiban Penerbit terutama terkait pembayaran Sertifikat Deposito Syariah. Huruf a Penerapan prinsip kehati-hatian dalam transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi baik pada saat penerbitan maupun pascapenerbitan. Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan untuk melindungi kepentingan investor Sertifikat Deposito Syariah. Huruf b Penerapan prinsip kehati-hatian dalam perlindungan konsumen antara lain dilakukan melalui penerapan tata kelola yang baik dalam proses persiapan penerbitan, penerbitan, dan pelunasan. Huruf c Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain melalui pengungkapan di dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya. -12- Ayat (3) Penerapan prinsip kehati-hatian oleh Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek dan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilakukan dalam setiap aspek transaksi atau perdagangan mulai dari pratransaksi, transaksi, dan pascatransaksi. Penerapan prinsip kehatian-hatian bertujuan untuk mendorong terciptanya perdagangan Sertifikat Deposito Syariah yang kredibel. Huruf a Pemenuhan etika bertransaksi dan kode etik pasar (market code of conduct) atau pedoman sejenis dapat menggunakan kode etik pasar yang tersedia seperti kode etik pasar yang diterbitkan oleh Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA). Huruf b Penerapan prinsip kehati-hatian dalam transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan pada saat penyampaian kuotasi kepada calon investor Sertifikat Deposito Syariah dengan didasarkan pada pedoman internal maupun kode etik pasar yang secara umum digunakan oleh Pelaku Transaksi dan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian dalam perlindungan konsumen Sertifikat Deposito Syariah antara lain dilakukan melalui penyusunan dan penerapan standar layanan transaksi sesuai dengan praktik terbaik, penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan perdagangan Sertifikat Deposito Syariah, dan pemberian jasa perantara sesuai dengan kode etik serta ketentuan lainnya terkait dengan perlindungan konsumen. Huruf d Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau dokumen lain antara Lembaga Pendukung Transaksi -13- Sertifikat Deposito Syariah dan nasabah yang dalam hal ini merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah. Ayat (4) Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek dilakukan mulai dari penerimaan nasabah, pengadministrasian rekening nasabah, penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah, penyampaian laporan kepada nasabah, dan pemberian jasa penatausahaan lainnya. Huruf a Penerapan prinsip kehatian-hatian dalam transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dengan memberikan kemudahan akses bagi nasabah yang dalam hal ini merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah untuk memperoleh informasi mengenai penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. Huruf b Penerapan prinsip kehatian-hatian dalam perlindungan konsumen antara lain dilakukan melalui penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan pendaftaran nasabah, penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah, distribusi Sertifikat Deposito Syariah di pasar perdana, dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah. Huruf c Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau dokumen lain antara Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dan nasabah yang dalam hal ini merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah. -14- Pasal 23 Penerapan manajemen risiko mengacu pada ketentuan manajemen risiko yang diatur oleh otoritas yang berwenang. Penerapan manajemen risiko oleh Bank sebagai Penerbit dilakukan terhadap risiko yang dihadapi antara lain terhadap risiko kredit yang berpotensi menyebabkan tidak terbayarnya Sertifikat Deposito Syariah dan risiko usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha dari Penerbit sehingga memengaruhi kemampuan Penerbit dalam melakukan pembayaran pokok dan bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. -15- Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Laporan yang disampaikan oleh LPP paling sedikit meliputi penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah. Penyampaian laporan oleh LPP dilakukan untuk menjaga kualitas data (quality assurance) Sertifikat Deposito Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. -16- Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6233
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/9/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 1 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 2 Agustus 2018 </effective_date> <issued_date> 2 Agustus 2018 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '18/11/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 7 /PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global berdampak pada aliran modal asing dan nilai tukar Rupiah; b. bahwa perekonomian membutuhkan aliran modal asing baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang; c. bahwa dalam upaya menjaga kestabilan moneter dan pasar keuangan domestik perlu dilakukan upaya pendalaman pasar; d. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank perlu disesuaikan dengan perkembangan pasar keuangan domestik dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu melakukan perubahan keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor… - 2 - Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK. Pasal… - 3 - Pasal I Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 10/20/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905); b. Nomor 13/7/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5193); c. Nomor 15/6/PBI/2013 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5442); diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 3B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3B (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A, dikecualikan terhadap: a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank; b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil; c. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan paling tinggi 100% (seratus persen) dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha); d. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara asing… - 4 - asing dan lembaga internasional; e. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN); f. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN); g. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana untuk pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan hasil penjualan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI); h. kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk yang timbul dari transaksi derivatif lindung nilai; i. giro milik Bukan Penduduk non pemegang saham pengendali yang digunakan dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur; dan/atau j. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah oleh lembaga supranasional dalam rangka pembiayaan sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur. (2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan ditatausahakan oleh Bank. Pasal II 1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia ini beserta semua peraturan pelaksanaannya, semua penyebutan: a. Direktorat Luar Negeri harus dibaca sebagai Departemen Surveillance Sistem Keuangan; dan b. Direktorat Pengawasan Bank atau Kantor Bank Indonesia harus dibaca sebagai Otoritas Jasa Keuangan. 2.Peraturan… - 5 - 2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 April 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 68 DKEM - 6 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 7 /PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK I. UMUM Perekonomian domestik saat ini masih membutuhkan aliran modal asing baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Aliran modal asing tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan upaya pendalaman pasar keuangan domestik dan menjaga ketahanan ekonomi nasional. Di sisi lain, aliran modal asing tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global yang pada akhirnya berdampak pada kestabilan nilai tukar Rupiah. Untuk mengurangi dampak negatif dari dinamika perekonomian global terhadap aliran modal asing dan kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai PLN Jangka Pendek berupa penambahan pengecualian atas PLN Jangka Pendek tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian Bank dalam mengelola PLN. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 3B Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur… - 7 - 2 mengatur mengenai bank umum dan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing maupun Rupiah. Huruf b Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah kegiatan usaha suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing yang digunakan untuk pembiayaan operasional, bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan, dan penempatan dana tidak untuk memperoleh keuntungan. Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap sebagai perwakilan negara asing. Yang dimaksud dengan “lembaga internasional” adalah lembaga internasional yang kegiatannya bersifat nirlaba, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Islamic Development Bank (IDB). Huruf e Cukup jelas. Huruf f Hasil penjualan kembali (divestasi) meliputi pokok dan imbal hasil. Huruf… - 8 - 3 Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “kewajiban” adalah liabilitas Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to-market transaksi derivatif Bank dengan Bukan Penduduk dan tercatat di on balance sheet. Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit. Yang dimaksud dengan “lindung nilai” adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. Huruf i Penggunaan giro milik Bukan Penduduk non pemegang saham pengendali bank dalam rangka penyaluran kredit kepada debitur di sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur meliputi: 1. untuk menampung sementara dana sebelum disalurkan oleh pemilik rekening giro tersebut kepada debitur di sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur; dan 2. untuk menerima pembayaran dari debitur di sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur, Kredit yang dimaksud pada huruf ini bukan merupakan two step loan. Huruf… - 9 - 4 Huruf j Yang dimaksud dengan “lembaga supranasional” adalah lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh dua atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya. Contoh lembaga supranasional antara lain Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), dan World Bank Group yang terdiri dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Finance Corporation (IFC). Ayat (2) Bukti yang memadai adalah: a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi likuiditas. b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain berupa analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi penerimaan dana dan realisasi kredit. c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain berupa bukti penempatan atau transfer dan laporan keuangan Bank. d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas pemilik rekening. e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor, dan identitas penerima penyertaan. f. untuk… - 5 - - 10 - f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang meliputi bukti pembelian saham atau obligasi yang tercatat di lembaga kustodian atau bursa efek. g. untuk penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan langsung atau penjualan kembali surat-surat berharga, paling kurang meliputi bukti perubahan kepemilikan saham atau surat berharga. h. untuk SBN, pembelian atau penjualannya paling kurang telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). i. untuk SBI, pembelian atau penjualannya paling kurang telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). j. untuk posisi kewajiban transaksi derivatif lindung nilai Bank terhadap nasabah Bukan Penduduk paling kurang berupa deal ticket dan blotter. k. untuk giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana yang diterima Bank dari kreditur non pemegang saham pengendali terkait pemberian kredit ke sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur paling kurang berupa salinan perjanjian kredit antara pemilik giro dengan debitur di sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur. l. untuk giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana dari penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah oleh lembaga supranasional terkait pembiayaan sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur paling kurang prospektus dan bukti penerbitan obligasi. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5523
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/7/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title> <set_date> 7 April 2014 </set_date> <effective_date> 7 April 2014 </effective_date> <issued_date> 7 April 2014 </issued_date> <changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '10/20/PBI/2008', '13/7/PBI/2011', '15/6/PBI/2013' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan dana untuk mendorong pembangunan ekonomi dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta tersedianya informasi kualitas debitur yang dapat diandalkan maka diperlukan adanya sistem informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil debitur; b. bahwa untuk mendukung tersedianya informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil debitur, diperlukan adanya suatu pusat informasi kredit (credit bureau); c. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di bidang keuangan dalam rangka memperoleh informasi debitur secara efisien dan efektif; d. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di bidang keuangan yang menghasilkan informasi … - 2 - informasi yang berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan pelapor dan pelaporan, pengembangan sistem serta penyempurnaan tata cara pelaporan/permintaan informasi debitur; e. bahwa dalam rangka membentuk pusat informasi kredit (credit bureau) perlu dilakukan penyempurnaan sistem informasi debitur yang dilakukan secara berkesinambungan; f. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai debitur dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; sistem informasi Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. 2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. 3. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank adalah lembaga selain bank yang melakukan kegiatan kartu kredit. 4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah lembaga keuangan yang meliputi asuransi, dana pensiun, perusahaan sekuritas, modal ventura, perusahaan pembiayaan, dan koperasi simpan pinjam, serta badan atau lembaga lain yang memberikan penyediaan dana kepada debitur. 5. Pelapor … - 4 - 5. Pelapor adalah Bank Umum, BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang meliputi kantor–kantor yang melakukan kegiatan operasional, antara lain: a. b. kantor pusat; kantor cabang; c. kantor cabang bank asing; atau d. kantor cabang pembantu bank asing, yang menyampaikan laporan debitur. 6. Debitur adalah nasabah perorangan atau perusahaan atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana. 7. Laporan Debitur adalah laporan penyediaan dana dan laporan keuangan Debitur pada periode tertentu, yang disajikan dan dilaporkan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia menurut tata cara dan bentuk laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 8. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi mengenai Debitur yang merupakan hasil olahan dari Laporan Debitur yang diterima Bank Indonesia dari Pelapor. 9. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Pelapor baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan, penempatan, tagihan lainnya, dan transaksi rekening administratif serta bentuk penanaman dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 10. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Pelapor dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan … - 5 - a. b. c. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 11. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. 12. Penempatan adalah penanaman dana Pelapor pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 13. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Pelapor dalam bentuk saham pada bank atau perusahaan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan lain. 14. Penyertaan Modal Sementara adalah Penyertaan Modal oleh Pelapor dalam perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan Debitur. 15. Tagihan Lainnya adalah tagihan Pelapor kepada pihak lain antara lain berupa surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo), tagihan akseptasi, dan tagihan derivatif. 16. Transaksi … - 6 - 16. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit (LC), standby letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur dimaksudkan untuk membantu Pelapor dalam memperlancar proses penyediaan dana, mempermudah penerapan manajemen risiko, dan membantu bank dalam melakukan identifikasi kualitas Debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku. BAB III PELAPOR Pasal 3 (1) Bank Umum dan Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank wajib menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur. (2) BPR yang memiliki total aset sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih wajib menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur. Pasal 4 (1) BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) namun memiliki infrastruktur yang memadai dapat menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur. (2) Lembaga … - 7 - (2) Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur. (3) Lembaga Keuangan Bukan Bank yang akan menjadi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menandatangani surat pernyataan keikutsertaan keanggotaan. Pasal 5 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, terkini, dan tepat waktu. (2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan. (3) Pelapor bertanggung jawab atas isi dan ketepatan waktu penyampaian Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib disusun sesuai dengan Buku Pedoman Penyusunan Laporan Debitur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 6 Dalam hal Laporan Debitur tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB IV … - 8 - BAB IV LAPORAN DEBITUR Pasal 7 Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi informasi mengenai: a. Debitur; b. pengurus dan pemilik; c. fasilitas Penyediaan Dana; d. agunan; e. penjamin; f. laporan keuangan Debitur. Pasal 8 (1) Laporan keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f hanya diperuntukkan bagi Debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang menerima fasilitas Penyediaan Dana sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih. (2) Informasi laporan keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f wajib disajikan berdasarkan informasi keuangan terkini. (3) Informasi keuangan terkini sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang informasi 1 (satu) tahun terakhir. Pasal 9 Perubahan dalam cakupan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V … - 9 - BAB V PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR Pasal 10 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lambat tanggal 12 (dua belas) setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan. (2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Debitur pada tanggal diterimanya Laporan Debitur oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur apabila menyampaikan Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sampai dengan akhir bulan setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan. Pasal 12 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Pasal 13 (1) Pelapor wajib melakukan koreksi atas Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lambat tanggal 12 (dua belas) setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan. (2) Pelapor … - 10 - (2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur pada tanggal diterimanya koreksi atas Laporan Debitur oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur apabila menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan akhir bulan setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan. Pasal 15 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian koreksi atas Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14, jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka koreksi atas Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja sebelumnya. BAB VI PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR Pasal 16 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line. (2) Kewajiban penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line dikecualikan terhadap: a. Pelapor … - 11 - a. Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas telekomunikasi atau yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line; b. Pelapor yang baru memulai kegiatan operasional dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; atau c. Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur. (3) Pelapor yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur yang gangguan diterima karena adanya gangguan teknis atau lainnya pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur. Pasal 17 (1) Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia wajib menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam hal penyampaiannya dilakukan secara on line. (2) Dalam … - 12 - (2) Dalam hal penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara off line, Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur wajib disampaikan kepada: a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Bagian Data Perbankan Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Bagi Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Pelapor. (4) Pemberitahuan secara tertulis untuk memperoleh pengecualian penyampaian secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan penyampaian daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) wajib disampaikan kepada: a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Bagian Data Perbankan Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB VII … - 13 - BAB VII PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR Pasal 18 (1) Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dapat meminta informasi Debitur kepada Bank Indonesia. (2) Cakupan informasi Debitur yang disediakan bagi Pelapor meliputi antara lain identitas Debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur, agunan, penjamin, dan atau kolektibilitas. Pasal 19 (1) Informasi Debitur yang diperoleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 hanya dapat digunakan untuk keperluan Pelapor. (2) Keperluan Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dalam rangka: a. b. c. penerapan manajemen risiko; kelancaran proses Penyediaan Dana; identifikasi kualitas Debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku. (3) Segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan informasi Debitur selain untuk keperluan Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pelapor yang bersangkutan. Pasal 20 … - 14 - Pasal 20 (1) Permintaan Informasi Debitur oleh Pelapor harus dilakukan secara on line. (2) Dalam hal Pelapor berkedudukan di daerah yang tidak mempunyai fasilitas telekomunikasi, mengalami gangguan telekomunikasi atau mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak memungkinkan permintaan informasi Debitur secara on line, maka permintaan dapat dilakukan melalui kantor lain dari Pelapor yang bersangkutan. BAB VIII PENUNJUKAN PELAKSANA DAN PENANGGUNG JAWAB Pasal 21 (1) Pelapor wajib menunjuk petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam: a. menyusun dan menyampaikan Laporan Debitur; b. menjamin keabsahan dan kelengkapan Laporan Debitur yang terkini; c. mengajukan permohonan dan menerima informasi Debitur. (2) Pelapor wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berlakunya kewajiban pelaporan bagi Pelapor sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor wajib menyampaikan perubahan daftar dimaksud selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya perubahan. BAB IX … - 15 - BAB IX LAIN-LAIN Pasal 22 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pengkinian data Debitur yang terdapat dalam Sistem Informasi Debitur dalam hal Pelapor mengalami: a. pembekuan kegiatan usaha; atau b. likuidasi. (2) Pengkinian data Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat keterangan dari pihak yang melakukan pengelolaan data Debitur. BAB X SANKSI Pasal 23 Pelapor yang tidak melaporkan satu atau lebih fasilitas Penyediaan Dana dalam Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi kewajiban membayar: a. bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Bukan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per fasilitas untuk setiap bulan laporan dengan batas maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; b. bagi BPR sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per fasilitas untuk setiap bulan laporan dengan batas maksimal sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. Pasal 24 … - 16 - Pasal 24 Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi berupa: a. kewajiban membayar: 1) bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan; 2) dan b. penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia. Pasal 25 Pelapor yang belum menyampaikan Laporan Debitur sampai dengan jangka waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi berupa: a. kewajiban membayar: 1) bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap laporan; 2) dan b. penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia. Pasal 26 … bagi BPR sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap laporan, bagi BPR sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja kelambatan, - 17 - Pasal 26 (1) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar: a. bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja kelambatan; b. bagi BPR sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja kelambatan. (2) Pelapor yang belum menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur sampai dengan berakhirnya jangka waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar: a. bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap laporan; b. bagi BPR sebesar Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap laporan. Pasal 27 (1) Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan Debitur atas dasar temuan dan permintaan Bank Indonesia dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). (2) Pelapor yang tidak menyampaikan koreksi Laporan Debitur atas dasar temuan dan permintaan Bank Indonesia, selain dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), juga diberi peringatan tertulis. (3) Apabila … - 18 - (3) Apabila telah diberi 2 (dua) kali peringatan tertulis masing-masing dalam jangka waktu 2 (dua) minggu dan Pelapor tetap tidak menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur maka Pelapor dikenakan sanksi penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya koreksi atas Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar: a. bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan; b. bagi BPR sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap laporan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pelapor yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak melaporkan secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). Pasal 29 Pelapor yang meminta informasi Debitur dan ternyata digunakan bukan untuk maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap informasi Debitur. Pasal 30 … - 19 - Pasal 30 Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 21 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi Bank Umum sebagai Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan posisi bulan Januari 2005 sampai dengan Mei 2005 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/7/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Sistem Informasi Debitur. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Kewajiban penyampaian Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi Bank Umum diatur sebagai berikut: a. untuk Penyediaan Dana dengan plafon sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau lebih per Debitur wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Maret 2005; b. untuk … - 20 - b. untuk Penyediaan Dana dengan plafon kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Debitur dapat dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Maret 2005 dan paling lambat wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Desember 2005. Pasal 33 (1) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Januari 2006. (2) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilaporkan mulai Laporan Debitur posisi bulan Januari 2006. Pasal 34 (1) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Januari 2006. (2) Kewajiban penyampaian Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah menandatangani surat pernyataan keanggotaan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 35 … - 21 - Pasal 35 (1) Bagi Bank Umum pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 mulai berlaku: a. b. untuk plafon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a sejak pelaporan data bulan Juni 2005; untuk plafon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b sejak pelaporan data bulan Desember 2005. (2) Bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Maret 2006. (3) Bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 mulai berlaku 3 (tiga bulan) sejak menjadi Pelapor. Pasal 36 Ketentuan pelaksanaan tentang Sistem Informasi Debitur akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 37 … - 22 - Pasal 37 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/7/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Sistem Informasi Debitur dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data bulan Juni 2005. Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 18 DPIP/DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR UMUM Kelancaran proses penyediaan dana dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses penyediaan dana, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian penyediaan dana. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi. Dalam … - 2 - Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan sistem informasi debitur yang menghasilkan informasi tentang profil dan kondisi debitur yang lebih komprehensif, maka diperlukan penyempurnaan sistem informasi debitur melalui penambahan dan perluasan pihak-pihak yang diwajibkan untuk melaporkan data dan informasi debitur dan perluasan jenis dan bentuk laporan yang wajib diinformasikan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi penyelenggaraan sistem informasi debitur diperlukan pengembangan sistem secara berkesinambungan serta penyempurnaan mekanisme pelaporan dan pengaturan tentang persyaratan dan tatacara permintaan informasi debitur. Sistem informasi debitur yang saat ini telah digunakan sebagai pusat informasi antar bank perlu disempurnakan sehingga fungsi pusat informasi kredit (credit bureau) dapat terlaksana. Agar fungsi pusat informasi kredit (credit bureau) dapat terlaksana, informasi yang disediakan harus komprehensif termasuk informasi yang dimiliki lembaga keuangan bukan bank. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan infrastruktur antara lain adalah perangkat komputer dan jaringan telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Informasi Debitur antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda Penduduk, dan keterkaitan debitur dengan Pelapor dari sisi kepengurusan, kepemilikan, dan hubungan keuangan. Huruf b … - 4 - Huruf b Informasi pengurus dan pemilik antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda Penduduk, jabatan, dan pangsa kepemilikan. Huruf c Informasi fasilitas Penyediaan Dana antara lain berisi informasi mengenai jenis Penyediaan Dana, jumlah fasilitas yang diberikan dan kolektibilitas, termasuk Penyediaan Dana yang dihapusbuku, yang dihapus tagih, serta yang diselesaikan dengan cara pengambilalihan agunan atau penyelesaian melalui pengadilan. Huruf d Informasi agunan antara lain berisi informasi mengenai bukti kepemilikan, nilai taksasi, lokasi agunan, dan jenis pengikatan. Huruf e Informasi penjamin antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, nomor Kartu Tanda Penduduk, akta pendirian, dan bagian yang dijamin. Huruf f Informasi laporan keuangan Debitur antara lain berisi informasi mengenai neraca dan laba rugi. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 … - 5 - Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Laporan Debitur bulan Juli 2005 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 12 Agustus 2005. Ayat (2) Apabila Laporan Debitur disampaikan secara on line, maka Pelapor akan menerima tanda bukti penyampaian Laporan Debitur yang tercetak secara otomatis pada komputer Pelapor, setelah Pelapor selesai menyampaikan Laporan Debitur. Sementara itu, apabila Laporan Debitur disampaikan secara off line, maka Pelapor akan menerima bukti penerimaan Laporan Debitur dari Bank Indonesia. Pasal 11 Contoh: Penyampaian Laporan Debitur bulan Agustus 2005 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13 September 2005 sampai dengan tanggal 30 September 2005. Pasal 12 Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur. Contoh: … - 6 - Contoh: Laporan Debitur bulan Oktober 2005 yang wajib disampaikan paling lambat tanggal 12 November 2005 jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir penyampaian Laporan Debitur bulan Oktober 2005 adalah pada hari Jumat tanggal 11 November 2005. Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Koreksi atas Laporan Debitur bulan Juli 2005 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Agustus 2005. Ayat (2) Apabila koreksi atas Laporan Debitur disampaikan secara on line, maka Pelapor akan menerima tanda bukti penyampaian koreksi atas Laporan Debitur yang tercetak secara otomatis pada komputer Pelapor, setelah Pelapor selesai menyampaikan koreksi Laporan Debitur. Sementara itu, apabila koreksi atas Laporan disampaikan secara off line, maka Pelapor akan menerima bukti penerimaan koreksi atas Laporan Debitur dari Bank Indonesia. Pasal 14 Contoh: Koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13 September 2005 sampai dengan tanggal 30 September 2005. Pasal 15 … Debitur - 7 - Pasal 15 Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur. Contoh: Koreksi atas Laporan Debitur bulan Oktober 2005 yang wajib disampaikan paling lambat tanggal 12 November 2005 jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir penyampaian koreksi atas Laporan Debitur untuk bulan Oktober 2005 adalah pada hari Jumat tanggal 11 November 2005. Pasal 16 Ayat (1) Penyampaian Laporan Debitur dan atau secara on line adalah penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara mengirim atau mentransfer rekaman data Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara langsung melalui fasilitas komunikasi ekstranet Bank Indonesia atau melalui saluran komunikasi lain yang Indonesia. Ayat (2) Huruf a. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti banjir dan gempa bumi. Huruf b. … ditetapkan oleh Bank - 8 - Huruf b. Cukup jelas. Huruf c. Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi dan pemadaman listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara off line adalah penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur tidak secara on line kepada Bank Indonesia antara lain dalam bentuk disket atau compact disk. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 9 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Informasi Debitur yang individual. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti banjir dan gempa bumi. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 … disediakan adalah informasi Debitur - 10 - Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak yang melakukan pengelolaan data Debitur adalah Pengelola Sementara, Tim Likuidasi atau pihak lain yang berwenang, atau Lembaga Keuangan lain. Pasal 23 Huruf a Contoh: Apabila debitur menerima 5 (lima) fasilitas Penyediaan Dana seperti kredit modal kerja, kredit investasi, surat berharga, kredit konsumsi, pinjaman kartu kredit, dan empat fasilitas diantaranya tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan, maka terhadap Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 4 (empat) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Apabila fasilitas tersebut tidak dilaporkan selama 12 (dua belas) bulan maka maksimum kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Huruf b Contoh: Apabila debitur menerima 5 (lima) fasilitas Penyediaan Dana dan empat fasilitas diantaranya tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan, maka terhadap Pelapor dikenakan sanksi kewajiban … - 11 - kewajiban membayar sebesar 4 (empat) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Apabila fasilitas tersebut tidak dilaporkan selama 12 (dua belas) bulan maka maksimum kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 24 Huruf a Angka 1) Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli 2005 pada hari Selasa tanggal 16 Agustus 2005. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur 2 (dua) hari kerja, yaitu hari Senin dan Selasa, sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Angka 2) Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli 2005 pada hari Selasa tanggal 16 Agustus 2005. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur 2 (dua) hari kerja, yaitu hari Senin dan Selasa, sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Huruf b Cukup jelas. Pasal 25 … - 12 - Pasal 25 Huruf a Angka 1) Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli 2005 pada hari Kamis tanggal 1 September 2005. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap laporan. Angka 2) Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur data bulan Juli 2005 pada hari Kamis tanggal 1 September 2005. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap laporan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 pada hari Rabu tanggal 14 September 2005 … - 13 - 2005 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari kerja, yaitu hari Selasa dan Rabu, sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Huruf b Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 pada hari Rabu tanggal 14 September 2005 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari kerja, yaitu hari Selasa dan Rabu, sehingga Pelapor dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) = Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Ayat (2) Huruf a Contoh: Apabila koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 belum disampaikan sampai dengan akhir September 2005, Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Huruf b Contoh: Apabila koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 belum disampaikan sampai dengan akhir September 2005, Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 27 … - 14 - Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 … - 15 - Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4477 DPIP/DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/8/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> SISTEM INFORMASI DEBITUR </reg_title> <set_date> 24 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 24 Januari 2005 </effective_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 22 /PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa krisis keuangan global berdampak terhadap kondisi permintaan valuta asing korporasi domestik di pasar domestik dan menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap nilai tukar rupiah; c. bahwa salah satu upaya Bank Indonesia untuk mengurangi tekanan tersebut adalah dengan memberikan kepastian tersedianya valuta asing bagi korporasi domestik; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun … -2- Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Korporasi … -3- 2. Korporasi Domestik adalah badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). 3. Valuta asing yang selanjutnya disebut Valas adalah mata uang US Dollar. 4. Utang Valas adalah kewajiban Korporasi Domestik yang harus dipenuhi kepada kreditur, baik kreditur di dalam negeri maupun kreditur di luar negeri berdasarkan perjanjian kredit. 5. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke wilayah pabean Republik Indonesia atas dasar dokumen L/C . 6. FX Spot adalah transaksi jual-beli antara mata uang US Dollar terhadap mata uang Rupiah yang penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 7. Nomor Referensi adalah kombinasi angka dan/atau huruf yang ditentukan oleh Bank yang berfungsi untuk mengindentifikasi nilai masing-masing transaksi dan underlying kegiatan ekonomi dari transaksi tersebut. Pasal 2 (1) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas terhadap Rupiah kepada Bank Indonesia untuk Korporasi Domestik. (2) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas terhadap Rupiah kepada Bank Indonesia untuk instansi pemerintah. (3) Bank dilarang mengajukan permintaan kebutuhan Valas untuk kepentingan Korporasi Domestik yang merupakan pihak terkait dengan Bank. Pasal 3 (1) Pengajuan permintaan kebutuhan valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib memiliki underlying kegiatan ekonomi di Indonesia. (2) Underlying kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. pembayaran … -4- a. pembayaran utang Valas; b. pembayaran impor; dan/atau c. keperluan lain yang didukung dengan dokumen, sepanjang tidak untuk diperjualbelikan (trading) dan tidak untuk investasi di pasar keuangan. (3) Underlying kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. kewajiban membayar akan jatuh tempo paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pengajuan transaksi; dan b. dokumen underlying ekonomi yang dimiliki Korporasi Domestik hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pengajuan transaksi pada Bank yang sama. (4) Dalam hal kewajiban pembayaran dilakukan secara angsuran, Bank dapat mengajukan permintaan Valas lebih dari 1 (satu) kali sesuai kebutuhan angsuran sepanjang nilai Valas yang dibeli secara total tidak melebihi nilai nominal underlying. Pasal 4 Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) melalui transaksi beli FX Spot. Pasal 5 (1) Bank melakukan pengajuan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia melalui window yang dibuka setiap hari kerja dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 15.45 WIB. (2) Kurs FX Spot yang digunakan adalah kurs pasar tertinggi yang telah ditransaksikan pada hari yang bersangkutan, mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. (3) Kurs FX Spot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh Bank Indonesia paling lambat pukul 16.30 WIB. (4) Bank … -5- (4) Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas secara gabungan untuk semua Korporasi Domestik, dan/atau instansi Pemerintah beserta nilai total kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitoring Dealing System satu kali dalam satu hari. (5) Bank wajib mencantumkan Nomor Referensi underlying disertai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti pelunasan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 1 (satu) tahun sebelumnya atas nama Korporasi Domestik secara benar. (6) Bank dapat melakukan transaksi FX Spot beli paling banyak sebesar nilai nominal underlying. (7) Bank wajib bertanggungjawab terhadap pemenuhan persyaratan, kebenaran dokumen underlying yang disampaikan oleh Korporasi Domestik dan/atau instansi pemerintah serta kewajaran jumlah nominal transaksi. (8) Bank wajib memiliki pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang pada Korporasi Domestik diatas materai yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. kebenaran jenis underlying kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Korporasi Domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); b. underlying hanya digunakan pada satu Bank; c. tidak menggunakan Valas yang dibeli untuk keperluan trading atau jual beli Valas di pasar domestik maupun di pasar luar negeri termasuk untuk transaksi non deliverable forward (NDF); d. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit; e. jatuh tempo kewajiban Korporasi Domestik paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pengajuan transaksi; f. dokumen … -6- f. dokumen underlying ekonomi yang dimiliki Korporasi Domestik hanya digunakan untuk 1 (satu) kali pengajuan transaksi kecuali untuk transaksi yang kewajiban pembayarannya dilakukan secara angsuran; g. tujuan penggunaan Valas bahwa nasabah mengajukan dana valas hanya kepada 1 Bank untuk satu underlying dan tidak menggunakan valas tersebut untuk keperluan trading (jual beli) baik di pasar domestik maupun di pasar luar negeri termasuk non deliverable forward (NDF). (9) Bank wajib menatausahakan dokumen underlying dan dokumen terkait lainnya yang disampaikan oleh Korporasi Domestik dan/atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (10) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas Korporasi Domestik kepada Bank Indonesia secara keseluruhan paling banyak 25% (dua puluh lima per seratus) dari modal Bank dalam periode settlement. (11) Dalam hal Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas Korporasi Domestik kepada Bank Indonesia melebihi 25% (dua puluh lima per seratus) dari modal Bank dalam periode settlement sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Bank Indonesia menolak permintaan dimaksud. Pasal 6 Bank hanya dapat melakukan perbaikan atas data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 5 ayat (5), dan Pasal 5 ayat (6) sebelum window time ditutup. Pasal 7 Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. paling kurang memiliki Peringkat Komposit (PK) 3 (tiga), atau b. PK 4 (empat) atau PK 5 (lima), sepanjang : 1. mempunyai … -7- 1. mempunyai kecukupan Giro Wajib Minimum Rupiah untuk posisi 5 (lima) hari kerja sebelum transaksi Valas dilakukan; 2. tidak masuk dalam Special Surveilance Unit (SSU) atau Bank Dalam Penyehatan (BDP); dan 3. tidak menggunakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) lebih dari 3 (tiga) kali dalam 5 (lima) hari kerja terakhir. Pasal 8 (1) Bank wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro rupiah di Bank Indonesia pada tanggal valuta sebelum pukul 12.00 WIB untuk penyelesaian transaksi beli FX Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Dalam hal Bank tidak dapat menyediakan dana yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank Indonesia tidak melakukan penyerahan dana Valas kepada Bank yang bersangkutan. Pasal 9 Sanksi (1) Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal pelanggaran untuk masing-masing pelanggaran di bawah ini : a. Melakukan transaksi dengan Bank Indonesia untuk keperluan Korporasi Domestik yang merupakan pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); b. Melakukan transaksi tanpa adanya underlying sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); c. Melakukan transaksi dengan underlying di luar underlying sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); d. Melakukan … -8- d. Melakukan transaksi yang tidak memenuhi persyaratan jangka waktu jatuh tempo kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); e. Melakukan transaksi dengan menggunakan dokumen underlying yang sama lebih dari 1 (satu) kali untuk satu Bank yang sama atau Bank yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); atau f. Tidak menyediakan dana yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Total sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) per Bank dalam 1 (satu) bulan. (3) Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah) untuk masing-masing pelanggaran di bawah ini : a. Data gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4); b. Kebenaran angka NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5); c. Batas paling banyak dari nilai nominal underlying sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6); d. Tidak memiliki surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8); atau e. Melakukan perbaikan atas data setelah window time tutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 per underlying, per Korporasi Domestik, atau instansi pemerintah. Pasal 10 Bank Indonesia berwenang meniadakan window pengajuan kebutuhan Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sewaktu-waktu dengan pengumuman melalui reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat pukul 10.00 WIB pada hari yang sama dengan peniadaan window. Pasal … -9- Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 148 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 22 /PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK I. UMUM Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan tekanan yang besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, khususnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sebagai lembaga yang memiliki tugas utama mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia berupaya mengurangi tekanan tersebut dengan memberikan kepastian tersedianya valuta asing bagi korporasi domestik untuk mendukung kegiatan yang produktif di sektor riil. Hal tersebut juga diimbangi dengan upaya untuk tetap meminimalkan transaksi valuta asing yang bersifat spekulatif. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi tekanan terhadap nilai rupiah sehingga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -2- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Keperluan lain meliputi kebutuhan instansi pemerintah dan kebutuhan penyelenggaran ibadah haji. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas. Pasal … -3- Pasal 5 Ayat (1) Pengajuan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia didahului dengan Nomor Referensi. Ayat (2) Kurs pasar tertinggi diperoleh dari berbagai sumber antara lain dari perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan Valuta Asing. Ayat (3) Pengumuman kurs FX Spot dilakukan melalui reuters, bloomberg, atau sarana komunikasi lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Nomor Referensi terdiri dari 8 digit yang merupakan kombinasi dari kode jenis transaksi menurut jenis underlying: U = utang I = impor L = lainnya + 3 digit nomor kode Bank menurut LHBU + 4 digit nomor urut dokumen Misal : Bank Mandiri Bank BRI Bank BNI Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat … : U0080001 : I0020001 : L0090001 -4- Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Jangka waktu penatausahaan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. Ayat (10) Yang dimaksud dengan 25% dari modal bank dalam periode settlement adalah jumlah transaksi Bank dengan Bank Indonesia sampai dengan tanggal valuta. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 6 Perbaikan data dilakukan melalui Reuters Monitoring Dealing System. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal … -5- Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4906
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/22/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK </reg_title> <set_date> 15 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 15 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 15 Oktober 2008 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/38/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan Undang- Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang antara lain mengatur fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk melaksanakan penyelamatan dan likuidasi bank, diperlukan penyempurnaan mekanisme langkah-langkah tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank; b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … - 2 - Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK. Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4378) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 2 diubah dan ditambah dengan 1 (satu) ketentuan baru yaitu angka 3, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Komite Koordinasi adalah Komite Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Penjamin Simpanan. Tahun 2004 tentang Lembaga 3. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 2. Ketentuan Pasal 7 ayat (4) dihapus. 3. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 8 dan Pasal 9 menjadi Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A … - 4 - Pasal 8A (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Pemberitahuan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan mengenai kondisi Bank yang bersangkutan. 4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Bank Indonesia mengumumkan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus yang: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam perseratus); b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan; c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan tidak melaksanakan rencana perbaikan permodalan; d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan Bank Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan; dan atau e. diberikan … - 5 - e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengumuman tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7. (3) Bank Indonesia mengumumkan pula: a. Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7; dan atau b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% (delapan perseratus) atau lebih, dan atau memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah sebesar rasio yang ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank atau lebih. 5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Dalam hal permasalahan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditengarai berdampak sistemik, selain Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A, Bank Indonesia juga meminta Komite Koordinasi untuk melaksanakan rapat guna memutuskan Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. 6. Ketentuan … - 6 - 6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Dalam hal Komite Koordinasi telah menetapkan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebagai Bank berdampak sistemik dan Bank yang bersangkutan memenuhi kriteria: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui namun kondisi Bank menurun dengan cepat; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan; atau c. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui namun jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat yang diterima oleh Bank telah jatuh tempo dan tidak dapat dilunasi, Bank Indonesia meminta Komite Koordinasi untuk melaksanakan rapat guna memutuskan langkah-langkah penanganan Bank dimaksud. 7. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Bank dan atau pemegang saham dari Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan oleh Komite Koordinasi dalam penanganan permasalahan Bank yang bersangkutan. 8. Judul Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK 9. Ketentuan … - 7 - 9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Dalam hal Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus yang tidak berdampak sistemik memenuhi kriteria: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui, namun kondisi Bank menurun sehingga: 1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus); atau 2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan, Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan meminta keputusan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank yang bersangkutan. 10. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank Indonesia melakukan pencabutan izin usaha Bank yang bersangkutan setelah memperoleh Penjamin Simpanan. pemberitahuan dari Lembaga (2) Penyelesaian … - 8 - (2) Penyelesaian lebih lanjut Bank yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 10 Oktober 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 93 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/38/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 8A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 … - 2 - Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id Huruf a sampai dengan huruf d Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum ketentuan Bank Indonesia tentang (KPMM) didasarkan atas Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id. Ketentuan … - 3 - Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum yang berlaku. Angka 5 Pasal 10 Dampak sistemik adalah skala dan dimensi permasalahan yang ditimbulkan Bank tersebut yang dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank lain sehingga dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Angka 6 Pasal 11 Huruf a dan huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”fasilitas pembiayaan darurat” adalah fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pengertian jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat termasuk pula perpanjangannya. Angka 7 Pasal 12 Kecuali ditetapkan lain, langkah-langkah penanganan yang ditetapkan Komite Koordinasi tidak menghilangkan kewajiban Bank … - 4 - Bank untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan bagi Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 13 Mekanisme pemberitahuan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan batas waktu pengambilan keputusan oleh Lembaga Penjamin Simpanan akan dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dengan Lembaga Penjamin Simpanan. Angka 10 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelesaian yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4539
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/38/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK </reg_title> <set_date> 10 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 10 Oktober 2005 </effective_date> <changed_reg> '6/9/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 12 /PBI/2016 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai tujuan Bank Indonesia yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter antara lain melalui pelaksanaan operasi moneter; c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter perlu didukung dengan ketersediaan informasi terkait pasar keuangan; pertimbangan d. bahwa berdasarkan dimaksud dalam huruf a, huruf sebagaimana b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang -2- Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI MONETER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengelolaan moneter melalui OPT dan koridor suku bunga (Standing Facilities). 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. -3- 5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 6. 7. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 8. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-Bank. 9. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 10. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Surat Utang Negara. 11. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Surat Berharga Syariah Negara. 12. Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight yang selanjutnya disebut Suku Bunga PUAB O/N adalah suku bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata uang Rupiah antar-Bank yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight). -4- BAB II TUJUAN OPERASI MONETER Pasal 2 (1) Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter. (2) Dalam rangka mencapai stabilitas moneter, Operasi Moneter diarahkan untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N dan menjaga stabilitas nilai tukar. (3) Suku Bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikendalikan agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia. (4) Nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijaga agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar fundamental. (5) Suku bunga kebijakan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Bank Indonesia 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day Repo Rate). Pasal 3 Operasi Moneter dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi. Pasal 4 (1) Untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dilakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah dengan cara Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas. (2) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing. -5- BAB III PELAKSANAAN OPERASI MONETER Bagian Kesatu Bentuk Operasi Moneter Pasal 5 Operasi Moneter dilakukan dengan: a. OPT; dan b. Standing Facilities. Bagian Kedua Operasi Pasar Terbuka Pasal 6 Kegiatan OPT meliputi: a. penerbitan SBI dan SDBI; b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga; c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam Rupiah; e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; f. jual beli valuta asing terhadap Rupiah; dan g. transaksi lainnya baik di pasar uang Rupiah maupun valuta asing. Pasal 7 (1) OPT dapat dilaksanakan setiap hari kerja. (2) Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang. -6- Pasal 8 (1) Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dan huruf e dapat dicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. (2) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dapat dialihkan oleh peserta Operasi Moneter menjadi transaksi swap jual valuta asing terhadap Rupiah Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara peserta Operasi Moneter pada akhir hari kerja. (2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing yang menjadi pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari: a. nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; b. nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; atau c. 5% (lima persen) dari modal peserta Operasi Moneter. (3) Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang. -7- (4) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto. Pasal 10 Dalam kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Standing Facilities Pasal 11 (1) Standing Facilities meliputi: a. penyediaan dana Rupiah (lending facility); dan b. penempatan dana Rupiah (deposit facility). (2) Standing Facilities memiliki jangka waktu 1 (satu) hari kerja. Pasal 12 (1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap hari kerja. (2) Pelaksanaan Standing Facilities dilakukan melalui mekanisme nonlelang. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Operasi Moneter diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. -8- BAB IV SERTIFIKAT BANK INDONESIA DAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK INDONESIA Pasal 14 (1) SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan d. dapat dipindahtangankan (negotiable). (2) SDBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar- Bank. Pasal 15 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis (book entry registry) di Bank Indonesia. -9- (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian transaksi dan pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia dan/atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia mencabut penunjukan yang telah ditetapkan. Pasal 16 (1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk transaksi SBI yang dilakukan peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 (1) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak selain Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi SDBI yang dilakukan Bank dengan Bank Indonesia. -10- (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Lembaga perantara wajib melakukan transaksi SDBI atas nama nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain Bank, Bank Indonesia melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu (early redemption) tanpa persetujuan pemilik SDBI. Pasal 18 (1) Bank Indonesia melunasi SBI dan SDBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI dan SDBI sebelum jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBI dan SDBI. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai SBI dan SDBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PESERTA OPERASI MONETER DAN LEMBAGA PERANTARA Pasal 20 (1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas: a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank. (2) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung melalui lembaga perantara. (3) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter. -11- (4) Peserta Standing Facilities hanya dapat mengikuti Standing Facilities secara langsung. (5) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara. Pasal 21 (1) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran transaksi yang diajukan. (2) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara yang telah mengajukan penawaran transaksi dilarang membatalkan penawaran transaksinya. (3) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran transaksi dan persyaratan dalam transaksi Operasi Moneter yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara tidak memenuhi tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran transaksi yang telah diajukan ditolak dan/atau tidak diproses oleh Bank Indonesia. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENYELESAIAN TRANSAKSI OPERASI MONETER Pasal 23 (1) Peserta Operasi Moneter harus memiliki: a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing. -12- (2) Peserta Operasi Moneter harus memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi. (4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau melakukan transfer dana dalam valuta asing yang cukup ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden untuk penyelesaian transaksi. (5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal. (6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan: a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing; b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian transaksi, untuk transaksi OPT di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 24 Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta Operasi Moneter. -13- Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi Operasi Moneter diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII PEMANTAUAN PASAR KEUANGAN Pasal 26 (1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan. (2) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup pemantauan pasar uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN. (3) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui monitoring transaksi secara langsung atau secara tidak langsung. BAB VIII SANKSI Pasal 27 (1) Peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) sehingga menyebabkan batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi Operasi Moneter yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan nilai transaksi pada saat first leg, baik untuk transaksi Operasi Moneter yang batal pada saat first leg maupun second leg. -14- (3) Peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) sehingga menyebabkan batalnya transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf a, dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam Dolar Amerika Serikat; 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing non-Dolar Amerika Serikat. (4) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut- turut. (5) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk transaksi repo lending facility peserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari. -15- (6) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. Pasal 28 (1) Peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing selain penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), wajib membayar nilai transaksi yang bersangkutan pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf b. (2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing Dolar Amerika Serikat. 2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non-Dolar Amerika Serikat; atau -16- 3. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. (3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebet rekening giro valuta asing peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing Dolar Amerika Serikat dan valuta asing non- Dolar Amerika Serikat. b. Perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non-Dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal penyelesaian transaksi. c. Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran peserta Operasi Moneter dalam Rupiah. (4) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Pasal 29 Pemilik SBI yang merupakan peserta Operasi Moneter yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar -17- Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 30 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 31 Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan perubahan besaran margin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (6) dan Pasal 28 ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. -18- BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/5/PBI/2012 tanggal 8 Juni 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5321); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 tanggal 27 Agustus 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5440); dan d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/20/PBI/2015 tanggal 12 November 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 275, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5764), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 19 Agustus 2016. -19- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 172 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 12 / PBI/ 2016 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas mandat Bank Indonesia yaitu bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter yang terintegrasi dengan kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah. Pengendalian moneter dimaksud dilakukan antara lain dengan pengelolaan moneter melalui Operasi Moneter yang bersifat Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas. Pengelolaan moneter tersebut dilakukan melalui OPT baik di pasar uang maupun pasar valuta asing secara terintegrasi. Untuk mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan antara lain melalui monitoring transaksi di pasar uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi dimana inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya dan nilai tukar bergerak stabil sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “nilai tukar fundamental” adalah nilai tukar yang mencerminkan keseimbangan ekonomi eksternal dan ekonomi internal. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah meliputi transaksi dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar di pasar valuta asing. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI dan SDBI” adalah penjualan SBI dan SDBI oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta Operasi Moneter dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SDBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)” adalah penempatan dana milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia. Huruf e Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)” adalah penempatan dana milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia Huruf f Jual beli valuta asing terhadap Rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap. - 4 - Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian transaksi spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap Rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai penerusan (pass on) posisi transaksi derivatif Bank dengan pihak terkait Bank. Huruf g Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Ayat (2) Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender). Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta Operasi Moneter. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. - 5 - Ayat (2) Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing terhadap Rupiah Bank Indonesia” adalah transaksi beli valuta asing oleh Bank Indonesia melalui pembelian tunai (spot), dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “posisi devisa neto” adalah posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto peserta Operasi Moneter yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing adalah sebagai berikut: dalam juta Rupiah No Modal* PDN sebelum TD Valas a Absolut PDN b Rasio PDN c c = b/a 1 200.000 30.000 15% 35.000 2 200.000 30.000 15% 5.000 6.000 3 200.000 *) **) 3% 6.000 TD Valas d TD Valas sebagai Pengurang PDN TD Valas ≤ PDN e d ≤ b 30.000 5.000 6.000 TD Valas ≤ 5% Modal f d ≤ 5% x a 10.000 10.000 10.000 6.000 Maksimum TD Valas Pengurang PDN g** PDN Sesudah TD Valas Absolut PDN h Rasio PDN i h = b-g i = h/a 10.000 20.000 10% 5.000 25.000 12,5% 0 0% Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum Nilai maksimum TD Valas pengurang PDN (kolom g) adalah yang memenuhi syarat TD Valas ≤ PDN (kolom e) dan TD ≤ 5% dari modal (kolom f) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. - 6 - Ayat (3) Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang merupakan tambahan dari kewajiban pelaporan posisi devisa neto melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia dalam kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat berharga. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Penyediaan dana Rupiah (lending facility) dilakukan melalui mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga yaitu SBI, SDBI, SBN, dan/atau surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf b Penempatan dana Rupiah (deposit facility) dilakukan tanpa penerbitan surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Ayat (2) Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Bank. - 7 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar sekunder antara lain secara outright, hibah, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SDBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SDBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d Cukup jelas. Huruf e SDBI dapat dipindahtangankan antar-Bank melalui perdagangan di pasar sekunder antara lain secara outright, hibah, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. - 8 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain adalah Sub- Registry. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Transaksi SBI dengan pihak lain antara lain mencakup transaksi repurchase agreement (repo), penjualan secara outright, pinjam meminjam, hibah, dan pengagunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Transaksi SDBI antara lain mencakup transaksi jual/beli secara outright, pinjam meminjam, memberi/menerima hibah, repurchase agreement agunan/menerima agunan. (repo), atau memberikan Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 9 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelunasan SBI dan SDBI sebelum jatuh waktu dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan terkait strategi pengelolaan moneter. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum nonbank dan badan lainnya. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT antara lain sebagai agent bank dan/atau dealer utama (primary dealer). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran transaksi” adalah Bank menarik kembali penawaran transaksi yang telah diajukan. - 10 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyediaan dana di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam Rupiah. Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. - 11 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Monitoring transaksi secara langsung dilakukan melalui interaksi dengan pelaku pasar. Monitoring transaksi secara tidak langsung dilakukan melalui pemanfaatan berbagai informasi dan data pasar yang tersedia dalam sistem yang khusus dibangun untuk pemantauan atau dalam media lainnya. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. - 12 - Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5919 - 13 -
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/12/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 10 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 19 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 15 Agustus 2016 </issued_date> <replaced_reg> '15/5/PBI/2013', '17/20/PBI/2015', '14/5/PBI/2012', '12/11/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/Perppu/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/4/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS P ERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam implementasi ketentuan yang mengatur mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap perusahaan pembiayaan perlu dilakukan harmonisasi pengaturan antar otoritas dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian; b. bahwa diperlukan dukungan atas kegiatan pembiayaan dan pengembangan ekspor Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; berdasarkan pertimbangan sebagaimana c. bahwa dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati- hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank; - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5651) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi: a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan untuk menggantikan ULN sebelumnya (refinancing); b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan - 3 - proyek infrastruktur yang bersumber dari: 1. (bilateral multilateral); 2. pinjaman sindikasi dengan kontribusi kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral) lebih besar dari 50% (lima puluh persen); c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah; d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh lembaga internasional (bilateral atau multilateral); e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang dagang (trade credit); f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang lainnya (other loans); g. ULN dalam Valuta Asing perusahaan pembiayaan sepanjang: 1. memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan 2. memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK; atau h. ULN dalam Valuta Asing Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). (2) ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dikecualikan sepanjang tidak menambah jumlah (outstanding) utang atau penambahannya tidak lebih dari nilai tertentu (threshold). (3) Bank Indonesia menetapkan besaran nilai tertentu (threshold) atas penambahan jumlah (outstanding) utang pada ULN refinancing yang seluruhnya dari kreditor lembaga internasional atau - 4 - dikecualikan dari pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan proyek infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, lembaga internasional (bilateral atau multilateral) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d, ULN refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan besaran nilai tertentu (threshold) atas penambahan jumlah (outstanding) utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 April 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 74 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/4/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK I. UMUM Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan Indonesia. ULN ini digunakan untuk menutup kesenjangan antara investasi dan tabungan dalam negeri (saving- investment gap) sehingga memberikan manfaat bagi perekonomian. Dalam perkembangan terakhir, otoritas yang mengatur dan mengawasi perusahaan pembiayaan telah mengeluarkan ketentuan yang memiliki tujuan yang selaras dengan ketentuan ini, yaitu pengelolaan risiko ULN perusahaan pembiayaan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dilakukan harmonisasi pengaturan antar otoritas dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Selain itu, dalam kondisi perekonomian yang semakin menantang saat ini, Bank Indonesia berupaya untuk memberikan dukungan atas kegiatan pembiayaan dan pengembangan ekspor Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 7 - 2 - Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Korporasi Nonbank memperoleh utang luar negeri dari sindikasi untuk pembiayaan proyek infrastruktur, Korporasi Nonbank tersebut tidak wajib memenuhi ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sepanjang keikutsertaan internasional (bilateral atau multilateral) pada sindikasi tersebut lebih besar dari 50% (lima puluh persen). Pengecualian terkait pembiayaan proyek infrastruktur tersebut sebagai upaya mendukung pengembangan infrastruktur di dalam negeri. Huruf c Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah” adalah proyek-proyek yang sudah dicantumkan dalam dokumen perencanaan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas transaksi barang dan/atau jasa. Huruf f Yang dimaksud dengan “utang lainnya (other loans)” adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat utang (debt securities), dan utang dagang (trade credit) antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan dividen yang sudah ditetapkan namun belum dibayar. kreditor lembaga - 3 - Huruf g Yang dimaksud “perusahaan pembiayaan” adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan jasa. Huruf h Yang dimaksud “Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia” adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia melakukan kegiatan Pembiayaan Ekspor Nasional dalam bentuk Pembiayaan, Penjaminan, dan/atau Asuransi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5874
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/04/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title> <set_date> 21 April 2016 </set_date> <effective_date> 22 April 2016 </effective_date> <issued_date> 22 April 2016 </issued_date> <changed_reg> '16/21/PBI/2014' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 5 /PBI/2002 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN EMISI 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperingati satu abad kelahiran Bung Hatta Proklamator Republik Indonesia, Bank Indonesia memandang perlu untuk berpartisipasi dengan cara menerbitkan Uang Rupiah Khusus seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002; b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/12/PBI/1999 tanggal 29 Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus (Commemorative), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3921); 3. Peraturan … - 2 - 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3983); Memperhatikan Menetapkan : Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 11 Juli 2002; MEMUTUSKAN : : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN EMISI 2002. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. (2) Nilai Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebesar nilai nominal Uang Rupiah Khusus tersebut. Pasal 2 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas dan dicetak di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 adalah : A. Pecahan 500.000 (Lima Ratus Ribu) 1. Bahan 2. Kadar 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : : : : 1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA” di bagian atas 3). Logo Panitia Peringatan Satu Abad Bung Hatta di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun emisi “2002” di bagian tengah sisi kanan b. Sisi Belakang : 1). Gambar utama Bung Hatta Proklamator RI 2). Teks “SATU ABAD BUNG HATTA (1902-2002)” di bagian atas 3). Nilai nominal “Rp 500000” di bagian bawah c. Sisi Samping 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas 2. Kadar 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : : : : : : : : : : 1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA” di bagian atas 3). Logo Panitia Peringatan Satu Abad Bung Hatta di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun emisi “2002” di bagian tengah sisi kanan Bergerigi 140 Kuning Emas Bulat (lingkaran) 28,00 mm 15,00 gram Proof B. Pecahan 25.000 (Dua Puluh Lima Ribu) 1. Bahan Logam Perak 0,9995 Logam Emas 0,9990 b. Sisi Belakang … - 4 - b. Sisi Belakang : 1). Gambar utama Bung Hatta Proklamator RI 2). Teks “SATU ABAD BUNG HATTA (1902-2002)” di bagian atas 3). Nilai nominal “Rp 25000” di bagian bawah c. Sisi Samping 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas : : : : : : Bergerigi 150 Putih Perak Bulat (lingkaran) 38,61 mm 28,29 gram Proof Pasal 4 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 12 Agustus 2002. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Agustus 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 86 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/5/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN EMISI 2002 </reg_title> <set_date> 8 Agustus 2002 </set_date> <effective_date> 8 Agustus 2002 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
Diubah dengan PBI No. 3/14/PBI/2001 tanggal 20 September 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan restrukturisasi pinjaman luar negeri, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah telah memutuskan memberikan jaminan terhadap pinjaman luar negeri antar bank; b. bahwa penjaminan tersebut diberikan dengan tujuan untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran dan untuk memulihkan kembali kepercayaan perbankan internasional kepada perbankan di Indonesia; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 1999 Nomor 66, Tambahan 3. Undang . . . 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); Memperhatikan : Kesepakatan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 3 Mei 2000 tentang Jaminan atas Pembiayaan Perdagangan Internasional dan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank; M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi yang telah menandatangani Master Loan Agreement sebagaimana tercantum dalam lampiran 1. 2. Kreditur adalah bank atau lembaga keuangan pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Master Loan Agreement. 3. Master Loan Agreement untuk selanjutnya disebut MLA adalah Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang ditandatangani pada tanggal 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999 oleh Bank Indonesia sebagai penjamin, Bank, Kreditur, Syndicate Agents, Calculation Agent dan Exchange Agent. 4. Pinjaman ….. 4. Pinjaman Luar Negeri Antar Bank adalah kewajiban Bank terhadap Kreditur yang meliputi simpanan antar bank, pinjaman jangka pendek, menengah dan panjang serta pinjaman lainnya yang telah dipertukarkan menjadi pinjaman baru sebagaimana diatur dalam MLA. 5. Syndicate Agents adalah bank -bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan tercantum dalam MLA untuk mewakili Kreditur dalam menerima pembayaran yang dilakukan oleh Bank dan atau Bank Indonesia serta melaksanakan tugas-tugas lain yang ditetapkan dalam MLA. 6. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dengan menyediakan sejumlah dana di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan memberikan kuasa pendebetan terhadap rekening tersebut; 7. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka guna memberikan Counter Guaranty untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri Antar Bank, dalam Rupiah nomor 519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”. Pasal 2 Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah memberikan jaminan atas Pinjaman Luar Negeri Antar Bank berdasarkan MLA dan Counter Guaranty dari Menteri Keuangan. BAB II . . . BAB II JAMINAN DALAM RANGKA PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK Pasal 3 (1) Jaminan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada Kreditur dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajibannya maksimal sebesar pokok dan bunga Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya-biaya lain sebagaimana diatur dalam MLA. (2) Jaminan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan jangka waktu angsuran Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yaitu 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat), 5 (lima) dan 6 (enam) tahun sejak pinjaman dipertukarkan menjadi pinjaman baru. BAB III PROSEDUR JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK Pasal 4 (1) Dalam rangka pelaksanaan Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank, Bank wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai kesanggupan atau ketidaksanggupan membayar bunga dan atau pokok pinjaman serta biaya-biaya lain sesuai tagihan dari Syndicate Agents. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia cq. : a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Gedung Lt.6, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10010, Telepon 381-7405/7775, Facsimili 23116727; b. Direktorat . . . Tipikal b Direktorat Luar Negeri, Gedung B Lt. 5, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10010, Telepon 381-8303/8308, Facsimili 3501950 sebagai tembusan, selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum kewajiban jatuh tempo dengan menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran 2. (3) Dalam hal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan Bank tidak sanggup membayar, maka pemberitahuan ketidaksanggupan membayar yang meliputi kewajiban bunga dan atau pokok pinjaman serta biaya-biaya pada ayat (1) disampaikan dengan dilampiri : lainnya sebagaimana dimaksud a. Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar (contoh lampiran 3); b. Akta Pengakuan Utang (contoh lampiran 4); c. Surat Sanggup yang nilainya setara dengan nilai utang Bank (contoh lampiran 5); Pasal 5 (1) Jangka waktu Surat Sanggup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pembayaran kepada Kreditur, dengan suku bunga sebesar 125 % (seratus dua puluh lima per seratus) dari suku bunga SBI 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat pembayaran kepada Kreditur per tahun flat. (2) Biaya pembuatan Akta Pengakuan Utang dan biaya-biaya lainnya yang timbul menjadi beban Bank . BAB IV PROSEDUR PEMBAYARAN KEPADA KREDITUR Pasal 6 (1) Bank Indonesia akan melakukan pembayaran bunga dan atau pokok pinjaman serta biaya-biaya lain sesuai tagihan dari Syndicate Agents setelah Bank menyerahkan secara lengkap dokumen yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (2) Dalam . . . (2) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia mencukupi, pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank tersebut. (3) Atas pembayaran dengan membebani rekening giro US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia mengembalikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) kepada Bank. (4) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi, Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada Kreditur dengan cara membebani Rekening Pemerintah. (5) Pembayaran dengan cara membebani Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi utang Bank dalam valuta Rupiah kepada Pemerintah. (6) Pembayaran dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau pembayaran dengan membebani Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan kurs jual – kurs transaksi Bank Indonesia 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta pembayaran. BAB V PEMBAYARAN KEPADA PEMERINTAH Pasal 7 Pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, Bank wajib melakukan pembayaran dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia. BAB VI . . . BAB VI PROSEDUR PERMOHONAN DAN PEMBAYARAN UNTUK BANK BEKU KEGIATAN USAHA Pasal 8 (1) Bagi bank yang dibekukan kegiatan usahanya (BBKU) dalam masa penjaminan, maka permohonan untuk melakukan pembayaran kepada Kreditur diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan dengan menyebutkan rekening yang akan dibebankan. (2) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran tanpa melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5. BAB VII PELAPORAN BANK KEPADA BANK INDONESIA Pasal 9 (1) Bank wajib menyampaikan laporan semua kewajiban pembayaran yang telah dilakukan kepada Syndicate Agents sebagaimana diatur dalam MLA kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah akhir bulan pelaksanaan pembayaran bunga dan atau pokok pinjaman yang bersangkutan, dengan menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran 6. BAB VIII… BAB VIII BIAYA Pasal 10 (1) Biaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan MLA dibebankan kepada Bank secara proporsional sesuai dengan besarnya Pinjaman Luar Negeri Antar Bank masing-masing Bank yang dijamin Bank Indonesia. (2) Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara transfer ke rekening Bank Indonesia di luar negeri sesuai pemberitahuan Bank Indonesia. (3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud Indonesia. (4) Pembayaran dengan mendebet rekening giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan kurs jual - kurs transaksi Bank Indonesia 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta pembayaran. pada ayat (2) tidak diterima Bank Indonesia sesuai waktu yang ditetapkan, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank BAB IX S A N K S I Pasal 11 (1) Bank yang menyampaikan pemberitahuan tertulis melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00- (lima juta Rupiah) per hari. (2) Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan kewajiban pembayaran melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) per hari yang dihitung sejak hari keterlambatan sampai dengan diterimanya laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 12 . . . Pasal 12 (1) Apabila pada saat jatuh tempo Surat Sanggup Bank tidak melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, maka setelah tanggal jatuh tempo Surat Sanggup Bank Indonesia akan mengenakan sanksi berupa : a. Peningkatan suku bunga sehingga menjadi 300% (tiga ratus per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, per tahun flat dan dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup sampai dengan dilakukannya pembayaran oleh Bank, dan b. Penghentian kegiatan penerimaan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang baru. (2) Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum juga melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, maka Bank dikenakan: a. Sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa, dan b. Pendebetan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, serta c. Ketentuan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal apabila terjadi saldo negatif. Pasal 13 Apabila Bank menyalahgunakan fasilitas Penjaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank, Bank dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan penunjukkan Bank sebagai bank devisa beserta pencantuman dalam Daftar Orang Tercela (DOT) terhadap pemilik dan atau pengurus Bank yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran. Pasal 14 . . . Pasal 14 (1) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia untuk untung Bank Indonesia. (2) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) dilaksanakan Bank Indonesia untuk untung rekening nomor 502.000000 “Bendahara Umum Negara”. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/90/KEP/DIR tanggal 7 September 1998 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Mei 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 57 DLN PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK UMUM Dalam rangka mengatasi permasalahan pinjaman luar negeri Bank sebagai dampak dari krisis perekonomian Indonesia, pada tanggal 4 Juni 1998 Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan perwakilan perbankan internasional di Frankfurt untuk merestrukturisasi pinjaman luar negeri Bank melalui program pertukaran pinjaman Bank menjadi pinjaman baru yang dijamin Bank Indonesia atau dikenal sebagai Program Exchange Offer. Melalui Program Exchange Offer diharapkan dapat memberikan dukungan penting bagi upaya jangka panjang Indonesia untuk merestrukturisasi sektor perbankan disamping akan memperkuat neraca pembayaran. Program ini diharapkan juga dapat mendukung kepastian sumber dana bagi perbankan yang pada gilirannya dapat mendukung kemampuan bank dalam merestrukturisasi pinjaman yang disalurkan kepada debitur sektor swasta. Dalam program Exchange Offer, pinjaman luar negeri Bank yang jatuh tempo sampai dengan 31 Maret 1999 diperpanjang sampai dengan tahun 2002 dan pembayarannya dijamin oleh Bank Indonesia berdasarkan counter guaranty dari Pemerintah. Program ini dilanjutkan dengan Exhange Offer II melalui kesepakatan London tanggal 29 Maret 1999. Adapun Master Loan Agreement yang mengatur kedua program tersebut masing- masing ditandatangani tanggal 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999. PASAL . . . PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Counter Guaranty Pemerintah diperlukan mengingat atas dasar Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak dapat memberikan kredit kepada bank kecuali untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Pasal 3 Ayat (1) Yang termasuk dalam biaya-biaya lain antara lain adalah denda keterlambatan pembayaran kepada Kreditur karena bank terlambat melaksanakan pembayaran kepada Kreditur luar negeri, biaya Syndicate Agents dan Calculating Agent. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pinjaman dipertukarkan menjadi pinjaman baru adalah pinjaman-pinjaman yang telah jatuh tempo atau akan jatuh tempo yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam MLA, yang kemudian disetujui oleh para pihak untuk mengikuti program jaminan pinjaman luar negeri antar bank sehingga menjadi pinjaman baru. Pinjaman baru disini artinya adalah bahwa pinjaman tersebut mempunyai persyaratan baru sesuai yang ditetapkan dalam MLA. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Asli Surat Pengakuan Utang . . . Pernyataan Tidak Sanggup Membayar, Akta Utang dan Surat Sanggup disampaikan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan. Pasal 5 Ayat (1) Pengenaan suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur dan dihitung sejak tanggal Bank Indonesia melakukan pembayaran sampai dengan bank melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, per tahun flat. Rumus penghitungan bunga dalam Rupiah adalah : Bunga/sanksi = H x M : 360 100 H x M 100 360 P H M P adalah angka bunga adalah pembagi tetap adalah hari bunga adalah saldo pinjaman Bank kepada Pemerintah adalah prosentase bunga per tahun Contoh kasus Pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur dilakukan pada tanggal valuta 24 Februari 2000 sebesar USD. 10.000.000,00. Kurs jual 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta adalah 1 USD. Rp. 7.000. Penyetoran oleh Bank ke Rekening Pemerintah dilakukan tanggal 10 April 2000. Suku Bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 11 Maret 2000 adalah sebesar 20%. Perhitungan . . . P Perhitungan pengenaan bunga adalah : Saldo = 125% x 20 = 25% = USD. 10.000.000,00 x Rp. 7.000 = Rp. 70.000.000.000,00 Hari Bunga = 24 Februari 2000 sampai 10 April 2000 = 46 hari; Bunga Angkabunga= Hari bunga x saldo = 46 x 70.000.000.000,00 32.200.000.000,00 100 Pembagi tetap = 360 Bunga Bunga = 100 360 125% x 20 = angka bunga : pembagi tetap = 32.200.000.000,00 : 14,40 = 2.236.111.111,11 jadi bunga yang dikenakan oleh Bank Indonesia kepada Bank pada kasus tersebut sebesar Rp. 2.236.111.111,11. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan saldo rekening giro “mencukupi” adalah penjumlahan saldo rekening giro dalam Dollar Amerika (USD) dan/atau Rupiah Kantor Pusat Bank di Bank Indonesia lebih besar dari kewajiban yang harus dibayar. Pembebanan rekening giro Dollar Amerika (USD) dan/atau Rupiah Bank untuk pembayaran kepada Kreditur, tanpa memperhatikan ketentuan Bank Indonesia lainnya antara lain Giro Wajib Minimum (GWM) dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) serta tidak memerlukan Surat Kuasa Pendebetan dari Bank. Ayat (3) . . . = 360 = 14,40 25 = Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan saldo rekening giro “tidak mencukupi” adalah penjumlahan saldo rekening giro dalam Dollar Amerika (USD) dan/atau Rupiah Kantor Pusat Bank di Bank Indonesia lebih kecil dari kewajiban yang harus dibayar. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Untuk MLA tanggal 18 Agustus 1998, pembayaran bunga pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 25 Februari dan 25 Agustus sedangkan pembayaran pokok pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 25 Agustus. Untuk MLA tanggal 25 Mei 1999, pembayaran bunga pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 1 Juni dan 1 Desember sedangkan pembayaran pokok pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 1 Juni. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) . . . Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pendebetan rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan Bank Indonesia antara lain Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak memerlukan Surat Kuasa Pendebetan dari Bank. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Pengenaan sanksi pembebanan suku bunga sebesar 300% (tiga ratus per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup Bank sampai dengan Bank melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, per tahun flat. Rumus penghitungan bunga dalam Rupiah adalah : Bunga/sanksi = H x M : 360 100 H x M 100 . adalah angka bunga 360 . . P 360 P H M P adalah pembagi tetap adalah hari bunga adalah saldo pinjaman Bank kepada Pemerintah adalah prosentase bunga per tahun Contoh kasus Pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur dilakukan pada tanggal valuta 24 Februari 2000 sebesar USD. 10.000.000,00. Kurs jual 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta adalah 1 USD. Rp. 7.000 Jangka waktu Surat Sanggup Bank sampai dengan 24 Mei 2000. Penyetoran oleh Bank ke Rekening Pemerintah dilakukan tanggal 31 Mei 2000. Suku Bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 24 Februari 2000 adalah 20% (saat pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur); Suku bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 24 Mei 2000 sebesar 18 % (saat jatuh tempo Surat Sanggup). Pada contoh ini, Bank akan dikenai penghitungan pengenaan bunga berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan sanksi berdasarkan Pasal 11 ayat (3) huruf a dengan perhitungan sebagai berikut: a. Pengenaan denda berdasarkan Pasal 5 ayat (1) : Pengenaan bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari suku bunga SBI 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur, dihitung sejak tanggal pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur sampai tanggal jatuh tempo Surat Sanggup. Saldo = USD. 10.000.000,00 x Rp. 7.000 = Rp. 70.000.000.000,00 Hari Bunga = 24 Februari sampai 24 Mei 2000 = 90 hari; Bunga = 125% x 20 = 25% Angka bunga = Hari bunga x saldo=90x70.000.000.000,00= 63.000.000.000,00 100 100 Pembagi . . . Pembagi tetap = 360 = Bunga = = 360 Bunga 125% x 20 = = 360 = 14,40 25 angka bunga : pembagi tetap 63.000.000.000,00: 14,40 4.375.000.000,00 ditambah dengan: b. pengenaan sanksi berdasarkan Pasal 12 ayat (1) : Pengenaan bunga sebesar 300% (tiga ratus per seratus) dari suku bunga SBI 3 bulan yang berlaku pada saat jatuh waktu Surat Sanggup, dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup (dalam kasus ini tanggal 24 Mei 2000) sebesar 18% sampai dengan Bank melakukan penyetoran kepada Pemerintah. Saldo Hari Bunga Bunga Angka bunga = Rp. 70.000.000.000,00 = 24 Mei sampai 31 Mei 2000 = 7 hari; = 300% x 18 = 54% = 4.900.000.000,00 Hari bunga x saldo=7 100 Pembagi tetap = 360 6,67 Bunga Bunga = x 100 360 300% x 18 = angka bunga : pembagi tetap = 4.900.000.000,00 : 6,67 = 734.632.683,70 jadi pengenaan bunga dan sanksi yang akan dikenakan oleh Bank Indonesia kepada Bank pada kasus tersebut selain pokok pinjamannnya adalah sebesar Rp 4.375.000.000,00 + Rp 734.632.683,70 = Rp 5.109.632.683,70 Ayat (2) Pengenaan sanksi berupa pencabutan penunjukkan Bank sebagai bank devisa, pendebetan saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia dan pengenaan sanksi sesuai ketentuan kliring, menghilangkan tidak kewajiban . . . 70.000.000.000,00= = 360 = 54 kewajiban Bank untuk membayar sanksi denda yang besarnya dan cara penghitungannya sama seperti yang diatur pada ayat (1). Pasal 13 Yang dimaksud penyalahgunaan fasilitas Penjaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank antara lain Bank memberikan keterangan tidak benar mengenai alasan ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajibannya. Penyalahgunaan fasilitas penjaminan diketahui Bank Indonesia setelah dilakukan pemeriksaan. Pasal 14 Ayat (1) Pembebanan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan Bank Indonesia lainnya antara lain Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak memerlukan Surat Kuasa Pendebetan dari Bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3953 DLN Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tgl 16 Mei 2000 Lampiran 1 DAFTAR BANK JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK Exchange Offer I No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. BPD DKI BPD Jawa Tengah Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Bank Tabungan Negara (Persero) Bank Mandiri (Persero) Bank Arta Graha Bank Bali Tbk. Bank Central Asia Bank Danamon Indonesia, Tbk Bank Dagang Bali Bank Finconesia Bank Inter Pacifik, Tbk. Bank Internasional Indonesia, Tbk Jayabank Internasional Bank Lippo, Tbk. Bank Multicor Bank Niaga, Tbk. Bank NISP Tbk. Bank Nusa Nasional Bank Pan Indonesia, Tbk. Bank Rama Bank Tamara Bank Tiara Asia Bank Universal Master Loan Agreement 18 Agustus 1998 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. PT. Exchange Offer II Master Loan Agreement 25 Mei 1999 Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Bank Tabungan Negara (Persero) Bank Mandiri (Persero) Bank Bali Tbk. Bank Central Asia Bank Danamon Indonesia, Tbk. Bank Duta Tbk. Bank Inter Pacific Tbk. Bank Internasional Indonesia, Tbk. Bank Merincorp Bank Niaga, Tbk. Bank NISP, Tbk. Bank Ganesha Bank Pan Indonesia, Tbk. Bank Tiara Asia, Tbk. Bank Unibank Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 Lampiran 2 Kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Gedung Tipikal lt. 6, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 100100 Perihal : -- Sehubungan dengan kewajiban pembayaran program Exchange Offer sebesar USD …., jatuh tempo tanggal ……., dengan ini kami menyatakan sebagai berikut (pilih salah satu (A atau B) sesuai kondisi bank): (A) Bank kami akan melaksanakan pembayaran pada tanggal …., tanggal valuta ….. (B) Bank kami tidak sanggup/tidak dapat melaksanakan pembayaran pada tanggal …., tanggal valuta….. Sehubungan dengan itu, kami mengajukan permohonan untuk dapat menggunakan penjaminan Bank Indonesia sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank. Untuk keperluan tersebut, terlampir kami sampaikan dokumen sebagai berikut: 1. Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar 2. Akta Pengakuan Utang 3. Surat Sanggup Demikian agar maklum. Jakarta, …… . . …………… PT. Bank ……………….. Pernyataan mengenai kesanggupan/ketidaksanggupan pembayaran kewajiban Exchange Offer --------------------------------------------------------------- cc.: Direktorat Luar Negeri Gedung B, Lantai 6 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 100100 Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 Lampiran 3 SURAT PERNYATAAN TIDAK SANGGUP BAYAR Pada hari ini ………… (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal surat), yang bertandatangan di bawah ini: ------------------------------------------------ 1. 2. . . . . . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai ………….…..(diisi nama jabatan); ------- bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . . (diisi nama bank) berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal . . . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . . .Tambahan Berita Negara nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .; menyatakan bahwa pada tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . (diisi tanggal jatuh tempo pembayaran bunga dan atau pokok Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya- biaya lain sesuai tagihan Syndicate Agents) atas sebab kesulitan likuiditas, Bank kami tidak sanggup membayar kewajiban kepada Kreditur dalam rangka Pinjaman Luar Negeri Antar Bank , atas bunga dan atau pokok Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya-biaya lain sesuai tagihan Syndicate Agents sebesar USD . . . . . . . . *) sebagaimana terlampir. Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon kepada Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran sebesar jumlah tersebut di atas kepada Kreditur. Atas pembayaran tersebut, dengan ini kami mengakui berhutang kepada Pemerintah dengan menyerahkan Akta Pengakuan Utang dan Surat Sanggup. (terlampir). Apabila kemudian terbukti pernyataan kami tidak benar, kami bersedia dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Jakarta, . . . . . . . . . . . . . . Meterai sesuai ket yg berlaku *) Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada pemerintah dalam Rupiah yang besarnya equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur. . . . .. . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai …………….. (diisi nama jabatan); -------- Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 Lampiran 4 JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA AKTA PENGAKUAN UTANG USD . ……..………………..*) Pada hari ini . . . . . . . (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal pembuatan Akta Pengakuan Utang), yang bertandatangan di bawah ini: --------------------- I. . . . . . . . . . . . . ...(diisi nama Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan). . . . . . . . . . . . . .; dalam kedudukan sebagai . . . . . . . . . . . . . . (diisi jabatan);---------------------- mewakili Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Surat nomor . . . . . . ..(diisi nomor surat) tanggal…………….(diisi tanggal surat) ; ----------------------------------------- untuk selanjutnya disebut sebagai : ----------------------------------------------------------------- --------------------------------- Pihak Pertama. ---------------------------------------------------- II. 1. . . . . . .(diisi nama) dalam kedudukan sebagai……….. (diisi nama jabatan); ------ 3. . . . . . ..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai………..(diisi nama jabatan); ----------- bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . .. . . . . . . (diisi nama bank) berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal .. . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . . .Tambahan Berita Negara nomor ……………….; ------------------------------------------------------------ untuk selanjutnya disebut sebagai : --------------------------------------------- ----------------------------------- Pihak Kedua. --------------------------------- Para Pihak dengan ini menyatakan bahwa perjanjian ini timbul untuk memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut: ----------------------------------------------------- Pasal 1 ……. *) Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada pemerintah dalam Rupiah yang besarnya equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur. Pasal 1 Terlebih dahulu Pihak Kedua menerangkan bahwa atas tagihan yang diajukan oleh Syndicate Agents, Pihak kedua mempunyai kewajiban membayar kepada Kreditur sebesar USD . . . . . . . . . . . *). (. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .) yang harus dibayar pada tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . berdasarkan perjanjian . . . . . . . . . . . . . . . Nomor . . . .. . . . . . . . . tanggal . . . . . . . . . .. . . . ; ---------------------------------------------------------------------- Pasal 2 Berhubung alasan - alasan keadaan keuangan perbankan antara lain dikarenakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . dan. . . . . . . . . . . . . . . . . . ., pada saat jatuh tempo pembayaran, Pihak Kedua tidak sanggup melakukan pembayaran dimaksud sebagaimana tercantum dalam Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar dibuat oleh Pihak Kedua tanggal . . . . . . . . . . . . . . .bermeterai cukup dan dilekatkan pada perjanjian ini. ----------------------------------------- Pasal 3 Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dan atas dasar permohonan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, Pihak Pertama mengikatkan diri memberikan pinjaman kepada Pihak Kedua yang mengikatkan diri berutang kepada Pihak Pertama berupa pembayaran oleh Pihak Pertama kepada Kreditur atas kewajiban Pihak Kedua kepada Kreditur sebesar USD. . . . . . . . . . . . (. . . . . . . . . . . . .) *) antara Pihak Kedua dengan Kreditur. ---------------------------- Pasal 4 Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh Pihak Pertama setelah Pihak Kedua menyerahkan kepada Pihak Pertama melalui Bank Indonesia secara lengkap dokumen-dokumen berupa Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar, Akta Pengakuan Utang dan Surat Sanggup. ------------------------------------------------------------- Pasal 5 Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan oleh Pihak Pertama dengan cara pendebetan rekening giro US Dollar dan atau Rupiah Pihak Kedua yang ada di Bank Indonesia oleh Bank Indonesia.------------------------------------------------ Pasal 6 Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan oleh Pihak Pertama, maka Pihak Pertama melalui Bank Indonesia akan mengembalikan dokumen- dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Pihak Kedua dan Akta Pengakuan Utang ini menjadi tidak berlaku. ------------------------------------------------------ atas transaksi Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang dilakukan Pasal 7 ……. Pasal 7 Dalam hal rekening giro US Dollar dan atau Rupiah Pihak Kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak mencukupi, pembayaran dilaksanakan oleh Bank Indonesia dengan cara pendebetan rekening Pihak Pertama di Bank Indonesia oleh Bank Indonesia, nomor 519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”.-- ------------------------------------------------------------------------------------------------- Pasal 8 Jangka waktu pemberian pinjaman pihak Pertama kepada Pihak Kedua berlaku selama- lamanya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pembayaran oleh Pihak Pertama kepada Kreditur yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(. . . . . . . . . . . .). -------------------------------------------------------------------------------------- Pasal 9 Dalam jangka waktu pemberian pinjaman oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, Pihak Kedua dikenakan kewajiban pembayaran suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat pembayaran Pihak Pertama kepada Kreditur, dihitung sejak saat pembayaran Pihak Pertama kepada Kreditur sampai dengan Pembayaran kembali/pelunasan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, dihitung per tahun flat.------- Pasal 10 Pada saat jatuh tempo pemberian Pinjaman oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . .(. . . . .. . . . . . . . . . .), Pihak Kedua diwajibkan membayar kembali/melunasi kewajibannya kepada Pihak Pertama sebesar USD. . . . . . . . . . . . . *) dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia nomor rekening 519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”. ----------------------------------------------------------------------- Pasal 11 Dalam hal sampai dengan tanggal jatuh tempo pemberian pinjaman dimaksud yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . ..(. . . . . . . . . . . . . .), yang sama dengan tanggal jatuh tempo Surat Sanggup, Pihak Kedua tidak sanggup membayar kewajibannya kepada Pihak Pertama, maka kepada Pihak Kedua oleh Bank Indonesia akan dikenai kewajiban pembayaran sanksi pembebanan berupa penaikan suku bunga menjadi sebesar 300% (tiga ratus per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, dihitung sejak saat jatuh tempo Surat Sanggup sampai dengan Pembayaran kembali/pelunasan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, per tahun flat. ------------------------------------------------------------------------------ Pasal 12 ……. Pasal 12 Dalam hal 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . (. . . . . . . . . . . . . . .), Pihak Kedua belum juga melakukan penyetoran kewajibannya kepada Pihak Pertama ke Rekening Pihak Pertama di Bank Indonesia, maka Pihak Kedua selain tetap dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 11 oleh Bank Indonesia juga masih akan dikenakan sanksi berupa pencabutan penunjukan Pihak Kedua sebagai Bank Devisa dan pendebetan saldo rekening giro Pihak Kedua di Bank Indonesia. --------------------------------------------------- Pasal 13 Dalam hal Pihak Kedua dikenakan sanksi pendebetan saldo rekening gironya di Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, namun terjadi saldo negatif, maka kepada Pihak Kedua oleh Bank Indonesia akan dikenai ketentuan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal. -------------------------------------------------------------------- Pasal 14 Apabila Pihak Kedua menyalahgunakan fasilitas penjaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank maka kepada Pihak Kedua dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan penunjukan Pihak Kedua sebagai Bank Devisa dan kepada pemilik dan pengurus Pihak Kedua oleh Bank Indonesia akan dicantumkan dalam Daftar Orang Tercela (DOT). ------- Pasal 15 Segala perbedaan pendapat atau perselisihan antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika dalam musyawarah tersebut tidak tercapai mufakat, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan tersebut melalui Pengadilan atau Arbritase. Dengan ini para pihak memilih tempat kedudukan hukum yang umum dan tetap atau Domisili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ----------------------------------------------------------------------------------------- Pasal 16 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian atas dasar permufakatan yang akan dituangkan dalam Perjanjian Tambahan (Addendum), yang merupakan kesatuan yang tidak dipisahkan dari perjanjian ini. -------------------------------- Pasal 17 ……. Pasal 17 Semua pemberitahuan atau surat menyurat antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua sehubungan dengan perjanjian ini dilakukan secara tertulis dan dianggap telah diterima oleh Pihak yang bersangkutan dengan disertai tanda terima tertulis. -------------------------- ------------------------------------------ Demikian Perjanjian Ini ----------------------------------- Dibuat dan ditandatangani di Jakarta, pada hari, tanggal, bulan dan tahun seperti pada pembukaan Akta ini dan untuk berlaku sejak tanggal . . . . . . . . . . . . . .(. . . . . . . . . . . . . . . . .) serta dibuat dalam rangkap . . . . . . .. . .yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama, bermeterai cukup untuk keperluan masing-masing Pihak. PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 Lampiran 5 JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK SURAT SANGGUP USD..………… . . ………… *) Pada hari ini ………. (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal Surat Sanggup), yang bertandatangan di bawah ini: ----------------------------------------------------------------------------- ----------------- 1. . . . .. . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai …………….. (diisi nama jabatan); -------- ----------- 4. . . . . . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai ………….…..(diisi nama jabatan); ------- ----------- bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . . (diisi nama bank) berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal . . . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . . .Tambahan Berita Negara nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .; sanggup membayar kepada Pemerintah atau penggantinya sebesar USD…….. . . . . . . *). ., dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia No.519.000110 “Trade Maintenance Facility dan Exchange offer” paling lambat tanggal ………………… (diisi tanggal jatuh tempo Surat Sanggup). Jakarta, . . . . . . . . . . . . . . …… Meterai sesuai ket yg berlaku (. . . . . . . . . . . . . . . . . ) ( . . . . . . . . . . . . . . . . . .) *) Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada Pemerintah dalam Rupiah yang besarnya equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/12/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK </reg_title> <set_date> 16 Mei 2000 </set_date> <effective_date> 16 Mei 2000 </effective_date> <replaced_reg> '31/90/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan; b. bahwa peningkatan ketahanan perbankan dilakukan melalui peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good corporate governance); c. bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good corporate governance), diperlukan penataan struktur kepemilikan saham bank; d. bahwa penataan struktur kepemilikan saham bank dilakukan melalui penerapan batas maksimum kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi dominasi kepemilikan yang dapat berdampak negatif terhadap operasional bank; e. bahwa … - 2 - e. bahwa penerapan batas maksimum kepemilikan saham juga akan berdampak positif untuk mendorong konsolidasi perbankan dalam rangka memperkuat ketahanan industri perbankan nasional; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu diatur ketentuan tentang Kepemilikan Saham Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan … - 3 - Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor cabang bank asing. 2. Good Corporate Governance yang selanjutnya disebut dengan GCG adalah Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum, bank umum syariah dan unit usaha syariah. 3. Tingkat Kesehatan Bank adalah Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai … - 4 - mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan bank umum syariah. 4. Modal adalah modal disetor Bank. BAB II BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 2 (1) Dalam rangka penataan struktur kepemilikan, Bank Indonesia menetapkan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan: a. kategori pemegang saham; dan b. keterkaitan antar pemegang saham. (2) Batas maksimum kepemilikan saham pada Bank bagi setiap kategori pemegang saham ditetapkan sebagai berikut: a. 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; b. 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum bukan lembaga keuangan; dan c. 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan. (3) Batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c pada bank umum syariah adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Modal Bank. (4) Lembaga … - 5 - (4) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, adalah lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. dalam pendiriannya sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku dimungkinkan melakukan kegiatan penyertaan dalam jangka panjang; dan b. diawasi dan diatur oleh otoritas lembaga keuangan. (5) Lembaga keuangan bukan bank yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai badan hukum bukan lembaga keuangan yang hanya dapat memiliki saham dengan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank. Pasal 3 Batas maksimum kepemilikan saham tidak berlaku bagi: a. Pemerintah Pusat; dan b. lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan dan/atau penyelamatan Bank. Pasal 4 (1) Keterkaitan antar pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b didasarkan pada: a. adanya hubungan kepemilikan; b. adanya hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua; dan/atau c. adanya kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert … - 6 - in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham Bank. (2) Pemegang saham yang memiliki keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai satu pihak. (3) Batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham yang ditetapkan sebagai satu pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut: a. jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam satu pihak tersebut sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dalam satu pihak tersebut; dan b. komposisi kepemilikan masing-masing pemegang saham dalam satu pihak tersebut paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan sesuai kategori pemegang saham. Pasal 5 (1) Pemegang saham bank yang memenuhi kriteria sebagai pemegang saham pengendali selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini, juga tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali. (2) Calon pemegang saham pengendali yang merupakan warga negara asing dan/atau badan hukum yang berkedudukan di luar negeri, wajib pula memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang dimiliki; b. memperoleh rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal, bagi badan hukum lembaga keuangan; dan c. memiliki … - 7 - c. memiliki peringkat paling kurang sebagai berikut : (i) 1 (satu) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah, bagi badan hukum lembaga keuangan bank; (ii) 2 (dua) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah, bagi badan hukum lembaga keuangan bukan bank; atau (iii) 3 (tiga) tingkat (notch) di atas peringkat investasi terendah, bagi badan hukum bukan lembaga keuangan. Pasal 6 (1) Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank sepanjang memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Badan hukum lembaga keuangan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua) atau peringkat tingkat kesehatan bank yang setara bagi lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar negeri; b. memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko; c. modal inti (tier 1) paling kurang sebesar 6% (enam persen); d. mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan lembaga keuangan bank tersebut, bagi berkedudukan di luar negeri; lembaga keuangan bank yang e. merupakan lembaga keuangan bank yang telah go public; f. komitmen untuk memenuhi kewajiban membeli surat utang bersifat … - 8 - bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang akan dimiliki; g. komitmen untuk memiliki Bank paling kurang dalam jangka waktu tertentu; dan h. komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang dimiliki. Pasal 7 Bank yang dapat dimiliki oleh badan hukum lembaga keuangan bank dengan jumlah lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, paling kurang memenuhi kriteria: a. wajib melakukan go public untuk mencapai kepemilikan publik paling kurang sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal bank, yang dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak badan hukum lembaga keuangan bank memiliki saham sesuai persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan b. wajib memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas. Pasal 8 (1) Badan hukum lembaga keuangan bank yang akan menjadi pemegang saham Bank dan telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dapat melakukan pembelian saham Bank dengan tahapan sebagai berikut: a. melak ukan… - 9 - a. melakukan pembelian saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan b. dapat meningkatkan saham Bank sesuai dengan batas kepemilikan yang telah disetujui Bank Indonesia apabila Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG peringkat 1 (satu) atau 2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-berturut dalam periode 5 (lima) tahun, terhitung sejak persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). (2) Selama Bank yang dimiliki tidak dapat memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, badan hukum lembaga keuangan bank hanya dapat memiliki saham sampai dengan batas maksimum sebesar 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank. Pasal 9 Tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak berlaku bagi badan hukum lembaga keuangan bank yang telah memiliki saham Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). BAB III … - 10 - BAB III KEWAJIBAN PENERAPAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 10 Sampai dengan akhir Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. Pasal 11 Bagi pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG posisi penilaian akhir bulan Desember 2013. Pasal 12 Kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diatur sebagai berikut: a. bagi pemegang saham pada Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) pada posisi penilaian bulan Desember 2013, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 5 (lima) tahun sejak 1 Januari 2014; dan b. Pemegang … - 11 - b. Pemegang saham pada Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG dengan peringkat 1 (satu) atau 2 (dua) pada posisi penilaian bulan Desember 2013 tetap dapat memiliki saham sebesar persentase saham yang telah dimiliki. Pasal 13 (1) Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, apabila: a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-berturut; atau b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan penjualan saham yang dimilikinya. (2) Jangka waktu penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang dimilikinya. Pasal 14 (1) Pemegang saham yang akan memiliki : a. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; b. Bank dalam pengawasan khusus; atau c. Bank dalam pengawasan intensif. dapat … - 12 - dapat memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka waktu tertentu. (2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dengan jangka waktu sebagai berikut: a. paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak membeli Bank dimaksud, bagi: 1. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan 2. Bank dalam pengawasan khusus; dan b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak membeli Bank dimaksud, bagi Bank dalam pengawasan intensif. Pasal 15 (1) Pemegang saham pada Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan, dapat memiliki saham Bank hasil penggabungan atau peleburan lebih dari batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka waktu tertentu. (2) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG dengan peringkat 1 (satu) atau 2 (dua), wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak: a. nurunan … pe - 13 - a. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG Bank hasil penggabungan atau peleburan menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) selama 3 (tiga) periode berturut-turut; atau b. penjualan saham atas inisiatif sendiri. yang terjadi dalam periode paling lama 10 (sepuluh) tahun setelah penggabungan atau peleburan. (3) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima), wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak penggabungan atau peleburan. Pasal 16 Bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) Unit Usaha Syariah, diatur sebagai berikut: a. dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum kepemilikan saham; dan b. wajib menyesuaikan kepemilikan saham dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama akhir Desember 2028. Pasal 17 Bagi Pemerintah Daerah yang telah memiliki saham Bank Pembangunan Daerah tidak wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. Pasal 18 … - 14 - Pasal 18 Dalam hal Bank Pembangunan Daerah memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4 (empat), atau 5 (lima) dan memerlukan tambahan modal maka: a. penambahan modal diutamakan berasal dari investor yang tidak terkait dengan Pemerintah Daerah; dan b. Pemerintah Daerah dapat tetap mempertahankan kepemilikan Pemerintah Daerah sebagai pemegang saham mayoritas. Pasal 19 (1) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (1) huruf a, wajib menyusun rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. (2) Rencana tindak penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan disampaikan paling lama 4 (empat) bulan sejak timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Rencana tindak penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang memuat cara penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (4) Bank wajib menyampaikan pelaksanaan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling … - 15 - paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana tindak. (5) Penyampaian rencana tindak dan pelaksanaan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) ditujukan kepada : a. Bank Indonesia, Up. Departemen Pengawasan Bank (DPB), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi bank umum konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Bank Indonesia, Up. Departemen Perbankan Syariah (DPbS), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi bank umum syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau c. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB IV KONSEKUENSI KEWAJIBAN PEMENUHAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN Pasal 20 (1) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 16 huruf b maka dikenakan pembatasan berupa: a. hak … - 16 - a. hak yang bersangkutan dalam perhitungan kuorum dan pengambilan keputusan dalam RUPS hanya diperhitungkan paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan b. pembayaran dividen untuk kelebihan saham yang dimiliki ditunda sampai dengan yang bersangkutan melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham. (2) Selain pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham dapat dilakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Bank Indonesia. (3) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pemegang saham dimaksud untuk melakukan penyesuaian kepemilikannya sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham. Pasal 21 Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 16 huruf b: a. wajib mencatat hak yang bersangkutan selaku pemegang saham paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; b. wajib memastikan penggunaan hak suara bagi yang bersangkutan dan perhitungan kuorum dalam RUPS paling tinggi sebesar batas maksimum … - 17 - maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; c. wajib menunda pembayaran dividen bagi kelebihan saham yang dimiliki pemegang saham yang bersangkutan sampai dengan yang bersangkutan melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham; dan d. dilarang memberikan atau memperpanjang jangka waktu fasilitas penyediaan dana kepada pemegang saham yang bersangkutan, termasuk kepada pihak terkait dengan pemegang saham. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 22 Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan kepada pemegang saham untuk memiliki saham Bank melebihi batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 untuk jangka waktu tertentu. Pasal 23 Bank Indonesia dapat memerintahkan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 agar Bank yang dimilikinya melakukan penggabungan atau peleburan. BAB VI … - 18 - BAB VI SANKSI Pasal 24 (1) Bank yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan/atau Pasal 21 dikenakan sanksi administratif berupa: a. b. teguran tertulis; larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (2) Bank Indonesia dapat melakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap anggota dewan komisaris dan /atau anggota direksi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, ketentuan mengenai kepemilikan saham Bank mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juli 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juli 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 144 DPNP - 20 - - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM I. UMUM Krisis keuangan global yang dipicu oleh kegagalan penerapan tata kelola (good corporate governance) pada Bank menyebabkan Banking Committee on Banking Supervision (BCBS) menerbitkan pedoman bertajuk Principles for Enhancing Corporate Governance, yang mewajibkan otoritas pengawas mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa struktur kepemilikan tidak menjadi penghalang terwujudnya GCG. Rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, akan meningkatkan persaingan antara bank-bank nasional dengan bank- bank dari kawasan ASEAN. Disamping itu dengan memperhatikan dan mempelajari beberapa kasus bank bermasalah di Indonesia pasca krisis finansial tahun 1997, mengindikasikan bahwa dominasi kepemilikan oleh satu pihak pada Bank berkaitan erat dan berhubungan negatif dengan pelaksanaan GCG di perbankan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Bank Indonesia memandang perlu untuk mengatur struktur kepemilikan Bank dengan menetapkan batas … - 2 - batas maksimum kepemilikan saham guna meningkatkan ketahanan perbankan melalui penerapan prinsip kehati – hatian dan kualitas penerapan GCG pada bank. Dengan demikian diharapkan dapat mendorong konsolidasi perbankan yang pada akhirnya dapat memperkuat ketahanan perbankan nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Huruf c Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara asing. Ayat (3) Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada ayat ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Yang … - 3 - Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara asing. Ayat (4) Contoh lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi kriteria ayat ini antara lain perusahaan pembiayaan, perusahan asuransi, dan dana pensiun. Ayat (5) Contoh lembaga keuangan bukan bank pada ayat ini antara lain special purpose vehicle, fund management (pengelola dana keuangan), dan hedge fund. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “Pemerintah Pusat” adalah Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia. Kepemilikan pemerintah pada Bank yang dapat melebihi batas maksimum kepemilikan saham, dimaksudkan untuk mendukung pencapaian tujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Huruf b Lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan dan/atau penyelamatan Bank antara lain Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a … - 4 - Huruf a Hubungan kepemilikan terjadi apabila antara pemegang saham: 1. perorangan dengan badan hukum; atau 2. badan hukum dengan badan hukum, mempunyai keterkaitan kepemilikan pada badan hukum tersebut dengan jumlah kepemilikan paling kurang memenuhi batas sebagai pemegang saham pengendali. Penelusuran hubungan kepemilikan dilakukan sampai dengan pemegang saham pengendali terakhir. Contoh : Sdr. A memiliki saham Bank X sebesar 10% (sepuluh persen) dari modal bank. PT. B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari modal bank. Sdr. A memiliki PT. B sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal maka antara Sdr.A dan PT. B terdapat keterkaitan karena hubungan kepemilikan. Huruf b Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 5 - Ayat (3) PT A berupa badan hukum lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 60% (enam puluh persen) dari modal bank. PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan memiliki saham Bank X sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal bank. PT A dan PT B memiliki Pemegang Saham Pengendali yang sama yaitu Sdr. Z maka PT A dan PT B merupakan satu pihak. Sesuai dengan kategorinya batas maksimum kepemilikan PT A adalah 40% (empat puluh persen) dari modal bank dan PT B adalah 30% (tiga puluh persen) dari modal bank. Dengan demikian batas maksimum kepemilikan PT A dan PT B pada Bank X secara bersama-sama adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari modal bank, dengan batasan kepemilikan saham PT B paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen). Contoh kemungkinan komposisi antara lain sebagai berikut: a. jika PT A memiliki saham 40% (empat puluh persen), maka PT B kepemilikan sahamnya 0% (nol persen); b. jika PT A memiliki saham 30% (tiga puluh persen), maka PT B kepemilikan sahamnya 10% (sepuluh persen); atau c. jika PT A memiliki saham 10% (sepuluh persen), maka PT B kepemilikan sahamnya 30% (tiga puluh persen). Pasal 5 … - 6 - Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali” adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai bank umum, bank umum syariah, dan uji kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rekomendasi dimaksud paling kurang memuat keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Huruf c Peringkat yang digunakan adalah hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “Kewajiban Penyediaan Modal Minimum” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank … - 7 - Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum atau ketentuan serupa yang diatur oleh otoritas pengawas ditempat kedudukan bank tersebut. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum, bank umum syariah, atau ketentuan serupa yang diatur oleh otoritas pengawas ditempat kedudukan bank tersebut. Huruf d Rekomendasi dimaksud paling kurang memuat keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham. Huruf g Penetapan jangka waktu tertentu untuk memiliki Bank ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf h … - 8 - Huruf h Pengembangan perekonomian yang dimaksud dalam huruf ini adalah pengembangan perekonomian pada sektor yang menjadi prioritas Pemerintah Republik Indonesia dan menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham. Persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas dilakukan setelah badan hukum lembaga keuangan bank merealisasikan pembelian saham lebih dari 40% (empat puluh persen) sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 … - 9 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang saham yang melakukan penjualan saham. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Angka a Cukup jelas. Angka b Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan khusus” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindaklanjut pengawasan dan penetapan status bank. Angka c … - 10 - Angka c Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan intensif” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindaklanjut pengawasan dan penetapan status bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh 1: Bank A (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan GCG peringkat 2 (dua)), melakukan penggabungan dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan GCG peringkat 1(satu)), menjadi Bank A pada bulan Oktober 2012. Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau GCG pada posisi penilaian Desember 2020, Juni dan Desember 2021 menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima). Dengan demikian pemegang saham Bank A yang memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham paling lama pada Desember 2031. Contoh … - 11 - Contoh 2: Bank A (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan GCG peringkat 2 (dua)) melakukan penggabungan dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan GCG peringkat 1 (satu)) menjadi Bank A pada bulan Oktober 2012. Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau GCG pada posisi penilaian Desember 2022, Juni dan Desember 2023 menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima). Mengingat penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau GCG terjadi setelah melewati 10 (sepuluh) tahun sejak penggabungan maka tidak ada perpanjangan waktu. Dengan demikian, pemegang saham Bank A yang memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun yaitu paling lama pada Desember 2028. Huruf b Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang saham yang melakukan penjualan saham. Ayat (3) Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) bisa salah satu, beberapa atau semua Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan. Pasal 16 … - 12 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota di wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Posisi timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank terhitung sejak posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG terakhir. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 … - 13 - Pasal 21 Huruf a Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham” adalah hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “penyediaan dana” adalah penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kualitas aset bank umum. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit. Pasal 22 Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a … - 14 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk pengertian pembekuan kegiatan usaha tertentu dalam huruf ini adalah larangan penambahan produk dan/atau aktivitas baru. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5327 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/8/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 13 Juli 2012 </set_date> <effective_date> 13 Juli 2012 </effective_date> <issued_date> 13 Juli 2012 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat; b. bahwa sementara belum terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan, pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dibantu oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah; c. bahwa ketentuan yang mengatur pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah terhadap Kewajiban BPR belum optimal sehingga tujuan untuk melindungi kepentingan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat belum sepenuhnya dapat tercapai; d. bahwa….. - 2 - d. bahwa berhubung dengan itu dan memperhatikan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 31 Januari 2001 tentang Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat serta Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan Dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 15 Juli 2003 tentang Perubahan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 31 Januari 2001 tentang Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, maka ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat perlu diubah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan …. - 3 - 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 193 tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Program ….. - 4 - 2. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Pekreditan Rakyat. 3. Pengelola Sementara adalah pihak-pihak yang ditunjuk dan diangkat oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. 4. Tim Likuidasi adalah suatu tim yang bertugas melakukan likuidasi BPR yang dicabut izin usahanya. 5. Bank Pembayar adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran simpanan pihak ketiga BPR dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. 6. Pemegang Saham adalah : a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Pemegang Saham sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Direksi adalah : a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. b. bagi….. - 5 - b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Komisaris adalah : a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 9. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP adalah lembaga yang memiliki izin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal 2 (1) Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR, kecuali : a. BPR yang izin usahanya telah dicabut sebelum tanggal 26 Januari 1998; dan b. Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357, dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. (2). Program ….. - 6 - (2) Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk sementara waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan. (3) Penyediaan dana Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan dalam rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk. Pasal 3 Kewajiban pembayaran BPR yang dijamin Pemerintah adalah simpanan pihak ketiga yang tercatat dalam pembukuan BPR dengan ketentuan : a. BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sebesar : 1. nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; dan 2. bunga tabungan dan deposito berjangka setinggi-tingginya sebesar suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank Umum yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya. b. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebesar nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 4 (1) Perhitungan bunga simpanan pihak ketiga BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan : a. bunga tabungan dihitung sampai dengan akhir bulan sebelum tanggal pembekuan kegiatan usaha tertentu; b. bunga….. - 7 - b. bunga deposito berjangka dihitung sampai dengan tanggal pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan pada saat pembekuan kegiatan usaha tertentu, tidak dijamin. (2) Dalam hal BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha, perhitungan bunga simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan : a. bunga tabungan dan deposito berjangka dihitung sampai dengan akhir bulan laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia; b. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan pada posisi laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia, tidak dijamin. Pasal 5 Simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin adalah : a. simpanan yang dimiliki oleh Bank Umum atau BPR; b. simpanan yang dimiliki oleh pemegang saham yang kepemilikannya lebih besar dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor BPR; c. simpanan yang dimiliki oleh anggota Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris BPR yang bersangkutan; d. simpanan yang dimiliki oleh suami/isteri/anak dari pihak-pihak yang dimaksud pada huruf b dan huruf c; e. simpanan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki pihak-pihak yang dimaksud dalam huruf b dan huruf c, yang kepemilikannya sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) atau lebih; f. simpanan….. - 8 - f. simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah dan atau tidak tercatat dalam pembukuan BPR. BAB II PERSYARATAN PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH Pasal 6 Jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hanya diberikan kepada BPR yang telah memenuhi persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 7 Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah : a. menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan Pemilik/Pemegang saham BPR sesuai dengan yang tercatat di Bank Indonesia; b. Membayar fee penjaminan sebesar 0,10% (satu perseribu) per tahun untuk BPR konvensional atau 0,07% (tujuh per sepuluh ribu) per tahun untuk BPR Syariah dari simpanan pihak ketiga yang dijamin; dan c. Menyerahkan : 1. daftar nominatif dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga posisi akhir bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah kepada Bank Indonesia; 2. tembusan …. - 9 - 2. tembusan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga posisi akhir bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Pasal 8 BPR yang memperoleh izin usaha setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak BPR melakukan kegiatan usaha Pasal 9 (1) Fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b wajib dibayar dimuka setiap 6 (enam) bulan dengan batas waktu pembayaran selambat- lambatnya akhir bulan Januari untuk periode 1 Desember sampai dengan 31 Mei dan akhir bulan Juli untuk periode 1 Juni sampai dengan 30 November. (2) BPR yang terlambat membayar fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan denda sebesar 100% (seratus perseratus) dari jumlah kewajiban pembayaran uang muka fee periode yang bersangkutan dengan jumlah pembayaran denda sekurang-kurangnya Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (3) Tunggakan fee dan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilunasi selambat-lambatnya pada saat batas waktu pembayaran fee periode berikutnya. Pasal 10 (1) Fee penjaminan dihitung sendiri oleh BPR berdasarkan simpanan pihak ketiga yang dijamin dari rata-rata posisi akhir bulan simpanan pihak ketiga yang dijamin selama 6 (enam) bulan. (2). Direksi….. - 10 - (2) Direksi BPR bertanggung jawab atas kebenaran perhitungan besarnya fee yang wajib dibayar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Direksi BPR wajib melakukan perhitungan kembali besarnya fee yang seharusnya dibayar berdasarkan realisasi simpanan pihak ketiga dalam periode pembayaran fee yang bersangkutan. (4) Dalam hal terdapat perbedaan antara besarnya fee yang telah dibayar dimuka dengan hasil perhitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka : a. Kelebihan fee akan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pembayaran fee periode berikutnya; b. Kekurangan fee wajib dibayarkan bersamaan dengan pembayaran fee periode berikutnya. Pasal 11 (1) Pembayaran fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) oleh BPR dilakukan secara tunai atau transfer/kliring untuk rekening Pemerintah di Bank Indonesia Nomor 519.999.001 dengan nama “ Penerimaan Fee Penjaminan BPR “. (2) Pembayaran denda atas keterlambatan pembayaran fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan secara tunai atau transfer/kliring untuk rekening Bendaharawan Umum Negara Nomor 502.000.000 pada Bank Indonesia dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 0892 Pendapatan Denda. Pasal 12….. - 11 - Pasal 12 (1) BPR yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, dan atau tidak membayar tunggakan fee dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. (2) BPR yang tidak termasuk sebagai Peserta Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengumumkan kepada masyarakat selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak melakukan pengumuman dalam batas waktu yang ditentukan maka Bank Indonesia dapat mengumumkan nama BPR dimaksud kepada masyarakat. (4) Penyelesaian simpanan pihak ketiga dari BPR yang tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi tanggung jawab BPR dan diselesaikan sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 13 (1) BPR wajib menyampaikan laporan secara periodik kepada Bank Indonesia : a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap 6 (enam) bulan untuk posisi tanggal 30 Juni dan tanggal 31 Desember; dan b. rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap bulan. (2). Rekapitulasi ….. - 12 - (2) Rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b disampaikan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, untuk posisi 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. (3) Laporan daftar nominatif simpanan pihak ketiga dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga beserta tembusannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 setelah akhir bulan laporan. (4) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) BPR yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. BAB III PELAKSANAAN PEMBAYARAN JAMINAN PEMERINTAH Pasal 14 (1) Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga BPR, wajib terlebih dahulu menggunakan dana BPR yang bersangkutan. (2) BPR yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak dapat mengupayakan dana yang cukup untuk membayar kewajiban simpanan pihak ketiga melaporkan ketidakmampuannya kepada Bank Indonesia. Pasal 15….. - 13 - Pasal 15 (1) Bank Indonesia meneliti dan mengevaluasi kondisi BPR yang telah melaporkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (2) Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia dan atau hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat membekukan kegiatan usaha tertentu BPR, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 16 (1) Pembayaran jaminan Pemerintah dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu BPR. (2) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan atas dasar hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengelola Sementara dan telah diteliti kebenarannya oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Pasal 17 (1) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) ditunjuk dan diangkat oleh Bank Indonesia. (2) Jumlah Pengelola Sementara sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak- banyaknya 3 (tiga) orang dan dapat terdiri atas : a. pihak lain diluar anggota pengurus lama; atau b. gabungan antara 1 (satu) anggota pengurus lama dengan pihak lain diluar anggota pengurus lama. (3) Pengelola….. - 14 - (3) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan tugas- tugas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia termasuk tugas dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. (4) Pengelola Sementara melaksanakan tugas dalam jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak ditandatanganinya surat penunjukan dan pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Pengelola Sementara menerima honorarium sebesar jumlah tertentu yang telah ditetapkan dalam surat penunjukan dan pengangkatan. Pasal 18 (1) Pengelola Sementara melakukan verifikasi atas : a. tabungan dan deposito berjangka dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu yang dijamin Pemerintah, yang hasilnya dicatat dalam daftar nominatif; b. Asset BPR yang telah dibekukan yang hasilnya dicatat dalam daftar asset. (2) Pengelola Sementara bertanggung jawab atas kebenaran material terhadap hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Pengelola Sementara setiap bulan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai perkembangan pelaksanaan tugasnya. Pasal 19 (1) Hasil verifikasi simpanan pihak ketiga yang dilakukan oleh Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a diteliti kebenarannya oleh KAP. (2). KAP….. - 15 - (2) KAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (3) Bank Indonesia melakukan proses seleksi KAP untuk membantu Menteri Keuangan dalam pelaksanaan pemilihan dan penunjukan KAP. (4) KAP menerima professional fee yang besarnya ditetapkan dalam kontrak kerja. Pasal 20 (1) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan oleh Bank Pembayar. (2) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Bank Pembayar melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar. (4) Bank Pembayar menerima fee sebesar persentase tertentu dari realisasi pembayaran simpanan pihak ketiga yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar. Pasal 21 (1) BPR wajib menyerahkan bukti tanda terima uang sebesar jumlah dana jaminan Pemerintah yang dibayarkan. (2) Dalam bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan bahwa BPR bersedia mengembalikan dana jaminan Pemerintah yang bersumber dari hasil pencairan asset BPR bersangkutan. (3). Bukti….. - 16 - (3) Bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh Pengelola Sementara dan diserahkan kepada Bank Indonesia. Pasal 22 Pengelola Sementara mengajukan permohonan penyediaan dana jaminan Pemerintah dan biaya operasional Pengelola Sementara kepada Bank Indonesia, dilampiri dengan : a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga yang akan dibayar berdasarkan hasil verifikasi Pengelola Sementara yang telah diteliti kebenarannya oleh KAP; b. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah ditandatangani oleh Pengelola Sementara; c. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah ditandatangani oleh KAP; d. rincian biaya operasional Pengelola Sementara dalam rangka pelaksanaan penjaminan Pemerintah. Pasal 23 Dalam hal terdapat nasabah penyimpan dana yang memiliki utang pada BPR, pembayaran simpanan nasabah dimaksud dilakukan setelah utang tersebut terlebih dahulu dikompensasikan dengan simpanannya pada BPR yang bersangkutan, tanpa memperhitungkan tanggal jatuh tempo utang tersebut. Pasal 24 (1) Simpanan pihak ketiga yang belum dibayarkan dengan menggunakan dana jaminan Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa tugas Pengelola Sementara dilanjutkan ….. - 17 - dilanjutkan pembayarannya oleh Tim Likuidasi selama-lamanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Tim Likuidasi terbentuk. (2) Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk setelah BPR dicabut izin usahanya. (3) Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui, Tim Likuidasi mengembalikan sisa dana Jaminan Pemerintah yang belum diambil oleh nasabah penyimpan kepada Pemerintah melalui rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk. (4) Dalam hal Tim Likuidasi telah mengembalikan dana Jaminan Pemerintah yang belum diambil oleh nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka pembayaran kepada nasabah tersebut selanjutnya menjadi beban BPR dan dilakukan oleh Tim Likuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) menyelesaikan dana jaminan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV JANGKA WAKTU PENJAMINAN BPR Pasal 26 (1) Program Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal 26 Januari 1998 sampai dengan dinyatakan berakhir oleh Pemerintah. (2) Pemerintah mengumumkan berakhirnya Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum Program Penjaminan Pemerintah tersebut dinyatakan berakhir. BAB V ….. - 18 - BAB V KETENTUAN LAIN - LAIN Pasal 27 (1) Pengelola Sementara dapat menerima setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR yang telah dibekukan kegiatan usahanya. (2) Pengelola Sementara dapat menyerahkan agunan kredit yang dikuasai BPR kepada debitur apabila debitur yang bersangkutan telah menyelesaikan seluruh kewajibannya. (3) Setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib ditempatkan dalam rekening atas nama Pengelola Sementara di Bank Pembayar. (4) Penarikan hasil setoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 28 (1) BPR yang tidak termasuk peserta Program Penjaminan Pemerintah berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini dapat menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah dengan melakukan Merger, Konsolidasi atau Akuisisi dengan syarat : a. Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan Kualitas Aktiva Produktif BPR hasil Merger, Konsolidasi, Akuisisi tergolong Sehat; dan b. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak akta Merger, Konsolidasi atau Akuisisi ditandatangani. BAB VI… - 19 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 BPR yang termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. Pasal 30 BPR yang tidak termasuk peserta Program Penjaminan Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan tidak melakukan Merger, Konsolidasi atau Akuisisi, dapat mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. menyampaikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7; b. memiliki tingkat kesehatan posisi terakhir sebelum tanggal pengajuan permohonan keikutsertaan dalam penjaminan sekurang-kurangnya cukup sehat dan tidak dalam status BPR Dalam Pengawasan Khusus; c. melunasi kewajiban pembayaran fee yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah fee untuk periode terakhir sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dikalikan dengan jumlah periode pembayaran fee yang seharusnya dibayar apabila BPR menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah;dan d. membayar denda sebesar 10% (sepuluh perseratus ) dari jumlah kewajiban sebagaimana dimaksud huruf c, dengan jumlah denda sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). e. Pembayaran ….. - 20 - e. Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam huruf d disetor dengan cara tunai atau melalui transfer/kliring ke rekening Bendaharawan Umum Negara Nomor 502.000.000 pada Bank Indonesia dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 0892 Pendapatan Denda. f. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d wajib dipenuhi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Ketentuan pelaksanaan tentang persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR dan perubahannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001, tentang Persyaratan Dan Tatacara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4123), dinyatakan tidak berlaku. Pasal 33 …. - 21 - Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Nopember 2003. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 September 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 101 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998 memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam melaksanakan program penjaminan Pemerintah tersebut, Pemerintah dibantu untuk sementara waktu oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan atau Pemerintah menghentikan program penjaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pelaksanaannya, belum seluruh Bank Perkreditan Rakyat dapat mengikuti Program Penjaminan Pemerintah akibat menghadapi beberapa kendala, seperti tidak dapat memenuhi seluruh persyaratan program penjaminan yang disebabkan adanya hambatan administratif maupun karena dikeluarkan dari program penjaminan akibat terlambat membayar fee penjaminan. Sehubungan ….. - 2 - Sehubungan dengan itu, untuk memberikan kesempatan agar Bank Perkreditan Rakyat yang menghadapi kendala di atas dapat mengikuti program Penjaminan Pemerintah dan melindungi kepentingan nasabah maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia sebagai pengganti Peraturan Bank Indonesia No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Pasal 2 ….. - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Angka 1 Nominal deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dalam huruf ini adalah yang dimiliki oleh nasabah perorangan, perusahaan, organisasi, yayasan dan lembaga bukan bank. Deposito Berjangka yang telah jatuh tempo dan belum dibayarkan oleh BPR termasuk dalam pengertian Deposito Berjangka Huruf a Angka 2 Suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank Umum yang digunakan sebagai batas maksimum suku bunga yang dijamin adalah suku bunga penjaminan yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya, dengan ketentuan : a. untuk tabungan adalah suku bunga simpanan pihak ketiga jangka waktu 1 (satu) bulan; b. untuk ….. - 4 - b. untuk deposito berjangka adalah suku bunga simpanan pihak ketiga sesuai dengan jangka waktunya. Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak ketiga lebih rendah daripada suku bunga penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar suku bunga yang ditetapkan oleh BPR kepada nasabah dimaksud. Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak ketiga lebih tinggi daripada suku bunga penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar suku bunga penjaminan, sedangkan kelebihannya tidak dijamin oleh Pemerintah dan menjadi beban BPR. Huruf b Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Pada umumnya perhitungan bunga simpanan pihak ketiga untuk bunga tabungan pada akhir bulan, sedangkan untuk bunga deposito berjangka dihitung setiap bulan sesuai dengan tanggal penerbitan bilyet deposito berjangka. Ayat (2) BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha, antara lain dibuktikan dengan : a. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir; b. laporan bulanan yang disampaikan kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir tidak ada perubahan dalam pos-pos neraca terutama ….. - 5 - terutama yang berkaitan dengan penghimpunan dana dan pemberian kredit; c. pengurus dan atau pemilik BPR tidak diketahui keberadaannya; atau d. adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah adalah simpanan yang tidak memiliki dokumen pendukung yang mendasari terjadinya transaksi tersebut misalnya slip setoran, kartu tabungan, print out komputer, dan tembusan bilyet deposito berjangka. Simpanan yang tidak tercatat antara lain meliputi tabungan atau deposito berjangka fiktif. Pasal 6….. - 6 - Pasal 6 BPR yang dapat ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah adalah BPR yang telah memperoleh izin usaha, yaitu : a. BPR yang didirikan setelah Pakto 1988; b. Bank Karya Produksi Desa (BKPD); c. Bank Pasar/ Bank Desa; d. BPR Eks Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) yaitu LDKP yang telah dikukuhkan menjadi BPR, yang sebelumnya adalah : (1) Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat ; (2) Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Pekanbaru; (3) Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur; (4) Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat; (5) Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Daerah Istimewa Yogyakarta; (6) Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat; (7) Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh. Pasal 7 Huruf a Pemilik/Pemegang saham yang menandatangani surat pernyataan keikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah tersebut adalah pemilik/ pemegang saham yang memiliki saham 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih, dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali. Bagi…… - 7 - Bagi BPR yang dimiliki oleh badan hukum maka penandatanganan surat pernyataan dilakukan oleh pengurus yang berwenang mewakili badan hukum sesuai anggaran dasar masing-masing. Dalam hal tidak terdapat pemegang saham dengan kepemilikan 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dan tidak terdapat pemegang saham kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali, surat pernyataan dari pemegang saham tidak diwajibkan. Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham yang memiliki sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali maka BPR wajib menyampaikan surat pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham yang baru. Dalam hal perubahan Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham belum tercatat di Bank Indonesia maka surat pernyataan keikutsertaan ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham sesuai RUPS atau Rapat Anggota yang mengesahkan perubahan dimaksud. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9….. - 8 - Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Tanggal pembayaran adalah sebagai berikut : a. untuk pembayaran yang dilakukan melalui setoran tunai di Bank Indonesia, dihitung sejak diterimanya setoran tersebut di Bank Indonesia, b. untuk pembayaran yang dilakukan melalui kliring/transfer dihitung sejak tanggal yang tertera pada warkat penyetoran/pemindahbukuan melalui salah satu Bank Umum untuk selanjutnya diperhitungkan dalam kliring/transfer. Ayat (2) ….. - 9 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah dimaksudkan untuk mendorong BPR untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah. Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah dalam waktu 3 (tiga) hari kerja dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau nasabah guna mengambil keputusan mengenai simpanannya yang terdapat di BPR yang bersangkutan dalam waktu singkat. Pengumuman dilakukan dengan cara menempel di papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan yang mudah diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas selama BPR tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. Ayat (3) Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan yang mudah diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas selama BPR tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah. Ayat (4) ….. - 10 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ayat ini adalah ketentuan yang antara lain mengatur tentang pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Tanggal penyampaian laporan adalah : a. tanggal tanda terima dari Bank Indonesia apabila diantar langsung ke Bank Indonesia. b. tanggal stempel pos atau tanda terima dari jasa pengiriman surat apabila melalui kantor pos atau jasa pengiriman surat lainnya. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) BPR dinyatakan mengalami kesulitan likuiditas antara lain apabila BPR tersebut tidak memiliki alat likuid yang cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga. Pasal 15….. - 11 - Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Yang dapat menjadi Pengelola Sementara adalah para pihak yang tidak dilarang untuk menjadi pengurus atau pemegang saham bank sesuai ketentuan Bank Indonesia, serta memiliki pengalaman dan atau pengetahuan di bidang perbankan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak lain di luar anggota pengurus lama adalah karyawan, pejabat, pemegang saham BPR yang bersangkutan dan pihak lainnya. Pengelola Sementara hanya dapat merangkap sebagai anggota Pengelola Sementara sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR Ayat (3) Tugas-tugas Pengelola Sementara akan ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam surat penunjukan dan pengangkatan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)….. - 12 - Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebenaran material adalah hasil verifikasi terhadap simpanan pihak ketiga dan asset BPR yang tercatat dan didukung dengan bukti-bukti yang sah. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) ….. - 13 - Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini ketentuan antara lain mengatur tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Pasal 26….. - 14 - Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Pengelola Sementara tidak diperbolehkan melakukan penagihan kredit dan pencairan asset kecuali menerima pembayaran angsuran kredit. Ayat (2) Penyerahan agunan kredit yang dilakukan oleh Pengelola Sementara kepada debitur wajib disertai dengan bukti tanda terima. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Perhitungan CAR dan Rasio Kualitas Aktiva Produktif BPR hasil Merger, Konsolidasi dan Akuisisi dilakukan atas dasar hasil penilaian Bank Indonesia. Perhitungan CAR dimaksud didasarkan pada efektifitas modal disetor meskipun pemenuhan persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku belum diselesaikan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29…. - 15 - Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 BPR yang tidak termasuk peserta program penjaminan pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini adalah BPR yang tidak memenuhi persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sampai dengan tanggal 9 Oktober 2001 dan atau BPR yang terlambat atau tidak membayar fee sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sehingga dihentikan keikutsertaannya dalam program Penjaminan BPR yang memperoleh izin usaha dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah, wajib menjadi peserta program dimaksud dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 4319
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/17/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 3 September 2003 </set_date> <effective_date> 1 Nopember 2003 </effective_date> <replaced_reg> '3/12/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '193/KEPPRES/1998', '25/PP/1999', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB II Pasal 9 Ayat (2)', 'BAB II Pasal 13 Ayat (5)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/33/PBI/2005 TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, fungsi penjaminan Bank Perkreditan Rakyat akan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sejak undang-undang dimaksud berlaku efektif pada tanggal 22 September 2005; b. bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005 Tentang Pengakhiran Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Jaminan Pemerintah terhadap kewajiban Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Keppres No. 193 Tahun 1998 berakhir terhitung sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Lembaga Penjamin Simpanan berlaku efektif; tentang c. bahwa … - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan pencabutan atas ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); Undang-Undang ... - 3 - 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420); 4. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005 tentang Pengakhiran Jaminan Pemerintah Terhadap Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Kewajiban M E M U T U S K A N : Menetapkan : PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN PERKREDITAN RAKYAT. BANK Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Negara Tahun 2003 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4319) beserta peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 … - 4 - Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2005 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 87 DPBPR/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/33/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 22 September 2005 </set_date> <effective_date> 22 September 2005 </effective_date> <replaced_reg> '5/17/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '43/PERPRES/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 10 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi ekonomi global yang semakin terintegrasi membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan perekonomian domestik antara lain melalui pendalaman pasar valuta asing domestik; b. bahwa pendalaman pasar valuta asing domestik diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi di Indonesia dengan tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan ... - 2 - dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: ... - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4504) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Pembatasan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak berlaku dalam hal Transaksi Derivatif dilakukan untuk keperluan lindung nilai (hedging) dalam rangka kegiatan berikut: a. investasi di Indonesia yang berjangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu, yang dihitung sejak tanggal setelmen pembelian investasi sampai dengan tanggal setelmen penjualan investasi; b. ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia; dan/atau c. perdagangan dalam negeri yang menggunakan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) sebagaimana diatur dalam ketentuan ... - 4 - ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai surat kredit berdokumen dalam negeri. (2) Investasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Penyertaan Langsung, pemberian Kredit, dan pembelian Surat Berharga, namun tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia. (3) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas suatu kegiatan investasi di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan berikut: a. terdapat realisasi investasi; b. nilai hedging untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen pendukung; c. nilai investasi yang dapat dilakukan hedging tidak termasuk future income yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaan dari investasi dimaksud; d. jangka waktu hedging paling singkat 1 (satu) minggu yang dihitung berdasarkan tanggal dimulainya transaksi hedging sampai dengan tanggal valuta hedging, dan paling lama sama dengan jangka waktu investasi; dan e. transaksi hedging dilengkapi dengan dokumen hedging dan dokumen investasi yang bersangkutan. (4) Dalam hal terdapat penghasilan dari investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang jumlah dan waktu penerimaannya dapat dipastikan, dapat dilakukan hedging dengan ketentuan sebagai berikut: a. hedging hanya dapat dilakukan melalui transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing; b. penghasilan dari investasi meliputi penghasilan yang telah diterima maupun yang akan diterima; c. transaksi ... - 5 - c. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang telah diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali transaksi dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu; d. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang akan diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan jangka waktu paling lama sama dengan jangka waktu penerimaan penghasilan; e. nilai transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak sebesar nilai penghasilan dari investasi yang tercantum dalam dokumen pendukung; dan f. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung. (5) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kegiatan ekspor/impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri diatur sebagai berikut: a. jangka waktu hedging paling lama sesuai dengan jangka waktu kebutuhan pembayaran importir dan/atau penerimaan pembayaran eksportir; b. jatuh waktu hedging paling lama sama dengan jatuh waktu pembayaran importir dan/atau penerimaan pembayaran eksportir; c. nilai ... - 6 - c. nilai hedging paling banyak sebesar nilai ekspor/impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri yang tercantum dalam dokumen pendukung; dan d. dilengkapi dengan dokumen hedging dan dokumen ekspor/impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri yang bersangkutan. (6) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank. (7) Persyaratan hedging dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi. (8) Transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur sebagai berikut: a. jangka waktu outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing sama dengan jangka waktu setelmen kegiatan investasi; b. tanggal dimulainya transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing maupun berakhirnya transaksi outright forward beli dimaksud sama dengan tanggal dimulainya dan berakhirnya setelmen kegiatan investasi; dan c. dilengkapi dengan dokumen pendukung setelmen kegiatan investasi yang bersangkutan. 2. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 3. Ketentuan ... - 7 - 3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah. 4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 sampai dengan Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nominal transaksi yang dilanggar. (2) Total kewajiban membayar untuk sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun kalender. Pasal II ... - 8 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 Agustus 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Agustus 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Agustus 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 157 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/10/PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK I. UMUM Dinamika perekonomian nasional dewasa ini dan ke depan dihadapkan pada sejumlah tantangan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dalam rangka merespon sekaligus mengantisipasi berbagai tantangan tersebut, Bank Indonesia memandang perlunya pengembangan pasar valuta asing domestik dengan memberikan fleksibilitas bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai (hedging) atas kegiatan ekonomi di Indonesia. Hal ini juga merupakan upaya memperkuat keterkaitan antara transaksi valuta asing di pasar domestik dengan kegiatan ekonomi sehingga dapat meminimalkan transaksi valuta asing yang bersifat spekulatif dan mendukung upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sejalan dengan hal tersebut, dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Kebijakan ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional. II. PASAL ... - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia menggunakan cara pembayaran berdasarkan Letter of Credit (L/C) dan Non L/C. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan realisasi investasi adalah terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses penyelesaian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Future income antara lain capital gain, dividen, kupon dan bunga. Huruf d ... - 3 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penghasilan dari investasi yang telah diterima maupun yang akan diterima antara lain dividen, kupon dan bunga. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Eksportir akan menerima pembayaran dalam waktu 2 (dua) bulan ke depan. Dalam hal ini, eksportir dapat melakukan hedging dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan atau eksportir melakukan hedging dengan jangka waktu kurang dari 2 (dua) bulan, namun dengan tanggal jatuh waktu yang sama dengan tanggal jatuh waktu penerimaan pembayaran. Ayat (6) ... - 4 - Ayat (6) Yang dimaksud dengan cover hedging adalah apabila Bank melakukan hedging kepada Pihak Asing (bank di luar negeri) atas hedging yang telah dilakukan nasabah Bank kepada Bank yang bersangkutan dengan underlying yang dimiliki oleh nasabah Bank dimaksud. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing” adalah transaksi forward yang bukan berasal dari transaksi swap atau transaksi derivatif lainnya. Angka 2 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 14 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan tahun kalender adalah 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang bersangkutan. Pasal II ... - 5 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5335 .
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/10/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title> <set_date> 8 Agustus 2012 </set_date> <effective_date> 14 Agustus 2012 </effective_date> <issued_date> 8 Agustus 2012 </issued_date> <changed_reg> '7/14/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 17' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/2/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk menghadapi dampak krisis keuangan global dan dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil, diperlukan peran yang lebih besar dari perbankan melalui pembiayaan kepada dunia usaha; b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan pembiayaan pada kondisi krisis Bank perlu meningkatkan efisiensi dengan tetap menerapkan manajemen risiko yang memadai; c. bahwa upaya untuk meningkatkan efisiensi antara lain dilakukan dengan meninjau pengaturan mengenai penetapan kualitas aktiva, cara perhitungan agunan sebagai pengurang penyisihan penghapusan aktiva dan penetapan properti terbengkalai; d. bahwa … - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Peraturan … - 3 - 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4716); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4716) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan … - 4 - 1. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Penetapan kualitas dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, untuk: a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan jumlah: 1) lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit “sangat memadai” (strong); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3). 2) lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki … - 5 - a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit “dapat diandalkan” (acceptable); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3). c. Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang digunakan dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada Bank pada tiap semester. (3) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut: a. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selambat-lambatnya posisi bulan September; dan b. penilaian … - 6 - b. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selambat-lambatnya posisi bulan Maret. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan jumlah lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang merupakan: a. Kredit yang direstrukturisasi; dan/atau b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank. (5) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59. (6) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan dalam prinsip perkreditan yang sehat, Bank Indonesia dapat menetapkan penilaian kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. 2. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Penetapan … - 7 - (2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan. (3) Bagian properti yang tidak digunakan Bank dari suatu properti yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas, tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. (4) Dalam hal Bank tidak menggunakan bagian dari suatu properti secara mayoritas, maka bagian properti yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara proporsional. 3. Diantara Pasal 47 dan Pasal 48, disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A (1) Dalam hal agunan akan digunakan sebagai pengurang PPA, penilaian agunan paling kurang dilakukan oleh: a. penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7) bagi Aktiva Produktif kepada debitur atau Kelompok Peminjam dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); b. penilai intern Bank bagi Aktiva Produktif kepada debitur atau Kelompok Peminjam dengan jumlah sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sejak awal pemberian Aktiva Produktif. 4. Ketentuan … - 8 - 4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; b. Tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal, paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan penilaian oleh penilai independen dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir; atau b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir atau penilaian oleh penilai independen dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir. 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau b) untuk … - 9 - b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir atau penilaian oleh penilai independen dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir. 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan penilaian oleh penilai independen telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir atau penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir. 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila: a) untuk … - 10 - a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir atau penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir. c. Tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal, mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, resi gudang, dan persediaan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau 4) 0% … - 11 - 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir. (2) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah dalam hal terdapat beberapa penilaian terhadap suatu agunan untuk posisi yang sama baik yang dilakukan oleh penilai independen maupun penilai intern. (3) Bank Indonesia dapat menetapkan nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPA lebih rendah dari penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, berdasarkan pertimbangan pengawasan. 5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilarang melebihi nilai pengikatan agunan. (2) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan berdasarkan nilai terendah antara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan nilai pengikatan agunan. 6. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 … - 12 - Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Januari 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Januari 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 28 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/2/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM I. UMUM Sebagai suatu lembaga yang fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, peran perbankan untuk menunjang pergerakan sektor riil melalui pembiayaan sangat diharapkan termasuk dalam kondisi menghadapi dampak krisis keuangan global. Bahwa dalam menghadapi krisis keuangan global, terdapat tekanan terhadap kondisi likuiditas dan rentabilitas Bank. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan efisiensi dalam kegiatan operasional agar Bank tetap dapat melakukan pembiayaan secara optimal dengan dana yang dimiliki. Dalam melaksanakan pembiayaan dimaksud, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan manajemen risiko kredit pada setiap tahapan penyediaan dana, termasuk menjaga kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara efektif. Dalam … - 2 - Dalam rangka mengoptimalkan peran pembiayaan oleh perbankan dan melihat perkembangan kondisi yang terjadi dewasa ini, dipandang perlu untuk menyesuaikan beberapa ketentuan dalam penilaian kualitas aktiva bank. Penyesuaian ini diharapkan dapat mempertahankan peran Bank dalam menunjang pembiayaan sektor riil. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 35 Ayat (1) Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau proyek, baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam dalam hal Kredit dan penyediaan dana lainnya digunakan untuk membiayai proyek yang sama. Huruf a Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya adalah penerbitan jaminan dan atau pembukaan letter of credit. Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana lainnya adalah semua jenis Kredit atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan debitur. Huruf b … - 3 - Huruf b Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Angka 1) Huruf a) Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) meliputi: a. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi Bank; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; c. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian, dan sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang komprehensif, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Secara … - 4 - Secara umum, predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit yang sangat memadai (strong) dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen sistem pengendalian risiko tersebut di atas terhadap seluruh risiko kredit yang efektif untuk memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan pengendalian intern, kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dan dapat segera dilakukan tindakan korektif sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Bank. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Peringkat komposit adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Angka 2) … - 5 - Angka 2) Huruf a) Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) meliputi: a. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi Bank; b. kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit; c. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian, dan sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang komprehensif, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Secara umum, predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dapat diandalkan (acceptable) dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen sistem pengendalian risiko tersebut di atas terhadap seluruh risiko kredit yang cukup efektif untuk memelihara kondisi internal Bank … - 6 - Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan pengendalian intern terhadap risiko kredit, kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dan apabila tidak segera dilakukan tindakan korektif dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Bank. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Peringkat komposit adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Huruf c Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur individual maupun kelompok peminjam yang diterima dari satu Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara individual. Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang … - 8 - yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 40 Ayat (1) Yang termasuk dalam Properti Terbengkalai antara lain tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank seperti gedung dan/atau tanah yang disewakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) dan ayat (4) Yang dimaksud dengan “digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas” adalah Bank menggunakan porsi terbesar yaitu lebih dari 50% (lima puluh perseratus). Pengukuran bagian yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank dilakukan secara terpisah untuk masing-masing properti. Sebagai contoh: Properti A digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 65%. Properti … - 9 - Properti B digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 40%. Properti C seluruhnya tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank. Dalam hal ini, properti A seluruhnya tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai, properti B digolongkan sebagai Properti Terbengkalai sebesar 60% dan properti C seluruhnya digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. Angka 3 Pasal 47A Ayat (1) Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada debitur atau Kelompok Peminjam. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penilaian agunan oleh penilai intern Bank mengacu kepada standar penilaian yang digunakan oleh penilai independen. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 … - 10 - Angka 4 Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Peringkat investasi adalah peringkat investasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang. Huruf c Termasuk tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal antara lain rumah toko (ruko), tanah perkebunan, dan tanah pertambangan. Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip … - 11 - prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang. Penilaian agunan mengacu pada pengaturan dalam Pasal 47A. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain berdasarkan data historis nilai realisasi agunan, yang pada umumnya jauh lebih rendah dari nilai agunan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan/atau terdapat gap yang besar antara hasil penilaian dengan perhitungan present value dari agunan. Angka 5 Pasal 49 Ayat (1) Diperhitungkannya agunan sebagai pengurang PPA yang wajib dibentuk oleh Bank terkait dengan fungsi agunan sebagai alat mitigasi risiko kredit. Sehubungan dengan itu, agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPA adalah agunan yang dapat direalisasi oleh Bank pada saat terjadi wanprestasi atas penyediaan dana yang diberikan. Ayat (2) … - 12 - Ayat (2) Sebagai contoh: Penilaian agunan dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir dengan hasil penilaian agunan sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA: 70% (tujuh puluh perseratus) x Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) = Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh milyar rupiah). Apabila nilai pengikatan terhadap agunan dimaksud adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah), maka agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah). Angka 6 Pasal 73 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4977
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/2/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 29 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 29 Januari 2009 </effective_date> <issued_date> 29 Januari 2009 </issued_date> <changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '9/6/PBI/2007' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/2/PBI/2005', '9/6/PBI/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 73' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR. 13/ 8 /PBI/2011 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud di atas, dibangun suatu sistem pelaporan harian dari bank guna memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta pengawasan bank yang berbasis risiko; c. bahwa untuk menyediakan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan penyempurnaan dan perluasan cakupan laporan harian bank umum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur kembali ... 2 kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN ... 3 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang Bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang bank asing, dan unit usaha syariah. 3. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia. 4. Pelanggan LHBU adalah pihak selain Bank Pelapor, yang dapat memperoleh hasil olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 5. Perjanjian Penggunaan LHBU adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Pelanggan LHBU mengenai penggunaan LHBU dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 6. Penyampaian ... 4 6. Penyampaian laporan secara on-line, adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia. 7. Penyampaian laporan secara off-line, adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia. 8. Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan pinjam-meminjam dalam rupiah dan/atau valuta asing antar Bank konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. 9. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut PUAS, adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antar Bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 10. Data Jakarta InterBank Offered Rate, yang selanjutnya disebut Data JIBOR, adalah suku bunga indikasi penawaran dalam transaksi PUAB di Indonesia yang berasal dari kontributor JIBOR. 11. Hari Kerja adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. BAB II PENYUSUNAN DATA LHBU Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU. (2) LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data transaksional dan data non transaksional. (3) Data transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data: a. PUAB ... 5 a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi rupiah, PUAB sore rupiah, PUAB valuta asing, dan PUAB luar negeri; b. PUAS; c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; dan d. transaksi valuta asing. (4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; h. suku bunga dasar kredit; i. suku bunga kredit; j. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan; k. suku bunga penawaran; l. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan m. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. (5) Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 ... 6 Pasal 3 (1) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk penyusunan dan penyampaian LHBU, serta menginformasikan penunjukan tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab dari direksi Bank, pimpinan kantor cabang bank asing, dan/atau kepala unit usaha syariah. (3) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor harus menginformasikan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia. BAB III PENYAMPAIAN LHBU Pasal 4 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan benar. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berikut form header segera setelah terjadinya transaksi secara real time setiap Hari Kerja pada tanggal laporan. (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap Hari Kerja pada tanggal laporan berdasarkan: a. posisi akhir hari; b. proyeksi; atau c. data riil, sesuai dengan masing-masing jenis data yang dilaporkan. (4) Bank ... 7 (4) Bank Pelapor wajib menyampaikan form header walaupun tidak memiliki data transaksional dan/atau data non transaksional. (5) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (6) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), tidak berlaku dalam hal Bank Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Bank Indonesia menetapkan Data JIBOR berdasarkan data suku bunga penawaran pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan. (2) Penetapan Data JIBOR diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU dalam batas waktu koreksi yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia secara on-line. (2) Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib melaporkan secara off-line. (3) Penyampaian ... 8 (3) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal: a. Bank Pelapor mengalami gangguan teknis untuk penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU; atau b. Bank Indonesia mengalami gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi. (4) Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU dilakukan secara off-line sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. (5) Batas waktu pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pada hari kerja yang sama sebelum batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5). (6) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU baik secara on-line maupun secara off-line. (7) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia, maka Bank Indonesia akan memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau melalui sarana lainnya kepada Bank Pelapor. (8) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara on-line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara off-line pada Hari Kerja yang sama untuk data: a. PUAB pagi rupiah; b. PUAB sore rupiah; c. PUAB valuta asing; d. PUAS ... 9 d. PUAS; e. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; f. suku bunga dasar kredit; g. suku bunga kredit; h. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan; i. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; dan j. suku bunga penawaran. (9) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara on-line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara off-line pada Hari Kerja berikutnya untuk data: a. PUAB luar negeri; b. transaksi valuta asing; c. posisi devisa neto; d. pos-pos tertentu neraca; e. proyeksi arus kas; f. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; g. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; h. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; i. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. (10) Batas waktu penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 ... 10 Pasal 8 (1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara on-line apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara off-line apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8), ayat (9), dan ayat (10). Pasal 9 (1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU untuk data: a. PUAB; b. PUAS; c. transaksi valuta asing; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; h. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; i. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; j. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan k. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. (2) Tata ... 11 (2) Tata cara penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU tersebut. (2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) beserta upaya- upaya yang dilakukan, yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat teratasi. BAB IV HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU Pasal 11 (1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan/atau Pelanggan LHBU. (2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk agregat, termasuk Data JIBOR; dan b. data individual Bank Pelapor. Pasal 12 ... 12 Pasal 12 (1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk agregat, data individual Bank Pelapor yang bersangkutan, dan data individual tertentu Bank Pelapor lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Pelanggan LHBU atas penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 13 (1) Untuk menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) calon Pelanggan LHBU harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan LHBU menandatangani Perjanjian Penggunaan LHBU dengan Bank Indonesia. (3) Ketentuan pelaksanaan mengenai Pelanggan LHBU diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 14 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank ... 13 (3) Bank Indonesia menyediakan hak akses kepada Pelanggan LHBU dengan dikenakan biaya. (4) Bank Pelapor dan Pelanggan LHBU bertanggung jawab atas hak akses terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia. (5) Ketentuan pelaksanaan mengenai hak akses dan biaya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PENGAWASAN Pasal 15 Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LHBU oleh Bank Pelapor. BAB VI S A N K S I Pasal 16 (1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c secara on-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau tidak menyampaikan secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, Pasal 7 ayat (9) huruf a dan Pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar ... 14 membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d secara on-line dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau tidak menyampaikan secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9) huruf b dan Pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (3) Bank pelapor yang tidak menyampaikan data non transaksional secara on- line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dalam batas waktu penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) huruf f sampai dengan huruf j dan Pasal 7 ayat (9) huruf c sampai dengan huruf j, dan pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan. (4) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan form header LHBU secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 4 ayat (4) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara off-Line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8), Pasal 7 ayat (9) dan Pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form header. (5) Bank ... 15 (5) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b dan huruf c dan Pasal 2 ayat (4) huruf d sampai dengan huruf m, Pasal 7 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i, dan huruf j dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 secara tidak benar dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap form per hari. (6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dan Pasal 2 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 7 ayat (9) huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf h dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari. (7) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan peraturan ini maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan sanksi tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan/atau ayat (3). Pasal 17 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. Pasal 18 ... 16 Pasal 18 Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 19 Bank Indonesia mengenakan sanksi terhadap Pelanggan LHBU yang tidak melakukan pembayaran biaya penggunaan LHBU sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penggunaan LHBU berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar; dan/atau c. penghentian sebagai Pelanggan LHBU. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 Perjanjian Penggunaan PIPU yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan masih tetap berlaku dan diperlakukan sebagai Perjanjian Penggunaan LHBU sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang bersangkutan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 (1) Kewajiban penyusunan dan penyampaian LHBU untuk data non transaksional posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank sebagaimana ... 17 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf l untuk Bank non devisa mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2011. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (7) dan Pasal 18 terhadap penyusunan dan penyampaian LHBU untuk data non transaksional posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank dan posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf l dan huruf m mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2011. Pasal 22 (1) Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Semua istilah JIBOR yang tercantum dalam ketentuan Bank Indonesia yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dibaca sebagai JIBOR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 ... 18 Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Februari 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Februari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Februari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 15 DPM/UKMI/DINT/DSM/DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/8/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 4 Februari 2011 </set_date> <effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date> <issued_date> 4 Februari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '9/2/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Bank Perkreditan Rakyat memiliki peranan yang penting dalam mendukung perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM); b. bahwa dalam rangka mendorong pemberian Kredit termasuk kepada UMKM, Bank Perkreditan Rakyat harus senantiasa memperhatikan azas-azas perkreditan yang sehat; c. bahwa ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang berlaku selama… - 2 - selama ini perlu disempurnakan dan diselaraskan dengan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) bagi BPR dan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat (PA BPR); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran… - 3 - Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 76, Tambahan… - 4 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4645) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. 3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara BPR dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI, adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank… - 5 - Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada bank lain dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit yang diberikan dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, yang selanjutnya disebut PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan kualitas Aktiva Produktif. 7. Pengurus BPR adalah anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat. 8. Debitur adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana. 9. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan melalui: a. penjadwalan kembali, yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban Debitur atau jangka waktu; b. persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya… - 6 - lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum plafon Kredit; dan/atau c. penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan Kredit yang menyangkut penambahan fasilitas Kredit dan konversi seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi pokok Kredit baru yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali. 10. Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh BPR dalam rangka penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur telah dinyatakan Macet, dengan kewajiban untuk segera dicairkan kembali. 2. Di antara Pasal 2 dan pasal 3 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 2A, Pasal 2B, dan Pasal 2C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A (1) Dalam rangka penyediaan dana dalam bentuk Kredit, BPR wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara tertulis. (2) Kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur… - 7 - (3) Prosedur perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 2B Pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A mencakup juga kebijakan dan prosedur mengenai Restrukturisasi Kredit, AYDA, hapus buku dan hapus tagih kredit. Pasal 2C (1) BPR wajib menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) Debitur pada BPR yg sama. (2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva Produktif terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif untuk 1 (satu) Debitur pada BPR yang sama, BPR wajib menetapkan kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. 3. Ketentuan… - 8 - 3. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP khusus. (2) PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar. (3) PPAP khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar: a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. (4) Pembentukan PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk : a. penempatan BPR pada SBI ; dan b. Kredit yang dijamin dengan agunan yang bersifat likuid berupa SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik… - 9 - Republik Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan dan logam mulia. 4. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) ditetapkan paling tinggi sebesar: a. 100% (seratus perseratus) dari agunan yang bersifat likuid berupa SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan dan logam mulia; b. 85% (delapan puluh lima perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa emas perhiasan; c. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan untuk agunan berupa tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat yang diikat dengan hak tanggungan; d. 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang penilaiannya dilakukan kurang dari atau sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan sejalan dengan Undang-Undang… - 10 - Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku; e. 60% (enam puluh perseratus) dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk agunan berupa tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat yang tidak diikat dengan hak tanggungan; f. 50% (lima puluh perseratus) dari NJOP untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau yang dipersamakan dengan itu termasuk Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh notaris atau pejabat lainnya yang berwenang yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) pada satu tahun terakhir; g. 50% (lima puluh perseratus) dari harga pasar, harga sewa atau harga pengalihan, untuk agunan berupa tempat usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak garap yang disertai bukti kepemilikan atau surat ijin pemakaian tempat usaha/ los/ kios/ lapak/ hak pakai/ hak garap yang dikeluarkan oleh pengelola yang sah dan disertai dengan surat kuasa menjual atau pengalihan hak yang dibuat/disahkan oleh notaris atau dibuat oleh pejabat lainnya yang berwenang; h. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor yang disertai dengan bukti kepemilikan dan telah dilakukan pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku; i. 50% … - 11 - i. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 12 (dua belas) bulan sampai dengan 18 (delapan belas) bulan dan sejalan dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku; j. 50% (lima puluh perseratus) untuk bagian dana yang dijamin oleh BUMN/BUMD yang melakukan usaha sebagai penjamin Kredit; k. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan disertai dengan surat kuasa menjual yang dibuat/disahkan oleh notaris; dan l. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan dan sejalan dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku. (2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP. (3) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP pada Kredit dengan kolektibilitas Macet: a. setelah jangka waktu 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, ditetapkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai agunan yang diperkenankan untuk diperhitungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). b. setelah… - 12 - b. setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun, tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPAP. 5. Ketentuan Pasal 14 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk mengetahui nilai ekonomisnya. (2) Dalam hal BPR tidak melakukan penilaian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka agunan tersebut tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPAP. (3) BPR dilarang memperhitungkan agunan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP apabila agunan tersebut tidak ada, tidak dapat diketahui keberadaannya dan/atau tidak dapat dieksekusi. 6. Ketentuan Pasal berikut: 15 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai Pasal 15 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali atau tidak mengakui nilai agunan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP apabila BPR tidak memenuhi… - 13 - memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14. (2) BPR wajib melakukan penyesuaian perhitungan PPAP sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. 7. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi kualitasnya tergolong Diragukan atau Macet; atau b. tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi kualitasnya tergolong Lancar atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi: a. Lancar… - 14 - a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali periode pembayaran secara berturut-turut ; atau b. sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit, apabila Debitur tidak dapat memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf a. (3) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari Restrukturisasi Kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan PPAP karena perbaikan kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi. (4) Kelebihan PPAP karena perbaikan kualitas Kredit yang direstrukturisasi, setelah diperhitungkan dengan kerugian yang timbul dari Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat diakui sebagai pendapatan apabila telah terdapat 3 (tiga) kali penerimaan angsuran pokok atas Kredit yang direstrukturisasi. 8. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit, termasuk namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang… - 15 - yang timbul dalam rangka Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi yang berlaku bagi BPR. 9. Pasal 20 dihapus. 10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 23 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3) diubah, dan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (5) dan ayat (6) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) BPR dapat mengambil alih agunan, yang bersifat sementara, dalam rangka penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas Macet. (1a) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan lunas dari BPR kepada Debitur. (2) BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap agunan yang diambil alih (AYDA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPR tidak dapat menyelesaikan AYDA maka nilai AYDA yang… - 16 - yang tercatat pada neraca BPR wajib diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti BPR dalam perhitungan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM). (4) BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi pengambilalihan AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. (6) BPR wajib memiliki action plan mengenai penyelesaian AYDA. 11. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) BPR wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan untuk menetapkan net realizable value. (2) Penilaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. Untuk AYDA dengan nilai sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat dilakukan oleh penilai intern BPR; dan b. Untuk AYDA dengan nilai di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib dilakukan oleh penilai independen. (3) Penilaian… - 17 - (3) Penilaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap agunan. (4) BPR wajib melakukan penilaian kembali secara berkala terhadap AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam hal nilai AYDA mengalami penurunan, BPR wajib mengakui penurunan nilai tersebut sebagai kerugian; dan b. Dalam hal nilai AYDA mengalami peningkatan, BPR tidak boleh mengakui peningkatan nilai tersebut sebagai pendapatan. 12. Pasal 25 dihapus. 13. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB VIA dan di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut: BAB VI A PELAPORAN Pasal 27 A (1) BPR wajib menyampaikan pedoman kebijakan perkreditan BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) kepada Bank Indonesia… - 18 - Indonesia paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Setiap perubahan pedoman kebijakan perkreditan BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya perubahan. (3) Dalam hal batas akhir kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja berikutnya. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada: a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 14. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 BPR yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (3)… - 19 - (3) dan ayat (4), Pasal 2C, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 27, dan/atau Pasal 27A ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi BPR. Pasal II KETENTUAN PERALIHAN (1) Batas waktu penyelesaian AYDA yang telah dimiliki BPR sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap mengacu pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan… - 20 - Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, yakni paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pengambilalihan. (2) Pentahapan pengakuan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) terhadap Kredit BPR yang telah memiliki kualitas Macet sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, dihitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. Pasal III KETENTUAN PENUTUP (1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat. (2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan… - 21 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 146 DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memiliki peranan penting dalam mendukung pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Sebagai lembaga kepercayaan, BPR wajib menjaga dan memelihara kualitas kredit maupun Aktiva Produktif lainnya agar senantiasa Lancar. Dalam rangka mendukung pengembangan UMKM, diperlukan suatu aturan yang dapat mendorong BPR untuk menyalurkan kredit kepada UMKM namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka meningkatkan governance dalam penyaluran kredit, pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan yang merupakan… - 2 - merupakan pedoman standar dalam pelaksanaan perkreditan perlu untuk dimiliki oleh setiap BPR. Selanjutnya dengan diterapkannya Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) dan Pedoman Akuntansi (PA) BPR pada tahun 2010 mengakibatkan beberapa ketentuan KAP dan Pembentukan PPAP yang saat ini berlaku bagi BPR sudah tidak sejalan dengan SAK ETAP dan PA BPR tersebut misalnya aturan terkait dengan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Restrukturisasi Kredit yang mengakibatkan terdapat kerancuan dalam penerapannya bagi BPR sehingga dipandang perlu untuk disesuaikan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2A Cukup jelas. Pasal 2B… - 3 - Pasal 2B Cukup jelas. Pasal 2C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Seorang Debitur Y memiliki 2 (dua) fasilitas di BPR X yakni kredit modal kerja bagi usaha warung makan dan usaha toko kelontong. Hasil penilaian yang dilakukan oleh BPR X untuk masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai berikut: a. Lancar, untuk usaha warung makan; dan b. Kurang Lancar, untuk usaha toko kelontong Karena kredit tersebut diberikan kepada 1 (satu) Debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan BPR X kepada seluruh rekening Debitur Y mengikuti kualitas yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Angka 3 Pasal 12 Ayat (1)… - 4 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk dalam logam mulia adalah emas batangan. Angka 4 Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi. Nilai pasar emas perhiasan mengacu pada harga yang berlaku umum di pasar emas setempat. Penetapan… - 5 - Penetapan nilai pasar emas perhiasan dapat dilakukan oleh internal bank atau penilai independen misalnya toko emas atau lembaga gadai emas. Penilai internal bank dapat diperkenankan sepanjang karyawan bank tersebut memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai dalam melakukan penilaian terhadap emas perhiasan. Huruf c Yang dimaksud dengan tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat adalah tanah, bangunan dan/atau rumah yang dilekati dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Huruf d Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Huruf e Yang dimaksud dengan tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat adalah tanah, bangunan dan/atau rumah yang dilekati dengan… - 6 - dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi. Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku misalnya ketentuan mengenai fidusia dan gadai. Huruf i Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Huruf j Cukup jelas. Huruf k… - 7 - Huruf k Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi. Huruf l Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) a. Contoh: Seorang Debitur X memiliki fasilitas kredit di BPR Y dengan agunan berupa tanah yang diikat dengan hak tanggungan senilai Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Pada tanggal 2 Januari 2012 fasilitas kredit tersebut ditetapkan Macet oleh BPR X sehingga agunan tersebut digunakan sebagai faktor pengurang PPAP sebesar 80% dari nilai agunan yakni sebesar Rp300.000.000,00… - 8 - Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Apabila setelah 2 (dua) tahun yakni pada tanggal 2 Januari 2014 kredit Macet Debitur X tersebut belum juga terselesaikan atau belum ada upaya penyelesaian oleh BPR baik dalam bentuk restrukturisasi kredit atau pengambilalihan agunan maka nilai agunan yang digunakan sebagai faktor pengurang PPAP adalah sebesar 50% dari Rp300.000.000,00 yakni sebesar Rp150.000.000,00. b. Apabila setelah 3 (tiga) tahun yakni tanggal 2 Januari 2015 kredit Macet Debitur X di atas masih belum terselesaikan atau belum dilakukan upaya penyelesaian oleh BPR baik dalam bentuk restrukturisasi kredit atau pengambilalihan agunan maka nilai agunan tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPAP. Angka 5 Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penilaian adalah taksiran dan pendapat oleh penilai intern BPR atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif… - 9 - obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip- prinsip yang berlaku umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam pertemuan pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting). Angka 7 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 8… - 10 - Angka 8 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA. Contoh: Pada tanggal 10 Januari 2012 BPR A telah mengambil alih agunan yang diserahkan oleh debitur maka batas waktu penyelesaian AYDA tersebut adalah 9 Januari 2013. Ayat (3)… - 11 - Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 10 Januari 2012 BPR X mengambil alih agunan yang diserahkan oleh debitur dengan nilai wajar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila hingga 9 Januari 2013 BPR belum dapat menyelesaikan AYDA tersebut maka pada perhitungan KPMM BPR bulan Januari 2013 AYDA senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) tersebut diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti BPR. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR. Ayat (6) Cukup jelas. Angka11 Pasal 24 Ayat (1) Yang… - 12 - Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai pasar agunan dikurangi estimasi biaya yang dibutuhkan untuk menjual, dengan nilai maksimum sebesar baki debet Kredit yang akan diselesaikan dengan AYDA. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR; b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan Debitur BPR; c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang; d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi anggota yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 13 - Ayat (4) Ketentuan mengenai penilaian kembali AYDA mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR. Angka 12 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 27A Cukup jelas. Angka 14 Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan” adalah hasil penilaian tingkat kesehatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tingkat kesehatan BPR. Huruf c… - 14 - Huruf c Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. Pasal III Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5266
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/26/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 28 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2011 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2011 </issued_date> <changed_reg> '8/19/PBI/2006' </changed_reg> <replaced_reg> '23/68/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 28' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/10/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan yang berlaku saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan penggantian uang rusak secara memadai; b. bahwa dirasa perlu untuk meningkatkan layanan penukaran uang yang lebih baik dengan memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat yang akan melakukan penukaran uang rusak di Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b di atas dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah; Mengingat ... - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH. Pasal I Ketentuan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 ... - 3 - Pasal 9 (1) Layanan penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diberikan kepada masyarakat untuk menukarkan: a. Uang yang masih layak edar dengan Uang yang masih layak edar dalam pecahan yang sama atau pecahan lainnya; atau b. Uang Tidak Layak Edar dengan Uang yang masih layak edar dalam pecahan yang sama atau pecahan lainnya. (2) Pelaksanaan layanan penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang yang hilang atau musnah karena sebab apapun. (4) Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Lusuh atau Uang Cacat sebesar nilai nominal. (5) Penggantian Uang Lusuh atau Uang Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan sepanjang Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia dapat mengenali tanda keaslian Uang. (6) Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rusak. (7) Besarnya penggantian atas Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sebagai berikut: a. Uang ... - 4 - a. Uang Kertas: 1) dalam hal fisik Uang Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2) dalam hal fisik Uang Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. b. Uang Logam: 1) dalam hal fisik Uang Logam lebih besar dari setengah ukuran aslinya dan Ciri Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2) dalam hal fisik Uang Logam sama dengan atau kurang dari setengah ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. c. Uang Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer): 1) dalam hal fisik Uang Kertas mengerut dan masih utuh serta Ciri Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2) dalam hal fisik Uang Kertas mengerut dan tidak utuh, diberikan penggantian sebesar nilai nominal sepanjang Ciri Uang masih dapat dikenali keasliannya dan fisik Uang lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya. (8) Penggantian sebesar nilai nominal terhadap Uang Kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, hanya diberikan dalam hal: a. Uang ... - 5 - a. Uang Rusak masih merupakan satu kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap; atau b. Uang Rusak tidak merupakan satu kesatuan, tetapi terbagi menjadi paling banyak 2 (dua) bagian terpisah, dan kedua nomor seri pada Uang Rusak tersebut lengkap dan sama. (9) Uang Lusuh atau Uang Cacat dalam kondisi rusak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), diberikan penggantian sebesar nilai nominal. (10) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) apabila menurut pertimbangan Bank Indonesia kerusakan Uang tersebut diduga dilakukan secara sengaja atau dilakukan secara sengaja. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan. Agar ... - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 113 DPU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/10/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH PASAL DEMI PASAL PASAL I Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 2 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a, b dan c Dalam penetapan penggantian, Bank Indonesia berwenang menilai besarnya keutuhan fisik Uang. Ayat (8) Huruf a Yang dimaksud satu kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap adalah kondisi fisik Uang Kertas yang diserahkan oleh masyarakat tidak terdiri dari 2 (dua) bagian atau lebih dan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap. Huruf b Uang Rusak yang terdiri lebih dari 2 (dua) bagian terpisah baik yang disambungkan kembali dengan perekat maupun tidak disambungkan, tidak diberikan penggantian. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Kerusakan Uang diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda- tanda kerusakan fisik Uang meyakinkan Bank Indonesia misalnya terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, pola kerusakannya sama, dan/atau jumlah Uang yang ditukarkan relatif banyak. Kerusakan … - 3 - Kerusakan Uang dilakukan secara sengaja adalah apabila berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang dirusak secara sengaja. PASAL II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4762
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/10/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2007 </set_date> <effective_date> 6 (enam) bulan sejak tanggal 30 Agustus 2007 </effective_date> <changed_reg> '6/14/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/ 5 /PBI/1999 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM PADA MASA PERALIHAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program tidak lagi dilakukan oleh Bank Indonesia; b. bahwa Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program akan dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang akan ditunjuk oleh Pemerintah selambat-lambatnya 6 bulan sejak berlakunya Undang-undang No.23 Tahun 1999 dimaksud; c. bahwa selama masa peralihan, yaitu selama Kredit Likuiditas Bank Indonesia belum dialihkan, Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang telah disetujui dapat terus dilaksanakan pemberiannya oleh Bank Indonesia; d. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program pada masa peralihan dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat …... 2 - 2 - Mengingat : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM PADA MASA PERALIHAN. Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1. Kredit Likuiditas Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut KLBI, adalah kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka menunjang program Pemerintah. 2. Plafon KLBI adalah penyediaan dana KLBI yang telah disetujui oleh Bank Indonesia kepada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. 3. Two Step Loan adalah pinjaman yang diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia dari Lembaga Keuangan Internasional yang diteruskan kepada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat melalui Bank Indonesia, dalam rangka menunjang program Pemerintah, termasuk bantuan teknis yang terkait dengan pinjaman tersebut. 4. Bantuan Teknis adalah bantuan penelitian, pelatihan, dan konsultasi yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak-pihak yang terkait dalam rangka menunjang program pemerintah dan tidak termasuk bantuan teknis yang terkait dengan Two Step Loan. 5. Badan ………. 3 - 3 - 5. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk menerima pengalihan KLBI. Pasal 2 (1) Dengan berlakunya Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan KLBI . (2) Bagi KLBI yang masih berjalan dan belum jatuh tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik, akan dialihkan berdasarkan perjanjian kepada BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah selambat-lambatnya tanggal 16 November 1999. (3) Pengalihan Two Step Loan dan bantuan teknis yang terkait dengan Two Step Loan akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan pihak pemberi pinjaman. (4) Pengalihan bantuan teknis akan dilaksanakan setelah diperoleh kesepakatan antara Bank Indonesia dengan BUMN yang ditunjuk sebagai dimaksud dalam ayat (2). Pasal 3 (1) Bank Indonesia melanjutkan realisasi plafon KLBI yang telah disetujui sebelum tanggal 17 Mei 1999 sampai dengan tanggal dialihkan atau selambat-lambatnya tanggal 16 November 1999. (2) Bank Indonesia melanjutkan pelaksanaan Two Step Loan dan bantuan teknis selama kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) belum tercapai. Pasal 4 Pengalihan KLBI akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersendiri. Pasal 5 ….. 4 - 4 - Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 17 Mei 1999. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 September 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 148 5 PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NO. 1/ 5 /PBI/1999 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM PADA MASA PERALIHAN I. UMUM Sesuai dengan tujuannya, Bank Indonesia berfungsi sebagai Otoritas Moneter yang independen dan mempunyai tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, sehingga dalam melaksanakan tugas dimaksud perlu selalu diperhatikan pedoman berupa kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan yang sehat. Untuk lebih memfokuskan fungsi Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter maka pemberian Kredit Program tidak lagi didukung dengan KLBI. Dalam pada itu untuk mewujudkan perekonomian nasional yang diwarnai dengan ekonomi kerakyatan yang merata, mandiri, andal, berkeadilan dan terbuka, maka tersedianya kredit program yang ditujukan bagi usaha kecil dan koperasi tetap diperlukan. Namun untuk mendukung terlaksananya fungsi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, maka KLBI yang selama ini menjadi pendukung utama dalam penyediaan kredit program dimaksud, perlu dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah sehingga usaha kecil dan koperasi lebih berkembang di masa mendatang serta dapat menunjang perekonomian nasional. Sekalipun demikian untuk menjaga kesinambungan terlaksananya kegiatan usaha kecil dan koperasi, sampai dialihkannya KLBI tersebut kepada Badan Usaha Milik Negara dimaksud, dukungan KLBI tetap dilaksanakan. II. PASAL ..…… - 2 - 6 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan 5 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Batas waktu pengalihan Two Step Loan dan bantuan teknis yang terkait dengan Two Step Loan kepada BUMN ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan pihak pemberi pinjaman. Dengan demikian selama belum tercapai kesepakatan, maka Bank Indonesia tetap melaksanakan Two Step Loan dan bantuan teknis dimaksud. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Realisasi plafon KLBI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini termasuk penyediaan dana untuk segala tindakan dalam rangka penyelamatan kredit (rescheduling, restructuring dan reconditioning), dan penambahan KLBI yang penyediaan dananya telah termasuk dalam plafon KLBI sebagaimana dimaksud di atas. Ayat (2) ……. 7 - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3880
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/5/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM PADA MASA PERALIHAN </reg_title> <set_date> 1 September 1999 </set_date> <effective_date> 17 Mei 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank Indonesia turut berperan mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan makroprudensial; b. bahwa salah satu tujuan pengaturan dan pengawasan makroprudensial yaitu untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas; c. bahwa untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional diperlukan penyempurnaan terhadap kebijakan makroprudensial melalui pengaturan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor; - 30 - d. bahwa penyempurnaan terhadap kebijakan makroprudensial melalui pengaturan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5546); - 30 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah toko atau rumah kantor. 8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat - 30 - keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium, apartemen, flat, dan bangunan lainnya. 10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan, perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya. 11. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak. 12. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun. 13. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 14. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan KP Ruko atau KP Rukan. 15. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak. 16. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun. - 30 - 17. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 18. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan. 19. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 20. Akad Istishna’ adalah akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). 21. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. 22. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 23. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini. 24. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini. - 30 - 25. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian kendaraan bermotor. 26. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor. 27. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Pasal 2 (1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau PKB. (2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB II PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV Bagian Kesatu Perhitungan Kredit, Perhitungan Pembiayaan, Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan Pasal 3 (1) BUK wajib melakukan perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. - 30 - (2) BUS atau UUS wajib melakukan perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan 3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Kredit, perhitungan Pembiayaan, dan penilaian agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 4 (1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan - 30 - b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. (2) Dalam hal terdapat perubahan batasan plafon yang menjadi dasar penetapan penilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan penilai agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 5 Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 merupakan kantor jasa penilai publik yang paling sedikit memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki izin usaha dari otoritas yang berwenang; b. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank; c. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari kantor jasa penilai publik; dan d. tercatat sebagai anggota asosiasi profesi penilai publik. Bagian Kedua Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP Pasal 6 (1) Bank yang memberikan: a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. - 30 - (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 7 (1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan - 30 - 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya, ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 8 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima persen); dan - 30 - b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada laporan bulanan bank umum atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari laporan bulanan bank umum atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan rasio Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio KP bermasalah, rasio PP bermasalah, dan laporan lain diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 9 (1) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan - 30 - 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80% (delapan puluh persen); c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 60% (enam puluh persen); - 30 - 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 60% (enam puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 3. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); - 30 - 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); dan - 30 - 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh puluh persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 10 (1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan memberikan: a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), untuk fasilitas pertama; b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama dan seterusnya; c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama; dan d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, untuk fasilitas pertama, harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 30 - Pasal 11 (1) Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP, Bank wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan urutan fasilitas KP atau PP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Kewajiban Administratif Pasal 12 (1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 10, Bank wajib: a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang memuat keterangan mengenai: 1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan permohonan baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; 4. KP atau PP yang diambil alih (take over) dan disertai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; dan/atau - 30 - 5. keterangan terkait lainnya, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban administratif Bank diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) Pasal 13 (1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pemberian Kredit tambahan (top up) oleh BUK yang merupakan tambahan dari KP sebelumnya menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang Kredit tambahan (top up) tersebut menggunakan agunan yang sama dan KP sebelumnya memiliki kualitas lancar; b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang merupakan tambahan dari PP sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas lancar; c. dalam hal Kredit tambahan (top up) tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau KP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud dalam huruf a maka Kredit - 30 - tambahan (top up) menggunakan Rasio LTV untuk KP sebagaimana Kredit baru; d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana Pembiayaan baru; e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya, Bank memperhitungkan KP awal dan Kredit tambahan (top up) tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas; f. Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan (top up) dan Rasio FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e mengacu pada Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, atau Pasal 10; dan g. jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang diberikan oleh Bank memperhitungkan jumlah baki debet KP atau PP sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. dalam hal Bank mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan Kredit tambahan (top up) atau disertai - 30 - dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain tersebut mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 15 (1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan: 1. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b; 2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank dengan pengembang yang paling sedikit memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan 3. memiliki jaminan yang diberikan oleh pengembang atau pihak lain kepada Bank: a) yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian; dan - 30 - b) nilai jaminan paling sedikit sebesar selisih antara komitmen KP atau PP dengan pencairan KP atau PP yang telah dilakukan oleh Bank; dan b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang ditetapkan. (2) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 16 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 maka Bank wajib melakukan pencairan KP atau PP secara bertahap. (2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa diperlukan penilaian perkembangan pembangunan; b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; c. paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam - 30 - huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; dan d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah penandatanganan berita acara serah terima yang dilengkapi dengan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. (3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan yang berasal dari: a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern Bank; atau b. penilai independen. (4) Dalam hal terdapat perubahan persentase pencairan bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan persyaratan penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan bertahap untuk KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keenam Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP Pasal 17 (1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 16, Bank wajib mematuhi prinsip kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik - 30 - pada Bank yang sama maupun pada Bank lain, untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP; c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait penyelesaian properti yang belum tersedia secara utuh; dan d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur atau nasabah kepada rekening pengembang atau penjual yang berada di Bank. (2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk KP atau PP bermasalah. Bagian Ketujuh Pedoman Internal dalam Pemberian KP atau PP dan Sistem Informasi Pasal 18 (1) Bank harus memiliki pedoman internal dalam pemberian KP atau PP yang paling sedikit memuat: a. b. persentase pencairan KP atau PP secara bertahap; c. spesifikasi teknis penyelesaian fondasi dan tutup atap untuk Properti; penilaian dan laporan perkembangan pembangunan; d. prinsip kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan e. pemantauan implementasi kebijakan bank terkait Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP. (2) Bank harus memiliki sistem informasi untuk pemantauan implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP. - 30 - Bagian Kedelapan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah Pasal 19 (1) KP atau PP untuk pelaksanaan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dikecualikan dari Peraturan Bank Indonesia ini. (2) KP atau PP untuk pelaksanaan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. KP atau PP diberikan berdasarkan peraturan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang mengatur mengenai program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah tersebut; b. KP atau PP diberikan dengan kelengkapan dokumen yang menyatakan bahwa KP atau PP tersebut merupakan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah; dan c. KP atau PP diberikan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB Pasal 20 Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). - 30 - Pasal 21 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada laporan bulanan bank umum atau laporan statistik moneter dan stabilitas keuangan bank umum syariah dan unit usaha syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari laporan bulanan bank umum atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 22 Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 25% (dua puluh lima persen); dan b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 30% (tiga puluh persen). - 30 - Pasal 23 Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memberikan KKB atau PKB dengan uang muka paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan b. memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan Uang Muka untuk KKB dan PKB diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UANG MUKA Pasal 25 (1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka bagi KP, PP, KKB, atau PKB kepada debitur atau nasabah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan uang muka diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 30 - BAB V EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP, FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN UANG MUKA UNTUK KKB ATAU PKB Pasal 26 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Hasil evaluasi kebijakan loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kebijakan loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 27 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada Bank melalui: a. surveilans; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dengan cara pemantauan terhadap implementasi kebijakan loan to value untuk KP atau financing to value untuk PP dan Uang Muka untuk KKB atau PKB. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada Bank; atau - 30 - b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank. BAB VII SANKSI Pasal 28 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, dan/atau Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 23, selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon Kredit yang diberikan dengan plafon Kredit yang seharusnya atau plafon Pembiayaan yang diberikan dengan plafon Pembiayaan yang seharusnya. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh atau dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka. - 30 - Pasal 29 (1) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) atas pelanggaran yang dilakukan oleh Bank selain sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3). (2) Dalam hal Bank Indonesia meminta Bank menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan dan melaksanakan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) tersebut. (3) Bank yang tidak menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (4) Bank yang tidak melaksanakan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan dan melaksanakan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenakan setiap bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. Pasal 30 Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya selain mengenakan sanksi teguran tertulis - 30 - dan/atau sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan/atau Pasal 29. Pasal 31 Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank dengan mendebit rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Pelanggaran atas ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB, yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB yang berlaku pada saat terjadinya pelanggaran. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP tanggal 6 September 2016 perihal Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. - 30 - Pasal 35 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5924), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 30 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 118 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, Bank Indonesia melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui penyempurnaan pengaturan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB. Pelonggaran kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional serta tetap memperhatikan prinsip kehati- hatian dan perlindungan konsumen. Kondisi perekonomian nasional yang menjadi pertimbangan yaitu pertumbuhan Kredit dan Pembiayaan Properti yang masih berada pada fase akselerasi dan belum mencapai puncak diikuti dengan penyediaan dan permintaan terhadap produk Properti yang mulai meningkat, kemampuan debitur yang masih cukup baik, serta risiko Kredit dan Pembiayaan yang relatif terjaga. Hal tersebut diperkuat dengan karakteristik sektor Properti yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) cukup besar terhadap perekonomian nasional. Prinsip kehati-hatian dan prinsip perlindungan konsumen dalam pelonggaran kebijakan ini diterapkan antara lain melalui pemenuhan rasio - 2 - Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah yang terjaga serta mempertimbangkan perlindungan bagi debitur atau nasabah. Bank Indonesia akan terus melakukan evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP atau financing to value untuk PP dan Uang Muka untuk KKB atau PKB. Evaluasi kebijakan tersebut dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun yang terdiri atas besaran Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, Uang Muka untuk KKB atau PKB, jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, dan penyesuaian pengaturan persentase pencairan bertahap dalam pencairan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. Selanjutnya, memperhatikan hal tersebut di atas, perlu disusun ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Termasuk Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ yaitu pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al- - 3 - Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh. Angka 3 Yang dimaksud dengan “deposit” adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS untuk kepemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT. Termasuk Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT yaitu pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al- Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh. Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “kantor jasa penilai publik” adalah kantor jasa penilai publik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilai publik. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi penilai publik” adalah asosiasi yang diakui oleh otoritas yang berwenang. - 4 - Pasal 6 Ayat (1) Huruf a KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor dengan luas bangunan: 1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2. dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi). Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Rasio Kredit bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah Kredit bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah. Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. - 5 - Rasio Pembiayaan bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah. Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. Yang dimaksud dengan “cadangan kerugian penurunan nilai” adalah cadangan kerugian penurunan nilai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perudang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank. Huruf b Rasio KP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah KP bermasalah dibandingkan dengan total KP. Yang dimaksud dengan “jumlah KP bermasalah” adalah jumlah dari KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Rasio PP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah PP bermasalah dibandingkan dengan total PP. Jumlah PP bermasalah adalah jumlah dari PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum” adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah” adalah laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 6 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “laporan lain” antara lain berupa laporan KP dan KKB untuk BUK, laporan PP untuk BUS dan UUS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Penentuan urutan fasilitas KP atau PP dilakukan dengan memperhitungkan seluruh KP atau PP yang telah diperoleh debitur atau nasabah yang masih berjalan, baik berupa KP dan/atau PP di Bank yang sama maupun Bank lainnya berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau Pembiayaan. Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah. Ayat (2) Cukup jelas. - 7 - Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “menggunakan Rasio LTV untuk KP sebagaimana Kredit baru” adalah tambahan Kredit diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya. Huruf d Yang dimaksud dengan “menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana Pembiayaan baru” adalah tambahan Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang berikutnya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 8 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “belum tersedia secara utuh” adalah belum siap diserahterimakan. Huruf a Angka 1 Rasio Kredit bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah Kredit bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah. Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. Rasio Pembiayaan bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah. Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. Yang dimaksud dengan “cadangan kerugian penurunan nilai” adalah cadangan kerugian penurunan nilai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perudang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank. - 9 - Rasio KP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah KP bermasalah dibandingkan dengan total KP. Yang dimaksud dengan “jumlah KP bermasalah” adalah jumlah dari KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Rasio PP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah PP bermasalah dibandingkan dengan total PP. Jumlah PP bermasalah adalah jumlah dari PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain meliputi corporate guarantee, stand by letter of credit, bank guarantee, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. Yang dimaksud dengan “dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan” adalah dana yang ditahan atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk - 10 - pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya. Dalam hal debitur atau nasabah telah memperoleh fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank memperhitungkan fasilitas tersebut sebagai fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah penandatanganan perjanjian KP atau PP. Huruf b Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf c Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf d Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta - 11 - pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. Ayat (3) Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun” adalah: 1. KP atau PP yang diberikan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini; dan/atau 2. KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini namun belum melewati waktu 1 (satu) tahun, dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu pembayaran uang muka dan pencairan bertahap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “KP atau PP bermasalah” adalah KP atau PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. - 12 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sistem informasi untuk pemantauan implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP antara lain berupa pemantauan terhadap pemberian KP dan/atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. Sistem informasi dapat berupa laporan atau sistem informasi terotomasi. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang- undangan” antara lain ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pemerintah daerah, perumahan dan kawasan permukiman, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prinsip kehati-hatian. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank. - 13 - Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Rasio KKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB. Yang dimaksud dengan “jumlah KKB bermasalah” adalah jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Rasio PKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB. Yang dimaksud dengan “jumlah PKB bermasalah” adalah jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum” adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Yang dimaksud dengan “laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah” adalah laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “laporan lain” antara lain berupa laporan KP dan KKB untuk BUK. - 14 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Evaluasi kebijakan loan to value dan financing to value dilakukan antara lain terhadap besaran Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, pengaturan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang menggunakan agunan yang sama dan KP atau PP yang diambil alih (take over), dan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. Evaluasi kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB dilakukan antara lain terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau PKB dan jenis penggunaan KKB atau PKB. Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (2) Cukup jelas. - 15 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia bertujuan antara lain untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan. Dalam melakukan pemeriksaan baik dilakukan langsung oleh Bank Indonesia atau Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dapat menggunakan data antara lain data yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka atau plafon untuk KP atau PP dari setiap debitur atau nasabah. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 16 - Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan 1 (satu) periode sebelum pelunasan. Ayat (4) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan 1 (satu) periode sebelum pelunasan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. - 17 - Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6230
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/8/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title> <set_date> 30 Juli 2018 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2018 </effective_date> <issued_date> 1 Agustus 2018 </issued_date> <replaced_reg> '18/16/PBI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/27/PBI/2006 TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1979, 50 (LIMA PULUH) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA UANG KERTAS PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 500 (LIMA RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 1.000 (SERIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN 5.000 (LIMA RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun emisi 1979, 50 (lima puluh) rupiah tahun emisi 1991 dan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1991 telah beredar cukup lama; b. bahwa uang kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1992, 500 (lima ratus) rupiah tahun emisi 1992, 1.000 (seribu) rupiah tahun emisi 1992 dan 5.000 (lima ribu) rupiah tahun emisi 1992 telah beredar cukup lama; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun emisi 1979, 50 (lima puluh) rupiah tahun emisi 1991 dan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1991, serta uang kertas … -2- kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1992, 500 (lima ratus) rupiah tahun emisi 1992, 1.000 (seribu) rupiah tahun emisi 1992 dan 5.000 (lima ribu) rupiah tahun emisi 1992 dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1979, 50 (LIMA PULUH) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA UANG KERTAS PECAHAN … -3- PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH, 500 (LIMA RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 1.000 (SERIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN 5.000 (LIMA RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran yang terdiri dari: a. Uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun emisi 1979, 50 (lima puluh) rupiah tahun emisi 1991 dan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1991; dan b. Uang kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1992, 500 (lima ratus) rupiah tahun emisi 1992, 1.000 (seribu) rupiah tahun emisi 1992 dan 5.000 (lima ribu) rupiah tahun emisi 1992. (2) Uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 30 November 2006. Pasal 2 Uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum. Pasal 3 Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan sebagai berikut: 1. Terhitung … -4- 1. Terhitung sejak tanggal 30 November 2006 sampai dengan tanggal 29 November 2011 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum. 2. Terhitung sejak tanggal 30 November 2011 sampai dengan tanggal 29 November 2016 penukaran dilakukan hanya di Bank Indonesia. Pasal 4 Hak untuk menuntut penukaran uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 30 November 2016. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 November 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 95 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/27/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1979, 50 (LIMA PULUH) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA UANG KERTAS PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 500 (LIMA RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 1.000 (SERIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN 5.000 (LIMA RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 </reg_title> <set_date> 22 November 2006 </set_date> <effective_date> 22 November 2006 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 21 /PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya, yang merupakan salah satu unsur penunjang kegiatan ekonomi secara nasional; b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah oleh Bank Indonesia ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender), sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi di masyarakat; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara . . . -2- Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009. Pasal . . . -3- Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: 1. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan abu-abu. 2. Gambar a. bagian muka 1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN ANTASARI”; 2) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis melengkung berwarna . . . -4- berwarna kuning yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; 4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “2000”; 5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 6) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi (rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah kotak persegi panjang; 7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; 8) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; 9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; 10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan; 11) mikroteks . . . -5- 11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: a) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; b) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah Kalimantan; c) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar; d) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; 12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. b. bagian belakang 1) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”; 2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; 3) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; 4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “2000”; 5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA . . . -6- INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; 6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 7) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi “2009”; 8) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: a) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan BANKINDONESIA yang tersusun horizontal; b) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal; c) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA; 9) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. 3. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. terbuat dari serat kapas; b. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm; c. warna abu-abu; d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; f. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang-ulang. Pasal . . . -7- Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 10 Juli 2009. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . -8- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juni 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 98 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/21/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 </reg_title> <set_date> 24 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 24 Juni 2009 </effective_date> <issued_date> 24 Juni 2009 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 23 /PBI/2000 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan lembaga perbankan yang tangguh diperlukan dukungan sumber daya manusia perbankan yang senantiasa memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi dalam mengelola bank; b. bahwa dalam rangka menegakkan kompetensi dan integritas sumber daya manusia perbankan, perlu dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang memiliki peranan penting dalam usaha perbankan; c. d. bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap pihak-pihak yang telah aktif di lembaga perbankan; bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan proses yang dinamis dan harus dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dunia perbankan; e. Mengingat : bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST). Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang memiliki 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara, atau memiliki kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung; 4. Pengurus adalah pengurus Bank yang terdiri dari komisaris dan direksi; 5. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 6. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 7. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank serta bertanggungjawab langsung kepada Direksi. Pasal 2 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap integritas Pemegang Saham Pengendali, dan terhadap kompetensi serta integritas Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia. (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali dalam kurun waktu sejak yang bersangkutan menjadi pemilik Bank, atau Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank dalam kurun waktu sejak yang bersangkutan memangku jabatan sebagai Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank. Pasal 3 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali yang mempunyai hubungan keluarga dan atau kelompok usaha dilakukan untuk keseluruhan anggota Pemegang Saham Pengendali. (2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi semua anggota Pemegang Saham Pengendali, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 4 (1) Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi : a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan; dan c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. (2) Faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yaitu : a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan; b. perbuatan yang tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah; c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank; d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; dan e. perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak independen. Pasal 5 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. pengumpulan informasi; b. pelaksanaan pemeriksaan; c. konfirmasi hasil pemeriksaan dengan Bank dan pihak-pihak yang dinilai setelah berakhirnya pemeriksaan; d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil pemeriksaan; e. penentuan hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan; f. pembahasan hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan dalam Komite Evaluasi Perbankan; g. penyampaian hasil pembahasan Komite Evaluasi Perbankan kepada Bank dan pihak-pihak yang dinilai; h. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil pembahasan Komite Evaluasi Perbankan; i. pembahasan ulang dalam Komite Evaluasi Perbankan dan pimpinan lainnya terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang dinilai; j. pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Rapat Dewan Gubernur; k. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. (2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, sejak tanggal konfirmasi hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c. (3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g. Pasal 6 (1) Hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) predikat yaitu : a. lulus; b. lulus bersyarat; atau c. tidak lulus. (2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot terhadap faktor kompetensi dan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 7 (1) Dalam hal pihak-pihak yang diberikan predikat lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a diketahui memiliki kredit macet pada Bank dan atau BPR, maka predikat yang diberikan akan diturunkan menjadi lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. (2) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan pengurus dari suatu badan hukum yang memiliki kredit macet. Pasal 8 Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang memiliki kredit macet pada Bank dan atau BPR serta pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib menyelesaikan kredit macet yang dimiliki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. Pasal 9 Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk: a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang serupa; b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan atau c. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam batas waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. Pasal 10 (1) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dapat diberikan predikat lulus. (2) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang disebabkan oleh faktor kompetensi dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dapat diberikan predikat lulus. (3) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, diberikan predikat tidak lulus. Pasal 11 Pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 10 ayat (3) dilarang menjadi : a. Pemegang Saham Pengendali Bank dan atau BPR; b. pemegang saham Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus); dan atau c. Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR. Pasal 12 (1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a wajib menyampaikan pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta dalam pengendalian Bank dan atau BPR dalam jangka waktu selambat- lambatnya 90 (sembilan puluh) hari. (2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi pemegang saham bank lebih dari 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b wajib menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. (3) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, wajib mengundurkan diri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari. (4) Apabila Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang diwajibkan untuk mengundurkan diri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak bersedia mengundurkan diri maka segala tindakan yang diambil oleh yang bersangkutan merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. Pasal 13 Pengunduran diri Pengurus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan lulus atau lulus bersyarat dan Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka pemegang saham wajib segera menyelenggarakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari untuk mengesahkan pengunduran diri Pengurus yang dinyatakan tidak lulus, serta mengangkat penggantinya sesuai dengan kebutuhan Bank dan ketentuan yang berlaku; b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan lulus atau lulus bersyarat, atau Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka waktu yang ditetapkan, atau kepengurusan Bank yang masih ada dinilai dapat mengganggu kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 14 (1) Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 13 huruf a atau Pengurus Bank yang ditunjuk dan diangkat menjadi pengganti sementara oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, wajib memberhentikan pihak-pihak yang dilarang menjadi Pejabat Eksekutif dalam jangka waktu sebagaimana dimasud dalam Pasal 12 ayat (3). (2) Pemberhentian dan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut : a. selama 2 (dua) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian tidak material pada permodalan Bank; b. selama 3 (tiga) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan mengakibatkan kerugian cukup material pada permodalan Bank; c. selama 5 (lima) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan: 1) mengakibatkan kerugian sangat material pada permodalan Bank; atau 2) merupakan penyimpangan manajerial dan atau operasional perbankan yang bersifat serius (serious misconduct). (2) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terhadap pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagai akibat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 huruf c ditetapkan selama 2 (dua) tahun. (3) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terhadap pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagai akibat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan huruf b ditetapkan selama 5 (lima) tahun. Pasal 16 Apabila berdasarkan proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius (serious misconduct) dan patut diduga mengandung unsur pelanggaran tindak pidana perbankan, Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang. Pasal 17 (1) Apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 telah terlampaui, pihak-pihak yang dikenakan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat mengajukan permohonan penilaian kembali. (2) Prosedur penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah menyampaikan pernyataan tertulis untuk tidak ikut serta dalam pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ingin kembali menjadi Pemegang Saham Pengendali, akan dilakukan penilaian ulang mengenai faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah menurunkan kepemilikannya sampai dengan 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (2) dan ingin meningkatkan kembali jumlah kepemilikan saham pada Bank dan atau BPR, akan dilakukan penilaian ulang mengenai faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah melepaskan seluruh kepemilikannya dan bagi Pengurus yang telah mengundurkan diri atau yang diberhentikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 huruf b, yang ingin kembali menjadi pemilik dan atau Pengurus Bank dan atau BPR, akan dilakukan penilaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku terhadap pemilik dan Pengurus Bank dan atau BPR yang baru; d. bagi Pejabat Eksekutif yang telah mengundurkan diri atau yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1), yang akan kembali menjadi Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR, wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau kembali menjadi pemilik, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR, wajib membuat pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Pihak-pihak yang telah mengajukan permohonan penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) namun tidak disetujui oleh Bank Indonesia untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau kembali menjadi pemilik, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR, akan ditetapkan jangka waktu untuk dilakukan penilaian kembali oleh Bank Indonesia. (5) Penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Pasal 18 (1) Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank dicantumkan dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau Pengurus Bank dan atau BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, apabila : a. pihak-pihak yang patut diduga melakukan tindak pidana perbankan telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; b. yang bersangkutan tidak bersedia membuat pernyataan tertulis atau melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis yang dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); c. yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis yang dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); d. Pejabat Eksekutif yang tidak memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d namun tetap menjadi Pejabat Eksekutif Bank. (2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau Pengurus Bank dan atau BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan masih memiliki saham Bank dan atau BPR sampai dengan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), wajib segera melepaskan seluruh kepemilikannya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak dapat menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) maka : a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR sampai dengan setinggi- tingginya 10% (sepuluh perseratus); dan b. Bank dan atau BPR hanya dapat melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang bersangkutan sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus). (2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak dapat menurunkan seluruh kepemilikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) maka: a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR; dan b. Bank dan atau BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang bersangkutan. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif, berupa: a. penurunan predikat tingkat kesehatan Bank; dan b. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 20 Proses dan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan hanya dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk tugas-tugas dalam rangka pengaturan dan pengawasan Bank. Pasal 21 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diberitahukan Bank Indonesia kepada Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Dalam hal Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang dinilai memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pihak lain maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 22 Proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 23 (1) Bagi pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan pihak-pihak yang telah dikenakan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dilakukan penelitian oleh Bank Indonesia untuk menentukan jangka waktu pengenaan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang dinilai. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 25 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 November 2000 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 188 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 23 /PBI/2000 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) I. UMUM Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan-perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarah pada praktek perbankan yang sehat (good corporate governance) serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga kepercayaan maka lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi dan kompetensi yang memadai. Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia selama ini merupakan upaya menciptakan sumber daya manusia perbankan yang memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap sumber daya manusia perbankan yang selama ini telah aktif di lembaga perbankan serta didasarkan atas hasil pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan Bank Indonesia. Selain memperhatikan faktor-faktor integritas dan kompetensi, penilaian kemampuan dan kepatutan juga mengandung faktor pertimbangan yang bersumber pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek-praktek pengawasan bank yang lazim diterapkan secara internasional oleh otoritas perbankan. Terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak memenuhi kriteria kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan, Bank Indonesia akan melakukan tindakan dalam rangka menegakkan integritas dan kompetensi di perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah. Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Angka 2 BPR pedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah. Angka 3 Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, termasuk besan yang secara bersama-sama memiliki saham Bank. Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah : a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Angka 4 Termasuk dalam pengertian Pengurus adalah tim pengawas dan tim pengelola bagi Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Angka 5 Angka 6 Angka 7 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengawasan dan pemeriksaan Bank oleh Bank Indonesia. Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut dilakukan terhadap Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif dan atau Pemegang Saham Pengendali Bank yang aktif di lembaga perbankan, sedangkan penilaian terhadap pihak-pihak yang belum pernah aktif di lembaga perbankan Cukup jelas. Termasuk dalam pengertian Direksi bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. akan dilakukan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku terhadap calon Pengurus dan atau pemilik Bank yang baru, antara lain dalam bentuk seleksi administratif dan wawancara. Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum dilakukan terhadap Pemegang Saham Pengendali dari badan hukum tersebut. Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pejabat Eksekutif dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan indikasi peranan yang bersangkutan dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Bank adalah Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah maka terhadap Pemegang Saham Pengendali dimaksud tidak dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Penilaian berkala dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku sedangkan penilaian sewaktu-waktu dilakukan setiap waktu apabila Bank Indonesia menganggap perlu berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung dan atau apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat termasuk berdasarkan informasi dari masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka pendekatan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang terbukti mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Ayat (2) Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi semua anggota Pemegang Saham Pengendali adalah apabila salah satu atau lebih anggota Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat tidak lulus, maka keseluruhan anggota Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat tidak lulus. Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dan kelompok Pemegang Saham Pengendali. Pembuktian bahwa pihak-pihak yang dinilai merupakan anggota Pemegang Saham Pengendali yang independen dilakukan oleh pihak- pihak yang bersangkutan. Pasal 4 Ayat (1) Penilaian terhadap faktor kompetensi disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif berdasarkan uraian tugas yang ada. Huruf a Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan meliputi pengetahuan tentang peraturan dan sistem operasional Bank. Huruf b Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum, yang berkaitan dengan bidang perbankan dan atau lembaga keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi Bank dan analisa situasi industri perbankan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk mengaburkan kondisi keuangan dan atau transaksi yang sebenarnya. Huruf b Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen. Huruf c Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank. Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan keuangan di masa yang akan datang. Huruf d Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto, Pemantauan Likuiditas Bank Umum dan Giro Wajib Minimum. Huruf e Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank. Pasal 5 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan secara berjenjang untuk menghindari penilaian yang bersifat subjektif. Ayat (1) Huruf a Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia. Huruf b Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan umum maupun secara terpisah dengan melakukan pemeriksaan khusus. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Komite Evaluasi Perbankan adalah komite yang terdiri dari pimpinan satuan kerja sektor perbankan dan sektor lainnya yang dipandang perlu di Bank Indonesia. Huruf g Huruf h Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis. Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan pihak-pihak yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan. Huruf i Huruf j Huruf k Ayat (2) Ayat (3) Pasal 6 Ayat (1) Ayat (2) Pasal 7 Ayat (1) Ketentuan mengenai kualitas kredit macet berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kualitas Aktiva Produktif. Ayat (2) Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang menjadi Pengurus suatu badan hukum yang mempunyai kredit macet, akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang bersangkutan. Pasal 8 Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis dari Bank dan atau BPR pemberi kredit yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah dilunasi atau kredit dimaksud tidak lagi termasuk dalam kualitas macet. Penyelesaian kredit macet tersebut juga dapat diakui apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan hukum yang tercatat memiliki kredit macet dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank Indonesia. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k. Pasal 9 Huruf a dan huruf b Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat dan telah : a. membuat pernyataan tertulis sesuai ketentuan pada huruf a dan huruf b; dan atau Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. b. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki, tidak termasuk sebagai pihak-pihak yang dilarang menjadi pemilik dan atau Pengurus di Bank dan atau BPR. Huruf c Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui upaya yang bersangkutan untuk menambah pengetahuan. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k. Pasal 10 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Pengenaan sanksi larangan dalam ayat ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan atau tindakan yang diberikan predikat tidak lulus pada suatu Bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang bersangkutan telah menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank dan atau BPR lain. Dalam hal pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan atau tindakan yang diberikan predikat tidak lulus pada suatu Bank, telah tidak aktif lagi di Bank dan atau BPR maka hasil penilaian kemampuan dan kepatutan akan menjadi dasar bagi Bank Indonesia untuk penilaian apabila yang bersangkutan akan aktif kembali di Bank dan atau BPR. Pasal 12 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup. Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k. Huruf b Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k. Termasuk dalam pengertian kerugian Bank adalah berkurangnya keuntungan Bank dan atau potensi kerugian yang ditimbulkan. Pasal 16 Pasal 17 Cukup jelas. Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan memuat pernyataan tidak akan melakukan dan atau mengulangi perbuatan dan atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan tentang faktor kompetensi dan atau integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Ayat (4) Penolakan permohonan antara lain diberikan bagi pihak-pihak yang masih dalam proses pengadilan. Pemberitahuan penolakan dan penetapan jangka waktu untuk penilaian kembali disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada pihak- pihak yang mengajukan permohonan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) Termasuk dalam pengertian Pemegang Saham Pengendali adalah Pemegang Saham Pengendali yang telah menyampaikan surat pernyataan untuk tidak ikut serta dalam pengendalian Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham hanya dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus). Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk memperoleh deviden. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk memperoleh deviden. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Pasal 21 Cukup jelas. Ayat (1) Ayat (2) Pasal 22 Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini antara lain namun tidak terbatas pada penilaian kemampuan dan kepatutan yang didasarkan pada: a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor tanggal 8 Februari 1999 tentang Pembentukan Komite Kebijakan, Komite Evaluasi, dan Komite Teknis Dalam Rangka Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum; b. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum; dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Pasal 23 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4013 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/23/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title> <set_date> 6 November 2000 </set_date> <effective_date> 6 November 2000 </effective_date> <replaced_reg> '2/1/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 19 Ayat (3)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 10 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan pengawasan bank yang berdasarkan risiko diperlukan dukungan data dan informasi terkait penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah yang akurat dan tepat waktu; b. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi sebagaimana dimaksud di atas, diperlukan suatu penyajian laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah yang disusun dan disampaikan secara triwulanan melalui suatu sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b di atas, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat… - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810). MEMUTUSKAN… - 3 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Umum wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum. (3) Tata cara penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Perkreditan Rakyat wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa laporan. (4) Bank … - 4 - (4) Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melampaui batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum melampaui satu bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan. (5) Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Bank Perkreditan Rakyat wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan kepada: a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Perkreditan Rakyat yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, atau c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia; dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan. 2. Ketentuan … - 5 - 2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis. (2) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis. (3) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank. 3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Sanksi atas pelanggaran Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan bagi Bank Umum tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 38 DPNP/UKMI/DPbS/DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/ 10 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH UMUM Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan pengawasan bank yang berdasarkan risiko, Bank Indonesia telah menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah. Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia memerlukan ketersediaan data dan informasi terkait penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah yang akurat dan tepat waktu. Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi tersebut diatas dan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai dan bersifat sistematis untuk lebih memudahkan bank umum menyampaikan laporan ke Bank Indonesia melalui Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia menganggap perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 16 Ayat (1) Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah paling kurang memuat Pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan dalam periode Pelaporan. Triwulanan adalah periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September dan Desember. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Angka 2 … - 3 - Angka 2 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank dilakukan pada penilaian aspek manajemen. Angka 3 Pasal 18 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4824 - 4 - DPNP/UKMI/DPbS/DKBU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/10/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH </reg_title> <set_date> 28 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 28 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 28 Februari 2008 </issued_date> <changed_reg> '7/7/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '10/3/PBI/2008', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '7/7/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 18', 'Pasal I Angka 2 Pasal 17' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/27/PBI/2012 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan adanya dinamika nasional, regional dan global serta semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan teknologi informasi bank maka risiko pemanfaatan bank dalam pencucian uang dan pendanaan teroris semakin tinggi; b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi bank perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; c. bahwa penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme perlu mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa dalam rangka penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme secara lebih efektif, telah ada penyempurnaan dan penerbitan peraturan perundang-undangan serta penyempurnaan standar internasional mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d di atas, perlu untuk menyempurnakan dan mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang ... - 3 - Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5164); 6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5204); MEMUTUSKAN: ... - 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 3. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank dan memiliki rekening pada Bank tersebut. 5. Calon ... - 5 - 5. Calon Nasabah adalah pihak yang akan menjalani hubungan usaha dengan Bank. 6. Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah pihak yang menggunakan jasa Bank namun tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah. 7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan dengan profil Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah. 8. Enhanced Due Dilligence atau yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat berhubungan dengan Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah yang tergolong berisiko tinggi, termasuk Politically Exposed Person, terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. 9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 11. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang untuk selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan ... - 6 - pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. 12. Beneficial Owner adalah setiap orang yang: a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada Bank (ultimately own account); b. mengendalikan transaksi Nasabah; c. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; d. mengendalikan badan hukum; dan/atau e. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian. 13. Rekomendasi Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut sebagai Rekomendasi FATF adalah standar pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh FATF. 14. Negara berisiko tinggi (high risk country) adalah negara atau teritori yang potensial digunakan sebagai tempat: a. terjadinya atau sarana tindak pidana pencucian uang; b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense); dan/atau c. dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme. 15. Lembaga Pemerintahan adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 16. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meliputi Kementerian Koordinator/ Kementerian Negara / Departemen / Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota, Pemerintah Kabupaten, serta lembaga-lembaga pemerintahan ... - 7 - pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 17. Politically Exposed Person yang selanjutnya disingkat sebagai PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. 18. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya. 19. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking di mana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. 20. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah transfer dana. 21. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah transfer dana dari Bank Pengirim. 22. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah transfer dana. Pasal 2 ... - 8 - Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan program APU dan PPT. (2) Dalam penerapan program APU dan PPT, Bank wajib berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 3 (1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko Bank secara keseluruhan. (2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. sistem informasi manajemen; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan. BAB II PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 4 Pengawasan aktif Direksi Bank paling kurang mencakup: a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program APU dan PPT; b. mengusulkan kebijakan tertulis program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris; c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai ... - 9 - sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; d. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU dan PPT dan/atau menunjuk Pejabat yang bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat; e. melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan program APU dan PPT; f. memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja khusus dan memiliki: 1) pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau 2) pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT. g. memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT. h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala. Pasal 5 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan b. melakukan ... - 10 - b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT. Pasal 6 (1) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT. (2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab kepada Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. (3) Bank wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. Pasal 7 Pejabat unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT wajib: a. menyusun dan mengusulkan pedoman penerapan program APU dan PPT kepada Direksi; b. memastikan: 1) adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT; dan 2) kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan perkembangan program APU dan PPT yang terkini, risiko produk Bank, kegiatan dan kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi Bank; c. memantau ... - 11 - c. memantau: 1) pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah; 2) Bank telah memiliki mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja terkait kepada unit kerja khusus atau kepada pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi; 3) Unit kerja terkait telah melakukan fungsi dan tugas dalam rangka mempersiapkan laporan mengenai dugaan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebelum menyampaikannya kepada unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT; dan 4) Bank telah mengidentifikasi area yang berisiko tinggi yang terkait dengan APU dan PPT dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan sumber informasi yang memadai; d. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan program APU dan PPT dengan unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah; e. menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan (red flag) dari unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan melakukan analisis atas laporan tersebut; f. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang–Undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan persetujuan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan; dan g. memantau, menganalisis, dan merekomendasi kebutuhan pelatihan ... - 12 - pelatihan program APU dan PPT bagi pegawai Bank. BAB III KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 8 (1) Bank wajib memiliki pedoman pelaksanaan program APU dan PPT. (2) Pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kebijakan dan prosedur tertulis, yang paling kurang mencakup: a. permintaan informasi dan dokumen; b. Beneficial Owner; c. verifikasi dokumen; d. CDD yang lebih sederhana; e. penutupan hubungan dan penolakan transaksi; f. ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP; g. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; h. pengkinian dan pemantauan; i. Cross Border Correspondent Banking; j. transfer dana; k. penatausahaan dokumen; dan l. pelaporan kepada PPATK. (3) Bank wajib menerapkan pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan berkesinambungan. (4) Pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari Direksi. Pasal 9 ... - 13 - Pasal 9 (1) Bank wajib melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian terhadap risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme dari: a. pengembangan produk dan aktivitas baru termasuk pelaksanaannya; b. penggunaan atau pengembangan teknologi baru baik untuk produk baru maupun untuk produk yang sudah berjalan. (2) Untuk pelaksanaan identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk dan aktivitas baru. Pasal 10 Bank wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah; b. melakukan hubungan usaha dengan WIC; c. Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau d. terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Pasal 11 (1) Bank wajib mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme. 2. Pengelompokan ... - 14 - (2) Pengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang paling kurang mencakup: a. b. identitas; lokasi usaha bagi Nasabah perusahaan; c. profil Nasabah; d. jumlah transaksi; e. kegiatan usaha Nasabah; f. g. struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; dan informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Nasabah. (3) Pengaturan mengenai pengelompokan risiko Nasabah akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank wajib meminta informasi untuk mengetahui profil Calon Nasabah. b. Identitas Calon Nasabah harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung. c. Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf b. d. Bank dilarang membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. e. Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha ... - 15 - usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon Nasabah. (2) Bank wajib mewaspadai transaksi atau hubungan usaha dengan Nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang tergolong berisiko tinggi. Bagian Pertama PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN Pasal 13 Bank wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok perorangan atau perusahaan. Pasal 14 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a paling kurang mencakup: a. Bagi Calon Nasabah perorangan: 1) Identitas yang memuat: a) nama lengkap termasuk nama alias apabila ada; b) nomor dokumen identitas; c) alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada; tempat dan tanggal lahir; d) e) kewarganegaraan; f) pekerjaan; g) jenis kelamin; h) status perkawinan; dan 2) identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah memiliki Beneficial Owner; 3) sumber ... - 16 - 3) sumber dana; 4) perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun; 5) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah dengan Bank; 6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 7) informasi lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. b. Bagi Calon Nasabah perusahaan: 1) nama perusahaan; 2) nomor izin usaha dari instansi berwenang; 3) bidang usaha; 4) alamat kedudukan perusahaan; 5) tempat dan tanggal pendirian perusahaan; 6) bentuk badan hukum perusahaan; 7) identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah memiliki Beneficial Owner; 8) sumber dana; 9) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah perusahaan dengan Bank; dan 10) informasi lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. (2) Sebelum melakukan transaksi dengan WIC, Bank wajib meminta: a. seluruh ... - 17 - a. seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi WIC perorangan maupun WIC perusahaan yang melakukan transaksi sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. b. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC perorangan yang melakukan transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara. c. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 4) bagi WIC perusahaan yang melakukan transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara. Pasal 15 Untuk Calon Nasabah perorangan dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a angka 1) wajib didukung dengan dokumen identitas Calon Nasabah dan spesimen tanda tangan. Pasal 16 (1) Untuk Nasabah perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b angka 1), angka 2), angka 3), angka 4), angka 5), angka 6), angka 7), dan angka 8) wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan: a. untuk Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan; 1) spesimen ... - 18 - 1) spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; 2) kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan 3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang. b. untuk Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) dan angka 3), ditambah dengan: 1) laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; 2) 3) 4) struktur manajemen perusahaan; struktur kepemilikan perusahaan; dan dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank. (2) Untuk Nasabah perusahaan berupa Bank, dokumen yang disampaikan paling kurang: a. akte pendirian/anggaran dasar Bank; b. izin usaha dari instansi yang berwenang; dan c. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama Bank dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. Pasal 17 ... - 19 - Pasal 17 (1) Untuk Calon Nasabah selain Calon Nasabah perorangan dan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b. (2) Bank wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang sebagai berikut: a. untuk Calon Nasabah berupa yayasan berupa: 1) izin bidang kegiatan yayasan; 2) deskripsi kegiatan yayasan; 3) struktur dan nama pengurus yayasan; dan 4) dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank. b. untuk Calon Nasabah berupa perkumpulan yang berbadan hukum berupa: 1) bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2) nama penyelenggara; dan 3) pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. Pasal 18 (1) Untuk Calon Nasabah berupa Lembaga Pemerintahan, instansi Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, Bank wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi atau perwakilan. (2) Informasi ... - 20 - (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; dan b. spesimen tanda tangan. Bagian Kedua BENEFICIAL OWNER Pasal 19 (1) Bank wajib memastikan Calon Nasabah atau WIC yang membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Beneficial Owner. (2) Dalam hal Calon Nasabah atau WIC bertindak untuk kepentingan Beneficial Owner, Bank wajib melakukan CDD terhadap Beneficial Owner yang sama dengan CDD bagi Calon Nasabah atau WIC. (3) Dalam hal Beneficial Owner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD. Pasal 20 (1) Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya mengenai Beneficial Owner, antara lain berupa: a. bagi Beneficial Owner perorangan: 1) informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a dan Pasal 15; 2) hubungan hukum antara Calon Nasabah atau WIC dengan ... - 21 - dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; dan 3) pernyataan dari Calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. b. Bagi Beneficial Owner perusahaan, yayasan atau perkumpulan: 1) informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17; 2) dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perkumpulan; dan perusahaan, yayasan atau 3) pernyataan dari Calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. (2) Dalam hal Calon Nasabah merupakan Bank lain di dalam negeri yang mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari Bank di dalam negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh Bank lain di dalam negeri tersebut. (3) Dalam hal Calon Nasabah merupakan bank lain di luar negeri yang menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan Bank Indonesia ini yang mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari bank di luar negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh bank di luar negeri tersebut. (4) Dalam ... - 22 - (4) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Beneficial Owner, Bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan Calon Nasabah atau WIC. Pasal 21 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2) tidak berlaku bagi Beneficial Owner berupa: a. Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah; atau b. perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek. Bagian Ketiga VERIFIKASI DOKUMEN Pasal 22 (1) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung dan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung yang memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 18 ayat (1) berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini. (2) Bank dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat keraguan, Bank wajib meminta kepada Calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran identitas Calon Nasabah. (4) Bank ... - 23 - (4) Bank wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon Nasabah dan Beneficial Owner sebelum membina hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC. (5) Dalam kondisi tertentu Bank dapat melakukan hubungan usaha sebelum proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selesai. (6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diselesaikan paling lambat: a. untuk nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha. b. untuk nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha bagi Calon Nasabah. Bagian Keempat CDD YANG LEBIH SEDERHANA Pasal 23 (1) Bank dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 20 terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau penerimaan gaji; b. Calon Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada peraturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya; c. Calon ... - 24 - c. Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah; d. Calon Nasabah berupa Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah; e. f. transaksi pencairan cek yang dilakukan oleh WIC perusahaan; tujuan pembukaan rekening terkait dengan program Pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan; atau g. jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan maksimum transaksi dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Terhadap Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b), huruf c), dan huruf d); b. bagi Calon Nasabah perusahaan atau Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 4). c. bagi ... - 25 - c. bagi WIC perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 4); dan d. bagi Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf c), huruf d), dan huruf f). (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didukung dengan: a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, bagi Calon Nasabah perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. dokumen identitas perusahaan ditambah dengan spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank bagi Calon Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e; c. dokumen identitas perusahaan dan dokumen identitas anggota direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank bagi Calon Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e; atau d. dokumen ... - 26 - d. dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil Calon Nasabah tersebut, dan spesimen tanda tangan, bagi Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g. (4) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (5) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana. (6) Dalam hal penggunaan rekening tidak sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau jumlah maksimum saldo dan/atau maksimum transaksi Nasabah melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g maka Bank wajib melakukan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 terhadap Nasabah yang bersangkutan. Bagian Kelima PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI Pasal 24 (1) Bank wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal Calon Nasabah atau WIC: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 20; b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu; c. menyampaikan ... - 27 - c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya; dan/atau d. berbentuk Shell Bank atau Bank yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank. (2) Bank wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal: a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi; dan/atau b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. (3) Bank tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan Beneficial Owner, dalam hal penolakan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau penolakan transaksi dengan WIC berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. (4) Bank wajib mendokumentasikan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (5) Bank wajib melaporkan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan. (6) Kewajiban Bank untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan kepada Nasabah. Pasal 25 ... - 28 - Pasal 25 (1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2), Bank wajib memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. (2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di Bank maka penyelesaian terhadap sisa dana Nasabah yang tersimpan di Bank dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keenam POLITICALLY EXPOSED PERSON DAN AREA BERISIKO TINGGI Pasal 26 (1) Bank wajib memastikan adanya Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP. (2) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri. (3) Dalam hal Nasabah atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi atau PEP, Bank wajib melakukan: a. EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak- pihak yang terkait; dan b. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial Owner. (4) Kewajiban Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan ... - 29 - diberlakukan pula terhadap Nasabah atau WIC yang: a. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris; b. melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi; c. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau d. merupakan pihak yang terkait dengan PEP. (5) Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah yang tergolong PEP, Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Calon Nasabah tersebut. (6) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berwenang untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Calon Nasabah yang tergolong PEP; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong PEP. Bagian Ketujuh PELAKSANAAN CDD OLEH PIHAK KETIGA Pasal 27 (1) Bank dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. ketiga (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan ... - 30 - merupakan lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memiliki kerja sama dengan Bank dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung segera apabila dibutuhkan oleh Bank dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT; dan e. berkedudukan di negara yang tidak tergolong berisiko tinggi. (3) Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkedudukan di negara yang tergolong berisiko tinggi maka pihak ketiga tersebut wajib memenuhi kriteria: a. berada dalam kelompok usaha yang sama dengan Bank; dan b. kelompok usaha tersebut telah menjalankan CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan Rekomendasi FATF. (4) Bank wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Bank yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. Pasal 28 ... - 31 - Pasal 28 (1) Dalam hal Bank bertindak sebagai agen penjual produk lembaga keuangan lainnya, Bank wajib memenuhi permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu- waktu dibutuhkan oleh lembaga keuangan lainnya tersebut dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT. (2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Bank dengan lembaga keuangan lainnya tersebut. Bagian Kedelapan PENGKINIAN DAN PEMANTAUAN Pasal 29 (1) Bank wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 20 serta menatausahakannya. (2) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib: a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah; b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan c. menyusun laporan realisasi pengkinian data. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c wajib mendapat persetujuan dari Direksi. Pasal 30 ... - 32 - Pasal 30 (1) Bank wajib memelihara database Daftar Teroris yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). (2) Bank wajib memastikan secara berkala nama-nama Nasabah Bank yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris. (3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait. (4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Pasal 31 (1) Bank wajib melakukan pemantauan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan menatausahakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. (2) Bank wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. (3) Bank dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ... - 33 - mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (4) Bank wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha/transaksi dengan Nasabah yang berasal dari negara yang berisiko tinggi dan/atau Bank yang berkedudukan di negara yang berisiko tinggi. Pasal 32 Bank wajib melakukan CDD terhadap Nasabah sesuai dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila: a. b. c. terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan; terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan; informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam Customer Identification File belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 20; dan/atau d. menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. Bagian Kesembilan CROSS BORDER CORRESPONDENT BANKING Pasal 33 (1) Sebelum menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank wajib meminta informasi mengenai: a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; b. reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan; c. tingkat ... - 34 - c. d. tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan Informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. (2) Sumber informasi untuk memastikan huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan informasi publik yang memadai yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. (3) Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. Pasal 34 Bank wajib melakukan CDD terhadap Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila: a. terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang bersifat substansial; dan/atau b. informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). Pasal 35 Dalam hal terdapat Nasabah yang mempunyai akses terhadap Payable Through Account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank Pengirim wajib memastikan: a. Bank ... - 35 - a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait apabila diminta oleh Bank Pengirim. Pasal 36 Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking wajib: a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent Banking; b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan shell bank; dan c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking. Bagian Kesepuluh TRANSFER DANA Pasal 37 (1) Bagi Bank yang melakukan kegiatan transfer dana baik di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank Pengirim wajib: 1) memperoleh ... - 36 - 1) memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: a) nama Nasabah atau WIC pengirim; b) nomor rekening Nasabah pengirim; c) alamat Nasabah atau WIC pengirim; d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim; e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim f) nama Nasabah atau WIC penerima; g) nomor rekening Nasabah penerima; h) alamat WIC penerima; i) j) jumlah uang dan jenis mata uang; dan tanggal transaksi; 2) menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) kepada Bank Penerima; dan 3) mendokumentasikan seluruh transaksi transfer dana. b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah transfer dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim. c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1). (2) Untuk kegiatan transfer dana di dalam wilayah Indonesia, Bank Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis informasi yang dibutuhkan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan permintaan tertulis dari Bank Penerima, dan/atau dari otoritas yang ... - 37 - yang berwenang, apabila Bank Penerima hanya memperoleh informasi nomor rekening atau nomor referensi transaksi. Pasal 38 Ketentuan dalam Pasal 37 dikecualikan terhadap: a. b. transfer dana yang menggunakan kartu debet, kartu ATM maupun kartu kredit. transfer dana yang dilakukan antar penyedia jasa keuangan dan untuk kepentingan penyedia jasa keuangan dimaksud. Pasal 39 (1) Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a angka 1) tidak dipenuhi maka Bank Pengirim wajib menolak untuk melaksanakan transfer dana. (2) Dalam hal Bank Penerus dan/atau Bank Penerima menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a angka 1) maka Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dapat: a. melaksanakan transfer dana; b. menolak untuk melaksanakan transfer dana; atau c. menunda transaksi transfer dana, disertai dengan tindak lanjut yang memadai. Pasal 40 Dalam hal terdapat transfer dana yang memenuhi kriteria mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dan peraturan perundang ... - 38 - perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Bank wajib melaporkan transfer dana tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian Kesebelas PENATAUSAHAAN DOKUMEN Pasal 41 (1) Bank wajib tetap menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak: 1) berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau WIC; atau 2) ditemukannya ketidak sesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha. b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang dokumen. (2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. Identitas Nasabah atau WIC; dan Informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi. (3) Bank wajib memberikan informasi dan/atau dokumen sebagaimana ... - 39 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana diperintahkan oleh Undang-undang, pada saat diperlukan. BAB IV PENGENDALIAN INTERN Pasal 42 (1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai; b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern. BAB V SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Pasal 43 (1) Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. (2) Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File), paling kurang meliputi informasi ... - 40 - informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1). (3) Bank wajib memiliki dan memelihara profil WIC sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) huruf a. (4) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme. BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN Pasal 44 Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak intern Bank, Bank wajib melakukan: a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru (pre employee screening); dan b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pasal 45 Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. b. Teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran ... implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; - 41 - peran dan tanggungjawab pegawai dalam mencegah dan memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme. BAB VII PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT BAGI KANTOR CABANG DARI BANK YANG BERBADAN HUKUM INDONESIA DI LUAR NEGERI Pasal 46 (1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya. (2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud. (3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Dalam hal penerapan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat ... - 42 - tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia bahwa kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VIII PELAPORAN Pasal 47 (1) Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. penyesuaian action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan pada bulan Juni 2013; b. penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b disampaikan setiap tahun dalam Laporan Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan bulan Desember; dan d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c disampaikan setiap tahun dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan bulan Desember. (2) Dalam ... - 43 - (2) Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT, laporan rencana kegiatan pengkinian data, yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, Bank wajib menyampaikan perubahan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan. Pasal 48 (1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (2) Kewajiban Bank untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. Pasal 49 Penyampaian pedoman dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditujukan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor ... - 44 - b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 50 Bank wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema pencucian uang atau pendanaan terorisme. Pasal 51 Bank wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. BAB X SANKSI Pasal 52 (1) Bank yang terlambat menyampaikan: a. penyesuaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a; b. penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c; d. laporan ... - 45 - d. e. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf d; atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling tinggi sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (2) Bank yang belum menyampaikan: a. penyesuaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a; b. penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b; c. d. e. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c; laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf d; atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dalam waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 48, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank yang: a. tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali pemeriksaan; dan/atau b. tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam action plan dan/atau rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan huruf c, c. tidak ... - 46 - c. tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf (b) yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 ayat (1), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pemberhentian ... - 47 - d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 53 Bank yang telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme wajib menyesuaikan dan menyempurnakan menjadi Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 55 ... - 48 - Pasal 55 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5032), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. (2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali diatur tersendiri. Pasal 56 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... - 49 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 290 DPNP - 50 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/27/PBI/2012 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM I. UMUM Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi yang lebih canggih. Dalam rangka pencegahan pencucian uang dan pemberantasan terorisme tersebut, koordinasi, kerjasama dan perhatian dari berbagai pihak nasional dan internasional mutlak diperlukan. Dalam hal ini industri perbankan nasional mempunyai peranan sangat penting untuk membantu penegakan hukum dalam menjalankan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selain itu, dengan melaksanakan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme diharapkan perbankan dapat memitigasi berbagai risiko yang mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko konsentrasi. Dalam … - 51 - Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, perbankan tetap berpedoman pada penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan standar internasional yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang menetapkan kebijakan dan langkah- langkah yang diperlukan untuk melindungi sistem keuangan global dari pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang dikenal sebagai Rekomendasi FATF. Rekomendasi tersebut juga dijadikan acuan bagi masyarakat internasional untuk menilai kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Seiring dengan perkembangan yang ada baik dalam lingkup nasional dan global, sampai dengan saat ini telah dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Transfer Dana. Selain itu, Rekomendasi FATF juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selanjutnya, Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan dalam rangka harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan standar internasional. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain meliputi: a. Pengaturan mengenai transfer dana. b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi. c. Pengaturan … - 52 - c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan inklusif (financial inclusion). d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking. Dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang dilakukan perbankan secara lebih efektif, diharapkan bank dapat beroperasi secara sehat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan dan stabilitas sistem keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pencucian uang” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Yang … - 53 - Yang dimaksud dengan “pendanaan terorisme” adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini termasuk upaya-upaya setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan dengan cara memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang dimaksud dengan “Direksi” adalah pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yakni pemimpin kantor cabang Bank dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 54 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat tanpa pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai dengan kebutuhan Bank. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, ketentuan ini berlaku juga bagi Kantor Cabang Pembantu. Huruf g Yang dimaksud dengan “kompleksitas usaha yang tinggi” adalah dengan mempertimbangkan antara lain ragam produk dan jasa, serta jumlah nasabah yang memiliki risiko tinggi dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “unit kerja terkait” antara lain unit kerja yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Nasabah dan/atau WIC, seperti petugas pelayanan nasabah (front liner), petugas pemasaran, petugas yang terkait pengelolaan dan pengembangan teknologi informasi, serta internal auditor. Pasal 5 … - 55 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat tanpa pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas permasalahan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kemampuan yang memadai antara lain mencakup pengalaman, pengetahuan termasuk pengalaman dan pengetahuan mengenai perkembangan rezim APU dan PPT. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “sistem yang mendukung” adalah sistem yang antara lain dapat mengidentifikasi Nasabah, Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diwajibkan dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c … - 56 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan Program APU dan PPT yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f … - 57 - Huruf f Penetapan penggolongan area berisiko tinggi dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait pendanaan terorisme, produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Bank dalam melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengendalian perlu memperhatikan risiko yang timbul atas penerbitan produk, pelaksanaan aktivitas baru, penggunaan atau pengembangan teknologi baru, serta mengupayakan tindakan yang memadai untuk mengelola dan memitigasi risiko yang timbul. Ayat (2) … - 58 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Dalam hal rekening merupakan rekening joint account atau rekening bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh pemegang rekening joint account tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Transaksi yang tidak wajar adalah transaksi yang memenuhi salah satu kriteria dari transaksi keuangan yang mencurigakan namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah transaksi tersebut tergolong sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK Pasal 11 Ayat (1) Untuk efektifitas pengelompokkan Nasabah, diperlukan informasi baik dari Nasabah itu sendiri maupun dari informasi lainnya yang tersedia di masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat 3 … - 59 - Ayat 3 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Dalam rangka meminta informasi, Bank dapat diwakili oleh pihak lain. Pihak lain yang dapat mewakili Bank harus mengetahui prinsip dasar dari CDD. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam pengertian rekening fiktif adalah rekening Nasabah yang menggunakan nama yang tidak sesuai dengan yang tertera pada dokumen identitas Nasabah yang bersangkutan. Huruf e Termasuk dalam pengertian hubungan usaha adalah penggunaan jasa perbankan melalui media elektronik. Dalam melakukan pertemuan langsung (face to face), Bank dapat diwakili oleh pihak lain. Pihak lain yang dapat mewakili Bank harus mengetahui prinsip dasar CDD. Ayat (2) Untuk mengetahui tingkat risiko suatu negara antara lain dapat dilihat di laman www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org Pasal 13 … - 60 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Angka 1) Huruf a) Cukup Jelas. Huruf b) Cukup Jelas. Huruf c) Informasi mengenai alamat tempat tinggal lain diperlukan apabila Calon Nasabah perseorangan memiliki alamat tempat tinggal berbeda dengan alamat yang tercatat pada dokumen identitas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Informasi pekerjaan mencakup nama perusahaan/institusi, alamat perusahaan/ institusi, dan jabatan. Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Cukup jelas. Angka 2) … - 61 - Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Cukup jelas. Angka 6) Kewajiban ini berlaku untuk Calon Nasabah yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku wajib memiliki NPWP dan telah memiliki NPWP. Angka 7) Informasi lain misalnya, nomor telepon, alamat penagihan telepon/listrik/kartu kredit, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang- undangan lainnya yang terkait” antara lain ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah yang berlaku bagi lembaga keuangan non bank. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) … - 62 - Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Cukup jelas. Angka 6) Cukup jelas. Angka 7) Cukup jelas. Angka 8) Cukup jelas. Angka 9) Cukup jelas. Angka 10) Informasi lain misalnya nomor telepon, alamat penagihan telepon/listrik/kartu kredit, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang- undangan lainnya yang terkait” antara lain ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah yang berlaku bagi lembaga keuangan non bank. Ayat (2) Huruf a Ketentuan dalam ayat ini juga berlaku bagi perantara atau pihak yang mendapatkan kuasa dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah yang transaksinya tergolong tidak wajar atau mencurigakan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 15 … - 63 - Pasal 15 Dokumen pendukung bagi identitas Calon Nasabah perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor yang masih berlaku. Sedangkan dokumen pendukung bagi identitas Calon Nasabah perorangan yang berkewarganegaraan asing adalah paspor yang disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian. Dokumen pendukung identitas tersebut juga diperlukan bagi perorangan yang ditunjuk bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Dokumen Kartu Izin Tinggal dapat digantikan oleh dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil Calon Nasabah berkewarganegaraan asing tersebut antara lain surat referensi dari: a. seorang berkewarganegaraan Indonesia atau perusahaan/instansi/pemerintah Indonesia mengenai profil Calon Nasabah berkewarganegaraan asing; atau b. penyedia jasa keuangan di negara atau jurisdiksi tempat kedudukan Calon Nasabah dan negara atau jurisdiksi tersebut tidak tergolong berisiko tinggi Termasuk spesimen tanda tangan bagi Calon Nasabah perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia adalah cap jempol atau sidik jari. Pasal 16 … - 64 - Pasal 16 Ayat (1) Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perusahaan berupa: a. akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan; dan b. izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang. Contoh: izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang Valuta Asing dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau izin usaha dari Departemen Kehutanan bagi kegiatan usaha di bidang perkayuan/kehutanan. Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil adalah Nasabah perusahaan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup informasi mengenai bidang usaha, profil pelanggan, alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telepon perusahaan. Angka 2) … - 65 - Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Yang dimaksud dengan anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan transaksi dengan Bank adalah anggota Direksi yang memiliki spesimen tanda tangan (authorized signature). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perkumpulan yang berbadan hukum antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, perkumpulan keagamaan, partai politik dan organisasi non profit. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 … - 66 - Pasal 19 Ayat (1) Pengertian Beneficial Owner dalam ayat ini dapat lebih dari satu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Termasuk Beneficial Owner perorangan dalam ayat ini adalah Beneficial Owner perorangan dari Calon Nasabah yang merupakan Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan atau perkumpulan (ultimate owner/ultimate controller)” adalah perorangan yang menurut penilaian Bank memiliki dan/atau yang melakukan pengendalian akhir untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan perusahaan. Dokumen … - 67 - Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir dapat berupa surat pernyataan atau dokumen lainnya yang memuat informasi mengenai identitas pemilik atau pengendali akhir. Angka 3) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Lembaga pemerintahan yang dimaksudkan dalam huruf ini mencakup lembaga pemerintahan Indonesia dan lembaga pemerintahan asing. Huruf b Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Untuk memastikan kebenaran identitas Nasabah perseorangan, dokumen identitas hendaknya merupakan dokumen yang mencantumkan foto diri yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang dengan jangka waktu yang masih berlaku. Ayat (2) … - 68 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan lebih dari satu dokumen identitas misalnya selain Kartu Tanda Penduduk adalah paspor atau Surat Izin Mengemudi Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain: a. kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam proses pengurusan; dan b. apabila tingkat risiko Calon Nasabah tergolong rendah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Dalam hal ini termasuk tingkat risiko negara asal Nasabah. Huruf a Rekening yang dimaksud dalam huruf ini adalah rekening milik perusahaan yang digunakan hanya untuk pembayaran gaji karyawan perusahaan tersebut secara periodik dan/atau rekening karyawan yang digunakan hanya untuk menerima gaji dari pemberi kerja. Huruf b … - 69 - Huruf b Perusahaan publik yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah perusahaan yang terdaftar pada bursa efek dimana informasi tentang identitas perusahaan dan Beneficial Owner perusahaan tersebut dipublikasikan kepada masyarakat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Program Pemerintah yang dimaksud dalam huruf ini antara lain program Pemerintah untuk tujuan sosial, bantuan layanan tunai dan gerakan Indonesia menabung. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas antara lain: a. Kartu … - 70 - a. Kartu pengenal yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mencantumkan foto diri seperti kartu peserta program yang dikeluarkan oleh Pemerintah; b. dokumen identitas dan surat referensi dari Nasabah lain yang mengenal profil Calon Nasabah; c. surat referensi dari Kelurahan atau Kepala Desa dimana Calon Nasabah berdomisili yang mencantumkan foto diri; atau d. kartu tanda pelajar bagi Calon Nasabah Perorangan yang belum memenuhi syarat untuk memiliki KTP yang disertai dengan dokumen identitas dan surat persetujuan dari orangtua atau pihak lain yang bertanggungjawab terhadap Calon Nasabah tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c … - 71 - Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah Bank yang tidak mempunyai kehadiran secara fisik (physical presence) di wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolidasi yang efektif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban Bank untuk tetap melakukan proses identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan Beneficial Owner dimaksudkan untuk kepentingan pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis yang ditujukan kepada Nasabah sesuai dengan alamat yang tercantum dalam database Bank atau diumumkan melalui media cetak, media elektronik maupun media lainnya. Ayat (2) … - 72 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian terhadap sisa dana Nasabah” antara lain berupa penyerahan sisa dana kepada Balai Harta Peninggalan. Pasal 26 Ayat (1) Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan. Ayat (2) Pembuatan daftar tersendiri ditujukan untuk memudahkan identifikasi dan pemantauan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pemantauan yang lebih ketat” adalah proses pemantauan yang dilakukan oleh Bank secara berkala dengan frekuensi yang lebih tinggi atas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Dalam menetapkan frekuensi yang lebih tinggi tersebut, Bank dapat menetapkan klasifikasi high risk lebih lanjut sesuai dengan profil Nasabah atau Beneficial Owner yang bersangkutan. Ayat (4) … - 73 - Ayat (4) Huruf a Produk perbankan yang berisiko tinggi antara lain transfer dana, private banking, internet banking. Huruf b Negara berisiko tinggi antara lain negara yang diidentifikasikan sebagai Tax Heaven Country . Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak yang terkait dengan PEP” adalah: a. Perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; b. anggota keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau c. Pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum, telah memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 74 - Huruf b Dalam hal ini khususnya terhadap Nasabah yang statusnya mengalami perubahan dari Nasabah biasa menjadi PEP termasuk Nasabah yang baru teridentifikasi sebagai PEP. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan verifikasi Calon Nasabah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Informasi yang dimaksudkan dalam huruf ini paling kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang tercantum pada kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan kewarganegaraan dari Calon Nasabah. Huruf e Untuk mengetahui tingkat risiko suatu negara antara lain dapat dilihat di www.apgml.org laman www.fatf-gafi.org atau Ayat (3) … - 75 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi Calon Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bank Ayat (5) Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Pengkinian terhadap dokumen identitas antara lain dilakukan apabila terdapat transaksi keuangan yang memenuhi kriteria sebagai transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Ayat (2) Laporan kegiatan pengkinian data meliputi data kuantitatif dan data kualitatif. Yang dimaksud dengan “data kuantitatif” antara lain berupa statistik jumlah Nasabah yang datanya telah atau belum dikinikan. Yang dimaksud dengan “data kualitatif” antara lain berupa kendala, upaya yang telah dilakukan Bank serta kemajuan (progress) dari upaya tersebut. Ayat (3) … - 76 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Daftar Teroris adalah daftar nama- nama teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267. Bank dapat secara aktif mengkinikan Daftar Teroris berdasarkan database Daftar Teroris yang dipublikasikan melalui media internet seperti website PBB http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml atau sumber lain yang lazim digunakan Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan informasi lainnya antara lain tempat tanggal lahir dan alamat Nasabah. Ayat (4) Yang dimaksud dengan nama Nasabah adalah termasuk nama alias dari Nasabah. Informasi lainnya antara lain tempat tanggal lahir dan alamat. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)… - 77 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah adalah transaksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanganan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Informasi mengenai Negara yang berisiko tinggi antara lain dapat dilihat pada informasi yang dipublikasikan oleh otoritas di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lain-lain. Pasal 32 Yang dimaksud dengan “pendekatan berdasarkan risiko” adalah pendekatan yang mempertimbangkan tingkat materialitas dan risiko. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Informasi mengenai profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus antara lain mencakup susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, kegiatan usaha, dan produk hasil usaha. Huruf b … - 78 - Huruf b Dalam meneliti reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus, Bank perlu meneliti reputasi yang bersifat negatif, misalnya sanksi yang pernah dikenakan oleh otoritas kepada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus terkait dengan pelanggaran ketentuan otoritas termasuk ketentuan yang terkait dengan rekomendasi FATF, atau Bank Penerima dan/atau Bank Penerus sedang dalam proses penyidikan dan/atau pembinaan oleh otoritas yang berwenang terkait dengan pencucian uang atau pendanaan terorisme. Huruf c Tingkat penerapan program APU dan PPT suatu negara dapat dilihat dari tingkat risiko negara tempat kedudukan Bank tersebut yang dikeluarkan oleh FATF atau Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Huruf d Yang dimaksud dengan “informasi relevan lain”antara lain informasi mengenai: a. kepemilikan, pengendalian, dan struktur manajemen, untuk memastikan apakah terdapat PEP dalam susunan kepemilikan atau sebagai pengendali; b. posisi keuangan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan c. profil perusahaan induk dan anak perusahaan. Ayat (2) … - 79 - Ayat (2) Otoritas di dalam negeri yang berwenang seperti PPATK dan Bank Indonesia, sedangkan otoritas di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lain-lain. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum dan telah memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme, misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Payable Through Account adalah rekening koresponden yang digunakan secara langsung oleh pihak ketiga untuk melakukan transaksi atas nama pihak ketiga tersebut. Pasal 36 Huruf a Yang dimaksud kegiatan dokumentasi adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf b … - 80 - Huruf b Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah Bank yang tidak mempunyai kehadiran secara fisik (physical presence) di wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolidasi yang efektif. Huruf c Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank Pengirim” termasuk pula Bank yang melakukan kegiatan usaha sebagai agen dari penyelenggara kegiatan pengiriman uang. Angka (1) Huruf a) Cukup jelas Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) … - 81 - Huruf d) Yang dimaksud dengan “nomor identifikasi” antara lain nomor yang secara unik mengidentifikasikan Nasabah/WIC pengirim dari Bank Pengirim dengan data informasi yang dikelola oleh Bank Pengirim. Dalam hal ini, nomor identifikasi berbeda dengan nomor transaksi. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Cukup jelas. Huruf i) Cukup jelas. Huruf j) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Yang dimaksud dengan “kegiatan dokumentasi” adalah kegiatan dokumentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf b … - 82 - Huruf b Yang dimaksud dengan “informasi” adalah informasi mengenai pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Informasi atau permintaan tertulis dapat berupa surat yang ditandatangani maupun informasi atau permintaan yang disampaikan melalui media eletronik lainnya. Otoritas yang berwenang dalam ayat ini termasuk otoritas penegak hukum dengan memperhatikan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kerahasiaan Bank. Pasal 38 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyedia jasa keuangan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 83 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tindak lanjut yang memadai” antara lain melakukan pemantauan yang lebih ketat, melaporkan sebagai Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic form, microfilm atau dokumen yang berdasarkan undang-undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen yang terkait data Nasabah atau WIC” antara lain dokumen identitas, hasil analisis yang terkait dengan profil Nasabah atau WIC, dan korespondensi dengan Nasabah atau WIC. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 … - 84 - Pasal 42 Ayat (1) Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh Bank, Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program APU dan PPT. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan profil Nasabah secara terpadu adalah data profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro dan kredit. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 85 - Ayat (4) Penggunaan teknologi yang berpotensi disalahgunakan seperti pembukaan rekening dan/atau melakukan transaksi melalui pos, fax, telepon, internet banking, dan ATM. Pasal 44 Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan karyawan Bank itu sendiri. Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur pre employee screening, pengenalan dan pemantauan profil yang mencakup karakter, perilaku dan gaya hidup karyawan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT yang dimaksudkan dalam ayat ini termasuk kebijakan dan prosedur pertukaran informasi untuk tujuan CDD dan manajemen risiko terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dalam melaksanakan pertukaran informasi tersebut tetap memperhatikan tingkat keamanan informasi dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Yang … - 86 - Yang dimaksud dengan “anak perusahaan” adalah anak perusahaan yang mayoritas kepemilikannya berada pada Bank. Ayat (2) Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri. Ayat (3) Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Action plan adalah langkah-langkah Bank untuk melaksanakan program APU dan PPTdengan target waktu penyelesaian selama periode tertentu, yang paling kurang memuat penyempurnaan infrastruktur terkait dengan teknologi informasi, penyiapan sumber daya manusia, dan program pengkinian data Nasabah, WIC dan Beneficial Owner. Huruf b … - 87 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Termasuk dalam kerja sama dengan penegak hukum yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah menyampaikan dokumen atau informasi kepada penegak hukum terkait dengan identitas nasabah … - 88 - nasabah yang diduga melakukan tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang sesuai perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Tata cara penyampaian laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Pelaksanaan sanksi ini setelah Bank memperoleh 2 (dua) kali surat teguran dengan jangka waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kerja, serta mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tidak dilaksanakannya komitmen. Huruf c Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan” antara lain adalah menimbulkan risiko reputasi Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 … - 89 - Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5385
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/27/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 28 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2012 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2012 </issued_date> <replaced_reg> '11/28/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/ 34 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa gejolak keuangan adalah mencapai global dan saat ini berdampak signifikan terhadap kondisi permintaan valuta asing di pasar domestik dan stabilitas nilai tukar rupiah; c. bahwa dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, salah satu upaya Bank Indonesia adalah mendorong tersedianya pasokan valuta asing di pasar domestik melalui pembelian wesel ekspor berjangka; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai transaksi pembelian wesel ekspor berjangka oleh Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … - 2 - Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA. BAB I… - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan dalam valuta asing. 2. Wesel Ekspor Berjangka (WEB) adalah wesel ekspor yang diterbitkan oleh eksportir, yang memiliki jangka waktu tertentu dan telah diakseptasi oleh bank pengaksep di luar negeri. 3. Akseptasi adalah pernyataan kesanggupan bank pengaksep untuk melakukan pembayaran atas suatu wesel berjangka yang diterbitkan eksportir, pada saat jatuh tempo wesel dimaksud. 4. Bank Pengaksep adalah bank di luar negeri yang melakukan akseptasi terhadap wesel ekspor berjangka. 5. Bank Penjual adalah bank yang melakukan penjualan wesel ekspor berjangka kepada Bank Indonesia. 6. Tingkat Diskonto adalah besaran diskonto yang mengacu pada suku bunga pasar untuk masing-masing valuta asing berdasarkan jangka waktu. 7. Hak Regres adalah hak Bank Indonesia untuk membebani rekening bank penjual di Bank Indonesia apabila terjadi penolakan atau kekurangan pembayaran oleh Bank Pengaksep pada tanggal jatuh tempo wesel ekspor berjangka. 8. Hari Kerja adalah hari kerja yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur nasional dan hari libur khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. 9. Tanggal … - 4 - 9. Tanggal Transaksi adalah tanggal terjadinya kesepakatan transaksi pembelian wesel ekspor berjangka antara Bank Indonesia dengan bank penjual. 10. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian atau setelmen transaksi pembelian wesel ekspor berjangka. Pasal 2 (1) Bank Indonesia berwenang membuka window pembelian WEB. (2) Bank Indonesia berwenang meniadakan window pembelian WEB sewaktu waktu. BAB II PERSYARATAN INSTRUMEN Pasal 3 (1) WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB yang dibeli Bank secara langsung dari eksportir maupun dari Bank lain yang telah diakseptasi oleh Bank Pengaksep di luar negeri. (2) Nilai nominal WEB yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia paling sedikit sebesar USD10.000,00 (sepuluh ribu US Dollar) atau setara dengan nilai USD10.000,00 (sepuluh ribu US Dollar). Pasal 4 WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah WEB yang memiliki underlying perdagangan ekspor atas dasar transaksi Letter of Credit berjangka yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable usance L/C). Pasal 5 Dokumen yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan pembelian WEB terdiri dari : a. asli bukti Akseptasi dari Bank Pengaksep; b. asli … - 5 - b. asli surat pernyataan dari Bank Penjual yang berisi pernyataan kebenaran dan kesesuaian antar dokumen serta tanggung jawab terhadap pemenuhan syarat- syarat yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1; c. fotokopi wesel; d. fotokopi Letter of Credit (L/C); e. fotokopi Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill; f. fotokopi invoice;dan g. nama lengkap dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) eksportir. Pasal 6 Bank Penjual wajib bertanggung jawab terhadap pemenuhan persyaratan dan kebenaran dokumen yang disampaikan oleh eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 7 WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB yang memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 8 (1) Pembelian WEB dilakukan Bank Indonesia dengan mekanisme valuta asing terhadap rupiah, atau valuta asing terhadap valuta asing yang sama. (2) WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB dalam valuta United States Dollar (USD), Japanese Yen (JPY), Great Britain Pound (GBP), Euro (EUR), Australian Dollar (AUD), dan/atau Swiss Franc (CHF). BAB III… - 6 - BAB III PERSYARATAN TRANSAKSI Pasal 9 (1) Bank Penjual harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank Pengaksep mengenai kewajiban pembayaran WEB, sejak Tanggal Transaksi sampai dengan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo WEB dengan mencantumkan koresponden. nomor rekening Bank Indonesia pada bank (2) Pada saat WEB jatuh tempo, jumlah nilai pembayaran yang dikreditkan ke rekening Bank Indonesia adalah sebesar kepada Bank Indonesia. nilai nominal WEB yang dijual (3) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Bank Pengaksep kurang atau lebih kecil dari nilai nominal WEB yang diaksep maka Bank Indonesia akan membebankan kekurangan atau selisih tersebut kepada Bank Penjual melalui pendebetan langsung rekening giro valuta asing Indonesia. Pasal 10 (1) Bank Indonesia membeli WEB dengan Hak Regres. (2) Pelaksanaan Hak Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada 1 (satu) Hari Kerja berikutnya setelah tanggal jatuh tempo WEB dengan cara mendebet rekening giro valuta asing Bank Penjual di Bank Indonesia, disertai dengan pembebanan bunga keterlambatan sebesar tingkat diskonto ditambah administration fee. (3) Pendebetan rekening giro valuta asing Bank Penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap WEB yang menggunakan mata uang selain USD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan dengan mengkonversi mata … Bank Penjual di Bank - 7 - mata uang selain USD dimaksud menjadi USD atas dasar kurs transaksi Bank Indonesia yang berlaku pada tanggal pendebetan. (4) Apabila setelah dilakukan pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diketahui terdapat pembayaran dari Bank Pengaksep maka Bank Indonesia mengkreditkan kembali sejumlah nilai nominal wesel yang telah didebet. Pasal 11 Tingkat Diskonto yang berlaku untuk transaksi pembelian WEB ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 12 Kurs untuk transaksi pembelian WEB dengan mekanisme valuta asing terhadap rupiah, menggunakan kurs beli Kurs Transaksi Bank Indonesia pada Tanggal Transaksi. Pasal 13 (1) Bank Pengaksep sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memiliki short term credit rating paling rendah A-3 dari Standard & Poors (S&P) atau rating setara yang dikeluarkan oleh Moody’s Investor. (2) Dalam hal terdapat perbedaan rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka yang digunakan adalah rating yang paling rendah. (3) Bank yang dapat menjual WEB adalah Bank yang memiliki Komposit (PK) paling rendah 2 (PK 2). Pasal 14 (1) Nilai outstanding transaksi penjualan WEB ke Bank Indonesia paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari modal Bank Penjual (Tier 1). Peringkat (2) Bank … - 8 - (2) Bank dapat menjual WEB yang berasal dari eksportir yang merupakan pihak terkait dengan Bank sepanjang memenuhi ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BAB IV TATA CARA PELAKSANAAN PEMBELIAN WEB Pasal 15 (1) Bank Indonesia mengumumkan Tingkat Diskonto WEB melalui Reuters. (2) Dalam hal terdapat gangguan Reuters maka akan digunakan sarana lainnya. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada pukul 11.00 WIB. Pasal 16 (1) Bank yang akan menjual WEB kepada Bank Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan informasi mengenai WEB yang akan ditransaksikan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut : a. nilai nominal; b. jenis valuta; c. tanggal valuta; d. tanggal jatuh tempo; e. sisa jangka waktu; f. nama dan credit rating Bank Pengaksep; dan g. mekanisme transaksi valuta asing terhadap rupiah atau valuta asing terhadap valuta asing. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Bank Penjual kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitor Dealing System (RMDS) dalam kurun waktu pukul 11.15 – 11. 45 WIB pada hari yang sama. Pasal 17… - 9 - Pasal 17 (1) Bank Indonesia akan melakukan penelitian dan penilaian pemenuhan persyaratan terhadap: a. Credit rating Bank Pengaksep sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); b. Peringkat Komposit dan modal Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1); dan c. Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menetapkan persetujuan atau pengajuan penjualan WEB oleh Bank Penjual. (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada masing-masing Bank melalui RMDS pada pukul 13.00 – 14.00 WIB pada hari yang sama. Pasal 18 (1) Bank yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank Indonesia sebagai syarat terjadinya deal transaksi. (2) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut: a. nilai nominal; b. jenis valuta; c. tanggal valuta; d. Tingkat Diskonto; e. nilai tunai; f. Kurs (untuk mekanisme valuta asing terhadap rupiah); g. tanggal… penolakan terhadap - 10 - g. tanggal jatuh tempo; h. sisa jangka waktu; i. nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia atau nomor rekening USD di bank koresponden; j. nama dan credit rating Bank Pengaksep ; k. nomor, tanggal, dan nominal L/C; l. nomor dan tanggal B/L; m. nomor dan tanggal invoice; dan n. nama lengkap dan nomor NPWP eksportir. Pasal 19 (1) Bank Indonesia c.q Biro Manajemen Devisa dan Nilai Tukar - Direktorat Pengelolaan Devisa melakukan transaksi pembelian WEB dengan Bank Penjual melalui sarana RMDS pada dealing room Bank. (2) Dalam hal sarana RMDS mengalami gangguan, maka transaksi pembelian WEB menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi ulang melalui SWIFT atau faksimili. Pasal 20 Bank Penjual yang telah melakukan deal transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 tidak dapat mengubah atau membatalkan transaksi dengan alasan apapun. Pasal 21 (1) Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada Bank Indonesia – c.q Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa, Direktorat Pengelolaan Devisa. (2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan Bank Penjual pada hari yang sama setelah pengumuman persetujuan diperoleh hingga… - 11 - hingga pukul 16.00 WIB atau paling Tanggal Transaksi pada pukul 10.00 WIB. lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah (3) Dalam hal Bank Penjual adalah Bank yang berkedudukan di luar wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia maka dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan melalui Kantor Bank Indonesia setempat pada hari yang sama setelah pengumuman persetujuan diperoleh hingga pukul 16.00 WIB atau paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi pada pukul 10.00 WIB. (4) Apabila berdasarkan penelitian, dokumen yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak lengkap dan/atau konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak sesuai, maka transaksi dibatalkan. (5) Pemberitahuan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diinformasikan kepada Bank Penjual pada pukul 14.00 – 16.00 WIB melalui RMDS pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah Tanggal Transaksi. sarana RMDS mengalami (6) Dalam hal gangguan, maka pembatalan menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi ulang melalui SWIFT atau faksimili. Pasal 22 Bank Penjual harus menyimpan dan menatausahakan seluruh dokumen yang terkait dengan transaksi jual beli WEB secara tertib dan bertanggung jawab guna kepentingan pemeriksaan Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Setelmen untuk mekanisme valuta asing terhadap rupiah : a. Bank Indonesia menyerahkan nilai lawan rupiah kepada Bank Penjual, 2 (dua) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi dengan cara mengkredit rekening Giro Rupiah Bank Penjual pada Bank Indonesia. b. Pengkreditan … - 12 - b. Pengkreditan nilai lawan rupiah oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas dasar perhitungan sebagai berikut: NT = N x 360 x k 360 + (H x D) NT = Nilai Tunai N = Nilai nominal wesel D = Tingkat diskonto pada tanggal transaksi H = Hari diskonto dihitung sejak Tanggal Valuta, sampai dengan tanggal jatuh tempo WEB k = Kurs beli, Kurs Transaksi Bank Indonesia (2) Setelmen mekanisme valuta asing terhadap valuta asing yang sama : a. Bank Indonesia menyerahkan nilai lawan valuta asing kepada Bank Penjual, 2 (dua) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi dengan cara mengkredit rekening Bank Penjual pada bank koresponden. b. Pengkreditan nilai lawan valuta asing oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan atas dasar perhitungan sebagai berikut: NT = N x 360 360 + (H x D) NT = Nilai Tunai N = Nilai nominal wesel D = Tingkat diskonto pada tanggal transaksi H = Hari diskonto dihitung sejak Tanggal Valuta sampai dengan tanggal jatuh tempo WEB. Pasal 24… - 13 - Pasal 24 Bank Indonesia mengumumkan peniadaan pembelian WEB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melalui sarana Reuters atau sarana lainnya paling lambat pukul 11.00 WIB. BAB V PEMBATALAN TRANSAKSI Pasal 25 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pembatalan transaksi pembelian WEB yang sudah dilakukan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut: a. terdapat ketidaksesuaian data antar dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) ; dan/atau b. terdapat ketidakbenaran dokumen ekspor yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); dan/atau c. transaksi ekspor yang menjadi underlying terbitnya WEB dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank yang tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. (2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan pembatalan transaksi pembelian WEB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan terlebih dahulu pembatalan transaksi dimaksud kepada Bank Penjual. (3) Atas pembatalan transaksi pembelian WEB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka : a. mekanisme transaksi valuta asing terhadap rupiah Bank… - 14 - Bank Indonesia melakukan pendebetan rekening giro rupiah Bank Penjual sebesar nilai rupiah yang dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) ditambah dengan bunga sebesar Sertifikat Bank Indonesia lelang terakhir sesuai jangka waktu dan margin. b. mekanisme transaksi valuta asing terhadap valuta asing Bank Indonesia melakukan pendebetan rekening giro valuta asing Bank Penjual sebesar nilai valuta asing atau yang nilainya setara yang dikreditkan pada saat setelmen transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) ditambah dengan bunga sebesar Tingkat Diskonto dan margin. BAB VI SANKSI Pasal 26 (1) Bank Penjual dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar apabila berdasarkan pemeriksaan terdapat : a. ketidaksesuaian data antar dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) per item ketidaksesuaian; dan/atau b. ketidakbenaran dokumen ekspor yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 10 % dari nominal transaksi. (2) Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebet rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia. BAB VII ... - 15 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Peratuan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 5 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM, WIDODO A. S. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 195 DINT
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/34/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 5 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 5 Desember 2008 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/6/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan program pembangunan ekonomi nasional maka perlu didorong peningkatan penyaluran kredit usaha kecil; b. bahwa sesuai dengan kondisi beberapa daerah tertentu yang mengalami gejolak yang berpengaruh ekonomi, perlu diupayakan kepada langkah-langkah pemulihan kondisi perekenomian daerah tertentu dimaksud; c. bahwa dari sisi jumlah dan diversifikasi debitur maka risiko kredit untuk penyaluran kredit usaha kecil memiliki risiko sistemik yang rendah; d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat… kondisi untuk - 2 - Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3511); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF. Pasal I … - 3 - Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif, sebagai berikut: 1. Mengubah ketentuan Pasal 1, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar Bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif. 3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk : a. pembelian surat berharga nasabah yang Purchase Agreement (NPA); dilengkapi b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang. 4. Surat… dengan Note - 4 - 4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Surat Berharga Komersial Sertifikat Reksadana, dan Medium Term Note. (Commercial Paper), 5. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lainnya berupa giro, call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit yang diberikan, dan penempatan lainnya. 6. Penyertaan adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang tidak melalui pasar modal, serta dalam bentuk penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit. 7. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontijensi (Off Balance Sheet) yang terdiri dari warkat penerbitan jaminan, akseptasi/endosemen, irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, penjualan Surat Berharga dengan syarat repurchase agreement (repo), standby L/C, dan garansi lainnya, serta transaksi derivatif yang mempunyai risiko Kredit. 8. Risiko Kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (mark to market value) dari seluruh perjanjian/kontrak yang menjanjikan keuntungan yang belum dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank apabila pihak lawan wanprestasi. 9. Usaha Kecil adalah usaha kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Kredit… - 5 - 10. Kredit Usaha Kecil yang selanjutnya disebut dengan KUK adalah Kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja yang diberikan dalam Rupiah dan Valuta Asing kepada nasabah Usaha Kecil dengan plafon keseluruhan maksimum sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk membiayai usaha produktif, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 11. Daerah Tertentu adalah daerah-daerah yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi daerah dan pada saat ini ditetapkan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Propinsi Maluku, Propinsi Papua, Kabupaten Sambas di Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur di Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Poso di Propinsi Sulawesi Tengah. 12. Kredit Kepada Daerah Tertentu adalah Kredit atau pembiayaan atau penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja kepada daerah tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 11, yang diberikan dalam Rupiah dan Valuta Asing kepada nasabah Usaha Kecil dengan plafon keseluruhan maksimum sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), untuk membiayai usaha produktif.” 2. Mengubah ketentuan Pasal 8, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 8 Penggolongan kualitas Aktiva Produktif untuk: a. KUK dan penyediaan dana lain sampai dengan jumlah Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan b. Kredit Kepada Daerah Tertentu, didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.” Pasal II … - 6 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 September 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA, SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 91 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/6/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF I. UMUM Sesuai dengan program pembangunan ekonomi nasional maka perlu ditingkatkan pengembangan usaha kecil. Salah satu cara untuk mengembangkan usaha kecil adalah dengan mempermudah akses usaha kecil terhadap kredit perbankan. Peningkatan volume kredit usaha kecil pada gilirannya diharapkan dapat lebih meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari sisi risiko, penyaluran kredit usaha kecil oleh lembaga perbankan memiliki risiko yang lebih kecil ditinjau dari sisi jumlah dan diversifikasi debitur. Selain dari itu, sejalan dengan konsep negara kesatuan Republik Indonesia, maka terdapat beberapa daerah tertentu yang memerlukan perhatian khusus yang antara lain disebabkan adanya permasalahan keamanan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menyesuaikan cakupan penyaluran kredit dan transaksi sejenis kepada usaha kecil dan kepada daerah tertentu. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Usaha Kecil. Angka 10 Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan ketentuan … - 3 - ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kredit Usaha Kecil. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Pasal 8 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Perhitungan batas pemberian fasilitas penyediaan dana berlaku baik untuk debitur individual dan debitur grup serta untuk seluruh fasilitas yang diterima. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4223 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/6/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF I. UMUM Sesuai dengan program pembangunan ekonomi nasional maka perlu ditingkatkan pengembangan usaha kecil. Salah satu cara untuk mengembangkan usaha kecil adalah dengan mempermudah akses usaha kecil terhadap kredit perbankan. Peningkatan volume kredit usaha kecil pada gilirannya diharapkan dapat lebih meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari sisi risiko, penyaluran kredit usaha kecil oleh lembaga perbankan memiliki risiko yang lebih kecil ditinjau dari sisi jumlah dan diversifikasi debitur. Selain dari itu, sejalan dengan konsep negara kesatuan Republik Indonesia, maka terdapat beberapa daerah tertentu yang memerlukan perhatian khusus yang antara lain disebabkan adanya permasalahan keamanan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menyesuaikan cakupan penyaluran kredit dan transaksi sejenis kepada usaha kecil dan kepada daerah tertentu. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Usaha Kecil. Angka 10 Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan ketentuan … - 3 - ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kredit Usaha Kecil. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Pasal 8 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Perhitungan batas pemberian fasilitas penyediaan dana berlaku baik untuk debitur individual dan debitur grup serta untuk seluruh fasilitas yang diterima. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4223
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/6/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF </reg_title> <set_date> 6 September 2002 </set_date> <effective_date> 6 September 2002 </effective_date> <changed_reg> '31/147/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. b. bahwa bahwa kelangsungan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tergantung dari kemampuan dalam melakukan penanaman dana dengan mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian berupa pemenuhan kualitas penghapusan aktiva yang memadai; kewajiban aktiva dan penilaian kualitas penyisihan aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif; c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan penyisihan penghapusan aktiva merupakan ketentuan yang saling terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam satu pengaturan. d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang kualitas aktiva bagi bank yang melaksanakan kegiatan …. -2 - kegiatan usaha berdasarkan prinsip Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); syariah dalam MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I …. -3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah. 3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah; b. transaksi sewa dalam bentuk Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan hak milik dalam bentuk Ijarah Muntahiyah bit Tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah. berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan …. -4 - mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil. 5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. penanaman 6. Musyarakah adalah dana dari pemilik dana/modal mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing. 7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. 8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. 9. Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. 10. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa termasuk kepemilikan terhadap hak pakai atas obyek sewa, antara pemilik obyek sewa dan penyewa disewakannya. untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang 11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa. 12. Qardh …. untuk -5 - 12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah. 14. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada Bank lainnya dan/atau Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah antara lain dalam bentuk giro dan/atau tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka dan/atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentuk-bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah. 15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip syariah yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. 16. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank, Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lain berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. 17. Penyertaan Modal Sementara perusahaan adalah nasabah untuk mengatasi penyertaan modal Bank dalam kegagalan pembiayaan dan/atau piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia …. -6 - Indonesia yang berlaku, termasuk dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah. 18. Proyeksi Pendapatan adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang diberikan dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah. 19. Realisasi Pendapatan adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang diberikan. 20. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off balance sheet) berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas bank garansi, akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lain berdasarkan prinsip syariah. 21. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah. 22. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang kepada penyimpan dana atau barang, dengan kewajiban pihak penyimpan untuk mengembalikan titipan dana atau barang tersebut sewaktu- waktu. 23. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, properti terbengkalai rekening antar kantor dan suspense account, serta persediaan. 24. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva …. -7 - aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. 25. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. adalah akun 26. Suspense Account yang tujuan pencatatannya tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya. 27. Persediaan adalah aktiva non-kas tersedia untuk : a. dijual dengan akad Murabahah; b. diserahkan sebagai bagian modal bank dalam akad pembiayaan berprinsip Mudharabah dan Musyarakah; c. disalurkan dalam akad Salam atau Salam paralel; dan/atau d. aktiva Istishna’ yang telah selesai tetapi belum diserahkan bank kepada pembeli akhir. 28. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva. 29. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang: a. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai …. dan -8 - sebagai perusahaan penilai; serta e. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. 30. Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi, pihak penjual dan pembeli sebelumnya tidak mempunyai ikatan, memiliki pengetahuan tentang aset yang diperdagangkan dan melakukan transaksi tidak dalam keadaan terpaksa. 31. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan Penyediaan Dana terhadap nasabah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengikuti ketentuan yang berlaku yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional dan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi bank syariah. BAB II KUALITAS AKTIVA Pasal 2 (1) Penanaman dan/atau penyediaan dana Bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip syariah. (2) Pengurus Bank wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kualitas Aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar. Pasal 3 Penilaian kualitas dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. Pasal 4 …. -9 - Pasal 4 (1) Bank wajib melakukan penilaian dan penetapan kualitas Aktiva sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva antara Bank dan Bank Indonesia, kualitas Aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank wajib menyesuaikan kualitas Aktiva sesuai dengan penilaian kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB III AKTIVA PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 5 (1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, dalam 1 (satu) bank yang sama. (2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Aktiva Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama dan/atau sindikasi. (3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas masing-masing Aktiva …. setelah -10 - Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. (5) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan nasabah yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut. (2) Kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan nasabah. (3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Kualitas Aktiva Produktif dari nasabah yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat, dan dinilai paling tinggi Kurang Lancar. Pasal 7 Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan. Pasal 8 …. -11 - Pasal 8 (1) Penanaman dana Bank dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap; (2) Kualitas Aktiva Produktif yang oleh Bank telah ditetapkan Lancar dan Dalam Perhatian Khusus akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi setinggi- tingginya Kurang Lancar, apabila dokumentasi memberikan informasi yang cukup. nasabah tidak dapat Bagian Kedua Pembiayaan Pasal 9 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dinilai berdasarkan: a. prospek usaha; b. kinerja (performance) nasabah; dan c. kemampuan membayar. (2) Kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Pasal 10 (1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (2) Penilaian …. -12 - (2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; c. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Pasal 11 (1) Penetapan kualitas Pembiayaan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. Signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen; serta b. Relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang bersangkutan …. -13 - bersangkutan. Pasal 12 (1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP). (2) Penghitungan Realisasi Pendapatan (RP) dan Proyeksi Pendapatan (PP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penilaian kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah per periode, dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang telah berjalan. (3) Proyeksi Pendapatan (PP) dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah. (4) Bank dapat mengubah Proyeksi Pendapatan (PP) berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (5) Bank wajib mencantumkan Proyeksi Pendapatan (PP) dan perubahan Proyeksi Pendapatan (PP) dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah antara Bank dengan nasabah dan harus terdokumentasi secara lengkap. (6) Bank dapat melakukan revisi Proyeksi Pendapatan (PP) paling banyak: a. 1 (satu) kali untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu sampai dengan (1) satu tahun; b. 2 (dua) kali untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu diatas satu tahun. Pasal 13 …. -14 - Pasal 13 (1) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat diangsur selama jangka waktu Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara Bank dan nasabah. (2) Apabila jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah lebih dari satu tahun, pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diangsur secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (3) Pembayaran angsuran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah antara Bank dengan nasabah dan harus terdokumentasi secara lengkap. Bagian Ketiga Surat Berharga Syariah Pasal 14 Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga, sebagai berikut: a. Kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga wajib disetujui oleh Komisaris; b. Prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga; d. Kebijakan dan prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 15 …. -15 - Pasal 15 (1) Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah berupa obligasi syariah untuk tujuan investasi. (2) Dalam hal Bank mengalami kesulitan likuiditas, Surat Berharga Syariah yang dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijual sebelum jatuh tempo. Pasal 16 (1) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. Terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara transparan; b. Imbalan yang diterima dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan/atau c. Belum jatuh tempo. Untuk Surat Berharga Pasar Uang Syariah yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c dikategorikan Macet. (2) Surat Berharga Syariah diluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain sebagai berikut: a. Surat berharga komersial yang sesuai dengan prinsip syariah; b. Obligasi berdasarkan prinsip syariah yang dicatat dan diperdagangkan di Pasar Modal; c. Surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang berdasarkan prinsip syariah; d. Surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah; (3) Penggolongan kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. memiliki …. -16 - 1. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi dari lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2. Pembayaran bagi hasil/marjin/fee yang berkala atau kewajiban lain yang sejenis dilakukan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai dengan perjanjian (akad); dan 3. Belum jatuh tempo; b. Kurang Lancar, apabila: 1. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi dari lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2. Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain yang sejenis; dan 3. Belum jatuh tempo; atau 1. Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat dibawah peringkat investasi dari lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2. Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain yang sejenis; dan 3. Belum jatuh tempo; c. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b. Pasal 17 (1) Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari …. -17 - mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham. (2) Bank hanya dapat memiliki surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari dan berdasarkan prinsip syariah sepanjang: a. Aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya; b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset yang mendasari; c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat dan akurat mengenai rincian aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing- masing aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi aset. Pasal 18 (1) Kualitas surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, yang pembayaran kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through), baik yang dapat dibeli kembali maupun tidak dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas didasarkan pada: a. Kualitas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); b. Kualitas aset yang mendasari surat berharga apabila surat berharga tidak memiliki peringkat; atau (2) Untuk surat berharga dalam bentuk sertifikat reksadana, penetapan kualitas didasarkan pada: a. Kualitas sertifikat reksadana sesuai dengan penilaian kualitas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); atau b. Kualitas …. -18 - b. Kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit sertifikat reksadana, apabila peringkat. Pasal 19 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dimiliki oleh Bank digolongkan Lancar. Bagian Keempat Penyertaan Modal Pasal 20 (1) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank kurang dari 20% (dua puluh perseratus) wajib dicatat dengan metode biaya (cost method) dan penggolongan kualitas ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif; b. Kurang Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian sampai dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal perusahaan; c. Diragukan, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari modal perusahaan; d. Macet, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah …. sertifikat reksadana tidak memiliki -19 - telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal perusahaan; (2) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank 20% (dua puluh perseratus) atau lebih wajib dicatat dengan metode ekuitas (equity method) dan digolongkan Lancar. (3) Ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan Penyertaan Modal mengacu pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati- hatian dalam penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional yang berlaku. Pasal 21 (1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara dinilai berdasarkan jangka waktu penyertaan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila belum melebihi jangka waktu 1 (satu ) tahun; b. Kurang Lancar, apabila telah melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun namun belum melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun; c. Diragukan, apabila telah melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun dan belum melebihi 5 (lima) tahun; d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun perusahaan debitur telah memiliki laba kumulatif. (3) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai bahwa: a. Penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan dengan …. -20 - dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau b. Penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyertaan Modal Sementara mengacu pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional yang berlaku. Bagian Kelima Penempatan Pasal 22 Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan, sebagai berikut: a. Kebijakan Penempatan wajib disetujui oleh Komisaris; b. Prosedur Penempatan wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan Penempatan; d. Kebijakan dan prosedur Penempatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 23 Kualitas Penempatan ditetapkan Lancar sepanjang Penempatan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 24 Dalam hal program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan tidak memenuhi persyaratan …. -21 - persyaratan program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk yang berprinsip Wadiah/Qardh, atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau Realisasi Pendapatan sama atau lebih dari 80% (delapan puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk yang berprinsip Murabahah. b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan tunggakan pembayaran 2) terdapat pokok untuk yang berprinsip Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau Realisasi Pendapatan di atas 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan sampai dengan 80% (delapan puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan atau Realisasi Pendapatan ≤ 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk yang berprinsip Murabahah sampai dengan 5 (lima) hari kerja. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan …. -22 - ketentuan yang berlaku; 2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau 4) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk yang berprinsip Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau Realisasi Pendapatan ≤ 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk yang berprinsip Murabahah lebih dari 5 (lima) hari kerja. Bagian Keenam Transaksi Rekening Administratif Pasal 25 Kualitas Transaksi Rekening Administratif digolongkan dan dinilai sesuai dengan ketentuan penggolongan kualitas Pembiayaan untuk masing-masing transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 26 (1) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan Transaksi Rekening Administratif yang berjumlah sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk nasabah individual atau nasabah grup hanya didasarkan atas kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c. (2) Penilaian …. -23 - (2) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan Transaksi Rekening Administratif yang berjumlah lebih besar dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) baik untuk nasabah individual atau nasabah grup didasarkan atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Bagian Ketujuh Penyediaan Dana di Daerah Tertentu Pasal 27 Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu didasarkan atas kemampuan membayar. BAB IV AKTIVA NON PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 28 (1) Aktiva Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA, Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account, serta Persediaan. (2) Kualitas Aktiva Non Produktif wajib dinilai secara bulanan. Bagian Kedua Agunan yang Diambil Alih Pasal 29 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 30 …. -24 - Pasal 30 (1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value dari AYDA, yang dilakukan saat pengambilalihan agunan. (2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih. Sementara untuk AYDA dengan nilai menggunakan penilai intern Bank. (3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen atau penilai intern Bank. Pasal 31 (1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki dengan 5 (lima) tahun; lebih dari 3 (tiga) d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). tahun sampai dibawah Rp5.000.000.000,00 (lima miyar rupiah) dapat Bagian Ketiga …. -25 - Bagian Ketiga Properti Terbengkalai Pasal 32 (1) Bank wajib melakukan identifikasi Terbengkalai yang dimiliki. dan penetapan terhadap Properti (2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan. Pasal 33 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 34 (1) Properti Terbengkalai yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; lebih dari 3 (tiga) d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat …. -26 - Bagian Keempat Rekening Antar Kantor dan Suspense Account Pasal 35 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. (2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari; b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari. Bagian Kelima Persediaan Pasal 36 (1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Persediaan yang dimiliki. (2) Penetapan Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi, dan didokumentasikan. (3) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Persediaan yang dimiliki, dan wajib didokumentasikan. Pasal 37 (1) Persediaan yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila Persediaan dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai …. -27 - sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; d. Macet, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) Persediaan yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA Bagian Pertama Umum Pasal 38 (1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. (2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan b. Cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. (3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Kedua Tatacara Pembentukan Pasal 39 (1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank …. -28 - Bank Indonesia dan Surat Berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah. (2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva ditetapkan sekurang- kurangnya sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; dan b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. (3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. (4) Bank wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk Ijarah atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan Bank bagi aktiva yang sejenis; b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa. (5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Pasal 40 Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) untuk Murabahah, Salam dan Istishna’ mempergunakan angka …. yang -29 - angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok. Bagian Ketiga Penilaian Agunan Pasal 41 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA terdiri dari: a. Giro dan/atau tabungan Wadiah, giro Mudharabah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan/atau surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah; c. Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat investasi, mudah dicairkan dan aktif diperdagangkan di pasar modal; d. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik; e. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia. Pasal 42 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ditetapkan: a. Untuk agunan tunai berupa giro dan/atau tabungan Wadiah, giro Mudharabah, tabungan dan/atau deposito Mudharabah, dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus); b. Untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah paling …. -30 - paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus); c. Untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus); d. Untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor dan persediaan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan sebelum melampaui 12 (dua belas) bulan; 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah 12 (dua belas) bulan tetapi belum melampaui 18 (delapan belas) bulan; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan tetapi belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan; 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 30 (tiga puluh) bulan. Pasal 43 Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib dilakukan dengan cara: a. Untuk Surat Berharga Syariah dinilai dengan menggunakan Nilai Pasar yang tercatat dipasar modal pada akhir bulan; b. Untuk tanah dan rumah tinggal dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar; c. Untuk gedung, pesawat udara, kapal laut, kendaraan dan persediaan dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar. Pasal 44 (1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp5.000.000.000,00 …. -31 - Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, bagi Pembiayaan dengan jumlah lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPA. (4) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen atau penilai intern. Pasal 45 (1) Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, apabila: a. Agunan tidak dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah dan pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; b. Penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44; atau c. Agunan tidak dilindungi asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. (2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Perusahaan asuransi memenuhi ketentuan permodalan sesuai yang ditetapkan institusi yang berwenang; dan b. Perusahaan asuransi bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank, kecuali direasuransikan kepada …. -32 - kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank. (3) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB VI RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Pasal 46 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan, sebagai berikut: a. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui oleh Komisaris; b. Prosedur restrukturisasi wajib disetujui oleh paling kurang oleh Direksi; c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan restrukturisasi; d. Kebijakan dan prosedur restrukturisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya; dan b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (3) Upaya dan mekanisme restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib …. -33 - wajib dilakukan dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional dan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi bank syariah. (4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan yang direstrukturisasi adalah sebagai berikut: a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum direstrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat: a. Menjadi Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut dan/atau secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan; atau b. Kembali sesuai dengan kualitas sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau kualitas sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau jika debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai. Pasal 47 Analisis dan dokumentasi yang memadai yang dilakukan Bank dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf b, adalah sebagai berikut: a. Pembiayaan yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha nasabah dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas; b. Pembiayaan kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh …. Pembiayaan yang sebelum -34 - oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik; c. Analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap Pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan wajib didokumentasikan secara lengkap dan jelas; d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c juga diterapkan dalam hal dilakukan restrukturisasi ulang Pembiayaan. BAB VII HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 48 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih Pembiayaan, sebagai berikut: a. Kebijakan hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui oleh Komisaris; b. Prosedur hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih; d. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko (2) Hapus buku dan/atau hapus sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. tagih hanya dapat pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. (3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Pembiayaan (partial write off). (4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh Pembiayaan. (5) Hapus tagih terhadap sebagian Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) …. dilakukan terhadap Bank -35 - ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. Pasal 49 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus hak tagih. (3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. BAB VIII SANKSI Pasal 50 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 45 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 55 dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau c. penggantian …. -36 - c. penggantian pengurus. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap aktiva dimaksud. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Penilaian kualitas Aktiva Non Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, penetapan kualitas untuk Aktiva Non Produktif untuk AYDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, penetapan kualitas untuk Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan penetapan kualitas untuk Rekening Antar Kantor dan Suspense Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan penetapan kualitas untuk Persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, serta penetapan Penyisihan Penghapusan Aktiva Non Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b, berlaku diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 52 Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 53 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau tidak diatur dengan Peraturan …. 12 (dua belas) bulan sejak -37 - Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 54 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah; dan b. Peraturan Bank Indonesia No.5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 55 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyesuaikan pedoman operasional yang terkait dengan penilaian kualitas Aktiva. Pasal 56 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2007. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 78 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Perkembangan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah akan tergantung dari kemampuannya untuk tetap dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan perbankan syariah yang semakin beragam dengan tetap berpegang kepada prinsip syariah dan kehati-hatian, dimana kemampuan tersebut akan menjadi salah satu dasar dari kelangsungan usaha bank. Kelangsungan usaha bank tergantung pada kinerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari penanaman dana bank. Kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga dapat menjadi sumber dalam mengembangkan usahanya. Mengingat karakteristik dari aset bank masih tetap dipengaruhi oleh risiko pembiayaan (credit risk), maka bank perlu untuk selalu memperbaiki kebijakan dan prosedur penyediaan dana termasuk penetapan kualitas dan pembentukan penyisihan penghapusan aktivanya, dan melakukan pengelolaan portofolio aset dengan baik serta kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas penyediaan dana. Untuk menentukan kualitas penyediaan dana yang mencerminkan tingkat eksposur … -2 - eksposur risiko pembiayaan (credit risk), perlu ditata kembali batasan dan kriteria penilaian kualitas serta pembentukan penyisihan penghapusan aktiva pada setiap penyediaan dana. Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali tentang penilaian kualitas aktiva bagi bank umum syariah yaitu berupa Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas … -3 - Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Cukup jelas. Angka 16 Cukup jelas. Angka 17 Cukup jelas. Angka 18 Cukup jelas. Angka 19 Cukup jelas. Angka 20 Cukup jelas. Angka 21 … -4 - Angka 21 Cukup jelas. Angka 22 Cukup jelas. Angka 23 Cukup jelas. Angka 24 Cukup jelas. Angka 25 Cukup jelas. Angka 26 Cukup jelas. Angka 27 Cukup jelas. Angka 28 Cukup jelas. Angka 29 Cukup jelas. Angka 30 Cukup jelas. Angka 31 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang … -5 - Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan: 1) Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang- kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy & Collateral); 2) Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance) dan kemampuan membayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antisipasi adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank. Pasal 5 Ayat (1) … (exit -6 - Ayat (1) Nasabah dalam ayat ini merupakan perseorangan atau badan usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah kepada debitur X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank A untuk masing-masing aktiva produktif adalah sebagai berikut: a. DPK, untuk Mudharabah b. KL, untuk Murabahah Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan Bank A kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang Lancar (KL). Ayat (4) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa prospek usaha, kinerja (performance) nasabah dan kemampuan membayar. Sedangkan kualitas Surat Berharga pada umumnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh tempo. Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk penetapan kualitas pembiayaan … -7 - pembiayaan dengan surat berharga, maka kualitas Pembiayaan dengan surat berharga dapat ditetapkan secara berbeda meskipun untuk nasabah yang sama. Ayat (5) Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih rendah yang semata-mata disebabkan oleh penggunaan faktor penilaian tambahan berupa risiko Negara (country risk) Republik Indonesia, tidak mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang diberikan kepada nasabah sama di Bank lain yang ditetapkan dengan faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Syariah. Pasal 6 Ayat (1) Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar laporan keuangan nasabah akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi keuangan nasabah merupakan salah satu kriteria dalam penetapan kualitas Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi sebagaimana telah diubah Keuangan Tahunan Perusahaan dengan Peraturan Nomor 64 … Pemerintah -8 - Nomor 64 Tahun 1999. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dokumen yang lengkap yaitu sekurang- kurangnya tersedianya dokumentasi meliputi: aplikasi, Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas … analisa, keputusan dan penanaman dana serta perubahannya. penanaman dana yang pemantauan atas -9 - Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan nasabah dalam huruf ini adalah nasabah yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Perhitungan pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP) adalah sebagai berikut: RP K = PP Dimana: K = Rasio Pencapaian Pendapatan RP = Realisasi Pendapatan yang diterima Bank dari nasabah PP … x 100% - 10 - PP = Perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh Bank dari nasabah Ayat (2) Yang dimaksud dengan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan yang telah berjalan adalah sebagai berikut: Contoh 1 : Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang berjangka waktu 1 (satu) tahun yang dimulai dari 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005, dan dilakukan penilaian di bulan Januari 2006, berarti RP dan PP yang digunakan adalah angka akumulasi selama bulan Januari sampai dengan Desember 2005. Contoh 2 : Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka waktu 6 (enam) bulan, yang baru berjalan 3 (tiga) bulan, maka akumulasi yang digunakan adalah selama periode tersebut yaitu akumulasi 3 (tiga) bulan saja. Ayat (3) Misalnya Pembiayaan berjangka waktu 2 (dua) tahun, jadwal pembayaran bagi hasil ditetapkan setiap 6 (enam) bulan maka PP ditetapkan setiap 6 bulan, yaitu : 1. PP 6 bulan I = Rp xx atau x % 2. PP 6 bulan II = Rp yy atau y % dst. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … berjalan - 11 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan terdokumentasi aplikasi, analisa, keputusan secara lengkap yaitu sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi pembiayaan yang meliputi dan pemantauan atas pembiayaan serta file lain yang terkait dengan PP beserta perubahannya. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tujuan investasi adalah dimiliki Bank sampai dengan jatuh tempo (held to majority).. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kesulitan likuiditas adalah bank yang diperkirakan akan mengalami kekurangan dana yang diindikasikan dengan rasio GWM menurun mendekati ketentuan minimum … - 12 - minimum yang berlaku. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Surat Berharga Pasar Uang Syariah antara lain adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA). Huruf a Yang dimaksud dengan transparan antara lain adalah informasi informasi pasar uang di Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari antara lain adalah sertifikat reksadana, credit linked note dan efek beragun aset yang berdasarkan prinsip syariah. Huruf d Yang … surat berharga dilaporkan kedalam sistem - 13 - Yang dimaksud surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah antara lain adalah surat berharga yang diterbitkan lembaga keuangan yang terdaftar dalam Pasar Keuangan Islam Internasional (International Islamic Financial Market) atau yang diterbitkan oleh Islamic Development Bank. Ayat (3) Yang dimaksud dengan peringkat investasi dan lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia yaitu berdasarkan ketentuan yang berlaku tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 17 Ayat (1) Kepemilikan surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan dilakukan dengan izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (2) Huruf a Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) atau Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas … - 14 - Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pembayaran kewajiban surat berharga dikatakan terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) apabila pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee surat berharga semata-mata bersumber dari pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee dari aset yang mendasari. Ayat (2) Huruf a Penetapan kualitas sertifikat reksadana berdasarkan ketentuan penilaian kualitas surat berharga dilakukan terhadap sertifikat reksadana sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari sertifikat reksadana dimaksud. Huruf b Kualitas sertifikat reksadana ditetapkan berdasarkan kualitas setiap jenis aset yang mendasari dan kualitas penerbit sertifikat reksadana, dengan penekanan antara lain terhadap: 1. kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit maupun pihak terkait … - 15 - terkait lainnya seperti asuransi; dan 2. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (3) Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau kesulitan penjualan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun antara lain disebabkan karena kelemahan dalam kondisi manajemen perusahaan, kondisi pasar atau rendahnya permintaan terhadap saham perusahaan. Ayat (4) Cukup jelas … diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian. keuangan, - 16 - Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Rasio KPMM sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang terhadap bank yang menerima Penempatan. Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Batas pemberian fasilitas Pembiayaan dan penyediaan dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap nasabah baik untuk nasabah individual maupun Kelompok Peminjam yang … - 17 - yang diterima dari satu Bank. Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Pembiayaan atau penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan L/C. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur masyarakat. Upaya penyelesaian antara dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar agunan dikurangi realizable value adalah sebesar nilai Aktiva Produktif yang diselesaikan … dana lain dapat dilakukan estimasi biaya pelepasan. Maksimum net - 18 - diselesaikan dengan AYDA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Properti Terbengkalai adalah aktiva tetap dalam bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan dalam kegiatan usaha Bank yang lazim. Termasuk dalam kegiatan usaha Bank yang lazim adalah properti yang digunakan sebagai penunjang kegiatan usaha Bank, sepanjang dimiliki dalam jumlah yang wajar, seperti rumah dinas dan properti yang digunakan untuk sarana pendidikan, serta properti lain yang telah ditetapkan untuk digunakan Bank dalam kegiatan usaha dalam waktu dekat, tetapi tidak termasuk untuk properti Bank yang dikategorikan memiliki klasifikasi sesuai fatwa dan ketentuan berlaku tentang aktiva Ijarah . Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai … - 19 - sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur masyarakat. Upaya penyelesaian antara dana lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual Properti Terbengkalai. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank. Ayat (2) Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar Kantor disisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud identifikasi dan penetapan Persediaan adalah termasuk identifikasi dan penetapan Persediaan sesuai klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 27. Ayat (2) … - 20 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual Persediaan yang sesuai dengan karakteristik jenis Persediaan dalam rangka penyelesaian transaksi yang menjadi dasar timbulnya Persediaan. Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan Persediaan. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 21 - Ayat (3) Penyusutan dan/atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada standar akuntansi keuangan untuk bank syariah yang berlaku. Ayat (4) Huruf a dan b Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek Ijarah. Pasal 40 Yang dimaksud dengan angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok adalah angka baki debet dikurangi dengan margin yang ditangguhkan untuk Murabahah dan Istishna’, serta angka saldo baki debet bulan laporan untuk Salam. Pasal 41 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia dalam satu tahun terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka … - 22 - maka surat berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Untuk persediaan barang bergerak yang disimpan dalam gudang yang termasuk dalam kategori untuk dapat dengan Akta Perjanjian Hak Jaminan sebagaimana diterbitkan Resi Gudang, maka pembebanan Hak Jaminan terhadap Resi Gudang dibuat dimaksud dalam Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tanggal 14 Juli 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Pasal 42 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan … - 23 - dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan institusi yang berwenang. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) … - 24 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud kebijakan dan prosedur tertulis antara lain pejabat dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses restrukturisasi, dan proses analisis penyediaan dana yang akan direstrukturisasi serta laporan restrukturisasi secara berkala. Ayat (2) Dalam hal Bank memperkirakan kondisi usaha mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan nasabah dalam pembayaran atau pemenuhan kewajibannya, harus didukung oleh analisa dan bukti-bukti yang memadai dengan baik. Ayat (3) Yang dimaksud upaya dan mekanisme restrukturisasi serta terdokumentasi sesuai aturan yang berlaku, antara lain untuk Murabahah bisa dilakukan dengan memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran, penjadwalan kembali dan konversi akad Murabahah yang dilaksanakan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang berlaku. Ayat (4) … - 25 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau bagi hasil/marjin/fee kurang dari 3 (tiga) 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar dapat dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu dilakukan restrukturisasi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Hapus buku adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus buku Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih Bank kepada nasabah. Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas … bulan sejak - 26 - Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan Hapus Buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Hapus Tagih dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan dan penyelesaian Pembiayaan dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada nasabah. Penyelesaian Pembiayaan dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh nasabah. Pasal 49 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada nasabah, Restrukturisasi dimaksud, Pembiayaan, dan penyelesaian meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 … Pembiayaan melalui - 27 - Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4647
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/21/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date> <replaced_reg> '5/9/PBI/2003', '5/7/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/ 12 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerapan sistem Laporan Harian Bank Umum yang lebih efektif dan akurat diperlukan persiapan yang cukup dari serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya; b. bahwa untuk mendukung infrastruktur pendukung hal tersebut di atas diperlukan perpanjangan masa peralihan yang lebih memadai dari sistem Pusat Informasi Pasar Uang ke sistem Laporan Harian Bank Umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b tersebut di atas dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum; Mengingat… - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN INDONESIA ATAS PERATURAN LAPORAN HARIAN BANK UMUM. Beberapa … BANK NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Kewajiban Bank Pelapor untuk menyusun serta menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan setiap hari kerja. (2) Masa parallel run diperpanjang dari tanggal 16 Mei 2005 sampai dengan tanggal 31 Mei 2005 menjadi sampai dengan tanggal 25 Agustus 2005. 2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Pelanggan PIPU yang perjanjiannya berakhir pada tanggal 31 Mei 2005 dan bermaksud tetap menggunakan PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang. (2) Dalam hal Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU, Bank Indonesia dapat mencabut keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU. 3. Ketentuan … - 4 - 3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Ketentuan Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai berlaku pada tanggal 26 Agustus 2005. 4. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka sejak tanggal 26 Agustus 2005 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Mei 2005 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S.GOELTOM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 45 DPM/UKMI/DPD/DPNP PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/ 12 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Selama masa parallel run Bank melaksanakan Angka 2 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 3 Pasal … Pelapor tetap pelaporan melalui sistem PIPU bersamaan dengan pelaporan melalui sistem LHBU. - 2 - Pasal 21 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 22 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 4499
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/12/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 31 Mei 2005 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2005 </effective_date> <changed_reg> '7/10/PBI/2005' </changed_reg> <replaced_reg> '5/24/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
-2- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 21 /PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin baik dan laju inflasi yang terkendali memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran moneter; b. bahwa diperlukan peningkatan kapasitas pembiayaan dari perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah -2- Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/11/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5712), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah. - 3 - c. GWM LFR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LFR Bank dan LFR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. 2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. 5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. - 4 - 6. Penjelasan Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 7. Penjelasan Pasal 22 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 286
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/21/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 26 November 2015 </set_date> <effective_date> 1 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 26 November 2015 </issued_date> <changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg> <extension_of> '17/11/PBI/2015' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>