input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/8/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA
DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan layanan transfer dana dan
layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia,
diperlukan percepatan penerusan dana baik oleh peserta
pengirim maupun oleh peserta penerima;
b. bahwa untuk memastikan peserta memenuhi percepatan
batas waktu pengiriman dan penerusan dana dalam
layanan pembayaran reguler, diperlukan penyesuaian
terhadap sanksi atas setiap keterlambatan dari
pelaksanaan pengiriman dan penerusan dana;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana
dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6170);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER
DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 23 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada
tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya
perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu)
jam sejak pengaksepan perintah transfer dana.
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE
Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 4 -
2. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) Pasal 26
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas
DKE Transfer Dana yang diterima sesuai ketentuan
yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan
atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal
Penyelenggara melakukan Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
(3) Penerusan dana kepada nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan
paling lama 1 (satu) jam setelah Penyelenggara
melakukan Setelmen Dana.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku dalam hal terdapat perbedaan antara nama
atau nomor rekening nasabah penerima yang
tercantum pada perintah transfer dana dengan nama
atau nomor rekening nasabah penerima yang tercatat
pada Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan
penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga,
atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu
penerusan dana kepada nasabah penerima dan
besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
- 5 -
3. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) pada
tanggal yang sama dengan tanggal yang tercantum
pada perintah transfer dana dari nasabah sesuai
dengan periode waktu yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(2) Pengiriman DKE Pembayaran pada tanggal yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu)
jam sejak pengaksepan perintah transfer dana.
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
4. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas
DKE Pembayaran yang diterima sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
verifikasi data keuangan elektronik pembayaran.
(2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan
atas hasil verifikasi DKE Pembayaran yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal
- 6 -
Penyelenggara melakukan Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1).
(3) Penerusan dana kepada nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan
paling lama 1 (satu) jam setelah Penyelenggara
melakukan Setelmen Dana.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku dalam hal terdapat perbedaan antara nama
atau nomor rekening nasabah penerima yang
tercantum pada perintah transfer dana dengan nama
atau nomor rekening nasabah penerima yang tercatat
pada Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan
penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga,
atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu
penerusan dana kepada nasabah penerima dan
besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
5. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas
kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang
dialami Peserta atau pihak ketiga sebagai akibat dari:
a. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat;
dan/atau;
b. permasalahan yang timbul dalam penyelesaian
transaksi karena kesalahan yang dilakukan oleh
Peserta.
- 7 -
6. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69A
(1) Peserta pengirim yang tidak mengirimkan DKE
Pembayaran kepada Peserta penerima sesuai batas
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2) dikenai sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
per 1 (satu) periode pemantauan.
(2) Peserta penerima yang tidak melakukan penerusan
dana kepada nasabah penerima sesuai batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (3) dikenai sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
per 1 (satu) periode pemantauan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
September 2019.
- 8 -
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 103
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/8/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA
DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan SKNBI yang aman, lancar, dan
efisien, Bank Indonesia telah menetapkan batas waktu pengiriman DKE
Transfer Dana oleh Peserta pengirim dan batas waktu penerusan dana oleh
Peserta penerima dalam Layanan Transfer Dana.
Untuk meningkatkan layanan penyelenggaraan SKNBI maka
dilakukan penyempurnaan melalui percepatan penetapan batas waktu
pengiriman DKE Transfer Dana oleh Peserta pengirim dan penerusan dana
oleh Peserta penerima dari masing-masing 2 (dua) jam menjadi masing-
masing 1 (satu) jam. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
percepatan batas waktu tersebut selain berlaku untuk Layanan Transfer
Dana, juga berlaku untuk Layanan Pembayaran Reguler.
Guna memberikan kepastian bahwa transaksi yang diproses melalui
Layanan Pembayaran Reguler SKNBI diselesaikan oleh Peserta pengirim
dan Peserta penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan maka dilakukan
penyempurnaan terhadap sanksi atas setiap keterlambatan dari
pelaksanaan pengiriman DKE Pembayaran dan penerusan dana,
sebagaimana yang telah diberlakukan pada Layanan Transfer Dana.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 55
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “permasalahan yang timbul
dalam penyelesaian transaksi karena kesalahan yang
dilakukan oleh Peserta” antara lain berupa:
a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen
Dana yang diakibatkan karena kelalaian Peserta;
b. pengiriman DKE dilakukan oleh pejabat yang tidak
berwenang;
c. kesalahan DKE yang dikirimkan oleh Peserta; dan
d. gangguan jaringan komunikasi dan/atau sistem
pada Peserta yang mengakibatkan keterlambatan
Setelmen Dana.
- 3 -
Angka 6
Pasal 69A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan”
adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan
pemantauan kepatuhan Peserta.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan”
adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan
pemantauan kepatuhan Peserta.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6355
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/8/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 24 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 1 September 2019 </effective_date>
<issued_date> 24 Mei 2019 </issued_date>
<changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg>
<extension_of> '19/15/PBI/2017' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '17/9/PBI/2015', '19/15/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 69A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 15/1/PBI/2013
TENTANG
LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia berwenang untuk mengatur
dan mengembangkan sistem informasi antar bank
maupun lembaga lain di bidang keuangan,
khususnya dalam rangka memperoleh dan
menyediakan informasi perkreditan;
b. bahwa selama ini penyelenggaraan sistem informasi
debitur yang dilakukan oleh Bank Indonesia
mencakup data penyediaan dana yang bersumber
dari lembaga keuangan dan menghasilkan informasi
perkreditan yang bersifat standar;
c. bahwa dalam rangka meminimalkan asymmetric
information untuk mendukung proses pelaksanaan
manajemen risiko khususnya risiko
kredit
oleh lembaga keuangan; menurunkan potensi
terjadinya adverse
selection dan moral hazard
dalam penyediaan dana; mengurangi kredit
bermasalah; mendorong penurunan biaya akuisisi
kredit …
- 2 -
kredit; mendorong penerapan risk-based pricing dan
reputational collateral; serta meningkatkan akses
pembiayaan yang inklusif, dibutuhkan perluasan
cakupan pertukaran dan pengelolaan data
perkreditan yang juga bersumber dari non lembaga
keuangan, serta tersedianya ragam produk dan
layanan informasi perkreditan yang memiliki nilai
tambah (value added services);
d. bahwa dalam rangka menetapkan kebijakan Bank
Indonesia di bidang moneter, stabilitas sistem
keuangan, makroprudensial dan mikroprudensial,
Bank Indonesia memerlukan informasi perkreditan
yang andal, komprehensif, dan terintegrasi;
mencakup data dari lembaga keuangan dan juga
data non lembaga keuangan;
e. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan
informasi perkreditan yang beragam, komprehensif,
dan memiliki nilai tambah
pengembangan pengelolaan informasi perkreditan
yang dilakukan oleh pihak lain selain Bank
Indonesia;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Bank
Indonesia tentang Lembaga Pengelola Informasi
Perkreditan;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun …
diperlukan
- 3 -
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LEMBAGA
PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN.
BAB I …
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan yang selanjutnya
disingkat LPIP adalah lembaga atau badan yang menghimpun dan
mengolah data kredit dan data lainnya untuk menghasilkan
informasi perkreditan.
2.
Informasi Perkreditan adalah produk dan/atau layanan yang
dihasilkan oleh LPIP secara tertulis, lisan, atau dengan metode
lainnya, yang bersumber dari data kredit dan data lainnya yang
dimiliki oleh LPIP.
3. Data Kredit adalah data mengenai kondisi fasilitas penyediaan
dana, pembiayaan dari lembaga keuangan non bank, dan/atau
fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Data Lainnya adalah data selain Data Kredit yang dapat
digunakan untuk menggambarkan kemampuan pihak tertentu
dalam memenuhi kewajiban keuangan.
5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana lembaga keuangan baik
dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk
kredit, surat berharga, penempatan, penyertaan modal,
penyertaan modal sementara, tagihan lainnya, dan transaksi
rekening administratif, serta bentuk penyediaan dana lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu, termasuk pembiayaan syariah.
6. Pembiayaan Syariah adalah Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
7. Lembaga …
- 5 -
7. Lembaga Keuangan adalah lembaga yang melakukan kegiatan di
bidang keuangan meliputi:
a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
b. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
c. Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
d. Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;
e. Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian; dan
f. Lembaga atau perusahaan lainnya, yang melakukan kegiatan
Penyediaan Dana atau yang dapat dipersamakan dengan itu.
8. Debitur atau Nasabah adalah setiap pihak baik perorangan
maupun badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas
Penyediaan Dana dan/atau kewajiban keuangan.
BAB II …
- 6 -
BAB II
KEGIATAN USAHA LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN
Pasal 2
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPIP terdiri dari:
a. menghimpun Data Kredit dan/atau Data Lainnya; dan
b. mengolah Data Kredit dan/atau Data Lainnya,
untuk menghasilkan Informasi Perkreditan.
Pasal 3
(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, LPIP dapat menghasilkan Informasi Perkreditan
berdasarkan kategori Debitur atau Nasabah, antara lain:
a.
ritel (consumer);
b. komersial (commercial); dan/atau
c. usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta LPIP untuk
menghasilkan Informasi Perkreditan berdasarkan kategori
tertentu, untuk mendukung program dalam rangka memajukan
perekonomian Indonesia.
Pasal 4
Informasi Perkreditan yang dihasilkan oleh LPIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, baik yang bersifat individual maupun agregat,
memuat antara lain mengenai:
a. kelayakan …
- 7 -
a. kelayakan Debitur atau Nasabah untuk memperoleh Penyediaan
Dana;
b. rekam jejak reputasi Debitur atau Nasabah dalam memenuhi
kewajiban Penyediaan Dana;
c. kemampuan Debitur atau Nasabah untuk memenuhi kewajiban
Penyediaan Dana;
d. karakter Debitur atau Nasabah; dan
e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk menilai
kemampuan Debitur atau Nasabah.
BAB III
KELEMBAGAAN LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN
Bagian Kesatu
Badan Hukum dan Modal Disetor
Pasal 5
(1) Setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai LPIP wajib
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
(2) Bentuk hukum LPIP wajib berupa Perseroan Terbatas.
Pasal 6
(1) Modal disetor untuk mendirikan LPIP ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Sumber dana untuk kepemilikan LPIP:
a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
b. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
(3) LPIP …
- 8 -
(3) LPIP wajib mencadangkan sebagian dari profitnya untuk
peningkatan teknologi, infrastruktur dan sumber daya manusia.
Bagian Kedua
Pemegang Saham
Pasal 7
(1) Pemegang saham LPIP wajib berbentuk badan hukum Indonesia.
(2) Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimiliki oleh:
a. badan hukum Indonesia; atau
b. badan hukum Indonesia dengan badan hukum asing secara
kemitraan.
Pasal 8
(1) Kepemilikan saham LPIP oleh setiap pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) paling tinggi
sebesar 51% (lima puluh satu persen) dari modal disetor.
(2) Batas maksimal kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga terhadap kepemilikan berdasarkan
keterkaitan antar pemegang saham.
(3) Dalam hal pemegang saham LPIP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) juga memiliki saham di LPIP lainnya, maka total
kepemilikan saham terhadap seluruh LPIP yang dimilikinya paling
tinggi sebesar 51% (lima puluh satu persen).
(4) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat_(2) huruf b wajib memiliki pengalaman di industri
pengelolaan informasi perkreditan.
Pasal 9 …
- 9 -
Pasal 9
Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan
operasional LPIP yang sehat; dan
c. tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet.
Bagian Ketiga
Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 10
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris LPIP wajib
memenuhi persyaratan:
a. integritas, yang paling kurang mencakup:
1) memiliki akhlak dan moral yang baik;
2) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) memiliki komitmen untuk melaksanakan prinsip Good
Corporate Governance;
4) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan
operasional LPIP yang sehat; dan
5) memiliki komitmen yang tinggi untuk menjaga
kerahasiaan serta keamanan data dan informasi;
b. kompetensi, yang paling kurang mencakup:
1) pengetahuan di bidang yang relevan dengan jabatannya;
dan
2) kemampuan …
- 10 -
2) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan LPIP;
c. reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1) tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet; dan
2) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam
waktu 5 (lima) tahun sebelum mengajukan permohonan.
(2) Paling kurang salah satu anggota Direksi wajib memiliki
pengetahuan dan/atau pengalaman di industri pengelolaan
informasi perkreditan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Jumlah anggota Direksi paling kurang berjumlah 3 (tiga) orang.
(2) Paling kurang 50% (lima puluh persen) anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Warga Negara
Indonesia.
(3) Anggota Direksi hanya dapat merangkap jabatan sebagai Direktur,
anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif dari
perusahaan, organisasi, atau lembaga yang bersifat nirlaba.
Pasal 12
(1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling kurang berjumlah 2 (dua)
orang …
- 11 -
orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi.
(2) Paling kurang 50% (lima puluh persen) anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan warga negara
Indonesia.
Bagian Keempat
Tenaga Kerja Asing
Pasal 13
(1) LPIP dapat memanfaatkan tenaga kerja asing dalam menjalankan
kegiatan usahanya dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) LPIP hanya dapat memanfaatkan tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk jabatan-jabatan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau tenaga ahli/konsultan.
(3) Dalam menggunakan tenaga ahli/konsultan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), LPIP wajib:
a. mempertimbangkan terlebih dahulu ketersediaan tenaga
ahli/konsultan lokal untuk bidang dan keahlian yang
dibutuhkan;
b. menyediakan 2 (dua) orang tenaga ahli/konsultan lokal untuk
mendampingi masing-masing tenaga kerja asing; dan
c. memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan.
(4) Penggunaan tenaga kerja asing wajib mendapat persetujuan dari
Bank Indonesia.
Pasal 14 …
- 12 -
Pasal 14
(1) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
wajib memenuhi persyaratan:
a. memenuhi kualifikasi keahlian;
b. tidak memiliki jabatan di Lembaga Keuangan baik yang
berkedudukan di Indonesia maupun di luar Indonesia; dan
c. memiliki pengetahuan mengenai ekonomi, bahasa, dan
budaya Indonesia.
(2) Untuk tenaga kerja asing yang menjabat sebagai anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris, selain memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 15
(1) Masa jabatan tenaga kerja asing wajib berpedoman pada
ketentuan dan peraturan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan.
(2) LPIP wajib menyampaikan rencana penggunaan tenaga kerja asing
beserta perubahannya kepada Bank Indonesia setiap tahun.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan tenaga kerja
asing diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV …
- 13 -
BAB IV
PERIZINAN LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN
Pasal 17
(1) LPIP hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
dengan izin dari Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam 2 (dua) tahapan, yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b. izin usaha.
Bagian Kesatu
Persetujuan Prinsip
Pasal 18
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a diajukan
secara tertulis kepada Bank Indonesia, paling kurang oleh salah
satu calon pemegang saham kepada Bank Indonesia, disertai
dengan:
a. rancangan akta pendirian Perseroan Terbatas, termasuk
rancangan anggaran dasar;
b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham
berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham;
c.
daftar susunan calon anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris;
d. rencana susunan dan struktur organisasi serta sumber daya
manusia;
e. rencana …
- 14 -
e. rencana bisnis untuk 3 (tiga) tahun pertama;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang;
g. rancangan sistem teknologi informasi yang akan digunakan;
h. rancangan kebutuhan Data Kredit dari Lembaga Keuangan
yang akan diperoleh dari Bank Indonesia;
i. pedoman sistem pengendalian intern dan pedoman mengenai
pelaksanaan Good Corporate Governance;
kebijakan dan prosedur operasional;
j.
k. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen)
dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada
Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank
Indonesia q.q. salah satu calon pemegang saham untuk
pendirian LPIP yang bersangkutan” dengan mencantumkan
keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur
Bank Indonesia; dan
l.
surat pernyataan dari calon pemegang saham LPIP, bahwa
setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf k:
1) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain;
dan/atau
2) tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 19 …
- 15 -
Pasal 19
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
diberikan oleh Bank Indonesia paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b.
analisis terhadap hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i,
dan huruf j; dan
c. wawancara terhadap calon pemegang saham, calon anggota
Direksi, dan/atau calon anggota Dewan Komisaris, apabila
diperlukan.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), calon
pemegang saham yang mengajukan permohonan pendirian LPIP
wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai
keseluruhan rencana pendirian LPIP.
Pasal 20
(1) Persetujuan prinsip berlaku paling lama 18 (delapan belas) bulan
sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip dilarang
melakukan kegiatan usaha sebagai LPIP, sebelum mendapat izin
usaha.
(3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum
mengajukan …
- 16 -
mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia maka
persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat kembali
mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
setelah 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pihak yang tidak mendapat persetujuan prinsip dari Bank
Indonesia dapat kembali mengajukan permohonan untuk
mendapatkan persetujuan prinsip setelah 1 (satu) tahun sejak
tanggal penolakan dari Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Izin Usaha
Pasal 21
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b diajukan secara tertulis
kepada Bank Indonesia oleh Direksi dari LPIP yang telah
mendapat persetujuan prinsip, disertai dengan:
a. akta pendirian Perseroan Terbatas, yang memuat anggaran
dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham;
c.
daftar susunan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j, dalam
hal terjadi perubahan;
e. arsitektur sistem teknologi informasi yang akan digunakan;
f. bukti …
- 17 -
f.
bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dalam bentuk:
1) dana tunai, yang dibuktikan dengan fotokopi bilyet
deposito pada bank di Indonesia dan atas nama “Dewan
Gubernur Bank Indonesia q.q. salah satu pemegang
saham LPIP yang bersangkutan” dengan mencantumkan
keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan
Gubernur Bank Indonesia; dan/atau
2) bentuk lainnya, yang besarnya ditentukan oleh LPIP
berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan
harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan
LPIP;
g. bukti kesiapan operasional; dan
h. surat pernyataan dari pemegang saham LPIP, bahwa setoran
modal sebagaimana dimaksud dalam huruf f:
1) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain;
dan/atau
2) tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 22 …
- 18 -
Pasal 22
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
diberikan oleh Bank Indonesia paling lama 80 (delapan puluh) hari
kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b.
analisis terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf d;
c.
penilaian terhadap sistem teknologi informasi yang akan
digunakan berdasarkan arsitektur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; dan
d. analisis lainnya berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) LPIP yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib
melakukan kegiatan usaha paling lama 60 (enam puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia oleh Direksi paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan
usaha.
(3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) LPIP belum melakukan kegiatan usaha, izin usaha yang
telah diterbitkan menjadi tidak berlaku.
(4) LPIP yang izin usahanya tidak berlaku sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat kembali mengajukan permohonan untuk
mendapatkan …
- 19 -
mendapatkan persetujuan prinsip, setelah 1 (satu) tahun sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 24
LPIP yang tidak mendapat izin usaha dari Bank Indonesia, dapat
mengajukan permohonan kembali untuk mendapatkan persetujuan
prinsip, setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal penolakan dari Bank
Indonesia.
BAB V
PERUBAHAN MODAL DISETOR, PEMEGANG SAHAM,
ANGGOTA DIREKSI, DAN/ATAU ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Perubahan Modal Disetor
Pasal 25
(1) LPIP wajib melaporkan penambahan jumlah modal disetor kepada
Bank Indonesia.
(2) Perubahan jumlah modal disetor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan mengenai batasan kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2).
(3) Laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1) disertai dengan surat pernyataan dari pemegang saham
LPIP bahwa perubahan modal disetor:
a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
b. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
Bagian Kedua …
- 20 -
Bagian Kedua
Perubahan Pemegang Saham, Anggota Direksi, dan/atau Anggota
Dewan Komisaris
Pasal 26
(1) Perubahan terhadap komposisi kepemilikan LPIP baik yang
mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian,
pengurangan, dan/atau penambahan jumlah pemilik wajib
mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan perubahan
komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis, disertai dengan data kepemilikan berupa
daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham.
Pasal 27
(1) Dalam hal LPIP akan melakukan perubahan susunan anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, maka calon anggota
Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki
jabatannya.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPIP kepada Bank Indonesia
dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf c.
(3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota
Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan ketentuan
perundang-undangan …
- 21 -
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
seluruh persyaratan terpenuhi.
(5) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan Bank Indonesia.
(6) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan secara
tertulis oleh LPIP kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang saham.
Pasal 28
Calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang belum
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dilarang menjalankan
tugas dan fungsi sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris walaupun sudah mendapat persetujuan dari Rapat Umum
Pemegang Saham.
Pasal 29
(1) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris yang akan berhenti dan/atau mengundurkan diri, LPIP
wajib memastikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 tetap terpenuhi.
(2) Pemberhentian …
- 22 -
(2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan secara tertulis oleh LPIP kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal efektif
pemberhentian dan/atau pengunduran diri.
Pasal 30
(1) Dalam hal LPIP akan melakukan akuisisi, merger, atau konsolidasi
dengan LPIP lain, masing-masing LPIP wajib mendapatkan
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan akuisisi, merger,
atau konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis, disertai dengan data rencana akuisisi, merger, atau
konsolidasi.
Pasal 31
(1) Persetujuan
atau
diberikan
penolakan
terhadap
oleh Bank Indonesia
permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan/atau Pasal 27
ayat (2)
paling lama
60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) LPIP wajib menyampaikan laporan mengenai perubahan komposisi
kepemilikan, jumlah modal disetor, dan/atau pelaksanaan
akuisisi, merger, atau konsolidasi paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja setelah tanggal selesainya proses tersebut.
Pasal 32 …
- 23 -
Pasal 32
Rincian tata cara perubahan komposisi kepemilikan, jumlah modal
disetor, dan/atau pelaksanaan akuisisi, merger, atau konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 30 diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN LPIP
Pasal 33
(1) LPIP yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dapat menghimpun dan mengolah Data Kredit dan Data
Lainnya.
(2) Data Kredit dan Data Lainnya yang dihimpun dan diolah oleh LPIP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan
untuk menghasilkan Informasi Perkreditan.
Pasal 34
LPIP wajib:
a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data;
b. memiliki sistem yang andal;
c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang dituangkan
dalam pedoman tertulis; dan
d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang
menggunakan Informasi Perkreditan.
Pasal 35 …
- 24 -
Pasal 35
Kebijakan dan prosedur operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_34 huruf c paling kurang meliputi:
a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data;
b. level akses;
c. prosedur pengubahan data;
d. pengamanan informasi;
e. Business Continuity Plan;
f. End-user computing;
g. Disaster Recovery Plan;
h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit trail;
i. prosedur pemberian Informasi Perkreditan; dan
j. prosedur penanganan dan penyelesaian pengaduan.
BAB VII
PENGELOLAAN DATA OLEH LPIP
Bagian Kesatu
Sumber dan Alur Data
Pasal 36
(1) Dalam menyelenggarakan kegiatan menghimpun dan mengolah
data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPIP memperoleh
Data Kredit dari Bank Indonesia.
(2) Data Kredit dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1) merupakan data yang disajikan dan dilaporkan kepada
Bank Indonesia oleh Lembaga Keuangan sebagai Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
mengenai …
- 25 -
mengenai pelaporan Data Kredit.Ketenhan Data Kredit daran donesia
.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme perolehan Data
Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan Data Kredit
dan Data Lainnya, LPIP dapat melakukan kerjasama dengan:
a. Lembaga Keuangan, untuk Data Kredit; dan/atau
b. Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan, untuk
Data Lainnya.
(2) LPIP dapat memperoleh data sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara langsung berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 38
(1) Perolehan Data Kredit oleh LPIP dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dikenakan biaya perolehan data.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 39
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia dapat
meminta …
- 26 -
meminta data yang diperoleh LPIP secara langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme permintaan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Pengelolaan Data
Pasal 40
LPIP wajib melakukan upaya untuk meyakini bahwa pemanfaatan Data
Kredit dan Data Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 telah
diinformasikan oleh sumber data kepada Debitur atau Nasabah yang
bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pengelolaan Data Kredit dan Data Lainnya oleh LPIP mencakup
kegiatan namun tidak terbatas pada penghimpunan, pengolahan,
dan pendistribusian data.
(2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1), LPIP wajib berpedoman pada ketentuan dan peraturan
perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi
elektronik.
(3) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1), LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan
untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan
data.
Pasal 42 …
- 27 -
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pengelolaan Data Kredit dan Data Lainnya, LPIP
dilarang:
a. dengan sengaja mengubah Data Kredit dan/atau Data
Lainnya yang diperoleh LPIP dari Bank Indonesia, Lembaga
Keuangan, dan/atau non Lembaga Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37; dan/atau
b. memindahkan, menyalin, dan/atau membuat dapat
diaksesnya Data Kredit dan Data Lainnya kepada/oleh pihak
lain baik di dalam maupun di luar wilayah Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
berlaku bagi LPIP dalam hal:
a. Lembaga Keuangan dan non Lembaga Keuangan yang
memberikan Data Kredit dan/atau Data Lainnya secara
langsung kepada LPIP, tidak dapat melakukan pengkinian
data;
b. LPIP melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi LPIP yang memindahkan Data Kredit dan Data
Lainnya kepada LPIP lain di dalam wilayah Republik Indonesia,
berdasarkan perjanjian dan telah mendapatkan persetujuan dari
Lembaga Keuangan dan non Lembaga Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37.
(4) LPIP melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada
ayat_(2) huruf a apabila:
a. Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan
dicabut …
- 28 -
dicabut izin usahanya; atau
b. secara teknis Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga
Keuangan tidak mampu melakukan pengkinian data karena
sebab lainnya.
(5) Pengkinian data oleh LPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari:
a. pihak yang ditunjuk untuk melakukan penyelesaian
kewajiban Lembaga Keuangan dan/atau non Lembaga
Keuangan, dalam hal Lembaga Keuangan dan/atau non
Lembaga Keuangan dicabut izin usahanya; atau
b. Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, Debitur atau
Nasabah yang bersangkutan, dalam hal Lembaga Keuangan
dan/atau non Lembaga Keuangan secara teknis tidak mampu
melakukan pengkinian data karena sebab lainnya.
Pasal 43
Dalam rangka menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan
kerahasiaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, LPIP
wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik
Indonesia.
Pasal 44
(1) LPIP dapat menggunakan jasa pihak lain dalam rangka
mendukung pelaksanaan kegiatan operasional LPIP.
(2) LPIP wajib memastikan bahwa pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan data dan
Informasi …
- 29 -
Informasi Perkreditan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini
dan seluruh ketentuan pelaksanaannya.
BAB VIII
INFORMASI PERKREDITAN
Bagian Kesatu
Informasi Perkreditan
Pasal 45
(1) LPIP wajib menghasilkan Informasi Perkreditan yang mempunyai
nilai tambah.
(2) Informasi Perkreditan yang mempunyai nilai tambah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah informasi yang dihasilkan dari
pengolahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya oleh LPIP selain
informasi standar.
Pasal 46
Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilarang
memuat data yang:
a. sedang dalam proses pengaduan atau klarifikasi keakuratan;
b. tidak diketahui sumbernya;
c. tidak diketahui secara jelas identitasnya;
d. mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan; dan
e. dinyatakan rahasia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Pasal 47 …
- 30 -
Pasal 47
(1) Periode Data Kredit yang diolah oleh LPIP untuk menghasilkan
Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
diatur sebagai berikut:
a. Data Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1),
paling singkat untuk posisi 2 (dua) tahun ke belakang
terhitung sejak tanggal kondisi terkini;
b. khusus Data Kredit mengenai tunggakan Penyediaan Dana,
tetap diolah oleh LPIP sampai dengan Penyediaan Dana
tersebut dilunasi, atau dihapustagihkan oleh Lembaga
Keuangan.
(2) Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan:
a. data jumlah permintaan terhadap Informasi Perkreditan atas
nama Debitur atau Nasabah tertentu, selama paling singkat
1_(satu) tahun ke belakang terhitung sejak tanggal kondisi
terkini;
b. data mengenai Informasi Perkreditan atas nama Debitur atau
Nasabah tertentu yang menjadi obyek pengaduan, selama
paling singkat 1 (satu) tahun sejak tanggal diselesaikannya
pengaduan tersebut.
(3) Periode untuk data yang dapat disajikan dalam Informasi
Perkreditan selain dari ketentuan yang diatur pada ayat (1) dan
ayat_(2) ditetapkan oleh LPIP.
Pasal 48 …
- 31 -
Pasal 48
Jadwal retensi penyimpanan seluruh data yang dikelola oleh LPIP wajib
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai dokumen perusahaan.
Pasal 49
(1) LPIP wajib menyediakan Informasi Perkreditan dalam Bahasa
Indonesia.
(2) Dalam hal dibutuhkan, LPIP dapat menyediakan Informasi
Perkreditan dalam bahasa lainnya dengan tetap memperhatikan
ketentuan pada ayat (1).
Bagian Kedua
Pemberian Informasi Perkreditan
Pasal 50
Pihak yang dapat memperoleh Informasi Perkreditan adalah:
a. Lembaga Keuangan yang menjadi anggota dari LPIP;
b. non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat_(1) huruf b yang menjadi sumber data LPIP yang
bersangkutan;
c. LPIP lain;
d. Debitur atau Nasabah; dan/atau
e. pihak lain.
Pasal 51 …
- 32 -
Pasal 51
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, huruf b,
huruf_c, dan huruf d dapat memperoleh Informasi Perkreditan sesuai
dengan tata cara yang dipersyaratkan oleh LPIP dan/atau berdasarkan
perjanjian para pihak.
Pasal 52
(1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e dapat
memperoleh Informasi Perkreditan dalam rangka melaksanakan
fungsi dan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Permohonan Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan secara tertulis dengan menyebutkan maksud dan
tujuan permintaan Informasi Perkreditan dan nama pejabat yang
berwenang.
Pasal 53
LPIP wajib mengadministrasikan seluruh permintaan terhadap
Informasi Perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
Pasal 54
Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a
hanya dapat menggunakan Informasi Perkreditan yang berupa
informasi …
- 33 -
informasi standar dan/atau yang mempunyai nilai tambah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk keperluan Lembaga
Keuangan yang bersangkutan dalam rangka:
a. kelancaran proses Penyediaan Dana untuk menilai kondisi
keuangan Debitur atau calon Debitur Lembaga Keuangan;
b. penerapan manajemen risiko dalam menunjang kegiatan
operasional Lembaga Keuangan; dan/atau
c. pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 55
Pemberian Informasi Perkreditan oleh LPIP kepada non Lembaga
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b hanya dapat
diberikan dalam rangka:
a. memperlancar dan mengamankan kegiatan operasional non
Lembaga Keuangan; dan/atau
b. pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 56
Pemberian Informasi Perkreditan kepada LPIP lain sebagaimana
dimaksud pada Pasal 50 huruf c hanya dapat dilakukan dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha LPIP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_2.
Pasal 57 …
- 34 -
Pasal 57
Pemberian Informasi Perkreditan oleh LPIP kepada Debitur atau
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d terbatas pada
Informasi Perkreditan atas nama Debitur atau Nasabah yang
bersangkutan.
Pasal 58
(1) LPIP dapat mengenakan biaya terhadap pemberian Informasi
Perkreditan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_50.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal permintaan Informasi Perkreditan diajukan:
a. dalam rangka verifikasi pengaduan Debitur atau Nasabah
terhadap kesalahan data dalam Informasi Perkreditan yang
telah dikoreksi;
b. dalam rangka melaksanakan perintah dari pengadilan;
dan/atau
c. oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
huruf_e.
(3) Debitur atau Nasabah dapat memperoleh Informasi Perkreditan
tanpa dikenakan biaya oleh LPIP sebanyak 1 (satu) kali dalam
kurun waktu 12 (dua belas) bulan.
BAB IX …
- 35 -
BAB IX
PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN
Pasal 59
(1) LPIP wajib menindaklanjuti pengaduan yang diajukan oleh setiap
pihak mengenai ketidakakuratan data pada Informasi Perkreditan
yang dihasilkan oleh LPIP.
(2) Dalam menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), LPIP melakukan penelitian atas permasalahan yang
diadukan berdasarkan dokumen dan/atau data yang dimiliki oleh
LPIP.
(3) Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), LPIP dapat berkoordinasi dengan pihak yang memberikan
Data Kredit atau Data Lainnya kepada LPIP.
Pasal 60
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat_(3),
pengaduan Debitur atau Nasabah disebabkan karena
ketidakakuratan hasil olahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya
oleh LPIP maka LPIP wajib menindaklanjuti dengan melakukan
koreksi.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat_(3),
pengaduan Debitur atau Nasabah disebabkan karena
ketidakakuratan Data Kredit atau Data Lainnya dari:
a. Lembaga …
- 36 -
a. Lembaga Keuangan yang merupakan anggota LPIP, dan/atau
non Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_37 ayat (1) huruf b, maka LPIP meneruskan pengaduan
Debitur atau Nasabah secara langsung kepada Lembaga
Keuangan dan/atau non Lembaga Keuangan tersebut, dengan
tembusan kepada Bank Indonesia.
b. Lembaga Keuangan yang bukan merupakan anggota LPIP
dimaksud, maka LPIP meneruskan pengaduan Debitur atau
Nasabah kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka menyelesaikan pengaduan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (1), LPIP wajib memiliki kebijakan dan
prosedur tertulis yang paling kurang meliputi:
a. penerimaan pengaduan;
b. penanganan dan penyelesaian pengaduan;
c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan
d. perangkat organisasi yang menangani pengaduan.
Pasal 61
(1) LPIP wajib menyelesaikan pengaduan Debitur atau Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) yang disebabkan
ketidakakuratan hasil olahan Data Kredit dan/atau Data Lainnya
oleh LPIP paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya pengaduan.
(2) Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPIP dapat meminta
kepada Debitur atau Nasabah untuk perpanjangan batas waktu
penyelesaian pengaduan paling lama 20_(dua puluh) hari kerja.
(3) LPIP …
- 37 -
(3) LPIP wajib menginformasikan batas waktu penyelesaian
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada pihak yang mengajukan pengaduan.
(4) Dalam hal LPIP telah menyelesaikan pengaduan Debitur atau
Nasabah, LPIP wajib menginformasikan hasil penyelesaian
pengaduan dimaksud kepada Debitur atau Nasabah secara tertulis
dan/atau menggunakan sarana teknologi informasi sesuai
permintaan Debitur atau Nasabah.
Pasal 62
(1) LPIP wajib memberikan tanda terhadap data dalam Informasi
Perkreditan yang sedang dalam proses pengaduan sampai dengan
seluruh proses pengaduan selesai.
(2) LPIP wajib mengadministrasikan seluruh pengaduan yang
diterima.
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap LPIP.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Bank Indonesia secara langsung (on-site) dan/atau tidak langsung
(off-site).
Pasal 64 …
- 38 -
Pasal 64
(1) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (2), Bank Indonesia melakukan pemeriksaan
secara berkala dan setiap waktu apabila diperlukan.
(2) Pemeriksaan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sekali.
Pasal 65
(1) Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
mencakup teknologi yang digunakan, governance terhadap
pengelolaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
pengamanan data, dan penanganan pengaduan, serta hal lainnya
yang dipandang perlu oleh Bank lndonesia.
(2) Untuk cakupan tertentu, pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dilakukan oleh pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 66
LPIP wajib memberikan kepada Bank Indonesia keterangan dan data
yang diminta, kesempatan untuk melihat semua pembukuan,
dokumen, sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, dan
hal-hal lain yang diperlukan.
Pasal 67 …
- 39 -
Pasal 67
Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (2), LPIP wajib menyampaikan laporan tertulis
berupa:
a. laporan bulanan;
b. laporan semesteran;
c. laporan tahunan;
d. rencana bisnis tahunan; dan
e. laporan lainnya yang bersifat insidentil.
Pasal 68
(1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a
memuat statistik data yang tercatat di LPIP, paling kurang terdiri
dari:
a. data total Debitur atau Nasabah;
b. data total fasilitas Penyediaan Dana;
c. data jumlah Lembaga Keuangan yang menjadi anggota LPIP
dan non Lembaga Keuangan yang menjadi sumber data;
d. data mengenai jumlah permintaan Informasi Perkreditan; dan
e. data mengenai penanganan pengaduan Debitur atau
Nasabah.
(2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
(3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan
apabila penyampaian laporan bulanan melampaui batas waktu
sebagaimana …
- 40 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan akhir bulan
setelah bulan laporan yang bersangkutan.
(4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan bulanan apabila
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan
oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 69
(1) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf_b memuat laporan keuangan LPIP.
(2) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya
periode laporan yang bersangkutan.
(3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan semesteran
apabila penyampaian laporan semesteran melampaui batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi belum
melampaui 1_(satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian
laporan.
(4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan semesteran apabila
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan
oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 70
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c
paling kurang memuat:
a. informasi…
- 41 -
a. informasi umum yang meliputi: kepengurusan, kepemilikan,
perkembangan usaha LPIP, dan laporan manajemen;
b. laporan keuangan tahunan yang meliputi laporan posisi
keuangan (neraca), laporan laba rugi, laporan perubahan
ekuitas, dan laporan arus kas;
c. opini dari akuntan publik; dan
d. aspek pengungkapan lain yang diwajibkan dalam standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
diaudit oleh akuntan publik.
(3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
disampaikan paling lama tanggal 31 Mei tahun berikutnya.
(4) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan tahunan
apabila penyampaian laporan tahunan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum melampaui
1_(satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan
tahunan.
(5) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan laporan tahunan apabila
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan
oleh LPIP sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Pasal 71
(1) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf d paling kurang meliputi:
a. kebijakan dan strategi manajemen;
b. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;
c. rencana permodalan;
d. rencana …
- 42 -
d. rencana pengembangan teknologi sistem informasi; dan
e. rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas
baru.
(2) LPIP wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lama pada
akhir bulan November sebelum tahun rencana bisnis tahunan
dimulai.
(3) LPIP dinyatakan terlambat menyampaikan rencana bisnis tahunan
apabila penyampaian rencana bisnis tahunan melampaui batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi belum
melampaui 1 (satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian
rencana bisnis tahunan.
(4) LPIP dinyatakan tidak menyampaikan rencana bisnis tahunan
apabila rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat_(1) belum disampaikan oleh LPIP sampai dengan berakhirnya
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB XI
PENGHENTIAN DAN PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 72
(1) LPIP yang akan menghentikan kegiatan usahanya wajib
menyampaikan permohonan penghentian tersebut kepada Bank
Indonesia secara tertulis yang wajib dilampiri dengan:
a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai rencana
penghentian kegiatan usaha LPIP;
b. alasan penghentian;
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban (action plan);
d. laporan keuangan terakhir; dan
e. bukti …
- 43 -
e. bukti penyelesaian pajak berdasarkan hasil pemeriksaan
Kantor Pelayanan Pajak untuk 3 (tiga) tahun terakhir sebelum
tanggal permohonan.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia menerbitkan surat penghentian kegiatan usaha
LPIP dan mewajibkan LPIP untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha LPIP;
b. mengumumkan rencana pembubaran Perseroan Terbatas
LPIP dan rencana penyelesaian kewajiban LPIP dalam 2 (dua)
surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerbitan surat
penghentian kegiatan usaha;
c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban LPIP; dan
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi
atas penyelesaian kewajiban LPIP.
Pasal 73
(1) Apabila seluruh kewajiban LPIP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_72 ayat (2) huruf c telah diselesaikan, Direksi LPIP
mengajukan permohonan pencabutan izin usaha LPIP kepada
Bank Indonesia, disertai dengan laporan yang paling kurang
memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_72 ayat (2) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban LPIP;
d. laporan hasil verifikasi dari kantor akuntan publik atas
penyelesaian kewajiban LPIP; dan
e. surat …
- 44 -
e. surat pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah-
langkah penyelesaian kewajiban LPIP telah diselesaikan dan
apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung
jawab pemegang saham.
(2) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan surat
keputusan pencabutan izin usaha LPIP dan meminta LPIP untuk
melakukan pembubaran Perseroan Terbatas sesuai ketentuan
yang berlaku.
(3) Sejak tanggal surat keputusan pencabutan izin usaha diterbitkan,
apabila di kemudian hari masih terdapat kewajiban yang belum
diselesaikan, maka segala kewajiban dimaksud menjadi tanggung
jawab pemegang saham LPIP.
Pasal 74
(1) Bank Indonesia berwenang mencabut izin usaha yang telah
diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b
dengan menerbitkan surat keputusan, apabila:
a. LPIP melakukan pelanggaran ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini dengan sanksi berupa pencabutan izin
usaha; dan/atau
b. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 72
ayat_(2) dan Pasal 73.
Pasal 75 …
- 45 -
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
SANKSI
Pasal 76
(1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per hari kerja keterlambatan.
(2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 77
(1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan semesteran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 78 …
- 46 -
Pasal 78
(1) LPIP yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) dan/atau rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) dan/atau rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) per laporan.
Pasal 79
LPIP yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4), Pasal 69 ayat (4), Pasal 70 ayat (5),
dan Pasal 71 ayat (4) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut
kepada Bank Indonesia.
Pasal 80
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia diketahui
LPIP memberikan Informasi Perkreditan kepada pihak selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk
setiap Informasi Perkreditan dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 81 …
- 47 -
Pasal 81
(1) LPIP yang melakukan pengolahan Data Kredit dan Data Lainnya
yang menyebabkan ketidakakuratan Informasi Perkreditan yang
dihasilkan LPIP, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap
Debitur atau Nasabah, dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) LPIP yang melakukan pengolahan Data Kredit dan Data Lainnya
yang menyebabkan ketidakakuratan Informasi Perkreditan yang
dihasilkan LPIP, selain dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPIP dapat dikenakan
sanksi administratif berupa penghentian layanan Informasi
Perkreditan dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) LPIP yang tidak menyelesaikan pengaduan Debitur atau Nasabah
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat_(1) dan ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per pengaduan.
Pasal 82
(1) LPIP yang diketahui melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam:
a. Pasal 6, Pasal 7, dan/atau Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), yang
menyebabkan terganggunya operasional LPIP secara
signifikan; dan/atau
b. Pasal …
- 48 -
b. Pasal 42 dan/atau Pasal 43 yang menyebabkan kerugian bagi
masyarakat luas dan/atau kepentingan negara,
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis,
Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis
kedua, Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis ketiga.
(4) Dalam hal LPIP tidak menindaklanjuti teguran tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis
ketiga, Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa pencabutan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1).
(5) Sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
ayat_(4) dilakukan dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
Pasal 83
LPIP yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (4),
Pasal_14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26,
Pasal 27 ayat_(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 28, Pasal 29 ayat
(2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 34, Pasal 40, Pasal_41
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (2),
Pasal 45 …
- 49 -
Pasal 45 ayat_(1), Pasal 46, Pasal_47 ayat (2), Pasal_48, Pasal 49
ayat_(1), Pasal 50, Pasal_53, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59
ayat_(1), Pasal 60 ayat_(1) dan ayat (3), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 62, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68 ayat (2), Pasal 69 ayat (2),
Pasal_70 ayat (2) dan ayat_(3), Pasal 71 ayat (2), Pasal 72 ayat (1),
Pasal_73 ayat (1), Pasal_79, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84
(1) Pihak yang telah melakukan kegiatan usaha LPIP sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku wajib memperoleh izin
usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal_17 ayat (2) huruf b.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin
usaha dari Bank Indonesia paling lama 1 (satu) tahun dan
6_(enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
memenuhi kondisi yang menjadi prasyarat untuk memperoleh izin
usaha dari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dapat
memberikan perpanjangan waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat_(2).
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penilaian
melalui penelitian dan wawancara terhadap pemegang saham,
anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris.
(5) Pihak …
- 50 -
(5) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sampai batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia, dilarang melakukan
kegiatan usaha LPIP.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 86
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 51 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Februari 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Februari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 36
DPIP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/1/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA PENGELOLA INFORMASI PERKREDITAN </reg_title>
<set_date> 18 Februari 2013 </set_date>
<effective_date> 18 Februari 2013 </effective_date>
<issued_date> 18 Februari 2013 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI Pasal 74', 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/15/PBI/201820/
TENTANG
HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
/PBI/2018
Menimbang : a. bahwa penanganan permasalahan solvabilitas bank
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan
stabilitas sistem keuangan;
b. bahwa salah satu upaya penanganan permasalahan
solvabilitas bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan dapat
dilakukan melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban bank kepada bank perantara;
c. bahwa untuk menjamin terlaksananya kegiatan
operasional bank perantara diperlukan pengaturan terkait
hubungan operasional bank perantara dengan Bank
Indonesia termasuk pengalihan persetujuan dan/atau izin
secara cepat dan hati-hati;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Hubungan Operasional
Bank Perantara dengan Bank Indonesia;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5872);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN
OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan dan bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
- 3 -
2. Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai
sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian
atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank yang
ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya
menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan
dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
3. Bank Asal adalah bank yang sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajibannya dialihkan kepada Bank Perantara
untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank yang
dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat
LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
6. Sistem Pembayaran Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SPBI adalah penyelenggaraan
pembayaran oleh Bank Indonesia.
7. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya
disingkat PJSP adalah Bank yang menyelenggarakan
kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
8. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa
pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah.
9. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
sistem
- 4 -
Pasal 2
(1) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan SPBI
setelah memperoleh konfirmasi pengalihan persetujuan
kepesertaan dari Bank Indonesia.
(2) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan dalam
Operasi Moneter setelah memperoleh konfirmasi
pengalihan izin kepesertaan dari Bank Indonesia.
(3) Bank Perantara hanya dapat melakukan kegiatan sebagai
PJSP setelah memperoleh konfirmasi pengalihan izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 3
Pemberian konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan setelah LPS memenuhi ketentuan:
a. penyampaian rencana pendirian Bank Perantara;
b. penyampaian persetujuan prinsip pendirian Bank
Perantara yang diperoleh dari OJK;
c. penyampaian permohonan pengalihan persetujuan
dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP
bagi Bank Perantara; dan
d. penyampaian izin usaha Bank Perantara yang diperoleh
dari OJK.
- 5 -
BAB II
PENGALIHAN PERSETUJUAN DAN/ATAU IZIN
Bagian Kesatu
Penyampaian Rencana Pendirian dan Persetujuan Prinsip
Pendirian Bank Perantara
Pasal 4
(1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai rencana pendirian Bank Perantara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yang
memuat informasi mengenai permohonan persetujuan
prinsip pendirian Bank Perantara kepada OJK dengan
melampirkan fotokopi surat dan dokumen terkait.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan pada tanggal yang sama dengan
penyampaian surat permohonan persetujuan prinsip
pendirian Bank Perantara kepada OJK.
Pasal 5
(1) Selain informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), LPS juga menyampaikan informasi secara tertulis
kepada Bank Indonesia mengenai rencana penanganan
permasalahan solvabilitas Bank oleh LPS.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan:
a. pada tanggal yang sama dengan penyampaian surat
permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank
Perantara kepada OJK; atau
b. segera setelah LPS menerima informasi dari OJK
mengenai Bank yang mengalami permasalahan
solvabilitas untuk dilakukan persiapan penanganan
oleh LPS.
- 6 -
Pasal 6
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh LPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Bank
Indonesia berwenang melakukan penilaian awal terhadap
rencana pendirian Bank Perantara.
Pasal 7
(1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai persetujuan prinsip pendirian Bank
Perantara yang diperoleh dari OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan melampirkan fotokopi surat
persetujuan prinsip pendirian Bank Perantara yang
diperoleh dari OJK.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan Pengalihan Persetujuan dan/atau Izin
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP bagi Bank Perantara
Pasal 8
LPS hanya dapat mengajukan permohonan pengalihan
persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan
PJSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sepanjang
kegiatan terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP tersebut
telah dilakukan oleh Bank Asal.
Pasal 9
(1) LPS mengajukan permohonan pengalihan persetujuan
dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c secara
tertulis kepada Bank Indonesia pada tanggal yang sama
dengan pengajuan permohonan izin usaha Bank Perantara
kepada OJK.
- 7 -
(2) Permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait
SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
a. permintaan pembukaan sandi Bank termasuk sandi
Bank bagi kantor cabang Bank Perantara;
b. permintaan pembukaan rekening giro dalam rupiah
di Bank Indonesia; dan
c. permintaan pembukaan rekening giro dalam valuta
asing di Bank Indonesia, dalam hal Bank Perantara
akan melanjutkan kegiatan dalam valuta asing yang
telah dilakukan oleh Bank Asal.
(3) Permohonan pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait
SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan dokumen
sebagai berikut:
a.
fotokopi akta pendirian dan/atau anggaran dasar
yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia serta seluruh
perubahan anggaran dasar Bank Perantara berikut
salinan
surat
persetujuan/penerimaan
pemberitahuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia;
b. rencana tindak yang paling sedikit memuat cara dan
jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan
sumber daya manusia, migrasi infrastruktur, serta
jenis kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang
akan dimintakan pengalihan persetujuan dan/atau
izin dari Bank Indonesia;
c. data kepesertaan SPBI; dan
d. surat pernyataan LPS yang berisi:
1. kesiapan serta keamanan infrastruktur dan
sumber daya manusia untuk operasional SPBI,
Operasi Moneter, dan PJSP;
2. penggunaan sistem dan infrastruktur Bank
Perantara dari Bank Asal untuk SPBI, Operasi
Moneter, PJSP, dan pelaporan yang akan
diselenggarakan; dan
- 8 -
3.
jenis kegiatan SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP
yang akan dialihkan dari Bank Asal kepada Bank
Perantara.
Pasal 10
Bank Perantara menggunakan sebagian atau seluruh sarana
dan prasarana Bank Asal dalam melaksanakan kegiatan
operasional yang terkait dengan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penyampaian Izin Usaha
Bank Perantara
Pasal 11
(1) LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai izin usaha Bank Perantara yang
diperoleh dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan melampirkan:
a. permintaan connected user dan digital certificate SPBI;
b. permintaan hak akses terkait pelaporan;
c. permintaan pendaftaran petugas Bank Perantara
untuk kegiatan penyetoran dan penarikan uang
rupiah oleh Bank Perantara di Bank Indonesia;
d. permintaan pendaftaran petugas Bank Perantara
untuk user access di Bank Indonesia Sistem
Informasi Layanan Kas;
e. fotokopi izin usaha Bank Perantara dari OJK;
f. susunan anggota direksi, anggota dewan komisaris,
dan pemegang saham termasuk struktur organisasi
Bank Perantara;
g. nama dan jabatan direksi Bank Perantara yang akan
melakukan penandatanganan perjanjian kepesertaan
SPBI;
h. surat kuasa untuk keperluan terkait hubungan
rekening giro dan kepesertaan SPBI; dan
- 9 -
i.
surat permohonan pembuatan spesimen tanda
tangan yang ditandatangani oleh direksi atau pejabat
yang menerima kuasa dari direksi Bank Perantara.
Bagian Keempat
Pemberian Konfirmasi Pengalihan Persetujuan dan/atau Izin
dari Bank Indonesia
Pasal 12
(1) Bank Indonesia memberikan konfirmasi pengalihan
persetujuan dan/atau izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 berdasarkan pemenuhan persyaratan yang
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank Indonesia dapat meminta LPS untuk melengkapi
dan/atau melakukan perbaikan dokumen yang
diperlukan untuk pemenuhan persyaratan yang
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 13
Pemberian konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP dilakukan oleh Bank
Indonesia setelah Bank Perantara memperoleh izin usaha Bank
Perantara dari OJK.
Pasal 14
(1) LPS menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi akta
pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank Asal
kepada Bank Perantara.
(2) Penyampaian fotokopi akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada tanggal penandatanganan akta.
Pasal 15
Konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI,
Operasi Moneter, dan PJSP yang diberikan oleh Bank Indonesia
berlaku efektif sejak akta pengalihan aset dan/atau kewajiban
dari Bank Asal kepada Bank Perantara ditandatangani.
- 10 -
Pasal 16
Bank Indonesia berwenang untuk melakukan peninjauan
kembali atas konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP yang telah diberikan.
Pasal 17
Bank Perantara yang telah melaksanakan kegiatan operasional
harus menyampaikan kepada Bank Indonesia:
a. laporan realisasi pelaksanaan kegiatan SPBI, Operasi
Moneter, dan PJSP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal pelaksanaan kegiatan; dan
b. dokumen terkait kegiatan operasional SPBI, Operasi
Moneter, dan PJSP paling lambat 180 (seratus delapan
puluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan.
Pasal 18
(1) LPS memberitahukan rencana penggunaan jasa PJPUR
kepada Bank Indonesia apabila Bank Perantara
menggunakan jasa PJPUR dalam kegiatan pengolahan
uang rupiah.
(2) Pemberitahuan rencana penggunaan jasa PJPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada
tanggal yang sama dengan penyampaian permohonan
pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI,
Operasi Moneter, dan PJSP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
Pasal 19
(1) Dalam hal LPS membatalkan pendirian Bank Perantara
maka LPS menyampaikan informasi pembatalan pendirian
Bank Perantara tersebut secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
(2) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia menghentikan proses pemberian
konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin atau
konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin yang
telah diberikan menjadi batal dan tidak berlaku.
- 11 -
BAB III
OPERASIONAL BANK PERANTARA
Pasal 20
Dalam hal Bank Perantara yang telah melaksanakan kegiatan
operasional akan menerima pengalihan aset dan/atau
kewajiban dari Bank Asal lain dan membutuhkan pengalihan
persetujuan dan/atau izin kegiatan baru terkait SPBI, Operasi
Moneter, PJSP, dan/atau pembukaan rekening giro dalam
valuta asing yang belum dimiliki oleh Bank Perantara, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai rencana penanganan permasalahan
solvabilitas Bank Asal lain oleh LPS dengan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
b. LPS mengajukan permohonan pengalihan persetujuan
dan/atau izin kepada Bank Indonesia dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
c. Bank Perantara menggunakan infrastruktur Bank Asal
lain untuk kegiatan baru yang membutuhkan pengalihan
persetujuan dan/atau izin Bank Indonesia;
d. LPS melengkapi dan/atau melakukan perbaikan dokumen
yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
e. LPS menyampaikan fotokopi akta pengalihan aset
dan/atau kewajiban dari Bank Asal lain kepada Bank
Perantara dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14; dan
f. Bank Perantara menyampaikan laporan realisasi
pelaksanaan kegiatan baru terkait SPBI, Operasi Moneter,
dan/atau PJSP serta dokumen terkait kegiatan
operasional SPBI, Operasi Moneter, dan/atau PJSP baru
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Pasal 21
Dalam hal Bank Perantara akan melakukan kegiatan baru
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP maka Bank Perantara
- 12 -
mengajukan permohonan persetujuan dan/atau izin kepada
Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 22
Bank Perantara wajib memenuhi seluruh ketentuan terkait
Bank sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank
Indonesia, kecuali diatur lain dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 23
Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada
Bank Perantara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 24
Bank Perantara harus menyesuaikan kegiatan usaha Bank
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP sesuai dengan
pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha yang
disesuaikan dengan modal inti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK.
Pasal 25
(1) Bank Perantara wajib memenuhi giro wajib minimum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam
rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional,
bank umum syariah, dan unit usaha syariah.
(2) Bank Perantara wajib memenuhi penyangga likuiditas
makroprudensial
sebagaimana
dimaksud
dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah.
(3) Pemenuhan giro wajib minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pemenuhan penyangga likuiditas
makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
- 13 -
dilakukan setelah 1 (satu) bulan sejak Bank Perantara
melaksanakan kegiatan operasional.
Pasal 26
(1) Bank Perantara wajib memenuhi rasio loan to value untuk
kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio
loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value
untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit
atau pembiayaan kendaraan bermotor.
(2) Dalam menetapkan rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Perantara menghitung rasio kredit bermasalah, rasio
kredit properti bermasalah, rasio kredit kendaraan
bermotor bermasalah, rasio pembiayaan bermasalah, rasio
pembiayaan properti bermasalah, dan/atau rasio
pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan data berdasarkan neraca Bank
Perantara pada awal hari pertama Bank Perantara
melaksanakan kegiatan operasional yang dilakukan
sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah
tanggal Bank Perantara melaksanakan kegiatan
operasional; dan
b. menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rasio loan to value untuk kredit properti, rasio
financing to value untuk pembiayaan properti, dan
uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan
bermotor, setelah 2 (dua) bulan sejak Bank Perantara
melaksanakan kegiatan operasional.
- 14 -
Pasal 27
Bank Indonesia mengenakan kewajiban pemenuhan:
a.
giro rasio intermediasi makroprudensial sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial
dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha
syariah; dan
b. countercyclical buffer sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban pembentukan countercyclical buffer,
terhitung sejak LPS menjual saham Bank Perantara kepada
pihak lain.
Pasal 28
(1) Bank Perantara yang merupakan peserta Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang
memiliki fungsi sebagai sub-registry wajib memenuhi
jumlah minimum pencatatan kepemilikan surat berharga
di BI-SSSS dengan rata-rata bulanan paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
(2) Pemenuhan kewajiban jumlah minimum pencatatan
kepemilikan surat berharga di BI-SSSS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu)
tahun sejak Bank Perantara melaksanakan kegiatan
operasional.
Pasal 29
(1) Bank Perantara wajib memenuhi ketentuan mengenai
pelaporan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
pelaporan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank Perantara belum dapat melakukan
pelaporan secara online melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia, Bank Perantara dapat menyampaikan laporan
secara offline melalui surat dengan melampirkan salinan
lunak (soft copy).
- 15 -
(3) Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Bank
Perantara melaksanakan kegiatan operasional.
(4) Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditujukan kepada:
a. satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan
fungsi pengelolaan kepatuhan laporan dengan
alamat:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2,
Jakarta 10350; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi
Bank Perantara yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Pasal 30
LPS menyampaikan informasi secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai rencana pengakhiran Bank Perantara
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait
hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia.
BAB IV
KORESPONDENSI
Pasal 31
Penyampaian permohonan, informasi, laporan, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal
7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan
Pasal 20 ditujukan kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem
pembayaran dengan alamat:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350.
- 16 -
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 32
(1) Bank Perantara yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia terkait.
(2) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum
konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha
syariah.
(3) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah.
(4) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to
value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor.
(5) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-
SSSS).
- 17 -
(6) Bank Perantara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
pelaporan Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
(1) LPS mengajukan permohonan penutupan kepesertaan
SPBI, pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter,
pencabutan izin sebagai PJSP, penutupan rekening giro,
dan penutupan sandi Bank dari Bank Asal pada tanggal
yang sama dengan pengajuan permohonan pencabutan
izin usaha Bank Asal kepada OJK.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan kepada satuan kerja di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia menutup kepesertaan SPBI,
mencabut izin kepesertaan Operasi Moneter, pencabutan
izin sebagai PJSP, menutup rekening giro, dan menutup
sandi Bank dari Bank Asal setelah OJK mencabut izin
usaha Bank Asal.
(4) Bank Indonesia dapat mengubah status kepesertaan SPBI
Bank Asal menjadi dibekukan selama OJK belum
mencabut izin usaha Bank Asal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 34
Bank Indonesia dapat memproses dan mengambil keputusan
dan/atau kebijakan atas pengalihan persetujuan dan/atau izin
terkait SPBI, Operasi Moneter, dan PJSP bagi Bank Perantara
di luar hari kerja dan jam kerja Bank Indonesia.
- 18 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 250
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/15/PBI/201820/
TENTANG
HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan mengatur bahwa untuk mewujudkan
stabilitas sistem keuangan dilakukan upaya pencegahan dan penanganan
krisis melalui penanganan permasalahan likuiditas dan permasalahan
solvabilitas Bank.
Penanganan permasalahan solvabilitas untuk Bank yang dilakukan
oleh LPS antara lain melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank Asal kepada Bank Perantara. Sehubungan
dengan opsi penanganan permasalahan solvabilitas Bank tersebut,
diperlukan upaya untuk menjamin tetap terlaksananya operasional Bank
Perantara melalui pengaturan hubungan operasional Bank Perantara
dengan Bank Indonesia. Pengaturan hubungan operasional tersebut
termasuk mengatur pengalihan persetujuan dan/atau izin Bank Indonesia
di bidang sistem pembayaran dan Operasi Moneter bagi Bank Perantara
secara cepat dan hati-hati.
Selanjutnya dengan memperhatikan hal di atas, perlu disusun
ketentuan mengenai hubungan operasional Bank Perantara dengan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai mekanisme pengalihan persetujuan
dan/atau izin Bank Perantara terkait sistem pembayaran dan Operasi
Moneter, operasional Bank Perantara berupa kewajiban Bank Perantara,
serta pengawasan dan penerapan kebijakan terhadap Bank Perantara.
/PBI/2018
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Persetujuan kepesertaan SPBI terdiri atas persetujuan
kepesertaan pada:
a. sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP)
untuk kegiatan transaksi;
b. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-
SSSS) untuk kegiatan penatausahaan surat berharga;
c. sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS) untuk kegiatan setelmen dana seketika; dan
d. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) untuk
kegiatan transfer dana dan kliring berjadwal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Izin sebagai PJSP antara lain izin sebagai penyelenggara alat
pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), uang
elektronik, dompet elektronik, payment gateway, switching, dan
PJSP lainnya.
APMK dapat berupa kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat dan dokumen terkait” adalah
dokumen permohonan persetujuan prinsip pendirian Bank
Perantara yang disampaikan oleh LPS kepada OJK sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai bank
perantara.
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Informasi mengenai rencana penanganan permasalahan
solvabilitas Bank oleh LPS antara lain cara penanganan
permasalahan solvabilitas dan ruang lingkup kegiatan Bank Asal
yang akan dialihkan kepada Bank Perantara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Penilaian awal yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain
melalui pengecekan terhadap infrastruktur di Bank Asal.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rekening giro dalam rupiah” adalah
rekening giro dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rekening giro di Bank Indonesia.
- 4 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rekening giro dalam valuta asing”
adalah rekening giro dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana tindak atau action plan terkait kegiatan PJSP
dilengkapi dengan dokumen profil jasa sistem pembayaran
yang akan dialihkan penyelenggaraannya dari Bank Asal
kepada Bank Perantara yang berisi uraian singkat antara
lain mengenai jenis kegiatan jasa sistem pembayaran, nama
produk atau jasa, data jumlah pemegang, daftar pihak yang
bekerja sama, dan data transaksi.
Huruf c
Format data kepesertaan SPBI menggunakan format yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Surat pernyataan ditandatangani di atas meterai.
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kesiapan serta keamanan
infrastruktur dan sumber daya manusia” antara
lain memiliki dan menerapkan kebijakan dan
prosedur manajemen risiko serta penerapan
keamanan sistem informasi.
Kesiapan serta keamanan infrastruktur dan
sumber daya manusia untuk operasional PJSP
juga mencakup kebijakan dan prosedur program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme, serta kebijakan dan prosedur
penerapan perlindungan konsumen.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana” antara lain
infrastruktur, sistem, sumber daya manusia, dan prosedur kerja
yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan SPBI, Operasi
Moneter, PJSP, dan pelaporan kepada Bank Indonesia.
Infrastruktur dan sistem yang digunakan dalam kegiatan SPBI,
Operasi Moneter, PJSP, dan pelaporan kepada Bank Indonesia
menggunakan seluruh infrastruktur dan sistem dari Bank Asal.
Dalam hal Bank Perantara berasal dari beberapa Bank Asal maka
digunakan salah satu sarana dan prasarana Bank Asal untuk jenis
kegiatan yang sama.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hak akses berupa user id dan password.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyetoran dan penarikan uang
rupiah oleh Bank Perantara di Bank Indonesia” adalah
penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh Bank
Perantara di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank di Bank
Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia Sistem Informasi
Layanan Kas” adalah Bank Indonesia Sistem Informasi
Layanan Kas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “surat kuasa” adalah surat kuasa
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai:
1. penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform;
2. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System;
3. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan
4. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
oleh Bank Indonesia.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “surat permohonan pembuatan
spesimen tanda tangan” adalah surat permohonan
pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai:
1. penyelenggaran Sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform;
2. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System;
3. penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan
4. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 14
Ayat (1)
Akta pengalihan antara lain memuat informasi kegiatan SPBI,
Operasi Moneter, dan PJSP yang beralih dari Bank Asal kepada
Bank Perantara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Bank Indonesia melakukan peninjauan kembali atas konfirmasi
pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait SPBI, Operasi Moneter,
dan PJSP antara lain dalam hal terdapat perbedaan antara
persetujuan dan/atau izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia
dengan perizinan atas kegiatan yang dialihkan sebagaimana
tercantum dalam akta pengalihan aset dan/atau kewajiban dari Bank
Asal kepada Bank Perantara.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dokumen terkait kegiatan operasional SPBI, Operasi Moneter,
dan PJSP paling sedikit berupa security audit infrastruktur,
kebijakan dan prosedur manajemen risiko, penerapan keamanan
sistem informasi, penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme, penerapan perlindungan
konsumen, prosedur internal penerapan kode etik pasar,
business continuity plan terkait transaksi Operasi Moneter atau
kegiatan tresuri, prosedur internal terkait pemisahan fungsi
front office dan back office, perjanjian kerja sama dengan
penyedia sarana dealing system transaksi Operasi Moneter,
kompetensi sumber daya manusia, dan kode etik dealer.
- 8 -
Pasal 18
Ayat (1)
Informasi mengenai penggunaan jasa PJPUR paling sedikit
memuat nama PJPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Persetujuan kegiatan baru terkait SPBI antara lain persetujuan
sebagai sub-registry.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” antara lain
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai:
a. penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan
kegiatan
b. penyelenggaraan
menggunakan kartu.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan “ketentuan OJK” antara lain ketentuan OJK
yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti bank dan ketentuan OJK yang mengatur
mengenai bank perantara.
alat pembayaran dengan
- 9 -
Pasal 25
Ayat (1)
Giro wajib minimum mencakup giro wajib minimum rupiah
dan/atau valuta asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 7 Januari 2019.
Pemenuhan giro wajib minimum dan penyangga likuiditas
makroprudensial dilakukan sejak tanggal 7 Februari 2019.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan
uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor”
adalah rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing
to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk
kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio
financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka
untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 8 Januari 2019.
Untuk pertama kali, perhitungan rasio kredit bermasalah,
rasio kredit properti bermasalah, rasio kredit kendaraan
bermotor bermasalah, rasio pembiayaan bermasalah, rasio
pembiayaan properti bermasalah, dan/atau rasio
pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah menggunakan
data neraca pada awal hari tanggal 8 Januari 2019.
Perhitungan tersebut digunakan sejak tanggal 8 Januari
2019 sampai dengan 28 Februari 2019.
- 10 -
Huruf b
Contoh:
Bank Perantara beroperasi sejak tanggal 8 Januari 2019.
Sejak tanggal 1 Maret 2019, perhitungan rasio kredit
bermasalah, rasio kredit properti bermasalah, rasio kredit
kendaraan bermotor bermasalah, rasio pembiayaan
bermasalah, rasio pembiayaan properti bermasalah,
dan/atau rasio pembiayaan kendaraan bermotor
bermasalah didasarkan pada laporan bulanan bank umum,
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah, atau laporan
lain yang ditetapkan untuk posisi akhir bulan Januari
2019.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat berharga di BI-SSSS” adalah
surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
Pemerintah, dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada
BI-SSSS.
Ayat (2)
Contoh:
Bank Perantara yang memiliki fungsi sebagai sub-registry
beroperasi sejak tanggal 28 Januari 2019.
Pada saat beroperasi, Bank Perantara tersebut mempunyai rata-
rata bulanan pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS
kurang dari jumlah minimum sebesar Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah).
Bank Perantara tersebut wajib memenuhi jumlah minimum
pencatatan kepemilikan surat berharga di BI-SSSS dengan rata-
rata bulanan sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), paling lama bulan Januari 2020.
- 11 -
Pasal 29
Ayat (1)
Sistem pelaporan Bank Indonesia antara lain laporan kantor
pusat bank umum, laporan harian bank umum, sistem
informasi utang luar negeri, laporan bulanan bank umum,
laporan berkala bank umum, serta laporan stabilitas moneter
dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
Ayat (2)
Lampiran dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dapat
disampaikan melalui media perekam data elektronik antara lain
compact disc atau flash disk.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “pengakhiran Bank Perantara” adalah
pengakhiran Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai bank perantara.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6280
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/15/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> HUBUNGAN OPERASIONAL BANK PERANTARA DENGAN BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 21 Desember 2018 </effective_date>
<issued_date> 21 Desember 2018 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/9/PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan
meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaan;
b. bahwa untuk menjaga kualitas pembiayaan, salah satu upaya
yang dilakukan adalah melakukan restrukturisasi pembiayaan
terhadap nasabah;
c. bahwa pelaksanaan restrukturisasi di Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian
yang bersifat universal yang berlaku di perbankan, serta sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan perbankan syariah di
Indonesia, dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengubah ketentuan
mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi Bank Syariah dan
Unit ...
- 2 -
Unit Usaha Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008
TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal ...
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4896) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS, adalah
Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut
BPRS, adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan ...
- 4 -
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah
unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah.
6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank
Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan
pihak ...
- 5 -
pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan
Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat
menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan
jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka
waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan
sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa
menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus
dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi:
1) perubahan jadwal pembayaran;
2) perubahan jumlah angsuran;
3) perubahan jangka waktu;
4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah
atau musyarakah;
5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan
mudharabah atau musyarakah; dan/atau
6) pemberian potongan.
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan
persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi ...
- 6 -
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga
syariah berjangka waktu menengah; dan/atau
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal
sementara pada perusahaan nasabah,
yang dapat disertai dengan rescheduling atau
reconditioning.
8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah
surat bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal
berjangka waktu 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun
dengan menggunakan akad mudharabah atau musyarakah.
9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS
atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau
konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan
nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana
dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
2. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan, dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) diubah, serta
penjelasan Pasal 5 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk
nasabah ...
- 7 -
nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan
pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat
dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan
pembayaran; dan
b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari
nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah
restrukturisasi.
(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan
analisis dan bukti-bukti yang memadai serta
didokumentasikan dengan baik.
3. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 6
(1) Restrukturisasi untuk Pembiayaan dengan kualitas Lancar
atau Dalam Perhatian Khusus, hanya dapat dilakukan 1
(satu) kali.
(2) Pembatasan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud ...
- 8 -
dimaksud pada ayat (1),
tidak berlaku untuk
restrukturisasi berupa persyaratan kembali (reconditioning)
dalam hal terjadi perubahan nisbah dan/atau perubahan
proyeksi bagi hasil pada pembiayaan mudharabah atau
musyarakah.
4. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan, dan di antara ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 10 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), serta ketentuan
Pasal 10 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating
Procedure tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
(1a) Kebijakan dan Standard Operating Procedure sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), termasuk menetapkan jumlah
maksimal pelaksanaan restrukturisasi atas Pembiayaan
yang tergolong Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan
disetujui oleh Direksi.
(4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib
diawasi ...
- 9 -
diawasi secara aktif oleh Komisaris.
(5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure
Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah dan ayat (4) dihapus, sehingga
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11
(1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi
ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang
sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan
atau Macet;
b. tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam
Perhatian Khusus atau Kurang Lancar.
(2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan
selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran
pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah secara
berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi
Pembiayaan; atau
b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum
dilakukan ...
- 10 -
dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi
lebih buruk, jika nasabah tidak memenuhi kriteria
dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi
Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi
Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai;
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau
margin/bagi hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan,
peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan paling
cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan;
(4) Dihapus.
6. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12
(1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan paling tinggi Kurang
Lancar untuk restrukturisasi lebih dari 1 (satu) kali atas
Pembiayaan dengan kualitas Lancar atau Dalam Perhatian
Khusus.
(2) Kualitas Pembiayaan ditetapkan Macet sampai dengan
Pembiayaan lunas untuk restrukturisasi atas Pembiayaan
dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet yang
dilakukan dengan melebihi batas maksimal yang ditetapkan
Bank ...
- 11 -
Bank sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1a).
7. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13, disisipkan 1 (satu) pasal yaitu
Pasal 12 A yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12 A
Bank Indonesia berwenang menetapkan kualitas Pembiayaan yang
berbeda dengan Bank, apabila Bank melakukan Restrukturisasi
Pembiayaan tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
8. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) diubah, sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan.
9. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21, disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 20 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20 A
(1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 wajib disampaikan secara on-
line kepada Bank Indonesia.
(2) Kewajiban penyampaian laporan Restrukturisasi
Pembiayaan ...
- 12 -
Pembiayaan secara on-line sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan terhadap:
a. BPRS yang berkedudukan di daerah yang belum
tersedia fasilitas komunikasi terkait, sehingga tidak
memungkinkan untuk menyampaikan Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line;
b. BPRS yang baru dibuka dengan batas waktu paling
lama 2 (dua) bulan setelah mulai melakukan kegiatan
operasional; atau
c. BPRS yang mengalami gangguan teknis.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku bagi BPRS apabila Bank Indonesia telah
menerima pemberitahuan tertulis dari BPRS tersebut.
(4) BPRS yang tidak dapat menyampaikan laporan
Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), atau tidak menyampaikan Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), wajib
menyampaikan Laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara
off-line.
(5) Dalam hal terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada sistem
database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia
maka:
a. bagi BPRS yang belum menyampaikan laporan
Restrukturisasi Pembiayaan, wajib menyampaikan
laporan dimaksud secara off-line; atau
b. bagi ...
- 13 -
b. bagi BPRS yang telah menyampaikan laporan
Restrukturisasi Pembiayaan, menyampaikan ulang
laporan Restrukturisasi Pembiayaan tersebut apabila
diminta oleh Bank Indonesia.
10. Ketentuan Pasal 22 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3),
sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22
(1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa
denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
(2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa
denda uang sebesar paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
(3) BPRS yang menyampaikan laporan Restrukturisasi
Pembiayaan secara off-line namun tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat
(2) dan ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap
penyampaian Laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara
off-line dimaksud.
11. Ketentuan ...
- 14 -
11. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum
berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal
10 ayat (1a) Peraturan Bank Indonesia ini.
12. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26, disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 25 A yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 25 A
(1) Penyampaian laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara
on-line sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 A ayat (1),
mulai diberlakukan untuk pelaporan bulan Mei 2011 yang
disampaikan pada bulan Juni 2011.
(2) Selama masa transisi dari sejak diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini sampai dengan diberlakukannya
penyampaian secara on-line sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), BPRS menyampaikan laporan Restrukturisasi
Pembiayaan kepada Bank Indonesia secara off-line dan on-
line.
Pasal ...
- 15 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Februari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Februari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 19
DPbS
- 16 -
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/9/PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Keberlangsungan usaha suatu Bank yang didominasi oleh aktivitas
Pembiayaan, dipengaruhi oleh kualitas Pembiayaan yang merupakan sumber
utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi
usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan Bank yang optimal dalam aktivitas
Pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi.
Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi
Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar
namun dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk
membayar setelah restrukturisasi. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada
Bank, harus tetap memenuhi prinsip syariah disamping mengacu kepada prinsip
kehati-hatian yang bersifat universal yang berlaku pada industri perbankan.
Selain itu, aspek kebutuhan dan kesesuaian dengan perkembangan industri
perbankan syariah menjadi pertimbangan dalam penyempurnaan ketentuan
mengenai Restrukturisasi Pembiayaan di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Penyempurnaan ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
industri ...
- 17 -
industri akan mendukung pengembangan industri perbankan syariah secara
optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai”
antara lain adalah adanya laporan keuangan nasabah yang
menunjukkan perbaikan kinerja perusahaan, adanya
kontrak kerja baru yang diperoleh nasabah atau adanya
sumber pembayaran lain yang jelas.
Angka ...
- 18 -
Angka 3
Pasal 6
Ayat (1)
Termasuk pengertian restrukturisasi 1 (satu) kali adalah
apabila pernah dilakukan restrukturisasi terhadap
Pembiayaan dengan kualitas Lancar maka tidak dapat
dilakukan restrukturisasi kembali atas Pembiayaan
tersebut yang telah menurun menjadi Dalam Perhatian
Khusus, atau sebaliknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 10
Ayat (1)
Kebijakan dan Standard Operating Procedure
Restrukturisasi Pembiayaan merupakan bagian dari
kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Penyusunan
Standard Operating Procedure
Restrukturisasi Pembiayaan yang terkait dengan aspek
pemenuhan prinsip syariah, dilakukan secara koordinatif
dengan Dewan Pengawas Syariah.
Ayat ...
- 19 -
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengkinian
Standard Operating Procedure
Restrukturisasi Pembiayaan terkait aspek pemenuhan
prinsip syariah, dilakukan secara koordinatif dengan
Dewan Pengawas Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia antara lain satuan kerja atau petugas khusus
Restrukturisasi Pembiayaan, limit wewenang memutus
Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem informasi
manajemen Restrukturisasi Pembiayaan.
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka ...
- 20 -
Angka 6
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12 A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Ayat (3)
Tidak termasuk Restrukturisasi Pembiayaan adalah
perpanjangan atas Pembiayaan mudharabah atau
musyarakah yang memenuhi kualitas Lancar dan telah
jatuh tempo, serta bukan disebabkan nasabah mengalami
penurunan kemampuan membayar.
Angka 9
Pasal 20 A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat ...
- 21 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang menyebabkan BPRS tidak dapat
menyampaikan laporan secara on-line, antara lain
gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran
gedung dan/atau pemadaman listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka ...
- 22 -
Angka 11
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 25 A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masa transisi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
kepada BPRS untuk mempersiapkan penyampaian laporan
secara on-line.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5198
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/9/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 8 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 8 Februari 2011 </effective_date>
<issued_date> 8 Februari 2011 </issued_date>
<changed_reg> '10/18/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 10 Pasal 22' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/4/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah
(legal tender) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. bahwa untuk lebih memudahkan masyarakat dalam
mengenali
diperlukan penyesuaian ciri uang Rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
7/42/PBI/2005
tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi
2005;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan . . .
tanda pengaman uang Rupiah
-2-
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2005.
Pasal I
Ketentuan Pasal 4A dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 102) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 11/8/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 45);
b. Nomor 13/17/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 76);
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun
2011 adalah:
a. Warna . . .
-3-
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan biru;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti
Ngurah Rai, dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI
NGURAH RAI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat
gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan
memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal
dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal,
terdapat angka nominal “50000”;
d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
f) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah segitiga berwarna ungu yang terasa kasar apabila
diraba;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
j) pada . . .
-4-
j) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
k) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta
menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
l) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai
dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur
Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung
yang membentuk ornamen daerah Bali;
n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “50000” berupa tulisan ”BI”;
2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai
latar belakang ornamen daerah Bali;
3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di
tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal
”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal;
4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk
kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000”
yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA”
dan ”BI50000” yang tersusun diagonal;
5) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan
bawah berupa logo Bank Indonesia yang membentuk pola
dasar uang;
o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah
tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang
berbentuk . . .
-5-
berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang
berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali
dan di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU
BERATAN, BEDUGUL” dengan arah vertikal;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN
UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN
NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
d) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar
ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah
sinar ultra violet;
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan
tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah
sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan
“BANK INDONESIA”;
i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
j) pada . . .
-6-
j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“50000”;
k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.”
dan angka tahun pengeluaran “2005”;
l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah
berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun
horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANKINDONESIA”
yang tersusun diagonal;
2) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal;
3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI”
yang membentuk ornamen daerah Bali;
4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”;
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah
tanda air berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis
melengkung dengan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
3. warna biru muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai
dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen daerah
Bali;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda.
Pasal II . . .
-7-
Pasal II
1. Uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 53
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/4/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 18 Maret 2014 </set_date>
<effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date>
<issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date>
<changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '11/18/PBI/2009', '13/17/PBI/2011' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/38/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 1.000 (SERIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
- 2 -
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 1.000
(SERIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh)
lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 282 (dua ratus delapan puluh dua)
milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh)
milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat)
lembar (bilyet); dan
c. panjang 705 (tujuh ratus lima) milimeter dan lebar
650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a) gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b) frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c) sebutan pecahan dalam angka “1000” dan tulisan
“SERIBU RUPIAH”;
d) tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e) tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f) gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Tjut Meutia
beserta tulisan “TJUT MEUTIA”;
g) gambar ornamen batik; dan
h) gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
- 5 -
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “1” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI1”, tulisan
“BI1000”, dan angka “1”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “1000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “1000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU
RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari tifa beserta tulisan “TARI
TIFA”, pemandangan alam Banda Neira beserta
tulisan “Banda Neira”, dan bunga anggrek larat;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
- 6 -
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“1000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI1000” dan angka
“1000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek larat;
2. gambar sebagian pemandangan alam Banda
Neira; dan
3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna krem;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan
memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet;
dan
- 7 -
b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
50 (lima puluh) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
- 8 -
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 222
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/38/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/14/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan kondisi
perekonomian nasional saat ini dibutuhkan bauran
kebijakan;
b. bahwa bauran kebijakan yang dibutuhkan tersebut
diarahkan dalam rangka memperkuat upaya untuk
meningkatkan permintaan domestik seiring dengan
pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan Giro
Wajib Minimum Primer dan penurunan suku bunga;
c. bahwa dalam rangka memperkuat upaya untuk
meningkatkan
permintaan domestik melalui
pertumbuhan kredit diperlukan penyesuaian kebijakan
Giro Wajib Minimum terkait batas bawah Loan to Funding
Ratio;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
perubahan keempat atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib
- 2 -
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
Bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat
:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5478) yang telah beberapa kali diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 17/11/PBI/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
- 3 -
Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5712);
b. Nomor 17/21/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5769);
c. Nomor 18/3/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5856),
diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam
perhitungan GWM LFR ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan
puluh persen);
b. batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan
puluh dua persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas
persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol
koma satu); dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol
koma dua).
- 4 -
(2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar
94% (sembilan puluh empat persen) dalam hal Bank:
a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari
target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit
UMKM sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan
oleh bank umum dan bantuan teknis dalam
rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan
menengah;
b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto
(gross) kurang dari 5% (lima persen); dan
c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara
bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen).
(3) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah
besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemenuhan GWM LFR diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
2. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
3. Penjelasan Pasal 17A diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24
Agustus 2016.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 174
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/14/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Bank Indonesia telah melakukan berbagai pelonggaran kebijakan
moneter baik melalui penurunan suku bunga kebijakan dan penurunan
Giro Wajib Minimum Primer untuk menambah likuiditas perbankan.
Pelonggaran kebijakan tersebut perlu secara optimal disalurkan oleh
perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter
tersebut, Bank Indonesia menetapkan kebijakan di bidang
makroprudensial melalui penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum
yang terkait batas bawah Loan to Funding Ratio untuk meningkatkan
pertumbuhan kredit.
Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut diharapkan
dapat semakin memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan
domestik guna terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi
dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, di tengah masih
lemahnya perekonomian global.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
- 2 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan persentase LFR Target, KPMM Insentif,
Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter
Disinsentif Atas dilakukan sesuai dengan arah
kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan
antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan
sistem keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Huruf a
Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam
Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November
sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah)
dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8
November sampai dengan tanggal 15 November 2016
sebesar 90% (sembilan puluh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas
bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80% (delapan
puluh persen) dan batas atas LFR Target sebesar 92%
(sembilan puluh dua persen) sehingga LFR Bank
berada dalam kisaran LFR Target. Dengan demikian
GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa
laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan
tanggal 30 November 2016 adalah sebesar 0% (nol
persen) dari DPK dalam Rupiah.
- 3 -
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30
November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:
a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima
persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus
lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari
DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah)
dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LFR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
Huruf b
Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam
Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November
sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah)
dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8
November sampai dengan tanggal 15 November 2016
sebesar 77% (tujuh puluh tujuh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80%
(delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target
ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua
persen).
b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar
0,1 (nol koma satu).
LFR Bank lebih kecil dari batas bawah LFR Target,
sehingga GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk
masa laporan sejak tanggal 24 November sampai
dengan tanggal 30 November 2016 adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah LFR
Target - LFR Bank) x DPK dalam Rupiah
- 4 -
= 0,1 x (80% - 77%) x DPK dalam Rupiah
= 0,1 x 3% x DPK dalam Rupiah
= 0,3% x DPK dalam Rupiah
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30
November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:
a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima
persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus
lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari
DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah)
dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LFR sebesar 0,3% (nol koma tiga persen)
dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar
rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening
Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
Huruf c
Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam
Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November
sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah),
LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8
November sampai dengan tanggal 15 November 2016
sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen) dan KPMM
Bank posisi akhir bulan Juni 2016 sebesar 12% (dua
belas persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80%
(delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target
ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua
persen).
- 5 -
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2
(nol koma dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat
belas persen).
LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan
KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga
GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa
laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan
tanggal 30 November 2016 adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Atas x (LFR Bank – batas atas
LFR Target) x DPK dalam Rupiah
= 0,2 x (97% – 92%) x DPK dalam Rupiah
= 0,2 x 5% x DPK dalam Rupiah
= 1% x DPK dalam Rupiah
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30
November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:
a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima
persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus
lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari
DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah)
dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam
Rupiah
yaitu
sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Huruf d
Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam
Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 November
sampai dengan tanggal 15 November 2016 sebesar
- 6 -
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah)
dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8
November sampai dengan tanggal 15 November 2016
sebesar 100% (seratus persen) dan KPMM Bank posisi
akhir bulan Juni 2016 sebesar 15% (lima belas
persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80%
(delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target
ditetapkan sebesar 92% (sembilan puluh dua
persen).
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2
(nol koma dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat
belas persen).
LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan
KPMM Bank lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga
GWM LFR dalam Rupiah harian Bank untuk masa
laporan sejak tanggal 24 November sampai dengan
tanggal 30 November 2016 adalah sebesar 0% (nol
persen) dari DPK dalam Rupiah.
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30
November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:
a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima
persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun dua ratus
lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari
DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah)
dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LFR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
- 7 -
Angka 3
Pasal 17A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Contoh:
Pada tanggal 24 November 2016, Bank A telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah
yang meliputi GWM Primer, GWM Sekunder, dan
GWM LFR sehingga Bank A memperoleh jasa giro
untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro
Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan
kewajiban GWM Primer.
Berdasarkan data Laporan Realisasi Pemberian
Kredit UMKM melalui Kerja Sama Pola Executing
posisi September 2016 dan Laporan Bulanan
Bank Umum posisi September 2016, pencapaian
Rasio Kredit UMKM Bank A adalah sebesar 6%
(enam persen), Rasio NPL Total Kredit Bank A
sebesar 4% (empat persen), dan Rasio NPL Kredit
UMKM sebesar 5,5% (lima koma lima persen).
Jasa giro yang diperoleh Bank A adalah sebesar
jasa giro yang berlaku yaitu 2,5% (dua koma lima
persen) dan dikenakan pengurangan jasa giro
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sehingga
Bank A mendapatkan jasa giro 2% (dua persen).
Huruf b
Pengurangan jasa giro dilakukan dengan
memperhatikan target pencapaian Rasio Kredit
UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
- 8 -
Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang
Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank
Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015, dengan
perhitungan sebagai berikut:
1) Mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai
dengan tanggal 31 Januari 2017
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 5% (lima persen) jasa giro dikurangi
sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol
koma satu) dengan selisih target pencapaian
5% (lima persen) dengan realisasi Rasio
Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
2) Mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai
dengan tanggal 31 Januari 2018
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 10% (sepuluh persen) jasa giro dikurangi
sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol
koma satu) dengan selisih target pencapaian
10% (sepuluh persen) dengan realisasi Rasio
Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (10% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
3) Mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai
dengan tanggal 31 Januari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 15% (lima belas persen) jasa giro
dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
- 9 -
(nol koma satu) dengan selisih target
pencapaian 15% (lima belas persen) dengan
realisasi Rasio Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (15% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
4) Sejak tanggal 1 Februari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 20% (dua puluh persen) jasa giro
dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target
pencapaian 20% (dua puluh persen) dengan
realisasi Rasio Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (20% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
Contoh:
Bank A memiliki data sebagai berikut:
a.
rata-rata harian total DPK dalam Rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 8
November sampai dengan tanggal 15
November
2016
sebesar
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun
rupiah);
b. LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal
8 November sampai dengan tanggal 15
November 2016 sebesar 97% (sembilan puluh
tujuh persen);
c. KPMM Bank posisi akhir bulan Juni 2016
sebesar 12% (dua belas persen); dan
d. pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A
berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum
posisi 30 September 2016 dan Laporan
- 10 -
Realisasi Pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing
posisi September 2016 adalah sebesar 3%
(tiga persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 80%
(delapan puluh persen) dan batas atas LFR Target
sebesar 92% (sembilan puluh dua persen)
sehingga LFR Bank berada di atas kisaran LFR
Target.
Dengan demikian GWM LFR harian Bank untuk
tanggal 24 November sampai dengan tanggal 30
November 2016 adalah sebesar 1% (satu persen)
dari DPK dalam Rupiah yang diperoleh dari
Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma
dua) dikali selisih antara LFR Bank dan batas atas
LFR Target yaitu 97% (sembilan puluh tujuh
persen) dikurangi 92% (sembilan puluh dua
persen).
Untuk tanggal 24 November sampai dengan
tanggal 30 November 2016, Bank A wajib
memenuhi GWM dalam Rupiah harian sebagai
berikut:
a. GWM Primer sebesar 6,5% (enam koma lima
persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu
sebesar Rp3.250.000.000.000,00 (tiga triliun
dua ratus lima puluh miliar rupiah);
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen)
dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah);
dan
c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam
Rupiah,
yaitu
sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah).
d. GWM Primer dan GWM LFR sebesar 7,5%
(tujuh koma lima persen) dari DPK dalam
- 11 -
Rupiah
yaitu
sebesar
Rp3.750.000.000.000,00 (tiga triliun tujuh
ratus lima puluh miliar rupiah) wajib
dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan
GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen)
dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah)
wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI,
SBN, dan/atau Excess Reserve.
e. Pada tanggal 24 November 2016, saldo
Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank
Indonesia
adalah
sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah)
dan Bank A memiliki SBI, SDBI, SBN,
dan/atau
Excess Reserve
sebesar
Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus
miliar rupiah),
sehingga Bank telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam
Rupiah dan dapat memperoleh jasa giro
untuk bagian tertentu dari saldo Rekening
Giro Rupiah yang digunakan untuk
pemenuhan kewajiban GWM Primer.
Mengingat pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A
berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum posisi
30 September 2016 dan Laporan Realisasi
Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM Melalui
Kerja Sama Pola Executing posisi September 2016
adalah sebesar 3% (tiga persen) maka jasa giro
yang diperoleh Bank A adalah sebesar:
= 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5%-3%)}] = 1,8%.
Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang
mendapat jasa giro ditetapkan sebesar 1,5% (satu
koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu
sebesar:
= 1,5% x Rp50.000.000.000.000,00
= Rp750.000.000.000,00.
- 12 -
Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 1,8%
(satu koma delapan persen) per tahun untuk
tanggal 24 November 2016 adalah sebagai berikut:
= [(1 + 1,8%)(1/360) – 1] x Rp750.000.000.000,00
= Rp37.167.417,02
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5921
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/14/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 18 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 24 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 22 Agustus 2016 </issued_date>
<changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015', '18/3/PBI/2016' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/14/PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
tergantung dari kemampuan bank dalam melakukan penanaman
dana dengan mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian
yang tercermin pada pemenuhan kualitas aktiva dan penyisihan
penghapusan aktiva yang memadai baik terhadap aktiva produktif
dan aktiva non produktif;
b. bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah perlu dilakukan
penyesuaian pengaturan terkait dengan kualitas aktiva;
c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva sangat berpengaruh
dengan pengembangan industri perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali ketentuan
mengenai penilaian kualitas aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor ...
- 3 -
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana BPRS untuk mendapatkan penghasilan,
antara lain dalam bentuk Pembiayaan dan Penempatan Pada Bank Lain sesuai
dengan Prinsip Syariah.
3. Aktiva Non Produktif adalah aset BPRS selain Aktiva Produktif yang memiliki
potensi kerugian, yaitu dalam bentuk Agunan Yang Diambil Alih.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa:
a.
b.
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;
c.
d.
e.
transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
5. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Mudharabah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerjasama suatu
usaha antara BPRS yang menyediakan seluruh modal dan nasabah yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh BPRS kecuali jika nasabah melakukan kesalahan
yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
6. Pembiayaan ...
- 4 -
6. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Musyarakah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara
BPRS dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak
memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana
masing-masing.
7. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Murabahah, adalah Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
8. Pembiayaan berdasarkan akad salam, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Salam, adalah Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran
harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.
9. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Istishna’, adalah Pembiayaan suatu barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
nasabah dan penjual atau pembuat barang.
10. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Ijarah, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat
dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiyya bittamlik, yang selanjutnya
disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah Pembiayaan dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
12. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Qardh, adalah Pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah dengan
ketentuan ...
- 5 -
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada
waktu yang telah disepakati.
13. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank Umum Syariah,
Unit Usaha Syariah atau BPRS lainnya berdasarkan Prinsip Syariah antara lain
dalam bentuk giro, tabungan, dan/atau deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk-
bentuk penempatan lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan pendapatan
yang akan diterima BPRS dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil, dengan
jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara BPRS dan nasabah.
15. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang
diterima BPRS dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil.
16. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah sebagian
atau seluruh agunan yang dibeli BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan
kewajiban untuk dicairkan kembali.
17. Penyisihan Penghapusan Aktiva, yang selanjutnya disebut PPA, adalah cadangan
yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva.
18. Penilai Independen adalah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang:
a.
tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan
baik dengan BPRS maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-
ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang
diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. memiliki ...
- 6 -
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai
perusahaan penilai; dan
e.
tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang.
BAB II
KUALITAS AKTIVA
Pasal 2
(1) Penanaman dan/atau penyediaan dana BPRS wajib dilaksanakan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
(2) BPRS wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar
kualitas aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar.
Pasal 3
(1) BPRS wajib melakukan penilaian kualitas aktiva baik terhadap Aktiva Produktif,
Aktiva Non Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penilaian kualitas aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bulanan.
BAB III
AKTIVA PRODUKTIF
Pasal 4
(1) BPRS wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva
Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada BPRS yang
sama.
(2) Dalam hal terdapat kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk 1 (satu)
nasabah pada BPRS yang sama, BPRS wajib menggolongkan kualitas yang sama
untuk ...
- 7 -
untuk masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang
paling rendah.
Pasal 5
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi 4
(empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
(2) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan pada ketepatan dan/atau kemampuan membayar
kewajiban oleh nasabah.
Pasal 6
(1) Penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar
mengacu pada pencapaian rasio RBH terhadap PBH dan/atau ketepatan
pembayaran pokok.
(2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan.
(3) PBH dihitung berdasarkan pada analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk
nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah.
(4) BPRS dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila
terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik yang
mempengaruhi usaha nasabah.
(5) BPRS wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara BPRS dengan
nasabah.
Pasal ...
- 8 -
Pasal 7
(1) Dalam Pembiayaan Mudharabah, BPRS tidak diwajibkan menetapkan
pembayaran angsuran pokok secara berkala kepada nasabah.
(2) BPRS wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak
terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo, apabila dalam
Pembiayaan Mudharabah disepakati tidak ada pembayaran angsuran pokok
secara berkala.
(3) Untuk Pembiayaan Musyarakah dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun,
BPRS wajib menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala sesuai
dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah.
(4) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan antara BPRS
dengan nasabah.
Pasal 8
(1) Penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Murabahah,
Pembiayaan Salam, Pembiayaan Istishna’, Pembiayaan Ijarah, Pembiayaan
Ijarah Muntahiya Bittamlik, Pembiayaan multijasa, dan Pembiayaan Qardh
dilakukan berdasarkan ketepatan pembayaran angsuran, yang dibedakan sebagai
berikut:
a. angsuran di luar Kredit Pemilikan Rumah;
b. angsuran untuk Kredit Pemilikan Rumah.
(2) Pembayaran angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan
dalam perjanjian Pembiayaan antara BPRS dengan nasabah yang didukung
dengan dokumen lengkap, paling kurang memuat porsi pokok, marjin/ujrah,
dan/atau jadwal pembayaran.
Pasal ...
- 9 -
Pasal 9
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain digolongkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1)
2)
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Pembiayaan Qardh; atau
rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80% (delapan
puluh persen) dan/atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk
Pembiayaan Mudharabah dan untuk Pembiayaan Musyarakah;
b. Kurang Lancar, apabila:
1)
2)
terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Qardh; atau
rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari 30% (tiga puluh persen) dan
kurang dari 80% (delapan puluh persen) atau rasio RBH terhadap PBH
sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga)
periode pembayaran dan/atau terdapat tunggakan pembayaran pokok
sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Mudharabah dan
untuk Pembiayaan Musyarakah;
c. Macet, apabila:
1) BPRS atau Bank Umum Syariah yang menerima penempatan telah
ditetapkan dalam pengawasan khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan
seluruh kegiatan usaha, atau telah dicabut izin usaha;
2) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Pembiayaan Qardh; dan/atau
3) rasio RBH terhadap PBH sama dengan atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh
persen) selama lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran dan/atau terdapat
tunggakan pembayaran pokok selama lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk
Pembiayaan Mudharabah dan untuk Pembiayaan Musyarakah.
Pasal ...
- 10 -
Pasal 10
(1) Penanaman dana BPRS dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan
dokumen yang lengkap dan informasi yang cukup.
(2) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Aktiva Produktif yang oleh
BPRS digolongkan Lancar menjadi paling tinggi Kurang Lancar, apabila
dokumen penyediaan dana tidak memberikan informasi yang cukup.
BAB IV
AKTIVA NON PRODUKTIF
Pasal 11
(1) BPRS dapat mengambilalih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
(2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
Pasal 12
BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai AYDA.
Pasal 13
(1) BPRS wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net
realizable value.
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih.
(3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Pembiayaan yang
diselesaikan dengan AYDA.
Pasal ...
- 11 -
Pasal 14
(1) BPRS yang mengambilalih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) wajib mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
pengambilalihan.
(2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 15
Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun.
BAB V
PENEMPATAN DANA PADA BANK UMUM KONVENSIONAL
Pasal 16
(1) BPRS dilarang melakukan penempatan dana dalam bentuk deposito pada bank
umum konvensional dan/atau dalam bentuk tabungan dan deposito pada bank
perkreditan rakyat.
(2) BPRS hanya dapat melakukan penempatan dana pada bank umum konvensional
dalam bentuk giro dan/atau tabungan untuk kepentingan transfer dana bagi BPRS
dan nasabah BPRS.
(3) Penempatan dana BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk
dalam kategori Aktiva Produktif.
Pasal 17
Kualitas aktiva dalam bentuk penempatan dana pada bank umum konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (2) digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar ...
- 12 -
a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok;
b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5
(lima) hari kerja;
c. Macet, apabila:
1) bank umum konvensional yang menerima penempatan dana BPRS telah
ditetapkan dalam pengawasan khusus atau telah dicabut izin usahanya;
dan/atau
2) terdapat tunggakan pembayaran pokok selama lebih dari 5 (lima) hari kerja.
BAB VI
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA
Bagian Kesatu
Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Pasal 18
(1) BPRS wajib membentuk PPA untuk Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif, dan
penempatan dana pada bank umum konvensional.
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif;
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif; dan
c. cadangan umum dan cadangan khusus untuk penempatan dana pada bank
umum konvensional.
Bagian Kedua
Tata Cara Pembentukan
Pasal 19
(1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) huruf a dan huruf c ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) ...
- 13 -
persen) dari seluruh Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum
konvensional yang digolongkan Lancar.
(2) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan jaminan Pemerintah
Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
huruf a dan huruf b.
(3) Pembentukan cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 10% (sepuluh persen) dari Aktiva Produktif dan penempatan dana pada
bank umum konvensional yang digolongkan Kurang Lancar setelah
dikurangi nilai agunan;
b. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau
c. 100% (seratus persen) dari Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif, dan
penempatan dana pada bank umum konvensional yang digolongkan Macet
setelah dikurangi nilai agunan.
(4) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam penghitungan PPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan untuk Aktiva Produktif
dan penempatan dana pada bank umum konvensional.
Pasal 20
(1) Kewajiban membentuk PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
ayat (3) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah
atau Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik.
(2) BPRS wajib membentuk penyusutan atau amortisasi Aktiva Produktif dalam
bentuk:
a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi
BPRS ...
- 14 -
BPRS bagi aktiva yang sejenis; dan
b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa.
Pasal 21
Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan
sebagai berikut:
a. Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Istishna’, dan Pembiayaan multijasa
dihitung berdasarkan saldo harga pokok;
b. Pembiayaan Salam dihitung berdasarkan harga perolehan; dan
c. Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Qardh
dihitung berdasarkan saldo baki debet.
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 22
(1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA
untuk Aktiva Produktif dan penempatan dana pada bank umum konvensional
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 100% (seratus persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang dijamin
oleh Pemerintah Indonesia;
b. 100% (seratus persen) untuk agunan tunai berupa uang kertas asing, emas,
tabungan dan/atau deposito yang diblokir pada BPRS bersangkutan disertai
dengan surat kuasa pencairan;
c. 80% (delapan puluh persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang
dijamin oleh pemerintah daerah;
d. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan untuk agunan berupa
tanah, bangunan dan rumah dengan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik
(SHM) ...
- 15 -
(SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diikat dengan hak
tanggungan;
e. 70% (tujuh puluh persen) dari nilai hasil penilaian untuk agunan berupa resi
gudang yang penilaiannya dilakukan kurang dari atau sampai dengan 12
(dua belas) bulan;
f.
60% (enam puluh persen) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan berupa
tanah, bangunan, dan rumah dengan bukti kepemilikan SHM atau SHGB,
hak pakai tanpa hak tanggungan;
g. 50% (lima puluh persen) dari nilai tertanggung untuk fasilitas yang dijamin
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD);
h. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual obyek pajak atau nilai taksiran untuk
agunan berupa tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter
C) yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir,
tempat usaha atau los atau kios yang dikelola oleh badan pengelola, atau
resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 12 (dua belas) bulan
sampai dengan 18 (delapan belas) bulan;
i.
50% (lima puluh persen) dari nilai pasar untuk agunan berupa kendaraan
bermotor, kapal laut yang disertai bukti kepemilikan dan telah dilakukan
pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku; dan
j.
30% (tiga puluh persen) dari nilai pasar atau nilai taksiran untuk agunan
berupa kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan surat kuasa
menjual atau resi gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 18
(delapan belas) bulan namun belum melebihi 30 (tiga puluh) bulan.
(2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang dalam pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dan penempatan
dana pada bank umum konvensional.
Pasal ...
- 16 -
Pasal 23
(1) Penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 wajib dilakukan oleh
Penilai Independen atau penilai intern BPRS berdasarkan analisis terhadap fakta-
fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip yang berlaku umum.
(2) Kewajiban penilaian agunan menggunakan Penilai Independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pembiayaan dengan nilai lebih besar atau
sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPA.
Pasal 24
Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang
telah dikurangkan dalam PPA, apabila BPRS tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 28.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 25
(1) BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan
hapus tagih.
(2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aktiva
Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
(3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam
bentuk Pembiayaan (partial write off).
(4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun untuk seluruh Aktiva
Produktif dalam bentuk Pembiayaan.
Pasal ...
- 17 -
Pasal 26
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 hanya
dapat dilakukan setelah BPRS melakukan berbagai upaya untuk memperoleh
kembali Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang diberikan.
(2) BPRS wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus
tagih.
(3) BPRS wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif
dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 27
BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4,
Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (2),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal
14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 23
ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 28
ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
(1) BPRS yang memiliki penempatan dana dalam bentuk deposito pada bank umum
konvensional dan dalam bentuk deposito dan tabungan pada bank perkreditan
rakyat yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib
mencairkan ...
- 18 -
mencairkan penempatan dana tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penilaian terhadap kualitas penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mengacu pada Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) BPRS wajib membentuk PPA untuk penempatan dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan mengacu pada Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 29
Penggolongan kualitas dan pembentukan PPA untuk Aktiva Non Produktif dalam
bentuk AYDA yang dimiliki BPRS sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 31
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku;
b. Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006
tentang ...
- 19 -
tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 41
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/14/PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Kelangsungan usaha BPRS tergantung pada kinerja, yang salah satu
indikatornya adalah kualitas dari penanaman dana BPRS. Dalam melakukan
penanaman dana, BPRS harus selalu memperbaiki kebijakan dan prosedur
pembiayaan termasuk penetapan kualitasnya, melakukan pengelolaan portofolio
aset dengan baik serta kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas pembiayaan.
Salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap BPRS adalah
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Untuk mendukung pengembangan industri perbankan syariah dari sisi
penanaman dana, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai penilaian
kualitas aktiva.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal ...
-2-
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dalam penanaman
dana” yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan:
a.
analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling kurang
faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy
& Collateral); dan/atau
b. penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance)
dan kemampuan membayar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi
nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai.
Yang dimaksud dengan “memantau” adalah mengawasi
perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Yang dimaksud dengan “mengambil langkah-langkah antisipasi”
adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan
timbulnya kegagalan dalam penanaman dana.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penilaian dilakukan secara bulanan” adalah
penyajian dalam laporan bulanan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan bulanan BPRS.
Pasal ...
-3-
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
BPRS A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Murabahah kepada debitur X. Hasil penilaian yang dilakukan BPRS
A untuk masing-masing Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan
adalah sebagai berikut:
a. Lancar, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan
b. Kurang Lancar, untuk Pembiayaan Murabahah.
Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah,
maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan BPRS A kepada
nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang Lancar .
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan yang
telah berjalan” adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal
Pembiayaan sampai dengan posisi bulan penilaian.
Contoh:
Pembiayaan Mudharabah diberikan pada bulan Maret 2011, dengan
jangka ...
-4-
jangka waktu selama 1 (satu) tahun. Penghitungan akumulasi PBH
yang dilakukan pada bulan Juni 2011 adalah PBH bulan Maret 2011
ditambah PBH bulan April 2011 ditambah PBH bulan Mei 2011
ditambah PBH bulan Juni 2011.
Ayat (3)
Penetapan PBH dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BPRS
dengan nasabah dengan mempertimbangkan antara lain siklus usaha
dan arus kas masuk nasabah sehingga tidak harus ditetapkan secara
bulanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok
Pembiayaan Mudharabah disesuaikan dengan karakteristik usaha
nasabah yang dibiayai.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko”
antara lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling kurang 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat ...
-5-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pembiayaan multijasa” adalah Pembiayaan
BPRS kepada nasabah dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu
jasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen
penanaman dana yang paling kurang meliputi aplikasi, analisa,
keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta perubahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mengambilalih agunan” adalah membeli
sebagian atau seluruh agunan baik melalui maupun di luar pelelangan,
berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan ...
-6-
berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” antara lain berupa
mekanisme pengambilan AYDA dan persyaratan AYDA.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah nilai pasar
agunan dikurangi estimasi biaya dalam rangka pengambilalihan
AYDA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat pengambilalihan AYDA, BPRS melakukan pencatatan
sebagai berikut:
- apabila net realizable value nilai AYDA lebih besar dari nilai
Aktiva Produktif (hutang nasabah) maka BPRS mencatat nilai
AYDA sebesar nilai Aktiva Produktif hutang nasabah dan selisih
lebihnya dicatat dalam rekening administratif BPRS karena
merupakan hak nasabah; atau
- apabila net realizable value nilai AYDA lebih kecil dari nilai
Aktiva Produktif (hutang nasabah) maka BPRS mencatat nilai
AYDA sebesar net realizable value nilai AYDA dan selisih
kurangnya dicatat dalam pembukuan BPRS sebagai hutang
kewajiban ...
-7-
kewajiban nasabah.
Pasal 14
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar BPRS segera menjual AYDA dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan bukan untuk
memiliki agunan lebih dari jangka waktu tersebut.
Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih besar dari hutang nasabah
maka selisih lebihnya merupakan hak nasabah. Dalam hal hasil
pencairan AYDA lebih kecil dari hutang nasabah maka selisih
kurangnya tetap merupakan kewajiban nasabah. Dalam hal BPRS
tidak dapat menagih kewajiban nasabah tersebut maka BPRS dapat
mencatatnya sebagai kerugian BPRS.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai
upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal ...
-8-
Pasal 18
Ayat (1)
Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk
mendorong BPRS melakukan upaya pencairan dan untuk antisipasi
terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pembentukan cadangan khusus PPA paling rendah sebesar 10%
(sepuluh persen) tidak termasuk Aktiva Non Produktif karena
kualitas Aktiva Non Produktif hanya digolongkan Lancar dan
Macet.
Huruf b
Pembentukan cadangan khusus PPA paling rendah sebesar 50%
(lima puluh persen) dari Aktiva Produktif tidak termasuk:
-
Penempatan Pada Bank Lain dan penempatan dana pada
bank umum konvensional karena kualitas Aktiva Produktif
dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain dan penempatan
dana pada bank umum konvensional hanya digolongkan
Lancar, Kurang Lancar dan Macet; dan
- Aktiva ...
-9-
- Aktiva Non Produktif karena kualitas Aktiva Non Produktif
hanya digolongkan Lancar dan Macet.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Kebijakan penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah
dan/atau Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik mengacu pada
standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah.
Kebijakan penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus
mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi
di masa depan dari objek Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah
Muntahiya Bittamlik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf ...
-10-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” misalnya
ketentuan mengenai fidusia dan gadai.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “metode dan prinsip yang berlaku umum”
adalah metode dan prinsip penilaian yang ditetapkan oleh Masyarakat
Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).
Ayat ...
-11-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif
BPRS untuk menghapus buku penyediaan dana atau tagihan yang
memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa
menghapus hak tagih BPRS kepada nasabah.
Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan BPRS
menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
mencakup persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta
tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hapus tagih terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk
Pembiayaan hanya dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi
Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
Pasal ...
-12-
Pasal 26
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada nasabah, restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran
dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud,
dan penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal ...
-13-
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5206
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/14/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Maret 2011 </set_date>
<effective_date> 24 Maret 2011 </effective_date>
<issued_date> 24 Maret 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '8/24/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 19 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan
moneter, pemantauan dan pengendalian stabilitas sistem
keuangan, serta pemantauan kondisi bank yang lebih
efektif dalam penerapan pengawasan bank berdasarkan
risiko, diperlukan dukungan data dan informasi bank yang
akurat, lengkap, dan tepat waktu;
b. bahwa dalam memperoleh informasi yang tepat waktu dan
lengkap, diperlukan penyesuaian periode penyampaian dan
penambahan beberapa laporan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu untuk mengubah ketentuan
mengenai laporan berkala bank umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat . . .
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006
tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4629), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
melakukan kegiatan usaha konvensional, yang selanjutnya disebut
sebagai Bank Umum Konvensional, termasuk kantor cabang bank
asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor
pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung
bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan
mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia.
3. Unit . . .
- 4 -
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor, atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari
suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
4. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU
adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank secara
berkala kepada Bank Indonesia.
5. Penyampaian laporan secara online adalah penyampaian laporan oleh
Bank yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data
secara langsung melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau
melalui saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS)
Bank Indonesia.
6. Penyampaian laporan secara offline adalah penyampaian laporan oleh
Bank yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam
bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada
Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), ayat (5) diubah dan ditambah 1 (satu)
ayat yaitu ayat (6), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dan UUS wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada
Bank Indonesia secara akurat, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Penyusunan . . .
- 5 -
(2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat Bank dan UUS.
(3) Bagi Bank Umum Konvensional, penyusunan LBBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi data mengenai:
a.
dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c.
dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. profil maturitas (maturity profile);
e.
f.
batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan
3. penyediaan dana;
restrukturisasi kredit;
g. kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar;
h. deposan dan debitur inti;
i.
j.
k.
sensitivity to market risk;
aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit; dan
suku bunga dasar kredit.
(4) Bagi Bank Umum Syariah, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi data mengenai:
a.
dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c.
dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. profil maturitas (maturity profile);
e. batas . . .
- 6 -
e.
batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan
3. penyediaan dana;
f.
g.
deposito investasi mudharabah;
restrukturisasi pembiayaan;
h. deposan dan debitur inti; dan
i.
sensitivity to market risk – nilai tukar.
(5) Bagi UUS, penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi data mengenai:
a.
dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c.
dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. profil maturitas (maturity profile);
e.
f.
deposito investasi mudharabah;
restrukturisasi pembiayaan; dan
g. deposan dan debitur inti.
(6) Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan Pengendalian
terhadap Perusahaan Anak, penyusunan LBBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selain meliputi data sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi pula data secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak mengenai:
a.
batas maksimum pemberian kredit;
b. kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar; dan
c.
aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit.
3. Ketentuan . . .
- 7 -
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Data LBBU berupa profil maturitas, batas maksimum pemberian
kredit, restrukturisasi kredit, kewajiban penyediaan modal minimum
dengan memperhitungkan risiko pasar, deposan dan debitur inti, aset
tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dan suku bunga dasar
kredit, bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan
huruf k disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap
bulan.
(2) Data LBBU berupa profil maturitas, batas maksimum pemberian
kredit, deposito investasi mudharabah, restrukturisasi pembiayaan,
serta deposan dan debitur inti bagi Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan
huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap
bulan.
(3) Data LBBU berupa profil maturitas, deposito investasi mudharabah,
restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti bagi UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
pada setiap bulan.
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Data LBBU berupa sensitivity to market risk, batas maksimum pemberian
kredit secara konsolidasi, kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan . . .
- 8 -
memperhitungkan risiko pasar secara konsolidasi, dan aset tertimbang
menurut risiko untuk risiko kredit secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf i dan ayat (4) huruf i, ayat (6)
huruf a, huruf b, dan huruf c, disusun untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan pada setiap akhir triwulan.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank Umum
Konvensional ditetapkan sebagai berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat
bulan sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu keempat bulan sebelumnya;
4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
5. batas maksimum pemberian kredit bagi Bank secara individu
untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya;
6.
restrukturisasi kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya;
7. kewajiban . . .
- 9 -
7. kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar bagi Bank secara individu untuk
posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya;
8. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya;
9.
sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
pada setiap akhir triwulan;
10. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit bagi Bank
secara individu untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya; dan
11. suku bunga dasar kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu pertama bulan yang bersangkutan.
c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu kedua bulan yang bersangkutan;
4. batas . . .
- 10 -
4. batas maksimum pemberian kredit bagi Bank secara konsolidasi
untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir
triwulan;
5. kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar bagi Bank secara konsolidasi
untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir
triwulan; dan
6.
aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit bagi Bank
secara konsolidasi untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada
setiap akhir triwulan.
d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu ketiga bulan yang bersangkutan.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank Umum
Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat
bulan sebelumnya;
2. pos-pos . . .
- 11 -
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu keempat bulan sebelumnya;
4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
5. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
6. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
7.
restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya;
8. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya; dan
9.
sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
pada setiap akhir triwulan.
b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga yang dimiliki oleh pemerintah untuk periode
data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan.
c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos . . .
- 12 -
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu kedua bulan yang bersangkutan.
d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu ketiga bulan yang bersangkutan.
7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi UUS ditetapkan
sebagai berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat
bulan sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu keempat bulan sebelumnya;
4. profil
. . .
- 13 -
4. profil maturitas (maturity profile) untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
5. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
6.
restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya; dan
7. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu pertama bulan yang bersangkutan;
c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga yang dimiliki oleh pemerintah untuk periode
data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan.
d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan; dan
3. dana . . .
- 14 -
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu ketiga bulan yang bersangkutan.
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau koreksi LBBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau
hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU secara
online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tetap dilakukan
pada hari yang sama.
(2) Dalam hal terdapat pertimbangan tertentu, waktu penyampaian LBBU
dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank Indonesia.
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk
satu periode penyampaian apabila LBBU diterima oleh
Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, sampai dengan 7 (tujuh) hari setelah batas
akhir periode penyampaian dimaksud.
(2) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU
untuk satu periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima oleh
Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, sampai dengan 7 (tujuh) hari setelah batas
akhir periode penyampaian dimaksud.
10. Ketentuan . . .
- 15 -
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Bank dan UUS dinyatakan tidak menyampaikan LBBU untuk satu
periode penyampaian apabila LBBU belum diterima oleh
Bank Indonesia sampai dengan batas akhir waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan
LBBU kepada Bank Indonesia.
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU
dalam periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 12 kepada Bank Indonesia secara online.
(2) Kewajiban penyampaian secara online sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi:
a. Bank dan UUS yang berada di daerah yang belum tersedia
fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk
menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online.
b. Bank dan UUS yang baru dibuka dengan batas waktu paling
lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional.
c. Bank dan UUS yang mengalami gangguan teknis dalam
pengiriman LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online.
(3) Bank . . .
- 16 -
(3) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU
dan/atau koreksi LBBU secara online sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
yang ditandatangani oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan
Kantor Cabang Bank Asing atau pimpinan UUS pada saat
penyampaian LBBU kepada Bank Indonesia.
(4) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU
dan/atau koreksi LBBU secara online karena hal-hal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi
LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari kerja setelah periode
penyampaian yang sama.
12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU dan/atau
koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau dinyatakan tidak
menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib
menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline.
13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kerja keterlambatan.
(2) Bank . . .
- 17 -
(2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberlakukan.
(4) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(5) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas inisiatif Bank
dan UUS setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan.
(6) Kesalahan data LBBU yang ditemukan Bank Indonesia setelah
melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per item kesalahan dengan jumlah maksimum sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per laporan.
(7) Bank . . .
- 18 -
(7) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar hasil
audit tahunan oleh akuntan publik melampaui batas waktu
penyampaian koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dan Pasal 12 tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6).
14. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 26A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
a angka 5, angka 6, angka 7, angka 8, dan angka 9 untuk posisi
laporan tanggal akhir bulan September 2011 sampai dengan posisi
laporan tanggal akhir bulan Maret 2012 bagi Bank Umum
Konvensional wajib dilakukan pada periode penyampaian II.
(2) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a angka 5, angka 7, angka 8, dan angka 9 untuk posisi laporan
tanggal akhir bulan September 2011 sampai dengan posisi laporan
tanggal akhir bulan Maret 2012 bagi Bank Umum Syariah wajib
dilakukan pada periode penyampaian II.
(3) Penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf a angka 6 dan angka 7 untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
September 2011 sampai dengan posisi laporan tanggal akhir bulan
Maret 2012 bagi UUS wajib dilakukan pada periode penyampaian II.
15. Diantara . . .
- 19 -
15. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu
Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Kewajiban melaporkan data LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a angka 10, angka 11, dan huruf c angka 6 secara online
mulai berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud
di LBBU, sesuai pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal penyampaian data LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a angka 10 dan angka 11 untuk posisi laporan sampai
dengan tanggal akhir bulan Maret 2012 telah dapat dilakukan
secara online, data dimaksud wajib disampaikan pada periode
penyampaian II.
16. Diantara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 28A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A
Ketentuan yang terkait dengan suku bunga dasar kredit yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian
Bank Umum dinyatakan tidak berlaku sejak data mengenai suku bunga
dasar kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a angka 11 telah
wajib disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A
ayat (1).
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 September 2011.
Agar
. . .
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 91
DPNP/DPbS/DSM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 19 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM
I. UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter. Penetapan
kebijakan moneter dapat berjalan dengan efektif apabila didukung oleh
pemantauan dan pengendalian stabilitas sistem keuangan serta pemantauan
kondisi bank yang lebih efektif dalam rangka penerapan pengawasan bank
berdasarkan risiko. Hal tersebut memerlukan data dan informasi bank yang
akurat, lengkap, dan tepat waktu.
Agar data dan informasi diperoleh secara tepat waktu dan lengkap, maka
perlu adanya penyesuaian dengan mempercepat waktu penyampaian dan
penambahan beberapa laporan.
Dengan adanya percepatan waktu penyampaian dan penambahan beberapa
laporan untuk mendukung perolehan informasi yang tepat waktu dan lengkap,
perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang laporan berkala bank umum
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL . . .
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi Kantor Cabang Bank Asing penyusunan dan penyampaian
LBBU dilakukan oleh Kantor Cabang Bank Asing tersebut.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak
Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum
bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta
asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan yang memuat rincian
pos-pos tertentu neraca.
Huruf c . . .
- 3 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah giro, tabungan, dan deposito yang dimiliki baik oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi dan/atau
kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan
bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)”
adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca
serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai
kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen
risiko untuk risiko likuiditas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit”
adalah persentase maksimum penyediaan dana yang
diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi kredit” adalah upaya
perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan
terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai penilaian kualitas aset bank umum.
Huruf g . . .
- 4 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal
minimum dengan memperhitungkan risiko pasar” adalah
kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko kerugian pada posisi neraca dan
rekening administratif serta transaksi derivatif akibat perubahan
secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko
perubahan harga option sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum dengan memperhitungkan risiko
pasar (market risk).
Huruf h
Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh),
25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan
dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito
sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut:
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi
10 (sepuluh) deposan terbesar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar.
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
50 (lima puluh) deposan terbesar.
Yang . . .
- 5 -
Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual
maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai
berikut:
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi
10 (sepuluh) debitur/ grup besar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar.
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
25 (dua puluh lima) debitur/grup besar.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “sensitivity to market risk” adalah
tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh
risiko nilai tukar dan risiko suku bunga.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “aset tertimbang menurut risiko untuk
risiko kredit” adalah perhitungan aset tertimbang menurut risiko
untuk risiko kredit sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai
perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “suku bunga dasar kredit” adalah
perhitungan suku bunga dasar kredit sesuai ketentuan
Bank Indonesia mengenai transparansi informasi suku bunga
dasar kredit.
Ayat (4) . . .
- 6 -
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak
Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro
wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi
Bank Umum Syariah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian
pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang
dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi,
dan/atau kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya
merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)”
adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca
serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai
kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen
risiko untuk risiko likuiditas.
Huruf e . . .
- 7 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit”
adalah persentase maksimum penyediaan dana terhadap modal
Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai batas maksimum pemberian kredit. Istilah batas
maksimum pemberian kredit dalam konteks perbankan syariah
adalah batas maksimum penyaluran dana.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah
posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang
tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka
waktunya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah
upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan
pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi
Bank Umum Syariah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh),
25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan
dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito
sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut:
1) bagi
. . .
- 8 -
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi
10 (sepuluh) deposan terbesar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar.
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
50 (lima puluh) deposan terbesar.
Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual
maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai
berikut:
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi
10 (sepuluh) debitur/ grup besar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar.
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
25 (dua puluh lima) debitur/grup besar.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”sensitivity to market risk” adalah
tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh
risiko nilai tukar.
Ayat (5) . . .
- 9 -
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi UUS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian
pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang
dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi,
dan/atau kabupaten/kotamadya yang anggaran keuangannya
merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “profil maturitas (maturity profile)”
adalah gambaran dari pos-pos aset dan kewajiban dalam neraca
serta rekening administratif yang akan jatuh tempo sesuai
kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen
risiko untuk risiko likuiditas.
Huruf e . . .
- 10 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah
posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang
tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka
waktunya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah
upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan
pembiayaan, piutang, dan/atau ijarah terhadap nasabah yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi
Bank Umum Syariah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh),
25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan
dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito
sesuai dengan total aset Bank, sebagai berikut:
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi 10
(sepuluh) deposan terbesar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 25 (dua puluh lima) deposan terbesar.
3) bagi
. . .
- 11 -
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
50 (lima puluh) deposan terbesar.
Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah debitur individual
maupun grup inti di luar pihak terkait dengan kriteria sebagai
berikut:
1) bagi Bank yang memiliki total aset sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) meliputi
10 (sepuluh) debitur/ grup besar.
2) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
meliputi 15 (lima belas) debitur/ grup besar.
3) bagi Bank yang memiliki total aset lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) meliputi
25 (dua puluh lima) debitur/grup besar.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “Pengendalian” adalah Pengendalian
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
transparansi kondisi keuangan Bank.
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Anak” adalah Perusahaan
Anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank yang melakukan
pengendalian terhadap perusahaan anak.
Angka 3 . . .
- 12 -
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan adalah
data pada posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Angka 5
Pasal 9
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8 . . .
- 13 -
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk suku bunga
dan sensitivity to market risk nilai tukar.
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian I
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk
posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan
September.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk
posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan
September.
Angka 5 . . .
- 14 -
Angka 5
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk
posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan
September.
Angka 6
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk
posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan
September.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6 . . .
- 15 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Data ini merupakan data sensitivity to market risk nilai tukar.
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian I
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober masing-masing untuk
posisi laporan akhir bulan Desember, Maret, Juni, dan
September.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional
dan/atau . . .
- 16 -
dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
setempat termasuk cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain dalam
hal terdapat beberapa hari libur umum dan/atau hari libur khusus
yang berurutan.
Angka 9
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Batas waktu untuk UUS adalah 2 (dua) bulan setelah kantor
cabang syariah atau unit syariah yang pertama melakukan
kegiatan operasional.
Huruf c . . .
- 17 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Bank dan UUS tidak dapat menyampaikan
LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online, antara lain
gangguan pada jaringan telekomunikasi, gangguan pada sistem
di Bank dan di Bank Indonesia, kebakaran gedung dan/atau
pemadaman listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 18 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “per laporan” adalah LBBU yang terdiri
dari beberapa laporan sesuai periode penyampaian LBBU.
Yang dimaksud dengan “per item koreksi” adalah koreksi data per
field data.
Contoh:
Bank A menyampaikan koreksi atas Formulir 8 - Laporan Kredit
yang direstrukturisasi untuk posisi bulan September 2011, pada
tanggal 3 November 2011. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi
data debitur X yaitu data nilai agunan, suku bunga, dan tunggakan
bunga.
Sanksi kewajiban membayar yang dibebankan kepada Bank A
adalah sebesar 3 (tiga) item x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 26A
Ayat (1)
Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan
Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Ayat (2) . . .
- 19 -
Ayat (2)
Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan
Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Ayat (3)
Penyampaian data LBBU setelah posisi laporan tanggal akhir bulan
Maret 2012 dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Angka 15
Pasal 27A
Ayat (1)
Pemberitahuan dari Bank Indonesia dapat dilakukan secara tertulis
atau melalui sarana lainnya antara lain melalui website
Bank Indonesia dan e-mail.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 28A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5240
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/19/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 22 September 2011 </set_date>
<effective_date> 30 September 2011 </effective_date>
<issued_date> 22 September 2011 </issued_date>
<changed_reg> '8/12/PBI/2006' </changed_reg>
<replaced_reg> '13/8/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 20' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 1 /PBI/2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS
DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kualitas keterangan dan data yang dihasilkan dari
pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa perlu lebih
ditingkatkan dalam rangka penyusunan statistik neraca
pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan bagi
Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan untuk memenuhi
ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa, Bank
Indonesia memandang perlu untuk menunda pemberlakuan
pengenaan sanksi administratif atas pelaporan kegiatan Lalu
Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun …
- 2 -
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN
BUKAN LEMBAGA KEUANGAN.
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan
Bukan Lembaga Keuangan, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 11
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 mulai diberlakukan untuk pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang
dilakukan bulan Januari 2004.”
Pasal II ...
- 3 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku
surut sejak tanggal 1 Desember 2002.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Januari 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 11
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/1/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/2/PBI/2002 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 31 Januari 2003 </set_date>
<effective_date> 31 Januari 2003 dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002 </effective_date>
<changed_reg> '4/2/PBI/2002' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/7/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kondisi ekonomi dan keuangan global yang
semakin terintegrasi membutuhkan upaya untuk
peningkatan ketahanan perekonomian dan
keuangan domestik antara lain melalui terciptanya
pasar valuta asing yang efisien dan berdaya tahan
tinggi terhadap gejolak;
b. bahwa dalam rangka terciptanya pasar valuta asing
yang efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap
gejolak, perlu dilakukan percepatan pendalaman
pasar valuta asing domestik;
c. bahwa percepatan pendalaman pasar valuta asing
dilakukan melalui upaya peningkatan likuiditas
dan variasi instrumen derivatif valuta asing
terhadap Rupiah dengan tetap memperhatikan
dampaknya terhadap stabilitas nilai tukar dan
sistem keuangan sehingga menciptakan kondisi
pasar yang kondusif bagi pelaku ekonomi untuk
melakukan transaksi lindung nilai;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Asing;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA
ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5582) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum
Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank
Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar
negeri.
2. Pihak Asing adalah:
a. Warga Negara Asing;
b. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap
(permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di
Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang
berbadan hukum Indonesia.
3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan
selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin
tinggal di Indonesia.
4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan
hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun
tidak termasuk:
a. kantor cabang Bank asing di Indonesia;
b. perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA);
c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki
kegiatan yang bersifat nirlaba.
5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli
valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk:
a. Transaksi…
- 4 -
a. Transaksi Spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan
valuta today dan/atau valuta tomorrow;
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option,
dan cross currency swap (CCS).
6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian
atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
7. Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau
imbalan, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro
nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak
piutang; atau
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
8. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana Rupiah yang
ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank
ataupun nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun
pemindahbukuan antar rekening pada Bank yang sama atau Bank
yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening
Rupiah penerima dana.
9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi,
sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain,
atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk
obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau
supranasional yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi
tersebut digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan
ekonomi di Indonesia, termasuk surat berharga yang berdasarkan
prinsip syariah.
10. Transaksi…
- 5 -
10. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing
terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan
penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
11. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar
valuta asing dan Rupiah, atau gabungan turunan dari nilai tukar
valuta asing dan Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan
Rupiah), sepanjang bukan merupakan structured product valuta
asing terhadap Rupiah.
12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu
dari lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200
(dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum
dalam Banker’s Almanac.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, Bank wajib:
a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang
transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank;
b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur
mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan
transaksi valuta asing;
c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank;
d. melakukan…
- 6 -
d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen
risiko Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan
tingkat kesehatan Bank Umum;
e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan penerapan
manajemen risiko bank; dan
f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing untuk pelaksanaan
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank
dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib
memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b.
investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment,
pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar
negeri.
(3) Underlying Transaksi perdagangan barang dan jasa dan investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga perkiraan
pendapatan dan biaya (income and expense estimation).
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk:
a. Penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan
b. Penempatan…
- 7 -
b. Penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa
tabungan, giro, deposito dan Negotiable Certificate of Deposit
(NCD).
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b maka Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. terdapat realisasi investasi; dan
b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk
investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi.
5. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
6. Ketentuan Pasal 9 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting
atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara
netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind).
10. Ketentuan…
- 8 -
10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Bank memastikan Pihak Asing menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 pada tanggal
transaksi untuk setiap transaksi.
(2) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta.
(3) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling
lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(4) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki tanggal jatuh waktu
kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud wajib diterima
oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sampai dengan
jumlah tertentu (threshold) yang penyelesaiannya akan dilakukan
secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Spot;
b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind) …
- 9 -
(unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah; atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan
melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari
kerja.
(6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib diterima oleh Bank
paling lambat pada saat terjadinya penambahan dana Rupiah
Pihak Asing.
11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (4),
Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17,
Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat
(1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3),
Pasal 25 ayat (4), Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal 25 ayat (6)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal
transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah
sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold)
kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau
b. total…
- 10 -
b.
total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal
nilai nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold)
tetapi dilakukan netting.
(3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar
Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran.
12. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal
32A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32A
Semua istilah Transaksi Derivatif yang tercantum dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing dan
peraturan pelaksanaannya, harus dibaca sebagai Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar…
- 11 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 117
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/7/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang
ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk
mempercepat pendalaman pasar valuta asing domestik. Pendalaman
pasar valuta asing domestik merupakan suatu langkah yang perlu
dilakukan melalui peningkatan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi
dalam melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan
ekonomi dan keuangan nasional dengan tetap memperhatikan
dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Sehubungan
dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing, melalui pengaturan yang
komprehensif untuk mendorong terciptanya pasar valuta asing yang
efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap gejolak.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang…
- 2 -
Yang dimaksud dengan “kontrak’ adalah konfirmasi
tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
yang antara lain berupa dealing conversation,
SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Pedoman internal tertulis berisi antara lain
pencatatan akuntansi, sumber daya manusia,
sistem dan penerapan manajemen risiko yang
disetujui oleh manajemen Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan.
Huruf b
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini
diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas
perbankan bahwa Bank yang dapat melakukan
transaksi valuta asing, baik Transaksi Spot
maupun transaksi derivatif plain vanilla
(forward, swap, option, dan CCS) paling
kurang adalah Bank BUKU 2.
Huruf c
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini
diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas
perbankan bahwa Bank wajib menerapkan
manajemen risiko secara efektif yang paling
kurang mencakup:
(a) pengawasan aktif dewan komisaris dan
direksi;
(b) kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit;
(c) kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko serta
sistem informasi manajemen risiko;
(d) sistem…
- 3 -
(d) sistem pengendalian intern yang
menyeluruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan
pemahaman kepada Pihak Asing mengenai
manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “foreign direct
investment” adalah investasi langsung Pihak
Asing ke dalam negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah
terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk
penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi
yang dalam proses penyelesaian.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka…
- 4 -
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok
secara penuh” untuk Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara
riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau
transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar
nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 32A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5702
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/7/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 1 Juni 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/17/PBI/2014' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 11 Pasal 30' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 11 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN
PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan
kebijakan moneter diperlukan penyesuaian terhadap perhitungan
penetapan maksimum suku bunga penjaminan Pasar Uang Antar
Bank;
b.
bahwa sehubungan dengan
penyempurnaan atas ketentuan maksimum suku
hal tersebut perlu dilakukan
bunga
penjaminan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI tanggal 12 April
2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga
Dan Pasar Uang Antar Bank;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana …
- 2 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR
6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN
SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR
BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tahun
2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang
Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4383) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
(4) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam US Dollar yang
dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga deposito dalam
US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya
ditambah atau dikurangi Marjin tertentu.
2. Penjelasan Pasal 2 Ayat (6) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank dapat menetapkan sendiri suku bunga PUAB berdasarkan suku bunga
pasar.
(2) Dalam rangka Program Penjaminan, bagi Bank yang memberikan suku
bunga PUAB lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang
ditetapkan, Pemerintah hanya menjamin PUAB sebesar pokok pinjaman
ditambah bunga sesuai suku bunga maksimum yang ditetapkan.
(3) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah dan US Dollar yang dijamin
Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang suku bunga PUAB
overnight dalam Rupiah dan US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya
ditambah atau dikurangi Marjin tertentu.
Pasal II …
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 2005 25
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 34
DPM
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 11 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN
PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (6)
Contoh perhitungan konversi simpanan pihak ketiga dalam
valuta asing non-US Dollar.
Seorang nasabah memiliki deposito sebesar Singapore Dollar
(SGD) 10.000 dengan suku bunga 1,25%. Dengan asumsi bahwa
suku bunga yang berlaku untuk deposito US Dollar (USD)
1,00%, maka besarnya pokok dan bunga deposito yang dijamin
oleh Pemerintah adalah sebagai berikut:
- Konversi …
- 2 -
-
Konversi nominal deposito SGD 10.000 ke dalam USD
adalah SGD 10.000 : 1,6692 = USD 5.991 (dengan asumsi
kurs: USD 1 = SGD 1,6692).
-
Bunga deposito SGD per tahun adalah SGD 10.000 x 1,25%
= SGD 125 atau bila dikonversi ke dalam USD menjadi
sebesar SGD 125 : 1,6692 = USD 74,9.
-
Bunga deposito SGD per tahun yang dijamin adalah SGD
10.000 x 1,00% = SGD 100 atau bila dikonversi ke dalam
USD menjadi SGD 100 : 1,6692 = USD 59,9.
Dengan demikian, jumlah yang dijamin untuk deposito SGD
tersebut adalah sebesar jumlah pokok setelah dikonversi ke
dalam USD yakni USD 5.991 ditambah dengan hasil konversi
bunga dengan menggunakan suku bunga US Dollar yang berlaku
yakni USD 59,9.
Selisih bunga deposito SGD tersebut yang melebihi dari
maksimum yang dijamin untuk deposito USD yaitu sebesar USD
74,9 – USD 59,9 = USD 15,0 tidak dijamin.
Angka 3
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4491
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/11/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2005 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/11/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3 / 8 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka membiayai pengusaha mikro
diperlukan penyediaan kredit dengan jumlah yang
memadai;
b. bahwa dengan memperhatikan perkembangan harga barang
dan jasa diperlukan penyesuaian terhadap jumlah plafon
kredit untuk membiayai pengusaha mikro dalam rangka
Proyek Kredit Mikro sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek
Kredit Mikro;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu mengubah Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor…..
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001
tentang Proyek Kredit Mikro sebagai berikut :
Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
“Pasal 20
(1) Jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah pengusaha mikro ditetapkan
sebagai berikut :
a. Untuk kredit yang pertama kali, diberikan maksimal sebesar Rp 2.000.000,00
(dua juta rupiah) per nasabah sesuai kebutuhan usaha.
b. Untuk kredit selanjutnya dapat dipertimbangkan secara bertahap diberikan
maksimal sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) per nasabah sesuai
kelancaran pembayaran kredit dan kebutuhan usaha.
(2) Apabila…..
(2) Apabila diperlukan perubahan atas jumlah kredit di atas maka akan ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 April 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 39
BKr/TPP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 8 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
UMUM
Seperti diketahui bahwa dalam pemberian kredit kepada pengusaha mikro
salah satu syarat yang harus dipenuhi agar usaha mikro tersebut berjalan dengan
baik adalah kredit yang diberikan jumlahnya memadai sesuai kebutuhan modal
usaha mikro yang bersangkutan. Dengan adanya perkembangan harga barang dan
jasa yang cenderung meningkat dewasa ini jumlah kredit untuk pengusaha mikro
tersebut sudah tidak memadai lagi. Untuk itu, ketentuan besarnya plafon kredit
kepada pengusaha mikro perlu disesuaikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Besarnya kredit untuk nasabah mikro yang baru
pertama kali maksimal Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah).
Huruf…..
Huruf b
Setelah kredit pertama lunas maka nasabah mikro yang
bersangkutan dapat mengajukan kembali kredit dengan
jumlah maksimal Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat 2
Dalam hal pada kemudian hari perlu penyesuaian atas
besarnya kredit maksimal pada ayat (1) tersebut di atas, maka
penyesuaian dimaksud dapat dituangkan dalam Surat Edaran
berdasarkan suatu keputusan Rapat Dewan Gubernur.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4089
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/8/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO </reg_title>
<set_date> 25 April 2001 </set_date>
<effective_date> 25 April 2001 </effective_date>
<changed_reg> '3/1/PBI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 25 /PBI/2011
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM
YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan semakin berkembangnya dunia
usaha dan ketatnya tingkat persaingan, kegiatan
usaha Bank menjadi semakin kompleks dan
beragam;
b. bahwa agar dapat lebih fokus pada pekerjaan
pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi
intermediasi dan sejalan dengan perundang-
undangan yang berlaku, Bank dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
c. bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko
bagi Bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan pengaturan tentang prinsip
kehati-hatian bagi Bank umum yang melakukan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
pihak lain dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
. . .
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PIHAK LAIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah;
2. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain
yang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian
penyediaan jasa tenaga kerja;
3. Perusahaan Penyedia Jasa adalah perusahaan yang melaksanakan
sebagian pekerjaan yang diserahkan Bank melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan
jasa tenaga kerja;
4. Dewan . . .
- 4 -
4. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas
adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perkoperasian;
5. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor
cabang bank asing yakni pemimpin kantor cabang dan
pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Alih Daya kepada Perusahaan Penyedia
Jasa.
(2) Dalam . . .
- 5 -
(2) Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko.
BAB II
ALIH DAYA
Pasal 3
(1) Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dilakukan Bank melalui perjanjian:
a. pemborongan pekerjaan; dan/atau
b. penyediaan jasa tenaga kerja.
(2) Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang
dialihdayakan sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan
kepada Perusahaan Penyedia Jasa.
Pasal 4
(1) Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank dikategorikan sebagai
berikut :
a. kegiatan usaha; dan
b. kegiatan pendukung usaha.
(2) Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan pendukung usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian
pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang.
(3) Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang
pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan
pendukung usaha Bank.
Pasal 5 . . .
- 6 -
Pasal 5
(1) Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. berisiko rendah;
b.
tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di
bidang perbankan; dan
c.
tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan
yang mempengaruhi operasional bank.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijabarkan
dalam kebijakan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) huruf b.
(3) Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan
beralihnya tanggung jawab atau risiko dari obyek pekerjaan yang
dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.
Pasal 6
Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan
Penyedia Jasa yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang
sesuai bidang usahanya;
c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta
pengalaman yang cukup;
d. memiliki sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan
pekerjaan yang dialihdayakan; dan
e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
BAB III
. . .
- 7 -
BAB III
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO
Bagian Pertama
Pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa
Pasal 7
Untuk memastikan pemenuhan persyaratan dalam rangka pemilihan
Perusahaan Penyedia Jasa, Bank wajib melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. meneliti dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
dan huruf b; dan
b. melakukan analisis dan penilaian terhadap aspek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, huruf d, dan huruf e, sebagai
berikut:
1. kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman
yang cukup;
2. sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan
pekerjaan yang dialihdayakan; dan
3. sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
Pasal 8
Hasil penelitian, analisis dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan dengan
baik.
Pasal 9
(1) Bank wajib memantau dan mengevaluasi pemenuhan persyaratan
Perusahaan Penyedia Jasa secara berkala, paling kurang sekali
dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi
perubahan kinerja dan/atau reputasi Perusahaan Penyedia Jasa.
(2) Hasil
. . .
- 8 -
(2) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan
dengan baik.
Bagian Kedua
Perjanjian Alih Daya
Pasal 10
(1) Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib membuat perjanjian
dengan Perusahaan Penyedia Jasa secara tertulis.
(2) Perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a.
b.
ruang lingkup pekerjaan;
jangka waktu perjanjian;
c. nilai kontrak;
d. struktur biaya dan mekanisme pembayaran;
e. hak, kewajiban, dan tanggung jawab Bank maupun
Perusahaan Penyedia Jasa, antara lain:
1. kewenangan Bank untuk melakukan evaluasi dan
pemeriksaan terhadap Perusahaan Penyedia Jasa terkait
dengan pelaksanaan perjanjian Alih Daya;
2. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa termasuk tenaga
kerja yang digunakan dalam Alih Daya untuk menjaga
kerahasiaan dan pengamanan informasi Bank dan/atau
nasabah Bank;
3. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa untuk
menyampaikan laporan dan informasi kepada Bank
secara tertulis dan berkala;
4. kewajiban . . .
- 9 -
4. kewajiban masing-masing pihak untuk mematuhi
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
5. kewajiban para pihak untuk melindungi hak dan
kepentingan nasabah Bank terkait dengan pekerjaan
yang dialihdayakan;
6. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa memiliki
contingency plan; dan
7. kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan
akses pemeriksaan kepada Bank Indonesia bersama-
sama dengan Bank dalam hal diperlukan;
f. ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan;
g. kriteria atau kondisi pengakhiran perjanjian sebelum
berakhirnya jangka waktu perjanjian (early termination);
h. sanksi dan penalti; dan
i. penyelesaian perselisihan.
Bagian Ketiga
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 11
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam
melakukan Alih Daya sesuai dengan skala, karakteristik, dan
kompleksitas pekerjaan yang dialihdaya.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan . . .
- 10 -
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen
risiko; dan
d. sistem pengendalian intern.
Pasal 12
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Alih Daya termasuk
penyempurnaan atas kebijakan Alih Daya tersebut; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan
manajemen risiko atas Alih Daya.
Pasal 13
Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup:
a. menyusun dan menyempurnakan kebijakan Alih Daya;
b. menetapkan prosedur Alih Daya;
c. menyetujui rencana Bank untuk melaksanakan Alih Daya;
d. memantau, mengevaluasi, dan bertanggung jawab atas penerapan
manajemen risiko atas Alih Daya; dan
e. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Alih Daya secara
keseluruhan.
Pasal 14
(1) Bank wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur
tertulis mengenai Alih Daya.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a.
tujuan . . .
- 11 -
a.
tujuan Alih Daya;
b. kriteria pekerjaan yang dialihdaya;
c. cakupan analisis;
d. kebijakan mitigasi risiko dalam pelaksanaan Alih Daya;
e. kriteria Perusahaan Penyedia Jasa;
f.
cakupan minimum perjanjian Alih Daya;
g. prosedur standar dalam melakukan Alih Daya; dan
h. penetapan unit atau fungsi khusus yang melaksanakan
proses Alih Daya dan kejelasan tugas dan tanggung
jawabnya.
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dikaji ulang secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan.
Pasal 15
(1) Bank wajib melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian terhadap seluruh risiko yang mungkin timbul dari
pelaksanaan Alih Daya.
(2) Pelaksanaan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu dan
dapat memberikan laporan yang akurat dan informatif mengenai
risiko pada pelaksanaan Alih Daya.
Pasal 16
(1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang efektif
atas Alih Daya.
(2) Sistem . . .
- 12 -
(2) Sistem pengendalian intern yang efektif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain meliputi:
a. pengawasan terhadap proses Alih Daya; dan
b. pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh
Perusahaan Penyedia Jasa.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib
dilakukan oleh pihak yang independen terhadap pihak yang
melakukan proses Alih Daya.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 17
(1) Bank wajib menyampaikan laporan mengenai Alih Daya kepada
Bank Indonesia secara lengkap, benar dan tepat waktu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.
rencana Alih Daya; dan
b. Alih Daya yang bermasalah.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling
kurang memuat informasi mengenai:
a.
jenis pekerjaan yang dialihdayakan;
b. gambaran umum dan cakupan pekerjaan;
c.
jenis perjanjian Alih Daya;
d. perkiraan jumlah tenaga kerja Alih Daya yang dibutuhkan;
e.
f.
jangka waktu perjanjian;
tujuan Alih Daya; dan
g. analisis perkiraan biaya dan manfaat, risiko dan mitigasinya.
(4) Laporan . . .
- 13 -
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling
kurang memuat informasi mengenai:
a.
jenis pekerjaan yang dialihdayakan;
b. nama Perusahan Penyedia Jasa;
c. gambaran permasalahan yang terjadi; dan
d.
langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib
disampaikan setiap tahun paling lambat setiap tanggal
31 Desember.
(6) Bank hanya dapat melakukan penambahan dan/atau perubahan
rencana pekerjaan yang dialihdayakan yang sudah dilaporkan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
paling banyak 1 (satu) kali, dan wajib menyampaikan Laporan
Perubahan Rencana Alih Daya dimaksud paling lambat pada
tanggal 30 Juni tahun berjalan.
(7) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) jatuh pada hari libur, maka
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
diketahuinya permasalahan oleh Bank.
Pasal 18
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 17
ayat (6), Pasal 21 ayat (1) huruf d, dan Pasal 21 ayat (2) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut:
a. bagi
. . .
- 14 -
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia ditujukan kepada Direktorat Pengawasan Bank
terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia ditujukan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
(1) Bank yang menyampaikan laporan Alih Daya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21
ayat (1) huruf d dan Pasal 21 ayat (2) melampaui batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (5), ayat (6) dan ayat (8), serta dalam Pasal 21 ayat (4)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagai berikut:
a.
terlambat 1 (satu) hari kerja sampai dengan 10 (sepuluh) hari
kerja dikenakan sanksi sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kerja keterlambatan;
b.
terlambat 11 (sebelas) hari kerja sampai dengan 20 (dua
puluh) hari kerja, dikenakan sanksi sebagaimana pada huruf
a ditambah dengan sanksi sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta
lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan
berikutnya;
c.
terlambat 21 (dua puluh satu) hari kerja atau lebih dikenakan
sanksi sebagaimana pada huruf a dan huruf b ditambah
dengan sanksi
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
per hari
. . .
- 15 -
per hari kerja keterlambatan berikutnya, dengan maksimum
total sanksi keterlambatan sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Bank yang diketahui oleh Bank Indonesia telah melakukan Alih
Daya tetapi belum menyampaikan laporan rencana Alih Daya
dan/atau penambahan atau perubahannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 17
ayat (6) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 20
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait
lainnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain
pekerjaan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) wajib melakukan langkah-langkah berikut:
a. dalam . . .
- 16 -
a. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian Alih Daya kurang dari
1 (satu) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat
berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian
paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu)
tahun tetapi tidak lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib
menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian
atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua)
tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua)
tahun, Bank wajib menghentikan perjanjian Alih Daya paling
lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action
plan) dalam rangka penyesuaian Alih Daya sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c.
e.
laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada huruf d
paling kurang memuat informasi mengenai:
1. strategi dan langkah untuk melanjutkan pelaksanaan
pekerjaan termasuk pemenuhan kebutuhan tenaga
kerja; dan
2.
jangka waktu rencana mengakhiri Alih Daya pekerjaan.
(2) Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang
diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib
menyampaikan laporan Alih Daya yang sedang berjalan.
(3) Laporan . . .
- 17 -
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang
memuat informasi mengenai:
a.
jenis pekerjaan yang dialihdayakan;
b. gambaran umum dan cakupan pekerjaan;
c.
jenis perjanjian Alih Daya;
d.
e.
jumlah tenaga kerja Alih Daya yang digunakan; dan
jangka waktu Alih Daya dan berakhirnya perjanjian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2)
wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 22
Bank yang telah melakukan Alih Daya sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, wajib melakukan penyesuaian sebagai berikut:
a. Bank yang belum memiliki atau telah memiliki kebijakan dan
prosedur Alih Daya namun belum sesuai dengan ketentuan
Peraturan Bank Indonesia ini wajib memiliki atau menyesuaikan
kebijakan dan prosedur paling kurang dengan memenuhi
pengaturan dalam Pasal 14 ayat (2), paling lama 6 (enam) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
b. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang
diperbolehkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini namun
Perusahaan Penyedia Jasa dan/atau cakupan perjanjian Alih Daya
belum memenuhi ketentuan Pasal 6 dan/atau Pasal 10 ayat (2):
1. dapat melanjutkan pelaksanaan Alih Daya sampai dengan
berakhirnya perjanjian; dan
2. dalam hal akan melakukan perpanjangan perjanjian Alih
Daya, Bank wajib:
a) melakukan . . .
- 18 -
a) melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas
pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan/atau
b) menyesuaikan perjanjian sesuai Pasal 10 ayat (2).
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 23
Alih Daya yang dilakukan oleh Bank selain tunduk pada Peraturan
Bank Indonesia ini juga tunduk pada Peraturan Bank Indonesia
lainnya yang terkait dengan Alih Daya. Khusus persyaratan
badan hukum Indonesia bagi Perusahaan Penyedia Jasa yang
menyelenggarakan pemrosesan transaksi tetap mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko
dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank Umum.
Pasal 24
Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan
Bank apabila menurut penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut
berpotensi membahayakan kelangsungan usaha Bank.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 26 . . .
- 19 -
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Desember 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 131
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 25 /PBI/2011
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM
YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN
UMUM
Semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat
persaingan mendorong semakin kompleks dan beragamnya kegiatan
usaha Bank. Hal ini menyebabkan Bank dituntut untuk berkonsentrasi
pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai
lembaga intermediasi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank untuk lebih
berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya adalah dengan menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain,
sehingga sumber daya Bank dapat dikerahkan pada pekerjaan-
pekerjaan pokok. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
pihak lain ini juga sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Disisi lain, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
pihak lain berpotensi meningkatkan risiko yang dihadapi Bank,
sehingga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut harus
dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko yang memadai. Disamping itu, kejelasan atas tanggung jawab
Bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut
dan . . .
- 2 -
dan aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting
untuk diperhatikan.
Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
pihak lain yang diiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah
diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus
dan sistem keuangan secara keseluruhan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam Alih Daya oleh Bank adalah Alih Daya yang
dilakukan oleh Unit Usaha Syariah pada Bank konvensional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini tidak mengatur mengenai pemborongan
pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang
pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang,
misalnya pengadaan slip setoran, buku tabungan,
inventaris kantor, pembangunan gedung kantor, dan
mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Huruf b . . .
- 3 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab
Bank atas akibat dari tindakan yang dilakukan oleh
Perusahaan Penyedia Jasa dalam melaksanakan pekerjaan
yang dialihkan, termasuk apabila terdapat tindakan yang
merugikan nasabah Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Pasal 19 dan Pasal
20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Termasuk kegiatan usaha antara
lain adalah penghimpunan dana dari masyarakat
(funding), pemberian kredit/pembiayaan (lending/
financing), serta membeli, menjual, atau menjamin atas
risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.
Huruf b . . .
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegiatan pendukung usaha”
adalah kegiatan lain yang dilakukan Bank di luar
kegiatan usaha Bank. Termasuk kegiatan pendukung
usaha antara lain adalah kegiatan yang terkait dengan
sumber daya manusia, manajemen risiko, kepatuhan,
internal audit, akunting dan keuangan, teknologi
informasi, logistik dan pengamanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pekerjaan pokok” adalah pekerjaan
yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur
kegiatan pendukung usaha Bank, sehingga apabila pekerjaan
tersebut tidak ada, maka kegiatan dimaksud akan sangat
terganggu atau tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dengan “alur” adalah serangkaian pekerjaan
dari awal sampai akhir dari suatu kegiatan usaha atau
kegiatan pendukung usaha, misalnya alur pemberian
kredit mencakup pekerjaan pemasaran, analisis kelayakan,
persetujuan, pencairan, pemantauan, dan penagihan kredit.
Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan usaha Bank
misalnya alur kegiatan pemberian kredit antara lain
pekerjaan account officer dan analis kredit; pada alur kegiatan
penghimpunan dana antara lain pekerjaan customer service,
customer relation dan teller.
Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan pendukung
usaha Bank misalnya alur kegiatan manajemen risiko antara
lain pekerjaan analisis risiko; pada alur pengembangan
organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia antara lain
pekerjaaan perencanaan dan pengembangan organisasi serta
perencanaan . . .
- 5 -
perencanaan sumber daya manusia; pada alur kegiatan
pengelolaan teknologi informasi antara lain pekerjaan
perencanaan dan pengembangan teknologi informasi; dan
pada alur kegiatan pengendalian internal antara lain
pekerjaan audit internal.
Yang dimaksud dengan “pekerjaan penunjang” adalah
pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha
atau alur kegiatan pendukung usaha Bank, sehingga apabila
pekerjaan tersebut tidak ada kegiatan dimaksud masih dapat
terlaksana tanpa gangguan yang berarti.
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank
misalnya alur kegiatan pemberian kredit antara lain
pekerjaan call center, pemasaran (telemarketing, direct sales/
sales representative) dan penagihan; dan pada alur kegiatan
perkasan misalnya pekerjaan jasa pengelolaan kas Bank.
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung
usaha antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris,
agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas
keamanan, pramubakti, kurir, data entry dan pengemudi.
Ayat (3)
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank
dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan ayat (2).
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pekerjaan berisiko rendah”
adalah pekerjaan yang apabila terjadi kegagalan tidak
akan . . .
- 6 -
akan mengganggu aktivitas operasional bank secara
signifikan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kualifikasi kompetensi di bidang
perbankan” antara lain mencakup pendidikan formal dan
pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan.
Huruf c
Proses pengambilan keputusan mencakup proses
analisis dan proses
judgement dalam rangka
pengambilan keputusan.
Keputusan yang mempengaruhi operasional bank adalah
keputusan yang dapat meningkatkan risiko secara
signifikan dan/atau mengganggu berjalannya
operasional bank apabila tidak dilakukan dengan benar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh, dalam Alih Daya penagihan kredit melalui
perjanjian pemborongan, Bank dilarang mengalihkan risiko
kredit yang ditimbulkan oleh tidak tertagihnya kredit dengan
menggunakan cara seperti mekanisme penjualan tagihan
kredit melalui skim anjak piutang.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 7 -
Pasal 7
Huruf a
Penelitian dokumen dilakukan terhadap informasi dan
kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Dalam hal
diperlukan dapat dilakukan konfirmasi atau klarifikasi
kepada instansi yang berwenang.
Huruf b
Analisis dan penilaian dilakukan untuk meyakini bahwa
Perusahaan Penyedia Jasa telah memenuhi seluruh kriteria
yang ditetapkan dan mampu melakukan Alih Daya.
Analisis dan penilaian menggunakan informasi dan kondisi
terkini Perusahaan Penyedia Jasa.
Kedalaman dan intensitas analisis dan penilaian disesuaikan
dengan skala dan kompleksitas pekerjaan yang
dialihdayakan.
Angka 1
Penilaian terhadap kinerja keuangan bertujuan untuk
memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki
kemampuan keuangan yang dapat mendukung
kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai perjanjian
yang telah disepakati, yang antara lain mencakup
penilaian terhadap modal, likuiditas dan profitabilitas
Perusahaan Penyedia Jasa.
Penilaian terhadap reputasi termasuk penilaian terhadap
track record Perusahaan Penyedia Jasa bertujuan untuk
menilai kepatuhan Perusahaan Penyedia Jasa terhadap
ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang antara lain mencakup:
1. permasalahan . . .
- 8 -
1. permasalahan hukum yang pernah atau sedang
dihadapi yang dapat berdampak negatif;
2. kepatuhan terhadap ketentuan dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
3. kepatuhan terhadap perjanjian Alih Daya dengan
Bank lain atau pemberi kerja sebelumnya.
Penilaian terhadap pengalaman Perusahaan Penyedia
Jasa bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan
Penyedia Jasa memiliki pengalaman yang memadai
untuk melaksanakan pekerjaaan yang dialihkan, antara
lain mencakup:
1. pengalaman perusahaan dalam menangani
pekerjaan yang dialihdayakan; dan/atau
2. pengalaman manajemen perusahaan dalam
menangani pekerjaan yang dialihdayakan.
Angka 2
Penilaian terhadap sumber daya manusia bertujuan
untuk memastikan pemenuhan kecukupan kuantitas
dan kualitas (keahlian) sumber daya manusia.
Angka 3
Penilaian terhadap sarana dan prasarana bertujuan
untuk memastikan kecukupan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan dalam Alih Daya, termasuk pemenuhan
kecukupan kuantitas dan kualitas serta spesifikasi
khusus yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
Pasal 8 . . .
- 9 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam struktur biaya adalah biaya-biaya
selain nilai kontrak yang terkait dengan pelaksanaan
pekerjaan.
Dalam mekanisme pembayaran diatur mengenai pihak
yang harus membayar biaya tersebut dan tata cara
pembayarannya.
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 . . .
- 10 -
Angka 2
Kewajiban menjaga kerahasiaan dan pengamanan
informasi nasabah mengacu pada ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
antara lain mengenai rahasia Bank dan ketentuan
Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
produk Bank dan penggunaan data pribadi
nasabah.
Angka 3
Cakupan dan frekuensi laporan sesuai dengan
kesepakatan para pihak.
Angka 4
Ketentuan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku antara lain di bidang ketenagakerjaan
dan perbankan.
Angka 5
Perlindungan hak dan kepentingan nasabah
mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku antara lain mengenai
perlindungan konsumen dan ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “contingency plan” adalah
upaya-upaya yang harus dilakukan oleh
Perusahaan Penyedia Jasa untuk mengatasi
keadaan memaksa atau gangguan yang signifikan
dalam pelaksanaan pekerjaan, antara lain yang
disebabkan oleh bencana alam, demonstrasi,
pemogokan . . .
- 11 -
pemogokan tenaga kerja, gangguan sistem dan/atau
perselisihan.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf f
Ukuran pelaksanaan pekerjaan meliputi ukuran atas
kuantitas dan/atau kualitas pekerjaan.
Standar pelaksanaan pekerjaan merupakan prosedur
yang paling kurang harus dipenuhi dalam proses
pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan. Standar
dimaksud dapat pula mengacu pada Standard Operating
Procedure (SOP) yang dimiliki oleh Bank.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12 . . .
- 12 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Tujuan mencakup penjabaran atas hasil yang ingin
dicapai melalui pelaksanaan Alih Daya, sesuai dengan
strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan.
Huruf b
Kriteria pekerjaan yang dapat dialihdaya paling kurang
mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf c
Cakupan analisis mencakup aspek-aspek antara lain
risiko, biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh Alih
Daya.
Dalam analisis manfaat dan biaya perlu memperhatikan
pula pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan pengawasan
oleh Bank atas Alih Daya tersebut.
Huruf d . . .
- 13 -
Huruf d
Dalam kebijakan mitigasi risiko mencakup jenis
pekerjaan yang harus dilakukan upaya mitigasi risiko
serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan atas
pekerjaan tersebut.
Huruf e
Kriteria Perusahaan Penyedia Jasa paling kurang
mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf f
Cakupan minimum perjanjian Alih Daya paling kurang
mengacu pada cakupan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf g
Prosedur standar dalam melakukan Alih Daya antara
lain mencakup prosedur pemilihan dan penetapan
Perusahaan Penyedia Jasa, pengikatan perjanjian, dan
pengawasan pelaksanaan Alih Daya.
Huruf h
Unit atau fungsi khusus tersebut dapat berdiri sendiri
atau merupakan bagian dari unit yang mengalihdayakan
pekerjaannya.
Ayat (3)
Frekuensi pengkajian ulang dilakukan sesuai kebutuhan
Bank dan perkembangan aktivitas Bank, terutama untuk
memastikan kesesuaian dengan strategi dan tujuan bisnis
Bank secara keseluruhan.
Pasal 15 . . .
- 14 -
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Proses Alih Daya merupakan serangkaian proses yang
harus dilakukan dalam rangka penunjukan dan
penggunaan Perusahaan Penyedia Jasa dalam Alih Daya.
Huruf b
Pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan
merupakan pengawasan atas pemenuhan perjanjian Alih
Daya termasuk pemenuhan ukuran dan standar yang
ditetapkan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak independen adalah :
a. unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang tidak
terkait dengan proses Alih Daya. Unit kerja atau fungsi
khusus tersebut dapat berdiri sendiri atau dapat
merupakan bagian dari unit atau fungsi khusus yang
berdiri sendiri sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan
Pasal 14 ayat (2) huruf h; atau
b. bagian dari unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank
yang melakukan pengawasan secara independen, antara
lain internal audit, manajemen risiko, atau kepatuhan.
Pasal 17 . . .
- 15 -
Pasal 17
Ayat (1)
Laporan mencakup laporan Bank secara gabungan untuk
seluruh kantor Bank. Laporan disampaikan oleh Bank yang
telah melakukan maupun yang merencanakan melakukan
Alih Daya.
Ayat (2)
Huruf a
Laporan rencana Alih Daya memuat rencana Alih Daya
atas pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan.
Tidak termasuk dalam pekerjaan yang belum pernah
dialihdayakan adalah perpanjangan perjanjian Alih Daya.
Huruf b
Alih Daya dianggap bermasalah apabila terjadi
permasalahan baik pada pelaksanaan Alih Daya
maupun pada Perusahaan Penyedia Jasa yang
berpotensi meningkatkan risiko Bank secara signifikan
dan/atau akan mengganggu kelangsungan pelaksanaan
pekerjaan yang dialihdayakan,
terlepas dari
mengakibatkan atau tidak mengakibatkan penghentian
perjanjian dan/atau penggantian Perusahaan Penyedia
Jasa.
Contoh permasalahan: pelanggaran ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pelanggaran perjanjian, gugatan, pengaduan nasabah,
perselisihan intern pada Perusahaan Penyedia Jasa baik
antar manajemen maupun antara manajemen dengan
karyawan.
Ayat (3)
. . .
- 16 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan
secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan dan lokasi
kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan.
Huruf c
Perjanjian Alih Daya yang dibuat berupa perjanjian
pemborongan dan/atau penyediaan jasa tenaga kerja.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Gambaran permasalahan menguraikan secara singkat
permasalahan yang terjadi, potensi risiko yang
ditimbulkan, lokasi, waktu terjadinya permasalahan dan
waktu diketahuinya permasalahan.
Huruf d . . .
- 17 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Laporan yang disampaikan mencakup rencana Alih Daya
yang akan dilakukan selama 1 (satu) tahun yang akan
datang.
Ayat (6)
Laporan Perubahan Rencana Alih Daya memuat paling
kurang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (3) serta uraian singkat latar belakang dan tujuan
penambahan dan/atau perubahan rencana Alih Daya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 18 -
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku
perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 3 (tiga)
bulan ke depan. Pada saat perjanjian berakhir, Bank
dapat menghentikan Alih Daya atau memperpanjang
perjanjian paling lama 9 (sembilan) bulan.
Huruf b
Contoh:
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku
perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 18
(delapan belas) bulan ke depan. Pada saat perjanjian
berakhir, Bank dapat menghentikan Alih Daya atau
memperpanjang perjanjian paling lama 6 (enam) bulan.
Huruf c
Contoh:
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku
perjanjian Alih Daya akan berakhir dalam waktu 30 (tiga
puluh) bulan ke depan. Dengan demikian, bank wajib
menghentikan perjanjian tersebut paling lambat 24 (dua
puluh empat) bulan atau 2 (dua) tahun sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
. . .
- 19 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan
secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan; lokasi
kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan; kesesuaian
dengan Peraturan Bank Indonesia dan informasi lain
yang relevan.
Huruf c
Jenis perjanjian Alih Daya meliputi perjanjian
pemborongan dan atau penyediaan jasa tenaga kerja.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Antara lain penyesuaian kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai Alih Daya, pelaksanaan analisis dan penilaian atas
pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa, dan
pengawasan Alih Daya.
Huruf b . . .
- 20 -
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5263
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/25/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN </reg_title>
<set_date> 9 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 9 Desember 2011 </effective_date>
<issued_date> 9 Desember 2011 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:9/17/PBI/2007
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip
syariah merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik
pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank
maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank;
b. bahwa penerapan prinsip syariah dalam pengelolaan bank
perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi sistem penilaian tingkat kesehatan;
c. bahwa penyempurnaan standar keuangan syariah merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi sistem penilaian tingkat kesehatan
bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf
c, dipandang perlu untuk mengatur sistem penilaian tingkat
kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN
RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut
BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan …
- 3 -
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Direksi:
a. bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPRS berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPRS berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
4. Tingkat Kesehatan BPRS adalah hasil penilaian kuantitatif dan kualitatif atas
berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja BPRS melalui:
a. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor permodalan,
kualitas aset, rentabilitas, likuiditas; dan
b. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen.
5. Penilaian …
- 4 -
5. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan dan
proyeksi rasio-rasio keuangan BPRS.
6. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor manajemen dan faktor-
faktor hasil penilaian kuantitatif dengan mempertimbangkan indikator
pendukung dan atau pembanding yang relevan.
7. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha BPRS.
8. Faktor Keuangan adalah salah satu faktor pembentuk Tingkat Kesehatan BPRS
yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas.
9. Peringkat Faktor Keuangan adalah hasil akhir penilaian gabungan dari faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas.
10. Peringkat Komposit adalah hasil akhir penilaian Tingkat Kesehatan BPRS yang
merupakan gabungan dari Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat manajemen.
BAB II
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BPRS
Pasal 2
(1) BPRS wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian
dan prinsip syariah dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat
Kesehatan BPRS.
(2) Dewan Komisaris dan Direksi BPRS wajib memantau dan mengambil langkah-
langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dipenuhi.
Pasal 3
Penilaian Tingkat Kesehatan BPRS mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
sebagai …
- 5 -
sebagai berikut:
a. permodalan (capital);
b. kualitas aset (asset quality);
c. rentabilitas (earning);
d. likuiditas (liquidity); dan
e. manajemen (management).
Pasal 4
(1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kecukupan, proyeksi dan kemampuan permodalan dalam mengantisipasi
risiko; dan
b. fungsi intermediasi atas dana investasi dengan metode profit sharing.
(2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas aktiva produktif dan konsentrasi eksposur risiko; dan
b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem dokumentasi dan kinerja
penanganan aktiva produktif bermasalah.
(3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba; dan
b. tingkat efisiensi operasional.
(4) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, dan potensi maturity
mismatch; dan
b. kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas.
(5) Penilaian …
- 6 -
(5) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas manajemen umum, termasuk pelaksanaan pemenuhan komitmen
kepada Bank Indonesia maupun pihak lain;
b. penerapan manajemen risiko terutama pemahaman manajemen atas risiko
BPRS; dan
c. kepatuhan BPRS terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi sosial.
Pasal 5
(1) Penilaian atas komponen dari faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor
rentabilitas, dan faktor likuiditas dihitung secara kuantitatif.
(2) Penilaian atas komponen dari faktor manajemen dilakukan secara kualitatif
dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan/atau pembanding yang
relevan.
(3) Berdasarkan hasil penilaian atas setiap komponen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan peringkat komponen.
(4) Peringkat setiap komponen dalam bentuk rasio sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu:
a. peringkat 1;
b. peringkat 2;
c. peringkat 3;
d. peringkat 4; atau
e. peringkat 5.
(5) Peringkat setiap komponen dari faktor manajemen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dalam 4 (empat) peringkat, yaitu:
a. peringkat A;
b. peringkat B;
c. peringkat …
- 7 -
c. peringkat C; atau
d. peringkat D.
Pasal 6
(1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap komponen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dinilai dan ditetapkan peringkat setiap faktor.
(2) Penilaian dan penetapan peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas
dan likuiditas dilakukan melalui analisis atas peringkat rasio utama dan
peringkat rasio penunjang dengan mempertimbangkan indikator pendukung
dan/atau pembanding yang relevan.
(3) Penilaian dan penetapan peringkat faktor manajemen dilakukan melalui
analisis atas peringkat komponen dari faktor manajemen dengan
mempertimbangkan informasi lain yang relevan.
Pasal 7
(1) Peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dibagi dalam 5 (lima) peringkat,
yaitu:
a. peringkat 1;
b. peringkat 2;
c. peringkat 3;
d. peringkat 4; atau
e. peringkat 5.
(2) Penilaian peringkat faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3) dibagi dalam 4 (empat) peringkat sebagai berikut:
a. Peringkat manajemen A mencerminkan bahwa BPRS memiliki:
1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang baik;
2). manajemen risiko yang kuat; dan/atau
3). kepatuhan …
- 8 -
3). kepatuhan yang tinggi terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan fungsi
sosial.
b. Peringkat manajemen B mencerminkan bahwa BPRS memiliki:
1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang cukup baik;
2). manajemen risiko memadai; dan/atau
3). kepatuhan yang cukup tinggi terhadap prinsip syariah dan pelaksanaan
fungsi sosial.
c. Peringkat manajemen C mencerminkan bahwa BPRS memiliki:
1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang kurang baik;
2). manajemen risiko yang cukup; dan/atau
3). kepatuhan yang rendah terhadap prinsip syariah dan atau pelaksanaan
fungsi sosial.
d. Peringkat manajemen D mencerminkan bahwa BPRS memiliki:
1). kualitas tata kelola (corporate governance) yang tidak baik;
2). manajemen risiko yang lemah; dan/atau
3). kepatuhan sangat rendah terhadap peraturan yang berlaku dan/atau
prinsip syariah dan atau pelaksanaan fungsi sosial.
Pasal 8
(1) Berdasarkan hasil penetapan peringkat faktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) dinilai dan ditetapkan Peringkat Faktor Keuangan.
(2) Proses penilaian Peringkat Faktor Keuangan dilaksanakan dengan
menjumlahkan hasil pembobotan atas nilai peringkat faktor permodalan,
kualitas aset, rentabilitas dan likuiditas.
(3) Peringkat …
- 9 -
(3) Peringkat Faktor Keuangan dibagi dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut:
a. Peringkat Faktor Keuangan 1, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki
kinerja keuangan yang sangat baik.
b. Peringkat Faktor Keuangan 2, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki
kinerja keuangan yang baik.
c. Peringkat Faktor Keuangan 3, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki
kinerja keuangan yang cukup baik.
d. Peringkat Faktor Keuangan 4, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki
kinerja keuangan yang kurang baik.
e. Peringkat Faktor Keuangan 5, mencerminkan bahwa kondisi Bank memiliki
kinerja keuangan yang tidak baik.
Pasal 9
(1) Berdasarkan Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat faktor manajemen,
ditetapkan Peringkat Komposit.
(2) Proses penilaian Peringkat Komposit dilaksanakan melalui penggabungan atas
Peringkat Faktor Keuangan dan peringkat faktor manajemen dengan
menggunakan tabel konversi serta mempertimbangkan indikator pendukung
dan atau pembanding yang relevan.
(3) Peringkat Komposit dibagi dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut:
a. Peringkat Komposit 1, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat
kesehatan yang sangat baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang
sangat baik.
b. Peringkat Komposit 2, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat
kesehatan yang baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang baik.
c. Peringkat Komposit 3, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat
kesehatan yang cukup baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup
baik …
- 10 -
baik.
d. Peringkat Komposit 4, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat
kesehatan yang kurang baik sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang
kurang baik.
e. Peringkat Komposit 5, mencerminkan bahwa Bank memiliki kondisi tingkat
kesehatan yang tidak baik sebagai akibat dari pengeloaan usaha yang tidak
baik.
Pasal 10
BPRS wajib melakukan penghitungan rasio-rasio keuangan yang terkait dengan
penilaian Tingkat Kesehatan BPRS secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan
Maret, Juni, September dan Desember.
BAB III
MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN
Pasal 11
(1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan bank, Bank Indonesia melakukan
penilaian Tingkat Kesehatan BPRS secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan
Maret, Juni, September dan Desember.
(2) Penilaian Tingkat Kesehatan BPRS dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan,
laporan berkala yang disampaikan BPRS dan/atau informasi lain.
(3) Dalam rangka melakukan penilaian tingkat kesehatan yang dapat
mencerminkan kondisi BPRS, Bank Indonesia dapat meminta informasi dan
penjelasan tambahan dari BPRS.
Pasal 12
(1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank
Indonesia meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham
untuk …
- 11 -
untuk menyampaikan rencana tindakan (action plan) apabila hasil penilaian
Tingkat Kesehatan BPRS menunjukkan:
a. satu atau lebih faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor rentabilitas,
dan faktor likuiditas memiliki peringkat 4 atau 5;
b. faktor manajemen memiliki peringkat C atau D; dan/atau
c. memiliki Peringkat Komposit 4 atau 5.
(2) BPRS wajib menyampaikan rencana tindakan secara tertulis (written action
plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 21 (dua puluh satu)
hari kerja setelah tanggal permintaan dari Bank Indonesia.
(3) Rencana tindakan (action plan) yang disampaikan BPRS kepada Bank
Indonesia merupakan komitmen BPRS yang wajib dipenuhi.
Pasal 13
(1) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindakan (action
plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan rencana tindakan (action plan).
(2) Dalam hal pelaksanaan rencana tindakan (action plan) dilakukan secara
bertahap, BPRS wajib melaporkan pelaksanaan setiap tahapan rencana
tindakan (action plan) dimaksud paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pelaksanaan setiap tahapan.
(3) Dalam hal BPRS belum melaksanakan dan atau menyelesaikan rencana
tindakan (action plan) yang telah disepakati, maka BPRS wajib melaporkan
alasan dan penyebab belum dilaksanakan dan atau diselesaikannya rencana
tindakan (action plan) dimaksud paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
target waktu penyelesaian yang ditetapkan.
BAB IV …
- 12 -
BAB IV
SANKSI
Pasal 14
BPRS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2, pasal 10, Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang
yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank.
Pasal 15
BPRS yang tidak memenuhi atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah); dan/atau
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang
yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Kewajiban BPRS untuk melakukan penghitungan rasio-rasio keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 untuk pertama kalinya menggunakan data posisi akhir
bulan Maret 2008.
BAB VI …
- 13 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku bagi
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 146
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:9/ 17/2007
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN
RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
(BPRS) merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengurus bank,
masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank
maupun pihak lainnya. Tingkat kesehatan BPRS tersebut dapat digunakan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengevaluasi kinerja BPRS dalam
menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan
manajemen risiko.
BPRS selain dituntut untuk memenuhi prinsip kehati-hatian dan penerapan
manajemen risiko, juga harus mampu melaksanakan operasional perbankan sesuai
dengan prinsip syariah dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta
kegiatan jasa perbankan lainnya. Dalam proses penilaian tingkat kesehatan BPRS
juga perlu dimasukkan penilaian atas risiko yang melekat (inherent risk) pada
aktivitas bank. Di samping itu, perkembangan kondisi bank yang bersifat dinamis
mendorong sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS yang dinamis pula sehingga
perlu diatur tersendiri agar dapat memberikan gambaran tentang kondisi saat ini dan
di waktu mendatang termasuk dalam penerapan prinsip-prinsip syariah.
Pengaturan sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS dilakukan dengan
melalui …
- 2 -
melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif dari faktor permodalan, kualitas aset,
rentabilitas dan likuiditas serta manajemen. Hasil akhir penilaian dimaksud dapat
digunakan BPRS sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di
waktu yang akan datang, dan bagi Bank Indonesia dapat digunakan sebagai sarana
penetapan dan implementasi strategi pembinaan dan pengawasan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Penilaian permodalan merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian
Kualitatif terhadap kecukupan modal BPRS untuk mengantisipasi
eksposur risiko saat ini dan di masa datang.
Huruf b
Penilaian kualitas aset merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian
Kualitatif terhadap kondisi aset BPRS dan kecukupan manajemen risiko
pembiayaan.
Huruf c
Penilaian rentabilitas merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian
Kualitatif terhadap kondisi dan kemampuan BPRS untuk menghasilkan
keuntungan dalam rangka mendukung kegiatan operasional dan
permodalan.
Huruf d
Penilaian …
- 3 -
Penilaian likuiditas merupakan Penilaian Kuantitatif dan Penilaian
Kualitatif terhadap kemampuan BPRS untuk memelihara tingkat
kemampuan BPRS dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.
Huruf e
Penilaian manajemen merupakan Penilaian Kualitatif terhadap
kemampuan manajerial pengurus BPRS untuk menjalankan usaha
termasuk komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain,
kecukupan manajemen risiko, dan kepatuhan BPRS terhadap prinsip
syariah dan pelaksanaan fungsi sosial, berupa peranan bank dalam
pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah (ZIS), wakaf uang dan lain-lain
yang relevan.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fungsi intermediasi atas dana profit sharing
adalah peran BPRS sebagai lembaga pengelola dana investasi terikat
maupun tidak terikat yang menggunakan metode profit sharing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemahaman manajemen BPRS atas risiko BPRS dapat dinilai atas
pernyataan manajemen, strategi, kinerja BPRS atau informasi lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 4 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Komponen dari faktor permodalan, faktor kualitas aset, faktor rentabilitas,
dan faktor likuiditas berupa rasio-rasio keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Peringkat 1 mencerminkan kondisi BPRS yang paling baik dan peringkat
5 mencerminkan kondisi BPRS yang paling buruk.
Ayat (5)
Peringkat A mencerminkan kualitas tata kelola (corporate governance)
paling baik dan peringkat D mencerminkan kualitas tata kelola (corporate
governance) paling buruk.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rasio utama” adalah rasio sebagai pembentuk
nilai peringkat faktor.
Yang dimaksud dengan “rasio penunjang” adalah rasio sebagai penambah
atau …
- 5 -
atau pengurang nilai peringkat faktor.
Yang dimaksud dengan “indikator pendukung” adalah informasi lain yang
dapat mempengaruhi hasil penilaian atas peringkat faktor antara lain rasio
pengamatan (observasi)
Yang dimaksud dengan “pembanding yang relevan” adalah informasi
sejenis dalam industri yang dapat diperbandingkan antara lain informasi
rata-rata tingkat rasio kecukupan modal bagi industri BPRS
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “informasi lain yang relevan” adalah informasi
yang terkait dengan faktor yang dinilai.
Pasal 7
Ayat (1)
Peringkat 1 mencerminkan kondisi BPRS yang paling baik dan peringkat
5 mencerminkan kondisi BPRS yang paling buruk.
Ayat (2)
Dalam penilaian tata kelola BPRS termasuk penilaian atas tingkat
kepatuhan BPRS terhadap ketentuan yang berlaku.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang sangat baik adalah
BPRS yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan
tingkat …
- 6 -
tingkat efisiensi operasi yang tinggi sehingga mampu berkembang
secara optimal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang baik adalah BPRS
memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat efisiensi
operasi yang cukup tinggi sehingga mampu berkembang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang cukup baik adalah
BPRS memiliki kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat
efisiensi operasi yang sedang namun BPRS masih memiliki
beberapa kelemahan dalam pengelolaan BPRS yang dapat
menurunkan kondisi keuangan BPRS.
Huruf d
Yang dimaksud kinerja keuangan yang kurang baik adalah BPRS
mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi membahayakan
kelangsungan usaha.
Huruf e
Yang dimaksud dengan kinerja keuangan yang tidak baik adalah
BPRS mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan
kelangsungan usaha dan kecil kemungkinan untuk dapat
diselamatkan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 7 -
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang sangat baik” adalah
apabila dalam pengelolaan kegiatan usaha, BPRS relatif tidak
memiliki kelemahan administratif dan operasional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang baik” adalah
apabila dalam pengelolaan kegiatan usaha, BPRS masih memiliki
kelemahan administratif dan operasional yang dapat segera diatasi
oleh tindakan rutin.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang cukup baik” adalah
apabila BPRS memiliki kelemahan yang dapat menurunkan
peringkat komposit apabila BPRS tidak segera melakukan tindakan
korektif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang kurang baik”
adalah apabila BPRS memiliki kelemahan yang serius dan apabila
tidak dilakukan tindakan yang efektif berpotensi mengalami
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pengelolaan usaha yang tidak baik” adalah
apabila BPRS memiliki kelemahan yang sangat serius dan apabila
tidak dilakukan tindakan yang efektif dan segera akan mengalami
kesulitan yang dapat menghentikan kelangsungan usaha.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi lain meliputi antara lain hasil penilaian oleh otoritas atau
lembaga lain yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Rencana tindakan (action plan) memuat langkah-langkah perbaikan
terhadap permasalahan yang berdampak besar (significant) dengan target
waktu penyelesaian selama periode tertentu.
Ayat (2)
Yang dimasud tanggal pemintaan adalah tanggal surat Bank Indonesia
atau tanggal risalah pertemuan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Laporan pelaksanaan rencana tindakan (action plan) yang disampaikan
BPRS antara lain memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung
terkait.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4787
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/17/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 4 Desember 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '30/12/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
Dicabut dengan PBI No. 2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/1/PBI/2000
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menciptakan lembaga perbankan yang
tangguh dan efisien diperlukan dukungan sumber daya
manusia perbankan yang memiliki integritas dan kompetensi
yang tinggi dalam mengelola bank;
b. bahwa dalam rangka menegakkan integritas dan kompetensi
sumber daya manusia perbankan diperlukan adanya penilaian
kemampuan dan kepatutan secara berkesinambungan;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang …
-2-
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST).
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan adalah hasil proses evaluasi secara
berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia terhadap
integritas pemegang saham pengendali, serta integritas dan kompetensi dari
pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan operasional Bank;
3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau
kelompok usaha yang memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang telah dikeluarkan Bank dan
mempunyai hak suara, atau memiliki saham kurang dari 25% (dua
4. puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang telah dikeluarkan Bank dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
puluh …
-3-
Bank baik secara langsung maupun tidak langsung;
5. Pengurus adalah pengurus Bank yang terdiri dari komisaris dan direksi;
6. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
7. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
7. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan 7. Pejabat …
-4-
dan operasional Bank serta bertanggung jawab langsung kepada Direksi.
Pasal 2
(1) Penilaian Kemampuan dan Kepatutan dilakukan terhadap Pemegang Saham
Pengendali, Pengurus, dan Pejabat Eksekutif Bank.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala atau
setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Ruang lingkup Penilaian Kemampuan dan Kepatutan meliputi faktor integritas
dan kompetensi.
(2) Kriteria faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. rekayasa dan praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan
perbankan;
b. perbuatan yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang telah
disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah;
c. perbuatan yang dapat dikategorikan memberikan keuntungan kepada
pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan Bank;
d. perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap
d. perbuatan …
-5-
ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan;
dan
e. perbuatan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang dapat dikategorikan
tidak independen.
(3) Kriteria faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai;
b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan;
dan
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
Pasal 4
Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diklasifikasikan dalam 3 (tiga)
kriteria yaitu:
a. lulus;
b. lulus bersyarat; atau
c. tidak lulus.
Pasal 5 …
-6-
Pasal 5
Dalam hal pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a diketahui memiliki kredit macet pada bank akan diklasifikasikan
menjadi lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.
Pasal 6
Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b diwajibkan untuk:
a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan
perbuatan yang serupa;
b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan
perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2); dan atau
c. melakukan perbaikan-perbaikan atau menambah pengetahuan yang diperlukan
sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 7
Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b dan Pasal 5, diwajibkan untuk menyelesaikan kredit macet yang
dimiliki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
Pasal 8
Pasal 8 …
-7-
Pihak-pihak yang diklasifikasikan tidak lulus dalam Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c:
a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif wajib segera mengundurkan diri sebagai
Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank;
b. bagi Pemegang Saham Pengendali wajib melepaskan seluruh atau sebagian
kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Pasal 9
(1) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan telah membuat
pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b,
dikenakan sanksi:
a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan
Pejabat Eksekutif Bank;
b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh
atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10%
(sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
apabila setiap saat melakukan lagi perbuatan serupa atau perbuatan
penyimpangan lainnya.
(2) Bagi …
-8-
(2) Bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang diklasifikasikan lulus bersyarat
dan ditetapkan untuk melakukan perbaikan atau menambah pengetahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, dikenakan sanksi
pemberhentian sebagai Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank, apabila tidak
mampu memenuhinya dalam waktu 1 (satu) tahun.
(3) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan tidak bersedia
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan
sanksi:
a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan
Pejabat Eksekutif Bank;
b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh
atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10%
(sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(4) Pihak-pihak yang diklasifikasikan lulus bersyarat dan ditetapkan untuk
menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dikenakan
sanksi :
a. bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif diberhentikan sebagai Pengurus dan
Pejabat Eksekutif Bank;
b. bagi Pemegang Saham Pengendali diwajibkan untuk melepaskan seluruh
atau sebagian kepemilikannya sehingga menjadi setinggi-tingginya 10%
(sepuluh perseratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
apabila tidak mampu menyelesaikan kredit macetnya dalam waktu 1 (satu)
tahun.
-9-
Pasal 10
Pasal 10 …
Pihak-pihak yang dinyatakan tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
pihak-pihak yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (4) dapat dimasukkan dalam daftar orang tercela di bidang
perbankan.
Pasal 11
Proses dan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bersifat rahasia dan hanya
dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk tugas-tugas dalam rangka pengaturan,
pengawasan, dan pemeriksaan Bank.
Pasal 12
(1) Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diberitahukan oleh Bank
Indonesia kepada Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang
dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) bersifat rahasia.
(3) Dalam hal Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang dinilai
memberitahukan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang
Pasal 13 …
-10-
timbul adalah menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
Pasal 13
Tata cara penentuan hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Januari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 3
-11-
DPNP
-12-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NO. 2/1/PBI/2000
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
I. UMUM
Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan-
perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan
sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-prektek perbankan
yang sehat (good corporate governance) serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung dengan
sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga
kepercayaan maka lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak
yang mempunyai integritas yang tinggi dan kompetensi yang memadai.
-13-
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank, kepada
Bank Indonesia telah diberikan wewenang pengaturan dan perizinan bagi
kelembagaan, termasuk kepengurusan dan kepemilikan Bank dan kegiatan usaha
Bank. Dalam kaitan tersebut, Bank Indonesia perlu melakukan Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan pemilik dan Pengurus serta Pejabat Eksekutif Bank.
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
tersebut perlu dilakukan secara
berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya kualitas sumber daya manusia
perbankan yang berintegritas dan kompeten.
manusia …
Disadari bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan yang selain
memperhatikan faktor-faktor integritas dan kompetensi serta kualifikasi lainnya
maka penilaian dimaksud juga mengandung faktor pertimbangan yang bersumber
pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Penilaian kemampuan
dan kepatutan seperti tersebut diatas merupakan kegiatan atau praktek-praktek
pengawasan bank yang lazim diterapkan secara internasional oleh otoritas
perbankan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank
Umum, dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan
Prinsip Syariah.
Kantor cabang bank asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor
-14-
Cabang Pembantu Dan Kantor Perwakilan Dari Bank Yang
Berkedudukan Di Luar Negeri.
Angka 2
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan merupakan kegiatan yang tidak
terpisahkan dari kegiatan pengawasan dan pemeriksaan Bank oleh Bank
Indonesia
Angka 3
Angka 3
Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang dengan
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, termasuk besan yang
secara bersama-sama memiliki saham Bank.
Yang termasuk dengan kelompok usaha adalah :
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau
hubungan keuangan.
-15-
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pemegang Saham
Pengendali berbentuk badan hukum dilakukan terhadap pemegang
saham pengendali dari badan hukum tersebut.
Pengendali …
Dalam hal Bank merupakan bagian dari suatu kepemilikan badan hukum
yang berjenjang, maka pendekatan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
terhadap Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak
yang terbukti mengendalikan baik secara langsung maupun tidak
langsung atas badan hukum yang berada pada setiap jenjang.
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan terhadap Pejabat Eksekutif
dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan indikasi peranan yang
-16-
bersangkutan dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang
mempengaruhi kelangsungan usaha Bank.
Ayat (2)
Pemeriksaan secara berkala atau sewaktu-waktu dimaksudkan agar
kualitas sumber daya manusia perbankan dapat terpelihara secara
berkesinambungan baik yang menyangkut integritas maupun
kompetensi.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Huruf a
Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang
dilakukan Bank untuk menyembunyikan pelanggaran dari suatu
ketentuan atau untuk mengaburkan kondisi keuangan dan atau
transaksi yang sebenarnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan
kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah
diperjanjikan sebelumnya, baik secara formal maupun informal,
kepada pihak lain yang berkepentingan secara konsisten dan
konsekuen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja
Ayat (2)
ketentuan …
-17-
secara tetap, memperoleh penghasilan dan fasilitas dari Bank, serta
tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank.
Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan Bank
adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan
yang menimbulkan kesulitan keuangan dan atau potensi kesulitan
keuangan Bank
Huruf d
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara
lain berupa ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum,
Kualitas Aktiva Produktif dan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto,
Pemantauan Likuiditas Bank Umum dan Restrukturisasi Kredit.
Huruf e
Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk
mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai dengan
profesi secara mandiri, berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan
Bank.
dengan …
Ayat (3)
Penilaian terhadap faktor kompetensi disesuaikan dengan tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan uraian tugas dari setiap Pengurus atau
Pejabat Eksekutif.
Huruf a
-18-
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan meliputi
pengetahuan tentang peraturan dan sistem operasional bank.
Huruf b
Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga
keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional,
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar
modal, dan hukum perundang-undangan, yang berkaitan dengan
bidang perbankan dan atau lembaga keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi
perkembangan dimasa yang akan datang, menginterpretasikan visi
menjadi misi Bank, dan analisa situasi industri perbankan.
Pasal 4 …
-19-
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ketentuan mengenai kualitas kredit macet berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif.
Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan atau
Pejabat Eksekutif, yang menjadi pengurus suatu badan hukum yang
mempunyai kredit macet, akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang
bersangkutan.
Pasal 6
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup.
Penyimpangan peraturan yang dilakukan sepanjang memenuhi kriteria lulus
bersyarat dan telah :
1) membuat pernyataan tertulis sesuai ketentuan pada huruf a dan huruf b;
2) menyelesaikan kredit macet yang dimiliki;
tidak dianggap sebagai suatu tindakan tercela yang menjadi persyaratan untuk
menjadi pengurus di bank lain.
Pasal 7
Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis
dari Bank pemberi kredit yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah
telah …
-20-
dilunasi atau kredit dimaksud tidak termasuk dalam kualitas macet.
Penyelesaian kredit macet tersebut juga dapat diakui apabila yang
bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan atau mengalihkan
sahamnya pada perusahaan atau badan hukum yang tercatat memiliki kredit
macet dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan mengenai daftar orang tercela di bidang perbankan mengacu
kepada ketentuan Bank Indonesia tentang Kriteria Perbuatan Tercela Di
Bidang Perbankan.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
-21-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3922
DPNP
-22-
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/1/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title>
<set_date> 14 Januari 2000 </set_date>
<effective_date> 14 Januari 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/22/PBI/2006
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menciptakan bank perkreditan rakyat
berdasarkan
prinsip syariah
pengembangan usaha perlu didukung
yang dapat melakukan
oleh struktur
permodalan yang kuat yang sesuai dengan karakteristik
bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, maka diperlukan ketentuan mengenai
kewajiban
penyediaan modal minimum bagi
perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor
10 Tahun
1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang …
bank
-2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN
RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
BAB II …
-3 -
BAB II
ASPEK PERMODALAN
Pasal 2
BPRS wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus)
dari aktiva tertimbang menurut risiko.
Pasal 3
(1) Modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terdiri dari:
a. modal inti; dan
b. modal pelengkap.
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari
modal inti.
Pasal 4
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. modal disetor;
b. agio saham;
c. dana setoran modal;
d. modal sumbangan;
e. cadangan umum;
f. cadangan tujuan;
g. laba yang ditahan setelah diperhitungkan pajak;
h. laba tahun lalu setelah diperhitungkan pajak;
i. laba …
-4 -
i. laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak dan
kekurangan penyisihan penghapusan aktiva produktif paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh perseratus);
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan
faktor pengurang berupa pos:
a. goodwill;
b. disagio;
c. rugi tahun lalu;
d. rugi tahun berjalan.
(3) Dalam perhitungan laba rugi tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) harus dikeluarkan pengaruh pajak tangguhan (deferred
tax).
Pasal 5
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri
dari:
a. selisih penilaian kembali aktiva tetap;
b. cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif paling tinggi
1,25% (seratus dua puluh lima persepuluhribu) dari aktiva tertimbang
menurut risiko;
c. modal pinjaman (modal kuasi) yaitu pinjaman yang didukung oleh
instrumen atau warkat yang mempunyai persyaratan sebagai berikut:
1. berdasarkan prinsip qardh;
2. tidak dijamin oleh BPRS penerbit (issuer) dan sifatnya dipersamakan
dengan modal serta telah dibayar penuh;
3. tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan
Bank Indonesia; dan
4. mempunyai …
-5 -
4. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah
kerugian BPRS melebihi
termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi.
d. investasi subordinasi paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari
modal inti dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
2. ada perjanjian tertulis antara BPRS dengan investor;
3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia, dalam
hubungan ini pada saat BPRS mengajukan permohonan persetujuan,
BPRS harus menyampaikan program pembayaran kembali
subordinasi tersebut;
saldo laba dan cadangan-cadangan yang
investasi
4. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh;
5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun;
6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat;
dan
7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari segala
pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal);
Pasal 6
BPRS dilarang melakukan distribusi modal atau laba apabila menyebabkan
rasio permodalan BPRS tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
BAB III …
-6 -
BAB III
ASPEK RISIKO PENYEDIAAN DANA
Pasal 7
Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri
dari:
a. Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko penyediaan dana
atau tagihan yang melekat pada setiap pos aktiva;
b. Pos tertentu dalam daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi (off-
balance sheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar
risiko penyediaan dana yang melekat pada setiap pos setelah terlebih
dahulu diperhitungkan dengan bobot faktor konversi.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 8
(1) BPRS wajib melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal
minimum sesuai ketentuan ini secara bulanan sesuai dengan format yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pelaporan sebagaimana diatur pada ayat (1) harus sudah disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 21 pada bulan berikutnya
setelah bulan laporan yang bersangkutan.
(3) BPRS dinyatakan terlambat melaporkan perhitungan kewajiban
penyediaan modal minimum apabila disampaikan melampaui tanggal 21
pada bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan akhir bulan.
(4) BPRS dinyatakan tidak melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan
modal minimum apabila Bank Indonesia belum menerima perhitungan
kewajiban …
-7 -
kewajiban penyediaan modal minimum sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Alamat penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Bagi BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Direktorat Perbankan Syariah,
MH.Thamrin No.2 Jakarta 10110; atau
Jl.
b. Bagi BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
BAB V
SANKSI
Pasal 9
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan/atau Pasal 6 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan, dan tindak lanjut penanganan terhadap
BPRS dalam pengawasan khusus.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat
(3) dan ayat
(4) dikenakan sanksi
administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa teguran tertulis.
BAB VI …
-8 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 79
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/22/PBI/2006
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Permodalan merupakan salah satu indikator utama kemampuan BPRS
dalam melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari maupun dalam rangka
pengembangan usaha kedepan, sehingga berkenaan dengan hal itu diperlukan
pengaturan tersendiri tentang permodalan minimum yang harus dipertahankan
oleh BPRS sehingga dapat mengantisipasi risiko untuk kelangsungan usaha
dan pengembangan usaha.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-2 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal yang
telah disetor secara riil dan efektif oleh pemilik serta telah
disetujui oleh Bank Indonesia.
Bagi BPRS yang berbentuk hukum koperasi, modal disetor
terdiri
atas
simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah
sebagaimana diatur dalam ketentuan perkoperasian.
Di dalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan
modal yang dipesan (subsribed capital stock) yang berasal
dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
tentang Ekuitas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan agio saham adalah selisih lebih
tambahan modal yang diterima BPRS sebagai akibat harga
saham melebihi nilai nominalnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan dana setoran modal adalah dana
yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal
namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan
untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti
pelaksanaan rapat umum pemegang
saham maupun
pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang.
Untuk …
-3 -
Untuk dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal
maka dana tersebut harus ditempatkan pada rekening khusus
(escrow account) dan tidak boleh ditarik kembali oleh
pemegang saham. Penggunaan dana dalam escrow account
tersebut harus dengan persetujuan Bank Indonesia.
Dalam hal dana setoran modal berasal dari calon pemilik
BPRS maka jika berdasarkan penelitian Bank Indonesia,
calon pemilik BPRS atau dana tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang saham atau modal, maka dana
tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen modal, dan
dapat ditarik kembali oleh calon pemilik.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan cadangan umum adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari
laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f
Yang dimaksud dengan cadangan tujuan adalah bagian laba
setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu
dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang
saham atau rapat
anggota sesuai
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf g sampai i
Cukup jelas.
Ayat (2) …
dengan ketentuan
-4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pajak tangguhan (deferred tax) adalah transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan
laba/rugi maka aktiva pajak tangguhan tidak diperhitungkan
dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan
diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus).
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan distribusi modal atau laba antara lain berupa
konversi cadangan (umum atau tujuan) menjadi pembayaran deviden
dan/atau pembayaran bonus kepada pengurus (management fee).
Apabila
dalam periode kepengurusan yang
bersangkutan BPRS
menunjukkan kinerja yang membaik namun kondisi permodalan tidak
memungkinkan untuk membayar bonus kepada pengurus (management
fee), maka pembayaran bonus dapat ditunda sampai dengan kondisi
permodalan BPRS memungkinkan untuk dilakukan pembayaran bonus
(management fee).
Pasal 7
Yang dimaksud dengan bobot
faktor konversi adalah bobot yang
diberikan terhadap kewajiban komitmen dan kontinjensi sehingga dapat
dipersamakan dengan aktiva neraca.
Pasal 8 …
-5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4648
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/22/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7 / 20 / PBI / 2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003
TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN
VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di
pasar perdana telah diubah oleh Pemerintah dengan Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
45/PMK.06/2005 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana ;
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 45/PMK.06/2005 tentang Lelang Surat Utang
Negara di Pasar Perdana tersebut ditetapkan bahwa
Perusahaan Pialang Pasar Uang dapat menjadi peserta Lelang
hanya untuk Lelang Surat Utang Negara jenis Surat
Perbendaharaan Negara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b tersebut
di atas
terhadap
dipandang perlu untuk melakukan perubahan
Peraturan Bank Indonesia
Nomor
5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah
dan Valuta Asing;
Mengingat...
-2-
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang
Lintas Devisa
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3844);
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003
tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan…
-3-
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia
ini
yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing selanjutnya
disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan yang didirikan khusus
untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di
bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan
atas jasanya .
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
dengan
telah
Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa perusahaan pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing.
4. Dihapus.
5. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
6. Dihapus.
7. Direksi adalah organ perusahaan pialang yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan
dan
diubah
tujuan perusahaan
serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
8. Komisaris…
-4-
8. Komisaris adalah organ perusahaan pialang yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat
kepada Direksi dalam menjalankan perusahaan pialang.
9. Hari adalah hari kalender kecuali ditetapkan sebagai hari kerja.
2. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 disisipkan 1(satu) ayat, yakni ayat
(1a), dan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 2
(1)
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang adalah
melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di
bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing
(1a) Perusahaan Pialang dapat pula melakukan kegiatan jasa perantara dalam
transaksi Surat Perbendaharaan Negara.
(2)
(3)
Dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (1a) Perusahaan Pialang dapat memperoleh imbalan
Pengguna jasa Perusahaan Pialang dalam pasar uang Rupiah dan
valuta asing adalah bank, kecuali dalam hal jasa perantara untuk
transaksi Surat Perbendaharaan Negara, pengguna jasa dapat berupa
bank dan non bank.
(4)
Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa
Perusahaan Pialang.
3. Ketentuan Pasal 4 huruf c diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4
Pasal 4…
-5-
Perusahaan Pialang dilarang :
a. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas namanya
sendiri dan atau dananya sendiri ;
b. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama
pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana pemilik Perusahaan Pialang
yang bersangkutan ;
c. memberikan jasa perantara di pasar modal ;
d. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa ; dan
e. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi disepakati.
4. Ketentuan Pasal 20 ayat (4) huruf e diubah sehingga Pasal 20 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 20
(1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran terhadap hal-hal
yang diatur dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan
sanksi sebagai berikut :
a.
b.
peringatan pertama ;
peringatan kedua ;
c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham ;
d. pencabutan izin usaha.
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi
peringatan pertama dalam hal
Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut :
a. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi
disepakati ; atau
a. memberikan…
-6-
b. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa
; atau
c. kepemilikan Perusahaan Pialang oleh warga negara asing dan atau
badan hukum asing melebihi 99% (sembilan puluh sembilan per
seratus) ; atau
d. tidak melaporkan
pelaksanaan kegiatan
usaha kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan kegiatan operasional ; atau
e.
tidak menyampaikan laporan berkala bulanan, laporan tahunan dan
laporan khusus secara benar dan akurat hingga batas waktu yang
ditetapkan.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal
Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut :
a.
tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi
peringatan pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya
sanksi peringatan pertama ; atau
b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2)
untuk kedua kali.
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau
pemegang saham dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran
sebagai berikut :
a. melakukan kegiatan usaha pialang sebelum memperoleh izin usaha
dari Bank Indonesia ; atau
b.
tidak mengajukan permohonan ijin kepada Bank Indonesia apabila
terjadi perubahan atas kepemilikan, susunan direksi dan komisaris
b. tidak…
-7-
dan atau tidak melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi
pergantian nama perusahaan ; atau
c. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas
namanya sendiri dan atau dananya sendiri ; atau
d. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas
nama pemilik Perusahaan Pialang
pialang ; atau
dan atau dana perusahaan
e. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau ayat (1a) ;
atau
f.
tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi
peringatan kedua selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikeluarkannya sanksi peringatan kedua ; atau
(5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal
perusahaan pialang tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6
(enam) bulan sejak
tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan
pengurus dan atau pemegang saham.
Pasal II…
-8-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 67
DPD
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/20/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 26 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 26 Juli 2005 </effective_date>
<changed_reg> '5/5/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 20' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/ 7 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO
BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa program sertifikasi manajemen risiko diperlukan untuk
meningkatkan kompetensi dan keahlian pengurus dan pejabat
bank umum dalam bidang manajemen risiko;
b. bahwa dalam implementasi program sertifikasi manajemen
risiko khususnya terkait masalah kelembagaan Lembaga
Sertifikasi Profesi diperlukan adanya sinergi dengan otoritas
sertifikasi profesi;
c. bahwa kualitas materi sertifikasi manajemen risiko juga perlu
dipelihara dan ditingkatkan agar selalu sejalan dengan
perkembangan terkini industri perbankan dan tetap mengacu
pada standar internasional;
d. bahwa jumlah pengurus dan pejabat bank umum yang belum
memiliki sertifikat manajemen risiko masih cukup banyak
sementara jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi yang
menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko masih
terbatas, maka dianggap perlu untuk menyesuaikan batas
waktu ...
- 2 -
waktu pemenuhan kewajiban sertifikasi manajemen risiko
bagi Pengurus dan Pejabat Bank;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, c, dan d diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor ...
- 3 -
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009 tentang
Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5011);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN
RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009
tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 80, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5011) diubah sebagai berikut:
1. Penjelasan Pasal 15 huruf a diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
2. Penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf a diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
3. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Kewajiban pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) dan ayat (3) wajib dipenuhi paling lambat tanggal 3 Agustus 2011.
Pasal II ...
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 63
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/ 7 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO
BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
I. UMUM
Pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko sejauh ini telah
memberikan hasil berupa mulai tumbuhnya risk awareness dan risk culture pada
industri perbankan, meningkatkan kemampuan bank dalam mengelola risiko, dan
menghasilkan sumber daya manusia perbankan yang qualified dan memiliki
kompetensi di bidang manajemen risiko. Untuk mendorong akselerasi
pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko dan memperluas kesempatan
pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi maka Bank Indonesia perlu meningkatkan
sinergi dengan otoritas lain yang menangani sertifikasi profesi khususnya berupa
pemberian rekomendasi dari Bank Indonesia kepada otoritas sertifikasi profesi.
Disamping itu, kualitas materi sertifikasi manajemen risiko juga perlu
dipelihara dan ditingkatkan agar selalu sejalan dengan perkembangan terkini
industri perbankan dan tetap mengacu pada standar internasional.
Berdasarkan realisasi pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko
sampai saat ini masih cukup banyak pengurus dan pejabat bank umum yang
belum memiliki sertifikat manajemen risiko sebagaimana yang dipersyaratkan
dalam ketentuan yang berlaku sementara itu jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi
yang ...
- 2 -
yang menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko masih terbatas, sehingga
perlu juga dilakukan penyesuaian batas waktu pemenuhan kewajiban sertifikasi
manajemen risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia menganggap perlu
untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/19/PBI/2009
tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 15
Huruf a
Bank Indonesia dapat memberikan rekomendasi
kepada otoritas yang berwenang terkait dengan
permohonan lisensi yang diajukan oleh calon
Lembaga Sertifikasi Profesi untuk menyelenggarakan
sertifikasi manajemen risiko.
Angka 2
Pasal 16
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Sertifikasi Manajemen
Risiko yang mengacu pada international best
practices adalah:
1) sertifikasi ...
- 3 -
1) sertifikasi yang mendapat pengakuan
secara internasional dan diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi internasional;
2) sertifikasi yang materinya mendapat
pengakuan secara internasional melalui
kerjasama dalam hal review materi
sertifikasi dengan lembaga sertifikasi
internasional; atau
3) sertifikasi yang berdasarkan penilaian
Bank Indonesia materinya mengacu kepada
standar internasional di bidang manajemen
risiko yang dikeluarkan oleh Basel
Committee on Banking Supervision.
Angka 3
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5129
DPNP/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/7/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/19/PBI/2009 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 19 April 2010 </set_date>
<effective_date> 19 April 2010 </effective_date>
<issued_date> 19 April 2010 </issued_date>
<changed_reg> '11/19/PBI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '11/19/PBI/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/1/PBI/2004
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung
pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing
sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan
yang cukup strategis, khususnya dalam perkembangan pasar
valuta asing domestik;
b. bahwa dalam upaya mendukung peningkatan penerimaan
devisa nasional melalui pengembangan pariwisata maka
pelayanan dan kemampuan pedagang valuta asing perlu
ditingkatkan;
c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat
dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang
berkesinambungan, pedagang valuta asing perlu melaksanakan
kegiatan usaha dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian,
termasuk penerapan prinsip mengenal nasabah;
d. bahwa dalam upaya turut menanggulangi tindak pidana
pencucian uang, pedagang valuta asing mempunyai peranan
yang cukup strategis dalam membantu instansi yang
berwenang;
e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut maka ketentuan
tentang pedagang valuta asing perlu diatur kembali dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3844);
4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 30; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4191)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4324);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG
VALUTA ASING.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing, yang selanjutnya disebut UKA, adalah uang kertas dalam
valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia yang
diakui sebagai alat pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender).
2. Traveller’s Cheque, yang selanjutnya disebut TC, adalah cek perjalanan dalam
valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang berlaku.
4. Bank adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
5. Pedagang Valuta Asing, yang selanjutnya disebut PVA, adalah perusahaan yang
melakukan jual beli UKA dan pembelian TC.
6. PVA bukan bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas yang
maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan
pembelian TC.
7. PVA bank adalah bank umum bukan bank devisa, kantor cabang bank umum
devisa yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa, Unit Usaha
Syariah dari bank umum devisa, dan Bank Perkreditan Rakyat, yang melakukan
kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC.
8. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor
cabang syariah;
9. Prinsip …
- 4 -
9. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip yang
diterapkan oleh PVA untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan;
10. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PVA.
BAB II
BIDANG USAHA
Pasal 2
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah jual beli UKA dan pembelian TC.
Pasal 3
PVA dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, antara lain:
a. memelihara hubungan korespondensi dengan bank-bank di luar negeri guna
mengeluarkan langsung perintah pembayaran yang diuangkan di luar negeri;
b. mentransfer/menagih sendiri ke luar negeri;
c. bertindak sebagai agen penjualan TC; dan atau
d. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi derivatif
lainnya.
Pasal 4
Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan mekanisme
pasar.
BAB III …
- 5 -
BAB III
PERSYARATAN PEDAGANG VALUTA ASING
Bagian I
PVA bukan bank
Pasal 5
PVA bukan bank melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank
Indonesia.
Pasal 6
Persyaratan izin usaha bagi PVA bukan bank adalah sebagai berikut :
a. perusahaan merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan
perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC dan telah
mendapat pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas dari instansi
berwenang;
b. kepemilikan perusahaan adalah perorangan warga negara Indonesia dan atau badan
hukum Indonesia yang seluruh pemilik dan pengurusnya terdiri dari warga negara
Indonesia;
c. modal disetor sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama PVA yang bersangkutan;
e. pengurus adalah perorangan warga negara Indonesia;
f. pengurus dan pemegang saham tidak tercatat sebagai penarik cek dan atau bilyet
giro kosong dan tidak memiliki kredit macet yang tercatat pada administrasi Bank
Indonesia;
g. memiliki tempat usaha dengan alamat yang jelas, sumber daya manusia dan sarana
penunjang kegiatan yang memadai.
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha PVA bukan bank untuk
mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat usaha.
Pasal 8
(1) PVA bukan bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib melaksanakan pembukaan kegiatan
usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya
izin usaha sebagai PVA.
(2) PVA bukan bank yang telah melaksanakan pembukaan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kegiatan
usaha dimaksud selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya
kegiatan usaha.
Pasal 9
PVA bukan bank melakukan pembukaan kantor cabang setelah mendapat izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 10
Persyaratan pembukaan kantor cabang bagi PVA bukan bank adalah sebagai berikut:
a. untuk pembukaan kantor cabang di propinsi yang sama dengan kedudukan kantor
pusat, sekurang-kurangnya PVA bukan bank telah beroperasi 2 (dua) tahun sejak
tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA;
b. untuk pembukaan kantor cabang di luar propinsi kedudukan kantor pusat,
sekurang-kurangnya PVA bukan bank telah beroperasi 3 (tiga) tahun sejak tanggal
dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA;
c. memiliki…
- 7 -
c. memiliki lokasi usaha dengan alamat yang jelas;
d. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir belum pernah memperoleh sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
(1) PVA bukan bank yang memperoleh izin pembukaan kantor cabang dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib melaksanakan
pembukaan kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal
dikeluarkannya izin pembukaan kantor cabang.
yang
(2) PVA bukan bank
telah
cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan
kantor cabang selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya
pembukaan kantor cabang yang bersangkutan.
Pasal 12
PVA bukan bank melaksanakan pemindahan alamat kantor setelah mendapat izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) PVA bukan bank yang telah mendapat izin pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaksanakan pemindahan alamat
kantor selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin
pemindahan alamat kantor.
melaksanakan pembukaan kantor
(2) PVA …
- 8 -
(2) PVA bukan bank yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan
alamat kantor tersebut selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak
dilaksanakannya pemindahan alamat kantor.
Pasal 14
PVA bukan bank melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham setelah
mendapat izin dari Bank Indonesia.
Pasal 15
Calon pengurus dan atau pemegang saham bagi PVA bukan bank yang diusulkan
sebagai pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 16
(1) PVA bukan bank wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi
penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang baik yang bersifat
sementara maupun permanen.
(2) Penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan maksimal 1 (satu) tahun.
(3) Dalam hal PVA bukan bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat
yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin usaha PVA
bukan bank dinyatakan tidak berlaku.
(4) Dalam hal PVA bukan bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor
cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin
pembukaan kantor cabang PVA bukan bank dinyatakan tidak berlaku.
(5) PVA …
- 9 -
(5) PVA bukan bank wajib melakukan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor
pusat dan atau kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak
berakhirnya jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(6) PVA bukan bank wajib melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor
pusat dan atau kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) selambat-
lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dibukanya kembali kegiatan usaha.
Bagian II
PVA bank
Pasal 17
(1) PVA bank melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapat izin atau
persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi bank umum bukan
devisa dan Bank Perkreditan Rakyat.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi kantor cabang
bank umum devisa yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa
dan UUS bank umum devisa.
Pasal 18
(1) Bank umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan
melakukan kegiatan usaha sebagai PVA wajib mengajukan permohonan izin
kepada Bank Indonesia.
(2) Penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut:
a. bagi…
- 10 -
a. bagi bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan
kepada:
i. Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10010, bagi bank umum bukan bank devisa;
ii. Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10010, bagi UUS bank umum bukan bank devisa;
iii. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010, bagi Bank Perkreditan Rakyat.
b. bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10010;
c. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan
mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Kantor pusat bank umum devisa wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal
kantor cabang bank yang bersangkutan yang belum ditingkatkan menjadi kantor
cabang bank devisa atau UUS bank yang bersangkutan akan melakukan kegiatan
usaha sebagai PVA.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada :
i. Bank …
- 11 -
i. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10010 bagi kantor cabang konvensional;
ii. Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10010 bagi UUS bank umum devisa;
b. bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan
kepada Bank Indonesia, cq. Direktorat Perbankan Syariah Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10010;
c. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia, disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan
mengacu pada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Bank umum bukan bank devisa yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai
PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
b. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Tahunan;
c. menyertakan rencana persiapan operasional dan hasil studi kelayakan yang
sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi dan peluang pasar.
(2) Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir sehat;
b. dalam…
- 12 -
b. dalam 12 (duabelas) bulan terakhir memiliki rasio Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Tahunan;
d. ketersediaan sarana penunjang.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a
dan b berdasarkan data administrasi Bank Indonesia.
Pasal 21
Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha sebagai PVA hanya
diperbolehkan memiliki saldo harian pos aktiva dalam valuta asing sebesar maksimal
20% dari modal disetor.
Pasal 22
Izin atau persetujuan bagi PVA bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
a. kantor pusat Bank yang bersangkutan dinyatakan dibekukan atau dicabut izin
usahanya oleh otoritas yang berwenang; atau
b. kantor cabang Bank atau UUS dinyatakan ditutup atau tidak beroperasi oleh
kantor pusat Bank yang bersangkutan; atau
c. kantor cabang Bank atau UUS dinyatakan tidak melakukan lagi kegiatan usaha
sebagai PVA oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Bank Perkreditan Rakyat yang ditetapkan dalam pengawasan khusus oleh Bank
Indonesia tidak dapat melakukan kegiatan usaha sebagai PVA.
(2) Kegiatan …
- 13 -
(2) Kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan kembali setelah Bank Perkreditan Rakyat yang bersangkutan
dikeluarkan dari status pengawasan khusus.
BAB IV
PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PVA
Pasal 24
(1) PVA wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles).
(2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), PVA wajib:
a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi Nasabah;
d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
(3) PVA bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sesuai dengan
ketentuan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang berlaku bagi Bank.
Pasal 25
(1) Direksi PVA bertanggung jawab atas penerapan dan pengawasan pelaksanaan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Direksi PVA bertanggung jawab atas pemberian pengetahuan dan atau pelatihan
bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 26 …
- 14 -
Pasal 26
PVA bukan bank wajib menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 12 (dua belas)
bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB V
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 27
Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA.
Pasal 28
(1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA bukan bank, Bank
Indonesia dapat bekerja sama dengan Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang
ditunjuk Bank Indonesia.
(2) Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang bekerja sama dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan
pembinaan yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan
b. menyampaikan laporan hasil pengawasan dan pembinaan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 29
(1) PVA wajib menyampaikan laporan berkala, meliputi laporan kegiatan usaha
dan laporan keuangan, serta laporan khusus secara benar dan akurat.
(2) Laporan…
- 15 -
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan oleh
PVA bank hanya berupa laporan kegiatan usaha.
(3) PVA wajib menyimpan warkat transaksi jual-beli UKA dan pembelian TC dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq.
Bagian Administrasi Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010;
b. bagi PVA yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan
mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
Pasal 30
(1) Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), PVA wajib
menyampaikan:
a. laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa;
b. laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta Rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik yang
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun dalam beberapa kali transaksi
dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
BAB VI …
- 16 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 31
(1) Dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur
dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut:
a. peringatan pertama;
b. peringatan kedua;
c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham;
d. pencabutan izin usaha.
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal PVA bukan
bank melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak melaksanakan pembukaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor
cabang atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan
usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau
b. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang
atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha
hingga batas waktu yang ditetapkan; atau
c. tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha hingga batas waktu yang
ditetapkan; atau
d. tidak menyampaikan laporan keuangan hingga batas waktu yang ditetapkan;
atau
e. tidak menyampaikan laporan khusus hingga batas waktu yang ditetapkan.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal PVA bukan bank
melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan
pertama …
- 17 -
pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan
pertama; atau
b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk
kedua kali.
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang
saham dalam hal PVA bukan bank melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat izin dari Bank
Indonesia; atau
b. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin dari Bank
Indonesia; atau
c. melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham sebelum mendapat
izin dari Bank Indonesia; atau
d. menyampaikan laporan berkala serta laporan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) secara tidak benar dan akurat; atau
e. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan kedua
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi
peringatan kedua; atau
f. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang
yang bersifat sementara; atau
g. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2; atau
h. tidak menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah hingga batas waktu yang ditetapkan; atau
i. tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dan Pasal 25.
(5) Bank …
- 18 -
(5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA
bukan bank tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham.
Pasal 32
PVA yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
Dalam hal PVA bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 35
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/2/PBI/2003 tentang Pedagang Valuta Asing dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
- 19 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Januari 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 2
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/1/PBI/2004
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
UMUM
Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing
yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan
Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa
(Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi
distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi
jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Pedagang Valuta Asing.
Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga penunjang
sektor keuangan, pedagang valuta asing yang terdiri dari bank (yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah) serta bukan
bank, memiliki peranan yang cukup strategis dalam mempengaruhi perkembangan
kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan pembelian traveller’s cheque.
Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan
kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu
persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum perseroan
terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum perseroan terbatas memiliki
sifat/ …
- 2 -
sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari sisi pengaturan akuntabilitas dan
transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain.
Selanjutnya, dalam upaya mencegah industri pedagang valuta asing digunakan
sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung oleh pelaku kejahatan, serta dengan memperhatikan rekomendasi The
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), maka pedagang valuta
asing perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles).
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan
yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin pesatnya
perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu dilakukan
desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap
pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia ke Kantor Bank Indonesia setempat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
- 3 -
Huruf d
Yang dimaksud margin trading adalah transaksi jual beli mata uang
(valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih
kurs.
Yang dimaksud spot adalah transaksi jual/beli tunai antara dua mata uang
(valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari kerja setelah tanggal
transaksi.
Yang dimaksud forward adalah transaksi jual/beli berjangka antara dua
mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari dua hari
kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud swap adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang
(valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan
atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara
bersamaan.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9 …
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20…
- 6 -
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan pos aktiva dalam valuta asing adalah pos dalam laporan
bulanan Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Penetapan status pengawasan khusus yang dimaksud sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25 …
- 7 -
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi kegiatan
pengawasan langsung atau pemeriksaan (on the spot) dan pengawasan tidak
langsung, antara lain pemantauan terhadap pelaksanaan ketentuan yang
berlaku dan penelitian terhadap kebenaran laporan yang disampaikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain pelatihan
penyusunan laporan dan penyuluhan mengenai keaslian uang.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dalam ayat ini adalah bahwa
dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA bukan
bank, Bank Indonesia dapat bermitra atau menunjuk Asosiasi PVA atau
pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29 …
- 8 -
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan laporan khusus adalah laporan yang bersifat
insidentil yang dapat diminta Bank Indonesia dalam hal diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta
kebiasaan pola transaksi dari nasabah atau pengguna jasa
bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah atau
pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat 2 …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Hal-hal yang diatur antara lain meliputi tatacara perizinan, penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah, pengawasan, pelaporan, dan pengenaan sanksi.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4354
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/1/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 6 Januari 2004 </set_date>
<effective_date> 6 Januari 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '5/2/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '25/UU/2003', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999', '15/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/10 /PBI/2003
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya,
bank dapat melakukan kegiatan penyediaan dana dalam
bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan;
b. bahwa dalam melakukan kegiatan penyediaan dana dalam
bentuk penyertaan modal tersebut, bank wajib
memperhatikan kecukupan modal, prinsip kehati-hatian,
pengendalian intern, profil risiko dan prinsip keterbukaan
kepada publik;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang
perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip
Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN: …
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN
MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank;
3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam
bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity
options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan
memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
4. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa
guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan;
5. Investee …
- 3 -
5. Investee adalah Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan tempat Bank
melakukan Penyertaan Modal;
6. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank dalam
Perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap)
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku,
termasuk dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi
saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank
memiliki atau akan memiliki saham pada Perusahaan Debitur;
7. Perusahaan Debitur adalah perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan
Modal Sementara.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN PENYERTAAN MODAL
Pasal 2
Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-
hatian.
Pasal 3
Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan apabila:
a. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai
ketentuan yang berlaku;
b.
tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank dan tidak secara material
meningkatkan profil risiko Bank;
c. Bank memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk kegiatan
Penyertaan Modal, sekurang-kurangnya untuk memastikan bahwa:
1. analisis …
- 4 -
1. analisis dan prosedur pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dilakukan
sesuai dengan profil risiko Bank;
2. terdapat dokumentasi dan pemantauan secara periodik;
3. terdapat prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat; dan
4. terdapat kemudahan untuk dilakukan jejak audit (audit trail);
d. rencana Penyertaan Modal telah dicantumkan dalam Rencana Kerja Tahunan
Bank;
e. Bank tidak sedang dalam status pengawasan intensif, kecuali penempatan
Bank dalam status pengawasan intensif hanya karena Bank berperan cukup
signifikan terhadap risiko sistemik dalam sistem perbankan dan atau memiliki
pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional;
f.
Bank tidak sedang dalam status pengawasan khusus sesuai ketentuan yang
berlaku; dan
g. Bank tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan
usaha tertentu dalam 12 (dua belas) bulan terakhir oleh Bank Indonesia dan
atau oleh otoritas lain.
Pasal 4
(1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau melalui pasar
modal.
(2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual
beli saham.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
(1) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) setinggi-
tingginya sebesar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal setinggi-tingginya 25% (dua
puluh lima perseratus) dari Modal Bank.
(3) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak
berlaku untuk peningkatan Penyertaan Modal karena penerapan metode
ekuitas sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku sepanjang tidak
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak akhir tahun buku Investee.
Pasal 6
(1) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia
untuk setiap Penyertaan Modal yang akan dilakukan.
lanjutan (subsequent
(2) Penyertaan Modal
sama juga wajib memperoleh persetujuan terlebih
Indonesia.
Pasal 7
(1) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila jumlah Penyertaan
Modal Bank melampaui 25 % (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank
yang disebabkan karena menurunnya Modal Bank atau perubahan nilai
tukar.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri dengan
action plan untuk menyelesaikan pelampauan jumlah Penyertaan Modal
tersebut.
(3) Jangka …
investment) pada Investee yang
dahulu
dari Bank
- 6 -
(3) Jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
(4) Laporan pelampauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan action plan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah terjadinya pelampauan.
Pasal 8
(1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal apabila Penyertaan
Modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan
penurunan permodalan Bank dan atau peningkatan profil risiko Bank secara
signifikan.
(2) Rencana divestasi Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum divestasi Penyertaan Modal dilaksanakan.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk mengambil langkah-
langkah perbaikan (corrective actions) dan atau merekomendasikan kepada
otoritas yang berwenang
untuk melakukan
tindakan
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Investee.
(2) Perintah dan atau rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia kegiatan usaha
Investee:
a. mencerminkan kondisi keuangan dan non keuangan yang tidak sehat; dan
atau
b. mengganggu kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
BAB III …
perbaikan
atau
- 7 -
BAB III
TATA CARA PERSETUJUAN PENYERTAAN MODAL
Pasal 10
(1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh
persetujuan
Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Penyertaan
Modal dilakukan, dengan dilampiri:
a. hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank, termasuk proyeksi
kecukupan permodalan sebelum dan sesudah pelaksanaan Penyertaan
Modal;
b.
hasil analisis profil risiko Bank, sebelum dan sesudah pelaksanaan
Penyertaan Modal;
c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal;
d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal;
e. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa Penyertaan
Modal yang dilakukan adalah dalam rangka investasi jangka panjang dan
tidak dimaksudkan untuk jual beli saham;
f. perlakuan akuntansi Penyertaan Modal yang diterapkan Bank;
g. Penyertaan Modal dan atau rencana Penyertaan Modal yang dilakukan
oleh pihak terkait dengan Bank pada Investee yang sama;
h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee;
i.
laporan keuangan tahun terakhir dan laporan keuangan interim
triwulanan terakhir, serta proyeksi keuangan Investee;
j. struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir Investee;
k. identitas …
- 8 -
k. identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak yang melakukan
pengendalian terhadap Investee atau pihak lain yang akan melakukan
Penyertaan Modal bersama-sama dengan Bank;
l. perjanjian dan atau rencana perjanjian yang ada:
1. antara pemegang saham Investee; dan atau
2. antara Bank dengan pemegang saham Investee yang menjual saham
kepada Bank;
m. hasil due dilligence dari Investee, apabila diminta oleh Bank Indonesia;
n. surat keterangan dari otoritas berwenang yang mengawasi kegiatan usaha
Investee; dan
o. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran dasar Investee.
(2) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal 20% (dua puluh perseratus)
atau lebih dari modal Investee atau memenuhi kriteria pengendalian, selain
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga wajib
menyampaikan dokumen berupa:
a.
studi
kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan
peluang pasar Investee;
b. informasi mengenai kompetensi dan integritas dari pengurus, dan pejabat
eksekutif dan integritas pemegang saham mayoritas dari Investee.
Pasal 11
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen dan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 yang disampaikan dalam rangka permohonan persetujuan
Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia.
Pasal 12 …
- 9 -
Pasal 12
Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disampaikan
kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin No.2
Jakarta 10010 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
Pasal 13
(1)
Persetujuan
atau
penolakan atas
permohonan
Penyertaan
Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan
atau
penolakan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b.
luar
analisis atas kemampuan Bank dan kelayakan kegiatan Penyertaan
Modal, berdasarkan informasi atau dokumen yang disampaikan dan
informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta
Bank dan atau Investee untuk memberikan komitmen tertulis.
(4) Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap komitmen sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), Bank Indonesia dapat memerintahkan kepada Bank untuk
mengambil tindakan tertentu.
Pasal 14 …
- 10 -
Pasal 14
Bank Indonesia dapat memerintahkan
Bank untuk melakukan
Penyertaan Modal atau menolak permohonan Penyertaan
Modal
divestasi
apabila
Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal Bank pada perusahaan yang
berlokasi di dalam maupun di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan
menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia.
BAB IV
PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL
Bagian Pertama
Perlakuan Akuntansi
Pasal 15
(1) Penyertaan Modal wajib dicatat dalam portofolio investasi jangka panjang
dan dinilai berdasarkan:
a. metode ekuitas (equity method) apabila Penyertaan Modal mencapai 20%
(dua puluh perseratus) atau lebih dari modal Investee atau Penyertaan
Modal memenuhi kriteria unsur pengendalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2); atau
b. metode biaya (cost method) apabila Penyertaan Modal kurang dari 20%
(dua puluh perseratus) dari modal Investee.
(2) Bank wajib mengkonsolidasikan laporan keuangan Investee apabila telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan konsolidasi laporan keuangan
sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan dan Peraturan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 16 …
- 11 -
Pasal 16
(1) Penyertaan Modal wajib dinilai berdasarkan nilai pasar (mark to market)
apabila Penyertaan Modal yang dicatat dengan metode biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b memiliki nilai pasar.
(2) Laba atau rugi yang belum direalisasi dari Penyertaan Modal yang
didasarkan atas nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dicatat dalam pos modal dalam
neraca Bank
komprehensif lain (other comprehensive income).
Pasal 17
(1) Bank wajib mengakui kerugian karena adanya penurunan nilai permanen
(permanent impairment) dari Penyertaan Modal.
(2) Definisi dan perlakuan atas penurunan nilai permanen Penyertaan Modal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengacu kepada standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kualitas Penyertaan Modal
Pasal 18
Kualitas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
ditetapkan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
sebagai
pendapatan
BAB V …
- 12 -
BAB V
PERLAKUAN AKUNTANSI
DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Bagian Pertama
Perlakuan Akuntansi dan Penilaian Penyertaan Modal Sementara
Pasal 19
(1) Nilai Penyertaan Modal Sementara pada saat dilakukan restrukturisasi kredit
wajib didasarkan pada nilai wajar dari Perusahaan Debitur.
(2) Penyertaan Modal Sementara wajib dinilai dengan metode biaya (cost
method).
(3) Bank tidak perlu melakukan konsolidasi laporan keuangan atas Penyertaan
Modal Sementara kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia berdasarkan
hasil pengawasan.
Pasal 20
(1) Bank wajib mengakui kerugian karena adanya penurunan nilai permanen
(permanent impairment) dari Penyertaan Modal Sementara.
(2) Definisi dan perlakuan atas penurunan nilai permanen Penyertaan Modal
Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengacu kepada
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kualitas Penyertaan Modal Sementara
Pasal 21
(1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara dinilai berdasarkan batas waktu yang
ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku dan kemungkinan penjualan
Penyertaan …
- 13 -
Penyertaan Modal Sementara dalam batas waktu tersebut.
(2) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. lancar, apabila belum melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun;
b. kurang lancar, apabila telah melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun namun
belum melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun;
c. diragukan, apabila telah melebihi jangka waktu 4 (empat)
belum melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun;
tahun dan
d. macet, apabila Penyertaan Modal Sementara belum ditarik kembali
meskipun Perusahaan Debitur telah memiliki laba kumulatif.
(3) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai
bahwa:
a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan
dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan atau
b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan.
Pasal 22
Bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva
terhadap Penyertaan Modal Sementara berdasarkan
kualitas
produktif (PPAP)
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 23
Dalam pelaksanaan Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib berpedoman pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan Bank Indonesia lain
yang berlaku.
BAB VI …
- 14 -
BAB VI
TRANSPARANSI PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 24
(1) Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan
Modal Sementara dalam Laporan Tahunan.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB VII
PENGELOLAAN KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DAN
PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 25
(1) Bank wajib memiliki kebijakan tertulis mengenai
Modal dan Penyertaan Modal Sementara.
kegiatan Penyertaan
(2) Direksi Bank wajib terlibat langsung dalam perumusan kebijakan kegiatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
(3) Kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disetujui
komisaris Bank.
(4) Komisaris Bank wajib mengawasi
pelaksanaan kebijakan
oleh
kegiatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 26 …
- 15 -
Pasal 26
(1) Bank wajib menetapkan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara.
(2) Prosedur pelaksanaan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal
Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)
sekurang-kurangnya
meliputi:
a. analisa dan proses persetujuan;
b. evaluasi secara berkala;
c. perlakuan akuntansi dan metode penilaian (valuation method);
d. jejak audit (audit trail);
e. laporan berkala dari Investee dan Perusahaan Debitur; dan
f. tindakan Bank apabila terjadi penurunan nilai Penyertaan Modal dan
Penyertaan Modal Sementara (contingency plan).
Pasal 27
(1) Bank wajib membuat sistem pengendalian intern mengenai pelaksanaan
kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara secara tertulis.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. kecukupan dan kesesuaian kebijakan serta prosedur;
b. kecukupan metode penilaian;
c. identifikasi risiko;
d. kepatuhan terhadap ketentuan intern Bank dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. pelaporan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara
kepada direksi dan atau dewan komisaris Bank.
BAB VIII …
- 16 -
BAB VIII
LAIN-LAIN
Pasal 28
Bank dilarang:
a. melakukan penyertaan modal pada perusahaan bukan di bidang keuangan;
b. melakukan
divestasi
Penyertaan Modal, kecuali kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
c. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan Penyertaan Modal
pada perusahaan pemegang saham Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung;
d. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank memiliki kewajiban
yang tidak terbatas atau kerugian yang tidak terbatas pada Investee.
Pasal 29
Penyertaan pada Investee berupa Bank selain tunduk pada ketentuan ini juga
mengacu kepada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku
tentang
Pembelian Saham Bank Umum dan tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Bank.
BAB IX
SANKSI
Pasal 30
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4
ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 dikenakan sanksi
administratif…
divestasi
- 17 -
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan nilai tingkat kesehatan;
c. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam
daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Bank wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) dan Pasal 28 huruf c dan huruf d Peraturan Bank Indonesia ini
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan
Bank Indonesia ini dikeluarkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Peraturan pelaksanaan
lebih lanjut yang diperlukan dari
Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 33 …
Peraturan Bank
- 18 -
Pasal 33
(1) Definisi dan perlakuan terhadap Penyertaan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Pasal 10 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva
Produktif
yang mengatur mengenai
kualitas Penyertaan
Sementara disesuaikan dengan ketentuan ini.
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/66/KEP/DIR tanggal
28 Februari 1991 tentang Penyertaan pada Bank dan Lembaga Keuangan
Lain di Luar Negeri, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Juni 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 66
DPNP
Modal
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 10 /PBI/2003
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
UMUM
Kegiatan penyertaan modal oleh Bank merupakan salah satu bagian dari
kegiatan penanaman dana Bank untuk memperoleh pendapatan disamping
kegiatan lainnya seperti penyaluran kredit, penanaman dana dalam bentuk surat-
surat berharga dan kegiatan pasar uang antar Bank. Kegiatan penyertaan modal
ini disatu pihak berpotensi mendatangkan keuntungan, namun di lain pihak
perusahaan tempat penyertaan modal tersebut tetap memiliki risiko. Sementara
itu, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank hanya dapat
melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
atau melakukan penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur dalam
rangka restrukturisasi kredit.
Oleh karena penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan juga mengandung risiko bagi Bank, maka
Bank perlu
mempertimbangkan secara mendalam mengenai kemampuan Bank, khususnya
kondisi permodalan untuk pelaksanaan penyertaan modal. Berkaitan dengan hal
tersebut, perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria Bank yang layak melakukan
penyertaan modal, batasan maksimum penyertaan modal, dan tata cara
persetujuan atau penolakan permohonan untuk melakukan kegiatan penyertaan
modal tertentu, serta larangan-larangan tertentu dalam
kegiatan penyertaan
modal.
Dalam…
- 2 -
memperhatikan
Dalam rangka meningkatkan prinsip kehati-hatian, Bank juga wajib
perlakuan akuntansi dan kualitas
penyertaan modal atau
penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit. Disamping itu,
Bank juga wajib menyusun kebijakan dan prosedur kegiatan penyertaan modal
atau penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko dan pengendalian
intern terhadap kegiatan dimaksud. Sementara itu, dalam rangka penilaian
kualitas penyertaan modal yang dilakukan oleh Bank untuk kepentingan publik,
kepada Bank juga diwajibkan untuk mengungkapkan eksposur penanaman dana
tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Sebelum dan sesudah dilakukan Penyertaan Modal, rasio KPMM
Bank wajib memenuhi ketentuan yang berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan mengganggu kelangsungan usaha Bank
adalah penurunan kondisi usaha Bank secara signifikan antara lain
dari aspek solvabilitas dan likuiditas, jika tidak dilakukan langkah-
langkah perbaikan (corrective actions).
Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat pada seluruh
bidang
usaha Bank
(inherent
risk) dan
kecukupan sistem
pengendalian …
- 3 -
pengendalian risiko (risk control system).
Peningkatan profil risiko Bank secara material dapat berupa profil
risiko yang semula diklasifikasikan berisiko rendah (low risk)
menjadi berisiko moderat (moderate risk) atau berisiko tinggi (high
risk).
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e dan Huruf f
Kriteria Bank sedang dalam status pengawasan intensif atau
pengawasan khusus mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Penyertaan Modal merupakan komponen penyediaan dana yang
diperhitungkan dalam BMPK. Jumlah Penyertaan Modal termasuk
tambahan Penyertaan Modal karena penerimaan dividen dalam
bentuk …
- 4 -
bentuk dividen saham.
Ayat (2)
Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal termasuk tambahan
Penyertaan Modal karena penerimaan dividen dalam bentuk dividen
saham.
Ayat (3)
Peningkatan Penyertaan Modal karena penerapan metode ekuitas
tidak diperhitungkan dalam batasan Penyertaan Modal karena
penambahan nilai Penyertaan Modal hanya bersifat sementara, yaitu
hingga saat dividen dibagikan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8 …
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penurunan permodalan
Bank secara
signifikan adalah apabila Modal Bank mengalami penurunan atau
diperkirakan mengalami penurunan sehingga lebih rendah dari
ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku.
Peningkatan profil risiko Bank secara
signifikan
antara
lain
disebabkan oleh meningkatnya risiko reputasi atau risiko hukum
yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Investee.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Termasuk dalam
tindakan perbaikan (corrective actions)
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain divestasi seluruh
atau sebagian Penyertaan Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Analisis profil
risiko dilakukan tidak hanya terhadap Bank
secara …
- 6 -
secara individual, namun
konsolidasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Huruf h
Dalam pelaksanaan analisis, Bank wajib mempertimbangkan
faktor-faktor antara lain:
1.
karakteristik usaha Investee;
2. Penyertaan Modal yang telah dan akan dilakukan oleh
Investee;
3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf i
Laporan keuangan tahun terakhir yang disampaikan adalah
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k …
juga terhadap
Bank secara
- 7 -
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Termasuk perjanjian atau rencana perjanjian adalah perjanjian
jual beli saham serta perjanjian atau rencana perjanjian yang
merujuk pada Anggaran Dasar Investee.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan modal Investee dalam ayat ini adalah modal
disetor Investee.
Termasuk dalam kriteria pengendalian dalam ayat ini adalah:
1. Bank memiliki hak suara lebih dari 20% (dua puluh perseratus)
berdasarkan suatu perjanjian dengan investor lainnya;
2. Bank memiliki hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan
finansial dan operasional Investee, berdasarkan anggaran dasar
atau perjanjian;
3. Bank memiliki kewenangan untuk menunjuk
memberhentikan mayoritas pengurus Investee;
atau
4. Bank mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus
Investee;
5. Bank …
- 8 -
5. Bank memiliki atau mengendalikan sekurang-kurangnya 10%
(sepuluh perseratus) saham Investee dan merupakan pemegang
saham terbesar dibandingkan dengan kepemilikan pihak lain
dalam Investee;
6. Bank dan pihak terkait dengan Bank memiliki jumlah saham
lebih dari 20% (dua puluh perseratus) dari modal Investee;
7. Aktivitas utama Investee memberikan manfaat bagi Bank;
8. Bank memiliki hak suara dan menjadi kreditur terbesar dari
Investee;
9. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah pihak
terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
Huruf a
Yang dimaksud perkiraan usaha adalah perkiraan usaha
dari aspek keuangan dan non keuangan dari Investee
sedangkan peluang pasar adalah peluang
industri/pasar lembaga keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 …
dalam
- 9 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam kaitan dengan prinsip kehati-hatian dan kesehatan Bank,
Bank Indonesia dapat meminta komitmen tertulis dari pengurus
Bank sebagai bagian dari persetujuan yang diberikan.
Komitmen tersebut antara lain dapat berupa komitmen Bank bahwa
Investee tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang
diperkirakan mempengaruhi kondisi keuangan dan non keuangan
Bank.
Ayat (4)
Termasuk dalam tindakan tertentu adalah perintah divestasi atas
Penyertaan Modal.
Pasal 14
Indikasi kesulitan pengawasan antara lain:
1. kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data dan informasi
Investee;
2. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Investee;
3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas Investee di
tempat kedudukan Investee;
4. Investee digunakan sebagai media untuk melakukan rekayasa keuangan.
Pasal 15 …
- 10 -
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah nilai yang terbentuk di
bursa efek dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terakhir dan dengan
volume transaksi yang cukup signifikan
Penyertaan Modal yang dimiliki Bank.
dibandingkan jumlah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur
mengenai kualitas aktiva produktif.
Pasal 19 …
- 11 -
Pasal 19
Ayat (1)
Nilai wajar Perusahaan Debitur adalah jumlah yang dapat diperoleh
dari suatu transaksi antara pihak-pihak yang bebas (arm’s length
transaction), paham (knowledgeable) dan bukan karena paksaan
atau likuidasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Bank wajib menarik kembali
Penyertaan Modal Sementara apabila:
a. telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba
kumulatif.
Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Dalam ketentuan yang berlaku juga diatur bahwa Bank wajib
menghapus buku …
- 12 -
menghapus buku dari neraca Bank apabila Penyertaan Modal
Sementara telah melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun.
Penetapan kualitas berdasarkan batas waktu pemilikan Penyertaan
Modal Sementara dan kewajiban pembentukan PPAP sesuai kualitas
tersebut dimaksudkan agar Bank tidak membentuk PPAP yang besar
untuk penghapusbukuan pada akhir jangka waktu Penyertaan Modal
Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a dan Huruf b
Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau
kesulitan penjualan dalam jangka waktu 5 tahun antara lain
disebabkan karena kelemahan dalam kondisi keuangan,
manajemen perusahaan,
kondisi pasar atau
permintaan terhadap saham perusahaan.
Pasal 22
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur
mengenai penyisihan penghapusan aktiva produktif.
Pasal 23
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku antara lain adalah ketentuan Bank
Indonesia mengatur mengenai restrukturisasi kredit.
rendahnya
Pasal 24 …
- 13 -
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam
pengelolaan
risiko dan pengendalian
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Kewajiban pembuatan prosedur tertulis berlaku bagi Bank yang
memiliki kebijakan untuk melakukan atau akan melakukan kegiatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
intern dalam
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara.
kegiatan
Pasal 27 …
- 14 -
Pasal 27
Ayat (1)
Sistem pengendalian intern secara tertulis merupakan bagian dari
sistem pengendalian intern yang telah dimiliki Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Sistem pengendalian intern dimaksudkan
sebagai mekanisme
pengendalian dalam rangka checks and balance serta jejak audit
yang jelas.
Kewajiban pembuatan sistem pengendalian intern berlaku bagi Bank
yang memiliki kebijakan untuk melakukan atau akan melakukan
kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Larangan ini dimaksudkan agar Bank terhindar dari
eksposur
Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki open-ended
liability, seperti adanya letter of undertaking yang mengikat Investee
secara akuntansi maupun secara hukum kepada pihak lain
sedemikian rupa sehingga bank memiliki tanggung jawab yang tidak
terbatas.
Pasal 29 …
- 15 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis adalah perintah untuk
melakukan divestasi.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4296
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/10/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title>
<set_date> 11 Juni 2003 </set_date>
<effective_date> 11 Juni 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '23/66/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 6 /PBI/2011
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka
mendorong tumbuhnya industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
yang sehat;
b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam
status pengawasan khusus;
c. bahwa dalam rangka penyehatan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah dalam status pengawasan khusus, diperlukan pengaturan
yang memberikan landasan bagi penyehatan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan
tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
3. Undang-Undang ...
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TINDAK LANJUT
PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT
SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang ...
- 4 -
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Menjadi Undang-Undang.
3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut dengan
Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva
tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan antara
alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
BAB II
BPRS DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPRS mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka BPRS tersebut ditetapkan dalam
status pengawasan khusus.
(2) Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih
kriteria sebagai berikut:
a. rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
(3) Bank ...
- 5 -
(3) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPRS yang bersangkutan mengenai
penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus.
Pasal 3
Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 antara lain:
a. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi
dan pemegang saham;
b. meminta pemegang saham menambah modal;
c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi
BPRS;
d. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan
memperhitungkan kerugian BPRS dengan modalnya;
e. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain;
f. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajibannya;
g. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS
kepada pihak lain; dan/atau
h. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS
kepada pihak lain; dan/atau
i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 4 ...
- 6 -
Pasal 4
BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
BPRS ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh
Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham Pengendali BPRS;
b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada
huruf b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan
d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud
pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank
Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan
pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPRS.
(2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang
saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS.
Pasal 6 ...
- 7 -
Pasal 6
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan
dalam status pengawasan khusus.
(2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan.
BAB III
LARANGAN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA
Pasal 7
(1) BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki:
a. rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari
1% (satu persen);
dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana.
(2) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS keluar dari
status pengawasan khusus.
BAB IV ...
- 8 -
BAB IV
JANGKA WAKTU
Pasal 8
(1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan
BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk waktu yang
digunakan oleh Bank Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap upaya-
upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh BPRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, apabila waktu yang digunakan untuk penelitian melampaui batas waktu
pengawasan khusus.
(3) Dalam hal jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka jangka waktu pengawasan khusus
tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya.
BAB V
PENAMBAHAN MODAL DAN PENCAIRAN SETORAN MODAL
PADA ESCROW ACCOUNT
Pasal 9
(1) Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus
wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit
Usaha Syariah.
(2) Bank...
- 9 -
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas penambahan modal BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memastikan bahwa penambahan
modal tersebut telah sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia penambahan modal
BPRS tidak memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka penambahan modal tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai dana
setoran modal.
(4) BPRS dalam status pengawasan khusus yang telah melakukan penambahan
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan pencairan
dana dalam escrow account dengan persetujuan Bank Indonesia.
(5) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pencairan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah Bank Indonesia melakukan
penelitian atas dana setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB VI
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU
Pasal 10
(1) Jangka waktu status pengawasan khusus BPRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan
khusus.
(2) BPRS dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat BPRS
telah meningkatkan:
a. rasio ...
- 10 -
a. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM
lebih dari 0% (nol persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75%
(tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen)
dan CR lebih dari 1% (satu persen).
(3) BPRS yang tidak memenuhi ayat (2) namun sumber dana setoran modalnya
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat
mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus
disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal
sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen)
dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lama dalam batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sejak BPRS ditetapkan
dalam pengawasan khusus.
(5) Apabila BPRS menyampaikan permohonan melewati batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) maka dianggap tidak mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.
(6) Dalam hal batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka penyampaian permohonan
perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
(7) Bank ...
- 11 -
(7) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus setelah melakukan penelitian
atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
BAB VII
BPRS DIKELUARKAN DARI STATUS PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus
apabila memenuhi kriteria:
a. rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen); dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga
persen).
(2) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bahwa:
a. BPRS tersebut dikeluarkan dari status pengawasan khusus Bank Indonesia;
dan
b. larangan melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bagi
BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dicabut.
(3) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang dikeluarkan
dari status pengawasan khusus.
BAB VIII ...
- 12 -
BAB VIII
PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 12
(1) Selama jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat
memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan
menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS dalam status
pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen)
dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau
kurang dari 1% (satu persen); dan
b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan
rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-
rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
(2) Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan kepada
LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak
menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria:
a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
Pasal 13 ...
- 13 -
Pasal 13
Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPRS
yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada BPRS yang bersangkutan dan
LPS.
(2) Penyelesaian lebih lanjut BPRS yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank
Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB IX
PENGUMUMAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia mengumumkan BPRS yang ditetapkan:
a. dalam status pengawasan khusus;
b. dikeluarkan dari status pengawasan khusus;
pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.
(2) Bank Indonesia mengumumkan penetapan BPRS yang:
a. dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana;
b. diperkenankan kembali melakukan penghimpunan dan penyaluran dana;
pada ...
- 14 -
pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.
(3) BPRS wajib mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pada hari yang sama dengan
tanggal penetapan larangan.
(4) Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat.
(5) Tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 16
(1) BPRS dalam status pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan neraca
harian secara mingguan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada hari kerja
pertama minggu berikutnya.
BAB XI
SANKSI
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status
pengawasan khusus yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ...
- 15 -
Pasal 7 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
(2) BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 15 ayat (3) dan/atau Pasal 16 dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi
persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
uji kemampuan dan kepatutan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
(1) Tindak lanjut penanganan terhadap BPRS yang telah ditetapkan dalam status
pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Jangka waktu pengawasan khusus yang telah dilalui oleh BPRS yang telah
ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum Peraturan Bank Indonesia
ini berlaku, diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu pengawasan khusus
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Larangan ...
- 16 -
(3) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPRS dalam pengawasan
khusus yang ditetapkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku
sampai dengan BPRS keluar dari status pengawasan khusus.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
b. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang
Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status
Pengawasan Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 21 ...
- 17 -
Pasal 21
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 12
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 6 /PBI/2011
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
I. UMUM
Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri
BPRS, diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis dan
berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat.
Agar upaya penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal maka
diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPRS, komitmen
pemilik dan alternatif peluang yang dimiliki.
Menyadari pentingnya upaya tindak lanjut yang tepat sasaran maka
diperlukan suatu ketentuan yang dapat memberikan pedoman sekaligus
memberikan ruang bagi penanganan BPRS dalam status pengawasan khusus,
dengan tetap memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas guna
melindungi kepentingan publik.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang ...
- 2 -
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963),
penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus serta
dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh Bank Indonesia dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang
tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang
mendalam atas laporan bulanan BPRS dan hasil pemeriksaan Bank
Indonesia dan/atau informasi lain yang diterima Bank Indonesia,
sebelum BPRS dinyatakan sebagai BPRS DPK.
Keadaan ...
- 3 -
Keadaan suatu BPRS dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian
Bank Indonesia, kondisi usaha BPRS semakin memburuk, antara lain
ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan
rentabilitas, serta pengelolaan BPRS yang tidak dilakukan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Ayat (2)
Rasio KPMM dan CR merupakan posisi terakhir hasil penilaian Bank
Indonesia sebelum BPRS dinyatakan sebagai BPRS DPK.
Huruf a
Rasio KPMM dihitung berdasarkan laporan bulanan, hasil
pemeriksaan dan/atau informasi lain yang diterima Bank
Indonesia.
Huruf b
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung
berdasarkan posisi laporan bulanan BPRS selama 6 (enam) bulan
terakhir.
Ayat (3)
Pemberitahuan mengenai penetapan status BPRS dalam pengawasan
khusus dilakukan melalui surat yang dapat disampaikan secara
langsung dalam pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang
saham BPRS, atau disampaikan secara tidak langsung melalui pos
atau sarana lain.
Pasal 3 ...
- 4 -
Pasal 3
Wewenang Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 54 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” antara lain
pembatasan keputusan pemberian bonus (tantiem) kepada Dewan
Komisaris dan Direksi BPRS, pembayaran dividen, atau kenaikan gaji
bagi pegawai, Dewan Komisaris dan Direksi BPRS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h ...
- 5 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar BPRS yang
bersangkutan, baik BPRS lain, badan usaha lain, maupun individu
yang memenuhi persyaratan.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud “action plan yang realistis” adalah telah
mempertimbangkan kemampuan BPRS untuk melakukan penyehatan
terutama perbaikan permodalan dan/atau likuiditas sehingga dapat
dikeluarkan dari status pengawasan khusus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan action plan
yaitu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan
tersebut melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus
maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lama pada tanggal
berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus.
Huruf d ...
- 6 -
Huruf d
Permintaan penyesuaian action plan oleh Bank Indonesia dilakukan
antara lain apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah
dan/atau target waktu penyelesaian yang disusun BPRS tidak sesuai
dengan perkembangan kondisi BPRS sehingga action plan BPRS
menjadi tidak realistis dan berpotensi tidak mencapai target.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan penghimpunan dana yang dilarang”
adalah penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan/atau deposito
yang sumber dananya berasal dari:
a. Fresh money, berupa setoran tunai dan/atau melalui transfer ke
rekening BPRS di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasan
pembiayaan;
b. Pemindahbukuan ...
- 7 -
b. Pemindahbukuan selain dari:
1)
2)
akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama,
akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dan
karyawan BPRS yang bersangkutan ke akun tabungan.
Yang dimaksud dengan “kegiatan penyaluran dana yang dilarang”
adalah penyaluran pembiayaan baru, termasuk komitmen penyaluran
pembiayaan yang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka
restrukturisasi pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya perbaikan yang dilakukan oleh BPRS antara lain berupa
penambahan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9 ...
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penambahan modal” adalah dana setoran
modal dari pemilik/calon pemilik yang ditempatkan dalam bentuk
deposito pada Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah di
Indonesia, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq BPRS
yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan “Pencairannya
hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Dewan Gubernur Bank Indonesia”.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penambahan modal telah sesuai dengan
ketentuan permodalan yang berlaku” adalah:
a. Sumber dana setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan
tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
b. Bagi calon pemegang saham, yang bersangkutan telah memenuhi
persyaratan administratif, antara lain tidak tercantum dalam
Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet.
c. Bagi calon pemegang saham pengendali, yang bersangkutan
telah lulus uji kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) ...
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus
disertai dengan alasan yang mendukung dan action plan yang telah
disesuaikan dengan adanya perpanjangan jangka waktu pengawasan
khusus.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu status
pengawasan khusus:
1. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan
rasio KPMM 1%, wajib meningkatkan rasio KPMM sebesar
75% x (4%-1%) atau sama dengan 2,25%, sehingga menjadi
3,25% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu pengawasan khusus.
2. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan
rasio KPMM -14%, wajib meningkatkan rasio KPMM paling
kurang sebesar 75% x [4%-(-14%)] atau sama dengan 13,5%
sehingga menjadi -0,5%. Mengingat BPRS wajib meningkatkan
rasio KPMM lebih besar 0%, maka BPRS wajib meningkatkan
rasio ...
- 10 -
rasio KPMM lebih dari 14% pada waktu mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.
Ayat (3)
Bentuk komitmen antara lain berupa surat dari pemegang saham
(gubernur/walikota/bupati) kepada Bank Indonesia yang menyatakan
akan menambah modal disetor sesuai action plan paling lama sampai
dengan berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang diberikan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “disampaikan kepada Bank Indonesia” adalah
permohonan perpanjangan status pengawasan khusus telah diterima
Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima apabila
disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel
pos apabila dikirimkan melalui pos.
Dalam hal permohonan perpanjangan status pengawasan khusus
disampaikan melalui pos, BPRS dalam status pengawasan khusus
wajib pula mengirimkan surat beserta dokumen terkait melalui
faksimili kepada Bank Indonesia pada hari yang sama.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 11 ...
- 11 -
Pasal 11
Ayat (1)
Penetapan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus
dilakukan tanpa menunggu penyelesaian proses hukum.
Yang termasuk dalam proses hukum adalah proses yang dilakukan
dalam rangka memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku antara lain dalam rangka penambahan modal
disetor, merger, konsolidasi, dan/atau akuisisi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Apabila pelaksanaan action plan BPRS dinilai tidak sesuai, tidak
terdapat perbaikan kondisi keuangan dan/atau kondisi keuangan
semakin memburuk maka Bank Indonesia setelah memberikan surat
pembinaan kepada BPRS, meminta kepada LPS untuk memutuskan
menyelamatkan atau tidak menyelamatkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13 ...
- 12 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain
pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi.
Pasal 15
Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPRS. Dalam
hal dianggap perlu, selain pengumuman di kantor BPRS, dapat pula
dilakukan pengumuman pada kantor kelurahan/kecamatan tempat
kedudukan BPRS yang bersangkutan dan/atau melalui media massa
setempat antara lain media cetak dan/atau media elektronik.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 13 -
Ayat (2)
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan neraca harian secara
mingguan yaitu paling lambat pada hari kerja pertama minggu
berikutnya melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus
maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lama 1 (satu) hari
kerja setelah berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5192
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/6/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title>
<set_date> 24 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 24 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 24 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '7/34/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/25 /PBI/2003
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa untuk mendorong terciptanya sistem perbankan
yang sehat, perlu ditingkatkan praktek-praktek good
corporate governance di industri perbankan ;
b.
bahwa untuk mewujudkan good corporate governance
tersebut, industri perbankan perlu dikelola dan dimiliki
oleh pihak-pihak yang senantiasa memiliki kompetensi
dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan
lain sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c.
bahwa sejalan dengan perkembangan perbankan yang
dinamis dan tuntutan masyarakat akan sistem perbankan
yang sehat, dipandang perlu untuk melakukan
penyesuaian ketentuan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap pihak-pihak yang mempunyai
pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan
bank;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur kembali penilaian kemampuan dan kepatutan
(Fit and Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat:
1.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3840);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang
Pembelian Saham Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3841);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N :
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
3. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengelolaan dan atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara
apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan
atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara;
b. memiliki …
- 4 -
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
Pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
5. Pengurus adalah Komisaris dan Direksi perusahaan atau Bank, atau yang
setara dengan itu, termasuk antara lain tim pengawas dan tim pengelola
Bank dalam penyehatan.
6. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
7.
Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud …
- 5 -
dimaksud
dalam
Pasal 29
1992 tentang Perkoperasian;
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Cabang;
e. bagi Kantor Perwakilan Bank Asing adalah Pemimpin Kantor
Perwakilan.
8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang dan kepala
Satuan Kerja Audit Intern;
9. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali,
Pengurus dan Pejabat Eksekutif.
Pasal 2
(1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank wajib tunduk pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau kelompok
usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk namun tidak
terbatas pada Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif
Bank.
(3) Pengendalian terhadap Bank dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain
sebagai berikut:
a.
memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham Bank;
b. secara …
Undang-undang Nomor 25 Tahun
- 6 -
b. secara langsung menjalankan manajemen dan atau mempengaruhi
kebijakan Bank;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila
digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau
mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham Bank;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan
bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau
tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-
sama memiliki dan atau mengendalikan 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham Bank, baik langsung maupun tidak
langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan
bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau
tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-
sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham,
yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak
tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 25%
(dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Bank;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan
memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh
lima perseratus) atau lebih saham Bank;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan atau memberhentikan
Pengurus Bank;
h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan manajemen dan
atau kebijakan Bank;
i. melakukan …
- 7 -
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan
induk di bidang keuangan dari Bank;
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.
Pasal 3
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap:
a. calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank;
b. Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank; dan
c. Pejabat Eksekutif Bank dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing,
dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan:
1) dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang
mempengaruhi kegiatan usaha Bank; dan atau
2) atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan
operasional Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing.
BAB II
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI
Bagian Pertama
Faktor Yang Dinilai
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
Pemegang Saham Pengendali memenuhi persyaratan:
a. integritas; dan
b. kelayakan keuangan.
Pasal 5 …
- 8 -
Pasal 5
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional
Bank yang sehat;
d. tidak termasuk dalam DTL.
Pasal 6
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
meliputi:
a. persyaratan kemampuan keuangan;
b. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian kemampuan
keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku,
namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai:
1) tidak termasuk dalam daftar kredit macet;
2) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan; dan
3) bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang
dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya;
c. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah.
antara lain
Bagian …
- 9 -
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 7
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham
Pengendali diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) melakukan pembelian saham Bank melalui program divestasi
saham negara dalam rangka penyertaan modal sementara oleh instansi
Pemerintah yang berwenang, maka permohonan persetujuan dapat diajukan
oleh instansi Pemerintah yang berwenang tersebut.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau ayat (2) diberikan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 8
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a.
penelitian administratif;
b. wawancara.
(2) Sebagai bagian dari proses persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta
Bank, Pemegang Saham Pengendali dan atau pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka
pengembangan operasional Bank yang sehat.
Pasal 9 …
- 10 -
Pasal 9
(1) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan
hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut
dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan dan
pengurusnya, serta pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut
(ultimate shareholders).
(2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan hukum
di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders
tersebut memberikan data dan dokumen yang dipersyaratkan dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan, Bank Indonesia dapat menetapkan
ultimate shareholders lain yang dapat mewakili pemerintah dengan
didukung oleh dokumen yang sah.
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan persyaratan administratif dan menjalani wawancara.
(4) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia dapat menetapkan pihak-pihak lain yang juga melakukan
Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan atau
menjalani wawancara.
(5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) merupakan satu
kesatuan dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 10 …
- 11 -
Pasal 10
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank adalah pemerintah, maka
pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b
hanya dilakukan apabila dianggap perlu.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 11
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan atau hasil wawancara yang
dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi
2 (dua) predikat yaitu:
a.
Lulus;
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali pernah memiliki predikat
Tidak Lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44,
maka apabila dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk memenuhi
persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 12 …
- 12 -
Pasal 12
(1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, dinyatakan
memenuhi persyaratan untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Bank dimaksud.
(2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Bank
dimaksud.
(3) Calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
hanya dapat diajukan kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali,
apabila telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 13
(1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang belum disetujui oleh Bank
Indonesia, namun telah memiliki saham Bank, dilarang melakukan tindakan
sebagai Pemegang Saham Pengendali.
(2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki saham Bank,
namun dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dinyatakan Tidak Lulus,
diwajibkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain
yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham selambat-lambatnya
dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia kepada Bank yang bersangkutan.
(3) Apabila …
- 13 -
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon
Pemegang Saham Pengendali yang memiliki saham tersebut tidak
mengalihkan kepemilikan sahamnya, maka yang bersangkutan dilarang
melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham Bank.
(4) Bank dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau
memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada calon Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 14
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 secara tertulis kepada Bank dalam bentuk persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(2) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
BAB III
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI CALON PENGURUS BANK
Bagian Pertama
Faktor Yang Dinilai
Pasal 15
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
Pengurus memenuhi persyaratan:
a. integritas …
- 14 -
a.
integritas;
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan.
Pasal 16
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank
yang sehat;
d. tidak termasuk dalam DTL.
Pasal 17
(1) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 15 huruf b
meliputi:
a. bagi calon Komisaris:
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya; dan atau
2) pengalaman di bidang perbankan;
b. bagi calon Direksi:
1) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1);
2) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau bidang
keuangan; dan
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
(2) Pemenuhan …
- 15 -
(2) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan
atau bidang keuangan bagi calon Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b angka 2), tunduk pula pada Peraturan Bank Indonesia yang
berlaku yang mengatur bahwa mayoritas anggota Direksi wajib
berpengalaman dalam operasional Bank sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sebagai Pejabat Eksekutif pada Bank.
Pasal 18
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon Pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 huruf c meliputi:
a. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam
waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan.
Bagian kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 19
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pengurus diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Calon Pengurus yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maksimal berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan
jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam …
- 16 -
(3) Dalam hal Bank berada dalam program penyehatan oleh instansi Pemerintah
yang berwenang, maka permohonan persetujuan calon Pengurus dapat
diajukan oleh instansi Pemerintah yang berwenang tersebut.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 20
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Indonesia melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a.
penelitian administratif;
b. wawancara.
(2) Dalam hal calon yang dimintakan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah mendapat persetujuan dan diangkat
sebagai Pengurus Bank sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota, namun yang bersangkutan tidak disetujui
oleh
Bank Indonesia, maka Bank melalui Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota wajib memberhentikan yang bersangkutan.
(3) Calon Pengurus Bank yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia
dilarang melakukan tugas sebagai Direksi atau Komisaris dalam kegiatan
operasional Bank dan atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Bank, walaupun telah
mendapat persetujuan dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota.
Bagian …
- 17 -
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 21
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan atau wawancara yang dilakukan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), hasil akhir
penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2 (dua)
predikat yaitu:
a.
Lulus;
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon Pengurus pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44,
maka apabila yang bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan
untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 22
(1) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk
menjadi Komisaris atau Direksi Bank dimaksud.
(2) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi
persyaratan untuk menjadi Komisaris atau Direksi Bank dimaksud.
Pasal 23 …
- 18 -
Pasal 23
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 secara tertulis kepada Bank dalam
bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (4).
(2) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
BAB IV
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PEMEGANG SAHAM
PENGENDALI, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Pertama
Faktor yang Dinilai
Pasal 24
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai:
a. faktor integritas dan kelayakan keuangan dari Pemegang Saham Pengendali;
b. faktor integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari Pengurus dan
Pejabat Eksekutif.
Pasal 25
(1) Faktor integritas bagi Pemegang Saham Pengendali yaitu tidak pernah
dilakukannya tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung, berupa:
a. perbuatan …
- 19 -
a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang
dari ketentuan perbankan;
b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau
Pemerintah;
c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada
pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan Bank; dan atau
d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan.
(2) Faktor kelayakan keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, yaitu:
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit; dan atau
c. kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan
permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank.
Pasal 26
(1) Faktor integritas bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif, yaitu tidak pernah
dilakukannya tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung berupa:
a. tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan
b. perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak
independen.
(2) Faktor kompetensi bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. keahlian …
- 20 -
b. keahlian dan pengalaman di bidang perbankan dan atau bidang
keuangan; dan
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
(3) Faktor reputasi keuangan bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi:
a.
tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan atau
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 27
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap waktu apabila dianggap
perlu oleh Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. pengumpulan informasi;
b. pelaksanaan pemeriksaan;
c. konfirmasi hasil penilaian sementara berdasarkan temuan pemeriksaan
dengan pihak-pihak yang dinilai;
d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai
terhadap hasil penilaian sementara;
e. pembahasan …
- 21 -
e. pembahasan atas tanggapan/keberatan dari pihak-pihak yang dinilai
serta penyesuaian hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan
oleh Bank Indonesia;
f. penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e
kepada pihak-pihak yang dinilai;
g. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf f;
h. pembahasan ulang terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang
dinilai oleh Bank Indonesia;
i.
pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Bank Indonesia;
j. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh
Bank Indonesia.
(2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal konfirmasi hasil
penilaian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang dinilai tidak menggunakan hak untuk
menyampaikan tanggapan atau keberatan yang diberikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), maka hasil akhir penilaian
kemampuan dan kepatutan sepenuhnya didasarkan pada hasil penilaian Bank
Indonesia.
Pasal 29 …
- 22 -
Pasal 29
Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b
dapat meliputi cakupan pemeriksaan sebelumnya.
Pasal 30
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali
dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait
dengan Pemegang Saham Pengendali yang akan dinilai.
(2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku
bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap Bank yang terkait dengan Pemegang Saham
Pengendali yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
(3) Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dalam tahapan-tahapan penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 31
(1) Berdasarkan tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, hasil
akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
predikat, yaitu:
a. Lulus …
- 23 -
a. Lulus;
b. Lulus Bersyarat;
c. Tidak Lulus.
(2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot
terhadap aspek yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
Pasal 26.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Penilaian
Pasal 32
(1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus
atau Pejabat Eksekutif.
(2) Dalam hal pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus, kemudian
diketahui memiliki kredit macet pada Bank dan atau BPR, maka predikat
yang diberikan akan diturunkan menjadi Lulus Bersyarat.
(3) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berlaku pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan Pengurus dari
suatu badan hukum yang memiliki kredit macet.
Pasal 33
Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat dinyatakan memenuhi
syarat untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat
Eksekutif dengan kewajiban memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 34 …
- 24 -
Pasal 34
(1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat diwajibkan untuk:
a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi
melakukan perbuatan serupa;
b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak
melakukan perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) atau Pasal 26 ayat (1);
c. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2) dalam jangka waktu selambat-lambatnya
1 (satu) tahun;
d. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki pada Bank dan atau BPR
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun; dan atau
e. menyampaikan dan melaksanakan langkah-langkah berupa action plan
dalam rangka memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan
pemodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan atau
huruf b wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Pasal 35
(1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat karena memiliki kredit
macet dan telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf d dan atau telah memenuhi komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e, dapat diberikan predikat Lulus.
(2) Pihak …
- 25 -
(2) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat yang disebabkan oleh
faktor kompetensi dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c, dapat diberikan predikat Lulus.
Pasal 36
Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
a. Pemegang Saham Pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh
perseratus) pada Bank atau BPR; dan atau
b. Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank dan atau BPR.
Pasal 37
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a wajib menyampaikan
pernyataan
tertulis
kepada Bank Indonesia
dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak akan ikut serta dalam Pengendalian Bank dan atau BPR,
baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki
saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus), yang
bersangkutan wajib
menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
Pasal 38 …
- 26 -
Pasal 38
(1) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a tidak
dapat menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka:
a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak-
haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR sampai dengan
setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus); dan
b. Bank wajib melakukan pencatatan atas kepemilikan
saham dan atau
memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang
bersangkutan sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus).
(2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan
saham kepada keluarga dan atau kelompok usaha dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, Bank dilarang mencatat
pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang
saham Bank dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh
hak-haknya sebagai Pemegang Saham.
(3) Bank Indonesia dapat mengecualikan atau memperpanjang jangka waktu
kewajiban penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu
disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
(4) Apabila setelah pemberian pengecualian atau perpanjangan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang bersangkutan tidak dapat
memenuhi komitmen yang diberikan kepada Bank Indonesia dan atau
Pemerintah, maka yang bersangkutan akan dinyatakan Tidak Lulus dengan
jangka waktu pengenaan larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 39 …
- 27 -
Pasal 39
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1), wajib
mengundurkan diri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan
puluh) hari.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan
tugas operasional Bank dan atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Bank.
(3) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri, maka:
a. pemegang saham Bank wajib menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memberhentikan yang
bersangkutan;
b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank
Indonesia dengan Bank yang diwakili oleh Pengurus Bank yang
bersangkutan; dan
c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan
tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Atas kewajiban pengunduran diri Pengurus dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus
Bersyarat, dan Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan
kegiatan …
- 28 -
kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
pemegang saham wajib segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham atau
Rapat
Anggota
dalam
diri atau pemberhentian Pengurus
yang
jangka waktu
selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari untuk mengesahkan
pengunduran
Tidak Lulus;
dinyatakan
b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus
Bersyarat, dan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka
waktu yang ditetapkan, atau kepengurusan Bank yang masih ada dinilai
dapat mengganggu kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(2) Bank wajib melaporkan pengunduran diri atau pemberhentian pengurus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
Pasal 41
(1) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) tidak bersedia
mengundurkan diri, maka Bank
bersangkutan.
wajib
memberhentikan
yang
…(2) Bank …
- 29 -
(2) Bank wajib melaporkan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) atau pemberhentian Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan
pengunduran atau pemberhentian.
Pasal 42
(1) Pengenaan larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak
Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ditetapkan dengan jangka
waktu sebagai berikut:
a. selama 2 (dua) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang
bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh tidak material
pada permodalan Bank;
b. selama 3 (tiga) tahun, apabila perbuatan dan atau tindakan yang
bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh cukup
material pada permodalan Bank;
c. selama 5 (lima) tahun, apabila perbuatan dan atau tindakan yang
bersangkutan:
1) mengakibatkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada
permodalan Bank; atau
2) merupakan penyimpangan manajerial dan atau operasional
perbankan yang bersifat serius (serious misconduct).
(2) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun:
a. tidak dapat menyelesaikan kewajiban kredit macet dalam jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d;
atau
b. dinilai …
- 30 -
b. dinilai tidak dapat meningkatkan kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c,
dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu pengenaan larangan
ditetapkan selama 2 (dua) tahun.
(3) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun tidak bersedia
memenuhi ketentuan atau melakukan pelanggaran terhadap pernyataan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a atau huruf b
dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu pengenaan larangan
ditetapkan selama 5 (lima) tahun.
(4) Pengurus Bank yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat
Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu
pengenaan larangan ditetapkan selama 3 (tiga) tahun, setelah yang
bersangkutan diberikan 2 (dua) kali surat teguran dengan tenggang waktu
15 (lima belas) hari.
Pasal 43
Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif dapat dinyatakan
Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila:
a. Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus tidak
bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b. Pemegang Saham Pengendali melakukan pelanggaran terhadap surat
pernyataan tertulis yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
c. Pemegang …
- 31 -
c. Pemegang Saham Pengendali tidak memenuhi komitmen kepada Bank
Indonesia dan atau Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (4);
d. Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif melakukan
pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat dalam rangka
penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3); atau
e. Pengurus dan Pejabat Eksekutif dinyatakan memiliki predikat Tidak Lulus,
namun tidak bersedia mengundurkan diri.
Pasal 44
(1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Bank
Indonesia dapat menetapkan pemegang saham, Pemegang Saham
Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagai pihak-pihak yang Tidak
Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun, apabila:
a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan menggunakan
Bank sebagai sarana atau sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 dan telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab menyebabkan Bank
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau
dapat membahayakan sistem perbankan; atau
c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Penetapan …
- 32 -
(2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
Pasal 45
(1) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 dilarang
menjadi pihak yang melakukan Pengendalian, pemegang saham, Pengurus
dan Pejabat Eksekutif pada seluruh Bank dan atau BPR.
(2) Pihak-pihak yang dilarang melakukan Pengendalian atau menjadi pemegang
saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib segera melepaskan
seluruh kepemilikannya pada seluruh Bank dan atau BPR dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia.
(3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat
melepaskan seluruh kepemilikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan,
maka:
a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak-
haknya sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR; dan
b. Bank dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau
memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang
bersangkutan.
(4) Bank Indonesia dapat mengecualikan atau memperpanjang jangka waktu
kewajiban melepaskan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu
disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
Pasal 46 …
- 33 -
Pasal 46
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
secara tertulis kepada Bank dan kepada pihak yang dinilai.
(2) Selain kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Bagian Kelima
Permohonan Kembali untuk Menjadi Pemegang Saham Pengendali,
Pemegang Saham, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank,
dan Peninjauan Kembali
Pasal 47
(1) Pihak-pihak yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 dan Pasal 45 ayat (1), dapat mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon
pemegang saham pada Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh
perseratus), calon
Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif, apabila jangka
waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42,
Pasal 43 dan Pasal 44 telah terlampaui.
(2) Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum yang dikenakan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1) dapat
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi
calon Pemegang Saham Pengendali dan atau calon pemegang saham pada
Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus) sebelum
berakhirnya …
- 34 -
berakhirnya jangka
waktu
pengenaan
sanksi larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, sepanjang badan hukum
yang bersangkutan telah mengganti pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus.
(3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan telah dinilai memenuhi persyaratan oleh Bank Indonesia untuk
menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada
Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon Pengurus
atau calon Pejabat Eksekutif Bank memperoleh penilaian dengan predikat
Lulus Bersyarat dan wajib membuat pernyataan tertulis kepada Bank
Indonesia.
(4) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham
Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau kembali menjadi pemilik
dan calon Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan
BAB III Peraturan Bank Indonesia ini.
(5) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pejabat Eksekutif
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
yang berlaku.
(6) Bank Indonesia dapat menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), antara lain apabila:
a. yang bersangkutan masih mempunyai perkara yang belum diselesaikan
dalam proses pengadilan;
b. yang bersangkutan melanggar peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
Pasal 48 …
- 35 -
Pasal 48
(1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat atau Tidak Lulus,
dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Bank Indonesia
dalam hal terdapat bukti baru yang kuat dan relevan.
(2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan wewenang Bank
Indonesia sepenuhnya.
BAB V
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PENGURUS DAN
PEJABAT EKSEKUTIF KANTOR CABANG DAN PEMIMPIN KANTOR
PERWAKILAN DARI BANK ASING
Pasal 49
(1) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Pengurus dari
Kantor Cabang Bank Asing atau calon pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pengurus dan Pejabat
Eksekutif dari Kantor Cabang Bank Asing dan pemimpin Kantor Perwakilan
Bank Asing berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB IV
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VI …
- 36 -
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 50
Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila berdasarkan
proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya
penyimpangan
manajerial dan operasional
yang bersifat
serius
(serious
misconduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c angka 2,
dan patut diduga mengandung unsur tindak pidana dengan menggunakan Bank
sebagai sarana atau sasaran.
Pasal 51
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank.
(2) Dalam hal Bank, pihak-pihak yang dinilai dan pihak-pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46
memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak
lain, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan.
Pasal 52
Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari:
a. Pemegang Saham Pengendali dan atau pemegang saham yang memperoleh
predikat Tidak Lulus dan
melepaskan kepemilikan;
tidak bersedia menurunkan kepemilikan dan atau
b. Pengurus…
- 37 -
b. Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan
tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Pengurus dan atau
Pejabat Eksekutif; dan atau
c. Pengurus yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif
yang dinyatakan Tidak Lulus.
Pasal 53
(1) Bank wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank
termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders
kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan
setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang
menyebabkan perubahan pengendali Bank.
(2) Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah akhir
tahun.
(3) Rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum terjadinya perubahan.
(4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan
pengendali Bank atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat
pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Bank wajib
mengajukan calon Pemegang Saham Pengendali dan Bank Indonesia
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
Bab II Peraturan Bank Indonesia ini.
(5) Penilaian …
- 38 -
(5) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang
disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 54
Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali Bank, apabila
berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan
atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank.
Pasal 55
(1) Bank wajib mengungkapkan ultimate shareholders Bank dalam Laporan
Keuangan Publikasi Bank Triwulanan dan Laporan Tahunan Bank.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang
saham Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
Pasal 56
Calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank selain wajib
memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan keuangan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi
persyaratan …
- 39 -
persyaratan mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku beserta perubahan dan atau
penggantinya.
BAB VII
SANKSI
Pasal 57
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4), Pasal 20 ayat (2), Pasal 38 ayat (1) huruf b dan ayat (2), atau Pasal 45
ayat (3) huruf b, dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat
(2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti
tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (2), Pasal 41 ayat (2), dan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan
untuk setiap laporan dengan jumlah setinggi-tingginya Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
(3) Bank …
- 40 -
(3) Bank yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
dikenakan sanksi karena tidak menyajikan informasi sesuai ketentuan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
(4) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 huruf a, Pasal 39
ayat (3) huruf a, Pasal 40 ayat (1) huruf a dan Pasal 45 ayat (1) dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998.
(5) Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif yang dengan sengaja tidak
menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 36
huruf b dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 49
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan
tetap berlaku.
(2) Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus Bank sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 59 …
- 41 -
Pasal 59
(1) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka pihak-pihak yang
masuk dalam daftar mengenai orang-orang tertentu yang memenuhi kriteria
perbuatan tercela di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25
Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang Dilarang
menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, khususnya pihak-pihak
yang berasal dari Bank Umum, dinyatakan sebagai pihak-pihak yang Tidak
Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
(2) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dimulai sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Ketentuan pelaksanaan tentang penilaian kemampuan dan kepatutan akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 61
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal
25 Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan
Tercela Orang-orang Yang
Dilarang Menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, dinyatakan
tidak berlaku bagi Bank Umum;
b. Peraturan …
- 42 -
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 62
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 10 November 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 124
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/25 /PBI/2003
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
UMUM
Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan-
perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan
sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good
corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung
dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Bank sebagai lembaga
intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh
karena itu lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang
mempunyai integritas yang tinggi, mempunyai kompetensi yang memadai, serta
memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik.
Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan yang berkualitas dan
mampu setiap saat menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak yang
dinilai mempunyai pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan Bank.
Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek
pengawasan Bank yang lazim diterapkan secara internasional.
Penilaian …
- 2 -
Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut merupakan kegiatan yang
tidak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pengawasan Bank oleh Bank Indonesia
dan perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya
pengelolaan Bank oleh sumber daya manusia perbankan yang berintegritas,
kompeten, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik.
Selain memperhatikan faktor-faktor integritas, kompetensi, serta kelayakan
keuangan atau reputasi keuangan, penilaian kemampuan dan kepatutan juga
mengandung faktor pertimbangan (judgement) yang bersumber pada data dan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta proses yang transparan.
Penilaian kemampuan dan kepatutan ini selain dilakukan terhadap
Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang
menjabat di Bank juga dilakukan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali
dan calon Pengurus Bank. Terhadap pihak-pihak yang menurut penilaian Bank
Indonesia tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, Bank Indonesia akan
melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan atau
dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap Bank, termasuk:
a.
saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya
dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank;
b.
saham Bank yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan
oleh pengendali Bank;
c. saham Bank yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali
Bank;
d. saham Bank yang dimiliki
e.
oleh anak perusahaan dari
perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank;
saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama
pengendali Bank (saham nominee) berdasarkan atau tidak
berdasarkan suatu perjanjian tertentu;
f. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali
Bank;
g.
saham Bank lainnya selain saham sebagaimana dimaksud dalam
huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh
pengendali Bank.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah:
a. Komisaris …
- 4 -
a.
b.
Komisaris, Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali Bank;
pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan perusahaan pengendali Bank, khusus bagi perusahaan
yang berbentuk hukum koperasi;
c.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali
Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan
konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali
Bank;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
Bank baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai
dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal,
termasuk besan;
e.
pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris,
keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Pasal 3
Huruf a
Bank dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Pemegang Saham
Pengendali.
Termasuk dalam pengertian calon Pemegang Saham Pengendali
antara lain adalah pemegang saham yang menjadi Pemegang Saham
Pengendali karena terjadinya pengalihan saham Bank secara internal
atau …
- 5 -
atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank, right
issue saham Bank dan atau pengajuan diri secara sukarela menjadi
Pemegang Saham Pengendali.
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan pula apabila terjadi
peralihan jabatan dari Komisaris menjadi Direksi pada Bank yang
sama.
Terhadap peralihan jabatan dari Direksi menjadi Komisaris dan atau
dari anggota Direksi atau anggota Komisaris ke jabatan yang lebih
tinggi pada Bank yang sama, hanya dilakukan penilaian secara
administratif.
Penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan dalam hal
perpanjangan jabatan Direksi atau Komisaris.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi
yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan tidak pernah
dihukum …
- 6 -
dihukum karena melakukan tindak pidana dengan menggunakan
Bank sebagai sarana atau sasaran dan atau melakukan tindakan
merugikan pihak lain dan atau negara secara tidak wajar dan atau
melawan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Termasuk dalam hal ini adalah komitmen calon Pemegang Saham
Pengendali untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas dan
permodalan Bank sesuai ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali merupakan badan
hukum maka yang bersangkutan wajib menyampaikan hasil analisa
kemampuan keuangan badan hukum pada saat ini dan proyeksinya
untuk jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh
konsultan independen.
Huruf b
Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila
calon Pemegang Saham Pengendali mempunyai kredit macet dan
atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit
macet.
Huruf c …
- 7 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan hutang dalam huruf ini termasuk hutang dari
perusahaan atau kelompok usaha yang dimiliki oleh Pemegang
Saham Pengendali.
Yang dimaksud dengan hutang yang jatuh tempo dan bermasalah
adalah hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan
restrukturisasi kredit sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 7
Ayat (1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang Saham
Pengendali diajukan oleh Bank berdasarkan inisiatif Bank, inisiatif
calon Pemegang Saham Pengendali atau atas permintaan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian
dokumen persyaratan administratif sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, track record,
penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur
kepemilikan calon Pemegang Saham Pengendali.
Penelitian …
- 8 -
Penelitian terhadap track record termasuk penelitian terhadap
pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus, namun
dalam penilaian kembali telah dinilai memenuhi persyaratan
untuk kembali menjadi Pemegang Saham Pengendali,
meningkatkan kepemilikan dan atau menjadi pemilik Bank.
Huruf b
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Komitmen tertulis tersebut antara lain berupa:
a. komitmen Bank untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu yang diperkirakan memperburuk kondisi keuangan dan
non keuangan Bank, seperti pembagian dividen.
b. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk secara
transparan melaporkan rencana pengalihan kepemilikan saham
perusahaan yang mengakibatkan perubahan pengendali Bank.
c. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak yang
melakukan Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan
kepemilikan sahamnya di Bank dalam jangka waktu tertentu.
d. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian termasuk ultimate shareholders
untuk tidak menerima penyediaan dana dan atau fasilitas apapun
yang tidak wajar dari Bank.
Pasal 9 …
- 9 -
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan
dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu
kelompok usaha maka ultimate shareholders
adalah
orang-perseorangan yang memiliki saham dan merupakan
pengendali badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur
kelompok usaha yang mengendalikan Bank.
Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur
kelompok usaha yang mengendalikan Bank tidak memiliki
pengendali maka badan hukum tersebut merupakan ultimate
shareholders.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan persyaratan administratif dalam ayat ini
adalah persyaratan dokumen bagi calon Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Republik
Indonesia, baik tingkat Pusat maupun Daerah.
Pasal 11 …
- 10 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam
rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak
Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan sebagai Pemegang Saham
Pengendali dalam ayat ini antara lain:
a. mempengaruhi kebijakan Bank;
b. hadir dan atau memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang
Saham dalam kapasitas sebagai Pemegang Saham Pengendali;
c. menerima dividen sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya
sebagai Pemegang Saham Pengendali.
Ayat (2) …
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
ayat ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara
dalam Rapat Umum Pemegang Saham dan hak untuk memperoleh
dividen.
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi
pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal Bank sampai
dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain
adalah Pemerintah dan pemegang saham.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Persyaratan integritas pihak yang dinilai didasarkan antara lain dari track
record, predikat hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang pernah
diberikan …
- 12 -
diberikan kepada calon Pengurus Bank baik Lulus atau Lulus Bersyarat,
atau pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh
Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pengurus Bank.
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain
dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia
atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan
menggunakan Bank sebagai sarana atau sasaran dan atau melakukan
tindakan merugikan pihak lain dan atau negara secara tidak wajar
dan atau melawan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang
perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang
peraturan dan operasional Bank.
Angka 2)…
- 13 -
Angka 2)
Yang dimaksud dengan pengalaman di bidang
perbankan, antara lain adalah pengalaman di bidang
operasional, pemasaran,
pembukuan, pendanaan,
perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum
yang berkaitan dengan bidang perbankan.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan atau bidang keuangan antara lain
adalah pengalaman dan keahlian di bidang
operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan,
perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum,
yang berkaitan dengan bidang perbankan dan atau
keuangan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian,
keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi
menjadi misi Bank dan analisa situasi industri
perbankan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Yang …
- 14 -
Yang dimaksud dengan Bank dalam ayat ini adalah Bank Umum
konvensional dan atau Bank Syariah.
Pasal 18
Huruf a
Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah apabila
calon Pengurus mempunyai kredit macet dan atau merupakan
Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit macet.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank dimiliki oleh
Pemerintah, baik
Pusat maupun Daerah, maka permohonan
persetujuan calon Pengurus Bank dapat diajukan oleh Pemerintah
atau instansi yang mewakili.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan
Terbatas dan Ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20 …
- 15 -
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian
dokumen persyaratan administratif, track record serta
penelitian reputasi keuangan calon Pengurus Bank.
Huruf b
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan operasional adalah kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana Bank.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam
rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai Tidak
Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 22 …
- 16 -
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain
adalah Pemerintah dan pemegang saham.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk menyembunyikan dan atau mengaburkan
pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi
keuangan dan atau transaksi yang sebenarnya, antara lain
seperti:
1) penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan Bank;
2) transaksi …
- 17 -
2) transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva
maupun pasiva Bank serta transaksi rekening
administratif;
3) kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan
Bank;
4) praktek Bank dalam Bank atau usaha Bank di luar
pembukuan Bank;
5) window dressing dalam pembukuan atau laporan Bank
yang secara materil berpengaruh terhadap keadaan
keuangan Bank sehingga mengakibatkan penilaian yang
keliru terhadap Bank; atau
6) kerjasama yang tidak wajar sehingga salah satu atau
beberapa kantornya berdiri sendiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan
kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah
diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank.
Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank adalah merugikan atau mengurangi
keuntungan dalam bentuk keuangan yang dapat menimbulkan
kesulitan keuangan atau potensi kesulitan keuangan di masa
yang akan datang.
Huruf d …
- 18 -
Huruf d
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara
lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian
Kredit, Posisi Devisa Neto, Pemantauan Likuiditas Bank
Umum dan Giro Wajib Minimum.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali yang
menjadi Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit
macet akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Komitmen yang dimaksud dalam huruf ini adalah pernyataan
sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan (Letter of
Comfort) yang dipersyaratkan dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 19 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk
mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai
dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan
pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam
pengelolaan Bank.
Ayat (2)
Penilaian terhadap faktor kompetensi didasarkan pada tugas dan
tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif sesuai
uraian tugas yang ada pada Bank yang bersangkutan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan
meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional
Bank.
Huruf b
Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau
bidang keuangan antara lain adalah keahlian di bidang
operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan,
pasar uang, pasar modal, dan atau hukum yang berkaitan
dengan bidang perbankan dan atau keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
untuk
perbankan …
- 20 -
perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi
Bank dan analisa situasi industri perbankan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Penilaian sewaktu-waktu dilakukan apabila dari hasil pengawasan tidak
langsung, pengawasan langsung (pemeriksaan), dan atau informasi yang
diperoleh dari masyarakat diketahui adanya indikasi penyimpangan dari
praktek perbankan yang sehat.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun
informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka penilaian
kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan khusus atau secara bersamaan dengan
pemeriksaan lainnya.
Huruf c
Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok
usaha, maka konfirmasi hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan disampaikan kepada seluruh anggota kelompok
usaha yang terkait dengan Bank.
Huruf d …
- 21 -
Huruf d
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang
dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis.
Huruf g
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang
dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30 …
- 22 -
Pasal 30
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
Bank dilakukan apabila terdapat indikasi permasalahan integritas
dan kelayakan keuangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah
apabila Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat Tidak
Lulus, maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali juga diberikan
predikat Tidak Lulus.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang
Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota
yang lain dalam kelompok Pemegang Saham Pengendali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32 …
- 23 -
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Pernyataan tertulis dan kewajiban yang diminta untuk dilakukan
disesuaikan dengan penyebab diberikannya predikat Lulus Bersyarat.
Ayat (1)
Huruf a dan huruf b
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup.
Huruf c
Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui
upaya yang bersangkutan untuk menambah pengetahuan.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Huruf d
Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya
konfirmasi tertulis dari Bank dan atau BPR pemberi kredit
yang …
- 24 -
yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah dilunasi atau
kredit dimaksud tidak lagi termasuk dalam kualitas macet.
Kewajiban penyelesaian kredit macet bagi pihak-pihak yang
merupakan pengurus badan hukum yang tercatat memiliki
kredit macet dianggap telah terpenuhi apabila yang
bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan
hukum tersebut dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis
kepada Bank Indonesia.
Perhitungan jangka waktu penyelesaian kredit macet dimulai
sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j .
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemenuhan kewajiban untuk menyampaikan surat pernyataan oleh
pihak yang Lulus Bersyarat tidak mengakibatkan status yang
bersangkutan menjadi Lulus namun yang bersangkutan dapat tetap
menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat
Eksekutif.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36 …
- 25 -
Pasal 36
Pengenaan sanksi larangan dalam Pasal ini juga berlaku bagi pihak-pihak
yang melakukan perbuatan dan atau
tindakan yang diberikan predikat
Tidak Lulus pada suatu Bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang
bersangkutan telah menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan
atau Pejabat Eksekutif pada Bank dan atau BPR lain.
Pasal 37
Ayat (1)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan
dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud
maka yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan
wewenang sebagai Pemegang Saham Pengendali, kecuali hak untuk
menerima dividen.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (2)
Perhitungan jangka waktu 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 26 -
Huruf b
Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham hanya
dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus).
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan
Bank.
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan
suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk
memperoleh dividen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
yang mengatur mengenai Penetapan Status Bank dan Penyerahan
Bank kepada instansi yang berwenang, Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, dan atau
ketentuan serta perjanjian yang berkaitan dengan program
rekapitalisasi perbankan nasional termasuk program penjaminan
pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengunduran diri dalam ayat ini adalah
pengunduran diri yang bersangkutan dari Bank .
Pernyataan …
- 27 -
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 42 …
- 28 -
Pasal 42
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Termasuk dalam pengertian kerugian pada permodalan Bank adalah
berkurangnya keuntungan Bank dan atau potensi kerugian yang
ditimbulkan.
Ayat (2)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (3)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 43
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Pasal 44
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Huruf a …
- 29 -
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab
menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat
membahayakan sistem perbankan, antara lain adalah:
1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan atau
2) melanggar ketentuan dan atau komitmen kepada
Bank Indonesia atau Pemerintah,
yang menyebabkan Bank bermasalah berat sehingga di
take over Pemerintah, dibekukan kegiatan usahanya
dan atau dicabut ijin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 30 -
Huruf b
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini antara lain adalah hak untuk hadir dan
memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham
serta hak untuk memperoleh dividen.
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun modal Bank
sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah Peraturan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Penetapan Status Bank dan
Penyerahan Bank kepada instansi yang berwenang atau ketentuan
dan perjanjian yang berkaitan dengan program rekapitalisasi
perbankan nasional.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain
adalah Pemerintah dan pemegang saham.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 31 -
Ayat (2)
Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan
memuat pernyataan tidak akan melakukan dan atau mengulangi
perbuatan dan atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan
tentang faktor kompetensi, integritas dan atau kelayakan keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
Bank Indonesia tentang Bank Umum.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perkara dalam huruf ini adalah
perkara yang terkait dengan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam
huruf ini antara lain ketentuan tentang ketenagakerjaan atau
keimigrasian.
Pasal 48 …
- 32 -
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini bersifat independen dengan
mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan relevan
yang dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan,
informasi atau keputusan dari instansi atau lembaga lain akan
digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan keputusan Bank
Indonesia tersebut.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 33 -
Ayat (2)
Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan
data yang telah diberikan kepada Pengurus Bank dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Pasal 23 dan Pasal 46.
Pasal 52
Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website
Bank Indonesia.
Pasal 53
Ayat (1)
Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat seluruh
perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham Bank dan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian dan atau memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih
saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang
menjadi ultimate shareholders.
Laporan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank sesuai
Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali dilaporkan untuk
posisi 31 Desember 2003.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 34 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 54
Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan Bank antara
lain
apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya
kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber
keuangan pengendali Bank.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh pengungkapan informasi pengendali terakhir (ultimate
shareholders):
1. Tuan X melalui PT. ABC …% saham Bank.
2. Tuan Z melalui:
- PT. A…% saham Bank,
- PT. B …% saham Bank,dan
- PT. C …% saham Bank.
Pasal 56
Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan
kepengurusan yang berlaku dalam ayat ini antara lain adalah ketentuan
mengenai Bank Umum, Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor
Cabang …
- 35 -
Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank
Yang Berkedudukan di Luar Negeri, Pembelian Saham Bank Umum, dan
Merger, Konsolidasi dan Akusisi Bank, serta Penugasan Direktur
Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan
Fungsi Audit Intern Bank Umum.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan mengenai sanksi yang dimaksud dalam ayat ini saat ini
adalah Pasal 38 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain namun tidak
terbatas pada penilaian kemampuan dan kepatutan yang didasarkan
pada:
a. Surat …
- 36 -
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik
Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
52/KMK.017/1999
31/11/KEP/GBI
tanggal 8 Februari 1999 tentang Pembentukan Komite
Kebijakan, Komite Evaluasi, dan Komite Tehnis dalam rangka
pelaksanaan program rekapitalisasi Bank Umum;
b. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik
Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
53/KMK.017/1999
31/12/KEP/GBI
tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program
Rekapitalisasi Bank Umum;
c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari
2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit &
Proper Test); dan
d. Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tanggal
6 November 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit & Proper Test).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61 …
- 37 -
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4334
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/25/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title>
<set_date> 10 November 2003 </set_date>
<effective_date> 10 November 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '27/118/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '2/23/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '29/PP/1999', '28/PP/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/38/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005
TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah diperlukan dukungan pasar keuangan yang sehat, khususnya di
pasar valuta asing domestik;
c. bahwa transaksi valuta asing mencakup transaksi derivatif yang
memiliki potensi risiko sehingga perlu dilakukan upaya untuk
meminimalkan risiko melalui penerapan prinsip manajemen risiko
dalam operasional Bank yang sehat dan berhati-hati;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan perubahan
terhadap Peraturan Bank Indonesia mengenai transaksi derivatif;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran ...
-2-
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005
TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang
Transaksi Derivatif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 85),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 dihapus.
2. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7 ...
-3-
Pasal 7
(1) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif yang merupakan turunan dari
nilai tukar, suku bunga, dan/atau gabungan nilai tukar dan suku bunga.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperkenankan sepanjang
bukan merupakan structured product yang terkait dengan transaksi valuta
asing terhadap rupiah.
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap:
a. Pasal 2 ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
Bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar.
b. Pasal 3 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
c. Pasal 4 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan
data pribadi nasabah.
d. Pasal 5 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank umum.
e. Pasal 7, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dikenakan sanksi sebagai berikut:
1)
teguran tertulis;
2) penurunan tingkat kesehatan bank;
3) pembekuan kegiatan usaha tertentu;
4) pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam
daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank;
dan/atau
5) pemberhentian ...
-4-
5) pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 199
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 38 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005
TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF
I.
UMUM
Stabilitas nilai tukar rupiah perlu didukung oleh kegiatan operasional Bank yang
sehat dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Kegiatan operasional Bank terutama
transaksi keuangan, yang meliputi transaksi derivatif memiliki risiko sehingga perlu
dilakukan penyesuaian pengaturan. Oleh karena itu pengaturan yang terkait dengan
upaya stabilisasi nilai tukar seperti pelarangan transaksi margin trading valuta asing
terhadap rupiah, pelarangan pemberian kredit dan/atau cerukan (overdraft) untuk
transaksi derivatif, akan diatur tersendiri dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
-2-
Ayat (2)
Pengertian structured product mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur tentang transaksi valuta
asing terhadap rupiah.
Angka 3
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4946
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/38/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 16 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 16 Desember 2008 </issued_date>
<changed_reg> '7/31/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 11 Huruf e' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/23/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa giro wajib minimum sebagai salah satu instrumen
moneter dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan
kondisi likuiditas perbankan, kemampuan perbankan, dan
arah kebijakan Bank Indonesia;
b. bahwa untuk menjaga likuiditas
perbankan syariah,
memberikan kepastian jumlah giro wajib minimum yang
harus dipelihara dan lebih memudahkan pemahaman, perlu
dilakukan penyesuaian atas perhitungan rasio pembiayaan
terhadap dana pihak ketiga sebagai
penentu
tambahan
giro wajib minimum bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu
untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai giro wajib minimum
dalam rupiah dan valuta
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dalam …
asing bagi bank umum yang
besarnya
-2 -
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor
10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/21/PBI/2004
TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I …
-3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank
Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dihitung
dengan membandingkan jumlah Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 (dua) periode
sebelumnya.
(2) Pembiayaan dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
dari data Pembiayaan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku bagi
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(3) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari
data giro, tabungan, deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan
itu yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia
sesuai dengan
ketentuan Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku bagi bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal II …
-4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 80
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/23/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
UMUM
Sebagai salah satu instrumen moneter, penetapan kebijakan giro wajib
minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi
likuiditas perbankan, kemampuan perbankan melakukan fungsi intermediasi,
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
Sejalan dengan
hal
tersebut di
atas,
untuk lebih memudahkan
pemahaman dan memberikan kepastian jumlah giro wajib minimum yang
harus dipelihara oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah,
dipandang
perlu untuk menyempurnakan
ketentuan perhitungan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga.
PASAL …
-2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 11
Ayat (1)
Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap
DPK dalam rupiah adalah sebagai berikut:
Jumlah Pembiayaan dalam rupiah pada akhir masa
laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya
--------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan
dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya
Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan
dan DPK Bank sebagai berikut:
a. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa
laporan
sejak tanggal
1
sampai
dengan tanggal 7
menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam
rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal
sebelumnya;
23
bulan
b. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa
laporan
sejak
tanggal 8 sampai
dengan tanggal
bulan
15
menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam
rupiah dan DPK dalam rupiah pada akhir
sebelumnya;
c. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa
laporan …
-3 -
laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23
menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam
rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 7 bulan yang sama;
d. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam
rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4649
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/23/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<changed_reg> '6/21/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 22 /PBI/2009
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009
DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan
sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan
numismatika (koleksi uang) di Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan
numismatika di Indonesia, dipandang perlu untuk
mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan;
c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan uang khusus pecahan 2.000 (dua ribu)
tahun emisi 2009 dalam bentuk uang kertas bersambung;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan
Pengedaran Uang Khusus Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun
Emisi 2009 Dalam Bentuk Uang Kertas Bersambung;
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara . . .
-2-
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta
Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009
DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG.
Pasal . . .
-3-
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang adalah uang rupiah.
2. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka
memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang
berbeda dengan nilai jualnya.
3. Uang Kertas Bersambung adalah lembaran Uang yang terdiri dari 2 (dua)
lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 50 (lima puluh) lembar
(bilyet) dan masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Khusus pecahan
2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 dalam bentuk Uang Kertas Bersambung.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 50 (lima
puluh) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 3
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
paling banyak:
a. 3.000 (tiga ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 1.600 (seribu enam ratus) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang terdiri dari 50 (lima puluh) lembar (bilyet).
Pasal . . .
-4-
Pasal 4
(1) Setiap lembar (bilyet) Uang dalam Uang Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp2.000,00 (dua
ribu rupiah).
(2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) terdiri dari:
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp4.000,00
(empat ribu rupiah);
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp8.000,00
(delapan ribu rupiah); atau
c. 50 (lima puluh) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 5
(1) Jenis lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri
dari:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 141 mm x 130 mm;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 141 mm x 260 mm;
c. lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet) dalam bentuk
persegi panjang dan berukuran 705 mm x 650 mm.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari
Bank Indonesia.
(3) Ciri setiap lembar (bilyet) Uang yang terdapat pada Uang Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. Warna . . .
-5-
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang Uang dicetak dengan warna dominan
abu-abu;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN
ANTASARI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan
bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan,
serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis
melengkung berwarna kuning yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “2000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah
kotak persegi panjang;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang . . .
-6-
panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Kalimantan;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa
tulisan BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah
Kalimantan;
3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar;
4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa . . .
-7-
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan
dan pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN
ADAT DAYAK”;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU
RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan
pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka
nominal “2000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah Uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan
percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi
“2009”;
h) mikroteks . . .
-8-
h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal;
3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis
melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
3. warna abu-abu;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari;
6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang-
ulang.
Pasal 6
Harga Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal . . .
-9-
Pasal 7
(1) Pengedaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia, dengan cara penjualan secara langsung.
(2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara penjualan secara langsung dilakukan dengan harga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara
lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi:
a. penjualan perdana (di awal periode pengeluaran);
b. apabila terjadi kelebihan permintaan;
c. untuk tujuan penggalangan dana sosial.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Pasal 8
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dijamin oleh Bank Indonesia
sebesar nilai nominal.
Pasal 9
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Dalam . . .
-10-
(2) Dalam hal Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan
sebagai alat pembayaran maka setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai
nominal.
Pasal 10
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dalam kondisi
rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
Uang bukan Uang Khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas
dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada
ketentuan yang berlaku.
Pasal 11
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 10 Juli 2009.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-11-
Ditetapkan di Jakarta
Pada 24 Juni 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/22/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 DALAM BENTUK UANG KERTAS BERSAMBUNG </reg_title>
<set_date> 24 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 24 Juni 2009 </effective_date>
<issued_date> 24 Juni 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/8/PBI/2017
TENTANG
GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan sistem pembayaran nasional
yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan
memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi,
teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan
terintegrasi maka kebijakan sistem pembayaran nasional
perlu diarahkan pada pembangunan ketahanan,
pengembangan yang terintegrasi dan berkesinambungan,
serta peningkatan daya saing;
b. bahwa untuk membangun ketahanan, melakukan
pengembangan yang terintegrasi dan berkesinambungan,
serta meningkatkan daya saing sistem pembayaran
nasional, diperlukan penataan infrastruktur,
kelembagaan, instrumen, dan mekanisme sistem
pembayaran nasional dalam suatu tatanan yang mampu
memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik
secara interkoneksi dan interoperabilitas;
- 2 -
c. bahwa pemrosesan transaksi pembayaran ritel domestik
secara interkoneksi dan interoperabilitas dalam kerangka
penyelenggaraan gerbang pembayaran nasional (national
payment gateway) merupakan pemenuhan atas
kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi secara
nontunai dengan menggunakan instrumen pembayaran
ritel dan untuk memfasilitasi serta memperluas akseptasi
masyarakat untuk gerakan nasional nontunai;
d. bahwa gerbang pembayaran nasional (national payment
gateway) perlu diselenggarakan dengan tetap
mengedepankan kepentingan nasional, berorientasi pada
manajemen risiko, memperhatikan perlindungan
konsumen, dan menerapkan standar serta praktik
internasional;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Gerbang
Pembayaran Nasional (National Payment Gateway);
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
- 3 -
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GERBANG
PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Gerbang Pembayaran Nasional
(National Payment
Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah
sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services
yang dibangun melalui seperangkat aturan dan
mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan
berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara
nasional.
2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang
dibakukan.
3. Switching adalah switching sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Services adalah layanan yang disediakan untuk
memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.
5. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan
mengelola Standar dalam GPN (NPG).
- 4 -
6. Lembaga
Switching
adalah lembaga yang
menyelenggarakan Switching dalam GPN (NPG).
7. Lembaga Services adalah lembaga yang mengelola fungsi
Services dalam GPN (NPG).
8. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
9. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank
yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia.
10. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
11. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
12. Penyelenggara Payment Gateway adalah penyelenggara
payment gateway sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
13. Anjungan Tunai Mandiri (Automated Teller Machine) yang
selanjutnya disingkat ATM adalah mesin yang dipakai
untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Bank Indonesia menetapkan kebijakan GPN (NPG) melalui
interkoneksi Switching untuk mewujudkan interoperabilitas
sistem pembayaran nasional.
- 5 -
Pasal 3
Ruang lingkup GPN (NPG) mencakup transaksi pembayaran
secara domestik yang meliputi:
a.
b.
interkoneksi Switching;
interkoneksi dan interoperabilitas kanal pembayaran
berupa kanal ATM, electronic data captured (EDC), agen,
payment gateway, dan kanal pembayaran lainnya; dan
c.
interoperabilitas instrumen pembayaran berupa kartu
ATM dan/atau kartu debet, kartu kredit, uang elektronik,
dan instrumen pembayaran lainnya.
BAB III
PIHAK DALAM GPN (NPG)
Pasal 4
Pihak dalam GPN (NPG) meliputi:
a. penyelenggara GPN (NPG); dan
b. pihak yang terhubung dengan GPN (NPG).
Pasal 5
(1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a meliputi:
a. Lembaga Standar;
b. Lembaga Switching; dan
c. Lembaga Services.
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi:
a. Penerbit;
b. Acquirer;
c. Penyelenggara Payment Gateway; dan
d. pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas bank umum, bank
umum syariah, dan Lembaga Selain Bank.
(4) Bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat
syariah dapat terhubung dengan GPN (NPG) melalui bank
umum atau bank umum syariah.
- 6 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan antara
penyelenggara GPN (NPG) dengan pihak yang terhubung
dengan GPN (NPG) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
PENYELENGGARA GPN (NPG)
Bagian Kesatu
Lembaga Standar
Pasal 6
(1) Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak yang dapat ditetapkan sebagai Lembaga Standar
harus memenuhi kriteria paling sedikit:
a. merupakan representasi dari industri sistem
pembayaran nasional;
b. berbadan hukum Indonesia; dan
c. memiliki kompetensi untuk menyusun,
mengembangkan, dan mengelola Standar dalam
rangka interkoneksi dan interoperabilitas berbagai
instrumen dan kanal pembayaran.
Pasal 7
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Standar harus mengajukan permohonan penetapan
sebagai Lembaga Standar secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Dalam rangka memproses permohonan penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
- 7 -
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan penetapan yang diajukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
penetapan menjadi Lembaga Standar diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 8
(1) Lembaga Standar memiliki fungsi menyusun,
mengembangkan, dan mengelola Standar untuk
interkoneksi dan interoperabilitas instrumen
pembayaran, kanal pembayaran, dan Switching, serta
security.
(2) Dalam rangka mengelola Standar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Standar memiliki tugas:
a. mengelola dan melaksanakan proses sertifikasi
untuk memastikan kesesuaian instrumen dan/atau
kanal pembayaran dengan Standar;
b. mengelola dan menatausahakan vendor dan produk
terkait instrumen dan/atau kanal pembayaran yang
telah memenuhi Standar;
c. mengelola dan melaksanakan key management
sebagai certificate authority; dan
d. melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Dalam rangka melindungi kepentingan publik,
kepemilikan atas Standar yang disusun, dikembangkan,
dan dikelola oleh Lembaga Standar berada pada Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk memastikan
keamanan dan keandalan teknologi informasi yang
- 8 -
digunakan dalam penyusunan, pengembangan dan
pengelolaan Standar.
(2) Lembaga Standar wajib menjaga kerahasiaan data dan
informasi terkait penyusunan dan pengelolaan Standar.
Pasal 10
Lembaga Standar harus meminta persetujuan Bank Indonesia
atas hal yang bersifat strategis dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya.
Pasal 11
(1) Lembaga Standar mengimplementasikan Standar yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Lembaga Standar harus melakukan evaluasi secara
berkala terhadap Standar yang telah ditetapkan dan
diimplementasikan.
(3) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk
meningkatkan pemahaman pihak yang terhubung dengan
GPN (NPG) mengenai Standar yang telah ditetapkan dan
diimplementasikan.
Bagian Kedua
Lembaga Switching
Pasal 12
(1) Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
Lembaga Switching harus memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a.
telah memperoleh izin sebagai penyelenggara
switching sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran;
- 9 -
b.
telah melaksanakan pemrosesan transaksi
pembayaran secara domestik dengan menggunakan
infrastruktur yang dimiliki di Indonesia;
c. memenuhi kepemilikan saham paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
dan
d. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan
fungsi Switching di GPN (NPG).
(3) Pihak yang mengajukan permohonan sebagai Lembaga
Switching, selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), harus memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
(4) Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Lembaga
Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
maka perhitungan kepemilikan asing tersebut meliputi
kepemilikan secara langsung maupun secara tidak
langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.
(5) Lembaga Switching yang telah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia wajib tetap memenuhi persentase
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c.
(6) Lembaga Switching harus meminta persetujuan Bank
Indonesia dalam hal melakukan perubahan modal
dan/atau susunan pemegang saham.
Pasal 13
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Switching harus mengajukan permohonan persetujuan
sebagai Lembaga Switching secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat
(3).
- 10 -
(2) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan persetujuan yang diajukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
persetujuan menjadi Lembaga Switching diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
Lembaga Switching berfungsi dan bertugas untuk memproses
data transaksi pembayaran secara domestik untuk
interkoneksi dan interoperabilitas.
Pasal 15
(1) Setiap Lembaga Switching wajib melakukan interkoneksi
dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching lainnya.
(2) Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu
mengenai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
Lembaga Switching wajib:
a. mematuhi service level agreement
(SLA) Lembaga
Switching yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menerapkan Standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar; dan
c.
terhubung dan memberikan akses data transaksi
pembayaran dan kegiatan operasionalnya kepada
Lembaga Services.
interkoneksi antar-Lembaga Switching
- 11 -
Pasal 17
(1) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama dengan
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) sepanjang
telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Lembaga Switching harus memastikan bahwa transaksi
pembayaran domestik melalui pihak yang bekerja sama
dengan Lembaga Switching diproses melalui GPN (NPG).
Pasal 18
(1) Pemberian persetujuan kepada Lembaga Switching dalam
rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemberian persetujuan kerja sama kepada Lembaga
Switching
juga mempertimbangkan kontribusi
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) terhadap
peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan
GPN (NPG).
Bagian Ketiga
Lembaga Services
Pasal 19
(1) Lembaga Services sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak yang ditetapkan sebagai Lembaga Services harus
memenuhi kriteria paling sedikit:
a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas;
b. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan
fungsi Services di GPN (NPG); dan
c.
sahamnya dimiliki bersama oleh:
1. Lembaga Switching; dan
2. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
(BUKU) 4 (empat) yang mayoritas sahamnya
- 12 -
dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia.
(3) Kepemilikan saham pada Lembaga Services oleh Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2
dapat berupa kepemilikan tidak langsung.
Pasal 20
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Services harus mengajukan permohonan penetapan
sebagai Lembaga Services secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(2) Dalam rangka memproses permohonan penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank Indonesia memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan penetapan yang diajukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
penetapan menjadi Lembaga Services diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 21
(1) Lembaga Services memiliki tugas yaitu:
a. menjaga keamanan transaksi pembayaran dan
kerahasiaan data nasabah;
b. melakukan rekonsiliasi, kliring, dan setelmen;
c. mengembangkan sistem untuk pencegahan fraud,
manajemen risiko, dan mitigasi risiko;
- 13 -
d. mengelola life cycle atas secure access module (SAM)
dan mobile apps;
e. menangani perselisihan transaksi pembayaran
dalam rangka perlindungan konsumen; dan
f. melaksanakan tugas lainnya yang diamanatkan oleh
Bank Indonesia terkait kegiatan Services.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Lembaga Services berwenang:
a. menetapkan ketentuan; dan
b. memperoleh akses terhadap data transaksi
pembayaran dan kegiatan operasional dari Lembaga
Switching.
Pasal 22
(1) Lembaga Services wajib mematuhi standar dan SLA
Lembaga Services yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Lembaga Services harus meminta persetujuan Bank
Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam
melaksanakan tugasnya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara GPN (NPG)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG)
Pasal 24
Dalam rangka pelaksanaan interkoneksi dan interoperabilitas,
pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib:
a. mematuhi dan melaksanakan Standar yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar;
dan
b. mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Lembaga
Services.
- 14 -
Pasal 25
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib terhubung dengan
GPN (NPG) dengan cara menjadi anggota pada paling
sedikit 2 (dua) Lembaga Switching.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk instrumen yang dapat saling
interoperabilitas tanpa melalui Lembaga Switching.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak yang terhubung dengan
GPN (NPG) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PENYELENGGARAAN GPN (NPG)
Bagian Kesatu
Kewajiban Penyelesaian Akhir di Bank Indonesia
Pasal 27
(1) Lembaga Switching wajib memproses penyelesaian akhir
(setelmen) di Bank Indonesia untuk hasil perhitungan
transaksi antaranggota dalam Lembaga Switching yang
sama.
(2) Lembaga Services wajib memproses penyelesaian akhir
(setelmen) di Bank Indonesia untuk hasil perhitungan
transaksi antar-Lembaga Switching dan/atau antar-
Penerbit.
(3) Tata cara dan mekanisme kepesertaan Lembaga Switching
dan Lembaga Services untuk memproses penyelesaian
akhir (setelmen) di Bank Indonesia mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
- 15 -
Bagian Kedua
Pemrosesan Transaksi Pembayaran Domestik
Pasal 28
(1) Setiap transaksi pembayaran domestik wajib diproses
melalui GPN (NPG).
(2) Pemrosesan transaksi pembayaran domestik dalam
penyelenggaraan GPN (NPG) dilaksanakan sebagai
berikut:
a. untuk kartu ATM dan/atau kartu debet tunduk pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan
b. untuk instrumen pembayaran selain kartu ATM
dan/atau kartu debet tunduk pada Peraturan
Anggota Dewan Gubernur yang akan ditetapkan
kemudian oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Branding Nasional
Pasal 29
(1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN
(NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib
mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai branding
nasional.
(2) Branding nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan seperangkat aturan terkait logo, perluasan
akseptasi nasional, dan pemrosesan domestik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata cara
penggunaan branding nasional diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 30
(1) Bank Indonesia menetapkan logo nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
- 16 -
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) wajib
mencantumkan logo nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada setiap instrumen pembayaran yang
diterbitkan.
(3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyediakan kanal
pembayaran berupa ATM, EDC, agen, payment gateway,
dan/atau kanal pembayaran lainnya wajib:
a. menggunakan logo nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1); dan
b. menerima instrumen
pembayaran
mencantumkan logo nasional
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Skema Harga
Pasal 31
(1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN
(NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib
mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai kebijakan
skema harga.
(2) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai
berikut:
a. mendorong perluasan akseptasi, efisiensi, kompetisi,
layanan, dan inovasi;
b. didasarkan pada aspek cost of recovery ditambah
margin yang wajar, risiko, dan kenyamanan; dan
c. penetapan besaran dan struktur tarif dan bea.
(3) Penetapan kebijakan skema harga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mempertimbangkan
masukan dari pihak lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan skema harga
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
yang
sebagaimana
- 17 -
Bagian Kelima
Fitur Layanan
Pasal 32
(1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan pihak yang terhubung dengan GPN
(NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib
menyediakan fitur layanan untuk transaksi pembayaran
yang diproses melalui GPN (NPG).
(2) Fitur layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. pembayaran;
b.
c.
transfer;
tarik tunai;
d. cek saldo; dan/atau
e.
fitur layanan lainnya.
(3) Kewajiban penyediaan fitur layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
BAB VII
LAPORAN
Pasal 33
(1) Setiap penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
laporan berkala; dan
b.
laporan insidental.
Pasal 34
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Standar, terdiri atas:
a.
laporan triwulanan; dan
- 18 -
b.
laporan tahunan.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Standar terdiri atas:
a.
laporan perubahan modal dan/atau susunan
pemegang saham serta perubahan susunan
pengurus Lembaga Standar;
b.
laporan perubahan data dan informasi pada
dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan
c.
laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 35
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Switching merupakan
laporan berkala bagi penyelenggara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran, dengan menambahkan informasi
mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Switching merupakan
laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Pasal 36
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Services, terdiri atas:
a.
b.
c.
laporan triwulanan;
laporan tahunan; dan
laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen yang dilakukan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam setahun.
switching
- 19 -
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Services terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
laporan gangguan dalam penyelenggaraan Services
dan tindak lanjut yang telah dilakukan;
laporan perubahan susunan pengurus Lembaga
Services;
laporan terjadinya keadaan kahar atas
penyelenggaraan Services;
laporan perubahan data dan informasi pada
dokumen yang disampaikan pada saat
mengajukan permohonan penetapan kepada Bank
Indonesia; dan
e.
laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara
penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 38
Laporan bagi pihak yang terhubung dengan GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan
laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) yang meliputi:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
- 20 -
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan
pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terhadap pihak yang melakukan kerja sama
dengan penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1).
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia untuk melaksanakan
pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 40
Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan
bahwa penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) tidak dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya secara memadai, Bank Indonesia dapat:
a. meminta penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk:
1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan
2. menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan; dan
b. mencabut penetapan atau persetujuan yang telah
diberikan kepada penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB IX
SANKSI
Pasal 41
Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 15 ayat (1), Pasal
16, Pasal 22 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal
28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat
(1), dan/atau Pasal 33 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa:
- 21 -
a.
teguran tertulis;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan;
dan/atau
d. pencabutan penetapan dan/atau persetujuan sebagai
penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).
Pasal 42
Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal
28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat
(3), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. penghentian sementara atau permanen konektivitas
dengan GPN (NPG).
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
tertentu dalam melakukan penetapan dan/atau
memberikan persetujuan penyelenggara GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan antara lain:
a. meningkatkan efisiensi nasional;
b. mendukung kebijakan nasional;
c. menjaga kepentingan publik;
- 22 -
d. menjaga pertumbuhan industri; dan
e. menjaga persaingan usaha yang sehat.
Pasal 45
(1) Standar nasional teknologi chip untuk kartu ATM
dan/atau kartu debet yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu, ditetapkan sebagai Standar kartu
ATM dan/atau kartu debet untuk digunakan di GPN
(NPG).
(2) Pihak yang menjadi pengelola standar nasional teknologi
chip untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Lembaga
Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
untuk interoperabilitas instrumen pembayaran berupa
kartu ATM dan/atau kartu debet.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
(1) Pihak yang telah memperoleh izin sebagai prinsipal
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dapat
mengajukan permohonan persetujuan sebagai Lembaga
Switching sesuai dengan izin prinsipal yang telah
diperolehnya, sepanjang telah memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b,
huruf c dan huruf d.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Ketentuan persyaratan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) tidak berlaku bagi pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 23 -
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
bertanggung jawab untuk menyediakan kegiatan Services
kepada anggotanya.
Pasal 47
Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) huruf a untuk prinsipal yang menjadi Lembaga Switching
yaitu laporan berkala bagi prinsipal sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dengan
menambahkan informasi mengenai kegiatan operasional
Lembaga Switching.
Pasal 48
Sebelum Lembaga Services ditetapkan, seluruh tugas dan
wewenang Lembaga Services dilaksanakan oleh pihak yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia dengan memperhatikan
masukan dari industri sistem pembayaran.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa bank umum dan
bank umum syariah, untuk instrumen kartu ATM
dan/atau kartu debet, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) paling
lambat tanggal 30 Juni 2018.
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa bank umum dan
bank umum syariah, untuk instrumen selain kartu ATM
dan/atau kartu debet, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) sesuai
dengan ketentuan dan waktu yang akan diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 24 -
(3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berupa Lembaga Selain
Bank, dapat terhubung dengan GPN (NPG) sesuai dengan
ketentuan dan waktu yang akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 50
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 134
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/8/PBI/2017
TENTANG
GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY)
I. UMUM
Lanskap sistem pembayaran di Indonesia terus berkembang. Teknologi
menjadi katalis dalam mengakselerasi perkembangan sistem pembayaran
nasional. Kondisi ekosistem sistem pembayaran nasional relatif kompleks
dan cenderung terfragmentasi. Fragmentasi yang timbul akibat belum
terjadinya interkoneksi menjadikan infrastruktur sistem pembayaran
belum efisien. Dari sisi kelembagaan belum terdapat pula aturan dan
mekanisme (arrangement) kelembagaan nasional yang memayungi
interkoneksi atau interoperabilitas industri sistem pembayaran ritel di
dalam negeri.
GPN (NPG) dikembangkan untuk menjadikan infrastruktur
pembayaran lebih efisien, andal, dan aman. Aturan dan mekanisme
(arrangement) kelembagaan dalam GPN (NPG) akan menjadi payung
interkoneksi atau interoperabilitas industri sistem pembayaran ritel di
dalam negeri.
Inisiatif GPN (NPG) ini terselenggara melalui keterlibatan aktif industri
sistem pembayaran secara terkoordinasi dengan mengedepankan aspek
kepentingan nasional (national interest) sehingga dapat mewujudkan
infrastruktur domestik yang terkoneksi, dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama, dan konvergen untuk mencapai interoperabilitas yang
optimal.
- 2 -
Bank Indonesia sebagai otoritas yang diberi mandat oleh Undang-
Undang untuk mengatur, menyelenggarakan perizinan, dan melakukan
pengawasan sistem pembayaran nasional, perlu menetapkan kebijakan
GPN (NPG) melalui interkoneksi Switching untuk mewujudkan
interoperabilitas sistem pembayaran nasional. Adapun transaksi
pembayaran secara domestik yang menjadi cakupan dalam
penyelenggaraan GPN (NPG) meliputi
interoperabilitas instrumen
pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, kartu kredit, uang
elektronik, dan instrumen pembayaran lainnya, serta interkoneksi dan
interoperabilitas kanal pembayaran berupa kanal ATM, EDC, agen,
payment gateway, dan kanal pembayaran lainnya.
Penyelenggara GPN (NPG) adalah Lembaga Standar, Lembaga
Switching, dan Lembaga Services yang dalam pelaksanaannya dilakukan
secara bersama-sama serta didukung oleh pihak yang terhubung dengan
GPN (NPG) seperti Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Payment Gateway,
maupun pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Lembaga Standar berperan dalam memastikan terjadinya interkoneksi
dan interoperabilitas dalam penyusunan dan pengelolaan Standar,
khususnya Standar instrumen pembayaran, Standar kanal pembayaran,
serta Standar fitur layanan transaksi. Lembaga Switching bertugas untuk
memfasilitasi penerusan data transaksi pembayaran secara domestik
dalam rangka mewujudkan dan memelihara interkoneksi dan
interoperabilitas secara aman dan efisien. Sementara Lembaga Services
berperan dalam menyediakan akses transaksi pembayaran lintas jaringan,
mengatur, serta memastikan keamanan transaksi pembayaran yang
memadai.
GPN (NPG) dapat menjadi landasan untuk pemrosesan transaksi
pembayaran massal melalui proses integrasi atas seluruh kanal
pembayaran dan pemrosesan domestik yang selama ini belum dapat
terselenggara secara efisien. Oleh karena itu, dalam aturan dan mekanisme
(arrangement) GPN (NPG) ditentukan bahwa untuk seluruh transaksi
pembayaran domestik dan terhadap seluruh instrumen pembayaran yang
diterbitkan di domestik oleh penerbit domestik, wajib dilakukan dengan
pemrosesan domestik pula. Hal ini bertujuan untuk memperluas akseptasi
masyarakat dalam melakukan transaksi pembayaran secara nontunai
dengan menggunakan instrumen pembayaran ritel serta menjadi bagian
yang menyatu dari upaya Bank Indonesia dalam memfasilitasi gerakan
- 3 -
nasional nontunai. Penyelenggaraan GPN (NPG)
tetap perlu
mengedepankan kepentingan nasional, mendorong penerapan prinsip
kehati-hatian, manajemen risiko dan perlindungan konsumen, sesuai
dengan standar dan praktik internasional.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengaturan
terhadap GPN (NPG) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “transaksi pembayaran secara domestik”
adalah transaksi yang:
1. menggunakan instrumen pembayaran yang diterbitkan oleh
Penerbit di Indonesia; dan
2. dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “interkoneksi Switching” adalah
keterhubungan antara jaringan Switching yang satu dengan
jaringan Switching yang lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “interkoneksi kanal pembayaran” adalah
keterhubungan antara jaringan pada kanal pembayaran yang
satu dengan kanal pembayaran yang lainnya.
Yang dimaksud dengan “interoperabilitas kanal pembayaran”
adalah kondisi dimana instrumen pembayaran dapat digunakan
pada infrastruktur lain selain dari infrastruktur Penerbit
instrumen pembayaran yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “EDC” adalah electronic data captured
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan
kartu.
- 4 -
Yang dimaksud dengan “agen” adalah pihak yang bekerja sama
dengan Penerbit dalam memberikan layanan jasa sistem
pembayaran dan keuangan dengan menggunakan sarana dan
perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis web.
Yang dimaksud dengan “kanal pembayaran lainnya” adalah kanal
pembayaran yang dimiliki oleh Bank (proprietary channel), kecuali
kanal pembayaran yang transaksinya diproses melalui Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/atau Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “interoperabilitas instrumen pembayaran”
adalah kondisi dimana instrumen pembayaran dapat digunakan
pada infrastruktur lain selain dari infrastruktur Penerbit
instrumen pembayaran yang bersangkutan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” adalah pihak selain
Penerbit, Acquirer, dan Penyelenggara Payment Gateway
yang menyelenggarakan layanan pembayaran kepada
konsumen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Penetapan Lembaga Standar mencakup instrumen pembayaran
berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, uang elektronik, kartu
kredit, dan/atau instrumen pembayaran lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “industri sistem pembayaran
nasional” meliputi prinsipal, penerbit,
penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai uang elektronik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam kompetensi untuk menyusun,
mengembangkan, dan mengelola Standar adalah memiliki:
1. struktur organisasi;
2. sumber daya manusia yang memadai;
3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan
4. sistem pengendalian internal untuk memastikan
penyusunan dan pengelolaan Standar dilakukan secara
aman, efisien, dan memenuhi prinsip tata kelola yang
baik (good governance).
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
acquirer,
- 6 -
Ayat (2)
Huruf a
Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk
memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen yang disampaikan.
Huruf b
Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak,
kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional.
Huruf c
Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan
kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang
mengajukan permohonan penetapan untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam hal instrumen pembayaran yang distandardisasi adalah
uang elektronik chip based maka pengembangan Standar
termasuk SAM untuk mewujudkan interkoneksi dan
interoperabilitas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “key management” adalah fungsi
pengelolaan kunci digital (key) yang mencakup penerbitan
(issuing), modifikasi (modification), dan pencabutan (revoke)
dalam rangka standardisasi pengamanan transaksi sistem
pembayaran.
- 7 -
Yang dimaksud dengan “certificate authority” adalah fungsi
penerbitan (issuing) dan pengelolaan kunci digital (key)
dalam rangka menjamin serta menjaga keamanan transmisi
data suatu transaksi pembayaran.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menjaga kerahasiaan data” termasuk
memastikan kerahasiaan data dan informasi apabila penyusunan
dan pengelolaan Standar dilaksanakan oleh pihak lain.
Pasal 10
Hal yang bersifat strategis seperti:
a. perencanaan dan pengembangan spesifikasi Standar;
b. penetapan persyaratan, prosedur pelaksanaan, dan kategori
pihak yang disertifikasi termasuk perubahannya;
c. kerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan kegiatan
penyusunan dan pengelolaan Standar; dan
d. penetapan jenis dan besarnya biaya yang digunakan dalam
kegiatan penyusunan dan pengelolaan Standar.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bentuk evaluasi terhadap Standar yang telah ditetapkan antara
lain untuk memastikan kesesuaiannya dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan industri.
- 8 -
Ayat (3)
Salah satu bentuk peningkatan pemahaman pihak yang
terhubung dengan GPN (NPG) terkait Standar antara lain melalui
pelaksanaan sosialisasi dan edukasi.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran”
mencakup tahapan otorisasi, kliring, dan penyelesaian akhir
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
Termasuk dalam tahapan otorisasi adalah penerusan data
transaksi pembayaran.
Yang dimaksud dengan “infrastruktur” antara lain sistem,
aplikasi, pusat data (data center), dan disaster recovery enter.
Huruf c
Dokumen mengenai struktur dan porsi kepemilikan saham
disertai dengan surat pernyataan yang berisi penegasan
mengenai kebenaran data dan informasi yang disampaikan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mampu dan memiliki kapasitas
untuk melaksanakan fungsi Switching di GPN (NPG)” antara
lain memiliki:
1. struktur organisasi;
2. sumber daya manusia yang memadai;
3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan
4.
infrastruktur yang andal.
Ayat (3)
Dokumen mengenai modal disetor disertai dengan surat
pernyataan yang berisi penegasan mengenai kebenaran data dan
informasi yang disampaikan.
- 9 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan asing” adalah kepemilikan
oleh warga negara asing dan/atau badan usaha asing.
Penilaian Bank Indonesia atas kepemilikan saham tidak langsung
dapat dilakukan sampai dengan pemegang saham akhir (ultimate
shareholder/beneficial owner).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk
memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen yang disampaikan.
Huruf b
Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak,
kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional.
Huruf c
Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan
kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang
mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka memberikan akses kepada Lembaga Services,
Lembaga Switching memperhatikan ketentuan Lembaga Services.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara Switching di luar GPN
(NPG)” adalah pihak yang telah memperoleh izin sebagai
penyelenggara switching berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran dan/atau prinsipal berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu, namun bukan merupakan Lembaga
Switching.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kontribusi penyelenggara Switching di
luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas
penyelenggaraan GPN (NPG)” antara lain perluasan akseptasi
dan/atau alih teknologi.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam kapasitas dan kapabilitas melaksanakan
tugas Services adalah memiliki:
1. struktur organisasi;
2. sumber daya manusia yang memadai;
3. kebijakan dan prosedur tertulis; dan
4.
infrastruktur yang andal di Indonesia.
Huruf c
Lembaga Switching yang menjadi pemilik saham adalah
seluruh Lembaga Switching.
Bank umum yang menjadi pemilik saham adalah seluruh
Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat).
Pelaksanaan kepemilikan saham oleh seluruh Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-
masing Bank.
Ayat (3)
Kepemilikan tidak langsung dihitung berdasarkan 2 (dua) jenjang
kepemilikan saham di atas Lembaga Services.
Kepemilikan tidak langsung oleh Bank Umum berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) termasuk pula dalam hal Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) tersebut
belum memiliki saham namun berwenang untuk ikut melakukan
pengendalian terhadap Lembaga Services berdasarkan
kesepakatan dengan pihak yang menjadi pemilik Lembaga
Services.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 12 -
Ayat (2)
Huruf a
Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk
memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen yang disampaikan.
Huruf b
Analisis kelayakan antara lain memuat rekam jejak,
kapasitas dan kapabilitas, serta kesiapan operasional.
Huruf c
Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan
kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) pihak yang
mengajukan permohonan penetapan untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
disampaikan, serta untuk memastikan kesiapan operasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk tugas menjaga keamanan transaksi pembayaran
dan kerahasiaan data nasabah antara lain melalui
pengembangan fitur keamanan dan penerapan end-to-end
encryption dalam pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf b
Termasuk tugas melakukan rekonsiliasi, kliring, dan
setelmen antara lain monitoring terhadap data dan kegiatan
operasional Lembaga Switching.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “life cycle atas SAM” adalah siklus
hidup terkait usia penggunaan SAM.
- 13 -
Yang dimaksud dengan “life cycle atas mobile apps” adalah
siklus penggunaan terkait masa guna yang harus
disesuaikan jika terdapat pembaharuan software.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Termasuk dalam hal yang bersifat strategis antara lain
menetapkan ketentuan dan perubahan anggaran dasar Lembaga
Services seperti perubahan modal, perubahan pengurus,
dan/atau perubahan susunan pemegang saham, serta kegiatan
terkait pelaksanaan tugas sebagai Lembaga Services.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Kewajiban terhubung dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga
Switching berlaku untuk masing-masing instrumen dan/atau
kanal pembayaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 27
Ayat (1)
Hasil perhitungan transaksi antaranggota dalam Lembaga
Switching yang sama mencakup transaksi menggunakan
instrumen pembayaran berupa kartu ATM dan/atau kartu debet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Transaksi yang wajib diproses melalui GPN (NPG) meliputi
transaksi yang dilakukan melalui intra-Lembaga Switching dan
melalui inter-Lembaga Switching.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran”
mencakup tahapan otorisasi, kliring dan penyelesaian akhir
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Termasuk dalam tahapan otorisasi adalah penerusan data
transaksi pembayaran.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Aturan terkait logo antara lain mengenai desain logo,
pencantuman logo pada setiap instrumen dan kanal pembayaran
yang digunakan dalam transaksi pembayaran melalui GPN (NPG),
dan pihak yang wajib mencantumkan logo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain:
a.
industri sistem pembayaran antara lain prinsipal, penerbit,
acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara
penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai uang elektronik; dan
b. asosiasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional Lembaga Switching”
adalah hal yang terkait dengan penyelenggaraan Lembaga
Switching termasuk transaksi pembayaran antaranggota,
transaksi pembayaran antar-Lembaga Switching, dan data
spesifik untuk keperluan analisis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 36
Ayat (1)
Laporan berkala untuk Lembaga Services antara lain mencakup
laporan terkait seluruh kegiatan operasional penyelenggaraan
Lembaga Services.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Dalam melaksanakan pengawasan, Bank Indonesia juga melakukan
evaluasi terhadap kinerja masing-masing Lembaga Standar, Lembaga
Switching, dan Lembaga Services.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan “hasil pengawasan Bank Indonesia” termasuk
pula hasil evaluasi terhadap kinerja Lembaga Standar, Lembaga
Switching, dan Lembaga Services.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan sanksi penghentian sementara atau permanen
konektivitas dengan GPN (NPG) dilakukan melalui kerja sama
dengan Lembaga Standar, Lembaga Switching, dan/atau
Lembaga Services.
- 17 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Kebijakan penetapan dan/atau persetujuan penyelenggara GPN
(NPG) antara lain pembatasan jumlah dan persyaratan Lembaga
Switching serta kepemilikan Lembaga Services.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prinsipal” adalah prinsipal sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kegiatan Services kepada anggotanya”
adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk instrumen pembayaran
berupa kartu ATM dan/atau kartu debet, tidak termasuk kegiatan
pengelolaan life cycle atas SAM dan life cycle atas mobile apps.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Yang dimaksud dengan “industri sistem pembayaran” antara lain
prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara
penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan
- 18 -
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uang elektronik.
Pihak yang dapat ditunjuk oleh Bank Indonesia antara lain prinsipal,
Penerbit, dan payment gateway.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6081
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/8/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/10/PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa perkembangan ekonomi global memunculkan berbagai
tantangan dalam perekonomian Indonesia;
b. bahwa dalam menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan upaya
untuk memperkokoh kestabilan moneter dan sistem keuangan
guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka menengah dan jangka panjang;
c. bahwa salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter
dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar
keuangan termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik
dengan tetap memperhatikan penerapan prinsip kehati-hatian di
bidang perbankan; dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan
perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi
Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/37/PBI/2005 …
- 3 -
7/37/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4538);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/37/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4538) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank
asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang
telah …
- 4 -
telah memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.
2. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum Bank Umum pada posisi akhir bulan sebelum bulan
laporan.
3. Kurs Penutupan adalah kurs penutupan pada pukul 16.00 WIB setiap hari
yang dapat dilihat pada informasi Laporan Harian Bank Umum yang
dikelola Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (3) dihapus sehingga Pasal 2
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari
kerja dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari
Modal.
b. Dihapus.
(2) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut
untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta
asing; ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen
maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta
asing,
yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
(3) Dihapus. …
- 5 -
(3) Dihapus.
(4) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri
dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank Indonesia), deposit on call,
deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, surat berharga,
kredit yang diberikan, nilai bersih wesel ekspor yang telah diambil alih,
rekening antar kantor aktiva dan tagihan lainnya, dalam valuta asing baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk.
(5) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari
giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin
deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor, rekening antar kantor
pasiva, pendapatan komprehensif lainnya dari surat-surat berharga valuta
asing selain saham dan kewajiban lainnya dalam valuta asing baik terhadap
penduduk maupun bukan penduduk.
(6) Rekening administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan dan atau
kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan kontinjensi
yang mencakup spot, bank garansi maupun L/C yang dipastikan menjadi
kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, serta transaksi derivatif
antara lain transaksi forward, option, dan future maupun produk-produk
lain yang sejenis baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Selain wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib mengelola dan
memelihara Posisi Devisa Neto paling tinggi 20% dari Modal setiap 30
(tiga puluh) …
- 6 -
(tiga puluh) menit sejak sistem tresuri Bank dibuka sampai dengan sistem
tresuri Bank ditutup.
(2) Perhitungan Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan Kurs Penutupan pada hari kerja
sebelumnya.
(3) Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah penjumlahan antara Posisi Devisa Neto secara
keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya dengan posisi terbuka tresuri pada
setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit.
(4) Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih bersih antara
transaksi beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri
Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang bersangkutan.
(5) Perhitungan posisi terbuka tresuri sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun
belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri.
4. Ketentuan Pasal 7A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Bank wajib menatausahakan informasi yang mendukung pemantauan
Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 ayat (1).
(2) Bank Indonesia dapat meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) apabila diperlukan.
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan
atas Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit
sebagaimana …
- 7 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Bank wajib menyampaikan
laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia dengan format
sebagaimana dalam Lampiran 1 Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya
pelanggaran.
(5) Laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani
paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank.
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A,
Pasal 6 ayat (4), Pasal 7A ayat (1), dan Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1), dikenakan sanksi
berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap hari pelanggaran atau paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun
kalender.
(3) Bank yang melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selama lebih dari 1
(satu) hari kerja dan tidak menyampaikan laporan dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (4), maka selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank juga dikenakan sanksi
berupa …
- 8 -
berupa penurunan 1 (satu) peringkat penilaian faktor manajemen dan
peningkatan penilaian profil risiko untuk Risiko Kepatuhan pada penilaian
tingkat kesehatan Bank dalam 2 (dua) periode penilaian setelah exit
meeting.
6. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan
Pasal 10B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Dalam hal Bank melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selama 5 (lima) hari
kerja secara berturut-turut atau 15 (lima belas) hari kerja dalam 1 (satu)
tahun kalender, namun Bank telah menyampaikan laporan pelanggaran,
maka selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2), terhadap pengurus dan/atau pejabat eksekutif yang bertanggung jawab
dilakukan proses penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
(2) Dalam hal Bank melakukan pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) lebih dari 1 (satu)
hari kerja dan Bank tidak menyampaikan laporan dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (4), maka selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 10
ayat (3) …
- 9 -
ayat (3), terhadap pengurus dan/atau pejabat eksekutif yang bertanggung
jawab dilakukan proses penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 10B
Sanksi terkait dengan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3) dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat (2) tidak
berlaku dalam hal pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) lebih dari 1 (satu) hari kerja terjadi karena
adanya koreksi perhitungan modal dari hasil pemeriksaan Bank Indonesia.
Pasal II …
- 10 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 83
DPNP/DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/10/PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NO.5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
I. UMUM
Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah
tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter dan sistem keuangan yang
kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
menengah dan jangka panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas
moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan,
termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan
memiliki ruang gerak yang memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing
dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian.
Dalam kerangka tersebut, dilakukan penyempurnaan atas ketentuan
mengenai Posisi Devisa Neto Bank Umum. Langkah kebijakan tersebut
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia
secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 2 -
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Modal yang digunakan adalah Modal setelah
memperhitungkan faktor pengurang modal.
Huruf b
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku
yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan
penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama.
Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain
adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva tetap kantor
cabang di luar negeri (setelah dikurangi depresiasi),
pendapatan bunga yang masih harus diterima (accrued
interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan
tagihan derivatif.
Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank
asing adalah seluruh rekening antar kantor aktiva dengan
kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam
komponen modal (Dana Usaha).
Ayat (5) …
- 3 -
Ayat (5)
Termasuk dalam pengertian kewajiban lainnya antara lain
adalah surat berharga yang diterbitkan bank, biaya yang
masih harus dibayar (accrued expense), kewajiban
akseptasi, transaksi repo dan kewajiban derivatif.
Rekening antar kantor pasiva bagi kantor cabang bank
asing adalah seluruh rekening antar kantor pasiva dari
kantor-kantor di
luar negeri,
termasuk yang
diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha).
Ayat (6)
Nilai rekening administratif yang diperhitungkan adalah
sebesar nilai buku, yaitu nilai setelah diperhitungkan
dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam
valuta yang sama.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Waktu 30 (tiga puluh menit) dimaksudkan untuk
memberikan waktu yang cukup bagi Bank untuk
melakukan “squaring” atas posisi terbuka dari transaksi
yang dilakukan.
Contoh perhitungan setiap 30 (tiga puluh) menit sejak
sistem tresuri dibuka adalah sebagai berikut:
a. Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri
pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan
batas maksimal 20% dari Modal setiap akhir jangka
waktu 30 (tiga puluh) menit dihitung sejak
pukul …
- 4 -
pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30 (tiga
puluh) menit yaitu:
Pukul 08.30 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal
Pukul 09.00 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal
Pukul 09.30 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal; dan
seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
b. Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri
pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan
batas maksimal 20% dari Modal setiap akhir jangka
waktu 30 (tiga puluh) menit dihitung sejak pukul
07.45 WIB dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh)
menit yaitu:
Pukul 08.15 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal
Pukul 08.45 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal
Pukul 09.15 WIB : Posisi Devisa Neto paling
tinggi 20% dari Modal; dan
seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 5 -
Ayat (3)
Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja
sebelumnya merupakan Posisi Devisa Neto masing-
masing valuta asing sebelum diabsolutkan.
Contoh:
(Dalam rupiah)
USD JPY Total
Posisi Devisa Neto secara
keseluruhan pada akhir hari
kerja sebelumnya
Posisi terbuka tresuri setiap
akhir jangka waktu 30 (tiga
puluh) menit pada hari kerja
berjalan
Posisi Devisa Neto Setiap akhir
jangka waktu 30 (tiga puluh)
menit
50
(40)
(10)
20
40
(20)
20
Asumsi Modal = 100, maka Posisi Devisa Neto setiap akhir jangka
waktu 30 (tiga puluh) menit = ( 20 / 100 ) x 100% = 20%
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kegiatan tresuri” antara lain
transaksi beli dan jual valuta asing yang dilakukan di
dealing room.
Ayat (5)
Contoh:
Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada
pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing
pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke
dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB,
maka transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan
Posisi …
- 6 -
Posisi Devisa Neto setiap akhir jangka waktu 30 (tiga
puluh) menit pada pukul 08.30 WIB.
Angka 4
Pasal 7A
Ayat (1)
Informasi yang mendukung antara lain berupa deal
conversation, deal confirmation, blotter, dan/atau
informasi pendukung lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian laporan dari Bank kepada Bank Indonesia
dialamatkan kepada:
a. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank
yang membawahi pengawasan bank yang
bersangkutan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta
10350, bagi Bank yang berada di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia (DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok,
Kabupaten/Kota Tanggerang, Kabupaten/Kota
Bekasi, Kabupaten Kerawang);
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi, bagi Bank
yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Ayat (4) …
- 7 -
Ayat (4)
Contoh waktu pelaporan pelanggaran Posisi Devisa Neto
yang melampaui batas paling tinggi 20% modal adalah
sebagai berikut:
a. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto setiap 30
(tiga puluh) menit terjadi pada hari Senin tanggal 2
Agustus 2010, maka Bank menyampaikan laporan
pelanggaran paling lambat pada hari Rabu tanggal 4
Agustus 2010 pukul 16.00 WIB.
b. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto setiap 30
(tiga puluh) menit terjadi pada hari Jumat tanggal 17
September 2010, maka Bank menyampaikan laporan
pelanggaran paling lambat pada hari Selasa 21
September 2010 pukul 16.00 WIB.
c. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto secara
keseluruhan pada akhir hari kerja terjadi pada hari
Senin tanggal 2 Agustus 2010, maka Bank
menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat
pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 2010 pukul 16.00
WIB.
d. Apabila pelanggaran Posisi Devisa Neto secara
keseluruhan pada akhir hari kerja terjadi pada hari
Jumat tanggal 17 September 2010, maka Bank
menyampaikan laporan pelanggaran paling lambat
pada hari Selasa 21 September 2010 pukul 16.00
WIB.
Ayat (5) …
- 8 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat
eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank
Umum Syariah.
Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Cukup jelas.
Pasal 10B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5140
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/10/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2010 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2010 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2010 </issued_date>
<changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/37/PBI/2005', '7/UU/1992', '5/13/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 10A', 'Pasal I Angka 5 Pasal 10', 'Pasal I Angka 6 Pasal 10B' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/ 23 /PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 10.000
(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 10.000
(sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp10.000,00 (sepuluh
ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “10000” dan tulisan
“SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e.
tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Frans
Kaisiepo beserta tulisan “FRANS KAISIEPO”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan ungu;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “10” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
g. gambar raster berupa tulisan “BI”;
h. mikroteks yang memuat tulisan “BI10”, tulisan
“BI10000”, tulisan “SEPULUHRIBURUPIAH”, dan
angka “10”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
i.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “10000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “10000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
- 5 -
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari pakarena beserta tulisan
“TARI PAKARENA”, pemandangan alam Taman
Nasional Wakatobi beserta tulisan “Taman Nasional
Wakatobi”, dan bunga cempaka hutan kasar;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan ungu;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari pakarena, tulisan “TARI PAKARENA”,
dan tulisan “Taman Nasional Wakatobi”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“10” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“10000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI10000”, tulisan
“SEPULUHRIBURUPIAH”, dan angka “10000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga cempaka hutan kasar;
2. gambar penyelam dan ikan;
3. gambar hewan tangkasi;
- 6 -
4. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna ungu muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II
dan ornamen tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BI 10000” secara berulang, yang akan memendar
apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 145 (seratus empat puluh lima)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun
emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
- 7 -
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 206
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/23/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 14 /PBI/2014
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS KHUSUS
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014
DALAM BENTUK UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa uang Rupiah kertas berfungsi sebagai alat
pembayaran dan sekaligus merupakan sarana bagi
perkembangan numismatika (koleksi uang) di
Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan
numismatika di
Indonesia, perlu untuk
mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah
kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu)
tahun emisi 2014 dalam bentuk uang Rupiah
kertas bersambung;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Kertas
Khusus Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun
Emisi 2014 Dalam Bentuk Uang Rupiah Kertas
Bersambung;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia . . .
-2-
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
KERTAS KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2014 DALAM BENTUK UANG RUPIAH
KERTAS BERSAMBUNG.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah kertas
khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2014 dalam
bentuk uang Rupiah kertas bersambung.
(2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 45 (empat . . .
-3-
c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet),
yang merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dikeluarkan dan diedarkan paling banyak:
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet);
dan
c. 100 (seratus) lembaran yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) lembar
(bilyet).
Pasal 3
(1) Setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam uang Rupiah kertas khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai nilai
nominal sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas:
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah);
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar
Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah); atau
c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal
sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 4
(1) Bentuk dan ukuran lembaran uang Rupiah kertas khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk
persegi panjang dan berukuran 151 mm x 130 mm;
b. lembaran . . .
-4-
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk
persegi panjang dan berukuran 302 mm x 130 mm; dan
c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet)
dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 755 mm x 585 mm.
(2) Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan
sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
Pasal 5
Setiap lembar (bilyet) uang Rupiah yang terdapat pada uang Rupiah
kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memiliki ciri sebagai
berikut:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. (H.C.) Ir.
Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta, dan
di bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO”
dan “Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi;
c) di atas teks Proklamasi terdapat cetakan garis-garis lurus dalam
bidang berbentuk segi empat yang apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu akan timbul efek warna pelangi (rainbow
effect);
d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal
“100000” dengan arah horizontal;
e) pada sebelah kanan gambar utama di bawah gambar lambang
negara Garuda Pancasila terdapat angka nominal “100000”
dengan arah vertikal;
f) pada . . .
-5-
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
g) pada sebelah kiri gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
h) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat tulisan
“NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” dan di bawah
tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
i) pada sebelah kiri gambar utama di atas tulisan “NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” terdapat kode tuna netra
(blind code) berupa 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang
terasa kasar apabila diraba;
j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu dalam bingkai persegi panjang
berbentuk ornamen tertentu;
k) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
lambang negara Garuda Pancasila, dengan latar belakang
berwarna hijau;
l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran
berwarna jingga yang letaknya tersebar;
m) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
berbentuk perisai yang dicetak dengan tinta khusus yang akan
berubah warna (colour shifting ink) dari kuning keemasan
menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah bidang berbentuk
perisai terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau;
o) pada . . .
-6-
o) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tanda air terdapat
angka tahun emisi dengan tulisan “TE. 2014”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan
tanda tangan Menteri Keuangan beserta tulisan “MENTERI
KEUANGAN”;
p) terdapat
teks mikro (microtext) dengan tulisan
“BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar pada:
1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang
berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda;
2) bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi dengan warna
merah;
3) sebelah kanan gambar utama di bawah gambar tersembunyi
(latent image) yang berbentuk gambar bunga teratai; dan
4) tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan bawah
yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda;
q) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini
(minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna merah
dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang
dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU
RUPIAH”;
c) pada . . .
-7-
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan memendar
kuning di bawah sinar ultraviolet;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa bagian gambar Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan
memendar merah di bawah sinar ultraviolet;
e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “100000” yang berada dalam bidang
persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultraviolet;
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran
berwarna jingga yang letaknya tersebar;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang
terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultraviolet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat nomor seri
dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan
6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang
akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet;
j) pada sebelah kanan gambar utama di bawah nomor seri
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
nominal “100000” dengan arah horizontal;
l) pada . . .
-8-
l) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal
“100000” dengan arah vertikal dan latar belakang berwarna
hijau;
m) pada sebelah kiri gambar utama di bawah nomor seri terdapat
bidang persegi panjang berwarna hijau;
n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.”
dan angka tahun cetak;
o) terdapat
teks mikro (microtext) dengan tulisan
“BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar pada:
1) tepi kiri tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna
yang berbeda;
2) sebelah kiri gambar utama yang berbentuk pola tertentu
dengan warna yang berbeda; dan
3) tepi kanan tengah yang berbentuk pola tertentu dengan
warna berbeda;
p) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini
(minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna jingga
dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang
dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar;
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultraviolet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen tertentu; dan
6. benang . . .
-9-
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian.
Pasal 6
Harga uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 kepada masyarakat dilakukan melalui penjualan
secara langsung oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia.
(2) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan harga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan
secara lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain
meliputi:
a. penjualan perdana;
b. apabila terjadi kelebihan permintaan; atau
c. untuk tujuan penggalangan dana sosial.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia.
Pasal 8 . . .
-10-
Pasal 8
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka setiap
lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai nominal.
Pasal 9
(1) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dalam kondisi rusak maka dapat dimintakan penggantian
kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk uang Rupiah bukan uang Rupiah kertas khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
atas dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan
mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
-11-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 181
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/14/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 DALAM BENTUK UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG </reg_title>
<set_date> 24 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date>
<issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/23/PBI/2004
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa untuk mendorong terciptanya sistem perbankan
yang sehat, perlu ditingkatkan praktek-praktek good
corporate governance di industri perbankan;
b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance
tersebut, industri Bank Perkreditan Rakyat sebagai bagian
dari perbankan nasional perlu dikelola dan dimiliki oleh
pihak-pihak yang senantiasa memiliki kompetensi dan
integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan lain
sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. bahwa sehubungan
untuk mengatur
dengan
itu
(Fit and Proper Test) pihak-pihak
pengaruh besar
dalam
dipandang
perlu
penilaian kemampuan dan kepatutan
yang mempunyai
pengendalian
dan
pengelolaan
Bank …
- 2 -
Bank Perkreditan Rakyat dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT
AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah.
3. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk bank, dengan cara
apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah
mempunyai hak suara; atau
saham yang dikeluarkan dan
b. memiliki …
- 4 -
b. memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
5. Pengurus adalah Direksi dan Komisaris BPR atau perusahaan, atau yang
setara dengan itu.
6. Direksi:
a. bagi
BPR berbentuk
hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
7. Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi …
- 5 -
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional BPR atau perusahaan, dan/atau bertanggung
jawab langsung kepada Direksi, antara lain pemimpin kantor cabang.
9. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar
pihak-pihak
yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali,
Pengurus dan Pejabat Eksekutif.
Pasal 2
(1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali BPR wajib tunduk pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali BPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perorangan, badan hukum atau kelompok usaha yang
melakukan Pengendalian terhadap BPR, termasuk namun tidak terbatas
pada Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif BPR.
(3) Pengendalian terhadap BPR dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain
sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham BPR;
b. secara …
- 6 -
b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau mempengaruhi
kebijakan BPR;
c. memiliki hak opsi atau lainnya untuk memiliki saham yang apabila
digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau
mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25 % (dua puluh lima
perseratus) lebih saham BPR.
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan
bersama dalam mengendalikan BPR (acting in concert) dengan atau
tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-
sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima perseratus)
atau lebih saham BPR, baik langsung maupun tidak langsung dengan
atau tanpa perjanjian tertulis;
e. melakukan kerjasama
atau
tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan BPR dengan atau tanpa perjanjian
tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai
hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak
tersebut dilaksanakan menyebabkan
pihak-pihak tersebut memiliki
dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham BPR;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan
memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh
lima perseratus) atau lebih saham BPR;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan
Pengurus BPR;
h. secara …
- 7 -
h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan manajemen
dan/atau kebijakan BPR;
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan
induk di bidang keuangan dari BPR;
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.
Pasal 3
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap:
a. calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR;
b. Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus BPR;
c. Pejabat Eksekutif BPR, dalam hal terdapat indikasi bahwa yang
bersangkutan memiliki peranan:
1. dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang
mempengaruhi kegiatan usaha BPR; dan/atau
2. atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan
operasional BPR.
BAB II …
- 8 -
BAB II
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI
Bagian Pertama
Faktor Yang Dinilai
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
Pemegang Saham Pengendali memenuhi persyaratan:
a.
integritas; dan
b.
kelayakan keuangan.
Pasal 5
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional BPR
yang sehat;
d.
tidak termasuk dalam DTL.
Pasal 6 …
- 9 -
Pasal 6
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
meliputi:
a.
persyaratan kemampuan keuangan;
b. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian kemampuan
keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, antara lain
namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai:
1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet;
2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum
dicalonkan; dan
3. bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang
dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya;
c.
tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah.
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 7
(1) Permohonan untuk memperoleh
persetujuan calon Pemegang Saham
Pengendali diajukan oleh BPR kepada Bank Indonesia.
(2) Persetujuan …
- 10 -
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 8
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a. penelitian administratif;
b. wawancara.
(2) Sebagai bagian dari proses persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta
BPR, Pemegang Saham Pengendali dan/atau pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian untuk memberikan komitmen tertulis dalam rangka
pengembangan operasional BPR yang sehat.
Pasal 9
(1) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPR berbentuk badan
hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum
tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan dan
pengurusnya, serta pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut
(ultimate shareholders).
(2) Pihak-pihak …
- 11 -
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
persyaratan administratif dan menjalani wawancara.
(3) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat menetapkan pihak-pihak lain yang juga melakukan Pengendalian,
untuk menyampaikan persyaratan administratif dan/atau menjalani
wawancara.
(4) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) merupakan satu kesatuan
dan merupakan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPR adalah pemerintah, maka
pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b
hanya dilakukan apabila dianggap perlu.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 11
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan/atau hasil wawancara yang
dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 2
(dua) predikat yaitu:
a. Lulus …
- 12 -
a. Lulus;
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali pernah memiliki predikat
Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44
maka apabila dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang
bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 12
(1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, dinyatakan
memenuhi persyaratan untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
BPR dimaksud.
(2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada BPR
dimaksud.
(3) Calon Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat diajukan kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali,
apabila telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 13 …
- 13 -
Pasal 13
(1) Calon Pemegang Saham Pengendali yang belum disetujui oleh Bank
Indonesia, namun telah memiliki saham BPR, dilarang melakukan tindakan
sebagai Pemegang Saham Pengendali.
(2) Calon Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki saham BPR,
namun dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dinyatakan Tidak Lulus,
diwajibkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain
yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia kepada BPR yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon
Pemegang
Saham Pengendali yang memiliki saham tersebut tidak
mengalihkan kepemilikan sahamnya, maka yang bersangkutan dilarang
melakukan tindakan-tindakan sebagai pemegang saham BPR.
(4) BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan/atau
memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada calon Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 14
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 secara tertulis kepada BPR dalam bentuk persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Selain …
- 14 -
(2) Selain kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
BAB III
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON
PENGURUS BPR
Bagian Pertama
Faktor Yang Dinilai
Pasal 15
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
Pengurus memenuhi persyaratan:
a. integritas;
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan.
Pasal 16
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki …
- 15 -
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional BPR
yang sehat;
d.
tidak termasuk dalam DTL.
Pasal 17
(1) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 15 huruf b
meliputi:
a. bagi calon anggota Direksi:
1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya dan memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
persyaratan bagi calon anggota Direksi;
berlaku mengenai
2. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang
keuangan; dan
3. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan BPR yang sehat.
b. bagi calon anggota dewan Komisaris:
1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya; dan/atau
2. pengalaman di bidang perbankan;
(2) Pemenuhan persyaratan pengetahuan, pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan/atau bidang keuangan bagi calon anggota Direksi dan dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pula pada ketentuan
yang …
- 16 -
yang berlaku mengenai persyaratan calon anggota Direksi dan dewan
Komisaris BPR.
Pasal 18
Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c
meliputi:
a. Tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan
b. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan
komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan.
Bagian kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 19
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pengurus diajukan oleh
BPR kepada Bank Indonesia.
(2) Calon Pengurus yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maksimal berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan
jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 20 …
- 17 -
Pasal 20
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Indonesia melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a. penelitian administratif;
b. wawancara.
(2) Dalam hal calon yang dimintakan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah mendapat persetujuan dan diangkat
sebagai Pengurus BPR sesuai keputusan rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota, namun yang bersangkutan tidak disetujui oleh Bank
Indonesia maka BPR melalui rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota wajib memberhentikan yang bersangkutan paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
(3) Calon Pengurus BPR yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia
dilarang melakukan tugas sebagai anggota Direksi atau Komisaris dalam
kegiatan operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan BPR, walaupun telah
mendapat persetujuan dan diangkat oleh rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota.
Bagian …
- 18 -
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 21
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan/atau wawancara yang dilakukan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), hasil akhir
penilaian kemampuan dan kepatutan
diklasifikasikan menjadi 2 (dua)
predikat yaitu:
a. Lulus;
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon Pengurus pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) huruf c dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 atau Pasal 44 maka apabila yang
bersangkutan dinyatakan memperoleh predikat Lulus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang bersangkutan diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 22
(1) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, dinyatakan memenuhi persyaratan untuk
menjadi anggota Direksi atau dewan Komisaris pada BPR dimaksud.
(2) Calon …
- 19 -
(2) Calon Pengurus yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b, dinyatakan tidak memenuhi
persyaratan untuk menjadi anggota Direksi atau dewan Komisaris pada
BPR dimaksud.
Pasal 23
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 secara tertulis kepada BPR dalam
bentuk persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (3).
(2) Selain kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
BAB IV
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PEMEGANG
SAHAM PENGENDALI, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Pertama
Faktor yang Dinilai
Pasal 24
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai:
a.
faktor integritas dan kelayakan keuangan dari Pemegang Saham Pengendali;
b. faktor …
- 20 -
b.
faktor integritas, kompetensi dan reputasi keuangan dari Pengurus dan
Pejabat Eksekutif.
Pasal 25
(1) Faktor integritas bagi Pemegang Saham Pengendali yaitu bahwa yang
bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan-tindakan, baik langsung
maupun tidak langsung, berupa:
a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang
dari ketentuan perbankan;
b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia;
c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada
pemilik, Pengurus, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan BPR; dan/atau
d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan.
(2) Faktor kelayakan keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, yaitu:
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit; dan/atau
c. memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi
kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR.
Pasal 26 …
- 21 -
Pasal 26
(1) Faktor integritas bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif, yaitu bahwa yang
bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan-tindakan, baik langsung
maupun tidak langsung, berupa:
a. tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan
b. perbuatan dari Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif yang
independen.
(2) Faktor kompetensi bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. keahlian dan pengalaman di bidang
keuangan; dan
perbankan dan/atau bidang
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan BPR yang sehat.
(3) Faktor reputasi keuangan bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif meliputi:
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan/atau
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit.
tidak
Bagian …
- 22 -
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 27
Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan setiap waktu,
apabila dianggap perlu.
Pasal 28
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. pengumpulan informasi;
b. pelaksanaan pemeriksaan;
c. konfirmasi hasil penilaian sementara berdasarkan temuan pemeriksaan
dengan pihak-pihak yang dinilai;
d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai
terhadap hasil penilaian sementara;
e. pembahasan atas tanggapan/keberatan dari pihak-pihak yang dinilai serta
penyesuaian hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan oleh
Bank Indonesia;
f. penyampaian hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e
kepada pihak-pihak yang dinilai;
g. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf f;
h. pembahasan …
- 23 -
h. pembahasan ulang terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang
dinilai oleh Bank Indonesia;
i. pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Bank Indonesia;
j. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh
Bank Indonesia.
(2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak
yang
dinilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari sejak tanggal konfirmasi hasil penilaian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak
yang
dinilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari sejak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang
dinilai tidak menggunakan hak
tanggal penyampaian hasil pembahasan
untuk
menyampaikan tanggapan atau keberatan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), maka hasil akhir penilaian kemampuan
dan kepatutan sepenuhnya didasarkan pada hasil penilaian Bank Indonesia.
Pasal 29
Cakupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b
dapat meliputi cakupan pemeriksaan sebelumnya.
Pasal 30 …
- 24 -
Pasal 30
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali
dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait
dengan Pemegang Saham Pengendali yang akan dinilai.
(2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku
bagi Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap BPR yang
terkait dengan Pemegang Saham
Pengendali yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
(3) Pembuktian sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan dalam tahapan-tahapan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian
Pasal 31
(1) Berdasarkan tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) predikat, yaitu:
a. Lulus …
- 25 -
a. Lulus;
b. Lulus Bersyarat;
c. Tidak Lulus.
(2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot
terhadap faktor-faktor yang dinilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan Pasal 26.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Penilaian
Pasal 32
(1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus
atau Pejabat Eksekutif.
(2) Dalam hal pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus, kemudian
diketahui memiliki kredit macet pada BPR dan/atau Bank Umum, maka
predikat yang diberikan akan diturunkan menjadi Lulus Bersyarat.
(3) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan Pengurus dari suatu
badan hukum yang memiliki kredit macet.
Pasal 33 …
- 26 -
Pasal 33
Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat dinyatakan memenuhi
syarat untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat
Eksekutif dengan kewajiban memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 34
(1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat diwajibkan untuk:
a. membuat pernyataan tertulis yang
berisi pernyataan untuk
tidak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
atau Pasal 26 ayat (1) dan/atau perbuatan yang menyebabkan yang
bersangkutan diberikan predikat Lulus Bersyarat;
b. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu)
tahun;
c. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki pada BPR dan/atau Bank
Umum dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun; dan/atau
d. menyampaikan dan melaksanakan langkah-langkah berupa action plan
dalam
rangka memenuhi komitmen
dalam mengatasi kesulitan
permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c.
(2) Surat …
- 27 -
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Pasal 35
(1) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat karena memiliki kredit
macet dan telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf c dan/atau telah memenuhi komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d, dapat diberikan predikat Lulus.
(2) Pihak-pihak yang diberikan predikat Lulus Bersyarat yang disebabkan oleh
faktor kompetensi dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b, dapat diberikan predikat Lulus.
Pasal 36
Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
a. Pemegang Saham Pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh
perseratus) pada BPR atau Bank Umum; dan/atau
b. Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif pada BPR dan/atau Bank Umum.
Pasal 37 …
- 28 -
Pasal 37
(1) Pihak-pihak
yang
dilarang menjadi Pemegang
Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a wajib menyampaikan
pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
tidak akan ikut serta dalam Pengendalian BPR dan/atau Bank Umum, baik
langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
saham
lebih
dari 10% (sepuluh
perseratus), yang bersangkutan wajib
menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun.
Pasal 38
(1) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a tidak
dapat menurunkan kepemilikannya menjadi paling tinggi 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka:
a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak-
haknya sebagai pemegang saham BPR dan/atau Bank Umum paling
tinggi 10% (sepuluh perseratus); dan
b. BPR wajib melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan/atau
memberikan hak-hak
bersangkutan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus).
(2) Dalam …
sebagai pemegang saham kepada yang
- 29 -
(2) Dalam hal penurunan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan
saham kepada keluarga dan/atau kelompok usaha dari
pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, BPR dilarang mencatat
pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang
saham BPR dan pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-
haknya sebagai pemegang saham.
(3) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu kewajiban penurunan
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila menurut penilaian
Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan
program penyehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku.
(4) Apabila setelah perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang bersangkutan tidak dapat memenuhi komitmen yang diberikan
maka yang bersangkutan akan dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu
larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 39
(1) Pihak-pihak yang
dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dan Pasal 45 ayat (1), wajib
mengundurkan diri dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas
operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang sangat mempengaruhi
kebijakan dan kondisi keuangan BPR.
(3) Dalam …
- 30 -
(3) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri, maka:
a. pemegang saham BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota untuk memberhentikan yang bersangkutan;
b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank
Indonesia dengan BPR yang diwakili oleh Pengurus BPR yang
bersangkutan; dan
c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan
tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Atas kewajiban pengunduran diri Pengurus dalam
jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) ditetapkan hal-hal sebagai
berikut:
a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus
Bersyarat, dan Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan
kegiatan operasional BPR sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka
pemegang
saham wajib segera menyelenggarakan
rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota dalam jangka waktu paling lambat
90 (sembilan puluh) hari, untuk mengesahkan pengunduran diri atau
pemberhentian Pengurus yang dinyatakan Tidak Lulus;
b. dalam …
- 31 -
b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan Lulus atau Lulus
Bersyarat, dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka
waktu yang ditetapkan, atau kepengurusan BPR yang masih ada dinilai
dapat mengganggu kegiatan operasional BPR sesuai dengan ketentuan
yang berlaku maka Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(2) BPR wajib melaporkan pengunduran diri atau pemberhentian Pengurus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota.
Pasal 41
(1) Dalam hal pihak-pihak
yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) tidak
mengundurkan diri maka BPR wajib memberhentikan yang bersangkutan.
dilarang menjadi Pejabat Eksekutif
bersedia
(2) BPR wajib melaporkan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) atau pemberhentian Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka
waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan pengunduran
atau pemberhentian.
Pasal 42 …
- 32 -
Pasal 42
(1) Jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak
Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ditetapkan sebagai berikut:
a. selama 2 (dua) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang
bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh tidak material
pada permodalan BPR;
b. selama 3 (tiga) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang
bersangkutan mengakibatkan kerugian yang berpengaruh cukup material
pada permodalan BPR;
c. selama 5 (lima) tahun, apabila perbuatan atau tindakan yang
bersangkutan:
1. mengakibatkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada
permodalan BPR; atau
2. merupakan
penyimpangan manajerial dan/atau
perbankan yang bersifat serius.
(2) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun:
a. tidak dapat menyelesaikan kewajiban kredit macet dalam jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c;
atau
b. dinilai tidak dapat meningkatkan kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b,
dinyatakan Tidak Lulus, dengan jangka waktu larangan selama 2 (dua)
tahun.
(3) Pihak-pihak …
operasional
- 33 -
(3) Pihak-pihak yang dinyatakan Lulus Bersyarat namun tidak bersedia
memenuhi ketentuan atau melakukan pelanggaran terhadap pernyataan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dinyatakan
Tidak Lulus, dengan jangka waktu larangan selama 5 (lima) tahun.
(4) Pengurus BPR yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat
Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu
larangan selama 3 (tiga) tahun setelah yang bersangkutan diberikan 2 (dua)
kali surat teguran dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari.
Pasal 43
Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif dapat dinyatakan
Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila:
a. Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat Tidak Lulus tidak
bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b. Pemegang Saham Pengendali melakukan pelanggaran
terhadap
surat
pernyataan tertulis yang dibuat untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
c. Pemegang Saham Pengendali tidak memenuhi komitmen kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4);
d. Pemegang …
- 34 -
d. Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif melakukan
pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat dalam rangka
penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3); atau
e.
Pengurus dan Pejabat Eksekutif dinyatakan memiliki predikat Tidak Lulus,
namun tidak bersedia mengundurkan diri.
Pasal 44
(1) Selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Bank
Indonesia dapat menetapkan pemegang
saham, Pemegang Saham
Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagai pihak-pihak yang
Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun,
apabila:
a. yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan menggunakan BPR
sebagai sarana atau sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan
telah diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
b. yang bersangkutan terbukti bertanggung jawab menyebabkan BPR
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau
dapat membahayakan sistem perbankan; atau
c. yang bersangkutan dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau
dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu
perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Penetapan …
- 35 -
(2) Penetapan pihak-pihak yang dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dapat dilakukan tanpa melalui proses
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28.
Pasal 45
(1) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 dilarang
menjadi pihak yang melakukan Pengendalian, pemegang saham, Pengurus
dan Pejabat Eksekutif pada seluruh BPR dan/atau Bank Umum.
(2) Pihak-pihak
yang
dilarang melakukan Pengendalian atau menjadi
pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib segera
melepaskan seluruh kepemilikannya pada seluruh BPR dan/atau Bank
Umum dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat melepaskan seluruh kepemilikannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan maka:
a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak-
haknya sebagai pemegang saham BPR dan/atau Bank Umum; dan
b. BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham dan atau
memberikan hak-hak
sebagai pemegang
bersangkutan.
(4) Bank …
saham kepada yang
- 36 -
(4) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu kewajiban melepaskan
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila menurut
penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan
dengan program penyehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku.
Pasal 46
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
secara tertulis kepada BPR dan kepada pihak yang dinilai.
(2) Selain kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Bagian Kelima
Permohonan Kembali untuk Menjadi Pemegang Saham Pengendali,
Pemegang Saham, Pengurus dan/atau Pejabat Eksekutif BPR, dan
Peninjauan Kembali
Pasal 47
(1) Pihak-pihak yang terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dan Pasal 45 ayat (1), dapat mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon
pemegang saham pada BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh
perseratus), calon Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif, apabila jangka
waktu larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal
44 telah terlampaui.
(2) Pemegang …
- 37 -
(2) Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum yang terkena
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 ayat (1) dapat
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk kembali menjadi
calon Pemegang Saham Pengendali dan/atau calon pemegang saham pada
BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh perseratus) sebelum
berakhirnya jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42,
Pasal 43 dan Pasal 44, sepanjang badan hukum yang bersangkutan telah
mengganti pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan
hukum dimaksud
yang
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan
memperoleh predikat Tidak Lulus.
(3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan telah dinilai memenuhi persyaratan oleh Bank Indonesia untuk
menjadi calon Pemegang Saham Pengendali, calon pemegang saham pada
BPR dan/atau Bank Umum lebih dari 10% (sepuluh perseratus), calon
Pengurus atau calon Pejabat Eksekutif BPR memperoleh penilaian dengan
predikat Lulus Bersyarat dan wajib membuat pernyataan tertulis kepada
Bank Indonesia.
(4) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pemegang Saham
Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan/atau kembali menjadi pemilik
dan calon Pengurus BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III
Peraturan Bank Indonesia ini.
(5) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon Pejabat Eksekutif
BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
yang berlaku.
(6) Bank …
- 38 -
(6) Bank Indonesia dapat menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), antara lain apabila:
a. yang bersangkutan mempunyai perkara yang masih dalam proses
penyelesaian pengadilan;
b. yang bersangkutan melanggar peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
Pasal 48
(1) Pihak-pihak yang memperoleh predikat Lulus Bersyarat atau Tidak Lulus,
dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Bank Indonesia
dalam hal terdapat bukti baru yang kuat dan relevan.
(2) Keputusan pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wewenang Bank Indonesia
sepenuhnya.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 49
Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila berdasarkan
proses dan/atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditemukan adanya
penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c angka 2, dan patut diduga mengandung
unsur tindak pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran.
Pasal 50 …
- 39 -
Pasal 50
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan BPR.
(2) Dalam hal BPR, pihak-pihak
yang
dinilai dan pihak-pihak
lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 23 dan Pasal 46
memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak
lain, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan.
Pasal 51
Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat nama-nama dari:
a. Pemegang Saham Pengendali dan/atau pemegang saham yang memperoleh
predikat Tidak Lulus dan tidak bersedia menurunkan kepemilikan dan/atau
melepaskan kepemilikan;
b. Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang memperoleh predikat Tidak Lulus dan
tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Pengurus dan/atau
Pejabat Eksekutif; dan/atau
c. Pengurus yang terbukti tidak bersedia memberhentikan Pejabat Eksekutif
yang dinyatakan Tidak Lulus.
Pasal 52 …
- 40 -
Pasal 52
(1) BPR wajib melaporkan struktur
kelompok usaha yang terkait dengan
BPR termasuk badan hukum pemilik BPR sampai dengan ultimate
shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali untuk posisi akhir
tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang
menyebabkan perubahan pengendali BPR.
(2) Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun.
(3) Rencana perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sebelum terjadinya perubahan.
(4) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menurut
penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan
pengendali BPR atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat
pengendali BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka BPR wajib
mengajukan calon Pemegang Saham Pengendali dan Bank Indonesia
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
Bab II Peraturan Bank Indonesia ini.
(5) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali BPR yang
disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 53 …
- 41 -
Pasal 53
Bank Indonesia dapat menolak perubahan pengendali BPR, apabila berdasarkan
penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau
diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan BPR.
Pasal 54
(1) BPR wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPR dalam Laporan
Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang
saham BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
Pasal 55
Calon Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR selain wajib
memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan keuangan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi
persyaratan mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang
penggantinya.
berlaku beserta perubahan dan/atau
BAB VI …
- 42 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 56
(1) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4), Pasal 20 ayat (2), Pasal 38 ayat (1) huruf b dan ayat (2) dan Pasal 45
ayat (3) huruf b dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat
(2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian Pengurus BPR dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota Koperasi mengangkat pengganti
tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2), Pasal 41 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kelambatan untuk setiap
laporan dengan jumlah paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(3) Pemegang …
- 43 -
(3) Pemegang saham yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 huruf a, Pasal 39 ayat (3) huruf a,
Pasal 40 ayat (1) huruf a dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
(4) Anggota Direksi, dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 36 huruf b
dan Pasal 45 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf
b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dan calon Pengurus BPR sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 58
(1) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang masuk
dalam daftar mengenai orang-orang tertentu yang memenuhi kriteria
perbuatan tercela di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25
Januari …
- 44 -
Januari 1995 tentang Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang yang Dilarang
menjadi Pemegang Saham dan/atau Pengurus Bank, khususnya pihak-pihak
yang berasal dari BPR, dinyatakan sebagai pihak-pihak yang Tidak Lulus
dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
(2) Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimulai sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut tentang penilaian kemampuan dan kepatutan BPR akan
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 60
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 27/118/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang
Kriteria Perbuatan Tercela Orang-orang Yang Dilarang Menjadi Pemegang
Saham dan/atau Pengurus Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 61 …
- 45 -
Pasal 61
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 9 Agustus 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR…81….
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/23/PBI/2004
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan-
perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan
sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good
corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas. BPR sebagai lembaga intermediasi setiap
saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu BPR perlu
dikelola dan dimiliki oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi,
mempunyai kompetensi yang memadai, serta memiliki kelayakan keuangan atau
reputasi keuangan yang baik.
Untuk memperoleh sumber daya manusia perbankan yang berkualitas dan
mampu setiap saat menjaga kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia perlu
melakukan penilaian kemampuan
dan
kepatutan terhadap pihak-pihak yang
dinilai …
- 2 -
dinilai mempunyai pengaruh besar dalam pengendalian dan pengelolaan BPR.
Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek
pengawasan yang lazim diterapkan secara internasional.
Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut merupakan kegiatan yang
tidak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pengawasan BPR oleh Bank Indonesia
dan perlu dilakukan secara berkesinambungan guna mewujudkan terpeliharanya
pengelolaan BPR oleh sumber daya manusia perbankan yang berintegritas,
kompeten, serta memiliki kelayakan keuangan atau reputasi keuangan yang baik.
Selain memperhatikan faktor-faktor integritas, kompetensi, serta kelayakan
keuangan atau reputasi keuangan, penilaian kemampuan dan kepatutan juga
mengandung faktor pertimbangan (judgement) yang bersumber pada data dan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta proses yang transparan.
Penilaian kemampuan dan kepatutan ini selain dilakukan terhadap
Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang
menjabat di BPR juga dilakukan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali
dan calon Pengurus BPR. Terhadap pihak-pihak yang menurut penilaian Bank
Indonesia tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, Bank Indonesia akan
melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2…
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam menghitung
jumlah saham yang
dimiliki
dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak
dan/atau
yang
melakukan Pengendalian terhadap BPR, termasuk:
a. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya
dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali BPR;
b. saham BPR yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan
oleh pengendali BPR;
c. saham BPR yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali
BPR;
d. saham BPR yang
dimiliki
oleh anak
perusahaan dari
perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali BPR;
e. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama
pengendali BPR (saham nominee) berdasarkan atau tidak
berdasarkan suatu perjanjian tertentu;
f. saham BPR yang dimiliki oleh pihak
lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari
pengendali BPR;
g. saham …
- 4 -
g. saham BPR lainnya selain saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh
pengendali BPR.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali BPR
sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah:
a. Komisaris, Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali BPR;
b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan perusahaan pengendali BPR, khusus bagi perusahaan
yang berbentuk hukum koperasi;
c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali
BPR, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan
konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali BPR;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
BPR baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai
dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal,
termasuk besan;
e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali BPR, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris,
keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
Huruf a
BPR dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Pemegang Saham
Pengendali. Termasuk dalam pengertian calon Pemegang Saham
Pengendali antara lain adalah pemegang saham yang menjadi
Pemegang Saham Pengendali karena terjadinya pengalihan saham
BPR secara internal atau eksternal, penambahan modal dari
pemegang saham BPR, dan/atau pengajuan diri secara sukarela
menjadi Pemegang Saham Pengendali. Penilaian kemampuan dan
kepatutan dilakukan pula apabila terjadi peralihan jabatan dari
Komisaris menjadi Direksi pada BPR yang sama.
Terhadap peralihan jabatan dari Direksi menjadi Komisaris,
dan/atau dari anggota Direksi atau dewan Komisaris ke jabatan
yang
lebih tinggi pada BPR yang sama, dan/atau terhadap
perpanjangan jabatan Direksi atau Komisaris dilakukan penilaian
secara administratif, antara lain penilaian terhadap track record dan
penelitian untuk meyakini bahwa yang
tercantum dalam daftar kredit macet.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5…
bersangkutan tidak
- 6 -
Pasal 5
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang
diperoleh Bank Indonesia atau
informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan
menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran dan/atau
melakukan tindakan merugikan pihak lain dan/atau negara secara
tidak wajar dan/atau melawan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Termasuk dalam hal ini adalah komitmen calon Pemegang Saham
Pengendali untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas dan
permodalan BPR sesuai ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali merupakan badan
hukum maka yang bersangkutan wajib menyampaikan hasil analisa
kemampuan keuangan badan hukum pada saat ini dan proyeksinya
untuk jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh
konsultan independen.
Huruf b…
- 7 -
Huruf b
Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah
apabila calon Pemegang Saham Pengendali mempunyai kredit
macet dan/atau merupakan Pengurus dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hutang termasuk hutang dari perusahaan
atau kelompok usaha yang
Pengendali.
dimiliki
oleh Pemegang Saham
Yang dimaksud dengan hutang yang jatuh tempo dan bermasalah
adalah hutang yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan
restrukturisasi kredit sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 7
Ayat (1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Pemegang
Saham Pengendali diajukan oleh BPR berdasarkan inisiatif BPR,
inisiatif calon Pemegang Saham Pengendali atau atas permintaan
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Dalam hal permohonan persetujuan calon Pemegang Saham
Pengendali BPR diajukan pada saat permohonan persetujuan
prinsip dalam rangka pendirian BPR, Bank Indonesia memberikan
persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur
tentang BPR.
Pasal 8…
- 8 -
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian
dokumen
persyaratan administratif sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, track record,
penelitian kemampuan
dan kelayakan keuangan,
struktur kepemilikan calon Pemegang Saham Pengendali.
Penelitian terhadap track record termasuk
serta
penelitian
terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus,
namun dalam penilaian kembali telah dinilai memenuhi
persyaratan
untuk
kembali menjadi
Pemegang
Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan/atau menjadi
pemilik BPR.
Huruf b
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Komitmen tertulis tersebut antara lain berupa:
a. komitmen BPR untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu yang diperkirakan memperburuk kondisi keuangan dan
non keuangan BPR, seperti pembagian dividen.
b. komitmen…
Saham
- 9 -
b. komitmen dari pihak yang melakukan Pengendalian untuk
secara transparan melaporkan rencana
pengalihan
kepemilikan saham perusahaan yang mengakibatkan perubahan
pengendali BPR.
c. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak yang
melakukan Pengendalian untuk tidak melakukan pengalihan
kepemilikan sahamnya di BPR dalam jangka waktu tertentu.
d. komitmen dari Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian termasuk ultimate shareholders
untuk tidak menerima penyediaan dana dan/atau fasilitas
apapun yang tidak wajar dari BPR.
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam hal badan hukum pemegang saham BPR dimiliki dan
dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu
kelompok usaha maka ultimate shareholders adalah perorangan
yang memiliki saham dan merupakan pengendali badan hukum
terakhir dari keseluruhan struktur kelompok
usaha yang
mengendalikan BPR. Dalam hal badan hukum terakhir dari
keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan BPR
tidak memiliki pengendali maka badan hukum tersebut merupakan
ultimate shareholders.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan persyaratan administratif pada ayat ini
adalah persyaratan dokumen bagi calon Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah Pemerintah Daerah.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam
rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai
Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan sebagai Pemegang Saham
Pengendali pada ayat ini antara lain:
a. mempengaruhi…
- 11 -
a. mempengaruhi kebijakan BPR;
b. hadir dan/atau memberikan suara dalam rapat umum pemegang
saham dalam kapasitas sebagai Pemegang Saham Pengendali;
c. menerima dividen sesuai dengan jumlah
saham
dimilikinya sebagai Pemegang Saham Pengendali.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud pada
ayat ini antara lain adalah hak untuk hadir dan memberikan suara
dalam rapat umum pemegang saham dan hak untuk memperoleh
dividen.
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi
pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal BPR sampai
dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16…
yang
- 12 -
Pasal 16
Persyaratan integritas pihak yang dinilai didasarkan antara lain pada track
record, predikat hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang pernah
diberikan kepada calon Pengurus BPR baik Lulus atau Lulus Bersyarat,
atau pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh
Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pengurus BPR.
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria dalam huruf ini dilakukan antara lain
dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia
atau informasi yang
diketahui oleh umum, bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana dengan menggunakan BPR sebagai sarana atau sasaran
dan atau melakukan tindakan merugikan pihak lain dan/atau
negara secara tidak wajar dan/atau melawan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1…
- 13 -
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan/atau bidang keuangan antara lain
adalah pengalaman dan keahlian di bidang
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, atau
hukum, yang berkaitan dengan bidang perbankan
dan/atau keuangan.
Angka 3
Yang
dimaksud dengan kemampuan untuk
melakukan pengelolaan strategis antara lain
kemampuan untuk mengantisipasi
perkembangan
Huruf b
Angka 1
Yang
dimaksud dengan pengetahuan di bidang
perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang
peraturan dan operasional BPR.
Angka 2
Yang dimaksud dengan pengalaman
di bidang
perbankan, antara lain adalah pengalaman di bidang
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan,
atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan
perekonomian…
- 14 -
perekonomian, keuangan dan perbankan,
menginterpretasikan visi menjadi misi BPR dan
analisa situasi industri perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet adalah
apabila
calon
Pengurus mempunyai kredit macet
dan/atau
merupakan Pengurus dari badan hukum yang mempunyai kredit
macet.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Dalam hal seluruh atau mayoritas saham BPR dimiliki
oleh
Pemerintah Daerah, maka permohonan persetujuan calon Pengurus
BPR dapat diajukan oleh Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku antara lain peraturan perundang-undangan tentang
Perseroan Terbatas dan Ketenagakerjaan.
Ayat (3) …
- 15 -
Ayat (3)
Dalam hal permohonan persetujuan calon Pengurus BPR diajukan
pada saat permohonan persetujuan prinsip dalam rangka pendirian
BPR, Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang BPR.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian administratif antara lain meliputi penelitian
dokumen
persyaratan administratif, track record serta
penelitian reputasi keuangan calon Pengurus BPR.
Huruf b
Wawancara hanya dilakukan terhadap calon yang telah
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan operasional antara lain kegiatan di
bidang pemasaran, pembukuan, pendanaan dan perkreditan.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 16 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada ayat ini antara lain adalah surat pernyataan dalam
rangka proses penilaian kembali bagi pihak-pihak yang dinilai
Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3).
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam ayat ini antara lain
adalah pemegang saham.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan
pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk kondisi
keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya, antara lain
seperti:
1. penggelapan…
- 17 -
1. penggelapan atau manipulasi yang dapat merugikan
BPR;
2. transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva
maupun pasiva BPR serta transaksi rekening
administratif;
3. kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan
BPR;
4. praktek bank dalam bank atau usaha bank di luar
pembukuan bank;
5. window dressing dalam pembukuan atau laporan BPR
yang
secara materil berpengaruh terhadap
keadaan
keuangan BPR sehingga mengakibatkan penilaian yang
keliru terhadap BPR; atau
6. kerjasama yang tidak wajar sehingga salah satu atau
beberapa kantornya berdiri sendiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan
kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang
diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen.
telah
Huruf c
Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian BPR.
Yang …
- 18 -
Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi
keuntungan BPR adalah merugikan atau mengurangi
keuntungan dalam
bentuk keuangan yang
dapat
menimbulkan kesulitan keuangan atau potensi kesulitan
keuangan di masa yang akan datang.
Huruf d
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian
antara lain Kualitas Aktiva Produktif, Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum dan Batas Maksimum
Pemberian Kredit.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali
yang menjadi Pengurus dari badan hukum yang mempunyai
kredit macet akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Komitmen yang
dimaksud dalam huruf ini adalah
sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang
dipersyaratkan dalam Ketentuan Bank
Indonesia yang
berlaku.
Pasal 26…
- 19 -
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan
untuk mengemukakan
pandangan, pemikiran
serta
tindakan sesuai dengan profesi dengan tidak memihak
terhadap kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan BPR.
Ayat (2)
Penilaian terhadap faktor kompetensi didasarkan pada tugas dan
tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif sesuai
uraian tugas yang ada pada BPR yang bersangkutan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan
meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional
BPR.
Huruf b
Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan/atau
bidang keuangan antara lain adalah keahlian di bidang
operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan,
perkreditan…
- 20 -
perkreditan, dan/atau hukum yang berkaitan dengan bidang
perbankan dan/atau keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi BPR dan
analisis situasi industri BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Penilaian sewaktu-waktu dilakukan apabila dari hasil pengawasan tidak
langsung, pengawasan langsung (pemeriksaan), dan/atau informasi yang
diperoleh dari masyarakat diketahui adanya indikasi penyimpangan dari
praktek perbankan yang sehat.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun
informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b…
- 21 -
Huruf b
Pelaksanaan pemeriksaan dalam
rangka penilaian
kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan khusus atau secara bersamaan dengan
pemeriksaan lainnya.
Huruf c
Dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan kelompok
usaha, maka konfirmasi hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan disampaikan kepada seluruh anggota kelompok
usaha yang terkait dengan BPR.
Huruf d
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang
dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis.
Huruf g
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang
dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf h…
- 22 -
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian
terhadap BPR dilakukan apabila terdapat indikasi permasalahan
integritas dan kelayakan keuangan.
Ayat (2) …
- 23 -
Ayat (2)
Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi Pemegang Saham
Pengendali dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah
apabila Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat Tidak
Lulus, maka keseluruhan
pihak-pihak
yang
melakukan
Pengendalian yang terkait dengan Pemegang Saham Pengendali
juga diberikan predikat Tidak Lulus.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang
Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota
yang lain dalam kelompok Pemegang Saham Pengendali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Pernyataan tertulis dan kewajiban yang
diminta untuk
dilakukan
disesuaikan dengan penyebab diberikannya predikat Lulus Bersyarat.
Ayat (1)…
- 24 -
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang
cukup.
Huruf b
Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui
upaya yang bersangkutan untuk menambah pengetahuan.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Huruf c
Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya
konfirmasi tertulis dari BPR dan/atau Bank Umum pemberi
kredit yang menyatakan bahwa kredit dimaksud telah
dilunasi atau kredit dimaksud tidak lagi
kualitas macet.
Kewajiban penyelesaian kredit macet bagi pihak-pihak yang
merupakan pengurus badan hukum yang tercatat memiliki
kredit macet dianggap telah terpenuhi apabila yang
bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan
hukum tersebut dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis
kepada Bank Indonesia.
Perhitungan…
termasuk dalam
- 25 -
Perhitungan jangka waktu penyelesaian kredit macet dimulai
sejak
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemenuhan kewajiban untuk menyampaikan surat pernyataan oleh
pihak yang Lulus Bersyarat tidak mengakibatkan status yang
bersangkutan menjadi Lulus namun yang bersangkutan dapat tetap
menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus atau Pejabat
Eksekutif.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Pengenaan sanksi larangan dalam Pasal ini juga berlaku bagi pihak-pihak
yang melakukan perbuatan dan/atau tindakan yang diberikan predikat
Tidak Lulus pada suatu bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang
bersangkutan telah menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus,
dan/atau Pejabat Eksekutif pada BPR dan/atau Bank Umum lain.
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Pasal 37…
- 26 -
Pasal 37
Ayat (1)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan
dilegalisasi oleh Notaris. Sejak adanya surat pernyataan dimaksud
maka yang bersangkutan dilarang menggunakan segala hak dan
wewenang sebagai Pemegang Saham Pengendali, kecuali hak
untuk menerima dividen.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak
tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (2)
Perhitungan jangka waktu 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham
hanya dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10%
(sepuluh perseratus).
Pencatatan…
- 27 -
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan
Bank.
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan
suara dalam rapat umum pemegang saham serta hak untuk
memperoleh dividen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku antara lain
ketentuan mengenai Penetapan Status BPR Dalam Pengawasan
Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dan Persyaratan dan
Tatacara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengunduran diri pada ayat ini adalah
pengunduran diri yang bersangkutan dari BPR.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak
tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (2) …
- 28 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak
tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Termasuk…
- 29 -
Termasuk dalam pengertian kerugian pada permodalan BPR adalah
berkurangnya keuntungan BPR dan/atau potensi kerugian yang
ditimbulkan.
Ayat (2)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak
tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (3)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak
tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf j.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 43
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Pasal 44
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dimulai sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b…
- 30 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab menyebabkan
BPR mengalami kesulitan
yang
membahayakan
kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan sistem
perbankan, antara lain adalah:
1) memanfaatkan BPR untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia, yang menyebabkan BPR bermasalah berat
sehingga dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut
izin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 31 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini antara lain adalah hak untuk hadir dan
memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham
serta hak untuk memperoleh dividen.
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun modal BPR
sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud
ketentuan mengenai
dengan ketentuan yang berlaku antara lain
Penetapan Status BPR Dalam Pengawasan
Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha serta Persyaratan dan
Tatacara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi BPR.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain
adalah pemegang saham.
Pasal 47…
- 32 -
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan
memuat pernyataan tidak akan melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan
tentang faktor kompetensi, integritas dan/atau kelayakan keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
Bank Indonesia tentang BPR.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perkara dalam huruf ini adalah
perkara yang terkait dengan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Huruf b…
- 33 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
dalam
ketenagakerjaan atau keimigrasian.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud
mendasarkan pada keyakinan dan bukti-bukti yang kuat dan
relevan yang dimiliki atau diperoleh Bank Indonesia. Apabila
diperlukan, informasi atau keputusan dari instansi atau lembaga
lain akan digunakan sebagai pertimbangan
keputusan Bank Indonesia tersebut.
dalam
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
pada ayat ini bersifat independen dengan
huruf ini antara lain ketentuan tentang
penetapan
Ayat (2) …
- 34 -
Ayat (2)
Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan
data yang telah diberikan kepada Pengurus BPR dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Pasal 23 dan Pasal 46.
Pasal 51
Pengumuman kepada masyarakat antara lain dilakukan melalui website
Bank Indonesia.
Pasal 52
Ayat (1)
Laporan struktur kelompok usaha pada ayat ini memuat seluruh
perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham BPR dan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian dan/atau memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau
lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak
yang menjadi ultimate shareholders.
Laporan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR sesuai
Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali dilaporkan untuk
posisi 31 Desember 2004.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
- 35 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 53
Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan BPR
antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya
kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber
keuangan pengendali BPR.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh pengungkapan informasi pengendali
shareholders):
1. Tuan X melalui PT ABC …% saham BPR.
2. Tuan Z melalui:
PT A…% saham BPR,
PT B …% saham BPR, dan
PT C …% saham BPR.
terakhir (ultimate
Pasal 55…
- 36 -
Pasal 55
dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan
kepengurusan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai BPR.
Yang
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2004 NOMOR 4410
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/23/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 9 Agustus 2004 </set_date>
<effective_date> 9 Agustus 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '27/118/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 5 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kondisi ekonomi global yang semakin terintegrasi
membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan
perekonomian domestik antara lain melalui penguatan
pengelolaan moneter dan pengembangan pasar
keuangan domestik;
b. bahwa adanya aliran masuk devisa yang bersumber
antara lain dari hasil ekspor, portofolio investasi,
maupun investasi berjangka panjang di Indonesia
merupakan potensi untuk peningkatan pengelolaan
likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing
domestik;
c. bahwa dalam rangka peningkatan pengelolaan likuiditas
dan pengembangan pasar valuta asing domestik
diperlukan pengkayaan instrumen operasi moneter;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank
Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI
MONETER.
Pasal I ...
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5141) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal
3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di
pasar uang rupiah dengan cara Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi
Likuiditas.
(2) Pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didukung dengan pengelolaan likuiditas di
pasar valuta asing.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Kegiatan OPT meliputi :
a. penerbitan SBI;
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat
berharga;
c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam
rupiah;
e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta
asing;
f.
jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan
g. transaksi ...
- 4 -
g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf d dan Pasal 5 huruf e dapat dicairkan oleh peserta
Operasi Moneter sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan
memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dapat dialihkan oleh
peserta Operasi Moneter menjadi transaksi swap jual valuta asing
terhadap rupiah Bank Indonesia.
4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 7A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dapat menjadi
pengurang Posisi Devisa Neto secara keseluruhan yang wajib
dipelihara peserta Operasi Moneter pada akhir hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum.
(2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing yang
dapat menjadi pengurang Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari :
a. Nilai Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja
yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing;
b. Nilai ...
- 5 -
b. Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing;
atau
c. 5% (lima per seratus) dari modal peserta Operasi Moneter.
(3) Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian Posisi
Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah
memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing sebagai pengurang, dengan format sebagaimana contoh
pada Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka
(term deposit) dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai
pengurang Posisi Devisa Neto.
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki :
a. rekening giro rupiah di Bank Indonesia; dan
b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta
Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing.
(2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening surat berharga di
BI-SSSS dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter
wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank
Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat
berharga di BI-SSSS atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi.
(4) Peserta ...
- 6 -
(4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di pasar valuta
asing wajib menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana
ke rekening Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian
kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.
(5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter
yang bersangkutan dinyatakan batal.
(6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka transaksi Operasi
Moneter yang bersangkutan:
a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing;
b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian transaksi,
untuk transaksi di pasar valuta asing selain transaksi
penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
6. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 19
(1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(5) peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari
nilai nominal transaksi Operasi Moneter yang batal, paling
sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(6) huruf a, peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban ...
- 7 -
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal
penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penempatan berjangka (term
deposit) dalam US Dollar;
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas
moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate)
yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah
200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing non
US Dollar.
(3) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam kurun
waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), peserta Operasi Moneter juga
dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan
Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
7. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Dalam hal peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi di
pasar valuta asing selain penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (6) huruf b
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (4), peserta Operasi Moneter dimaksud wajib membayar
nominal transaksi pada hari kerja berikutnya setelah tanggal
penyelesaian transaksi.
(2) Peserta ...
- 8 -
(2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal
penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta asing US Dollar.
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas
moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate)
yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah
200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non
US Dollar; atau
3. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku
ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah.
(3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebet rekening giro valuta asing peserta
Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta asing US Dollar dan valuta
asing non US Dollar.
b. Perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta
asing non US Dollar sebagaimana dimaksud pada huruf a
menggunakan ...
- 9 -
menggunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 WIB pada
tanggal pembebanan.
c. Pendebetan rekening giro rupiah peserta Operasi Moneter di
Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
peserta Operasi Moneter dalam rupiah.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Juni 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Juni 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 130
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 5 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
I. UMUM
Dinamika perekonomian nasional dewasa ini dan ke depan
dihadapkan pada sejumlah tantangan, baik dari sisi eksternal maupun
internal. Dalam rangka merespon sekaligus mengantisipasi berbagai
tantangan tersebut, Bank Indonesia memandang perlunya peningkatan
pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik
dengan menyediakan instrumen penempatan devisa untuk memfasilitasi
masuknya devisa, termasuk yang berasal dari hasil ekspor. Sejalan
dengan upaya tersebut, dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan
Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter.
Kebijakan ini merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan likuiditas
di pasar valuta asing domestik guna mendukung pencapaian sasaran
operasional kebijakan moneter dan memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Cukup jelas.
Angka 2 ...
- 2 -
Angka 2
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI” adalah
penjualan SBI oleh Bank Indonesia di pasar
perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase
agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada
Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian
kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo”
adalah transaksi pembelian surat berharga oleh
peserta Operasi Moneter dan Bank Indonesia
dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta
Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah
SBI, SBN, dan surat berharga lain yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan
penjualan surat berharga secara outright” adalah
transaksi pembelian dan penjualan surat berharga
secara putus.
Yang ...
- 3 -
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah
SBN dan surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan
antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi
jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah
dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi tersebut
dimungkinkan untuk dinegosiasikan dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today)
atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah
tanggal transaksi (tomorrow).
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi
jual/beli antara valuta asing terhadap rupiah
dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi
pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui
pembelian/penjualan tunai
(spot) dengan
penjualan/pembelian kembali secara berjangka
(forward) yang dilakukan secara simultan, dengan
counterpart yang sama dan pada tingkat harga
yang ...
- 4 -
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing
terhadap rupiah Bank Indonesia” adalah transaksi
beli valuta asing oleh Bank Indonesia melalui
pembelian tunai (spot), dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing oleh Bank
Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart
yang sama pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Angka 4
Pasal 7A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh perhitungan pengurangan Posisi Devisa
Neto peserta Operasi Moneter yang dipengaruhi
oleh penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing adalah sebagai berikut :
dalam ...
- 5 -
dalam juta rupiah
No Modal*
a
1 200.000
2 200.000
3 200.000
PDN sebelum TD
Valas
Absolut
PDN
b
Rasio
PDN
c
c = b/a
30.000 15% 35.000
30.000 15% 5.000
6.000
3% 8.000
d
TD
TD sebagai pengurang
PDN
TD ≤ PDN
e
d ≤ b
30.000
5.000
6.000
TD ≤ 5%
Modal
f
d ≤ 5% x a
10.000
10.000
10.000
10.000
5.000
6.000
Maksimum
TD
pengurang
PDN
g**
PDN sesudah TD Valas
Absolut
PDN
h
h = b-g
20.000
25.000
0
Rasio
PDN
i
i = h/a
10%
12,5%
0%
*) Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan BI yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank
umum
**) Nilai maksimum TD pengurang PDN (kolom g) adalah yang memenuhi syarat TD ≤ PDN ( kolom e) dan TD ≤ 5% dari
modal (kolom f).
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal” adalah
modal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai posisi devisa neto bank umum.
Ayat (3)
Laporan harian Posisi Devisa Neto secara
keseluruhan pada akhir hari kerja dengan
memperhitungkan penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang
merupakan tambahan dari kewajiban pelaporan
Posisi Devisa Neto melalui Sistem Laporan Harian
Bank Umum (LHBU).
Penyampaian ...
- 6 -
Penyampaian laporan kepada Bank Indonesia
dilakukan secara offline sampai pelaporan secara
online melalui Sistem LHBU dapat dilaksanakan.
Laporan Posisi Devisa Neto yang disampaikan
secara offline merupakan Posisi Devisa Neto pada
2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penyampaian
laporan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk
kewajiban penyelesaian transaksi dalam rupiah.
Penyelesaian transaksi dalam valuta asing
dilakukan dengan transfer dana ke rekening Bank
Indonesia yang ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 6 ...
- 7 -
Angka 6
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5321
LAMPIRAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 5 /PBI/2012 TANGGAL 8 JUNI 2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
- 8 -
CONTOH LAPORAN PDN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT VALAS
Kepada Yth.
Bank Indonesia
cq.: Departemen Pengawasan Bank / Kantor Perwakilan BI1
Jl..............
1. LAPORAN PDN GABUNGAN KANTOR DN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT VALAS
Sandi Bank
Jenis Kegiatan
Usaha
Jenis
Term Deposit Valas
PDN setelah dikurangi Term Deposit
Valas
Terlampir perhitungan PDN gabungan kantor DN setelah dikurangi term deposit valas.2
2. LAPORAN PDN GABUNGAN KANTOR DN DAN LN SETELAH DIKURANGI TERM DEPOSIT
VALAS
Sandi Bank
Jenis
Term Deposit Valas
PDN setelah dikurangi Term Deposit
Valas
Terlampir perhitungan PDN gabungan kantor DN dan LN setelah dikurangi term deposit valas.2
Jakarta, (diisi tanggal/bulan/tahun)
(....................)3
1
Diisi sesuai dengan Departemen Pengawasan Bank terkait atau kantor perwakilan BI setempat.
2 Dilampirkan perhitungan dengan mengacu pada contoh perhitungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
Pasal 7A ayat (2).
3 Ditandatangani dan diisi nama dan jabatan pejabat/pegawai yang bertanggung jawab
.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Jenis Kegiatan
Usaha
Sandi Valuta
Tgl Laporan No form
Jumlah record
isi
Volume (jumlah dalam juta rupiah)
Sandi Valuta
Tgl Laporan No form
Jumlah record
isi
Volume (jumlah dalam juta rupiah)
DARMIN NASUTION
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/5/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 8 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 8 Juni 2012 </effective_date>
<issued_date> 8 Juni 2012 </issued_date>
<changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 19', 'Pasal I Angka 7 Pasal 20 Ayat 2','Pasal I Angka 7 Pasal 20 Ayat 3' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1 / 9 /PBI/1999
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan dalam rangka penyusunan neraca pembayaran
dan posisi investasi internasional Indonesia;
b. bahwa laporan kegiatan lalu lintas devisa yang lengkap,
benar dan tepat waktu merupakan faktor penting dalam
perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan di bidang
moneter, sistem pembayaran dan perbankan;
c. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dengan
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3844);
M E M U T U S K A N …
-2-
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1. Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban
Finansial Luar Negeri antar penduduk;
2. Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah aset dan kewajiban
finansial terhadap bukan penduduk, antara lain dalam bentuk simpanan,
surat-surat berharga dan pinjaman baik dalam valuta asing maupun rupiah;
3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri;
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
5. Lembaga Keuangan Non Bank meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas,
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Pasal 2 …
-3-
Pasal 2
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib menyampaikan keterangan dan
data kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang
dilakukannya secara lengkap, benar dan tepat waktu.
Pasal 3
Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia.
BAB II
PELAPORAN OLEH BANK
Pasal 4
(1) Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 meliputi:
a. Perpindahan devisa melalui Bank baik untuk kepentingan Bank maupun
nasabah, yaitu transaksi:
1. Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah
maupun valuta asing;
2. Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam
negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing;
3. Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk dalam
valuta asing.
b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Bank.
(2) Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan
kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank dimaksud.
(3) Nasabah …
-4-
….
(3) Nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank wajib
memberikan keterangan dan data kepada Bank yang bersangkutan.
BAB III
PELAPORAN OLEH LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
Pasal 5
Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Keuangan Non
Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi:
a. Perpindahan devisa dalam rangka transaksi:
1. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan
Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam Rupiah maupun valuta
asing;
2. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan
Non Bank dengan penduduk dalam valuta asing.
b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Lembaga Keuangan Non
Bank.
BAB IV
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 6
Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya,
Bank Indonesia dapat meneliti kebenaran keterangan dan data tersebut,
termasuk meminta bukti pembukuan, catatan dan dokumen yang berkaitan
dengan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
Pasal 7…
-5-
Pasal 7
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, atas permintaan Bank Indonesia,
wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan pembukuan, catatan dan
dokumen yang ada padanya.
Pasal 8
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala pembukuan,
catatan, dokumen dan penjelasan yang disampaikan oleh yang bersangkutan.
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 9
(1) Keterlambatan penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebagai berikut :
a. Bagi Bank sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
Rupiah);
untuk setiap hari keterlambatan.
(2) Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut :
a. Bagi bank sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta Rupiah);
ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 10…
-6-
Pasal 10
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang menyampaikan laporan secara
tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagai berikut:
a. Bagi Bank paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank paling banyak sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah).
Pasal 11
Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan dapat
dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha bank.
Pasal 12
Bagi Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 selama 6 (enam) periode berturut-turut
atau paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi
administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 13
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI…
-7-
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Oktober 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 207
DSM
-8-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR : 1 / 9 /PBI/1999
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
UMUM
Seperti telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar bahwa Pemerintah tetap
menganut sistem devisa bebas. Dengan demikian setiap penduduk dapat
dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa yang dimilikinya. Namun,
mengingat di satu sisi, devisa merupakan salah satu sumber pembiayaan yang
sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional dan di sisi lain, keterangan
dan data mengenai kegiatan lalu-lintas devisa selama ini belum terpenuhi
secara lengkap maka dibutuhkan suatu sistem pemantauan lalu lintas devisa
yang efektif. Sistem pemantauan lalu lintas devisa yang efektif tersebut akan
mendukung penerapan sistem devisa bebas agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi perekonomian nasional.
Pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa meliputi pemantauan semua
transaksi yang menimbulkan terjadinya perpindahan aset dan kewajiban
finansial antara penduduk dan bukan penduduk. Disamping itu, dalam rangka
memperoleh informasi mengenai pergerakan devisa dari dan ke sektor
-9-
finansial, pemantauan atas perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri
antar penduduk perlu pula dilakukan. Pemantauan tersebut dimaksudkan
terutama untuk keperluan penyusunan statistik neraca pembayaran dan posisi
investasi internasional Indonesia.
Dengan adanya sistem pemantauan tersebut memungkinkan otoritas
moneter memiliki statistik mengenai kegiatan lalu lintas devisa secara lengkap,
akurat, dan tepat waktu sehingga dapat mendukung perumusan dan
peningkatan efektivitas kebijakan di bidang moneter.
Berkenaan dengan itu, maka untuk mewujudkan sistem pemantauan lalu
lintas devisa yang efektif tersebut, seluruh Bank dan Lembaga Keuangan Non
Bank yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa diwajibkan untuk
menyampaikan laporan kegiatan lalu lintas devisa baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Keterangan dan data yang bersifat rahasia adalah keterangan dan data
yang bersifat individual.
-10-
Pasal 4
Ayat (1)
Keterangan …
-11-
Keterangan dan data yang dilaporkan antara lain meliputi:
a. Nilai dan jenis transaksi;
b. Tujuan atau maksud transaksi;
c. Pelaku transaksi;
d. Negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
Ayat (2)
Nasabah yang wajib dimintakan keterangan dan data oleh Bank
adalah nasabah penduduk. Keterangan dan data tersebut diperlukan
dalam rangka mendukung pelaporan Bank kepada Bank Indonesia.
Ayat (3)
Kewajiban nasabah memberikan keterangan dan data mengenai
kegiatan lalu lintas devisa kepada Bank merupakan laporan tidak
langsung kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 3
ayat (2) Undang-undang No. 24 tahun 1999. Keterangan dan data
dimaksud meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud
transaksi, pelaku transaksi dan negara tujuan atau asal pelaku
transaksi.
Pasal 5
Keterangan dan data yang dilaporkan antara lain meliputi:
a. Nilai dan jenis transaksi;
b. Tujuan atau maksud transaksi;
c. Pelaku transaksi;
d. Negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Penempatan …
-12-
Penempatan dana oleh Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara
lain dalam bentuk deposito, pembelian surat berharga dan penyertaan
pada perusahaan.
Pembayaran oleh Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara lain
pelunasan utang, pembayaran dividen, pembayaran premi asuransi dan
pembayaran fee.
Penerimaan Lembaga Keuangan Non Bank meliputi antara lain
penarikan pinjaman, pelunasan kredit yang diberikan, pelunasan surat-
surat berharga, penerimaan dalam rangka penyertaan modal, penerimaan
dividen, klaim asuransi, klaim penjaminan, penerimaan fee, penjualan
piutang dan penarikan dana simpanan.
Yang dimaksud dengan transaksi dalam valuta asing antara Lembaga
Keuangan Non Bank dengan penduduk adalah penempatan, pembayaran
dan penerimaan Lembaga Keuangan Non Bank yang pelaksanaannya
dilakukan dalam mata uang selain Rupiah.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Bank …
-13-
Bank dan LKNB dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila
laporan Bank dan LKNB diterima oleh Bank Indonesia melewati
masa penyampaian laporan sampai dengan batas waktu
keterlambatan penyampaian laporan.
Masa dan batas waktu keterlambatan penyampaian laporan
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Ayat (2)
Bank dan LKNB dianggap tidak menyampaikan laporan apabila
Bank Indonesia belum menerima laporan Bank dan LKNB sampai
dengan batas waktu keterlambatan penyampaian laporan.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Hal-hal yang akan diatur dalam SE Bank Indonesia antara lain :
a. batasan besarnya kegiatan lalu lintas devisa yang wajib dilaporkan
secara rinci;
b. prosedur dan tata cara penyampaian laporan;
c. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 14 …
-14-
Pasal 14
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3915
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/9/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK </reg_title>
<set_date> 28 Oktober 1999 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 3 /PBI/2008
TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang
lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara
bulanan dan triwulanan yang tersedia secara tepat waktu,
aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk
diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada huruf a diperlukan suatu sistem pelaporan
yang memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka
penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan moneter,
pengawasan bank, dan pengawasan sistem pembayaran;
c. bahwa pada saat ini laporan berbagai informasi yang
disampaikan oleh bank belum terdapat keseragaman dalam
penyajian laporan;
d. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b diperlukan suatu
penyajian laporan yang disusun dan disampaikan secara
bulanan dan triwulanan dalam suatu sistematika yang
ditetapkan …
-2-
ditetapkan dan disampaikan melalui suatu sistem Laporan
Kantor Pusat Bank Umum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas
dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Laporan
Kantor Pusat Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN…
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
KANTOR PUSAT BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; termasuk Kantor
Cabang Bank Asing.
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di
luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta
tempat kedudukan di Indonesia.
3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah
dan/atau unit syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
4. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank, Kantor
Cabang Bank Asing dan UUS.
5. Laporan …
-4-
5. Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara bulanan
(Laporan bulanan) dan/atau triwulanan (Laporan triwulanan) kepada Bank
Indonesia melalui sistem laporan kantor pusat bank umum.
6. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem
LKPBU adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis web
yang disampaikan Bank Pelapor melalui jaringan ekstranet.
7. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan yang
dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah akhir bulan
Laporan untuk Laporan bulanan dan dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
8. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut On-Line
adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan mengirim data secara
langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia.
9. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut Off-Line
adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan
rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik
lainnya kepada Bank Indonesia.
10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor
yang berada dalam satu wilayah propinsi dengan Bank Indonesia setempat.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENANGGUNG-JAWAB LAPORAN
Pasal 2
Bank Pelapor menyusun Laporan yang meliputi:
a. Kegiatan Kustodian;
b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
c. Penyelenggaraan …
-5-
c. Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
(APMK) dan Instrumen Prabayar;
d. Remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri;
e. Mutasi Rekening Pemerintah; dan/atau
f. Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Pasal 3
(1) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, dan
keakuratan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank Pelapor harus meminta keterangan dan data kepada nasabah terkait
dengan kebenaran dan kelengkapan Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Bank Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan Person In-Charge
(PIC) Laporan kepada Bank Indonesia.
(4) Penunjukan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi
dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi Bank atau pimpinan
Kantor Cabang Bank Asing atau Kepala UUS.
(5) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Bank Pelapor harus mengkinikan dan melaporkan perubahan dimaksud
kepada Bank Indonesia.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 4
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e setiap bulan paling lambat tanggal 15
pada bulan Laporan berikutnya.
(2) Bank …
-6-
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf f setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli,
Oktober, dan Januari.
(3) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan form header:
a. paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya untuk Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e,
dan/atau
b. paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari untuk
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f.
(4) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki izin untuk melaksanakan kegiatan
kustodian atau Bank Pelapor tidak menyelenggarakan kegiatan APMK,
Bank Pelapor tidak wajib menyampaikan form header sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal
diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda
terima dari Sistem LKPBU.
Pasal 5
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a sampai dengan huruf e secara lengkap, benar, dan akurat.
Pasal 6
(1) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a apabila Bank Indonesia:
a. menerima …
-7-
a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan
Laporan berikutnya atau
b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada
bulan Laporan berikutnya.
(2) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal Pasal 4 ayat (2) dan/atau form header sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b apabila Bank Indonesia:
a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 bulan April,
Juli, Oktober, dan Januari atau
b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 bulan
April, Juli, Oktober dan Januari.
(3) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau
form header sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan dan/atau form header yang belum disampaikan.
Pasal 7
(1) Bank Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dalam hal terdapat koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e, koreksi Laporan tersebut wajib
disampaikan dalam jangka waktu Periode Pelaporan.
(3) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila
koreksi Laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan koreksi Laporan
yang belum disampaikan.
(5) Bank …
-8-
(5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada
tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan
dengan tanda terima dari Sistem LKPBU.
Pasal 8
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian:
a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2);
b.
form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); dan/atau
c. koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka Laporan, form header
dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya.
BAB IV
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 9
(1) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau form header
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 melalui Sistem LKPBU secara On-
Line.
(2) Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan dan 1 (satu)
bulan setelah masa Laporan.
(3) Dalam hal penyampaian Laporan dan/atau form header sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 melampaui waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyampaian …
-9-
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan
secara Off-Line.
Pasal 10
(1) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau
ayat (3), dan/atau Pasal 7 ayat (2), Bank Pelapor harus menyampaikan
Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line.
(2) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
dilakukan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis,
yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang, dengan alamat:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis, maka Bank
Indonesia memberitahukan kepada Bank Pelapor terjadinya gangguan
tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dan/atau Pasal 7 ayat (2),
Bank …
-10-
Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan paling lambat Hari Kerja berikutnya secara Off-Line.
(5) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Bank
Pelapor dianggap terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2),
dan/atau Pasal 7 ayat (3).
(6) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan kepada:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1), tidak berlaku bagi
Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure).
(2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera
memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure), yang ditandatangani oleh
Pejabat Bank Pelapor yang berwenang.
(3) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa
(force majeure) dapat diatasi.
(4) Pemberitahuan …
-11-
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB V
HAK AKSES LAPORAN
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap Sistem LKPBU dalam
jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya.
(2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap
tambahan hak akses terhadap Sistem LKPBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Bank Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LKPBU
yang diberikan oleh Bank Indonesia.
BAB VI
S A N K S I
Pasal 13
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana
dimaksud …
-12-
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form
per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau form header sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form
per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah) untuk setiap form.
(3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari
Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf e yang tidak lengkap, tidak benar, dan
tidak akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap form.
(5) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dalam batas
waktu periode penyampaian On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), Bank Pelapor dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak dikenakan
sanksi terhadap penyampaian Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan
tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Bank …
-13-
(6) Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan Laporan yang
tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) karena kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode
penyampaian secara On-Line, maka Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi
keterlambatan penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) Bank Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal:
a. belum menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
sampai periode penyampaian Laporan berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (4); dan/atau
b. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis
dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (2).
Pasal 14
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah
Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Nomor
27/31/ULN tanggal 10 Januari 1995 perihal Laporan Mengenai Transfer Valuta
Asing …
-14-
Asing Oleh Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
-15-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 4 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 12
UKMI/DASP/DPNP/DINT/DSM
-1-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/3/PBI/2008
TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM
UMUM
Dalam menjalankan tugas sebagai otoritas moneter, pengawasan bank, dan
sistem pembayaran nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor
23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun
2004, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Cerminan dari
upaya tersebut adalah keputusan, kebijakan, dan ketentuan yang dihasilkan Bank
Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dan konstruktif
bagi pergerakan perekonomian nasional yang berkesinambungan.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia
memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas terutama berasal
dari bank mengingat industri perbankan merupakan transmisi kebijakan moneter
secara makro. Data dan informasi dimaksud berupa kondisi keuangan bank yang
disajikan dalam bentuk laporan keuangan maupun kegiatan usaha bank berupa
kegiatan transaksional dan kegiatan operasional lain seperti kustodian, Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), dan kegiatan pembayaran non
tunai serta pengaduan nasabah bank. Selama ini pelaporan data dan informasi
kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh bank secara manual melalui hardcopy.
Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang
didukung …
-2-
didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai dan bersifat
sistematis seperti sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan kegiatan kustodian adalah kegiatan
penitipan surat berharga (efek) untuk kepentingan nasabah
berdasarkan suatu kontrak.
Huruf b
Yang dimaksud dengan SKBDN adalah setiap janji tertulis
berdasarkan permintaan tertulis pemohon (applicant) yang
mengikat bank pembuka (issuing bank) untuk:
a. melakukan pembayaran kepada penerima atau ordernya, atau
mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh penerima;
b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran
kepada penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar
wesel yang ditarik oleh penerima; atau
c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang
ditarik oleh penerima.
atas penyerahan dokumen, sepanjang persyaratan dan kondisi
SKBDN dipenuhi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Penyelenggaraan Kegiatan APMK adalah
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran yang berupa kartu
kredit …
-3-
kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet,
dan/atau kartu prabayar.
Kartu prabayar merupakan bagian dari instrumen prabayar.
Yang dimaksud dengan Instrumen Prabayar adalah alat
pembayaran yang diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu
sejumlah uang kepada penerbit baik secara langsung atau melalui
agen-agen penerbit dimana nilai uang tersebut dicatat secara
elektronik dan disimpan dalam media penyimpan data elektronik
yang berada dalam pengelolaan penerbit atau pemegang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Remittance TKI di Luar Negeri adalah
penerimaan uang dari TKI di luar negeri melalui Bank Pelapor.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Mutasi Rekening Pemerintah adalah mutasi
yang terjadi pada rekening milik pemerintah pusat maupun daerah
yang ada di Bank Pelapor. Bagi Bank Pelapor yang tidak
menatausahakan rekening pemerintah, maka Mutasi Rekening
Pemerintah tersebut berasal dari rekening antara atau rekening
sejenis yang digunakan sebagai rekening penampungan pajak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan
nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial
pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-4-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keterangan dan data kepada nasabah adalah
informasi tambahan yang diperlukan dari nasabah terkait dengan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang ditunjuk
oleh Bank Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait dengan Laporan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau menghilangkan
tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab Laporan tetap
melekat pada Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank
Asing atau Kepala UUS.
Ayat (5)
Mengkinikan perubahan PIC dilakukan oleh Bank Pelapor dengan
cara menyesuaikan informasi melalui form Informasi Pokok
Pelapor di dalam Sistem LKPBU.
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh: Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat tanggal 15 April 2008 sebagai berikut:
a. Data yang dilaporkan dalam kegiatan kustodian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a merupakan data posisi pada
akhir bulan Maret 2008.
b. Data …
-5-
b. Data yang dilaporkan dalam SKBDN sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 huruf b merupakan data akumulasi pada bulan
Maret 2008.
c. Data yang dilaporkan dalam Penyelenggaraan Kegiatan APMK
dan Instrumen Prabayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c merupakan akumulasi transaksi pada bulan Maret 2008
dan/atau posisi data pada akhir bulan Maret 2008 sesuai jenis
data yang dilaporkan.
d. Data yang dilaporkan dalam Remittance TKI di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d merupakan
akumulasi data pada bulan Maret 2008.
e. Data yang dilaporkan dalam Mutasi Rekening Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e merupakan
mutasi harian pada bulan Maret 2008.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak memiliki data adalah kondisi dimana
Bank Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan
melakukan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem
LKPBU, namun sampai dengan akhir bulan Laporan dan/atau masa
Laporan tidak ada data yang dilaporkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud tanda terima dari Sistem LKPBU adalah tampilan
atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa Laporan telah
diterima oleh Bank Indonesia.
Pasal 5 …
-6-
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh:
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila
Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah
tanggal 15 April 2008.
Ayat (2)
Contoh:
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila data
Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan
I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April
2008.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak
benar, tidak akurat, dan/atau tidak terkini, baik yang diketahui oleh
Bank Pelapor maupun Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat tanggal 15 April 2008.
Ayat (3) …
-7-
Ayat (3)
Contoh:
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan apabila koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2008
diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur umum mengikuti
keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setempat.
Contoh:
Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008.
Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan
tersebut paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada hari Senin
tanggal 16 Juni 2008.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan data bulan Maret 2008 secara On-line sampai
dengan akhir bulan April 2008.
Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai
dengan akhir bulan April 2008.
Yang …
-8-
Yang dimaksud dengan bulan Laporan adalah jangka waktu yang
menunjukkan sumber data Laporan bulanan berasal.
Contoh: data akumulasi kegiatan tanggal 1 sampai dengan tanggal
31 Maret 2008 merupakan data bulan Laporan Maret tahun 2008.
Yang dimaksud dengan masa Laporan adalah jangka waktu yang
menunjukkan sumber data Laporan triwulanan berasal.
Contoh: data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah
dari tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008
merupakan data masa Laporan triwulan I tahun 2008.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Pelapor adalah
gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan
pada sistem di internal Bank Pelapor.
Yang dimaksud dengan pada akhir Periode Pelaporan adalah
tanggal 15 untuk Laporan bulanan dan tanggal 15 bulan April, Juli,
Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia adalah
gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan …
-9-
Laporan secara On-Line dari Bank Pelapor antara lain karena
gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya.
Yang dimaksud dengan sarana lain antara lain: e-mail, telepon,
faksimili.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak
dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan, antara lain yang diakibatkan karena kebakaran, kerusuhan
massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat
diatasi adalah keadaan dimana Bank Pelapor secara normal telah
dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun
dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan kepada Bank Indonesia.
Ayat (4) …
-10-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Pelapor untuk dapat mengirim Laporan,
form header, dan/atau menerima hasil olahan Laporan melalui log-
in ke dalam Sistem LKPBU di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan data Remittance dari TKI di Luar
Negeri untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh
Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan
tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar
Rp1.000.000,00.
Bank Pelapor menyampaikan data SKBDN untuk Periode Laporan
bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 30
Mei 2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor seharusnya
dikenakan sanksi sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja
atau sebesar Rp15.500.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp7.500.000,00.
Ayat (2) …
-11-
Ayat (2)
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan Laporan Periode Triwulan I tahun
2008 Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk
form Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan
yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab
Pengaduan, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April
2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 2 Hari
Kerja atau sebesar Rp3.000.000,00.
Bank Pelapor menyampaikan Laporan Periode Triwulan I tahun
2008 Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk
form Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan
yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab
Pengaduan, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 12 Juni
2008. Atas keterlambatan tersebut Bank Pelapor seharusnya
dikenakan sanksi sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 40 Hari Kerja
atau sebesar Rp60.000.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp15.000.000,00 x 3 form atau sebesar Rp45.000.000,00.
Ayat (3)
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data Remittance TKI
di Luar Negeri untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima
oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas
keterlambatan koreksi tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja
atau sebesar Rp100.000,00.
Bank …
-12-
Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data SKBDN untuk
Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan tersebut Bank Pelapor seharusnya dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 31
Hari Kerja atau sebesar Rp1.550.000,00 namun Bank Pelapor
dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp750.000,00.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan item adalah field-field pada setiap record
dalam setiap form.
Contoh:
Data Kustodian terdapat kesalahan sebanyak 10 (sepuluh) item.
Atas kesalahan tersebut Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar
Rp500.000,00 untuk form Kustodian.
Data SKBDN terdapat kesalahan sebanyak 100 (seratus) item. Atas
kesalahan tersebut seharusnya Bank Pelapor dikenakan sanksi
kewajiban membayar Rp50.000,00 x 100 item atau sebesar
Rp5.000.000,00 namun Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 untuk form
SKBDN.
Ayat (5) …
-13-
Ayat (5)
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan koreksi Laporan terhadap 18
(delapan belas) item kesalahan data Remittance TKI di Luar Negeri
untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Terhadap pelanggaran
tersebut Bank Pelapor hanya dikenakan sanksi kewajiban
membayar atas keterlambatan koreksi Laporan sebesar
Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00.
Atas penyampaian Laporan secara tidak benar sebanyak 18
(delapan belas) item kesalahan Bank Pelapor tidak dikenakan
sanksi kewajiban membayar.
Ayat (6)
Contoh:
Laporan kegiatan kustodian Periode Laporan bulan Maret 2008,
pada tanggal 5 Mei 2008 ditemukan 10 (sepuluh) item kesalahan.
Berdasarkan kesalahan tersebut Bank Pelapor hanya dikenakan
sanksi kewajiban membayar atas penyampaian Laporan secara
tidak benar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar
Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan
Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15…
-14-
Pasal 15
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia memuat antara lain:
a. ruang lingkup data Laporan;
b. format dan jenis Laporan;
c. penyampaian dan koreksi Laporan;
d. hak akses; dan biaya hak akses
e. sanksi;
f. hal-hal lain yang terkait.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2008 NOMOR 4810
UKMI/ DASP/DPNP/DINT/DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/3/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '27/31/ULN|SE-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 23 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi perekonomian secara global telah mengalami
krisis keuangan yang berpotensi memiliki dampak terhadap
sistem keuangan dan perbankan nasional;
b. bahwa diperlukan upaya untuk dapat menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan
nasional dengan menjaga ketersediaan dana (likuiditas) yang
cukup, baik bagi pelaku perbankan maupun pelaku
perekonomian di Indonesia;
c. bahwa pengendalian likuiditas melalui penyesuaian
instrumen moneter bank sentral yaitu berupa penyesuaian
giro wajib minimum, merupakan salah satu pilihan (opsi)
untuk menjaga ketersediaan likuiditas bagi pelaku
perbankan dan pelaku perekonomian di Indonesia, terutama
dalam hal ketersediaan dana valuta asing di pasar;
d. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang
berlaku perlu disesuaikan dengan kondisi likuiditas
perbankan, kemampuan bank melakukan fungsi intermediasi
maupun……
- 2 -
maupun arah kebijakan Bank Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam butir a, butir b dan butir c, perlu untuk melakukan
perubahan kedua mengenai ketentuan giro wajib minimum
dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHANKEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA
ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I ……
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/23/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 80,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4649)
diubah sebagai berikut :
Pasal 4
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam
valuta asing.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008.
Agar ……
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 16 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 150
DPbS
- 5 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 23 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Kondisi perekonomian global saat ini yang tengah mengalami krisis
keuangan sebagai akibat dari dampak lanjutan terjadinya kasus subprime
mortgage di lembaga keuangan Amerika Serikat, berdampak pula terhadap
sistem keuangan dan perbankan nasional.
Terciptanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan
perbankan nasional dengan melakukan upaya pengendalian ketersediaan
dana (likuiditas) merupakan salah satu tindakan yang penting dan berguna
bagi pelaku perekonomian nasional.
Upaya pengendalian ketersediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pelaku perekonomian nasional, termasuk didalamnya bagi pelaku perbankan
antara lain dilakukan dengan melaksanakan penyesuaian instrumen moneter
bank sentral berupa besaran pemeliharaan giro wajib minimum yang harus
disimpan di Bank Indonesia.
Sebagai salah satu instrumen moneter, penetapan kebijakan giro wajib
minimum, dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi
likuiditas perbankan, kemampuan bank melakukan fungsi intermediasi, dan
arah kebijakan Bank Indonesia dalam menyikapi situasi dan kondisi
perekonomian ……
- 2 -
perekonomian yang bersifat global maupun nasional yang berpengaruh
terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan
kondisi perekonomian dan kondisi likuiditas perbankan dewasa ini,
dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian besaran pemeliharaan giro
wajib minimum di Bank Indonesia bagi bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4908
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/23/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 16 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 16 Oktober 2018 </issued_date>
<changed_reg> '6/21/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 15/15/PBI/2013
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA
ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan perlu dijaga
untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter;
b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan
dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang
muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan
penguatan likuiditas bank dengan tetap
memperhatikan peran bank dalam menjalankan fungsi
intermediasi;
c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang
memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara
optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas bank
melalui kebijakan giro wajib minimum;
d. bahwa dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas
Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember
2013, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan giro
wajib minimum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia atau OJK untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing.
3. Otoritas ...
- 3 -
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam
Rupiah dan valuta asing.
5. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi
dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro
Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank
Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak
ekstern.
7. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Rekening
Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau
sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
dengan pihak ekstern.
8. Loan to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat LDR adalah rasio
kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta
asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak
ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank.
9. LDR Target adalah kisaran LDR yang dibatasi oleh batas bawah dan
batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka
perhitungan GWM LDR.
10. Giro ...
- 4 -
10. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah
dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari
DPK.
11. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh
Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu
dari DPK.
12. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara
oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara dan/atau Excess Reserve, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu
dari DPK.
13. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh
Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia
sebesar persentase tertentu dari DPK yang dihitung berdasarkan
selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR Target.
14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat JIBOR
adalah suku bunga antar Bank untuk berbagai jangka waktu yang
ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI
adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank.
17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat
berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam mata uang
Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam mata uang Rupiah
yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
18. Excess ...
- 5 -
18. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank
dari GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara di Bank
Indonesia.
19. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah rasio antara modal terhadap aset tertimbang
menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
20. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dalam rangka perhitungan GWM LDR.
21. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang
digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki
LDR kurang dari batas bawah LDR Target.
22. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan
dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR lebih
dari batas atas LDR Target.
BAB II
PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah.
(2) GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
GWM Primer, GWM Sekunder, dan GWM LDR.
(3) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta
asing.
Pasal 3
Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK
dalam Rupiah.
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam ...
- 6 -
dalam Rupiah.
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan antara Parameter
Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih
antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih
antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a kepada Bank yang melakukan merger atau
konsolidasi.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger
atau konsolidasi berlaku efektif.
(3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
kewajiban pemenuhan GWM Sekunder dan GWM LDR.
(4) Pemberian kelonggaran GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank kepada
Bank Indonesia yang disertai persetujuan dari OJK mengenai
pemberian insentif merger atau konsolidasi berupa kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah.
Pasal 5
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 6
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu.
BAB III ...
- 7 -
BAB III
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 7
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank
Indonesia.
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening
Giro Valas pada Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan, dan penutupan
Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan
Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
BAB IV
PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 8
Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 5 secara harian.
Pasal 9
Pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dan GWM LDR dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c, serta pemenuhan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dihitung dengan membandingkan
saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1
(satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Pasal 10 ...
- 8 -
Pasal 10
(1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI,
SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu)
masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM
LDR dalam Rupiah ditetapkan sebagai berikut:
a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan
persen).
b. Batas atas LDR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen).
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen).
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu).
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
(2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan
parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan.
(3) Tata cara pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
Pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf c dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM
LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah.
b. Dalam hal LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka
GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif
Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan
DPK dalam Rupiah.
c. Dalam ...
- 9 -
c. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan
KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LDR
merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih
antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam Rupiah.
d. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan
KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif maka GWM
LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan
ketentuan GWM LDR sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1)
terhadap Bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha
oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana.
(2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar
permintaan OJK.
Pasal 14
(1) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
dan huruf b, Pasal 12, dan Pasal 17 ayat (2) serta DPK dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperoleh dari Laporan
DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai laporan
berkala bank umum.
(2) LDR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal
12 diperoleh dari pos-pos neraca mingguan pada Laporan Berkala
Bank Umum yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
(3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal
11 adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan OJK yang digunakan
dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan.
(4) KPMM ...
- 10 -
(4) KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
KPMM Bank untuk posisi akhir triwulan, sebagai berikut:
a. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk
perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan
Desember, Januari, dan Februari.
b. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan Maret,
April, dan Mei.
c. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk
perhitungan GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan Juni,
Juli, dan Agustus.
d. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan
GWM LDR dalam Rupiah harian untuk bulan September, Oktober,
dan November.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang
diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM
yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh OJK.
Pasal 15
(1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 masing-masing terdiri atas:
a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank;
b. saldo Rekening Giro Valas Bank.
(2)
Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah
Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro
Valas Bank.
Pasal 16 ...
- 11 -
Pasal 16
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 12, Pasal 17 ayat
(2) dan Pasal 5 terdiri atas:
a. rata-rata harian total DPK dalam Rupiah pada seluruh kantor
Bank di Indonesia;
b. rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh
kantor Bank di Indonesia.
(2) DPK dalam Rupiah meliputi kewajiban dalam Rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a. giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing
kepada pihak ketiga, termasuk Bank di Indonesia, baik kepada
penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas:
a. giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
BAB V
JASA GIRO
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap
bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun.
(4) Jasa ...
- 12 -
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila
Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro
dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dilaksanakan dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank pada
Bank Indonesia.
(2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pemberian
jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai
berikut:
a. jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dikreditkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 7 bulan yang
sama;
b. jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 dikreditkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang
sama;
c. jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dikreditkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 23 bulan yang
sama;
d. jasa giro periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
dikreditkan pada bulan berikutnya paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal akhir bulan.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau
kelebihan dalam pengkreditan yang terkait dengan pemberian jasa
giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
BAB VI ...
- 13 -
BAB VI
PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 19
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank
untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung;
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau
c. Bank Indonesia menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.
BAB VII
SANKSI
Pasal 20
Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11 dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut:
1. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 11 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari
overnight dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya
pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk
setiap hari kerja pelanggaran.
2. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen)
per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian
Rekening ...
- 14 -
Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang
dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia.
3. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada angka 2
dibayarkan dalam Rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari
kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
Pasal 21
Sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf b angka 1
dikecualikan:
a. bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan
kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat
(1), sepanjang kekurangan GWM Primer dalam Rupiah tidak lebih dari
1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah; dan/atau
b. bagi Bank yang mendapatkan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan
GWM LDR sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1).
Pasal 22
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b
angka 1 dan angka 2 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro
Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat
3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran
GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau
kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung
mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening
Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk
Rekening Giro Valas Bank.
(4) Apabila ...
- 15 -
(4) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh
sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai
kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk
pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf b angka 1.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta
Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan
Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5200); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam ...
- 16 -
Dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2013 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5446),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka semua
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5158) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5446), dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember
2013.
Agar ...
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 235
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Pengelolaan likuiditas perbankan perlu dilakukan agar transmisi
kebijakan moneter melalui sistem perbankan dapat berlangsung secara
optimal melalui peran Bank dalam sistem pembayaran, pasar uang, dan
fungsi intermediasi dalam penyaluran kredit.
Sebagai salah satu pelaku utama di sistem keuangan, kondisi
likuiditas di sektor perbankan sangat mempengaruhi stabilitas sektor
keuangan sehingga upaya untuk menjaga kecukupan likuiditas Bank perlu
terus dilakukan secara terukur agar kecukupan likuiditas Bank berjalan
searah dengan pertumbuhan asetnya.
Kebijakan penguatan likuiditas dilakukan dengan
mempertimbangkan dampak terhadap kondisi makroekonomi, kondisi
sistem perbankan secara keseluruhan, dan kondisi Bank secara individual.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3 ...
- 2 -
Pasal 3
Huruf a
Contoh perhitungan GWM Primer dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Januari
2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun
rupiah).
GWM Primer dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 15 sampai dengan 23 Januari 2014 yang wajib dipenuhi
bank adalah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah,
yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
Huruf b
Contoh perhitungan GWM Sekunder dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam masa laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Januari 2014 sebesar
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah).
GWM Sekunder dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 15 sampai dengan tanggal 23 Januari 2014 yang wajib
dipenuhi bank adalah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam
Rupiah, yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah).
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka
GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang
semula sebesar 8% (delapan persen) berubah menjadi sebesar 7%
(tujuh persen).
Ayat (3) ...
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014
sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal 31 Januari 2014 adalah sebesar:
8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta dolar
Amerika Serikat).
Pasal 6
Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan
memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan
sistem keuangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam rangka melaksanakan kewajiban pemenuhan GWM dalam
valuta asing, Bank melakukan penyetoran valuta asing untuk
untung rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of
New York, New York (FRB).
Selanjutnya ...
- 4 -
Selanjutnya Bank mengirimkan informasi penyetoran valuta asing
tersebut kepada Bank Indonesia secara tertulis antara lain melalui
sarana SWIFT atau surat, paling lambat pukul 14.00 WIB pada
tanggal valuta.
Dalam hal Bank melakukan penarikan pada Rekening Giro Valas,
permintaan penarikan telah diterima oleh Bank Indonesia paling
lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta.
Pasal 8
Perhitungan pemenuhan GWM secara harian dilakukan berdasarkan
posisi akhir hari.
Pasal 9
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer dalam Rupiah dan
GWM LDR dalam Rupiah serta GWM dalam valuta asing adalah
sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di
Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan
X100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR
dalam Rupiah serta GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK
Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan
sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya;
c. GWM ...
- 5 -
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang
sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang
sama.
Pasal 10
Ayat (1)
SBN terdiri dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah
Negara.
Yang dimaksud dengan “Surat Utang Negara” yang selanjutnya
disingkat SUN adalah SUN sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang
terdiri dari Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara,
namun terbatas hanya dalam mata uang Rupiah.
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah Negara” atau
dapat disebut Sukuk Negara yang selanjutnya disingkat SBSN,
adalah SBSN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan mengenai Surat Berharga Syariah Negara yang terdiri
atas SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek namun
terbatas hanya dalam mata uang Rupiah.
Yang dimaksud dengan “Obligasi Negara” adalah SUN yang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon
dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “Surat Perbendaharaan Negara” adalah
SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan
dengan pembayaran bunga secara diskonto.
Yang …
- 6 -
Yang dimaksud dengan “SBSN Jangka Panjang” adalah SBSN yang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “SBSN Jangka Pendek” atau dapat disebut
Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder dalam Rupiah
adalah sebagai berikut:
SBI + SDBI + SBN + Excess Reserve
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
X 100%
Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah
didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan
sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang
sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam
masa …
- 7 -
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan persentase LDR Target, KPMM Insentif, Parameter
Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan
sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan
memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan
sistem keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014
sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan
LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15
Januari 2014 sebesar 90% (sembilan puluh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas bawah LDR
Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan
batas atas LDR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen)
sehingga LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target. Dengan
demikian GWM LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah
sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah.
GWM …
- 8 -
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah
sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun
rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah
pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah
yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
Huruf b
Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal tanggal 8 sampai dengan 15 Januari
2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah)
dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan
15 Januari 2014 sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh
puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan
sebesar 92% (sembilan puluh dua persen).
b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol
koma satu).
LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target, sehingga GWM
LDR dalam Rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Bawah x (Batas bawah LDR Target - LDR
Bank) x DPK dalam Rupiah
= 0,1 …
- 9 -
= 0,1 x (78% - 75%) x DPK dalam Rupiah
= 0,1 x 3% x DPK dalam Rupiah
= 0,3% x DPK dalam Rupiah
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah
sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun
rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah
pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari DPK
dalam Rupiah yaitu sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus
lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia
Huruf c
Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal tanggal 8 sampai dengan 15 Januari
2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun
rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai
dengan 15 Januari 2014 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh
persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan September 2013
sebesar 12% (dua belas persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar
92% (sembilan puluh dua persen).
b. Parameter …
- 10 -
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma
dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen).
LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank
lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam Rupiah
harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
31 Januari 2014 adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Atas x (LDR Bank – batas atas LDR
Target) x DPK dalam Rupiah
= 0,2 x (97% – 92%) x DPK dalam Rupiah
= 0,2 x 5% x DPK dalam Rupiah
= 1% x DPK dalam Rupiah
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah
sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun
rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah
pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah
yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank
Indonesia.
Huruf d
Contoh perhitungan GWM LDR dalam Rupiah:
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 Januari 2014
sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) dan
LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15
Januari …
- 11 -
Januari 2014 sebesar 100% (seratus persen) dan KPMM Bank
posisi akhir bulan September 2013 sebesar 15% (lima belas
persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar
92% (sembilan puluh dua persen).
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma
dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen).
LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank
lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam Rupiah
harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
31 Januari 2014 adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam
Rupiah.
GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan 31 Januari 2014 yang wajib dipenuhi Bank adalah
sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun
rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah
pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam Rupiah
yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
Pasal 13
Ayat (1)
Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR
antara lain berupa perubahan persentase GWM LDR dari yang
ditetapkan …
- 12 -
ditetapkan dalam Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
LDR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM
LDR dalam Rupiah didasarkan pada pos-pos neraca mingguan
Laporan Berkala Bank Umum posisi akhir tanggal laporan pada
2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Dengan demikian, perhitungan GWM LDR dalam Rupiah
ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 didasarkan pada
perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada
perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
c. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 didasarkan pada
perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM LDR dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan didasarkan
pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama
Ayat (3)
KPMM triwulanan yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LDR dalam Rupiah merupakan hasil olahan sistem
aplikasi ...
- 13 -
aplikasi yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dalam
rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan, untuk
posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Bagi Bank Umum konvensional yang juga melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank
tidak termasuk saldo Rekening Giro unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, jumlah DPK dalam Rupiah
dan jumlah DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK dalam
Rupiah dan valuta asing yang dilaporkan unit usaha syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” dalam Rupiah adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam
ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam Rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah
dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c ...
- 14 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
dalam Rupiah adalah komponen simpanan berjangka
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana
Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya”
dalam Rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada
pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah
dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” dalam valuta asing adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam
ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam valuta asing
adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta
asing dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana
Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d ...
- 15 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya”
dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya
kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga
dalam valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan
berkala bank umum.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan jasa giro harian dalam 1 (satu) masa laporan
dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap
bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Ayat (3)
Tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) merupakan
tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang
ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360
(tiga ratus enam puluh) hari.
Metode perhitungan persentase jasa giro harian dengan
menggunakan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) sebagai berikut:
Persentase jasa giro harian
= {1 + tingkat bunga efektif tahunan}(1/360) -1
= {1 + 2,5%}(1/360) - 1
= 0,00686%
Hasil perhitungan persentase jasa giro harian dibulatkan
menjadi 5 (lima) angka di belakang koma.
Ayat (4) …
- 16 -
Ayat (4)
Bank yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan
kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal
4 ayat (1) dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM
dalam Rupiah apabila Bank telah memenuhi kewajiban GWM
Primer dalam Rupiah paling kurang 7% (tujuh persen) dari DPK
dalam Rupiah dan memenuhi kewajiban GWM Sekunder dan
GWM LDR dalam Rupiah sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Contoh perhitungan jasa giro:
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank A wajib
memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK
dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00 (empat
triliun rupiah);
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah); dan
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam
Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah).
GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar 9%
(sembilan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) wajib
dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank
Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau
Excess Reserve.
Pada …
- 17 -
Pada tanggal 24 Januari 2014, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A
pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess
Reserve sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus miliar
rupiah) sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM
dalam Rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu
dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan
kewajiban GWM Primer dalam Rupiah.
Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro
ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu
sebesar:
= 3%XRp50.000.000.000.000,00 = Rp1.500.000.000.000,00 (satu
triliun lima ratus miliar rupiah)
Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 2,5% (dua koma lima
persen) per tahun untuk tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai
berikut:
= persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah
yang mendapat jasa giro
= 0,00686% x 3% x Rp50.000.000.000.000,00
= Rp 102.900.000,00
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh perhitungan jasa giro:
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank
wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014
sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00
(empat triliun rupiah);
b. GWM …
- 18 -
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen)
dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar rupiah).
GWM Primer dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah
sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu
sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar
rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua
triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN,
dan/atau Excess Reserve.
Untuk periode tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014, Bank
memiliki Saldo Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia serta
jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebagai berikut:
a. tanggal 24 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta
jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar Rp1.800.000.000.000,00
(satu triliun delapan ratus miliar rupiah);
b. tanggal 27 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp4.700.000.000.000,00 (empat triliun tujuh ratus
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar
Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar
rupiah);
c. tanggal 28 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp4.300.000.000.000,00 (empat triliun tiga ratus
miliar rupiah)serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar
Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar
rupiah);
d. tanggal ...
- 19 -
d. tanggal 29 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp4.600.000.000.000,00 (empat triliun enam ratus
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah);
e. tanggal 30 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN sebesar
Rp1.800.000.000.000,00 (satu triliun delapan ratus miliar
rupiah).
Diasumsikan tanggal 25, 26 dan 31 Januari 2014 serta tanggal
1 dan 2 Februari 2014 adalah hari libur.
Berdasarkan contoh tersebut maka Bank mendapatkan jasa
giro hanya untuk tanggal 24 dan 29 Januari 2014 karena:
a. pada tanggal 27 Januari 2014 Bank kekurangan jumlah SBI,
SDBI, SBN, dan Excess Reserve untuk pemenuhan GWM
Sekunder;
b. pada tanggal 28 Januari 2014 Bank kekurangan Saldo
Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan
GWM LDR; dan
c. pada tanggal 30 Januari 2014 Bank kekurangan Saldo
Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan
GWM LDR dan Bank kekurangan jumlah SBI, SDBI, SBN,
dan Excess Reserve untuk pemenuhan GWM Sekunder.
Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24 dan 29
Januari 2014 adalah sebagai berikut:
= persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro
Rupiah yang mendapat jasa giro
= persentase jasa giro harian x (3% x DPK dalam rupiah)
= 0,00686% x (3% x Rp50.000.000.000.000,00)
= 0,00686% x Rp1.500.000.000.000,00
= Rp 102.900.000,00
Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24 dan 29
Januari 2014 dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening
Giro ...
- 20 -
Giro Rupiah Bank paling lambat pada tanggal 4 Februari 2014
karena tanggal 1 dan 2 Februari 2014 jatuh pada hari libur.
Jasa giro yang dikreditkan ke Rekening Giro Rupiah Bank
selambat-lambatnya pada tanggal 4 Februari 2014 adalah
sebesar:
2 x Rp102.900.000= Rp205.800.000,00
Pembulatan dalam rangka pengkreditan Rekening Giro Bank
oleh Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem
Akunting Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada
OJK.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Contoh perhitungan sanksi:
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 18 ayat (2)
1. Pada tanggal 27 Januari 2014, Saldo Rekening Giro
Rupiah sebesar Rp4.700.000.000.000,00 (empat triliun
tujuh ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan
SBN sebesar Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh
ratus miliar rupiah). Bank memiliki Excess Reserve
sebesar …
- 21 -
sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)
yang dapat digunakan untuk pemenuhan kekurangan
GWM Sekunder dalam Rupiah sehingga GWM Sekunder
dalam Rupiah Bank menjadi sebesar:
Rp1.700.000.000.000,00 +Rp200.000.000.000,00
= Rp1.900.000.000.000,00
Namun Excess Reserve belum dapat menutupi
kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah
sehingga masih terdapat kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam Rupiah sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
Jika suku bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 27
Januari 2014 adalah sebesar 6% (enam persen) maka
perhitungan sanksi kewajiban membayar atas
pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 27
Januari 2014 adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku
bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja
360
yaitu:
Rp100.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 27 Januari 2014 Bank tidak
memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi
seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah (kekurangan
saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM
Primer dan GWM LDR).
2. Pada tanggal 28 Januari 2014, Saldo Rekening Giro
Rupiah sebesar Rp4.300.000.000.000,00 (empat triliun
tiga ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan
SBN sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua
ratus miliar rupiah).
Terdapat ...
- 22 -
Terdapat kekurangan pemenuhan GWM Primer dan
GWM LDR sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah). Kekurangan GWM Primer dan GWM LDR
tidak dapat dipenuhi dari kelebihan GWM Sekunder.
Jika suku Bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 28
Januari 2014 adalah sebesar 6% (enam persen) maka
perhitungan sanksi kewajiban membayar atas
pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 28
Januari 2014 adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku
bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja
360
yaitu:
Rp200.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
3. Tanggal 30 Januari 2014, Saldo Rekening Giro Rupiah
sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat
ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SDBI, dan SBN
sebesar Rp1.800.000.000.000,00 (satu triliun delapan
ratus miliar rupiah).
Bank kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah
sebesar Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah)
yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer
dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan
kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah
sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas
pelanggaran GWM dalam Rupiah pada tanggal 30
Januari 2014 adalah sebagai berikut:
Kekurangan …
- 23 -
Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku
bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp300.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 30 Januari 2014 Bank tidak
memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi
kewajiban GWM dalam Rupiah (kekurangan saldo
Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan kewajiban
GWM Primer dan GWM LDR serta kekurangan SBI,
SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi
kewajiban GWM Sekunder).
Angka 2
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar
Amerika Serikat).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar:
8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta
dolar Amerika Serikat).
Saldo Rekening Giro Valuta asing Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar
USD7.900.000,00 (tujuh juta sembilan ratus ribu dolar
Amerika Serikat) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan
GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24
Januari 2014 adalah sebagai berikut:
0,04% ...
- 24 -
0,04% x (USD8.000.000,00 – USD7.900.000,00) = USD40,00
(empat puluh dolar Amerika Serikat).
Angka 3
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi
dua.
Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat
puluh dolar Amerika Serikat) sebagaimana contoh perhitungan
pada penjelasan angka 2 dan asumsi kurs tengah Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah
Rp9.000,00/USD (sembilan ribu rupiah per dolar Amerika
Serikat) maka sanksi kewajiban membayar yang harus
dibayarkan adalah sebesar:
40 x Rp9.000,00 = Rp360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu
rupiah).
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 12 huruf c, Bank A
wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014
sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00
(empat triliun rupiah);
b. GWM ...
- 25 -
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen)
dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada
penjelasan Pasal 12 huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan Bank
memiliki SBI, SBDI, dan SBN sebesar Rp1.600.000.000.000,00
(satu triliun enam ratus miliar rupiah) sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar
Rp900.000.000.000,00 (sembilan ratus miliar rupiah) yaitu
terdiri dari:
a. kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah dan
GWM LDR dalam Rupiah sebesar Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah); dan
b. kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah
sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah).
Pelanggaran GWM dalam Rupiah terjadi tanggal 24 Januari
2014 (Jumat), pembebanan rekening giro dilakukan paling
lambat tanggal 29 Januari 2014 (Rabu) dan apabila tanggal 28
Januari 2014 adalah hari libur nasional maka sanksi
dibebankan paling lambat tanggal 30 Januari 2014 (Kamis).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) ...
- 26 -
Ayat (5)
Bank memiliki rata-rata harian DPK dalam Rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
2014 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun
rupiah),
LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar 97% (sembilan puluh
tujuh persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan September
2013 sebesar 12% (dua belas persen).
GWM harian dalam Rupiah yang wajib dipenuhi untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah
sebesar:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp4.000.000.000.000,00
(empat triliun rupiah);
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen)
dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar rupiah).
Perhitungan GWM LDR sesuai contoh pada penjelasan Pasal
12 huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari 2014 adalah sebesar
Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah)
dan Bank tidak memiliki SBI, SDBI, dan SBN sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM dalam Rupiah sebesar
Rp4.800.000.000.000,00 (empat triliun delapan ratus miliar
rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer
dalam Rupiah dan GWM LDR dalam Rupiah sebesar
Rp2.800.000.000.000,00 (dua triliun delapan ratus miliar
rupiah) ...
- 27 -
rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam
Rupiah sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
Suku bunga JIBOR dalam Rupiah pada tanggal 24 Januari 2014
adalah sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM Rupiah untuk Bank pada tanggal 24 Januari 2014 adalah
sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam Rupiah x 125% x suku
bunga JIBOR dalam Rupiah x hari kerja
360
Rp4.800.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
yaitu sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka
pengenaan sanksi atas kekurangan GWM dalam Rupiah yang
terjadi pada tanggal 24 Januari 2014 dimaksud dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya.
Apabila pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dilakukan pada
tanggal 29 Januari 2014 dan saldo Rekening Giro Rupiah Bank
adalah sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar
rupiah) sehingga tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi dan
terdapat kekurangan dalam rangka pendebetan sanksi sebesar
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) maka atas
kekurangan tersebut Bank dikenakan sanksi sebesar:
Rp200.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 ...
- 28 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5478
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/15/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '15/7/PBI/2013', '13/10/PBI/2011', '12/19/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/14/PBI/2012
TENTANG
TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar
(market discipline) dan
sejalan dengan
perkembangan standar internasional diperlukan
upaya peningkatan transparansi kondisi keuangan
dan kinerja bank melalui publikasi laporan bank
untuk memudahkan penilaian oleh publik dan
pelaku pasar;
b. bahwa untuk meningkatkan transparansi, bank
perlu menyediakan informasi kuantitatif dan
kualitatif yang tepat waktu, akurat, relevan, dan
memadai untuk mempermudah pengguna informasi
dalam menilai kondisi keuangan, kinerja, profil
risiko, dan penerapan manajemen risiko bank, serta
aktivitas bisnis termasuk penetapan tingkat suku
bunga;
c. bahwa informasi yang diungkapkan kepada publik
dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan
kinerja ...
- 2 -
kinerja bank perlu tetap memperhatikan faktor
kompetisi antar bank;
d. bahwa dalam rangka memperoleh informasi yang
komprehensif serta sejalan dengan penerapan
pengawasan bank secara konsolidasi (consolidated
supervision) diperlukan laporan tentang kondisi
keuangan perusahaan induk, perusahaan anak,
perusahaan afiliasi dan pihak terkait dengan bank;
berdasarkan pertimbangan hal-hal
e. bahwa
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali
Peraturan Bank Indonesia mengenai transparansi
kondisi keuangan bank;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan ...
- 3 -
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Pengendalian ...
- 4 -
2. Pengendalian adalah perseorangan atau perusahaan/badan, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang:
a. memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) saham yang
memiliki hak suara pada suatu perusahaan/badan lain;
b. memiliki 50% (lima puluh persen) atau kurang saham yang
memiliki hak suara pada suatu perusahaan/badan lain,
tetapi:
1)
terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain
sehingga memiliki hak suara lebih dari 50 (lima puluh
persen);
2) mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan
keuangan dan operasional perusahaan/badan lain
berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;
3) mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau
mengganti sebagian besar direksi dan dewan komisaris
atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan
perusahaan/badan lain melalui direksi dan dewan
komisaris atau organ lainnya tersebut; dan/atau
4) mampu menguasai suara mayoritas pada rapat direksi
dan dewan komisaris atau organ lainnya yang setara dan
mengendalikan perusahaan/badan melalui direksi dan
dewan komisaris atau organ lainnya tersebut.
3. Perusahaan Induk (parent company/holding company) adalah
badan hukum/perusahaan yang mengkonsolidasikan satu atau
lebih perusahaan anak dalam suatu kelompok usaha dan
melakukan Pengendalian terhadap Bank.
4. Perusahaan ...
- 5 -
4. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (financial parent
company/financial
holding company) adalah
badan
hukum/perusahaan yang mengkonsolidasikan seluruh aktivitas
satu atau lebih perusahaan anak pada kelompok usaha yang
bergerak di bidang keuangan dan melakukan Pengendalian
terhadap Bank.
5. Perusahaan Anak adalah badan hukum yang dimiliki atau
dikendalikan oleh Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari
(subsidiary company)
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50%
(lima puluh persen); dan/atau
b. Perusahaan Partisipasi
(participation company) adalah
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh
persen) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian
terhadap perusahaan.
6. Perusahaan Afiliasi adalah Perusahaan Anak dari Perusahaan
Induk atau dari Perusahaan Induk di Bidang Keuangan yang
tergabung dalam suatu kelompok usaha yang sama dengan Bank
karena dikendalikan oleh Perusahaan Induk yang sama.
7. Pihak Terkait adalah pihak yang terkait dengan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
8. Pihak-pihak Berelasi adalah pihak-pihak berelasi sebagaimana
dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang
Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi.
9. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Akuntan Publik.
10. Laporan ...
yaitu
- 6 -
10. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu
Bank dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
11. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir
tahun Bank yang disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan.
12. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan adalah laporan keuangan
yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan dan
dipublikasikan setiap triwulan, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
13. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan adalah laporan keuangan
yang disusun berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum dan
dipublikasikan setiap bulan, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
14. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Desember.
Pasal 2
Dalam rangka transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun
dan menyajikan laporan keuangan, yang terdiri atas:
a. Laporan Tahunan;
b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan;
c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan;
d. Laporan Keuangan Konsolidasi; dan
e. Laporan Publikasi Lain.
BAB II ...
- 7 -
BAB II
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) Bank wajib menyusun Laporan Tahunan yang paling kurang
mencakup:
a.
informasi umum yang meliputi:
1. kepengurusan;
2. kepemilikan;
3. perkembangan usaha Bank dan kelompok usaha Bank
termasuk perkembangan usaha Unit Usaha Syariah
(UUS);
4. strategi dan kebijakan manajemen termasuk strategi dan
kebijakan manajemen UUS; dan
5.
laporan manajemen termasuk laporan manajemen UUS;
b. Laporan Keuangan Tahunan yang meliputi:
1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca);
2. Laporan Laba Rugi Komprehensif;
3. Laporan Perubahan Ekuitas;
4. Laporan Arus Kas;
5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi
mengenai komitmen dan kontinjensi;
c. opini dari Akuntan Publik;
d.
jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposures) yang
dihadapi Bank serta praktek manajemen risiko yang
diterapkan Bank;
e. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan
untuk Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan;
f. aspek ...
- 8 -
f. aspek pengungkapan (disclosure)
lain sebagaimana
g.
diwajibkan dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku,
dalam hal belum tercakup dalam huruf a sampai dengan
huruf e diatas; dan
informasi lain.
(2) Bagi Bank Umum Konvensional, selain pengungkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan
pengungkapan mengenai:
a. permodalan bank; dan
b.
jenis risiko, potensi kerugian, dan penerapan manajemen
risiko, paling kurang untuk risiko kredit, risiko pasar, risiko
operasional, risiko likuiditas, risiko strategik, risiko reputasi,
risiko kepatuhan, dan risiko hukum.
(3) Bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS, selain laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, wajib menyampaikan:
a.
b.
c.
laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh; dan
laporan Perubahan Dana Investasi Terikat.
(4) Laporan Keuangan Tahunan wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(5) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan
disajikan paling kurang dengan perbandingan 1 (satu) Tahun
Buku sebelumnya.
(6) Dalam hal terdapat perubahan cakupan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4 ...
laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq, dan
Shadaqah (ZIS);
- 9 -
Pasal 4
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain
disampaikan kepada pemegang saham, wajib disampaikan paling
kurang kepada:
a. Bank Indonesia;
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c. Lembaga Pemeringkat di Indonesia;
d. Asosiasi perbankan di Indonesia;
e. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI);
f. 2 (dua) Lembaga Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan;
g. 2 (dua) Majalah ekonomi dan keuangan,
paling lama 5 (lima) bulan setelah Tahun Buku berakhir.
(2) Penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dengan disertai surat
pengantar penyampaian Laporan Tahunan yang memuat informasi
mengenai penyampaian Laporan Tahunan kepada pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan
huruf g.
Pasal 5
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan
apabila Bank menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank
Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan paling lama
1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila:
a. Bank belum menyampaikan Laporan Tahunan; dan/atau
b. Bank ...
- 10 -
b. Bank belum menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yang
diaudit oleh Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia,
sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan
Laporan Tahunan.
Pasal 6
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Tahunan dalam website
Bank.
(2) Pengumuman Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama dilakukan 1 (satu) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dipelihara dalam website Bank paling kurang untuk 2 (dua)
periode laporan berturut-turut.
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI TRIWULANAN
Pasal 7
(1) Bank wajib menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
dalam mata uang rupiah, yang paling kurang mencakup:
a. Laporan keuangan, yang terdiri atas:
1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); dan
2. Laporan Laba Rugi Komprehensif;
b. komitmen ...
- 11 -
b. komitmen dan kontinjensi;
c.
d.
transaksi spot dan transaksi derivatif;
jumlah dan kualitas aset produktif dan informasi lainnya,
antara lain untuk:
1. penyediaan dana kepada pihak terkait;
2. penyediaan dana kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM);
3. kredit yang memerlukan perhatian khusus (antara lain
kredit yang direstrukturisasi dan kredit properti); dan
jumlah cadangan penyisihan kerugian;
4.
e.
rasio keuangan Bank, antara lain:
1. persentase pelanggaran dan pelampauan Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); dan
rasio Posisi Devisa Neto (PDN).
2.
f. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM);
dan
g.
informasi mengenai komposisi pemegang saham dan susunan
pengurus.
(2) Bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS, dalam Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
pula memuat:
a.
laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan
Shadaqah (ZIS);
b.
laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh; dan
c. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat,
untuk pelaporan publikasi posisi bulan Juni danDesember.
(3) Laporan ...
- 12 -
(3) Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disajikan paling kurang dalam
bentuk perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan tahun sebelumnya.
(4) Ketentuan mengenai penetapan periode pembanding untuk
Laporan Publikasi Triwulanan diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling kurang 4
(empat) kali dalam 1 (satu) tahun yaitu laporan posisi akhir bulan
Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember.
(2) Dalam hal diperlukan,
selain mengumumkan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
meminta Bank untuk mengumumkan:
a.
laporan keuangan publikasi selain periode sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b.
informasi lain yang akan ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib ditandatangani oleh
paling kurang 2 (dua) orang anggota Direksi Bank.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk
posisi akhir bulan Desember sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) wajib mencantumkan nama Kantor Akuntan Publik yang
melakukan ...
- 13 -
melakukan audit Laporan Keuangan Tahunan berikut nama
Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in
charge) serta opini yang diberikan.
Pasal 10
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib dilakukan
paling kurang dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan
kantor pusat Bank atau di tempat kedudukan Kantor Cabang
Bank Asing.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat
pada:
a.
tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan
untuk laporan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan
bulan September;
b.
tanggal 15 April tahun berikutnya untuk laporan posisi akhir
bulan Desember.
Pasal 11
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
a. bukti pengumuman berupa fotokopi atau guntingan surat
kabar yang memuat pengumuman Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman
di surat kabar; dan
b. Laporan ...
- 14 -
b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan secara on-line
melalui Laporan Kantor Pusat Bank Indonesia (LKPBU) sesuai
tata cara, format, dan jangka waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia dalam ketentuan mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(2) Selama penyampaian laporan secara on-line sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b belum dapat dilakukan, Bank
harus menyampaikan softcopy laporan secara off-line kepada Bank
Indonesia dalam bentuk compact disc.
(3) Penyampaian softcopy laporan dalam bentuk compact disc kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pengumuman di surat
kabar.
Pasal 12
(1) Bank dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan apabila Bank mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan setelah batas akhir waktu
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
pengumuman laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf apabila
bukti pengumuman disampaikan setelah batas akhir waktu
penyampaian sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu penyampaian bukti pengumuman.
(3) Selama ...
- 15 -
(3) Selama belum dimungkinkan pelaporan secara on-line, Bank
dinyatakan terlambat menyampaikan softcopy Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan dalam bentuk compact disc sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila disampaikan setelah
batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu penyampaian laporan.
(4) Bank dinyatakan tidak mengumumkan atau tidak menyampaikan
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan apabila Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan belum diumumkan atau belum
disampaikan sampai dengan berakhirnya batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3).
Pasal 13
Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b atau ayat (2), pada website Bank
Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dalam website Bank.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1
(satu) hari kerja setelah batas waktu pengumuman Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan dalam surat kabar.
(3) Pengumuman ...
- 16 -
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dipelihara dalam website Bank paling kurang untuk 2 (dua)
periode laporan berturut-turut.
BAB IV
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BULANAN
Pasal 15
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
melalui website Bank Indonesia.
(2) Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling kurang memuat:
a.
laporan keuangan, yang terdiri atas:
1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); dan
2. Laporan Laba Rugi;
b. komitmen dan kontinjensi;
c. Perhitungan KPMM; dan
d. kualitas aset produktif dan informasi lainnya, antara lain:
1.
jumlah penyediaan dana;
2. kredit kepada debitur UMKM;
3. kredit yang memerlukan perhatian khusus (antara lain
kredit yang direstrukturisasi dan kredit properti); dan
4. cadangan penyisihan kerugian.
Pasal 16
(1) Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) disusun berdasarkan data Laporan
Bulanan ...
- 17 -
Bulanan Bank Umum (LBU) yang telah direklasifikasi oleh Bank
Indonesia dengan berpedoman pada Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan dan ketentuan Bank Indonesia.
(2) Sebelum dilakukan pengumuman, LBU yang telah direklasifikasi
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan kepada Bank secara on-line melalui Laporan Kantor
Pusat Bank Umum (LKPBU) untuk dilakukan penelitian dan
penyesuaian mengenai akurasi laporan serta penambahan
informasi yang diperlukan dalam rangka penyusunan Laporan
Keuangan Publikasi Bulanan.
(3) Bank wajib menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia
secara on-line melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
(4) Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Bulanan yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) melalui website Bank Indonesia.
(5) Tata cara, format, dan jangka waktu penyampaian Laporan
Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU)
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
kantor pusat bank umum.
Pasal 17
(1) Selama penyampaian LBU yang telah direklasifikasi kepada Bank
secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
belum dapat dilakukan, Bank Indonesia menyampaikan laporan
dimaksud kepada Bank secara off-line.
(2) Selama ...
- 18 -
(2) Selama penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) belum dapat
dilakukan secara on-line, Bank harus menyampaikan laporan
dimaksud secara off-line dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah Bank menerima LBU yang telah
direklasifikasi.
(3) Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Bulanan berdasarkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan yang
disampaikan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 60 (enam puluh) hari setelah bulan laporan.
BAB V
LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI
Pasal 18
(1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha
dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak wajib
menyampaikan laporan keuangan konsolidasi yang disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan.
(2) Laporan keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disajikan pada Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan.
(3) Bank Indonesia berwenang menetapkan cakupan perusahaan
yang laporan keuangannya wajib dikonsolidasikan dengan laporan
keuangan Bank selain yang telah ditetapkan dalam standar
akuntansi keuangan.
(4) Penyertaan Bank yang mengakibatkan timbulnya Pengendalian
namun hanya bersifat sementara dikecualikan dari penyusunan
laporan ...
- 19 -
laporan keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Bagian Kesatu
Laporan Keuangan Konsolidasi yang Disajikan pada Laporan Tahunan
Pasal 19
(1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha
dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak dalam menyusun
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain
menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara individual, juga
wajib menyajikan Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi.
(2) Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang telah diaudit oleh Akuntan Publik,
terdiri atas:
a. Laporan Keuangan Konsolidasi Bank;
b. Laporan Keuangan Konsolidasi Perusahaan Induk di Bidang
Keuangan; dan
c. Laporan Keuangan Konsolidasi Perusahaan Induk.
(3) Dalam hal kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan maka cukup disajikan Laporan Keuangan
Konsolidasi Perusahaan Induk sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c.
(4) Dalam hal audit Laporan Keuangan Tahunan perusahaan lain di
luar Bank dilakukan oleh Akuntan Publik yang berbeda dengan
Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan
Bank maka Bank dalam menyajikan Laporan Keuangan Tahunan
secara Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mencantumkan ...
- 20 -
mencantumkan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan
audit Laporan Keuangan Tahunan berikut nama Akuntan Publik
yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) serta opini
yang diberikan.
(5) Laporan Keuangan Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), paling kurang meliputi:
a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca);
b. Laporan Laba Rugi Komprehensif;
c. Laporan Perubahan Ekuitas; dan
d. komitmen dan kontinjensi.
Pasal 20
Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau
Bank yang memiliki Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1), dalam Laporan Tahunan selain wajib menyajikan
Laporan Keuangan Tahunan secara konsolidasi, juga wajib
menyampaikan informasi sebagai berikut:
a. struktur kelompok usaha Bank;
b.
c.
transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak Berelasi;
transaksi dengan Pihak-pihak Berelasi yang dilakukan oleh setiap
perusahaan di dalam kelompok usaha Bank yang bergerak di
bidang keuangan;
d. penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada
dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang
telah memperoleh penyediaan dana dari Bank; dan
e. pengungkapan ...
- 21 -
e. pengungkapan mengenai permodalan, jenis risiko, potensi
kerugian, dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) secara konsolidasi, bagi Bank Umum
Konvensional.
Bagian Kedua
Laporan Keuangan Konsolidasi yang Disajikan pada
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
Pasal 21
(1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha
dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak dalam menyusun
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, selain menyajikan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan secara individual, juga wajib menyajikan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan secara konsolidasi.
(2) Bank yang memiliki Perusahaan Anak, dalam menyusun Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib menyajikan:
a.
b.
laporan keuangan Bank secara individual; dan
laporan keuangan Bank secara konsolidasi.
(3) Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha, dalam
menyusun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember, wajib menyajikan:
a.
b.
laporan keuangan Bank secara individual; dan
laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan;
atau
c. laporan ...
- 22 -
c.
laporan keuangan Perusahaan Induk apabila tidak terdapat
laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan.
(4) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga
memiliki perusahaan anak, dalam menyusun Laporan Triwulanan,
juga wajib menyajikan laporan keuangan triwulanan Bank secara
konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(5) Laporan Keuangan Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, paling kurang meliputi:
a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca);
b. Laporan Laba Rugi Komprehensif;
c. Laporan Perubahan Ekuitas; dan
d. komitmen dan kontinjensi.
(6) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) untuk posisi akhir bulan Desember wajib diaudit
oleh Akuntan Publik.
Bagian Ketiga
Laporan Tertentu kepada Bank Indonesia
Pasal 22
(1) Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha dan/atau
Bank yang memiliki Perusahaan Anak, selain menyampaikan
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada
Bank Indonesia, Bank wajib menyampaikan laporan tahunan
tertentu.
(2) Laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang mencakup:
a. Laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan
Perusahaan Induk di Bidang Keuangan;
b. Laporan ...
- 23 -
b. Laporan tahunan pemegang saham langsung yang memiliki
saham mayoritas atau laporan tahunan perusahaan yang
melakukan Pengendalian langsung kepada Bank; dan
c. Laporan tahunan Perusahaan Anak.
(3) Apabila kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan, maka laporan tahunan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank
adalah laporan tahunan Perusahaan Induk.
(4) Apabila kelompok usaha tidak memiliki
laporan tahunan
Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan, maka laporan tahunan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank
adalah laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk dan laporan
keuangan tahunan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan.
(5) Apabila kelompok usaha tidak memiliki perusahaan induk di
bidang keuangan dan tidak memiliki laporan tahunan Perusahaan
Induk maka laporan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a yang wajib disampaikan oleh Bank adalah
laporan keuangan tahunan Perusahaan Induk.
(6) Batas waktu penyampaian laporan tahunan atau laporan
keuangan tahunan Perusahaan Induk dan Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan kepada Bank Indonesia mengacu pada Pasal 4.
Pasal 23
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan secara
triwulanan mengenai transaksi antara Bank dengan Pihak-Pihak
Berelasi.
(2) Bagi ...
- 24 -
(2) Bagi Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha selain
wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
juga wajib menyampaikan laporan mengenai pemberian
penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada
dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang
telah memperoleh penyediaan dana dari Bank.
(3) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada ketentuan dalam Pasal 10 ayat
(2) dan Pasal 12.
Pasal 24
Dalam hal terdapat perubahan cakupan Laporan Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23 akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB VI
LAPORAN PUBLIKASI LAIN
Pasal 25
(1) Laporan Publikasi Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf e meliputi:
a. Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK); dan
b. Laporan Publikasi Lainnya.
(2) Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara berkala.
(3) Bank ...
- 25 -
(3) Bank Indonesia berwenang meminta Bank untuk menyampaikan
Laporan Publikasi Lainnya sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan industri perbankan diluar periode penyampaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 26
(1) Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) sebagaimana dimaksud
pada Pasal 25 ayat (1) huruf a wajib diumumkan di surat kabar
yang memiliki peredaran luas paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
(2) Bank dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan SBDK
apabila Bank mengumumkan Laporan SBDK setelah batas akhir
waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
pengumuman laporan.
(3) Bank dinyatakan tidak mengumumkan Laporan SBDK apabila
Laporan SBDK belum diumumkan sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Format, cakupan, dan tata cara penyampaian serta persyaratan
Bank yang wajib mengumumkan laporan SBDK berpedoman pada
Surat Edaran Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
suku bunga dasar kredit.
BAB VII
LAIN – LAIN
Pasal 27
(1) Bagi Bank yang belum memiliki website untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 14,
wajib ...
- 26 -
wajib memenuhi kewajiban tersebut paling lambat pada akhir
bulan Desember 2012.
(2) Bank wajib mencantumkan alamat website Bank pada Laporan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan yang
dicetak.
Pasal 28
Laporan Tahunan, Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan, Laporan Keuangan Publikasi Bulanan, Laporan
Keuangan Konsolidasi, dan Laporan Publikasi Lain yang diwajibkan
kepada Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus Bank.
Pasal 29
Kantor Cabang Bank Asing wajib menyusun laporan keuangan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan
menggabungkan laporan keuangan Kantor Cabang Bank Asing dan
seluruh laporan keuangan dari setiap kantor di Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Laporan Tahunan
Pasal 30
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1),
dikenakan ...
- 27 -
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) kepada pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi:
a. kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah; dan
b. pengumuman nama yang dikenakan sanksi dan alasan
pengenaan sanksi pada website Bank Indonesia.
Pasal 31
Bank yang tidak mengumumkan Laporan Tahunan pada website Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikenakan sanksi administratif
berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per hari, paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 32
(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan
yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau yang
diumumkan di dalam website Bank secara material tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku,
dikenakan:
a. sanksi ...
- 28 -
a. sanksi teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran;
b. sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) apabila
setelah diberi teguran tertulis 2 (dua) kali, Bank tidak
memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan
dimaksud pada website Bank; dan
c. sanksi administratif lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
1. penurunan tingkat kesehatan Bank;
2. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank,
pemegang saham dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau
3. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(2) Nama Bank yang dikenakan sanksi dan alasan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diumumkan oleh Bank
Indonesia melalui website Bank Indonesia berdasarkan data yang
tersedia di Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Sanksi Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
Pasal 33
(1) Bank yang terlambat mengumumkan dan/atau terlambat
menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana ...
- 29 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per hari keterlambatan untuk setiap laporan.
(2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
dikenakan sanksi:
a. kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah); dan
b. pengumuman nama Bank yang dikenakan sanksi dan
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan berdasarkan data
yang tersedia di Bank Indonesia pada website Bank
Indonesia.
(3) Bank yang mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan namun tidak menyampaikan fotokopi atau guntingan
surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(4) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku, atau Surat Komentar
(Management Letter) dari Akuntan Publik menyatakan adanya
kelemahan mendasar dari sistem pelaporan data Bank ke Bank
Indonesia, dikenakan:
a. sanksi teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali oleh Bank
Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk
setiap teguran;
b. sanksi ...
- 30 -
b. sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) apabila
setelah diberi teguran tertulis 2 (dua) kali, Bank tidak
memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan
dimaksud; dan
c. sanksi administratif lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
1. penurunan tingkat kesehatan Bank;
2. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank,
pemegang saham dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau
3. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(5) Nama Bank yang dikenakan sanksi dan alasan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), akan diumumkan oleh Bank
Indonesia melalui website Bank Indonesia berdasarkan data yang
tersedia di Bank Indonesia
Bagian Ketiga
Sanksi Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
Pasal 34
Sanksi atas keterlambatan penyampaian dan koreksi atas Laporan
Keuangan Publikasi Bulanan berpedoman pada ketentuan mengenai
Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
Bagian ...
- 31 -
Bagian Keempat
Sanksi Laporan Keuangan Konsolidasi
Pasal 35
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan Keuangan
Konsolidasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21ayat
(2), dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah); dan
b. pengumuman nama Bank dan/atau perusahaan yang tidak
menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasi.
Bagian Kelima
Sanksi Laporan Publikasi Lain
Pasal 36
(1) Bank yang terlambat mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
BAB IX ...
- 32 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 38
(1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Pasal
1 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 38
serta Pasal 40 sampai dengan Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 39
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 33 -
Agar
setiap
orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 199
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/14/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title>
<set_date> 18 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2012 </effective_date>
<issued_date> 18 Oktober 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '3/22/PBI/2001 | Pasal 1 sampai dengan Pasal 15', '3/22/PBI/2001 | Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40', '3/22/PBI/2001 | Pasal 41' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004
TENTANG
SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka mendukung tercapainya sistem
pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal guna
mendukung stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement;
b. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum
terhadap pelaksanaan transaksi melalui Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement, dipandang perlu
untuk menetapkan ketentuan mengenai Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement dalam Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999…
-2-
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya disebut
Sistem BI-RTGS, adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar Peserta
dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per
transaksi secara individual.
2. Penyelenggara Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Penyelenggara,
adalah Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
(DASP).
3. Peserta Sistem BI-RTGS, yang selanjutnya disebut Peserta, adalah Bank
Indonesia, Bank, dan Pihak Selain Bank yang telah memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah…
-3-
telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 1998.
5. Pihak Selain Bank adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Keuangan
Internasional, dan lembaga lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia
dapat memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara
Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
6. Peserta Langsung (principal member), yang selanjutnya disebut Peserta
Langsung, adalah Peserta yang dapat melakukan transaksi Sistem BI-RTGS
secara langsung dengan menggunakan RTGS Terminal milik Peserta.
7. Peserta Tidak Langsung (subsidiary member), yang selanjutnya disebut
Peserta Tidak Langsung, adalah Peserta yang dapat melakukan transaksi
Sistem BI-RTGS secara tidak langsung yang pelaksanaannya dilakukan oleh
petugas Bank Indonesia dengan menggunakan RTGS Terminal milik Bank
Indonesia.
8. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
9. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian
Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan Rekening Giro para
Peserta dan atau rekening lainnya di Bank Indonesia.
10. RTGS Central Computer, yang selanjutnya disebut RCC, adalah sistem
komputer yang berada di lokasi Penyelenggara, yang digunakan untuk
memproses Penyelesaian Akhir semua transaksi yang dikirim oleh Peserta
dan terdiri dari RTGS Central Computer Utama dan RTGS Central
Computer Back-up.
11. RTGS Central Computer Utama, yang selanjutnya disebut RCC Utama,
adalah RCC yang digunakan dalam kondisi normal.
12. RTGS…
-4-
12. RTGS Central Computer Back-up, yang selanjutnya disebut RCC Back-up,
adalah RCC yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau
keadaan darurat yang menyebabkan Penyelenggara tidak dapat menggunakan
RCC Utama.
13. RTGS Terminal, yang selanjutnya disebut RT, adalah sistem komputer yang
berada di lokasi Peserta yang terhubung dengan RCC secara on-line, yang
digunakan Peserta untuk melakukan berbagai transaksi Sistem BI-RTGS dan
terdiri dari RTGS Terminal Server, yaitu RTGS Terminal Server Utama dan
RTGS Terminal Server Back-up, serta RTGS Terminal Workstation.
14. RTGS Terminal Server Utama, yang selanjutnya disebut RT Server Utama,
adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan database Sistem
BI-RTGS yang digunakan Peserta untuk memproses transaksi dalam kondisi
normal.
15. RTGS Terminal Server Back-up, yang selanjutnya disebut RT Server Back-
up, adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan database
Sistem BI-RTGS yang digunakan Peserta untuk memproses transaksi apabila
terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat
menggunakan RT Server Utama.
16. RTGS Terminal Workstation, yang selanjutnya disebut RT Workstation,
adalah perangkat komputer yang telah diisi aplikasi RT dan terhubung
dengan RT Server Utama atau RT Server Back-up yang digunakan Peserta
untuk melakukan pembukuan transaksi dan berbagai fungsi Sistem BI-RTGS
lainnya.
17. Sistem Antrian adalah mekanisme yang mengatur urutan transaksi
pembayaran dari Peserta tertentu yang belum dapat dilakukan Penyelesaian
Akhirnya oleh RCC Utama atau RCC Back-up karena saldo Rekening Giro
Peserta tidak mencukupi.
18. Jam…
-5-
18. Jam Operasional adalah waktu RT dapat menerima dan atau mengirimkan
transfer dana melalui Sistem BI-RTGS.
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 2
Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, Penyelenggara wajib melakukan hal-
hal sebagai berikut :
a. menyediakan RCC;
b. menjamin RCC berfungsi dengan baik;
c. menyediakan saluran komunikasi yang menghubungkan RT Server Utama
atau RT Server Back-up dengan RCC Utama atau RCC Back-up;
d. menyediakan aplikasi RT dan perubahannya;
e. melakukan pemantauan terhadap :
1. keberhasilan akses komunikasi RT dengan RCC; dan
2. saldo Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia pada akhir hari;
f. menyediakan help-desk berkaitan dengan masalah operasional Sistem
BI-RTGS yang dihadapi Peserta;
g. memberikan pelayanan kepada Peserta berkaitan dengan kepesertaan dalam
Sistem BI-RTGS.
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan besarnya biaya penggunaan Sistem
BI-RTGS yang wajib dibayar oleh Peserta.
(2) Bank Indonesia sebagai Penyelenggara mengenakan biaya penggunaan
Sistem BI-RTGS kepada Peserta.
BAB…
-6-
BAB III
PESERTA
Bagian Pertama
Syarat dan Status Kepesertaan
Pasal 4
Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dituangkan dalam
“Perjanjian Penggunaan Sistem BI-RTGS antara Bank Indonesia dan Peserta”.
Pasal 5
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS terdiri atas :
a. Bank Indonesia;
b. Bank;
c. Pihak Selain Bank.
(2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b wajib menjadi Peserta.
(3) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional juga
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka kepesertaan
kantor yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib
dipisahkan dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang diwakili oleh unit usaha syariah.
(4) Pihak Selain Bank dapat menjadi Peserta dengan persetujuan Bank Indonesia
sepanjang kepesertaan pihak tersebut untuk memperlancar sistem
pembayaran nasional.
Pasal 6
(1) Peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi :
a. Peserta Langsung;
b. Peserta Tidak Langsung.
(2) Bank…
-7-
(2) Bank dan Pihak Selain Bank yang akan menjadi Peserta Langsung wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
b. menyediakan RT Server Utama, RT Server Back-up, dan RT Workstation
serta sarana pendukung yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Persetujuan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung dapat diberikan oleh
Penyelenggara apabila Bank telah memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia
tetapi belum dapat menyediakan RT dan sarana pendukung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
(4) Peserta Tidak Langsung yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) wajib menjadi Peserta Langsung paling lambat 1
(satu) tahun sejak tanggal kepesertaan sebagai Peserta Tidak Langsung.
(5) Penyelenggara dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) berdasarkan pertimbangan tertentu.
(6) Penyelenggara dapat mengubah kepesertaan dari Peserta Langsung menjadi
Peserta Tidak Langsung dalam hal terdapat :
a. proses penyelesaian hak dan kewajiban Peserta sehubungan dengan
pencabutan izin usaha Peserta oleh instansi atau pihak yang berwenang;
dan atau
b. permintaan khusus dari instansi atau pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap Peserta.
(7) Perubahan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak harus
disertai dengan perubahan dokumen kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS.
(8) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), hak dan
kewajiban serta tanggung jawab Peserta tunduk pada ketentuan mengenai hak
dan kewajiban serta tanggung jawab Peserta Tidak Langsung.
Pasal…
-8-
Pasal 7
Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi :
a. aktif (active);
b. ditangguhkan (suspend);
c. dibekukan (freeze); dan
d. ditutup (close).
Pasal 8
Peserta dengan status kepesertaan aktif (active) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. mengirim transfer;
b. menerima transfer; dan
c. melakukan seluruh fungsi lainnya dalam RT.
Pasal 9
(1) Peserta dengan status kepesertaan ditangguhkan (suspend) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat menerima transfer dan melakukan
seluruh fungsi lainnya dalam RT kecuali mengirim transfer.
(2) Perubahan status kepesertaan aktif (active) menjadi ditangguhkan (suspend)
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia bersaldo negatif sampai dengan
waktu tutup Sistem BI-RTGS (cut-off time); dan atau
b. adanya permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap Peserta.
(3) Permintaan…
-9-
(3) Permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf b didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut :
a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan, sistem pembayaran, atau peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan Pihak Selain Bank, serta ketentuan internal Peserta; dan
atau
b. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Peserta yang bersangkutan dan atau
sistem perbankan.
(4) Peserta dengan status ditangguhkan (suspend) yang disebabkan karena
kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dapat diubah menjadi
Peserta aktif (active) apabila Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia tidak
bersaldo negatif.
(5) Peserta dengan status ditangguhkan (suspend) yang disebabkan karena
kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dapat diubah menjadi
Peserta aktif (active) apabila terdapat permintaan tertulis dari instansi atau
pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta untuk
mengubah status kepesertaan tersebut.
(6) Selama Peserta berstatus ditangguhkan (suspend), dana yang diterima Peserta
tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan transaksi yang berada dalam
Sistem Antrian.
Pasal 10
(1) Peserta dengan status kepesertaan dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan fasilitas enquiry.
(2) Perubahan status kepesertaan aktif (active) menjadi dibekukan (freeze) atau
dari ditangguhkan (suspend) menjadi dibekukan (freeze) disebabkan oleh
adanya…
-10-
adanya permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap Peserta karena adanya pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(3) Peserta dengan status kepesertaan dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat diubah menjadi aktif (active) setelah terdapat
permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan
pengawasan terhadap Peserta untuk mengubah status kepesertaan tersebut.
Pasal 11
(1) Untuk Bank sebagai Peserta, Penyelenggara mengubah status kepesertaan
menjadi ditutup (close) berdasarkan permintaan tertulis dari instansi atau
pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Peserta
karena adanya pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),
keputusan mengenai merger, akuisisi, konsolidasi, atau pencabutan izin usaha
Bank.
(2) Untuk Pihak Selain Bank sebagai Peserta, Penyelenggara mengubah status
kepesertaan menjadi ditutup (close) berdasarkan :
a. permintaan tertulis dari Peserta; atau
b. permintaan tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap Peserta karena adanya pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(3) Dengan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), Penyelenggara memberhentikan kepesertaan Peserta dalam
Sistem BI-RTGS.
Pasal 12
(1) Perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan (suspend) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a berlaku sejak waktu buka Sistem
BI-RTGS…
-11-
BI-RTGS (RCC Open) pada hari kerja berikutnya setelah Rekening Giro
Peserta di Bank Indonesia bersaldo negatif yang tidak dapat dipenuhi sampai
dengan waktu tutup Sistem BI-RTGS (cut-off time).
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diumumkan oleh Bank Indonesia kepada seluruh Peserta melalui fasilitas
administrative message atau sarana lainnya pada pukul 09.00 WIB pada hari
diberlakukannya perubahan status kepesertaan.
(3) Perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan (suspend) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, perubahan status kepesertaan
menjadi dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, serta
perubahan status kepesertaan menjadi ditutup (close) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, berlaku segera setelah Penyelenggara menyetujui permintaan
tertulis dari instansi atau pihak yang berwenang dalam melakukan
pengawasan terhadap Peserta.
(4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diumumkan oleh Bank Indonesia kepada seluruh Peserta melalui fasilitas
administrative message atau sarana lainnya bersamaan dengan
diberlakukannya perubahan status kepesertaan.
Bagian Kedua
Kewajiban Peserta
Pasal 13
(1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, setiap Peserta wajib :
a. menjamin RT Server Utama, RT Server Back-up, dan RT Workstation
berfungsi dengan baik;
b. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol
internal yang baik dalam pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS,
termasuk…
-12-
termasuk prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-RTGS di
lingkungan internal Peserta;
c. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
dalam huruf b dan setiap perubahannya kepada Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. kebijakan dan prosedur tertulis secara keseluruhan disampaikan paling
lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS;
2. setiap perubahan disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan terhitung
sejak terjadinya perubahan;
d. melakukan pemeriksaan internal yang menjamin keamanan operasional
Sistem BI-RTGS sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun dan
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal tersebut kepada Bank
Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah dilakukan pemeriksaan
internal;
e. melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal kepesertaan dan setiap terjadi
perubahan dalam sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait
dengan Sistem BI-RTGS serta menyampaikan hasil security audit tersebut
kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah dilakukan
security audit;
f. mengumumkan secara tertulis di setiap kantor Peserta besarnya biaya
transaksi melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
g. memiliki pedoman Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, d, e, f,
dan g wajib dilakukan dengan mengacu pada dan tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta
kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws).
Pasal…
-13-
Pasal 14
Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta wajib melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Peserta terhadap
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IV
PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS
Bagian Pertama
Transaksi dalam Sistem BI-RTGS
Pasal 15
(1) Sistem BI-RTGS dapat digunakan untuk transfer kredit dan transfer debet.
(2) Transfer kredit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. transaksi single credit; dan atau
b. transaksi multiple credit.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia sebagai Peserta dapat melakukan transfer kredit dan transfer
debet.
(2) Peserta selain Bank Indonesia hanya dapat menggunakan Sistem BI-RTGS
untuk transfer kredit.
Pasal 17
(1) Berdasarkan asal instruksi transfer dan tujuan transfer, transfer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) meliputi transaksi :
a. dari Peserta kepada Peserta lainnya;
b. dari Peserta kepada nasabah Peserta lainnya dan sebaliknya; dan
c. dari nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lainnya.
(2) Peserta…
-14-
(2) Peserta Langsung dapat melakukan seluruh transaksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Peserta Tidak Langsung hanya dapat melakukan transaksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dengan pembatasan bahwa transaksi
Peserta kepada nasabah Peserta lainnya hanya mencakup transaksi kepada
nasabah Bank Indonesia.
(4) Dalam hal terjadi gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2)
dan ayat (3), Peserta Langsung hanya dapat melaksanakan transaksi yang
dilakukan oleh Peserta Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
Pasal 18
(1) Penyelenggara menetapkan Transaction Reference Number (TRN) dan tata
cara pengisian informasi untuk setiap Transaction Reference Number (TRN)
sebagai acuan bagi Peserta untuk mengirimkan transaksi melalui Sistem
BI-RTGS.
(2) Penyelenggara tidak melakukan penelitian atas kebenaran penggunaan
Transaction Reference Number (TRN) oleh Peserta sehingga segala risiko
yang timbul akibat penggunaan dan penyalahgunaan Transaction Reference
Number (TRN) sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Pasal 19
(1) Dalam mengirimkan transaksi melalui Sistem BI-RTGS, Peserta wajib
menggunakan Transaction Reference Number (TRN) sesuai dengan
peruntukannya dan memenuhi tata cara pengisian informasi Transaction
Reference Number (TRN) yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Dalam…
-15-
(2) Dalam hal Peserta pengirim menggunakan Transaction Reference Number
(TRN) yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Peserta penerima dapat mengembalikan transfer yang telah diterima
dari Peserta pengirim.
Pasal 20
(1) Khusus untuk transaksi dari Peserta pengirim kepada nasabah Peserta
penerima, transaksi dari nasabah Peserta pengirim kepada Peserta penerima,
atau transaksi dari nasabah Peserta pengirim kepada nasabah Peserta
penerima, apabila dilakukan setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian
transfer atas nama nasabah dan Peserta pengirim tidak menggunakan
Transaction Reference Number (TRN) : IFT00000, Peserta pengirim wajib
membayar kompensasi kepada Peserta penerima sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap transaksi.
(2) Pengenaan kewajiban pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan berdasarkan laporan Peserta penerima kepada
Penyelenggara.
Bagian Kedua
Penyelesaian Akhir
Pasal 21
(1) Penyelesaian Akhir atas transaksi melalui Sistem BI-RTGS dilakukan apabila
Rekening Giro Peserta di Bank Indonesia memiliki saldo yang cukup.
(2) Transaksi yang Penyelesaian Akhirnya telah dilakukan, bersifat final.
(3) Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dibatalkan
apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Pasal…
-16-
Pasal 22
(1) Dalam hal Peserta telah mengirimkan transaksi dan saldo Rekening Giro
Peserta di Bank Indonesia tidak mencukupi, transaksi yang telah dikirimkan
Peserta akan masuk dalam Sistem Antrian.
(2) Penyelenggara menetapkan tingkat kepentingan transaksi yang masuk dalam
Sistem Antrian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut :
a. tingkat kepentingan prioritas terdiri atas :
1. transaksi dari Peserta kepada rekening pemerintah Republik Indonesia
di Bank Indonesia dan sebaliknya;
2. transaksi dari Peserta kepada Bank Indonesia dan sebaliknya;
3. transaksi dari Peserta kepada pihak lain yang memiliki rekening di
Bank Indonesia dan sebaliknya; dan
4. transaksi dari nasabah Peserta kepada rekening pemerintah Republik
Indonesia di Bank Indonesia dan sebaliknya.
b. tingkat kepentingan normal terdiri atas :
1. transaksi antar Peserta selain Bank Indonesia;
2. transaksi antar Peserta selain Bank Indonesia untuk kepentingan
nasabahnya.
(3) Penyelenggara dapat mengubah urutan atau membatalkan antrian transaksi
dengan tingkat kepentingan prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a berdasarkan :
a. kepentingan Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan kebijakan
moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta pengaturan dan
pengawasan perbankan; atau
b. permintaan Peserta dalam rangka memenuhi kewajiban Peserta kepada
pemerintah Republik Indonesia dan Bank Indonesia dan atau dalam
rangka memenuhi kebutuhan uang tunai Peserta.
(4) Peserta…
-17-
(4) Peserta hanya dapat mengubah urutan atau membatalkan antrian transaksi
secara langsung melalui RT milik Peserta untuk antrian transaksi dengan
tingkat kepentingan normal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
Bagian Ketiga
Warkat dalam Sistem BI-RTGS
Pasal 23
(1) Transaksi yang dilakukan oleh Peserta Langsung melalui Sistem BI-RTGS
didasarkan pada warkat pembukuan yang formatnya diatur oleh masing-
masing Peserta.
(2) Peserta Langsung yang mengalami gangguan RT Server sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) serta Peserta Tidak Langsung
wajib menggunakan Bilyet Giro Bank Indonesia atau, khusus untuk
penarikan tunai, menggunakan Cek Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Jam Operasional
Pasal 24
(1) Sistem BI-RTGS diselenggarakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain
oleh Bank Indonesia.
(2) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada Jam Operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 25
(1) Perubahan Jam Operasional dapat dilakukan berdasarkan :
a. kebijakan Penyelenggara; atau
b. permintaan Peserta.
(2) Perubahan Jam Operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal terjadi :
a. gangguan…
-18-
a. gangguan atau kerusakan pada RCC;
b. keterlambatan waktu Penyelesaian Akhir hasil kliring; atau
c. adanya kebijakan yang menyebabkan Penyelenggara harus
memperpanjang Jam Operasional.
(3) Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan Jam Operasional
dalam hal terjadi :
a. keadaan darurat pada lokasi produksi;
b. gangguan atau kerusakan pada RT Server Peserta sehingga waktu yang
tersedia untuk melakukan transaksi menjadi terbatas; atau
c. adanya alasan lain yang dapat disetujui oleh Penyelenggara.
(4) Penyelenggara berwenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan
terhadap permohonan perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
(5) Permohonan perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf b dan c yang disetujui oleh Penyelenggara dikenakan biaya.
(6) Penyelenggara dapat membebaskan Peserta dari pengenaan biaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) apabila permohonan perpanjangan
Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c disebabkan
oleh hal-hal di luar kontrol Peserta.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
PESERTA PENGIRIM DAN PESERTA PENERIMA
Bagian Pertama
Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta Pengirim
Pasal 26
(1) Peserta pengirim wajib mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi
instruksi transfer secara lengkap dan benar serta memperhatikan ketentuan
yang berlaku.
(2) Instruksi…
-19-
(2) Instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. identitas nasabah pengirim;
b. identitas nasabah penerima;
c. identitas Peserta penerima; dan
d. jumlah dana yang ditransfer.
(3) Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a dan b meliputi sekurang-kurangnya nama dan nomor
rekening atau, apabila nasabah pengirim atau nasabah penerima tidak
memiliki rekening pada Peserta, identitas tersebut meliputi sekurang-
kurangnya nama dan alamat.
Pasal 27
(1) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk melaksanakan instruksi
transfer dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib meneruskan instruksi
transfer tersebut dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima paling lambat pada
saat berakhirnya jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib
meneruskan instruksi tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal
diterimanya instruksi transfer dari nasabah pengirim.
b. untuk instruksi transfer dari nasabah yang diterima setelah berakhirnya
jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib meneruskan instruksi
transfer paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
maka pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal
yang sama dengan tanggal penerbitan instruksi transfer oleh Peserta
pengirim.
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan instruksi transfer dari
nasabahnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan...
-20-
dan ayat (2), dan Peserta pengirim telah mendebet rekening nasabahnya,
Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabah pengirim sesuai
dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim pada
Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah
pengirim sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak berlaku untuk transfer yang berasal dari setoran tunai.
Pasal 28
(1) Peserta pengirim bertanggungjawab atas kesesuaian penulisan instruksi
transfer yang dikirim melalui Sistem BI-RTGS dengan instruksi yang dibuat
oleh nasabah pengirim.
(2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan instruksi transfer tidak sesuai
dengan instruksi transfer yang dibuat oleh nasabah pengirim, maka apabila
melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 penerima dana
yang berhak tidak akan menerima dana sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35, Peserta pengirim wajib atas beban Peserta
pengirim menerbitkan instruksi transfer baru sesuai dengan instruksi transfer
nasabah pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima
atau nasabah penerima yang tidak berhak.
(3) Penerbitan instruksi transfer baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
wajib dilakukan pada :
a. tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya ketidaksesuaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila ketidaksesuaian diketahui
paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya batas waktu
(window time) jenis transaksi tersebut; atau
b. hari kerja berikutnya paling lambat pukul 09.00 waktu setempat, apabila
ketidaksesuaian diketahui setelah batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
(4) Dalam…
-21-
(4) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta
pengirim wajib membayar bunga kepada nasabah pengirim sesuai dengan
bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pengirim yang dibebani
untuk transfer terkait, terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah
pengirim sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer yang baru.
(5) Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka dana yang salah terkirim dapat diminta
kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima dengan
menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Pasal 29
(1) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (2), penggunaan mekanisme
Pasal ini oleh Peserta pengirim untuk memenuhi hak penerima dana hanya
dapat dilakukan apabila Peserta pengirim mempunyai keyakinan bahwa
penerima dana yang berhak akan menerima dana sesuai dengan ketentuan
Pasal 35.
(2) Mekanisme koreksi yang dilakukan oleh Peserta pengirim sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. untuk ketidaksesuaian data identitas Peserta penerima, identitas nasabah
penerima, dan atau jumlah dana yang ditransfer, Peserta pengirim
melakukan permintaan koreksi kepada Peserta penerima dengan cara :
1. mengirimkan transaksi satu rupiah, yaitu transaksi dengan nominal
Rp 1,00 (satu rupiah), kepada nomor rekening 1 (satu), dengan
payment detail yang berisi perubahan identitas Peserta penerima dan
atau identitas nasabah penerima (ultimate beneficiary) atau permintaan
pengembalian dana; dan
2. mengirimkan administrative message yang berisi pembebasan
tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim.
b. untuk…
-22-
b. untuk duplikasi pelaksanaan instruksi transfer, Peserta pengirim
melakukan permintaan koreksi kepada Peserta penerima dengan cara :
1. mengirimkan transaksi satu rupiah, yaitu transaksi dengan nominal
Rp 1,00 (satu rupiah), kepada nomor rekening 1 (satu), dengan
payment detail yang berisi permintaan pengembalian dana; dan
2. mengirimkan administrative message yang berisi pembebasan
tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim.
c. untuk ketidaksesuaian pada data selain data sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b, permintaan koreksi kepada Peserta penerima
dilakukan dengan mengirimkan administrative message yang berisi :
1. permintaan perubahan data; dan
2. pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh
Peserta pengirim.
(3) Pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta
pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berisi pernyataan :
a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh
karyawannya dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pembayaran,
terhadap berbagai kemungkinan klaim, gugatan, kewajiban, biaya-biaya
termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, tuntutan atau
kerugian yang diakibatkan oleh pengembalian dana yang dilakukan oleh
Peserta penerima, baik atas permintaan Peserta pengirim atau karena
Peserta penerima harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan
pernyataan dalam pembebasan tanggung jawab (indemnity); dan
b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala biaya yang terkait
dengan klaim, gugatan, tuntutan, dan kewajiban lainnya, termasuk biaya
penyelesaian hukum dan biaya lainnya, serta kerugian yang dihadapi oleh
Peserta penerima sebagai akibat dari penarikan kembali dana dari nasabah
penerima yang tidak berhak.
(4) Permintaan…
-23-
(4) Permintaan koreksi dari Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) berlaku apabila permintaan tersebut diajukan paling lambat 60 (enam
puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia.
(5) Dalam hal permintaan koreksi dilakukan setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), maka Peserta penerima tidak wajib untuk
memenuhi permintaan Peserta pengirim.
(6) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), penagihan
kepada penerima dana yang tidak berhak dilakukan oleh Peserta pengirim.
(7) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Peserta
penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data
yang terkait dengan :
a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima.
Pasal 30
Dalam hal Peserta pengirim meminta pengembalian dana dari Peserta penerima
atau meminta Peserta penerima untuk menyampaikan dana kepada penerima
dana yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta penerima
wajib segera melaksanakan permintaan tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 32 dan Pasal 33.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta Penerima
Pasal 31
(1) Peserta penerima wajib menyampaikan dana kepada penerima dana
sebagaimana tercantum dalam confirmation advice yang diterimanya dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Untuk…
-24-
(2) Untuk transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening
di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan nama dan
nomor rekening penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice
yang diterima melalui Sistem BI-RTGS dengan nama dan nomor rekening
penerima dana yang tercantum dalam tata usaha rekening/administrasi di
Peserta penerima.
(3) Untuk transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki
rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan
nama penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice dengan
identitas penerima dana.
Pasal 32
(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara nama dan nomor rekening penerima
dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), atau antara nama
penerima dana yang tercantum dalam confirmation advice dengan identitas
penerima dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), dan Peserta
penerima mengambil keputusan untuk melaksanakan pembukuan atau
pembayaran, maka apabila di kemudian hari terdapat permintaan dari Peserta
pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim atau untuk
menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak pada Peserta
penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta penerima wajib
mengembalikan atau menyampaikan dana tersebut sesuai dengan permintaan
Peserta pengirim.
(2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan permintaan koreksi kepada Peserta
penerima karena transfer seharusnya ditujukan kepada Peserta penerima yang
lain, sedangkan Peserta penerima telah meneruskan instruksi transfer kepada
penerima dana yang tidak berhak, maka Peserta penerima wajib
mengembalikan dana kepada Peserta pengirim tanpa menunggu
pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak.
(3) Dalam…
-25-
(3) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan permintaan koreksi kepada Peserta
penerima karena transfer seharusnya ditujukan kepada penerima dana yang
lain di Peserta penerima, Peserta penerima wajib menyampaikan kepada
penerima dana yang berhak tanpa menunggu pengembalian dana dari
penerima dana yang tidak berhak.
(4) Pengembalian atau penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permintaan koreksi dari Peserta pengirim.
(5) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta
penerima wajib memberikan bunga kepada Peserta pengirim sesuai dengan
tingkat bunga yang diatur dalam kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-
Laws) terhitung sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima
sampai tanggal pengembalian dana.
(6) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta
penerima wajib memberikan bunga kepada penerima dana yang berhak pada
Peserta penerima sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis
rekening penerima dana yang bersangkutan terhitung sejak tanggal
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima sampai tanggal penyampaian
dana.
Pasal 33
(1) Dalam hal Peserta penerima telah melaksanakan instruksi transfer sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dan Peserta
pengirim mengajukan permintaan untuk mengembalikan dana kepada Peserta
pengirim atau untuk menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak
pada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Peserta
penerima wajib memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan koreksi dari Peserta
Pengirim.
(2) Tanggapan…
-26-
(2) Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima
dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta
penerima.
(3) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan atau menyampaikan
dana sesuai dengan permintaan Peserta pengirim, Peserta pengirim
melakukan penagihan dana yang salah terkirim tersebut secara langsung
kepada penerima dana yang tidak berhak.
(4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta
penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data
yang terkait dengan :
a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima dapat menarik kembali dana dari penerima dana
yang tidak berhak, penarikan dana dan pengembalian dana kepada Peserta
pengirim atau penyampaian dana kepada penerima dana yang berhak meliputi
jumlah dana yang ditransfer dan bunga yang telah dibayarkan atau terhutang
kepada penerima dana yang tidak berhak.
Pasal 34
(1) Kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana atau
memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan 33 hanya
berlaku dalam hal permintaan pengembalian atau penyampaian dana dari
Peserta pengirim diterima paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak
tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia.
(2) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim
untuk…
-27-
untuk melakukan pengembalian atau penyampaian dana sesuai dengan
Pasal 32 dan Pasal 33, Peserta penerima dapat mempertimbangkan untuk
menolak atau menerima permintaan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal permintaan koreksi dari Peserta pengirim.
(3) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian atau
penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta pengirim
melakukan penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak
berhak.
(4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Peserta
penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data
yang terkait dengan :
a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima menyetujui permintaan Peserta pengirim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pengembalian dana atau penyampaian
dana meliputi seluruh dana yang ditarik kembali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (5).
Pasal 35
(1) Peserta penerima wajib menyampaikan dana yang ditujukan kepada penerima
dana segera setelah Penyelenggara mengkredit Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Transfer untuk penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta
penerima :
1. untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di
Bank Indonesia paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu
penyelesaian transfer atas nama nasabah, kantor Peserta penerima
wajib mengkredit dana tersebut ke rekening penerima dana pada
tanggal…
-28-
tanggal valuta yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro
Peserta penerima di Bank Indonesia.
2. apabila Peserta penerima tidak dapat mengkredit dana ke rekening
penerima dana pada tanggal valuta yang sama, kantor Peserta penerima
wajib melakukan pengkreditan paling lambat pukul 09.00 waktu
setempat hari kerja berikutnya dengan menggunakan tanggal valuta
hari sebelumnya, atau memberikan bunga kepada penerima dana sejak
tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank
Indonesia dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening
penerima dana.
3. untuk dana yang dikreditkan ke Rekening Giro Peserta penerima di
Bank Indonesia setelah berakhirnya batas waktu penyelesaian transfer
atas nama nasabah atau pada periode perpanjangan waktu penyelesaian
transfer atas nama nasabah, kantor Peserta penerima wajib mengkredit
dana tersebut ke rekening penerima dana paling lambat pada
pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya.
4. apabila Peserta penerima tidak mengkredit dana ke rekening penerima
dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan 3,
Peserta penerima wajib membayar kompensasi kepada penerima dana
sesuai bunga yang berlaku untuk jenis rekening tersebut ditambah
dengan tingkat kompensasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dengan maksimum kompensasi sebesar 200 (dua ratus) basis points
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2, kompensasi bunga dihitung sejak tanggal valuta
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia.
b) untuk keterlambatan pengkreditan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3, kompensasi bunga dihitung sejak 1 (satu) hari setelah
tanggal…
-29-
tanggal valuta pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di
Bank Indonesia.
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tingkat kompensasi
yang berlaku ditetapkan sebesar 200 (dua ratus) basis points.
b. Transfer untuk penerima dana yang tidak memiliki rekening di kantor
Peserta penerima :
1. kantor Peserta penerima wajib mengirim surat pemberitahuan
mengenai tersedianya dana hasil transfer kepada penerima dana pada
tanggal yang sama dengan tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia atau paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
2. apabila berdasarkan pertimbangan tertentu kantor Peserta penerima
tidak dapat mengirim surat pemberitahuan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, surat pemberitahuan wajib
dikirim pada tanggal diterimanya informasi transfer di kantor Peserta
penerima atau paling lambat hari kerja berikutnya.
(2) Dalam hal Peserta pengirim telah melakukan instruksi transfer sesuai dengan
instruksi transfer dari nasabah pengirim namun Peserta penerima melakukan
pengkreditan dana kepada penerima dana yang berbeda dari penerima dana
yang tercantum dalam confirmation advice, Peserta penerima wajib
menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak pada tanggal yang
sama dengan tanggal diketahuinya kesalahan tanpa menunggu pengembalian
dana dari penerima dana yang tidak berhak.
(3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta
penerima wajib membayar bunga kepada penerima dana yang berhak sesuai
dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening penerima dana
tersebut, terhitung sejak tanggal seharusnya rekening penerima dana yang
berhak dikredit sesuai dengan ketentuan ayat (1) sampai tanggal pelaksanaan
pengkreditan rekening penerima dana yang berhak tersebut.
(4) Ketentuan…
-30-
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk
transfer yang ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening di
kantor Peserta penerima.
BAB VI
KONDISI GANGGUAN DAN KEADAAN DARURAT
Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap RCC Utama, atau dalam hal
terjadi keadaan darurat di lokasi produksi Penyelenggara, sehingga
Penyelenggara tidak dapat menggunakan RCC Utama, Penyelenggara
menggunakan RCC Back-up dan memberitahukan kondisi tersebut kepada
Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan.
(2) Dalam hal Penyelenggara tidak dapat menggunakan RCC Back-up
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyelenggara menerapkan Business
Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan dan memberitahukan kondisi
tersebut kepada Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Pasal 37
(1) Dalam hal RCC tidak berfungsi sehingga menyebabkan Peserta tidak dapat
melaksanakan transaksi melalui Sistem BI-RTGS, kewajiban Peserta yang
terkait dengan pelaksanaan transaksi melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang tidak dapat terlaksana karena
tidak berfungsinya RCC ditunda pelaksanaannya sampai dengan berakhirnya
kondisi tidak berfungsinya RCC.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan penyesuaian Jam Operasional dan petunjuk lainnya
yang ditetapkan Penyelenggara.
(3) Dalam…
-31-
(3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peserta
wajib melakukan langkah-langkah yang diperlukan yang terkait dengan
penyelesaian dana transfer.
Pasal 38
(1) Dalam hal RT Server Utama Peserta mengalami kondisi gangguan, Peserta
melakukan transaksi Sistem BI-RTGS dengan menggunakan RT Server
Back-up Peserta.
(2) Dalam hal RT Server Back-up Peserta juga mengalami kondisi gangguan,
Peserta melakukan transaksi Sistem BI-RTGS dengan menggunakan Cek
Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro Bank Indonesia untuk dibukukan oleh
Penyelenggara.
(3) Dengan tidak mengabaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penyelenggara berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan
persetujuan kepada Peserta yang RT Server Utamanya mengalami kondisi
gangguan untuk langsung menggunakan Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet
Giro Bank Indonesia dalam melakukan transaksi Sistem BI-RTGS.
Pasal 39
Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada Peserta sehingga Peserta tidak dapat
menggunakan RT Server Back-up atau Cek Bank Indonesia dan atau Bilyet Giro
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, atau dalam hal terjadi
keadaan darurat di Peserta, Peserta wajib memberitahukan keadaan tersebut
kepada Penyelenggara dan melakukan langkah-langkah sesuai dengan yang
ditetapkan dalam Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan Peserta
yang bersangkutan.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 40
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap pelaksanaan Sistem BI-RTGS pada Peserta.
(2) Pengawasan…
-32-
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala
dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
terhadap kepatuhan Peserta pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan
pelaksanaannya serta Perjanjian Penggunaan Sistem BI-RTGS antara Bank
Indonesia dan Peserta.
(4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(5) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Peserta wajib memberikan :
a. keterangan dan data yang terkait dengan pelaksanaan Sistem BI-RTGS;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik
dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional Sistem
BI-RTGS; dan atau
c. hal-hal lain yang diperlukan.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 41
(1) Peserta Langsung yang tidak menyediakan RT Server Back-up sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b atau menyediakan RT Server Back-
up namun tidak berfungsi dengan baik, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyediakan RT Server
Back-up yang berfungsi dengan baik paling lambat 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi
dengan baik dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Peserta…
-33-
Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyediakan RT Server
Back-up yang berfungsi dengan baik paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Dalam hal Peserta tidak menyediakan RT Server Back-up yang berfungsi
dengan baik dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
dikenakannya sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend)
sampai dengan tersedianya RT Server Back-up yang berfungsi dengan baik.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
ayat (5) tidak berlaku apabila RT Server Back-up tidak berfungsi dengan baik
karena :
a. gangguan saluran komunikasi;
b. keadaan darurat; atau
c. alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh Penyelenggara.
Pasal 42
(1) Peserta Tidak langsung yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi
Peserta Langsung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan
untuk menjadi Peserta Langsung paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi Peserta
Langsung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), status
kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan
Peserta memenuhi persyaratan.
Pasal…
-34-
Pasal 43
(1) Peserta yang dalam menyusun kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b tidak mengacu atau bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini, peraturan pelaksanaannya dan atau
kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Peserta wajib menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta
kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws) paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak menyusun kebijakan dan prosedur tertulis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyusun kebijakan dan
prosedur tertulis yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini dan
peraturan pelaksanaannya serta kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws)
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis
kedua.
(5) Dalam hal Peserta tidak menyusun kebijakan dan prosedur tertulis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan
Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta
memenuhi kewajiban.
Pasal 44
(1) Peserta yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c
angka 1, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Peserta …
-35-
(2) Peserta wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan
sanksi administratif berupa surat teguran tertulis kedua.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyampaikan
kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal surat teguran tertulis kedua.
(5) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan
Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta
memenuhi kewajiban.
Pasal 45
(1) Peserta yang diketahui atau ditemukan tidak menyampaikan perubahan
kebijakan dan prosedur tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Peserta wajib menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis
paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur
tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyampaikan
perubahan kebijakan dan prosedur tertulis paling lambat 1 (satu) bulan sejak
tanggal surat teguran tertulis kedua.
(5) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan perubahan kebijakan dan prosedur
tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status
kepesertaan…
-36-
kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan
Peserta memenuhi kewajiban.
Pasal 46
(1) Peserta yang tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Peserta wajib melakukan pemeriksaan internal dan atau menyampaikan
laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal surat teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis kedua.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib melakukan pemeriksaan
internal dan atau menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat teguran tertulis kedua.
(5) Dalam hal Peserta tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah
menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi
kewajiban.
Pasal 47
(1) Peserta yang tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan
hasil security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Peserta…
-37-
(2) Peserta wajib melakukan security audit dan atau menyampaikan hasil
security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat
teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak melakukan security audit dan atau tidak
menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib melakukan security
audit dan atau menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis kedua.
(5) Dalam hal Peserta tidak melakukan security audit dan atau tidak
menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), status kepesertaan Peserta diubah menjadi
ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta memenuhi kewajiban.
Pasal 48
(1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengumumkan besarnya
biaya transfer melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Peserta wajib membuat pengumuman dan memberitahukan pelaksanaan
pengumuman tersebut kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas)
hari kalender terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis.
Pasal 49
Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan pelanggaran tersebut akan dicatat dalam database
track record pengurus atau pejabat eksekutif tersebut di Bank Indonesia.
Pasal…
-38-
Pasal 50
Peserta penerima yang tidak mengirimkan pemberitahuan kepada nasabah
penerima dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 51
(1) Peserta yang tidak memberikan keterangan dan data dan atau tidak
memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Peserta wajib memberikan keterangan dan data paling lambat 7 (tujuh) hari
kalender, atau memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan
langsung paling lambat 3 (tiga) hari kalender terhitung sejak tanggal surat
teguran tertulis.
(3) Dalam hal Peserta tidak memberikan keterangan dan data atau tidak
memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), status kepesertaan
Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend) sampai dengan Peserta
memenuhi kewajiban.
Pasal 52
Dalam hal Pihak Selain Bank menyimpang dari ketentuan Pasal 55 ayat (2),
status kepesertaan Peserta diubah menjadi ditangguhkan (suspend).
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 53
Kewajiban Peserta dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Bank
Indonesia sebagai Peserta, kecuali ketentuan yang berkaitan dengan :
a. pembayaran bunga dan kompensasi;
b. pembuatan…
-39-
b. pembuatan perjanjian dengan Penyelenggara; dan
c. sanksi administratif.
Pasal 54
Untuk Bank Syariah dan unit usaha syariah dari Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang juga melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, ketentuan pengenaan bunga dan kompensasi dalam
Peraturan Bank Indonesia ini disesuaikan dengan prinsip syariah yang berlaku.
Pasal 55
(1) Kewajiban Peserta dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Pihak
Selain Bank sebagai Peserta, kecuali ketentuan yang berkaitan dengan
pembayaran bunga dan kompensasi.
(2) Pihak Selain Bank wajib melaksanakan transaksi melalui Sistem BI-RTGS
sesuai dengan tujuan penggunaan Rekening Giro sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian antara Bank Indonesia dan Pihak Selain Bank.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
Bank dan Pihak Selain Bank yang telah menjadi Peserta pada saat
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyediakan RT Server
Back-up sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 1 dan
huruf e paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 57
(1) Kewajiban Peserta penerima untuk mencocokkan nama dan nomor rekening
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) diberlakukan mulai 6 (enam)
bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Selama …
-40-
(2) Selama masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila
Peserta pengirim melakukan kesalahan transfer yang menyebabkan transfer
diterima oleh penerima dana yang tidak berhak, dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dan ayat (7) Pasal ini serta
mekanisme koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan
mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima
dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta
penerima, Peserta penerima wajib menarik kembali dana dari penerima dana
yang tidak berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya
kesalahan transfer tersebut oleh Peserta penerima.
(3) Dana yang ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
dikembalikan kepada Peserta pengirim atau, dalam hal penerima dana yang
berhak merupakan nasabah Peserta penerima, Peserta penerima wajib
menyampaikan dana kepada penerima dana yang berhak, pada tanggal yang
sama dengan tanggal ditariknya kembali dana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) atau paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya.
(4) Dalam hal dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) telah ditarik oleh
penerima dana yang tidak berhak, Peserta pengirim wajib mengirim instruksi
transfer yang baru kepada penerima dana yang berhak tanpa menunggu
pengembalian dana dari Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan dana sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) karena dana telah ditarik
oleh penerima dana yang tidak berhak, penagihan kepada penerima dana
yang tidak berhak dilakukan oleh Peserta pengirim.
(6) Dalam hal kesalahan diketahui berdasarkan informasi Peserta pengirim,
kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana kepada
Peserta pengirim atau penyampaian dana kepada penerima dana yang berhak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku apabila permintaan
Peserta…
-41-
Peserta pengirim diterima dalam batas waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari kalender sejak tanggal pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima di
Bank Indonesia.
(7) Batas waktu Peserta penerima untuk memberikan tanggapan atas permintaan
Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) adalah paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Peserta
Pengirim.
(8) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim
untuk melakukan pengembalian atau penyampaian dana, Peserta penerima
dapat mempertimbangkan untuk menolak atau menerima permintaan
tersebut.
(9) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian atau
penyampaian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), Peserta pengirim
melakukan penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak
berhak.
(10) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9), Peserta
penerima wajib membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data
yang terkait dengan :
a. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
b. identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima
(11) Dalam hal penerima dana yang tidak berhak telah mengembalikan dana
kepada Peserta penerima, namun Peserta penerima tidak mengembalikan atau
menyampaikan dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), Peserta penerima wajib membayar bunga kepada Peserta pengirim
terhitung sejak tanggal pengembalian dana dari penerima dana yang tidak
berhak sampai dilaksanakannya pengembalian dana kepada Peserta
pengirim…
-42-
pengirim dengan tingkat bunga sebagaimana diatur dalam kesepakatan
tertulis antar Peserta (Bye-Laws).
Pasal 58
Peraturan Sistem BI-RTGS, perjanjian yang berkaitan dengan Sistem BI-RTGS
dan Buku Pedoman Teknis Sistem BI-RTGS yang telah dikeluarkan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut,
diganti atau diperbaharui.
Pasal 59
Petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Maret 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 28
DASP
-1-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004
TENTANG
SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT
UMUM
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dalam rangka mendukung
terwujudnya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya
sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk
mendukung stabilitas sistem keuangan. Upaya untuk mewujudkan sistem
pembayaran yang dapat mendukung stabilitas sistem keuangan dilakukan secara
berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko sistem pembayaran
nasional.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
(Sistem BI-RTGS) yang merupakan sistem transfer dana elektronik antar Peserta
khususnya Bank dalam mata uang Rupiah yang penyelesaian transaksinya
dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
Manfaat diterapkannya Sistem BI-RTGS, selain menurunkan risiko sistem
pembayaran nasional dengan meningkatkan kepastian Penyelesaian Akhir, juga
menyediakan tambahan pilihan sarana transfer yang cepat, efisien,
aman dan handal, serta menyediakan informasi saldo Rekening Giro
Bank…
-2-
Bank secara real time dan menyeluruh sehingga dapat membantu Bank
meningkatkan disiplin dan profesionalismenya dalam mengelola likuiditas.
Sebagai salah satu pilihan sarana transfer bagi para pihak yang
menggunakan sistem ini, penggunaan Sistem BI-RTGS memberikan pengertian
real time tidak hanya pada level Bank, tetapi juga diharapkan pada level nasabah.
Untuk lebih mendorong Bank menjalankan prinsip kehati-hatian dan lebih
memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan transaksi melalui Sistem BI-
RTGS, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sistem BI-RTGS
dalam Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan ini antara lain mengatur syarat-syarat kepesertaan, status
kepesertaan, hak dan kewajiban serta tanggung jawab Peserta dan Penyelenggara,
mekanisme pelaksanaan penggunaan Sistem BI-RTGS dalam kondisi normal dan
keadaan darurat serta pengamanan Sistem BI-RTGS. Sejalan dengan itu, untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan penggunaan Sistem BI-RTGS dan
menimimalkan risiko yang mungkin timbul, Bank Indonesia sebagai
penyelenggara Sistem BI-RTGS, mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap Peserta baik secara langsung maupun tidak langsung.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Untuk menjamin kehandalan RCC Back-up, Penyelenggara sewaktu-
waktu dapat menggunakan RCC Back-up untuk kegiatan operasional
dalam kondisi normal.
Huruf…
-3-
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan aplikasi RT adalah program aplikasi Sistem
BI-RTGS yang disediakan oleh Penyelenggara yang dipasang pada RT.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pelayanan kepada Peserta berkaitan dengan kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS antara lain meliputi pendaftaran, perubahan dan pencabutan
kepesertaan.
Pasal 3
Ayat (1)
Jenis biaya penggunaan Sistem BI-RTGS antara lain biaya transaksi dan
biaya perpanjangan Jam Operasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat…
-4-
Ayat (3)
Unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor
cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah.
Ayat (4)
Setiap pemegang Rekening Giro di Bank Indonesia tidak secara otomatis
dapat menjadi Peserta.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan sarana pendukung antara lain printer dan
modem untuk saluran komunikasi dial up.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud pertimbangan tertentu dalam ayat ini antara lain adanya
rencana merger, akuisisi, konsolidasi, atau perubahan jenis usaha yang
akan mempengaruhi keikutsertaan Peserta dalam Sistem BI-RTGS.
Ayat…
-5-
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan permintaan khusus dalam huruf ini antara lain
berkaitan dengan perlunya dilakukan pengawasan khusus terhadap
transaksi Peserta.
Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan
perubahan kepesertaan Bank dalam huruf ini adalah Bank
Indonesia.
Ayat (7)
Yang dimaksud dokumen dalam ayat ini antara lain Perjanjian
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement antara
Bank Indonesia dan Peserta, surat kuasa dari direksi Peserta kepada
pejabatnya, dokumen spesimen tanda tangan, serta dokumen pendukung
lainnya.
Ayat (8)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan mengirim transfer termasuk penyelesaian
transaksi pada Sistem Antrian dalam Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf…
-6-
Huruf c
Fungsi lainnya dalam RT antara lain system, utilities, audit trail, enquiry,
administrative message, database maintenance dan queue management.
Pasal 9
Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan
status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan preventif dalam huruf ini adalah
antara lain pembekuan kegiatan usaha oleh instansi atau pihak yang
berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 10
Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan
status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia.
Ayat (1)
Yang dimaksud fasilitas enquiry adalah fasilitas untuk melihat semua atau
beberapa transaksi tertentu yang telah dibuat, diubah, ditolak, dibatalkan,
dan…
-7-
dan disetujui, serta transaksi yang masih belum diselesaikan (pending)
atau telah diselesaikan pada RCC atau RT, dan transaksi titipan
(warehouse).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan
status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia.
Pasal 12
Yang dimaksud sarana lainnya dalam Pasal ini adalah sarana lain yang
digunakan untuk menyampaikan pengumuman apabila terdapat gangguan
pada RCC sehingga Penyelenggara tidak dapat mengirimkan administrative
message.
Instansi atau pihak yang berwenang untuk mengajukan permintaan perubahan
status kepesertaan Bank dalam Pasal ini adalah Bank Indonesia.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan RT Server Utama, RT Server Back-up, dan
RT Workstation berfungsi dengan baik adalah RT yang dapat
digunakan untuk melakukan berbagai transaksi Sistem BI-RTGS.
Untuk memastikan RT Server Back-up dapat berfungsi dengan baik,
Peserta sewaktu-waktu dapat menggunakan RT Server Back-up untuk
kegiatan operasional dalam kondisi normal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kebijakan dan prosedur tertulis dalam ayat ini
adalah aturan tertulis yang ditetapkan oleh direksi dan atau pimpinan
satuan kerja yang merupakan pelaksanaan kebijakan direksi, yang
mengatur…
-8-
mengatur pembagian tugas dan tanggung jawab, mekanisme kerja,
pengendalian (kontrol), dan akuntabilitas satuan kerja operasional
Sistem BI-RTGS pada Peserta.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Perubahan yang wajib disampaikan adalah perubahan yang
mendasar terhadap operasional Sistem BI-RTGS.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pemeriksaan internal adalah pemeriksaan yang
dilakukan oleh satuan kerja audit intern.
Yang dimaksud dengan keamanan operasional Sistem BI-RTGS
meliputi pelaksanaan sistem dan prosedur operasional Sistem
BI-RTGS di internal Peserta.
Huruf e
Yang dimaksud dengan security audit adalah pemeriksaan yang
dilakukan oleh auditor internal yang independen dari satuan kerja
operasional Sistem BI-RTGS atau auditor eksternal terhadap
keamanan :
a. teknologi informasi internal Peserta;
b. hubungan (interface) antara aplikasi RT dengan sistem internal
Peserta; dan
c. kondisi lingkungan Peserta.
Huruf f
Pengumuman besarnya biaya transaksi dalam ayat ini dilakukan secara
tertulis di setiap kantor Peserta dan diumumkan pada tempat yang
mudah terlihat oleh nasabah.
Huruf g
Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan sekurang-
kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal
terjadi…
-9-
terjadi gangguan untuk memastikan bahwa operasional Sistem
BI-RTGS di Peserta tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang
perlu dilakukan dalam hal sistem back-up tidak dapat digunakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud pengurus Bank adalah komisaris dan direksi Bank sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Yang dimaksud pejabat eksekutif Bank adalah pejabat eksekutif, sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain melakukan monitoring atas
penerapan security audit dan monitoring atas pemeriksaan internal yang
menjamin keamanan operasional Sistem BI-RTGS sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dapat mendukung diketahuinya
secara dini terjadinya penyimpangan.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan transfer kredit dalam ayat ini adalah transaksi
yang dilakukan oleh Peserta pengirim untuk mendebet Rekening Giro
Peserta pengirim di Bank Indonesia dan mengkredit Rekening Giro
Peserta penerima di Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan transfer debet dalam ayat ini adalah transaksi yang
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mendebet Rekening Giro Peserta
penerima di Bank Indonesia dan mengkredit rekening lainnya yang ada di
Bank Indonesia.
Ayat…
-10-
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud transaksi single credit dalam huruf ini adalah transfer
kredit yang hanya berisi 1 (satu) instruksi transfer.
Huruf b
Yang dimaksud transaksi multiple credit dalam huruf ini adalah
transfer kredit yang berisi lebih dari 1 (satu) dan maksimum
10 (sepuluh) instruksi transfer untuk diteruskan ke beberapa rekening
nasabah penerima pada satu Peserta penerima.
Pasal 16
Ayat (1)
Transfer debet hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka
penyelesaian kewajiban Peserta kepada Bank Indonesia atau kepada
pemerintah Republik Indonesia dan koreksi atas transaksi yang diinput
oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Transaction Reference Number (TRN) dalam
ketentuan ini adalah kode yang terdiri dari 8 (delapan) karakter alfa
numeric yang ditentukan oleh Penyelenggara yang berfungsi untuk
mengidentifikasi asal dan tujuan transfer serta rekening yang dituju di
Bank Indonesia.
Ayat…
-11-
Ayat (2)
Tidak dilakukannya penelitian atas kebenaran penggunaan Transaction
Reference Number (TRN) dalam ayat ini antara lain karena Sistem BI-
RTGS tidak melakukan pengecekan antara Transaction Reference Number
(TRN) dengan kolom (field) ultimate beneficiary yang memuat informasi
mengenai penerima dana dan dengan kolom (field) payment details yang
memuat informasi tambahan lainnya yang terkait dengan transfer.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan transfer atas nama nasabah adalah transfer atas
perintah dan atau untuk untung nasabah Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan saldo yang cukup termasuk pula fasilitas likuiditas
intrahari yang dimiliki oleh Peserta.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan transaksi yang bersifat final adalah merupakan
penjabaran dari pengecualian prinsip zero hour rule yang menyatakan
bahwa apabila Peserta pengirim dicabut izin usaha dan dilikuidasi atau
nasabah pengirim dipailitkan, transaksi yang telah dilakukan sebelum
dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau pailit
tidak menjadi batal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal…
-12-
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan tingkat kepentingan transaksi yang masuk dalam antrian
dimaksudkan untuk menentukan transaksi dalam antrian yang harus
diselesaikan terlebih dahulu apabila terdapat dana yang cukup dalam
Rekening Giro Peserta dimaksud.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Perubahan Jam Operasional atas permintaan Peserta berupa
perpanjangan Jam Operasional.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan gangguan atau kerusakan antara lain gangguan
pada aplikasi dan atau perangkat keras RCC.
Huruf…
-13-
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan kebijakan antara lain adalah permintaan
pemerintah dalam rangka pembayaran pajak atau untuk kepentingan
Bank Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan keadaan darurat pada ayat ini adalah kondisi
yang menyebabkan Peserta tidak dapat menjalankan kegiatan
operasional Sistem BI-RTGS untuk sementara waktu pada hari yang
sama dengan terjadinya keadaan darurat yang disebabkan antara lain
oleh bencana alam, keadaan bahaya, huru hara, konflik bersenjata,
ancaman bom dan kebakaran pada lokasi produksi.
Yang dimaksud dengan lokasi produksi adalah lokasi kantor Peserta
tempat Peserta yang bersangkutan dapat melakukan berbagai transaksi
melalui Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kontrol Peserta antara lain seperti
gangguan saluran komunikasi.
Pasal…
-14-
Pasal 26
Ayat (1)
Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai
penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan
Undang-undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang
mencurigakan (suspicious transaction) dan kepastian nasabah pengirim
sebagai pemberi instruksi transfer dalam kedudukannya sebagai pihak
yang bertindak untuk diri sendiri atau mewakili pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Peserta pengirim menyetujui instruksi transfer dari nasabah apabila
instruksi transfer tersebut telah memuat informasi yang lengkap dan diisi
dengan benar serta dana yang akan ditransfer telah tersedia.
Yang dimaksud dengan jam pelayanan nasabah adalah batas waktu bagi
nasabah untuk melakukan transfer melalui Sistem BI- RTGS di masing-
masing Peserta sebagaimana diumumkan di kantor Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer
adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelaksanaan instruksi
transfer.
Yang dimaksud dengan tanggal pelaksanaan instruksi transfer adalah
tanggal Penyelesaian Akhir instruksi transfer tersebut di Bank Indonesia.
Dalam hal instruksi transfer masih dalam Sistem Antrian dan tidak
terselesaikan sampai akhir hari sehingga instruksi tersebut dibatalkan
oleh…
-15-
oleh RCC, Peserta pengirim tetap wajib membayar bunga terhitung sejak
tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal terjadinya
Penyelesaian Akhir.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewajiban Peserta pengirim merupakan konsekuensi dari kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum antara Peserta pengirim dengan nasabah
pengirim yakni untuk mengirimkan dana kepada penerima dana sesuai
instruksi transfer dari nasabah pengirim.
Ayat (3)
Ketidaksesuaian dapat diketahui oleh Peserta pengirim yang melakukan
kesalahan atau diketahui langsung oleh Peserta penerima.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan instruksi transfer
yang baru adalah sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelaksanaan
instruksi transfer yang baru.
Yang dimaksud dengan tanggal pelaksanaan instruksi transfer adalah
tanggal Penyelesaian Akhir instruksi transfer tersebut di Bank Indonesia.
Dalam hal instruksi transfer masih dalam Sistem Antrian dan tidak
terselesaikan sampai akhir hari sehingga instruksi tersebut dibatalkan oleh
RCC, Peserta pengirim tetap wajib membayar bunga terhitung sejak
tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal terjadinya
Penyelesaian Akhir.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat…
-16-
Ayat (2)
Pihak yang memberikan pembebasan tanggung jawab (indemnity) adalah
Peserta pengirim (institutional indemnity) dan bukan nasabah Peserta
pengirim (personal indemnity).
Yang dimaksud dengan payment detail adalah informasi yang berkaitan
dengan transfer yang diisi pada kolom (field) payment detail pada
layar RT.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Confirmation advice dalam Pasal ini adalah hasil olahan komputer
(computer print - out) yang tercetak di Peserta penerima, yang menunjukkan
bahwa Rekening Giro Peserta penerima di Bank Indonesia telah dikredit.
Kantor Peserta penerima dalam Pasal ini adalah kantor Peserta penerima yang
mempunyai kewajiban langsung untuk menyampaikan dana kepada penerima
dana.
Ayat (1)
Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai
prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan Undang-
undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
khususnya…
-17-
khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang
mencurigakan (suspicious transaction) dan kepastian nasabah penerima
sebagai penerima dana dalam kedudukannya sebagai pihak yang bertindak
untuk diri sendiri atau mewakili pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Identitas penerima dana antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
Paspor.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal pengembalian dana adalah sampai
dengan satu hari sebelum tanggal pengembalian dana.
Pembayaran bunga kepada Peserta pengirim didasarkan pada prinsip
pemanfaatan dana (use of funds) oleh Peserta penerima
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal penyampaian dana adalah sampai
dengan satu hari sebelum tanggal penyampaian dana.
Pasal 33
Ayat (1)
Tanggapan Peserta penerima antara lain berisi dapat tidaknya dana
dikembalikan atau disampaikan kepada penerima yang berhak, serta
perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh penerima yang tidak berhak untuk
melakukan rekonsiliasi.
Ayat…
-18-
Ayat (2)
Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari
Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima untuk
menarik dana dari penerima dana yang tidak berhak dengan mengabaikan
kebijakan dan ketentuan internal Peserta penerima, misalnya yang terkait
dengan kewajiban meminta persetujuan dari penerima dana atau pemilik
rekening untuk mendebet kembali rekeningnya, kecuali dalam perjanjian
pembukaan rekening antara Peserta penerima dan nasabah Peserta
penerima diatur bahwa dalam hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening
nasabah Peserta penerima berhak melakukan pendebetan rekening
nasabah Peserta penerima secara langsung tanpa perlu meminta
persetujuan nasabah Peserta penerima terlebih dahulu. Hal yang sama
berlaku juga untuk penerima dana tunai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Kantor Peserta penerima dalam Pasal ini adalah kantor Peserta penerima yang
mempunyai kewajiban langsung untuk menyampaikan dana kepada penerima
dana.
Ayat (1)
Pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dibuktikan dengan
confirmation advice.
Huruf…
-19-
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud batas waktu penyelesaian transfer atas nama
nasabah adalah batas waktu sesuai dengan Jam Operasional yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 2
Alasan yang dapat diterima untuk tidak mengkredit rekening
penerima pada tanggal valuta yang sama antara lain karena sistem
teknologi informasi di Peserta penerima belum terintegrasi dan
atau kantor Peserta penerima berada di wilayah dengan sarana
komunikasi dan transportasi yang tidak mendukung.
Angka 3
Yang dimaksud batas waktu penyelesaian transfer atas nama
nasabah adalah batas waktu sesuai dengan Jam Operasional yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 4
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi penerima dana untuk
mengambil dana di kantor Peserta penerima.
Penyampaian surat pemberitahuan pada hari kerja berikutnya
dilakukan apabila kantor Peserta penerima sudah tutup atau
pengkreditan Rekening Giro Peserta penerima dilakukan dalam
periode perpanjangan Jam Operasional.
Angka 2
Penyampaian surat pemberitahuan pada hari diterimanya
informasi transfer di kantor Peserta penerima atau paling lambat
hari…
-20-
hari kerja berikutnya berlaku apabila kantor Peserta penerima
berada di wilayah dengan sarana komunikasi dan transportasi
yang tidak mendukung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah:
a. apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal yang
sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut.
b. apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu tanggal
pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan
rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan
rekening penerima dana yang berhak adalah sampai dengan 1 (satu) hari
sebelum tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening penerima dana yang
berhak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat antara lain bencana alam,
keadaan bahaya, huru hara, konflik bersenjata, ancaman bom dan
kebakaran pada lokasi Penyelenggara.
Pemberitahuan oleh Penyelenggara disampaikan melalui Pusat Informasi
Pasar Uang (PIPU) atau sarana lainnya.
Ayat (2)
Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan sekurang-
kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal
terjadi gangguan untuk memastikan bahwa operasional BI-RTGS di
Penyelenggara tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya, yang perlu
dilakukan dalam hal RCC Back-up tidak dapat digunakan.
Pasal…
-21-
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kewajiban Peserta dalam ayat ini misalnya
kewajiban pengiriman instruksi transfer dari nasabah pengirim, kewajiban
pengembalian dana kepada Peserta pengirim, dan kewajiban pengkreditan
rekening penerima karena tidak adanya informasi telah terlaksananya
Penyelesaian Akhir.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Langkah-langkah yang diperlukan dalam ayat ini antara lain meliputi
pemberitahuan kepada nasabah mengenai adanya kerusakan/gangguan di
Sistem BI-RTGS dan pemberian alternatif penyelesaian dana yang
ditransfer apakah akan diteruskan melalui sarana lain atau diambil secara
tunai.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu dalam ayat ini antara lain
waktu yang dibutuhkan untuk menghidupkan RT Server Back-up cukup
lama sehingga Peserta tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan
transaksi tertentu, seperti transaksi penarikan tunai, transaksi dengan
pemerintah dan kewajiban antar Bank yang telah jatuh tempo, sesuai Jam
Operasional.
Pasal…
-22-
Pasal 39
Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar Penyelenggara dapat segera
menentukan langkah-langkah yang perlu diambil seperti menyampaikan
pemberitahuan kepada Peserta lainnya bahwa Peserta yang bersangkutan
tidak dapat melakukan transaksi tertentu pada suatu waktu tertentu.
Pemberitahuan ini disampaikan oleh Penyelenggara melalui administrative
message atau sarana lainnya apabila terdapat gangguan pada RCC sehingga
Penyelenggara tidak dapat mengirimkan administrative message.
Pasal 40
Ayat (1)
Pengawasan langsung berupa pemeriksaan Peserta baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan.
Pengawasan tidak langsung berupa pengawasan melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi atas laporan-laporan yang disampaikan oleh Peserta
kepada Bank Indonesia dan/atau data/informasi lain yang diperoleh Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud pihak lain adalah pihak yang memiliki keahlian dan
kompetensi antara lain di bidang audit teknologi informasi.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan keterangan dan data dalam huruf ini antara lain
data elektronik dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan
pengawasan.
Huruf…
-23-
Huruf b
Yang dimaksud dengan sarana fisik dan aplikasi pendukungnya dalam
huruf ini antara lain RT dan aplikasi RT, serta interface ke sistem
internal Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hal-hal lain yang diperlukan dalam huruf ini
antara lain salinan dokumen yang terkait dengan obyek pengawasan.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Alasan lain yang dapat dipertimbangkan oleh Penyelenggara antara
lain lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghidupkan RT Server
Back-up sehingga Peserta tidak mempunyai cukup waktu untuk
melakukan transaksi sesuai Jam Operasional.
Pasal…
-24-
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal…
-25-
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari
Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima untuk
menarik dana dari penerima dana dengan mengabaikan kebijakan dan
ketentuan internal Peserta penerima, misalnya yang terkait dengan
kewajiban meminta persetujuan dari penerima dana atau pemilik rekening
untuk mendebet kembali rekeningnya, kecuali dalam perjanjian
pembukaan rekening antara Peserta penerima dan nasabah Peserta
penerima diatur bahwa dalam hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening
nasabah Peserta penerima berhak melakukan pendebetan rekening
nasabah Peserta penerima secara langsung tanpa perlu meminta
persetujuan nasabah Peserta penerima terlebih dahulu. Hal yang sama
berlaku juga untuk penerima dana tunai.
Yang dimaksud dengan tanggal diketahuinya kesalahan adalah:
a. apabila kesalahan diketahui oleh Peserta penerima, yaitu tanggal yang
sama dengan tanggal diketemukannya kesalahan tersebut.
b. apabila kesalahan diberitahukan oleh Peserta pengirim, yaitu tanggal
pada saat Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan
rekonsiliasi…
-26-
rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut. Pelaksanaan
verifikasi dan rekonsiliasi tersebut dilakukan dalam waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sesuai dengan ketentuan ayat (8).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kewajiban Peserta pengirim merupakan konsekuensi dari kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum antara Peserta pengirim dengan nasabah
pengirim yakni untuk mengirimkan dana kepada penerima dana sesuai
instruksi transfer dari nasabah pengirim.
Ayat (5)
Penagihan kepada penerima dana yang tidak berhak merupakan tanggung
jawab Peserta pengirim karena Peserta pengirim merupakan pihak yang
pertama kali melakukan kesalahan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Yang dimaksud dengan sampai tanggal dilaksanakannya pengembalian
dana kepada Peserta pengirim adalah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum
tanggal dilaksanakannya pengembalian dana kepada Peserta pengirim.
Pasal…
-27-
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
mengenai :
a. tata cara menjadi Peserta dan perubahan status kepesertaan;
b. pedoman penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis, laporan hasil
pemeriksaan internal dan hasil security audit;
c. tata cara perpanjangan Jam Operasional;
d. biaya penggunaan Sistem BI-RTGS;
e. tata cara perhitungan bunga dan kompensasi, termasuk besarnya tingkat
kompensasi;
f. tata cara penyelesaian transaksi Sistem BI-RTGS dalam kondisi normal
dan keadaan darurat; dan
g. tata cara pengawasan langsung dan tidak langsung.
Pasal 60
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4373
DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/8/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title>
<set_date> 11 Maret 2004 </set_date>
<effective_date> 11 Maret 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/2/PBI/2002
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa sangat
diperlukan dalam rangka mendukung penerapan sistem
devisa bebas;
b. bahwa keterangan dan data yang lengkap, akurat dan tepat
waktu yang dihasilkan dari pemantauan kegiatan Lalu Lintas
Devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan
statistik;
c. bahwa statistik kegiatan Lalu Lintas Devisa terutama
statistik neraca pembayaran dan posisi investasi
internasional Indonesia merupakan faktor penting dalam
perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan di bidang
moneter, sistem pembayaran, dan perbankan;
d. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dengan Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1999 ...
-2-
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
Penduduk dan bukan Penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban
Finansial Luar Negeri antar Penduduk.
2. Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (selanjutnya disebut Perusahaan)
adalah Badan Usaha yang melakukan kegiatan usaha selain sebagai Bank
dan selain sebagai Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Aset Finansial Luar Negeri adalah aktiva Perusahaan yang merupakan
tagihan terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah,
antara lain dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan di luar negeri,
simpanan ...
-3-
simpanan pada bank di luar negeri dan pemilikan surat-surat berharga yang
diterbitkan oleh bukan penduduk;
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah pasiva Perusahaan yang
merupakan kewajiban terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing
maupun rupiah, antara lain dalam bentuk utang luar negeri dan utang
dagang kepada perusahaan di luar negeri;
5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 2
(1) Perusahaan yang melakukan kegiatan Lalu Lintas Devisa wajib
menyampaikan laporan yang berisi keterangan dan data mengenai kegiatan
Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya kepada Bank Indonesia secara
lengkap, akurat, dan tepat waktu.
(2) Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat rahasia.
Pasal 3
(1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) berlaku bagi Perusahaan yang :
a.
memiliki total aset/aktiva sekurang-kurangnya Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), atau
b. memiliki omset penjualan selama satu tahun sekurang-kurangnya
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Dalam ...
-4-
(2) Dalam hal total aset/aktiva atau omset penjualan Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengalami penurunan masing-masing menjadi
kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), Perusahaan tetap
wajib menyampaikan laporan sepanjang masih melakukan kegiatan Lalu
Lintas Devisa.
(3) Besarnya total aset/aktiva dan omset penjualan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diubah sesuai perkembangan, dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) meliputi laporan :
a. Transaksi yang mempengaruhi Aset dan atau Kewajiban Finansial
Luar Negeri,
b. Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri per akhir
periode laporan.
(2) Transaksi yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a adalah transaksi yang dilakukan tidak melalui Bank atau Lembaga
Keuangan Non Bank di dalam negeri.
BAB III
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 5
Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya, Bank
Indonesia meneliti kebenaran keterangan dan data dimaksud, termasuk meminta
bukti pembukuan, catatan, dan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Lalu
Lintas Devisa.
Pasal 6 ...
-5-
Pasal 6
Perusahaan wajib memberikan bukti pembukuan, catatan, dan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 7
(1) Perusahaan yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a secara tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap keterangan dan data yang tidak lengkap dan atau tidak
benar dan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(2) Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan
dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar ...
-6-
sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) ditambah denda
keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Bagi Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a selama 6 (enam) periode berturut-turut atau
paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi
administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 10
Bagi Perusahaan yang tidak memberikan bukti pembukuan, catatan, dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia
merekomendasikan sanksi administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin
usaha kepada instansi yang berwenang.
Pasal 11
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Desember 2002 untuk kegiatan Lalu Lintas
Devisa yang dilakukan selama bulan November 2002.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Prosedur dan tata cara pelaporan, jumlah dan tata cara pengenaan sanksi serta
keterangan dan data yang diminta, diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 13 ...
-7-
Pasal 13
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2002.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Maret 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 15
DSM
-8-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 2 /PBI/2002
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN
UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Pemerintah tetap menganut
sistem devisa bebas. Dengan demikian, setiap Penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa yang dimilikinya. Namun, mengingat
keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa selama ini belum
terpenuhi secara lengkap maka dibutuhkan suatu sistem pemantauan Lalu Lintas
Devisa. Dengan adanya sistem pemantauan tersebut memungkinkan otoritas
moneter memiliki statistik mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa secara lengkap,
akurat dan tepat waktu sehingga dapat mendukung perumusan dan peningkatan
efektivitas kebijakan dibidang moneter. Sistem pemantauan Lalu Lintas Devisa
tersebut akan mendukung penerapan sistem devisa bebas agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional.
Pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa meliputi pemantauan semua
transaksi yang menimbulkan terjadinya perpindahan aset dan kewajiban finansial
antara Penduduk dan bukan Penduduk. Disamping itu, dalam rangka memperoleh
informasi mengenai pergerakan devisa di sektor non finansial, pemantauan atas
perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk perlu pula
dilakukan. Laporan tersebut dimaksudkan terutama untuk keperluan penyusunan
statistik ...
-9-
statistik neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia dalam
rangka mendukung tercapainya stabilitas moneter.
Berkenaan dengan itu, maka untuk mewujudkan sistem pemantauan Lalu
Lintas Devisa tersebut, seluruh Perusahaan yang melakukan kegiatan Lalu Lintas
Devisa diwajibkan untuk menyampaikan laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa
yang dilakukannya kepada Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan ini,
Perusahaan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah Perusahaan
Bukan Lembaga Keuangan yang melakukan kegiatan usaha selain
sebagai Bank dan selain Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB)
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun
1998, Bank meliputi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/1999 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank, LKNB meliputi asuransi, dana pensiun,
sekuritas ...
-10-
sekuritas, modal ventura, dan Perusahaan pembiayaan, serta badan-
badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Berkenaan dengan itu, Perusahaan yang dimaksud dalam Pasal ini
meliputi :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu badan usaha milik
negara yang didirikan sesuai Undang-undang No. 9 tahun
1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 1 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara menjadi Undang-undang, dan badan usaha
lainnya yang didirikan dengan Undang-undang tersendiri yang
terdapat unsur kepemilikan negara,
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu badan usaha yang
sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah
Daerah dan,
c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yaitu badan usaha yang
tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD di atas
yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan
hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk
badan hukum.
Yang dimaksud dengan keterangan dan data meliputi antara lain
pelaku transaksi, tujuan transaksi dan nilai transaksi.
Ayat (2)
Keterangan dan data yang bersifat rahasia adalah keterangan dan
data yang bersifat individual.
Pasal 3
Ayat (1)
Penetapan besarnya total aset dan omset penjualan didasarkan pada
laporan keuangan terakhir yang telah diaudit. Dalam hal laporan
keuangan ...
-11-
keuangan yang telah diaudit belum tersedia, maka digunakan
laporan keuangan yang belum diaudit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan masih tetap melakukan kegiatan Lalu
Lintas Devisa adalah Perusahaan melakukan transaksi Lalu Lintas
Devisa dan atau memiliki Posisi Aset Finansial Luar Negeri dan
atau Kewajiban Finansial Luar Negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Transaksi yang mempengaruhi Aset dan atau Kewajiban
Finansial Luar Negeri, meliputi antara lain:
1. Penerimaan dan atau pembayaran antara Perusahaan
dengan bukan Penduduk baik dalam rupiah maupun
valuta asing, meliputi antara lain penerimaan hasil
ekspor, pembayaran impor, penarikan dan pembayaran
pinjaman luar negeri, penerimaan bunga simpanan,
penerimaan pelunasan piutang dagang, pembayaran
utang dagang, termasuk pengakuan utang/piutang dan
penyelesaiannya secara netting;
2. Penerimaan dan atau pembayaran antara Perusahaan
dengan Penduduk dalam valuta asing, meliputi antara
lain penjualan atau pembelian mata uang asing,
penerimaan dan
pembayaran dalam rangka
perdagangan barang dan jasa.
Huruf b ...
-12-
Huruf b
Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri
mencakup baik yang sudah efektif menjadi tagihan dan atau
kewajiban Perusahaan (on balance sheet) maupun yang
masih merupakan catatan atas laporan keuangan seperti
tagihan/kewajiban kontinjensi dan tagihan/kewajiban
komitmen.
Posisi Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri
didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah
diaudit. Dalam hal laporan keuangan yang telah diaudit
belum tersedia maka digunakan laporan keuangan yang
belum diaudit.
Ayat (2)
Transaksi yang dilakukan tidak melalui Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank di dalam negeri meliputi antara lain
penerimaan dan atau pembayaran melalui rekening giro Perusahaan
pada bank di luar negeri dan penyelesaian transaksi melalui
rekening antar kantor/Perusahaan.
Dalam hal transaksi dilakukan melalui Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank di dalam negeri, maka pelaporannya
dilakukan oleh Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang
bersangkutan.
Pasal 5
Dalam melakukan penelitian kebenaran keterangan dan data, Bank
Indonesia meminta klarifikasi dan atau meneliti pembukuan, catatan, dan
dokumen yang berkaitan dengan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa
Perusahaan tersebut.
Pasal 6 ...
-13-
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Perusahaan dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila laporan
Perusahaan diterima oleh Bank Indonesia melewati masa penyampaian
laporan sampai dengan berakhirnya masa keterlambatan penyampaian
laporan.
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Pasal 9
Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank
Indonesia belum menerima laporan Perusahaan sampai dengan
berakhirnya masa keterlambatan penyampaian laporan.
Sanksi administratif dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Pasal 10
Sanksi administratif dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13 ...
-14-
Pasal 13
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 4178
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/2/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 28 Maret 2002 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2002 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/4/PBI/2015
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka pengendalian moneter
khususnya pengendalian moneter berdasarkan
prinsip syariah dan untuk menjaga kecukupan
likuiditas di pasar uang antarbank berdasarkan
prinsip syariah, perlu dilakukan pengembangan
pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah
yang berfungsi dengan baik;
b. bahwa pengembangan pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagai sarana
pengelolaan risiko likuiditas diperlukan untuk
mendukung ketahanan industri keuangan syariah,
termasuk perbankan syariah;
c. bahwa untuk pengembangan pasar uang
antarbank, alternatif pemenuhan kebutuhan
likuiditas perbankan syariah melalui transaksi
pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah
perlu diperkaya dengan transaksi surat berharga
syariah dengan cara penjualan surat berharga
syariah dengan janji membeli kembali (repurchase
agreement);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Mengingat...
- 2 -
Mengingat: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG
ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah
Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Perbankan Syariah.
3. Unit...
- 3 -
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Perbankan Syariah.
4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
5. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam
rupiah maupun valuta asing.
6.
Instrumen Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan
berdasarkan prinsip syariah yang digunakan sebagai sarana
transaksi di PUAS.
7. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah
Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi
Repo Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga syariah oleh
peserta PUAS kepada peserta PUAS lainnya yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, dengan janji pembelian kembali pada
waktu tertentu yang diperjanjikan.
8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah.
BAB II
PESERTA PUAS
Pasal 2
(1) Peserta PUAS terdiri atas BUS, UUS, dan/atau BUK.
(2) Dalam melakukan transaksi di PUAS, peserta PUAS dapat
menggunakan Perusahaan Pialang.
(3) Perusahaan...
- 4 -
(3) Perusahaan Pialang hanya dapat melakukan transaksi di PUAS
untuk dan atas nama peserta PUAS.
Pasal 3
Pada saat penerbitan Instrumen PUAS:
a. BUS dan UUS dapat melakukan penempatan dana atau penerimaan
dana.
b. BUK hanya dapat melakukan penempatan dana.
BAB III
INSTRUMEN DAN TRANSAKSI PUAS
Pasal 4
(1)
Instrumen PUAS yang dapat ditransaksikan oleh peserta PUAS
adalah instrumen yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia yang mengatur mengenai instrumen PUAS.
(2) Peserta PUAS dilarang mentransaksikan Instrumen PUAS yang
belum diatur oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) BUS atau UUS dapat mengajukan usulan Instrumen PUAS selain
yang telah diatur oleh Bank Indonesia.
(2) Usulan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(3) BUS atau UUS yang mengajukan usulan Instrumen PUAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu
memperoleh fatwa mengenai kesesuaian Instrumen PUAS tersebut
dengan prinsip syariah dari Dewan Syariah Nasional.
(4) Setelah Bank Indonesia menyetujui usulan Instrumen PUAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengatur
Instrumen…
- 5 -
Instrumen PUAS tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia, yang
antara lain mencakup karakteristik dan persyaratan Instrumen
PUAS, mekanisme transaksi, penyelesaian transaksi dan pelaporan.
(5) Tata cara pengajuan usulan Instrumen PUAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 6
BUS atau UUS hanya dapat menerbitkan Instrumen PUAS setelah Bank
Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
Pasal 7
(1) Peserta PUAS wajib menggunakan surat berharga syariah dalam
Transaksi Repo Syariah.
(2) Dalam hal Peserta PUAS melakukan transaksi repurchase agreement
atas surat berharga syariah, peserta PUAS wajib melakukan
transaksi tersebut melalui Transaksi Repo Syariah.
(3) Transaksi Repo Syariah yang dilakukan di PUAS adalah Transaksi
Repo Syariah dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
(4) Mekanisme Transaksi Repo Syariah diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 8
Peserta PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia
sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan
transaksi PUAS.
BAB V…
- 6 -
BAB V
PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada peserta PUAS
untuk memastikan kepatuhan peserta PUAS terhadap pelaksanaan
peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. pemeriksaan langsung;
b. pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan; atau
c. menggunakan data hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam melakukan pemeriksaan kepada peserta PUAS, Bank
Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 10
(1) Peserta PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima
juta rupiah).
(2) Peserta PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis.
Pasal…
- 7 -
Pasal 11
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
dilaksanakan dengan mendebet rekening giro rupiah peserta PUAS pada
Bank Indonesia.
Pasal 12
Peserta PUAS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi PUAS.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret
2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah;
dan
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/1/PBI/2012 tanggal 4 Januari
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia
ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal…
- 8 -
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 87
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/4/PBI/2015
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah
satu cara pengendalian moneter yang dilakukan adalah pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah yaitu dengan pelaksanaan operasi
moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah. Dalam pelaksanaannya,
efektifitas operasi moneter syariah memerlukan pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah yang berfungsi dengan baik. Sehubungan
dengan hal tersebut, ketersediaan alternatif instrumen dan mekanisme
transaksi pada pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah
menjadi penting untuk terus dikembangkan.
Peran industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah,
yang semakin meningkat dalam membiayai pertumbuhan ekonomi
memerlukan dukungan pengelolaan likuiditas yang semakin baik.
Terbatasnya instrumen syariah untuk pengelolaan likuiditas di pasar
keuangan domestik akan meningkatkan urgensi perlunya pengembangan
pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. Salah satu upaya
untuk meningkatkan ketersediaan alternatif pengelolaan likuiditas adalah
dengan menambahkan mekanisme transaksi surat berharga syariah
dengan cara repurchase agreement (penjualan surat berharga syariah
dengan janji membeli kembali). Pada gilirannya, keberadaan pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah yang berfungsi dengan baik
diyakini berperan mendukung ketahanan industri keuangan syariah
sebagai media pengelolaan risiko likuiditas.
Instrumen...
- 2 -
Instrumen dan mekanisme transaksi di pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah telah memperoleh fatwa dan/atau opini
syariah dari otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini
syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
BUS dan UUS melakukan penerimaan dana sebagai
penerbit Instrumen PUAS.
Huruf b
BUK tidak dapat menerbitkan instrumen PUAS.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal...
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Fatwa Dewan Syariah Nasional merupakan salah satu
bahan yang dipertimbangkan Bank Indonesia dalam
menyetujui usulan Instrumen PUAS yang diajukan.
Adanya fatwa Dewan Syariah Nasional tidak serta merta
mengakibatkan Bank Indonesia menyetujui usulan
Instrumen PUAS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Surat Edaran Bank Indonesia dalam ayat ini adalah Surat
Edaran yang mengatur mengenai PUAS.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan surat berharga syariah adalah
surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, baik oleh Pemerintah maupun Korporasi, sebagai
bukti penyertaan atas kepemilikan aset surat berharga
syariah, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta
asing.
Yang...
- 4 -
Yang dimaksud dengan Korporasi adalah badan usaha
selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Teguran tertulis memuat antara lain perintah penghentian
transaksi atas Instrumen PUAS yang belum diatur oleh
Bank Indonesia.
Teguran tertulis tersebut ditembuskan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
Ayat...
- 5 -
Ayat (2)
Teguran tertulis memuat antara lain perintah penghentian
Transaksi Repo Syariah atau transaksi repurchase
agreement terkait.
Teguran tertulis tersebut ditembuskan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5693
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/4/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 27 April 2015 </set_date>
<effective_date> 27 April 2015 </effective_date>
<issued_date> 27 April 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 2 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan
Bank Umum yang lebih efektif, akurat, dan lengkap
diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur
pendukung serta semua pihak yang terkait dengan
penerapannya;
b.
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan
Bank Pelapor dalam memenuhi ketentuan pelaporan
Laporan Bulanan Bank Umum, diperlukan
penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan dari
Bank Pelapor kepada Bank Indonesia;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan kedua terhadap
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008
tentang Laporan Bulanan Bank Umum;
Mengingat…
-2-
Mengingat :
:
1.
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4962);
3.
Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN…
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008
tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4950) diubah sebagai berikut :
1. Pasal 1 angka 12 dihapus.
2. Ketentuan Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
BAB III
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 8
(1) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) setiap bulan
wajib menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) setiap bulan
wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia…
-4-
Indonesia paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) setiap triwulan
wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada
Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 23 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) setiap triwulan
wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 23 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 9
(1) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih
dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi
Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling
lambat pada tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter.
Pasal 10
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan apabila :
a. menyampaikan…
-5-
a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan;
b. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar
kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
sampai dengan tanggal 12 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
d. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3), sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
e. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan.
Pasal 11
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
3. Ketentuan…
-6-
3. Ketentuan Pasal 16 ayat (4) diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 16
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank
Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan.
(4) Kesalahan Laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampaui
batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan
paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
per Laporan.
(5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank
atau temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat
menyampaikan…
-7-
menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak diberlakukan.
(6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per
Laporan.
(7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberlakukan.
(8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4)
yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan
Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan
Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
4. Ketentuan Pasal 22A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22A
Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data
bulan Januari 2010 yang disampaikan pada bulan Februari 2010 sampai
dengan data bulan Juni 2010 yang disampaikan pada bulan Juli 2010 diatur
sebagai berikut :
a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada…
-8-
kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 20 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 25 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada
tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 10
bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
5. Ketentuan Pasal 22B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22B
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank
Pelapor dinyatakan terlambat apabila :
a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf a,
sampai dengan tanggal 21 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf b,
sampai…
-9-
sampai dengan tanggal 28 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22A huruf c, sampai dengan tanggal 15 bulan kedua setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22A huruf d, sampai dengan tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan.
6. Ketentuan Pasal 22C diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22C
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22B.
7. Di antara Pasal 22 C dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yaitu Pasal 22
D sampai dengan Pasal 22F yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22D
Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data
bulan Juli 2010 yang disampaikan pada bulan Agustus 2010 sampai dengan
data bulan Desember 2010 yang disampaikan pada bulan Januari 2011 diatur
sebagai berikut :
a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada…
-10-
kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 20 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada
tanggal 5 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 5
bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 22E
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D, Bank
Pelapor dinyatakan terlambat apabila :
a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf a,
sampai dengan tanggal 16 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D huruf b,
sampai dengan tanggal 23 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
c. menyampaikan…
-11-
c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22D huruf c, sampai dengan tanggal 10 bulan kedua setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22D huruf d, sampai dengan tanggal 10 bulan kedua setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 22F
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D, Bank
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan,
apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E.
8. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 25
(1) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dan ayat (6) mulai berlaku sejak pelaporan data bulan
Oktober 2009 yang disampaikan bulan November 2009.
(2) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 17 mulai berlaku sejak
pelaporan data bulan Juli 2010 yang disampaikan pada bulan Agustus
2010.
(3) Ketentuan…
-12-
(3) Ketentuan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 mulai berlaku bagi Bank Pelapor
yang memenuhi ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan/atau Pasal 17 sejak pelaporan bulan
Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
-13-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Februari 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 40
DSM
-14-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 2 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 2
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
untuk bulan Laporan Januari 2011 wajib disampaikan paling
lambat pada tanggal 5 Februari 2011.
Ayat (2)
Contoh :
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
untuk bulan Laporan Januari 2011 wajib disampaikan paling
lambat pada tanggal 10 Februari 2011.
Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan
dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang
bersangkutan…
-15-
bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan
Januari 2011 maka yang wajib dilaporkan adalah data akhir
Januari 2011 atau periode data tahun berjalan yang berakhir
sampai dengan akhir bulan Januari 2011.
Ayat (3)
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember atau periode data tahun berjalan
yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2011 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 23 April 2011.
Ayat (4)
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember atau periode data tahun berjalan
yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
untuk bulan Laporan Maret 2011 wajib disampaikan paling
lambat pada tanggal 23 April 2011.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup…
-16-
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Contoh :
Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan
per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 6 Februari
2011 sampai dengan tanggal 7 Februari 2011.
Huruf b
Contoh :
Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan
Laporan Januari 2011 bagi Bank yang sistem antar kantornya
belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor
Cabang dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 8 Februari 2011 sampai dengan tanggal 10 Februari
2011.
Huruf c
Contoh :
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Februari
2011 sampai dengan tanggal 12 Februari 2011.
Huruf d
Contoh :
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2011
dinyatakan…
-17-
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal
24 April 2011 sampai dengan tanggal 25 April 2011.
Huruf e
Contoh :
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 24 April
2011 sampai dengan tanggal 25 April 2011.
Pasal 11
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk
bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila
Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal
7 Februari 2011.
Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Januari 2011
bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki
lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dinyatakan tidak
disampaikan apabila koreksi Laporan disampaikan melampaui
tanggal 10 Februari 2011.
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk
bulan Laporan Januari 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila
Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal
12 Februari 2011.
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan
Anak untuk bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan tidak
disampaikan…
-18-
disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan melampaui tanggal 25 April 2011.
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk
bulan Laporan Maret 2011 dinyatakan tidak disampaikan, apabila
Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal
25 April 2011.
Angka 3
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank
A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan
Mei 2011 pada hari Selasa tanggal 7 Juni 2011.
Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan per Kantor selama 2 hari kerja, yaitu Senin
dan Selasa (tanggal 6 dan 7 Juni 2011), sehingga
Bank A dikenakan sanksi sebesar 2 hari x
Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Tanggal 5 Maret 2011 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan Laporan per Kantor data bulan
Februari 2011 pada hari Minggu tanggal 6 Maret
2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan per Kantor selama 1 hari, yaitu hari Minggu
(tanggal 6 Maret 2011). Berhubung sanksi kewajiban
membayar dikenakan per hari kerja, maka Bank A
tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Laporan…
-19-
Laporan Gabungan;
Tanggal 10 September 2011 jatuh pada hari Sabtu.
Bank A menyampaikan Laporan Gabungan data
bulan Agustus 2011 pada hari Senin tanggal 12
September 2011. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan Gabungan selama 1 hari
kerja yaitu Senin (12 September 2011), sehingga
Bank A dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian Laporan Gabungan sebesar 1 hari x
Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh :
Koreksi Laporan per Kantor;
Tanggal 5 Februari 2011 jatuh pada hari Sabtu.
Bank A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor
data bulan Januari 2011 pada hari Senin tanggal 7
Februari 2011. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor selama 1
hari kerja, yaitu Senin (tanggal 7 Februari 2011),
sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x
Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Koreksi Laporan Gabungan;
Tanggal 10 September 2011 jatuh pada hari Sabtu.
Bank A menyampaikan koreksi Laporan Gabungan
data bulan Agustus 2011 pada hari Selasa tanggal 13
September 2011. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2
hari…
-20-
hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (12 dan 13
September 2011), sehingga Bank A dikenakan
sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan
Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 =
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau
item yang seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan
per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat
kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung
berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris
yang bersangkutan.
Contoh :
Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam
satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kualitas,
Sektor Ekonomi dan Jumlah, maka dihitung sebagai
3 item kesalahan.
Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan,
maka perhitungan sanksi adalah 200 x Rp50.000,00
= Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank
hanya dikenakan sanksi maksimum, yaitu
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (4)
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat ini tidak menghilangkan kewajiban Bank
untuk menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Ayat (5)…
-21-
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal 7 Agustus 2011 jatuh pada hari Minggu.
Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data
bulan Juli 2011 pada hari Senin tanggal 8 Agustus
2011, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak
menyampaikan Laporan per Kantor sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Laporan Gabungan;
Tanggal 10 Juli 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank
A menyampaikan Laporan Gabungan data bulan
Juni 2011 pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011,
sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak
menyampaikan Laporan Gabungan sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 22A
Huruf a
Contoh :
Laporan…
-22-
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor untuk bulan Laporan Februari 2010 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Maret
2010.
Huruf b
Contoh :
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan Laporan Februari 2010
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 25
Maret 2010.
Huruf c
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan
Maret 2010 wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 10 Mei 2010.
Huruf d
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan…
-23-
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2010
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10
Mei 2010.
Angka 5
Pasal 22B
Huruf a
Contoh :
Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi
Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Februari
2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan
pada tanggal 21 Maret 2010.
Huruf b
Contoh :
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Februari
2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan
mulai dari tanggal 26 Maret 2010 sampai dengan
tanggal 28 Maret 2010.
Huruf c
Contoh :
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau
koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan
Laporan Maret 2010 dinyatakan terlambat apabila
disampaikan mulai dari tanggal 11 Mei 2010
sampai dengan tanggal 15 Mei 2010.
Huruf d…
-24-
Huruf d
Contoh :
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi
Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret
2010 dinyatakan terlambat apabila disampaikan
mulai dari tanggal 11 Mei 2010 sampai dengan
tanggal 15 Mei 2010.
Angka 6
Pasal 22C
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor untuk bulan Laporan Februari 2010 dinyatakan
tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi
Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Maret
2010.
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan Laporan Februari 2010
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 28
Maret 2010.
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Maret 2010,
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 15
Mei 2010.
Laporan…
-25-
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan Maret 2010, dinyatakan
tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi
Laporan disampaikan melampaui tanggal 15 Mei 2010.
Angka 7
Pasal 22D
Huruf a
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor untuk bulan Laporan Juli 2010 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Agustus
2010.
Huruf b
Contoh :
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2010 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Agustus
2010.
Huruf c
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan
September…
-26-
September 2010 wajib disampaikan paling lambat
pada tanggal 5 November 2010.
Huruf d
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2010
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 5
November 2010.
Pasal 22E
Huruf a
Contoh :
Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi
Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2010
dinyatakan terlambat apabila disampaikan pada
tanggal 16 Agustus 2010.
Huruf b
Contoh :
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2010
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai
dari tanggal 21 Agustus 2010 sampai dengan
tanggal 23 Agustus 2010.
Huruf c…
-27-
Huruf c
Contoh :
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau
koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan
Laporan September 2010 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai dari tanggal 6 November
2010 sampai dengan tanggal 10 November 2010.
Huruf d
Contoh :
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi
Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan
September 2010 dinyatakan terlambat apabila
disampaikan mulai dari tanggal 6 November 2010
sampai dengan tanggal 10 November 2010.
Pasal 22F
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan tidak
disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan melampaui tanggal 16 Agustus 2010.
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
untuk bulan Laporan Juli 2010 dinyatakan tidak
disampaikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan melampaui tanggal 23 Agustus 2010.
Laporan…
-28-
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2010
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 10
November 2010.
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2010,
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 10
November 2010.
Angka 8
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal II
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5113
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/2/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 5 Februari 2010 </set_date>
<effective_date> 5 Februari 2010 </effective_date>
<issued_date> 5 Februari 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/40/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Bab III Pasal 16', 'Pasal I Bab III Pasal 25' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 1 /PBI/2009
TENTANG
BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa industri perbankan nasional yang sehat dan kuat
mempunyai peranan penting dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional;
b. bahwa dalam kondisi persaingan yang semakin ketat,
industri perbankan nasional mengalami perubahan yang
sangat cepat, dinamis, dan semakin terintegrasi dalam
menciptakan sinergi dan efisiensi pengelolaan bank;
c. bahwa pengaturan kelembagaan perbankan perlu
disesuaikan agar dapat memberikan kejelasan dan
kepastian hukum dalam memenuhi tuntutan dinamika
perbankan dan meningkatkan pelayanan dan manfaat
kepada masyarakat;
d. bahwa dalam rangka mendorong terciptanya industri
perbankan yang sehat dan kuat maka perlu diterapkan
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan kelembagaan
bank;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas
dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang
Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
BANK UMUM.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut Kanwil adalah kantor Bank yang
membantu kantor pusatnya melakukan fungsi administrasi dan koordinasi
terhadap beberapa kantor cabang di suatu wilayah tertentu.
3. Kantor Cabang yang selanjutnya disebut dengan KC adalah kantor Bank
yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang
bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana KC tersebut
melakukan usahanya.
4. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disebut dengan KCP adalah
kantor di bawah KC yang kegiatan usahanya membantu KC induknya,
dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana KCP tersebut melakukan
usahanya.
5. Kantor Kas yang selanjutnya disebut dengan KK adalah kantor Bank yang
melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas
dimana KK tersebut melakukan usahanya, termasuk memberikan pelayanan
kepada nasabah baru.
6. Kantor Fungsional yang selanjutnya disebut dengan KF adalah kantor Bank
yang melakukan kegiatan operasional atau non operasional secara terbatas
dalam 1 (satu) kegiatan fungsional.
7. Kegiatan …
- 4 -
7. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disebut dengan KPK adalah
kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah
Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-pindah
dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara
tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau konter bank
non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk pelayanan pembayaran
atau penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan
pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk pembayaran tagihan
telepon, tagihan listrik, gaji pegawai dan/atau penerimaan setoran dari
pihak ketiga;
c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disebut dengan PPE
yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang dilakukan dengan
menggunakan sarana mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam
maupun di luar kantor Bank, yang dapat melakukan pelayanan antara
lain penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi
mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan
dan/atau mesin milik Bank sendiri maupun melalui kerja sama Bank
dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
termasuk dalam hal ini adalah Automatic Deposit Machine (ADM), dan
Electronic Data Capture (EDC).
8. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi …
- 5 -
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
9. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan
dan/atau operasional Bank, antara lain Kepala Divisi, Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Cabang, Kepala Kantor Fungsional yang
kedudukannya paling kurang setara dengan Kepala Kantor Cabang, Kepala
Satuan Kerja Manajemen Risiko, Kepala Satuan Kerja Kepatuhan, dan
Kepala Satuan Kerja Audit Intern dan/atau pejabat lainnya yg setara.
11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah
badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara; atau
b. memiliki …
- 6 -
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
12. Kelompok Usaha adalah :
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan, dan/atau hubungan
keuangan.
Pasal 2
Setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
Bank dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan penghimpunan
dana dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 3
Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Perusahaan Daerah; atau
c. Koperasi.
BAB II …
- 7 -
BAB II
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Pendirian Bank
Pasal 4
(1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2
(dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian Bank; dan
izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha
Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai
dilakukan.
Pasal 5
Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar
Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
Pasal 6
(1) Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Kepemilikan …
- 8 -
(2) Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar 99%
(sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip dan Izin Usaha
Pasal 7
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan paling kurang oleh salah
satu calon pemilik kepada Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan Anggaran
Dasar yang paling kurang memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Bank;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Dewan
Komisaris serta anggota Direksi; dan
6. persyaratan bahwa pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia
terlebih dahulu;
b. data kepemilikan berupa:
daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar …
- 9 -
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk badan
hukum Koperasi;
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai
dengan:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
3. riwayat hidup;
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan, dan tidak sedang tercantum dalam Daftar Tidak Lulus
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan
5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5
(lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan;
d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
e. rencana bisnis (business plan) untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling
kurang memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
2. rencana …
- 10 -
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan
selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan
kegiatan operasional;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern,
rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman
mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance;
h. sistem dan prosedur kerja;
i. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal
disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dalam bentuk
fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan
Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian
Bank yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon
anggota bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi, bahwa
setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf i:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia; dan/atau
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money
laundering).
(2) Daftar …
- 11 -
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5;
dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh
Bank Indonesia;
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat Anggaran Dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5;
3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan
hukum asing;
4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian
jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah
bagi badan hukum Koperasi;
5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal
pengajuan permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan
badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan
7. dokumen …
- 12 -
7. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh
Bank Indonesia;
c. dalam hal pemerintah, baik pusat atau daerah, wajib disertai dengan:
1. fotokopi dokumen yang menyatakan keputusan pembentukan
Pemerintah Daerah bagi Pemerintah Daerah;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5 dari pejabat yang berwenang mewakili
pemerintah;
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja; dan
4. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang diperlukan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diberikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan
ekonomi nasional; dan
c. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap
calon PSP, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi.
(3) Selain …
- 13 -
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi
kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank.
Pasal 9
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a
berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip diterbitkan.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum mendapat
izin usaha.
(3) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia
maka persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku.
Pasal 10
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip
kepada Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan:
a.
akta pendirian badan hukum, yang memuat Anggaran Dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan kepemilikan;
c. daftar …
- 14 -
c. daftar susunan Dewan Komisaris dan Direksi, disertai dengan:
1. contoh tanda tangan dan paraf;
2. identitas dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c, dalam hal terjadi perubahan; dan
3. fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal
Tetap (KITAP) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang,
bagi warga negara asing:
i. untuk anggota Direksi; dan/atau
ii. untuk anggota Dewan Komisaris yang bermaksud menetap di
Indonesia;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia atas
nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu pemilik Bank yang
bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur
Bank Indonesia;
f.
bukti kesiapan operasional yang paling kurang berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank;
dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan
(TDP);
g. surat …
- 15 -
g.
surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi Bank
yang berbentuk badan hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor
sebagaimana dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia, dan/atau
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering);
h.
surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan
tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank;
i.
surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak
merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank;
j.
surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi bahwa
yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank;
k.
surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25%
(dua puluh lima persen) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank.
Pasal 11 …
- 16 -
Pasal 11
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diberikan paling lambat 60 (enam
puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dalam hal
terdapat penggantian atas calon PSP, anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi yang diajukan sebelumnya.
Pasal 12
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib
melakukan kegiatan usaha perbankan paling lambat 60 (enam puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
belum melakukan kegiatan usaha, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak
berlaku.
Pasal 13
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata “Bank” pada penulisan namanya.
(2) Dalam …
- 17 -
(2) Dalam hal Bank menggunakan logo sebagai identitas tambahan dalam
melaksanakan hubungan hukum, Bank wajib mencantumkan nama Bank
sebagai identitas utama.
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK
Pasal 14
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
Bank dan/atau pihak lain di Indonesia; dan/atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pasal 15
(1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang
bersangkutan.
(2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran
modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum yang
bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank.
Pasal 16
Kepemilikan saham Bank oleh Pemegang Saham Pengendali dilarang diagunkan
atau dijaminkan kepada pihak lain.
Pasal 17 …
- 18 -
Pasal 17
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank wajib memenuhi syarat:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional
Bank yang sehat; dan
d. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus.
(2) Dalam hal pemilik Bank berbentuk badan hukum maka persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik maupun
pengurus dari badan hukum tersebut.
Pasal 18
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP Bank wajib memenuhi persyaratan:
a. Integritas, yang paling kurang mencakup :
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan
operasional Bank yang sehat; dan
4.
tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang
menjadi pemegang saham dan/atau Pengurus Bank dan/atau BPR;
b. Kelayakan keuangan, yang paling kurang mencakup :
1. persyaratan kemampuan keuangan;
2. pemenuhan …
- 19 -
2. pemenuhan persyaratan administratif dalam rangka penilaian
kemampuan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku; dan
3.
tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a angka 2,
Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 7, atau Pasal 7 ayat (2) huruf c angka 4.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan mengenai
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Pasal 19
(1) Pemegang saham dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan
operasional Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
pemegang saham yang juga menjadi pengurus atau karyawan Bank.
Pasal 20
Penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank dan/atau PSP tunduk kepada
tata cara penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai penggantian dan/atau
penambahan pemilik Bank dan/atau PSP yang mengakibatkan terjadinya
perubahan pengendalian.
Pasal 21 …
- 20 -
Pasal 21
Perubahan modal disetor yang disebabkan oleh adanya deviden yang dibagikan
dalam bentuk saham Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan dilakukan dilampiri
dengan:
a. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; dan
b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 22
(1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan
perubahan pengendalian, baik yang mengakibatkan maupun tidak
mengakibatkan penggantian, pengurangan, dan/atau penambahan pemilik
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah perubahan dilakukan.
(2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib
disertai dengan:
a. bukti penyetoran;
b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf g;
d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b; dan
e. akta perubahan Anggaran Dasar berikut bukti penerimaan
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dari
berwenang.
instansi yang
(3) Laporan …
- 21 -
(3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d
serta fotokopi dokumen pengalihan saham.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan perubahan komposisi kepemilikan yang
diakibatkan penggantian dan/atau penambahan pemilik karena pembelian
saham melalui bursa efek dan/atau laporan daftar pemegang saham Bank
pada posisi tertentu, apabila diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Perubahan kepemilikan saham Bank yang disebabkan oleh hibah atau waris
saham yang tidak menyebabkan perubahan modal disetor wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah perubahan dilakukan, dengan dilampiri:
a. akta hibah atau akta waris;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
b; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka
1, angka 2, angka 3, dan angka 5.
(2) Dalam hal perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyebabkan penerima hibah atau waris saham menjadi PSP maka
berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 20.
Pasal 24
(1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia …
- 22 -
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya
persetujuan perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang,
disertai dengan:
a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham; dan
b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(2) Penambahan modal bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan
Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang, disertai dengan:
a. Risalah Rapat Anggota; dan
b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang.
(3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
(1) Penerbitan saham Bank melalui penawaran umum di bursa efek (go public)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(2) Rencana penerbitan saham Bank melalui penawaran umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Pelaporan penerbitan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling kurang 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum
pelaksanaan penawaran umum, dengan dilampiri:
a. jadwal …
- 23 -
jadwal rencana pelaksanaan penawaran umum; dan
b. rencana penggunaan dana.
a.
Pasal 26
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
badan hukum Koperasi.
(2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui daftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
BAB IV
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Pasal 27
(1) Anggota Dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan:
a. Integritas, yang paling kurang mencakup :
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan
operasional Bank yang sehat; dan
4. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus.
b. Kompetensi, yang paling kurang mencakup:
1. pengetahuan …
- 24 -
1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya;
2. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang
keuangan; dan
3. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan
2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun
sebelum dicalonkan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
ketentuan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test).
Pasal 28
(1) Bank wajib menugaskan salah seorang anggota Direksi sebagai Direktur
Kepatuhan.
(2) Ketentuan mengenai Direktur Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang
Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director).
Pasal 29 …
- 25 -
Pasal 29
Susunan, jumlah dan persyaratan lain bagi anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya.
Pasal 30
(1) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menduduki
jabatannya.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan wajib
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c,
huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k.
(3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
(5) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak seluruh persyaratan terpenuhi.
(6) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku
untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(7) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi oleh Rapat
Umum Pemegang Saham dianggap belum efektif sebelum mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia.
(8) Dewan …
- 26 -
(8) Dewan Komisaris atau Anggota Direksi yang dinyatakan belum efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat membuat keputusan yang
secara hukum mengikat dan mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
(9) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
membatalkan pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris atau calon
anggota Direksi yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib
melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pembatalan pengangkatan, disertai
dengan notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau notulen Rapat
Anggota.
(10) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan notulen
Rapat Umum Pemegang Saham atau notulen Rapat Anggota.
Pasal 31
Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif,
disertai dengan alasan pemberhentian dan/atau pengunduran diri.
Pasal 32
(1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian
efektif, disertai dengan:
a. surat …
- 27 -
a. surat pengangkatan, pemberhentian, penggantian, dan/atau pemberian
kuasa sebagai Pejabat Eksekutif dari Direksi Bank atau pejabat yang
berwenang;
b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif yang baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2,
angka 3 dan Pasal 10 huruf c angka 1; dan
c. berita acara serah terima jabatan.
(2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan efektif
menduduki jabatannya apabila yang bersangkutan:
a.
b.
telah menerima surat pengangkatan dan/atau pemberian kuasa atau
dokumen lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; dan
telah melakukan serah terima jabatan.
(3) Apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki rekam jejak
negatif maka Bank wajib segera membatalkan pengangkatan yang
bersangkutan dari jabatan sebagai Pejabat Eksekutif paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
Pasal 33
(1) Penggantian sementara Pejabat Eksekutif karena:
a. adanya kekosongan jabatan dan Pejabat Eksekutif yang baru belum
diangkat atau belum efektif menjalankan tugasnya; atau
b. Pejabat Eksekutif yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas
dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal penggantian.
(2) Pelaporan …
- 28 -
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan
dokumen:
a. surat penunjukan, pemberian kuasa, berita acara serah terima jabatan
sementara sebagai Pejabat Eksekutif dari Direksi Bank atau dokumen
lain yang dapat dipersamakan dengan itu; dan
b. identitas Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 10 huruf c angka 1.
(3) Bank wajib menunjuk atau mengangkat Pejabat Eksekutif permanen
atas penggantian sementara Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penggantian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.
Pasal 34
Bank yang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing wajib mengikuti persyaratan dan
tata cara pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku.
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Pembukaan Kantor Bank di Dalam Negeri
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 35
(1) Pembukaan KC wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Rencana …
- 29 -
(2) Rencana pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia, disertai dengan:
a.
laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva 2 (dua) bulan
terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan KC;
c. hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat potensi ekonomi,
peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat
kejenuhan jumlah Bank; dan
d. rencana bisnis KC paling kurang selama 12 (dua belas) bulan.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh
pejabat selain Direksi Bank sepanjang telah diatur dalam kebijakan
mengenai pendelegasian wewenang Bank.
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c;
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan, kecukupan
permodalan dan profil risiko.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 36 …
- 30 -
Pasal 36
(1) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal izin dari
Bank Indonesia diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
tidak melaksanakan pembukaan KC, izin yang telah diterbitkan menjadi
tidak berlaku.
Paragraf 2
Pembukaan Kantor Cabang Pembantu
Pasal 37
(1) Pembukaan KCP hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan
mendapat penegasan Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan:
a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia dengan KC induknya, kecuali
dengan persetujuan Bank Indonesia; dan
b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat
kejenuhan jumlah Bank.
(4) Laporan keuangan KCP wajib digabungkan dengan laporan keuangan
kantor induknya pada hari yang sama.
Pasal 38 …
- 31 -
Pasal 38
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KCP kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan
pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan yang memuat
tingkat kejenuhan jumlah Bank.
(2) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal
penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan KCP wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan
pembukaan.
Paragraf 3
Pembukaan Kantor Kas atau Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 39
(1) Pembukaan KK atau KPK hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah kerja
Bank Indonesia dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KK atau KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Pelaksanaan pembukaan KK atau KPK wajib dilaporkan Bank kepada Bank
Indonesia dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan.
(4) Laporan keuangan KK atau KPK wajib digabungkan dengan laporan
keuangan kantor induknya pada hari yang sama, kecuali untuk kegiatan
PPE.
(5) Bank …
- 32 -
(5) Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memerintahkan
Bank untuk menunda pembukaan KK atau KPK.
(6) Tidak termasuk sebagai pembukaan KPK adalah kegiatan pameran yang
dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan hanya
menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal
pembukaan rekening.
Paragraf 4
Pembukaan Kantor Fungsional
Pasal 40
(1) Pembukaan KF hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan
mendapat penegasan Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Jenis KF terdiri dari:
a. KF yang melakukan kegiatan operasional; atau
b. KF yang tidak melakukan kegiatan operasional.
(4) KF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib menggabungkan
laporan keuangannya dengan laporan keuangan:
a. KC Bank yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja Bank Indonesia;
b. KC Bank terdekat atau Kantor Pusat Bank, apabila dalam wilayah kerja
Bank Indonesia dimana KF tersebut berada tidak terdapat KC Bank,
dengan persetujuan Bank Indonesia.
(5) Laporan keuangan KF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib
digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Pusat Bank.
(6) Bank …
- 33 -
(6) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KF kepada Bank Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pembukaan
kantor.
(7) Penyampaian rencana pembukaan KF yang bersifat operasional untuk
pemberian kredit disertai dengan diskripsi rencana bank untuk
mengutamakan pemberian kredit pada sektor produktif.
(8) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(9) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan.
Paragraf 5
Pembukaan Kantor Wilayah
Pasal 41
(1) Rencana pembukaan Kanwil wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis
Bank.
(2) Bank wajib melaporkan rencana pembukaan Kanwil kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan
pembukaan kantor, paling kurang disertai dengan dokumen yang memuat:
a. alasan pembukaan Kanwil;
b. cakupan wilayah kerja dan struktur organisasi; dan
c.
tugas dan kewenangan Kanwil.
(3) Pelaksanaan pembukaan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan
pembukaan.
(4) Pembukaan …
- 34 -
(4) Pembukaan Kanwil yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC
dengan kewenangan yang lebih luas dilakukan dengan mengikuti prosedur
pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 42
(1) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya baik yang
bersifat operasional maupun yang non operasional di luar negeri wajib
memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh KC sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang mencakup penghimpunan dana dan sistem pembayaran.
(3) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh kantor perwakilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya mencakup kegiatan pemasaran.
(4)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam waktu
1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Pimpinan Bank Indonesia
diterbitkan, dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(5) Rencana pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(6) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan
apabila:
a.
telah menjadi Bank devisa paling kurang 24 (dua puluh empat) bulan;
b. telah mencantumkan rencana pembukaan KC, kantor perwakilan, dan
jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam Rencana Bisnis Bank;
c. memenuhi …
- 35 -
c. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan modal dan profil
risiko; dan
d. mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor operasional yang
jelas.
(7) Permohonan izin membuka KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d serta hasil
studi kelayakan yang memuat paling kurang peluang pasar dan potensi
ekonomi.
(8) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor
lainnya yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan
dokumen berupa laporan keuangan gabungan 2 (dua) bulan terakhir
sebelum tanggal surat permohonan serta alasan pembukaan kantor.
(9) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan dan hasil studi kelayakan.
(10) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) dan ayat (8) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 43 …
- 36 -
Pasal 43
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pembukaan kantor, dan wajib disertai
dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara
setempat.
Bagian Ketiga
Pencantuman Nama dan Jenis Kantor Bank
Pasal 44
Bank wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis kantor Bank pada
masing-masing kantor Bank.
BAB VI
PERUBAHAN STATUS KANTOR BANK
Pasal 45
Perubahan status kantor Bank wajib memperoleh izin dari atau dilaporkan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 46
Peningkatan status kantor Bank dilakukan dengan cara memenuhi persyaratan
dan tata cara sesuai pembukaan kantor Bank yang dikehendaki.
Pasal 47 …
- 37 -
Pasal 47
(1) Penurunan status kantor Bank dari KC menjadi KCP, KK atau KPK wajib
memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Penurunan status kantor Bank dari KCP menjadi KK atau KPK wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan.
(3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau pelaporan penurunan status kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai
dengan:
a. alasan perubahan;
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban kantor Bank kepada nasabah dan pihak lainnya; dan
c. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa apabila
terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi
untuk dan atas nama Bank.
(4) Persetujuan atas permohonan atau penegasan atas pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan status kantor yang telah mendapat persetujuan atau
penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaksanakan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan atau penegasan
perubahan status.
(6) Pelaksanaan …
- 38 -
(6) Pelaksanaan perubahan status kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan perubahan status kantor dimaksud.
Pasal 48
(1) Perubahan jenis kantor dari KF menjadi KC atau KCP dilakukan dengan
mengikuti persyaratan dan tata cara pembukaan KC atau KCP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 atau Pasal 37 dan Pasal 38.
(2) Perubahan jenis kantor dari KF menjadi KK atau KPK dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK atau KPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
(3) Perubahan jenis kantor dari KC menjadi KF dilakukan dengan mengacu
pada tata cara penurunan KC menjadi KCP, KK atau KPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47.
(4) Perubahan jenis kantor dari KCP menjadi KF dilakukan dengan mengacu
pada tata cara penurunan KCP menjadi KK atau KPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK
Pasal 49
(1) Pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC wajib memperoleh izin
Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Rencana pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC wajib dicantumkan
dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Permohonan …
- 39 -
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
pemindahan alamat dilaksanakan.
(4) Permohonan izin pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor
Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang paling kurang
memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat
antar Bank, dan tingkat kejenuhan jumlah Bank.
(5) Pemindahan alamat KC yang dilakukan:
a. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia, namun berada di lokasi yang
berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a;
b. dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia yang sama, namun berada di
lokasi yang tidak berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b;
c. di luar wilayah kerja Bank Indonesia, wajib memenuhi ketentuan
penutupan KC dan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 dan Pasal 66, serta Pasal 35 dan Pasal 36.
Pasal 50
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin pemindahan alamat, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis …
- 40 -
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan
ekonomi nasional.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal pemberian izin dari Pimpinan Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan
alamat kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan
Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang.
(5) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat.
(6) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, izin yang telah diterbitkan
menjadi tidak berlaku.
Pasal 51
(1) Rencana pemindahan alamat Kanwil, KCP, KF, KK dan/atau KPK wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(2) Rencana pemindahan alamat:
a. Kanwil …
- 41 -
a. Kanwil, KCP dan KF di dalam negeri; atau
b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor
Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank;
dan/atau
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang paling kurang
memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank.
Pasal 52
(1) Pemindahan alamat Kanwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)
huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (3) huruf a.
(2) Pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)
huruf a, yang dilakukan:
a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama dan di lokasi yang
berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (3) huruf a;
b. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama dan di lokasi yang tidak
berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (3) huruf a dan huruf b;
c. di luar …
- 42 -
c. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan
penutupan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan
pembukaan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38.
(3) Pemindahan alamat KF wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. untuk KF yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur pada ayat (2) huruf a, huruf b, atau memenuhi
ketentuan penutupan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan
pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dalam hal
pemindahan KF di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya.
b. untuk KF yang tidak melakukan kegiatan operasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, persyaratan yang wajib
disampaikan berupa dokumen mengikuti persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a.
PemindaPasal 53
(1) Pemindahan alamat KCP atau KF yang melakukan kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a wajib dilaksanakan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank
Indonesia. atau KPK di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasa55
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) atau KF yang melakukan kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a wajib diumumkan
oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan induknya paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan …
- 43 -
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat KK atau KPK wajib diumumkan oleh
Bank di lokasi lama paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat KK atau KPK.
(4) Pelaksanaan pemindahan KCP atau KF yang melakukan kegiatan
operasional wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pemindahan
alamat.
(5) Pelaksanaan pemindahan alamat Kanwil, KK, KPK atau KF yang tidak
melakukan kegiatan operasional wajib dilaporkan dalam laporan realisasi
Rencana Bisnis Bank triwulanan.
(6) Pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis
kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)
huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksaanaan pemindahan alamat,
disertai dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
BAB VIII
PEMISAHAN LOKASI KANTOR PUSAT DAN
PEMINDAHAN DIVISI
Pasal 54
(1) Pemisahan Kantor Pusat Bank menjadi 2 (dua) kantor yang masing-masing
melakukan kegiatan operasional dan non operasional secara terpisah hanya
dapat dilakukan apabila kantor yang melakukan kegiatan operasional
menjadi Kantor Cabang Bank, sedangkan kantor yang tidak melaksanakan
kegiatan operasional tetap menjadi Kantor Pusat Bank.
(2) Pemisahan …
- 44 -
(2) Pemisahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh
izin Pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pemisahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia.
(4) Rencana pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
pemisahan kantor dilaksanakan disertai dengan:
a. alasan pemisahan kantor;
b. rencana lokasi kantor-kantor hasil pemisahan; dan
c. persiapan operasional kantor yang baru.
Pasal 55
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (5), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis kelayakan.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Pemisahan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal pemberian izin dari Pimpinan Bank Indonesia diterbitkan.
(4) Pelaksanaan …
- 45 -
(4) Pelaksanaan pemisahan kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan
pemisahan kantor.
(5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank
tidak melaksanakan pemisahan kantor, izin yang telah diterbitkan menjadi
tidak berlaku.
Pasal 56
(1) Pemindahan lokasi divisi/bagian dari lokasi Kantor Pusat wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pelaksanaan pemindahan.
(2) Pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
dalam 1 (satu) wilayah kerja Bank Indonesia, kecuali dengan persetujuan
Bank Indonesia.
BAB IX
PERUBAHAN NAMA, LOGO, BENTUK BADAN HUKUM,
ANGGARAN DASAR, DAN KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Perubahan Nama Bank
Pasal 57
(1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan Anggaran Dasar
terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan
permohonan …
- 46 -
permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin
usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
perubahan nama disertai dengan:
a. alasan perubahan nama; dan
b. akta perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia memberikan persetujuan tentang perubahan nama Bank paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar
yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Perubahan Logo Bank
Pasal 58
(1) Perubahan logo Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum perubahan dilakukan.
(2) Pelaksanaan perubahan logo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah pelaksanaan perubahan dengan melampirkan dokumen antara lain
berupa desain logo baru.
Bagian …
- 47 -
Bagian Ketiga
Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank
Pasal 59
(1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan persetujuan
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum Bank; dan
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan
untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan
hukum baru.
Pasal 60
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk
badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan Rapat
Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memutuskan
perubahan bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai dengan:
a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota badan
hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan
pembubaran badan hukum lama;
b. alasan perubahan bentuk badan hukum;
c. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk Anggaran Dasar;
d. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
e. daftar…
- 48 -
e. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf c dan
Pasal 10 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; dan
f. data kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf b
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), dalam hal terjadi perubahan.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi,
dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan.
(5) Dalam hal Bank tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan
prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Pasal 61
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf b, diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan:
a. akta …
- 49 -
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk Anggaran Dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan
Pasal 10 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), dalam hal terjadi perubahan; dan
d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha
dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan berita acara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5) Pelaksanaan …
- 50 -
(5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan oleh
Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Perubahan Anggaran Dasar dan Dokumen Lainnya
Pasal 62
Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap perubahan Anggaran
Dasar Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya persetujuan
atau penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang
berwenang, sepanjang perubahan Anggaran Dasar dimaksud belum disampaikan
sebagai kelengkapan dokumen dalam ketentuan ini atau ketentuan Bank
Indonesia lainnya.
Pasal 63
(1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, pada:
a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan
b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak jangka waktu yang ditetapkan atau sesuai jangka
waktu yang ditetapkan dalam ketentuan tersendiri yang mengatur mengenai
penyampaian dokumen tersebut.
Bagian …
- 51 -
Bagian Kelima
Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 64
Perubahan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan Kantor
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank
Umum mengacu kepada ketentuan mengenai Perubahan Kegiatan Usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum.
BAB X
PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 65
(1) Penutupan KC di dalam negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank
Indonesia.
(2) Rencana penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal
penutupan KC dilakukan untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 66
(1) Pemberian izin penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
penutupan KC; dan
b. persetujuan …
- 52 -
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan
penutupan KC.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib
disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 6 (enam) bulan setelah Bank memperoleh persetujuan
prinsip, dan wajib disertai dengan:
a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank
kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah
diselesaikan; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya
telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank.
(4) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada
Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban KC yang akan
ditutup.
(5) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan
persetujuan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) masing-masing diberikan dalam batas waktu paling lambat 15 (lima
belas) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap
termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 67 …
- 53 -
Pasal 67
(1) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) wajib dilaksanakan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan
oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan kantor Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal persetujuan penutupan dari Pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
penutupan.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(3) Bank tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan KC, maka
persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
tidak melaksanakan penutupan KC, maka persetujuan penutupan yang telah
diberikan menjadi tidak berlaku.
Pasal 68
(1) Rencana penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan
penutupan kantor dimaksud, disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah …
- 54 -
b. langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian
kewajiban KCP atau KF kepada nasabah dan pihak lainnya.
(2) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilakukan paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
penutupan, disertai dengan:
a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank
kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah
diselesaikan; dan
b. surat pernyataan dari pemimpin KC induknya bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban KCP atau KF kepada nasabah dan
pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di
kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin KC induk untuk dan
atas nama Bank.
(4) Rencana penutupan KK atau KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia dalam Rencana Bisnis Bank dan pelaksanaan penutupan KK atau
KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam Laporan
Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan.
Pasal 69
(1) Rencana penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tanggal
penutupan disertai dengan alasan penutupan.
(2) Pelaksanaan penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank triwulanan.
Pasal 70 …
- 55 -
Pasal 70
(1) Penutupan KC, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional diajukan
oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan:
a. alasan penutupan;
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan
c.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin
penutupan dari otoritas di negara setempat.
(3) Permohonan untuk memperoleh izin penutupan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak
bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai
dengan alasan penutupan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam
rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(5) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(6) Pelaksanaan penutupan KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal pelaksanaan penutupan, disertai dengan:
a. dokumen …
- 56 -
a. dokumen yang dapat membuktikan bahwa seluruh kewajiban Bank
kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun pasiva telah
diselesaikan; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak
lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian
hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan
c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
(7) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya
yang bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan:
a. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan
b. salinan/fotokopi izin penutupan kantor dari otoritas di negara setempat.
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN PEMEGANG SAHAM
Pasal 71
Gubernur Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank atas permintaan
pemegang saham sendiri.
Pasal 72 …
- 57 -
Pasal 72
Bank yang dapat dimintakan pencabutan izin usahanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank
Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Tindak
Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
Pasal 73
Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila
Bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh nasabah dan kreditur
lainnya.
Pasal 74
Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan persiapan pencabutan izin usaha;
b. keputusan pencabutan izin usaha.
Pasal 75
Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 huruf a diajukan oleh Direksi Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengenai
rencana penutupan Bank;
b. alasan penutupan;
c. rencana …
- 58 -
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah dan kreditur
lainnya;
d. laporan keuangan terakhir; dan
e. bukti penyelesaian pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kantor Pelayanan
Pajak untuk 3 (tiga) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan.
Pasal 76
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, Bank
Indonesia menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank,
dan mewajibkan Bank untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Bank;
b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum Bank dan rencana
penyelesaian kewajiban Bank dalam 2 (dua) surat kabar harian yang
mempunyai peredaran luas paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha Bank;
c. segera menyelesaikan seluruh kewajiban Bank; dan
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas
penyelesaian kewajiban Bank.
Pasal 77
(1) Apabila seluruh kewajiban Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
huruf c telah diselesaikan, Direksi Bank mengajukan permohonan
pencabutan izin usaha Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan
laporan yang paling kurang memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Bank;
b. pelaksanaan …
- 59 -
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Bank;
d. laporan hasil verifikasi dari kantor akuntan publik atas penyelesaian
kewajiban Bank; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah-langkah
penyelesaian kewajiban Bank telah diselesaikan dan apabila terdapat
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham.
(2) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan Surat Keputusan pencabutan
izin usaha Bank dan meminta Bank untuk melakukan pembubaran badan
hukum sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
(3) Sejak tanggal pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila dikemudian hari
masih terdapat kewajiban yang belum diselesaikan, maka segala kewajiban
dimaksud menjadi tanggung jawab pemegang saham Bank.
Pasal 78
Status badan hukum Bank hapus sejak tanggal pengumuman berakhirnya badan
hukum Bank dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAB XII
S A N K S I
Pasal 79
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22 ayat (4), Pasal 24 ayat (3),
Pasal 25 …
- 60 -
Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29,
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 35 ayat (1)
dan (2), Pasal 37 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 40 ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 41 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4), Pasal 42 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5),
Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (5), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 50
ayat (4), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 54 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 55 ayat (3),
Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1),
Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (4), Pasal 63 ayat (1),
Pasal 64, Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(4), Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 81,
Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 87 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 21, Pasal
22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat
(9) dan ayat (10), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (1),
Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 ayat (3), Pasal 40 ayat (9), Pasal 41 ayat (3),
Pasal 43 ayat (2), Pasal 47 ayat (6), Pasal 50 ayat (5), Pasal 53 ayat (4) dan
ayat (6), Pasal 55 ayat (4), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58
ayat (2), Pasal 61 ayat (5), Pasal 62 , Pasal 63 ayat (2), Pasal 67 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 68 ayat (3), Pasal 70 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 84,
Pasal 85 …
- 61 -
Pasal 85, dan Pasal 86 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kerja keterlambatan penyampaian laporan dan/atau
pemuatan pengumuman untuk setiap laporan dan/atau pengumuman;
b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan
dan/atau tidak melaksanakan pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak melaksanakan
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank
belum menyampaikan laporan atau Bank tidak menyampaikan laporan
secara lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau
pelaksanaan pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghapus
kewajiban bank untuk menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman.
(5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman
dilakukan secara gabungan maka apabila Bank dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah
laporan dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam
laporan/pengumuman gabungan.
(6) Setiap …
- 62 -
(6) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1)
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB XII
LAIN-LAIN
Pasal 80
Pengaturan bagi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan Kantor Perwakilan
dari Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam ketentuan tersendiri.
Pasal 81
(1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan Bank kepada Bank
Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia.
(2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional Bank wajib ditulis paling
kurang dalam bahasa Indonesia.
Pasal 82
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 83
(1) Rencana Bank dan/atau sebagian kantor Bank untuk melakukan kegiatan
operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur dan/atau tidak
beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan.
(2) Rencana …
- 63 -
(2) Rencana Bank untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan
kepada masyarakat.
Pasal 84
Bank wajib menyampaikan risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham, sepanjang risalah
Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud belum disampaikan sebagai
kelengkapan dokumen dalam ketentuan ini atau ketentuan Bank Indonesia
lainnya.
Pasal 85
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai jumlah dan alamat jenis-jenis
kantor atau kegiatan Bank yang berbentuk Kanwil, KC, KCP, KK/KPK, KF, dan
PPE untuk posisi tanggal 31 Desember 2008 paling lambat pada akhir triwulan
pertama tahun 2009.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB XV …
- 64 -
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
KK yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 wajib menyesuaikan kegiatannya paling lambat pada
akhir tahun 2009.
Pasal 88
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Edaran No. 11/30 UM/PU tanggal 27 Agustus 1963 perihal Penutupan
Kantor Sdr. pada hari2 jang bukan Hari Raya Resmi atau Hari Minggu;
b. Surat Edaran No. 23/3/BPPB tanggal 13 September 1990 tentang Izin
Perubahan Waktu Kerja;
c. Pasal - pasal yang berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank atas
permintaan pemegang saham sendiri bagi Bank Umum yang tidak termasuk
Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana
diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/53/KEP/DIR
tanggal 14 Mei 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan
Likuidasi Bank Umum; dan
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000
tentang Bank Umum;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 89
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar …
- 65 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 27
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/1/PBI/2009
TENTANG
BANK UMUM
UMUM
Dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional
diperlukan adanya perbankan nasional yang kuat, sehat, dan mampu beradaptasi
dengan tujuan dan arah pembangunan perekonomian. Untuk itu, perlu dilakukan
beberapa penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat
memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan
perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum
tersebut antara lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan, kepengurusan,
pembukaan kantor bank dan perluasan jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank
dan badan hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan peraturan, memberikan
dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari
Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap
Bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenang dimaksud, antara lain tetap
mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian
operasional …
- 2 -
operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah Bank,
pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana bisnis Bank,
serta kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus dan pejabat Bank.
Dari sisi industri perbankan, kondisi persaingan yang semakin tajam
memaksa perbankan nasional bergerak lebih cepat, dinamis, dan terintegrasi
dalam menciptakan peluang-peluang sinergi dan efisensi, dengan fokus kepada
perluasan produk/jasa, pasar dan jaringan, dengan tetap melakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah.
Dalam PBI ini, Bank Indonesia memberi keleluasaan dalam pembukaan
jaringan kantor Bank, khususnya untuk memperluas jangkauan pelayanan
nasabah, dengan pertimbangan bahwa perluasan jaringan kantor Bank akan dapat
meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Hal ini diharapkan tidak akan
mengganggu kondisi keuangan Bank khususnya permodalan di waktu yang akan
datang. Selain itu, secara umum perluasan jaringan kantor Bank tetap harus
memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah kantor Bank, tingkat persaingan Bank
yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional, selain
kondisi keuangan Bank sendiri.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya
merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu
terkait …
- 3 -
terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang
menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam Pasal ini
ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh
izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat.
Namun, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga
melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor
pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-
lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha Perbankan
berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini. Kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur dengan
Undang-Undang tersendiri.
Pasal 3
Huruf a
Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan
Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 4 -
Pasal 5
Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) dalam
Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai
diluar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Modal disetor bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi adalah
simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Perkoperasian.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Salah satu calon pemilik ini bertindak mewakili pemilik lainnya.
Dalam pelaksanaannya, permohonan dapat diajukan oleh PSP atau
pemegang saham mayoritas.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4 …
- 5 -
Angka 4
Salah satu hal yang harus dimuat dalam Anggaran Dasar
menyangkut kepemilikan antara lain bahwa pemegang
saham Bank harus memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf b
Data kepemilikan harus memuat secara jelas struktur
kepemilikan saham sampai dengan pemilik terakhir (ultimate
shareholders) dan beneficial owners (apabila ada).
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Termasuk dokumen yang dilampirkan dalam Riwayat
Hidup ini adalah surat keterangan atau bukti tertulis dari
perusahaan tempat bekerja sebelumnya mengenai
pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon
anggota Direksi atau bagi calon anggota Dewan Komisaris
yang mempunyai pengalaman, apabila ada.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5 …
- 6 -
Angka 5
Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan permohonan
adalah tanggal pada saat calon pemilik mengajukan
permohonan pendirian Bank.
Angka 6
Surat keterangan atau bukti tertulis tersebut dapat berupa
surat referensi.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain
meliputi organization chart, garis tanggung jawab horisontal dan
vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia paling kurang
sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis
Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang
(lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan Bank.
Huruf g
Penyusunan pedoman dan rencana sebagaimana dimaksud pada
huruf ini mengacu kepada masing-masing ketentuan yang
mengatur.
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku
pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan
digunakan untuk kegiatan operasional Bank.
Huruf i …
- 7 -
Huruf i
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka
ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara
penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Huruf j
Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan
hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan
oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau
perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau lembaga lain
yang diberikan tugas oleh pemerintah untuk
menyelamatkan Bank.
Angka 2
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 8 -
Angka 2
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada
angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk
melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur
kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank
adalah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban
menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan bagi
pemilik lain tersebut.
Angka 7 …
- 9 -
Angka 7
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada
angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk
melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas.
Surat pernyataan calon PSP berbentuk badan hukum dibuat
dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai
wewenang untuk mewakili badan hukum yang
bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan juga
oleh pemegang saham pengendali terakhir atau pihak-
pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
mengendalikan baik secara langsung maupun tidak
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate
shareholders) yang selanjutnya disebut dengan PSPT
adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung
maupun tidak langsung memiliki saham Bank dan
merupakan pengendali terakhir dari Bank dan/atau
keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan
Bank.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 10 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam
hal Pemerintah Pusat atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dalam hal Pemerintah Daerah.
Angka 4
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada
angka ini antara lain adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan kesediaannya untuk
melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kelengkapan
dan kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 11 -
Huruf c
Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Dalam hal KITAS, KITAP, atau surat izin bekerja
masih dalam proses penyelesaian, untuk sementara Bank dapat
menyampaikan surat keterangan atau bukti pengurusan dokumen
dari …
- 12 -
dari instansi berwenang. KITAS, KITAP atau surat izin bekerja
yang telah dikeluarkan oleh instansi berwenang disampaikan
pada saat melaporkan pengangkatan yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan
mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Bagi calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum maka
surat pernyataan dibuat dan disampaikan oleh direksi/pengurus yang
mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang
bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga
keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang diberikan
tugas oleh pemerintah untuk menyelamatkan Bank.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i …
- 13 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 14 -
Ayat (2)
Pencantuman nama Bank terkait dengan penggunaan logo
dimaksudkan untuk memberikan kejelasan bagi nasabah dengan pihak
siapa nasabah tersebut melakukan hubungan hukum.
Kewajiban mencantumkan nama Bank terkait dengan penggunaan
logo dalam pasal ini antara lain dalam bentuk promosi produk-produk
Bank, surat menyurat, papan nama kantor Bank.
Tidak termasuk dalam kewajiban ini adalah penggunaan logo untuk
kepentingan identitas kelompok usaha.
Pasal 14
Huruf a
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga
keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang diberikan tugas oleh
pemerintah untuk menyelamatkan Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih bagi:
a.
badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah adalah
penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi
penyertaan dan kerugian;
b. badan …
- 15 -
b. badan hukum Koperasi adalah penjumlahan dari simpanan
pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana
cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan
kerugian;
c.
badan hukum lainnya adalah perhitungan modal sendiri bersih
atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan
hukum yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Tidak termasuk pihak lain adalah otoritas atau lembaga yang berwenang
melakukan upaya penyehatan dan/atau penyelamatan Bank, termasuk
lembaga lain yang ditunjuk oleh pihak otoritas untuk melaksanakan
penyehatan dan/atau penyelamatan Bank.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak-pihak adalah perorangan dan/atau
badan hukum.
Bagi PSP yang merupakan badan hukum, pengertian PSP adalah
sampai dengan PSP terakhir dari badan hukum yang bersangkutan.
Dalam …
- 16 -
Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan
dikendalikan oleh badan hukum secara berjenjang dalam suatu
kelompok usaha maka PSP terakhir adalah perorangan atau badan
hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham
Bank dan merupakan pengendali terakhir dari keseluruhan struktur
kelompok usaha yang mengendalikan Bank.
Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang
selanjutnya disebut dengan PSPT adalah perorangan atau badan
hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham
Bank dan merupakan pengendali terakhir dari Bank dan/atau
keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank.
Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan struktur kelompok
usaha yang mengendalikan Bank tidak memiliki pengendali maka
badan hukum tersebut merupakan PSPT. Pihak-pihak yang dapat
mewakili PSPT yang berbentuk badan hukum tersebut adalah pihak-
pihak yang sesuai Anggaran Dasar berwenang mewakili badan hukum
dimaksud.
Ayat (2)
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang dimaksud pada angka ini
antara lain adalah surat pernyataan dari PSP yang menyatakan niat
baik dan kesediaannya untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan
apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19 …
- 17 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam ayat
ini adalah perubahan dalam hal nominal dan/atau prosentase
kepemilikan.
Penambahan modal disetor yang berasal dari realisasi Management
Stock Option Program (MSOP) dan penambahan modal Bank
Pembangunan Daerah (BPD) dapat dilaporkan secara triwulanan.
Ayat (3)
Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal
disetor antara lain disebabkan karena jual beli, hibah atau waris saham
di antara pemilik lama, dan pembelian langsung saham Bank yang
bukan perusahaan publik (bukan Tbk).
Ayat (4) …
- 18 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya antara lain
adalah:
a. Ketentuan …
- 19 -
a. Ketentuan tentang Good Corporate Governance bagi Bank Umum;
dan
b. Ketentuan tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program
Alih Pengetahuan.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota
Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya.
Khusus bagi anggota Direksi Bank yang menjadi Direktur Kepatuhan
(Compliance Director), tata cara persetujuan anggota Direksi
dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang
Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
antara lain adalah:
a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; dan
c. Ketentuan perundang-undangan lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 20 -
Ayat (6)
Dengan adanya ketentuan ini maka pengangkatan calon anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi wajib dilakukan paling lambat
6 bulan setelah diperolehnya persetujuan Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri
efektif adalah setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang
bersangkutan mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota, serah terima jabatan atau sebagaimana mekanisme
yang diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 21 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memiliki track record negatif antara lain
adalah:
1.
2.
termasuk dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test); dan
termasuk dalam Daftar Kredit Macet (DKM);
Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet adalah daftar pengawasan
bank yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia.
Informasi sebagai dasar penilaian track record dapat berasal dari hasil
pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Kekosongan jabatan dapat terjadi antara lain karena Pejabat
Eksekutif yang sebelumnya pindah tugas, mengundurkan diri,
diberhentikan, atau berhalangan tetap.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan tugas antara
lain karena yang bersangkutan menjalani cuti, menjalankan
ibadah haji, mengikuti pendidikan, atau sakit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34 …
- 22 -
Pasal 34
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal ini antara lain
adalah:
a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan
pelaksanaannya;
b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan
pelaksanaannya; dan
c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa
maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional
gedung kantor dapat berupa perjanjian sewa menyewa gedung
kantor. Perjanjian sewa menyewa dapat disampaikan kemudian
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).
Huruf c …
- 23 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Rencana bisnis dimaksud paling kurang memuat rencana
penghimpunan dan penyaluran dana, strategi pencapaiannya dan
proyeksi keuangan KC.
Ayat (4)
Dalam hal Bank memiliki KC yang tidak bertanggung jawab secara
langsung kepada Kantor Pusat, maka pertanggungjawaban KC dan
mekanisme pendelegasian wewenang harus diatur dengan jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan untuk meneliti kesiapan pembukaan kantor dan
kebenaran dokumen yang disampaikan.
Pemeriksaan Bank Indonesia berkaitan dengan persiapan
operasional dapat mencakup antara lain lokasi KC, bukti
kepemilikan/sewa gedung, kesiapan ruangan termasuk ruang
khasanah, daftar aktiva tetap inventaris, struktur organisasi
kantor cabang dan sumber daya manusia, informasi mengenai
jaringan telekomunikasi, dan warkat yang akan dipergunakan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 24 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
KK atau KPK berfungsi secara terbatas sebagai sarana pembayaran
dan penyetoran dalam hal pelayanan penyediaan dana (misalnya
pencairan kredit kepada nasabah) dan/atau penghimpunan dana dari
nasabah. Dengan demikian, KK atau KPK tidak berwenang untuk
melakukan analisis dan membuat keputusan dalam proses penyediaan
dana (pemberian kredit) kepada nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 25 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh kegiatan operasional yang dilakukan oleh Kantor
Fungsional antara lain loan center dan card center.
Huruf b
Contoh kegiatan non operasional yang dilakukan oleh Kantor
Fungsional antara lain kantor perwakilan pemasaran dan IT
center.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 26 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Mengingat pada dasarnya Kanwil melakukan fungsi
administratif dan koordinatif, maka apabila Kanwil juga diberi
kewenangan untuk memberikan persetujuan atas penyediaan
dana yang dilakukan oleh KC yang berada di bawah
koordinatornya, kewenangan dimaksud wajib dicantumkan
dalam dokumen yang memuat tugas dan kewenangan Kanwil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 27 -
Ayat (4)
Dengan demikian maka ketentuan Bank Indonesia yang berlaku bagi
KC berlaku bagi jenis Kanwil yang melakukan kegiatan operasional.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup Jelas.
Pasal 44
Pencantuman nama dan jenis kantor Bank dapat dilakukan antara lain
melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan kantor Bank
agar mudah terlihat oleh nasabah.
Contoh :
1. PT Bank XXX
Kantor Cabang YYY
2. PT Bank XXX
Kantor Cabang Pembantu YYY
Pasal 45
Yang dimaksud dengan perubahan status kantor Bank adalah peningkatan
atau penurunan jenis kantor Bank. Secara struktural hirarki jenis kantor
Bank diurut dari yang paling tinggi ke yang paling rendah setelah Kantor
Pusat …
- 28 -
Pusat adalah Kanwil, KC, KCP, dan KK. Sedangkan KF dapat mempunyai
hirarki pertanggungjawaban tersendiri sesuai fungsi kegiatannya, meskipun
secara administratif dan pembukuan menginduk kepada KC.
Pasal 46
Contoh:
Peningkatan status dari KCP menjadi KC dilakukan dengan cara memenuhi
persyaratan pembukaan KC. Selanjutnya, Bank Indonesia akan menerbitkan
izin sebagai KC dan dengan diterbitkannya izin dimaksud maka status
kantor Bank berubah dari KCP menjadi KC tanpa perlu dilakukan
penutupan KCP.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dengan disetujuinya permohonan penurunan status KC menjadi KCP,
KK atau KPK maka izin KC dicabut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48 …
- 29 -
Pasal 48
Ayat (1)
Contoh:
Perubahan jenis Kantor Fungsional Loan Center menjadi KC
dilakukan dengan mengikuti persyaratan dan tata cara pembukaan KC.
Selanjutnya, Bank Indonesia akan menerbitkan izin sebagai KC dan
dengan diterbitkannya izin dimaksud maka status kantor Bank
berubah dari KF menjadi KC tanpa perlu dilakukan penutupan KF.
Ayat (2)
Contoh:
Perubahan jenis Kantor Fungsional Loan Center menjadi KK atau
KPK dilakukan dengan mengacu tata cara penurunan KCP menjadi
KK atau KPK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Dalam hal Bank akan memindahkan alamat Kantor Pusat ke lokasi
yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai KC maka
pemindahan alamat kantor pusat memenuhi ketentuan dalam ayat ini
sedangkan untuk KC di lokasi yang lama memenuhi ketentuan
pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
Ayat (2) …
- 30 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa
maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional
gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa
gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank
melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan lokasi yang berdekatan adalah lokasi
dalam jarak sekitar radius 5 km.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 50 …
- 31 -
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat
kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 32 -
Ayat (3)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa
maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional
gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan untuk melakukan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat (4), ayat (5),
atau ayat (6), sesuai dengan jenis kantor yang pindah.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan lokasi yang berdekatan adalah lokasi
dengan jarak paling jauh 5 km dari lokasi awal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53 …
- 33 -
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman pelaksanaan pemindahan alamat KPK dapat
ditempelkan di tempat yang mudah dilihat oleh nasabah Bank seperti
di kaca depan kantor atau di mesin ATM.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Contoh :
Apabila lokasi KC Bank yang berasal dari pemisahan Kantor Pusat
tersebut berada pada lokasi yang sama dengan Kantor Pusat, KC
dimaksud dapat disebut dengan nama Kantor Cabang Utama (KCU).
Ayat (2) …
- 34 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemisahan kantor dan
kebenaran dokumen yang disampaikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan Bank Indonesia memuat persetujuan pemisahan kantor
dan pemberian izin pembukaan KC baru. Izin pembukaan KC
dimaksud diberikan secara otomatis karena kegiatan KC tersebut
merupakan konversi dari kegiatan operasional yang selama ini telah
dilakukan oleh Kantor Pusat Bank. Dengan dikeluarkannya izin
pembukaan KC baru tersebut maka Kantor Pusat Bank tidak lagi
melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC.
Ayat (3) …
- 35 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam perubahan nama dimaksud adalah
pencantuman atau penghapusan status Tbk. di belakang nama Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59 …
- 36 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Ketentuan mengenai materi, tata cara dan penilaian terhadap
calon PSP, calon anggota dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 37 -
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Ketentuan mengenai materi, tata cara dan penilaian terhadap
calon PSP, calon anggota dewan Komisaris dan calon Direksi
tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Laporan perubahan Anggaran Dasar oleh Bank kepada Bank Indonesia
disertai dengan fotokopi perubahan Anggaran Dasar.
Yang dimaksud dengan ketentuan ini atau ketentuan Bank Indonesia
lainnya antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 57, Pasal 60, Pasal 61
ketentuan ini atau ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi
dan akuisisi Bank Umum.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64 …
- 38 -
Pasal 64
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha
perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak
lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca
KC yang menunjukkan seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan
pihak lain telah diselesaikan.
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain
baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk:
a. Penitipan …
- 39 -
a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh
nasabah;
b. Pengalihan kredit kepada pihak lain termasuk kantor pusat
atau Kantor Cabang lainnya;
c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
d. Dokumen lain yang mendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain.
Huruf a …
- 40 -
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain
baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk:
a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh
nasabah;
b. Kredit telah dialihkan kepada pihak lain termasuk kantor
pusat atau Kantor Cabang lainnya;
c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
d. Dokumen lain yang mendukung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 41 -
Ayat (5)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat
dilakukan setelah adanya izin dari Bank Indonesia.
Ayat (6)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak
lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca
Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat
operasional yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang dan
jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional kepada nasabah
dan pihak lain telah selesai.
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank kepada pihak lain
baik dari sisi aktiva maupun pasiva dapat berbentuk:
a. Penitipan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh
nasabah;
b. Pengalihan kredit kepada pihak lain termasuk kantor pusat
atau Kantor Cabang lainnya;
c. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
d. Dokumen lain yang mendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7) …
- 42 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup Jelas
Pasal 75
Huruf a
Risalah RUPS atau Rapat Anggota paling kurang memuat keputusan
yang menyetujui pembubaran badan hukum dan memerintahkan
kepada direksi untuk menyelesaikan kewajiban Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d …
- 43 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 76
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam penyelesaian kewajiban dimaksud antara lain
penyelesaian kewajiban kepada nasabah kreditur, pembayaran gaji
terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak terhutang dan biaya-biaya
lain yang relevan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 44 -
Huruf c
Termasuk penyelesaian kewajiban Bank adalah berupa
penyediaan dana tunai yang dititipkan pada Bank Umum di
Indonesia dalam rangka penyelesaian kewajiban pajak yang
masih terutang dan dana nasabah yang belum diambil.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka mengeluarkan surat permohonan pencabutan izin usaha
Bank Indonesia memperhatikan hasil pemeriksaan terhadap Bank
yang bersangkutan untuk memastikan ketaatan terhadap pelaksanaan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan segala kewajiban kepada nasabah dalam ayat
ini antara lain adalah kewajiban kepada debitur dalam hal masih ada
agunan yang dikuasai oleh Bank, atau kewajiban di bidang
perpajakan.
Pasal 78
Cukup Jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 45 -
Ayat (2)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah
disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau
dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya.
a. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal:
b. Stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T.
Pos Indonesia; atau
c. Penerimaan laporan di Kantor Bank Indonesia, apabila laporan
disampaikan secara langsung oleh Bank atau dikirimkan melalui
perusahaan jasa pengiriman selain P.T. Pos Indonesia.
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar = jumlah hari keterlambatan x
Rp1.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar = Rp30.000.000,00 x jumlah
laporan/ pengumuman.
Bank yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak
dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 46 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ayat ini maka petunjuk dan dokumen operasional Bank
dapat ditulis dengan lebih dari 1 (satu) bahasa dimana salah satunya
adalah bahasa Indonesia.
Pasal 82
Termasuk dalam hal ini adalah dokumen yang dikeluarkan oleh instansi
terkait atau pihak ketiga.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Yang dimaksud dengan ketentuan ini atau ketentuan lainnya antara lain
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 60 dan Pasal 75 ketentuan ini atau
ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi Bank
Umum.
Pasal 85 …
- 47 -
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Dalam pelayanan penyediaan dana kepada nasabah, KK hanya berfungsi
secara terbatas sebagai sarana pembayaran. Dengan demikian, KK tidak
berwenang untuk melakukan analisis dan membuat keputusan dalam proses
penyediaan dana kepada nasabah.
Penyesuaian kegiatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan status KK
menjadi KCP sebagaimana diatur dalam Pasal 45 atau dengan
menyesuaikan kegiatannya sebagai sarana pembayaran.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4976
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/1/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 27 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2009 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '32/53/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '2/27/PBI/2000', '11/30UM/PU|SE/1963', '23/3/BPPB|SE/1990' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/21/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan
dana untuk mendorong pembangunan ekonomi dan
penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta
tersedianya informasi kualitas debitur yang dapat
diandalkan, diperlukan adanya sistem informasi debitur
yang lengkap, akurat, terkini dan utuh;
b. bahwa untuk mendukung tersedianya informasi debitur
yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh, serta untuk
meningkatkan disiplin pasar, diperlukan penyempurnaan
terhadap penyelenggaraan sistem informasi debitur;
c. bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Bank_Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan tanggal 18 Oktober 2013
tentang Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka
Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
bekerjasama dan berkoordinasi terkait pertukaran
informasi Lembaga Jasa Keuangan serta pengelolaan
sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan;
-2-
d. bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan tanggal 3 Desember 2015
tentang Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka
Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Informasi
Debitur, Bank Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penyempurnaan ketentuan terkait
Sistem Informasi Debitur di Bank_Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank_Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007
TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 143, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4784) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum adalah bank umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah bank perkreditan rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan.
3. Lembaga Keuangan Non-Bank adalah lembaga
keuangan yang meliputi asuransi, dana pensiun,
sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat.
4. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank adalah
perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai
perusahaan pembiayaan, yang melakukan kegiatan
usaha kartu kredit.
-4-
5. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang
menjalankan usaha simpan pinjam sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perkoperasian.
6. Pelapor adalah Bank Umum, BPR, Lembaga Keuangan
Non-Bank, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,
dan Koperasi Simpan Pinjam, yang meliputi kantor
yang melakukan kegiatan operasional, antara lain:
a. kantor pusat;
b. kantor cabang;
c. unit syariah;
d. kantor cabang bank asing; dan
e. kantor cabang pembantu bank asing,
yang menyampaikan Laporan Debitur.
7. Debitur adalah perorangan, perusahaan, atau badan
yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan
dana.
8.
Informasi Debitur adalah informasi dalam Sistem
Informasi Debitur yang antara lain berupa data
Debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas Penyediaan
Dana yang diterima Debitur, agunan, penjamin, dan
kolektibilitas.
9. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan adalah
lembaga pengelola informasi perkreditan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
lembaga pengelola informasi perkreditan.
10. Laporan Debitur adalah informasi yang disajikan dan
dilaporkan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia
menurut tata cara dan bentuk laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
11. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang
menyediakan informasi Debitur yang merupakan hasil
olahan dari Laporan Debitur yang diterima
Bank_Indonesia.
-5-
12. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Pelapor
baik dalam Rupiah maupun valuta asing, dalam
bentuk Kredit, Surat Berharga, Penempatan,
Penyertaan Modal, Penyertaan Modal Sementara,
Tagihan Lainnya, dan Transaksi Rekening
Administratif, serta bentuk penyediaan dana lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
13. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Pelapor dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan
anjak piutang; dan/atau
c. pengambilalihan atau pembelian Kredit dari pihak
lain.
14. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel,
obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya,
atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari
penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan
dalam pasar modal dan pasar uang.
15. Penempatan adalah penanaman dana Pelapor pada
bank lain dalam bentuk giro, interbank call money,
deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit, dan
penanaman dana lainnya yang sejenis.
-6-
16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Pelapor
dalam bentuk saham pada bank dan/atau
perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti
perusahaan sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity options)
atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor
memiliki atau akan memiliki saham pada bank
dan/atau perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan lainnya.
17. Penyertaan Modal Sementara adalah Penyertaan
Modal oleh Pelapor dalam perusahaan Debitur untuk
mengatasi kegagalan Kredit (debt to equity swap),
termasuk penanaman dalam bentuk surat utang
konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity
options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat
Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada
perusahaan Debitur.
18. Tagihan Lainnya adalah tagihan Pelapor kepada pihak
lain antara lain berupa Surat Berharga yang dibeli
dengan janji dijual kembali (reverse repo), tagihan
akseptasi, dan tagihan derivatif.
19. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban
komitmen dan kontinjensi yang antara lain berupa
penerbitan jaminan, letter of credit (LC), standby letter
of credit (SBLC), dan/atau kewajiban komitmen dan
kontinjensi lain.
2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online.
-7-
(2) Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat disampaikan melalui:
a. kantor Pelapor yang bersangkutan; atau
b. kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari
Pelapor dimaksud,
dengan tetap menggunakan sandi kantor Pelapor yang
bersangkutan.
(3) Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam
menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline.
(4) Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur secara offline sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah batas akhir periode penyampaian
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
dengan surat pemberitahuan tertulis kepada Bank
Indonesia dengan dilampiri dokumen pendukung dari
instansi yang terkait dengan kondisi gangguan
dimaksud.
(5) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara
offline apabila menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force
majeure) sehingga tidak memungkinkan untuk
menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur secara online dan offline sampai
dengan batas akhir periode penyampaian Laporan
Debitur dan/atau koreksi atas Laporan Debitur, wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia untuk memperoleh pengecualian
penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur.
-8-
3. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan kepada Kantor
Pusat Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Pelapor melakukan kegiatan operasional di
luar wilayah Indonesia maka Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dan
disampaikan oleh kantor pusat Pelapor.
(3) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (3) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dan ayat (6), wajib
disampaikan kepada:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengawasan Informasi Perkreditan
Nasional Jl._M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350,
bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia
setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur terdiri atas:
a. Pelapor;
b. Debitur;
c. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan; atau
d. pihak lain.
-9-
5. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 25A dan Pasal 25B yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25A
(1) Pelapor wajib menyampaikan informasi kepada
Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam
Sistem Informasi Debitur.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui sarana antara lain
formulir, surat elektronik (e-mail), dan pesan singkat
(short messages service).
Pasal 25B
(1) Dalam hal Pelapor menerima pengaduan Debitur
terkait Informasi Debitur dalam Sistem Informasi
Debitur, Pelapor
wajib menindaklanjuti dan
menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan
pengaduan.
(2) Pelapor wajib menginformasikan batas waktu
penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Debitur.
(3) Dalam hal Pelapor telah menyelesaikan pengaduan
Debitur, Pelapor wajib menginformasikan hasil
penyelesaian pengaduan dimaksud kepada Debitur
secara tertulis dan/atau menggunakan sarana
teknologi informasi sesuai permintaan Debitur.
wajib
(4) Pelapor
mengadministrasikan
pengaduan yang diterima.
seluruh
-10-
(5) Pelapor wajib melaporkan pengaduan Debitur dan
tindak lanjut penyelesaian pengaduan Debitur kepada
Bank Indonesia secara triwulanan paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) setelah akhir triwulan yang
disampaikan kepada Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan c.q. Tim Layanan Informasi
Perkreditan dan Penanganan Pengaduan, Jl. M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10350.
(6) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari
libur, penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
6. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1) Pelapor wajib menunjuk petugas pelaksana dan/atau
pejabat yang bertanggung jawab dalam:
a. menyampaikan Laporan Debitur;
b. melakukan verifikasi Laporan Debitur; dan
c. mengajukan permintaan dan menerima informasi
Debitur.
(2) Pelapor wajib membuat user-id petugas yang ditunjuk
untuk menyampaikan Laporan Debitur, mengajukan
permintaan, dan menerima informasi Debitur.
(3) Pelapor wajib menyampaikan daftar pihak yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan sejak
Bank Indonesia memberikan user-id dan password
web Sistem Informasi Debitur.
-11-
(4) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak yang
ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan/atau pejabat
yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pelapor wajib menghapus user-id
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
menyampaikan perubahan daftar dimaksud paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya
perubahan.
(5) Daftar pihak yang ditunjuk sebagai petugas
pelaksana dan/atau pejabat yang bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
disampaikan kepada Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan c.q. Tim Layanan Informasi
Perkreditan dan Penanganan Pengaduan, Jl. M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10350.
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf a dan Pasal 15 dikenakan sanksi kewajiban
membayar dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak
sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu
rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,
Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan
Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak
sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah)
untuk setiap kantor Pelapor.
-12-
8. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1) Pelapor yang menyampaikan Laporan Debitur atau
koreksi Laporan Debitur secara offline yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 17 ayat
(3) dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap
kantor Pelapor; dan
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,
Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi
Simpan Pinjam sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap
kantor Pelapor.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal:
a. Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur
secara offline atas dasar temuan Bank Indonesia;
dan/atau
b. Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur
secara offline yang disampaikan melampaui akhir
bulan setelah bulan Laporan Debitur yang
bersangkutan.
(3) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan Debitur secara offline melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5)
dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk
setiap kantor Pelapor; dan
-13-
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,
Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi
Simpan Pinjam sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk
setiap kantor Pelapor.
(4) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
koreksi Laporan Debitur secara offline melampaui
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling
banyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam
ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor;
dan
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,
Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi
Simpan Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh
lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan,
paling banyak sebesar Rp900.000,00 (sembilan
ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor.
9. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 33A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33A
Pelapor yang menolak permintaan Debitur yang ingin
memperoleh Informasi Debitur atas nama Debitur yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1), dikenakan sanksi teguran tertulis.
-14-
10. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Pelapor yang tidak menyampaikan informasi kepada
Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam
Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25A ayat (1), dikenakan sanksi teguran
tertulis.
(2) Pelapor yang tidak menindaklanjuti dan
menyelesaikan pengaduan Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25B, dikenakan sanksi teguran
tertulis.
11. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 mulai berlaku 9
(sembilan) bulan sejak batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Pengenaan sanksi bagi Pelapor baru hasil merger atau
konsolidasi mulai berlaku 3 (tiga) bulan sejak
diberikannya user-id dan password Web Sistem
Informasi Debitur.
(3) Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 mulai berlaku
sejak diberikannya akses Web Sistem Informasi
Debitur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-15-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 195
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/21 /PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR
I. UMUM
Kelancaran proses penyediaan dana dan penerapan manajemen risiko
kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas Debitur yang
diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh Sistem Informasi Debitur
yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh, terutama mengenai Debitur yang
sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Untuk kepentingan
manajemen risiko, Sistem Informasi Debitur dibutuhkan untuk
menentukan profil Kredit Debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas
Debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas
Debitur di antara Pelapor.
Berdasarkan Keputusan Bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor
15/1/KEP.GBI/2013
PRJ-11/D.01/2013
tanggal 18 Oktober 2013 tentang
Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pelaksanaan Tugas Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan bekerjasama dan berkoordinasi terkait pertukaran informasi
Lembaga Jasa Keuangan serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan
perusahaan pembiayaan.
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Bersama Bank_Indonesia dan
5 tanggal 3 Desember 2015 tentang
Otoritas Jasa Keuangan
17/3/NK/GBI/2015
PRJ-50A/D.01/2015
Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Pengelolaan dan Pengembangan
Sistem Informasi Debitur, Bank Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penyempurnaan ketentuan terkait Sistem Informasi
- 2 -
Debitur di Bank Indonesia, dan Bank Indonesia melakukan penerbitan
ketentuan.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
Sistem Informasi Debitur yang menghasilkan informasi Debitur yang
lengkap, akurat, terkini dan utuh maka diperlukan penyempurnaan
ketentuan mengenai sistem informasi debitur yang meliputi perubahan
cakupan pelapor, pelaksanaan pengawasan, penyesuaian sanksi, serta
penyempurnaan tata cara pelaporan atau permintaan Informasi Debitur.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online”
adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara mengirim
atau mentransfer rekaman data Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara langsung
melalui jaringan telekomunikasi ekstranet Bank
Indonesia atau melalui jaringan telekomunikasi lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur secara online, antara lain gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan pemadaman listrik.
Yang dimaksud dengan “penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara offline”
adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan
menyampaikan rekaman data Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada Bank
Indonesia antara lain dalam bentuk compact disc.
Ayat (4)
Dokumen pendukung dari instansi yang terkait dengan
kondisi gangguan teknis antara lain surat dari penyedia
jaringan telekomunikasi dalam hal Pelapor mengalami
gangguan telekomunikasi atau surat dari penyedia
jaringan listrik dalam hal Pelapor mengalami
pemadaman listrik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force
majeure)” antara lain kebakaran, kerusuhan massa,
perang, konflik bersenjata, sabotase, serta bencana
alam seperti banjir dan gempa bumi yang mengganggu
kegiatan operasional Pelapor.
Angka 3
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 20
Cukup jelas.
- 4 -
Angka 5
Pasal 25A
Cukup jelas.
Pasal 25B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mengadministrasikan” adalah
melakukan penatausahaan atas setiap pengaduan baik
yang dimintakan secara tertulis, lisan, atau
menggunakan sarana elektronik. Penatausahaan
tersebut dapat menggunakan sarana teknologi
informasi.
Ayat (5)
Pelaporan dilakukan dalam bentuk laporan tertulis
yang disampaikan oleh setiap kantor Pelapor melalui
kantor pusat Pelapor yang bersangkutan.
Laporan berkala pengaduan Debitur dan tindak lanjut
penyelesaian pengaduan Debitur disampaikan oleh
Pelapor kepada Bank Indonesia antara lain berupa
nama Debitur, tanggal pengaduan, ringkasan
permasalahan dan penyelesaiannya, dan jangka waktu
penyelesaian.
Laporan berkala pengaduan Debitur dan tindak lanjut
penyelesaian pengaduan Debitur untuk periode
triwulan I disampaikan paling lambat pada tanggal 10
April, periode triwulan II disampaikan paling lambat
pada tanggal 10 Juli, periode triwulan III disampaikan
paling lambat pada tanggal 10 Oktober, dan periode
triwulan IV disampaikan paling lambat pada tanggal 10
Januari.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 5 -
Angka 6
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Huruf a
Contoh:
Apabila 1 (satu) kantor cabang Bank Umum
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei
2016 pada hari Senin tanggal 20 Juni 2016, kantor
cabang Bank Umum dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 6
(enam) hari kerja sehingga kantor cabang Bank Umum
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6
(enam) hari kerja x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
= Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah).
Apabila 1 (satu) Pelapor kantor cabang Bank Umum
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei
2016 pada hari Senin tanggal 22_Agustus 2016, kantor
cabang Bank Umum dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 48
(empat puluh delapan) hari kerja, sehingga kantor
cabang Bank Umum dikenakan sanksi sebesar
Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah).
Huruf b
Contoh:
Apabila kantor pusat BPR menyampaikan koreksi
Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin
tanggal 20 Juni 2016, kantor pusat BPR dinyatakan
terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
selama 6 (enam) hari kerja sehingga kantor pusat BPR
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6
(enam) hari kerja x Rp25.000,000 (dua puluh lima ribu
rupiah) = Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu
rupiah).
- 6 -
Apabila kantor pusat BPR menyampaikan koreksi
Laporan Debitur bulan Mei 2016 pada hari Senin
tanggal 22 Agustus 2016, kantor pusat BPR dinyatakan
terlambat 48 (empat puluh delapan) hari kerja,
sehingga kantor pusat BPR tersebut dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp900.000,00 (sembilan
ratus ribu rupiah).
Angka 8
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Satu kantor cabang Bank Umum mengalami
gangguan teknis sampai dengan hari Selasa
tanggal 12 Juli 2016 dan upaya penyampaian
koreksi Laporan Debitur secara online tidak dapat
dilakukan. Koreksi Laporan Debitur disampaikan
secara offline pada hari Senin tanggal 18 Juli 2016
sehingga terlambat dari batas waktu yang
ditetapkan yaitu pada hari Jumat tanggal 15 Juli
2016 (3 (tiga) hari kerja setelah tanggal 12 Juli
2016). Terhadap hal tersebut, kantor cabang Bank
Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 1 (satu) hari kerja x Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
- 7 -
Huruf b
Contoh:
Satu kantor cabang BPR mengalami gangguan
teknis sampai dengan hari Selasa tanggal 12 Juli
2016 dan upaya penyampaian koreksi Laporan
Debitur secara online tidak dapat dilakukan.
Koreksi Laporan Debitur disampaikan secara
offline pada hari Senin tanggal 18 Juli 2016
sehingga terlambat dari batas waktu yang
ditetapkan yaitu pada hari Jumat tanggal 15 Juli
2016 (3 (tiga) hari kerja setelah tanggal 12 Juli
2016). Terhadap hal tersebut, kantor cabang BPR
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
1_(satu) hari kerja x Rp25.000,00 (dua puluh lima
ribu rupiah) = Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu
rupiah).
Angka 9
Pasal 33A
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 34A
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor
yang baru memulai kegiatan operasional atau baru
menjadi Pelapor setelah dikeluarkannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5933
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/21/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR </reg_title>
<set_date> 3 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Oktober 2016 </issued_date>
<changed_reg> '9/14/PBI/2007' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 30', 'Pasal I Angka 8 Pasal 32', 'Pasal I Angka 9 Pasal 33A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 34A', 'Pasal I Angka 11 Pasal 35' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/11/PBI/2004
TENTANG
SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA
DAN PASAR UANG ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung program penjaminan
pemerintah diperlukan penetapan jaminan terhadap kewajiban
pembayaran bank umum;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter khususnya
kebijakan suku bunga diperlukan upaya penyelarasan struktur
suku bunga melalui penyesuaian terhadap dasar perhitungan
penetapan maksimum suku bunga penjaminan pihak ketiga
dalam Rupiah maupun valuta asing;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan
penyempurnaan ketentuan maksimum suku bunga simpanan
pihak ketiga dalam Rupiah maupun valuta asing sebagaimana
diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas
Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Perubahan
Surat …
- 2 -
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak
Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor
4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SUKU BUNGA
PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR
UANG ANTAR BANK.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang berbadan hukum Indonesia dan
menjadi peserta program penjaminan ;
2. Simpanan Pihak Ketiga adalah dana dalam Rupiah dan valuta asing yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
3 Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam
meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya;
4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek;
5. Bank-bank anggota Jakarta Inter Bank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah bank-bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang menjadi
acuan dalam menetapkan suku bunga JIBOR.
6. Marjin adalah angka tertentu yang dinyatakan dalam basis point;
7. Basis point adalah angka satuan dengan nilai 1 (satu) basis point sama dengan
satu per seratus.
BAB II …
- 4 -
BAB II
PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA
Pasal 2
(1) Dalam rangka Program Penjaminan, Pemerintah hanya menjamin Simpanan
Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga yang tidak lebih tinggi dari batas
maksimum suku bunga yang ditetapkan.
(2) Dalam hal Simpanan Pihak Ketiga berupa valuta asing Non-US Dollar maka
simpanan Non-US Dollar tersebut baik pokok maupun bunganya dikonversikan
terlebih dahulu kedalam US Dollar dengan kurs rata-rata pasar pada hari
pembayaran sampai dengan pukul 12.00 WIB yang dihitung (quote) oleh Bank
Indonesia.
(3)Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah yang dijamin
Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka
waktu 3 (tiga) bulan pada lelang terakhir ditambah atau dikurangi Marjin
tertentu.
(4) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing US Dollar
yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga deposito dalam
valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu ditambah atau dikurangi Marjin
tertentu.
(5) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing Non-US
Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan setinggi-tingginya adalah sebesar
maksimum …
- 5 -
maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing US Dollar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Dalam hal Bank memberikan suku bunga untuk simpanan valuta asing Non-US
Dollar yang lebih tinggi dari batas maksimum bunga yang ditetapkan untuk
simpanan valuta asing US Dollar sebagaimana diatur pada ayat (4) maka
Pemerintah hanya menjamin sebesar pokok simpanan ditambah bunga sesuai
suku bunga maksimum yang ditetapkan untuk simpanan valuta asing US Dollar.
Pasal 3
Marjin tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Perubahan Marjin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu oleh Bank Indonesia.
(2) Perubahan Marjin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah dan valuta asing
yang dijamin Pemerintah akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank
Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan
berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan.
(2) Dalam …
- 6 -
(2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui melalui
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).
Pasal 6
(1) Bank wajib memasang pengumuman di tempat pelayanan nasabah atau tempat-
tempat yang dengan mudah dapat dilihat oleh para nasabah di setiap kantornya
mengenai suku bunga atas Simpanan Pihak Ketiga yang diterima Bank.
(2) Bagi Bank yang menetapkan suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang berbeda-
beda untuk jumlah simpanan sampai batas-batas tertentu (multiple deposit
rates) wajib mengumumkan pula seluruh suku bunga tersebut dengan ketentuan
suku bunga tertinggi yang ditawarkan tetap tidak boleh melampaui batas
maksimum suku bunga yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) dan (4).
(3) Bank wajib memasang pengumuman mengenai suku bunga maksimum yang
diumumkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di
tempat yang berdekatan dengan pengumuman atau pada papan pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas.
(4) Khusus bagi Bank yang ikut serta dalam Program Jaminan Pemerintah terhadap
kewajiban pembayaran bank umum, wajib memasang pengumuman yang
berbunyi sebagai berikut:
PENGUMUMAN …
- 7 -
PENGUMUMAN
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan dengan ini mengumumkan bahwa simpanan
nasabah baik dalam Rupiah maupun valuta asing US Dollar pada Bank umum
dengan suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga maksimum yang diumumkan
oleh Bank Indonesia untuk masing-masing jangka waktu, tidak disediakan jaminan
Pemerintah untuk keseluruhan jumlah nominal dan bunga simpanan tersebut.
BAB III
PENJAMINAN ATAS PASAR UANG ANTAR BANK
Pasal 7
(1) Bank dapat menetapkan sendiri suku bunga PUAB berdasarkan suku bunga
pasar.
(2) Dalam rangka Program Penjaminan, bagi Bank yang memberikan suku bunga
PUAB lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang ditetapkan,
Pemerintah hanya menjamin PUAB sebesar pokok pinjaman ditambah bunga
sesuai suku bunga maksimum yang ditetapkan.
(3) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight
dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya.
(4) Maksimum suku bunga PUAB overnight dalam valuta asing US Dollar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebesar rata-rata tertimbang
suku bunga PUAB dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota
JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 8 …
- 8 -
Pasal 8
(1) Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah dan valuta asing US Dollar yang
dijamin Pemerintah akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank
Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan
berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui melalui
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).
BAB IV
PENUTUP
Pasal 9
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei
1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar
Bank,
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan
Pasar Uang Antar Bank,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10 …
- 9 -
Pasal 10
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 April 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 39
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/11/PBI/2004
TENTANG
SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA
DAN PASAR UANG ANTAR BANK
I. UMUM
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
84/KMK.06/2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan
Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Umum maka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah sepenuhnya
dilaksanakan oleh Pemerintah.
Dengan diakhirinya tugas dan dibubarkannya Badan Penyehatan Perbankan
Nasional sebagai maka sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Program Penjaminan
Pemerintah …
- 2 -
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum yang semula dilaksanakan
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional selanjutnya dialihkan kepada Menteri
Keuangan.
Namun demikian dalam hal penetapan maksimum suku bunga Simpanan
Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah sampai saat
ini masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa penetapan maksimum suku bunga penjaminan tersebut sampai
saat ini merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi kegiatan moneter.
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter khususnya kebijakan suku
bunga diperlukan upaya penyelarasan struktur suku bunga melalui penyesuaian
terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan pihak
ketiga dan pasar uang antar bank dalam Rupiah maupun valuta asing.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 3 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang dilakukan selambat-
lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan untuk memberikan
kesempatan kepada Bank dalam menyebarkan informasi maksimum suku
bunga Simpanan Pihak Ketiga kepada seluruh cabang-cabangnya.
Ayat (2)…
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4383
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/11/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title>
<set_date> 12 April 2004 </set_date>
<effective_date> 12 April 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '3/5/PBI/2001', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 12 /PBI/2001
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka memulihkan dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank perkreditan rakyat,
Pemerintah
memberikan jaminan terhadap kewajiban
pembayaran bank perkreditan rakyat;
b. bahwa sementara belum terbentuknya Lembaga Penjamin
Simpanan bank perkreditan rakyat, pelaksanaan jaminan
Pemerintah
terhadap
kewajiban
pembayaran
bank
perkreditan rakyat dibantu oleh Bank Indonesia yang bertindak
untuk dan atas nama Pemerintah;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Persyaratan
Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang…
dan Tata Cara Pelaksanaan
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3831);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun
1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 185);
Memperhatikan : Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Indonesia tentang Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat tanggal 31 Januari 2001;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
BANK
INDONESIA
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN
PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank …
- 3 -
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah;
2. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat;
3. Pengelola Sementara adalah pihak-pihak yang ditunjuk dan diangkat oleh
Bank Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas
dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah;
4. Tim Likuidasi adalah suatu tim yang bertugas melakukan likuidasi BPR
yang dicabut izin usahanya;
5. Bank Pembayar adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran simpanan pihak ketiga BPR dalam rangka
pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah;
6. Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris adalah organ dalam
Perseroan Terbatas atau organ serupa dalam Koperasi atau Perusahaan
Daerah;
7. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP adalah lembaga
yang memiliki izin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan
Publik dalam menjalankan pekerjaannya.
Pasal 2
(1) Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR,
kecuali:
a. BPR yang izin usahanya telah dicabut sebelum tanggal 26 Januari 1998;
dan
b. Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun
1929 Nomor 357, dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
(2) Program …
- 4 -
(2) Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk sementara waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang bertindak
untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga
Penjamin Simpanan BPR.
(3) Penyediaan dana Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditempatkan dalam rekening Menteri Keuangan yang
ditunjuk.
Pasal 3
Kewajiban pembayaran BPR yang dijamin Pemerintah adalah simpanan pihak
ketiga yang tercatat dalam pembukuan BPR dengan ketentuan:
a. BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sebesar:
1. nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu; dan
2. bunga tabungan dan deposito berjangka setinggi-tingginya sebesar suku
bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank
Umum yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya.
b. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebesar
nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
Pasal 4
(1) Perhitungan bunga simpanan pihak ketiga BPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan:
a. bunga tabungan dihitung sampai dengan akhir bulan sebelum tanggal
pembekuan kegiatan usaha tertentu;
b. bunga deposito berjangka dihitung sampai dengan tanggal pembekuan
kegiatan usaha tertentu;
c. bunga …
- 5 -
c. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu)
bulan pada saat pembekuan kegiatan usaha tertentu, tidak dijamin.
(2) Dalam hal BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha, perhitungan bunga
simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2
dengan ketentuan:
a. bunga tabungan dan deposito berjangka dihitung sampai dengan akhir
bulan laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia;
b. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu)
bulan pada posisi laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank
Indonesia, tidak dijamin.
Pasal 5
Simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin adalah:
a. simpanan yang dimiliki oleh Bank Umum atau BPR;
b. simpanan yang dimiliki oleh pemegang saham yang kepemilikannya lebih
besar dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor BPR;
c. simpanan yang dimiliki oleh anggota Direksi dan atau anggota Dewan
Komisaris BPR yang bersangkutan;
d. simpanan yang dimiliki oleh suami/isteri/anak dari pihak-pihak yang
dimaksud pada huruf b dan c;
e. simpanan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki pihak-
pihak yang dimaksud dalam huruf b dan c, yang kepemilikannya sebesar
35% (tiga puluh lima perseratus) atau lebih;
f. simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah dan atau tidak
tercatat dalam pembukuan BPR.
BAB II …
- 6 -
BAB II
PERSYARATAN PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH
Pasal 6
BPR dapat mengikuti Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan memenuhi persyaratan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 7
Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 adalah:
a. menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani oleh
Direksi, Dewan Komisaris dan pemilik atau pemegang saham sesuai dengan
yang tercatat di Bank Indonesia;
b. membayar fee penjaminan sebesar 0,10% (satu perseribu) per tahun untuk
BPR konvensional atau 0,07% (tujuh persepuluh ribu) per tahun untuk BPR
Syariah dari simpanan pihak ketiga yang dijamin; dan
c. menyerahkan:
1. daftar nominatif dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga
untuk posisi tanggal 31 Maret 2001 atau posisi akhir bulan sebelum BPR
ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah bagi BPR yang
didirikan setelah tanggal 31 Maret 2001, kepada Bank Indonesia; dan
2. tembusan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga untuk
posisi tanggal 31 Maret 2001 atau posisi akhir bulan sebelum BPR ikut
serta dalam Program Penjaminan Pemerintah bagi BPR yang didirikan
setelah tanggal 31 Maret 2001, kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 8 …
- 7 -
Pasal 8
(1) Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib dipenuhi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan:
a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia bagi BPR yang telah ada dan
belum memenuhi persyaratan Program Penjaminan Pemerintah; atau
b. sejak melakukan kegiatan usaha bagi BPR yang memperoleh izin usaha
setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a masih
mempunyai tunggakan fee, maka wajib melunasi tunggakan fee penjaminan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Surat Pernyataan Keikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah yang
ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
terjadi perubahan anggota Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris.
Pasal 9
(1) Pembayaran fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
selanjutnya wajib dibayar di muka setiap 6 (enam) bulan selambat-lambatnya
pada akhir bulan Januari untuk periode 1 Desember sampai dengan 31 Mei
dan pada akhir bulan Juli untuk periode 1 Juni sampai dengan 30 November.
(2) Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran fee penjaminan, BPR diberikan
perpanjangan waktu pembayaran selama 2 (dua) bulan sejak batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
(1) Fee penjaminan dihitung sendiri oleh BPR berdasarkan simpanan pihak
ketiga yang dijamin dari rata-rata posisi akhir bulan simpanan pihak ketiga
yang dijamin selama 6 (enam) bulan.
(2) Direksi BPR bertanggung jawab atas kebenaran perhitungan besarnya fee
yang wajib dibayar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(3) Direksi BPR wajib melakukan perhitungan kembali besarnya fee yang
seharusnya dibayar berdasarkan realisasi simpanan pihak ketiga dalam
periode pembayaran fee yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara besarnya fee yang telah dibayar dimuka
dengan hasil perhitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
maka:
a. kelebihan fee akan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban
pembayaran fee periode berikutnya;
b. kekurangan fee wajib dibayarkan bersamaan dengan pembayaran fee
periode berikutnya.
Pasal 11
Pembayaran fee penjaminan oleh BPR dilakukan dengan cara setoran tunai atau
transfer/kliring untuk untung rekening Pemerintah di Bank Indonesia Nomor
519.999001 dengan nama “Penerimaan Fee Penjaminan BPR”.
Pasal 12
(1) BPR yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), dan atau melampaui batas waktu
pembayaran fee yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2), tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah.
(2) BPR…
- 9 -
(2) BPR yang tidak termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengumumkan kepada
masyarakat selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak melakukan
pengumuman dalam batas waktu yang ditentukan maka Bank Indonesia
dapat mengumumkan nama BPR dimaksud kepada masyarakat.
(4) Penyelesaian simpanan pihak ketiga dari BPR yang tidak termasuk sebagai
peserta Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 menjadi tanggung jawab BPR dan diselesaikan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
(1) BPR wajib menyampaikan laporan secara periodik kepada Bank Indonesia:
a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap 6 (enam) bulan untuk posisi
tanggal 30 Juni dan tanggal 31 Desember; dan
b. rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap bulan.
(2) Rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b disampaikan dengan tembusan kepada Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, untuk posisi tanggal 31
Maret, 30 Juni, 30 September dan 31 Desember.
(3) Laporan daftar nominatif simpanan pihak ketiga dan rekapitulasi daftar
nominatif simpanan pihak ketiga beserta tembusannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya
tanggal 14 setelah akhir bulan laporan.
(4) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka laporan disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
BAB III …
- 10 -
BAB III
PELAKSANAAN PEMBAYARAN JAMINAN PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga BPR wajib menggunakan
dana BPR yang bersangkutan.
(2) BPR yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak dapat mengupayakan
dana yang cukup untuk membayar kewajiban simpanan pihak ketiga
melaporkan ketidakmampuannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia meneliti dan mengevaluasi kondisi BPR yang telah
melaporkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran simpanan
pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(2) Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia dan atau hasil penelitian dan
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia dapat
membekukan kegiatan usaha tertentu BPR, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pembayaran jaminan Pemerintah dilakukan setelah Bank Indonesia
membekukan kegiatan usaha tertentu BPR.
(2) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan atas dasar hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengelola
Sementara dan telah diteliti kebenarannya oleh KAP.
Pasal 17 …
- 11 -
Pasal 17
(1) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
ditunjuk dan diangkat oleh Bank Indonesia.
(2) Jumlah Pengelola Sementara sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang dan dapat terdiri atas:
a. pihak lain diluar anggota pengurus lama; atau
b. gabungan antara 1 (satu) anggota pengurus lama dengan pihak lain diluar
anggota pengurus lama.
(3) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan
tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas dalam rangka pelaksanaan Program
Penjaminan Pemerintah.
(4) Pengelola Sementara melaksanakan tugas dalam jangka waktu selama-
lamanya 6 (enam) bulan sejak ditandatanganinya surat penunjukan dan
pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pengelola Sementara menerima honorarium sebesar jumlah tertentu yang
telah ditetapkan dalam surat penunjukan dan pengangkatan.
Pasal 18
(1) Pengelola Sementara melakukan verifikasi atas:
a. tabungan dan deposito berjangka dan atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu yang dijamin Pemerintah, yang hasilnya dicatat dalam daftar
nominatif.
b. aset BPR yang telah dibekukan yang hasilnya dicatat dalam daftar aset.
(2) Pengelola Sementara bertanggungjawab atas kebenaran material terhadap
hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pengelola Sementara setiap bulan wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia mengenai perkembangan pelaksanaan tugasnya.
Pasal 19 …
- 12 -
Pasal 19
(1) Hasil verifikasi simpanan pihak ketiga yang dilakukan oleh Pengelola
Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a diteliti
kebenarannya oleh KAP.
(2) KAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
(3) Bank Indonesia melakukan proses seleksi KAP untuk membantu Menteri
Keuangan dalam pelaksanaan pemilihan dan penunjukan KAP.
(4) KAP menerima professional fee yang besarnya telah ditetapkan dalam
kontrak kerja.
Pasal 20
(1) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2) dilakukan oleh Bank Pembayar.
(2) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank Pembayar melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar.
(4) Bank Pembayar menerima fee sebesar prosentase tertentu dari realisasi
pembayaran simpanan pihak ketiga yang telah ditetapkan dalam perjanjian
kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar.
Pasal 21
(1) BPR wajib menyerahkan bukti tanda terima uang sebesar jumlah dana
jaminan Pemerintah yang dibayarkan.
(2) Dalam bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan bahwa BPR bersedia mengembalikan dana jaminan Pemerintah
yang bersumber dari hasil pencairan aset BPR yang bersangkutan.
(3) Bukti …
- 13 -
(3) Bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditandatangani oleh Pengelola Sementara dan diserahkan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 22
Pengelola Sementara mengajukan permohonan penyediaan dana jaminan
Pemerintah dan biaya operasional Pengelola Sementara kepada Bank Indonesia,
dilampiri dengan:
a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga yang akan dibayar berdasarkan hasil
verifikasi yang telah diteliti kebenarannya oleh KAP;
b. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah diteliti dan
ditandatangani oleh Pengelola Sementara;
c. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah diteliti kembali dan
ditandatangani oleh KAP;
d. rincian biaya operasional pelaksanaan penjaminan Pemerintah.
Pasal 23
Dalam hal terdapat nasabah penyimpan yang memiliki utang kepada BPR maka
pembayaran simpanan nasabah dimaksud dilakukan setelah utang tersebut
dikompensasikan terlebih dahulu dengan simpanan nasabah pada BPR, tanpa
memperhitungkan tanggal jatuh tempo utang tersebut.
Pasal 24
(1) Simpanan pihak ketiga yang belum dibayarkan dengan menggunakan dana
jaminan Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa tugas Pengelola
Sementara dilanjutkan pembayarannya oleh Tim Likuidasi selama-lamanya
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Tim Likuidasi terbentuk.
(2) Tim…
- 14 -
(2) Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk setelah BPR
dicabut izin usahanya.
(3) Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui, Tim Likuidasi mengembalikan sisa dana jaminan Pemerintah
yang belum diambil oleh nasabah penyimpan kepada Pemerintah melalui
rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk.
(4) Dalam hal Tim Likuidasi telah mengembalikan dana Jaminan Pemerintah
yang belum diambil oleh nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) maka pembayaran kepada nasabah penyimpan selanjutnya menjadi
beban BPR dan dilakukan oleh Tim Likuidasi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 25
Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) menyelesaikan
dana jaminan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
JANGKA WAKTU PENJAMINAN BPR
Pasal 26
(1) Program Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal 26 Januari 1998
sampai dengan dinyatakan berakhir oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah mengumumkan berakhirnya Program Penjaminan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sebelum Program Penjaminan Pemerintah tersebut
dinyatakan berakhir.
BAB V …
- 15 -
BAB V
LAIN-LAIN
Pasal 27
(1) Pengelola Sementara dapat menerima setoran angsuran kredit dan atau
tagihan BPR yang telah dibekukan kegiatan usahanya.
(2) Setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib ditempatkan dalam rekening atas nama Pengelola
Sementara di Bank Pembayar.
(3) Penarikan hasil setoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
BAB VI
SANKSI
Pasal 28
BPR yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Pemerintah menjamin simpanan pihak ketiga dari:
a. BPR …
- 16 -
a. BPR yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
berdasarkan penilaian Bank Indonesia tidak dapat diselamatkan sehingga
dibekukan kegiatan usaha tertentunya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini; atau
b. BPR yang telah dibekukan kegiatan usaha tertentu setelah berlakunya
Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran BPR, namun belum dilakukan pembayaran
Program Penjaminan Pemerintah sampai dengan ditetapkannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) Penjaminan Pemerintah terhadap simpanan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sepanjang simpanan pihak ketiga
tersebut sah dan tercatat dalam pembukuan BPR dan tidak termasuk dalam
jenis simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan pelaksanaan tentang persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR dan perubahannya diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 31
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/166/KEP/DIR dan Nomor 31/167/KEP/DIR masing-masing
tanggal 11 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tatacara Penjaminan
Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32 …
- 17 -
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Juli 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 98
DPNP/DPBPR
- 18 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 12 /PBI/2001
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998
memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Pelaksanaan program penjaminan Pemerintah tersebut, Pemerintah dibantu
untuk sementara waktu oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas
nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan
Bank Perkreditan Rakyat atau Pemerintah menghentikan program penjaminan
terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah tersebut di atas,
perlu ditetapkan kriteria simpanan pihak ketiga yang dijamin maupun yang tidak
dijamin, dengan memperhatikan tujuan pengaturan Program Penjaminan
Pemerintah itu sendiri yakni perlindungan dana nasabah dan kepentingan publik.
Sementara itu untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah, BPR
perlu memenuhi persyaratan yaitu pernyataan keikutsertaan, membayar fee
penjaminan, dan penyampaian dokumen pendukung administratif.
Dalam …
- 19 -
Dalam rangka memperlancar pelaksanaan program penjaminan tersebut
juga perlu ditegaskan fungsi, persyaratan dan tugas-tugas Pengelola Sementara
serta penetapan jangka waktu pelaksanaan oleh Pengelola Sementara tersebut.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut serta untuk mendukung keakuratan data
simpanan pihak ketiga maka tugas Pengelola Sementara dibantu oleh kantor
akuntan publik khususnya kegiatan verifikasi. Pembayaran jaminan Pemerintah
tersebut dapat dilakukan berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh
Pengelola Sementara yang telah diteliti kebenarannya oleh kantor akuntan
publik. Selanjutnya untuk memperlancar realisasi pembayaran simpanan pihak
ketiga tersebut Bank Indonesia menunjuk bank pembayar yang tugas dan
kewajibannya ditetapkan dalam perjanjian kerjasama.
Dalam rangka mendorong keikutsertaan BPR sebagai peserta program
penjaminan Pemerintah dan melindungi kepentingan nasabah maka diperlukan
informasi yang lebih terbuka dan transparan kepada masyarakat mengenai
keikutsertaan BPR sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah dimaksud.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk
menetapkan Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan
Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Pengertian pemegang saham untuk BPR yang berbadan hukum
koperasi adalah anggota koperasi.
Pengertian Direksi adalah sebagai berikut:
a. bagi …
- 20 -
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pengertian Komisaris adalah sebagai berikut:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3 …
- 21 -
Pasal 3
Huruf a
Angka 1
Nominal deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu dalam huruf ini
adalah yang dimiliki oleh nasabah perorangan, perusahaan,
organisasi, yayasan, dan lembaga bukan bank.
Angka 2
Suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam
Rupiah pada Bank Umum yang digunakan sebagai batas
maksimum suku bunga yang dijamin adalah suku bunga
penjaminan yang diumumkan Bank Indonesia pada bulan
sebelumnya, dengan ketentuan:
a. untuk tabungan adalah suku bunga simpanan pihak
ketiga jangka waktu 1 (satu) bulan;
b. untuk deposito berjangka adalah suku bunga simpanan
pihak ketiga sesuai dengan jangka waktunya.
Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap
simpanan pihak ketiga lebih rendah daripada suku bunga
penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar
suku bunga yang ditetapkan oleh BPR kepada nasabah
dimaksud.
Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap
simpanan pihak ketiga lebih tinggi dari pada suku bunga
penjaminan maka suku bunga yang dijamin adalah sebesar
suku bunga penjaminan, sedangkan kelebihannya tidak
dijamin oleh Pemerintah dan menjadi beban BPR.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 4 …
- 22 -
Pasal 4
Ayat (1)
Pada umumnya perhitungan bunga simpanan pihak ketiga untuk
bunga tabungan dihitung pada akhir bulan, sedangkan untuk bunga
deposito berjangka dihitung setiap bulan sesuai tanggal penerbitan
bilyet deposito berjangka.
Ayat (2)
BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha, antara lain
dibuktikan dengan:
a. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank
Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
b. laporan bulanan yang disampaikan BPR kepada Bank
Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir tidak ada
perubahan dalam pos-pos neraca;
c. pengurus dan atau pemilik BPR tidak diketahui keberadaannya;
atau
d. adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR sudah tidak
melakukan kegiatan usaha.
Pasal 5
Huruf a sampai dengan huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Simpanan yang tidak didukung dengan dokumen yang sah adalah
simpanan yang tidak memiliki dokumen pendukung yang
mendasari terjadinya transaksi tersebut misalnya slip setoran, kartu
tabungan, catatan/register, print out komputer, dan tembusan bilyet
deposito berjangka.
Simpanan yang tidak didukung dengan dokumen yang sah antara
lain meliputi tabungan atau deposito berjangka fiktif.
Pasal 6 …
- 23 -
Pasal 6
BPR yang dapat ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah
adalah BPR yang telah memperoleh izin usaha, yaitu:
a.
b.
c.
d.
BPR yang didirikan setelah Pakto 1988;
Bank Karya Produksi Desa (BKPD);
Bank Pasar/Bank Desa;
BPR Eks Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) yaitu
LDKP yang telah dikukuhkan menjadi BPR, yang sebelumnya adalah
:
(1) Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat;
(2) Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Bengkulu, dan Pekanbaru;
(3) Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur;
(4) Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat;
(5) Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Daerah Istimewa
Yogyakarta;
(6)
(7)
Pasal 7
Huruf a
Pemegang saham yang menandatangani dan menyerahkan surat
pernyataan keikutsertaan dari masing-masing BPR adalah
mereka yang memiliki saham 25% (dua puluh lima perseratus)
atau lebih, dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham
pengendali. Bagi BPR yang dimiliki oleh badan hukum maka
penandatanganan surat pernyataan dilakukan oleh pengurus yang
berwenang mewakili badan hukum sesuai anggaran dasar
masing-masing.
Apabila …
Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat;
Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
- 24 -
Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, Komisaris atau
Pemegang Saham yang memiliki sekurang-kurangnya saham 25%
(dua puluh lima perseratus) atau lebih dan atau kurang dari 25%
(dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai pemegang
saham pengendali maka BPR wajib menyampaikan surat
pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani oleh Direksi,
Komisaris atau Pemegang Saham yang baru.
Dalam hal perubahan Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham
belum tercatat di Bank Indonesia maka surat pernyataan
keikutsertaan ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau
Pemegang Saham sesuai RUPS atau rapat anggota yang
mengesahkan perubahan dimaksud.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan periode tunggakan fee adalah periode
bulan:
a. Desember 1998 – Mei 1999;
b. Juni 1999 – Nopember 1999;
c. Desember 1999 – Mei 2000;
d. Juni 2000 – Nopember 2000;
e. Desember 2000 – Mei 2001.
Ayat (3) …
- 25 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Periode bulan Juni 2001 sampai dengan November 2001, fee
dihitung berdasarkan posisi akhir bulan Mei 2001 dari simpanan
pihak ketiga yang dijamin dan pembayarannya dilakukan
selambat-lambatnya akhir bulan Juli 2001.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
CUKUP JELAS
Ayat (2) …
- 26 -
Ayat (2)
Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam
Program Penjaminan Pemerintah dimaksudkan untuk mendorong
BPR untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah.
Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam
Program Penjaminan Pemerintah dalam waktu 3 (tiga) hari kerja
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau nasabah guna
mengambil keputusan mengenai simpanannya yang terdapat di
BPR yang bersangkutan dalam waktu singkat.
Pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan di papan
pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan yang mudah
diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas selama BPR tidak
termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah.
Ayat (3)
Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau
papan pengumuman di kantor BPR atau kantor
kecamatan/kelurahan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan
atau di media elektronik.
Ayat (4)
Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank,
khususnya Pasal 24 yang menyatakan bahwa dalam hal harta
kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup untuk memenuhi
seluruh kewajiban bank dalam likuidasi maka kekurangannya
wajib dipenuhi oleh anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi
penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau
menjadi penyebab kegagalan bank.
Pasal 13 …
- 27 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tanggal penerimaan laporan adalah:
a. tanggal tanda terima dari Bank Indonesia apabila diantar
langsung ke Bank Indonesia; atau
b. tanggal stempel pos atau tanda terima dari jasa pengiriman
surat apabila melalui kantor pos atau jasa pengiriman surat
lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
BPR yang mengalami kesulitan likuiditas antara lain BPR yang
tidak memiliki alat likuid yang cukup untuk memenuhi kewajiban
pembayaran simpanan pihak ketiga.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16 …
- 28 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dapat menjadi Pengelola Sementara adalah para pihak yang
tidak dilarang untuk menjadi pengurus atau pemegang saham bank
sesuai ketentuan Bank Indonesia, serta memiliki pengalaman dan
atau pengetahuan di bidang perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak lain di luar anggota pengurus lama
adalah karyawan, pejabat, pemegang saham BPR yang
bersangkutan dan pihak lain.
Pengelola Sementara hanya dapat merangkap sebagai anggota
Pengelola Sementara sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 29 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 30 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 25
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
PASAL 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27 …
- 31 -
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam hal debitur telah menyelesaikan seluruh kewajibannya,
Pengelola Sementara dapat menyerahkan agunan kredit yang
dikuasai BPR kepada debitur disertai dengan bukti tanda terima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan BPR tidak memenuhi persyaratan Program
Penjaminan Pemerintah adalah BPR yang tidak dapat memenuhi
persyaratan penjaminan karena pemilik dan atau pengurus tidak
diketahui keberadaannya dan atau kantor BPR sudah tidak ada.
Penilaian Bank Indonesia terhadap BPR yang tidak dapat
diselamatkan didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2001 NOMOR 4123
DPNP/DPBPR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/12/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 9 Juli 2001 </set_date>
<effective_date> 9 Juli 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '31/166/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '193/KEPPRES/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004
TENTANG
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat yang
melakukan kegiatan usaha
berdasarkan
prinsip Syariah
tergantung pada kesiapan untuk menghadapi risiko kerugian
dari penanaman atau penempatan dana;
b. bahwa untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul
dari penanaman atau penempatan dana, maka Bank
Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah wajib membentuk penyisihan
penghapusan aktiva produktif;
c. bahwa produk penanaman atau penempatan dana dalam
bentuk
melakukan kegiatan usaha
memiliki karakteristik yang khas;
aktiva produktif Bank Perkreditan Rakyat yang
berdasarkan
prinsip Syariah
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b dan c perlu untuk menetapkan ketentuan
tentang.….
- 2 -
tentang penyisihan penghapusan aktiva produktif bagi BPR
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYISIHAN
PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK
PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I ….
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah;
2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan prinsip Syariah
secara bersamaan;
3. Aktiva Produktif adalah penanaman atau penempatan dana BPRS dalam
rupiah berdasarkan prinsip Syariah dalam bentuk Pembiayaan, Piutang,
Ijarah, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan penempatan Dana Pada Bank
Lain;
4. Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan dana dan atau
tagihan oleh BPRS kepada Nasabah berdasarkan akad Mudharabah dan atau
Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil;
5. Mudharabah .….
- 4 -
5. Mudharabah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan
nasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung penyedia
dana kecuali kerugian akibat kesalahan yang disengaja, kelalaian, dan atau
pelanggaran kesepakatan yang dilakukan oleh pengelola dana ;
6. Musyarakah adalah perjanjian antara BPRS sebagai penyedia dana dengan
penyedia dana lainnya untuk membiayai usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan diantara penyedia dana berdasarkan nisbah yang disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung
berdasarkan porsi dana masing-masing pihak;
semua penyedia dana
7. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli berdasarkan akad
Murabahah, Salam atau Istishna dan atau pinjam meminjam berdasarkan
akad Qardh;
8. Murabahah adalah perjanjian jual beli barang sebesar harga pokok barang
ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati antara BPRS sebagai
penjual dengan nasabah sebagai pembeli yang pembayarannya dilakukan
secara tangguh;
9. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan pembayaran lunas di muka
oleh BPRS sebagai pembeli kepada nasabah sebagai penjual yang
berkewajiban menyerahkan barang pesanan berdasarkan jangka waktu,
kriteria, dan persyaratan yang disepakati, dan barang tersebut akan dijual
kembali oleh BPRS kepada pihak lain;
10. Istishna….
- 5 -
10. Istishna adalah perjanjian jual beli barang dengan pesanan berdasarkan
jangka waktu, kriteria, dan persyaratan yang disepakati, yang pembayarannya
dilakukan secara tangguh oleh nasabah sebagai pembeli kepada BPRS
sebagai penjual setelah barang pesanan diterima oleh nasabah;
11. Qardh adalah perjanjian pinjam meminjam dana antara BPRS sebagai
pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam melakukan pengembalian pokok pinjaman
tanpa imbalan yang diperjanjikan di muka secara sekaligus atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu;
12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang (Aktiva Ijarah atau
Uang muka Ijarah ) antara BPRS sebagai pihak yang menyewakan dengan
nasabah sebagai pihak penyewa dalam jangka waktu tertentu;
13. Aktiva Ijarah adalah aktiva yang diperoleh atau dibeli BPRS untuk tujuan
disewakan;
14. Uang Muka Ijarah adalah uang muka sewa yang dibayar oleh BPRS kepada
pihak pemilik barang, selanjutnya barang tersebut disewakan olah BPRS
kepada nasabah;
15. Penempatan Dana Pada Bank Lain adalah penanaman dana BPRS pada Bank
Syariah atau BPRS lainnya antara lain dalam bentuk giro dan atau tabungan
Wadiah, deposito berjangka dan atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan
yang
diberikan dan atau bentuk-bentuk penempatan lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
16. Sertifikat ….
- 6 -
16. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah bukti penitipan dana
Wadiah pada Bank Indonesia;
17. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut;
18. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai
intern BPRS mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan
berupa tanah, gedung, rumah tinggal dan kendaraan bermotor, berdasarkan
analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan
prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi
Penilai Indonesia (MAPPI);
19.Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan
dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada
tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi;
20.Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah cadangan yang
harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan
penggolongan Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB II
TATA CARA PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1) BPRS wajib membentuk PPAP berupa cadangan umum dan cadangan
khusus guna menutup risiko kerugian.
(2) Cadangan ….
- 7 -
(2) Cadangan umum PPAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan
sekurang-kurangnya sebesar 0,5% (lima permil) dari seluruh Aktiva
Produktif yang digolongkan Lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia.
(3) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar :
a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan;
b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
Macet setelah dikurangi nilai agunan.
Pasal 3
(1)
Kewajiban untuk membentuk PPAP sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah tetapi BPRS wajib
membentuk penyusutan aktiva Ijarah dan atau amortisasi uang muka
Ijarah.
(2) Penyusutan aktiva Ijarah dan atau amortisasi uang muka Ijarah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibentuk secara prorata selama
umur ekonomis dari aktiva Ijarah dan atau jangka waktu sewa.
BAB III ….
- 8 -
BAB III
PENILAIAN AGUNAN
Pasal 4
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terdiri dari :
a. Tabungan Wadiah, tabungan dan atau deposito Mudharabah, emas, uang
kertas asing, mata uang emas dan setoran jaminan yang diblokir disertai
dengan surat kuasa pencairan;
b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah dilakukan pengikatan secara
gadai;
c. Tanah, gedung, rumah tinggal dan kendaraan bermotor yang telah dilakukan
pengikatan.
Pasal 5
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
ayat (3) ditetapkan :
a. untuk agunan yang bersifat likuid yaitu SWBI, uang kas, uang kertas asing,
emas, mata uang emas, tabungan Wadiah; tabungan dan atau deposito
Mudharabah, yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan sebesar
100% (seratus perseratus);
b. untuk ….
- 9 -
b. untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM atau
SHGB) dengan hak tanggungan sebesar 70% (tujuh puluh perseratus) dari
nilai tanggungan;
c. untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat (SHM dan
SHGB) tanpa hak tanggungan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP);
d. untuk agunan berupa tanah berdasarkan kepemilikan surat Girik (Letter C)
dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang diakui selama 6
(enam) bulan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP);
e. untuk agunan berupa kendaraan bermotor dengan disertai bukti kepemilikan
(BPKB) dihitung sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar yang
wajar.
Pasal 6
(1) Agunan wajib dilakukan penilaian oleh penilai intern BPRS berdasarkan
analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan
prinsip-prinsip yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 18.
(2)
Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Pasal 7 ….
- 10 -
Pasal 7
Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang
digunakan sebagai faktor pengurang dalam Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif, apabila :
a. agunan tidak dilengkapi dengan dokumen terkait dan atau pengikatan agunan
belum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
b. penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
BAB IV
SANKSI
Pasal 8
Bank yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6
ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c. penggantian pengurus.
BAB V ….
- 11 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tentang Kualitas Aktiva
Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tentang Kualitas Aktiva Produktif
dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif masing-masing tanggal tanggal
29 Mei 1993, sebagaimana telah diubah dengan Surat keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/9/BPPP tentang
Penyempurnaan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
masing-masing tanggal 29 Maret 1994, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 10….
- 12 -
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
1 Juli 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 60
DPbS
- 13 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004
TENTANG
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Dalam melakukan kegiatan penanaman dana, Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) mempunyai risiko kerugian atas kegagalan penanaman
dananya. Untuk menjaga agar BPRS mampu dan siap menanggung risiko
kerugian dari penanaman dana tersebut dan untuk menjaga kelangsungan
usahanya, maka BPRS wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva
produktif.
Dalam pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif, agunan
memegang peranan yang penting sebagai unsur pengurang dari risiko
kegagalan pengembalian penanaman dana (credit risk exposure). Untuk
memperoleh nilai yang wajar, agunan harus dinilai secara periodik oleh
penilai intern BPRS.
Dengan….
- 14 -
Dengan mempertimbangkan kekhasan produk BPRS dan dalam rangka
mewujudkan tatacara penyisihan penghapusan aktiva produktif yang
berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian, maka perlu diterbitkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi
BPRS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)….
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pemberian jangka waktu 6 (enam) bulan
dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada nasabah dalam pengurusan serfikat
hak atas tanah yang
pengurusan hak atas tanah dimaksud.
diagunkan, dengan menyampaikan bukti
Huruf e….
- 16 -
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO 4394
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/19/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '26/9/BPPP|SE-BI/1994', '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/4/BPPP|SE-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/7/PBI/2013 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan perlu dijaga
untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter;
b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan
dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang
muncul dari dinamika perekonomian perlu
dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap
memperhatikan peran bank dalam menjalankan
fungsi intermediasi;
c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang
memadai dan menjalankan fungsi intermediasi
secara optimal perlu dilakukan pengaturan
likuiditas bank melalui kebijakan giro wajib
minimum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
BANK
INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK
INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING.
Pasal ...
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5158) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5200) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
3. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK
adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam Rupiah dan valuta asing.
4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat.
5. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang
Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan
menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia,
atau ...
- 4 -
atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara
Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
6. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing
yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara
pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai hubungan
Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
7. Loan to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat LDR adalah
rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada Bank lain,
terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan,
dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk
dana antar Bank.
8. LDR Target adalah kisaran rasio LDR yang dibatasi oleh batas
bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dalam rangka perhitungan GWM LDR.
9. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah
jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK.
10. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib
dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada
Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
11. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib
dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia,
Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Negara
dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
12. GWM ...
- 5 -
12. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara
oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank
Indonesia sebesar persentase dari DPK yang dihitung
berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank
dengan LDR Target.
13. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat
JIBOR adalah suku bunga antar Bank untuk berbagai jangka
waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya
antar Bank.
16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
surat berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam
mata uang Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam
mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
17. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah
Bank dari GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara
di Bank Indonesia.
18. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio perbandingan
antara modal dengan aset tertimbang menurut risiko
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum.
19. KPMM ...
- 6 -
19. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR.
20. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang
digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang
memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target.
21. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang
digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang
memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam Rupiah.
b. GWM Sekunder dalam Rupiah dengan pengaturan sebagai
berikut:
1. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam
Rupiah sampai dengan tanggal 30 September 2013;
2. sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah sejak
tanggal 1 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 31 Oktober
2013;
3. sebesar 3,5% (tiga koma lima persen) dari DPK dalam
Rupiah sejak tanggal 1 November 2013 sampai dengan
tanggal 1 Desember 2013; dan
4. sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah sejak
tanggal 2 Desember 2013.
c. GWM LDR dalam Rupiah sebesar perhitungan antara
Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas
dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan
memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.
3. Ketentuan ...
- 7 -
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dihitung dengan
membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess
Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(2) Perhitungan SDBI sebagai komponen GWM Sekunder dalam
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
tanggal 1 Oktober 2013.
(3) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan
GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan sebagai berikut:
a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen).
b. Batas atas LDR Target:
1) sebesar 100% (seratus persen) sampai dengan tanggal
1 Desember 2013; dan
2) sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sejak
tanggal 2 Desember 2013.
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen).
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu).
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
(2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan
parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
diperlukan.
(3) Tata cara pemenuhan GWM LDR dalam Rupiah diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Penjelasan ...
- 8 -
5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 September 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 September 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 153
DKMP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/7/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 26 September 2013 </set_date>
<effective_date> 26 September 2013 </effective_date>
<issued_date> 26 September 2013 </issued_date>
<changed_reg> '12/19/PBI/2010' </changed_reg>
<extension_of> '13/10/PBI/2011' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa berhubung telah terjadi krisis keuangan secara
global yang mempengaruhi perekonomian nasional,
diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya risiko
likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan;
b. bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan perlu diberikan akses bagi Bank
Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan likuiditas
untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu diatur peraturan mengenai
Fasilitas…
- 2 -
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Perkreditan
Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I…
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, tidak termasuk Badan Kredit Desa (BKD).
3. Rasio Kebutuhan Kas adalah perhitungan kebutuhan kas BPR yang
didasarkan pada Cash Ratio dengan menambahkan komponen Sertifikat
Bank Indonesia serta aset antarbank dan kewajiban antarbank.
4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disebut FPJP adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada BPR untuk mengatasi
Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang dialami oleh BPR.
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami BPR
yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch).
6. Sertifikat…
- 4 -
6. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
7. Aset Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP
Pasal 2
(1) BPR yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat
mengajukan permohonan FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) BPR dapat mengajukan permohonan FPJP sepanjang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Memiliki penilaian Tingkat Kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir
paling kurang Cukup Sehat;
b. Memiliki Cash Ratio selama 6 (enam) bulan terakhir rata-rata paling
kurang sebesar 4,05% (empat koma nol lima persen);
c. Memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (Capital
Adequacy Ratio) paling kurang sebesar 8% (delapan persen); dan
d. Memiliki…
- 5 -
d. Memiliki arus kas harian negatif selama 14 (empat belas) hari kalender
terakhir.
(3) Plafon FPJP diberikan paling banyak sebesar kebutuhan pendanaan jangka
pendek BPR untuk mencapai Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh
persen).
Pasal 3
FPJP wajib dijamin oleh BPR dengan agunan yang berkualitas tinggi yang
nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 4
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
berupa:
a. SBI; dan/atau
b. Aset Kredit.
(2) Aset Kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Memiliki perjanjian kredit yang masih berlaku selama jangka waktu
FPJP;
b. Memiliki kolektibilitas Lancar selama paling kurang 3 (tiga) bulan
terakhir;
c. Memiliki…
- 6 -
c. Memiliki agunan;
d. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait BPR; dan
e. Memiliki baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit
dan Batas Maksimum Pemberian Kredit.
(3) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat digunakan
sebagai agunan FPJP dalam hal BPR tidak memiliki SBI atau SBI yang
dimiliki tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP.
Pasal 5
Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut:
a. Dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar
100% (seratus persen) dari plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan nilai jual
SBI yang diagunkan.
b. Dalam hal agunan berupa Aset Kredit, nilai agunan ditetapkan paling kurang
150% (seratus lima puluh persen) dari plafon FPJP, yang dihitung
berdasarkan baki debet (outstanding) Aset Kredit yang diagunkan.
Pasal 6
(1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas
dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat
pernyataan BPR kepada Bank Indonesia.
(2) BPR…
- 7 -
(2) BPR wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) apabila:
a. Agunan FPJP tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1); dan/atau
b. Agunan FPJP berupa Aset Kredit mengalami penurunan kolektibilitas.
Pasal 7
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
(2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP ditatausahakan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) BPR yang memerlukan FPJP mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. Surat pernyataan bahwa BPR mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka
Pendek;
b. Surat…
- 8 -
b. Surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan FPJP tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak
tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
c. Surat pernyataan kesanggupan BPR untuk membayar segala
kewajiban terkait FPJP pada saat jatuh tempo;
d. Surat pernyataan mengenai kebenaran dan kelengkapan data dan
dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia;
e. Surat Kuasa dari BPR kepada Bank Indonesia untuk melakukan
pendebetan seluruh rekening BPR pada bank umum dalam rangka
pembayaran segala kewajiban BPR terkait FPJP;
f. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan pendanaan jangka
pendek;
g. Daftar SBI dan/atau Aset Kredit yang menjadi agunan beserta
dokumen pendukung; dan
h. Akta pengikatan agunan FPJP.
Pasal 9
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan apabila:
a. BPR memenuhi kriteria permohonan FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2);
b. BPR…
- 9 -
b. BPR memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan
c. BPR diperkirakan tidak dapat memenuhi kewajiban pendanaan jangka
pendek berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
(2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan
BPR penerima FPJP secara notariil.
(3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikuti
dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP secara gadai dan/atau fidusia.
(4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan dengan
mengkredit rekening BPR yang bersangkutan pada bank umum, setelah
perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani.
Pasal 10
Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, apabila permohonan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara
dan/atau persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
(1) Jangka waktu setiap FPJP adalah 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Jangka…
- 10 -
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
secara berturut-turut dengan jangka waktu keseluruhan paling lama 90
(sembilan puluh) hari kalender.
Pasal 12
Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) hanya dapat
dilakukan apabila:
a. BPR telah membayar seluruh bunga terhutang atas FPJP yang jatuh tempo;
b. BPR tidak dapat memenuhi Rasio Kebutuhan Kas sebesar 10% (sepuluh
persen); dan
c. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 13
(1) BPR dapat mengajukan tambahan plafon FPJP yang dibutuhkan untuk
menutupi kewajiban yang tidak dapat diselesaikan BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang:
a. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan
b. Penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari
kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
(2) Penambahan…
- 11 -
(2) Penambahan plafon FPJP dapat dilakukan sepanjang Rasio Kebutuhan Kas
BPR kurang dari 10% (sepuluh persen).
(3) Jangka waktu setiap tambahan plafon FPJP adalah sampai dengan jatuh
tempo FPJP.
x
BAB III
PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN BUNGA
Pasal 14
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada BPR atas realisasi
pemberian FPJP.
(2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar
suku bunga penjaminan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang
berlaku terhadap simpanan nasabah BPR pada saat perjanjian pemberian
FPJP atau addendum perjanjian FPJP ditandatangani.
(3) Biaya bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan pada saat
jatuh tempo FPJP yang dihitung secara harian berdasarkan baki debet FPJP.
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 15
(1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening BPR di
bank umum sebesar baki debet ditambah bunga FPJP.
(2) Dalam…
- 12 -
(2) Dalam hal FPJP jatuh tempo dan saldo rekening BPR di bank umum tidak
mencukupi untuk membayar pokok dan bunga FPJP dan/atau BPR tidak
lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJP maka
Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi
agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus
dilunasi oleh BPR maka BPR wajib membayar kekurangannya kepada
Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus
dilunasi oleh BPR maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut
kepada BPR.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 16
(1) BPR wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah perjanjian pemberian FPJP atau addendumnya
ditandatangani.
(2) BPR…
- 13 -
(2) BPR wajib menyampaikan laporan secara mingguan kepada Bank
Indonesia, berupa:
a. Perhitungan Rasio Kebutuhan Kas harian;
b. Kolektibilitas harian Aset Kredit yang dijaminkan; dan
c. Penggunaan FPJP harian.
Pasal 17
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap BPR yang bersangkutan.
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJP
Pasal 18
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban
BPR.
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Dalam hal BPR tidak melunasi FPJP, melakukan pelanggaran atas ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan
sebagaimana…
- 14 -
sebagaimana dimaksud Pasal 17 diketahui adanya penyimpangan penggunaan
FPJP, maka BPR dikenakan sanksi berupa:
a. Tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan
b. Sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran
tertulis, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan kegiatan usaha tertentu
dan/atau pemberhentian Pengurus BPR.
Pasal 20
(1) Apabila Pengurus dan/atau pegawai BPR dengan sengaja memberikan
keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini secara tidak benar, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Apabila Pengurus, Pemegang Saham Pengendali dan/atau pegawai BPR
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan BPR terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini,
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VIII…
- 15 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 22
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta,
Pada tanggal 5 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM,
WIDODO A. S.
BOEDIONO
- 16 -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 196
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk
sistem perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah
meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang
dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam
menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu
prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang
stabil.
Dengan…
- 2 -
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-
langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya
untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, baik bank umum
maupun BPR.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Bank Indonesia dapat memberikan kredit
kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin
dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset kredit kolektibilitas lancar.
Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan
dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada BPR dengan
maksud agar kelangsungan kegiatan usaha BPR dapat terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Penilaian Tingkat Kesehatan didasarkan pada data posisi akhir
bulan sesuai dengan Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam)
periode pelaporan sebelum tanggal pengajuan permohonan.
Huruf b
Perhitungan Cash Ratio didasarkan pada data posisi akhir bulan
sesuai dengan Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam) periode
pelaporan sebelum tanggal pengajuan permohonan.
Huruf c
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (CAR) yang
digunakan berdasarkan perhitungan Bank Indonesia sesuai dengan
data posisi akhir bulan pada Laporan Bulanan BPR sebelum
tanggal pengajuan permohonan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kebutuhan pendanaan jangka pendek BPR dihitung berdasarkan
posisi Rasio Kebutuhan Kas pada tanggal pengajuan permohonan
FPJP.
Pasal 3…
- 4 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kolektibilitas Lancar adalah Kualitas Lancar sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas
Aktiva Produktif BPR untuk posisi akhir bulan sesuai dengan
Laporan Bulanan BPR selama 3 (tiga) periode pelaporan
sebelum tanggal pengajuan permohonan.
Huruf c
Adanya agunan dimaksudkan untuk memberi tambahan
keyakinan mengenai kualitas Aset Kredit yang dijadikan agunan
FPJP.
Huruf d …
- 5 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR.
Huruf e
Batas Maksimum Pemberian Kredit mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggantian dan/atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan agar
nilai aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5.
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur
gadai atau fidusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen atas aset yang menjadi
agunan FPJP” antara lain perjanjian kredit antara BPR dengan
nasabah, bukti pengikatan agunan dan bukti kepemilikan atas aset
yang menjadi agunan kredit BPR.
Pasal 8
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d…
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan pendanaan jangka pendek” adalah perhitungan Rasio
Kebutuhan Kas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
perjanjian kredit antara BPR dengan nasabah, pengikatan
agunan atas kredit tersebut baik secara notariil maupun dibawah
tangan, bukti kepemilikan agunan dari aset kredit, antara lain
bukti kepemilikan kendaraan bermotor, sertifikat tanah, surat
keputusan pengangkatan pegawai dan dokumen lain yang dapat
membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 9…
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penandatanganan perjanjian pemberian FPJP dan perjanjian
pengikatan agunan dilakukan pada waktu bersamaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur nasional, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari
kerja berikutnya.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Jangka waktu perpanjangan FPJP sama dengan jangka waktu
pemberian FPJP yaitu 30 (tiga puluh) hari kalender.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah
diagunkan BPR untuk menjamin FPJP yang diterima BPR sebelumnya
akan dinilai kembali, sehingga BPR perlu menyesuaikan jumlah
agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJP.
Pasal 13
Ayat (1)
Tambahan plafon FPJP yang diajukan akan diakumulasikan terhadap
jumlah FPJP yang belum dilunasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)…
- 10 -
Ayat (3)
Sebagai contoh:
FPJP diberikan pada tanggal 1 Desember 2008 dengan jangka waktu
30 (tiga puluh) hari kalender sehingga jatuh tempo FPJP adalah
tanggal 30 Desember 2008. Tambahan FPJP diberikan kepada BPR
pada tanggal 15 Desember 2008, maka jatuh tempo tambahan plafon
FPJP adalah tetap pada tanggal 30 Desember 2008.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “suku bunga penjaminan LPS yang berlaku”
adalah suku bunga penjaminan yang ditetapkan oleh LPS bagi
simpanan nasabah BPR pada saat perjanjian pemberian FPJP atau
addendumnya ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15…
- 11 -
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jatuh tempo” adalah berakhirnya jangka
waktu FPJP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan wajib disampaikan pada hari kerja pertama minggu
berikutnya.
Pasal 17…
- 12 -
Pasal 17
Pemeriksaan terhadap BPR yang menerima FPJP dapat dilakukan selama
jangka waktu FPJP atau setelah jatuh tempo FPJP.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “biaya” antara lain biaya notaris untuk pengikatan
perjanjian FPJP, pengikatan agunan dengan gadai dan/atau fidusia, biaya
eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka
pemberian FPJP.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22…
- 13 -
Pasal 22
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4943
DKBU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/35/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 5 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 5 Desember 2008 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/ 45 /PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM
PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA
KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya bencana alam pada
tanggal
26 Desember 2004 di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara dan bencana
alam susulan pada tanggal 28 Maret 2005 di Kabupaten
Nias dan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara
telah menimbulkan dampak yang mengganggu kondisi
perekonomian;
b. bahwa salah
kondisi
perekonomian
satu upaya untuk mendukung pemulihan
adalah dengan memberikan
perlakuan khusus terhadap kredit bank umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan
huruf b
dipandang perlu
untuk
mengatur kembali ketentuan mengenai perlakuan khusus
terhadap kredit bank umum pasca bencana alam di Propinsi
Nanggroe …
- 2 -
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias serta
Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN
KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA
BENCANA ALAM DI
PROPINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA
KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA
UTARA.
Pasal 1 …
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang
tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Pasal 2
(1) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain dari Bank bagi
nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan
pembayaran pokok dan atau bunga.
(2) Tata …
- 4 -
(2) Tata cara penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Plafon Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan
untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank.
(4) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit dan atau penyediaan dana lain
yang telah maupun yang akan disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini.
(5) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit dan atau penyediaan
dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau
lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan
atau Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara.
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak
restrukturisasi sampai dengan akhir Januari 2008.
(2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
(3) Restrukturisasi …
- 5 -
(3) Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
baik terhadap Kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat
berlakunya ketentuan ini.
Pasal 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku bagi Kredit yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi
di Propinsi
Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara;
b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan
atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan atau Kabupaten Nias
Selatan, Propinsi Sumatera Utara; dan
c.
direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
Pasal 5
Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan
usaha
atau
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
(1) Bank dapat memberikan Kredit dan atau penyediaan dana lain baru bagi
debitur yang terkena dampak bencana alam di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Kabupaten Nias dan atau Kabupaten Nias Selatan, Propinsi
Sumatera Utara.
(2) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas Kredit
dan atau penyediaan dana sebelumnya.
(3) Penetapan kualitas Kredit dan atau penyediaan dana lain baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Pasal 7
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum
konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
dan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang
mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah,
salam, atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain.
Pasal 8
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/5/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Perlakuan Khusus terhadap
Kredit Bank Umum Pascabencana Nasional Di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
dan Kabupaten
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9 …
Nias, Propinsi Sumatera Utara dicabut dan
- 7 -
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 123
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/ 45 /PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM
PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA
KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA
UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 26
Desember 2004 yang disusul dengan bencana alam berupa gempa bumi di
Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara pada
tanggal 28 Maret 2005 diperkirakan akan memberikan dampak pada
perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud.
Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan
mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
kredit.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum berupa kelonggaran
dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta penyediaan dana dan
pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam
dimaksud.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat (2)
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva
Produktif bagi Bank Umum Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Restrukturisasi Kredit dapat dilakukan terhadap seluruh Kredit yang
diberikan.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif
bagi Bank Umum Syariah.
Pasal 6
Ayat (1)
Pemberian Kredit dan atau peyediaan dana baru tersebut dilakukan
secara selektif sesuai dengan kebijaksanaan perkreditan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penetapan kualitas dilakukan berdasarkan
ketentuan yang berlaku yaitu untuk Kredit atau penyediaan dana lain
dengan plafon
keseluruhan kurang
dari dan sampai
dengan
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sesuai dengan ketentuan
dalam …
- 4 -
dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini, sedangkan untuk plafon
keseluruhan lebih dari
Rp.5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)
dilakukan sesuai ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi
Bank Umum atau Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum
Syariah.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan
dan pembukaan letter of credit.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4562
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/45/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS SERTA KABUPATEN NIAS SELATAN, PROPINSI SUMATERA UTARA </reg_title>
<set_date> 11 November 2005 </set_date>
<effective_date> 11 November 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '7/5/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/27/PBI/2004
TENTANG
PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa yang
didirikan di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan Staatsblad
Tahun 1929 Nomor 357, Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9
dan Tahun 1938 Nomor 3/H, merupakan kewenangan, tugas
dan tanggung jawab Algemeene Volkscrediet Bank (AVB)
yang kemudian
diubah namanya menjadi Bank Rakyat
Indonesia dan terakhir menjadi PT Bank Rakyat Indonesia
(Persero);
b. bahwa oleh karena peraturan-peraturan tersebut dalam butir
a di atas telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, maka pembinaan dan
pengawasan Badan Kredit Desa menjadi kewenangan, tugas
dan tanggung jawab Bank Indonesia;
c. bahwa berhubung Badan Kredit Desa lokasinya tersebar
sampai ke pelosok pedesaan, maka peranan PT Bank Rakyat
Indonesia (Persero) dalam melakukan pengawasan terhadap
Badan Kredit Desa masih sangat diperlukan;
d. bahwa …
-2-
d. bahwa berhubung dengan itu, untuk lebih meningkatkan dan
mengembangkan usaha Badan Kredit Desa serta untuk lebih
mengintensifkan pelaksanaan pengawasan Badan Kredit
Desa secara efektif dan efisien, maka dipandang perlu
menetapkan ketentuan tentang
pelaksanaan pengawasan
Badan Kredit Desa dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Penyesuaian Bentuk
Hukum Bank
Rakyat Indonesia
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 41);
MEMUTUSKAN …
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Badan Kredit Desa selanjutnya disebut BKD adalah Bank Desa dan
Lumbung Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor
357, Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9 dan Tahun 1938 Nomor 3/H yang
berkedudukan di Pulau Jawa dan Madura serta telah mendapat izin usaha
dari Menteri Keuangan.
2. Bank adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian
Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia Menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero).
Pasal 2
(1) Bank melaksanakan pengawasan BKD berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
petunjuk dan/atau pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat pula meminta Bank untuk melakukan pengawasan
lain di luar pedoman yang dimaksud pada ayat (2).
Pasal 3 …
-4-
Pasal 3
(1) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia berupa :
a. Rekapitulasi neraca dan laba rugi BKD.
b. Analisis mengenai perkembangan BKD, permasalahan atau kendala yang
dihadapi, tindakan perbaikan yang telah dilakukan, serta usul dan/atau
pertimbangan mengenai tindak-lanjut yang diperlukan.
c. Analisis mengenai BKD yang mempunyai kemungkinan beroperasi
sebagai Bank Perkreditan Rakyat, baik dilihat dari jumlah permodalan
maupun total aset.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan secara
triwulanan oleh:
a. Kantor Pusat Bank kepada Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan
Rakyat, Bank Indonesia Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10010, untuk
BKD seluruh Indonesia; dan
b. Kantor Wilayah dan Kantor Cabang Bank kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, untuk BKD yang berada di wilayah kerja Kantor Wilayah dan
Kantor Cabang Bank yang bersangkutan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
disampaikan oleh Bank setiap akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember
kepada Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia
Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10010.
(4) Bank Indonesia dapat pula meminta Bank untuk menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia di luar yang tercantum pada ayat (1).
Pasal 4 …
-5-
Pasal 4
(1) Biaya untuk pelaksanaan pengawasan BKD menjadi beban Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia akan menanggung biaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan dialihkannya tugas pengawasan BKD kepada lembaga
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Bank wajib mengajukan rencana kegiatan dan anggaran biaya pengawasan
BKD untuk tahun anggaran berikutnya selambat-lambatnya pada akhir
bulan September, untuk dimintakan persetujuan Bank Indonesia.
(4) Dalam memberikan persetujuan atas rencana kegiatan dan anggaran biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan penelitian
atas kewajaran rencana kegiatan dan biaya yang diajukan oleh Bank dan
mempertimbangkan realisasi sebelumnya.
(5) Persetujuan atas rencana kegiatan dan anggaran biaya, diberitahukan secara
tertulis selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan
pertanggungjawaban atas realisasi anggaran tahun sebelumnya.
(6) Anggaran biaya yang telah disetujui oleh Bank Indonesia bersifat final dan
tidak dimungkinkan adanya penambahan.
(7) Dalam hal realisasi biaya atas pelaksanaan pengawasan BKD lebih kecil
dari jumlah anggaran biaya yang telah disetujui maka Bank wajib
mengembalikan kelebihan anggaran tersebut kepada Bank Indonesia.
Pasal 5 …
-6-
Pasal 5
(1) Dengan berlakunya PBI ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Pembinaan
dan Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT Bank Rakyat Indonesia
(Persero) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Pembinaan dan
Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)
sepanjang
tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti dan diperbaharui.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 13 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 161
DPBPR
-7-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/27/PBI/2004
TENTANG
PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA
UMUM
Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal kerja masyarakat di pedesaan
maka keberadaan Badan Kredit Desa masih dirasakan manfaatnya, oleh karena
itu untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan usaha Badan Kredit Desa
perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, maka pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa menjadi
kewenangan, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Karena keterbatasan
Sumber Daya Manusia maka Bank Indonesia meminta kepada PT Bank Rakyat
Indonesia (Persero) agar tetap melakukan pengawasan terhadap Badan Kredit
Desa dengan pertimbangan selama ini pengawasan Badan Kredit Desa dilakukan
oleh PT Bank Rakyat Indonesia yang memiliki Sumber Daya Manusia serta
jaringan kantor yang memadai untuk melakukan pengawasan Badan Kredit Desa.
Untuk menegaskan hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan
yang mengatur
penugasan
kepada PT Bank Rakyat Indonesia yaitu Surat
Keputusan …
-8-
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/63/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998
tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Badan Kredit Desa oleh PT
Bank Rakyat Indonesia.
Sesuai Pasal 34 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004, diatur bahwa tugas pengawasan
terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independen. Sejalan dengan hal tersebut, setelah terbentuknya lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen maka tugas pengawasan
Badan Kredit Desa beralih dan tidak lagi menjadi beban Bank Indonesia.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu ditetapkan penyempurnaan
ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan Badan Kredit Desa dalam Peraturan
Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)…
-9-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Laporan triwulan disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 1 bulan setelah triwulan berakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2004, tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk
dengan Undang-undang. Selama lembaga pengawas tersebut belum
terbentuk …
-10-
terbentuk maka biaya pelaksanaan pengawasan BKD menjadi
beban Bank Indonesia.
Ayat (2)
Dengan beralihnya wewenang pengawasan bank kepada lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang telah terbentuk, maka biaya
pelaksanaan pengawasan BKD tidak lagi menjadi beban Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Biaya pelaksanaan pengawasan BKD yang disetujui oleh Bank
Indonesia bersifat final, yaitu Bank Indonesia tidak
dapat
memberikan tambahan anggaran apabila realisasi biaya
pengawasan BKD melebihi jumlah biaya pengawasan BKD yang
telah disetujui oleh Bank Indonesia.
Ayat (7) …
-11-
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 4460
DPBPR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/27/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN PENGAWASAN BADAN KREDIT DESA </reg_title>
<set_date> 13 Desember 2004 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '31/63/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '21/PP/1992', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/12/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa peningkatan kredit atau pembiayaan dari
perbankan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah
diperlukan untuk memperkuat peran usaha mikro,
kecil, dan menengah dalam struktur perekonomian
nasional;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan penyaluran kredit
atau pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan
menengah dimaksud, diperlukan kebijakan yang dapat
lebih mendorong pertumbuhan kredit usaha mikro,
kecil, dan menengah antara lain berupa pemberian
insentif dan pengenaan disinsentif bagi bank umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit
atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan
Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah;
Mengingat:…
-2-
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN
TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank
Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor…
-3-
Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5378)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank Umum wajib memberikan Kredit atau Pembiayaan
UMKM.
(2) Jumlah Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen)
yang dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan
UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan.
(3) Pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
bertahap, sebagai berikut:
a. tahun 2013: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank
Umum yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank;
b. tahun 2014: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank
Umum yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank;
c. tahun 2015: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 5% (lima
persen);
d. tahun 2016: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 10% (sepuluh
persen);
e. tahun 2017: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 15% (lima belas
persen); dan
f. sejak…
-4-
f. sejak tahun 2018: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM
terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 20%
(dua puluh persen).
(4) Perhitungan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM
untuk Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dilakukan pada setiap akhir tahun.
(5) Bank Umum konvensional harus menjaga rasio Kredit UMKM
secara bulanan atas rasio Kredit UMKM yang telah ditentukan
pada tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Perhitungan besarnya persentase pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan secara gabungan untuk seluruh kantor Bank
Umum.
2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
3. Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IIIA
yang berbunyi sebagai berikut:
BAB IIIA
LAPORAN REALISASI PEMBERIAN KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN UMKM
Pasal 5A
(1) Bank Umum wajib menyampaikan laporan realisasi pemberian
Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 kepada Bank Indonesia secara online melalui Laporan
Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan
Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai
laporan bulanan Bank Umum dan laporan stabilitas moneter
dan sistem keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
(2) Dalam…
-5-
(2) Dalam hal penyampaian laporan secara online untuk laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
kerja sama pola executing belum tersedia, Bank Umum wajib
menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara
offline.
Pasal 5B
(1) Bank Indonesia menetapkan batas waktu penyampaian laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
kerja sama pola executing secara offline sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5A ayat (2).
(2) Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM
melalui kerja sama pola executing secara offline apabila laporan
diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan realisasi
pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM melalui
kerja sama pola executing secara offline apabila laporan belum
diterima Bank Indonesia sampai dengan batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank Umum dapat melakukan koreksi atas laporan secara
offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (2).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu, prosedur dan
tata cara penyampaian laporan secara offline diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Judul Bab VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
PUBLIKASI, PENGHARGAAN, PEMBINAAN,
DAN INSENTIF
5. Ketentuan…
-6-
5. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Dalam hal pencapaian realisasi pemberian Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f tidak terpenuhi pada akhir tahun, Bank
Umum Syariah wajib menyelenggarakan pelatihan kepada
pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang
tidak sedang dan/atau belum pernah mendapat Pembiayaan
UMKM.
(2) Jumlah dana pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara
rasio Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi dengan realisasi
pencapaian pada setiap akhir tahun, dengan jumlah paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(3) Penyelenggaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan paling lambat 30 September tahun
berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase tertentu dari
selisih antara rasio Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi
dengan realisasi pencapaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
12A dan Pasal 12B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
Pencapaian rasio pemberian Kredit UMKM sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f oleh Bank
Umum konvensional dapat menjadi faktor untuk memperoleh
kelonggaran batas atas loan to funding ratio target atau pengurangan
jasa giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur…
-7-
mengatur mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta
asing bagi Bank Umum konvensional.
Pasal 12B
(1) Bank Indonesia dapat memberikan insentif kepada Bank
Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Bank Umum yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri dan
Bank Campuran yang melanggar Pasal 4 huruf b dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Bank Umum Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan (3) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
8. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
13A, Pasal 13B, dan Pasal 13C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Bank Umum yang terlambat menyampaikan laporan secara
offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5B ayat (2)
dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar…
-8-
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank Umum yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5B ayat (3) dikenakan
sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dilakukan dengan
cara pendebetan rekening giro Bank Umum yang ada di Bank
Indonesia.
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mulai berlaku untuk
penyampaian laporan secara offline untuk posisi Juni 2015.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13B
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank Umum untuk
menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM melalui kerja sama pola executing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5A ayat (2).
Pasal 13C
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan Pasal 13A, Bank Indonesia dapat merekomendasikan
kepada otoritas pengawas bank untuk melakukan tindakan sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal II…
-9-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juni 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 153
DPUM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/12/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
I. UMUM
Dalam rangka mendorong pemberian Kredit dan Pembiayaan
perbankan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Bank
Indonesia telah mewajibkan Bank Umum untuk memberikan Kredit atau
Pembiayaan kepada UMKM, dengan tahapan pencapaian pada tahun 2013
dan tahun 2014 yang disesuaikan dengan kemampuan Bank Umum, pada
tahun 2015 yang ditetapkan paling rendah sebesar 5%, tahun 2016 paling
rendah sebesar 10%, tahun 2017 paling rendah sebesar 15% dan sejak
tahun 2018 paling rendah sebesar 20%.
Dalam penerapannya, masih terdapat kendala dalam penyaluran
Kredit atau Pembiayaan UMKM yang antara lain disebabkan rendahnya
akses UMKM untuk mendapatkan Kredit atau Pembiayaan dari perbankan.
Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan untuk lebih meningkatkan
penyaluran dana perbankan kepada UMKM.
Kebijakan peningkatan penyaluran dana perbankan kepada UMKM
tersebut dilakukan antara lain melalui bauran kebijakan terkait UMKM
dengan kebijakan makroprudensial mengenai giro wajib minimum
berdasarkan loan to funding ratio, dan pemberian insentif bagi Bank Umum
yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM.
Untuk mendukung peningkatan Kredit atau Pembiayaan UMKM
tersebut, diperlukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
II. PASAL…
-2-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemantauan oleh Bank Indonesia
terhadap kepatuhan Bank Umum
konvensional atas pemenuhan rasio Kredit
UMKM secara bulanan antara lain
dilakukan melalui Laporan Bulanan Bank
Umum.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Huruf a
Pengertian kredit ekspor mengacu kepada
ketentuan yang mengatur mengenai
laporan bulanan Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
-3-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penyampaian
laporan secara offline adalah penyampaian
laporan melalui sarana elektronik berupa
email, atau dengan hardcopy dan softcopy
(compact disc/USB) dalam hal terdapat
gangguan sistem email.
Pasal 5B
Ayat (1)
Penetapan batas waktu penyampaian
laporan mencakup pula penetapan batas
waktu bahwa Bank Umum dinyatakan
terlambat atau dinyatakan tidak
menyampaikan laporan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 12
Cukup Jelas.
Angka 6
Pasal 12A
Cukup jelas.
Pasal 12B…
-4-
Pasal 12B
Ayat (1)
Pemberian insentif kepada Bank Umum
berupa:
a. pelatihan
kepada
pejabat
kredit/account officer Bank Umum;
b. pelatihan kepada Usaha Mikro dan
Usaha Kecil;
c. fasilitasi dalam pemanfaatan peme-
ringkatan kredit (credit rating) untuk
Usaha Kecil dan Usaha Menengah; dan
d. publikasi keberhasilan serta
pemberian penghargaan (award)
kepada Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13A
Cukup jelas.
Pasal 13B
Cukup jelas.
Pasal 13C
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5713
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/12/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/22/PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH </reg_title>
<set_date> 25 Juni 2015 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date>
<changed_reg> '14/22/PBI/2012' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '20/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 13', 'Pasal I Angka 8 Pasal 13A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/7/PBI/2017
TENTANG
PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING
KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sejalan dengan tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan
pengendalian moneter yang dilakukan salah satunya
melalui pengaturan lalu lintas pembawaan uang kertas
asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia;
b. bahwa dalam rangka pengendalian moneter, Bank
Indonesia juga memerlukan data dan informasi terkait
uang kertas asing yang masuk ke dalam dan ke luar
daerah pabean Indonesia;
c. bahwa pengaturan mengenai perizinan pembawaan uang
kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean
Indonesia juga sejalan dengan upaya mendukung
kebijakan Bank Indonesia dalam mewujudkan gerakan
nasional nontunai dan penerapan kewajiban penggunaan
rupiah dalam transaksi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar
Daerah Pabean Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBAWAAN
UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH
PABEAN INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA
adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi
diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia dan
diakui sebagai alat pembayaran yang sah di negara yang
bersangkutan.
2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan dan/atau
mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah
Pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri
atau menggunakan jasa pihak lain, untuk kepentingan
sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau
barang bawaan penumpang.
3.
Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank
Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA.
4. Badan Berizin adalah pihak yang memperoleh Izin
Pembawaan UKA dari Bank Indonesia.
5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin
untuk setiap Pembawaan UKA.
6. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di
atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif
dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-
Undang mengenai kepabeanan.
7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan serta bank syariah dan
bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud
- 4 -
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank adalah penyelenggara kegiatan
usaha penukaran valuta asing bukan bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank.
9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa
pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah.
10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah melakukan
pendaftaran ke Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan Pembawaan UKA.
BAB II
PIHAK YANG DAPAT MELAKUKAN PEMBAWAAN UKA
Pasal 2
(1) Setiap pihak yang melakukan Pembawaan UKA dengan
jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan
Rp1.000.000.000,00
(satu miliar
rupiah),
wajib
memperoleh Izin Pembawaan UKA dari Bank Indonesia.
(2) Pihak yang dapat melakukan Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Badan
Berizin.
(3) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Bank; dan
b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(4) Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan
sendiri atau untuk kepentingan pihak lain.
- 5 -
BAB III
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN PEMBAWAAN UKA
Bagian Kesatu
Perizinan Pembawaan UKA
Pasal 3
(1) Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh Izin Pembawaan UKA.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang
berwenang; dan
b. memiliki izin sebagai bank devisa atau memperoleh
persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran
valuta asing dari otoritas yang berwenang.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dari Bank Indonesia;
b. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan
c. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Izin Pembawaan UKA yang diberikan Bank Indonesia
kepada Badan Berizin berjangka waktu paling lama 5
(lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin.
(2) Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diperpanjang dengan pengajuan permohonan
perpanjangan Izin Pembawaan UKA dari Badan Berizin
kepada Bank Indonesia.
- 6 -
(3) Pengajuan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan
UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum Izin Pembawaan
UKA berakhir.
Pasal 5
(1) Dalam rangka memproses permohonan Izin Pembawaan
UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan penelitian atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) dan Pasal 3 ayat (3).
(2) Dalam rangka melakukan penelitian atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara
langsung.
(3) Selain melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat
melakukan koordinasi dengan otoritas terkait.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara
pengajuan, pemrosesan, dan perpanjangan Izin Pembawaan
UKA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Persetujuan Pembawaan UKA
Pasal 7
(1) Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) setiap akan melakukan Pembawaan UKA dengan
jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib terlebih
dahulu mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA dari
Bank Indonesia.
(2) Untuk mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Berizin
- 7 -
mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA
kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan proyeksi
kebutuhan UKA per mata uang dan detail rencana
Pembawaan UKA untuk jangka waktu selama 3 (tiga)
bulan.
(4) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung
terkait dengan permohonan Persetujuan Pembawaan
UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Bank Indonesia
paling lambat 1 (satu) bulan sebelum periode Pembawaan
UKA.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan
Pembawaan UKA dari Badan Berizin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berdasarkan
pertimbangan:
a. peruntukan Pembawaan UKA;
b. aspek historis Pembawaan UKA;
c. kondisi makroekonomi; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
(2) Persetujuan Pembawaan UKA yang diberikan oleh Bank
Indonesia berupa kuota per mata uang untuk periode
selama 3 (tiga) bulan.
(3) Badan Berizin dilarang melakukan Pembawaan UKA
melebihi kuota yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal terdapat kebutuhan penambahan kuota dalam
periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan
Berizin dapat mengajukan permintaan penambahan
kuota 1 (satu) kali dalam periode Persetujuan
Pembawaan UKA yang telah diberikan Bank Indonesia.
- 8 -
(5) Permintaan penambahan kuota sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diajukan oleh Badan Berizin paling lambat
7 (tujuh) hari kerja sebelum Pembawaan UKA.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan, tata
cara pemrosesan, tata cara penambahan kuota, dan periode
Persetujuan Pembawaan UKA diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
PEMBAWAAN UKA OLEH BADAN BERIZIN
Pasal 10
Badan Berizin dapat melakukan Pembawaan UKA secara
sendiri atau menggunakan jasa PJPUR.
Pasal 11
(1) Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA dengan
menggunakan jasa PJPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib menggunakan PJPUR Terdaftar.
(2) Pembawaan UKA oleh PJPUR Terdaftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan
permintaan dari Badan Berizin.
(3) Ketentuan mengenai PJPUR tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara
jasa pengolahan uang rupiah.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
Pembawaan UKA oleh Badan Berizin diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
- 9 -
BAB V
PENYAMPAIAN PERUBAHAN DATA BADAN BERIZIN
Pasal 13
(1) Badan Berizin wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia secara tertulis apabila terdapat perubahan
data dan/atau informasi pada dokumen yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia saat pengajuan
permohonan Izin Pembawaan UKA.
(2) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. perubahan status;
b. perubahan modal;
c. perubahan nama; dan/atau
d. perubahan alamat.
(3) Penyampaian perubahan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin
berupa Bank dilakukan setelah perubahan tersebut
disetujui oleh otoritas yang berwenang.
(4) Penyampaian perubahan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin
berupa Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan
bank.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
perubahan data dan/atau informasi bagi Bank diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) Dalam rangka memastikan kebenaran perubahan data
dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13, Bank Indonesia dapat meminta laporan, keterangan,
dan/atau data kepada Badan Berizin dan/atau otoritas
terkait.
(2) Selain meminta laporan, keterangan, dan/atau data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
- 10 -
dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap
Badan Berizin dimaksud.
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
BAB VI
EVALUASI PERIZINAN PEMBAWAAN UKA
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas perizinan
Pembawaan UKA dengan mempertimbangkan:
a. tingkat kepatuhan Badan Berizin terhadap
ketentuan yang berlaku;
b. tingkat
c. adanya
utilitas dan perkembangan kegiatan
Pembawaan UKA;
rekomendasi,
informasi,
dan/atau
permintaan dari pengawas atau otoritas lain;
dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
(2) Bank Indonesia berwenang untuk mencabut Izin
Pembawaan UKA yang diberikan kepada Badan Berizin
berdasarkan:
a. hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. permintaan otoritas lain yang berwenang;
c. permohonan yang diajukan sendiri oleh Badan
Berizin; dan/atau
d. pelanggaran ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
Pasal 16
Pelaksanaan ketentuan mengenai Pembawaan UKA ini
menggunakan infrastruktur pendukung berupa sistem yang
dikembangkan Bank Indonesia dan/atau sistem yang
- 11 -
dikembangkan oleh Pengelola Portal Indonesia National Single
Window.
Pasal 17
Bank Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai serta otoritas lain dalam rangka:
a. pertukaran data dan informasi;
b. penegakan ketentuan Pembawaan UKA sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan;
dan/atau
c. kerja sama lainnya.
BAB VIII
KURS KONVERSI
Pasal 18
(1) Kurs yang digunakan dalam pelaksanaan ketentuan
Pembawaan UKA ini mengacu pada kurs yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal Pembawaan UKA menggunakan mata uang
asing yang tidak terdapat dalam kurs yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), kurs yang digunakan adalah kurs beli valuta asing
oleh perbankan atau indikasi kurs yang dijadikan acuan
pasar.
BAB IX
SANKSI
Pasal 19
Setiap pihak yang melakukan Pembawaan UKA dengan
jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), tanpa memperoleh
Izin Pembawaan UKA dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan sanksi berupa
penegahan atas seluruh Pembawaan UKA sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan.
- 12 -
Pasal 20
Setiap Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA
dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), tanpa persetujuan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
atau melebihi kuota yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dikenakan
sanksi berupa penegahan atas seluruh Pembawaan UKA
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
kepabeanan.
Pasal 21
Sanksi yang dikenakan kepada Badan Berizin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 tidak meniadakan sanksi
administratif yang dikenakan oleh Bank Indonesia.
Pasal 22
Badan Berizin yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11
ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
oleh Bank Indonesia berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan Pembawaan UKA;
dan/atau
c. pencabutan Izin Pembawaan UKA.
Pasal 23
Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan
Pasal 22, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada
otoritas yang berwenang untuk mengenakan sanksi sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 13 -
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak
berlaku bagi Pembawaan UKA yang dilakukan dalam
rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
(2) Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah
melakukan kegiatan Pembawaan UKA sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku harus mengajukan Izin
Pembawaan UKA kepada Bank Indonesia dengan
mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 22, dan Pasal 23 mulai berlaku pada tanggal 7 Mei
2018.
Pasal 27
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
5 Maret 2018.
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W.MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 94
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/7/PBI/2017
TENTANG
PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING
KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
I. UMUM
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah
sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan pengendalian moneter.
Adanya tren kenaikan volume transaksi UKA di domestik dan
tingginya aktivitas Pembawaan UKA berpotensi mengganggu kestabilan
nilai Rupiah apabila lalu lintas pembawaannya tidak diatur dan tidak
dimonitor secara baik oleh otoritas moneter.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka dalam rangka
pengendalian moneter, Bank Indonesia memerlukan data dan informasi
terkait lalu lintas Pembawaan UKA dalam jumlah di atas nominal tertentu
yang dilakukan oleh pihak yang selama ini telah melakukan Pembawaan
UKA, yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Guna mendukung efektivitas pengendalian moneter tersebut,
Pembawaan UKA di atas nominal tertentu perlu diatur mekanismenya
sehingga Bank Indonesia dapat memonitor secara baik jumlah pasokan
- 2 -
dan kebutuhan UKA di domestik dan sekaligus memitigasi Pembawaan
UKA yang tidak memiliki peruntukan transaksi yang wajar.
Mekanisme yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah
bahwa Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara
dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) hanya boleh dilakukan
oleh Badan Berizin, yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan
Pembawaan UKA.
Pertimbangan Bank Indonesia untuk membatasi pelaku Pembawaan
UKA dimaksud, antara lain karena kedua lembaga keuangan tersebut,
yaitu Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, merupakan pemasok
utama UKA di pasar domestik serta memiliki kompetensi dan sistem yang
cukup memadai yang diharapkan dapat memitigasi risiko terkait
peredaran UKA di masyarakat. Sementara itu, penetapan ambang batas,
yaitu jumlah yang nilainya paling sedikit
setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dilakukan antara lain dengan
mempertimbangkan aspek kewajaran pembawaan uang tunai oleh
individu, mitigasi risiko terganggunya sektor pariwisata, sektor
perdagangan dan jasa di pasar domestik, kesiapan lembaga keuangan
domestik dalam memfasilitasi jasa keuangan nontunai, serta untuk
mendukung efektivitas ketentuan tentang kewajiban penggunaan Rupiah
dalam transaksi barang dan jasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, pengaturan ini tidak bermaksud untuk melakukan
kontrol devisa, sehingga individu baik Warga Negara Indonesia (WNI)
maupun Warga Negara Asing (WNA) yang memerlukan UKA di atas
ambang batas Izin Pembawaan UKA, tetap dapat memenuhi kebutuhan
valuta asing dengan cara nontunai.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
UKA termasuk UKA yang berbahan dasar plastik.
- 3 -
Hasil cetak uang kertas asing yang dilakukan oleh perusahaan
percetakan uang di Indonesia tidak dianggap sebagai UKA
mengingat hasil cetak uang kertas asing tersebut belum diakui
sebagai alat pembayaran yang sah oleh negara yang
bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan yang diberikan
kewenangan untuk melakukan pencetakan uang atas dasar
permintaan otoritas negara lain dapat membawa hasil cetak
uang kertas asing sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah modal
disetor untuk pendirian Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dimaksud.
Huruf c
Yang dimaksud “persyaratan operasional” antara lain
memiliki:
a. sumber daya manusia yang memadai;
b. sistem informasi dan sistem manajemen risiko; dan
c. sarana dan prasarana pendukung kegiatan operasional
terkait kegiatan usaha perdagangan valuta asing.
- 4 -
Pasal 4
Ayat (1)
Jangka waktu Izin Pembawaan UKA untuk Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank paling lama sama dengan jangka waktu
dari izin sebagai Penyelengara KUPVA Bukan Bank yang
diberikan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Periode Pembawaan UKA adalah 3 (tiga) bulanan, yaitu periode
Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli
sampai dengan September, dan Oktober sampai dengan
Desember.
Pasal 8
Ayat (1)
Penolakan Persetujuan Pembawaan UKA oleh Bank Indonesia
antara lain mempertimbangkan peruntukan Pembawaan UKA
misalnya Badan Berizin yang mengajukan permohonan
- 5 -
Persetujuan Pembawaan UKA melakukan Pembawaan UKA
untuk kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak
berizin dan/atau penyelenggara transfer dana tidak berizin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permintaan dari Badan Berizin kepada PJPUR Terdaftar untuk
melakukan Pembawaan UKA dilakukan dengan surat
permintaan dari Badan Berizin.
PJPUR Terdaftar yang melakukan Pembawaan UKA dengan
jumlah yang nilainya
paling sedikit
setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tanpa permintaan dari
Badan Berizin dianggap sebagai pihak yang tidak memperoleh
Izin Pembawaan UKA.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 13
Ayat (1)
Perubahan data dan/atau informasi antara lain disebabkan
peleburan, penggabungan, pemisahan, self liquidation, dan/atau
penghentian kegiatan usaha yang dilakukan oleh Badan Berizin.
Ayat (2)
Contoh perubahan status adalah perubahan status bank devisa
menjadi bank nondevisa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “Indonesia National Single Window” adalah
sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu
penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of
data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal
dan sinkron (single and synchronous processing of data and
information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk
pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision
making for custom release and clearance of cargoes).
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” antara lain Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan serta otoritas pengaturan dan
pengawasan perbankan.
Pertukaran data dan informasi terkait Pembawaan UKA antara lain
memuat penyampaian dan perubahan daftar Badan Berizin dan
- 7 -
PJPUR Terdaftar, pelaporan Pembawaan UKA, serta pembawaan uang
tunai.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Indikasi kurs yang umum digunakan sebagai acuan pasar,
antara lain kurs beli Bloomberg atau Reuters.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6050
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/7/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 3 Mei 2017 </set_date>
<effective_date> 5 Maret 2018 </effective_date>
<issued_date> 5 Mei 2017 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 19 /PBI/2001
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka standarisasi ukuran dan meningkatkan unsur
pengamanan pada uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun
emisi 1992 yang telah beredar sembilan tahun, dipandang perlu
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 5.000
(lima ribu) tahun emisi 2001;
b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 5.000
(lima ribu) tahun emisi 2001 perlu ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli
2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan
Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA
RIBU) TAHUN EMISI 2001.
Pasal 1 ……….
- 2 -
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu)
tahun emisi 2001 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas
yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal
Rp 5.000 (lima ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
A. WARNA
1. Bagian muka dicetak dengan warna hijau, violet, merah jambu, coklat muda dan
coklat tua;
2. Bagian belakang dicetak dengan warna coklat muda, violet, coklat tua, hijau, hitam
dan coklat kemerahan;
B. GAMBAR
1. Bagian Muka
a. gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bondjol, dan di
bawahnya dicantumkan tulisan “TUANKU IMAM BONDJOL”;
b. di sebelah ……….
- 3 -
b. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah horizontal,
sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo “BI”, embosse berbentuk roset dengan cetak tanpa tinta, anti foto
copy dalam bentuk tulisan “RI”, anti fotoreproduksi dalam bentuk tulisan “BI”
yang berulang dan berseling terbalik, tulisan “BANK INDONESIA” dan tulisan
“LIMA RIBU RUPIAH”;
c. di sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo “BI”
yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, gambar Lambang Negara Garuda
Pancasila, angka nominal “5000” arah vertikal, angka “2001”, tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Syahril Sabirin) beserta
tulisan “GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur (Miranda S. Goeltom)
beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN
UANG RI IMP 2001” (angka 2001 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan
uang);
d. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari :
- garis-garis lengkung dan lingkaran yang membentuk hiasan bunga;
- garis-garis guilloche, gelombang, vertikal dan horizontal yang membentuk
hiasan;
- garis-garis horizontal dan vertikal yang memuat tulisan mikro
“BANKINDONESIA5000” berulang-ulang tanpa spasi;
- ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat;
2. Bagian Belakang
a. gambar utama berupa gambar Pengrajin Tenun;
b. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG
SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU
RUPIAH”, dan tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian
membentuk kain tenun;
c. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “5000” arah vertikal, nomor
seri berwarna hitam (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan memendar
hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet, dan cetakan tidak kasat mata berupa
angka “5000” yang akan tampak berwarna kuning kehijauan di bawah sinar ultra
violet;
d. di sebelah ……….
- 4 -
d. di sebelah kanan gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”, nomor
seri berwarna merah (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan
memendar merah kekuningan di bawah sinar ultra violet, sebagian gambar recto
verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, anti
foto copy dalam bentuk tulisan “RI”, tulisan “PENGRAJIN TENUN PANDAI
SIKEK – SUMATERA BARAT”, angka nominal “5000” arah horizontal;
e. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari :
-
garis-garis guilloche yang bergelombang;
- tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi;
-
-
garis-garis lingkaran, bergelombang yang membentuk hiasan bunga;
garis-garis horizontal, vertikal, lengkung dan lingkaran memuat teks “RI”
- ornamen Tengkuluak dari Minangkabau Sumatera Barat;
C. BAHAN
Jenis bahan terbuat dari 100% serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. ukuran 143 mm x 65 mm;
2. warna krem (putih kekuning-kuningan);
3. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
4. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia;
5. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro
berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong sebagian, dan
memendar hijau dan kuning secara berseling di bawah sinar ultra violet.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai
tanggal 6 November 2001.
Pasal 6 ……….
- 5 -
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Oktober 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 131
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/19/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2001 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2001 </set_date>
<effective_date> 26 Oktober 2001 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/34/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
- 2 -
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 100.000
(SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh
lima) lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 151 (seratus lima puluh satu) milimeter dan
lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 302 (tiga ratus dua) milimeter dan lebar 130
(seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. panjang 755 (tujuh ratus lima puluh lima) milimeter
dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima)
milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat
puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “100000” dan tulisan
“SERATUS RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e.
tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. (H.C.) Ir.
Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta
beserta tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan
“Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan merah;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
- 5 -
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “100” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI100”, tulisan
“BI”, dan angka “100”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “100000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “100000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
- 7 -
e. gambar utama yaitu tari topeng betawi beserta
tulisan “TARI TOPENG BETAWI”, pemandangan
alam Raja Ampat beserta tulisan “Raja Ampat”, dan
bunga anggrek bulan;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan merah;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari topeng betawi, tulisan “TARI TOPENG
BETAWI”, dan tulisan “Raja Ampat”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“100” yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“100000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI100000” dan
angka “100000”, yang dapat dilihat dengan bantuan
kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek bulan;
2. gambar burung elang bondol;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
- 8 -
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna merah muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional W. R. Soepratman dan ornamen
tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 100000” secara berulang,
yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda (colour shifting); dan
b. ukuran yaitu panjang 151 (seratus lima puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
2 (dua) lembar (bilyet);
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- 8 -
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 218
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/34/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/ 21 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/15/PBI/2003 TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa fasilitas untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank
sepanjang memiliki agunan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
b. bahwa untuk kepentingan perhitungan biaya bunga Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek FPJP diperlukan data terkini;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan
penyempurnaan atas ketentuan mengenai Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang- ….
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN
JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4317) diubah sebagai berikut :
1. Penjelasan Pasal 3 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan dan 1.
Ketentuan Pasal 3 dihapusdiubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
Bank dapat menggunakan FPJP sepanjang memiliki agunan yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar
jumlah FPJP yang diterima.
2. Ketentuan ….
NOMOR
- 3 -
2. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:
(1)
Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank
penggunaan FPJP.
(2)
atas
Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1)
termasuk perpanjangannya ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari:
a. suku bunga PUAB ditambah marjin tertentu; atau
b. tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan pada lelang
terakhir ditambah marjin tertentu.
(3) Penetapan suku bunga PUAB atau diskonto SBI, dan marjin tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
- 4 -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 68
.….
DPM/DPNPAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
DPNP/DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 21
/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/15/PBI/2003
TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM
UMUM
Sehubungan dengan perubahan persyaratan Bank penerima FPJP dan
perhitungan biaya bunga FPJP berdasarkan data terkini, dipandang perlu untuk
menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Termasuk dalam “penggunaan FPJP” adalah perpanjangan FPJP dan
pengalihan FLI menjadi FPJP.
Angka 2
Pasal 13
Ayat (1)
Pengenaan biaya bunga FPJP dilakukan dengan rumus sebagai
berikut :
(Jumlah FPJP)x(suku bunga FPJP)x(jangka waktu dalam hari)
360
C:\Documents and Settings\erwinsoer\Local Settings\Temporary Internet Files\OLK3\PBI FPJP Revisi TKS - Juni06 LR 13 Juni 05.docD:\file kerja\konsep
ketentuan\DPM\FPJP\PBI FPJP Revisi TKS - Juni06 LR 13 Juni 05.doc
Ayat ….
- 2 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Data untuk penetapan suku bunga PUAB diperoleh dari PIPU
yang merupakan hasil olahan keluaran Laporan Harian Bank
Umum (LHBU) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai LHBU.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
…..4518
- 3 -
DPNP/DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/21/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<changed_reg> '5/15/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 13 /PBI/1999
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS
PECAHAN 150.000 (SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA TAHUN 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka memperingati ulang tahun UNICEF ke -50 dan
menghimpun dana untuk kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia, Bank
Indonesia memandang perlu untuk berpartisipasi dalam program “The
UNICEF Children of the World Coin Collection”;
b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000 (seratus lima
puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For The Children of
The World” tanda tahun 1999;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000
(seratus lima puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For
The Children of The World” tanda tahun 1999 dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/ 12 /PBI/1999 tanggal 29
Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus (Commemora-tive),
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
);
Nomor
MEMUTUSKAN .....
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 150.000
(SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN PECAHAN 10.000 (SEPULUH
RIBU) SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA
TAHUN 1999
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 150.000
(seratus lima puluh ribu) dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For The Children of The
World” tanda tahun 1999 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 2
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas.
Pasal 3
Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pasal 1 adalah :
A. Pecahan 150.000 (Seratus Lima Puluh Ribu)
1. Bahan
2. Kadar
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
: Logam Emas
: 0,999
:
:
1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas
3). Logo UNICEF, di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun Penerbitan “1999” di bagian tengah sisi kanan
b. Sisi .......
- 3 -
b. Sisi Belakang :
1). Gambar Utama Anak laki-laki bermain kuda lumping
2). Teks “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD”, di bagian atas
3). Nilai Nominal “Rp 150000”, di bagian bawah
c. Sisi Samping
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
:
:
:
:
:
Bergerigi
Kuning emas
Bulat (lingkaran)
: 22,00 mm
6,22 gram
Proof
B. Pecahan 10.000 (sepuluh ribu)
1. Bahan
2. Kadar
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
:
:
:
:
1). Gambar Utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas
3). Logo UNICEF, di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun Penerbitan “1999” di bagian tengah sisi kanan
b. Sisi Belakang :
1). Gambar utama Kegiatan Pramuka dalam penanaman sejuta pohon
2). Teks “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD”, di bagian atas
3). Nilai Nominal “Rp 10000”, di bagian bawah
c. Sisi Samping
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
:
:
:
:
:
Bergerigi
Putih Perak
Bulat (lingkaran)
: 38,61 mm
28,28 gram
Proof
Logam Perak
0,925
Pasal 4 .......
- 4 -
Pasal 4
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai
tanggal 31 Januari 2000.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 229
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/13/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 150.000 (SERATUS LIMA PULUH RIBU) DAN PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) SERI “FOR THE CHILDREN OF THE WORLD” TANDA TAHUN 1999 </reg_title>
<set_date> 29 Desember 1999 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/36/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang
- 2 -
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 5.000
(LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh)
lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 143 (seratus empat puluh tiga) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 286 (dua ratus delapan puluh enam)
milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh)
milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat)
lembar (bilyet); dan
c. panjang 715 (tujuh ratus lima belas) milimeter dan
lebar 650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “5000” dan tulisan
“LIMA RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. K.H.
Idham Chalid beserta tulisan “Dr. K.H. IDHAM
CHALID”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan cokelat;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
- 5 -
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “5” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI5”, tulisan
“BI5000”, dan angka “5”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “5000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “5000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari gambyong beserta tulisan
“TARI GAMBYONG”, pemandangan alam Gunung
Bromo beserta tulisan “Gunung Bromo”, dan bunga
sedap malam;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
- 6 -
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan cokelat;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“5000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI5000”, tulisan
“BANKINDONESIA5000”, dan angka “5000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga sedap malam;
2. gambar sebagian pemandangan alam Gunung
Bromo;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. bidang yang berisi rangkaian gambar belah
ketupat;
5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna krem;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan
- 7 -
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan
memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet;
dan
b. ukuran yaitu panjang 143 (seratus empat puluh tiga)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
50 (lima puluh) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
- 8 -
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 220
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/36/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/ 10 /PBI/2006
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA
DI PROPINSI JAWA TENGAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa terjadinya bencana alam yang melanda Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di
Propinsi Jawa Tengah telah menimbulkan dampak yang
mengganggu perekonomian di daerah tersebut secara
cukup signifikan;
b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian di daerah tersebut adalah dengan
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank
dengan jumlah tertentu dan kredit yang direstrukturisasi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus
terhadap kredit bank pasca bencana alam di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di
Propinsi Jawa Tengah dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA
DI PROPINSI JAWA TENGAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana …
- 3 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Kredit Bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
3. Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan uang atau tagihan
yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 2
(1) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
dari Bank Umum bagi nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling
banyak sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan
pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.
(2) Tata cara penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan
dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Plafon …
- 4 -
(3) Plafon Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual
maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu)
Bank Umum.
(4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Kredit Bagi Bank
Umum dan atau penyediaan dana lain yang telah maupun yang akan
disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini.
(5) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank
Umum dan atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah
debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah.
(6) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat
yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak restrukturisasi
sampai dengan akhir Juni 2009.
(2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi
Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi
Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan …
- 5 -
dilakukan baik terhadap kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada
saat berlakunya ketentuan ini.
Pasal 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit
Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha
di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi
Jawa Tengah;
b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan
atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa
Tengah; dan
c.
direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
Pasal 5
Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum yang direstrukturisasi setelah jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut :
a. Untuk kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Untuk kredit dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
(1) Bank dapat memberikan kredit dan/atau penyediaan dana lain baru bagi
debitur yang terkena dampak bencana alam di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah.
(2) Penetapan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit
dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya.
(3) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. Untuk kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Untuk kredit dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 7
(1) Yang termasuk daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah Kabupaten Klaten.
(2) Penentuan mengenai daerah lain di sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 8 …
- 7 -
Pasal 8
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum
konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan
(mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna),
sewa (ijarah), pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan
mempunyai daya laku surut sejak tanggal 31 Mei 2006.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Juni 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 51
DPNP/DPBPR/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/ 10 /PBI/2006
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA
DI PROPINSI JAWA TENGAH
UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam yang melanda Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah
diperkirakan akan memberikan dampak yang mengganggu
perekonomian
Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur
yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan
dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam
penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta penyediaan dana dan
pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam
dimaksud.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat (2)
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva
Produktif bagi Bank Umum Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit
Bagi Bank Perkreditan Rakyat dapat dilakukan terhadap seluruh kredit
yang diberikan.
Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat
dilakukan melalui penyelamatan kredit, berupa penjadwalan kembali
(rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), atau penataan
kembali (restructuring), sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang
Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva
Produktif bagi Bank Umum Syariah.
Pasal 6 …
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Pemberian kredit dan/atau penyediaan dana baru tersebut dilakukan
secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan
mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan
Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan
dan pembukaan letter of credit.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4626
DPNP/DPBPR/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/10/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH </reg_title>
<set_date> 7 Juni 2006 </set_date>
<effective_date> 7 Juni 2006 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 31 Mei 2006. </effective_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/ 24 /PBI/2010
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam upaya meningkatkan keberhasilan
pengendalian moneter diperlukan data dan informasi
mengenai kewajiban finansial penduduk terhadap bukan
penduduk, khususnya utang luar negeri;
b. bahwa kualitas data dan informasi yang berasal dari
pelaporan utang luar negeri oleh penduduk perlu lebih
ditingkatkan dalam rangka mendukung penyusunan statistik
utang luar negeri, statistik neraca pembayaran, pengelolaan
cadangan devisa, dan perumusan kebijakan moneter;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk mengatur kembali
Peraturan Bank Indonesia tentang kewajiban pelaporan
utang luar negeri;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik…
-2-
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
2. Pelapor adalah Penduduk yang memiliki kewajiban utang luar negeri kepada
bukan Penduduk.
3. Utang Luar Negeri atau selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk
kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing dan atau rupiah, berdasarkan
perjanjian kredit (loan agreement), surat utang (debt securities), utang dagang
(trade credits) dan/atau utang lainnya (other loans), kecuali penerusan
pinjaman utang pemerintah (two step loan), giro, tabungan, dan deposito.
4. Laporan Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Laporan ULN adalah
laporan yang terdiri dari laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya dan
laporan data realisasi ULN.
5. Perjanjian…
-3-
5. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang berisi
syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya plafon kredit,
suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya.
6. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang dapat
diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar
negeri.
7. Utang Dagang (Trade Credits) adalah utang yang timbul dalam rangka kredit
yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang dan/atau jasa.
8. Utang Lainnya (Other Loans) adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang
berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt
Securities), dan Utang Dagang (Trade Credits).
9. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II
PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia secara
benar, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan
ULN serta ketepatan waktu penyampaian Laporan ULN kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
ULN yang wajib dilaporkan meliputi:
a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities);
c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau
d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans).
Pasal 4…
-4-
Pasal 4
Pelapor harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun,
memverifikasi, dan menyampaikan Laporan ULN.
Pasal 5
Laporan ULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada
Bank Indonesia bersifat rahasia.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia dapat meneliti kebenaran Laporan ULN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), termasuk meminta bukti pembukuan,
catatan, dokumen, dan/atau informasi lainnya yang berkaitan dengan
kewajiban pelaporan.
(2) Pelapor harus memberikan bantuan yang diperlukan Bank Indonesia dalam
rangka meneliti kebenaran atas Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
BAB III
LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 7
(1) Laporan ULN terdiri dari:
a. Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya; dan
b. Laporan data realisasi ULN.
(2) Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi profil Pelapor dan profil ULN.
Pasal 8
Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan ULN yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
BAB IV…
-5-
BAB IV
JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 9
(1) Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah
penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), penerbitan Surat
Utang (Debt Securities) dan/atau pengakuan utang atas Utang Dagang (Trade
Credits) dan/atau Utang Lainnya (Other Loans).
(2) Laporan data realisasi ULN wajib disampaikan secara bulanan kepada Bank
Indonesia dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal
10 pada bulan berikutnya.
(3) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
Pasal 10
(1) Koreksi atas Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan
penyampaian laporan.
(2) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, maka koreksi atas Laporan ULN disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
BAB V
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 11
(1) Laporan ULN disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media
online, media offline atau hard copy.
(2) Setiap…
-6-
(2) Setiap Laporan ULN harus disampaikan dengan dokumen pendukung sesuai
jenis ULN kepada Bank Indonesia.
BAB VI
SANKSI
Pasal 12
(1) Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan ULN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung
sejak batas akhir penyampaian Laporan ULN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 Pelapor tidak menyampaikan Laporan ULN.
Pasal 13
(1) Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data pokok, perubahan data
pokok dan/atau laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor.
(2) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN,
perubahan laporan data pokok ULN dan/atau laporan data realisasi ULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi administratif
berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari
keterlambatan untuk setiap Pelapor.
(3) Jumlah keseluruhan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap
Pelapor.
(4) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan ULN apabila
menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN melampaui
batas…
-7-
batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 10.
Pasal 14
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 disetorkan ke rekening kas negara yang berada di Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pelapor setelah diterbitkan surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank
Indonesia kepada Pelapor dengan tembusan kepada kantor kas negara.
BAB VII
LAIN – LAIN
Pasal 15
(1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
(2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan permohonan untuk
memperoleh pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan
disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang
dialami.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal Pelapor
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Laporan
ULN dan/atau koreksi Laporan ULN setelah Pelapor kembali melakukan
kegiatan operasional secara normal.
BAB VIII…
-8-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 mulai diberlakukan
untuk Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN bulan Juni 2011 yang
disampaikan pada bulan Juli 2011.
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini:
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000
tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri.
2. Peraturan Bank Indonesia No. 11/17/PBI/2009 tanggal 5 Mei 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 2/22/PBI/2000 tentang
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 12/19/DInt tanggal 22 Juli 2010 perihal Kewajiban Pelaporan
Utang Luar Negeri dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan diberlakukannya Surat
Edaran Bank Indonesia yang baru.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
-9-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 156
DInt
-10-
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 12/ 24 /PBI/2010
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009, salah satu tugas Bank Indonesia adalah
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka implementasi
kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian
moneter melalui berbagai cara yang dianggap efektif. Untuk merumuskan
kebijakan moneter tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan data yang
lengkap, akurat dan tepat waktu.
Salah satu data yang mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam
perumusan kebijakan moneter adalah data Utang Luar Negeri (ULN).
Sebagaimana diketahui bahwa ULN merupakan salah satu sumber pembiayaan
yang penting untuk melanjutkan pembangunan. Namun di sisi lain ULN yang
mengalir deras tanpa disertai pemantauan yang ketat dan pengelolaan yang hati-
hati dapat berpotensi menjadi ancaman yang serius pada pembangunan ekonomi.
Mengingat pentingnya data ULN tersebut, maka Penduduk yang mempunyai ULN
dari bukan Penduduk wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Selama ini data ULN dipergunakan untuk mendukung penyusunan neraca
pembayaran, pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter.
Oleh karena itu sudah seharusnya kualitas data dan cakupan informasi ULN perlu
terus menerus ditingkatkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Bank
Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyempurnaan pada ketentuan
tentang kewajiban pelaporan ULN yang berlaku saat ini. Dalam penyempurnaan
tersebut dilakukan perubahan sistem pelaporan yang diharapkan mempermudah
para Pelapor menyampaikan Laporan ULN ke Bank Indonesia. Pengenaan sanksi
denda…
-11-
denda kepada Pelapor yang melanggar ketentuan diubah dengan harapan dapat
menjadi pendorong agar Pelapor mematuhi ketentuan yang berlaku, namun juga
tidak memberatkan Pelapor. Selain perubahan tersebut, cakupan pelaporan juga
diperluas. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, diharapkan kualitas data
ULN semakin meningkat sehingga kebijakan moneter yang dirumuskan Bank
Indonesia juga semakin efektif.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Laporan ULN dianggap benar apabila data/informasi ULN yang
disampaikan sesuai dengan Perjanjian Kredit (Loan Agreement),
Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credits),
dan/atau Utang Lainnya (Other Loans) dan realisasinya,
berdasarkan fakta-fakta yang terjadi.
Laporan ULN dianggap lengkap apabila laporan yang disampaikan
oleh Pelapor memenuhi cakupan laporan sebagaimana yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Surat Utang (Debt Securities) meliputi antara lain Letter of Credits
(LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Bankers Acceptance),
obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory Notes (PN) dan
Medium Term Notes (MTN).
Huruf c…
-12-
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Petugas dan/atau penanggung jawab dapat berasal dari internal Pelapor atau
berasal dari pihak lain yang diberikan kuasa untuk menyampaikan Laporan
ULN.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “data/informasi individual” adalah data/informasi
ULN yang diterima oleh Bank Indonesia dari masing-masing Pelapor yang
memuat antara lain nama dan alamat pemberi pinjaman maupun peminjam,
jumlah pinjaman serta data pokok lainnya terkait dengan pemberi pinjaman
dan peminjam.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Laporan data realisasi ULN adalah laporan yang disampaikan
secara bulanan atas transaksi penarikan dan pembayaran
ULN pada periode laporan.
Ayat (2)
Profil Pelapor berisi data/informasi mengenai data Pelapor yang
memuat antara lain nama, alamat, NPWP, status kepemilikan dan
jenis usaha.
Profil ULN berisi data/informasi mengenai utang Pelapor yang
memuat antara lain status ULN, tanggal penandatanganan, jenis
valuta dan jangka waktu.
Pasal 8…
-13-
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Penyampaian Laporan ULN secara online adalah penyampaian
laporan dengan aplikasi Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL)
Bank Indonesia menggunakan media internet.
Penyampaian Laporan ULN secara offline adalah penyampaian
laporan dengan aplikasi SIUL menggunakan antara lain media
compact disk, email, USB, dan/atau media sejenis.
Penyampaian Laporan ULN secara hardcopy adalah penyampaian
laporan tanpa aplikasi SIUL sesuai ketentuan yang diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (2)
Dokumen pendukung dapat disampaikan dalam bentuk hardcopy
maupun melalui faksimili, email, atau sarana lainnya.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15…
-14-
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN,
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang,
sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang
dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Hal-hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
antara lain mengenai tata cara penyampaian Laporan ULN dan/atau koreksi
Laporan ULN.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5181
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/24/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2010 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2010 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '2/22/PBI/2000', '11/17/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
1
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/9/PBI/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL
OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung sistem pembayaran
yang telah berlangsung saat ini diperlukan
penyelenggaraan kliring antar Bank yang efisien,
lancar, dan aman;
b. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan kliring
antar Bank yang efisien, lancar, dan aman diperlukan
perluasan akses kepesertaan dalam Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia yang tidak terbatas pada
Bank, penambahan jasa layanan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dalam rangka
mengakomodir kebutuhan masyarakat atas transaksi
yang bersifat rutin, serta peningkatan perlindungan
nasabah pengguna layanan dalam sistem
pembayaran;
c bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mengatur
kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
oleh Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…
-2-
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5204);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING
BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan
dalam rangka memproses perhitungan hak dan kewajiban antar Peserta
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan
pada waktu tertentu.
2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk
memproses…
-3-
memproses Data Keuangan Elektronik pada Layanan Transfer Dana,
Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan
Layanan Penagihan Reguler.
3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang
telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara sebagai Peserta.
4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses
pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada
1 (satu) penerima.
5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar Peserta dari
1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai
dengan fisik Warkat Debit.
6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) atau
beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima.
7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses penagihan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu)
pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan.
8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data
keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI.
9. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah
transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan
Transfer Dana.
10. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah
transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan
Kliring Warkat Debit.
11. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah
transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan
Pembayaran Reguler.
12. DKE…
-4-
12. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer
debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan
Penagihan Reguler.
13. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan
atas beban nasabah atau Bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit.
14. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah
Bank Indonesia.
15. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta
yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan
menggunakan infrastruktur SKNBI dan Setelmen Dana dilakukan ke
Rekening Setelmen Dana Peserta yang bersangkutan.
16. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta
yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan
menggunakan infrastruktur SKNBI dan pelaksanaan Setelmen Dana
dilakukan melalui bank pembayar.
17. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta
yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara dan pelaksanaan Setelmen
Dana dilakukan melalui bank penerus.
18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening
Setelmen Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban
masing-masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI.
19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang
Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
20. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai
sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika
per transaksi secara individual.
21. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk memenuhi
kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI.
22. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Transfer
Dana dan Layanan Pembayaran Reguler.
23. Prefund…
-5-
23. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Kliring
Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler.
24. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang
dari bank di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
25. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah badan usaha
berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan transfer dana.
26. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai
akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras,
perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana
pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI.
27. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan
Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan
operasional SKNBI tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh,
tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, dan
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh
pihak penguasa atau pejabat setempat yang berwenang, termasuk Bank
Indonesia.
BAB II
PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 2
Penyelenggaraan SKNBI terdiri atas 4 (empat) layanan yaitu:
a. Layanan Transfer Dana;
b. Layanan Kliring Warkat Debit;
c. Layanan Pembayaran Reguler; dan
d. Layanan Penagihan Reguler.
Pasal…
-6-
Pasal 3
(1) Setelmen Dana untuk masing-masing layanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan hasil
perhitungan secara multilateral netting.
(2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip pembaharuan utang dengan memperhatikan
kecukupan dana dari Peserta.
(3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan
tidak dapat dibatalkan.
(4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip same day settlement.
BAB III
PENYELENGGARA
Pasal 4
(1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Penyelenggara melakukan paling
kurang hal-hal sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI;
b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan SKNBI;
c. melaksanakan kegiatan operasional SKNBI;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan
keamanan penyelenggaraan SKNBI; dan
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta dan pihak selain
Kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat
Debit terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan
pelaksanaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dilakukan oleh
Penyelenggara dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal…
-7-
Pasal 5
(1) Penyelenggara dapat menetapkan batas nilai nominal transaksi yang
diperhitungkan dalam penyelenggaraan SKNBI.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas nilai nominal transaksi diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Peserta
Pasal 6
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Bank; dan
c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank.
(2) Dalam hal Peserta merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka
kepesertaan dalam penyelenggaraan SKNBI untuk kegiatan usaha
secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 7
(1) Berdasarkan jenis kepesertaan, Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) terdiri atas:
a. PLU;
b. PLA; atau
c. PTL.
(2) Untuk menjadi PLU, PLA, atau PTL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Peserta harus memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan
dari Penyelenggara.
(3) Ketentuan…
-8-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan persetujuan
kepesertaan dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 8
PLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b harus menunjuk
PLU sebagai bank pembayar.
Pasal 9
(1) PTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c harus
menunjuk PLU sebagai bank penerus.
(2) PLU sebagai bank penerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan persetujuan sebagai
bank penerus diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
Berdasarkan jenis kepesertaan, pihak yang dapat menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia hanya dapat menjadi PLU;
b. Bank hanya dapat menjadi PLU; dan
c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya dapat menjadi PLA
atau PTL.
Pasal 11
(1) Berdasarkan jenis layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
keikutsertaan pihak yang dapat menjadi Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia dapat mengikuti seluruh layanan dalam
penyelenggaraan SKNBI;
b. Bank…
-9-
b. Bank harus mengikuti seluruh layanan dalam penyelenggaraan
SKNBI; dan
c. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank hanya dapat mengikuti
Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Regular.
(2) Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang dapat ikut serta dalam
Layanan Pembayaran Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c hanya Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank yang
mengelola rekening nasabah.
Pasal 12
Dalam hal diperlukan, hubungan hukum antara Penyelenggara dengan
Peserta dalam rangka penyelenggaraan SKNBI dapat diatur dalam
perjanjian.
Bagian Kedua
Status dan Perubahan Status Peserta
Pasal 13
(1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, berlaku 4 (empat) jenis status
kepesertaan yaitu:
a. aktif;
b. ditangguhkan;
c. dibekukan; dan
d. ditutup.
(2) Dalam hal status Peserta berubah menjadi ditutup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, Peserta harus menyelesaikan seluruh
kewajiban yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI.
Pasal 14
(1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Perubahan…
-10-
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. dilakukan dalam rangka pengenaan sanksi oleh Penyelenggara;
b. dilakukan karena adanya perubahan status kepesertaan dalam
Sistem BI-RTGS;
c. dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta;
dan/atau
d. dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang
bersangkutan.
(3) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diberlakukan terhadap seluruh atau sebagian kegiatan dalam
layanan SKNBI.
(4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf c dapat berupa perubahan status dari:
a. aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya;
b. aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya;
c. ditangguhkan menjadi dibekukan atau sebaliknya;
d. aktif menjadi ditutup;
e. ditangguhkan menjadi ditutup; atau
f. dibekukan menjadi ditutup.
(5) Perubahan status kepesertaan yang dilakukan berdasarkan permintaan
tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d hanya dapat berupa permintaan perubahan status dari
aktif menjadi ditutup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status kepesertaan diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian…
-11-
Bagian Ketiga
Kewajiban Peserta
Pasal 15
(1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI;
b. bertanggungjawab atas kebenaran DKE dan seluruh informasi
yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui SKNBI;
c. melaksanakan perjanjian dengan Penyelenggara apabila diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan SKNBI;
d. menginformasikan biaya transaksi melalui SKNBI kepada nasabah
secara transparan;
e. memberikan data dan informasi terkait penyelenggaraan SKNBI
kepada Bank Indonesia;
f. mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem
pembayaran yang telah disetujui oleh Bank Indonesia; dan
g. mematuhi ketentuan lain terkait operasional penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Peserta dalam SKNBI diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PREFUND
Bagian Kesatu
Prefund Kredit
Pasal 16
(1) Peserta wajib menyediakan Prefund Kredit sesuai waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam melakukan kewajiban penyediaan Prefund Kredit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. untuk…
-12-
a. untuk PLU, penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh Peserta yang
bersangkutan; dan
b. untuk PLA, penyediaan Prefund Kredit dilakukan melalui PLU yang
ditunjuk sebagai bank pembayar.
(3) Prefund Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dana tunai
(cash Prefund).
(4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS dalam rekening milik
Penyelenggara yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai
(cash Prefund).
(5) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) pada SKNBI untuk masing-masing PLU dan
PLA.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan Prefund Kredit
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Prefund Debit
Pasal 17
(1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit sesuai waktu yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(2) Besarnya Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Penyelenggara untuk masing-masing Peserta.
(3) Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. dana tunai (cash Prefund); dan/atau
b. surat berharga (collateral Prefund).
(4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS dalam rekening milik
Penyelenggara yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai
(cash Prefund).
(5) Surat…
-13-
(5) Surat berharga (collateral Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System dalam rekening surat berharga masing-masing PLU
yang digunakan khusus untuk menampung surat berharga (collateral
Prefund).
(6) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan surat berharga (collateral Prefund)
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada SKNBI untuk masing-
masing PLU.
(7) Surat berharga (collateral Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
tidak dapat digunakan untuk transaksi lainnya dan tidak dapat
dipindahkan ke rekening surat berharga lainnya sampai dengan
Setelmen Dana atas Layanan Kliring Debit dan Layanan Penagihan
Reguler dilakukan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan Prefund Debit
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penambahan Prefund Kredit dan Prefund Debit
Pasal 18
(1) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit dalam hal total
dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam
Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Reguler.
(2) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. confirmed incoming yaitu DKE Transfer Dana dan/atau DKE
Pembayaran masuk dari Peserta lain yang dapat dipenuhi oleh
dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit.
(3) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Debit dalam hal total
dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam
Layanan Kliring Warkat Debit dan/atau Layanan Penagihan Reguler.
(4) Total…
-14-
(4) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari:
a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit dan/atau DKE
Penagihan masuk dari Peserta lain yang dapat dipenuhi oleh dana
yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral
Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit.
Pasal 19
(1) Dalam hal Peserta tidak melakukan penambahan Prefund Kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau tidak
melakukan penambahan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh
Penyelenggara maka DKE yang tidak didukung oleh Prefund Kredit
dan/atau Prefund Debit yang cukup dibatalkan oleh sistem.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan waktu penambahan
Prefund Kredit dan Prefund Debit diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Keempat
Pengembalian Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit
Pasal 20
(1) Penyelenggara akan mengembalikan dana tunai (cash Prefund) yang
telah disediakan untuk Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit ke
Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank
pembayar sesuai periode waktu yang ditetapkan Penyelenggara, dalam
hal setelah perhitungan akhir masih terdapat saldo dana tunai (cash
Prefund) yang tidak dipergunakan.
(2) Pengembalian surat berharga (collateral Prefund) yang telah disediakan
untuk Prefund Debit dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dana tunai (cash
Prefund)…
-15-
Prefund) dan surat berharga (collateral Prefund) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
LAYANAN TRANSFER DANA
Bagian Kesatu
Jenis Transfer Dana
Pasal 21
Jenis transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Transfer
Dana adalah transfer dana yang berasal dari:
a. perintah transfer dana dari Peserta kepada Peserta lainnya;
b. perintah transfer dana dari Peserta kepada nasabah Peserta lainnya
dan sebaliknya; dan
c. perintah transfer dana dari nasabah Peserta kepada nasabah Peserta
lainnya.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Perintah Transfer Dana
Pasal 22
(1) Dalam hal nasabah menggunakan Layanan Transfer Dana, Peserta
pengirim harus mempersyaratkan kepada nasabah pengirim untuk
mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk
meneruskan perintah transfer dana kepada Peserta penerima, Peserta
pengirim harus membuat DKE Transfer Dana sesuai persyaratan yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Dalam membuat DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar.
Pasal…
-16-
Pasal 23
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan
tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Peserta pengirim sesegera
mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah transfer
dana.
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib membayar
jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana
dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Proses Perhitungan
Pasal 24
(1) Selama periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, Penyelenggara
melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan
DKE Transfer Dana yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung
dengan dana yang cukup.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil
perhitungan dalam Layanan Transfer Dana diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian…
-17-
Bagian Keempat
Setelmen Dana
Pasal 25
(1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke Rekening
Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank
pembayar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan
Transfer Dana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima
Pasal 26
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Transfer Dana
yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil
verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada
nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan Penyelenggara
melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat
(1).
(3) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dilakukan sesegera mungkin atau paling lama 2
(dua) jam setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
berlaku untuk penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak
memiliki rekening di Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan penerusan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta penerima wajib
membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada
nasabah…
-18-
nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
LAYANAN KLIRING WARKAT DEBIT
Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan
Pasal 27
(1) Layanan Kliring Warkat Debit terdiri atas 2 (dua) kegiatan yaitu:
a. kliring penyerahan; dan
b. kliring pengembalian.
(2) Kegiatan kliring penyerahan dan kliring pengembalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kesatuan siklus dalam Layanan
Kliring Warkat Debit.
Bagian Kedua
Jenis Transfer Debit
Pasal 28
(1) Jenis transfer debit yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Kliring
Warkat Debit adalah transfer debit yang berasal dari Warkat Debit.
(2) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. cek;
b. bilyet giro;
c. nota debit; dan
d. Warkat Debit lainnya yang disetujui oleh Penyelenggara untuk
dikliringkan.
(3) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dikliringkan di wilayah kliring yang terdapat kantor Peserta yang
menerbitkan Warkat Debit.
(4) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicetak di
perusahaan…
-19-
perusahaan percetakan dokumen sekuriti yang telah memperoleh izin
dari lembaga yang berwenang.
(5) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Warkat Debit diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Perintah Transfer Debit
Pasal 29
(1) Dalam menerima Warkat Debit dari nasabah yang akan dikliringkan
dalam Layanan Kliring Warkat Debit, Peserta pengirim harus
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk
mengkliringkan Warkat Debit, Peserta pengirim harus membuat DKE
Warkat Debit sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Dalam membuat DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar.
Pasal 30
(1) Peserta Pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan
tanggal diterimanya Warkat Debit dari nasabah sesuai dengan periode
waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Warkat Debit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar
jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer debit
dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal…
-20-
Pasal 31
(1) Pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) harus disertai dengan penyampaian Warkat Debit kepada
kantor Peserta penerima dimana Warkat Debit tersebut dikliringkan.
(2) Penyampaian Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan mekanisme pertukaran Warkat Debit yang
diselenggarakan oleh kantor Bank Indonesia atau pihak selain kantor
Bank Indonesia.
(3) Dalam pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kantor Bank Indonesia atau pihak selain kantor Bank Indonesia
bertanggung jawab:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan
pertukaran Warkat Debit;
b. menjaga kelancaran pelaksanaan pertukaran Warkat Debit;
c. mengelola administrasi kepesertaan pertukaran Warkat Debit;
d. menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka pertukaran
Warkat Debit;
e. menyediakan fasilitas penyelesaian permasalahan dalam proses
Warkat Debit; dan/atau
f. menyediakan fasilitas kontinjensi bagi Peserta pada saat terjadi
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pertukaran Warkat Debit
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Pihak selain kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2) yang akan melaksanakan pertukaran Warkat Debit di
suatu wilayah kliring harus memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara.
(2) Penyelenggara…
-21-
(2) Penyelenggara dapat memberikan bantuan keuangan kepada pihak
selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat
Debit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah kliring, persetujuan terhadap
pihak selain kantor Bank Indonesia yang akan melaksanakan
pertukaran Warkat Debit, dan bantuan keuangan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Proses Perhitungan
Pasal 33
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta
berdasarkan DKE Warkat Debit yang diterima oleh Penyelenggara yang
didukung dengan dana yang cukup.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta.
(3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil
perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Setelmen Dana
Pasal 34
(1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke masing-masing
Rekening Setelmen Dana PLU.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan Kliring
Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian…
-22-
Bagian Keenam
Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima
Pasal 35
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Warkat Debit
dan/atau Warkat Debit yang diterima pada kliring penyerahan sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan adanya DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang
tidak memenuhi syarat untuk diperhitungkan maka Peserta penerima
menolak DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit dalam kliring
pengembalian dengan disertai alasan penolakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan penolakan dan mekanisme
penolakan DKE Warkat Debit dan/atau Warkat Debit diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 36
(1) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas DKE Warkat
Debit dan/atau Warkat Debit yang diterima maka Peserta pengirim
wajib meneruskan dana ke rekening nasabah penerima setelah
Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Peserta pengirim wajib
membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana ke
rekening nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau
kompensasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB…
-23-
BAB VIII
LAYANAN PEMBAYARAN REGULER
Bagian Kesatu
Jenis Transfer Dana
Pasal 37
Jenis transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Pembayaran
Reguler adalah transfer dana yang berasal dari:
a. perintah transfer dana dari 1 (satu) Peserta pengirim kepada beberapa
nasabah di Peserta penerima;
b. perintah transfer dana dari beberapa nasabah di Peserta pengirim
kepada 1 (satu) Peserta penerima;
c. perintah transfer dana dari 1 (satu) nasabah di Peserta pengirim kepada
beberapa nasabah di Peserta penerima; dan
d. perintah transfer dana dari beberapa nasabah di Peserta pengirim
kepada 1 (satu) nasabah di Peserta penerima.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Perintah Transfer Dana
Pasal 38
(1) Dalam hal nasabah menggunakan Layanan Pembayaran Reguler,
Peserta pengirim harus mempersyaratkan kepada nasabah pengirim
untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan untuk
meneruskan perintah transfer dana kepada Peserta penerima, Peserta
pengirim harus membuat DKE Pembayaran sesuai persyaratan yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Dalam membuat DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar.
Pasal…
-24-
Pasal 39
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan
tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar
jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana
dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Proses Perhitungan
Pasal 40
(1) Selama periode waktu pengiriman DKE Pembayaran, Penyelenggara
melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta berdasarkan
DKE Pembayaran yang diterima oleh Penyelenggara yang didukung
dengan dana yang cukup.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil
perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Setelmen Dana
Pasal 41
(1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat…
-25-
ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke Rekening
Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank
pembayar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan
Pembayaran Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima
Pasal 42
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Pembayaran
yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil
verifikasi DKE Pembayaran yang diterima sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima segera setelah pelaksanaan Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1).
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta pengirim wajib
membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada
nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
LAYANAN PENAGIHAN REGULER
Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan
Pasal 43
(1) Layanan Penagihan Reguler terdiri atas 2 (dua) kegiatan yaitu:
a. penyerahan tagihan; dan
b. pengembalian tagihan.
(2) Kegiatan…
-26-
(2) Kegiatan penyerahan tagihan dan pengembalian tagihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kesatuan siklus dalam Layanan
Penagihan Reguler.
Bagian Kedua
Jenis Transfer Debit
Pasal 44
Jenis transfer debit yang dapat diperhitungkan dalam Layanan Penagihan
Reguler adalah transfer debit yang berasal dari perintah transfer debit dari 1
(satu) nasabah di Peserta pengirim kepada beberapa nasabah di Peserta
penerima.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Perintah Transfer Debit
Pasal 45
(1) Peserta pengirim wajib membuat perjanjian dalam rangka pelaksanaan
perintah transfer debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan pengaksepan atas perintah
transfer debit, Peserta pengirim harus membuat DKE Penagihan sesuai
persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Dalam membuat DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Peserta pengirim wajib mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar.
Pasal 46
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal yang
tercantum dalam perjanjian sesuai dengan periode waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Penagihan
sebagaimana…
-27-
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar
jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer debit
dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Proses Perhitungan
Pasal 47
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan untuk masing-masing Peserta
berdasarkan DKE Penagihan yang diterima oleh Penyelenggara yang
didukung dengan dana yang cukup.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta.
(3) Peserta harus melakukan pemantauan atas hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan informasi hasil
perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Setelmen Dana
Pasal 48
(1) Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (1), Penyelenggara melakukan Setelmen Dana ke masing-masing
Rekening Setelmen Dana PLU.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen Dana dalam Layanan
Penagihan Reguler diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian…
-28-
Bagian Keenam
Penerusan Dana kepada Nasabah Penerima
Pasal 49
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Penagihan yang
diterima pada kegiatan penyerahan tagihan sesuai ketentuan yang
berlaku.
(2) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan adanya DKE Penagihan yang tidak memenuhi syarat
untuk diperhitungkan maka Peserta penerima menolak DKE Penagihan
dalam kegiatan pengembalian tagihan dengan disertai alasan
penolakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan penolakan dan mekanisme
penolakan DKE Penagihan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 50
(1) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas DKE
Penagihan yang diterima maka Peserta pengirim wajib meneruskan
dana ke rekening nasabah setelah Penyelenggara melakukan Setelmen
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1).
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melakukan penerusan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Peserta pengirim wajib
membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana ke
rekening nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau
kompensasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
WAKTU OPERASIONAL SKNBI
Pasal 51
(1) Penyelenggaraan SKNBI dilakukan pada waktu operasional yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Waktu…
-29-
(2) Waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. hari operasional;
b. jam operasional;
c. jam layanan; dan
d. periode waktu kegiatan.
(3) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional SKNBI sesuai dengan
waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penyelenggara dapat melakukan perubahan waktu operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Peserta hanya dapat mengajukan permohonan perubahan periode
waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu operasional diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
BIAYA DALAM PENYELENGGARAAN SKNBI
Pasal 52
(1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI.
(2) Penyelenggara dapat membebaskan biaya dalam penyelenggaraan
SKNBI apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat.
(3) Penyelenggara dapat menetapkan batas biaya paling banyak yang
dikenakan Peserta kepada nasabah.
Pasal 53
(1) Penyelenggara dapat meminta kepada Peserta untuk menyampaikan
besarnya biaya yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dalam
penyelenggaraan SKNBI.
(2) Penyelenggara dapat mengumumkan besarnya biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
(3) Ketentuan…
-30-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya dalam penyelenggaraan SKNBI
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
PENANGANAN DALAM KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU
KEADAAN DARURAT
Pasal 54
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal pada penyelenggaraan SKNBI
dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Penyelenggara, Penyelenggara
memberitahukan keadaan tersebut kepada Peserta berikut langkah-
langkah penanganan untuk mengatasi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat.
(2) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
lokasi Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat mengirimkan
DKE ke Penyelenggara maka pengiriman DKE dapat dilakukan dengan
menggunakan sarana yang disediakan oleh Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Keadaan Tidak Normal
dan Keadaan Darurat diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XIII
PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA
Pasal 55
Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat,
Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan kerugian yang timbul
dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga.
BAB XIV
PEMANTAUAN KEPATUHAN
Pasal 56
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan:
a. Peserta; dan
b. pihak…
-31-
b. pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan
pertukaran Warkat Debit,
terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
langsung dan tidak langsung.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan, Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib:
a. menyampaikan laporan berkala;
b. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang diperlukan
Penyelenggara terkait penyelenggaraan SKNBI;
c. memberikan akses kepada Penyelenggara untuk melakukan
pemeriksaan secara langsung terhadap dokumen, sarana fisik,
aplikasi pendukung yang terkait penyelenggaraan SKNBI, dan
kegiatan operasional Peserta; dan
d. menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan oleh
Penyelenggara.
(4) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan, pihak selain
kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus menyampaikan
laporan berkala kepada Penyelenggara.
(5) Dalam rangka pemantauan, Penyelenggara dapat meminta Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk melakukan
pengujian terhadap infrastruktur Peserta yang digunakan dalam
operasional SKNBI.
Pasal 57
(1) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama
Penyelenggara dalam rangka melaksanakan pemantauan kepatuhan
Peserta.
(2) Pihak lain yang melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh
dalam pemantauan.
(3) Ketentuan…
-32-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan kepatuhan Peserta dan
pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan pertukaran
Warkat Debit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 58
(1) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (3) huruf a wajib dilakukan sesuai batas waktu yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai
batas waktu, Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu penyampaian laporan
berkala yang ditetapkan Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penyampaian laporan
berkala diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 59
Penyelenggara Kliring Lokal beralih fungsi menjadi pihak yang melakukan
pertukaran Warkat Debit.
Pasal 60
Implementasi penyelenggaraan SKNBI dilakukan secara bertahap.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
(1)
tahapan implementasi
penyelenggaraan SKNBI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 61
(1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban menjaga kelancaran dan
keamanan dalam penggunaan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal…
-33-
Pasal 15 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran
tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi penurunan status
kepesertaan.
Pasal 62
Peserta yang tidak menginformasikan biaya transaksi dalam
penyelenggaraan SKNBI kepada nasabah secara transparan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 63
(1) Peserta yang tidak menyediakan Prefund Debit atau menyediakan
Prefund Debit namun kurang dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah),
dalam hal tidak tersedianya atau kurangnya Prefund Debit
dikarenakan kelalaian Peserta; atau
b. penurunan status kepesertaan dalam hal Peserta tidak mampu
menyediakan Prefund Debit.
(2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Peserta tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) sebanyak 6
(enam) kali, Peserta dapat dikenakan sanksi berupa penurunan status
kepesertaan.
Pasal 64
(1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit dalam
Layanan Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu…
-34-
ribu rupiah) per DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per 1 (satu) hari kerja.
(2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit dalam
Layanan Pembayaran Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per DKE Pembayaran, dengan jumlah kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per 1 (satu) hari kerja.
(3) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit dalam
Layanan Kliring Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per DKE Warkat Debit, dengan jumlah kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per 1 (satu) hari kerja.
(4) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit dalam
Layanan Penagihan Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per DKE Penagihan, dengan jumlah kewajiban
membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per 1 (satu) hari kerja.
Pasal 65
(1) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Tranfer Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
(2) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Warkat Debit
sebagaimana…
-35-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
(3) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE Pembayaran, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
(4) Peserta pengirim yang tidak mengisi kode transaksi dan kode kota asal
secara lengkap dan benar dalam membuat DKE Penagihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE Penagihan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
Pasal 66
(1) Peserta pengirim yang tidak mengirimkan DKE Transfer Dana kepada
Peserta penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE
Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
(2) Peserta penerima yang tidak melakukan penerusan dana kepada
nasabah penerima sesuai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE
Transfer Dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode
pemantauan.
Pasal…
-36-
Pasal 67
Peserta yang tidak mencetak Warkat Debit di perusahaan percetakan
dokumen sekuriti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 68
(1) Peserta yang menerbitkan Warkat Debit tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak melaksanakan teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga mengganggu proses pertukaran
Warkat Debit secara otomasi, kantor Bank Indonesia atau pihak selain
kantor Bank Indonesia dapat tidak memproses Warkat Debit Peserta
dalam pertukaran Warkat Debit.
Pasal 69
(1) Dalam hal terjadi penolakan atas DKE Warkat Debit dan/atau Warkat
Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) yang didasarkan
pada alasan tertentu, Peserta pengirim, Peserta penerima, nasabah
Peserta pengirim, atau nasabah Peserta penerima dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE Warkat Debit yang ditolak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan tertentu penolakan DKE
Warkat Debit dan/atau Warkat Debit yang dikenakan sanksi dan pihak
yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
pihak yang mengenakan sanksi diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 70
Peserta yang tidak memberikan data, informasi, dan/atau dokumen terkait
penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3)
huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal…
-37-
Pasal 71
(1) Peserta yang tidak memberikan akses kepada Penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis
diterima, dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan.
Pasal 72
(1) Peserta yang tidak menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan
oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3)
huruf d dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi penurunan status
kepesertaan.
Pasal 73
(1) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan sejak batas waktu penyampaian pelaporan, dengan
jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada Pasal 58 ayat (2), dikenakan sanksi teguran tertulis.
(3) Peserta yang tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
teguran tertulis dapat dikenakan sanksi penurunan status kepesertaan.
BAB…
-38-
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 75
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005
tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/5/PBI/2010 tanggal 12 Maret
2010 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 76
Ketentuan mengenai sanksi pelanggaran atas:
a. pembuatan DKE Transfer Dana khusus untuk pengisian kode kota asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1);
b. pembuatan DKE Warkat Debit khusus untuk pengisian kode kota asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2)
c. pembuatan DKE Pembayaran khusus untuk pengisian kode kota asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3);
d. pembuatan DKE Penagihan khusus untuk pengisian kode kota asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4);
e. batas waktu pengiriman DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1); dan
f. batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2),
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
Pasal…
-39-
Pasal 77
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 122
DPSP
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 17/9/PBI/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH
BANK INDONESIA
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, Bank Indonesia menyelenggarakan kliring antarbank.
Infrastruktur yang digunakan dalam penyelenggaraan kliring antarbank
adalah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Untuk lebih meningkatkan keamanan, efisiensi, dan kelancaran serta
untuk meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter,
dan stabilitas sistem keuangan nasional dengan memperhatikan perluasan
akses dan kepentingan nasional, Bank Indonesia memandang perlu untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan SKNBI yang telah digunakan sejak
2005 melalui penyempurnaan penyelenggaraan SKNBI. Pokok-pokok
penyempurnaan dalam penyelenggaraan SKNBI adalah sebagai berikut:
1. Perluasan akses kepesertaan yang tidak terbatas pada Bank Umum
Saat ini kepesertaan SKNBI terbatas pada Bank Umum sehingga
transfer dana melalui SKNBI belum dapat sepenuhnya menjangkau
masyarakat baik yang belum memiliki rekening maupun masyarakat
yang berada di daerah terpencil. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia memandang perlu menetapkan kebijakan untuk memperluas
akses…
-2-
akses kepesertaan SKNBI kepada Penyelenggara Transfer Dana Selain
Bank untuk mendorong masyarakat dapat melakukan transfer dana
melalui SKNBI ke seluruh wilayah Indonesia secara aman, murah, dan
efisien. Hal ini juga selaras dengan Undang-Undang tentang Transfer
Dana dimana penyelenggara transfer dana tidak terbatas pada Bank.
2. Penambahan jasa layanan untuk transaksi yang bersifat rutin
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat atas layanan
transaksi yang bersifat rutin seperti pembayaran atau penagihan listrik,
telepon, air, dan pembayaran gaji dilakukan penambahan layanan
dalam penyelenggaraan SKNBI berupa Layanan Pembayaran Reguler
dan Layanan Penagihan Reguler. Kedua jenis layanan baru ini untuk
memfasilitasi pembayaran/penagihan rutin yang sudah mulai tumbuh
namun masih terbatas pada praktek di perbankan, sehingga
selanjutnya dapat menjadi transaksi dari/ke seluruh Peserta melalui
SKNBI.
3. Sentralisasi penyelenggaraan Layanan Kliring Warkat Debit
Saat ini penyelenggaraan kliring debit dilakukan secara desentralisasi
yang tersebar di wilayah kliring di Indonesia. Untuk meningkatkan
efisiensi dalam penyelenggaraan SKNBI, Layanan Kliring Warkat Debit
dilakukan secara sentralisasi.
4. Peningkatan perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI
Dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI, dilakukan
penyempurnaan pengaturan mengenai:
a. kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dalam
meneruskan perintah transfer dana melalui SKNBI;
b. kewajiban dan tanggung jawab Peserta penerima untuk
meneruskan dana kepada nasabahnya; dan
c. penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan oleh Peserta
kepada nasabah.
Selain itu, dalam rangka mempercepat efektivitas dana kepada
nasabah penerima, pelaksanaan Setelmen Dana akan dilakukan lebih
dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional SKNBI.
Dengan…
-3-
Dengan adanya pokok-pokok perubahan tersebut, dipandang perlu
untuk menetapkan ketentuan mengenai penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “multilateral netting” adalah mekanisme
perhitungan hak dan kewajiban seluruh Peserta dalam
penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (2)
Pembaharuan utang terjadi karena Penyelenggara menggantikan
kedudukan Peserta sebagai pihak yang memiliki hak dari Peserta
lainnya atau kewajiban kepada Peserta lainnya dalam
penyelenggaraan SKNBI. Dalam hal
menggantikan kedudukan Peserta untuk melakukan perhitungan
terhadap DKE Peserta yang didukung dana yang cukup.
Ayat (3)
Setelmen Dana yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan
merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules. Oleh karena
itu, apabila Peserta dibekukan kegiatan usaha, dicabut izin usaha,
dipailitkan dan/atau dilikuidasi, transaksi yang sudah dilakukan
sebelum keputusan pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin
usaha, pailit dan/atau likuidasi tidak menjadi batal dan harus
diteruskan dan/atau diperhitungkan.
Ayat…
ini Penyelenggara
-4-
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah
prinsip Setelmen Dana yang diterapkan pada tingkat Peserta yaitu:
a. Dalam Layanan Transfer Dana, Setelmen Dana dilakukan
pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE
Transfer Dana oleh Penyelenggara.
b. Dalam Layanan Kliring Warkat Debit, Setelmen Dana
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal
diterimanya DKE Warkat Debit pada kliring pengembalian oleh
Penyelenggara.
c. Dalam Layanan Pembayaran Reguler, Setelmen Dana
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal
diterimanya DKE Pembayaran oleh Penyelenggara.
d. Dalam Layanan Penagihan Reguler, Setelmen Dana dilakukan
pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE
Penagihan pada kegiatan pengembalian tagihan oleh
Penyelenggara.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI antara lain
meliputi ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI
dalam keadaan normal, Keadaan Tidak Normal, dan/atau
Keadaan Darurat.
Huruf b
Yang dimaksud “sarana dan prasarana” antara lain helpdesk,
sistem informasi, dan sarana kontinjensi bagi Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud “kegiatan operasional” antara lain
melaksanakan kegiatan operasional Sistem Sentral Kliring
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Huruf…
-5-
Huruf d
Upaya menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanaan
penyelenggaraan SKNBI antara lain dilakukan dengan
menyusun standar layanan minimum penyelenggaraan SKNBI,
prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat.
Huruf e
Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan
ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer
dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dan ketentuan
yang mengatur mengenai pelaksanaan transaksi melalui
SKNBI dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta
SKNBI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Penunjukan bank pembayar oleh PLA dilakukan dalam rangka
pelaksanaan Setelmen Dana, penyediaan dan pengembalian Prefund,
dan pembayaran kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI.
Pasal 9
Ayat (1)
Penunjukan bank penerus oleh PTL dilakukan dalam rangka
pengiriman dan penerimaan DKE, Setelmen Dana, penyediaan dan
pengembalian…
-6-
pengembalian Prefund, dan pembayaran kewajiban dalam
penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat
melakukan seluruh fungsi dalam SKNBI sesuai jenis
kepesertaan yang bersangkutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan status “ditangguhkan” adalah Peserta
dibatasi kegiatannya dalam layanan SKNBI.
Huruf c
Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta
dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam layanan
SKNBI.
Huruf d
Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta
dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam SKNBI dan
tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta.
Ayat…
-7-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang melakukan
pengawasan” antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas
pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran, serta
Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas
mikroprudensial.
Permintaan tertulis dari lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap kegiatan Peserta didasarkan antara lain
atas pertimbangan sebagai berikut:
a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b.
tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya
risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
Peserta; dan/atau
c. pembekuan kegiatan usaha Peserta, pencabutan izin
usaha, putusan kepailitan dan/atau likuidasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat…
-8-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari
Peserta antara lain karena peleburan, penggabungan, pemisahan,
self-liquidation yang telah disetujui oleh otoritas berwenang, dan
pengunduran diri sebagai Peserta.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
SKNBI, Peserta antara lain melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis yang
mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam
pelaksanaan operasional SKNBI, termasuk prosedur
pengamanan penggunaan SKNBI di lingkungan internal
Peserta;
b. melakukan pemeriksaan internal yang menjamin
keamanan operasional SKNBI;
c. melakukan security audit; dan
d. memiliki pedoman business continuity plan atau disaster
recovery plan.
Huruf b
Untuk kebenaran DKE, Peserta melakukan pengiriman DKE
berdasarkan perintah transfer dana dan perintah transfer
debit…
-9-
debit sesuai format yang diatur oleh masing-masing Peserta,
atau berdasarkan Warkat Debit, termasuk menyampaikan
data dan informasi yang benar.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “biaya transaksi” adalah biaya yang
dibebankan oleh Penyelenggara kepada Peserta dan biaya
transaksi yang dibebankan oleh Peserta kepada nasabah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “data dan informasi terkait
penyelenggaraan SKNBI” adalah semua data dan informasi
sehubungan dengan penyelenggaraan SKNBI oleh Peserta.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan “ketentuan lain” antara lain ketentuan
mengenai dokumen perusahaan dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kewajiban penyediaan Prefund Kredit oleh PLU termasuk
untuk memenuhi kewajiban penyediaan Prefund Kredit bagi
PTL apabila PLU yang bersangkutan bertindak sebagai bank
penerus.
Huruf…
-10-
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System” adalah infrastruktur yang digunakan sebagai
sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia,
penatausahaan surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah,
penatausahaan transaksi pasar keuangan, dan penatausahaan
surat berharga dalam rangka fasilitas likuiditas intrahari, yang
dilakukan secara elektronik.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat…
-11-
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki
rekening di Peserta dan nasabah yang tidak memiliki rekening di
Peserta.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak
pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan
atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Peserta pengirim yang menunjukkan persetujuan
untuk melaksanakan atau memenuhi perintah transfer dana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal…
-12-
Pasal 24
Ayat (1)
Perhitungan dalam Layanan Transfer Dana merupakan selisih
antara total dana yang dimiliki Peserta dengan total nominal batch
DKE Transfer Dana yang dikirim oleh Peserta.
Dukungan dana dapat bersumber dari:
a. confirmed incoming yaitu DKE Pembayaran yang masuk dari
Peserta lainnya yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki
oleh Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund
Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Peserta penerima yang menunjukkan persetujuan
untuk melaksanakan atau memenuhi DKE Transfer Dana yang
diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat…
-13-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kliring penyerahan” adalah kegiatan
untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang
disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima
melalui Penyelenggara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kliring pengembalian” adalah
kegiatan untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang
diperhitungkan dalam kliring penyerahan namun ditolak oleh
Peserta penerima berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “cek” adalah cek sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang
ditarik baik atas beban nasabah Peserta atau atas beban
Peserta.
Huruf…
-14-
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bilyet giro” adalah bilyet giro
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai bilyet giro.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nota debit” adalah Warkat Debit yang
digunakan untuk menagih dana kepada peserta lain untuk
untung nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan
nota debit tersebut.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, ketentuan yang mengatur
mengenai bilyet giro, peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang khususnya
terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan,
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
transfer dana.
Ayat…
-15-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Peserta pengirim yang menunjukkan persetujuan
untuk mengkliringkan Warkat Debit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mekanisme pertukaran Warkat Debit di suatu wilayah dapat
dilakukan secara otomasi atau manual.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit untuk masing-
masing Peserta merupakan off-setting atas DKE Warkat Debit pada
Kliring Penyerahan dengan DKE Warkat Debit pada Kliring
Pengembalian.
Dukungan dana dapat bersumber dari:
a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit Peserta pengirim
yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta
penerima; dan/atau
b. dana…
-16-
b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral
Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki
rekening di Peserta.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak
pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan
atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal…
-17-
Pasal 40
Ayat (1)
Perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler merupakan
selisih antara total dana yang dimiliki Peserta dengan total nominal
batch DKE Pembayaran yang dikirim oleh Peserta.
Dukungan dana bersumber dari:
a. confirmed incoming yaitu DKE Pembayaran yang masuk dari
Peserta lainnya yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki
oleh Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund
Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”penyerahan tagihan” adalah kegiatan
untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang disampaikan
oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui
Penyelenggara.
Huruf…
-18-
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pengembalian tagihan” adalah
kegiatan untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang
diperhitungkan dalam penyerahan tagihan namun ditolak oleh
Peserta penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perjanjian antara
Peserta pengirim dengan billing company untuk menagih kepada
Peserta penerima yang telah menerima kuasa pendebetan rekening
dari nasabah Peserta penerima yang mempunyai kewajiban
pembayaran tagihan kepada billing company.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler untuk masing-
masing Peserta merupakan hasil offsetting antara DKE Penagihan
pada kegiatan penyerahan tagihan dengan DKE Penagihan pada
kegiatan pengembalian tagihan.
Dukungan…
-19-
Dukungan dana dapat bersumber dari:
a. confirmed outgoing yaitu DKE Penagihan Peserta pengirim
yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta
penerima; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) dan/atau surat berharga (collateral
Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari
diselenggarakannya operasional SKNBI.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang
ditetapkan Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya
operasional SKNBI pada setiap hari operasional.
Huruf…
-20-
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jam layanan” adalah jam yang
ditetapkan Penyelenggara untuk setiap layanan dalam SKNBI,
seperti jam Layanan Transfer Dana dan jam Layanan Kliring
Warkat Debit.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk
melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan dalam
SKNBI, seperti periode waktu pengiriman DKE dan periode
waktu penyediaan Prefund.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Perubahan waktu operasional antara lain disebabkan:
a. adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di
lokasi Penyelenggara;
b. adanya perubahan jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System;
c. adanya permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan
dari Peserta;
d. adanya permohonan perpanjangan jam Layanan Kliring
Warkat Debit suatu wilayah pertukaran Warkat Debit dari
kantor Bank Indonesia dan/atau pihak selain kantor Bank
Indonesia yang melaksanakan pertukaran Warkat Debit;
dan/atau
e. alasan lain dalam rangka menjaga kelancaran sistem
pembayaran.
Ayat (5)
Alasan perubahan periode waktu kegiatan oleh Peserta antara lain
disebabkan karena adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau
Keadaan Darurat di lokasi Peserta.
Ayat…
-21-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Jenis biaya dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain biaya proses
DKE dan biaya penggunaan sarana kontijensi di lokasi
Penyelenggara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membebaskan biaya dalam
penyelenggaraan SKNBI” adalah membebaskan biaya tertentu pada
saat Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Ayat (3)
Penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan oleh Peserta
kepada nasabah dilakukan dalam rangka perlindungan konsumen.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengumuman besarnya biaya kepada masyarakat dilakukan dalam
rangka perlindungan konsumen, antara lain melalui website Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat…
-22-
Ayat (2)
Pemantauan secara langsung dilakukan melalui kunjungan ke
lokasi Peserta (onsite visit) secara periodik atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
Pemantauan tidak langsung dilakukan dengan mekanisme analisis
dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh Peserta
kepada Penyelenggara, data dan/atau informasi yang diperoleh
Penyelenggara baik dari Peserta, pihak lain, maupun data
dan/atau informasi yang ada di Penyelenggara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengujian infrastruktur dilakukan dalam rangka memastikan
infrastruktur utama dan cadangan yang digunakan oleh Peserta
berfungsi dengan baik.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki
keahlian antara lain di bidang pengembangan sistem pembayaran,
jaringan komunikasi data, dan audit teknologi informasi.
Ayat (2)
Pihak lain yang wajib merahasiakan keterangan dan data yaitu
seluruh anggota komisaris, anggota direksi, manajer, tenaga ahli,
staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan
pelaksanaan pemantauan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal…
-23-
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Yang dimaksud dengan 1 (satu) periode pemantauan adalah satu siklus
kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta.
Pasal 66
Yang dimaksud dengan 1 (satu) periode pemantauan adalah satu siklus
kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Pengenaan sanksi atas penolakan DKE Warkat Debit dalam ayat ini
dimaksudkan untuk menjaga integritas Warkat Debit sebagai alat
pembayaran nontunai dan memberikan edukasi kepada Bank dan
nasabah agar lebih berhati-hati dengan memperhatikan persyaratan
formal dalam melakukan penarikan Warkat Debit sesuai ketentuan
yang berlaku. Hal ini penting untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat…
-24-
masyarakat yang menerima pembayaran dengan menggunakan Warkat
Debit tersebut.
Contoh alasan penolakan Warkat Debit antara lain saldo tidak cukup,
rekening telah ditutup.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5704
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/9/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2015 </set_date>
<effective_date> 5 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 5 Juni 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '12/5/PBI/2010', '7/18/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA per
NOMOR: 7/35/PBI/2005 pas
TENTANG pa
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA pa
NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM pa
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA p
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong
pertumbuhan
dan
perkembangan bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah agar dapat melayani
seluruh lapisan masyarakat, maka diperlukan penyesuaian
terhadap kebijakan yang
permodalan;
berkaitan dengan pengaturan
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf
a, maka diperlukan
penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor …
-2 -
Nomor
10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:pass
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/24/PBI/2004
TENTANG BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I Passa
Ketentuan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4434) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4 Pasal
Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Pasal II …
-3 -
Pasal II pasal
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 29 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR
90
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/35/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dengan meningkatnya preferensi masyarakat
perbankan
syariah saat
ini, maka kebutuhan
melaksanakankan kegiatan
meningkat. Dalam rangka memenuhi
pelayanan perbankan syariah
pertambahan
agar mampu melayani
akan
terhadap jasa pelayanan
bank
usaha berdasarkan prinsip
syariah
kebutuhan masyarakat
yang semakin meningkat
akan
jumlah bank umum yang melaksanakan kegiatan
umum yang
semakin
jasa
tersebut, maka
usaha
berdasarkan prinsip syariah beserta jaringan kantornya merupakan suatu
keharusan
seluruh lapisan masyarakat
membutuhkan.
Sehubungan dengan hal
memungkinkan hal tersebut
yang
tersebut, maka diperlukan kebijakan yang
terwujud dengan tetap memperhatian prinsip
kehati-hatian dan semangat dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yaitu
program penguatan struktur perbankan nasional. Kebijakan tersebut berupa
penyesuaian ketentuan permodalan bagi bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
PASAL …
-2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Modal disetor sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam
Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai di luar
setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi
adalah
simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Perkoperasian.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4536
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/35/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 September 2005 </set_date>
<effective_date> 29 September 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/24/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 19 /PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mengakomodasi perkembangan transaksi
operasi moneter dan transaksi di pasar keuangan, Bank
Indonesia melakukan pengembangan infrastruktur
transaksi operasi moneter dan transaksi di pasar
keuangan;
b. bahwa ketentuan Bank Indonesia mengenai lelang dan
penatausahaan Surat Berharga Negara belum
mengakomodasi penggunaan infrastruktur untuk
transaksi di pasar keuangan yang telah dikembangkan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan
Surat Berharga Negara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
-2-
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852); dan
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA.
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat
Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5457), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 10, dan angka 11
diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga
Syariah Negara.
2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah Surat Berharga yang berupa surat
pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya.
3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara,
adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum
Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana
-4-
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan
penjualan SBN untuk pertama kali.
6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN
yang telah dijual di Pasar Perdana.
7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat
mengikuti lelang SBN sesuai ketentuan yang
berlaku.
8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian
dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal
hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan
penawar.
9. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive
Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian
dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal
hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan
penawar.
10. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat
Berharga yang dilakukan secara elektronik.
11. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh
Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk
melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan
nasabah.
12. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara
setelmen surat berharga melalui BI-SSSS atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yang dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di
Bank Indonesia.
13. Free of Payment yang selanjutnya disingkat FoP
adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen
-5-
surat berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara
bersamaan dengan setelmen surat berharga atau
tanpa setelmen dana.
14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu)
ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagai agen lelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Bank
Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah melakukan
kegiatan antara lain sebagai berikut:
a. mengumumkan rencana lelang SBN;
b. melaksanakan lelang SBN;
c. menyampaikan hasil penawaran lelang SBN kepada
Menteri; dan
d. mengumumkan keputusan hasil lelang SBN.
(2) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN dengan
menggunakan sarana yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Sarana yang digunakan dalam pelaksanaan lelang SBN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2015.
-6-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 274
-1-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/19/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA
I. UMUM
Dalam rangka mendukung peran Bank Indonesia sebagai agen
lelang, Bank Indonesia mengembangkan infrastruktur transaksi pasar
keuangan yang dapat mengakomodasi perkembangan transaksi
Pemerintah yang terintegrasi dengan Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan
Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
-2-
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5763
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/19/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title>
<set_date> 12 November 2015 </set_date>
<effective_date> 16 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 12 November 2015 </issued_date>
<changed_reg> '10/13/PBI/2008' </changed_reg>
<extension_of> '15/9/PBI/2013' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/30/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan
kegiatan Operasi Pasar Terbuka, Bank Indonesia perlu
mengatur kembali kegiatan Operasi Pasar Terbuka di pasar
uang baik Rupiah maupun valuta asing;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan
ketiga atas Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002
tentang Operasi Pasar Terbuka.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan …
-2-
2. Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 tentang Operasi
Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4243);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR
TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002
tentang
Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
No.6/33/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4463), diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
”Pasal 4
Kegiatan OPT di pasar uang Rupiah meliputi :
a. penerbitan SBI;
b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang
Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan;
c. penyediaan ...
-3-
c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI);
d. fine tune operation (FTO).”
2. Diantara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 2 pasal baru yaitu Pasal 4B dan
Pasal 4C yang berbunyi sebagai berikut :
”Pasal 4B
Kegiatan OPT di pasar valuta asing dalam rangka sterilisasi/intervensi Bank
Indonesia dilakukan melalui kegiatan jual beli valuta asing terhadap Rupiah
antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap.
Pasal 4C
Kegiatan OPT di pasar valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4B
untuk transaksi swap ditetapkan memiliki jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari.”
3. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah serta menambah 1
(satu) ayat baru yaitu ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:
”Pasal 14
(1) Bank yang mengikuti kegiatan OPT di pasar uang Rupiah secara langsung
(untuk kepentingan sendiri atau kepentingan pihak lain non bank) maupun
tidak langsung wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang
cukup di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dan
atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi.
(2) Pihak lain yang mengikuti kegiatan OPT di pasar uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyediakan dana dan atau
surat berharga yang cukup di Bank yang ditunjuknya untuk penyelesaian
pembayaran dan atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi.
(3) Dalam ...
-4-
(3) Dalam hal Bank atau pihak lain yang mengikuti OPT di pasar uang
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), transaksi OPT di pasar
uang Rupiah yang bersangkutan dinyatakan batal.
(4) Bank yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing wajib
menyediakan dana di Bank Indonesia
atau transfer dana ke rekening
Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
pada tanggal penyelesaian transaksi.”
4. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 16A
yang berbunyi sebagai berikut:
”Pasal 16A
(1) Dalam hal Bank yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4) , Bank wajib membayar nominal transaksi pada hari kerja berikutnya
setelah tanggal penyelesaian.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. teguran tertulis; dan
b.kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta US Dollar;
2. suku ...
-5-
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas
moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua
ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta asing non US Dollar;
3. suku bunga Bank Indonesia (BI rate ) yang berlaku ditambah
200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam Rupiah.
(3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nominal transaksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui :
a. pendebetan rekening giro valuta US Dollar Bank pada Bank Indonesia
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran Bank dalam valuta asing.
Untuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar,
digunakan kurs indikasi Reuters pukul 08.00 W.I.B. pada tanggal
pembebanan,
b. pendebetan rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran Bank dalam Rupiah.”
Pasal ...
-6-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 15 September 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 84
DPD/DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/30/ PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4B
Yang dimaksud dengan spot adalah transaksi jual/beli
antara 2 (dua) valuta dengan penyerahan dananya dilakukan
2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Transaksi
tersebut dimungkinkan
untuk
dinegosiasikan dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan
penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
Yang dimaksud dengan forward adalah transaksi jual/beli
antara 2 (dua) valuta dengan penyerahan dananya dilakukan
lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang …
- 2 -
Yang dimaksud dengan swap adalah transaksi pertukaran 2
(dua) valuta melalui pembelian/penjualan tunai (spot)
dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka
(forward) yang
dilakukan secara simultan, dengan
counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat
dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Pasal 4C
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk
kewajiban
penyelesaian transaksi dalam Rupiah.
Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan
dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia
yang ditunjuk.
Angka 4
Pasal 16A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4533
DPD/DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/30/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 13 September 2005 </set_date>
<effective_date> 15 September 2005 </effective_date>
<changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg>
<extension_of> '6/33/PBI/2004' </extension_of>
<related_reg> '3/UU/2004', '4/9/PBI/2002', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 16A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/16/PBI/2013
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kecukupan likuiditas perbankan syariah perlu
dijaga untuk mendukung pencapaian stabilitas
moneter;
b. bahwa untuk mendukung stabilitas sektor keuangan
dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang
muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan
penguatan likuiditas perbankan syariah dengan tetap
memperhatikan peran perbankan syariah dalam
menjalankan fungsi intermediasi;
c. bahwa guna mencapai kecukupan likuiditas yang
memadai dan menjalankan fungsi intermediasi
secara optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas
perbankan syariah melalui kebijakan giro wajib
minimum;
d. bahwa dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang dalam pengaturan dan pengawasan
perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013,
perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan giro
wajib minimum;
e. bahwa ...
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank ...
- 3 -
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia atau OJK untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam
Rupiah dan valuta asing.
7. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi
dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
8. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro
Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank
Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
dengan pihak ekstern.
9. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau
sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
dengan pihak ekstern.
10. Pembiayaan ...
- 4 -
10. Pembiayaan Bank yang selanjutnya disebut Pembiayaan adalah
aktiva Bank dalam bentuk pembiayaan mudharabah, pembiayaan
musyarakah, piutang, dan ijarah.
11. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah
simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk
saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
12. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya
disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek
antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam Rupiah maupun
valuta asing.
13. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang selanjutnya
disingkat SIMA adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BUS atau UUS
yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS
dengan akad mudharabah.
14. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat
indikasi imbalan SIMA dalam Rupiah yang terjadi di PUAS pada
pasar perdana.
15. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU
adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh bank secara
harian kepada Bank Indonesia, termasuk penyediaan informasi pasar
uang dan pengumuman dari Bank Indonesia.
BAB II
PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi GWM dalam Rupiah.
(2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta
asing.
Pasal 3 ...
- 5 -
Pasal 3
(1) GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam Rupiah.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank yang memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah kurang dari 80% (delapan puluh persen) dan:
a. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 1% (satu
persen) dari DPK dalam Rupiah;
b. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 2% (dua
persen) dari DPK dalam Rupiah; atau
c. memiliki DPK dalam Rupiah lebih besar dari
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam Rupiah sebesar 3% (tiga
persen) dari DPK dalam Rupiah.
(3) Bagi Bank:
a. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah sebesar 80% (delapan puluh persen) atau lebih;
dan/atau
b. yang memiliki DPK dalam Rupiah sampai dengan
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah),
tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 4 ...
- 6 -
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) kepada Bank yang melakukan merger atau konsolidasi.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger
atau konsolidasi berlaku efektif.
(3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
kewajiban pemenuhan tambahan GWM dalam Rupiah.
(4) Pemberian kelonggaran GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank
Indonesia yang disertai persetujuan dari OJK mengenai pemberian
insentif merger atau konsolidasi berupa kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM dalam Rupiah.
Pasal 5
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 6
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 5 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu.
BAB III
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 7
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank
Indonesia.
(2) Bank ...
- 7 -
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara
Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukuan, penyetoran, penarikan, dan penutupan
Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang hubungan Rekening
Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
Pasal 8
Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas kewajiban memelihara
Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).
BAB IV
PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 9
(1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 5 secara harian.
(2) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan membandingkan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada
Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan
pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Pasal 10
(1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) masing-masing terdiri dari:
a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank;
b. saldo Rekening Giro Valas Bank.
(2) Informasi ...
- 8 -
(2)
Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah
Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro
Valas Bank.
Pasal 11
(1) DPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) terdiri dari:
a. jumlah DPK dalam Rupiah pada seluruh kantor Bank di
Indonesia;
b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di
Indonesia.
(2) DPK dalam Rupiah meliputi kewajiban dalam Rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri dari:
a. giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing
kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada
penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari:
a. giro;
b. simpanan berjangka; dan
c. kewajiban-kewajiban lainnya.
(4)
Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diperoleh dari data DPK dalam Rupiah dan valuta asing yang
disampaikan Bank pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
BAB V...
- 9 -
BAB V
TATA CARA PERHITUNGAN RASIO PEMBIAYAAN DALAM RUPIAH
TERHADAP DANA PIHAK KETIGA DALAM RUPIAH
Pasal 12
(1) Rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah
dihitung dengan membandingkan jumlah Pembiayaan dalam Rupiah
terhadap DPK dalam Rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2
(dua) periode sebelumnya.
(2) Pembiayaan dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh dari data Pembiayaan yang disampaikan Bank pada
Laporan Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku
mengenai laporan berkala bank umum.
(3) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
dari data giro, tabungan, deposito dan bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu yang disampaikan Bank pada Laporan
Berkala Bank Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku
mengenai laporan berkala bank umum.
BAB VI
PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 13
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank
untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung;
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau
c. Bank Indonesia menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.
BAB VII ...
- 10 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 14
Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 dikenakan sanksi berupa :
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut:
1. Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) maka Bank dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya
pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk
setiap hari pelanggaran.
2. Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana
dimaksud pada angka 1 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung
berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi
mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh Bank.
3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen)
per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian
Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang
dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia.
4. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada angka 3
dibayarkan dalam Rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari
kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
Pasal 15 ...
- 11 -
Pasal 15
Sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b angka 1 dan 2
dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran
pemenuhan kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (1), sepanjang kekurangan GWM dalam Rupiah tidak lebih
dari 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah.
Pasal 16
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro
Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada 3 (tiga) hari kerja
berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui kekurangan atau kelebihan
dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk
Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia
untuk Rekening Giro Valas Bank.
(4) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh
sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai
kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk
pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka atas
kekurangan tersebut dikenakan tambahan kewajiban membayar
sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA.
(6) Dalam ...
- 12 -
(6) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kewajiban membayar dihitung
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf b angka 2.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4404);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/23/PBI/2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro
Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 80,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4649); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/23/PBI/2008 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4908),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember
2013.
Agar ...
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 236
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/16/PBI/2013 TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Pengelolaan likuiditas perbankan syariah perlu dilakukan agar
transmisi kebijakan moneter melalui sistem perbankan dapat berlangsung
secara optimal melalui peran Bank dalam sistem pembayaran, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan fungsi intermediasi dalam
penyaluran kredit.
Sebagai salah satu pelaku di sistem keuangan, kondisi likuiditas
perbankan syariah dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan,
sehingga upaya untuk menjaga kecukupan likuiditas perbankan syariah
perlu terus dilakukan secara terukur agar berjalan searah dengan
pertumbuhan asetnya.
Kebijakan penguatan likuiditas perbankan syariah dilakukan dengan
mempertimbangkan dampak terhadap kondisi makroekonomi, kondisi
sistem perbankan syariah secara keseluruhan, dan kondisi Bank secara
individual.
Selain itu, mengingat karakteristik operasional Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah berbeda dengan bank umum konvensional maka
ketentuan mengenai GWM bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah tetap harus mempertimbangkan karakteristik operasionalnya dan
kesesuaian dengan kaedah-kaedah fikih.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 ...
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pemenuhan GWM dalam Rupiah dilakukan tanpa memperhatikan
rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah dan
jumlah DPK dalam Rupiah yang dimiliki Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah
DPK dalam Rupiah Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah sebesar:
1. 5% (lima persen) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah); ditambah dengan
2. 1% (satu persen) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah).
Huruf b
Contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah
DPK dalam Rupiah Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima
triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah
sebesar:
1. 5% (lima persen) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
2. 2% (dua persen) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh
lima triliun rupiah).
Huruf c ...
- 3 -
Huruf c
Contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan jumlah
DPK dalam Rupiah Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam Rupiah
sebesar:
1. 5% (lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
2. 3% (tiga persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM yang
wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 5% (lima persen)
berubah menjadi sebesar 4% (empat persen).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing :
Bank memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014
sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar Amerika Serikat).
GWM ...
- 4 -
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal 31 Januari 2014 adalah sebesar :
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
Pasal 6
Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan
memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter dan sistem
keuangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam rangka melaksanakan kewajiban pemenuhan GWM dalam
valuta asing, Bank melakukan penyetoran valuta asing untuk untung
rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York,
New York (FRB). Selanjutnya Bank mengirimkan informasi
penyetoran valuta asing tersebut kepada Bank Indonesia secara
tertulis antara lain melalui sarana SWIFT atau surat, paling lambat
pukul 14.00 WIB pada tanggal valuta.
Dalam hal Bank melakukan penarikan pada Rekening Giro Valas,
permintaan penarikan telah diterima oleh Bank Indonesia paling
lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 5 -
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang
tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu)
masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Persentase GWM Bank dalam Rupiah atau valuta asing sebagaimana
dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Pasal 10
Ayat (1)
Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
saldo Rekening Giro Bank adalah saldo Rekening Giro UUS.
Ayat (2) ...
x 100%
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
DPK adalah DPK yang dilaporkan UUS.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” dalam Rupiah adalah komponen
giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana
Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” dalam Rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan
yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka” dalam Rupiah
adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah
dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam
Rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga
bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan yang berlaku
mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (3) ...
- 7 -
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” dalam valuta asing adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dalam ketentuan
yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka” dalam valuta asing
adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam valuta
asing dalam ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban-kewajiban lainnya” dalam
valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak
ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam
ketentuan yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK
dalam Rupiah adalah sebagai berikut:
Jumlah Pembiayaan dalam Rupiah pada akhir masa
laporan dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya
Jumlah DPK dalam Rupiah pada akhir masa laporan
dari laporan 2 (dua) periode sebelumnya
Rasio Pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan dan
DPK Bank sebagai berikut:
a. penentuan ...
x 100%
- 8 -
a. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 menggunakan rasio yang
diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam Rupiah
tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rasio
yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam
Rupiah pada tanggal akhir bulan sebelumnya;
c. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 menggunakan rasio
yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK dalam
Rupiah tanggal 7 bulan yang sama;
d. penentuan persentase GWM dalam Rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan
rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam Rupiah dan DPK
dalam Rupiah tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada OJK.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
- 9 -
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan
adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada
pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM
dalam Rupiah yaitu:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
x hari pelanggaran
360
Contoh 1 perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75%
(tujuh puluh lima persen) dan rata-rata harian DPK dalam Rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Januari 2014 sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah). GWM dalam Rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari 2014 yang wajib
dipenuhi Bank A adalah sebesar:
a. 5% (lima persen) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); ditambah dengan
b. 1% (satu persen) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Rupiah Bank A
pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) atau 5% (lima persen) dari DPK dalam
Rupiah maka terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Apabila ...
- 10 -
Apabila Tingkat Indikasi Imbalan SIMA di tanggal 24 Januari 2014
sebesar 5% (lima persen), perhitungan sanksi kewajiban
membayar atas pelanggaran GWM Rupiah untuk Bank A pada
tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
x hari pelanggaran
360
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5% x 1
360
Contoh 2 perhitungan sanksi:
Bank B memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 85%
(delapan puluh lima persen) dan rata-rata harian DPK dalam
Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan Januari 2014 sebesar Rp800.000.000.000,00
(delapan ratus miliar rupiah). GWM dalam Rupiah untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan 31Januari 2014 adalah
sebesar 5% (lima persen) dari Rp800.000.000.000,00 (delapan
ratus miliar rupiah) yaitu sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar rupiah).
Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Rupiah Bank
B pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) atau 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam Rupiah, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Apabila Tingkat Indikasi Imbalan SIMA di tanggal 24 Januari
2014 sebesar 5% (lima persen), perhitungan sanksi kewajiban
membayar atas pelanggaran GWM dalam Rupiah untuk Bank B
pada tanggal 24 Januari 2014 adalah sebagai berikut:
Kekurangan ...
- 11 -
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
x hari pelanggaran
360
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5% x 1
360
Angka 2
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
digunakan adalah rata-rata tingkat imbalan deposito mudharabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
tercatat pada LHBU.
Angka 3
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
Januari 2014 sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta dolar
Amerika Serikat).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan 31 Januari 2014 adalah sebesar:
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta dolar
Amerika Serikat).
Pada tanggal 24 Januari 2014 saldo Rekening Giro Valas Bank A
pada Bank Indonesia adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan
ratus ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat kekurangan
pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari 2014
adalah sebagai berikut:
0,04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat
puluh dolar Amerika Serikat).
Angka 4 ...
- 12 -
Angka 4
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi
dua.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan
adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA di pasar
perdana yang diperoleh dari LHBU.
Contoh:
Tanggal 20 Januari 2014:
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah). Sanksi kewajiban membayar kekurangan
GWM Rp120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah). Maka
jumlah tambahan kewajiban membayar adalah:
(120.000.000.000-100.000.000.000) x 150% X Tingkat Indikasi Imbalan
SIMA X 1
360
Tanggal 23 Januari 2014:
Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp80.000.000.000,00
(delapan puluh miliar rupiah). Sanksi kewajiban membayar
kekurangan ...
- 13 -
kekurangan GWM Rp130.000.000.000,00 (seratus tiga puluh miliar
rupiah). Maka jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal
23 Januari 2014 hanya sebesar:
(130.000.000.000-80.000.000.000) x 150% X Tingkat Indikasi Imbalan
SIMA X 1
360
tanpa memperhitungkan jumlah tambahan kewajiban membayar
pada tanggal 20 Januari 2014 yang belum dapat dipenuhi oleh Bank
yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5479
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/16/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '8/23/PBI/2006', '6/21/PBI/2004', '10/23/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/22/PBI/2010
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung
pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing
sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki
peranan yang cukup strategis, khususnya dalam
perkembangan pasar valuta asing domestik;
b.
bahwa dengan perkembangan kegiatan pengiriman uang
di luar jasa perbankan, pedagang valuta asing dapat turut
berperan dalam kegiatan pengiriman uang;
c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih
sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang
berkesinambungan, pedagang valuta asing perlu
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-
hatian dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku,
termasuk penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT);
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu mengatur
kembali ketentuan mengenai pedagang valuta asing;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun …
- 3 -
5.
Tahun 2010 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164);
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing (banknotes), yang selanjutnya disebut UKA, adalah
uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu
negara di luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah
negara yang bersangkutan (legal tender).
2. Traveller’s Cheque, yang selanjutnya disebut TC, adalah cek perjalanan
dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
4. Pedagang Valuta Asing (money changer), yang selanjutnya disebut PVA,
adalah perusahaan yang melakukan jual beli UKA dan pembelian TC.
5. PVA …
- 4 -
5. PVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas
bukan bank yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan
usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah memenuhi ketentuan
dan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
6. PVA Bank adalah bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah,
Bank Perkreditan Rakyat, atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang
melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah
memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
7. Bank Umum Bukan Bank Devisa adalah Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang belum memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.
8. Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa adalah Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yang belum memperoleh izin dari Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.
9. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional.
10. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
11. Pengiriman …
- 5 -
11. Pengiriman Uang (money remittance) adalah kegiatan pengiriman uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kegiatan usaha pengiriman uang.
12. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, yang untuk
selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT, adalah upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme pada PVA Bukan Bank.
13. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
14. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
15. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PVA.
16. Laporan Kegiatan Usaha, yang selanjutnya disebut LKU, adalah laporan
transaksi pembelian dan penjualan UKA, laporan transaksi pembelian dan
pencairan TC, serta laporan transaksi kegiatan usaha Pengiriman Uang.
BAB II
JENIS DAN KEGIATAN USAHA PVA
Pasal 2
PVA terdiri dari:
a. PVA Bukan Bank;
b. PVA Bank
Pasal …
- 6 -
Pasal 3
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA terdiri dari:
a.
jual dan beli UKA; dan
b. pembelian TC.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang
dengan tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha
pengiriman uang.
Pasal 4
PVA dilarang:
a. bertindak sebagai agen penjual TC;
b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi
derivatif lainnya untuk kepentingan nasabah; dan/atau
c. melakukan kegiatan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 5
Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan
mekanisme pasar.
BAB …
- 7 -
BAB III
PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK
Bagian Kesatu
Badan Hukum dan Modal Disetor PVA Bukan Bank
Pasal 6
PVA Bukan Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dengan
ketentuan :
a. maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan jual beli UKA dan
pembelian TC; dan
b. pemegang saham perseroan terdiri dari warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia.
Pasal 7
(1) Modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank ditetapkan paling
sedikit sebesar :
a. Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah), bagi PVA
Bukan Bank yang didirikan di wilayah DKI Jakarta, Kotamadya
Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam; atau
b. Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), bagi PVA Bukan Bank yang
didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam
huruf a.
(2) Modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank tidak berasal dari
dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Bagian …
- 8 -
Bagian Kedua
Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham
Pasal 8
Direksi dan Dewan Komisaris PVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b.
c.
d.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro
kosong;
tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem
informasi kredit pada Bank Indonesia;
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang
perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
e.
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap;
f.
tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Dewan
Komisaris dari suatu perseroan terbatas dengan kegiatan usaha PVA yang
dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia karena pelanggaran, dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan
g. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan mengenai pedagang
valuta asing dan perundang-undangan lain yang berlaku.
Pasal …
- 9 -
Pasal 9
Pemegang saham PVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. perorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro
kosong;
c.
d.
tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem
informasi kredit pada Bank Indonesia;
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang
perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
e.
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap; dan
f. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan yang mengatur mengenai
pedagang valuta asing dan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku.
Pasal 10
Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank
dilarang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk
kepentingan pribadi dengan menggunakan PVA Bukan Bank sebagai sarana.
Bagian …
- 10 -
Bagian Ketiga
Perizinan PVA Bukan Bank
Paragraf 1
PVA Bukan Bank
Pasal 11
(1) PVA Bukan Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) setelah mendapat izin usaha sebagai PVA dari Bank
Indonesia.
(2)
Izin usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
dialihkan kepada pihak lain.
(3) Persyaratan dan tata cara permohonan untuk mendapatkan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi tempat usaha pemohon
izin usaha PVA Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen
permohonan izin usaha PVA Bukan Bank dengan kondisi di lapangan,
kelayakan lokasi dan kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
pemohon izin usaha PVA Bukan Bank memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
(3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada pemohon.
Pasal …
- 11 -
Pasal 13
(1) Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pemohon izin usaha PVA
Bukan Bank harus menghadiri penyuluhan ketentuan terkait dengan PVA
yang diadakan oleh Bank Indonesia.
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah hasil
pemeriksaan di lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dinyatakan
layak oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pemohon izin
usaha PVA Bukan Bank tidak menghadiri penyuluhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia, maka pemohon izin usaha PVA Bukan Bank dinyatakan
membatalkan permohonannya.
(4) Dalam hal seluruh Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham
pemohon izin usaha PVA Bukan Bank telah menghadiri penyuluhan
ketentuan terkait dengan PVA yang diadakan oleh Bank Indonesia, Bank
Indonesia menerbitkan izin usaha sebagai PVA.
Paragraf 2
PVA Bukan Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
Pasal 14
(1) PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) setelah mendapat izin dari
Bank Indonesia.
(2) PVA Bukan Bank yang memperoleh izin kegiatan usaha Pengiriman Uang
wajib melakukan penyesuaian atas kebijakan dan prosedur penerapan
program …
- 12 -
program APU dan PPT dengan memuat kebijakan dan prosedur APU dan
PPT untuk kegiatan usaha Pengiriman Uang.
(3) Persyaratan dalam pengajuan permohonan izin untuk melakukan kegiatan
usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam
melaksanakan kegiatan usaha Pengiriman Uang, PVA Bukan Bank wajib
tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan
usaha Pengiriman Uang.
Pasal 15
(1) Bagi pemohon izin usaha PVA Bukan Bank yang sekaligus mengajukan
permohonan izin untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang, harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pedagang valuta asing dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman
Uang.
(2) Jangka waktu pemberian izin atau penolakan secara tertulis permohonan
kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang, tidak berlaku bagi
permohonan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diajukan bersamaan
dengan permohonan izin usaha PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Persyaratan dan tata cara permohonan untuk mendapatkan izin usaha PVA
Bukan Bank yang sekaligus mengajukan permohonan izin untuk
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
- 13 -
Bagian Keempat
Kewajiban PVA Bukan Bank
Pasal 16
PVA Bukan Bank wajib memasang:
a.
logo PVA berizin;
b.
tulisan “Pedagang Valuta Asing Berizin” (“Authorized Money Changer”);
dan
c. sertifikat izin usaha.
Bagian Kelima
Pembukaan Kantor Cabang dan Gerai (Counter)
PVA Bukan Bank
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 17
(1) Pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank wajib memperoleh
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan pembukaan kantor cabang PVA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang dialihkan kepada pihak lain.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
- 14 -
Pasal 18
Bagi PVA Bukan Bank yang akan membuka kantor cabang di wilayah DKI
Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung, dan/atau Kotamadya Batam
harus mempunyai modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta Rupiah).
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi tempat usaha kantor
cabang PVA Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen
permohonan persetujuan pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank
dengan kondisi di lapangan, kelayakan lokasi dan kesiapan pembukaan
kantor cabang.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan
Pasal 18.
(3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada PVA Bukan Bank.
Pasal 20
Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan pembukaan kantor cabang, dalam hal
lokasi usaha kantor cabang PVA Bukan Bank dinyatakan layak.
Paragraf …
- 15 -
Paragraf 2
Pembukaan Gerai (Counter)
Pasal 21
(1) Pembukaan gerai (counter) di luar kantor PVA Bukan Bank wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(2) Gerai (counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara
dengan jangka waktu tertentu dan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
(3) Persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan pembukaan gerai
(counter) oleh PVA Bukan Bank diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Pemindahan Alamat Kantor PVA Bukan Bank
Pasal 22
(1) Pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank wajib memperoleh
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persyaratan dan tata cara permohonan pemindahan alamat kantor PVA
Bukan Bank diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Bagi PVA Bukan Bank yang akan memindahkan alamat kantor pusat dan/atau
kantor cabang ke wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten
Badung, dan/atau Kotamadya Batam harus mempunyai modal disetor paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
Pasal …
- 16 -
Pasal 24
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan di lokasi baru alamat kantor PVA
Bukan Bank untuk memastikan kesesuaian dokumen permohonan
persetujuan pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank dengan kondisi
di lapangan, kelayakan lokasi dan kesiapan kantor yang baru.
(2) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada PVA Bukan Bank.
Pasal 25
Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan pemindahan alamat kantor, dalam
hal lokasi usaha PVA Bukan Bank dinyatakan layak.
Bagian Ketujuh
Perubahan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau
Pemegang Saham PVA Bukan Bank
Pasal 26
(1) Dalam hal PVA Bukan Bank akan melakukan perubahan Direksi, Dewan
Komisaris dan/atau pemegang saham, maka calon Direksi, Dewan
Komisaris dan/atau pemegang saham wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia sebelum menduduki jabatannya.
(2) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau perubahan pemegang
saham PVA Bukan Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia wajib dilaporkan oleh PVA Bukan Bank kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung.
Pasal …
- 17 -
Pasal 27
Calon Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 harus :
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau
Pasal 9; dan
b. menghadiri penyuluhan mengenai ketentuan yang terkait dengan PVA yang
diadakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 28
(1) Bank Indonesia memerintahkan kepada pemegang saham untuk melakukan
penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris, dalam hal Direksi
dan/atau Dewan Komisaris terlibat tindak pidana pencucian uang dan/atau
tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Bank Indonesia memerintahkan kepada pemegang saham untuk
mengalihkan sahamnya kepada pihak lain, dalam hal pemegang saham
terlibat tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana di bidang
perbankan dan keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Bagian Kedelapan
Perubahan Nama, Modal Dasar dan/atau
Modal Disetor PVA Bukan Bank
Pasal …
- 18 -
Pasal 29
Perubahan nama Perseroan Terbatas PVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia setelah perubahan tersebut memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang.
Pasal 30
(1) Perubahan modal dasar dan/atau modal disetor PVA Bukan Bank wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia setelah memperoleh persetujuan
dan/atau surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang.
(2) Jumlah modal disetor PVA Bukan Bank setelah mengalami perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Bagian Kesepuluh
Penghentian Sementara atau Permanen Kegiatan Usaha
PVA Bukan Bank
Paragraf 1
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha
PVA Bukan Bank
Pasal 31
(1) PVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
dalam hal melakukan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor
cabang yang bersifat sementara.
(2) Penghentian …
- 19 -
(2) Penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 6 (enam) bulan.
(3) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha yang
bersifat sementara wajib membuka kembali kegiatan usaha kantor pusat
dan/atau kantor cabang setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan melaporkan pembukaan tersebut kepada Bank
Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak berakhirnya jangka
waktu penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara.
(4) PVA Bukan Bank dapat membuka kembali kegiatan usaha yang bersifat
sementara sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dan wajib melaporkan pembukaan tersebut kepada Bank
Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak dibukanya kembali
kegiatan usaha.
Paragraf 2
Penghentian Permanen Kegiatan Usaha
PVA Bukan Bank
Pasal 32
(1) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha secara
permanen, wajib melaporkan penghentian tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal penghentian kegiatan usaha secara permanen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kantor pusat dan seluruh kantor cabang,
maka laporan wajib melampirkan dokumen:
a. alasan penghentian;
b. fotokopi …
- 20 -
b. fotokopi risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penghentian
kegiatan usaha PVA Bukan Bank;
c. pernyataan dari pemegang saham bahwa langkah-langkah penyelesaian
kewajiban yang terkait dengan kegiatan PVA Bukan Bank telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab pemegang saham.
(3) Dalam hal penghentian kegiatan usaha secara permanen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap seluruh atau sebagian kantor cabang,
maka laporan wajib memuat alasan penghentian.
(4) Atas penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan seluruh kantor cabang
secara permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin usaha PVA
Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku.
(5) Atas penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang bersifat permanen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), persetujuan pembukaan kantor
cabang PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku.
BAB IV
PEDAGANG VALUTA ASING BANK
Bagian Pertama
Perizinan PVA Bank
Pasal 33
PVA Bank melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal …
- 21 -
Pasal 34
(1) Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank
Devisa, BPR, atau BPRS yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai
PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
b. mencantumkan rencana kegiatan usaha sebagai PVA dalam Rencana
Bisnis Bank bagi bank umum bukan bank devisa dan Rencana Kerja
dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja bagi BPR atau BPRS; dan
c. menyertakan rencana kesiapan operasional.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus
untuk BPR atau BPRS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki tingkat kesehatan selama 12 (dua belas) bulan terakhir
tergolong sehat; dan
b. memenuhi persyaratan modal disetor dan kepengurusan sesuai
ketentuan yang berlaku.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2)
berdasarkan data Bank Indonesia.
Pasal 35
Penyampaian permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dilakukan oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai
berikut:
a. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat …
- 22 -
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350;
b. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang juga melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
c. bagi Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa dan BPRS yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada
Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350;
d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Kredit, BPR
dan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Perkreditan
Rakyat; atau
e. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank
Devisa, BPR atau BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat
yang mewilayahi bank dimaksud.
Pasal 36
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan …
- 23 -
(2) Pelaksanaan kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
persetujuan dari Bank Indonesia dikeluarkan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PVA
Bank tidak melaksanakan kegiatan PVA, persetujuan yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
(4) Pelaksanaan kegiatan PVA wajib dilaporkan oleh kantor pusat bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan PVA.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Kegiatan PVA pada Kantor-Kantor Bank
Pasal 37
(1) PVA Bank dapat melakukan kegiatan PVA pada kantor-kantor di luar
kantor pusat sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana kantor bank yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai
PVA telah tercantum dalam Rencana Bisnis Bank bagi Bank Umum
Bukan Bank Devisa dan Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa,
atau Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja bagi
BPR dan BPRS; dan
b. melaporkan rencana tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender sebelum pelaksanaan kegiatan PVA disertai dengan rencana
kesiapan operasional.
(2) PVA Bank wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan PVA di kantor bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan PVA.
Bagian …
- 24 -
Bagian Ketiga
Penghentian Kegiatan Usaha PVA Bank
Pasal 38
(1) PVA Bank dapat menghentikan seluruh kegiatan usaha sebagai PVA di
kantor pusat dan di kantor-kantor lainnya dengan terlebih dahulu
menyampaikan rencana penghentian tersebut kepada Bank Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tanggal penghentian
kegiatan usaha sebagai PVA, dilampiri dengan dokumen:
a. alasan penghentian;
b. pernyataan dari PVA Bank bahwa seluruh hak dan kewajiban yang
terkait dengan kegiatan PVA Bank yang dilaksanakan sebelum tanggal
penghentian telah diselesaikan dan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab PVA Bank.
(2) Persetujuan penghentian kegiatan usaha sebagai PVA disampaikan oleh
Bank Indonesia kepada PVA Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah surat permohonan penghentian kegiatan usaha sebagai
PVA diterima lengkap oleh Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan penghentian kegiatan PVA.
Pasal 39
(1) PVA Bank dapat menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA pada satu
atau lebih kantor-kantor di luar kantor pusat bank.
(2) Pelaksanaan …
- 25 -
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor-kantor di luar kantor
pusat bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh
Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah tanggal pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor
bank dengan disertai alasan penghentian.
Pasal 40
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Pasal 37
ayat (2), Pasal 38 ayat (3), Pasal 39 ayat (2) dilakukan oleh kantor pusat bank
yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
b. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa yang juga melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
c. bagi Bank Umum Syariah Bukan Bank Devisa dan BPRS yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada
Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350;
d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Kredit, BPR
dan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350; atau
e. bagi Bank Umum Bukan Bank Devisa, Bank Umum Syariah Bukan Bank
Devisa, BPR, dan/atau BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor …
- 26 -
Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat yang mewilayahi bank dimaksud.
Bagian Keempat
Saldo Harian Pos Aktiva Dalam Valuta Asing
Pasal 41
PVA Bank diperbolehkan memiliki saldo harian pos aktiva dalam valuta asing
paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor.
Bagian Kelima
Status PVA Bagi Bank Yang Dibekukan atau Dicabut Izin Usaha
Pasal 42
Persetujuan PVA Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dinyatakan tidak
berlaku dalam hal seluruh kegiatan usaha Bank yang bersangkutan dibekukan
atau izin usaha Bank dicabut oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 43
(1) BPR dan BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus, belum
memenuhi ketentuan modal disetor, atau kepengurusan tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat melakukan kegiatan usaha
sebagai PVA.
(2) Kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan kembali setelah BPR dan BPRS yang bersangkutan dikeluarkan
dari …
- 27 -
dari status pengawasan khusus, memenuhi ketentuan modal disetor dan
kepengurusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB V
ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN
TERORISME (APU DAN PPT)
Pasal 44
PVA wajib menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 45
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA.
(2) Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
(3) Dalam melakukan pengawasan terhadap PVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat menyampaikan surat
pembinaan yang wajib ditindaklanjuti oleh PVA Bukan Bank.
(4) Pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bank dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengawasan bank.
Pasal …
- 28 -
Pasal 46
(1) Pengawasan langsung bagi PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap PVA
Bukan Bank.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara umum
dan/atau khusus.
Pasal 47
(1) Dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap PVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain
untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan
terhadap PVA Bukan Bank.
(2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pemeriksaan
yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan
b. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia.
Pasal 48
(1) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2), PVA wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan akurat.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. bagi …
- 29 -
a. bagi PVA Bank:
1. laporan berkala berupa LKU
2. laporan lainnya setiap waktu apabila diperlukan.
b. bagi PVA Bukan Bank:
1. laporan berkala yang terdiri dari LKU dan laporan keuangan.
2. laporan lainnya setiap waktu apabila diperlukan.
(3) PVA wajib melakukan pencatatan transaksi dan menyimpan dokumen dan
warkat yang berhubungan dengan transaksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49
Batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ayat (2) diatur sebagai berikut:
a. PVA Bank dan PVA Bukan Bank wajib menyampaikan LKU setiap
triwulan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
b. PVA Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib
menyampaikan LKU setiap bulan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
c. PVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan keuangan paling lambat
pada akhir bulan Maret tahun berikutnya.
Pasal 50
(1) PVA Bukan Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala,
apabila laporan berkala tidak disampaikan dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49.
(2) Dalam …
- 30 -
(2) Dalam hal tanggal berakhirnya jangka waktu penyampaian laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau
hari libur maka laporan berkala disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 51
(1) PVA Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala, apabila
laporan berkala disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 huruf a sampai dengan akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya batas waktu tersebut.
(2) PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala, apabila Bank
Indonesia belum menerima laporan berkala sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala,
hal tersebut tidak meniadakan kewajiban PVA Bank untuk menyampaikan
laporan berkala kepada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada Pasal 49 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
maka laporan berkala disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 52
(1) Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), PVA wajib
menyampaikan:
a.
laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa; dan
b. laporan …
- 31 -
b. laporan transaksi keuangan mencurigakan, dan laporan transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif
tertentu.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
SANKSI
Bagian Pertama
PVA Bukan Bank
Pasal 53
Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi
sebagai berikut:
a.
b.
teguran tertulis pertama;
teguran tertulis kedua;
c. peringatan khusus;
d. pencabutan izin usaha.
Pasal 54
(1) Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis pertama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 huruf a, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan
pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak …
- 32 -
a.
tidak memasang logo PVA berizin, tulisan “Pedagang Valuta Asing
Berizin” (“Authorized Money Changer”), dan sertifikat izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
b. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
c.
tidak melaporkan pembukaan gerai (counter) di luar kantor PVA
Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
d. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
e. melakukan perubahan Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang
saham sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26;
f.
g.
h.
tidak melaporkan perubahan nama Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
tidak melaporkan perubahan modal dasar dan/atau modal disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30;
tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor
cabang yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1);
i.
tidak melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha setelah
penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dan (4);
j.
tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor
cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32;
k.
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (2) huruf b secara lengkap, benar dan akurat;
l. terlambat …
- 33 -
l.
terlambat menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan lainnya
hingga batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49; dan/atau
m. tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai penyelenggara
kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman
Uang.
(2) Bank Indonesia mengenakan teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 huruf b, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan
pelanggaran sebagai berikut:
a.
tidak menindaklanjuti teguran tertulis pertama atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis pertama;
dan/atau
b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk kedua kali dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
dikeluarkannya teguran tertulis pertama.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 huruf c, dalam hal PVA Bukan Bank melakukan
pelanggaran sebagai berikut:
a. melakukan kegiatan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4;
b. Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham PVA Bukan
Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan PVA Bukan Bank
sebagai sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
c. tidak …
- 34 -
c.
tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28;
d. tidak menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44;
e.
tidak menindaklanjuti surat pembinaan berdasarkan hasil pemeriksaan
hingga batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3); dan/atau
f.
tidak menindaklanjuti teguran tertulis kedua paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak tanggal dikeluarkannya teguran tertulis
kedua;
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA
Bukan Bank:
a.
tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi
peringatan khusus; atau
b. apabila diketahui kemudian bahwa modal disetor untuk mendirikan
PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang.
Pasal 55
PVA Bukan Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1), izin usahanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal …
- 35 -
Pasal 56
Dalam hal PVA Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang
melakukan pelanggaran pada kegiatan usaha PVA dan/atau kegiatan usaha
Pengiriman Uang, maka pengenaan sanksi tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Pedagang Valuta Asing.
Bagian Kedua
PVA Bank
Pasal 57
(1) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a.
teguran tertulis;
b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau
c. persetujuan kegiatan PVA yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
(2) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a.
teguran tertulis;
b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapatkan predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.
(3) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) dikenakan sanksi
sebagai berikut:
a. bagi …
- 36 -
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap keterlambatan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap keterlambatan.
(4) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor.
b. bagi BPR dan BPRS
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor.
(5) PVA Bank yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap laporan.
b. bagi …
- 37 -
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap laporan.
(6) PVA Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3), dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu Rupiah) untuk setiap laporan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu Rupiah) untuk setiap laporan.
(7) PVA Bank yang menyampaikan laporan secara tidak benar dan tidak
akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), dikenakan sanksi
sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap laporan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap laporan.
BAB …
- 38 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
(1) PVA Bukan Bank di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten
Badung, serta Kotamadya Batam yang mendapatkan izin usaha dari Bank
Indonesia dan PVA Bukan Bank yang telah memiliki kantor cabang di
DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta
Kotamadya Batam berdasarkan persetujuan pembukaan kantor cabang dari
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib
memenuhi modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta Rupiah) paling lambat tanggal 5 September 2012.
(2) Permohonan izin usaha PVA Bukan Bank yang sudah diterima oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini akan diproses
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 tanggal 5
September 2007 tentang Pedagang Valuta Asing.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 60
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan …
- 39 -
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007
tentang Pedagang Valuta Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4764) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 61
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Desember 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
- 40 -
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 146
DPM/DPNP/DPbS/DKBU
- 41 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/22/PBI/2010
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK
I. UMUM
Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta
asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan
dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan
Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan
publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian
nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing.
Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga
penunjang sektor keuangan, pedagang valuta asing yang terdiri dari bank (yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
syariah) dan bukan bank, memiliki peranan yang cukup strategis dalam
mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan
pembelian traveller’s cheque. Selain itu, dengan berkembangnya kegiatan
pengiriman uang di luar jasa perbankan, pedagang valuta asing bukan bank
dapat turut berperan dalam kegiatan usaha pengiriman uang
Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan
kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu
persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum
perseroan …
- 42 -
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum
perseroan terbatas memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari
sisi pengaturan akuntabilitas dan transparansi kepada publik dibandingkan
bentuk badan hukum lain. Di samping itu, pedagang valuta asing perlu
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan
terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk penerapan Program Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT).
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas
kegiatan yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin
pesatnya perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu
dilakukan desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan
pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia ke Kantor Bank Indonesia setempat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang …
- 43 -
Yang dimaksud dengan “margin trading” adalah transaksi jual beli
mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya
marjin selisih kurs.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual/beli tunai antara
dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari
kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual/beliberjangka
antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan
lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran antara dua
mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot)
dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara bersamaan.
Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang didasari
oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku
bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti
dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Pengaturan …
- 44 -
Pengaturan modal disetor dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dan daya saing PVA Bukan Bank di wilayah DKI
Jakarta, Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung serta
Kotamadya Batam.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan kepentingan pribadi adalah kegiatan jual beli
UKA, pembelian TC dan Pengiriman Uang yang tidak dicatat dalam
pembukuan PVA Bukan Bank yang bersangkutan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank antara lain dilihat
dari sarana dan prasarana, serta mekanisme dan prosedur dalam
melakukan kegiatan usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal …
- 45 -
Pasal 13
Ayat (1)
Penyuluhan ketentuan yang terkait dengan PVA bertujuan untuk:
1. Menyampaikan ketentuan mengenai pedagang valuta asing dan
perundang-undangan lain yang berlaku;
2. Menambah pemahaman calon pelaku usaha dalam menerapkan
ketentuan dan menjalankan kegiatan usaha; dan
3. Memperoleh masukan (feedback) dari pemohon izin usaha PVA
Bukan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemenuhan persyaratan termasuk penyesuaian anggaran dasar PVA
Bukan Bank dengan menambahkan maksud dan tujuan perseroan
berupa kegiatan usaha Pengiriman Uang.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal …
- 46 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Kesiapan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank antara lain dilihat
dari sarana dan prasarana, serta mekanisme dan prosedur dalam
melakukan kegiatan usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank
adalah pemindahan alamat kantor pusat dan/atau kantor cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal …
- 47 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Dengan mengajukan penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang
bersifat permanen maka hanya kantor cabang yang ditutup sedangkan
kantor pusat masih beroperasi secara normal. Namun apabila, kantor
pusat yang mengajukan penghentian kegiatan yang bersifat pemanen
maka seluruh kegiatan usaha termasuk kantor cabangnya tidak
beroperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat …
- 48 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud rencana kesiapan operasional adalah:
a. menyebutkan kantor bank yang akan melakukan kegiatan
usaha sebagai PVA.
b. memiliki tempat usaha di kantor bank yang diajukan.
c. sumber daya manusia yang memadai.
d. sarana penunjang kegiatan yang memadai termasuk
kebijakan, sistem dan prosedur secara tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup …
- 49 -
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Untuk BPR dan BPRS, yang dimaksud dengan pos aktiva dalam valuta
asing adalah pos dalam laporan bulanan BPR dan BPRS sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain Kantor Akuntan Publik
dan Asosiasi PVA.
Ayat …
- 50 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lengkap untuk laporan keuangan adalah
apabila telah mencakup Neraca, Laporan Laba/Rugi dan Laporan
Perubahan Ekuitas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
LKU dan laporan keuangan yang disampaikan kepada Badank
Indonesia merupakan laporan konsolidasi dari laporan kantor
pusat, kantor cabang dan gerai (counter).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
- 51 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan laporan transaksi keuangan
mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai adalah transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana
pencucian uang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Setiap kelebihan di bawah 1% dibulatkan ke atas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat …
- 52 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5177
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/22/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 22 Desember 2010 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2010 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '9/11/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '8/UU/2010', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 16 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31
DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM
PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam upaya pemulihan perekonomian
nasional, program restrukturisasi perusahaan yang
dilaksanakan pada saat ini perlu didorong agar dapat
mencapai sasaran yang diinginkan;
b. bahwa restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi
kredit yang dilaksanakan oleh perbankan dan
lembaga resmi mengalami beberapa kendala antara
lain ketentuan pelampauan batas maksimum
pemberian kredit;
c. bahwa pelampauan batas maksimum pemberian
kredit yang dialami oleh bank-bank lebih
disebabkan adanya peningkatan kurs valuta asing
dan penurunan modal bank;
d. bahwa …
d. bahwa untuk mendorong program restrukturisasi
perusahaan perlu dilakukan penyesuaian terhadap
ketentuan batas waktu penyelesaian pelampauan batas
maksimum pemberian kredit bank umum;
e. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember
1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum;
MEMUTUSKAN …
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31
DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM
PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum, sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) diubah sehingga Pasal 15 ayat (3) seluruhnya
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 15
(3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Untuk Pelanggaran BMPK selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak action plan
disetujui Bank Indonesia;
b. Untuk setiap Pelampauan BMPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diatur sebagai
berikut:
i). untuk Pelampauan BMPK yang terjadi sebelum dan sampai
dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini selambat-
lambatnya pada tanggal 31 Mei 2001;
ii) untuk …
ii) untuk Pelampauan BMPK yang terjadi setelah dikeluarkannya
Peraturan Bank Indonesia ini adalah selambat-lambatnya dalam
jangka waktu yang lebih lama antara 9 (sembilan) bulan sejak
action plan disetujui oleh Bank Indonesia dengan batas waktu
tanggal 31 Mei 2001.”
2. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yang dijadikan
Pasal 15A dan Pasal 15B, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 15A
Khusus untuk kredit yang direstrukturisasi oleh lembaga resmi, target waktu
penyelesaian Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (3) ditetapkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu yang lebih lama
antara 9 (sembilan) bulan sejak disetujuinya action plan oleh Bank
Indonesia dengan batas waktu tanggal 31 Desember 2002.
Pasal 15B
(1) Penyelesaian Pelampauan BMPK dapat dilakukan dengan pemberian
jaminan dari BPPN kepada Bank.
(2) Jaminan yang diberikan oleh BPPN sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan:
a. bersifat irrevocable;
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
diajukannya klaim;
c. jangka waktu jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jangka
waktu penyelesaian Pelampauan BMPK; dan
d. nilai …
d. nilai jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
Pelampauan BMPK yang ada.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Juni 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 90
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 19 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM
I. UMUM
Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai dengan
penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi perbankan
nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program penjaminan
pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan restrukturisasi
kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program pemulihan
perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi perusahaan.
Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk mendukung
perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi kredit.
Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan restrukturisasi
perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami berbagai kendala dan
salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang berkaitan dengan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan Bank.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan
mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan
pada …
pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan mendorong
pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian sementara terhadap
ketentuan kehati-hatian khususnya
mengenai perpanjangan batas waktu
penyelesaian Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Perpanjangan batas waktu penyelesaian Pelampauan Batas Maksimum
Pemberian Kredit diberikan mengingat adanya fakta bahwa dalam masa krisis
ekonomi pelampauan tersebut diakibatkan oleh peningkatan kurs valuta asing
dan penurunan modal Bank, serta untuk memberikan dukungan terhadap
program restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh lembaga resmi yaitu
Prakarsa Jakarta dan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia.
Selain penyesuaian sementara terhadap ketentuan kehati-hatian tersebut,
Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat membantu mengatasi
permasalahan Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit perbankan
melalui pemberian jaminan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 15
Ayat (3)
Huruf a dan huruf b
Cukup Jelas
Angka 2 …
Angka 2
Pasal 15A
Yang dimaksud dengan lembaga resmi adalah Prakarsa Jakarta
dan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia.
Pasal 15B
Ayat (1)
Dalam penyelesaian Pelampauan BMPK, pemberian
jaminan oleh BPPN disetarakan dengan jaminan oleh
Pemerintah Pusat sehingga dikecualikan dari perhitungan
BMPK.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan irrevocable adalah jaminan
dengan kondisi tidak dapat diubah dan atau ditarik
kembali atau dibatalkan tanpa persetujuan Bank dan
BPPN.
Huruf b
Klaim diajukan apabila Pelampauan BMPK belum
terselesaikan sampai dengan batas waktu
penyelesaian Pelampauan BMPK sesuai jadwal
angsuran kredit yang ada.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
Huruf d
Nilai jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
wajib disesuaikan apabila terjadi peningkatan nilai
Pelampauan BMPK.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3973
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/16/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/177/KEP/DIR TANGGAL 31 DESEMBER 1998 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 Juni 2000 </set_date>
<effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date>
<changed_reg> '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/20/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia
memiliki tugas antara lain menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran;
b. bahwa dalam rangka menjalankan tugas Bank Indonesia
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
perlu didukung infrastruktur sesuai dengan
perkembangan terkini dan efektifitas pengaturan serta
keselarasan pengaturan kebijakan moneter dan sistem
pembayaran;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter;
-2-
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) yang telah
beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 14/5/PBI/2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5321);
b. Nomor 15/5/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5440);
diubah sebagai berikut:
-3-
1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12
dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang
berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka
dan koridor suku bunga (standing facilities).
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang
selanjutnya disebut Standing Facilities adalah
kegiatan penyediaan dana Rupiah (lending facility)
dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan
dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank
Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di
pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi
Moneter.
6.
Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di
pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi
Moneter.
7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
7a. Sertifikat Deposito Bank Indonesia, yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
-4-
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-Bank.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga
Syariah Negara.
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang berlaku.
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara,
adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset
SBSN baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta
asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang berlaku.
11. Dihapus.
12. Dihapus.
2. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 12
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI
dalam suatu sistem penatausahaan secara
elektronis (Book Entry Registry) di Bank Indonesia.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup sistem penyelesaian transaksi dan
pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
tanpa warkat (scripless).
-5-
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
mendukung penatausahaan SBI dan SDBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk
mendukung penatausahaan SBI dan SDBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank
Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya,
Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan
yang telah ditetapkan.
3. Penjelasan Pasal 15 ayat (2) diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan.
4. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) diubah,
sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki:
a.
b.
rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan
rekening giro valuta asing di Bank Indonesia
dalam hal peserta Operasi Moneter mengikuti
transaksi OPT di pasar valuta asing.
(2) Peserta Operasi Moneter wajib memiliki rekening
surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di
lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan
Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang
cukup di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia
dan/atau surat berharga yang cukup di rekening
surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga
kustodian untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi.
(4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di
pasar valuta asing wajib menyediakan dana di Bank
Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank
-6-
Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban
pada tanggal penyelesaian transaksi.
(5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan
dinyatakan batal.
(6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
maka transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan:
a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing;
b.
tetap wajib diselesaikan setelah tanggal
penyelesaian transaksi, untuk transaksi di
pasar valuta asing selain transaksi penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter,
Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan
rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat
berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga
kustodian milik peserta Operasi Moneter.
6. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (5), peserta Operasi Moneter
dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per
sepuluh ribu) dari nilai transaksi Operasi
Moneter yang batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan
-7-
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus
juta
Rupiah);
-8-
(2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai
transaksi Operasi Moneter yang batal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah nilai
transaksi pada saat first leg.
(3) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a, peserta Operasi
Moneter dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah
200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penempatan
berjangka (term deposit) dalam US dollar;
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank
sentral atau otoritas moneter di negara
valuta yang bersangkutan (official rate)
yang berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk penempatan berjangka (term deposit)
dalam valuta asing non US dollar.
(4) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali
dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau ayat (3), peserta Operasi Moneter juga
dikenakan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima)
hari kerja berturut-turut.
(5) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk
transaksi Repo Lending Facility peserta Operasi
Moneter yang berasal dari transaksi fasilitas
likuiditas intrahari yang tidak lunas.
-9-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.……………..
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 November 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 275
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/20/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
Bank Indonesia melakukan pengembangan infrastruktur yang sesuai
dengan perkembangan kebutuhan kegiatan Operasi Moneter.
Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanaan kebijakan
moneter, perlu memperhatikan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
bidang sistem pembayaran. Salah satu upaya Bank Indonesia untuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah melalui penyediaan
Fasilitas Likuiditas Intrahari. Untuk itu, diperlukan keselarasan
pengaturan di bidang moneter dan sistem pembayaran.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup
jelas.
- 2 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah
Sub-Registry.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain
badan hukum non-Bank dan badan lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara
lain pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing
dan/atau perusahaan efek yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
- 3 -
Penyediaan dana di Bank Indonesia berlaku untuk
kewajiban penyelesaian transaksi dalam Rupiah.
Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan
dengan transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang
ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi yang memiliki second leg antara lain
transaksi repo dan reverse repo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5764
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/20/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 12 November 2015 </set_date>
<effective_date> 12 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 12 November 2015 </issued_date>
<changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg>
<extension_of> '14/5/PBI/2012', '15/5/PBI/2013' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 19' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 19 /PBI/2009
TENTANG
SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO
BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perkembangan internal dan eksternal perbankan
mengalami perubahan pesat yang ditandai dengan semakin
kompleksnya kegiatan usaha perbankan sehingga risiko yang
dihadapi juga semakin besar;
b. bahwa semakin kompleksnya risiko tersebut akan
meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola usaha yang baik
(good corporate governance) dan fungsi Manajemen Risiko
yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko Bank;
c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Manajemen Risiko bagi
kegiatan usaha Bank diperlukan Pengurus dan Pejabat Bank
yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang
Manajemen Risiko;
d. bahwa peningkatan kompetensi Pengurus dan Pejabat Bank
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
Manajemen ...
- 2 -
Manajemen Risiko perbankan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API);
e. bahwa untuk mendukung pengelolaan risiko bagi kegiatan
usaha Bank diperlukan syarat minimum dan standarisasi
kompetensi serta keahlian bagi Pengurus dan Pejabat Bank
sesuai dengan kompleksitas usahanya;
f. bahwa untuk mencapai syarat minimum dan standarisasi
kompetensi serta keahlian bagi Pengurus dan Pejabat Bank
diperlukan adanya Sertifikasi Manajemen Risiko yang sejalan
dengan perkembangan terkini industri perbankan dan
diprioritaskan pada bidang tugas perbankan yang bersifat
core;
g. bahwa dengan Sertifikasi Manajemen Risiko Pengurus dan
Pejabat Bank setidaknya memiliki risk awareness yang sangat
diperlukan dalam kegiatan usaha Bank;
h. bahwa kualitas penyelenggaraan program Sertifikasi
Manajemen Risiko perlu dipelihara dan ditingkatkan baik dari
sisi lembaga penyelenggara Sertifikasi Manajemen Risiko
maupun dari materi yang diujikan;
i. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikasi
Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun ...
- 3 -
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI
MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT
BANK UMUM.
BAB I ...
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
d. bagi ...
- 5 -
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Cabang.
4. Pengurus adalah Komisaris dan Direksi Bank;
5. Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang menduduki jabatan di bawah
Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha, termasuk pegawai
Bank yang mempunyai pengaruh atas kebijakan dan atau operasional Bank;
6. Core Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional utama yang
mengambil dan melaksanakan keputusan atas risiko yang antara lain
meliputi namun tidak terbatas pada kegiatan perkreditan, treasury, sistem
informasi, dan akunting termasuk kantor operasional;
7. Supporting Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional pendukung
yang antara lain namun tidak terbatas pada kegiatan yang berkaitan dengan
hukum, logistik, pengamanan, corporate secretary, learning center, sumber
daya manusia, serta fungsi administrasi dan umum pada Core Risk Taking
Unit;
8. Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit) adalah Satuan
Kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum;
9. Satuan Kerja Kepatuhan adalah satuan kerja yang melakukan kegiatan
untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku;
10. Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) adalah satuan kerja yang melaksanakan
fungsi audit intern;
11. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank;
12. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melakukan Sertifikasi
Manajemen Risiko;
13. Sertifikasi Manajemen Risiko adalah proses pengujian kompetensi di
bidang ...
- 6 -
bidang Manajemen Risiko Bank;
14. Sertifikat Manajemen Risiko adalah tanda bukti kelulusan mengikuti
Sertifikasi Manajemen Risiko;
15. Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah program
peningkatan kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko bagi
Pengurus Bank;
16. Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah tanda bukti
mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif;
17. Program Pemeliharaan adalah program pengkinian pengetahuan dan
kompetensi di bidang Manajemen Risiko yang antara lain dilaksanakan
dalam bentuk ujian tertulis atau lisan, observasi langsung, laporan hasil
kerja, job enhancement, job enrichment, couching, counselling, kursus, in
house training, seminar, atau lokakarya;
18. Penyelenggara Pendidikan adalah organisasi atau institusi yang telah diakui
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bertujuan untuk memberikan
pelatihan bagi peserta ujian Sertifikasi Manajemen Risiko;
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan terencana.
(2) Dalam menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan terencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengisi jabatan Pengurus
dan Pejabat Bank dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
dan keahlian di bidang Manajemen Risiko.
(3) Pengurus dan Pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memiliki Sertifikat Manajemen Risiko.
(4) Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 3 ...
- 7 -
Pasal 3
Kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) bagi Pengurus dan Pejabat Bank merupakan salah satu aspek
penilaian faktor kompetensi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test).
Pasal 4
(1) Bank wajib menyusun rencana dan melaksanakan program pengembangan
sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kompetensi dan keahlian
di bidang Manajemen Risiko.
(2) Program pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam rencana bisnis Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
BAB II
TINGKATAN SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO
Pasal 5
Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
ditetapkan dalam 5 (lima) tingkat berdasarkan jenjang jabatan dan struktur
organisasi Bank, sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
tingkat 1;
tingkat 2;
tingkat 3;
tingkat 4;
tingkat 5.
Pasal 6 ...
- 8 -
Pasal 6
(1) Pengurus dan Pejabat Bank wajib mengikuti ujian pada setiap tingkatan
Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara
berjenjang dari tingkat 1 sampai dengan tingkat sertifikat yang
dipersyaratkan.
(2) Kewajiban mengikuti ujian secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi Direksi dan Pejabat Bank yang sesuai dengan
jenjang jabatan, struktur organisasi dan skala usaha bank dipersyaratkan
memiliki Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 dan tingkat 5 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk 1
(satu) kali kesempatan mengikuti ujian Sertifikasi Manajemen Risiko.
(4) Dalam hal Direksi dan Pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dinyatakan tidak lulus ujian tingkat 4 atau tingkat 5 sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) maka yang bersangkutan wajib mengikuti ujian Sertifikasi
Manajemen Risiko secara berjenjang sesuai ketentuan yang ditetapkan pada
ayat (1).
Pasal 7
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a wajib dimiliki oleh:
a.
b.
setiap Komisaris;
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
c. setiap ...
- 9 -
c.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 3
(tiga) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja
Kepatuhan;
d.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 4 (empat) tingkat di bawah Direksi pada
Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja
Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
e.
setiap Pejabat Bank yang berada pada jenjang jabatan dan struktur
organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Supporting Risk Taking
Unit.
Pasal 8
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b wajib dimiliki oleh:
a.
b.
setiap komisaris independen;
setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang membawahi Supporting
Risk Taking Unit;
c.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
d. setiap ...
- 10 -
d.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 2
(dua) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja
Kepatuhan;
e.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 3 (tiga) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 9
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c wajib dimiliki oleh:
a.
setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang membawahi Core Risk
Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern,
dan Satuan Kerja Kepatuhan;
b.
setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) yang membawahi Supporting Risk Taking Unit;
c.
setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen ...
- 11 -
Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja
Kepatuhan;
d. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 10
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf d wajib dimiliki oleh:
a. setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
b. setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi
Supporting Risk Taking Unit;
c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 11 ...
- 12 -
Pasal 11
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf e wajib dimiliki oleh setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang
memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang
membawahi Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan
Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
BAB III
PROGRAM PEMELIHARAAN
Pasal 12
Bank wajib mengikutsertakan setiap Pengurus dan Pejabat Bank yang
dipersyaratkan memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 dalam Program
Pemeliharaan secara berkala.
Pasal 13
(1) Pengurus dan Pejabat Bank yang telah memiliki Sertifikat Manajemen
Risiko wajib mengikuti Program Pemeliharaan paling kurang:
a. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 1;
b. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 2;
c. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 3;
d. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 4;
e. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 5;
(2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak Sertifikat Manajemen Risiko terakhir diterbitkan atau sejak
Program Pemeliharaan yang terakhir kali diikuti.
(3) Program ...
- 13 -
(3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan oleh Penyelenggara Pendidikan, learning center bank,
lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang manajemen risiko, atau atasan
langsung pemilik Sertifikat Manajemen Risiko.
(4) Bank wajib mengadministrasikan Program Pemeliharaan bagi Pengurus dan
Pejabat Bank yang telah memiliki Sertifikat Manajemen Risiko.
BAB IV
PENYELENGGARA SERTIFIKASI
Pasal 14
Sertifikasi Manajemen Risiko hanya dapat diselenggarakan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi yang telah diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 15
Pengakuan Bank Indonesia atas Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 diberikan apabila Lembaga Sertifikasi Profesi telah
memenuhi persyaratan paling kurang:
a. memperoleh lisensi sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
manajemen risiko perbankan dari lembaga yang berwenang;
b. didirikan oleh organisasi profesi manajemen risiko sektor keuangan yang
dikelola oleh pengurus yang mayoritas memiliki pengalaman paling kurang
10 (sepuluh) tahun di bidang perbankan dan memiliki kompetensi di bidang
Manajemen Risiko;
c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang peningkatan kompetensi
dan keahlian di bidang Manajemen Risiko;
d. mampu bertindak secara independen dan secara kelembagaan bersifat
independen serta terbebas dari pengaruh industri perbankan;
e. memiliki ...
- 14 -
e. memiliki pengalaman yang memadai dalam menyelenggarakan program
sertifikasi profesi;
f. memiliki perangkat organisasi paling kurang sebagai berikut:
1. Dewan Kode Etik;
2. Dewan Sertifikasi;
3. Pengurus Harian.
g. memiliki Pengurus Harian yang independen dan tidak memiliki jabatan
rangkap di Bank.
Pasal 16
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib
meminta persetujuan Bank Indonesia dalam hal:
a. menetapkan atau merubah kurikulum, silabus dan materi Sertifikasi
Manajemen Risiko;
b. menetapkan persyaratan pengakuan (recognition) Sertifikat Manajemen
Risiko yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri;
c. mengatur persyaratan Sertifikasi Manajemen Risiko;
d. melakukan penyusunan atau perubahan kode etik profesi.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
memiliki tugas dan wewenang:
a. Menyelenggarakan Sertifikasi Manajemen Risiko yang mengacu pada
international best practices;
b. Menyesuaikan materi Sertifikasi Manajemen Risiko dengan
perkembangan pengetahuan di bidang Manajemen Risiko, kebutuhan
industri perbankan, dan international best practices;
c. menerbitkan Sertifikat Manajemen Risiko;
d. mencabut ...
- 15 -
d. mencabut Sertifikat Manajemen Risiko apabila pemilik Sertifikat
Manajemen Risiko terbukti bersalah melakukan tindak pidana di bidang
keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap atau pelanggaran kode etik profesi;
e. melaporkan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan Sertifikasi
Manajemen Risiko secara berkala kepada Bank Indonesia.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas dan tanggung jawab Dewan
Kode Etik, Dewan Sertifikasi dan Pengurus Harian ditetapkan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi.
BAB V
PENGAKUAN TERHADAP SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO LAIN
Pasal 18
(1) Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh lembaga internasional
atau lembaga lain di luar negeri dapat dipertimbangkan untuk diakui setara
dengan Sertifikat Manajemen Risiko oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Lembaga penerbit sertifikat tersebut telah diakui dan diterima secara
internasional;
b. Penerbitan sertifikat tersebut dikeluarkan dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun terakhir.
BAB VI ...
- 16 -
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 19
Bank Indonesia berwenang untuk:
a.
tidak mengakui Sertifikat Manajemen Risiko yang dimiliki oleh Pengurus
dan Pejabat Bank apabila ditemukan permasalahan kompetensi dan
integritas berdasarkan hasil pengawasan dan pemeriksaan Bank Indonesia;
b. meminta laporan dan informasi pelaksanaan program kerja Lembaga
Sertifikasi Profesi dalam hal diperlukan;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program Sertifikasi
Manajemen Risiko maupun terhadap materi yang diujikan dalam Sertifikasi
Manajemen Risiko;
d. Menerbitkan daftar Lembaga Sertifikasi Profesi bidang Manajemen Risiko
yang diakui Bank Indonesia dan menyampaikan daftar tersebut kepada
seluruh Bank.
Pasal 20
Bank wajib mengganti Pengurus dan Pejabat Bank yang tidak memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko sesuai dengan persyaratan jenjang jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 paling lambat
dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 21
Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh suatu Lembaga Sertifikasi
Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia, dinyatakan berlaku setara pada
Lembaga Sertifikasi Profesi lainnya pada tingkatan yang sama tanpa memerlukan
proses penyetaraan.
BAB VII ...
- 17 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 22
(1) Bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 20 dapat dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa penurunan aspek
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 16, Pasal
18 dan atau tidak melaksanakan hal-hal yang diminta Bank Indonesia dapat
dikenakan sanksi berupa pencabutan pengakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dan Lembaga Sertifikasi Profesi dimaksud dikeluarkan dari
daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah Bank Indonesia menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan
jangka waktu surat peringatan masing-masing selama 1 (satu) bulan.
Pasal 23
(1) Dalam hal pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan pasal 11 tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 maka Sertifikat
Manajemen Risiko tingkat terakhir yang dimilikinya dinyatakan tidak
berlaku lagi.
(2) Tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko dari pemilik Sertifikat Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui adalah satu tingkat
dibawah Sertifikat Manajemen Risiko yang telah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24 ...
- 18 -
Pasal 24
Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) hanya dapat menduduki jabatan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 sesuai tingkatan Sertifikat
Manajemen Risiko yang diakui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Kewajiban pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dan ayat (3) wajib dipenuhi paling lambat tanggal 3 Agustus 2010.
Pasal 26
(1) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif yang telah diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan berlaku tanpa
batas waktu.
(2) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui sebagai Sertifikat Manajemen Risiko.
(3) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif untuk Komisaris diakui
setara dengan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 huruf b.
(4) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif untuk Direksi diakui setara
dengan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 huruf e.
(5) Pemilik ...
- 19 -
(5) Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mengikuti Program Pemeliharaan
sesuai dengan ketentuan program pemeliharaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/25/PBI/2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4522)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/9/PBI/2006
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4622) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 29 ...
- 20 -
Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juni 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 80
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 19 /PBI/2009
TENTANG
SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO
BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
I. UMUM
Pertumbuhan industri perbankan yang sangat pesat disertai dengan semakin
kompleksnya kegiatan usaha bank menyebabkan eksposur risiko kegiatan usaha
Bank juga semakin besar. Agar bank tetap dapat melakukan kegiatan usaha
secara berkesinambungan dan mengikuti prinsip kehati-hatian maka perlu
penerapan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate
governance) dan manajemen risiko secara efektif. Hal tersebut juga sejalan
dengan penerapan Basel II Accord yang mensyaratkan manajemen risiko yang
memadai bagi kegiatan usaha Bank.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan efektivitas manajemen
risiko pada industri perbankan adalah keahlian dan kompetensi sumber daya
manusia di bidang manajemen risiko bank, baik yang menjalankan fungsi
kegiatan operasional, fungsi manajemen risiko maupun fungsi pengendalian
intern. Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian
manajemen risiko yang lebih memadai, maka Pengurus dan Pejabat Bank perlu
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan manajemen risiko
melalui Sertifikasi Manajemen Risiko.
Sertifikasi ...
- 2 -
Sertifikasi Manajemen Risiko merupakan bentuk standarisasi kompetensi
dan keahlian minimal yang harus dimiliki oleh pengurus dan pejabat di industri
perbankan untuk memastikan bahwa kegiatan usaha Bank dilaksanakan oleh
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya.
Mengingat adanya perbedaan tingkat kompleksitas kegiatan usaha bank, maka
ditetapkan tingkatan sertifikasi yang berbeda bagi pengurus dan pejabat sesuai
masing-masing kelompok jabatan dan kelompok Bank.
Pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko sejauh ini telah
memberikan hasil berupa mulai tumbuhnya risk awareness dan risk culture pada
industri perbankan, meningkatkan kemampuan bank dalam mengelola risiko, dan
menghasilkan sumber daya manusia perbankan yang qualified dan memiliki
kompetensi di bidang manajemen risiko. Untuk meningkatkan efektivitas
pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko, program yang ada perlu
disempurnakan dengan memberikan perhatian lebih besar pada bidang-bidang
tugas perbankan yang bersifat core serta mempertimbangkan adanya kelangkaan
tenaga ahli pada bidang-bidang tugas tertentu.
Selain penyempurnaan di atas, kualitas penyelenggaraan sertifikasi
manajemen risiko juga perlu dipelihara dan ditingkatkan agar kredibilitas
program Sertifikasi Manajemen Risiko tetap terjaga dan diakui secara
internasional.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia menganggap perlu
untuk mewajibkan Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat bank
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia.
PASAL ...
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Uraian tentang program pengembangan sumber daya manusia
berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis
Bank Umum.
Pasal 5 ...
- 4 -
Pasal 5
Termasuk dalam pengertian 1 (satu) jenjang jabatan dan struktur organisasi
adalah pimpinan dan wakil pimpinan satuan unit kerja, misalnya wakil
kepala divisi berada dalam satu jenjang jabatan dengan kepala divisinya
atau wakil pemimpin cabang berada dalam satu jenjang dengan pemimpin
cabangnya.
Mengingat adanya keragaman jenjang jabatan dan struktur organisasi dari
berbagai Bank maka Bank Indonesia dapat menetapkan pegawai-pegawai
tertentu sebagai Pejabat Bank sesuai dengan batasan kewenangan yang
bersangkutan.
Huruf a
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 mencakup pemahaman dasar
mengenai Manajemen Risiko perbankan.
Huruf b
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko Bank.
Huruf c
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang
cukup kompleks.
Huruf d
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang
kompleks.
Huruf e ...
- 5 -
Huruf e
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang lebih
kompleks.
Pasal 6
Ayat (1)
Sebagai contoh, untuk menduduki jabatan kepala divisi kredit dari
Bank yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah) yang mensyaratkan pemilikan Sertifikat Manajemen
Risiko tingkat 4, maka yang bersangkutan harus memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko tingkat 1 sampai dengan tingkat 3 sebagai
prasyarat untuk mengikuti ujian tingkat 4.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian kesempatan mengikuti ujian sertifikasi langsung pada
tingkat 4 atau tingkat 5 ditujukan untuk memperoleh keyakinan atas
kompetensi dan keahlian Direksi dan Pejabat Bank dalam bidang
Manajemen Risiko. Pemberian kesempatan 1 (satu) kali mengikuti
ujian dianggap cukup untuk memperoleh keyakinan sebagaimana
dimaksud di atas.
Ayat (4)
Ujian sertifikasi secara berjenjang bagi Direksi dan Pejabat Bank yang
tidak lulus ujian tingkat 4 atau tingkat 5 sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan tingkatan sertifikat
terakhir ...
- 6 -
terakhir yang dimiliki.
Contoh 1:
Apabila Direksi Bank tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko dan
jenjang jabatan yang bersangkutan mempersyaratkan kepemilikan
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5, maka yang bersangkutan wajib
mengikuti ujian sertifikasi mulai dari tingkat 1 sampai dengan tingkat
5 secara berjenjang.
Contoh 2:
Apabila Direksi dan Pejabat Bank sudah memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko tingkat 2 yang masih berlaku dan jenjang jabatan
yang bersangkutan mempersyaratkan kepemilikan Sertifikat
Manajemen Risiko tingkat 4, maka yang bersangkutan wajib
mengikuti ujian sertifikasi tingkat 3 dan tingkat 4 secara berjenjang.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan komisaris independen adalah salah seorang
Komisaris yang diwajibkan berasal dari pihak yang independen
terhadap pemilik Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Program Pemeliharaan bertujuan agar Pengurus dan Pejabat Bank
mengikuti perkembangan terbaru dan melakukan pengkinian aspek teknis
dan manajerial serta pengawasan di bidang Manajemen Risiko.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 ...
- 8 -
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kompetensi di bidang Manajemen Risiko dibuktikan antara lain
dengan kepemilikan Sertifikat Manajemen Risiko, pengalaman
sebagai pembicara seminar Manajemen Risiko atau penelitian di
bidang Manajemen Risiko.
Huruf c
Visi, misi, dan strategi Lembaga Sertifikasi Profesi dituangkan dalam
rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang Lembaga Sertifikasi
Profesi.
Huruf d
Pengertian independen adalah mampu untuk menolak pengaruh dan
intervensi dari pihak manapun juga.
Huruf e
Pengalaman penyelenggaraan program sertifikasi profesi dibuktikan
dengan laporan penyelenggaraan program sertifikasi profesi yang
paling kurang memuat jumlah kegiatan sertifikasi profesi yang telah
dilaksanakan dan daftar peserta yang telah mengikuti program
sertifikasi.
Huruf f
Angka 1
Dewan Kode Etik merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi
yang memiliki tugas antara lain memutuskan pencabutan
Sertifikat Manajemen Risiko serta menjaga kredibilitas dan
integritas Sertifikasi Manajemen Risiko.
Angka 2 ...
- 9 -
Angka 2
Dewan Sertifikasi merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi
yang memiliki tugas menetapkan kebijakan Sertifikasi
Manajemen Risiko.
Angka 3
Pengurus Harian merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi
yang memiliki tugas di bidang teknis, administrasi dan
operasional Lembaga Sertifikasi Profesi serta mewakili Lembaga
Sertifikasi Profesi di dalam maupun di luar pengadilan.
Huruf g
Independensi dan tidak memiliki jabatan rangkap di Bank
dimaksudkan untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam
pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Sertifikasi Manajemen Risiko yang
mengacu pada international best practices adalah sertifikasi
yang telah mendapat pengakuan secara internasional dan
diterbitkan oleh lembaga sertifikasi internasional, misalnya
Bank Risk and Regulation Certificate (BRRC) dari Global
Association of Risk Professional (GARP) dan Professional Risk
Manager (PRM) dari Professional Risk Managers’ International
Association (PRMIA).
Huruf b ...
- 10 -
Huruf b
Penyesuaian dan pengkinian materi Sertifikasi Manajemen
Risiko diperlukan agar materi yang diujikan sesuai dengan
perkembangan terakhir Manajemen Risiko, memenuhi
kebutuhan perbankan dalam menerapkan manajemen risiko serta
sejalan dengan international best practices.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Laporan kegiatan-kegiatan yang terkait antara lain berupa
laporan mengenai pelaksanaan dan jumlah peserta yang telah
mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19 ...
- 11 -
Pasal 19
Huruf a
Termasuk dalam hasil pengawasan dan pemeriksaan antara lain hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit & proper test).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia ditujukan untuk
memastikan bahwa pelaksanaan program Sertifikasi Manajemen
Risiko maupun materi yang diujikan tidak menyimpang dari tujuan
Sertifikasi Manajemen Risiko yaitu untuk meningkatkan kompetensi
dan keahlian pengurus dan pejabat Bank dalam bidang Manajemen
Risiko. Pengawasan juga ditujukan untuk menjaga standar kualitas
pelaksanaan program Sertifikasi Manajemen Risiko.
Huruf d
Bank Indonesia dapat meninjau kembali daftar lembaga sertifikasi
profesi bidang manajemen risiko yang diakui Bank Indonesia.
Pasal 20
Perhitungan jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari berlaku sejak yang
bersangkutan tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sesuai dengan
persyaratan jenjang jabatan.
Untuk pertama kali perhitungan 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak
berlakunya kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
Pasal 21 ...
- 12 -
Pasal 21
Penetapan kesetaraan Sertifikat Manajemen Risiko pada setiap Lembaga
Sertifikasi Manajemen Risiko dimaksudkan untuk memberikan kepastian
atas status Sertifikat Manajemen Risiko yang sudah diterbitkan.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian surat peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada Lembaga Sertifikasi Profesi
melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan dalam rangka
menjaga kualitas pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 ...
- 13 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5011
DPNP/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/19/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 4 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 4 Juni 2009 </effective_date>
<issued_date> 4 Juni 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '8/9/PBI/2006', '7/25/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 40 /PBI/2008
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan
informasi guna mendukung pengambilan kebijakan di
bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan
perbankan, diperlukan informasi mengenai kondisi
keuangan dan kegiatan usaha bank, baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan
perusahaan anak, termasuk kegiatan usaha bank dan
perusahaan anak yang dilakukan di luar negeri;
b.
bahwa guna mendukung pengawasan perbankan yang
efektif agar sejalan dengan perkembangan produk
dan usaha bank yang semakin kompleks,
penyempurnaan sistem pengawasan perbankan
berbasis risiko, penerapan ketentuan kehati-hatian,
penyempurnaan standar akuntansi keuangan, dan
penerapan Basel II, diperlukan informasi perbankan
secara lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas;
c. bahwa...
-2-
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk menyempurnakan ketentuan mengenai
penyusunan laporan bulanan bank umum dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
:
1.
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
3.
Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan...
-3-
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BULANAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, termasuk Kantor Cabang Bank Asing.
2. Perusahaan Anak adalah perusahaan anak sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak.
3. Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya.
4. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat
di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
kepada...
-4-
kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta
tempat kedudukan di Indonesia.
5. Kantor Cabang Pembantu Bank Asing adalah kantor bank yang secara
langsung bertanggung jawab kepada kantor cabang bank asing yang
berkedudukan di Indonesia, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan
di Indonesia.
6. Bank Pelapor adalah kantor bank yang meliputi kantor pusat, kantor cabang
bank yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang bank asing dan/atau
kantor cabang pembantu bank asing yang berkedudukan di Indonesia.
7. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah
laporan keuangan yang disusun oleh bank untuk kepentingan Bank Indonesia
yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia
dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan
menggunakan sandi-sandi dan angka.
8. Laporan per Kantor adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat
bank yang melakukan kegiatan operasional, kantor cabang bank, kantor
cabang bank asing dan kantor cabang pembantu bank asing, termasuk kantor-
kantor bank yang berada di bawah koordinasinya.
9. Laporan Gabungan adalah :
a. laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat bank yang mencakup
data keuangan dari kantor pusat bank dan seluruh kantor cabangnya baik
yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun yang
melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, termasuk kantor cabang
syariah bagi bank yang memiliki unit usaha syariah; atau
b. laporan keuangan yang disusun oleh kantor cabang bank asing yang
mencakup data keuangan dari kantor cabang bank asing dan seluruh
kantor...
-5-
kantor cabang pembantunya yang melakukan kegiatan operasional di
Indonesia, termasuk kantor cabang pembantu syariah bagi kantor cabang
bank asing yang memiliki unit usaha syariah.
10. Laporan Perusahaan Anak adalah laporan keuangan kantor pusat perusahaan
anak dan seluruh kantor cabangnya baik yang melakukan kegiatan
operasional di Indonesia maupun yang melakukan kegiatan operasional di
luar Indonesia.
11. Laporan Konsolidasi adalah laporan keuangan yang merupakan konsolidasi
dari laporan gabungan bank dan laporan perusahaan anak termasuk
perusahaan anak yang berbentuk bank.
12. Laporan Koreksi adalah laporan yang merupakan koreksi atas kesalahan
laporan yang telah disusun dan disampaikan oleh bank pelapor kepada Bank
Indonesia.
13. Penyampaian Laporan secara online adalah penyampaian laporan oleh bank
pelapor yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data
secara langsung melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau melalui
saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS) Bank Indonesia.
14. Penyampaian Laporan secara offline adalah penyampaian laporan oleh bank
pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk
disket atau media perekaman data elektronik lainnya disertai hard copy
kepada Bank Indonesia.
15. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi bank pelapor.
16. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi bank pelapor.
Pasal 2...
-6-
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank
Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu sejak Bank Pelapor
melakukan kegiatan operasional.
(2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi
Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan
dalam suatu pedoman tertulis, sehingga memungkinkan Bank Pelapor untuk
menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern menjadi
format Laporan.
Pasal 4
Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk
menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Bank Indonesia.
BAB II
JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN, DAN BANK PELAPOR
Pasal 5
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari
Laporan per Kantor, Laporan Gabungan, Laporan Perusahaan Anak, dan
Laporan Konsolidasi.
(2) Laporan...
-7-
(2) Laporan per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat
Bank yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor
Cabang Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing.
(3) Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat
Bank yang memiliki Kantor Cabang atau Kantor Cabang Bank Asing yang
memiliki Kantor Cabang Pembantu.
(4) Laporan Perusahaan Anak selain yang berbentuk Bank wajib disampaikan
oleh kantor pusat Bank.
(5) Laporan Konsolidasi wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat
Bank.
Pasal 6
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
(2) Dalam hal terdapat koreksi Laporan per Kantor atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak yang berdampak pada Laporan Gabungan dan/atau
Laporan Konsolidasi maka Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi
Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi.
Pasal 7
(1) Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per
Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau
sentralisasi, laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor pusat
Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator.
(2) Laporan...
-8-
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap dapat
diidentifikasi untuk masing-masing kantor.
(3) Dalam hal kantor pusat atau kantor wilayah Bank tidak melakukan kegiatan
operasional, laporan keuangan kantor pusat atau kantor wilayah Bank
digabungkan dengan Laporan dari kantor Bank Pelapor yang ditunjuk.
BAB III
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 8
(1) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) setiap bulan
wajib menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) setiap bulan
wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) setiap triwulan
wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada
Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(4) Bank...
-9-
(4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) setiap triwulan
wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 9
(1) Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100
(seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi Laporan per
Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat pada
tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter.
Pasal 10
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan apabila :
a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
sampai dengan tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar
kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
sampai...
-10-
sampai dengan tanggal 19 (sembilan belas) bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
d. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3), sampai dengan tanggal 7 (tujuh) bulan kedua setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
e. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
sampai dengan tanggal 7 (tujuh) bulan kedua setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan.
Pasal 11
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 10.
BAB IV
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 12
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
online sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 10 huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Kewajiban...
-11-
(2) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap :
a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas
komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan
Laporan secara online;
b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua)
bulan setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan, dengan disertai pemberitahuan
tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab–sebab terjadinya
gangguan teknis tersebut, yang disampaikan bersamaan dengan
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline; atau
d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan yang disebabkan karena gangguan teknis dan/atau gangguan
lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia.
Dalam hal ini, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank
Pelapor mengenai terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau
dengan menggunakan sarana lain.
(3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline disertai hasil
cetak komputer (hardcopy).
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, wajib
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline disertai hasil
cetak komputer (hardcopy).
(5) Bank…
-12-
(5) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 tetap wajib menyampaikan Laporan kepada Bank
Indonesia secara offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy).
(6) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) wajib disampaikan pada hari kerja.
(7) Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor terjadi
pada batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10,
Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling lambat pada hari kerja
berikutnya secara offline.
(2) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank Pelapor dianggap
terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau tidak menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 14...
-13-
Pasal 14
(1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib
menyampaikan :
a. Laporan secara online kepada Bank Indonesia.
b. Laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
dan Pasal 13 ayat (1) kepada :
1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q Tim Statistik Moneter,
Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H.
Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan
di wilayah Kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
c. Laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4)
dan ayat (5) kepada :
1. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q Bagian Data
Perbankan, Menara Radius Prawiro, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta
10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah Kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1.
(2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia,
Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank Pelapor
kepada Bank Indonesia, sesuai dengan kedudukan kantor pusat Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank...
-14-
(3) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan secara terpusat atau
sentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat
menyampaikan Laporan secara langsung kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim
Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal.
BAB V
LAIN - LAIN
Pasal 15
(1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama
satu periode penyampaian Laporan atau lebih, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6.
(2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang
dari satu periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1).
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 setelah Bank Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
(4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), wajib menyampaikan
permohonan untuk memperoleh pengecualian secara tertulis kepada Bank
Indonesia...
-15-
Indonesia dengan alamat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf
b, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure)
yang dialami.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berlaku
setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
sebagaimana diatur pada ayat (4).
BAB VI
SANKSI
Pasal 16
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per koreksi Laporan per penyampaian
per hari kerja keterlambatan.
(3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank
Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per
item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan.
(4) Bank...
-16-
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan Bank
Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item
kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per Laporan.
(5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank atau temuan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) maka sanksi
kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan.
(6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Laporan.
(7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka
sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan.
(8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4)
yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan Konsolidasi
maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut
tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Pasal 17...
-17-
Pasal 17
Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline pada periode penyampaian online tanpa memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan.
Pasal 18
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 16 ayat (3) dan ayat
(4), dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan atas dasar hasil audit
tahunan oleh akuntan publik.
Pasal 19
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dan Pasal 17 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
Pasal 20
Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan
pengawasan Bank.
Pasal 21
Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 dan Pasal 17, dapat dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan
pengawasan Bank.
BAB VII...
-18-
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor tetap diwajibkan
untuk menyampaikan Laporan sampai dengan data bulan April 2009
sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000
tentang Laporan Bulanan Bank Umum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia antara lain tentang Pedoman Penyusunan Laporan
Bulanan Bank Umum.
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak
pelaporan data bulan Mei 2009.
Pasal 25...
-19-
Pasal 25
(1) Ketentuan di dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak
pelaporan data bulan Januari 2009 yang disampaikan pada bulan Februari
2009.
(2) Ketentuan sanksi pelaporan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dinyatakan mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Mei
2009 yang disampaikan pada bulan Juni 2009, kecuali untuk sanksi tidak
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6).
(3) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar...
-20-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 205
DSM
-21-
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 40 /PBI/2008
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK UMUM
I. UMUM
Dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10
Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya,
serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2
Tahun 2008, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk
menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan penjelasan
dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan
dan informasi serta statistik perbankan dan moneter guna mendukung
pengambilan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan
perbankan. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data keuangan dan kegiatan
usaha Bank secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan
anak, termasuk kegiatan usaha Bank dan perusahaan anaknya yang dilakukan
di luar negeri, yang menggambarkan kondisi Bank sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam. Berkaitan dengan hal
tersebut...
-22-
tersebut, maka Bank diwajibkan menyusun laporan secara benar dan lengkap
serta disampaikan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “petugas dan/atau penanggung jawab” adalah
petugas dan/atau penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang
dan/atau tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi dan
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, setiap
Laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia dianggap sah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
-23-
Ayat (2)
Bagi Kantor Bank yang status kantornya di bawah Kantor Cabang,
antara lain unit syariah, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas,
dan Payment Point, Laporannya digabungkan dengan kantor pusat
Bank yang melakukan kegiatan operasional atau Kantor Cabang
yang menjadi induknya. Sedangkan bagi Kantor Bank Asing
yang status kantornya di bawah Kantor Cabang Pembantu,
Laporannya digabung dengan Kantor Cabang atau Kantor Cabang
Pembantu yang menjadi induknya.
Ayat (3)
Bagi Bank yang tidak memiliki Kantor Cabang, tidak diwajibkan untuk
menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan.
Ayat (4)
Bank yang memiliki Perusahaan Anak yang berbentuk Bank termasuk
yang berbentuk bank syariah tidak perlu menyampaikan Laporan
Perusahaan Anak karena Perusahaan Anak tersebut merupakan Bank
Pelapor.
Ayat (5)
Bagi Bank yang tidak memiliki Perusahaan Anak, tidak perlu menyusun
dan menyampaikan Laporan Konsolidasi.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)...
-24-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Laporan secara terpusat atau sentralisasi”
adalah Laporan dari seluruh atau sebagian kantor Bank Pelapor
yang disusun dan disampaikan oleh kantor pusat atau kantor yang
ditunjuk.
Ayat (2)
Laporan masing-masing kantor dinyatakan dapat teridentifikasi
apabila Laporan dimaksud tetap dapat menunjukkan sandi dari
Kantor Bank Pelapor. Sebagai contoh, apabila kantor pusat Bank
atau kantor koordinator mampu menyusun Laporan per Kantor
untuk 10 (sepuluh) Kantor Cabangnya, maka Laporan yang
disampaikan harus terdiri dari 10 (sepuluh) Laporan per Kantor
yang sesuai dengan sandi masing-masing Kantor Bank Pelapor,
ditambah dengan Laporan per Kantor dari kantor Bank yang
bersangkutan sebagai Bank Pelapor.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh...
-25-
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk
bulan laporan Juni 2009 wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 10 Juli 2009.
Ayat (2)
Contoh :
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk
bulan laporan April 2009 wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 15 Mei 2009.
Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan dimana data
yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan,
misalnya bulan Laporan April 2009 maka yang wajib dilaporkan
adalah data akhir April 2009 atau periode data tahun berjalan yang
berakhir sampai dengan akhir bulan April 2009.
Ayat (3)
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang
berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
Contoh :
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan
Anak untuk bulan laporan Maret 2009 wajib disampaikan paling
lambat pada tanggal 30 April 2009.
Ayat (4)...
-26-
Ayat (4)
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang
berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
Contoh :
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk
bulan laporan Maret 2009 wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 30 April 2009.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Contoh :
Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor untuk bulan Laporan Juli 2009 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 Agustus 2009 sampai
dengan tanggal 13 Agustus 2009.
Huruf b
Contoh :
Penyampaian...
-27-
Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan
Juli 2009 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum online
dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 14 Agustus
2009 sampai dengan tanggal 19 Agustus 2009.
Huruf c
Contoh :
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai dari tanggal 16 Juli 2009 sampai
dengan tanggal 21 Juli 2009.
Huruf d
Contoh :
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2009
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 1
Agustus 2009 sampai dengan tanggal 7 Agustus 2009.
Huruf e
Contoh :
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai dari tanggal 1 Agustus 2009 sampai
dengan tanggal 7 Agustus 2009.
Pasal 11
Contoh :
Laporan...
-28-
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor;
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan
laporan Juli 2009 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan
dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 13 Agustus
2009.
Koreksi Laporan per Kantor bagi Bank yang sistem antar kantornya
belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang;
Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan Juli 2009 bagi Bank
yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100
(seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan, apabila koreksi
Laporan disampaikan melampaui tanggal 19 Agustus 2009.
Laporan Gabungan dan/atau dan/atau koreksi Laporan Gabungan;
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan
laporan Juni 2009 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan
dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Juli 2009.
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak;
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak
untuk bulan laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila
Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 7
Agustus 2009.
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi;
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan
laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan
dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 7 Agustus
2009.
Pasal 12...
-29-
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Cukup jelas
Huruf c.
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank
Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank
Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia
antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank
Pelapor.
Huruf d.
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank
Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank
Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan secara online dari Bank Pelapor
antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi
dan/atau penyebab lainnya.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)...
-30-
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor yang
disampaikan secara online untuk bulan laporan April 2009 dapat
disampaikan paling lambat tanggal 10 Mei 2009 yang jatuh pada
hari Minggu.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh :
Pada Tanggal 10 Mei 2009 yang jatuh pada hari Minggu, Bank
A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di
Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir
penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor online untuk data bulan April 2009. Bank diperkenankan
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan per Kantor
pada tanggal 11 Mei 2009 yang jatuh pada hari Senin secara
offline.
Pada Tanggal 13 Juni 2009 yang jatuh pada hari Sabtu, Bank A
mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank
Indonesia...
-31-
Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian
koreksi Laporan per kantor online untuk data bulan Mei 2009.
Bank diperkenankan menyampaikan koreksi Laporan per Kantor
pada tanggal 15 Juni 2009 yang jatuh pada hari Senin secara
offline.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Laporan disampaikan secara online, maka Bank Pelapor
akan menerima tanda bukti penyampaian Laporan berikut nomor
registrasinya yang tercetak secara otomatis pada komputer Bank
Pelapor, setelah Bank Pelapor selesai menyampaikan Laporan.
Sementara itu, apabila Laporan disampaikan secara offline, maka
Bank Pelapor akan menerima tanda bukti nomor register
penerimaan Laporan dari Bank Indonesia.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Cukup jelas
Huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)...
-32-
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure)
adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank
Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa
atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat
dilakukan baik oleh Bank Pelapor, kantor pusat maupun oleh
kantor lainnya yang ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh...
-33-
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal 10 Mei 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan April
2009 pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2009. Bank A dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 2 hari
kerja, yaitu Senin dan Selasa (tanggal 11 dan 12 Mei 2009),
sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 hari x
Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Laporan Gabungan;
Tanggal 15 Maret 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan Februari
2009 pada hari Senin tanggal 16 Maret 2009. Bank A
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan selama
1 hari kerja yaitu Senin (16 Maret 2009), sehingga Bank A
dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian Laporan
Gabungan sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh :
Koreksi Laporan per Kantor;
Tanggal 10 Mei 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor periode data bulan
April 2009 pada hari Senin tanggal 11 Mei 2009. Bank A
dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per
Kantor selama 1 hari kerja, yaitu Senin (tanggal 11 Mei 2009),
sehingga...
-34-
sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 1 hari x
Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Koreksi Laporan Gabungan;
Tanggal 15 Maret 2009 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan periode data bulan
Februari 2009 pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2009. Bank A
dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
Gabungan selama 2 hari kerja kerja, yaitu Senin dan Selasa (16
dan 17 Maret 2009), sehingga Bank A dikenakan Sanksi
keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar
2 hari x Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau item yang
seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan per field data.
Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu
field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya field yang
salah dalam baris yang bersangkutan.
Contoh :
Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris
terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas, Sektor Ekonomi
dan Jumlah, maka dihitung sebagai 3 item kesalahan.
Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan, maka
perhitungan Sanksi adalah 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000
(sepuluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan Sanksi
maksimum, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (4)...
-35-
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal 13 Juni 2009 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan Mei
2009 pada hari Senin tanggal 15 Juni 2009, sehingga Bank A
dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Laporan Gabungan;
Tanggal 21 Maret 2009 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan Februari
2009 pada hari Senin tanggal 23 Maret 2009, sehingga Bank A
dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 17...
-36-
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)...
-37-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4950
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/40/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 24 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '2/21/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 27 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004
TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan telah terjadi krisis ekonomi
secara global yang mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan, diperlukan upaya untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan;
b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status
Bank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK.
Pasal I
Ketentuan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang
Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4378) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4539) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Bank Indonesia mengumumkan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan
khusus yang:
a. memiliki …
- 3 -
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan
atau kurang dari 6% (enam persen);
b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6%
(enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan tidak
mengajukan rencana perbaikan permodalan;
c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6%
(enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan tidak
melaksanakan rencana perbaikan permodalan;
d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6%
(enam persen) dan kurang dari 8% (delapan persen) dan Bank
Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan;
dan/atau
e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengumuman
tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 7.
(3) Bank Indonesia mengumumkan pula:
a. Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7; dan/atau
b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e,
yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sebesar 8% (delapan persen) atau lebih, dan/atau memiliki
rasio Giro Wajib Minimum dalam Rupiah sebesar rasio yang ditetapkan
untuk Giro Wajib Minimum Bank atau lebih.
(4) Bank Indonesia dapat tidak mengumumkan hal-hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan mempertimbangkan
kepentingan umum.
Pasal II …
- 4 -
Pasal II
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 161
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 27 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004
TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk
sistem perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah
meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang
dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam
menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu
prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang
stabil.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas diperlukan langkah-
langkah tertentu dalam upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan.
Sejalan …
- 2 -
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan
status bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 9
Ayat (1)
Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank
Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap
pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi Bank yang
dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004.
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan
alamat http://www.bi.go.id
Huruf a sampai dengan huruf d
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum yang berlaku.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan
alamat http://www.bi.go.id.
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas
ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum yang
berlaku.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam ayat ini adalah
kepentingan untuk menghindari timbulnya kepanikan
masyarakat dalam menyikapi krisis keuangan dan dalam upaya
menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2008 NOMOR 4913
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/27/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK </reg_title>
<set_date> 30 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 30 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 30 Oktober 2008 </issued_date>
<changed_reg> '6/9/PBI/2004' </changed_reg>
<extension_of> '7/38/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/7/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL
CURRENCY SWAP ARRANGEMENT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
tercermin pada kestabilan nilai tukar Rupiah perlu
didukung dengan upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap penggunaan valuta asing
tertentu dan meningkatkan kelancaran pembayaran yang
dibutuhkan dalam kegiatan perdagangan internasional
dan/atau investasi langsung;
c. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Bank Indonesia
menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap
Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas
moneter negara lain;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Bank kepada Bank Indonesia Dalam Rangka
Bilateral Currency Swap Arrangement;
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI BANK
KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL
CURRENCY SWAP ARRANGEMENT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Umum Syariah.
2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak
termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
3. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
-3-
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum
Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
4.
Bilateral Currency Swap Arrangement yang selanjutnya
disingkat BCSA adalah perjanjian yang ditandatangani
oleh Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas
moneter negara lain dalam rangka meningkatkan
transaksi perdagangan bilateral, dan/atau tujuan lain
yang disepakati guna pengembangan ekonomi dua
negara.
5. Transaksi adalah transaksi Bank kepada Bank Indonesia
dalam rangka BCSA.
6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka
BCSA.
7. Valuta Asing adalah jenis valuta yang digunakan dalam
perjanjian BCSA antara Bank Indonesia dengan bank
sentral atau otoritas moneter negara lain.
BAB II
PRINSIP DASAR
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat melaksanakan transaksi swap
Valuta Asing terhadap Rupiah dengan bank sentral
dan/atau otoritas moneter negara lain sesuai perjanjian
BCSA.
(2) Berdasarkan perjanjian BCSA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menyelenggarakan
Transaksi untuk memenuhi kebutuhan Valuta Asing
Bank.
(3) Kebutuhan Valuta Asing Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) digunakan antara lain untuk pembayaran
perdagangan internasional dan/atau investasi langsung.
-4-
Pasal 3
Transaksi dapat dilaksanakan pada hari kerja.
Pasal 4
(1) Bank yang dapat mengajukan Transaksi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat
komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini
yang diterima Bank Indonesia; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan operasi moneter.
(2) Bank mengajukan Transaksi sesuai tata cara pengajuan
dan persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat menolak dan/atau tidak
memproses pengajuan Transaksi.
Pasal 5
Bank Indonesia menetapkan antara lain window time, pricing,
kurs, dan/atau haircut atas Transaksi.
Pasal 6
(1) Bank wajib memiliki Underlying Transaksi antara lain
berupa kegiatan perdagangan internasional dan/atau
investasi langsung yang didukung oleh dokumen
Underlying Transaksi.
(2) Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang
sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi.
(3) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III
PENGAJUAN TRANSAKSI
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi melalui
mekanisme lelang dan/atau nonlelang.
-5-
(2) Jenis Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa transaksi repurchase agreement (repo) atau
transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank mengajukan Transaksi melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam
window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah mengajukan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang membatalkan Transaksi
yang telah diajukan kepada Bank Indonesia.
Pasal 9
Transaksi dilakukan dengan jangka waktu paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 10
(1) Nilai nominal pengajuan Transaksi paling banyak sebesar
nilai nominal Underlying Transaksi.
(2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan
Transaksi pada hari yang sama untuk masing-masing
jangka waktu.
Pasal 11
Bank bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan
Transaksi dan dokumen Underlying Transaksi.
BAB IV
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 12
(1) Bank yang mengikuti Transaksi wajib:
a. menyediakan surat berharga yang mencukupi;
b. melakukan transfer Valuta Asing yang cukup ke
rekening yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;
dan/atau
c. menyediakan dana yang cukup di rekening giro
-6-
Rupiah Bank di Bank Indonesia,
untuk penyelesaian kewajiban Transaksi.
(2) Dalam hal Bank tidak memenuhi kewajiban transfer
Valuta Asing yang cukup ke rekening yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, Bank wajib memenuhi kewajiban transaksi
Valuta Asing dimaksud sesuai ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
Dalam rangka penyelesaian Transaksi, Bank Indonesia
berwenang antara lain melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menghentikan pledge surat berharga yang digunakan
dalam Transaksi;
b. memindahkan surat berharga yang digunakan dalam
Transaksi dari rekening Bank ke rekening Bank
Indonesia;
c. menjual surat berharga Bank yang digunakan dalam
Transaksi;
d. melakukan pencairan sebelum jatuh waktu (early
redemption) atas surat berharga Bank berupa Sertifikat
Bank Indonesia atau Sertifikat Deposito Bank Indonesia
yang digunakan dalam Transaksi; dan/atau
e. mendebet rekening giro Rupiah dan/atau valuta asing
Bank di Bank Indonesia.
BAB V
PENGHENTIAN TRANSAKSI SEBELUM JATUH WAKTU
(EARLY TERMINATION)
Pasal 14
(1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan
penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early
termination) terhadap Transaksi apabila Bank yang
bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau
ditemukan adanya pelanggaran lain terhadap Peraturan
-7-
Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terjadi penghentian transaksi sebelum jatuh
waktu (early termination) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib menyelesaikan Transaksi dan
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
(3) Bank dilarang melakukan penghentian transaksi sebelum
jatuh waktu (early termination) atas Transaksi.
BAB VI
SANKSI
Pasal 15
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat
(1) huruf a dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak
memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per transaksi.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan/atau huruf c
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar nilai yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
-8-
Pasal 17
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/6/PBI/2010 tentang
Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap
Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5127)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 93
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/7/ PBI/ 2016
TENTANG
TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL
CURRENCY SWAP ARRANGEMENT
I. UMUM
Sebagai salah satu upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar
Rupiah dengan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan valuta
asing tertentu, Bank Indonesia melaksanakan perjanjian Bilateral
Currency Swap Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas
moneter negara lain. Perjanjian tersebut dapat dimanfaatkan oleh Bank
sebagai lembaga perantara dalam pembayaran internasional yang
bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi khususnya perdagangan
internasional dan/atau investasi langsung melalui transaksi Bank kepada
Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement.
Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu pengelolaan
likuiditas valuta asing sekaligus memberikan kontribusi positif bagi
kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan internasional dan/atau
investasi langsung serta mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing berdasarkan ketentuan mengenai Kegiatan
Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank Indonesia dapat menolak pengajuan transaksi Bank
kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA antara lain karena
batasan limit transaksi antara Bank Indonesia dengan bank
sentral atau otoritas moneter negara lain.
Bank Indonesia tidak memproses pengajuan transaksi Bank
antara lain karena Bank tidak memenuhi tata cara pengajuan
dan persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 5
Penetapan window time juga mencakup pengumuman window time
atau peniadaan window time Transaksi.
Pasal 6
Ayat (1)
Underlying Transaksi mencakup Underlying Transaksi milik
Bank dan/atau nasabah Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)”
adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga dalam
denominasi Rupiah oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh Valuta Asing, dengan kewajiban membeli kembali
surat berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang
disepakati dengan menggunakan Valuta Asing.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “membatalkan Transaksi” adalah Bank menarik
kembali Transaksi yang telah diajukan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan surat berharga yang mencukupi
meliputi kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri surat
berharga.
- 4 -
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pendebetan rekening giro Rupiah dan/atau valuta asing
Bank di Bank Indonesia antara lain untuk pemenuhan
kewajiban penyelesaian transaksi dan/atau pengenaan
sanksi kewajiban membayar.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Nilai sanksi kewajiban membayar akan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5880
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/7/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI BANK KEPADA BANK INDONESIA DALAM RANGKA BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT </reg_title>
<set_date> 16 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 17 Mei 2016 </effective_date>
<issued_date> 17 Mei 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '12/6/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/9/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimang
: a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang perlu
didukung salah satunya oleh pasar uang yang likuid dan
efisien;
c. bahwa untuk mencapai pasar uang yang likuid dan efisien
dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
berdasarkan prinsip syariah yang dapat ditransaksikan
oleh pelaku pasar uang;
d. bahwa tersedianya instrumen pasar uang berdasarkan
prinsip syariah juga memberikan fleksibilitas pengelolaan
likuiditas bagi pelaku pasar uang dan mendorong
pembiayaan ekonomi nasional; dan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di Pasar Uang;
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253); dan
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang
Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5909);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum syariah dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Syariah adalah bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
-3-
4. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta
asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
5. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah.
6.
Sertifikat Deposito Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut Sertifikat Deposito Syariah adalah
Instrumen Pasar Uang berupa simpanan dalam bentuk
deposito berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti
penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
7. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah
pemindahtanganan secara jual-beli Sertifikat Deposito
Syariah yang dilakukan melalui Pasar Uang dengan
kesepakatan harga, mekanisme penyelesaian, dan
penatausahaan tertentu.
8. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar
adalah pelaku pasar uang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang.
9. Penerbit Sertifikat Deposito Syariah yang selanjutnya
disebut Penerbit adalah pihak yang menerbitkan Sertifikat
Deposito Syariah.
10. Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
selanjutnya disebut Pelaku Transaksi adalah pihak yang
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang.
-4-
11. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah lembaga
pendukung pasar uang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang.
12. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan
jasa perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah.
13. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah adalah Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa
penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
14. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pasar modal.
15. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
16. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal.
17. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya
disebut LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan
Kustodian sentral bagi bank Kustodian, Perusahaan Efek,
dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan dan
penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah dalam bentuk
tanpa warkat.
18. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan
lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili
di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan kegiatan
utamanya tidak di Indonesia.
-5-
19. Repurchase Agreement Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut Repo Syariah adalah penjualan
Sertifikat Deposito Syariah oleh pemilik Sertifikat Deposito
Syariah kepada investor Sertifikat Deposito Syariah lainnya
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, dengan janji
pembelian kembali pada waktu tertentu yang diperjanjikan.
20. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
21. Mudarabah adalah kerja sama antara pihak pertama yaitu
malik, shahibul mal, atau nasabah, sebagai pemilik dana
dan pihak kedua yaitu ‘amil, mudarib, atau Bank, yang
bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Sertifikat Deposito Syariah yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini yaitu Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang.
BAB III
KRITERIA SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
YANG DITRANSAKSIKAN DI PASAR UANG
Pasal 3
(1) Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar
Uang wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
b.
c.
diterbitkan dan ditatausahakan dalam bentuk tanpa
warkat (scripless);
diterbitkan dalam mata uang rupiah atau valuta asing;
diterbitkan dengan tidak menggunakan mekanisme
bunga, termasuk mekanisme diskonto;
-6-
d.
diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing;
e. memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan,
24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga puluh enam)
bulan;
f.
g.
dialihkan secara elektronik;
didaftarkan dan ditatausahakan di Bank Indonesia
atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;
h. diterbitkan dengan akad Mudarabah; dan
i.
imbalan diberikan dalam bentuk bagi hasil.
(2) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
dihitung berdasarkan kegiatan usaha yang didanai oleh
Sertifikat Deposito Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
PELAKU PASAR DAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
Pasal 4
(1) Pelaku Pasar dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
meliputi:
a. Penerbit; dan
b. Pelaku Transaksi.
(2) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu
Bank.
(3) Pelaku Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. nasabah.
(4) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
meliputi:
a. bank;
-7-
b. Perusahaan Efek;
c. korporasi;
d. orang perseorangan; dan
e. Bukan Penduduk.
Pasal 5
(1) Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam pelaksanaan
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah meliputi:
a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah; dan
b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(2) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perusahaan Efek; dan
b. Perusahaan Pialang.
(3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian; dan
b. Perusahaan Efek.
(4) Pelaku Transaksi berupa bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b
dapat melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
nasabah.
(5) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
secara langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(6) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c melakukan Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri.
-8-
(7) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah melalui
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
yang terdaftar di Bank Indonesia.
BAB V
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 6
(1) Bank sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) wajib mencantumkan informasi dalam dokumen
informasi penawaran kepada investor paling sedikit berupa:
a. pernyataan “dapat ditransaksikan di Pasar Uang”;
b. akad;
c. persentase nisbah bagi hasil nasabah;
d. persentase tingkat indikasi imbalan;
e. tata cara perhitungan bagi hasil;
f.
g.
tanggal pembayaran bagi hasil;
informasi pajak atas bagi hasil; dan
h. kegiatan usaha yang didanai, dalam hal menggunakan
akad Mudarabah muqayyadah.
(2) Selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank sebagai Penerbit
juga wajib mencantumkan
pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan
pembelian Sertifikat Deposito Syariah di pasar perdana
maupun pembelian dan/atau penjualan Sertifikat Deposito
Syariah di pasar sekunder untuk menyetujui pemberian
data dan/atau informasi kepada Bank Indonesia mengenai
kepemilikan,
transaksi, dan penyelesaian transaksi
Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan.
(3) Bank sebagai Penerbit wajib menginformasikan tingkat
realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbukaan informasi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-9-
BAB VI
PERIZINAN PENERBIT
Pasal 7
(1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(2) Izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperlukan untuk Bank yang pertama kali menerbitkan
Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di Pasar
Uang.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
hal Bank telah:
a. memperoleh persetujuan untuk menerbitkan
Sertifikat Deposito Syariah dalam bentuk tanpa
warkat (scripless) dari otoritas yang berwenang; dan
b. memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(4) Sertifikat Deposito Syariah yang diterbitkan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum
memperoleh izin sebagai Penerbit
ditransaksikan di Pasar Uang.
tidak dapat
(5) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk LPP, Bank sebagai
Penerbit yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan
fotokopi surat izin penerbitan tersebut kepada LPP sebagai
bagian dari dokumen pendukung pendaftaran instrumen
Sertifikat Deposito Syariah dalam penatausahaan LPP.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan dan
persyaratan penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
-10-
BAB VII
PENDAFTARAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
Bagian Kesatu
Pendaftaran Lembaga Pendukung
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
Pasal 8
(1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang bertindak
sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah wajib memperoleh persetujuan
pendaftaran dari Bank Indonesia sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dalam hal Perusahaan Efek dan Perusahaan
Pialang telah:
a. memiliki izin kegiatan usaha perantara pelaksanaan
transaksi dari otoritas yang berwenang; dan
b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
Pasal 9
(1) Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan
Perusahaan Efek,
yang melakukan kegiatan
penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah wajib memperoleh persetujuan
pendaftaran dari Bank Indonesia sebagai Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah.
-11-
(2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dalam hal bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian dan Perusahaan Efek telah:
a. memiliki izin kegiatan usaha sebagai Kustodian dari
otoritas yang berwenang; dan
b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan
Perusahaan Efek
sebagai Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi dan Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito untuk Menjadi Lembaga Pendukung
Transaksi dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
Pasal 10
(1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga
pendukung transaksi sertifikat deposito sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi sertifikat deposito di pasar uang, dapat menjadi
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
setelah mendapat persetujuan pendaftaran sebagai
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dari Bank Indonesia.
(2) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan pendaftaran
kepada Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
lembaga pendukung transaksi sertifikat deposito untuk
-12-
menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 11
(1) Bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan
Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai lembaga pendukung penatausahaan dan
penyelesaian transaksi sertifikat deposito sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi sertifikat deposito di pasar uang, dapat menjadi
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(2) Lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian
transaksi sertifikat deposito sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mengajukan pendaftaran kepada Bank
Indonesia untuk menjadi Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
lembaga pendukung penatausahaan dan penyelesaian
transaksi sertifikat deposito untuk menjadi Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB VIII
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
DI PASAR SEKUNDER
Pasal 12
Pelaku Transaksi dilarang melakukan Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah di pasar sekunder sebelum dana Sertifikat
Deposito Syariah digunakan dalam kegiatan usaha Bank
Penerbit.
-13-
Pasal 13
Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek serta
Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder dengan menggunakan mekanisme bunga, termasuk
mekanisme diskonto.
Pasal 14
Sertifikat Deposito Syariah dapat ditransaksikan di pasar
sekunder dengan cara:
a.
jual beli putus (outright) dengan menggunakan akad jual
beli (ba’i); atau
b. Repo Syariah dengan menggunakan akad al-bai’ ma’a al-
wa’d bi al-syira’.
Pasal 15
(1) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dapat dilakukan secara:
a. langsung; atau
b. melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah.
(2) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan
melalui Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menggunakan akad wakalah bil ujrah.
(3) Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk transaksi
antarnasabah yang dilakukan tanpa melalui Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
(4) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dianggap telah
menyetujui untuk memberikan akses kepada Bank
Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian transaksi,
dan posisi kepemilikan Sertifikat Deposito Syariah.
(5) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dan Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah harus
secara aktif
-14-
menyampaikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) kepada nasabah Sertifikat Deposito Syariah.
Pasal 16
Penyelesaian atas Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
Pasal 17
Pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem Bank Indonesia
Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana pelaksanaan
transaksi lainnya yang lazim digunakan di pasar uang.
Pasal 18
(1) Pelaku Transaksi berupa Bank dan Perusahaan Efek
dilarang menjual Sertifikat Deposito Syariah kepada Bukan
Penduduk di pasar sekunder.
(2) Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang
memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito
Syariah yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing
dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk di pasar
sekunder.
Pasal 19
(1) Harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
merupakan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak
dengan memperhitungkan:
a. nominal Sertifikat Deposito Syariah;
b.
c.
realisasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah;
dan
proyeksi hak bagi hasil pemegang Sertifikat Deposito
Syariah sebelumnya.
(2) Perhitungan harga transaksi Sertifikat Deposito Syariah
menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count
convention) yaitu actual/360.
-15-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dalam Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IX
PENATAUSAHAAN DAN PENYELESAIAN
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH
Pasal 20
(1) Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah dilaksanakan melalui sarana yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau LPP yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah dilakukan di Bank Indonesia
maka penatausahaan dan penyelesaian transaksi Sertifikat
Deposito Syariah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penatausahaan surat berharga.
(3) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah dilakukan di LPP yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia maka penatausahaan dan
penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait LPP atau ketentuan yang diterbitkan oleh LPP.
BAB X
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 21
Bank, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang
melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini wajib menerapkan Prinsip Syariah.
Pasal 22
(1) Bank sebagai Penerbit, bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang
-16-
melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Bank sebagai Penerbit paling sedikit mencakup:
a. transparansi dan keterbukaan informasi;
b. perlindungan konsumen; dan
c. mekanisme penyelesaian sengketa.
(3) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek
dan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang
paling sedikit mencakup:
a. etika bertransaksi dan kode etik pasar (market code of
conduct) atau pedoman lain yang sejenis;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c.
perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa.
(4) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa
bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan
Perusahaan Efek paling sedikit mencakup:
a. transparansi dan keterbukaan informasi;
b. perlindungan konsumen; dan
c. mekanisme penyelesaian sengketa.
Pasal 23
Bank sebagai Penerbit, bank yang melaksanakan kegiatan
Kustodian, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang
melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif.
Pasal 24
Kewajiban penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan kewajiban penerapan manajemen
-17-
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dikecualikan bagi
Pelaku Pasar berupa nasabah korporasi, nasabah orang-
perseorangan, dan nasabah Bukan Penduduk.
BAB XI
PENGAWASAN
Pasal 25
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penerbitan dan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di
Pasar Uang sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pasar uang.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas lain yang berwenang.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan kepada:
a. Bank sebagai Penerbit;
b. Pelaku Transaksi berupa bank dan Perusahaan Efek;
c. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan
Pialang; dan
d. Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian
dan Perusahaan Efek.
(4) Pengawasan terhadap penerbitan dan Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(5) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b.
-18-
(6) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang dipeoleh
dari hasil pemeriksaan.
Pasal 26
(1) Bank sebagai Penerbit, bank sebagai Pelaku Transaksi,
bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan
Efek, dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (3) wajib menyediakan dan
menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang
diperlukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank sebagai Penerbit, bank sebagai Pelaku Transaksi,
bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian, Perusahaan
Efek, dan Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib bertanggung jawab atas kebenaran data,
informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Bank sebagai Penerbit wajib menyampaikan informasi
realisasi penerbitan Sertifikat Deposito Syariah kepada
Bank Indonesia setiap kali penerbitan.
(2) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk LPP, informasi
realiasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Bank sebagai Penerbit kepada Bank
Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah Sertifikat
Deposito Syariah diterbitkan dan dicatat secara efektif pada
LPP.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi realisasi penerbitan diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
-19-
Pasal 28
(1) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf b yang melakukan transaksi untuk
kepentingan sendiri wajib menyampaikan laporan
mengenai Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang
dilakukan kepada Bank Indonesia.
(2) Pelaku Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c harus melaporkan informasi mengenai Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah yang dilakukan kepada Bank
Indonesia melalui:
a. bank, apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dilakukan melalui bank;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah, apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dilakukan melalui Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek
dan/atau Perusahaan Pialang; dan/atau
c. Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah,
apabila Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa
melibatkan Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan/atau
Perusahaan Pialang.
(3) Pihak yang terlibat dalam Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah untuk kepentingan nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. bank;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan
Pialang; dan/atau
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
-20-
berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian
dan/atau Perusahaan Efek,
wajib menyampaikan laporan mengenai Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah tersebut kepada Bank
Indonesia.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(5) Tata cara penyampaian laporan oleh bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum.
(6) Tata cara penyampaian laporan oleh:
a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
dan
b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian
dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c,
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan pasar uang nonbank dan kustodian.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 29
(1) LPP yang ditunjuk Bank Indonesia menyampaikan laporan
atas penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah secara
periodik kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara penyampaian laporan oleh LPP yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia dituangkan dalam perjanjian antara
Bank Indonesia dengan LPP.
-21-
BAB XIII
PENCABUTAN IZIN DAN STATUS TERDAFTAR
Pasal 30
Bank Indonesia dapat mencabut izin Penerbit dan status
terdaftar Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah yang telah
diberikan dalam hal:
a. berdasarkan penilaian dan evaluasi Bank Indonesia
terdapat permasalahan yang mengganggu kemampuan
Penerbit, Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah, dan/atau Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah dalam melaksanakan kegiatan di Pasar
Uang;
b. berdasarkan permintaan dari otoritas atau lembaga profesi
terkait;
c. berdasarkan permintaan dari lembaga atau individu yang
bersangkutan; dan/atau
d. terdapat pengenaan sanksi atas pelanggaran dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 31
(1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai:
a. keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), dan/atau Pasal 6 ayat
(3);
b. pendaftaran sebagai Lembaga Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan/atau Pasal 11 ayat (2);
-22-
c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan/atau Pasal 13;
d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
e. penerapan prinsip kehati-kehatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f.
penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23;
g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2); dan/atau
h. penyampaian
informasi realisasi penerbitan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
dan/atau
b.
izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol
koma nol satu persen) dari nilai nominal penerbitan, paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per
penerbitan.
(3) Bank yang melanggar ketentuan mengenai penjualan
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal
transaksi, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
per transaksi.
(4) Bank yang melanggar ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan/atau
Pasal 28 ayat (3) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan
-23-
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum.
Pasal 32
(1) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2);
b. pendaftaran sebagai Lembaga
Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) dan/atau Pasal 11 ayat (2);
c. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau Pasal 13;
d. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
e. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau
g. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan mengenai
penjualan Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan/atau memberikan
jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut, paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) per transaksi.
-24-
Pasal 33
(1) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai:
a. pendaftaran sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2);
b. Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
c. penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
d. penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
e. penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23; dan/atau
f. penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau Pasal 26
ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan mengenai
jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dikenakan
denda kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak
memenuhi persyaratan
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per
transaksi.
Pasal 34
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18
ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, dan/atau
Pasal 27 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6 (enam) bulan
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar
Uang berupa penerbitan Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang, Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah,
tersebut, paling sedikit
-25-
dan/atau kegiatan sebagai
Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal
13, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22
ayat (1), dan/atau Pasal 23, sebanyak 3 (tiga) kali dalam 6
(enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang berupa Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah untuk kepentingan sendiri dan/atau
nasabah dan/atau kegiatan sebagai Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah, selama 1 (satu) bulan.
(3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Pasal 10 ayat (2), Pasal 13, Pasal 18 ayat (2), Pasal 21, Pasal
22 ayat (1), dan/atau Pasal 23, sebanyak 3 (tiga) kali dalam
6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang berupa kegiatan sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah selama 1
(satu) bulan.
Pasal 35
(1) Bank yang telah mendapatkan sanksi penghentian
sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan
sanksi pencabutan izin dan/atau status terdaftar yang
telah diberikan.
(2) Perusahaan Efek yang telah mendapatkan sanksi
penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3
(tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah
diberikan.
-26-
(3) Perusahaan Pialang yang telah mendapatkan sanksi
penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3
(tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
dikenakan sanksi pencabutan status terdaftar yang telah
diberikan.
Pasal 36
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Bank sebagai
Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
dan bank sebagai Pelaku Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara
mendebit rekening giro bank yang bersangkutan di Bank
Indonesia.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
dilakukan dengan cara melakukan penyetoran kepada
rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya
surat pengenaan sanksi kewajiban membayar dari Bank
Indonesia.
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2)
dilakukan dengan cara melakukan setoran kepada
rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya
surat pengenaan sanksi kewajiban membayar dari Bank
Indonesia.
Pasal 37
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi terhadap:
a. Bank sebagai Penerbit;
b. bank sebagai Pelaku Transaksi dan/atau Lembaga
Pendukung Penatausahaan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah;
c. Perusahaan Efek sebagai Pelaku Transaksi, Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah,
-27-
dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah;
dan/atau
d. Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah,
kepada otoritas yang berwenang.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Sertifikat Deposito Syariah yang telah diterbitkan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat
ditransaksikan di Pasar Uang sampai dengan jatuh waktu.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Kewajiban pelaporan yang disampaikan oleh:
a. Lembaga Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
berupa Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b;
dan
b. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Sertifikat Deposito Syariah berupa bank yang
melaksanakan kegiatan Kustodian dan Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c,
mulai berlaku 6 (enam) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia
ini berlaku.
Pasal 40
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-28-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 121
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/9/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG
I. UMUM
Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Kebijakan tersebut di atas perlu didukung dengan kondisi pasar keuangan
termasuk pasar keuangan syariah yang likuid dan efisien. Pengembangan
pasar keuangan syariah dilakukan antara lain melalui pengembangan
instrumen, infrastruktur, regulasi dan basis investor pada pasar uang.
Pengembangan instrumen diarahkan untuk menambah ketersediaan
likuiditas untuk memperdalam Pasar Uang dan berperan memperkuat
stabilitas sistem keuangan.
Salah satu instrumen pasar keuangan syariah yaitu Sertifikat Deposito
Syariah. Sertifikat Deposito Syariah dapat menjadi salah satu instrumen
yang likuid yang dapat mendukung perbaikan struktur pendanaan
perbankan syariah melalui jangka waktu pendanaan yang lebih panjang,
mendukung potensi penambahan dana pihak ketiga, mendorong efisiensi
pendanaan, dan menjadi salah satu sumber pembiayaan ekonomi nasional.
Pengaturan Sertifikat Deposito Syariah oleh Bank Indonesia sejalan
dengan pengaturan dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 10/POJK.03/2015 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank
yang mengatur bahwa pemindahtanganan sertifikat deposito termasuk
yang berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk tanpa warkat yang
-2-
dilakukan melalui Pasar Uang, tunduk pada ketentuan yang diatur oleh
otoritas yang berwenang, yaitu dalam hal ini Bank Indonesia sebagai
otoritas Pasar Uang. Kewenangan Bank Indonesia ini ditegaskan pula
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar
Uang.
Selanjutnya, untuk menciptakan pasar Sertifikat Deposito Syariah
yang mendukung pembentukan Pasar Uang yang likuid, dalam, dan efisien
perlu diatur Transaksi Sertifikat Deposito Syariah di Pasar Uang. Selain itu,
pengaturan ini dimaksudkan untuk memitigasi potensi risiko sistemik
dalam sistem keuangan, melalui penguatan aspek governance, kejelasan
mekanisme transaksi, dan kewenangan pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik Sertifikat Deposito Syariah
dan bukti kepemilikan bagi pemegang Sertifikat Deposito
Syariah berupa pencatatan elektronis di LPP.
Penerbitan dan penatausahaan Sertifikat Deposito Syariah
tanpa warkat (scripless) dimaksudkan untuk memudahkan
transaksi antarinvestor.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “diskonto” adalah menjual Sertifikat
Deposito Syariah di bawah harga nominal (below par).
-3-
Huruf d
Penetapan besaran nominal (issue size) paling sedikit
dilakukan untuk mendorong penggunaan instrumen
Sertifikat Deposito Syariah sebagai sumber pendanaan besar
(wholesale funding) dan meningkatkan potensinya untuk
ditransaksikan di pasar sekunder.
Huruf e
Penetapan jangka waktu standar dilakukan untuk
mendorong likuiditas transaksi di pasar sekunder dan
terciptanya benchmark imbalan atau bagi hasil untuk
instrumen Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf f
Pengalihan secara elektronik meliputi pula pemindahan atau
mutasi pencatatan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “LPP” antara lain PT Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Huruf h
Pembagian keuntungan usaha dalam akad mudarabah
dinyatakan dalam bentuk nisbah bagi hasil.
Akad mudarabah dapat berupa Mudarabah mutlaqoh atau
Mudarabah muqayyadah.
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad
Mudarabah mutlaqoh, Bank tidak dibatasi untuk
menggunakan dana nasabah dalam aktivitas penyaluran
dana sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan akad
Mudarabah muqayyadah, nasabah selaku pemilik dana
memberikan persyaratan dan batasan tertentu kepada Bank
antara lain mengenai tempat, cara, dan/atau obyek investasi
yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian.
Huruf i
Imbalan bagi hasil Sertifikat Deposito Syariah dapat
dibayarkan secara periodik atau pada saat jatuh tempo.
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode
tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau
tahunan.
-4-
Ayat (2)
Kegiatan usaha yang didanai oleh Sertifikat Deposito Syariah
dapat berasal dari kegiatan usaha yang memiliki imbal hasil tetap
dan/atau yang memiliki imbal hasil tidak tetap sesuai dengan
akad.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pelaku yang
menggunakan perantara pelaksanaan transaksi.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha
selain bank yang berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
-5-
Pasal 6
Ayat (1)
Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain
dalam bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis
yang lazim dipergunakan.
Huruf a
Pencantuman pernyataan “dapat ditransaksikan di
Pasar Uang” dilakukan untuk mempertegas bahwa
Sertifikat Deposito Syariah dapat ditransaksikan di
Pasar Uang.
Huruf b
Akad yang digunakan dapat berupa Mudarabah
mutlaqoh atau Mudarabah muqayyadah.
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan
akad Mudarabah mutlaqoh, Bank tidak dibatasi untuk
menggunakan dana nasabah dalam aktivitas
penyaluran dana sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Dalam hal Sertifikat Deposito Syariah menggunakan
akad Mudarabah muqayyadah, nasabah selaku pemilik
dana memberikan persyaratan dan batasan tertentu
kepada Bank antara lain mengenai tempat, cara,
dan/atau obyek investasi yang dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persentase nisbah bagi hasil
nasabah” adalah persentase keuntungan yang menjadi
porsi nasabah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “persentase tingkat indikasi
imbalan” adalah persentase proyeksi bagi hasil
Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf e
Salah satu informasi dalam perhitungan bagi hasil yaitu
informasi metode bagi hasil yaitu profit sharing atau
non-profit sharing.
-6-
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Informasi tingkat realisasi imbalan bagi hasil Sertifikat Deposito
Syariah dapat disampaikan secara periodik atau pada saat jatuh
tempo.
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah menurut periode
tertentu misalnya bulanan, triwulanan, semesteran, atau
tahunan.
Informasi tingkat imbalan Sertifikat Deposito Syariah digunakan
sebagai salah satu acuan bagi Pelaku Transaksi dalam penetapan
harga Sertifikat Deposito Syariah yang ditransaksikan di pasar
sekunder.
Media yang dapat digunakan oleh Bank untuk menginformasikan
tingkat realisasi imbalan Sertifikat Deposito Syariah antara lain
berupa media papan pengumuman di kantor bank, media laman
resmi Bank, dan/atau media lainnya.
Pengumuman atas tingkat realisasi imbalan juga dapat dilakukan
oleh LPP berdasarkan informasi dari Bank Penerbit Sertifikat
Deposito Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
-7-
Huruf b
Pemenuhan persyaratan dari Bank Indonesia antara lain
surat pernyataan yang ditandatangani pengurus Bank
terkait pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito Syariah yang
ditransaksikan di Pasar Uang, penerapan Prinsip Syariah,
penerapan prinsip kehati-hatian, penerapan manajemen
risiko, dan pertimbangan risiko sistemik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan administratif dari Bank Indonesia
antara lain surat pernyataan yang ditandatangani pengurus
terkait penerapan Prinsip Syariah, penerapan prinsip kehati-
hatian, dan penerapan manajemen risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan administrasi dari Bank Indonesia
antara lain surat pernyataan yang ditandatangani pengurus
-8-
terkait penerapan Prinsip Syariah, penerapan prinsip kehati-
hatian, dan penerapan manajemen risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam Repo syariah, jual beli atas Sertifikat Deposito Syariah
dilakukan dengan akad jual beli yang sesungguhnya (al-bai’ al-
haqiqi) yang antara lain diikuti dengan berpindahnya kepemilikan
Sertifikat Deposito Syariah yang diperjualbelikan termasuk segala
akibat hukum lain yang melekat pada Sertifikat Deposito Syariah
tersebut antara lain namun tidak terbatas pada hak atas imbalan
Sertifikat Deposito Syariah dan perubahan harga.
Yang dimaksud dengan “al-bai’ ma’a al-wa’d bi al-syira’” adalah
penjualan dengan janji pembelian kembali pada waktu tertentu
yang diperjanjikan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
-9-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wakalah bil ujroh” adalah pemberian
kuasa dari investor Sertifikat Deposito Syariah kepada Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah untuk
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito Syariah dengan imbalan
pemberian biaya (ujrah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Pengaturan penyelesaian waktu Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
dimaksudkan untuk mencapai pasar yang teratur dan berlandaskan
prinsip kehati-hatian serta mengurangi risiko counterparty transaksi
mengalami default yang menyebabkan transaksi yang telah disepakati
menjadi tidak dapat diselesaikan.
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia
atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Larangan penjualan Sertifikat Deposito Syariah kepada Bukan
Penduduk ditetapkan untuk memelihara stabilitas sistem
keuangan dari risiko peningkatan eksposur pinjaman Bank
kepada Bukan Penduduk secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh
transaksi di pasar sekunder.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum,
atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili
di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan
dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
-10-
Larangan pemberian jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito
Syariah dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk
ditetapkan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dari
risiko peningkatan eksposur pinjaman Bank kepada Bukan
Penduduk secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh transaksi di
pasar sekunder.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah antara lain berupa pencatatan kepemilikan,
penyimpanan dokumen, pemindahan kepemilikan, pemindahan
atau mutasi pencatatan, dan pembayaran pelunasan Sertifikat
Deposito Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Kegiatan penerbitan dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito Syariah
yang sesuai dengan Prinsip Syariah merupakan kegiatan yang tidak
mengandung unsur:
a.
riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil)
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau
dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima
melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan
yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki,
tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada
saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
-11-
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lainnya.
Penerapan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang diterbitkan oleh
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemenuhan prinsip kehati-hatian oleh Bank sebagai Penerbit
dimulai sejak persiapan penerbitan, penerbitan, dan
pascapenerbitan sampai dengan pelunasan kewajiban Penerbit.
Pemenuhan prinsip kehatian-hatian bertujuan untuk
memastikan bahwa Penerbit dapat memenuhi kewajiban Penerbit
terutama terkait pembayaran Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf a
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam transparansi
dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan
melalui pengungkapan informasi baik pada saat
penerbitan maupun pascapenerbitan.
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan untuk melindungi
kepentingan investor Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf b
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam perlindungan
konsumen antara lain dilakukan melalui penerapan tata
kelola yang baik dalam proses persiapan penerbitan,
penerbitan, dan pelunasan.
Huruf c
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain melalui pengungkapan di
dalam memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya.
-12-
Ayat (3)
Penerapan prinsip kehati-hatian oleh Pelaku Transaksi berupa
bank dan Perusahaan Efek dan Lembaga Pendukung Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah berupa Perusahaan Efek dan
Perusahaan Pialang dilakukan dalam setiap aspek transaksi atau
perdagangan mulai dari pratransaksi, transaksi, dan
pascatransaksi. Penerapan prinsip kehatian-hatian bertujuan
untuk mendorong terciptanya perdagangan Sertifikat Deposito
Syariah yang kredibel.
Huruf a
Pemenuhan etika bertransaksi dan kode etik pasar
(market code of conduct) atau pedoman sejenis dapat
menggunakan kode etik pasar yang tersedia seperti kode
etik pasar yang diterbitkan oleh Indonesia Islamic
Global Market Association (IIGMA).
Huruf b
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam transparansi
dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan pada
saat penyampaian kuotasi kepada calon investor
Sertifikat Deposito Syariah dengan didasarkan pada
pedoman internal maupun kode etik pasar yang secara
umum digunakan oleh Pelaku Transaksi dan Lembaga
Pendukung Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam perlindungan
konsumen Sertifikat Deposito Syariah antara lain
dilakukan melalui penyusunan dan penerapan standar
layanan transaksi sesuai dengan praktik terbaik,
penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan
perdagangan Sertifikat Deposito Syariah, dan
pemberian jasa perantara sesuai dengan kode etik serta
ketentuan lainnya terkait dengan perlindungan
konsumen.
Huruf d
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau
dokumen lain antara Lembaga Pendukung Transaksi
-13-
Sertifikat Deposito Syariah dan nasabah yang dalam hal
ini merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah.
Ayat (4)
Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah berupa bank yang melaksanakan kegiatan Kustodian dan
Perusahaan Efek dilakukan mulai dari penerimaan nasabah,
pengadministrasian rekening nasabah, penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah, penatausahaan Sertifikat Deposito
Syariah, penyampaian laporan kepada nasabah, dan pemberian
jasa penatausahaan lainnya.
Huruf a
Penerapan prinsip kehatian-hatian dalam transparansi
dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan
melalui pengungkapan informasi oleh Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat Deposito Syariah dengan memberikan
kemudahan akses bagi nasabah yang dalam hal ini
merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah untuk
memperoleh informasi mengenai penatausahaan dan
penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito Syariah.
Huruf b
Penerapan prinsip kehatian-hatian dalam perlindungan
konsumen antara lain dilakukan melalui penerapan tata
kelola yang baik dalam melakukan pendaftaran
nasabah, penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah, distribusi Sertifikat Deposito Syariah di pasar
perdana, dan penatausahaan Sertifikat Deposito
Syariah.
Huruf c
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau
dokumen lain antara Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Sertifikat
Deposito Syariah dan nasabah yang dalam hal ini
merupakan investor Sertifikat Deposito Syariah.
-14-
Pasal 23
Penerapan manajemen risiko mengacu pada ketentuan manajemen
risiko yang diatur oleh otoritas yang berwenang.
Penerapan manajemen risiko oleh Bank sebagai Penerbit dilakukan
terhadap risiko yang dihadapi antara lain terhadap risiko kredit yang
berpotensi menyebabkan tidak terbayarnya Sertifikat Deposito Syariah
dan risiko usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha
dari Penerbit sehingga memengaruhi kemampuan Penerbit dalam
melakukan pembayaran pokok dan bagi hasil Sertifikat Deposito
Syariah.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum
konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
-15-
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum
konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Laporan yang disampaikan oleh LPP paling sedikit meliputi
penatausahaan dan penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito
Syariah.
Penyampaian laporan oleh LPP dilakukan untuk menjaga kualitas
data (quality assurance) Sertifikat Deposito Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
-16-
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6233
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/9/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO SYARIAH DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 1 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 2 Agustus 2018 </effective_date>
<issued_date> 2 Agustus 2018 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 7 /PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global berdampak pada
aliran modal asing dan nilai tukar Rupiah;
b. bahwa perekonomian membutuhkan aliran modal
asing baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang;
c. bahwa dalam upaya menjaga kestabilan moneter dan
pasar keuangan domestik perlu dilakukan upaya
pendalaman pasar;
d. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank
perlu disesuaikan dengan perkembangan pasar
keuangan domestik dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu melakukan perubahan keempat atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005
tentang Pinjaman Luar Negeri Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor…
- 2 -
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK.
Pasal…
- 3 -
Pasal I
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar
Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467)
sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank
Indonesia:
a. Nomor 10/20/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905);
b. Nomor 13/7/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5193);
c. Nomor 15/6/PBI/2013 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5442);
diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 3B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3B
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka
Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A, dikecualikan
terhadap:
a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas Bank;
b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
penyaluran kredit ke sektor riil;
c. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan
paling tinggi 100% (seratus persen) dari Dana Usaha yang
dinyatakan (declared Dana Usaha);
d. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan
lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara
asing…
- 4 -
asing dan lembaga internasional;
e. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan
investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung,
pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau
pembelian Surat Berharga Negara (SBN);
f. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan
kembali (divestasi) atas penyertaan langsung, pembelian saham,
pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat
Berharga Negara (SBN);
g. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana untuk
pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan hasil penjualan
kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
h. kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk yang timbul dari
transaksi derivatif lindung nilai;
i. giro milik Bukan Penduduk non pemegang saham pengendali yang
digunakan dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil dan
proyek-proyek infrastruktur; dan/atau
j. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan
obligasi berdenominasi Rupiah oleh lembaga supranasional dalam
rangka pembiayaan sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur.
(2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan
ditatausahakan oleh Bank.
Pasal II
1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman
Luar Negeri Bank sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia ini beserta semua peraturan
pelaksanaannya, semua penyebutan:
a. Direktorat Luar Negeri harus dibaca sebagai Departemen
Surveillance Sistem Keuangan; dan
b. Direktorat Pengawasan Bank atau Kantor Bank Indonesia harus
dibaca sebagai Otoritas Jasa Keuangan.
2.Peraturan…
- 5 -
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 April 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 68
DKEM
- 6 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 7 /PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
I. UMUM
Perekonomian domestik saat ini masih membutuhkan aliran
modal asing baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
Aliran modal asing tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan
upaya pendalaman pasar keuangan domestik dan menjaga ketahanan
ekonomi nasional. Di sisi lain, aliran modal asing tersebut sangat
dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global yang pada akhirnya
berdampak pada kestabilan nilai tukar Rupiah.
Untuk mengurangi dampak negatif dari dinamika perekonomian
global terhadap aliran modal asing dan kestabilan nilai tukar Rupiah
diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai PLN Jangka
Pendek berupa penambahan pengecualian atas PLN Jangka Pendek
tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian Bank dalam mengelola PLN.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 3B
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemegang saham
pengendali” adalah pemegang saham pengendali
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur…
- 7 -
2
mengatur mengenai bank umum dan bank umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah
kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena
arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan
arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing
maupun Rupiah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah kegiatan
usaha suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan
barang dan jasa, tidak termasuk di dalamnya
kegiatan usaha di sektor keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara
asing yang digunakan untuk pembiayaan operasional,
bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan, dan
penempatan dana tidak untuk memperoleh
keuntungan.
Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang
mewakili secara resmi pemerintah daerah negara
asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap
sebagai perwakilan negara asing.
Yang dimaksud dengan “lembaga internasional”
adalah lembaga internasional yang kegiatannya
bersifat nirlaba, seperti International Monetary Fund
(IMF) dan Islamic Development Bank (IDB).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Hasil penjualan kembali (divestasi) meliputi pokok
dan imbal hasil.
Huruf…
- 8 -
3
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kewajiban” adalah liabilitas
Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to-market
transaksi derivatif Bank dengan Bukan Penduduk
dan tercatat di on balance sheet.
Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi
yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari
nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga,
nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang
diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan
dana atau instrumen, namun tidak termasuk
transaksi derivatif kredit.
Yang dimaksud dengan “lindung nilai” adalah cara
atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul
maupun yang diperkirakan akan timbul akibat
adanya fluktuasi harga di pasar keuangan.
Huruf i
Penggunaan giro milik Bukan Penduduk non
pemegang saham pengendali bank dalam rangka
penyaluran kredit kepada debitur di sektor riil dan
proyek-proyek infrastruktur meliputi:
1. untuk menampung sementara dana sebelum
disalurkan oleh pemilik rekening giro tersebut
kepada debitur di sektor riil dan proyek-proyek
infrastruktur; dan
2. untuk menerima pembayaran dari debitur di
sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur,
Kredit yang dimaksud pada huruf ini bukan
merupakan two step loan.
Huruf…
- 9 -
4
Huruf j
Yang dimaksud dengan “lembaga supranasional”
adalah lembaga keuangan multilateral yang dibentuk
oleh dua atau lebih negara dan dalam kegiatannya
menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan
teknis dalam rangka mendorong pembangunan
ekonomi negara anggotanya.
Contoh lembaga supranasional antara lain Asian
Development Bank (ADB), Islamic Development Bank
(IDB), dan World Bank Group yang terdiri dari
International Bank for Reconstruction and Development
(IBRD) dan International Finance Corporation (IFC).
Ayat (2)
Bukti yang memadai adalah:
a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain
berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi
likuiditas.
b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain
berupa analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi
penerimaan dana dan realisasi kredit.
c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank
asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain
berupa bukti penempatan atau transfer dan laporan
keuangan Bank.
d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan
negara asing serta lembaga internasional termasuk
anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas
pemilik rekening.
e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi
bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas
penyetor, dan identitas penerima penyertaan.
f. untuk…
- 5 -
- 10 -
f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang
meliputi bukti pembelian saham atau obligasi yang
tercatat di lembaga kustodian atau bursa efek.
g. untuk penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan
langsung atau penjualan kembali surat-surat berharga,
paling kurang meliputi bukti perubahan kepemilikan
saham atau surat berharga.
h. untuk SBN, pembelian atau penjualannya paling
kurang telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS).
i. untuk SBI, pembelian atau penjualannya paling kurang
telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System (BI-SSSS).
j. untuk posisi kewajiban transaksi derivatif lindung nilai
Bank terhadap nasabah Bukan Penduduk paling
kurang berupa deal ticket dan blotter.
k. untuk giro milik Bukan Penduduk yang menampung
dana yang diterima Bank dari kreditur non pemegang
saham pengendali terkait pemberian kredit ke sektor riil
dan proyek-proyek infrastruktur paling kurang berupa
salinan perjanjian kredit antara pemilik giro dengan
debitur di sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur.
l. untuk giro milik Bukan Penduduk yang menampung
dana dari penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah
oleh lembaga supranasional terkait pembiayaan sektor
riil dan proyek-proyek infrastruktur paling kurang
prospektus dan bukti penerbitan obligasi.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5523
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/7/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title>
<set_date> 7 April 2014 </set_date>
<effective_date> 7 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 7 April 2014 </issued_date>
<changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '10/20/PBI/2008', '13/7/PBI/2011', '15/6/PBI/2013' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan dana
untuk mendorong pembangunan ekonomi dan penerapan
manajemen risiko kredit yang efektif serta tersedianya
informasi kualitas debitur yang dapat diandalkan maka
diperlukan adanya sistem informasi yang utuh dan
komprehensif mengenai profil debitur;
b. bahwa untuk mendukung tersedianya informasi yang utuh
dan komprehensif mengenai profil debitur, diperlukan
adanya suatu pusat informasi kredit (credit bureau);
c. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku,
Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan
mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar
bank maupun lembaga lain di bidang keuangan dalam
rangka memperoleh informasi debitur secara efisien dan
efektif;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan sistem informasi antar bank maupun
lembaga lain
di
bidang
keuangan
yang menghasilkan
informasi …
- 2 -
informasi yang
berkualitas, perlu dilakukan perluasan
cakupan pelapor dan pelaporan, pengembangan sistem serta
penyempurnaan tata cara pelaporan/permintaan informasi
debitur;
e. bahwa dalam rangka membentuk pusat informasi kredit
(credit bureau) perlu dilakukan penyempurnaan sistem
informasi debitur yang dilakukan secara
berkesinambungan;
f. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan mengenai
debitur dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
sistem informasi
Mengingat : 1. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
INFORMASI DEBITUR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah.
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah.
3. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank adalah lembaga selain bank yang
melakukan kegiatan kartu kredit.
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah lembaga keuangan yang meliputi
asuransi, dana pensiun, perusahaan sekuritas, modal ventura, perusahaan
pembiayaan, dan koperasi simpan pinjam, serta badan atau lembaga lain
yang memberikan penyediaan dana kepada debitur.
5. Pelapor …
- 4 -
5.
Pelapor adalah Bank Umum, BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain
Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang meliputi kantor–kantor
yang melakukan kegiatan operasional, antara lain:
a.
b.
kantor pusat;
kantor cabang;
c. kantor cabang bank asing; atau
d. kantor cabang pembantu bank asing,
yang menyampaikan laporan debitur.
6.
Debitur adalah nasabah perorangan atau perusahaan atau badan yang
memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.
7. Laporan Debitur adalah laporan penyediaan dana dan laporan keuangan
Debitur pada periode tertentu, yang disajikan dan dilaporkan oleh Pelapor
kepada Bank Indonesia menurut tata cara dan bentuk laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
8. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi
mengenai Debitur yang merupakan hasil olahan dari Laporan Debitur yang
diterima Bank Indonesia dari Pelapor.
9. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Pelapor baik dalam rupiah
maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan,
penempatan, tagihan lainnya, dan transaksi rekening administratif serta
bentuk penanaman dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
10. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Pelapor dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan …
- 5 -
a.
b.
c.
cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
11. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal
dan pasar uang.
12. Penempatan adalah penanaman dana Pelapor pada bank lain dalam bentuk
giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit,
dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
13. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Pelapor dalam bentuk saham
pada bank atau perusahaan lain sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk penanaman dalam bentuk
surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity
options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau
akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan lain.
14. Penyertaan Modal Sementara adalah Penyertaan Modal oleh Pelapor dalam
perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity
swap), termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada
perusahaan Debitur.
15. Tagihan Lainnya adalah tagihan Pelapor kepada pihak lain antara lain
berupa surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse
repo), tagihan akseptasi, dan tagihan derivatif.
16. Transaksi …
- 6 -
16. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit
(LC), standby letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban komitmen dan
kontinjensi lain.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur dimaksudkan untuk membantu
Pelapor dalam memperlancar proses penyediaan dana, mempermudah penerapan
manajemen risiko, dan membantu bank dalam melakukan identifikasi kualitas
Debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku.
BAB III
PELAPOR
Pasal 3
(1) Bank Umum dan Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank wajib menjadi
Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur.
(2) BPR yang memiliki total aset sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) atau lebih wajib menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur.
Pasal 4
(1) BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) namun memiliki infrastruktur yang memadai dapat menjadi
Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur.
(2) Lembaga …
- 7 -
(2) Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat menjadi Pelapor dalam Sistem
Informasi Debitur.
(3) Lembaga Keuangan Bukan Bank yang akan menjadi Pelapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib menandatangani surat pernyataan
keikutsertaan keanggotaan.
Pasal 5
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank Indonesia
secara benar, lengkap, terkini, dan tepat waktu.
(2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
setiap bulan untuk posisi akhir bulan.
(3) Pelapor bertanggung jawab atas isi dan ketepatan waktu penyampaian
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib
disusun sesuai dengan Buku Pedoman Penyusunan Laporan Debitur yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 6
Dalam hal Laporan Debitur tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB IV …
- 8 -
BAB IV
LAPORAN DEBITUR
Pasal 7
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi informasi
mengenai:
a. Debitur;
b. pengurus dan pemilik;
c. fasilitas Penyediaan Dana;
d. agunan;
e. penjamin;
f. laporan keuangan Debitur.
Pasal 8
(1) Laporan keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f
hanya diperuntukkan bagi Debitur yang merupakan nasabah perusahaan
atau badan yang menerima fasilitas Penyediaan Dana sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih.
(2) Informasi laporan keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf f wajib disajikan berdasarkan informasi keuangan terkini.
(3) Informasi keuangan terkini sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
kurang informasi 1 (satu) tahun terakhir.
Pasal 9
Perubahan dalam cakupan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V …
- 9 -
BAB V
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR
DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 10
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 paling lambat tanggal 12 (dua belas) setelah bulan Laporan
Debitur yang bersangkutan.
(2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Debitur pada tanggal
diterimanya Laporan Debitur oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur apabila
menyampaikan Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) sampai dengan akhir bulan setelah bulan Laporan
Debitur yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur maka Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13
(1) Pelapor wajib melakukan koreksi atas Laporan Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 paling lambat tanggal 12 (dua belas) setelah bulan
Laporan Debitur yang bersangkutan.
(2) Pelapor …
- 10 -
(2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur pada
tanggal diterimanya koreksi atas Laporan Debitur oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur
apabila menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan akhir bulan
setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan.
Pasal 15
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian koreksi atas Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14, jatuh pada hari
Sabtu, Minggu atau hari libur maka koreksi atas Laporan Debitur disampaikan
pada hari kerja sebelumnya.
BAB VI
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI
LAPORAN DEBITUR
Pasal 16
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas
Laporan Debitur secara on line.
(2) Kewajiban penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan
Debitur secara on line dikecualikan terhadap:
a. Pelapor …
- 11 -
a.
Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas
telekomunikasi atau yang mengalami keadaan memaksa (force
majeure) sehingga
tidak memungkinkan untuk menyampaikan
Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on
line;
b.
Pelapor yang baru memulai kegiatan operasional dengan batas waktu
paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional;
atau
c.
Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan
Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur.
(3) Pelapor yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya
kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan Debitur dan atau koreksi atas
Laporan Debitur yang
gangguan
diterima karena adanya gangguan teknis
atau
lainnya pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank
Indonesia maka Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk
menyampaikan ulang Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan
Debitur.
Pasal 17
(1) Pelapor
yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia
wajib
menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur
kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam hal penyampaiannya dilakukan
secara on line.
(2) Dalam …
- 12 -
(2) Dalam hal penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara off line,
Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur wajib disampaikan
kepada:
a.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Bagian Data
Perbankan Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b.
Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(3) Bagi Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia,
Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur wajib disusun dan
disampaikan oleh kantor pusat Pelapor.
(4) Pemberitahuan secara tertulis untuk memperoleh pengecualian
penyampaian secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3)
dan penyampaian daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas
pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) wajib disampaikan kepada:
a.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Bagian Data
Perbankan Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b.
Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VII …
- 13 -
BAB VII
PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR
Pasal 18
(1) Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dapat meminta informasi Debitur kepada Bank
Indonesia.
(2) Cakupan informasi Debitur yang disediakan bagi Pelapor meliputi antara
lain identitas Debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas Penyediaan Dana
yang diterima Debitur, agunan, penjamin, dan atau kolektibilitas.
Pasal 19
(1) Informasi Debitur yang diperoleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 hanya dapat digunakan untuk keperluan Pelapor.
(2) Keperluan Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dalam
rangka:
a.
b.
c.
penerapan manajemen risiko;
kelancaran proses Penyediaan Dana;
identifikasi kualitas Debitur untuk pemenuhan ketentuan yang
berlaku.
(3) Segala akibat hukum yang
timbul sehubungan dengan penggunaan
informasi Debitur selain untuk keperluan Pelapor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pelapor
yang bersangkutan.
Pasal 20 …
- 14 -
Pasal 20
(1) Permintaan Informasi Debitur oleh Pelapor harus dilakukan secara on line.
(2) Dalam hal Pelapor berkedudukan di daerah yang tidak mempunyai fasilitas
telekomunikasi, mengalami gangguan telekomunikasi atau mengalami
keadaan memaksa
(force majeure)
sehingga tidak memungkinkan
permintaan informasi Debitur secara on line, maka permintaan dapat
dilakukan melalui kantor lain dari Pelapor yang bersangkutan.
BAB VIII
PENUNJUKAN PELAKSANA DAN PENANGGUNG JAWAB
Pasal 21
(1) Pelapor wajib menunjuk petugas pelaksana dan atau pejabat yang
bertanggung jawab dalam:
a. menyusun dan menyampaikan Laporan Debitur;
b. menjamin keabsahan dan kelengkapan Laporan Debitur yang terkini;
c. mengajukan permohonan dan menerima informasi Debitur.
(2) Pelapor wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai
petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan sebelum berlakunya kewajiban pelaporan bagi Pelapor sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai
petugas pelaksana dan atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pelapor wajib menyampaikan perubahan daftar
dimaksud selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadinya perubahan.
BAB IX …
- 15 -
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 22
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pengkinian data Debitur yang terdapat
dalam Sistem Informasi Debitur dalam hal Pelapor mengalami:
a. pembekuan kegiatan usaha; atau
b.
likuidasi.
(2) Pengkinian data Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan surat keterangan dari pihak yang melakukan pengelolaan data
Debitur.
BAB X
SANKSI
Pasal 23
Pelapor yang tidak melaporkan satu atau lebih fasilitas Penyediaan Dana dalam
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi
kewajiban membayar:
a.
bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Bukan Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) per fasilitas untuk setiap bulan laporan dengan batas maksimal
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir;
b.
bagi BPR sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per fasilitas untuk
setiap bulan laporan dengan batas maksimal sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 24 …
- 16 -
Pasal 24
Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dikenakan sanksi berupa:
a.
kewajiban membayar:
1) bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kerja kelambatan;
2)
dan
b. penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya
Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
Pasal 25
Pelapor yang belum menyampaikan Laporan Debitur sampai dengan jangka
waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi
berupa:
a.
kewajiban membayar:
1) bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) untuk setiap laporan;
2)
dan
b. penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya
Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
Pasal 26 …
bagi BPR sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap
laporan,
bagi BPR sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
kelambatan,
- 17 -
Pasal 26
(1) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi berupa kewajiban
membayar:
a.
bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari kerja kelambatan;
b.
bagi BPR sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari
kerja kelambatan.
(2) Pelapor yang belum menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur sampai
dengan berakhirnya jangka waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar:
a.
bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) untuk setiap laporan;
b.
bagi BPR sebesar Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
untuk setiap laporan.
Pasal 27
(1) Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan Debitur atas dasar temuan
dan permintaan Bank Indonesia dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(2) Pelapor yang tidak menyampaikan koreksi Laporan Debitur atas dasar
temuan dan permintaan Bank Indonesia, selain dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), juga diberi
peringatan tertulis.
(3) Apabila …
- 18 -
(3) Apabila telah diberi 2 (dua) kali peringatan tertulis masing-masing dalam
jangka waktu 2 (dua) minggu dan Pelapor tetap tidak menyampaikan
koreksi atas Laporan Debitur maka Pelapor dikenakan sanksi penundaan
pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya koreksi atas
Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Debitur dan atau koreksi atas
Laporan Debitur secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar:
a.
bagi Bank Umum, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap laporan;
b.
bagi BPR sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap
laporan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pelapor
yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak
melaporkan secara on line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
Pasal 29
Pelapor yang meminta informasi Debitur dan ternyata digunakan bukan untuk
maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan keperluan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk
setiap informasi Debitur.
Pasal 30 …
- 19 -
Pasal 30
Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 21 dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 berupa teguran tertulis.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi Bank Umum sebagai
Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan posisi bulan Januari 2005
sampai dengan Mei 2005 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 1/7/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Sistem Informasi
Debitur.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Kewajiban penyampaian Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana
yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi Bank
Umum diatur sebagai berikut:
a.
untuk Penyediaan Dana dengan plafon sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) atau lebih per Debitur wajib dilaporkan mulai Laporan
Debitur bulan Maret 2005;
b. untuk …
- 20 -
b.
untuk Penyediaan Dana dengan plafon kurang dari Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) per Debitur dapat dilaporkan mulai Laporan Debitur
bulan Maret 2005 dan paling lambat wajib dilaporkan mulai Laporan
Debitur bulan Desember 2005.
Pasal 33
(1) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam
pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur
bulan Januari 2006.
(2) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam
pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilaporkan mulai Laporan Debitur
posisi bulan Januari 2006.
Pasal 34
(1) Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan Dana yang tercatat dalam
pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi Penyelenggara Kartu
Kredit Selain Bank wajib dilaporkan mulai Laporan Debitur bulan Januari
2006.
(2) Kewajiban penyampaian Laporan Debitur atas seluruh fasilitas Penyediaan
Dana yang tercatat dalam pembukuan sebagaimana dimaksud Pasal 5 bagi
Lembaga Keuangan Bukan Bank
yang
telah menandatangani surat
pernyataan keanggotaan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 35 …
- 21 -
Pasal 35
(1) Bagi Bank Umum pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 mulai
berlaku:
a.
b.
untuk plafon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a sejak
pelaporan data bulan Juni 2005;
untuk plafon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b sejak
pelaporan data bulan Desember 2005.
(2) Bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pelaksanaan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal
25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, mulai berlaku sejak pelaporan data
bulan Maret 2006.
(3) Bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Penyelenggara
Kartu Kredit Selain Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 mulai berlaku 3 (tiga
bulan) sejak menjadi Pelapor.
Pasal 36
Ketentuan pelaksanaan tentang Sistem Informasi Debitur akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 37 …
- 22 -
Pasal 37
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 1/7/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Sistem
Informasi Debitur dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data
bulan Juni 2005.
Pasal 38
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 18
DPIP/DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
UMUM
Kelancaran proses penyediaan dana dan penerapan manajemen risiko
kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan
dapat dicapai apabila didukung
oleh
sistem informasi yang
utuh dan
komprehensif mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang
sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses penyediaan dana,
sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung
percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian penyediaan
dana. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil
dan kondisi debitur dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur.
Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk
melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, Bank Indonesia
berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem
informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di
bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia mengembangkan
sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu disempurnakan untuk
disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Dalam …
- 2 -
Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan sistem informasi
debitur yang menghasilkan informasi tentang profil dan kondisi debitur yang
lebih komprehensif, maka diperlukan penyempurnaan sistem informasi debitur
melalui penambahan dan perluasan pihak-pihak
yang
diwajibkan untuk
melaporkan data dan informasi debitur dan perluasan jenis dan bentuk laporan
yang wajib diinformasikan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan sistem informasi debitur diperlukan pengembangan sistem
secara berkesinambungan serta penyempurnaan mekanisme pelaporan dan
pengaturan tentang persyaratan dan tatacara permintaan informasi debitur.
Sistem informasi debitur yang saat ini telah digunakan sebagai pusat informasi
antar bank perlu disempurnakan sehingga fungsi pusat informasi kredit (credit
bureau) dapat terlaksana.
Agar fungsi pusat informasi kredit (credit bureau) dapat terlaksana,
informasi yang disediakan harus komprehensif termasuk informasi yang dimiliki
lembaga keuangan bukan bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan infrastruktur antara lain adalah perangkat
komputer dan jaringan telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Informasi Debitur antara lain berisi informasi mengenai nama,
alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda Penduduk,
dan keterkaitan debitur dengan Pelapor dari sisi kepengurusan,
kepemilikan, dan hubungan keuangan.
Huruf b …
- 4 -
Huruf b
Informasi pengurus dan pemilik antara lain berisi informasi mengenai
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda
Penduduk, jabatan, dan pangsa kepemilikan.
Huruf c
Informasi fasilitas Penyediaan Dana antara lain berisi informasi
mengenai jenis Penyediaan Dana, jumlah fasilitas yang diberikan dan
kolektibilitas, termasuk Penyediaan Dana yang dihapusbuku, yang
dihapus tagih, serta yang diselesaikan dengan cara pengambilalihan
agunan atau penyelesaian melalui pengadilan.
Huruf d
Informasi agunan antara lain berisi informasi mengenai bukti
kepemilikan, nilai taksasi, lokasi agunan, dan jenis pengikatan.
Huruf e
Informasi penjamin antara lain berisi informasi mengenai nama,
alamat, nomor Kartu Tanda Penduduk, akta pendirian, dan bagian
yang dijamin.
Huruf f
Informasi laporan keuangan Debitur antara lain berisi informasi
mengenai neraca dan laba rugi.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 …
- 5 -
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Debitur bulan Juli 2005 wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 12 Agustus 2005.
Ayat (2)
Apabila Laporan Debitur disampaikan secara on line, maka Pelapor
akan menerima tanda bukti penyampaian Laporan Debitur yang
tercetak secara otomatis pada komputer Pelapor, setelah Pelapor
selesai menyampaikan Laporan Debitur. Sementara itu, apabila
Laporan Debitur disampaikan secara off line, maka Pelapor akan
menerima bukti penerimaan Laporan Debitur dari Bank Indonesia.
Pasal 11
Contoh:
Penyampaian Laporan Debitur bulan Agustus 2005 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai tanggal 13 September 2005 sampai dengan
tanggal 30 September 2005.
Pasal 12
Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh
sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh: …
- 6 -
Contoh:
Laporan Debitur bulan Oktober 2005 yang wajib disampaikan paling
lambat tanggal 12 November 2005 jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir
penyampaian Laporan Debitur bulan Oktober 2005 adalah pada hari Jumat
tanggal 11 November 2005.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi atas Laporan Debitur bulan Juli 2005 wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 12 Agustus 2005.
Ayat (2)
Apabila koreksi atas Laporan Debitur disampaikan secara on line,
maka Pelapor akan menerima tanda bukti penyampaian koreksi atas
Laporan Debitur yang tercetak secara otomatis pada komputer
Pelapor, setelah Pelapor selesai menyampaikan koreksi Laporan
Debitur. Sementara itu,
apabila koreksi atas Laporan
disampaikan secara off line, maka Pelapor akan menerima bukti
penerimaan koreksi atas Laporan Debitur dari Bank Indonesia.
Pasal 14
Contoh:
Koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai tanggal 13 September 2005 sampai dengan
tanggal 30 September 2005.
Pasal 15 …
Debitur
- 7 -
Pasal 15
Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh
sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh:
Koreksi atas Laporan Debitur bulan Oktober 2005 yang wajib disampaikan
paling lambat tanggal 12 November 2005 jatuh pada hari Sabtu, maka batas
akhir penyampaian koreksi atas Laporan Debitur untuk bulan Oktober 2005
adalah pada hari Jumat tanggal 11 November 2005.
Pasal 16
Ayat (1)
Penyampaian Laporan Debitur dan atau secara on line adalah
penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur
oleh Pelapor dengan cara mengirim atau mentransfer rekaman data
Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara
langsung melalui fasilitas komunikasi ekstranet Bank Indonesia atau
melalui saluran komunikasi lain yang
Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a.
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure)
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta
bencana alam seperti banjir dan gempa bumi.
Huruf b. …
ditetapkan oleh Bank
- 8 -
Huruf b.
Cukup jelas.
Huruf c.
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan
Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara on line,
antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi dan
pemadaman listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur
secara off line adalah penyampaian
Laporan Debitur dan atau
koreksi atas Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan
menyampaikan rekaman data Laporan Debitur dan atau koreksi atas
Laporan Debitur tidak secara on line kepada Bank Indonesia antara
lain dalam bentuk disket atau compact disk.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 9 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi Debitur yang
individual.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti banjir dan gempa bumi.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 …
disediakan adalah
informasi Debitur
- 10 -
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang melakukan pengelolaan data Debitur adalah Pengelola
Sementara, Tim Likuidasi atau pihak lain yang berwenang, atau
Lembaga Keuangan lain.
Pasal 23
Huruf a
Contoh:
Apabila debitur menerima 5 (lima) fasilitas Penyediaan Dana seperti
kredit modal kerja, kredit investasi, surat berharga, kredit konsumsi,
pinjaman kartu kredit, dan empat fasilitas diantaranya tidak
dilaporkan kepada Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan, maka
terhadap Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
4 (empat) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
= Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Apabila fasilitas tersebut tidak
dilaporkan selama 12 (dua belas) bulan maka maksimum kewajiban
membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Huruf b
Contoh:
Apabila debitur menerima 5 (lima) fasilitas Penyediaan Dana dan
empat fasilitas diantaranya tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia
selama 1 (satu) bulan, maka
terhadap Pelapor
dikenakan sanksi
kewajiban …
- 11 -
kewajiban membayar sebesar 4 (empat) x Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Apabila fasilitas
tersebut tidak
dilaporkan selama 12 (dua belas) bulan maka
maksimum kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 24
Huruf a
Angka 1)
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli
2005 pada hari Selasa tanggal 16 Agustus 2005. Pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur 2 (dua)
hari kerja, yaitu hari Senin dan Selasa, sehingga Pelapor
dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Angka 2)
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli
2005 pada hari Selasa tanggal 16 Agustus 2005. Pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur 2 (dua)
hari kerja, yaitu hari Senin dan Selasa, sehingga Pelapor
dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 12 -
Pasal 25
Huruf a
Angka 1)
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur bulan Juli
2005 pada hari Kamis tanggal 1 September 2005. Pelapor
dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan Debitur sehingga
Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) untuk setiap laporan.
Angka 2)
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur data bulan
Juli 2005 pada hari Kamis tanggal 1 September 2005. Pelapor
dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan Debitur sehingga
Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) untuk setiap laporan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur
bulan Agustus 2005 pada
hari Rabu tanggal 14 September
2005 …
- 13 -
2005 maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua)
hari kerja, yaitu hari Selasa dan Rabu, sehingga Pelapor
dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) x Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Huruf b
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan koreksi atas Laporan Debitur
bulan Agustus 2005 pada hari Rabu tanggal 14 September 2005
maka dikenakan sanksi terlambat melapor selama 2 (dua) hari
kerja, yaitu hari Selasa dan Rabu, sehingga Pelapor dikenakan
sanksi sebesar 2 (dua) x Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu
rupiah) = Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Apabila koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005
belum disampaikan sampai dengan akhir September 2005,
Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
Huruf b
Contoh:
Apabila koreksi atas Laporan Debitur bulan Agustus 2005
belum disampaikan sampai dengan akhir September
2005,
Pelapor dikenakan sanksi sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
Pasal 27 …
- 14 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34 …
- 15 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4477
DPIP/DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/8/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> SISTEM INFORMASI DEBITUR </reg_title>
<set_date> 24 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 24 Januari 2005 </effective_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 22 /PBI/2008
TENTANG
PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK
MELALUI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa krisis keuangan global berdampak terhadap kondisi
permintaan valuta asing korporasi domestik di pasar domestik
dan menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap nilai tukar
rupiah;
c. bahwa salah satu upaya Bank Indonesia untuk mengurangi
tekanan tersebut adalah dengan memberikan kepastian
tersedianya valuta asing bagi korporasi domestik;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan mengenai Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing
Korporasi Domestik Melalui Bank dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun …
-2-
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMENUHAN
KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK
MELALUI BANK
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Korporasi …
-3-
2. Korporasi Domestik adalah badan usaha selain Bank yang berbadan hukum
Indonesia, berdomisili di Indonesia, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
3. Valuta asing yang selanjutnya disebut Valas adalah mata uang US Dollar.
4. Utang Valas adalah kewajiban Korporasi Domestik yang harus dipenuhi kepada
kreditur, baik kreditur di dalam negeri maupun kreditur di luar negeri berdasarkan
perjanjian kredit.
5. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke wilayah pabean Republik Indonesia
atas dasar dokumen L/C .
6. FX Spot adalah transaksi jual-beli antara mata uang US Dollar terhadap mata uang
Rupiah yang penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
7. Nomor Referensi adalah kombinasi angka dan/atau huruf yang ditentukan oleh
Bank yang berfungsi untuk mengindentifikasi nilai masing-masing transaksi dan
underlying kegiatan ekonomi dari transaksi tersebut.
Pasal 2
(1) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas terhadap Rupiah kepada
Bank Indonesia untuk Korporasi Domestik.
(2) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas terhadap Rupiah kepada
Bank Indonesia untuk instansi pemerintah.
(3) Bank dilarang mengajukan permintaan kebutuhan Valas untuk kepentingan
Korporasi Domestik yang merupakan pihak terkait dengan Bank.
Pasal 3
(1) Pengajuan permintaan kebutuhan valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib memiliki underlying kegiatan ekonomi di Indonesia.
(2) Underlying kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pembayaran …
-4-
a. pembayaran utang Valas;
b. pembayaran impor; dan/atau
c. keperluan lain yang didukung dengan dokumen, sepanjang tidak untuk
diperjualbelikan (trading) dan tidak untuk investasi di pasar keuangan.
(3) Underlying kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. kewajiban membayar akan jatuh tempo paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pengajuan transaksi; dan
b. dokumen underlying ekonomi yang dimiliki Korporasi Domestik hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) kali pengajuan transaksi pada Bank yang sama.
(4) Dalam hal kewajiban pembayaran dilakukan secara angsuran, Bank dapat
mengajukan permintaan Valas lebih dari 1 (satu) kali sesuai kebutuhan angsuran
sepanjang nilai Valas yang dibeli secara total tidak melebihi nilai nominal
underlying.
Pasal 4
Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) melalui transaksi beli FX Spot.
Pasal 5
(1) Bank melakukan pengajuan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia melalui
window yang dibuka setiap hari kerja dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul
15.45 WIB.
(2) Kurs FX Spot yang digunakan adalah kurs pasar tertinggi yang telah
ditransaksikan pada hari yang bersangkutan, mulai pukul 08.00 WIB sampai
dengan pukul 16.00 WIB.
(3) Kurs FX Spot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh Bank
Indonesia paling lambat pukul 16.30 WIB.
(4) Bank …
-5-
(4) Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas secara gabungan untuk semua
Korporasi Domestik, dan/atau instansi Pemerintah beserta nilai total kebutuhan
Valas kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitoring Dealing System satu
kali dalam satu hari.
(5) Bank wajib mencantumkan Nomor Referensi underlying disertai dengan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti pelunasan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) 1 (satu) tahun sebelumnya atas nama Korporasi Domestik secara benar.
(6) Bank dapat melakukan transaksi FX Spot beli paling banyak sebesar nilai nominal
underlying.
(7) Bank wajib bertanggungjawab terhadap pemenuhan persyaratan, kebenaran
dokumen underlying yang disampaikan oleh Korporasi Domestik dan/atau
instansi pemerintah serta kewajaran jumlah nominal transaksi.
(8) Bank wajib memiliki pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang
berwenang pada Korporasi Domestik diatas materai yang memuat hal-hal sebagai
berikut:
a. kebenaran jenis underlying kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Korporasi
Domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
b. underlying hanya digunakan pada satu Bank;
c. tidak menggunakan Valas yang dibeli untuk keperluan trading atau jual beli
Valas di pasar domestik maupun di pasar luar negeri termasuk untuk transaksi
non deliverable forward (NDF);
d. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum
pemberian kredit;
e. jatuh tempo kewajiban Korporasi Domestik paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah pengajuan transaksi;
f. dokumen …
-6-
f. dokumen underlying ekonomi yang dimiliki Korporasi Domestik hanya
digunakan untuk 1 (satu) kali pengajuan transaksi kecuali untuk transaksi
yang kewajiban pembayarannya dilakukan secara angsuran;
g. tujuan penggunaan Valas bahwa nasabah mengajukan dana valas hanya
kepada 1 Bank untuk satu underlying dan tidak menggunakan valas tersebut
untuk keperluan trading (jual beli) baik di pasar domestik maupun di pasar
luar negeri termasuk non deliverable forward (NDF).
(9) Bank wajib menatausahakan dokumen underlying dan dokumen terkait lainnya
yang disampaikan oleh Korporasi Domestik dan/atau instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(10) Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas Korporasi Domestik
kepada Bank Indonesia secara keseluruhan paling banyak 25% (dua puluh lima
per seratus) dari modal Bank dalam periode settlement.
(11) Dalam hal Bank mengajukan permintaan kebutuhan Valas Korporasi Domestik
kepada Bank Indonesia melebihi 25% (dua puluh lima per seratus) dari modal
Bank dalam periode settlement sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Bank
Indonesia menolak permintaan dimaksud.
Pasal 6
Bank hanya dapat melakukan perbaikan atas data sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (4), Pasal 5 ayat (5), dan Pasal 5 ayat (6) sebelum window time ditutup.
Pasal 7
Bank dapat mengajukan permintaan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. paling kurang memiliki Peringkat Komposit (PK) 3 (tiga), atau
b. PK 4 (empat) atau PK 5 (lima), sepanjang :
1. mempunyai …
-7-
1. mempunyai kecukupan Giro Wajib Minimum Rupiah untuk posisi 5 (lima) hari
kerja sebelum transaksi Valas dilakukan;
2. tidak masuk dalam Special Surveilance Unit (SSU) atau Bank Dalam
Penyehatan (BDP); dan
3. tidak menggunakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) lebih dari 3
(tiga) kali dalam 5 (lima) hari kerja terakhir.
Pasal 8
(1) Bank wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro rupiah di Bank
Indonesia pada tanggal valuta sebelum pukul 12.00 WIB untuk penyelesaian
transaksi beli FX Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Dalam hal Bank tidak dapat menyediakan dana yang cukup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka Bank Indonesia tidak melakukan penyerahan dana
Valas kepada Bank yang bersangkutan.
Pasal 9
Sanksi
(1) Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal pelanggaran
untuk masing-masing pelanggaran di bawah ini :
a. Melakukan transaksi dengan Bank Indonesia untuk keperluan Korporasi
Domestik yang merupakan pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3);
b. Melakukan transaksi tanpa adanya underlying sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1);
c. Melakukan transaksi dengan underlying di luar underlying sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
d. Melakukan …
-8-
d. Melakukan transaksi yang tidak memenuhi persyaratan jangka waktu jatuh
tempo kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
e. Melakukan transaksi dengan menggunakan dokumen underlying yang sama
lebih dari 1 (satu) kali untuk satu Bank yang sama atau Bank yang berbeda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); atau
f. Tidak menyediakan dana yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1).
(2) Total sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak sebesar Rp20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) per Bank dalam 1
(satu) bulan.
(3) Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000 (lima juta
rupiah) untuk masing-masing pelanggaran di bawah ini :
a. Data gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4);
b. Kebenaran angka NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5);
c. Batas paling banyak dari nilai nominal underlying sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (6);
d. Tidak memiliki surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (8); atau
e. Melakukan perbaikan atas data setelah window time tutup sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6
per underlying, per Korporasi Domestik, atau instansi pemerintah.
Pasal 10
Bank Indonesia berwenang meniadakan window pengajuan kebutuhan Valas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sewaktu-waktu dengan pengumuman
melalui reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat pukul 10.00 WIB pada
hari yang sama dengan peniadaan window.
Pasal …
-9-
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 148
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 22 /PBI/2008
TENTANG
PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK
MELALUI BANK
I. UMUM
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan tekanan yang
besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, khususnya tekanan terhadap nilai
tukar rupiah. Sebagai lembaga yang memiliki tugas utama mencapai dan
memelihara kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia berupaya mengurangi
tekanan tersebut dengan memberikan kepastian tersedianya valuta asing bagi
korporasi domestik untuk mendukung kegiatan yang produktif di sektor riil. Hal
tersebut juga diimbangi dengan upaya untuk tetap meminimalkan transaksi valuta
asing yang bersifat spekulatif. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat
membantu mengurangi tekanan terhadap nilai rupiah sehingga memberikan
kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-2-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas
maksimum pemberian kredit (BMPK).
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Keperluan lain meliputi kebutuhan instansi pemerintah dan
kebutuhan penyelenggaran ibadah haji.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal …
-3-
Pasal 5
Ayat (1)
Pengajuan kebutuhan Valas kepada Bank Indonesia didahului dengan
Nomor Referensi.
Ayat (2)
Kurs pasar tertinggi diperoleh dari berbagai sumber antara lain dari
perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan Valuta Asing.
Ayat (3)
Pengumuman kurs FX Spot dilakukan melalui reuters, bloomberg, atau
sarana komunikasi lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nomor Referensi terdiri dari 8 digit yang merupakan kombinasi dari
kode jenis transaksi menurut jenis underlying:
U = utang
I = impor
L = lainnya
+ 3 digit nomor kode Bank menurut LHBU + 4 digit
nomor urut dokumen
Misal : Bank Mandiri
Bank BRI
Bank BNI
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat …
: U0080001
: I0020001
: L0090001
-4-
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Jangka waktu penatausahaan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen
perusahaan.
Ayat (10)
Yang dimaksud dengan 25% dari modal bank dalam periode settlement
adalah jumlah transaksi Bank dengan Bank Indonesia sampai dengan
tanggal valuta.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 6
Perbaikan data dilakukan melalui Reuters Monitoring Dealing System.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal …
-5-
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4906
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/22/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK </reg_title>
<set_date> 15 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 15 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 15 Oktober 2008 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/38/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004
TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN
PENETAPAN STATUS BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-
Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang antara
lain mengatur fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk
melaksanakan penyelamatan dan likuidasi bank, diperlukan
penyempurnaan mekanisme langkah-langkah tindak lanjut
pengawasan dan penetapan status bank;
b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor …
- 2 -
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004
tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4378) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 2 diubah dan ditambah dengan 1 (satu) ketentuan
baru yaitu angka 3, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Komite Koordinasi adalah Komite Koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 24
Penjamin Simpanan.
Tahun 2004 tentang Lembaga
3. Lembaga
Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (4) dihapus.
3. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 8 dan Pasal 9 menjadi Pasal 8A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A …
- 4 -
Pasal 8A
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan
mengenai
Bank
yang
ditempatkan dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Pemberitahuan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan mengenai kondisi
Bank yang bersangkutan.
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Bank Indonesia mengumumkan Bank
yang
ditempatkan
dalam
pengawasan khusus yang:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama
dengan atau kurang dari 6% (enam perseratus);
b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari
6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan
tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan;
c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari
6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan
tidak melaksanakan rencana perbaikan permodalan;
d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari
6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan
Bank Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan
permodalan; dan atau
e. diberikan …
- 5 -
e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pengumuman tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7.
(3) Bank Indonesia mengumumkan pula:
a. Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d yang
telah melaksanakan
tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7; dan atau
b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e,
yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sebesar 8% (delapan perseratus) atau lebih, dan atau memiliki
rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah sebesar rasio yang ditetapkan
untuk Giro Wajib Minimum Bank atau lebih.
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Dalam hal permasalahan Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditengarai berdampak sistemik,
selain Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A, Bank Indonesia juga meminta
Komite Koordinasi untuk melaksanakan rapat guna memutuskan Bank yang
bersangkutan berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik.
6. Ketentuan …
- 6 -
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
Dalam hal Komite Koordinasi telah menetapkan Bank yang ditempatkan
dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebagai
Bank berdampak sistemik dan Bank yang bersangkutan memenuhi kriteria:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui
namun kondisi Bank menurun dengan cepat; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang
dari 8% (delapan
perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan; atau
c. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui
namun jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat yang diterima oleh
Bank telah jatuh tempo dan tidak dapat dilunasi,
Bank Indonesia meminta Komite Koordinasi untuk melaksanakan rapat guna
memutuskan langkah-langkah penanganan Bank dimaksud.
7. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Bank dan atau pemegang saham dari Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan oleh Komite
Koordinasi dalam penanganan permasalahan Bank yang bersangkutan.
8. Judul Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK
9. Ketentuan …
- 7 -
9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Dalam hal Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus yang tidak
berdampak sistemik memenuhi kriteria:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui,
namun kondisi Bank menurun sehingga:
1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari
2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8%
(delapan perseratus); atau
2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0%
(nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang
berlaku; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan
perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan,
Bank Indonesia memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan
meminta keputusan Lembaga
Penjamin
Simpanan
untuk melakukan
penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank yang
bersangkutan.
10. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak
melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Bank Indonesia melakukan pencabutan izin usaha Bank yang
bersangkutan setelah memperoleh
Penjamin Simpanan.
pemberitahuan dari Lembaga
(2) Penyelesaian …
- 8 -
(2) Penyelesaian lebih lanjut Bank yang telah dicabut izin usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 10 Oktober 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 93
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/38/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004
TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN
PENETAPAN STATUS BANK
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 8A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4 …
- 2 -
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan
Bank Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik
terhadap pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi
Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia
dengan alamat http://www.bi.go.id
Huruf a sampai dengan huruf d
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum
ketentuan Bank Indonesia tentang
(KPMM) didasarkan atas
Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang
berlaku.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia
dengan alamat http://www.bi.go.id.
Ketentuan …
- 3 -
Ketentuan mengenai rasio Giro
Wajib Minimum
didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum yang berlaku.
Angka 5
Pasal 10
Dampak sistemik adalah skala dan dimensi permasalahan yang
ditimbulkan Bank tersebut yang dapat menyebabkan kegagalan
sejumlah bank lain sehingga dapat menyebabkan hilangnya
kepercayaan terhadap sistem perbankan dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.
Angka 6
Pasal 11
Huruf a dan huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”fasilitas pembiayaan darurat”
adalah fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Pengertian jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat
termasuk pula perpanjangannya.
Angka 7
Pasal 12
Kecuali ditetapkan lain, langkah-langkah penanganan yang
ditetapkan Komite Koordinasi tidak menghilangkan kewajiban
Bank …
- 4 -
Bank untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan
bagi Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2).
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 13
Mekanisme
pemberitahuan kepada Lembaga
Penjamin
Simpanan dan batas waktu pengambilan keputusan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan akan dituangkan dalam
kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dengan Lembaga
Penjamin Simpanan.
Angka 10
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelesaian yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan meliputi antara lain pembayaran klaim
penjaminan simpanan dan likuidasi.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4539
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/38/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/9/PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK </reg_title>
<set_date> 10 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 10 Oktober 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/9/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/ 12 /PBI/2016
TENTANG
OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai tujuan Bank Indonesia yakni
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter,
Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter
antara lain melalui pelaksanaan operasi moneter;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaan operasi moneter perlu didukung dengan
ketersediaan informasi terkait pasar keuangan;
pertimbangan
d. bahwa berdasarkan
dimaksud
dalam
huruf a, huruf
sebagaimana
b, dan
huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia tentang Operasi Moneter;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
-2-
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
MONETER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia dalam rangka pengelolaan moneter
melalui OPT dan koridor suku bunga (Standing Facilities).
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan pasar valuta
asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang
selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan
penyediaan dana Rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah
(deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam
rangka Operasi Moneter.
-3-
5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di
pasar uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter.
6.
7.
Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar
uang Rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan
utang berjangka waktu pendek.
8.
Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-Bank.
9. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah
Negara.
10. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing
yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Surat Utang Negara.
11. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara,
adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN baik
dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
12. Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight yang
selanjutnya disebut Suku Bunga PUAB O/N adalah suku
bunga transaksi pinjam meminjam uang dalam mata
uang Rupiah antar-Bank yang berjangka waktu 1 (satu)
hari (overnight).
-4-
BAB II
TUJUAN OPERASI MONETER
Pasal 2
(1) Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung
pencapaian stabilitas moneter.
(2) Dalam rangka mencapai stabilitas moneter, Operasi
Moneter diarahkan untuk mengendalikan Suku Bunga
PUAB O/N dan menjaga stabilitas nilai tukar.
(3) Suku Bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikendalikan agar bergerak di sekitar suku bunga
kebijakan Bank Indonesia.
(4) Nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijaga
agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar
fundamental.
(5) Suku bunga kebijakan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah Bank Indonesia 7-day
Reverse Repo Rate (BI 7-day Repo Rate).
Pasal 3
Operasi Moneter dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta
asing secara terintegrasi.
Pasal 4
(1) Untuk mengendalikan Suku Bunga PUAB O/N
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dilakukan
pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah dengan cara
Absorpsi Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas.
(2) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan intervensi
dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing.
-5-
BAB III
PELAKSANAAN OPERASI MONETER
Bagian Kesatu
Bentuk Operasi Moneter
Pasal 5
Operasi Moneter dilakukan dengan:
a. OPT; dan
b. Standing Facilities.
Bagian Kedua
Operasi Pasar Terbuka
Pasal 6
Kegiatan OPT meliputi:
a. penerbitan SBI dan SDBI;
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo
surat berharga;
c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara
outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam Rupiah;
e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing;
f.
jual beli valuta asing terhadap Rupiah; dan
g. transaksi lainnya baik di pasar uang Rupiah maupun
valuta asing.
Pasal 7
(1) OPT dapat dilaksanakan setiap hari kerja.
(2) Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang
dan/atau nonlelang.
-6-
Pasal 8
(1) Penempatan berjangka (term deposit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dan huruf e dapat
dicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelum jatuh
waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan
tertentu.
(2) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dapat
dialihkan oleh peserta Operasi Moneter menjadi transaksi
swap jual valuta asing terhadap Rupiah Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dapat
menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan
yang wajib dipelihara peserta Operasi Moneter pada akhir
hari kerja.
(2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta
asing yang menjadi pengurang posisi devisa neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi
sebesar nilai yang terendah dari:
a. nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada
akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum
dikurangi dengan penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing;
b. nilai penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing; atau
c. 5% (lima persen) dari modal peserta Operasi
Moneter.
(3) Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian
posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari
kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka
(term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang.
-7-
(4) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka
penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa
neto.
Pasal 10
Dalam kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga
milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Standing Facilities
Pasal 11
(1) Standing Facilities meliputi:
a. penyediaan dana Rupiah (lending facility); dan
b. penempatan dana Rupiah (deposit facility).
(2) Standing Facilities memiliki jangka waktu 1 (satu) hari
kerja.
Pasal 12
(1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap hari
kerja.
(2) Pelaksanaan Standing Facilities dilakukan melalui
mekanisme nonlelang.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Operasi
Moneter diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
-8-
BAB IV
SERTIFIKAT BANK INDONESIA DAN SERTIFIKAT DEPOSITO
BANK INDONESIA
Pasal 14
(1) SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan
d. dapat dipindahtangankan (negotiable).
(2) SDBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan
e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar-
Bank.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI dalam
suatu sistem penatausahaan secara elektronis (book
entry registry) di Bank Indonesia.
-9-
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem
penyelesaian transaksi dan pencatatan kepemilikan SBI
dan SDBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa
warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang
ditetapkan Bank Indonesia dan/atau menghentikan
kegiatan usahanya, Bank Indonesia mencabut
penunjukan yang telah ditetapkan.
Pasal 16
(1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik
SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang
dimilikinya dengan pihak lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
berlaku untuk transaksi SBI yang dilakukan peserta
Operasi Moneter dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (4), wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 17
(1) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak
selain Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk transaksi SDBI yang dilakukan Bank
dengan Bank Indonesia.
-10-
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SDBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4), wajib menatausahakan SDBI milik
nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Lembaga perantara wajib melakukan transaksi SDBI atas
nama nasabahnya dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain Bank, Bank
Indonesia melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu
(early redemption) tanpa persetujuan pemilik SDBI.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia melunasi SBI dan SDBI pada saat jatuh
waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI dan SDBI sebelum
jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBI dan SDBI.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai SBI dan SDBI diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PESERTA OPERASI MONETER DAN LEMBAGA PERANTARA
Pasal 20
(1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas:
a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank.
(2) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung
dan/atau tidak langsung melalui lembaga perantara.
(3) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi
Moneter.
-11-
(4) Peserta Standing Facilities hanya dapat mengikuti
Standing Facilities secara langsung.
(5) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta
Operasi Moneter dan lembaga perantara.
Pasal 21
(1) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara
bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
transaksi yang diajukan.
(2) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara yang
telah mengajukan penawaran transaksi dilarang
membatalkan penawaran transaksinya.
(3) Peserta Operasi Moneter dan lembaga perantara harus
memenuhi tata cara pengajuan penawaran transaksi dan
persyaratan dalam transaksi Operasi Moneter yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan lembaga
perantara tidak memenuhi tata cara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penawaran transaksi yang telah
diajukan ditolak dan/atau tidak diproses oleh Bank
Indonesia.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai peserta Operasi Moneter dan
lembaga perantara diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB VI
PENYELESAIAN TRANSAKSI OPERASI MONETER
Pasal 23
(1) Peserta Operasi Moneter harus memiliki:
a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan
b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam
hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi
OPT di pasar valuta asing.
-12-
(2) Peserta Operasi Moneter harus memiliki rekening surat
berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga
kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi
Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening
giro Rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga
yang cukup di rekening surat berharga di Bank Indonesia
atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran pada tanggal penyelesaian transaksi.
(4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi OPT di
pasar valuta asing wajib menyediakan dana yang cukup
di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau
melakukan transfer dana dalam valuta asing yang cukup
ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden untuk
penyelesaian transaksi.
(5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan
dinyatakan batal.
(6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka
transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan:
a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing;
b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian
transaksi, untuk transaksi OPT di pasar valuta asing
selain transaksi penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
Pasal 24
Dalam rangka penyelesaian transaksi Operasi Moneter, Bank
Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro di
Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank
Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta
Operasi Moneter.
-13-
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
Operasi Moneter diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
PEMANTAUAN PASAR KEUANGAN
Pasal 26
(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Operasi Moneter,
Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar
keuangan.
(2) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain mencakup pemantauan pasar
uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN.
(3) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui monitoring transaksi
secara langsung atau secara tidak langsung.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 27
(1) Peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) sehingga
menyebabkan batalnya transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (5), dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi Operasi Moneter
yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan nilai
transaksi pada saat first leg, baik untuk transaksi
Operasi Moneter yang batal pada saat first leg maupun
second leg.
-14-
(3) Peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) sehingga
menyebabkan batalnya transaksi penempatan berjangka
(term deposit) dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (6) huruf a, dikenakan sanksi
berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah
margin sebesar 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu
per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan
berjangka (term deposit) dalam Dolar Amerika
Serikat;
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral
atau otoritas moneter di negara valuta yang
bersangkutan (official rate) yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah
margin sebesar 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu
per tiga ratus enam puluh), untuk penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing
non-Dolar Amerika Serikat.
(4) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3),
peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan
Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-
turut.
(5) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk transaksi
repo lending facility peserta Operasi Moneter yang berasal
dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari yang tidak
lunas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari.
-15-
(6) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
Pasal 28
(1) Peserta Operasi Moneter yang melakukan transaksi OPT
di pasar valuta asing selain penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(4), wajib membayar nilai transaksi yang bersangkutan
pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6)
huruf b.
(2) Peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing Dolar Amerika Serikat.
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di negara
valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing non-Dolar Amerika Serikat; atau
-16-
3. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia
yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga
ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam Rupiah.
(3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebet rekening giro valuta asing
peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta
asing Dolar Amerika Serikat dan valuta asing non-
Dolar Amerika Serikat.
b. Perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta asing non-Dolar Amerika Serikat
sebagaimana dimaksud
dalam
huruf a
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada
tanggal penyelesaian transaksi.
c. Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah
peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran peserta Operasi
Moneter dalam Rupiah.
(4) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
Pasal 29
Pemilik SBI yang merupakan peserta Operasi Moneter yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi
persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar
-17-
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per hari.
Pasal 30
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk
untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3),
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi
persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per hari.
Pasal 31
Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasan dan/atau
larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta
Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau
ketentuan yang mengatur mengenai pengaturan dan
pengawasan makroprudensial.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
dan perubahan besaran margin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (6) dan Pasal 28 ayat (5) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
-18-
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5141);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/5/PBI/2012 tanggal
8 Juni 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5321);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 tanggal
27 Agustus 2013 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5440); dan
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/20/PBI/2015
tanggal 12 November 2015 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 275, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5764),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 19
Agustus 2016.
-19-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 172
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/ 12 / PBI/ 2016
TENTANG
OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara
jelas mandat Bank Indonesia yaitu bahwa tujuan Bank Indonesia adalah
menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi
tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan
pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter
yang terintegrasi dengan kebijakan makroprudensial serta kebijakan
sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah.
Pengendalian moneter dimaksud dilakukan antara lain dengan
pengelolaan moneter melalui Operasi Moneter yang bersifat Absorpsi
Likuiditas dan/atau Injeksi Likuiditas. Pengelolaan moneter tersebut
dilakukan melalui OPT baik di pasar uang maupun pasar valuta asing
secara terintegrasi. Untuk mendukung pelaksanaan Operasi Moneter,
Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan antara lain
melalui monitoring transaksi di pasar uang, pasar valuta asing, dan
pasar SBN.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu
kondisi dimana inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya
dan nilai tukar bergerak stabil sejalan dengan kondisi
fundamental perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “nilai tukar fundamental” adalah nilai
tukar yang mencerminkan keseimbangan ekonomi eksternal dan
ekonomi internal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah meliputi
transaksi dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar di pasar
valuta asing.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI dan SDBI” adalah
penjualan SBI dan SDBI oleh Bank Indonesia di pasar perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)”
adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta Operasi
Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian
kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh peserta Operasi Moneter dari
Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh
peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SDBI, SBN,
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan penjualan
surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan
penjualan surat berharga secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)”
adalah penempatan dana milik peserta Operasi Moneter secara
berjangka di Bank Indonesia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)”
adalah penempatan dana milik peserta Operasi Moneter secara
berjangka di Bank Indonesia
Huruf f
Jual beli valuta asing terhadap Rupiah dilakukan antara lain
dalam bentuk spot, forward, dan swap.
- 4 -
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk
dalam pengertian transaksi spot adalah transaksi dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan
penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran
valuta asing terhadap Rupiah melalui pembelian atau penjualan
tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan
counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Transaksi swap
dengan metode lelang yang dilakukan antara Bank dengan Bank
Indonesia dapat dianggap sebagai penerusan (pass on) posisi
transaksi derivatif Bank dengan pihak terkait Bank.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
Ayat (2)
Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap
(fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable
rate tender).
Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank
Indonesia dengan peserta Operasi Moneter.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (2)
Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing terhadap
Rupiah Bank Indonesia” adalah transaksi beli valuta asing oleh
Bank Indonesia melalui pembelian tunai (spot), dengan diikuti
transaksi penjualan kembali valuta asing oleh Bank Indonesia
secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama pada tingkat harga yang dibuat
dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “posisi devisa neto” adalah posisi devisa
neto sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai posisi devisa neto bank umum.
Ayat (2)
Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto peserta
Operasi Moneter yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka
(term deposit) dalam valuta asing adalah sebagai berikut:
dalam juta Rupiah
No Modal*
PDN sebelum TD
Valas
a
Absolut
PDN
b
Rasio
PDN
c
c = b/a
1 200.000 30.000 15% 35.000
2 200.000 30.000 15% 5.000
6.000
3 200.000
*)
**)
3% 6.000
TD
Valas
d
TD Valas sebagai
Pengurang PDN
TD Valas
≤ PDN
e
d ≤ b
30.000
5.000
6.000
TD Valas ≤
5% Modal
f
d ≤ 5% x a
10.000
10.000
10.000
6.000
Maksimum
TD Valas
Pengurang
PDN
g**
PDN Sesudah
TD Valas
Absolut
PDN
h
Rasio
PDN
i
h = b-g i = h/a
10.000 20.000 10%
5.000 25.000 12,5%
0
0%
Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
posisi devisa neto bank umum
Nilai maksimum TD Valas pengurang PDN (kolom g) adalah yang memenuhi syarat TD Valas
≤ PDN (kolom e) dan TD ≤ 5% dari modal (kolom f)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum.
- 6 -
Ayat (3)
Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada
akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan
berjangka (term deposit) dalam valuta asing sebagai pengurang
merupakan tambahan dari kewajiban pelaporan posisi devisa
neto melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia
dalam kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank
Indonesia dan pemilik surat berharga.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Penyediaan dana Rupiah (lending facility) dilakukan melalui
mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga
yaitu SBI, SDBI, SBN, dan/atau surat berharga lain yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Penempatan dana Rupiah (deposit facility) dilakukan tanpa
penerbitan surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia.
Ayat (2)
Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan Bank.
- 7 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBI dan bukti kepemilikan
bagi pemegang SBI berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar
sekunder antara lain secara outright, hibah, repurchase
agreement (repo), atau dijadikan agunan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SDBI dan bukti kepemilikan
bagi pemegang SDBI berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
SDBI dapat dipindahtangankan antar-Bank melalui
perdagangan di pasar sekunder antara lain secara outright,
hibah, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 8 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain adalah Sub-
Registry.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Transaksi SBI dengan pihak lain antara lain mencakup
transaksi repurchase agreement (repo), penjualan secara outright,
pinjam meminjam, hibah, dan pengagunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Transaksi SDBI antara lain mencakup transaksi jual/beli secara
outright, pinjam meminjam, memberi/menerima hibah,
repurchase agreement
agunan/menerima agunan.
(repo), atau memberikan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelunasan SBI dan SDBI sebelum jatuh waktu dilakukan atas
inisiatif Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan terkait
strategi pengelolaan moneter.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan
hukum nonbank dan badan lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT antara lain
sebagai agent bank dan/atau dealer utama (primary dealer).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran transaksi”
adalah Bank menarik kembali penawaran transaksi yang telah
diajukan.
- 10 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyediaan dana di rekening giro Rupiah di Bank Indonesia
berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam Rupiah.
Penyelesaian transaksi dalam valuta asing dilakukan dengan
melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank
Indonesia di bank koresponden yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Monitoring transaksi secara langsung dilakukan melalui
interaksi dengan pelaku pasar.
Monitoring transaksi secara tidak langsung dilakukan
melalui pemanfaatan berbagai informasi dan data pasar yang
tersedia dalam sistem yang khusus dibangun untuk
pemantauan atau dalam media lainnya.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi
repurchase agreement (repo) dan reverse repo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5919
- 13 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/12/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 10 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 19 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 15 Agustus 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '15/5/PBI/2013', '17/20/PBI/2015', '14/5/PBI/2012', '12/11/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/Perppu/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/4/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS P ERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014
TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam implementasi ketentuan yang mengatur
mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam
pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank
khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap
perusahaan pembiayaan perlu dilakukan harmonisasi
pengaturan antar otoritas dengan tetap mengedepankan
prinsip kehati-hatian;
b. bahwa diperlukan dukungan atas kegiatan pembiayaan
dan pengembangan ekspor Indonesia khususnya yang
dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
c. bahwa
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-
hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Nonbank;
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014
TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI
NONBANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian
dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
394, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5651) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum
Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi:
a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan
untuk menggantikan ULN sebelumnya
(refinancing);
b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan
- 3 -
proyek infrastruktur yang bersumber dari:
1.
(bilateral
multilateral);
2.
pinjaman sindikasi dengan kontribusi
kreditor lembaga internasional (bilateral
atau multilateral) lebih besar dari 50%
(lima puluh persen);
c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan
proyek infrastruktur pemerintah baik pusat
maupun daerah;
d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh
lembaga internasional (bilateral atau
multilateral);
e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang
dagang (trade credit);
f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang
lainnya (other loans);
g. ULN dalam Valuta Asing perusahaan
pembiayaan sepanjang:
1.
memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan
minimum “Sehat” yang terakhir
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK); dan
2.
memenuhi gearing ratio maksimum
sebagaimana diatur oleh OJK; atau
h. ULN dalam Valuta Asing Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
(2) ULN dalam Valuta Asing yang merupakan
refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a hanya dapat dikecualikan sepanjang tidak
menambah jumlah (outstanding) utang atau
penambahannya tidak lebih dari nilai tertentu
(threshold).
(3) Bank Indonesia menetapkan besaran nilai
tertentu (threshold) atas penambahan jumlah
(outstanding) utang pada ULN refinancing yang
seluruhnya dari kreditor lembaga
internasional
atau
- 4 -
dikecualikan dari pemenuhan ketentuan
minimum Peringkat Utang (Credit Rating)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan proyek
infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c, lembaga internasional
(bilateral atau multilateral) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d, ULN
refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dan besaran nilai tertentu (threshold) atas
penambahan jumlah (outstanding) utang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 74
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/4/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014
TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
I. UMUM
Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber pembiayaan
pembangunan Indonesia. ULN ini digunakan untuk menutup
kesenjangan antara investasi dan tabungan dalam negeri (saving-
investment gap) sehingga memberikan manfaat bagi perekonomian.
Dalam perkembangan terakhir, otoritas yang mengatur dan
mengawasi perusahaan pembiayaan telah mengeluarkan ketentuan yang
memiliki tujuan yang selaras dengan ketentuan ini, yaitu pengelolaan
risiko ULN perusahaan pembiayaan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia memandang perlu dilakukan harmonisasi pengaturan antar
otoritas dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Selain itu, dalam kondisi perekonomian yang semakin menantang
saat ini, Bank Indonesia berupaya untuk memberikan dukungan atas
kegiatan pembiayaan dan pengembangan ekspor Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 7
- 2 -
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Korporasi Nonbank memperoleh utang
luar negeri dari sindikasi untuk pembiayaan
proyek infrastruktur, Korporasi Nonbank
tersebut tidak wajib memenuhi ketentuan
minimum Peringkat Utang (Credit Rating)
sepanjang keikutsertaan
internasional (bilateral atau multilateral) pada
sindikasi tersebut lebih besar dari 50% (lima
puluh persen).
Pengecualian terkait pembiayaan proyek
infrastruktur tersebut sebagai upaya mendukung
pengembangan infrastruktur di dalam negeri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur
pemerintah baik pusat maupun daerah” adalah
proyek-proyek yang sudah dicantumkan dalam
dokumen perencanaan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade
credit)” adalah utang yang timbul dalam rangka
kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas
transaksi barang dan/atau jasa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “utang lainnya (other
loans)” adalah seluruh utang yang tidak termasuk
utang berdasarkan perjanjian kredit (loan
agreement), surat utang (debt securities), dan
utang dagang (trade credit) antara lain berupa
pembayaran klaim asuransi dan dividen yang
sudah ditetapkan namun belum dibayar.
kreditor lembaga
- 3 -
Huruf g
Yang dimaksud “perusahaan pembiayaan” adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang dan jasa.
Huruf h
Yang dimaksud “Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia” adalah lembaga yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
melakukan kegiatan Pembiayaan Ekspor Nasional
dalam bentuk Pembiayaan, Penjaminan, dan/atau
Asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5874
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/04/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title>
<set_date> 21 April 2016 </set_date>
<effective_date> 22 April 2016 </effective_date>
<issued_date> 22 April 2016 </issued_date>
<changed_reg> '16/21/PBI/2014' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 5 /PBI/2002
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS
PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN
PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU)
SERI “PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN EMISI 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka memperingati satu abad kelahiran Bung
Hatta Proklamator Republik Indonesia, Bank Indonesia
memandang perlu untuk berpartisipasi dengan cara
menerbitkan Uang Rupiah Khusus seri “Peringatan Satu
Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002;
b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia
mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus
pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua
puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta”
tahun emisi 2002;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
mengatur pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus
pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua
puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta”
tahun emisi 2002 dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/12/PBI/1999 tanggal 29
Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus
(Commemorative), (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3921);
3. Peraturan …
- 2 -
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20
Juli 2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta
Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3983);
Memperhatikan
Menetapkan
: Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 11 Juli 2002;
MEMUTUSKAN :
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN
PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI
“PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN
EMISI 2002.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan
500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan
Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002 sebagai alat pembayaran yang sah di
wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Nilai Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000
(dua puluh lima ribu) seri “Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebesar nilai nominal Uang Rupiah
Khusus tersebut.
Pasal 2
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah
terbatas dan dicetak di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 adalah :
A. Pecahan 500.000 (Lima Ratus Ribu)
1. Bahan
2. Kadar
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
:
:
:
:
1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA” di bagian atas
3). Logo Panitia Peringatan Satu Abad Bung Hatta di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun emisi “2002” di bagian tengah sisi kanan
b. Sisi Belakang
:
1). Gambar utama Bung Hatta Proklamator RI
2). Teks “SATU ABAD BUNG HATTA (1902-2002)” di bagian atas
3). Nilai nominal “Rp 500000” di bagian bawah
c. Sisi Samping
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
2. Kadar
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA” di bagian atas
3). Logo Panitia Peringatan Satu Abad Bung Hatta di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun emisi “2002” di bagian tengah sisi kanan
Bergerigi 140
Kuning Emas
Bulat (lingkaran)
28,00 mm
15,00 gram
Proof
B. Pecahan 25.000 (Dua Puluh Lima Ribu)
1. Bahan
Logam Perak
0,9995
Logam Emas
0,9990
b. Sisi Belakang …
- 4 -
b. Sisi Belakang
:
1). Gambar utama Bung Hatta Proklamator RI
2). Teks “SATU ABAD BUNG HATTA (1902-2002)” di bagian atas
3). Nilai nominal “Rp 25000” di bagian bawah
c. Sisi Samping
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
:
:
:
:
:
:
Bergerigi 150
Putih Perak
Bulat (lingkaran)
38,61 mm
28,29 gram
Proof
Pasal 4
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 12 Agustus 2002.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 86
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/5/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN SATU ABAD BUNG HATTA” TAHUN EMISI 2002 </reg_title>
<set_date> 8 Agustus 2002 </set_date>
<effective_date> 8 Agustus 2002 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
|
Diubah dengan PBI No. 3/14/PBI/2001 tanggal 20 September 2001
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/12/PBI/2000
TENTANG
JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi
nasional khususnya kegiatan restrukturisasi pinjaman
luar negeri, Bank Indonesia untuk dan atas nama
Pemerintah telah memutuskan memberikan jaminan
terhadap pinjaman luar negeri antar bank;
b. bahwa penjaminan tersebut diberikan dengan tujuan
untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran dan
untuk memulihkan kembali kepercayaan perbankan
internasional kepada perbankan di Indonesia;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan tentang Jaminan Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182
Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
1999 Nomor 66, Tambahan
3. Undang . . .
3.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
Memperhatikan :
Kesepakatan Bersama antara Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia tanggal 3 Mei 2000 tentang
Jaminan atas Pembiayaan Perdagangan Internasional dan
Pinjaman Luar Negeri Antar Bank;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR
BANK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi yang telah
menandatangani Master Loan Agreement sebagaimana tercantum dalam
lampiran 1.
2. Kreditur adalah bank atau lembaga keuangan pemberi pinjaman
sebagaimana diatur dalam Master Loan Agreement.
3. Master Loan Agreement untuk selanjutnya disebut MLA adalah Naskah
Perjanjian Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang ditandatangani pada
tanggal 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999 oleh Bank Indonesia sebagai
penjamin, Bank, Kreditur, Syndicate Agents, Calculation Agent dan
Exchange Agent.
4. Pinjaman …..
4. Pinjaman Luar Negeri Antar Bank adalah kewajiban Bank terhadap
Kreditur yang meliputi simpanan antar bank, pinjaman jangka pendek,
menengah dan panjang serta pinjaman lainnya yang telah dipertukarkan
menjadi pinjaman baru sebagaimana diatur dalam MLA.
5. Syndicate Agents adalah bank -bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan
tercantum dalam MLA untuk mewakili Kreditur dalam menerima
pembayaran yang dilakukan oleh Bank dan atau Bank Indonesia serta
melaksanakan tugas-tugas lain yang ditetapkan dalam MLA.
6. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan
kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin Pinjaman Luar Negeri
Antar Bank dengan menyediakan sejumlah dana di Rekening Pemerintah
di Bank Indonesia, dan memberikan kuasa pendebetan terhadap rekening
tersebut;
7. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka
guna memberikan Counter Guaranty untuk menjamin Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank, dalam Rupiah nomor 519.000110 dengan nama
“Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”.
Pasal 2
Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah memberikan jaminan atas
Pinjaman Luar Negeri Antar Bank berdasarkan MLA dan Counter Guaranty
dari Menteri Keuangan.
BAB II . . .
BAB II
JAMINAN DALAM RANGKA
PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
Pasal 3
(1) Jaminan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan
kepada Kreditur dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajibannya
maksimal sebesar pokok dan bunga Pinjaman Luar Negeri Antar Bank
serta biaya-biaya lain sebagaimana diatur dalam MLA.
(2) Jaminan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sesuai dengan jangka waktu angsuran Pinjaman Luar Negeri Antar Bank
yaitu 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat), 5 (lima) dan 6 (enam) tahun
sejak pinjaman dipertukarkan menjadi pinjaman baru.
BAB III
PROSEDUR JAMINAN
PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
Pasal 4
(1) Dalam rangka pelaksanaan Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank,
Bank wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai kesanggupan
atau ketidaksanggupan membayar bunga dan atau pokok pinjaman serta
biaya-biaya lain sesuai tagihan dari Syndicate Agents.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia cq. :
a. Direktorat
Perizinan dan Informasi Perbankan,
Gedung
Lt.6, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10010, Telepon 381-7405/7775,
Facsimili 23116727;
b. Direktorat . . .
Tipikal
b Direktorat Luar Negeri, Gedung B Lt. 5, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta
10010, Telepon 381-8303/8308,
Facsimili 3501950
sebagai
tembusan, selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum
kewajiban jatuh tempo dengan menggunakan format sebagaimana
contoh Lampiran 2.
(3) Dalam hal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan Bank tidak sanggup membayar, maka pemberitahuan
ketidaksanggupan membayar yang meliputi kewajiban bunga dan atau
pokok pinjaman serta biaya-biaya
pada ayat (1) disampaikan dengan dilampiri :
lainnya
sebagaimana
dimaksud
a. Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar (contoh lampiran 3);
b. Akta Pengakuan Utang (contoh lampiran 4);
c. Surat Sanggup yang nilainya setara dengan nilai utang Bank (contoh
lampiran 5);
Pasal 5
(1) Jangka waktu Surat Sanggup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf c ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pembayaran
kepada Kreditur, dengan suku bunga sebesar 125 % (seratus dua puluh
lima per seratus) dari suku bunga SBI 3 (tiga) bulan yang berlaku pada
saat pembayaran kepada Kreditur per tahun flat.
(2) Biaya pembuatan Akta Pengakuan Utang dan biaya-biaya lainnya yang
timbul menjadi beban Bank .
BAB IV
PROSEDUR PEMBAYARAN KEPADA KREDITUR
Pasal 6
(1) Bank Indonesia akan melakukan pembayaran bunga dan atau pokok
pinjaman serta biaya-biaya lain sesuai tagihan dari Syndicate Agents
setelah Bank menyerahkan secara lengkap dokumen yang dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3).
(2) Dalam . . .
(2) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor
pusat Bank di Bank Indonesia mencukupi, pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan Bank Indonesia dengan
membebani rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat
Bank tersebut.
(3) Atas pembayaran dengan membebani rekening giro US Dollar dan atau
Rupiah kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia mengembalikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) kepada Bank.
(4) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor
pusat Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi, Bank Indonesia
melakukan pembayaran kepada Kreditur dengan cara membebani
Rekening Pemerintah.
(5) Pembayaran dengan cara membebani Rekening Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menjadi utang Bank dalam valuta Rupiah kepada
Pemerintah.
(6) Pembayaran dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau pembayaran dengan membebani
Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dengan menggunakan kurs jual – kurs transaksi Bank Indonesia 2 (dua)
hari kerja sebelum tanggal valuta pembayaran.
BAB V
PEMBAYARAN KEPADA PEMERINTAH
Pasal 7
Pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, Bank wajib melakukan pembayaran
dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia.
BAB VI . . .
BAB VI
PROSEDUR PERMOHONAN DAN PEMBAYARAN
UNTUK BANK BEKU KEGIATAN USAHA
Pasal 8
(1) Bagi bank yang dibekukan kegiatan usahanya (BBKU) dalam masa
penjaminan, maka permohonan untuk melakukan pembayaran kepada
Kreditur diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
dengan menyebutkan rekening yang akan dibebankan.
(2) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
selambat-lambatnya 8 (delapan) hari kerja sebelum jatuh tempo
pembayaran tanpa melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
BAB VII
PELAPORAN BANK KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 9
(1) Bank wajib menyampaikan laporan semua kewajiban pembayaran yang
telah dilakukan kepada Syndicate Agents sebagaimana diatur dalam MLA
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah akhir bulan pelaksanaan pembayaran
bunga dan atau pokok pinjaman yang bersangkutan, dengan menggunakan
format sebagaimana contoh Lampiran 6.
BAB VIII…
BAB VIII
BIAYA
Pasal 10
(1) Biaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan MLA dibebankan kepada
Bank secara proporsional sesuai dengan besarnya Pinjaman Luar Negeri
Antar Bank masing-masing Bank yang dijamin Bank Indonesia.
(2) Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara transfer ke rekening Bank Indonesia di luar negeri sesuai
pemberitahuan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud
Indonesia.
(4) Pembayaran dengan mendebet rekening giro Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan kurs jual - kurs
transaksi Bank Indonesia 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta
pembayaran.
pada ayat (2) tidak
diterima Bank Indonesia sesuai waktu yang ditetapkan, Bank Indonesia
akan mendebet
rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank
BAB IX
S A N K S I
Pasal 11
(1) Bank yang menyampaikan pemberitahuan tertulis melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00- (lima juta Rupiah) per hari.
(2) Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan kewajiban pembayaran
melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
9,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta Rupiah) per hari yang dihitung sejak hari keterlambatan sampai
dengan diterimanya laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 12 . . .
Pasal 12
(1) Apabila pada saat jatuh tempo Surat Sanggup Bank tidak melakukan
penyetoran ke Rekening Pemerintah, maka setelah tanggal jatuh tempo
Surat Sanggup Bank Indonesia akan mengenakan sanksi berupa :
a. Peningkatan suku bunga sehingga menjadi 300% (tiga ratus per
seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan
yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, per tahun flat dan
dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup sampai dengan
dilakukannya pembayaran oleh Bank, dan
b. Penghentian kegiatan penerimaan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank
yang baru.
(2) Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Bank belum juga melakukan penyetoran ke
Rekening Pemerintah, maka Bank dikenakan:
a. Sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa, dan
b. Pendebetan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, serta
c. Ketentuan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.1/3/PBI/1999
tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil
Kliring Lokal apabila terjadi saldo negatif.
Pasal 13
Apabila Bank menyalahgunakan fasilitas Penjaminan Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank, Bank dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan
penunjukkan Bank sebagai bank devisa beserta pencantuman dalam Daftar
Orang Tercela (DOT) terhadap pemilik dan atau pengurus Bank yang
bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran.
Pasal 14 . . .
Pasal 14
(1) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) dan (2)
dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro Rupiah
kantor pusat Bank di Bank Indonesia untuk untung Bank Indonesia.
(2) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) dan (2)
dilaksanakan Bank Indonesia untuk untung rekening nomor 502.000000
“Bendahara Umum Negara”.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 31/90/KEP/DIR tanggal 7 September 1998
tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Mei 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 57
DLN
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/12/PBI/2000
TENTANG
JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
UMUM
Dalam rangka mengatasi permasalahan pinjaman luar negeri Bank
sebagai dampak dari krisis perekonomian Indonesia, pada tanggal 4 Juni
1998 Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan perwakilan
perbankan internasional di Frankfurt untuk merestrukturisasi pinjaman luar
negeri Bank melalui program pertukaran pinjaman Bank menjadi pinjaman
baru yang dijamin Bank Indonesia atau dikenal sebagai Program Exchange
Offer.
Melalui Program Exchange Offer diharapkan dapat memberikan
dukungan penting bagi upaya jangka panjang Indonesia untuk
merestrukturisasi sektor perbankan disamping akan memperkuat neraca
pembayaran. Program ini diharapkan juga dapat mendukung kepastian
sumber dana bagi perbankan yang pada gilirannya dapat mendukung
kemampuan bank dalam merestrukturisasi pinjaman yang disalurkan
kepada debitur sektor swasta.
Dalam program Exchange Offer, pinjaman luar negeri Bank yang
jatuh tempo sampai dengan 31 Maret 1999 diperpanjang sampai dengan
tahun 2002 dan pembayarannya dijamin oleh Bank Indonesia berdasarkan
counter guaranty dari Pemerintah. Program ini dilanjutkan dengan Exhange
Offer II melalui kesepakatan London tanggal 29 Maret 1999. Adapun
Master Loan Agreement yang mengatur kedua program tersebut masing-
masing ditandatangani tanggal 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999.
PASAL . . .
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Counter Guaranty Pemerintah diperlukan mengingat atas dasar
Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia tidak dapat memberikan kredit kepada bank kecuali untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang termasuk dalam biaya-biaya lain antara lain adalah denda
keterlambatan pembayaran kepada Kreditur karena bank terlambat
melaksanakan pembayaran kepada Kreditur luar negeri, biaya
Syndicate Agents dan Calculating Agent.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pinjaman dipertukarkan menjadi pinjaman
baru adalah pinjaman-pinjaman yang telah jatuh tempo atau akan
jatuh tempo yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
MLA, yang kemudian disetujui oleh para pihak untuk mengikuti
program jaminan pinjaman luar negeri antar bank sehingga menjadi
pinjaman baru. Pinjaman baru disini artinya adalah bahwa pinjaman
tersebut mempunyai persyaratan baru sesuai yang ditetapkan dalam
MLA.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Asli
Surat
Pengakuan
Utang . . .
Pernyataan
Tidak Sanggup Membayar, Akta
Utang dan Surat Sanggup disampaikan kepada Direktorat Perizinan
dan Informasi Perbankan.
Pasal 5
Ayat (1)
Pengenaan suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima per
seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga)
bulan yang berlaku pada saat pembayaran oleh Bank Indonesia
kepada Kreditur dan dihitung sejak tanggal Bank Indonesia
melakukan pembayaran sampai dengan bank melakukan
penyetoran ke Rekening Pemerintah, per tahun flat.
Rumus penghitungan bunga dalam Rupiah adalah :
Bunga/sanksi = H x M : 360
100
H x M
100
360
P
H
M
P
adalah angka bunga
adalah pembagi tetap
adalah hari bunga
adalah saldo pinjaman Bank kepada Pemerintah
adalah prosentase bunga per tahun
Contoh kasus
Pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur dilakukan pada
tanggal valuta 24 Februari 2000 sebesar USD. 10.000.000,00. Kurs
jual 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta adalah 1 USD. Rp.
7.000.
Penyetoran oleh Bank ke Rekening Pemerintah dilakukan tanggal
10 April 2000. Suku Bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 11
Maret 2000 adalah sebesar 20%.
Perhitungan . . .
P
Perhitungan pengenaan bunga adalah :
Saldo
= 125% x 20 = 25%
= USD. 10.000.000,00 x Rp. 7.000 = Rp.
70.000.000.000,00
Hari Bunga = 24 Februari 2000 sampai 10 April 2000 = 46 hari;
Bunga
Angkabunga=
Hari bunga x saldo = 46 x 70.000.000.000,00
32.200.000.000,00
100
Pembagi tetap = 360
Bunga
Bunga
=
100
360
125% x 20
= angka bunga : pembagi tetap
= 32.200.000.000,00 : 14,40
= 2.236.111.111,11
jadi bunga yang dikenakan oleh Bank Indonesia kepada Bank pada
kasus tersebut sebesar Rp. 2.236.111.111,11.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan saldo rekening giro “mencukupi” adalah
penjumlahan saldo rekening giro dalam Dollar Amerika (USD)
dan/atau Rupiah Kantor Pusat Bank di Bank Indonesia lebih besar
dari kewajiban yang harus dibayar.
Pembebanan rekening giro Dollar Amerika (USD) dan/atau Rupiah
Bank untuk pembayaran kepada Kreditur, tanpa memperhatikan
ketentuan Bank Indonesia lainnya antara lain Giro Wajib Minimum
(GWM) dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) serta
tidak memerlukan Surat Kuasa Pendebetan dari Bank.
Ayat (3) . . .
=
360 = 14,40
25
=
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan saldo rekening giro “tidak mencukupi”
adalah penjumlahan saldo rekening giro dalam Dollar Amerika
(USD) dan/atau Rupiah Kantor Pusat Bank di Bank Indonesia lebih
kecil dari kewajiban yang harus dibayar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk MLA tanggal 18 Agustus 1998, pembayaran bunga pinjaman
jatuh tempo setiap tanggal 25 Februari dan 25 Agustus sedangkan
pembayaran pokok pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 25
Agustus. Untuk MLA tanggal 25 Mei 1999, pembayaran bunga
pinjaman jatuh tempo setiap tanggal 1 Juni dan 1 Desember
sedangkan pembayaran pokok pinjaman jatuh tempo setiap tanggal
1 Juni.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) . . .
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pendebetan rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank
Indonesia dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan Bank
Indonesia antara lain Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak
memerlukan Surat Kuasa Pendebetan dari Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pengenaan sanksi pembebanan suku bunga sebesar 300% (tiga ratus
per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga)
bulan yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, dihitung
sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup Bank sampai dengan Bank
melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, per tahun flat.
Rumus penghitungan bunga dalam Rupiah adalah :
Bunga/sanksi = H x M : 360
100
H x M
100
.
adalah angka bunga
360 . .
P
360
P
H
M
P
adalah pembagi tetap
adalah hari bunga
adalah saldo pinjaman Bank kepada Pemerintah
adalah prosentase bunga per tahun
Contoh kasus
Pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur dilakukan pada
tanggal valuta 24 Februari 2000 sebesar USD. 10.000.000,00. Kurs
jual 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta adalah 1 USD. Rp.
7.000
Jangka waktu Surat Sanggup Bank sampai dengan 24 Mei 2000.
Penyetoran oleh Bank ke Rekening Pemerintah dilakukan tanggal
31 Mei 2000.
Suku Bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 24 Februari 2000
adalah 20% (saat pembayaran oleh Bank Indonesia kepada
Kreditur);
Suku bunga SBI 3 (tiga) bulan pada tanggal 24 Mei 2000 sebesar
18 % (saat jatuh tempo Surat Sanggup).
Pada contoh ini, Bank akan dikenai penghitungan pengenaan bunga
berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan sanksi berdasarkan Pasal 11 ayat
(3) huruf a dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Pengenaan denda berdasarkan Pasal 5 ayat (1) :
Pengenaan bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima
perseratus) dari suku bunga SBI 3 (tiga) bulan yang berlaku
pada saat pembayaran oleh Bank Indonesia kepada Kreditur,
dihitung sejak tanggal pembayaran oleh Bank Indonesia
kepada Kreditur sampai tanggal jatuh tempo Surat Sanggup.
Saldo
= USD. 10.000.000,00 x Rp. 7.000 = Rp.
70.000.000.000,00
Hari Bunga = 24 Februari sampai 24 Mei 2000 = 90 hari;
Bunga
= 125% x 20 = 25%
Angka bunga =
Hari bunga x saldo=90x70.000.000.000,00=
63.000.000.000,00
100
100
Pembagi . . .
Pembagi tetap = 360 =
Bunga
=
=
360
Bunga 125% x 20
=
= 360 = 14,40
25
angka bunga : pembagi tetap
63.000.000.000,00: 14,40
4.375.000.000,00
ditambah dengan:
b. pengenaan sanksi berdasarkan Pasal 12 ayat (1) :
Pengenaan bunga sebesar 300% (tiga ratus per seratus) dari suku
bunga SBI 3 bulan yang berlaku pada saat jatuh waktu Surat
Sanggup, dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup
(dalam kasus ini tanggal 24 Mei 2000) sebesar 18% sampai
dengan Bank melakukan penyetoran kepada Pemerintah.
Saldo
Hari Bunga
Bunga
Angka bunga
= Rp. 70.000.000.000,00
= 24 Mei sampai 31 Mei 2000 = 7 hari;
= 300% x 18 = 54%
=
4.900.000.000,00
Hari bunga x saldo=7
100
Pembagi tetap = 360
6,67
Bunga
Bunga
=
x
100
360
300% x 18
= angka bunga : pembagi tetap
= 4.900.000.000,00 : 6,67
= 734.632.683,70
jadi pengenaan bunga dan sanksi yang akan dikenakan oleh Bank
Indonesia kepada Bank pada kasus tersebut selain pokok
pinjamannnya adalah sebesar Rp 4.375.000.000,00 + Rp
734.632.683,70 = Rp 5.109.632.683,70
Ayat (2)
Pengenaan sanksi berupa pencabutan penunjukkan Bank sebagai
bank devisa, pendebetan saldo rekening giro Bank di Bank
Indonesia dan pengenaan sanksi sesuai ketentuan kliring,
menghilangkan
tidak
kewajiban . . .
70.000.000.000,00=
= 360 =
54
kewajiban Bank untuk membayar sanksi denda yang besarnya dan
cara penghitungannya sama seperti yang diatur pada ayat (1).
Pasal 13
Yang dimaksud penyalahgunaan fasilitas Penjaminan Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank antara lain Bank memberikan keterangan tidak
benar mengenai alasan ketidakmampuan Bank untuk memenuhi
kewajibannya. Penyalahgunaan fasilitas penjaminan diketahui Bank
Indonesia setelah dilakukan pemeriksaan.
Pasal 14
Ayat (1)
Pembebanan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan Bank Indonesia lainnya
antara lain Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak memerlukan
Surat Kuasa Pendebetan dari Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3953
DLN
Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tgl 16 Mei 2000
Lampiran 1
DAFTAR BANK
JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK
Exchange Offer I
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
BPD DKI
BPD Jawa Tengah
Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk.
Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Bank Tabungan Negara (Persero)
Bank Mandiri (Persero)
Bank Arta Graha
Bank Bali Tbk.
Bank Central Asia
Bank Danamon Indonesia, Tbk
Bank Dagang Bali
Bank Finconesia
Bank Inter Pacifik, Tbk.
Bank Internasional Indonesia, Tbk
Jayabank Internasional
Bank Lippo, Tbk.
Bank Multicor
Bank Niaga, Tbk.
Bank NISP Tbk.
Bank Nusa Nasional
Bank Pan Indonesia, Tbk.
Bank Rama
Bank Tamara
Bank Tiara Asia
Bank Universal
Master Loan Agreement
18 Agustus 1998
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
PT.
Exchange Offer II
Master Loan Agreement
25 Mei 1999
Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk.
Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Bank Tabungan Negara (Persero)
Bank Mandiri (Persero)
Bank Bali Tbk.
Bank Central Asia
Bank Danamon Indonesia, Tbk.
Bank Duta Tbk.
Bank Inter Pacific Tbk.
Bank Internasional Indonesia, Tbk.
Bank Merincorp
Bank Niaga, Tbk.
Bank NISP, Tbk.
Bank Ganesha
Bank Pan Indonesia, Tbk.
Bank Tiara Asia, Tbk.
Bank Unibank
Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000
Lampiran 2
Kepada
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
Gedung Tipikal lt. 6,
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 100100
Perihal :
--
Sehubungan dengan kewajiban pembayaran program Exchange
Offer sebesar USD …., jatuh tempo tanggal ……., dengan ini kami menyatakan
sebagai berikut (pilih salah satu (A atau B) sesuai kondisi bank):
(A) Bank kami akan melaksanakan pembayaran pada tanggal …., tanggal valuta
…..
(B) Bank kami tidak sanggup/tidak dapat melaksanakan pembayaran pada tanggal
…., tanggal valuta….. Sehubungan dengan itu, kami mengajukan permohonan
untuk dapat menggunakan penjaminan Bank Indonesia sesuai Peraturan Bank
Indonesia No. 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar
Bank. Untuk keperluan tersebut, terlampir kami sampaikan dokumen sebagai
berikut:
1. Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar
2. Akta Pengakuan Utang
3. Surat Sanggup
Demikian agar maklum.
Jakarta, …… . . ……………
PT. Bank ………………..
Pernyataan mengenai kesanggupan/ketidaksanggupan
pembayaran kewajiban Exchange Offer
---------------------------------------------------------------
cc.:
Direktorat Luar Negeri
Gedung B, Lantai 6
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 100100
Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000
Lampiran 3
SURAT PERNYATAAN TIDAK SANGGUP BAYAR
Pada hari ini ………… (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal
surat), yang bertandatangan di bawah ini: ------------------------------------------------
1.
2. . . . . . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai ………….…..(diisi nama
jabatan); -------
bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . . (diisi nama bank)
berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal . . . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . .
.Tambahan Berita Negara nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .;
menyatakan bahwa pada tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . (diisi tanggal jatuh tempo
pembayaran bunga dan atau pokok Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya-
biaya lain sesuai tagihan Syndicate Agents) atas sebab kesulitan likuiditas, Bank
kami tidak sanggup membayar kewajiban kepada Kreditur dalam rangka
Pinjaman Luar Negeri Antar Bank , atas bunga dan atau pokok Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank serta biaya-biaya lain sesuai tagihan Syndicate Agents
sebesar USD . . . . . . . . *) sebagaimana terlampir.
Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon kepada Bank Indonesia
untuk melakukan pembayaran sebesar jumlah tersebut di atas kepada Kreditur.
Atas pembayaran tersebut, dengan ini kami mengakui berhutang kepada
Pemerintah dengan menyerahkan Akta Pengakuan Utang dan Surat Sanggup.
(terlampir).
Apabila kemudian terbukti pernyataan kami tidak benar, kami bersedia
dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Jakarta, . . . . . . . . . . . . . .
Meterai
sesuai ket
yg berlaku
*) Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank
Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada pemerintah dalam Rupiah yang besarnya
equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur.
. . . .. . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai …………….. (diisi nama
jabatan); --------
Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000
Lampiran 4
JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI
ANTAR BANK
DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
AKTA PENGAKUAN UTANG
USD . ……..………………..*)
Pada hari ini . . . . . . . (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal pembuatan Akta
Pengakuan Utang), yang bertandatangan di bawah ini: ---------------------
I. . . . . . . . . . . . . ...(diisi nama Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan). . . . .
. . . . . . . . .; dalam kedudukan sebagai . . . . . . . . . . . . . . (diisi jabatan);----------------------
mewakili Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Surat nomor . . . . . . ..(diisi
nomor surat) tanggal…………….(diisi tanggal surat) ; -----------------------------------------
untuk selanjutnya disebut sebagai : -----------------------------------------------------------------
--------------------------------- Pihak Pertama. ----------------------------------------------------
II.
1. . . . . . .(diisi nama) dalam kedudukan sebagai……….. (diisi nama jabatan); ------
3. . . . . . ..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai………..(diisi nama jabatan); -----------
bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . .. . . . . . . (diisi nama bank)
berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia tanggal .. . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . . .Tambahan
Berita Negara nomor ……………….; ------------------------------------------------------------
untuk selanjutnya disebut sebagai : ---------------------------------------------
----------------------------------- Pihak Kedua. ---------------------------------
Para Pihak dengan ini menyatakan bahwa perjanjian ini timbul untuk memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman
Luar Negeri Antar Bank merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan ketentuan
dan syarat-syarat sebagai berikut: -----------------------------------------------------
Pasal 1 …….
*) Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank
Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada pemerintah dalam Rupiah yang besarnya
equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur.
Pasal 1
Terlebih dahulu Pihak Kedua menerangkan bahwa atas tagihan yang diajukan oleh
Syndicate Agents, Pihak kedua mempunyai kewajiban membayar kepada Kreditur
sebesar USD . . . . . . . . . . . *). (. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .) yang harus dibayar pada
tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . berdasarkan perjanjian . . . . . . . . . . . . . . . Nomor . . . .. . . . .
. . . . tanggal . . . . . . . . . .. . . . ; ----------------------------------------------------------------------
Pasal 2
Berhubung alasan - alasan keadaan keuangan perbankan antara lain dikarenakan . . . . . .
. . . . . . . . . . . . dan. . . . . . . . . . . . . . . . . . ., pada saat jatuh tempo pembayaran, Pihak
Kedua tidak sanggup melakukan pembayaran dimaksud sebagaimana tercantum dalam
Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar dibuat oleh Pihak Kedua tanggal . . . . . . . . . . . . . .
.bermeterai cukup dan dilekatkan pada perjanjian ini. -----------------------------------------
Pasal 3
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman
Luar Negeri Antar Bank dan atas dasar permohonan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama,
Pihak Pertama mengikatkan diri memberikan pinjaman kepada Pihak Kedua yang
mengikatkan diri berutang kepada Pihak Pertama berupa pembayaran oleh Pihak Pertama
kepada Kreditur atas kewajiban Pihak Kedua kepada Kreditur sebesar USD. . . . . . . . . . .
. (. . . . . . . . . . . . .) *)
antara Pihak Kedua dengan Kreditur. ----------------------------
Pasal 4
Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh Pihak Pertama setelah
Pihak Kedua menyerahkan kepada Pihak Pertama melalui Bank Indonesia secara lengkap
dokumen-dokumen berupa Surat Pernyataan Tidak Sanggup Bayar, Akta Pengakuan
Utang dan Surat Sanggup. -------------------------------------------------------------
Pasal 5
Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan oleh Pihak Pertama
dengan cara pendebetan rekening giro US Dollar dan atau Rupiah Pihak Kedua yang ada
di Bank Indonesia oleh Bank Indonesia.------------------------------------------------
Pasal 6
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan oleh Pihak
Pertama, maka Pihak Pertama melalui Bank Indonesia akan mengembalikan dokumen-
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Pihak Kedua dan Akta Pengakuan
Utang ini menjadi tidak berlaku. ------------------------------------------------------
atas transaksi Pinjaman Luar Negeri Antar Bank yang dilakukan
Pasal 7 …….
Pasal 7
Dalam hal rekening giro US Dollar dan atau Rupiah Pihak Kedua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 tidak mencukupi, pembayaran dilaksanakan oleh Bank Indonesia dengan
cara pendebetan rekening Pihak Pertama di Bank Indonesia oleh Bank Indonesia, nomor
519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”.--
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pasal 8
Jangka waktu pemberian pinjaman pihak Pertama kepada Pihak Kedua berlaku selama-
lamanya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pembayaran oleh Pihak
Pertama kepada Kreditur yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.(. . . . . . . . . . . .). --------------------------------------------------------------------------------------
Pasal 9
Dalam jangka waktu pemberian pinjaman oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, Pihak
Kedua dikenakan kewajiban pembayaran suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh
lima per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang
berlaku pada saat pembayaran Pihak Pertama kepada Kreditur, dihitung sejak saat
pembayaran Pihak Pertama kepada Kreditur sampai dengan Pembayaran
kembali/pelunasan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, dihitung per tahun flat.-------
Pasal 10
Pada saat jatuh tempo pemberian Pinjaman oleh Pihak Pertama kepada
Pihak Kedua, yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . .(. . . . .. . . . . . . . . . .), Pihak
Kedua diwajibkan membayar kembali/melunasi kewajibannya kepada Pihak Pertama
sebesar USD. . . . . . . . . . . . . *)
dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank
Indonesia nomor rekening 519.000110 dengan nama “Rekening Trade Maintenance
Facility dan Exchange Offer”. -----------------------------------------------------------------------
Pasal 11
Dalam hal sampai dengan tanggal jatuh tempo pemberian pinjaman dimaksud yaitu
sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . ..(. . . . . . . . . . . . . .), yang sama dengan tanggal
jatuh tempo Surat Sanggup, Pihak Kedua tidak sanggup membayar kewajibannya kepada
Pihak Pertama, maka kepada Pihak Kedua oleh Bank Indonesia akan dikenai kewajiban
pembayaran sanksi pembebanan berupa penaikan suku bunga menjadi sebesar 300% (tiga
ratus per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang
berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, dihitung sejak saat jatuh tempo Surat
Sanggup sampai dengan Pembayaran kembali/pelunasan oleh Pihak Kedua kepada Pihak
Pertama, per tahun flat. ------------------------------------------------------------------------------
Pasal 12 …….
Pasal 12
Dalam hal 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 yaitu sampai dengan tanggal . . . . . . . . . . . . (. . . . . . . . . . . . . . .), Pihak Kedua belum
juga melakukan penyetoran kewajibannya kepada Pihak Pertama ke Rekening Pihak
Pertama di Bank Indonesia, maka Pihak Kedua selain tetap dikenakan sanksi
sebagaimana
Pasal 11 oleh Bank Indonesia juga masih akan dikenakan sanksi berupa
pencabutan penunjukan Pihak Kedua sebagai Bank Devisa dan pendebetan saldo
rekening giro Pihak Kedua di Bank Indonesia. ---------------------------------------------------
Pasal 13
Dalam hal Pihak Kedua dikenakan sanksi pendebetan saldo rekening gironya di Bank
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, namun terjadi saldo negatif, maka
kepada Pihak Kedua oleh Bank Indonesia akan dikenai ketentuan sesuai dengan Peraturan
Bank Indonesia No.1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan
Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil
Kliring Lokal. --------------------------------------------------------------------
Pasal 14
Apabila Pihak
Kedua menyalahgunakan
fasilitas
penjaminan Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank maka kepada Pihak Kedua dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan
penunjukan Pihak Kedua sebagai Bank Devisa dan kepada pemilik dan pengurus Pihak
Kedua oleh Bank Indonesia akan dicantumkan dalam Daftar Orang Tercela (DOT). -------
Pasal 15
Segala perbedaan pendapat atau perselisihan antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua yang
timbul sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika dalam musyawarah tersebut tidak tercapai
mufakat, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan tersebut melalui Pengadilan atau Arbritase. Dengan ini para pihak memilih
tempat kedudukan hukum yang umum dan tetap atau Domisili di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. -----------------------------------------------------------------------------------------
Pasal 16
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian atas dasar
permufakatan yang akan dituangkan dalam Perjanjian Tambahan (Addendum), yang
merupakan kesatuan yang tidak dipisahkan dari perjanjian ini. --------------------------------
Pasal 17 …….
Pasal 17
Semua pemberitahuan atau surat menyurat antara Pihak Pertama dan Pihak
Kedua sehubungan dengan perjanjian ini dilakukan secara tertulis dan dianggap
telah diterima oleh Pihak yang bersangkutan dengan disertai tanda terima
tertulis. --------------------------
------------------------------------------ Demikian Perjanjian Ini -----------------------------------
Dibuat dan ditandatangani di Jakarta, pada hari, tanggal, bulan dan tahun seperti pada
pembukaan Akta ini dan untuk berlaku sejak tanggal . . . . . . . . . . . . . .(. . . . . . . . . . . . .
. . . .) serta dibuat dalam rangkap . . . . . . .. . .yang masing-masing mempunyai kekuatan
hukum yang sama, bermeterai cukup untuk keperluan masing-masing Pihak.
PIHAK KEDUA
PIHAK PERTAMA
Lampiran PBI Nomor 2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000
Lampiran 5
JAMINAN PINJAMAN
LUAR NEGERI ANTAR BANK
SURAT SANGGUP
USD..………… . . ………… *)
Pada hari ini ………. (diisi nama hari) tanggal . . . . . . . . . (diisi tanggal Surat Sanggup),
yang bertandatangan di bawah ini: -----------------------------------------------------------------------------
-----------------
1.
. . . .. . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai …………….. (diisi nama jabatan); --------
-----------
4. . . . . . ……..(diisi nama) dalam kedudukan sebagai ………….…..(diisi nama jabatan); -------
-----------
bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. . . . . . . . . . (diisi nama bank)
berdasarkan Anggaran Dasar, perubahannya dan pengesahannya diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal . . . . . . . . , nomor . . . . . . . . . . . .
.Tambahan Berita Negara nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .;
sanggup membayar kepada Pemerintah atau penggantinya sebesar USD…….. . . . . . . *). ., dengan
menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia No.519.000110
“Trade Maintenance
Facility dan Exchange offer” paling lambat tanggal ………………… (diisi tanggal jatuh tempo
Surat Sanggup).
Jakarta, . . . . . . . . . . . . . . ……
Meterai
sesuai ket
yg berlaku
(. . . . . . . . . . . . . . . . . ) ( . . . . . . . . . . .
. . . . . . .)
*)
Sebesar tagihan dari Syndicate Agents yang oleh Bank dimintakan pembayarannya kepada Bank
Indonesia yang selanjutnya menjadi pinjaman Bank kepada Pemerintah dalam Rupiah yang besarnya
equivalen Rupiah terhadap USD yang dibayarkan Bank Indonesia kepada Kreditur.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/12/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK </reg_title>
<set_date> 16 Mei 2000 </set_date>
<effective_date> 16 Mei 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '31/90/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
8
/PBI/2012
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika
perkembangan perekonomian regional dan global,
industri perbankan nasional perlu meningkatkan
ketahanan;
b. bahwa peningkatan ketahanan perbankan
dilakukan melalui peningkatan penerapan prinsip
kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good
corporate governance);
c. bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip
kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good
corporate governance), diperlukan penataan struktur
kepemilikan saham bank;
d. bahwa penataan struktur kepemilikan saham bank
dilakukan melalui penerapan batas maksimum
kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi
dominasi kepemilikan yang dapat berdampak
negatif terhadap operasional bank;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa penerapan batas maksimum kepemilikan
saham juga akan berdampak positif untuk
mendorong konsolidasi perbankan dalam rangka
memperkuat ketahanan industri perbankan
nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d
dan huruf e, perlu diatur ketentuan tentang
Kepemilikan Saham Bank Umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008
tentang
Perubahan …
- 3 -
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Good Corporate Governance yang selanjutnya disebut dengan GCG
adalah Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi bank umum, bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
3. Tingkat Kesehatan Bank adalah Tingkat Kesehatan Bank
sebagaimana
dimaksud
dalam Peraturan
Bank
Indonesia
mengenai …
- 4 -
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan bank
umum syariah.
4. Modal adalah modal disetor Bank.
BAB II
BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 2
(1) Dalam rangka penataan struktur kepemilikan, Bank Indonesia
menetapkan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank
berdasarkan:
a. kategori pemegang saham; dan
b. keterkaitan antar pemegang saham.
(2) Batas maksimum kepemilikan saham pada Bank bagi setiap
kategori pemegang saham ditetapkan sebagai berikut:
a. 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori
pemegang saham berupa badan hukum lembaga keuangan
bank dan lembaga keuangan bukan bank;
b. 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori
pemegang saham berupa badan hukum bukan lembaga
keuangan; dan
c. 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori
pemegang saham perorangan.
(3) Batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c pada bank umum syariah adalah sebesar
25% (dua puluh lima persen) dari Modal Bank.
(4) Lembaga …
- 5 -
(4) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, adalah lembaga keuangan bukan bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. dalam pendiriannya sesuai peraturan perundang – undangan
yang berlaku dimungkinkan melakukan kegiatan penyertaan
dalam jangka panjang; dan
b. diawasi dan diatur oleh otoritas lembaga keuangan.
(5) Lembaga keuangan bukan bank yang tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai badan
hukum bukan lembaga keuangan yang hanya dapat memiliki
saham dengan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank.
Pasal 3
Batas maksimum kepemilikan saham tidak berlaku bagi:
a. Pemerintah Pusat; dan
b.
lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan dan/atau
penyelamatan Bank.
Pasal 4
(1) Keterkaitan antar pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b didasarkan pada:
a. adanya hubungan kepemilikan;
b. adanya hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua;
dan/atau
c. adanya
kerjasama
atau tindakan yang
sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting
in concert …
- 6 -
in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis sehingga
secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya
untuk memiliki saham Bank.
(2) Pemegang saham yang memiliki keterkaitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai satu pihak.
(3) Batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham yang
ditetapkan sebagai satu pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah sebagai berikut:
a.
jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam satu pihak
tersebut sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari
kategori pemegang saham dalam satu pihak tersebut; dan
b. komposisi kepemilikan masing-masing pemegang saham
dalam satu pihak tersebut paling tinggi sebesar batas
maksimum kepemilikan sesuai kategori pemegang saham.
Pasal 5
(1) Pemegang saham bank yang memenuhi kriteria sebagai pemegang
saham pengendali selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia
ini, juga tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemegang saham pengendali.
(2) Calon pemegang saham pengendali yang merupakan warga negara
asing dan/atau badan hukum yang berkedudukan di luar negeri,
wajib pula memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan
perekonomian Indonesia melalui Bank yang dimiliki;
b. memperoleh rekomendasi dari otoritas pengawasan dari
negara asal, bagi badan hukum lembaga keuangan; dan
c. memiliki …
- 7 -
c. memiliki peringkat paling kurang sebagai berikut :
(i) 1 (satu) tingkat (notch) di atas peringkat investasi
terendah, bagi badan hukum lembaga keuangan bank;
(ii) 2 (dua) tingkat (notch) di atas peringkat investasi
terendah, bagi badan hukum lembaga keuangan bukan
bank; atau
(iii) 3 (tiga) tingkat (notch) di atas peringkat investasi
terendah, bagi badan hukum bukan lembaga keuangan.
Pasal 6
(1) Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham
Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank
sepanjang memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Badan hukum lembaga keuangan bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan
peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua) atau peringkat
tingkat kesehatan bank yang setara bagi lembaga keuangan
bank yang berkedudukan di luar negeri;
b. memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) sesuai profil risiko;
c. modal inti (tier 1) paling kurang sebesar 6% (enam persen);
d. mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan lembaga
keuangan bank tersebut, bagi
berkedudukan di luar negeri;
lembaga keuangan bank yang
e. merupakan lembaga keuangan bank yang telah go public;
f. komitmen untuk memenuhi kewajiban membeli surat utang
bersifat …
- 8 -
bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang akan
dimiliki;
g. komitmen untuk memiliki Bank paling kurang dalam jangka
waktu tertentu; dan
h. komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian
Indonesia melalui Bank yang dimiliki.
Pasal 7
Bank yang dapat dimiliki oleh badan hukum lembaga keuangan bank
dengan jumlah lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, paling kurang memenuhi
kriteria:
a. wajib melakukan go public untuk mencapai kepemilikan publik
paling kurang sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal bank,
yang dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak badan hukum
lembaga keuangan bank memiliki saham sesuai persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
b. wajib memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang
bersifat ekuitas.
Pasal 8
(1) Badan hukum lembaga keuangan bank yang akan menjadi
pemegang saham Bank dan telah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dapat
melakukan pembelian saham Bank dengan tahapan sebagai
berikut:
a.
melak
ukan…
- 9 -
a. melakukan pembelian saham sampai dengan batas
maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 4; dan
b. dapat meningkatkan saham Bank sesuai dengan batas
kepemilikan yang telah disetujui Bank Indonesia apabila
Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan
Bank dan penilaian GCG peringkat 1 (satu) atau 2 (dua)
selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-berturut dalam
periode 5 (lima) tahun, terhitung sejak persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(2) Selama Bank yang dimiliki tidak dapat memperoleh penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, badan hukum lembaga keuangan
bank hanya dapat memiliki saham sampai dengan batas
maksimum sebesar 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank.
Pasal 9
Tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak berlaku bagi
badan hukum lembaga keuangan bank yang telah memiliki saham
Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan telah
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1).
BAB III …
- 10 -
BAB III
KEWAJIBAN PENERAPAN BATAS MAKSIMUM
KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 10
Sampai dengan akhir Desember 2013, pemegang saham Bank dapat
meningkatkan kepemilikan saham dengan kewajiban menyesuaikan
batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13.
Pasal 11
Bagi pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas
maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau
penilaian GCG posisi penilaian akhir bulan Desember 2013.
Pasal 12
Kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diatur sebagai berikut:
a. bagi pemegang saham pada Bank yang memperoleh penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan
peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) pada posisi penilaian
bulan Desember 2013, wajib menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 5 (lima) tahun sejak 1 Januari
2014; dan
b. Pemegang …
- 11 -
b. Pemegang saham pada Bank yang memperoleh penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dan penilaian GCG dengan peringkat 1 (satu)
atau 2 (dua) pada posisi penilaian bulan Desember 2013 tetap
dapat memiliki saham sebesar persentase saham yang telah
dimiliki.
Pasal 13
(1) Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b
wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, apabila:
a. Bank mengalami penurunan penilaian Tingkat Kesehatan
Bank dan/atau penilaian GCG menjadi peringkat 3 (tiga), 4
(empat) atau 5 (lima) selama 3 (tiga) periode penilaian
berturut-berturut; atau
b. pemegang saham atas inisiatif sendiri melakukan penjualan
saham yang dimilikinya.
(2) Jangka waktu penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan
saham bagi pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 5 (lima) tahun setelah periode penilaian terakhir
atau penjualan saham yang dimilikinya.
Pasal 14
(1) Pemegang saham yang akan memiliki :
a. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan;
b. Bank dalam pengawasan khusus; atau
c. Bank dalam pengawasan intensif.
dapat …
- 12 -
dapat memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 dalam jangka waktu tertentu.
(2) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dengan jangka
waktu sebagai berikut:
a. paling lama 20 (dua puluh) tahun sejak membeli Bank
dimaksud, bagi:
1. Bank dalam penanganan atau penyelamatan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan; dan
2. Bank dalam pengawasan khusus; dan
b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak membeli Bank
dimaksud, bagi Bank dalam pengawasan intensif.
Pasal 15
(1) Pemegang saham pada Bank yang melakukan penggabungan atau
peleburan, dapat memiliki saham Bank hasil penggabungan atau
peleburan lebih dari batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dalam jangka
waktu tertentu.
(2) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau
peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian GCG dengan peringkat 1
(satu) atau 2 (dua), wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak:
a.
nurunan …
pe
- 13 -
a. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank dan/atau
penilaian GCG Bank hasil penggabungan atau peleburan
menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima) selama 3
(tiga) periode berturut-turut; atau
b. penjualan saham atas inisiatif sendiri.
yang terjadi dalam periode paling lama 10 (sepuluh) tahun setelah
penggabungan atau peleburan.
(3) Bagi pemegang saham pada Bank hasil penggabungan atau
peleburan yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan
peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima), wajib menyesuaikan
dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 paling lama 20 (dua puluh)
tahun sejak penggabungan atau peleburan.
Pasal 16
Bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin
off) Unit Usaha Syariah, diatur sebagai berikut:
a. dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum kepemilikan
saham; dan
b. wajib menyesuaikan kepemilikan saham dengan batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 paling lama akhir Desember 2028.
Pasal 17
Bagi Pemerintah Daerah yang telah memiliki saham Bank
Pembangunan Daerah
tidak wajib menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham.
Pasal 18 …
- 14 -
Pasal 18
Dalam hal Bank Pembangunan Daerah memperoleh penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4
(empat), atau 5 (lima) dan memerlukan tambahan modal maka:
a. penambahan modal diutamakan berasal dari investor yang tidak
terkait dengan Pemerintah Daerah; dan
b. Pemerintah Daerah dapat tetap mempertahankan kepemilikan
Pemerintah Daerah sebagai pemegang saham mayoritas.
Pasal 19
(1) Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (1)
huruf a, wajib menyusun rencana tindak dalam rangka
menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham.
(2) Rencana tindak penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan
disampaikan paling lama 4 (empat) bulan sejak timbulnya
kewajiban menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Rencana tindak penyesuaian dengan batas maksimum
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
kurang memuat cara penyesuaian batas maksimum kepemilikan
saham, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu.
(4) Bank wajib menyampaikan pelaksanaan rencana tindak
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) kepada Bank Indonesia
paling …
- 15 -
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi rencana tindak
atau sesuai dengan tahapan rencana tindak.
(5) Penyampaian rencana tindak dan pelaksanaan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) ditujukan
kepada :
a. Bank Indonesia, Up. Departemen Pengawasan Bank (DPB),
dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
bank umum konvensional yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Bank Indonesia, Up. Departemen Perbankan Syariah (DPbS),
dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
bank umum syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
c. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
BAB IV
KONSEKUENSI KEWAJIBAN PEMENUHAN BATAS MAKSIMUM
KEPEMILIKAN
Pasal 20
(1) Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian
dengan batas maksimum kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat
(2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 16 huruf b maka dikenakan
pembatasan berupa:
a. hak …
- 16 -
a. hak yang bersangkutan dalam perhitungan kuorum dan
pengambilan keputusan dalam RUPS hanya diperhitungkan
paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4; dan
b.
pembayaran dividen untuk kelebihan saham yang dimiliki
ditunda sampai dengan yang bersangkutan melakukan
penyesuaian dengan batas maksimum kepemilikan saham.
(2) Selain pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian
batas maksimum kepemilikan saham dapat dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Bank
Indonesia.
(3) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban pemegang saham dimaksud untuk
melakukan penyesuaian kepemilikannya sesuai dengan batas
maksimum kepemilikan saham.
Pasal 21
Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi
kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15
ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 16 huruf b:
a. wajib mencatat hak yang bersangkutan selaku pemegang saham
paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4;
b. wajib memastikan penggunaan hak suara bagi yang bersangkutan
dan perhitungan kuorum dalam RUPS paling tinggi sebesar batas
maksimum …
- 17 -
maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4;
c. wajib menunda pembayaran dividen bagi kelebihan saham yang
dimiliki pemegang saham yang bersangkutan sampai dengan yang
bersangkutan melakukan penyesuaian dengan batas maksimum
kepemilikan saham; dan
d. dilarang memberikan atau memperpanjang jangka waktu fasilitas
penyediaan dana kepada pemegang saham yang bersangkutan,
termasuk kepada pihak terkait dengan pemegang saham.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan
persetujuan kepada pemegang saham untuk memiliki saham Bank
melebihi batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 untuk jangka waktu tertentu.
Pasal 23
Bank Indonesia dapat memerintahkan pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 agar Bank yang dimilikinya melakukan
penggabungan atau peleburan.
BAB VI …
- 18 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 24
(1) Bank yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dan/atau Pasal 21 dikenakan sanksi administratif
berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan uji kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test) terhadap anggota dewan komisaris dan /atau
anggota direksi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, ketentuan mengenai
kepemilikan saham Bank mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 144
DPNP
- 20 -
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 8 /PBI/2012
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
I. UMUM
Krisis keuangan global yang dipicu oleh kegagalan penerapan
tata kelola (good corporate governance) pada Bank menyebabkan
Banking Committee on Banking Supervision (BCBS) menerbitkan
pedoman bertajuk Principles for Enhancing Corporate Governance, yang
mewajibkan otoritas pengawas mengambil langkah-langkah guna
memastikan bahwa struktur kepemilikan tidak menjadi penghalang
terwujudnya GCG.
Rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020
yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified
ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, akan
meningkatkan persaingan antara bank-bank nasional dengan bank-
bank dari kawasan ASEAN.
Disamping itu dengan memperhatikan dan mempelajari beberapa
kasus bank bermasalah di Indonesia pasca krisis finansial tahun 1997,
mengindikasikan bahwa dominasi kepemilikan oleh satu pihak pada
Bank berkaitan erat dan berhubungan negatif dengan pelaksanaan
GCG di perbankan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Bank Indonesia memandang
perlu untuk mengatur struktur kepemilikan Bank dengan menetapkan
batas …
- 2 -
batas maksimum kepemilikan saham guna meningkatkan ketahanan
perbankan melalui penerapan prinsip kehati – hatian dan kualitas
penerapan GCG pada bank. Dengan demikian diharapkan dapat
mendorong konsolidasi perbankan yang pada akhirnya dapat
memperkuat ketahanan perbankan nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan
hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan
hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang
perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga
negara asing.
Ayat (3)
Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada ayat
ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Yang …
- 3 -
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang
perseorangan baik warga negara Indonesia atau warga negara
asing.
Ayat (4)
Contoh lembaga keuangan bukan bank yang memenuhi
kriteria ayat ini antara lain perusahaan pembiayaan,
perusahan asuransi, dan dana pensiun.
Ayat (5)
Contoh lembaga keuangan bukan bank pada ayat ini antara
lain special purpose vehicle, fund management (pengelola dana
keuangan), dan hedge fund.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Pusat” adalah
Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia. Kepemilikan
pemerintah pada Bank yang dapat melebihi batas maksimum
kepemilikan saham, dimaksudkan untuk mendukung
pencapaian tujuan meningkatkan kesejahteraan umum.
Huruf b
Lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan
dan/atau penyelamatan Bank antara lain Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Lembaga
Penjamin Simpanan.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a …
- 4 -
Huruf a
Hubungan kepemilikan terjadi apabila antara pemegang
saham:
1. perorangan dengan badan hukum; atau
2. badan hukum dengan badan hukum,
mempunyai keterkaitan kepemilikan pada badan hukum
tersebut dengan jumlah kepemilikan paling kurang
memenuhi batas sebagai pemegang saham pengendali.
Penelusuran hubungan kepemilikan dilakukan sampai
dengan pemegang saham pengendali terakhir.
Contoh :
Sdr. A memiliki saham Bank X sebesar 10% (sepuluh
persen) dari modal bank.
PT. B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan
memiliki saham Bank X sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari modal bank.
Sdr. A memiliki PT. B sebesar 30% (tiga puluh persen)
dari modal maka antara Sdr.A dan PT. B terdapat
keterkaitan karena hubungan kepemilikan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga
sampai dengan derajat kedua” adalah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum pemberian kredit.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 5 -
Ayat (3)
PT A berupa badan hukum lembaga keuangan memiliki
saham Bank X sebesar 60% (enam puluh persen) dari modal
bank.
PT B berupa badan hukum bukan lembaga keuangan
memiliki saham Bank X sebesar 20% (dua puluh persen) dari
modal bank.
PT A dan PT B memiliki Pemegang Saham Pengendali yang
sama yaitu Sdr. Z maka PT A dan PT B merupakan satu
pihak.
Sesuai dengan kategorinya batas maksimum kepemilikan PT
A adalah 40% (empat puluh persen) dari modal bank dan PT
B adalah 30% (tiga puluh persen) dari modal bank.
Dengan demikian batas maksimum kepemilikan PT A dan PT
B pada Bank X secara bersama-sama adalah sebesar 40%
(empat puluh persen) dari modal bank, dengan batasan
kepemilikan saham PT B paling tinggi sebesar 30% (tiga
puluh persen).
Contoh kemungkinan komposisi antara lain sebagai berikut:
a. jika PT A memiliki saham 40% (empat puluh persen), maka
PT B kepemilikan sahamnya 0% (nol persen);
b. jika PT A memiliki saham 30% (tiga puluh persen), maka
PT B kepemilikan sahamnya 10% (sepuluh persen); atau
c. jika PT A memiliki saham 10% (sepuluh persen), maka PT
B kepemilikan sahamnya 30% (tiga puluh persen).
Pasal 5 …
- 6 -
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemegang saham pengendali” adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai bank umum, bank
umum syariah, dan uji kemampuan dan kepatutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rekomendasi dimaksud paling kurang memuat
keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak
pernah melakukan perbuatan tercela di bidang
perbankan.
Huruf c
Peringkat yang digunakan adalah hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia
sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank …
- 7 -
Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum atau ketentuan serupa yang
diatur oleh otoritas pengawas ditempat kedudukan bank
tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum,
bank umum syariah, atau ketentuan serupa yang diatur
oleh otoritas pengawas ditempat kedudukan bank
tersebut.
Huruf d
Rekomendasi dimaksud paling kurang memuat
keterangan mengenai reputasi yang baik dan tidak
pernah melakukan perbuatan tercela di bidang
perbankan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat
ekuitas” adalah surat utang yang dapat dikonversi
menjadi saham atau yang mengandung hak opsi untuk
memperoleh saham.
Huruf g
Penetapan jangka waktu tertentu untuk memiliki Bank
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf h …
- 8 -
Huruf h
Pengembangan perekonomian yang dimaksud dalam
huruf ini adalah pengembangan perekonomian pada
sektor yang menjadi prioritas Pemerintah Republik
Indonesia dan menunjang pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat utang yang bersifat ekuitas”
adalah surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham
atau yang mengandung hak opsi untuk memperoleh saham.
Persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat
ekuitas dilakukan setelah badan hukum lembaga keuangan
bank merealisasikan pembelian saham lebih dari 40% (empat
puluh persen) sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 9 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang
saham yang melakukan penjualan saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Angka a
Cukup jelas.
Angka b
Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan
khusus” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai tindaklanjut pengawasan dan
penetapan status bank.
Angka c …
- 10 -
Angka c
Yang dimaksud dengan “Bank dalam pengawasan
intensif” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai tindaklanjut pengawasan dan
penetapan status bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh 1:
Bank A (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan
GCG peringkat 2 (dua)), melakukan penggabungan
dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1
(satu) dan GCG peringkat 1(satu)), menjadi Bank A pada
bulan Oktober 2012.
Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami
penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau GCG pada
posisi penilaian Desember 2020, Juni dan Desember
2021 menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima).
Dengan demikian pemegang saham Bank A yang
memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan
saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham paling lama pada Desember 2031.
Contoh …
- 11 -
Contoh 2:
Bank A (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1 (satu) dan
GCG peringkat 2 (dua)) melakukan penggabungan
dengan Bank B (Tingkat Kesehatan Bank peringkat 1
(satu) dan GCG peringkat 1 (satu)) menjadi Bank A pada
bulan Oktober 2012.
Selanjutnya Bank A (hasil penggabungan) mengalami
penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau GCG pada
posisi penilaian Desember 2022, Juni dan Desember
2023 menjadi peringkat 3 (tiga), 4 (empat) atau 5 (lima).
Mengingat penurunan Tingkat Kesehatan Bank dan/atau
GCG terjadi setelah melewati 10 (sepuluh) tahun sejak
penggabungan maka tidak ada perpanjangan waktu.
Dengan demikian, pemegang saham Bank A yang
memiliki saham di atas batas maksimum kepemilikan
saham wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun yaitu paling lama pada Desember 2028.
Huruf b
Kewajiban melakukan penyesuaian dengan batas
maksimum kepemilikan saham hanya untuk pemegang
saham yang melakukan penjualan saham.
Ayat (3)
Bank yang memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dan/atau penilaian GCG dengan peringkat 3 (tiga), 4 (empat)
atau 5 (lima) bisa salah satu, beberapa atau semua Bank
yang melakukan penggabungan atau peleburan.
Pasal 16 …
- 12 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” adalah Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota di wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Posisi timbulnya kewajiban menyesuaikan dengan batas
maksimum kepemilikan saham Bank terhitung sejak posisi
penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian GCG
terakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 …
- 13 -
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham” adalah
hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS
atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana” adalah penyediaan
dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai
kualitas aset bank umum.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit.
Pasal 22
Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung
stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan
perekonomian nasional.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a …
- 14 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk pengertian pembekuan kegiatan usaha
tertentu dalam huruf ini adalah larangan penambahan
produk dan/atau aktivitas baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5327
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/8/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 13 Juli 2012 </set_date>
<effective_date> 13 Juli 2012 </effective_date>
<issued_date> 13 Juli 2012 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/17/PBI/2003
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH
TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memulihkan dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat,
Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban
pembayaran Bank Perkreditan Rakyat;
b. bahwa sementara belum terbentuknya Lembaga Penjamin
Simpanan, pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap
kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dibantu
oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama
Pemerintah;
c. bahwa ketentuan yang mengatur pelaksanaan Program
Penjaminan Pemerintah terhadap Kewajiban BPR belum
optimal sehingga tujuan untuk melindungi kepentingan dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat belum sepenuhnya
dapat tercapai;
d. bahwa…..
- 2 -
d. bahwa berhubung dengan itu dan memperhatikan
Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia tanggal 31 Januari 2001 tentang Jaminan
Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat serta Kesepakatan Bersama Menteri
Keuangan Dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 15 Juli
2003 tentang Perubahan Kesepakatan Bersama Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 31 Januari
2001 tentang Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, maka ketentuan
yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia
No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat perlu
diubah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3. Peraturan ….
- 3 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 193 tahun
1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 185);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN
BANK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN
PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Program …..
- 4 -
2. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah
terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Pemerintah
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Pekreditan Rakyat.
3. Pengelola Sementara adalah pihak-pihak yang ditunjuk dan diangkat oleh Bank
Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugas Direksi BPR termasuk tugas dalam
rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah.
4. Tim Likuidasi adalah suatu tim yang bertugas melakukan likuidasi BPR yang
dicabut izin usahanya.
5. Bank Pembayar adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran simpanan pihak ketiga BPR dalam rangka pelaksanaan
Program Penjaminan Pemerintah.
6. Pemegang Saham adalah :
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah.
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Anggota Koperasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
7. Direksi adalah :
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.
b. bagi…..
- 5 -
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah.
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
8. Komisaris adalah :
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah.
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah Pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
9. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP adalah lembaga yang
memiliki izin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam
menjalankan pekerjaannya.
Pasal 2
(1) Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR, kecuali :
a. BPR yang izin usahanya telah dicabut sebelum tanggal 26 Januari 1998; dan
b. Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun
1929 Nomor 357, dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
(2). Program …..
- 6 -
(2) Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
sementara waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas
nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Penyediaan dana Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditempatkan dalam rekening Menteri Keuangan yang ditunjuk.
Pasal 3
Kewajiban pembayaran BPR yang dijamin Pemerintah adalah simpanan pihak ketiga
yang tercatat dalam pembukuan BPR dengan ketentuan :
a. BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sebesar :
1. nominal deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu; dan
2. bunga tabungan dan deposito berjangka setinggi-tingginya sebesar suku bunga
penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank Umum yang
diumumkan Bank Indonesia pada bulan sebelumnya.
b. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebesar nominal
deposito berjangka dan tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
Pasal 4
(1) Perhitungan bunga simpanan pihak ketiga BPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a angka 2 dengan ketentuan :
a. bunga tabungan dihitung sampai dengan akhir bulan sebelum tanggal
pembekuan kegiatan usaha tertentu;
b. bunga…..
- 7 -
b. bunga deposito berjangka dihitung sampai dengan tanggal pembekuan
kegiatan usaha tertentu;
c. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan
pada saat pembekuan kegiatan usaha tertentu, tidak dijamin.
(2) Dalam hal BPR sudah tidak melakukan kegiatan usaha, perhitungan bunga
simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 2
dengan ketentuan :
a. bunga tabungan dan deposito berjangka dihitung sampai dengan akhir bulan
laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia;
b. bunga deposito berjangka yang jangka waktunya belum genap 1 (satu) bulan
pada posisi laporan bulanan BPR terakhir yang diterima Bank Indonesia,
tidak dijamin.
Pasal 5
Simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin adalah :
a. simpanan yang dimiliki oleh Bank Umum atau BPR;
b. simpanan yang dimiliki oleh pemegang saham yang kepemilikannya lebih besar
dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor BPR;
c. simpanan yang dimiliki oleh anggota Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris
BPR yang bersangkutan;
d. simpanan yang dimiliki oleh suami/isteri/anak dari pihak-pihak yang dimaksud
pada huruf b dan huruf c;
e. simpanan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki pihak-pihak
yang dimaksud dalam huruf b dan huruf c, yang kepemilikannya sebesar 35%
(tiga puluh lima perseratus) atau lebih;
f. simpanan…..
- 8 -
f. simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah dan atau tidak tercatat
dalam pembukuan BPR.
BAB II
PERSYARATAN PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH
Pasal 6
Jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) hanya diberikan kepada BPR yang telah memenuhi persyaratan Program
Penjaminan Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 7
Persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
adalah :
a. menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan dalam Program Penjaminan
Pemerintah yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan
Pemilik/Pemegang saham BPR sesuai dengan yang tercatat di Bank Indonesia;
b. Membayar fee penjaminan sebesar 0,10% (satu perseribu) per tahun untuk BPR
konvensional atau 0,07% (tujuh per sepuluh ribu) per tahun untuk BPR Syariah
dari simpanan pihak ketiga yang dijamin; dan
c. Menyerahkan :
1. daftar nominatif dan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga
posisi akhir bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan
Pemerintah kepada Bank Indonesia;
2. tembusan ….
- 9 -
2. tembusan rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga posisi akhir
bulan sebelum BPR ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah kepada
Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
Pasal 8
BPR yang memperoleh izin usaha setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
wajib mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak BPR
melakukan kegiatan usaha
Pasal 9
(1) Fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b wajib dibayar
dimuka setiap 6 (enam) bulan dengan batas waktu pembayaran selambat-
lambatnya akhir bulan Januari untuk periode 1 Desember sampai dengan 31 Mei
dan akhir bulan Juli untuk periode 1 Juni sampai dengan 30 November.
(2) BPR yang terlambat membayar fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dikenakan denda sebesar 100% (seratus perseratus) dari jumlah kewajiban
pembayaran uang muka fee periode yang bersangkutan dengan jumlah
pembayaran denda sekurang-kurangnya Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(3) Tunggakan fee dan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilunasi
selambat-lambatnya pada saat batas waktu pembayaran fee periode berikutnya.
Pasal 10
(1) Fee penjaminan dihitung sendiri oleh BPR berdasarkan simpanan pihak ketiga
yang dijamin dari rata-rata posisi akhir bulan simpanan pihak ketiga yang dijamin
selama 6 (enam) bulan.
(2). Direksi…..
- 10 -
(2) Direksi BPR bertanggung jawab atas kebenaran perhitungan besarnya fee yang
wajib dibayar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Direksi BPR wajib melakukan perhitungan kembali besarnya fee yang seharusnya
dibayar berdasarkan realisasi simpanan pihak ketiga dalam periode pembayaran
fee yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara besarnya fee yang telah dibayar dimuka
dengan hasil perhitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka :
a. Kelebihan fee akan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pembayaran
fee periode berikutnya;
b. Kekurangan fee wajib dibayarkan bersamaan dengan pembayaran fee periode
berikutnya.
Pasal 11
(1) Pembayaran fee penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) oleh
BPR dilakukan secara tunai atau transfer/kliring untuk rekening Pemerintah di
Bank Indonesia Nomor 519.999.001 dengan nama “ Penerimaan Fee Penjaminan
BPR “.
(2) Pembayaran denda atas keterlambatan pembayaran fee penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan secara tunai atau transfer/kliring untuk
rekening Bendaharawan Umum Negara Nomor 502.000.000 pada Bank Indonesia
dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 0892 Pendapatan Denda.
Pasal 12…..
- 11 -
Pasal 12
(1) BPR yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 8, dan atau tidak membayar tunggakan fee dan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), tidak termasuk sebagai peserta Program
Penjaminan Pemerintah.
(2) BPR yang tidak termasuk sebagai Peserta Program Penjaminan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengumumkan kepada masyarakat
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak melakukan
pengumuman dalam batas waktu yang ditentukan maka Bank Indonesia dapat
mengumumkan nama BPR dimaksud kepada masyarakat.
(4) Penyelesaian simpanan pihak ketiga dari BPR yang tidak termasuk sebagai peserta
Program Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
simpanan pihak ketiga yang tidak dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
menjadi tanggung jawab BPR dan diselesaikan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 13
(1) BPR wajib menyampaikan laporan secara periodik kepada Bank Indonesia :
a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap 6 (enam) bulan untuk posisi
tanggal 30 Juni dan tanggal 31 Desember; dan
b. rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga setiap bulan.
(2). Rekapitulasi …..
- 12 -
(2) Rekapitulasi daftar nominatif simpanan pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b disampaikan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan
c.q. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, untuk posisi 31 Maret, 30 Juni, 30
September, dan 31 Desember.
(3) Laporan daftar nominatif simpanan pihak ketiga dan rekapitulasi daftar nominatif
simpanan pihak ketiga beserta tembusannya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 setelah akhir bulan
laporan.
(4) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
(5) BPR yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
BAB III
PELAKSANAAN PEMBAYARAN JAMINAN PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga BPR, wajib terlebih dahulu
menggunakan dana BPR yang bersangkutan.
(2) BPR yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak dapat mengupayakan dana
yang cukup untuk membayar kewajiban simpanan pihak ketiga melaporkan
ketidakmampuannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 15…..
- 13 -
Pasal 15
(1) Bank Indonesia meneliti dan mengevaluasi kondisi BPR yang telah melaporkan
ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(2) Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia dan atau hasil penelitian dan
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat
membekukan kegiatan usaha tertentu BPR, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pembayaran jaminan Pemerintah dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan
kegiatan usaha tertentu BPR.
(2) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
atas dasar hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Pengelola Sementara dan
telah diteliti kebenarannya oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Pasal 17
(1) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) ditunjuk dan
diangkat oleh Bank Indonesia.
(2) Jumlah Pengelola Sementara sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-
banyaknya 3 (tiga) orang dan dapat terdiri atas :
a. pihak lain diluar anggota pengurus lama; atau
b. gabungan antara 1 (satu) anggota pengurus lama dengan pihak lain diluar
anggota pengurus lama.
(3) Pengelola…..
- 14 -
(3) Pengelola Sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan tugas-
tugas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia termasuk tugas dalam rangka
pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah.
(4) Pengelola Sementara melaksanakan tugas dalam jangka waktu selama-lamanya 6
(enam) bulan sejak ditandatanganinya surat penunjukan dan pengangkatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pengelola Sementara menerima honorarium sebesar jumlah tertentu yang telah
ditetapkan dalam surat penunjukan dan pengangkatan.
Pasal 18
(1) Pengelola Sementara melakukan verifikasi atas :
a. tabungan dan deposito berjangka dan atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu yang dijamin Pemerintah, yang hasilnya dicatat dalam daftar
nominatif;
b. Asset BPR yang telah dibekukan yang hasilnya dicatat dalam daftar asset.
(2) Pengelola Sementara bertanggung jawab atas kebenaran material terhadap hasil
verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pengelola Sementara setiap bulan wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia mengenai perkembangan pelaksanaan tugasnya.
Pasal 19
(1) Hasil verifikasi simpanan pihak ketiga yang dilakukan oleh Pengelola Sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a diteliti kebenarannya oleh
KAP.
(2). KAP…..
- 15 -
(2) KAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
(3) Bank Indonesia melakukan proses seleksi KAP untuk membantu Menteri
Keuangan dalam pelaksanaan pemilihan dan penunjukan KAP.
(4) KAP menerima professional fee yang besarnya ditetapkan dalam kontrak kerja.
Pasal 20
(1) Pembayaran jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
dilakukan oleh Bank Pembayar.
(2) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank Pembayar melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar.
(4) Bank Pembayar menerima fee sebesar persentase tertentu dari realisasi
pembayaran simpanan pihak ketiga yang telah ditetapkan dalam perjanjian
kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Pembayar.
Pasal 21
(1) BPR wajib menyerahkan bukti tanda terima uang sebesar jumlah dana jaminan
Pemerintah yang dibayarkan.
(2) Dalam bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan bahwa BPR bersedia mengembalikan dana jaminan Pemerintah yang
bersumber dari hasil pencairan asset BPR bersangkutan.
(3). Bukti…..
- 16 -
(3) Bukti tanda terima uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani
oleh Pengelola Sementara dan diserahkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 22
Pengelola Sementara mengajukan permohonan penyediaan dana jaminan Pemerintah
dan biaya operasional Pengelola Sementara kepada Bank Indonesia, dilampiri
dengan :
a. daftar nominatif simpanan pihak ketiga yang akan dibayar berdasarkan hasil
verifikasi Pengelola Sementara yang telah diteliti kebenarannya oleh KAP;
b. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah ditandatangani oleh
Pengelola Sementara;
c. surat pernyataan kebenaran hasil verifikasi yang telah ditandatangani oleh KAP;
d. rincian biaya operasional Pengelola Sementara dalam rangka pelaksanaan
penjaminan Pemerintah.
Pasal 23
Dalam hal terdapat nasabah penyimpan dana yang memiliki utang pada BPR,
pembayaran simpanan nasabah dimaksud dilakukan setelah utang tersebut terlebih
dahulu dikompensasikan dengan simpanannya pada BPR yang bersangkutan, tanpa
memperhitungkan tanggal jatuh tempo utang tersebut.
Pasal 24
(1) Simpanan pihak ketiga yang belum dibayarkan dengan menggunakan dana
jaminan Pemerintah sampai dengan berakhirnya masa tugas Pengelola Sementara
dilanjutkan …..
- 17 -
dilanjutkan pembayarannya oleh Tim Likuidasi selama-lamanya dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak Tim Likuidasi terbentuk.
(2) Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk setelah BPR
dicabut izin usahanya.
(3) Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui, Tim Likuidasi mengembalikan sisa dana Jaminan Pemerintah yang
belum diambil oleh nasabah penyimpan kepada Pemerintah melalui rekening
Menteri Keuangan yang ditunjuk.
(4) Dalam hal Tim Likuidasi telah mengembalikan dana Jaminan Pemerintah yang
belum diambil oleh nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
maka pembayaran kepada nasabah tersebut selanjutnya menjadi beban BPR dan
dilakukan oleh Tim Likuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) menyelesaikan dana
jaminan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
JANGKA WAKTU PENJAMINAN BPR
Pasal 26
(1) Program Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal 26 Januari 1998 sampai
dengan dinyatakan berakhir oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah mengumumkan berakhirnya Program Penjaminan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sebelum Program Penjaminan Pemerintah tersebut dinyatakan
berakhir.
BAB V …..
- 18 -
BAB V
KETENTUAN LAIN - LAIN
Pasal 27
(1) Pengelola Sementara dapat menerima setoran angsuran kredit dan atau tagihan
BPR yang telah dibekukan kegiatan usahanya.
(2) Pengelola Sementara dapat menyerahkan agunan kredit yang dikuasai BPR
kepada debitur apabila debitur yang bersangkutan telah menyelesaikan seluruh
kewajibannya.
(3) Setoran angsuran kredit dan atau tagihan BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib ditempatkan dalam rekening atas nama Pengelola Sementara di Bank
Pembayar.
(4) Penarikan hasil setoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) BPR yang tidak termasuk peserta Program Penjaminan Pemerintah berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia ini dapat menjadi peserta Program Penjaminan
Pemerintah dengan melakukan Merger, Konsolidasi atau Akuisisi dengan syarat :
a. Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan Kualitas Aktiva Produktif BPR hasil
Merger, Konsolidasi, Akuisisi tergolong Sehat; dan
b. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak akta Merger, Konsolidasi atau Akuisisi
ditandatangani.
BAB VI…
- 19 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
BPR yang termasuk sebagai peserta Program Penjaminan Pemerintah sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap sebagai peserta Program
Penjaminan Pemerintah.
Pasal 30
BPR yang tidak termasuk peserta Program Penjaminan Pemerintah sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan tidak melakukan Merger, Konsolidasi
atau Akuisisi, dapat mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. menyampaikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7;
b. memiliki tingkat kesehatan
posisi terakhir sebelum tanggal pengajuan
permohonan keikutsertaan dalam penjaminan sekurang-kurangnya cukup sehat
dan tidak dalam status BPR Dalam Pengawasan Khusus;
c. melunasi kewajiban pembayaran fee yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah
fee untuk periode terakhir sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dikalikan dengan jumlah periode pembayaran fee yang seharusnya dibayar apabila
BPR menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah;dan
d. membayar denda sebesar 10% (sepuluh perseratus ) dari jumlah kewajiban
sebagaimana dimaksud huruf c, dengan jumlah denda sekurang-kurangnya
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
e. Pembayaran …..
- 20 -
e. Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam huruf d disetor dengan cara
tunai atau melalui transfer/kliring ke rekening Bendaharawan Umum Negara
Nomor 502.000.000 pada Bank Indonesia dengan Mata Anggaran Penerimaan
(MAP) 0892 Pendapatan Denda.
f. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d wajib
dipenuhi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Ketentuan pelaksanaan tentang persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR dan perubahannya diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 32
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001, tentang Persyaratan Dan Tatacara
Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan
Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2001, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4123), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33 ….
- 21 -
Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Nopember 2003.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 September 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 101
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/17/PBI/2003
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN
JAMINAN PEMERINTAH
TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 193 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998 memberikan jaminan terhadap
kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam melaksanakan program
penjaminan Pemerintah tersebut, Pemerintah dibantu untuk sementara waktu oleh Bank
Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah sampai dengan terbentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan atau Pemerintah menghentikan program penjaminan
terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, belum seluruh Bank Perkreditan Rakyat dapat mengikuti
Program Penjaminan Pemerintah akibat menghadapi beberapa kendala, seperti tidak
dapat memenuhi seluruh persyaratan program penjaminan yang disebabkan adanya
hambatan administratif maupun karena dikeluarkan dari program penjaminan akibat
terlambat membayar fee penjaminan.
Sehubungan …..
- 2 -
Sehubungan dengan itu, untuk memberikan kesempatan agar Bank Perkreditan
Rakyat yang menghadapi kendala di atas dapat mengikuti program Penjaminan
Pemerintah dan melindungi kepentingan nasabah maka dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia sebagai pengganti Peraturan Bank Indonesia
No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan
Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Pasal 2 …..
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Angka 1
Nominal deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu dalam huruf ini adalah yang dimiliki oleh
nasabah perorangan, perusahaan, organisasi, yayasan dan lembaga bukan
bank.
Deposito Berjangka yang telah jatuh tempo dan belum dibayarkan oleh
BPR termasuk dalam pengertian Deposito Berjangka
Huruf a
Angka 2
Suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah pada Bank
Umum yang digunakan sebagai batas maksimum suku bunga yang dijamin
adalah suku bunga penjaminan yang diumumkan Bank Indonesia pada
bulan sebelumnya, dengan ketentuan :
a. untuk tabungan adalah suku bunga simpanan pihak ketiga jangka
waktu 1 (satu) bulan;
b. untuk …..
- 4 -
b. untuk deposito berjangka adalah suku bunga simpanan pihak ketiga
sesuai dengan jangka waktunya.
Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak
ketiga lebih rendah daripada suku bunga penjaminan maka suku bunga
yang dijamin adalah sebesar suku bunga yang ditetapkan oleh BPR kepada
nasabah dimaksud.
Dalam hal suku bunga yang ditetapkan oleh BPR terhadap simpanan pihak
ketiga lebih tinggi daripada suku bunga penjaminan maka suku bunga
yang dijamin adalah sebesar suku bunga penjaminan, sedangkan
kelebihannya tidak dijamin oleh Pemerintah dan menjadi beban BPR.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada umumnya perhitungan bunga simpanan pihak ketiga untuk bunga
tabungan pada akhir bulan, sedangkan untuk bunga deposito berjangka
dihitung setiap bulan sesuai dengan tanggal penerbitan bilyet deposito
berjangka.
Ayat (2)
BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha, antara lain dibuktikan
dengan :
a. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank Indonesia
selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
b. laporan bulanan yang disampaikan kepada Bank Indonesia selama 12
(dua belas) bulan terakhir tidak ada perubahan dalam pos-pos neraca
terutama …..
- 5 -
terutama yang berkaitan dengan penghimpunan dana dan pemberian
kredit;
c. pengurus dan atau pemilik BPR tidak diketahui keberadaannya; atau
d. adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR sudah tidak melakukan
kegiatan usaha.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Simpanan yang tidak didukung oleh dokumen yang sah adalah simpanan
yang tidak memiliki dokumen pendukung yang mendasari terjadinya
transaksi tersebut misalnya slip setoran, kartu tabungan, print out
komputer, dan tembusan bilyet deposito berjangka.
Simpanan yang tidak tercatat antara lain meliputi tabungan atau deposito
berjangka fiktif.
Pasal 6…..
- 6 -
Pasal 6
BPR yang dapat ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah adalah BPR
yang telah memperoleh izin usaha, yaitu :
a. BPR yang didirikan setelah Pakto 1988;
b. Bank Karya Produksi Desa (BKPD);
c. Bank Pasar/ Bank Desa;
d. BPR Eks Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) yaitu LDKP yang telah
dikukuhkan menjadi BPR, yang sebelumnya adalah :
(1) Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat ;
(2) Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Bengkulu, dan Pekanbaru;
(3) Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur;
(4) Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat;
(5) Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Daerah Istimewa Yogyakarta;
(6) Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat;
(7) Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
Pasal 7
Huruf a
Pemilik/Pemegang saham yang menandatangani surat pernyataan
keikutsertaan dalam Program Penjaminan Pemerintah tersebut adalah
pemilik/ pemegang saham yang memiliki saham 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih, dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali.
Bagi……
- 7 -
Bagi BPR yang dimiliki oleh badan hukum maka penandatanganan surat
pernyataan dilakukan oleh pengurus yang berwenang mewakili badan
hukum sesuai anggaran dasar masing-masing.
Dalam hal tidak terdapat pemegang saham dengan kepemilikan 25% (dua
puluh lima perseratus) atau lebih dan tidak terdapat pemegang saham
kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) namun bertindak sebagai
pemegang saham pengendali, surat pernyataan dari pemegang saham
tidak diwajibkan.
Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, Komisaris atau Pemegang
Saham yang memiliki sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dan atau kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) namun bertindak sebagai pemegang saham pengendali maka
BPR wajib menyampaikan surat pernyataan keikutsertaan yang
ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham yang baru.
Dalam hal perubahan Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham belum
tercatat di Bank Indonesia maka surat pernyataan keikutsertaan
ditandatangani oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham sesuai
RUPS atau Rapat Anggota yang mengesahkan perubahan dimaksud.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9…..
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Tanggal pembayaran adalah sebagai berikut :
a. untuk pembayaran yang dilakukan melalui setoran tunai di Bank
Indonesia, dihitung sejak diterimanya setoran tersebut di Bank Indonesia,
b. untuk pembayaran yang dilakukan melalui kliring/transfer dihitung sejak
tanggal yang tertera pada warkat penyetoran/pemindahbukuan melalui
salah satu Bank Umum untuk selanjutnya diperhitungkan dalam
kliring/transfer.
Ayat (2) …..
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program
Penjaminan Pemerintah dimaksudkan untuk mendorong BPR untuk
menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah.
Kewajiban BPR untuk mengumumkan ketidakikutsertaan dalam Program
Penjaminan Pemerintah dalam waktu 3 (tiga) hari kerja dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat atau nasabah guna mengambil keputusan
mengenai simpanannya yang terdapat di BPR yang bersangkutan dalam
waktu singkat.
Pengumuman dilakukan dengan cara menempel di papan pengumuman di
kantor BPR yang bersangkutan yang mudah diketahui dan dibaca oleh
masyarakat luas selama BPR tidak termasuk sebagai peserta Program
Penjaminan Pemerintah.
Ayat (3)
Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau papan
pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan yang mudah diketahui
dan dibaca oleh masyarakat luas selama BPR tidak termasuk sebagai
peserta Program Penjaminan Pemerintah.
Ayat (4) …..
- 10 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ayat ini
adalah ketentuan yang antara lain mengatur tentang pencabutan izin usaha,
pembubaran dan likuidasi bank.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tanggal penyampaian laporan adalah :
a. tanggal tanda terima dari Bank Indonesia apabila diantar langsung ke
Bank Indonesia.
b. tanggal stempel pos atau tanda terima dari jasa pengiriman surat
apabila melalui kantor pos atau jasa pengiriman surat lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
BPR dinyatakan mengalami kesulitan likuiditas antara lain apabila BPR
tersebut
tidak memiliki alat likuid yang cukup untuk memenuhi
kewajiban pembayaran simpanan pihak ketiga.
Pasal 15…..
- 11 -
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dapat menjadi Pengelola Sementara adalah para pihak yang tidak
dilarang untuk menjadi pengurus atau pemegang saham bank sesuai
ketentuan Bank Indonesia, serta memiliki pengalaman dan atau
pengetahuan di bidang perbankan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak lain di luar anggota pengurus lama adalah
karyawan, pejabat, pemegang saham BPR yang bersangkutan dan pihak
lainnya.
Pengelola Sementara hanya dapat merangkap sebagai anggota Pengelola
Sementara sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR
Ayat (3)
Tugas-tugas Pengelola Sementara akan ditetapkan oleh Bank Indonesia
dalam surat penunjukan dan pengangkatan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)…..
- 12 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebenaran material adalah hasil verifikasi
terhadap simpanan pihak ketiga dan asset BPR yang tercatat dan
didukung dengan bukti-bukti yang sah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …..
- 13 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 25
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ayat
ini ketentuan antara lain mengatur tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
dan Likuidasi Bank.
Pasal 26…..
- 14 -
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pengelola Sementara tidak diperbolehkan melakukan penagihan kredit dan
pencairan asset kecuali menerima pembayaran angsuran kredit.
Ayat (2)
Penyerahan agunan kredit yang dilakukan oleh Pengelola Sementara
kepada debitur wajib disertai dengan bukti tanda terima.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Perhitungan CAR dan Rasio Kualitas Aktiva Produktif BPR hasil Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi dilakukan atas dasar hasil penilaian Bank
Indonesia.
Perhitungan CAR dimaksud didasarkan pada efektifitas modal disetor
meskipun pemenuhan persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku belum diselesaikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29….
- 15 -
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
BPR yang tidak termasuk peserta program penjaminan pemerintah sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini adalah BPR yang tidak memenuhi
persyaratan Program Penjaminan Pemerintah sampai dengan tanggal 9 Oktober
2001 dan atau BPR yang terlambat atau tidak membayar fee sampai dengan batas
waktu yang ditetapkan sehingga dihentikan keikutsertaannya dalam program
Penjaminan
BPR yang memperoleh izin usaha dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum menjadi peserta Program
Penjaminan Pemerintah, wajib menjadi peserta program dimaksud dengan
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 selambat-lambatnya
3 (tiga) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003
NOMOR 4319
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/17/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATACARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 3 September 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Nopember 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '3/12/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '193/KEPPRES/1998', '25/PP/1999', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB II Pasal 9 Ayat (2)', 'BAB II Pasal 13 Ayat (5)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/33/PBI/2005
TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA
PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN
PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
fungsi penjaminan Bank Perkreditan Rakyat akan dilakukan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan sejak undang-undang
dimaksud berlaku efektif pada tanggal 22 September 2005;
b. bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun
2005 Tentang Pengakhiran Jaminan Pemerintah Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Jaminan
Pemerintah terhadap kewajiban Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan Keppres No. 193 Tahun 1998 berakhir terhitung
sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Lembaga Penjamin Simpanan berlaku efektif;
tentang
c. bahwa …
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan
pencabutan atas ketentuan mengenai persyaratan dan tata
cara pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban
pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor
7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang ...
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420);
4. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Pengakhiran Jaminan Pemerintah Terhadap
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Kewajiban
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN
TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH
TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
PERKREDITAN RAKYAT.
BANK
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Negara Tahun 2003 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4319) beserta peraturan
pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 …
- 4 -
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2005
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 87
DPBPR/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/33/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/17/PBI/2003 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN JAMINAN PEMERINTAH TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 22 September 2005 </set_date>
<effective_date> 22 September 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '5/17/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '43/PERPRES/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 10 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH
DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kondisi ekonomi global yang semakin terintegrasi
membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan
perekonomian domestik antara lain melalui pendalaman
pasar valuta asing domestik;
b. bahwa pendalaman pasar valuta asing domestik
diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi di
Indonesia dengan tetap memperhatikan stabilitas nilai
tukar rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah
dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan ...
- 2 -
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N: ...
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN
TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA
ASING OLEH BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4504) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pembatasan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak berlaku dalam
hal Transaksi Derivatif dilakukan untuk keperluan lindung nilai
(hedging) dalam rangka kegiatan berikut:
a. investasi di Indonesia yang berjangka waktu paling singkat 1
(satu) minggu, yang dihitung sejak tanggal setelmen pembelian
investasi sampai dengan tanggal setelmen penjualan investasi;
b. ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia;
dan/atau
c. perdagangan dalam negeri yang menggunakan Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) sebagaimana diatur dalam
ketentuan ...
- 4 -
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai surat kredit
berdokumen dalam negeri.
(2) Investasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi Penyertaan Langsung, pemberian Kredit, dan pembelian
Surat Berharga, namun tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
(3) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas suatu kegiatan
investasi di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila memenuhi
persyaratan berikut:
a. terdapat realisasi investasi;
b. nilai hedging untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi
investasi yang tercantum dalam dokumen pendukung;
c. nilai investasi yang dapat dilakukan hedging tidak termasuk future
income yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu
penerimaan dari investasi dimaksud;
d. jangka waktu hedging paling singkat 1 (satu) minggu yang
dihitung berdasarkan tanggal dimulainya transaksi hedging
sampai dengan tanggal valuta hedging, dan paling lama sama
dengan jangka waktu investasi; dan
e. transaksi hedging dilengkapi dengan dokumen hedging dan
dokumen investasi yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdapat penghasilan dari investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang jumlah dan waktu penerimaannya
dapat dipastikan, dapat dilakukan hedging dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. hedging hanya dapat dilakukan melalui transaksi outright forward
jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing;
b. penghasilan dari investasi meliputi penghasilan yang telah
diterima maupun yang akan diterima;
c. transaksi ...
- 5 -
c. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang telah
diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan sebanyak 1
(satu) kali transaksi dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu)
minggu;
d. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang akan
diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka
waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan jangka waktu paling
lama sama dengan jangka waktu penerimaan penghasilan;
e. nilai transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah
Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak sebesar nilai
penghasilan dari investasi yang tercantum dalam dokumen
pendukung; dan
f. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(5) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kegiatan
ekspor/impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan
dalam negeri diatur sebagai berikut:
a. jangka waktu hedging paling lama sesuai dengan jangka waktu
kebutuhan pembayaran importir dan/atau penerimaan
pembayaran eksportir;
b. jatuh waktu hedging paling lama sama dengan jatuh waktu
pembayaran importir dan/atau penerimaan pembayaran
eksportir;
c. nilai ...
- 6 -
c. nilai hedging paling banyak sebesar nilai ekspor/impor
perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri
yang tercantum dalam dokumen pendukung; dan
d. dilengkapi dengan dokumen hedging dan dokumen ekspor/impor
perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri
yang bersangkutan.
(6) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan
oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank.
(7) Persyaratan hedging dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu)
minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk
transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi.
(8) Transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur sebagai berikut:
a. jangka waktu outright forward beli valuta asing terhadap rupiah
Bank dengan Pihak Asing sama dengan jangka waktu setelmen
kegiatan investasi;
b. tanggal dimulainya transaksi outright forward beli valuta asing
terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing maupun berakhirnya
transaksi outright forward beli dimaksud sama dengan tanggal
dimulainya dan berakhirnya setelmen kegiatan investasi; dan
c. dilengkapi dengan dokumen pendukung setelmen kegiatan
investasi yang bersangkutan.
2. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
3. Ketentuan ...
- 7 -
3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan
Pasal 12 berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip
Syariah.
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 sampai dengan
Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari
nominal transaksi yang dilanggar.
(2) Total kewajiban membayar untuk sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua
puluh tujuh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun kalender.
Pasal II ...
- 8 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 Agustus
2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 157
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/10/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH
DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
I. UMUM
Dinamika perekonomian nasional dewasa ini dan ke depan
dihadapkan pada sejumlah tantangan, baik dari sisi eksternal maupun
internal. Dalam rangka merespon sekaligus mengantisipasi berbagai
tantangan tersebut, Bank Indonesia memandang perlunya pengembangan
pasar valuta asing domestik dengan memberikan fleksibilitas bagi pelaku
pasar dalam melakukan lindung nilai (hedging) atas kegiatan ekonomi di
Indonesia. Hal ini juga merupakan upaya memperkuat keterkaitan antara
transaksi valuta asing di pasar domestik dengan kegiatan ekonomi
sehingga dapat meminimalkan transaksi valuta asing yang bersifat
spekulatif dan mendukung upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sejalan dengan hal tersebut, dilakukan penyempurnaan terhadap
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank.
Kebijakan ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian nasional.
II. PASAL ...
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ekspor barang dari Indonesia dan impor
barang ke Indonesia menggunakan cara
pembayaran berdasarkan Letter of Credit
(L/C) dan Non L/C.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan realisasi investasi
adalah terjadinya aliran dana dari Pihak
Asing untuk penyelesaian kegiatan investasi,
termasuk investasi yang dalam proses
penyelesaian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Future income antara lain capital gain,
dividen, kupon dan bunga.
Huruf d ...
- 3 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penghasilan dari investasi yang telah diterima
maupun yang akan diterima antara lain
dividen, kupon dan bunga.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Eksportir akan menerima pembayaran dalam
waktu 2 (dua) bulan ke depan. Dalam hal ini,
eksportir dapat melakukan hedging dengan jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan atau eksportir
melakukan hedging dengan jangka waktu kurang
dari 2 (dua) bulan, namun dengan tanggal jatuh
waktu yang sama dengan tanggal jatuh waktu
penerimaan pembayaran.
Ayat (6) ...
- 4 -
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan cover hedging adalah
apabila Bank melakukan hedging kepada Pihak
Asing (bank di luar negeri) atas hedging yang telah
dilakukan nasabah Bank kepada Bank yang
bersangkutan dengan underlying yang dimiliki oleh
nasabah Bank dimaksud.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “transaksi outright forward
beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan
Pihak Asing” adalah transaksi forward yang bukan
berasal dari transaksi swap atau transaksi derivatif
lainnya.
Angka 2
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan tahun kalender adalah 1 Januari
sampai dengan 31 Desember tahun yang
bersangkutan.
Pasal II ...
- 5 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5335
.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/10/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title>
<set_date> 8 Agustus 2012 </set_date>
<effective_date> 14 Agustus 2012 </effective_date>
<issued_date> 8 Agustus 2012 </issued_date>
<changed_reg> '7/14/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 17' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/2/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005
TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menghadapi dampak krisis keuangan global
dan dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil,
diperlukan peran yang lebih besar dari perbankan melalui
pembiayaan kepada dunia usaha;
b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan
pembiayaan pada kondisi krisis Bank perlu meningkatkan
efisiensi dengan tetap menerapkan manajemen risiko yang
memadai;
c. bahwa upaya untuk meningkatkan efisiensi antara lain
dilakukan dengan meninjau pengaturan mengenai
penetapan kualitas aktiva, cara perhitungan agunan
sebagai pengurang penyisihan penghapusan aktiva dan
penetapan properti terbengkalai;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan
perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana
telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Peraturan …
- 3 -
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4716);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4716) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan …
- 4 -
1. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Penetapan kualitas dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran
pokok dan/atau bunga, untuk:
a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh
setiap Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan
jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah);
b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan
jumlah:
1) lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko
kredit “sangat memadai” (strong);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3).
2) lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki …
- 5 -
a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko untuk risiko kredit “dapat diandalkan”
(acceptable);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3).
c. Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang
dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko
kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
yang digunakan dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada
penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada Bank pada tiap
semester.
(3) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
sebagai berikut:
a. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan
Januari sampai dengan Juni menggunakan predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio
KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
selambat-lambatnya posisi bulan September; dan
b. penilaian …
- 6 -
b. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Juli
sampai dengan Desember menggunakan predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio
KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
selambat-lambatnya posisi bulan Maret.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang
diberikan kepada 1 (satu) debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan jumlah lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
yang merupakan:
a. Kredit yang direstrukturisasi; dan/atau
b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank.
(5) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59.
(6) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan dalam prinsip
perkreditan yang sehat, Bank Indonesia dapat menetapkan penilaian
kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank kepada debitur
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10.
2. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Properti
Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Penetapan …
- 7 -
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
(3) Bagian properti yang tidak digunakan Bank dari suatu properti yang
digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas, tidak
digolongkan sebagai Properti Terbengkalai.
(4) Dalam hal Bank tidak menggunakan bagian dari suatu properti secara
mayoritas, maka bagian properti yang tidak digunakan untuk kegiatan
usaha Bank digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara
proporsional.
3. Diantara Pasal 47 dan Pasal 48, disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 47A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
(1) Dalam hal agunan akan digunakan sebagai pengurang PPA, penilaian
agunan paling kurang dilakukan oleh:
a. penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (7) bagi Aktiva Produktif kepada debitur atau Kelompok
Peminjam dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah);
b. penilai intern Bank bagi Aktiva Produktif kepada debitur
atau Kelompok Peminjam dengan jumlah sampai dengan
Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan sejak awal pemberian Aktiva Produktif.
4. Ketentuan …
- 8 -
4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di
bursa efek pada akhir bulan;
b. Tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal,
paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) dan penilaian oleh penilai
independen dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan
terakhir; atau
b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian
oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir atau penilaian oleh penilai independen dilakukan
dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir.
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) dan penilaian yang dilakukan oleh
penilai independen telah melampaui 18 (delapan belas)
bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat)
bulan terakhir; atau
b) untuk …
- 9 -
b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian
yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui
12 (dua belas) bulan namun belum melampaui
18 (delapan belas) bulan terakhir atau penilaian oleh
penilai independen dilakukan telah melampaui
18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui
24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) dan penilaian oleh penilai
independen telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan
namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir;
atau
b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian
yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui
18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui
24 (dua puluh empat) bulan terakhir atau penilaian yang
dilakukan oleh penilai independen telah melampaui
24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui
30 (tiga puluh) bulan terakhir.
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila:
a) untuk …
- 10 -
a) untuk Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) dan penilaian yang dilakukan oleh
penilai independen telah melampaui 30 (tiga puluh) bulan
terakhir; atau
b) untuk Aktiva Produktif kurang dari atau sama dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan penilaian
yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui
24 (dua puluh empat) bulan terakhir atau penilaian yang
dilakukan oleh penilai independen telah melampaui
30 (tiga puluh) bulan terakhir.
c. Tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal, mesin yang
dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara,
kapal laut, resi gudang, dan persediaan paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
yang dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun
belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
yang dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan
namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan
terakhir; atau
4) 0% …
- 11 -
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan
terakhir.
(2) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah dalam hal terdapat
beberapa penilaian terhadap suatu agunan untuk posisi yang sama baik
yang dilakukan oleh penilai independen maupun penilai intern.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan nilai agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang PPA lebih rendah dari penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, berdasarkan
pertimbangan pengawasan.
5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilarang
melebihi nilai pengikatan agunan.
(2) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA ditetapkan berdasarkan nilai terendah antara
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan
nilai pengikatan agunan.
6. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13 …
- 12 -
Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47,
Pasal 47A, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60,
Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66,
Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 dapat dikenakan sanksi
administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank
dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham
dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib
membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva
dimaksud.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Januari 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Januari 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 28
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/2/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005
TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM
I. UMUM
Sebagai suatu lembaga yang fungsi utamanya adalah menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat, peran perbankan untuk menunjang pergerakan
sektor riil melalui pembiayaan sangat diharapkan termasuk dalam kondisi
menghadapi dampak krisis keuangan global.
Bahwa dalam menghadapi krisis keuangan global, terdapat tekanan
terhadap kondisi likuiditas dan rentabilitas Bank. Berkaitan dengan hal tersebut
diperlukan efisiensi dalam kegiatan operasional agar Bank tetap dapat melakukan
pembiayaan secara optimal dengan dana yang dimiliki. Dalam melaksanakan
pembiayaan dimaksud, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada
tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian dari
penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan manajemen risiko
kredit pada setiap tahapan penyediaan dana, termasuk menjaga kualitas aktiva
dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara
efektif.
Dalam …
- 2 -
Dalam rangka mengoptimalkan peran pembiayaan oleh perbankan dan
melihat perkembangan kondisi yang terjadi dewasa ini, dipandang perlu untuk
menyesuaikan beberapa ketentuan dalam penilaian kualitas aktiva bank.
Penyesuaian ini diharapkan dapat mempertahankan peran Bank dalam
menunjang pembiayaan sektor riil.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 35
Ayat (1)
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas
yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau proyek,
baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam
dalam hal Kredit dan penyediaan dana lainnya digunakan
untuk membiayai proyek yang sama.
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya
adalah penerbitan jaminan dan atau pembukaan letter
of credit.
Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana
lainnya adalah semua jenis Kredit atau penyediaan
dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan
debitur.
Huruf b …
- 3 -
Huruf b
Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu saat ini diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Angka 1)
Huruf a)
Kecukupan sistem pengendalian risiko
(risk control system) meliputi:
a. pengawasan aktif Komisaris dan
Direksi Bank;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit;
c. kecukupan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, pengendalian, dan sistem
informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
komprehensif,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Secara …
- 4 -
Secara umum, predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit yang sangat memadai
(strong) dicerminkan melalui penerapan
seluruh komponen sistem pengendalian
risiko tersebut di atas terhadap seluruh
risiko kredit yang efektif untuk memelihara
kondisi internal Bank yang sehat. Apabila
terdapat kelemahan dalam penerapan
pengendalian intern, kelemahan tersebut
tidak bersifat material terhadap risiko
kredit dan dapat segera dilakukan tindakan
korektif sehingga tidak menimbulkan
pengaruh yang signifikan terhadap kondisi
Bank.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat
komposit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
Angka 2) …
- 5 -
Angka 2)
Huruf a)
Kecukupan sistem pengendalian risiko
(risk control system) meliputi:
a. pengawasan aktif Komisaris dan
Direksi Bank;
b. kecukupan kebijakan, prosedur dan
penetapan limit;
c. kecukupan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, pengendalian, dan sistem
informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
komprehensif,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.
Secara umum, predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit dapat diandalkan
(acceptable) dicerminkan melalui
penerapan seluruh komponen sistem
pengendalian risiko tersebut di atas
terhadap seluruh risiko kredit yang cukup
efektif untuk memelihara kondisi internal
Bank …
- 6 -
Bank yang sehat. Apabila terdapat
kelemahan dalam penerapan pengendalian
intern terhadap risiko kredit, kelemahan
tersebut tidak bersifat material terhadap
risiko kredit dan apabila tidak segera
dilakukan tindakan korektif dapat
menimbulkan pengaruh yang signifikan
terhadap kondisi Bank.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat
komposit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
Huruf c
Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur
dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah
tertentu adalah Kredit atau penyediaan dana lain dari
Bank untuk investasi dan atau modal kerja di daerah
tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia
memerlukan penanganan khusus untuk mendorong
pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan.
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah
penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit.
Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana
lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas
yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur
individual maupun kelompok peminjam yang diterima
dari satu Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur
terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank
secara individual.
Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan
jumlah lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang
merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank
tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang
diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek
yang …
- 8 -
yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 40
Ayat (1)
Yang termasuk dalam Properti Terbengkalai antara lain
tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha Bank seperti gedung dan/atau tanah yang
disewakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) dan ayat (4)
Yang dimaksud dengan “digunakan untuk kegiatan usaha
Bank secara mayoritas” adalah Bank menggunakan porsi
terbesar yaitu lebih dari 50% (lima puluh perseratus).
Pengukuran bagian yang digunakan untuk kegiatan usaha
Bank dilakukan secara terpisah untuk masing-masing
properti.
Sebagai contoh:
Properti A digunakan untuk kegiatan usaha Bank
sebesar 65%.
Properti …
- 9 -
Properti B digunakan untuk kegiatan usaha Bank
sebesar 40%.
Properti C seluruhnya tidak digunakan untuk kegiatan
usaha Bank.
Dalam hal ini, properti A seluruhnya tidak digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai, properti B digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai sebesar 60% dan properti C
seluruhnya digolongkan sebagai Properti Terbengkalai.
Angka 3
Pasal 47A
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan
kepada debitur atau Kelompok Peminjam.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penilaian agunan oleh penilai intern Bank mengacu
kepada standar penilaian yang digunakan oleh penilai
independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4 …
- 10 -
Angka 4
Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Peringkat investasi adalah peringkat investasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai Lembaga Pemeringkat dan
Peringkat yang Diakui Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan
tertulis dari penilai independen atau penilai intern
Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai
ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap
fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan
prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan
oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang.
Huruf c
Termasuk tanah dan/atau bangunan bukan untuk
tempat tinggal antara lain rumah toko (ruko), tanah
perkebunan, dan tanah pertambangan.
Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan
tertulis dari penilai independen atau penilai intern
Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai
ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap
fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan
prinsip …
- 11 -
prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan
oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang.
Penilaian agunan mengacu pada pengaturan dalam
Pasal 47A.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain
berdasarkan data historis nilai realisasi agunan, yang pada
umumnya jauh lebih rendah dari nilai agunan yang telah
diperhitungkan sebagai pengurang PPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan/atau terdapat gap yang besar
antara hasil penilaian dengan perhitungan present value
dari agunan.
Angka 5
Pasal 49
Ayat (1)
Diperhitungkannya agunan sebagai pengurang PPA yang
wajib dibentuk oleh Bank terkait dengan fungsi agunan
sebagai alat mitigasi risiko kredit. Sehubungan dengan itu,
agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPA
adalah agunan yang dapat direalisasi oleh Bank pada saat
terjadi wanprestasi atas penyediaan dana yang diberikan.
Ayat (2) …
- 12 -
Ayat (2)
Sebagai contoh:
Penilaian agunan dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir dengan hasil penilaian agunan sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Agunan
yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA: 70% (tujuh puluh perseratus) x
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) =
Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh milyar rupiah).
Apabila nilai pengikatan terhadap agunan dimaksud adalah
Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah), maka
agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang
dalam pembentukan PPA adalah Rp60.000.000.000,00
(enam puluh milyar rupiah).
Angka 6
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2009 NOMOR 4977
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/2/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 29 Januari 2009 </effective_date>
<issued_date> 29 Januari 2009 </issued_date>
<changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '9/6/PBI/2007' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/2/PBI/2005', '9/6/PBI/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 73' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR. 13/ 8 /PBI/2011
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
sektor moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang lebih
efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real
time, tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap,
dan mudah untuk diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud
di atas, dibangun suatu sistem pelaporan harian dari bank
guna memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan
dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta
pengawasan bank yang berbasis risiko;
c. bahwa untuk menyediakan informasi yang lebih utuh,
komprehensif, dan berkualitas dalam rangka penetapan dan
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
diperlukan penyempurnaan dan perluasan cakupan laporan
harian bank umum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur
kembali ...
2
kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian
Bank Umum;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN ...
3
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
HARIAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang Bank asing
di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang
berbadan hukum Indonesia, kantor cabang bank asing, dan unit usaha
syariah.
3. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian
kepada Bank Indonesia.
4. Pelanggan LHBU adalah pihak selain Bank Pelapor, yang dapat memperoleh
hasil olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
5. Perjanjian Penggunaan LHBU adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Indonesia dengan Pelanggan LHBU mengenai penggunaan LHBU dengan
syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
6. Penyampaian ...
4
6. Penyampaian laporan secara on-line, adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan
komunikasi data kepada Bank Indonesia.
7. Penyampaian laporan secara off-line, adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau
media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia.
8. Pasar Uang Antar Bank, yang selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan
pinjam-meminjam dalam rupiah dan/atau valuta asing antar Bank
konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
9. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya
disebut PUAS, adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antar Bank
berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
10. Data Jakarta InterBank Offered Rate, yang selanjutnya disebut Data JIBOR,
adalah suku bunga indikasi penawaran dalam transaksi PUAB di Indonesia
yang berasal dari kontributor JIBOR.
11. Hari Kerja adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank Indonesia
menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time
Gross Settlement.
BAB II
PENYUSUNAN DATA LHBU
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU.
(2) LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data transaksional dan
data non transaksional.
(3) Data transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data:
a. PUAB ...
5
a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi rupiah, PUAB sore rupiah, PUAB
valuta asing, dan PUAB luar negeri;
b. PUAS;
c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; dan
d. transaksi valuta asing.
(4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data:
a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah;
h. suku bunga dasar kredit;
i. suku bunga kredit;
j. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku
bunga tabungan;
k. suku bunga penawaran;
l. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan
m. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
(5) Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 3 ...
6
Pasal 3
(1) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk penyusunan dan
penyampaian LHBU, serta menginformasikan penunjukan tersebut kepada
Bank Indonesia.
(2) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab dari direksi Bank,
pimpinan kantor cabang bank asing, dan/atau kepala unit usaha syariah.
(3) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor harus menginformasikan perubahan
dimaksud kepada Bank Indonesia.
BAB III
PENYAMPAIAN LHBU
Pasal 4
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia secara
lengkap, akurat, dan benar.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan data transaksional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berikut form header segera setelah
terjadinya transaksi secara real time setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan data non transaksional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap Hari Kerja pada
tanggal laporan berdasarkan:
a. posisi akhir hari;
b. proyeksi; atau
c. data riil,
sesuai dengan masing-masing jenis data yang dilaporkan.
(4) Bank ...
7
(4) Bank Pelapor wajib menyampaikan form header walaupun tidak memiliki
data transaksional dan/atau data non transaksional.
(5) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(6) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak berlaku dalam hal Bank Pelapor tidak beroperasi, dengan
terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia menetapkan Data JIBOR berdasarkan data suku bunga
penawaran pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.
(2) Penetapan Data JIBOR diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 6
Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan kepada
Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU dalam batas
waktu koreksi yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU kepada
Bank Indonesia secara on-line.
(2) Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Pelapor wajib melaporkan secara off-line.
(3) Penyampaian ...
8
(3) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam hal:
a. Bank Pelapor mengalami gangguan teknis untuk penyampaian LHBU
dan/atau koreksi LHBU; atau
b. Bank Indonesia mengalami gangguan teknis atau gangguan lainnya
pada sistem dan/atau jaringan komunikasi.
(4) Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis dan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal penyampaian
LHBU dan/atau koreksi LHBU dilakukan secara off-line sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(5) Batas waktu pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
adalah pada hari kerja yang sama sebelum batas waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).
(6) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Pelapor dianggap tidak
menyampaikan LHBU baik secara on-line maupun secara off-line.
(7) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem
dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia, maka Bank Indonesia
akan memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau
melalui sarana lainnya kepada Bank Pelapor.
(8) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU secara on-line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU secara off-line pada Hari Kerja yang sama untuk data:
a. PUAB pagi rupiah;
b. PUAB sore rupiah;
c. PUAB valuta asing;
d. PUAS ...
9
d. PUAS;
e. perdagangan surat berharga di pasar sekunder;
f. suku bunga dasar kredit;
g. suku bunga kredit;
h. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku
bunga tabungan;
i.
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; dan
j. suku bunga penawaran.
(9) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU secara on-line yang disebabkan oleh gangguan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU secara off-line pada Hari Kerja berikutnya untuk data:
a. PUAB luar negeri;
b. transaksi valuta asing;
c. posisi devisa neto;
d. pos-pos tertentu neraca;
e. proyeksi arus kas;
f. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
g. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
h. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
i. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan
j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
(10) Batas waktu penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 8 ...
10
Pasal 8
(1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara on-line apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian LHBU dan/atau
koreksi LHBU sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara off-line apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).
Pasal 9
(1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, tetap wajib menyampaikan
LHBU dan/atau koreksi LHBU untuk data:
a. PUAB;
b. PUAS;
c. transaksi valuta asing;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
h. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing;
i. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
j. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan
k. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
(2) Tata ...
11
(2) Tata cara penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU
dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force
majeure)
sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat
menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU tersebut.
(2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera memberitahukan
secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai
penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) beserta upaya-
upaya yang dilakukan, yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai
dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat teratasi.
BAB IV
HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor
dan/atau Pelanggan LHBU.
(2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk agregat, termasuk
Data JIBOR; dan
b. data individual Bank Pelapor.
Pasal 12 ...
12
Pasal 12
(1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk agregat,
data individual Bank Pelapor yang bersangkutan, dan data individual
tertentu Bank Pelapor lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan LHBU dalam bentuk
agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Pelanggan LHBU atas
penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
(1) Untuk menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) calon Pelanggan LHBU harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh
Bank Indonesia, calon Pelanggan LHBU menandatangani Perjanjian
Penggunaan LHBU dengan Bank Indonesia.
(3) Ketentuan pelaksanaan mengenai Pelanggan LHBU diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Pasal 14
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank
Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa
dikenakan biaya.
(2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap
tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Bank ...
13
(3) Bank Indonesia menyediakan hak akses kepada Pelanggan LHBU dengan
dikenakan biaya.
(4) Bank Pelapor dan Pelanggan LHBU bertanggung jawab atas hak akses
terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia.
(5) Ketentuan pelaksanaan mengenai hak akses dan biaya diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 15
Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LHBU oleh Bank
Pelapor.
BAB VI
S A N K S I
Pasal 16
(1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c secara on-line
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau tidak
menyampaikan secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (8) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, Pasal 7
ayat (9) huruf a dan Pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban
membayar ...
14
membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
hari untuk keseluruhan data transaksional.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d secara on-line dalam batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau tidak
menyampaikan secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (9) huruf b dan Pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional.
(3) Bank pelapor yang tidak menyampaikan data non transaksional secara on-
line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dalam batas waktu
penyampaian LHBU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (5) atau secara off-line dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (8) huruf f sampai dengan huruf j dan Pasal 7 ayat (9)
huruf c sampai dengan huruf j, dan pasal 7 ayat (10), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan.
(4) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan form header LHBU secara on-line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 4
ayat (4) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (5) atau secara off-Line dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8), Pasal 7 ayat (9) dan Pasal 7 ayat (10),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap form header.
(5) Bank ...
15
(5) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf c dan Pasal 2 ayat (4) huruf d sampai dengan huruf m, Pasal 7 ayat (8)
dan Pasal 7 ayat (9) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i, dan huruf j
dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
secara tidak benar dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan
dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) untuk setiap form per hari.
(6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan non transaksional
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d dan Pasal 2
ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 7 ayat (9) huruf b, huruf f,
huruf g, dan huruf h dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir
(item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari.
(7) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat
transaksi yang wajib disampaikan Bank Pelapor sesuai dengan peraturan ini
maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan form header
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan sanksi tidak menyampaikan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan/atau ayat (3).
Pasal 17
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro rupiah Bank
Pelapor pada Bank Indonesia.
Pasal 18 ...
16
Pasal 18
Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 19
Bank Indonesia mengenakan sanksi terhadap Pelanggan LHBU yang tidak
melakukan pembayaran biaya penggunaan LHBU sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Penggunaan LHBU berupa:
a. teguran tertulis;
b. kewajiban membayar; dan/atau
c. penghentian sebagai Pelanggan LHBU.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Perjanjian Penggunaan PIPU yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, dinyatakan masih tetap berlaku dan diperlakukan sebagai
Perjanjian Penggunaan LHBU sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
(1) Kewajiban penyusunan dan penyampaian LHBU untuk data non
transaksional posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank
sebagaimana ...
17
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf l untuk Bank non devisa
mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2011.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (7) dan Pasal 18 terhadap penyusunan dan penyampaian
LHBU untuk data non transaksional posisi saldo harian pinjaman luar negeri
jangka pendek Bank dan posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf l dan huruf m mulai
berlaku pada tanggal 2 Mei 2011.
Pasal 22
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian
Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b. Semua istilah JIBOR yang tercantum dalam ketentuan Bank Indonesia
yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus
dibaca sebagai JIBOR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23 ...
18
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Februari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Februari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Februari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 15
DPM/UKMI/DINT/DSM/DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/8/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date>
<issued_date> 4 Februari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '9/2/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/
26 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN
PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Bank Perkreditan Rakyat memiliki peranan
yang penting dalam mendukung perkembangan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM);
b. bahwa dalam rangka mendorong pemberian Kredit
termasuk kepada UMKM, Bank Perkreditan Rakyat
harus senantiasa memperhatikan azas-azas
perkreditan yang sehat;
c. bahwa ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif
dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang berlaku
selama…
- 2 -
selama ini perlu disempurnakan dan diselaraskan
dengan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) bagi BPR
dan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat
(PA BPR);
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva
Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan
Rakyat;
Mengingat: 1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran…
- 3 -
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS
AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BANK PERKREDITAN RAKYAT.
Pasal
I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 76,
Tambahan…
- 4 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4645) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah
untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat
Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank.
3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara BPR dengan pihak
peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI, adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank…
- 5 -
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR
pada bank lain dalam bentuk tabungan, deposito berjangka,
sertifikat deposito, Kredit yang diberikan dan penanaman dana
lainnya yang sejenis.
6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, yang selanjutnya
disebut PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar
persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan
kualitas Aktiva Produktif.
7. Pengurus BPR adalah anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Perkreditan Rakyat.
8. Debitur adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan
yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.
9. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan
BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap Debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang
dilakukan melalui:
a. penjadwalan kembali, yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban Debitur atau jangka waktu;
b. persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh
persyaratan Kredit yang tidak terbatas pada perubahan
jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan
lainnya…
- 6 -
lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
plafon Kredit; dan/atau
c. penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan Kredit yang
menyangkut penambahan fasilitas Kredit dan konversi
seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi
pokok Kredit baru yang dapat disertai dengan penjadwalan
kembali dan/atau persyaratan kembali.
10. Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh
BPR dalam rangka penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan,
atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela
oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk
menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur
telah dinyatakan Macet, dengan kewajiban untuk segera
dicairkan kembali.
2. Di antara Pasal 2 dan pasal 3 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
2A, Pasal 2B, dan Pasal 2C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
(1) Dalam rangka penyediaan dana dalam bentuk Kredit, BPR wajib
memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara
tertulis.
(2) Kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur…
- 7 -
(3) Prosedur perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui paling kurang oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kebijakan dan
prosedur perkreditan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 2B
Pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2A mencakup juga kebijakan dan prosedur
mengenai Restrukturisasi Kredit, AYDA, hapus buku dan hapus
tagih kredit.
Pasal 2C
(1) BPR wajib menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang sama
terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan
untuk membiayai 1 (satu) Debitur pada BPR yg sama.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva Produktif
terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif untuk 1 (satu)
Debitur pada BPR yang sama, BPR wajib menetapkan kualitas
masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva
Produktif yang paling rendah.
3. Ketentuan…
- 8 -
3. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (4) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP
khusus.
(2) PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif
yang memiliki kualitas Lancar.
(3) PPAP khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling kurang sebesar:
a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan
kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan
kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan;
dan
c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan
kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
(4) Pembentukan PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk :
a. penempatan BPR pada SBI ; dan
b. Kredit yang dijamin dengan agunan yang bersifat likuid
berupa SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik…
- 9 -
Republik Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang
diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat
kuasa pencairan dan logam mulia.
4. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,
yakni ayat (3) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPAP sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
ayat (3) ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 100% (seratus perseratus) dari agunan yang bersifat likuid
berupa SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang
diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat
kuasa pencairan dan logam mulia;
b. 85% (delapan puluh lima perseratus) dari nilai pasar untuk
agunan berupa emas perhiasan;
c. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan
untuk agunan berupa tanah, bangunan dan/atau rumah
yang memiliki sertifikat yang diikat dengan hak tanggungan;
d. 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi
gudang yang penilaiannya dilakukan kurang dari atau
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan sejalan dengan
Undang-Undang…
- 10 -
Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur yang
berlaku;
e. 60% (enam puluh perseratus) dari Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) untuk agunan berupa tanah, bangunan dan/atau
rumah yang memiliki sertifikat yang tidak diikat dengan hak
tanggungan;
f. 50% (lima puluh perseratus) dari NJOP untuk agunan
berupa tanah dan/atau bangunan dengan bukti
kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau yang
dipersamakan dengan itu termasuk Akta Jual Beli (AJB)
yang dibuat oleh notaris atau pejabat lainnya yang
berwenang yang dilampiri surat pemberitahuan pajak
terhutang (SPPT) pada satu tahun terakhir;
g. 50% (lima puluh perseratus) dari harga pasar, harga sewa
atau harga pengalihan, untuk agunan berupa tempat
usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak garap yang disertai
bukti kepemilikan atau surat ijin pemakaian tempat usaha/
los/ kios/ lapak/ hak pakai/ hak garap yang dikeluarkan
oleh pengelola yang sah dan disertai dengan surat kuasa
menjual atau pengalihan hak yang dibuat/disahkan oleh
notaris atau dibuat oleh pejabat lainnya yang berwenang;
h. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan
berupa kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor
yang disertai dengan bukti kepemilikan dan telah dilakukan
pengikatan sesuai ketentuan yang berlaku;
i. 50% …
- 11 -
i. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi
gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 12 (dua
belas) bulan sampai dengan 18 (delapan belas) bulan dan
sejalan dengan Undang-Undang serta ketentuan dan
prosedur yang berlaku;
j. 50% (lima puluh perseratus) untuk bagian dana yang
dijamin oleh BUMN/BUMD yang melakukan usaha sebagai
penjamin Kredit;
k. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan
berupa kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor
yang disertai bukti kepemilikan dan disertai dengan surat
kuasa menjual yang dibuat/disahkan oleh notaris; dan
l. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi
gudang yang penilaiannya dilakukan lebih dari 18 (delapan
belas) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan
dan sejalan dengan Undang-Undang serta ketentuan dan
prosedur yang berlaku.
(2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak
diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP.
(3) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPAP pada Kredit dengan kolektibilitas Macet:
a. setelah jangka waktu 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga)
tahun, ditetapkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dari nilai agunan yang diperkenankan untuk
diperhitungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b. setelah…
- 12 -
b. setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun, tidak dapat
diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam
pembentukan PPAP.
5. Ketentuan Pasal 14 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,
yakni ayat (3) sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk mengetahui
nilai ekonomisnya.
(2) Dalam hal BPR tidak melakukan penilaian agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka agunan tersebut tidak
diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPAP.
(3) BPR dilarang memperhitungkan agunan sebagai pengurang
dalam pembentukan PPAP apabila agunan tersebut tidak ada,
tidak dapat diketahui keberadaannya dan/atau tidak dapat
dieksekusi.
6. Ketentuan Pasal
berikut:
15
ayat
(1) diubah sehingga berbunyi sebagai
Pasal 15
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali
atau tidak mengakui nilai agunan yang telah diperhitungkan
sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP apabila BPR tidak
memenuhi…
- 13 -
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan Pasal 14.
(2) BPR wajib melakukan penyesuaian perhitungan PPAP sesuai
dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan
yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
7. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan ditambah 2
(dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 18 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 16 ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum
direstrukturisasi kualitasnya tergolong Diragukan atau
Macet; atau
b. tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi
kualitasnya tergolong Lancar atau Kurang Lancar.
(2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjadi:
a. Lancar…
- 14 -
a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok
dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali periode pembayaran
secara berturut-turut ; atau
b. sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan
Restrukturisasi Kredit, apabila Debitur tidak dapat
memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari
Restrukturisasi Kredit, setelah diperhitungkan dengan
kelebihan PPAP karena perbaikan kualitas Kredit setelah
dilakukan restrukturisasi.
(4) Kelebihan PPAP karena perbaikan kualitas Kredit yang
direstrukturisasi, setelah diperhitungkan dengan kerugian yang
timbul dari Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), hanya dapat diakui sebagai pendapatan apabila telah
terdapat 3 (tiga) kali penerimaan angsuran pokok atas Kredit
yang direstrukturisasi.
8. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi
Kredit, termasuk namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian
yang…
- 15 -
yang timbul dalam rangka Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi yang
berlaku bagi BPR.
9. Pasal 20 dihapus.
10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 23 disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3) diubah, dan ditambah 2 (dua)
ayat, yakni ayat (5) dan ayat (6) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1) BPR dapat mengambil alih agunan, yang bersifat sementara,
dalam rangka penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas
Macet.
(1a) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan
atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan
lunas dari BPR kepada Debitur.
(2) BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap agunan
yang diambil alih (AYDA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
pengambilalihan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) BPR tidak dapat menyelesaikan AYDA maka nilai AYDA
yang…
- 16 -
yang tercatat pada neraca BPR wajib diperhitungkan sebagai
faktor pengurang modal inti BPR dalam perhitungan
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM).
(4) BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi pengambilalihan
AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.
(6) BPR wajib memiliki action plan mengenai penyelesaian AYDA.
11. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 24 diubah dan ditambah 1
(satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga pasal 24 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) BPR wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan
untuk menetapkan net realizable value.
(2) Penilaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk AYDA dengan nilai sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat
dilakukan oleh penilai intern BPR; dan
b. Untuk AYDA dengan nilai di atas Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) wajib dilakukan oleh penilai
independen.
(3) Penilaian…
- 17 -
(3) Penilaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap setiap agunan.
(4) BPR wajib melakukan penilaian kembali secara berkala
terhadap AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang
berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal nilai AYDA mengalami penurunan, BPR wajib
mengakui penurunan nilai tersebut sebagai kerugian; dan
b. Dalam hal nilai AYDA mengalami peningkatan, BPR tidak
boleh mengakui peningkatan nilai tersebut sebagai
pendapatan.
12. Pasal 25 dihapus.
13. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) BAB, yakni
BAB VIA dan di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
PELAPORAN
Pasal 27 A
(1) BPR wajib menyampaikan pedoman kebijakan perkreditan BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) kepada Bank
Indonesia…
- 18 -
Indonesia paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Setiap perubahan pedoman kebijakan perkreditan BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan sejak terjadinya perubahan.
(3) Dalam hal batas akhir kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada
hari Sabtu, Minggu atau hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja berikutnya.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada:
a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU), Bank Indonesia,
Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor
pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
14. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
BPR yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat
(3)…
- 19 -
(3) dan ayat (4), Pasal 2C, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal
14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat
(3), Pasal 19, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat
(6), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 27, dan/atau Pasal 27A ayat (1) dan ayat (2),
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan;
dan/atau
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam
daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat Tidak Lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi BPR.
Pasal II
KETENTUAN PERALIHAN
(1) Batas waktu penyelesaian AYDA yang telah dimiliki BPR sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap mengacu pada
ketentuan Pasal 23 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan
Pembentukan…
- 20 -
Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank
Perkreditan Rakyat, yakni paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal pengambilalihan.
(2) Pentahapan pengakuan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) terhadap Kredit BPR yang telah memiliki kualitas
Macet sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, dihitung
sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
Pasal III
KETENTUAN PENUTUP
(1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tanggal
28 Februari 1991 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan
Pembentukan Cadangan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank
Perkreditan Rakyat.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan…
- 21 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 146
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 26 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN
PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memiliki peranan penting
dalam mendukung pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) dengan menggunakan dana masyarakat yang
dipercayakan kepadanya. Sebagai lembaga kepercayaan, BPR wajib
menjaga dan memelihara kualitas kredit maupun Aktiva Produktif
lainnya agar senantiasa Lancar. Dalam rangka mendukung
pengembangan UMKM, diperlukan suatu aturan yang dapat
mendorong BPR untuk menyalurkan kredit kepada UMKM namun
tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan hal
tersebut, dalam rangka meningkatkan governance dalam penyaluran
kredit, pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan yang
merupakan…
- 2 -
merupakan pedoman standar dalam pelaksanaan perkreditan perlu
untuk dimiliki oleh setiap BPR.
Selanjutnya dengan diterapkannya Standar Akuntansi
Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)
dan Pedoman Akuntansi (PA) BPR pada tahun 2010 mengakibatkan
beberapa ketentuan KAP dan Pembentukan PPAP yang saat ini
berlaku bagi BPR sudah tidak sejalan dengan SAK ETAP dan PA BPR
tersebut misalnya aturan terkait dengan Agunan Yang Diambil Alih
(AYDA) dan Restrukturisasi Kredit yang mengakibatkan terdapat
kerancuan dalam penerapannya bagi BPR sehingga dipandang perlu
untuk disesuaikan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2A
Cukup jelas.
Pasal 2B…
- 3 -
Pasal 2B
Cukup jelas.
Pasal 2C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Seorang Debitur Y memiliki 2 (dua) fasilitas di BPR X
yakni kredit modal kerja bagi usaha warung makan
dan usaha toko kelontong. Hasil penilaian yang
dilakukan oleh BPR X untuk masing-masing fasilitas
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Lancar, untuk usaha warung makan; dan
b. Kurang Lancar, untuk usaha toko kelontong
Karena kredit tersebut diberikan kepada 1 (satu)
Debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang
ditetapkan BPR X kepada seluruh rekening Debitur Y
mengikuti kualitas yang paling rendah yaitu Kurang
Lancar.
Angka 3
Pasal 12
Ayat (1)…
- 4 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk dalam logam mulia adalah emas batangan.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah
jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh
dari transaksi jual beli atau hasil penukaran
suatu aset pada tanggal penilaian setelah
dikurangi biaya-biaya transaksi.
Nilai pasar emas perhiasan mengacu pada harga
yang berlaku umum di pasar emas setempat.
Penetapan…
- 5 -
Penetapan nilai pasar emas perhiasan dapat
dilakukan oleh internal bank atau penilai
independen misalnya toko emas atau lembaga
gadai emas. Penilai internal bank dapat
diperkenankan sepanjang karyawan bank
tersebut memiliki kemampuan dan pengalaman
yang memadai dalam melakukan penilaian
terhadap emas perhiasan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tanah, bangunan
dan/atau rumah yang memiliki sertifikat adalah
tanah, bangunan dan/atau rumah yang dilekati
dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta
ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu
Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan
Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang
ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Huruf e
Yang dimaksud dengan tanah, bangunan
dan/atau rumah yang memiliki sertifikat adalah
tanah, bangunan dan/atau rumah yang dilekati
dengan…
- 6 -
dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah
jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh
dari transaksi jual beli atau hasil penukaran
suatu aset pada tanggal penilaian setelah
dikurangi biaya-biaya transaksi.
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku
misalnya ketentuan mengenai fidusia dan gadai.
Huruf i
Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta
ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu
Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan
Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang
ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k…
- 7 -
Huruf k
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah
jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh
dari transaksi jual beli atau hasil penukaran
suatu aset pada tanggal penilaian setelah
dikurangi biaya-biaya transaksi.
Huruf l
Yang dimaksud dengan Undang-Undang serta
ketentuan dan prosedur yang berlaku yaitu
Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang dan
Peraturan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yang
ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
a. Contoh:
Seorang Debitur X memiliki fasilitas kredit di BPR
Y dengan agunan berupa tanah yang diikat dengan
hak tanggungan senilai Rp375.000.000,00 (tiga
ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Pada tanggal
2 Januari 2012 fasilitas kredit tersebut ditetapkan
Macet oleh BPR X sehingga agunan tersebut
digunakan sebagai faktor pengurang PPAP sebesar
80% dari nilai agunan yakni sebesar
Rp300.000.000,00…
- 8 -
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Apabila
setelah 2 (dua) tahun yakni pada tanggal 2 Januari
2014 kredit Macet Debitur X tersebut belum juga
terselesaikan atau belum ada upaya penyelesaian
oleh BPR baik dalam bentuk restrukturisasi kredit
atau pengambilalihan agunan maka nilai agunan
yang digunakan sebagai faktor pengurang PPAP
adalah sebesar 50% dari Rp300.000.000,00 yakni
sebesar Rp150.000.000,00.
b. Apabila setelah 3 (tiga) tahun yakni tanggal 2
Januari 2015 kredit Macet Debitur X di atas
masih belum terselesaikan atau belum dilakukan
upaya penyelesaian oleh BPR baik dalam bentuk
restrukturisasi kredit atau pengambilalihan
agunan maka nilai agunan tidak dapat
diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam
pembentukan PPAP.
Angka 5
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penilaian adalah taksiran dan
pendapat oleh penilai intern BPR atas nilai ekonomis
dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta
obyektif…
- 9 -
obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-
prinsip yang berlaku umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah
pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
kepada BPR dalam pertemuan pembahasan hasil
pemeriksaan (exit meeting).
Angka 7
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 8…
- 10 -
Angka 8
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan
dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA.
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2012 BPR A telah mengambil
alih agunan yang diserahkan oleh debitur maka batas
waktu penyelesaian AYDA tersebut adalah 9 Januari
2013.
Ayat (3)…
- 11 -
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2012 BPR X mengambil alih
agunan yang diserahkan oleh debitur dengan nilai
wajar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). Apabila hingga 9 Januari 2013 BPR belum
dapat menyelesaikan AYDA tersebut maka pada
perhitungan KPMM BPR bulan Januari 2013 AYDA
senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
tersebut diperhitungkan sebagai faktor pengurang
modal inti BPR.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ketentuan dan prosedur yang
berlaku yaitu mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka11
Pasal 24
Ayat (1)
Yang…
- 12 -
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah
nilai pasar agunan dikurangi estimasi biaya yang
dibutuhkan untuk menjual, dengan nilai maksimum
sebesar baki debet Kredit yang akan diselesaikan
dengan AYDA.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah
perusahaan penilai yang:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR;
b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan
Debitur BPR;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode
etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh instansi yang berwenang;
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan
standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh
institusi yang berwenang;
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang
untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh
institusi anggota yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 13 -
Ayat (4)
Ketentuan mengenai penilaian kembali AYDA
mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 27A
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nilai kredit dalam
perhitungan tingkat kesehatan” adalah hasil penilaian
tingkat kesehatan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
tingkat kesehatan BPR.
Huruf c…
- 14 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
Pasal III
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5266
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/26/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2011 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2011 </issued_date>
<changed_reg> '8/19/PBI/2006' </changed_reg>
<replaced_reg> '23/68/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 28' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/10/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN,
PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN
UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa ketentuan yang berlaku saat ini belum dapat
memenuhi kebutuhan penggantian uang rusak secara
memadai;
b. bahwa dirasa perlu untuk meningkatkan layanan
penukaran uang yang lebih baik dengan memperhatikan
rasa keadilan bagi masyarakat yang akan melakukan
penukaran uang rusak di Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b di atas dipandang perlu untuk
melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN,
PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN,
SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH.
Pasal I
Ketentuan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang
Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 ...
- 3 -
Pasal 9
(1) Layanan penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diberikan kepada masyarakat untuk menukarkan:
a. Uang yang masih layak edar dengan Uang yang masih layak edar dalam
pecahan yang sama atau pecahan lainnya; atau
b. Uang Tidak Layak Edar dengan Uang yang masih layak edar dalam
pecahan yang sama atau pecahan lainnya.
(2) Pelaksanaan layanan penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan oleh pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang yang hilang atau
musnah karena sebab apapun.
(4) Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia
memberikan penggantian atas Uang Lusuh atau Uang Cacat sebesar nilai
nominal.
(5) Penggantian Uang Lusuh atau Uang Cacat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diberikan sepanjang Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang
disetujui oleh Bank Indonesia dapat mengenali tanda keaslian Uang.
(6) Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia
memberikan penggantian atas Uang Rusak.
(7) Besarnya penggantian atas Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) diatur sebagai berikut:
a. Uang ...
- 4 -
a. Uang Kertas:
1) dalam hal fisik Uang Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga)
ukuran aslinya dan Ciri Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan
penggantian sebesar nilai nominal;
2) dalam hal fisik Uang Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua
pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
b. Uang Logam:
1) dalam hal fisik Uang Logam lebih besar dari setengah ukuran
aslinya dan Ciri Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan
penggantian sebesar nilai nominal;
2) dalam hal fisik Uang Logam sama dengan atau kurang dari
setengah ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
c. Uang Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer):
1) dalam hal fisik Uang Kertas mengerut dan masih utuh serta Ciri
Uang dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar
nilai nominal;
2) dalam hal fisik Uang Kertas mengerut dan tidak utuh, diberikan
penggantian sebesar nilai nominal sepanjang Ciri Uang masih dapat
dikenali keasliannya dan fisik Uang lebih besar dari 2/3 (dua
pertiga) ukuran aslinya.
(8) Penggantian sebesar nilai nominal terhadap Uang Kertas sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) huruf a, hanya diberikan dalam hal:
a. Uang ...
- 5 -
a. Uang Rusak masih merupakan satu kesatuan dengan atau tanpa nomor
seri yang lengkap; atau
b. Uang Rusak tidak merupakan satu kesatuan, tetapi terbagi menjadi
paling banyak 2 (dua) bagian terpisah, dan kedua nomor seri pada Uang
Rusak tersebut lengkap dan sama.
(9) Uang Lusuh atau Uang Cacat dalam kondisi rusak sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), diberikan
penggantian sebesar nilai nominal.
(10) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rusak
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) apabila menurut pertimbangan Bank
Indonesia kerusakan Uang tersebut diduga dilakukan secara sengaja atau
dilakukan secara sengaja.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal
ditetapkan.
Agar ...
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 113
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/10/PBI/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN,
PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN
UANG RUPIAH
PASAL DEMI PASAL
PASAL I
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 2 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a, b dan c
Dalam penetapan penggantian, Bank Indonesia berwenang
menilai besarnya keutuhan fisik Uang.
Ayat (8)
Huruf a
Yang dimaksud satu kesatuan dengan atau tanpa nomor
seri yang lengkap adalah kondisi fisik Uang Kertas yang
diserahkan oleh masyarakat tidak terdiri dari 2 (dua)
bagian atau lebih dan dengan atau tanpa nomor seri yang
lengkap.
Huruf b
Uang Rusak yang terdiri lebih dari 2 (dua) bagian terpisah
baik yang disambungkan kembali dengan perekat maupun
tidak disambungkan,
tidak diberikan penggantian.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Kerusakan Uang diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda-
tanda kerusakan fisik Uang meyakinkan Bank Indonesia
misalnya terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat
lainnya, pola kerusakannya sama, dan/atau jumlah Uang yang
ditukarkan relatif banyak.
Kerusakan …
- 3 -
Kerusakan Uang dilakukan secara sengaja adalah apabila
berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau putusan
pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang dirusak
secara sengaja.
PASAL II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4762
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/10/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2007 </set_date>
<effective_date> 6 (enam) bulan sejak tanggal 30 Agustus 2007 </effective_date>
<changed_reg> '6/14/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 1/ 5 /PBI/1999
TENTANG
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
PADA MASA PERALIHAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa dengan berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, pemberian Kredit Likuiditas
Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program tidak lagi
dilakukan oleh Bank Indonesia;
b.
bahwa Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit
Program akan dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara
yang akan ditunjuk oleh Pemerintah selambat-lambatnya 6
bulan sejak berlakunya Undang-undang No.23 Tahun 1999
dimaksud;
c.
bahwa selama masa peralihan, yaitu selama Kredit Likuiditas
Bank Indonesia belum dialihkan, Kredit Likuiditas Bank
Indonesia yang telah disetujui dapat terus dilaksanakan
pemberiannya oleh Bank Indonesia;
d.
bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit
Program pada masa peralihan dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …...
2
- 2 -
Mengingat
: Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KREDIT
LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT
PROGRAM PADA MASA PERALIHAN.
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1. Kredit Likuiditas Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut KLBI, adalah kredit
yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat dalam rangka menunjang program Pemerintah.
2. Plafon KLBI adalah penyediaan dana KLBI yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
kepada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
3. Two Step Loan adalah pinjaman yang diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia
dari Lembaga Keuangan Internasional yang diteruskan kepada Bank Umum dan
Bank Perkreditan Rakyat melalui Bank Indonesia, dalam rangka menunjang program
Pemerintah, termasuk bantuan teknis yang terkait dengan pinjaman tersebut.
4. Bantuan Teknis adalah bantuan penelitian, pelatihan, dan konsultasi yang diberikan
oleh Bank Indonesia kepada pihak-pihak yang terkait dalam rangka menunjang
program pemerintah dan tidak termasuk bantuan teknis yang terkait dengan Two Step
Loan.
5. Badan ……….
3
- 3 -
5. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah Badan Usaha
Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk menerima pengalihan KLBI.
Pasal 2
(1) Dengan berlakunya Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan KLBI .
(2) Bagi KLBI yang masih berjalan dan belum jatuh tempo serta yang telah disetujui
tetapi belum ditarik, akan dialihkan berdasarkan perjanjian kepada BUMN yang
ditunjuk oleh Pemerintah selambat-lambatnya tanggal 16 November 1999.
(3) Pengalihan Two Step Loan dan bantuan teknis yang terkait dengan Two Step Loan
akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan pihak
pemberi pinjaman.
(4) Pengalihan bantuan teknis akan dilaksanakan setelah diperoleh kesepakatan antara
Bank Indonesia dengan BUMN yang ditunjuk sebagai dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 3
(1) Bank Indonesia melanjutkan realisasi plafon KLBI yang telah disetujui sebelum
tanggal 17 Mei 1999 sampai dengan tanggal dialihkan atau selambat-lambatnya
tanggal 16 November 1999.
(2) Bank Indonesia melanjutkan pelaksanaan Two Step Loan dan bantuan teknis selama
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) belum
tercapai.
Pasal 4
Pengalihan KLBI akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersendiri.
Pasal 5 …..
4
- 4 -
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 17 Mei 1999.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 September 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 148
5
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NO. 1/ 5 /PBI/1999
TENTANG
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
PADA MASA PERALIHAN
I. UMUM
Sesuai dengan tujuannya, Bank Indonesia berfungsi sebagai Otoritas Moneter yang
independen dan mempunyai tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah,
sehingga dalam melaksanakan tugas dimaksud perlu selalu diperhatikan pedoman berupa
kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat
serta sistem perbankan yang sehat. Untuk lebih memfokuskan fungsi Bank Indonesia
sebagai Otoritas Moneter maka pemberian Kredit Program tidak lagi didukung dengan
KLBI.
Dalam pada itu untuk mewujudkan perekonomian nasional yang diwarnai dengan
ekonomi kerakyatan yang merata, mandiri, andal, berkeadilan dan terbuka, maka
tersedianya kredit program yang ditujukan bagi usaha kecil dan koperasi tetap diperlukan.
Namun untuk mendukung terlaksananya fungsi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter,
maka KLBI yang selama ini menjadi pendukung utama dalam penyediaan kredit program
dimaksud, perlu dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh
Pemerintah sehingga usaha kecil dan koperasi lebih berkembang di masa mendatang serta
dapat menunjang perekonomian nasional. Sekalipun demikian untuk menjaga
kesinambungan terlaksananya kegiatan usaha kecil dan koperasi, sampai dialihkannya
KLBI tersebut kepada Badan Usaha Milik Negara dimaksud, dukungan KLBI tetap
dilaksanakan.
II. PASAL ..……
- 2 -
6
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Batas waktu pengalihan Two Step Loan dan bantuan teknis yang
terkait dengan Two Step Loan kepada BUMN ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan pihak pemberi
pinjaman. Dengan demikian selama belum tercapai kesepakatan,
maka Bank Indonesia tetap melaksanakan Two Step Loan dan
bantuan teknis dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Realisasi plafon KLBI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini termasuk penyediaan dana untuk segala tindakan dalam
rangka penyelamatan kredit (rescheduling, restructuring dan
reconditioning), dan penambahan KLBI yang penyediaan dananya
telah termasuk dalam plafon KLBI sebagaimana dimaksud di atas.
Ayat (2) …….
7
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3880
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/5/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM PADA MASA PERALIHAN </reg_title>
<set_date> 1 September 1999 </set_date>
<effective_date> 17 Mei 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/8/PBI/2018
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank Indonesia turut
berperan mendorong terpeliharanya stabilitas sistem
keuangan melalui pengaturan dan pengawasan
makroprudensial;
b. bahwa salah satu tujuan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial yaitu untuk mendorong berjalannya
fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan
berkualitas;
c. bahwa untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi
perbankan yang seimbang dan berkualitas dalam
mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
diperlukan
penyempurnaan
terhadap kebijakan
makroprudensial melalui pengaturan rasio loan to value
untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor;
- 30 -
d. bahwa penyempurnaan terhadap kebijakan
makroprudensial melalui pengaturan rasio loan to value
untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor dilakukan dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan
konsumen;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Loan to Value
untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5546);
- 30 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO
VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA
UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK
adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah
unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
7.
Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah
toko atau rumah kantor.
8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan
bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat
- 30 -
keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang.
9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium,
apartemen, flat, dan bangunan lainnya.
10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut
bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal
sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan,
perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya.
11. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP
Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk
pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi
beragun Rumah Tapak.
12. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP
Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan
Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah
Susun.
13. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah
Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan
adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah
Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi
beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor.
14. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah Kredit
konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan KP
Ruko atau KP Rukan.
15. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya
disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang
diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak.
16. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya
disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk
Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun.
- 30 -
17. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan
Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko
atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah
Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Toko atau Rumah Kantor.
18. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah
Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP Rusun,
dan PP Ruko atau PP Rukan.
19. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
20. Akad Istishna’ adalah akad Pembiayaan barang dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau
pembuat (shani’).
21. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut
Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang
kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya.
22. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut
Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
23. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV
adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan
oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat
pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini.
24. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio
FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat
diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan berupa
Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan
hasil penilaian terkini.
- 30 -
25. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat
KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian
kendaraan bermotor.
26. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau
UUS untuk pembelian kendaraan bermotor.
27. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar
persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga
kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari
debitur atau nasabah.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV untuk KP,
Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau
PKB.
(2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV untuk KP, Rasio
FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau PKB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB II
PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV
Bagian Kesatu
Perhitungan Kredit, Perhitungan Pembiayaan, Nilai Agunan,
dan Penilaian Agunan
Pasal 3
(1) BUK wajib melakukan perhitungan Kredit dan nilai agunan
dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang
diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam
perjanjian Kredit; dan
b.
nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai
independen terhadap Properti yang menjadi agunan.
- 30 -
(2) BUS atau UUS wajib melakukan perhitungan Pembiayaan
dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk PP
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan yaitu:
1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau
Akad Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga
pokok Pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah sebagaimana tercantum dalam akad
Pembiayaan;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk
kepemilikan Properti sebagaimana tercantum
dalam akad Pembiayaan; dan
3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti
dengan deposit sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan; dan
b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau
penilai independen terhadap Properti yang menjadi
agunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Kredit,
perhitungan Pembiayaan, dan penilaian agunan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 4
(1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b ditetapkan
sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai
independen; dan
- 30 -
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di atas
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), nilai agunan
didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai
independen.
(2) Dalam hal terdapat perubahan batasan plafon yang
menjadi dasar penetapan penilai agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan penilai agunan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 5
Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 merupakan kantor jasa penilai publik yang paling sedikit
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha dari otoritas yang berwenang;
b. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank;
c. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau
nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat
pernyataan dari kantor jasa penilai publik; dan
d.
tercatat sebagai anggota asosiasi profesi penilai publik.
Bagian Kedua
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
Pasal 6
(1) Bank yang memberikan:
a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan
b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi
Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi),
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
- 30 -
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 7
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua
dan seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas kedua dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 80% (delapan puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 85% (delapan puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen); dan
- 30 -
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen); dan
b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya,
ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 8
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal
7 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima persen);
dan
- 30 -
b.
rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara
bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada laporan bulanan bank umum atau
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah periode 2 (dua)
bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari laporan bulanan bank umum atau laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat
meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan rasio Kredit
bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio KP
bermasalah, rasio PP bermasalah, dan laporan lain diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 9
(1) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka Bank wajib
memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 80% (delapan puluh persen); dan
- 30 -
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 70% (tujuh puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 80% (delapan puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 60% (enam puluh persen);
- 30 -
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 60% (enam puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 70% (tujuh puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai
berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen);
2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai
berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
75% (tujuh puluh lima persen);
- 30 -
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 80% (delapan puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80%
(delapan puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
80% (delapan puluh persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80%
(delapan puluh persen); dan
f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
65% (enam puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi 70% (tujuh puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65%
(enam puluh lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70%
(tujuh puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
70% (tujuh puluh persen); dan
- 30 -
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP bagi Bank yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 10
(1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan memberikan:
a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
untuk fasilitas pertama;
b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi), untuk fasilitas pertama dan seterusnya;
c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
untuk fasilitas pertama; dan
d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
untuk fasilitas pertama,
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 30 -
Pasal 11
(1) Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP, Bank wajib
memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima
debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank
lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan urutan
fasilitas KP atau PP diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Ketiga
Kewajiban Administratif
Pasal 12
(1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk
PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 10,
Bank wajib:
a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur
menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami
atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali
terdapat perjanjian pemisahan harta;
b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau
nasabah yang memuat keterangan mengenai:
1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk
pemilikan Properti yang telah tersedia maupun
Properti yang belum tersedia secara utuh;
2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan
permohonan baik untuk pemilikan Properti yang
telah tersedia maupun Properti yang belum
tersedia secara utuh;
3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan
(top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari
Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar;
4. KP atau PP yang diambil alih (take over) dan
disertai Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau
Pembiayaan yang tidak lancar; dan/atau
- 30 -
5. keterangan terkait lainnya,
baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang
lain; dan
c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan
apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban administratif
Bank diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru
Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dan KP
atau PP yang Diambil Alih (Take Over)
Pasal 13
(1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih
menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pemberian Kredit tambahan (top up) oleh BUK yang
merupakan tambahan dari KP sebelumnya
menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang
Kredit tambahan (top up) tersebut menggunakan
agunan yang sama dan KP sebelumnya memiliki
kualitas lancar;
b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang
merupakan tambahan dari PP sebelumnya
menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang
kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan
yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas
lancar;
c. dalam hal Kredit tambahan (top up) tidak
menggunakan agunan yang sama dan/atau KP
sebelumnya
tidak memiliki kualitas lancar
sebagaimana dimaksud dalam huruf a maka Kredit
- 30 -
tambahan (top up) menggunakan Rasio LTV untuk KP
sebagaimana Kredit baru;
d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan
agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak
memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud
dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut
menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
Pembiayaan baru;
e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up)
sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka dalam
menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya, Bank
memperhitungkan KP awal dan Kredit tambahan (top
up) tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas;
f. Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan (top up) dan
Rasio FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan
huruf e mengacu pada Rasio LTV untuk KP atau Rasio
FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, atau Pasal 10; dan
g.
jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan
baru yang diberikan oleh Bank memperhitungkan
jumlah baki debet KP atau PP sebelumnya yang
menggunakan agunan yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kredit tambahan (top up)
atau Pembiayaan baru diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP
atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan
sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau
b. dalam hal Bank mengambil alih (take over) KP atau PP
dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dengan Kredit tambahan (top up) atau disertai
- 30 -
dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari
Bank lain tersebut mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank
lain diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia
Secara Utuh
Pasal 15
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan:
1.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan rasio KP
bermasalah atau rasio PP bermasalah secara
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf b;
2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank
dengan pengembang yang paling sedikit memuat
kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan
Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan
debitur atau nasabah; dan
3. memiliki
jaminan yang diberikan oleh
pengembang atau pihak lain kepada Bank:
a) yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
kewajiban pengembang apabila Properti
tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak
dapat diserahterimakan sesuai dengan
perjanjian; dan
- 30 -
b) nilai jaminan paling sedikit sebesar selisih
antara komitmen KP atau PP dengan
pencairan KP atau PP yang telah dilakukan
oleh Bank; dan
b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang
ditetapkan.
(2) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang
belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas
KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh,
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 maka Bank wajib melakukan
pencairan KP atau PP secara bertahap.
(2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon
setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa
diperlukan penilaian perkembangan pembangunan;
b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
c. paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
- 30 -
huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
dan
d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah
penandatanganan berita acara serah terima yang
dilengkapi dengan akta jual beli dan akta pembebanan
hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak
tanggungan.
(3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan
pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan perkembangan
pembangunan yang berasal dari:
a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern
Bank; atau
b.
penilai independen.
(4) Dalam hal terdapat perubahan persentase pencairan
bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
persyaratan penilaian perkembangan pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan bertahap untuk
KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Keenam
Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP
Pasal 17
(1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
sampai dengan Pasal 16, Bank wajib mematuhi prinsip
kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau
PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik
- 30 -
pada Bank yang sama maupun pada Bank lain, untuk
jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun;
b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah
untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP;
c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait
penyelesaian properti yang belum tersedia secara
utuh; dan
d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP
atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur
atau nasabah kepada rekening pengembang atau
penjual yang berada di Bank.
(2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka
waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk KP atau PP bermasalah.
Bagian Ketujuh
Pedoman Internal dalam Pemberian KP atau PP
dan Sistem Informasi
Pasal 18
(1) Bank harus memiliki pedoman internal dalam pemberian
KP atau PP yang paling sedikit memuat:
a.
b. persentase pencairan KP atau PP secara bertahap;
c.
spesifikasi teknis penyelesaian fondasi dan tutup atap
untuk Properti;
penilaian dan laporan perkembangan pembangunan;
d. prinsip kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan
e. pemantauan implementasi kebijakan bank terkait
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP.
(2) Bank harus memiliki sistem informasi untuk pemantauan
implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP.
- 30 -
Bagian Kedelapan
Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah
Pasal 19
(1) KP atau PP untuk pelaksanaan program perumahan
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
dikecualikan dari Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) KP atau PP untuk pelaksanaan program perumahan
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. KP atau PP diberikan berdasarkan peraturan
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang
mengatur mengenai program perumahan pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah tersebut;
b. KP atau PP diberikan dengan kelengkapan dokumen
yang menyatakan bahwa KP atau PP tersebut
merupakan program perumahan pemerintah pusat
dan/atau pemerintah daerah; dan
c. KP atau PP diberikan dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau
Pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB III
PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB
Pasal 20
Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 20% (dua puluh persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen).
- 30 -
Pasal 21
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen);
dan
b.
rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah
secara bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada laporan bulanan bank umum atau
laporan statistik moneter dan stabilitas keuangan bank
umum syariah dan unit usaha syariah periode 2 (dua)
bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari laporan bulanan bank umum atau laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat
meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 22
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 30% (tiga puluh persen).
- 30 -
Pasal 23
Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan
bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. memberikan KKB atau PKB dengan uang muka paling
sedikit 20% (dua puluh persen); dan
b. memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan Uang Muka untuk
KKB dan PKB diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB IV
LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UANG
MUKA
Pasal 25
(1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk
pemenuhan Uang Muka bagi KP, PP, KKB, atau PKB kepada
debitur atau nasabah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan pemberian
Kredit atau Pembiayaan uang muka diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 30 -
BAB V
EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP,
FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN UANG MUKA UNTUK
KKB ATAU PKB
Pasal 26
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan
loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan
Uang Muka untuk KKB atau PKB paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setahun.
(2) Hasil evaluasi kebijakan loan to value untuk KP, financing
to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh
Bank Indonesia kepada Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kebijakan loan to
value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang
Muka untuk KKB atau PKB diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 27
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada
Bank melalui:
a.
surveilans; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat dilakukan dengan cara pemantauan terhadap
implementasi kebijakan loan to value untuk KP atau
financing to value untuk PP dan Uang Muka untuk KKB
atau PKB.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung
kepada Bank; atau
- 30 -
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama
Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 28
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (2),
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11
ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3),
Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 22, Pasal
23, dan/atau Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi teguran
tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22,
dan Pasal 23, selain dikenakan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari
selisih antara plafon Kredit yang diberikan dengan plafon
Kredit yang seharusnya atau plafon Pembiayaan yang
diberikan dengan plafon Pembiayaan yang seharusnya.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) selain
dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 1% (satu persen) dari plafon KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh atau
dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka.
- 30 -
Pasal 29
(1) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action
plan) atas pelanggaran yang dilakukan oleh Bank selain
sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat
(3).
(2) Dalam hal Bank Indonesia meminta Bank menyampaikan
rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan dan
melaksanakan rencana pelaksanaan perbaikan (action
plan) tersebut.
(3) Bank yang tidak menyampaikan rencana pelaksanaan
perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap
Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan
untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan.
(4) Bank yang tidak melaksanakan rencana pelaksanaan
perbaikan (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap
Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan
untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan.
(5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan
kewajiban Bank untuk menyampaikan dan melaksanakan
rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dikenakan setiap bulan untuk periode paling lama 12 (dua
belas) bulan.
Pasal 30
Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang
berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan
kewenangannya selain mengenakan sanksi teguran tertulis
- 30 -
dan/atau sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan/atau Pasal 29.
Pasal 31
Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar
kepada Bank dengan mendebit rekening giro rupiah Bank pada
Bank Indonesia.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Pelanggaran atas ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP,
Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB, yang
terjadi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan mengenai Rasio LTV
untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau
PKB yang berlaku pada saat terjadinya pelanggaran.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP tanggal 6
September 2016 perihal Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
- 30 -
Pasal 35
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to
Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit
atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 178, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5924), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 30 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 118
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/8/PBI/2018
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN
BERMOTOR
I. UMUM
Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang
seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional, Bank Indonesia melakukan pelonggaran kebijakan
makroprudensial melalui penyempurnaan pengaturan mengenai Rasio LTV
untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB.
Pelonggaran kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi perekonomian nasional serta tetap memperhatikan prinsip kehati-
hatian dan perlindungan konsumen.
Kondisi perekonomian nasional yang menjadi pertimbangan yaitu
pertumbuhan Kredit dan Pembiayaan Properti yang masih berada pada fase
akselerasi dan belum mencapai puncak diikuti dengan penyediaan dan
permintaan terhadap produk Properti yang mulai meningkat, kemampuan
debitur yang masih cukup baik, serta risiko Kredit dan Pembiayaan yang
relatif terjaga. Hal tersebut diperkuat dengan karakteristik sektor Properti
yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) cukup besar terhadap
perekonomian nasional.
Prinsip kehati-hatian dan prinsip perlindungan konsumen dalam
pelonggaran kebijakan ini diterapkan antara lain melalui pemenuhan rasio
- 2 -
Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah yang terjaga serta
mempertimbangkan perlindungan bagi debitur atau nasabah.
Bank Indonesia akan terus melakukan evaluasi terhadap kebijakan
loan to value untuk KP atau financing to value untuk PP dan Uang Muka
untuk KKB atau PKB. Evaluasi kebijakan tersebut dilakukan paling sedikit
1 (satu) kali dalam setahun yang terdiri atas besaran Rasio LTV untuk KP,
Rasio FTV untuk PP, Uang Muka untuk KKB atau PKB, jumlah fasilitas KP
atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, dan
penyesuaian pengaturan persentase pencairan bertahap dalam pencairan
KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh.
Selanjutnya, memperhatikan hal tersebut di atas, perlu disusun
ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang
Muka untuk KKB atau PKB.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip
yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang
ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ yaitu
pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-
- 3 -
Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “deposit” adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS
untuk kepemilikan Properti yang dilakukan dengan
Akad IMBT.
Termasuk Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT yaitu
pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-
Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti
yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh.
Huruf b
Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip
yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang
ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “kantor jasa penilai publik” adalah kantor jasa
penilai publik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai penilai publik.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah
pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi penilai publik”
adalah asosiasi yang diakui oleh otoritas yang berwenang.
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah
Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor
dengan luas bangunan:
1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2. dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan
3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah
Kredit bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian
penurunan nilai Kredit bermasalah dibandingkan dengan
total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah
dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai Kredit
bermasalah.
Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit bermasalah” adalah
jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank.
- 5 -
Rasio Pembiayaan bermasalah secara neto diperoleh dari
jumlah Pembiayaan bermasalah setelah dikurangi cadangan
kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga
bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian
penurunan nilai Pembiayaan bermasalah.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah”
adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan
Bank.
Yang dimaksud dengan “cadangan kerugian penurunan
nilai” adalah cadangan kerugian penurunan nilai
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perudang-undangan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank.
Huruf b
Rasio KP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah KP
bermasalah dibandingkan dengan total KP.
Yang dimaksud dengan “jumlah KP bermasalah” adalah
jumlah dari KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Rasio PP bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah PP
bermasalah dibandingkan dengan total PP.
Jumlah PP bermasalah adalah jumlah dari PP dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum” adalah
laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah”
adalah laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan statistik moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
- 6 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan lain” antara lain berupa laporan
KP dan KKB untuk BUK, laporan PP untuk BUS dan UUS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Penentuan urutan fasilitas KP atau PP dilakukan dengan
memperhitungkan seluruh KP atau PP yang telah diperoleh
debitur atau nasabah yang masih berjalan, baik berupa KP
dan/atau PP di Bank yang sama maupun Bank lainnya
berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau Pembiayaan.
Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau Pembiayaan
yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari KP atau
PP dengan nilai agunan paling rendah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi
perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menggunakan Rasio LTV untuk KP
sebagaimana Kredit baru” adalah tambahan Kredit
diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “menggunakan Rasio FTV untuk PP
sebagaimana Pembiayaan baru” adalah tambahan
Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang
berikutnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “belum tersedia secara utuh” adalah
belum siap diserahterimakan.
Huruf a
Angka 1
Rasio Kredit bermasalah secara neto diperoleh dari
jumlah Kredit bermasalah setelah dikurangi
cadangan kerugian penurunan nilai Kredit
bermasalah dibandingkan dengan total Kredit
kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi
cadangan kerugian penurunan nilai Kredit
bermasalah.
Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit
bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
kepada pihak ketiga bukan Bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara neto
diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan
nilai Pembiayaan bermasalah dibandingkan
dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga
bukan Bank setelah dikurangi cadangan kerugian
penurunan nilai Pembiayaan bermasalah.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan
bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet kepada pihak ketiga bukan Bank.
Yang dimaksud dengan “cadangan kerugian
penurunan nilai” adalah cadangan kerugian
penurunan nilai sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perudang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank.
- 9 -
Rasio KP bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah KP bermasalah dibandingkan dengan total
KP.
Yang dimaksud dengan “jumlah KP bermasalah”
adalah jumlah dari KP dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
Rasio PP bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah PP bermasalah dibandingkan dengan total
PP.
Jumlah PP bermasalah adalah jumlah dari PP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank
guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana
yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow
account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan.
Jaminan yang diberikan oleh pihak lain meliputi
corporate guarantee, stand by letter of credit, bank
guarantee, dan/atau dana yang dititipkan
dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank
pemberi Kredit atau Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “dana yang dititipkan
dan/atau yang disimpan dalam escrow account di
Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan” adalah
dana yang ditahan atas nama pengembang yang
digunakan untuk menyelesaikan pembangunan
Properti.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank
memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk
- 10 -
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah
diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya.
Dalam hal debitur atau nasabah telah memperoleh fasilitas KP
atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum
tersedia secara utuh sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, Bank memperhitungkan fasilitas tersebut sebagai
fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang
belum tersedia secara utuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah
penandatanganan perjanjian KP atau PP.
Huruf b
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf c
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf d
Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak
tanggungan atau surat kuasa membebankan hak
tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon
dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara
serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat
pembuat akta tanah (PPAT).
Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat
informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta
- 11 -
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan
dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan
akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
Ayat (3)
Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank
sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “jangka waktu paling singkat 1 (satu)
tahun” adalah:
1. KP atau PP yang diberikan setelah berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini; dan/atau
2. KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini namun belum melewati
waktu 1 (satu) tahun,
dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu
pembayaran uang muka dan pencairan bertahap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “KP atau PP bermasalah” adalah KP atau
PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
- 12 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sistem informasi untuk pemantauan implementasi pengaturan
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP antara lain berupa
pemantauan terhadap pemberian KP dan/atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh.
Sistem informasi dapat berupa laporan atau sistem informasi
terotomasi.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-
undangan” antara lain ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pemerintah daerah,
perumahan dan kawasan permukiman, serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prinsip
kehati-hatian.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada
pihak ketiga bukan Bank.
- 13 -
Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit bermasalah” adalah
jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah”
adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan
Bank.
Huruf b
Rasio KKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB.
Yang dimaksud dengan “jumlah KKB bermasalah” adalah
jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Rasio PKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB.
Yang dimaksud dengan “jumlah PKB bermasalah” adalah
jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum” adalah
laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “laporan statistik moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah”
adalah laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan statistik moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan lain” antara lain berupa laporan
KP dan KKB untuk BUK.
- 14 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur
atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Evaluasi kebijakan loan to value dan financing to value dilakukan
antara lain terhadap besaran Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP, pengaturan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan
baru yang menggunakan agunan yang sama dan KP atau PP yang
diambil alih (take over), dan KP atau PP untuk pemilikan Properti
yang belum tersedia secara utuh.
Evaluasi kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB dilakukan
antara lain terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau PKB
dan jenis penggunaan KKB atau PKB.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 15 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia bertujuan antara
lain untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam melakukan pemeriksaan baik dilakukan langsung oleh
Bank Indonesia atau Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa
Keuangan, Bank Indonesia dapat menggunakan data antara lain
data yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon
Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka atau plafon untuk KP
atau PP dari setiap debitur atau nasabah.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 16 -
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau
nasabah.
Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan
tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi maka
pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan 1 (satu) periode
sebelum pelunasan.
Ayat (4)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau
nasabah.
Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan
tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi maka
pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan 1 (satu) periode
sebelum pelunasan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6230
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/8/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 30 Juli 2018 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2018 </effective_date>
<issued_date> 1 Agustus 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '18/16/PBI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/27/PBI/2006
TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN
UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1979,
50 (LIMA PULUH) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN
100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA
UANG KERTAS PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992,
500 (LIMA RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992,
1.000 (SERIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN
5.000 (LIMA RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun emisi
1979, 50 (lima puluh) rupiah tahun emisi 1991 dan 100
(seratus) rupiah tahun emisi 1991 telah beredar cukup
lama;
b. bahwa uang kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun
emisi 1992, 500 (lima ratus) rupiah tahun emisi 1992,
1.000 (seribu) rupiah tahun emisi 1992 dan 5.000 (lima
ribu) rupiah tahun emisi 1992 telah beredar cukup lama;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari
peredaran uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun
emisi 1979, 50 (lima puluh) rupiah tahun emisi 1991
dan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1991, serta uang
kertas …
-2-
kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1992,
500 (lima ratus) rupiah tahun emisi 1992, 1.000 (seribu)
rupiah tahun emisi 1992 dan 5.000 (lima ribu) rupiah
tahun emisi 1992 dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang
Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4388);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI
PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA)
RUPIAH TAHUN EMISI 1979, 50 (LIMA PULUH)
RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN 100 (SERATUS)
RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA UANG KERTAS
PECAHAN …
-3-
PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH, 500 (LIMA
RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 1.000 (SERIBU)
RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN 5.000 (LIMA RIBU)
RUPIAH TAHUN EMISI 1992.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran yang
terdiri dari:
a. Uang logam pecahan 5 (lima) rupiah tahun emisi 1979, 50 (lima puluh)
rupiah tahun emisi 1991 dan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1991; dan
b. Uang kertas pecahan 100 (seratus) rupiah tahun emisi 1992, 500 (lima
ratus) rupiah tahun emisi 1992, 1.000 (seribu) rupiah tahun emisi 1992
dan 5.000 (lima ribu) rupiah tahun emisi 1992.
(2) Uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah sejak tanggal 30 November 2006.
Pasal 2
Uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum.
Pasal 3
Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung …
-4-
1. Terhitung sejak tanggal 30 November 2006 sampai dengan tanggal
29 November 2011 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank
Umum.
2. Terhitung sejak tanggal 30 November 2011 sampai dengan tanggal
29 November 2016 penukaran dilakukan hanya di Bank Indonesia.
Pasal 4
Hak untuk menuntut penukaran uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari
peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 30 November
2016.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 November 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 95
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/27/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN 5 (LIMA) RUPIAH TAHUN EMISI 1979, 50 (LIMA PULUH) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 DAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1991 SERTA UANG KERTAS PECAHAN 100 (SERATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 500 (LIMA RATUS) RUPIAH TAHUN EMISI 1992, 1.000 (SERIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 DAN 5.000 (LIMA RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1992 </reg_title>
<set_date> 22 November 2006 </set_date>
<effective_date> 22 November 2006 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 21 /PBI/2009
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH
PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di
masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah
yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya,
yang merupakan salah satu unsur penunjang kegiatan
ekonomi secara nasional;
b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah oleh Bank
Indonesia ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender), sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan
transaksi ekonomi di masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan
Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu)
Tahun Emisi 2009;
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara . . .
-2-
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta
Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN
EMISI 2009.
Pasal . . .
-3-
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 2.000 (dua
ribu) tahun emisi 2009 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
kertas yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
adalah:
1. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
abu-abu.
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari
dan di bawahnya dicantumkan tulisan “PANGERAN ANTASARI”;
2) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan bagian
tengah terdapat gambar ornamen daerah Kalimantan, serta pada
bagian tepi kanan atas dan bawah terdapat garis melengkung
berwarna . . .
-4-
berwarna kuning yang akan memendar hijau kekuningan di bawah
sinar ultra violet;
3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut
terdapat tulisan “DUA RIBU RUPIAH”;
4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “2000”;
5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “2000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
6) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra yang berbentuk sebuah kotak
persegi panjang;
7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi
(latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk
ornamen daerah Kalimantan yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
8) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila;
9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun
pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Kalimantan;
11) mikroteks . . .
-5-
11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat:
a) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
b) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA membentuk ornamen daerah Kalimantan;
c) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
DUARIBURUPIAH dalam bentuk melingkar;
d) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda.
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak, Kalimantan dan
pada sebelah kanannya dicantumkan tulisan “TARIAN ADAT
DAYAK”;
2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
3) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”;
4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah
kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “2000”;
5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA . . .
-6-
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
7) pada sebelah kanan bawah terdapat tulisan nama perusahaan
percetakan uang atau pemasok uang, dan angka tahun emisi “2009”;
8) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat:
a) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
BANKINDONESIA yang tersusun horizontal;
b) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA
yang membentuk garis vertikal;
c) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan BANKINDONESIA;
9) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis
melengkung dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
3. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari serat kapas;
b. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
c. warna abu-abu;
d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari;
f. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI2000” berulang-ulang.
Pasal . . .
-7-
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 10 Juli 2009.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-8-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 98
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/21/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 </reg_title>
<set_date> 24 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 24 Juni 2009 </effective_date>
<issued_date> 24 Juni 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 23 /PBI/2000
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menciptakan lembaga perbankan yang
tangguh diperlukan dukungan sumber daya manusia perbankan
yang senantiasa memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi
dalam mengelola bank;
b. bahwa dalam rangka menegakkan kompetensi dan integritas
sumber daya manusia perbankan, perlu
dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap pihak-pihak yang memiliki peranan
penting dalam usaha perbankan;
c.
d.
bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan
dilakukan terhadap pihak-pihak yang telah
aktif di lembaga perbankan;
bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan
merupakan proses yang dinamis dan harus
dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dunia
perbankan;
e.
Mengingat :
bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu
untuk mengatur kembali penilaian kemampuan
dan kepatutan (Fit and Proper Test) dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST).
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau
kelompok usaha yang memiliki 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari
jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara, atau memiliki
kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan
Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung;
4. Pengurus adalah pengurus Bank yang terdiri dari komisaris dan direksi;
5. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
6. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
7. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan
dan operasional Bank serta bertanggungjawab langsung kepada Direksi.
Pasal 2
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap integritas Pemegang
Saham Pengendali, dan terhadap kompetensi serta integritas Pengurus dan
Pejabat Eksekutif Bank.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala atau
setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia.
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan terhadap perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali dalam kurun waktu sejak yang
bersangkutan menjadi pemilik Bank, atau Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif
Bank dalam kurun waktu sejak yang bersangkutan memangku jabatan sebagai
Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank.
Pasal 3
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pemegang Saham Pengendali yang
mempunyai hubungan keluarga dan atau kelompok usaha dilakukan untuk
keseluruhan anggota Pemegang Saham Pengendali.
(2) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi semua
anggota Pemegang Saham Pengendali, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 4
(1) Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi :
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan; dan
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
(2) Faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi
tindakan-tindakan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yaitu :
a. perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari
ketentuan perbankan;
b. perbuatan yang tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank
Indonesia dan atau Pemerintah;
c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik,
Pengurus, pegawai, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan Bank;
d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan; dan
e. perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak independen.
Pasal 5
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. pengumpulan informasi;
b. pelaksanaan pemeriksaan;
c. konfirmasi hasil pemeriksaan dengan Bank dan pihak-pihak yang dinilai
setelah berakhirnya pemeriksaan;
d. penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang
dinilai terhadap hasil pemeriksaan;
e. penentuan hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan;
f. pembahasan hasil sementara penilaian kemampuan dan kepatutan dalam
Komite Evaluasi Perbankan;
g. penyampaian hasil pembahasan Komite Evaluasi Perbankan kepada Bank dan
pihak-pihak yang dinilai;
h. penyampaian tanggapan oleh pihak-pihak yang dinilai terhadap hasil
pembahasan Komite Evaluasi Perbankan;
i. pembahasan ulang dalam Komite Evaluasi Perbankan dan pimpinan lainnya
terhadap tanggapan/keberatan pihak-pihak yang dinilai;
j. pembahasan dan penetapan hasil penilaian oleh Rapat Dewan Gubernur;
k. pemberitahuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank
Indonesia.
(2) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja, sejak tanggal konfirmasi hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Penyampaian tanggapan/keberatan oleh pihak-pihak yang dinilai sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf h dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15
(lima belas) hari kerja, sejak tanggal penyampaian hasil pembahasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf g.
Pasal 6
(1) Hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
predikat yaitu :
a. lulus;
b. lulus bersyarat; atau
c. tidak lulus.
(2) Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan nilai dan bobot terhadap faktor
kompetensi dan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 7
(1) Dalam hal pihak-pihak yang diberikan predikat lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a diketahui memiliki kredit macet pada Bank dan
atau BPR, maka predikat yang diberikan akan diturunkan menjadi lulus bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
(2) Ketentuan penurunan predikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula dalam hal pihak-pihak yang dinilai merupakan pengurus dari suatu badan
hukum yang memiliki kredit macet.
Pasal 8
Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b yang memiliki kredit macet pada Bank dan atau BPR serta
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib menyelesaikan kredit macet
yang dimiliki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
Pasal 9
Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk:
a. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan
perbuatan yang serupa;
b. membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan
perbuatan penyimpangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
dan atau
c. melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dalam batas waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
Pasal 10
(1) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 yang telah menyelesaikan kredit macet sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, dapat diberikan predikat lulus.
(2) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang disebabkan oleh faktor kompetensi dan telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dapat
diberikan predikat lulus.
(3) Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat apabila tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, diberikan predikat
tidak lulus.
Pasal 11
Pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c dan Pasal 10 ayat (3) dilarang menjadi :
a. Pemegang Saham Pengendali Bank dan atau BPR;
b. pemegang saham Bank dan atau BPR lebih dari 10% (sepuluh perseratus); dan atau
c. Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR.
Pasal 12
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a wajib menyampaikan pernyataan tertulis
kepada Bank Indonesia yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut
serta dalam pengendalian Bank dan atau BPR dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 90 (sembilan puluh) hari.
(2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi pemegang saham bank lebih dari 10%
(sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b wajib
menurunkan kepemilikannya menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun.
(3) Pihak-pihak yang dilarang menjadi Pengurus dan Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, wajib mengundurkan diri dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari.
(4) Apabila Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang diwajibkan untuk mengundurkan
diri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak bersedia mengundurkan diri maka
segala tindakan yang diambil oleh yang bersangkutan merupakan tanggung jawab
pribadi yang bersangkutan.
Pasal 13
Pengunduran diri Pengurus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal masih terdapat Pengurus yang dinyatakan lulus atau lulus bersyarat dan
Pengurus yang masih ada dinilai dapat menjalankan kegiatan operasional Bank
sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka pemegang saham wajib segera
menyelenggarakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota
Koperasi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari untuk
mengesahkan pengunduran diri Pengurus yang dinyatakan tidak lulus, serta
mengangkat penggantinya sesuai dengan kebutuhan Bank dan ketentuan yang
berlaku;
b. dalam hal tidak terdapat Pengurus yang dinyatakan lulus atau lulus bersyarat, atau
Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak terlaksana dalam jangka waktu yang
ditetapkan, atau kepengurusan Bank yang masih ada dinilai dapat mengganggu
kegiatan operasional Bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Bank
Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Luar Biasa Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti
yang tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 14
(1) Pengurus Bank sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 13 huruf a atau
Pengurus Bank yang ditunjuk dan diangkat menjadi pengganti sementara oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, wajib
memberhentikan pihak-pihak yang dilarang menjadi Pejabat Eksekutif dalam
jangka waktu sebagaimana dimasud dalam Pasal 12 ayat (3).
(2) Pemberhentian dan pengunduran diri Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pengurus Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut :
a. selama 2 (dua) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan
mengakibatkan kerugian tidak material pada permodalan Bank;
b. selama 3 (tiga) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan
mengakibatkan kerugian cukup material pada permodalan Bank;
c. selama 5 (lima) tahun apabila perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan:
1) mengakibatkan kerugian sangat material pada permodalan Bank; atau
2) merupakan penyimpangan manajerial dan atau operasional perbankan yang
bersifat serius (serious misconduct).
(2) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
terhadap pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagai akibat
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9
huruf c ditetapkan selama 2 (dua) tahun.
(3) Jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
terhadap pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagai akibat
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan
huruf b ditetapkan selama 5 (lima) tahun.
Pasal 16
Apabila berdasarkan proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
ditemukan adanya penyimpangan manajerial dan operasional yang bersifat serius
(serious misconduct) dan patut diduga mengandung unsur pelanggaran tindak pidana
perbankan, Bank Indonesia melaporkan kepada pihak yang berwenang.
Pasal 17
(1) Apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 telah terlampaui, pihak-pihak yang dikenakan sanksi
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat mengajukan permohonan
penilaian kembali.
(2) Prosedur penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah menyampaikan pernyataan
tertulis untuk tidak ikut serta dalam pengendalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan ingin kembali menjadi Pemegang Saham
Pengendali, akan dilakukan penilaian ulang mengenai faktor integritas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah menurunkan kepemilikannya
sampai dengan 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud Pasal 12
ayat (2) dan ingin meningkatkan kembali jumlah kepemilikan saham pada
Bank dan atau BPR, akan dilakukan penilaian ulang mengenai faktor
integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
c. bagi Pemegang Saham Pengendali yang telah melepaskan seluruh
kepemilikannya dan bagi Pengurus yang telah mengundurkan diri atau yang
diberhentikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3) dan Pasal 13 huruf b, yang ingin kembali menjadi pemilik dan atau
Pengurus Bank dan atau BPR, akan dilakukan penilaian sesuai dengan
ketentuan yang berlaku terhadap pemilik dan Pengurus Bank dan atau BPR
yang baru;
d. bagi Pejabat Eksekutif yang telah mengundurkan diri atau yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1), yang
akan kembali menjadi Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR, wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan penilaian kembali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali
menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau
kembali menjadi pemilik, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR,
wajib membuat pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia.
(4) Pihak-pihak yang telah mengajukan permohonan penilaian kembali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) namun tidak disetujui oleh Bank Indonesia untuk
menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan dan atau
kembali menjadi pemilik, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank dan atau BPR,
akan ditetapkan jangka waktu untuk dilakukan penilaian kembali oleh Bank
Indonesia.
(5) Penilaian kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 18
(1) Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank
dicantumkan dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham
dan atau Pengurus Bank dan atau BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku, apabila :
a. pihak-pihak yang patut diduga melakukan tindak pidana perbankan telah
diputus bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
b. yang bersangkutan tidak bersedia membuat pernyataan tertulis atau
melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis yang dibuat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1);
c. yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap pernyataan tertulis yang
dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
d. Pejabat Eksekutif yang tidak memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d namun tetap menjadi
Pejabat Eksekutif Bank.
(2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali termasuk dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemegang saham dan atau Pengurus Bank dan atau BPR
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan masih memiliki saham Bank dan atau
BPR sampai dengan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), wajib segera melepaskan seluruh
kepemilikannya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak dapat menurunkan kepemilikannya
menjadi setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dalam jangka waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) maka :
a. yang bersangkutan hanya dapat memperoleh dan melaksanakan hak-haknya
sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR sampai dengan setinggi-
tingginya 10% (sepuluh perseratus); dan
b. Bank dan atau BPR hanya dapat melakukan pencatatan atas kepemilikan
saham dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang
bersangkutan sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus).
(2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak dapat menurunkan seluruh
kepemilikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2) maka:
a. yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dan melaksanakan hak-haknya
sebagai pemegang saham Bank dan atau BPR; dan
b. Bank dan atau BPR dilarang melakukan pencatatan atas kepemilikan saham
dan atau memberikan hak-hak sebagai pemegang saham kepada yang
bersangkutan.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
dan ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. penurunan predikat tingkat kesehatan Bank; dan
b. pemberhentian Pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia.
Pasal 20
Proses dan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan hanya
dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk tugas-tugas dalam rangka pengaturan dan
pengawasan Bank.
Pasal 21
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diberitahukan Bank Indonesia kepada
Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang dinilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Dalam hal Bank, Pemegang Saham Pengendali, dan pihak-pihak yang dinilai
memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada pihak lain maka segala akibat hukum yang timbul
menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
Pasal 22
Proses dan atau hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 23
(1) Bagi pihak-pihak yang telah diberikan predikat tidak lulus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan pihak-pihak yang telah dikenakan sanksi
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, dilakukan penelitian oleh Bank Indonesia untuk menentukan
jangka waktu pengenaan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara
tertulis kepada Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pihak-pihak yang dinilai.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 25
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 November 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 188
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 23
/PBI/2000
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
I. UMUM
Upaya restrukturisasi perbankan, selain ditempuh dengan perbaikan-perbaikan
kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem
perbankan yang mengarah pada praktek perbankan yang sehat (good corporate
governance) serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
Ketahanan sistem perbankan yang mantap dan stabil perlu didukung
dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sebagai
suatu lembaga kepercayaan maka lembaga perbankan perlu dimiliki
dan dikelola oleh pihak-pihak yang mempunyai integritas yang tinggi
dan kompetensi yang memadai.
Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia selama ini merupakan upaya menciptakan sumber daya manusia
perbankan yang memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi. Penilaian
kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap sumber daya manusia perbankan
yang selama ini telah aktif di lembaga perbankan serta didasarkan atas hasil
pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan Bank Indonesia.
Selain memperhatikan faktor-faktor integritas dan kompetensi, penilaian
kemampuan dan kepatutan juga mengandung faktor pertimbangan yang
bersumber pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan atau praktek-praktek
pengawasan bank yang lazim diterapkan secara internasional oleh otoritas
perbankan.
Terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif
yang tidak memenuhi kriteria kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan, Bank
Indonesia akan melakukan tindakan dalam rangka menegakkan integritas dan
kompetensi di perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Bank
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank
Umum berdasarkan Prinsip Syariah.
Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor
Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari
Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri.
Angka 2
BPR pedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank
Perkreditan Rakyat dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.
Angka 3
Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang
dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua,
termasuk besan yang secara bersama-sama memiliki saham
Bank.
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah :
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang;
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau
hubungan keuangan.
Angka 4
Termasuk dalam pengertian Pengurus adalah tim pengawas dan
tim pengelola bagi Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh
Bank Indonesia kepada badan khusus yang bersifat sementara
dalam rangka penyehatan perbankan.
Angka 5
Angka 6
Angka 7
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan kegiatan yang tidak
terpisahkan dari kegiatan pengawasan dan pemeriksaan Bank oleh Bank
Indonesia.
Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut dilakukan terhadap
Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif dan atau Pemegang Saham
Pengendali Bank yang aktif di lembaga perbankan, sedangkan penilaian
terhadap pihak-pihak yang belum pernah aktif di lembaga perbankan
Cukup jelas.
Termasuk dalam pengertian Direksi bagi kantor cabang bank
asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing.
akan dilakukan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
terhadap calon Pengurus dan atau pemilik Bank yang baru, antara lain
dalam bentuk seleksi administratif dan wawancara.
Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pemegang Saham Pengendali
yang berbentuk badan hukum dilakukan terhadap Pemegang Saham
Pengendali dari badan hukum tersebut.
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pejabat Eksekutif
dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan indikasi peranan yang
bersangkutan dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional
yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank.
Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Bank adalah Pemerintah Pusat
dan atau Pemerintah Daerah maka terhadap Pemegang Saham
Pengendali dimaksud tidak dilakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan.
Ayat (2)
Penilaian berkala dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan berkala
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku sedangkan penilaian
sewaktu-waktu dilakukan setiap waktu apabila Bank Indonesia
menganggap perlu berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung dan
atau apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek
perbankan yang sehat termasuk berdasarkan informasi dari masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok
usaha maka pendekatan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
terbukti mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung
atas seluruh kelompok usaha.
Ayat (2)
Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi semua anggota
Pemegang Saham Pengendali adalah apabila salah satu atau lebih
anggota Pemegang Saham Pengendali diberikan predikat tidak lulus,
maka keseluruhan anggota Pemegang Saham Pengendali diberikan
predikat tidak lulus.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota Pemegang
Saham Pengendali dapat bertindak independen terhadap anggota yang
lain dan kelompok Pemegang Saham Pengendali.
Pembuktian bahwa pihak-pihak yang dinilai merupakan anggota
Pemegang Saham Pengendali yang independen dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
Ayat (1)
Penilaian terhadap faktor kompetensi disesuaikan dengan tugas dan
tanggung jawab dari setiap Pengurus dan Pejabat Eksekutif berdasarkan
uraian tugas yang ada.
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan
meliputi pengetahuan tentang peraturan dan sistem operasional
Bank.
Huruf b
Yang dimaksud keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga
keuangan antara lain adalah keahlian di bidang operasional,
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang,
pasar modal, dan atau hukum, yang berkaitan dengan bidang
perbankan dan atau lembaga keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
perbankan, menginterpretasikan visi menjadi misi Bank dan
analisa situasi industri perbankan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan rekayasa adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk menyembunyikan pelanggaran dari suatu
ketentuan atau untuk mengaburkan kondisi keuangan dan atau
transaksi yang sebenarnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan komitmen adalah kesiapan dan
kesungguhan untuk melaksanakan hal-hal yang telah
diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang yang bekerja
dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank.
Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan
Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam
bentuk keuangan yang dapat menimbulkan kesulitan keuangan
atau potensi kesulitan keuangan di masa yang akan datang.
Huruf d
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian antara
lain namun tidak terbatas pada ketentuan tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum, Batas Maksimum Pemberian
Kredit, Posisi Devisa Neto, Pemantauan Likuiditas Bank Umum
dan Giro Wajib Minimum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan independen adalah kemampuan untuk
mengemukakan pandangan, pemikiran serta tindakan sesuai
dengan profesi dengan tidak memihak terhadap kepentingan
pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian dalam
pengelolaan Bank.
Pasal 5
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan secara berjenjang untuk
menghindari penilaian yang bersifat subjektif.
Ayat (1)
Huruf a
Informasi dapat berdasarkan hasil pengawasan maupun
informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b
Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan secara bersamaan
dengan pemeriksaan umum maupun secara terpisah dengan
melakukan pemeriksaan khusus.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan pihak-pihak
yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Komite Evaluasi Perbankan adalah komite yang terdiri dari
pimpinan satuan kerja sektor perbankan dan sektor lainnya yang
dipandang perlu di Bank Indonesia.
Huruf g
Huruf h
Penyampaian hasil pembahasan dilakukan secara tertulis.
Penyampaian tanggapan/keberatan oleh Bank dan pihak-pihak
yang dinilai dapat dilakukan secara tertulis maupun melalui tatap
muka serta didukung bukti-bukti yang diperlukan.
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Ayat (2)
Ayat (3)
Pasal 6
Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 7
Ayat (1)
Ketentuan mengenai kualitas kredit macet berpedoman pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Kualitas Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Dalam penilaian terhadap Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan
atau Pejabat Eksekutif yang menjadi Pengurus suatu badan hukum yang
mempunyai kredit macet, akan dipertimbangkan tingkat keterlibatan
yang bersangkutan.
Pasal 8
Penyelesaian kredit macet harus dibuktikan dengan adanya konfirmasi tertulis
dari Bank dan atau BPR pemberi kredit yang menyatakan bahwa kredit
dimaksud telah dilunasi atau kredit dimaksud tidak lagi termasuk dalam
kualitas macet.
Penyelesaian kredit macet tersebut juga dapat diakui apabila yang
bersangkutan mengundurkan diri dari kepengurusan badan hukum yang tercatat
memiliki kredit macet dengan menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada Bank
Indonesia.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k.
Pasal 9
Huruf a dan huruf b
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup.
Pihak-pihak yang diberikan predikat lulus bersyarat dan telah :
a. membuat pernyataan tertulis sesuai ketentuan pada huruf a dan
huruf b; dan atau
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
b. menyelesaikan kredit macet yang dimiliki,
tidak termasuk sebagai pihak-pihak yang dilarang menjadi pemilik dan
atau Pengurus di Bank dan atau BPR.
Huruf c
Perbaikan faktor kompetensi dilakukan antara lain melalui upaya yang
bersangkutan untuk menambah pengetahuan.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf k.
Pasal 10
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Pengenaan sanksi larangan dalam ayat ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang
melakukan perbuatan dan atau tindakan yang diberikan predikat tidak lulus pada
suatu Bank, namun pada saat penilaian dilakukan yang bersangkutan telah
menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif
pada Bank dan atau BPR lain.
Dalam hal pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan atau tindakan yang
diberikan predikat tidak lulus pada suatu Bank, telah tidak aktif lagi di Bank
dan atau BPR maka hasil penilaian kemampuan dan kepatutan akan menjadi
dasar bagi Bank Indonesia untuk penilaian apabila yang bersangkutan akan aktif
kembali di Bank dan atau BPR.
Pasal 12
Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3)
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup.
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf k.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf k.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3)
Perhitungan jangka waktu dimulai sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf k.
Termasuk dalam pengertian kerugian Bank adalah berkurangnya
keuntungan Bank dan atau potensi kerugian yang ditimbulkan.
Pasal 16
Pasal 17
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pernyataan tertulis ditandatangani di atas meterai yang cukup dan
memuat pernyataan tidak akan melakukan dan atau mengulangi
perbuatan dan atau tindakan yang dinilai melanggar persyaratan tentang
faktor kompetensi dan atau integritas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Ayat (4)
Penolakan permohonan antara lain diberikan bagi pihak-pihak yang
masih dalam proses pengadilan.
Pemberitahuan penolakan dan penetapan jangka waktu untuk penilaian
kembali disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada pihak-
pihak yang mengajukan permohonan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemegang Saham Pengendali yang telah menyampaikan surat
pernyataan untuk tidak ikut serta dalam pengendalian Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pencatatan kepemilikan dalam daftar pemegang saham hanya
dapat diakui sampai dengan setinggi-tingginya 10% (sepuluh
perseratus).
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara
dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk
memperoleh deviden.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hak-hak sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
huruf ini antara lain hak untuk hadir dan memberikan suara
dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta hak untuk
memperoleh deviden.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Pasal 21
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 22
Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini antara lain namun tidak terbatas pada penilaian
kemampuan dan kepatutan yang didasarkan pada:
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia
dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
tanggal 8 Februari 1999 tentang Pembentukan Komite Kebijakan, Komite Evaluasi,
dan Komite Teknis Dalam Rangka Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum;
b. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia
dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum;
dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Pasal 23
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4013
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/23/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title>
<set_date> 6 November 2000 </set_date>
<effective_date> 6 November 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '2/1/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 19 Ayat (3)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 10 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG
PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menetapkan dan melaksanakan
kebijakan pengawasan bank yang berdasarkan risiko
diperlukan dukungan data dan informasi terkait
penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah yang
akurat dan tepat waktu;
b. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi
sebagaimana dimaksud di atas, diperlukan suatu
penyajian laporan penanganan dan penyelesaian
pengaduan nasabah yang disusun dan disampaikan secara
triwulanan melalui suatu sistem Laporan Kantor Pusat
Bank Umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b di atas, dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
Mengingat…
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810).
MEMUTUSKAN…
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN
PENGADUAN NASABAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4476) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian
Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Umum wajib
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
(3) Tata cara penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan
nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Perkreditan
Rakyat wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan dilakukan
paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa laporan.
(4) Bank …
- 4 -
(4) Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melampaui batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum
melampaui satu bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan.
(5) Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak menyampaikan laporan
apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan
sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) Bank Perkreditan Rakyat wajib menyampaikan laporan penanganan dan
penyelesaian Pengaduan kepada:
a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi Bank Perkreditan Rakyat yang berkantor pusat di
wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia,
b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH. Thamrin No.2, Jakarta 10350,
bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berkantor pusat di
wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, atau
c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Perkreditan Rakyat dan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berkantor pusat di luar
wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia;
dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi
Perbankan.
2. Ketentuan …
- 5 -
2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis.
(2) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa
teguran tertulis.
(3) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.
3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
Sanksi atas pelanggaran Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) laporan penanganan
dan penyelesaian Pengaduan bagi Bank Umum tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 38
DPNP/UKMI/DPbS/DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/ 10 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG
PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH
UMUM
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan pengawasan bank
yang berdasarkan risiko, Bank Indonesia telah menetapkan standar minimum
mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah. Untuk mendukung pelaksanaan
tugas tersebut di atas, Bank Indonesia memerlukan ketersediaan data dan
informasi terkait penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah yang akurat
dan tepat waktu.
Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi tersebut diatas dan dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan informasi di Bank
Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang didukung oleh
infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai dan bersifat sistematis untuk
lebih memudahkan bank umum menyampaikan laporan ke Bank Indonesia
melalui Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia menganggap
perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 16
Ayat (1)
Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan
nasabah paling kurang memuat Pengaduan yang
sedang dan telah diselesaikan dalam periode
Pelaporan.
Triwulanan adalah periode yang berakhir pada bulan
Maret, Juni, September dan Desember.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 2 …
- 3 -
Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat
kesehatan Bank dilakukan pada penilaian aspek
manajemen.
Angka 3
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4824
- 4 -
DPNP/UKMI/DPbS/DKBU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/10/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH </reg_title>
<set_date> 28 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 28 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 28 Februari 2008 </issued_date>
<changed_reg> '7/7/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '10/3/PBI/2008', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '7/7/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 18', 'Pasal I Angka 2 Pasal 17' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/27/PBI/2012
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan adanya dinamika nasional, regional
dan global serta semakin kompleksnya produk,
aktivitas, dan teknologi informasi bank maka risiko
pemanfaatan bank dalam pencucian uang dan
pendanaan teroris semakin tinggi;
b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi bank perlu
diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan
manajemen risiko yang terkait dengan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
c. bahwa penerapan manajemen risiko yang terkait
dengan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme perlu mengacu
pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara
internasional;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa dalam rangka penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme secara lebih efektif, telah ada
penyempurnaan dan penerbitan peraturan
perundang-undangan serta penyempurnaan standar
internasional mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf
d di atas, perlu untuk menyempurnakan dan
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang
Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank
Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-
Undang ...
- 3 -
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 45 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5164);
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5204);
MEMUTUSKAN: ...
- 4 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
3. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank dan memiliki
rekening pada Bank tersebut.
5. Calon ...
- 5 -
5. Calon Nasabah adalah pihak yang akan menjalani hubungan
usaha dengan Bank.
6. Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah
pihak yang menggunakan jasa Bank namun tidak memiliki
rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk pihak yang
mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk
melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah.
7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD
adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan
yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut
sesuai dengan dengan profil Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah.
8. Enhanced Due Dilligence atau yang selanjutnya disebut sebagai
EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank
pada saat berhubungan dengan Calon Nasabah, WIC, atau
Nasabah yang tergolong berisiko tinggi, termasuk Politically
Exposed Person, terhadap kemungkinan pencucian uang dan
pendanaan terorisme.
9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disebut sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
11. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang
untuk selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya
pencegahan ...
- 6 -
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan pendanaan terorisme.
12. Beneficial Owner adalah setiap orang yang:
a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan
pada Bank (ultimately own account);
b. mengendalikan transaksi Nasabah;
c. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi;
d. mengendalikan badan hukum; dan/atau
e. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan
melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.
13. Rekomendasi Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut
sebagai Rekomendasi FATF adalah standar pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang
dikeluarkan oleh FATF.
14. Negara berisiko tinggi (high risk country) adalah negara atau
teritori yang potensial digunakan sebagai tempat:
a.
terjadinya atau sarana tindak pidana pencucian uang;
b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense); dan/atau
c. dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme.
15. Lembaga Pemerintahan adalah lembaga yang memiliki
kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
16. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi
pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, meliputi Kementerian
Koordinator/ Kementerian Negara / Departemen / Lembaga
Pemerintahan Non Departemen, Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Kota, Pemerintah Kabupaten, serta lembaga-lembaga
pemerintahan ...
- 7 -
pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan
menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
17. Politically Exposed Person yang selanjutnya disingkat sebagai
PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki
kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang
yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik
yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
yang berkewarganegaraan asing.
18. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank
(correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank
lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis
dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan
lainnya.
19. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking
di mana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank
respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
20. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah transfer
dana.
21. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah transfer
dana dari Bank Pengirim.
22. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah transfer
dana.
Pasal 2 ...
- 8 -
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Dalam penerapan program APU dan PPT, Bank wajib berpedoman
pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 3
(1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan
manajemen risiko Bank secara keseluruhan.
(2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern;
d. sistem informasi manajemen; dan
e. sumber daya manusia dan pelatihan.
BAB II
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 4
Pengawasan aktif Direksi Bank paling kurang mencakup:
a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program APU
dan PPT;
b. mengusulkan kebijakan tertulis program APU dan PPT kepada
Dewan Komisaris;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan
sesuai ...
- 9 -
sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah
ditetapkan;
d. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU
dan PPT dan/atau menunjuk Pejabat yang bertanggungjawab
terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat;
e. melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam
menerapkan program APU dan PPT;
f. memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja
khusus dan memiliki:
1) pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau
2) pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.
g. memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha
yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
huruf f di atas dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan
kebijakan dan prosedur program APU dan PPT.
h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan
pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai
dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan
terorisme; dan
i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit
kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang
berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala.
Pasal 5
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan
b. melakukan ...
- 10 -
b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap
penerapan program APU dan PPT.
Pasal 6
(1) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk
pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program
APU dan PPT.
(2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertanggungjawab kepada Direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
(3) Bank wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau
pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program
APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki
kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk
mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang
terkait.
Pasal 7
Pejabat unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab
terhadap penerapan program APU dan PPT wajib:
a. menyusun dan mengusulkan pedoman penerapan program APU
dan PPT kepada Direksi;
b. memastikan:
1) adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT; dan
2) kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan perkembangan
program APU dan PPT yang terkini, risiko produk Bank,
kegiatan dan kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi
Bank;
c. memantau ...
- 11 -
c. memantau:
1) pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah;
2) Bank telah memiliki mekanisme komunikasi yang baik dari
setiap unit kerja terkait kepada unit kerja khusus atau
kepada pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan
program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan
informasi;
3) Unit kerja terkait telah melakukan fungsi dan tugas dalam
rangka mempersiapkan laporan mengenai dugaan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebelum menyampaikannya kepada
unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab
terhadap penerapan program APU dan PPT; dan
4) Bank telah mengidentifikasi area yang berisiko tinggi yang
terkait dengan APU dan PPT dengan mengacu pada ketentuan
yang berlaku dan sumber informasi yang memadai;
d. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan
kebijakan program APU dan PPT dengan unit kerja terkait yang
berhubungan dengan Nasabah;
e. menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi
mencurigakan (red flag) dari unit kerja terkait yang berhubungan
dengan Nasabah dan melakukan analisis atas laporan tersebut;
f. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan
laporan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang–Undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan
persetujuan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan; dan
g. memantau, menganalisis,
dan
merekomendasi
kebutuhan
pelatihan ...
- 12 -
pelatihan program APU dan PPT bagi pegawai Bank.
BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 8
(1) Bank wajib memiliki pedoman pelaksanaan program APU dan PPT.
(2) Pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat kebijakan dan prosedur tertulis,
yang paling kurang mencakup:
a. permintaan informasi dan dokumen;
b. Beneficial Owner;
c. verifikasi dokumen;
d. CDD yang lebih sederhana;
e. penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
f. ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
g. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga;
h. pengkinian dan pemantauan;
i. Cross Border Correspondent Banking;
j.
transfer dana;
k. penatausahaan dokumen; dan
l. pelaporan kepada PPATK.
(3) Bank wajib menerapkan pedoman pelaksanaan program APU dan
PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan
berkesinambungan.
(4) Pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari Direksi.
Pasal 9 ...
- 13 -
Pasal 9
(1) Bank wajib melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian terhadap risiko terjadinya pencucian uang atau
pendanaan terorisme dari:
a. pengembangan produk dan aktivitas baru termasuk
pelaksanaannya;
b. penggunaan atau pengembangan teknologi baru baik untuk
produk baru maupun untuk produk yang sudah berjalan.
(2) Untuk pelaksanaan identifikasi, pengukuran, monitoring dan
pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko dan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk dan
aktivitas baru.
Pasal 10
Bank wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah;
b. melakukan hubungan usaha dengan WIC;
c. Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh
Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau
d.
terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan
pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
Pasal 11
(1) Bank wajib mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko
terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme.
2. Pengelompokan ...
- 14 -
(2) Pengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang
paling kurang mencakup:
a.
b.
identitas;
lokasi usaha bagi Nasabah perusahaan;
c. profil Nasabah;
d.
jumlah transaksi;
e. kegiatan usaha Nasabah;
f.
g.
struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; dan
informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat risiko Nasabah.
(3) Pengaturan mengenai pengelompokan risiko Nasabah akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Nasabah,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Bank wajib meminta informasi untuk mengetahui profil Calon
Nasabah.
b.
Identitas Calon Nasabah harus dapat dibuktikan dengan
keberadaan dokumen-dokumen pendukung.
c. Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas
Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
d. Bank dilarang membuka atau memelihara rekening anonim
atau rekening yang menggunakan nama fiktif.
e. Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face)
dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan
usaha ...
- 15 -
usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon
Nasabah.
(2) Bank wajib mewaspadai transaksi atau hubungan usaha dengan
Nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang tergolong
berisiko tinggi.
Bagian Pertama
PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN
Pasal 13
Bank wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Calon Nasabah
atau Nasabah ke dalam kelompok perorangan atau perusahaan.
Pasal 14
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a
paling kurang mencakup:
a. Bagi Calon Nasabah perorangan:
1)
Identitas yang memuat:
a) nama lengkap termasuk nama alias apabila ada;
b) nomor dokumen identitas;
c) alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan
alamat tempat tinggal lain apabila ada;
tempat dan tanggal lahir;
d)
e) kewarganegaraan;
f) pekerjaan;
g)
jenis kelamin;
h) status perkawinan; dan
2)
identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah
memiliki Beneficial Owner;
3) sumber ...
- 16 -
3) sumber dana;
4) perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun;
5) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi
yang akan dilakukan Calon Nasabah dengan Bank;
6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
7)
informasi lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah
lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan oleh
ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait.
b. Bagi Calon Nasabah perusahaan:
1) nama perusahaan;
2) nomor izin usaha dari instansi berwenang;
3) bidang usaha;
4) alamat kedudukan perusahaan;
5)
tempat dan tanggal pendirian perusahaan;
6) bentuk badan hukum perusahaan;
7)
identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah
memiliki Beneficial Owner;
8) sumber dana;
9) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi
yang akan dilakukan Calon Nasabah perusahaan dengan
Bank; dan
10) informasi lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah
lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan oleh
ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait.
(2) Sebelum melakukan transaksi dengan WIC, Bank wajib meminta:
a. seluruh ...
- 17 -
a. seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
WIC perorangan maupun WIC perusahaan yang melakukan
transaksi sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan
dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja.
b.
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka
1) huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC perorangan yang
melakukan transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) atau nilai yang setara.
c.
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka
1) dan angka 4) bagi WIC perusahaan yang melakukan
transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau nilai yang setara.
Pasal 15
Untuk Calon Nasabah perorangan dan WIC sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a angka 1) wajib didukung dengan
dokumen identitas Calon Nasabah dan spesimen tanda tangan.
Pasal 16
(1) Untuk Nasabah perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b angka 1), angka 2), angka 3),
angka 4), angka 5), angka 6), angka 7), dan angka 8) wajib
didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan:
a. untuk Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan
usaha kecil ditambah dengan;
1) spesimen ...
- 18 -
1)
spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk
dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan
usaha dengan Bank;
2)
kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk
memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
dan
3)
Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang
dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.
b. untuk Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro
dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 2) dan angka 3), ditambah
dengan:
1)
laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha
perusahaan;
2)
3)
4)
struktur manajemen perusahaan;
struktur kepemilikan perusahaan; dan
dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang
mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan
usaha dengan Bank.
(2) Untuk Nasabah perusahaan berupa Bank, dokumen yang
disampaikan paling kurang:
a. akte pendirian/anggaran dasar Bank;
b.
izin usaha dari instansi yang berwenang; dan
c. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas
nama Bank dalam melakukan hubungan usaha dengan
Bank.
Pasal 17 ...
- 19 -
Pasal 17
(1) Untuk Calon Nasabah selain Calon Nasabah perorangan dan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15 dan
Pasal 16, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b.
(2) Bank wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk Calon
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
sebagai berikut:
a. untuk Calon Nasabah berupa yayasan berupa:
1)
izin bidang kegiatan yayasan;
2) deskripsi kegiatan yayasan;
3) struktur dan nama pengurus yayasan; dan
4) dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang
mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha
dengan Bank.
b. untuk Calon Nasabah berupa perkumpulan yang berbadan
hukum berupa:
1) bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang;
2) nama penyelenggara; dan
3) pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam
melakukan hubungan usaha dengan Bank.
Pasal 18
(1) Untuk Calon Nasabah berupa Lembaga Pemerintahan, instansi
Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing,
Bank wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat
kedudukan lembaga, instansi atau perwakilan.
(2) Informasi ...
- 20 -
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung
dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili
lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan
hubungan usaha dengan Bank; dan
b. spesimen tanda tangan.
Bagian Kedua
BENEFICIAL OWNER
Pasal 19
(1) Bank wajib memastikan Calon Nasabah atau WIC yang membuka
hubungan usaha atau melakukan transaksi bertindak untuk diri
sendiri atau untuk kepentingan Beneficial Owner.
(2) Dalam hal Calon Nasabah atau WIC bertindak untuk kepentingan
Beneficial Owner, Bank wajib melakukan CDD terhadap Beneficial
Owner yang sama dengan CDD bagi Calon Nasabah atau WIC.
(3) Dalam hal Beneficial Owner sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah
prosedur EDD.
Pasal 20
(1) Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi
lainnya mengenai Beneficial Owner, antara lain berupa:
a. bagi Beneficial Owner perorangan:
1) informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a dan Pasal 15;
2) hubungan hukum antara Calon Nasabah atau WIC
dengan ...
- 21 -
dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat
penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk
lainnya; dan
3) pernyataan dari Calon Nasabah atau WIC mengenai
kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial
Owner.
b. Bagi Beneficial Owner perusahaan, yayasan atau
perkumpulan:
1)
informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17;
2) dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau
pengendali akhir
perkumpulan; dan
perusahaan, yayasan atau
3) pernyataan dari Calon Nasabah atau WIC mengenai
kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial
Owner.
(2) Dalam hal Calon Nasabah merupakan Bank lain di dalam negeri
yang mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai
Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari Bank di dalam
negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi
oleh Bank lain di dalam negeri tersebut.
(3) Dalam hal Calon Nasabah merupakan bank lain di luar negeri
yang menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang
setara dengan Peraturan Bank Indonesia ini yang mewakili
Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner
berupa pernyataan tertulis dari bank di luar negeri bahwa
identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh bank di
luar negeri tersebut.
(4) Dalam ...
- 22 -
(4) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas
Beneficial Owner, Bank wajib menolak untuk melakukan
hubungan usaha atau transaksi dengan Calon Nasabah atau WIC.
Pasal 21
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik
atau pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2) tidak berlaku bagi Beneficial
Owner berupa:
a. Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah; atau
b. perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek.
Bagian Ketiga
VERIFIKASI DOKUMEN
Pasal 22
(1) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung dan
melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung yang memuat
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 18
ayat (1) berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya
yang dapat dipercaya dan independen serta memastikan bahwa
data tersebut adalah data terkini.
(2) Bank dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah untuk
meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat keraguan, Bank wajib meminta kepada Calon
Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas
yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan
kebenaran identitas Calon Nasabah.
(4) Bank ...
- 23 -
(4) Bank wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon
Nasabah dan Beneficial Owner sebelum membina hubungan usaha
dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan
WIC.
(5) Dalam kondisi tertentu Bank dapat melakukan hubungan usaha
sebelum proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
selesai.
(6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib
diselesaikan paling lambat:
a. untuk nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja
setelah dilakukannya hubungan usaha.
b. untuk nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja
setelah dilakukannya hubungan usaha bagi Calon Nasabah.
Bagian Keempat
CDD YANG LEBIH SEDERHANA
Pasal 23
(1) Bank dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana dari
prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 20 terhadap Calon
Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian
uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau
penerimaan gaji;
b. Calon Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada
peraturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan
kinerjanya;
c. Calon ...
- 24 -
c. Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas sahamnya
dimiliki oleh Pemerintah;
d. Calon Nasabah berupa Lembaga Pemerintahan atau Instansi
Pemerintah;
e.
f.
transaksi pencairan cek yang dilakukan oleh WIC
perusahaan;
tujuan pembukaan rekening terkait dengan program
Pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pengentasan kemiskinan; atau
g.
jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling
banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan
maksimum transaksi dalam 1 (satu) bulan sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Terhadap Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank wajib
meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b), huruf c), dan
huruf d);
b. bagi Calon Nasabah perusahaan atau Lembaga Pemerintahan
atau Instansi Pemerintah yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d, Bank wajib meminta informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b angka 1) dan angka
4).
c. bagi ...
- 25 -
c. bagi WIC perusahaan yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Bank wajib
meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 4); dan
d. bagi Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dan huruf g, Bank wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a angka
1) huruf a), huruf c), huruf d), dan huruf f).
(3)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didukung
dengan:
a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
bagi Calon Nasabah perorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a;
b. dokumen identitas perusahaan ditambah dengan spesimen
tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank
bagi Calon Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro
dan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf e;
c. dokumen identitas perusahaan dan dokumen identitas
anggota direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk
melakukan hubungan usaha dengan Bank bagi Calon
Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan
usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e; atau
d. dokumen ...
- 26 -
d. dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang
dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil
Calon Nasabah tersebut, dan spesimen tanda tangan, bagi
Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dan huruf g.
(4) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
(5) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang
mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana.
(6) Dalam hal penggunaan rekening tidak sesuai dengan tujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau jumlah
maksimum saldo dan/atau maksimum transaksi Nasabah
melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
maka Bank wajib melakukan prosedur CDD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 terhadap
Nasabah yang bersangkutan.
Bagian Kelima
PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI
Pasal 24
(1) Bank wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan Calon
Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam
hal Calon Nasabah atau WIC:
a.
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18,
dan Pasal 20;
b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen
palsu;
c. menyampaikan ...
- 27 -
c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya;
dan/atau
d. berbentuk Shell Bank atau Bank yang mengizinkan
rekeningnya digunakan oleh Shell Bank.
(2) Bank wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau
menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal:
a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi;
dan/atau
b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau
patut diduga berasal dari hasil tindak pidana.
(3) Bank tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan verifikasi
terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan Beneficial Owner,
dalam hal penolakan hubungan usaha dengan Calon Nasabah
dan/atau penolakan transaksi dengan WIC berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
(4) Bank wajib mendokumentasikan Calon Nasabah, Nasabah atau
WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(5) Bank wajib melaporkan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya
mencurigakan.
(6) Kewajiban Bank untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup
hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening
dan diberitahukan kepada Nasabah.
Pasal 25 ...
- 28 -
Pasal 25
(1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana
dimaksud pada Pasal 24 ayat (2), Bank wajib memberitahukan
secara tertulis kepada Nasabah mengenai penutupan hubungan
usaha tersebut.
(2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Nasabah tidak mengambil sisa dana yang
tersimpan di Bank maka penyelesaian terhadap sisa dana
Nasabah yang tersimpan di Bank dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
POLITICALLY EXPOSED PERSON DAN AREA BERISIKO TINGGI
Pasal 26
(1) Bank wajib memastikan adanya Nasabah dan Beneficial Owner
yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.
(2) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko
tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
(3) Dalam hal Nasabah atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi
atau PEP, Bank wajib melakukan:
a. EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap
informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber
dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-
pihak yang terkait; dan
b. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau
Beneficial Owner.
(4) Kewajiban
Bank
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
diberlakukan ...
- 29 -
diberlakukan pula terhadap Nasabah atau WIC yang:
a. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk
digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan
teroris;
b. melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara
berisiko tinggi;
c. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau
d. merupakan pihak yang terkait dengan PEP.
(5) Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan Calon
Nasabah yang tergolong PEP, Bank wajib menunjuk pejabat senior
yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Calon
Nasabah tersebut.
(6) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berwenang
untuk:
a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Calon
Nasabah yang tergolong PEP; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan
hubungan usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang
tergolong PEP.
Bagian Ketujuh
PELAKSANAAN CDD OLEH PIHAK KETIGA
Pasal 27
(1) Bank dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh
pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah menjadi
nasabah pada pihak ketiga tersebut.
ketiga
(2) Pihak
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
merupakan ...
- 30 -
merupakan lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
b. memiliki kerja sama dengan Bank dalam bentuk kesepakatan
tertulis;
c.
tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
d. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan
dokumen pendukung segera apabila dibutuhkan oleh Bank
dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT; dan
e. berkedudukan di negara yang tidak tergolong berisiko tinggi.
(3) Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berkedudukan di negara yang tergolong berisiko tinggi maka pihak
ketiga tersebut wajib memenuhi kriteria:
a. berada dalam kelompok usaha yang sama dengan Bank; dan
b. kelompok usaha tersebut telah menjalankan CDD,
penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT secara
efektif sesuai dengan Rekomendasi FATF.
(4) Bank wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD
yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Bank yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk
melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41.
Pasal 28 ...
- 31 -
Pasal 28
(1) Dalam hal Bank bertindak sebagai agen penjual produk lembaga
keuangan lainnya, Bank wajib memenuhi permintaan informasi
hasil CDD dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan oleh lembaga keuangan lainnya tersebut dalam
rangka pelaksanaan program APU dan PPT.
(2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD dan
salinan dokumen pendukung sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Bank
dengan lembaga keuangan lainnya tersebut.
Bagian Kedelapan
PENGKINIAN DAN PEMANTAUAN
Pasal 29
(1) Bank wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 20 serta menatausahakannya.
(2) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib:
a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen
Nasabah;
b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan
c. menyusun laporan realisasi pengkinian data.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c
wajib mendapat persetujuan dari Direksi.
Pasal 30 ...
- 32 -
Pasal 30
(1) Bank wajib memelihara database Daftar Teroris yang diterima dari
Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
(2) Bank wajib memastikan secara berkala nama-nama Nasabah
Bank yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang
tercantum dalam database Daftar Teroris.
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang
tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib memastikan
kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang
terkait.
(4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan
informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam database
Daftar Teroris, Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Pasal 31
(1) Bank wajib melakukan pemantauan secara berkesinambungan
untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah
dengan profil Nasabah dan menatausahakan pemantauan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
(2) Bank wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang
tidak sesuai dengan profil Nasabah.
(3) Bank dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan
transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil
Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai ...
- 33 -
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
(4) Bank wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan
terhadap hubungan usaha/transaksi dengan Nasabah yang
berasal dari negara yang berisiko tinggi dan/atau Bank yang
berkedudukan di negara yang berisiko tinggi.
Pasal 32
Bank wajib melakukan CDD terhadap Nasabah sesuai dengan
pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila:
a.
b.
c.
terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan;
terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan;
informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam Customer
Identification File belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18
ayat (2), dan Pasal 20; dan/atau
d. menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan
nama fiktif.
Bagian Kesembilan
CROSS BORDER CORRESPONDENT BANKING
Pasal 33
(1) Sebelum menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking,
Bank wajib meminta informasi mengenai:
a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus;
b.
reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. tingkat ...
- 34 -
c.
d.
tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat
kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan
Informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk
mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus.
(2) Sumber informasi untuk memastikan huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d berdasarkan informasi publik yang memadai yang
dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
(3) Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas
hubungan usaha dengan calon Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus.
Pasal 34
Bank wajib melakukan CDD terhadap Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk
Based Approach) apabila:
a.
terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus
yang bersifat substansial; dan/atau
b.
informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang
tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
Pasal 35
Dalam hal terdapat Nasabah yang mempunyai akses terhadap Payable
Through Account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank
Pengirim wajib memastikan:
a. Bank ...
- 35 -
a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan
proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang
sama dengan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
dan
b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk
menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait apabila
diminta oleh Bank Pengirim.
Pasal 36
Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent
Banking wajib:
a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border
Correspondent Banking;
b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan
Cross Border Correspondent Banking dengan shell bank; dan
c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak
mengijinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank pada saat
mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border
Correspondent Banking.
Bagian Kesepuluh
TRANSFER DANA
Pasal 37
(1) Bagi Bank yang melakukan kegiatan transfer dana baik di dalam
wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Bank Pengirim wajib:
1) memperoleh ...
- 36 -
1) memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta
verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau
Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi:
a) nama Nasabah atau WIC pengirim;
b) nomor rekening Nasabah pengirim;
c) alamat Nasabah atau WIC pengirim;
d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau
tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC
pengirim;
e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim
f) nama Nasabah atau WIC penerima;
g) nomor rekening Nasabah penerima;
h) alamat WIC penerima;
i)
j)
jumlah uang dan jenis mata uang; dan
tanggal transaksi;
2) menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada
angka 1) kepada Bank Penerima; dan
3) mendokumentasikan seluruh transaksi transfer dana.
b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah transfer
dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari
Bank Pengirim.
c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi
Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud
pada huruf a angka 1).
(2) Untuk kegiatan transfer dana di dalam wilayah Indonesia, Bank
Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis informasi yang
dibutuhkan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan
permintaan tertulis dari Bank Penerima, dan/atau dari otoritas
yang ...
- 37 -
yang berwenang, apabila Bank Penerima hanya memperoleh
informasi nomor rekening atau nomor referensi transaksi.
Pasal 38
Ketentuan dalam Pasal 37 dikecualikan terhadap:
a.
b.
transfer dana yang menggunakan kartu debet, kartu ATM maupun
kartu kredit.
transfer dana yang dilakukan antar penyedia jasa keuangan dan
untuk kepentingan penyedia jasa keuangan dimaksud.
Pasal 39
(1) Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf a angka 1) tidak dipenuhi maka Bank Pengirim wajib
menolak untuk melaksanakan transfer dana.
(2) Dalam hal Bank Penerus dan/atau Bank Penerima menerima
perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak
dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) huruf a angka 1) maka Bank Penerus dan/atau Bank
Penerima dapat:
a. melaksanakan transfer dana;
b. menolak untuk melaksanakan transfer dana; atau
c. menunda transaksi transfer dana,
disertai dengan tindak lanjut yang memadai.
Pasal 40
Dalam hal terdapat transfer dana yang memenuhi kriteria
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dan peraturan
perundang ...
- 38 -
perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Bank wajib melaporkan
transfer dana tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
Bagian Kesebelas
PENATAUSAHAAN DOKUMEN
Pasal 41
(1) Bank wajib tetap menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan
jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak:
1) berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan
Nasabah atau WIC; atau
2) ditemukannya ketidak sesuaian transaksi dengan tujuan
ekonomis dan/atau tujuan usaha.
b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi
keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang dokumen.
(2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup:
a.
b.
Identitas Nasabah atau WIC; dan
Informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan
jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah
transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening
yang terkait dengan transaksi.
(3) Bank wajib memberikan
informasi
dan/atau dokumen
sebagaimana ...
- 39 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia
dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana
diperintahkan oleh Undang-undang, pada saat diperlukan.
BAB IV
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 42
(1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain
dibuktikan dengan:
a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal
yang memadai;
b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan
c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas
pelaksanaan program APU dan PPT oleh satuan kerja audit
intern.
BAB V
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
Pasal 43
(1) Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif
mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah
Bank.
(2) Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara
terpadu (Single Customer Identification File), paling kurang meliputi
informasi ...
- 40 -
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 17 dan
Pasal 18 ayat (1).
(3) Bank wajib memiliki dan memelihara profil WIC sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) huruf a.
(4) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat
(2) wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang
berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau
pendanaan terorisme.
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 44
Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan
pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak
intern Bank, Bank wajib melakukan:
a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru
(pre employee screening); dan
b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan.
Pasal 45
Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan
tentang:
a.
b. Teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan
terorisme; dan
c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta
peran ...
implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
program APU dan PPT;
- 41 -
peran dan tanggungjawab pegawai dalam mencegah dan
memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme.
BAB VII
PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT BAGI KANTOR CABANG DARI
BANK YANG BERBADAN HUKUM INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pasal 46
(1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan
kebijakan dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan
kantor dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau
pelaksanaannya.
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak
perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun
standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari
yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor
dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan Program APU
dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Dalam hal penerapan Program APU dan PPT sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara
tempat ...
- 42 -
tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada
maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib
menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia
bahwa kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan Program
APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 47
(1) Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyampaikan kepada
Bank Indonesia:
a. penyesuaian action plan pelaksanaan program APU dan PPT
dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan pada bulan Juni 2013;
b. penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat 6
(enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini;
c.
laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b disampaikan setiap
tahun dalam Laporan Direktur yang membawahkan fungsi
Kepatuhan bulan Desember; dan
d.
laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c disampaikan setiap tahun
dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang
membawahkan fungsi Kepatuhan bulan Desember.
(2) Dalam ...
- 43 -
(2) Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, Pedoman
Pelaksanaan Program APU dan PPT, laporan rencana kegiatan
pengkinian data, yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan
huruf c, Bank wajib menyampaikan perubahan tersebut paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan.
Pasal 48
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan laporan lain
kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
(2) Kewajiban Bank untuk melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait
dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan
oleh PPATK.
Pasal 49
Penyampaian pedoman dan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ditujukan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor ...
- 44 -
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 50
Bank wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema pencucian
uang atau pendanaan terorisme.
Pasal 51
Bank wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang
berwenang dalam rangka memberantas pencucian uang dan/atau
pendanaan terorisme.
BAB X
SANKSI
Pasal 52
(1) Bank yang terlambat menyampaikan:
a. penyesuaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 huruf a;
b. penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 huruf b;
c.
laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf c;
d. laporan ...
- 45 -
d.
e.
laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf d; atau
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan
per laporan dan paling tinggi sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah).
(2) Bank yang belum menyampaikan:
a. penyesuaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 huruf a;
b. penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 huruf b;
c.
d.
e.
laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf c;
laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf d; atau
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
dalam waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan
Pasal 48, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang:
a.
tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan
pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali
pemeriksaan; dan/atau
b.
tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam
action plan dan/atau rencana kegiatan pengkinian data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan huruf c,
c. tidak ...
- 46 -
c.
tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang
dalam pedoman pelaksanaan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf (b) yang
berdampak signifikan terhadap pelaksanaan program APU
dan PPT,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1),
dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 23 ayat
(2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal
26 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (4), Pasal
28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (4), Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 ayat (1), Pasal 41 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal
46, Pasal 50, Pasal 51, dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian ...
- 47 -
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk
dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
dan/atau
e. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris,
pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di
bidang Perbankan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Bank yang telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme wajib
menyesuaikan dan menyempurnakan menjadi Pedoman Pelaksanaan
Program APU dan PPT paling lambat 6 (enam) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 55 ...
- 48 -
Pasal 55
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 mengenai Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5032), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
(2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada
ketentuan mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum selanjutnya
mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali diatur
tersendiri.
Pasal 56
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 49 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 290
DPNP
- 50 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/27/PBI/2012
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang
diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi
informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan
meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk
menyalahgunakan fasilitas dan produk perbankan sebagai sarana
pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi
yang lebih canggih.
Dalam rangka pencegahan pencucian uang dan pemberantasan
terorisme tersebut, koordinasi, kerjasama dan perhatian dari berbagai
pihak nasional dan internasional mutlak diperlukan.
Dalam hal ini industri perbankan nasional mempunyai peranan
sangat penting untuk membantu penegakan hukum dalam
menjalankan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme. Selain itu, dengan melaksanakan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme diharapkan
perbankan dapat memitigasi berbagai risiko yang mungkin timbul
antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko
konsentrasi.
Dalam …
- 51 -
Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme, perbankan tetap berpedoman pada
penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan standar
internasional yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF) yang menetapkan kebijakan dan langkah-
langkah yang diperlukan untuk melindungi sistem keuangan global
dari pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang dikenal sebagai
Rekomendasi FATF. Rekomendasi tersebut juga dijadikan acuan bagi
masyarakat internasional untuk menilai kepatuhan suatu negara
terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
Seiring dengan perkembangan yang ada baik dalam lingkup
nasional dan global, sampai dengan saat ini telah dikeluarkan
beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Undang-Undang Transfer Dana. Selain itu,
Rekomendasi FATF juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi
lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak
pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Selanjutnya, Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan dalam rangka
harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
standar internasional. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain
meliputi:
a. Pengaturan mengenai transfer dana.
b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi.
c. Pengaturan …
- 52 -
c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya
dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global
keuangan inklusif (financial inclusion).
d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking.
Dengan penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme yang dilakukan perbankan secara
lebih efektif, diharapkan bank dapat beroperasi secara sehat sehingga
pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan dan stabilitas sistem
keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pencucian uang” sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah.
Yang …
- 53 -
Yang dimaksud dengan “pendanaan terorisme” adalah
penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam
kaitan ini termasuk upaya-upaya setiap orang yang dengan
sengaja memberikan bantuan atau kemudahan dengan cara
memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
yang dimaksud dengan “Direksi” adalah pimpinan kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri yakni pemimpin
kantor cabang Bank dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin
kantor cabang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 54 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat
tanpa pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan Bank.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, ketentuan ini berlaku juga bagi Kantor Cabang
Pembantu.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kompleksitas usaha yang tinggi”
adalah dengan mempertimbangkan antara lain ragam produk
dan jasa, serta jumlah nasabah yang memiliki risiko tinggi
dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur
mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan
negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “unit kerja terkait” antara lain unit
kerja yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan Nasabah dan/atau WIC, seperti petugas
pelayanan nasabah (front liner), petugas pemasaran, petugas
yang terkait pengelolaan dan pengembangan teknologi
informasi, serta internal auditor.
Pasal 5 …
- 55 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat
tanpa pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan dan kompleksitas permasalahan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kemampuan yang memadai antara lain mencakup
pengalaman, pengetahuan termasuk pengalaman dan
pengetahuan mengenai perkembangan rezim APU dan PPT.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “sistem yang mendukung” adalah
sistem yang antara lain dapat mengidentifikasi Nasabah,
Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi
keuangan lainnya sebagaimana diwajibkan dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c …
- 56 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT mengacu kepada
Pedoman Standar Penerapan Program APU dan PPT yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f …
- 57 -
Huruf f
Penetapan penggolongan area berisiko tinggi dilakukan
dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur
mengenai pedoman identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan terkait pendanaan terorisme, produk,
nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia
jasa keuangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Bank dalam melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring
dan pengendalian perlu memperhatikan risiko yang timbul
atas penerbitan produk, pelaksanaan aktivitas baru,
penggunaan atau pengembangan teknologi baru, serta
mengupayakan tindakan yang memadai untuk mengelola dan
memitigasi risiko yang timbul.
Ayat (2) …
- 58 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Dalam hal rekening merupakan rekening joint account atau
rekening bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh
pemegang rekening joint account tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Transaksi yang tidak wajar adalah transaksi yang memenuhi
salah satu kriteria dari transaksi keuangan yang
mencurigakan namun masih perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk memastikan apakah transaksi tersebut tergolong
sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan yang wajib
dilaporkan kepada PPATK
Pasal 11
Ayat (1)
Untuk efektifitas pengelompokkan Nasabah, diperlukan
informasi baik dari Nasabah itu sendiri maupun dari informasi
lainnya yang tersedia di masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat 3 …
- 59 -
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Dalam rangka meminta informasi, Bank dapat diwakili oleh
pihak lain. Pihak lain yang dapat mewakili Bank harus
mengetahui prinsip dasar dari CDD.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam pengertian rekening fiktif adalah rekening
Nasabah yang menggunakan nama yang tidak sesuai
dengan yang tertera pada dokumen identitas Nasabah yang
bersangkutan.
Huruf e
Termasuk dalam pengertian hubungan usaha adalah
penggunaan jasa perbankan melalui media elektronik.
Dalam melakukan pertemuan langsung (face to face), Bank
dapat diwakili oleh pihak lain. Pihak lain yang dapat
mewakili Bank harus mengetahui prinsip dasar CDD.
Ayat (2)
Untuk mengetahui tingkat risiko suatu negara antara lain
dapat dilihat di laman www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org
Pasal 13 …
- 60 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Huruf a)
Cukup Jelas.
Huruf b)
Cukup Jelas.
Huruf c)
Informasi mengenai alamat tempat tinggal lain
diperlukan apabila Calon Nasabah perseorangan
memiliki alamat tempat tinggal berbeda dengan
alamat yang tercatat pada dokumen identitas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Informasi pekerjaan mencakup nama
perusahaan/institusi, alamat perusahaan/
institusi, dan jabatan.
Huruf g)
Cukup jelas.
Huruf h)
Cukup jelas.
Angka 2) …
- 61 -
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Kewajiban ini berlaku untuk Calon Nasabah yang
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku wajib
memiliki NPWP dan telah memiliki NPWP.
Angka 7)
Informasi lain misalnya, nomor telepon, alamat
penagihan telepon/listrik/kartu kredit, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-
undangan lainnya yang terkait” antara lain ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah yang
berlaku bagi lembaga keuangan non bank.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4) …
- 62 -
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Cukup jelas.
Angka 7)
Cukup jelas.
Angka 8)
Cukup jelas.
Angka 9)
Cukup jelas.
Angka 10)
Informasi lain misalnya nomor telepon, alamat
penagihan telepon/listrik/kartu kredit, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-
undangan lainnya yang terkait” antara lain ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah yang
berlaku bagi lembaga keuangan non bank.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan dalam ayat ini juga berlaku bagi perantara atau
pihak yang mendapatkan kuasa dari Nasabah untuk
melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah yang
transaksinya tergolong tidak wajar atau mencurigakan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15 …
- 63 -
Pasal 15
Dokumen pendukung bagi identitas Calon Nasabah perorangan
yang berkewarganegaraan Indonesia adalah Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor yang
masih berlaku. Sedangkan dokumen pendukung bagi identitas
Calon Nasabah perorangan yang berkewarganegaraan asing
adalah paspor yang disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai
dengan ketentuan keimigrasian. Dokumen pendukung identitas
tersebut juga diperlukan bagi perorangan yang ditunjuk bertindak
untuk dan atas nama perusahaan.
Dokumen Kartu Izin Tinggal dapat digantikan oleh dokumen
lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang
profil Calon Nasabah berkewarganegaraan asing tersebut antara
lain surat referensi dari:
a. seorang
berkewarganegaraan
Indonesia
atau
perusahaan/instansi/pemerintah Indonesia mengenai profil
Calon Nasabah berkewarganegaraan asing; atau
b. penyedia jasa keuangan di negara atau jurisdiksi tempat
kedudukan Calon Nasabah dan negara atau jurisdiksi tersebut
tidak tergolong berisiko tinggi
Termasuk spesimen tanda tangan bagi Calon Nasabah perorangan
yang berkewarganegaraan Indonesia adalah cap jempol atau sidik
jari.
Pasal 16 …
- 64 -
Pasal 16
Ayat (1)
Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perusahaan
berupa:
a. akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan; dan
b. izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang.
Contoh: izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang
Valuta Asing dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau
izin usaha dari Departemen Kehutanan bagi kegiatan
usaha di bidang perkayuan/kehutanan.
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan Nasabah perusahaan yang
tergolong usaha mikro dan usaha kecil adalah
Nasabah perusahaan yang memenuhi kriteria usaha
mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup
informasi mengenai bidang usaha, profil pelanggan,
alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telepon
perusahaan.
Angka 2) …
- 65 -
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Yang dimaksud dengan anggota Direksi yang berwenang
mewakili perusahaan untuk melakukan transaksi dengan
Bank adalah anggota Direksi yang memiliki spesimen
tanda tangan (authorized signature).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perkumpulan yang berbadan hukum antara lain Lembaga
Swadaya Masyarakat, perkumpulan keagamaan, partai
politik dan organisasi non profit.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 …
- 66 -
Pasal 19
Ayat (1)
Pengertian Beneficial Owner dalam ayat ini dapat lebih dari
satu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk Beneficial Owner perorangan dalam ayat ini
adalah Beneficial Owner perorangan dari Calon Nasabah
yang merupakan Lembaga Pemerintahan atau Instansi
Pemerintah.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pemilik atau pengendali
akhir perusahaan, yayasan atau perkumpulan
(ultimate owner/ultimate controller)”
adalah
perorangan yang menurut penilaian Bank memiliki
dan/atau yang melakukan pengendalian akhir untuk
mengambil keputusan dalam pengelolaan
perusahaan.
Dokumen …
- 67 -
Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir
dapat berupa surat pernyataan atau dokumen
lainnya yang memuat informasi mengenai identitas
pemilik atau pengendali akhir.
Angka 3)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Lembaga pemerintahan yang dimaksudkan dalam huruf ini
mencakup lembaga pemerintahan Indonesia dan lembaga
pemerintahan asing.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Untuk memastikan kebenaran identitas Nasabah
perseorangan, dokumen identitas hendaknya merupakan
dokumen yang mencantumkan foto diri yang diterbitkan oleh
pihak yang berwenang dengan jangka waktu yang masih
berlaku.
Ayat (2) …
- 68 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan lebih dari satu dokumen identitas
misalnya selain Kartu Tanda Penduduk adalah paspor atau
Surat Izin Mengemudi
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain:
a. kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat
hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena
dokumen masih dalam proses pengurusan; dan
b. apabila tingkat risiko Calon Nasabah tergolong rendah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Dalam hal ini termasuk tingkat risiko negara asal Nasabah.
Huruf a
Rekening yang dimaksud dalam huruf ini adalah rekening
milik perusahaan yang digunakan hanya untuk
pembayaran gaji karyawan perusahaan tersebut secara
periodik dan/atau rekening karyawan yang digunakan
hanya untuk menerima gaji dari pemberi kerja.
Huruf b …
- 69 -
Huruf b
Perusahaan publik yang dimaksudkan dalam huruf ini
adalah perusahaan yang terdaftar pada bursa efek dimana
informasi tentang identitas perusahaan dan Beneficial
Owner perusahaan tersebut dipublikasikan kepada
masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Program Pemerintah yang dimaksud dalam huruf ini antara
lain program Pemerintah untuk tujuan sosial, bantuan
layanan tunai dan gerakan Indonesia menabung.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas
antara lain:
a. Kartu …
- 70 -
a. Kartu pengenal yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang mencantumkan foto diri seperti kartu peserta
program yang dikeluarkan oleh Pemerintah;
b. dokumen identitas dan surat referensi dari Nasabah
lain yang mengenal profil Calon Nasabah;
c. surat referensi dari Kelurahan atau Kepala Desa
dimana Calon Nasabah berdomisili yang
mencantumkan foto diri; atau
d. kartu tanda pelajar bagi Calon Nasabah Perorangan
yang belum memenuhi syarat untuk memiliki KTP
yang disertai dengan dokumen identitas dan surat
persetujuan dari orangtua atau pihak lain yang
bertanggungjawab terhadap Calon Nasabah tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai
alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko
rendah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c …
- 71 -
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah Bank yang
tidak mempunyai kehadiran secara fisik (physical
presence) di wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan
memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok
usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan
terkonsolidasi yang efektif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban Bank untuk tetap melakukan proses identifikasi
dan verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan
Beneficial Owner dimaksudkan untuk kepentingan pelaporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis yang ditujukan
kepada Nasabah sesuai dengan alamat yang tercantum dalam
database Bank atau diumumkan melalui media cetak, media
elektronik maupun media lainnya.
Ayat (2) …
- 72 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian terhadap sisa dana
Nasabah” antara lain berupa penyerahan sisa dana kepada
Balai Harta Peninggalan.
Pasal 26
Ayat (1)
Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai
pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara
berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman
mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan
terkait pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan.
Ayat (2)
Pembuatan daftar tersendiri ditujukan untuk memudahkan
identifikasi dan pemantauan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemantauan yang lebih ketat”
adalah proses pemantauan yang dilakukan oleh Bank
secara berkala dengan frekuensi yang lebih tinggi atas
transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Dalam
menetapkan frekuensi yang lebih tinggi tersebut, Bank
dapat menetapkan klasifikasi high risk lebih lanjut sesuai
dengan profil Nasabah atau Beneficial Owner yang
bersangkutan.
Ayat (4) …
- 73 -
Ayat (4)
Huruf a
Produk perbankan yang berisiko tinggi antara lain
transfer dana, private banking, internet banking.
Huruf b
Negara berisiko tinggi antara lain negara yang
diidentifikasikan sebagai Tax Heaven Country .
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak yang terkait dengan PEP”
adalah:
a. Perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP;
b. anggota keluarga PEP sampai dengan derajat kedua;
dan/atau
c. Pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik
mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai bank umum, telah
memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti
pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme
misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat
Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 74 -
Huruf b
Dalam hal ini khususnya terhadap Nasabah yang
statusnya mengalami perubahan dari Nasabah biasa
menjadi PEP termasuk Nasabah yang baru teridentifikasi
sebagai PEP.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan
verifikasi Calon Nasabah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Informasi yang dimaksudkan dalam huruf ini paling
kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai
dengan yang tercantum pada kartu identitas, alamat atau
tempat dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan
kewarganegaraan dari Calon Nasabah.
Huruf e
Untuk mengetahui tingkat risiko suatu negara antara lain
dapat dilihat di
www.apgml.org
laman www.fatf-gafi.org atau
Ayat (3) …
- 75 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi
Calon Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bank
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Pengkinian terhadap dokumen identitas antara lain dilakukan
apabila terdapat transaksi keuangan yang memenuhi kriteria
sebagai transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
Ayat (2)
Laporan kegiatan pengkinian data meliputi data kuantitatif
dan data kualitatif.
Yang dimaksud dengan “data kuantitatif” antara lain berupa
statistik jumlah Nasabah yang datanya telah atau belum
dikinikan.
Yang dimaksud dengan “data kualitatif” antara lain berupa
kendala, upaya yang telah dilakukan Bank serta kemajuan
(progress) dari upaya tersebut.
Ayat (3) …
- 76 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Daftar Teroris adalah daftar nama-
nama teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan
PBB 1267.
Bank dapat secara aktif mengkinikan Daftar Teroris
berdasarkan database Daftar Teroris yang dipublikasikan
melalui media internet seperti website PBB
http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml atau
sumber lain yang lazim digunakan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan informasi lainnya antara lain tempat
tanggal lahir dan alamat Nasabah.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan nama Nasabah adalah termasuk nama
alias dari Nasabah.
Informasi lainnya antara lain tempat tanggal lahir dan alamat.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)…
- 77 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan transaksi yang tidak sesuai dengan
profil Nasabah adalah transaksi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undanganan yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Informasi mengenai Negara yang berisiko tinggi antara lain
dapat dilihat pada informasi yang dipublikasikan oleh otoritas
di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task
Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money
Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan
lain-lain.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan “pendekatan berdasarkan risiko” adalah
pendekatan yang mempertimbangkan tingkat materialitas dan
risiko.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Informasi mengenai profil Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus antara lain mencakup susunan anggota Direksi
dan Dewan Komisaris, kegiatan usaha, dan produk hasil
usaha.
Huruf b …
- 78 -
Huruf b
Dalam meneliti reputasi Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus, Bank perlu meneliti reputasi yang bersifat
negatif, misalnya sanksi yang pernah dikenakan oleh
otoritas kepada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus
terkait dengan pelanggaran ketentuan otoritas termasuk
ketentuan yang terkait dengan rekomendasi FATF, atau
Bank Penerima dan/atau Bank Penerus sedang dalam
proses penyidikan dan/atau pembinaan oleh otoritas
yang berwenang terkait dengan pencucian uang atau
pendanaan terorisme.
Huruf c
Tingkat penerapan program APU dan PPT suatu negara
dapat dilihat dari tingkat risiko negara tempat
kedudukan Bank tersebut yang dikeluarkan oleh FATF
atau Asia Pacific Group on Money Laundering (APG)
terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang
dan/atau pendanaan terorisme.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “informasi relevan lain”antara
lain informasi mengenai:
a. kepemilikan, pengendalian, dan struktur manajemen,
untuk memastikan apakah terdapat PEP dalam
susunan kepemilikan atau sebagai pengendali;
b. posisi keuangan Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus; dan
c. profil perusahaan induk dan anak perusahaan.
Ayat (2) …
- 79 -
Ayat (2)
Otoritas di dalam negeri yang berwenang seperti PPATK dan
Bank
Indonesia, sedangkan otoritas
di luar negeri yang
berwenang seperti Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money Laundering
(APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lain-lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai bank umum dan telah
memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti
pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme,
misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat
Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Payable Through Account adalah rekening koresponden yang
digunakan secara langsung oleh pihak ketiga untuk melakukan
transaksi atas nama pihak ketiga tersebut.
Pasal 36
Huruf a
Yang dimaksud kegiatan dokumentasi adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf b …
- 80 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah Bank yang tidak
mempunyai kehadiran secara fisik (physical presence) di
wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan memperoleh izin,
dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan
yang menjadi subyek pengawasan terkonsolidasi yang efektif.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank Pengirim” termasuk pula
Bank yang melakukan kegiatan usaha sebagai agen dari
penyelenggara kegiatan pengiriman uang.
Angka (1)
Huruf a)
Cukup jelas
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d) …
- 81 -
Huruf d)
Yang dimaksud dengan “nomor identifikasi”
antara lain nomor yang secara unik
mengidentifikasikan Nasabah/WIC pengirim dari
Bank Pengirim dengan data informasi yang
dikelola oleh Bank Pengirim. Dalam hal ini,
nomor identifikasi berbeda dengan nomor
transaksi.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Cukup jelas.
Huruf h)
Cukup jelas.
Huruf i)
Cukup jelas.
Huruf j)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kegiatan dokumentasi”
adalah kegiatan dokumentasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia
ini.
Huruf b …
- 82 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “informasi” adalah informasi
mengenai pihak yang pertama kali mengeluarkan
perintah transfer dana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi atau permintaan tertulis dapat berupa surat yang
ditandatangani maupun informasi atau permintaan yang
disampaikan melalui media eletronik lainnya.
Otoritas yang berwenang dalam ayat ini termasuk otoritas
penegak hukum dengan memperhatikan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kerahasiaan Bank.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyedia jasa keuangan yang dimaksudkan dalam ayat ini
adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 83 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindak lanjut yang memadai” antara
lain melakukan pemantauan yang lebih ketat, melaporkan
sebagai Transaksi Keuangan yang Mencurigakan.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan,
electronic form, microfilm atau dokumen yang berdasarkan
undang-undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat
bukti
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen yang terkait data
Nasabah atau WIC” antara lain dokumen identitas, hasil
analisis yang terkait dengan profil Nasabah atau WIC, dan
korespondensi dengan Nasabah atau WIC.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42 …
- 84 -
Pasal 42
Ayat (1)
Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan
PPT oleh Bank, Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit
Intern yang telah ada antara lain untuk melakukan uji
kepatuhan (termasuk penggunaan sample testing) terhadap
kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program APU dan
PPT.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan
Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual
transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern
dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan
kasus peradilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan profil Nasabah secara terpadu adalah
data profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang
dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain
tabungan, deposito, giro dan kredit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat
(4) …
- 85 -
Ayat (4)
Penggunaan teknologi yang berpotensi disalahgunakan seperti
pembukaan rekening dan/atau melakukan transaksi melalui
pos, fax, telepon, internet banking, dan ATM.
Pasal 44
Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan
pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan karyawan
Bank itu sendiri. Dengan demikian untuk mencegah ataupun
mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan melalui lembaga perbankan perlu diterapkan Know
Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur
pre employee screening, pengenalan dan pemantauan profil yang
mencakup karakter, perilaku dan gaya hidup karyawan.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT yang
dimaksudkan dalam ayat ini termasuk kebijakan dan
prosedur pertukaran informasi untuk tujuan CDD dan
manajemen risiko terhadap pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Dalam melaksanakan pertukaran informasi
tersebut tetap memperhatikan tingkat keamanan informasi
dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang …
- 86 -
Yang dimaksud dengan “anak perusahaan” adalah anak
perusahaan yang mayoritas kepemilikannya berada pada
Bank.
Ayat (2)
Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar
dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak
perusahaan di luar negeri.
Ayat (3)
Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar
dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak
perusahaan di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Action plan adalah langkah-langkah Bank untuk
melaksanakan program APU dan PPTdengan target waktu
penyelesaian selama periode tertentu, yang paling kurang
memuat penyempurnaan infrastruktur terkait dengan
teknologi informasi, penyiapan sumber daya manusia, dan
program pengkinian data Nasabah, WIC dan Beneficial
Owner.
Huruf b …
- 87 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Termasuk dalam kerja sama dengan penegak hukum yang
dimaksudkan dalam ayat ini adalah menyampaikan dokumen
atau informasi kepada penegak hukum terkait dengan identitas
nasabah …
- 88 -
nasabah yang diduga melakukan tindak pidana yang merupakan
tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian
uang sesuai perundangan-undangan yang berlaku.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tata cara penyampaian laporan pelaksanaan tugas Direktur
yang membawahkan fungsi kepatuhan dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pelaksanaan sanksi ini setelah Bank memperoleh 2 (dua)
kali surat teguran dengan jangka waktu masing-masing 7
(tujuh) hari kerja, serta mempertimbangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi tidak dilaksanakannya komitmen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan” antara
lain adalah menimbulkan risiko reputasi Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54 …
- 89 -
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5385
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/27/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2012 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '11/28/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/ 34 /PBI/2008
TENTANG
TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA
OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa gejolak keuangan
adalah mencapai
global
dan
saat ini berdampak
signifikan terhadap kondisi permintaan valuta asing di
pasar domestik dan stabilitas nilai tukar rupiah;
c. bahwa dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,
salah
satu upaya Bank Indonesia adalah mendorong
tersedianya pasokan valuta asing di pasar domestik melalui
pembelian wesel ekspor berjangka;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk
mengatur ketentuan mengenai transaksi pembelian wesel
ekspor berjangka oleh Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor …
- 2 -
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
2 Tahun
2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4901);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN
BANK
INDONESIA TENTANG
TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR
BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA.
BAB I…
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di
Indonesia, yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan dalam valuta asing.
2. Wesel Ekspor Berjangka (WEB) adalah wesel ekspor yang diterbitkan oleh
eksportir, yang memiliki jangka waktu tertentu dan telah diakseptasi oleh bank
pengaksep di luar negeri.
3. Akseptasi adalah pernyataan kesanggupan bank pengaksep untuk melakukan
pembayaran atas suatu wesel berjangka yang diterbitkan eksportir, pada saat
jatuh tempo wesel dimaksud.
4. Bank Pengaksep adalah bank di luar negeri yang melakukan akseptasi terhadap
wesel ekspor berjangka.
5. Bank Penjual adalah bank yang melakukan penjualan wesel ekspor berjangka
kepada Bank Indonesia.
6. Tingkat Diskonto adalah besaran diskonto yang mengacu pada suku bunga
pasar untuk masing-masing valuta asing berdasarkan jangka waktu.
7. Hak Regres adalah hak Bank Indonesia untuk membebani rekening bank penjual
di Bank Indonesia apabila terjadi penolakan atau kekurangan pembayaran oleh
Bank Pengaksep pada tanggal jatuh tempo wesel ekspor berjangka.
8. Hari Kerja adalah hari kerja yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari
Jumat, kecuali hari libur nasional dan hari libur khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah.
9. Tanggal …
- 4 -
9. Tanggal Transaksi adalah tanggal terjadinya kesepakatan transaksi pembelian
wesel ekspor berjangka antara Bank Indonesia dengan bank penjual.
10. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian atau setelmen transaksi pembelian
wesel ekspor berjangka.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia berwenang membuka window pembelian WEB.
(2) Bank Indonesia berwenang meniadakan window pembelian WEB sewaktu
waktu.
BAB II
PERSYARATAN INSTRUMEN
Pasal 3
(1) WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB yang dibeli Bank secara
langsung dari eksportir maupun dari Bank lain yang telah diakseptasi oleh
Bank Pengaksep di luar negeri.
(2) Nilai nominal WEB yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia paling sedikit
sebesar USD10.000,00 (sepuluh ribu US Dollar) atau setara dengan nilai
USD10.000,00 (sepuluh ribu US Dollar).
Pasal 4
WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah WEB yang memiliki underlying perdagangan ekspor atas dasar transaksi
Letter of Credit berjangka yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable usance L/C).
Pasal 5
Dokumen yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan pembelian WEB terdiri dari :
a. asli bukti Akseptasi dari Bank Pengaksep;
b. asli …
- 5 -
b. asli surat pernyataan dari Bank Penjual yang berisi pernyataan kebenaran dan
kesesuaian antar dokumen serta tanggung jawab terhadap pemenuhan syarat-
syarat yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1;
c. fotokopi wesel;
d. fotokopi Letter of Credit (L/C);
e. fotokopi Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill;
f. fotokopi invoice;dan
g. nama lengkap dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) eksportir.
Pasal 6
Bank Penjual wajib bertanggung jawab terhadap pemenuhan persyaratan dan
kebenaran dokumen yang disampaikan oleh eksportir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
Pasal 7
WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB yang memiliki sisa jangka
waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 8
(1) Pembelian WEB dilakukan Bank Indonesia dengan mekanisme valuta asing
terhadap rupiah, atau valuta asing terhadap valuta asing yang sama.
(2) WEB yang dapat dibeli Bank Indonesia adalah WEB dalam valuta United
States Dollar (USD), Japanese Yen (JPY), Great Britain Pound (GBP), Euro
(EUR), Australian Dollar (AUD), dan/atau Swiss Franc (CHF).
BAB III…
- 6 -
BAB III
PERSYARATAN TRANSAKSI
Pasal 9
(1) Bank Penjual harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank Pengaksep
mengenai kewajiban pembayaran WEB, sejak Tanggal Transaksi sampai
dengan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo WEB
dengan mencantumkan
koresponden.
nomor
rekening Bank Indonesia pada
bank
(2) Pada saat WEB jatuh tempo, jumlah nilai pembayaran yang dikreditkan ke
rekening Bank Indonesia adalah sebesar
kepada Bank Indonesia.
nilai nominal WEB yang dijual
(3) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Bank Pengaksep kurang atau lebih
kecil
dari nilai nominal WEB yang diaksep maka Bank Indonesia akan
membebankan kekurangan atau selisih tersebut kepada Bank Penjual melalui
pendebetan langsung rekening giro valuta asing
Indonesia.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia membeli WEB dengan Hak Regres.
(2) Pelaksanaan Hak Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
pada 1 (satu) Hari Kerja berikutnya setelah tanggal jatuh tempo WEB dengan
cara mendebet rekening giro valuta asing Bank Penjual di Bank Indonesia,
disertai dengan pembebanan bunga keterlambatan sebesar tingkat diskonto
ditambah administration fee.
(3) Pendebetan rekening giro valuta asing Bank Penjual sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terhadap WEB yang menggunakan mata uang selain USD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan dengan mengkonversi
mata …
Bank Penjual di Bank
- 7 -
mata uang selain USD dimaksud menjadi USD atas dasar kurs transaksi Bank
Indonesia yang berlaku pada tanggal pendebetan.
(4) Apabila setelah dilakukan pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
diketahui terdapat pembayaran dari Bank Pengaksep maka Bank Indonesia
mengkreditkan kembali sejumlah nilai nominal wesel yang telah didebet.
Pasal 11
Tingkat Diskonto yang berlaku untuk transaksi pembelian WEB ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 12
Kurs untuk transaksi pembelian WEB dengan mekanisme valuta asing terhadap
rupiah, menggunakan kurs beli Kurs Transaksi Bank Indonesia pada Tanggal
Transaksi.
Pasal 13
(1) Bank Pengaksep sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memiliki
short term credit rating paling rendah A-3 dari Standard & Poors (S&P) atau
rating setara yang dikeluarkan oleh Moody’s Investor.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka yang digunakan adalah rating yang paling rendah.
(3) Bank yang dapat menjual WEB adalah Bank yang memiliki
Komposit (PK) paling rendah 2 (PK 2).
Pasal 14
(1) Nilai outstanding transaksi penjualan WEB ke Bank Indonesia paling banyak
20% (dua puluh per seratus) dari modal Bank Penjual (Tier 1).
Peringkat
(2) Bank …
- 8 -
(2) Bank dapat menjual WEB yang berasal dari eksportir yang merupakan pihak
terkait dengan Bank sepanjang memenuhi ketentuan Bank Indonesia tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN PEMBELIAN WEB
Pasal 15
(1) Bank Indonesia mengumumkan Tingkat Diskonto WEB melalui Reuters.
(2) Dalam hal terdapat gangguan Reuters maka akan digunakan sarana lainnya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat
pada pukul 11.00 WIB.
Pasal 16
(1) Bank yang akan menjual WEB kepada Bank Indonesia harus terlebih dahulu
menyampaikan informasi mengenai WEB yang akan ditransaksikan, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. nilai nominal;
b. jenis valuta;
c. tanggal valuta;
d. tanggal jatuh tempo;
e. sisa jangka waktu;
f. nama dan credit rating Bank Pengaksep; dan
g. mekanisme transaksi valuta asing terhadap rupiah atau valuta asing terhadap
valuta asing.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Bank Penjual
kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitor Dealing System (RMDS)
dalam kurun waktu pukul 11.15 – 11. 45 WIB pada hari yang sama.
Pasal 17…
- 9 -
Pasal 17
(1) Bank Indonesia akan melakukan penelitian dan penilaian pemenuhan
persyaratan terhadap:
a. Credit rating Bank Pengaksep sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1);
b. Peringkat Komposit dan modal Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1); dan
c. Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Bank
Indonesia menetapkan
persetujuan atau
pengajuan penjualan WEB oleh Bank Penjual.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
oleh Bank Indonesia kepada masing-masing Bank melalui RMDS pada pukul
13.00 – 14.00 WIB pada hari yang sama.
Pasal 18
(1) Bank yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank Indonesia sebagai syarat
terjadinya deal transaksi.
(2) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. nilai nominal;
b. jenis valuta;
c. tanggal valuta;
d. Tingkat Diskonto;
e. nilai tunai;
f. Kurs (untuk mekanisme valuta asing terhadap rupiah);
g. tanggal…
penolakan terhadap
- 10 -
g. tanggal jatuh tempo;
h. sisa jangka waktu;
i.
nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia atau nomor rekening
USD di bank koresponden;
j. nama dan credit rating Bank Pengaksep ;
k. nomor, tanggal, dan nominal L/C;
l. nomor dan tanggal B/L;
m. nomor dan tanggal invoice; dan
n. nama lengkap dan nomor NPWP eksportir.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia c.q Biro Manajemen Devisa dan Nilai Tukar - Direktorat
Pengelolaan Devisa melakukan transaksi pembelian WEB dengan Bank
Penjual melalui sarana RMDS pada dealing room Bank.
(2) Dalam hal sarana RMDS mengalami gangguan, maka transaksi pembelian
WEB menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi ulang melalui SWIFT
atau faksimili.
Pasal 20
Bank Penjual yang telah melakukan deal
transaksi dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 tidak dapat mengubah atau membatalkan
transaksi dengan alasan apapun.
Pasal 21
(1) Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada Bank Indonesia – c.q
Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa, Direktorat Pengelolaan Devisa.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan Bank
Penjual pada hari yang sama setelah pengumuman persetujuan diperoleh
hingga…
- 11 -
hingga pukul 16.00 WIB atau paling
Tanggal Transaksi pada pukul 10.00 WIB.
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah
(3) Dalam hal Bank Penjual adalah Bank yang berkedudukan di luar wilayah
Kantor Pusat Bank Indonesia maka dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 disampaikan melalui Kantor Bank Indonesia setempat pada hari yang
sama setelah pengumuman persetujuan diperoleh hingga pukul 16.00 WIB atau
paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi pada pukul 10.00
WIB.
(4) Apabila berdasarkan penelitian, dokumen yang disampaikan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 tidak lengkap dan/atau konfirmasi yang disampaikan
Bank Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak sesuai, maka
transaksi dibatalkan.
(5) Pemberitahuan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diinformasikan kepada Bank Penjual pada pukul 14.00 – 16.00 WIB melalui
RMDS pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah Tanggal Transaksi.
sarana RMDS mengalami
(6) Dalam hal
gangguan,
maka pembatalan
menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi ulang melalui SWIFT atau
faksimili.
Pasal 22
Bank Penjual harus menyimpan dan menatausahakan seluruh dokumen yang terkait
dengan transaksi jual beli WEB secara
tertib dan bertanggung jawab guna
kepentingan pemeriksaan Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Setelmen untuk mekanisme valuta asing terhadap rupiah :
a. Bank Indonesia menyerahkan nilai lawan rupiah kepada Bank Penjual, 2
(dua) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi dengan cara mengkredit
rekening Giro Rupiah Bank Penjual pada Bank Indonesia.
b. Pengkreditan …
- 12 -
b. Pengkreditan nilai
lawan rupiah oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas dasar perhitungan sebagai
berikut:
NT =
N x 360 x k
360 + (H x D)
NT = Nilai Tunai
N = Nilai nominal wesel
D = Tingkat diskonto pada tanggal transaksi
H = Hari diskonto dihitung sejak Tanggal Valuta, sampai dengan
tanggal jatuh tempo WEB
k = Kurs beli, Kurs Transaksi Bank Indonesia
(2) Setelmen mekanisme valuta asing terhadap valuta asing yang sama :
a. Bank Indonesia menyerahkan nilai lawan valuta asing kepada Bank
Penjual, 2 (dua) Hari Kerja setelah Tanggal Transaksi dengan cara
mengkredit rekening Bank Penjual pada bank koresponden.
b. Pengkreditan nilai lawan valuta asing oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan atas dasar perhitungan sebagai
berikut:
NT =
N x 360
360 + (H x D)
NT = Nilai Tunai
N = Nilai nominal wesel
D = Tingkat diskonto pada tanggal transaksi
H = Hari diskonto dihitung sejak Tanggal Valuta sampai dengan
tanggal jatuh tempo WEB.
Pasal 24…
- 13 -
Pasal 24
Bank Indonesia mengumumkan peniadaan pembelian WEB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) melalui sarana Reuters atau sarana lainnya paling lambat
pukul 11.00 WIB.
BAB V
PEMBATALAN TRANSAKSI
Pasal 25
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pembatalan transaksi pembelian WEB yang
sudah dilakukan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui hal-hal
sebagai berikut:
a. terdapat ketidaksesuaian data antar dokumen yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) ; dan/atau
b. terdapat ketidakbenaran dokumen ekspor yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi yang disampaikan Bank
Penjual kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2); dan/atau
c. transaksi ekspor yang menjadi underlying terbitnya WEB dilakukan oleh
pihak terkait dengan Bank yang tidak sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
(2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan pembatalan transaksi pembelian WEB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan
terlebih dahulu pembatalan transaksi dimaksud kepada Bank Penjual.
(3) Atas pembatalan transaksi pembelian WEB sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), maka :
a. mekanisme transaksi valuta asing terhadap rupiah
Bank…
- 14 -
Bank Indonesia melakukan pendebetan rekening giro rupiah Bank Penjual
sebesar nilai rupiah yang dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) ditambah dengan bunga sebesar Sertifikat Bank Indonesia lelang
terakhir sesuai jangka waktu dan margin.
b. mekanisme transaksi valuta asing terhadap valuta asing
Bank Indonesia melakukan pendebetan rekening giro valuta asing Bank
Penjual sebesar nilai valuta asing atau yang nilainya setara yang dikreditkan
pada saat setelmen transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
ditambah dengan bunga sebesar Tingkat Diskonto dan margin.
BAB VI
SANKSI
Pasal 26
(1) Bank Penjual
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar apabila berdasarkan pemeriksaan terdapat :
a. ketidaksesuaian data antar dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dengan konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) per item
ketidaksesuaian; dan/atau
b. ketidakbenaran dokumen ekspor yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dengan konfirmasi yang disampaikan Bank Penjual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 10 % dari nominal transaksi.
(2) Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mendebet rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia.
BAB VII ...
- 15 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Peratuan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM,
WIDODO A. S.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 195
DINT
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/34/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 5 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 5 Desember 2008 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/6/PBI/2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa sesuai dengan program
pembangunan ekonomi
nasional maka perlu didorong peningkatan penyaluran kredit
usaha kecil;
b. bahwa sesuai dengan kondisi beberapa daerah tertentu yang
mengalami
gejolak yang berpengaruh
ekonomi, perlu diupayakan
kepada
langkah-langkah
pemulihan kondisi perekenomian daerah tertentu dimaksud;
c. bahwa dari sisi jumlah dan diversifikasi debitur maka risiko
kredit untuk penyaluran kredit usaha kecil memiliki risiko
sistemik yang rendah;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan
perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Kualitas Aktiva Produktif dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat…
kondisi
untuk
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
74; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3511);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998
TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva
Produktif, sebagai berikut:
1. Mengubah ketentuan Pasal 1, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank
Asing.
2. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun
valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar
Bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi
rekening administratif.
3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk :
a. pembelian surat berharga nasabah yang
Purchase Agreement (NPA);
dilengkapi
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang.
4. Surat…
dengan Note
- 4 -
4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan
pasar uang, antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU), Surat Berharga Komersial
Sertifikat Reksadana, dan Medium Term Note.
(Commercial Paper),
5. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lainnya berupa giro,
call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit yang diberikan,
dan penempatan lainnya.
6. Penyertaan adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang tidak melalui pasar
modal, serta dalam bentuk penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitur untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit.
7. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontijensi (Off
Balance Sheet) yang terdiri dari warkat
penerbitan
jaminan,
akseptasi/endosemen, irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih
berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, penjualan Surat
Berharga dengan syarat repurchase agreement (repo), standby L/C, dan
garansi lainnya, serta transaksi derivatif yang mempunyai risiko Kredit.
8. Risiko Kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (mark to market
value) dari seluruh perjanjian/kontrak yang menjanjikan keuntungan yang
belum dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank
apabila pihak lawan wanprestasi.
9. Usaha Kecil adalah usaha kecil sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
10. Kredit…
- 5 -
10. Kredit Usaha Kecil yang selanjutnya disebut dengan KUK adalah Kredit
atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja yang
diberikan dalam Rupiah dan Valuta Asing kepada nasabah Usaha Kecil
dengan plafon keseluruhan maksimum sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) untuk membiayai usaha produktif, sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
11. Daerah Tertentu adalah daerah-daerah yang menurut penilaian Bank
Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan
ekonomi daerah dan pada saat ini ditetapkan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Propinsi Maluku, Propinsi Papua, Kabupaten Sambas di
Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur di Propinsi
Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Poso di Propinsi Sulawesi Tengah.
12. Kredit Kepada Daerah Tertentu adalah Kredit atau pembiayaan atau
penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja kepada
daerah tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 11, yang diberikan dalam
Rupiah dan Valuta Asing kepada nasabah Usaha Kecil dengan plafon
keseluruhan maksimum sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),
untuk membiayai usaha produktif.”
2. Mengubah ketentuan Pasal 8, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 8
Penggolongan kualitas Aktiva Produktif untuk:
a. KUK dan penyediaan dana lain sampai dengan jumlah Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah); dan
b. Kredit Kepada Daerah Tertentu,
didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.”
Pasal II …
- 6 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA,
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 91
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/6/PBI/2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF
I. UMUM
Sesuai dengan program pembangunan ekonomi nasional maka perlu
ditingkatkan pengembangan usaha kecil. Salah satu cara untuk mengembangkan
usaha kecil adalah dengan mempermudah akses usaha kecil terhadap kredit
perbankan. Peningkatan volume kredit usaha kecil pada gilirannya diharapkan dapat
lebih meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari sisi risiko, penyaluran kredit
usaha kecil oleh lembaga perbankan memiliki risiko yang lebih kecil ditinjau dari
sisi jumlah dan diversifikasi debitur.
Selain dari itu, sejalan dengan konsep negara kesatuan Republik Indonesia,
maka terdapat beberapa daerah tertentu yang memerlukan perhatian khusus yang
antara lain disebabkan adanya permasalahan keamanan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Bank Indonesia memandang perlu
untuk menyesuaikan cakupan penyaluran kredit dan transaksi sejenis kepada usaha
kecil dan kepada daerah tertentu.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Usaha
Kecil.
Angka 10
Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan
ketentuan …
- 3 -
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kredit Usaha
Kecil.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan
jaminan atau pembukaan letter of credit.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah
penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Perhitungan batas pemberian fasilitas penyediaan dana berlaku baik
untuk debitur individual dan debitur grup serta untuk seluruh fasilitas
yang diterima.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4223
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/6/PBI/2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF
I. UMUM
Sesuai dengan program pembangunan ekonomi nasional maka perlu
ditingkatkan pengembangan usaha kecil. Salah satu cara untuk mengembangkan
usaha kecil adalah dengan mempermudah akses usaha kecil terhadap kredit
perbankan. Peningkatan volume kredit usaha kecil pada gilirannya diharapkan dapat
lebih meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari sisi risiko, penyaluran kredit
usaha kecil oleh lembaga perbankan memiliki risiko yang lebih kecil ditinjau dari
sisi jumlah dan diversifikasi debitur.
Selain dari itu, sejalan dengan konsep negara kesatuan Republik Indonesia,
maka terdapat beberapa daerah tertentu yang memerlukan perhatian khusus yang
antara lain disebabkan adanya permasalahan keamanan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Bank Indonesia memandang perlu
untuk menyesuaikan cakupan penyaluran kredit dan transaksi sejenis kepada usaha
kecil dan kepada daerah tertentu.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Usaha
Kecil.
Angka 10
Perubahan pengertian ini akan disesuaikan dengan perubahan
ketentuan …
- 3 -
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kredit Usaha
Kecil.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan
jaminan atau pembukaan letter of credit.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah
penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Perhitungan batas pemberian fasilitas penyediaan dana berlaku baik
untuk debitur individual dan debitur grup serta untuk seluruh fasilitas
yang diterima.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4223
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/6/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF </reg_title>
<set_date> 6 September 2002 </set_date>
<effective_date> 6 September 2002 </effective_date>
<changed_reg> '31/147/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/21/PBI/2006
TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a.
b. bahwa
bahwa kelangsungan usaha bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tergantung dari
kemampuan dalam melakukan penanaman dana dengan
mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian
berupa pemenuhan kualitas
penghapusan aktiva yang memadai;
kewajiban
aktiva
dan
penilaian kualitas
penyisihan
aktiva
dan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva perlu
diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non
produktif;
c. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva merupakan ketentuan yang
saling terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan
ketentuan tersebut dalam satu pengaturan.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka dipandang perlu
untuk melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan
tentang kualitas aktiva bagi bank yang melaksanakan
kegiatan ….
-2 -
kegiatan usaha
berdasarkan prinsip
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia
Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
syariah dalam
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK
UMUM YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH.
BAB I ….
-3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang
bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah.
3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun
valuta asing dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan,
penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi
pada transaksi rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah;
b.
transaksi sewa dalam bentuk Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan
hak milik dalam bentuk Ijarah Muntahiyah bit Tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan
Istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan
e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan ….
-4 -
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan,
tanpa imbalan atau bagi hasil.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau
metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
penanaman
6. Musyarakah adalah
dana
dari pemilik
dana/modal
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang
telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal
berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9.
Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa termasuk
kepemilikan terhadap hak pakai atas obyek sewa, antara pemilik obyek sewa
dan penyewa
disewakannya.
untuk mendapatkan imbalan atas obyek
sewa
yang
11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik
obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang
disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa baik dengan
jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa.
12. Qardh ….
untuk
-5 -
12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan
dalam jangka waktu tertentu.
13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip
syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal
antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga
lainnya berdasarkan prinsip syariah.
14. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada Bank lainnya dan/atau Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah antara lain dalam bentuk giro
dan/atau tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka
dan/atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau
bentuk-bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman
dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham
(equity options) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip syariah yang
berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan syariah.
16. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank, Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah, dan perusahaan di bidang
keuangan
lain berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa guna usaha, modal
ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan.
17. Penyertaan Modal Sementara
perusahaan
adalah
nasabah untuk mengatasi
penyertaan modal Bank
dalam
kegagalan pembiayaan dan/atau
piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia ….
-6 -
Indonesia yang berlaku, termasuk dalam bentuk surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada
perusahaan nasabah.
18. Proyeksi Pendapatan adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank
dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang diberikan
dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan
nasabah.
19. Realisasi Pendapatan adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah
atas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang diberikan.
20. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off
balance sheet) berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas bank garansi,
akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan,
akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lain
berdasarkan prinsip syariah.
21. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan
prinsip Wadiah.
22. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau
barang kepada penyimpan dana
atau barang, dengan kewajiban pihak
penyimpan untuk mengembalikan titipan dana atau barang tersebut sewaktu-
waktu.
23. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil
alih, properti terbengkalai rekening antar kantor dan suspense account, serta
persediaan.
24. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah
aktiva ….
-7 -
aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal
nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
25. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
adalah akun
26. Suspense Account
yang tujuan pencatatannya
tidak
teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang
memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya.
27. Persediaan adalah aktiva non-kas tersedia untuk :
a. dijual dengan akad Murabahah;
b. diserahkan sebagai bagian modal bank dalam akad pembiayaan berprinsip
Mudharabah dan Musyarakah;
c. disalurkan dalam akad Salam atau Salam paralel; dan/atau
d. aktiva Istishna’ yang telah selesai tetapi belum diserahkan bank kepada
pembeli akhir.
28. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya disebut PPA adalah
cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan
kualitas aktiva.
29. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang:
a. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan
keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. Melakukan kegiatan
penilaian berdasarkan kode
etik
profesi
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
c. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian
yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai ….
dan
-8 -
sebagai perusahaan penilai; serta
e. Tercatat
sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
30. Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan
dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada
tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi, pihak penjual dan
pembeli sebelumnya tidak mempunyai ikatan, memiliki pengetahuan tentang
aset yang diperdagangkan dan melakukan transaksi tidak dalam keadaan
terpaksa.
31. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank
dalam kegiatan Penyediaan Dana
terhadap nasabah
yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional dan standar akuntansi keuangan
yang berlaku bagi bank syariah.
BAB II
KUALITAS AKTIVA
Pasal 2
(1) Penanaman dan/atau penyediaan dana Bank wajib dilaksanakan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip syariah.
(2) Pengurus Bank wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah
antisipasi agar kualitas Aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar.
Pasal 3
Penilaian kualitas dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif.
Pasal 4 ….
-9 -
Pasal 4
(1) Bank wajib melakukan penilaian dan penetapan kualitas Aktiva sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva antara Bank dan Bank
Indonesia, kualitas Aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menyesuaikan kualitas Aktiva sesuai dengan penilaian kualitas
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau
laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku, paling
lambat
pada periode laporan berikutnya
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
BAB III
AKTIVA PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening
Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, dalam 1
(satu) bank yang sama.
(2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula untuk Aktiva Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang
diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan
perjanjian pembiayaan bersama dan/atau sindikasi.
(3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas masing-masing
Aktiva ….
setelah
-10 -
Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal
Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda.
(5) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang paling
rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kualitas Aktiva Produktif
yang ditetapkan dengan menggunakan faktor penilaian tambahan berupa
risiko negara (country risk) Republik Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan
nasabah yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit
Akuntan Publik, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian
laporan tersebut.
(2) Kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan
nasabah.
(3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kualitas Aktiva Produktif dari nasabah yang tidak menyampaikan laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat, dan
dinilai paling tinggi Kurang Lancar.
Pasal 7
Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan.
Pasal 8 ….
-11 -
Pasal 8
(1) Penanaman dana Bank dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung
dengan dokumen yang lengkap;
(2) Kualitas Aktiva Produktif yang oleh Bank telah ditetapkan Lancar dan Dalam
Perhatian Khusus akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi setinggi-
tingginya Kurang Lancar, apabila dokumentasi
memberikan informasi yang cukup.
nasabah tidak dapat
Bagian Kedua
Pembiayaan
Pasal 9
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dinilai berdasarkan:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) nasabah; dan
c. kemampuan membayar.
(2) Kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu Lancar,
Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Pasal 10
(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan
hidup.
(2) Penilaian ….
-12 -
(2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah;
c. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Pasal 11
(1) Penetapan
kualitas Pembiayaan
dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dengan
mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(2) Penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen;
serta
b. Relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang
bersangkutan ….
-13 -
bersangkutan.
Pasal 12
(1) Penilaian terhadap kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada ketepatan
pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara Realisasi
Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP).
(2) Penghitungan Realisasi Pendapatan (RP) dan Proyeksi Pendapatan (PP)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penilaian kualitas Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah per periode, dihitung berdasarkan rata-rata
akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang
telah berjalan.
(3) Proyeksi Pendapatan (PP) dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan
arus kas masuk nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah.
(4) Bank dapat mengubah Proyeksi Pendapatan (PP) berdasarkan kesepakatan
dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro,
pasar dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah.
(5) Bank wajib mencantumkan Proyeksi Pendapatan (PP) dan perubahan
Proyeksi Pendapatan (PP) dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah antara Bank dengan nasabah dan harus terdokumentasi secara
lengkap.
(6) Bank dapat melakukan revisi Proyeksi Pendapatan (PP) paling banyak:
a. 1 (satu) kali untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan
jangka waktu sampai dengan (1) satu tahun;
b. 2 (dua) kali untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan
jangka waktu diatas satu tahun.
Pasal 13 ….
-14 -
Pasal 13
(1) Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat diangsur selama jangka
waktu Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara Bank dan nasabah.
(2) Apabila jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah lebih dari
satu tahun, pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diangsur secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas
masuk (cash inflow) usaha nasabah.
(3) Pembayaran angsuran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah
antara Bank dengan nasabah dan harus terdokumentasi secara lengkap.
Bagian Ketiga
Surat Berharga Syariah
Pasal 14
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif
dalam bentuk surat berharga, sebagai berikut:
a. Kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga wajib
disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga wajib
disetujui paling kurang oleh Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat berharga;
d. Kebijakan dan prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk surat
berharga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen
risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 15 ….
-15 -
Pasal 15
(1) Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah berupa obligasi syariah
untuk tujuan investasi.
(2) Dalam hal Bank mengalami kesulitan likuiditas, Surat Berharga Syariah yang
dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijual sebelum
jatuh tempo.
Pasal 16
(1) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan memiliki kualitas
Lancar sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara transparan;
b. Imbalan yang diterima dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
perjanjian; dan/atau
c. Belum jatuh tempo.
Untuk Surat Berharga Pasar Uang Syariah yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c dikategorikan Macet.
(2) Surat Berharga Syariah diluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain sebagai berikut:
a. Surat berharga komersial yang sesuai dengan prinsip syariah;
b. Obligasi berdasarkan prinsip syariah yang dicatat dan diperdagangkan di
Pasar Modal;
c. Surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang
berdasarkan prinsip syariah;
d. Surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah;
(3)
Penggolongan kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. memiliki ….
-16 -
1. Memiliki
peringkat
investasi
atau
lebih
tinggi
dari
lembaga
pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan
diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2. Pembayaran bagi hasil/marjin/fee yang berkala atau kewajiban lain
yang sejenis dilakukan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
dengan perjanjian (akad); dan
3. Belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1. Memiliki
peringkat
investasi
atau
lebih
tinggi
dari
lembaga
pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan
diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2. Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau
kewajiban lain yang sejenis; dan
3. Belum jatuh tempo;
atau
1. Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat dibawah peringkat
investasi dari lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh
Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2. Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala
atau kewajiban lain yang sejenis; dan
3. Belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b.
Pasal 17
(1) Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat
Berharga yang
dihubungkan atau dijamin dengan aset
tertentu yang
mendasari ….
-17 -
mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham.
(2) Bank hanya dapat memiliki surat berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset
tertentu yang mendasari dan berdasarkan prinsip syariah
sepanjang:
a. Aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya;
b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset
yang mendasari;
c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat dan akurat mengenai rincian
aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing-
masing aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan
d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan
penerbit
aset
yang
mendasari serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan
komposisi aset.
Pasal 18
(1) Kualitas surat berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu
yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, yang pembayaran
kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through),
baik yang dapat dibeli kembali maupun tidak dapat dibeli kembali
(non
redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas didasarkan pada:
a. Kualitas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
b. Kualitas aset yang mendasari surat berharga apabila surat berharga tidak
memiliki peringkat; atau
(2) Untuk surat berharga dalam bentuk sertifikat reksadana, penetapan kualitas
didasarkan pada:
a. Kualitas sertifikat reksadana sesuai dengan penilaian kualitas surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); atau
b. Kualitas ….
-18 -
b. Kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit
sertifikat
reksadana, apabila
peringkat.
Pasal 19
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Surat berharga dan/atau tagihan
yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dimiliki oleh Bank
digolongkan Lancar.
Bagian Keempat
Penyertaan Modal
Pasal 20
(1) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank kurang dari 20% (dua puluh
perseratus) wajib dicatat
dengan metode biaya
(cost method) dan
penggolongan kualitas ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah diaudit, perusahaan tempat
Bank melakukan penyertaan
memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif;
b. Kurang Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku
terakhir
yang
telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan
penyertaan mengalami kerugian sampai dengan 25% (dua puluh lima
perseratus) dari modal perusahaan;
c. Diragukan, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir
yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan
mengalami kerugian lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) sampai
dengan 50% (lima puluh perseratus) dari modal perusahaan;
d. Macet, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah ….
sertifikat
reksadana
tidak memiliki
-19 -
telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami
kerugian lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal perusahaan;
(2) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank 20% (dua puluh perseratus) atau
lebih wajib dicatat dengan metode ekuitas (equity method) dan digolongkan
Lancar.
(3) Ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan Penyertaan Modal mengacu
pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-
hatian dalam penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional yang
berlaku.
Pasal 21
(1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara dinilai berdasarkan jangka waktu
penyertaan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila belum melebihi jangka waktu 1 (satu ) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila telah melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun namun
belum melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun;
c. Diragukan, apabila telah melebihi jangka waktu 4 (empat) tahun dan
belum melebihi 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum
ditarik kembali meskipun perusahaan debitur telah memiliki laba
kumulatif.
(3) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai
bahwa:
a. Penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan
dengan ….
-20 -
dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau
b. Penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyertaan Modal Sementara mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian
dalam kegiatan penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional yang
berlaku.
Bagian Kelima
Penempatan
Pasal 22
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif
dalam bentuk Penempatan, sebagai berikut:
a. Kebijakan Penempatan wajib disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur Penempatan wajib disetujui paling kurang oleh Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan Penempatan;
d. Kebijakan dan prosedur Penempatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 23
Kualitas Penempatan ditetapkan Lancar sepanjang Penempatan dijamin oleh
Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 24
Dalam hal program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan tidak memenuhi
persyaratan ….
-21 -
persyaratan program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23, kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) tidak terdapat
tunggakan pembayaran pokok untuk yang berprinsip
Wadiah/Qardh, atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bagi hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau
Realisasi Pendapatan sama atau lebih dari 80% (delapan puluh perseratus)
Proyeksi Pendapatan untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah,
atau tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk
yang berprinsip Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
tunggakan pembayaran
2) terdapat
pokok untuk
yang
berprinsip
Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi
hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau Realisasi
Pendapatan di atas 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan
sampai dengan 80% (delapan puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan atau
Realisasi Pendapatan ≤ 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan
sampai
dengan 3 (tiga)
periode
pembayaran
untuk
Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau marjin untuk yang berprinsip Murabahah sampai dengan 5 (lima)
hari kerja.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari
ketentuan ….
-22 -
ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai
bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau
bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi;
dan/atau
4)
terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk
yang berprinsip
Wadiah/Qardh, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bagi
hasil untuk yang berprinsip Mudharabah dan Musyarakah, atau Realisasi
Pendapatan ≤ 30% (tiga puluh perseratus) Proyeksi Pendapatan lebih dari
3 (tiga) periode pembayaran untuk
Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah, atau terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
untuk yang berprinsip Murabahah lebih dari 5 (lima) hari kerja.
Bagian Keenam
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 25
Kualitas Transaksi Rekening Administratif digolongkan dan dinilai sesuai dengan
ketentuan penggolongan kualitas Pembiayaan untuk masing-masing transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 26
(1) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan Transaksi Rekening Administratif
yang berjumlah sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
untuk
nasabah individual atau nasabah grup hanya didasarkan
atas
kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c.
(2) Penilaian ….
-23 -
(2) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan Transaksi Rekening Administratif
yang berjumlah lebih besar dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
baik untuk nasabah individual atau nasabah grup didasarkan atas ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Bagian Ketujuh
Penyediaan Dana di Daerah Tertentu
Pasal 27
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan
usaha berada di daerah tertentu didasarkan atas kemampuan membayar.
BAB IV
AKTIVA NON PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 28
(1) Aktiva Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA,
Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account, serta
Persediaan.
(2) Kualitas Aktiva Non Produktif wajib dinilai secara bulanan.
Bagian Kedua
Agunan yang Diambil Alih
Pasal 29
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30 ….
-24 -
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan
net realizable value dari AYDA, yang dilakukan saat pengambilalihan
agunan.
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penilai
Independen,
untuk
AYDA
dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih. Sementara untuk AYDA
dengan nilai
menggunakan penilai intern Bank.
(3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai
dari penilai independen atau penilai intern Bank.
Pasal 31
(1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai
dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki
dengan 5 (lima) tahun;
lebih dari 3 (tiga)
d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
tahun sampai
dibawah Rp5.000.000.000,00 (lima miyar rupiah) dapat
Bagian Ketiga ….
-25 -
Bagian Ketiga
Properti Terbengkalai
Pasal 32
(1) Bank wajib melakukan identifikasi
Terbengkalai yang dimiliki.
dan penetapan terhadap Properti
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
Pasal 33
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai
yang dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34
(1) Properti Terbengkalai yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu)
tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu)
tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki
tahun sampai dengan 5 (lima) tahun;
lebih dari 3 (tiga)
d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat ….
-26 -
Bagian Keempat
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 35
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai
berikut:
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari;
b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari.
Bagian Kelima
Persediaan
Pasal 36
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Persediaan yang
dimiliki.
(2) Penetapan Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
oleh Direksi, dan didokumentasikan.
(3) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Persediaan yang
dimiliki, dan wajib didokumentasikan.
Pasal 37
(1) Persediaan yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Persediaan dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 1 (satu)
tahun
sampai ….
-27 -
sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai
dengan 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila Persediaan dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) Persediaan yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 38
(1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif.
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan
b. Cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
(3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Kedua
Tatacara Pembentukan
Pasal 39
(1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf
a ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari seluruh
Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah
Bank ….
-28 -
Bank Indonesia dan Surat Berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah.
(2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan
Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; dan
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas
digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 50% (lima puluh
perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan
Macet setelah dikurangi nilai agunan.
(3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2)
tidak berlaku bagi Aktiva Produktif berupa Ijarah atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik.
(4) Bank wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk Ijarah atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan Bank
bagi aktiva yang sejenis;
b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa.
(5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva
Produktif.
Pasal 40
Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1) dan ayat (2) untuk Murabahah, Salam dan Istishna’ mempergunakan
angka ….
yang
-29 -
angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok.
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 41
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA
terdiri dari:
a. Giro dan/atau tabungan Wadiah, giro Mudharabah, tabungan dan/atau deposito
Mudharabah dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing
yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan/atau surat berharga dan/atau tagihan
yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah;
c. Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat investasi, mudah dicairkan
dan aktif diperdagangkan di pasar modal;
d. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di
atas 20 (dua puluh) meter kubik;
e. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Pasal 42
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan
PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ditetapkan:
a. Untuk agunan tunai berupa giro dan/atau tabungan Wadiah, giro Mudharabah,
tabungan dan/atau deposito Mudharabah, dan setoran jaminan dalam mata
uang rupiah dan valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa
pencairan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus);
b. Untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga
dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah
paling ….
-30 -
paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus);
c. Untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah setinggi-tingginya sebesar 50%
(lima puluh perseratus);
d. Untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal laut,
kendaraan bermotor dan persediaan paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan
sebelum melampaui 12 (dua belas) bulan;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan
setelah 12 (dua belas) bulan tetapi belum melampaui 18 (delapan belas)
bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan
setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan tetapi belum melampaui 30
(tiga puluh) bulan;
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah
melampaui 30 (tiga puluh) bulan.
Pasal 43
Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib dilakukan
dengan cara:
a. Untuk Surat Berharga Syariah dinilai dengan menggunakan Nilai Pasar yang
tercatat dipasar modal pada akhir bulan;
b. Untuk tanah dan rumah tinggal dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar;
c. Untuk gedung, pesawat udara, kapal laut, kendaraan dan persediaan dinilai
berdasarkan Nilai Pasar Wajar.
Pasal 44
(1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan
yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 ….
-31 -
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, bagi Pembiayaan
dengan jumlah lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang PPA.
(4) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai
dari penilai independen atau penilai intern.
Pasal 45
(1) Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan
yang telah dikurangkan dalam PPA, apabila:
a. Agunan
tidak
dilengkapi
dengan dokumen
hukum yang sah dan
pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku;
b. Penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44; atau
c. Agunan tidak dilindungi asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula
yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan
dalam hal terjadi pembayaran klaim.
(2) Perusahaan
asuransi yang memberikan perlindungan asuransi
terhadap
agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Perusahaan asuransi memenuhi ketentuan permodalan sesuai yang
ditetapkan institusi yang berwenang; dan
b. Perusahaan asuransi bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau
Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank, kecuali direasuransikan
kepada ….
-32 -
kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait
dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank.
(3) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku paling lambat pada
periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia.
BAB VI
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 46
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan, sebagai berikut:
a. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur restrukturisasi wajib disetujui oleh paling kurang oleh Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan restrukturisasi;
d. Kebijakan dan prosedur
restrukturisasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan
kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya; dan
b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
(3) Upaya dan mekanisme restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib ….
-33 -
wajib dilakukan dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional dan
standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi bank syariah.
(4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan yang direstrukturisasi adalah sebagai
berikut:
a. Paling tinggi Kurang Lancar
untuk
direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum direstrukturisasi
tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar.
(5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat:
a. Menjadi Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau
bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis selama 3 (tiga) kali
periode pembayaran berturut-turut dan/atau secepat-cepatnya dalam
waktu 3 (tiga) bulan; atau
b. Kembali
sesuai
dengan kualitas sebelum dilakukan Restrukturisasi
Pembiayaan atau kualitas sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau jika debitur tidak
memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi
Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak
didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai.
Pasal 47
Analisis dan dokumentasi yang memadai yang dilakukan Bank dalam rangka
Restrukturisasi Pembiayaan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(5) huruf b, adalah sebagai berikut:
a. Pembiayaan yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek
usaha nasabah dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas;
b. Pembiayaan kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis
oleh ….
Pembiayaan yang sebelum
-34 -
oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi
yang baik;
c. Analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap
Pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap tahapan dalam pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan wajib didokumentasikan secara lengkap dan jelas;
d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c juga
diterapkan dalam hal dilakukan restrukturisasi ulang Pembiayaan.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 48
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku
dan hapus tagih Pembiayaan, sebagai berikut:
a. Kebijakan hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui paling kurang oleh
Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih;
d. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih merupakan bagian
yang tidak
terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko
(2) Hapus buku dan/atau hapus
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
tagih hanya
dapat
pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
(3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Pembiayaan (partial
write off).
(4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh Pembiayaan.
(5) Hapus tagih terhadap sebagian Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ….
dilakukan terhadap
Bank
-35 -
ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan
atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
Pasal 49
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk
memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku
dan/atau hapus hak tagih.
(3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva
Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 50
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22, Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 45 ayat (3), Pasal 46
ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 55
dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. penggantian ….
-36 -
c. penggantian pengurus.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 17 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus
perseratus) terhadap aktiva dimaksud.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Penilaian kualitas Aktiva Non Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
penetapan kualitas untuk Aktiva Non Produktif untuk AYDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31, penetapan kualitas untuk Properti Terbengkalai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan penetapan kualitas untuk Rekening
Antar Kantor dan Suspense Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan
penetapan kualitas untuk Persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, serta
penetapan Penyisihan Penghapusan Aktiva Non Produktif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
38 ayat
(2)
huruf b, berlaku
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 52
Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran
Bank Indonesia
Pasal 53
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi
Kredit masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau tidak diatur dengan
Peraturan ….
12 (dua belas) bulan sejak
-37 -
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 54
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah; dan
b. Peraturan Bank Indonesia No.5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 55
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyesuaikan
pedoman operasional yang terkait dengan penilaian kualitas Aktiva.
Pasal 56
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2007.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 78
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/21/PBI/2006
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Perkembangan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah akan tergantung dari kemampuannya untuk tetap dapat
mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
perbankan syariah yang semakin beragam dengan tetap berpegang kepada
prinsip syariah dan kehati-hatian, dimana kemampuan tersebut akan menjadi
salah satu dasar dari kelangsungan usaha bank. Kelangsungan usaha bank
tergantung pada kinerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari
penanaman dana bank. Kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan
keuntungan, sehingga dapat menjadi sumber dalam mengembangkan usahanya.
Mengingat karakteristik dari aset bank masih tetap dipengaruhi oleh risiko
pembiayaan (credit risk), maka bank perlu untuk selalu memperbaiki kebijakan
dan prosedur penyediaan dana termasuk penetapan kualitas dan pembentukan
penyisihan penghapusan aktivanya, dan melakukan pengelolaan portofolio aset
dengan baik serta kemampuan untuk mengantisipasi perubahan faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi kualitas penyediaan dana.
Untuk menentukan kualitas penyediaan dana yang mencerminkan tingkat
eksposur …
-2 -
eksposur risiko pembiayaan (credit risk), perlu ditata kembali batasan dan
kriteria penilaian kualitas serta pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
pada setiap penyediaan dana.
Berdasarkan hal-hal
tersebut,
dipandang
perlu untuk melakukan
pengaturan kembali tentang penilaian kualitas aktiva bagi bank umum syariah
yaitu berupa Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas …
-3 -
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21 …
-4 -
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Cukup jelas.
Angka 26
Cukup jelas.
Angka 27
Cukup jelas.
Angka 28
Cukup jelas.
Angka 29
Cukup jelas.
Angka 30
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang …
-5 -
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman
dana yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan:
1) Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-
kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition
of economy & Collateral);
2) Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance)
dan kemampuan membayar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi
perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antisipasi
adalah melakukan tindakan dan
upaya pencegahan atas
kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir
meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank.
Pasal 5
Ayat (1) …
(exit
-6 -
Ayat (1)
Nasabah dalam ayat
ini merupakan perseorangan atau badan
usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus
kas sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah
kepada debitur X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank A untuk
masing-masing aktiva produktif adalah sebagai berikut:
a. DPK, untuk Mudharabah
b. KL, untuk Murabahah
Karena Pembiayaan
digunakan
untuk membiayai
1 (satu)
nasabah, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan Bank A
kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang
Lancar (KL).
Ayat (4)
Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) nasabah dan
kemampuan membayar. Sedangkan kualitas Surat Berharga pada
umumnya ditetapkan berdasarkan faktor
penilaian berupa
peringkat, ketepatan pembayaran bagi hasil/marjin/fee atau
kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh tempo. Oleh karena
terdapat perbedaan faktor penilaian untuk penetapan kualitas
pembiayaan …
-7 -
pembiayaan dengan surat berharga, maka kualitas Pembiayaan
dengan surat berharga dapat ditetapkan secara berbeda meskipun
untuk nasabah yang sama.
Ayat (5)
Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih rendah yang
semata-mata disebabkan oleh penggunaan faktor
penilaian
tambahan berupa risiko Negara (country risk) Republik Indonesia,
tidak mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif
yang diberikan kepada nasabah sama di Bank lain yang ditetapkan
dengan faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Syariah.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban audit
laporan keuangan dimaksudkan agar laporan
keuangan nasabah akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi
keuangan nasabah merupakan salah satu kriteria dalam penetapan
kualitas Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1998 tentang Informasi
sebagaimana
telah
diubah
Keuangan Tahunan Perusahaan
dengan
Peraturan
Nomor 64 …
Pemerintah
-8 -
Nomor 64 Tahun 1999.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dokumen yang lengkap yaitu sekurang-
kurangnya tersedianya dokumentasi
meliputi:
aplikasi,
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas …
analisa,
keputusan dan
penanaman dana serta perubahannya.
penanaman dana yang
pemantauan atas
-9 -
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan nasabah dalam huruf ini adalah
nasabah yang wajib melakukan upaya pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Perhitungan pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP)
dengan Proyeksi Pendapatan (PP) adalah sebagai berikut:
RP
K =
PP
Dimana:
K = Rasio Pencapaian Pendapatan
RP = Realisasi Pendapatan yang diterima Bank dari nasabah
PP …
x 100%
- 10 -
PP = Perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh Bank
dari nasabah
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan rata-rata akumulasi
selama
periode
Pembiayaan yang telah berjalan adalah sebagai berikut:
Contoh 1 :
Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang berjangka
waktu 1 (satu) tahun yang dimulai dari 1 Januari 2005 sampai
dengan 31 Desember 2005, dan dilakukan
penilaian di bulan
Januari 2006, berarti RP dan PP yang digunakan adalah angka
akumulasi selama bulan Januari sampai dengan Desember 2005.
Contoh 2 :
Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan jangka
waktu 6 (enam) bulan, yang baru berjalan 3 (tiga) bulan, maka
akumulasi yang
digunakan adalah selama periode
tersebut yaitu akumulasi 3 (tiga) bulan saja.
Ayat (3)
Misalnya Pembiayaan berjangka waktu 2 (dua) tahun, jadwal
pembayaran bagi hasil ditetapkan setiap 6 (enam) bulan maka PP
ditetapkan setiap 6 bulan, yaitu :
1. PP 6 bulan I = Rp xx atau x %
2. PP 6 bulan II = Rp yy atau y %
dst.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
berjalan
- 11 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan terdokumentasi
aplikasi,
analisa,
keputusan
secara lengkap yaitu
sekurang-kurangnya tersedianya dokumentasi pembiayaan yang
meliputi
dan
pemantauan
atas
pembiayaan serta file lain yang terkait dengan PP beserta
perubahannya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan investasi adalah dimiliki Bank
sampai dengan jatuh tempo (held to majority)..
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kesulitan likuiditas adalah bank yang
diperkirakan
akan
mengalami
kekurangan
dana yang
diindikasikan dengan rasio GWM menurun mendekati ketentuan
minimum …
- 12 -
minimum yang berlaku.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Surat Berharga Pasar Uang Syariah antara
lain adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA).
Huruf a
Yang dimaksud dengan transparan antara lain adalah
informasi
informasi pasar uang di Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan surat berharga yang dihubungkan
atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari antara
lain adalah sertifikat reksadana, credit linked note dan efek
beragun aset yang berdasarkan prinsip syariah.
Huruf d
Yang …
surat berharga dilaporkan kedalam sistem
- 13 -
Yang dimaksud surat berharga lainnya berdasarkan prinsip
syariah antara lain adalah surat berharga yang diterbitkan
lembaga keuangan yang terdaftar dalam Pasar Keuangan
Islam Internasional (International
Islamic Financial
Market) atau yang diterbitkan oleh Islamic Development
Bank.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peringkat investasi dan lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia yaitu berdasarkan
ketentuan yang berlaku tentang Lembaga Pemeringkat dan
Peringkat yang diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 17
Ayat (1)
Kepemilikan surat berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset)
yang berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan
Penyertaan Modal
atau Penyertaan Modal Sementara dan
dilakukan dengan izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud
antara lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI) atau Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas …
- 14 -
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pembayaran kewajiban surat berharga dikatakan terkait langsung
dengan aset yang mendasari (pass through) apabila pembayaran
pokok dan marjin/bagi hasil/fee surat berharga semata-mata
bersumber dari pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee dari
aset yang mendasari.
Ayat (2)
Huruf a
Penetapan kualitas sertifikat
reksadana berdasarkan
ketentuan penilaian kualitas surat berharga dilakukan
terhadap sertifikat reksadana sebagai
satu produk dan
bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari sertifikat
reksadana dimaksud.
Huruf b
Kualitas sertifikat
reksadana
ditetapkan
berdasarkan
kualitas setiap jenis aset yang mendasari dan kualitas
penerbit sertifikat reksadana, dengan penekanan antara lain
terhadap:
1.
kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit maupun pihak
terkait …
- 15 -
terkait lainnya seperti asuransi; dan
2.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Ayat (3)
Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau kesulitan
penjualan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun antara lain
disebabkan
karena kelemahan
dalam kondisi
manajemen perusahaan, kondisi pasar atau rendahnya permintaan
terhadap saham perusahaan.
Ayat (4)
Cukup jelas …
diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang
mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian.
keuangan,
- 16 -
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Rasio KPMM sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio
KPMM yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang terhadap bank
yang menerima Penempatan.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi
terakhir
sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Apabila laporan keuangan publikasi
terakhir atau data KPMM pada
laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap
memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Batas pemberian fasilitas Pembiayaan dan penyediaan dana lain akan
diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap
nasabah baik untuk nasabah individual maupun Kelompok Peminjam
yang …
- 17 -
yang diterima dari satu Bank.
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Pembiayaan atau
penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja di
daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan
penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah
yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan
atau pembukaan L/C.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai
fungsinya
sebagai
penghimpun dan penyalur
masyarakat. Upaya penyelesaian antara
dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar
agunan dikurangi
realizable value adalah sebesar nilai Aktiva Produktif yang
diselesaikan …
dana
lain dapat dilakukan
estimasi biaya pelepasan. Maksimum net
- 18 -
diselesaikan dengan AYDA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Properti Terbengkalai adalah aktiva tetap
dalam bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan
dalam kegiatan usaha Bank yang lazim. Termasuk dalam kegiatan
usaha Bank yang lazim adalah properti yang digunakan sebagai
penunjang kegiatan usaha Bank, sepanjang dimiliki dalam jumlah
yang wajar, seperti rumah dinas dan properti yang digunakan
untuk sarana pendidikan, serta properti lain yang telah ditetapkan
untuk digunakan Bank dalam kegiatan usaha dalam waktu dekat,
tetapi tidak termasuk untuk properti Bank yang dikategorikan
memiliki klasifikasi sesuai fatwa dan ketentuan berlaku tentang
aktiva Ijarah .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai …
- 19 -
sesuai
fungsinya
sebagai
penghimpun dan penyalur
masyarakat. Upaya penyelesaian antara
dana
lain dapat dilakukan
dengan secara aktif memasarkan dan menjual Properti
Terbengkalai.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Upaya penyelesaian diperlukan agar
seluruh transaksi Bank
diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut
dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang
dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank.
Ayat (2)
Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar
Kantor disisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening
Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi
belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud identifikasi dan penetapan Persediaan adalah
termasuk identifikasi dan penetapan Persediaan sesuai klasifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 27.
Ayat (2) …
- 20 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara
aktif memasarkan dan menjual Persediaan yang sesuai dengan
karakteristik
jenis
Persediaan
dalam rangka
penyelesaian
transaksi yang menjadi dasar timbulnya Persediaan.
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan Persediaan.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan
untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk
antisipasi terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 21 -
Ayat (3)
Penyusutan dan/atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada standar
akuntansi keuangan untuk bank syariah yang berlaku.
Ayat (4)
Huruf a dan b
Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan
pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di
masa depan dari objek Ijarah.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan angka saldo harga perolehan atau saldo harga
pokok
adalah
angka baki
debet
dikurangi
dengan margin yang
ditangguhkan untuk Murabahah dan Istishna’, serta angka saldo baki
debet bulan laporan untuk Salam.
Pasal 41
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan
oleh lembaga pemeringkat yang diakui
oleh Bank Indonesia
dalam satu tahun terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia
maka …
- 22 -
maka surat berharga dianggap tidak memiliki peringkat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan
dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran,
sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan
dimaksud.
Untuk persediaan barang bergerak yang disimpan dalam gudang
yang termasuk dalam kategori untuk dapat
dengan Akta Perjanjian Hak
Jaminan sebagaimana
diterbitkan Resi
Gudang, maka pembebanan Hak Jaminan terhadap Resi Gudang
dibuat
dimaksud dalam Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tanggal 14
Juli 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Penilaian adalah pernyataan tertulis dari
Penilai Independen atau penilai
intern Bank mengenai taksiran
dan …
- 23 -
dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap
berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan
menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang
ditetapkan oleh asosiasi dan institusi yang berwenang.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan
terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau
grup nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 24 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan
terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud kebijakan dan prosedur tertulis antara lain pejabat
dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses restrukturisasi,
dan proses analisis penyediaan dana yang akan direstrukturisasi
serta laporan restrukturisasi secara berkala.
Ayat (2)
Dalam hal
Bank memperkirakan kondisi
usaha
mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan
nasabah
dalam
pembayaran atau pemenuhan kewajibannya, harus didukung oleh
analisa dan bukti-bukti yang memadai
dengan baik.
Ayat (3)
Yang dimaksud upaya dan mekanisme restrukturisasi
serta terdokumentasi
sesuai
aturan yang berlaku, antara lain untuk Murabahah bisa dilakukan
dengan memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran,
penjadwalan kembali
dan konversi
akad Murabahah yang
dilaksanakan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang
berlaku.
Ayat (4) …
- 25 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau
bagi hasil/marjin/fee kurang dari
3 (tiga)
1 (satu) bulan,
peningkatan kualitas menjadi Lancar dapat dilakukan
secepat-cepatnya dalam waktu
dilakukan restrukturisasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Hapus buku adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus
buku Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet dari neraca
sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih Bank
kepada nasabah.
Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus kewajiban nasabah
yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung
jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas …
bulan sejak
- 26 -
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan Hapus Buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan
yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hapus Tagih dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan dan
penyelesaian
Pembiayaan dimaksudkan untuk kepentingan
transparansi kepada nasabah.
Penyelesaian Pembiayaan dapat dilakukan melalui
pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh nasabah.
Pasal 49
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada nasabah,
Restrukturisasi
dimaksud,
Pembiayaan,
dan penyelesaian
meminta
pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva
Produktif
pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51 …
Pembiayaan melalui
- 27 -
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4647
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/21/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '5/9/PBI/2003', '5/7/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 12 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005
TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka penerapan sistem Laporan Harian
Bank Umum yang lebih efektif dan akurat diperlukan
persiapan yang cukup dari
serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya;
b. bahwa untuk mendukung
infrastruktur pendukung
hal tersebut di atas
diperlukan perpanjangan masa peralihan yang lebih
memadai dari sistem Pusat Informasi Pasar Uang ke
sistem Laporan Harian Bank Umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b
tersebut di atas dipandang perlu untuk melakukan
perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor
7 Tahun
1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN
INDONESIA
ATAS
PERATURAN
LAPORAN HARIAN BANK UMUM.
Beberapa …
BANK
NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/10/PBI/2005 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483)
diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Kewajiban Bank Pelapor untuk menyusun serta menyampaikan LHBU
dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan setiap hari kerja.
(2) Masa parallel run diperpanjang dari tanggal 16 Mei 2005 sampai
dengan tanggal 31 Mei 2005 menjadi sampai dengan tanggal 25 Agustus
2005.
2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Pelanggan PIPU yang perjanjiannya berakhir pada tanggal 31 Mei 2005
dan bermaksud tetap menggunakan PIPU harus menandatangani
Perjanjian Penggunaan PIPU dengan mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang.
(2) Dalam hal Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU, Bank Indonesia dapat
mencabut keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU.
3. Ketentuan …
- 4 -
3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
Ketentuan Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai
berlaku pada tanggal 26 Agustus 2005.
4. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka sejak tanggal 26
Agustus 2005 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tanggal 31
Oktober 2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
31 Mei 2005
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S.GOELTOM
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 45
DPM/UKMI/DPD/DPNP
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 12 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005
TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selama masa parallel run Bank
melaksanakan
Angka 2
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal …
Pelapor tetap
pelaporan melalui sistem PIPU
bersamaan dengan pelaporan melalui sistem LHBU.
- 2 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2005 NOMOR 4499
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/12/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/10/PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2005 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2005 </effective_date>
<changed_reg> '7/10/PBI/2005' </changed_reg>
<replaced_reg> '5/24/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
-2-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 21 /PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin
baik dan laju inflasi yang terkendali memberikan ruang
untuk dilakukan pelonggaran moneter;
b. bahwa diperlukan peningkatan kapasitas pembiayaan
dari perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
-2-
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/11/PBI/2015 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 152,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5712), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 7,5% (tujuh
koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah.
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat
persen) dari DPK dalam Rupiah.
- 3 -
c. GWM LFR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan
antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas dengan selisih antara LFR Bank dan
LFR Target dengan memperhatikan selisih antara
KPMM Bank dan KPMM Insentif.
2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
3. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari
kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan
kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
dari DPK dalam Rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua
koma lima persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh
kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan
pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
- 4 -
6. Penjelasan Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
7. Penjelasan Pasal 22 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
1 Desember 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 286
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/21/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 26 November 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 November 2015 </issued_date>
<changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '17/11/PBI/2015' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
|
Subsets and Splits